Anda di halaman 1dari 16

ALIRAN DASAR FILSAFAT STRUKTURALISME DAN

PASCASTRUKTURALISME
Adityo Ferdiansyah, Igor Darma Basmala
Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya
E-mail: tyoferdiansyah@student.ub.ac.id, igordarma@student.ub.ac.id

Abstrak
Dalam sejarah mutakhir teori-teori sosial, terutama dalam bidang sosiologi
pendidikan, terdapat suatu revolusi penting yang terjadi di dalam linguistik. Revolusi ini
mengejar pemahaman mendalam terhadap struktur yang menjadi dasar dari bahasa, dan
dikenal dengan sebutan Strukturalisme. Strukturalisme mempengaruhi berbagai bidang ilmu
sosial, termasuk antropologi seperti karya Levi-Strauss dan teori Marxian seperti Marxisme
Struktural. Dari strukturalisme kemudian muncul gerakan post-strukturalisme, yang dibangun
di atas dasar-dasar strukturalisme tetapi mengembangkan cara berpikir yang berbeda. Dalam
konteks pendidikan Islam, penelitian terhadap struktur bahasa menjadi sangat signifikan
karena bahasa merupakan sarana komunikasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Konsep strukturalisme terkait dengan interpretasi kebudayaan melalui representasi
ideologis, khususnya dalam konteks sosial dan antropologi. Dalam bidang ini, strukturalisme
menyoroti perkembangan budaya melalui fenomena, praktik, dan aktivitas yang berfungsi
sebagai penanda sistematis. Strukturalisme membedakan antara organisasi nyata dan
organisasi imajiner. Di sisi lain, pasca-strukturalisme menolak kemandirian struktur-struktur
ini, fokus pada pengenalan oposisi biner yang mendefinisikan struktur-struktur tersebut.
Perbedaan ini dapat dilihat melalui tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Jaqcues Derrida,
dan Jaqcues Lacan, yang memperhatikan representasi budaya dan variasi moralitas dalam
pendekatan pasca-strukturalisme.

Strukturalisme
Filsafat ilmu adalah telaahan secara filsafat yang bermaksud untuk menjawab
berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan hakikat ilmu dengan mencangkup Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi. Dari pengertian tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa filsafat
ilmu merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan sebuah kebenaran, yang mana
kebenaran itu itu memiliki sifat yang dapat berubah-ubah sesuai kondisi dan waktu. Karena
itulah banyak teori-teori baru yang bermunculan dalam filsafat ilmu. Salah satu contoh
kebenaran dalam filsafat ilmu yaitu strukturalisme. Strukturalisme termasuk dalam teori
kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji berbagai pikiran yang terjadi
pada manusia.
Strukturalisme yang berasal dari Perancis pada tahun 1950-an menciptakan krisis
dalam studi bahasa Inggris pada akhir 1970-an dan awal 1980-an. Menurut teori
strukturalisme, kebenaran itu adalah apa yang diajarkan oleh struktur yang telah diciptakan
dan digunakan oleh semua masyarakat. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris,
structuralism ; latin struere (membangun), structura berarti bentuk bangunan. Dalam
pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalani dan
diciptakannya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki
peran, meskipun kemudian mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia
kembali akan terjebak di dalamnya. Era strukturalisme ini muncul setelah era
eksistensialisme yang marak setelah perang dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa
kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap
menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk
dunia. Beberapa tokoh dari strukturalisme yaitu Ferdinand de Saussure, Levi Strauss, Roland
Barthes, dsb.
Strukturalisme adalah aliran filsafat yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure.
strukturalisme sendiri adalah aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang
bermunculan dalam sejarah filsafat. Strukturalisme juga merupakan metode yang digunakan
untuk mempelajari ilmu tentang kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip linguistik.
metode struktural juga biasa dipakai untuk membahas tentang sejarah, kebudayaan, manusia
juga hubungan antara alam dan kebudayaan.
Struktur dapat diartikan menjadi suatu sistem konseptual apa pun yang memiliki tiga
sifat yaitu :
1. Keutuhan (sistem harus berfungsi secara keseluruhan).
2. Transformasi (sistem tidak boleh statis).
3. Pengaturan Mandiri (struktur dasar tidak boleh berubah).

Teori bahasa Saussure menekankan bahwa makna bersifat sewenang-wenang dan


relasional, di mana masing-masing arti bergantung pada posisinya dalam rantai, laki-laki-
perempuan, siang-malam, dll. di mana setiap unit hanya dapat didefinisikan dalam hal
kebalikannya.
Teori Saussurean menetapkan bahwa manusia atau realitas bukanlah pusat namun
bahasa itulah yang membentuk dunia. Saussure menggunakan sejumlah oposisi biner dalam
kuliahnya, salah satunya adalah pidato / tulisan. Saussure mengutamakan pidato, karena
menjamin subjektivitas dan kehadiran, sedangkan menulis, tegasnya, menunjukkan
ketidakhadiran, dari pembicara serta yang ditandakan. Hal ini yang kemudian dikritik oleh
Derrida sebagai fonosentrisme yang terlalu mengutamakan kehadiran daripada
ketidakhadiran, yang membuatnya mempertanyakan validitas semua pusat.
Saussure menggunakan istilah Langue (bahasa sebagai sistem) dan Parole (seorang
individu). ucapan dalam bahasa itu, yang lebih rendah dari Langue memberikan cara berpikir
strukturalis tentang struktur yang lebih besar yang relevan dengan sastra.

Ciri Strukturalisme
Ciri khas dari kebenaran strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan
aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat intrinsiknya yang tidak terikat
oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui
pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek
(hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-
ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam
bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat
strukturalisme pada status sistem filosofis.
Pemikiran Tokoh Strukturalisme
Ferdinand De Saussure
Ferdinand De Saussure, seorang sarjana Swiss merupakan pelopor linguistik modern
yang berkompeten dalam menganalisis makna pada sebuah teks maupun simbol-simbol yang
melatarbelakanginya. Pandangan ini adalah sebagai akibat adanya konsep-konsep terhadap
bahasa dan studi bahasa berupa sistem simbol maupun kode. Menurut De Saussure, bahasa
merupakan sistem tanda yang paling lengkap karena mengungkapkan ide-ide struktural
(simbol-simbol) yang diungkapkan dalam sistem tanda. Saussure memaknai sistem tanda
linguistik (linguistic sign) sebagai sesuatu yang terdiri dari dua bagian yang berkaitan erat,
yaitu penanda dan petanda. Ini menyoroti dua fitur penting bahasa. Pertama, bahasa sebagai
tanda linguistik bersifat arbitrer, yakni bersifat arbitrer. tidak ada hubungan alamiah antara
tanda dan yang ditandakan. Kedua, bahasa merupakan tanda sebagai suatu sistem makna
yang telah memperoleh makna (pemahaman).
a. Gagasan Saussure mengenai Strukturalisme
1. Sinkronik dan diakronik
Sinkronik mempelajari tentang bahasa pada kurun waktu tertentu. Ciri
khas dari sinkronik adalah memiliki sifat deskriptif. Dikatakan bersifat
deskriptif karena adanya penggambaran bahasa apa adanya pada masa
tertentu. Yang kedua bersifat horizontal dan mendatar, karena tidak ada
perbandingan bahasa dari masa ke masa.
Telaah diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa atau sepanjang
zaman bahasa digunakan oleh penuturnya. Diakronik berupaya mengkaji
bahasa (atau bahasa-bahasa) pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal
kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya bahasa tersebut (kalau bahasa
tersebut sudah punah, seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta). Adapun
ciri-ciri dari diakronik adalah diakronik menelaah bahasa tanpa ada batasan
waktu, kedua bersifat vertikal, karena melakukan perbandingan bahasa dari
masa ke masa, ketiga bersifat historis dan komparatif, dan yang keempat
perkembangan dan perubahan struktural bahasa dapat diketahui secara jelas.
2. Langage,langue dan parole
Langage merupakan bahasa universal yang bersifat abstrak. Menurut
Ferdinand De Saussure, bahasa bukanlah suatu fakta sosial, karena bahasa
mempunyai faktor kebahasaan tersendiri yang timbul dari kepribadian
penuturnya.
Langue adalah bahasa sebagai suatu sistem yang mengandung kaidah-
kaidah dan sudah menjadi konvensional. Langue adalah seperangkat konvensi
yang kita peroleh dan siap gunakan dari penutur sebelumnya. Bahasa pernah
dan dapat dipelajari karena merupakan seperangkat tanda-tanda linguistik
yang disepakati bersama. Tanda-tanda kebahasaan tersebut dapat menjadi
simbol teks biasa.
Parole adalah bahasa seperti ucapan yang dihasilkan secara individual.
Parole adalah totalitas dari apa yang diajarkan kepada orang-orang, termasuk
struktur individu yang muncul dari pilihan pembicara dan pengucapan yang
diperlukan untuk menghasilkan struktur berdasarkan pilihan bebas.
3. Significant dan signifie
Signifiant adalah aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan atau
didengar atau dibaca atau disebut dengan ”penanda”. Sedangkan signifie
adalah aspek mental dari bahasa atau gambaran dari mental, pikiran atau
konsep atau disebut dengan “yang ditandai”.

Claude Levi Strauss


Antropolog sosial Perancis Claude Levi-Strauss lahir di Belgia ada tahun 1908. Pada
saat ia di New York dan bertemu dengan Roman Jacobson dan mulai mengenali linguistik
modern dan menemukan kemungkinan-kemungkinannya untuk antropologi. Pemikirannya
terkenal dengan Strukturalisme dan Antropologi budaya. Dalam bukunya yang berjudul
“Struktur-struktur elementer kekerabatan” Strauss menganalisis dan menjelaskan sistem-
sistem kekerabatan primitif dengan memakai metode strukturalis. Levi Strauss menerapkan
pandangan strukturalis pada fenomena budaya seperti mitologi, hubungan kekerabatan, dan
persiapan makanan. Strauss menerapkan prinsip bahasa dan pembebasan bersyarat dalam
pencariannya akan struktur mental fundamental dari pikiran manusia. Levi Straus
berpendapat bahwa Strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena
budaya. Levi menggunakan bahasa sebagai dasar pendapatnya dalam strukturalisme. Levi
berpendapat bahwa setelah manusia lahir dia harus menggunakan bahasa yang ada di
sekitarnya, yang mana bahasa tersebut sudah terstruktur dan digunakan oleh masyarakat.
Menurut Claude Levi Strauss bahasa adalah sistem komunikasi, pertukaran, begitu
pula kekerabatan juga sistem komunikasi, karena klan-klan atau famili-famili atau grup-grup
sosial lain bertukar tukar-menukar wanita mereka. Dengan kata lain, sistem kekerabatan dan
sistem bahasa pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak disadari.
Menurut Levi-Strauss, sistem tanda merupakan representasi struktur luar yang akan
menggambarkan struktur dalam (underlying structure) dari human mind. Dalam analisis
strukturalnya, ia menjelaskan bahwa di dalam mitos terdapat hubungan unit-unit (yang
merupakan struktur) yang tidak terisolasi, tetapi merupakan kesatuan relasi-relasi yang dapat
dikombinasikan dan digunakan untuk mengungkapkan makna di balik mitos itu. Claude Levi
Strauss menyatakan bahwa penciptaan mitos memang tidak teratur, sebab si empunya cerita
biasanya menceritakan kembali mitosnya sekehendak hatinya. Namun, di dalam
ketidakteraturan dalam mitos itu, sebenarnya ada keteraturan yang tidak disadari oleh para
penciptanya. Keteraturan-keteraturan tersebut sering disebut struktur. Mitos tampak fantastis
dan sewenang-wenang, namun mitos dari budaya yang berbeda serupa. Oleh karena itu, ia
menyimpulkan bahwa pasti ada hukum universal yang mengatur mitos (dan semua pemikiran
manusia). Menurutnya mitos terdiri :
1. Unsur yang saling bertentangan atau bertentangan.
2. Unsur lain yang “menengahi” atau menyelesaikan pertentangan tersebut.
Menurut Levi-Strauss, setiap budaya dapat dipahami, dalam hal oposisi biner seperti
tinggi / rendah, di dalam / di luar, hidup / mati, dll., Sebuah ide yang ia tarik dari filosofi
Hegel yang menjelaskan bahwa dalam setiap situasi ada dua hal yang berlawanan dan
resolusi mereka, yang dia sebut tesis, antitesis dan sintesis. Levi-Strauss menunjukkan
bagaimana ide-ide yang berlawanan akan bertempur dan juga diselesaikan dalam aturan
hubungan dalam mitologi dan dalam ritual.
Analisis Strukturalis Claude Levi-Strauss, Levi Strauss mengembangkan analisis
mitos berdasarkan model linguistik. Menurutnya, ada berbagai kesamaan antara bahasa
dengan mitos. Persamaannya yang pertama terletak bahwa bahasa adalah sarana komunikasi
yang berfungsi menyampaikan pesan dari individu ke individu lainnya dan dari kelompok
satu ke kelompok lainnya. Seperti halnya tentang mitos yang disampaikan melalui bahasa
melalui proses penceritaan dari mulut ke mulut sehingga pesan tersebut bisa tersampaikan
(Sugiharto, 2013). Persamaan yang kedua, seperti bahasa, mitos juga mengandung aspek
langue dan parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue
adalah tempat berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia karena simbol tersebut
dimiliki bersama. Langue adalah sistem atau fakta sosial yang berisi aturan dan norma-norma
yang tidak disadari. Pada aspek langue-lah struktur tertentu dalam mitos yang dapat
ditunjukkan. Aspek parole/parok adalah tuturan yang bersifat individual, yang merupakan
cerminan kebebasan seseorang. Seperti halnya tentang penceritaan mitos yang berbeda-beda
(Putra dalam Sugiharto dan Ken, 2013: 8). Diakronik adalah adalah dimensi waktu yang
berkaitan dengan perkembangan masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
Sedangkan sinkronik merupakan aspek yang menjelaskan bahwa bahasa ada pada setiap
kejadian dan waktu tertentu. Dimensi sinkronik yang ada dalam mitos adalah rangkaian
mytheme-mytheme yang secara struktural terkait.

Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang kritikus sastra asal Prancis yang menganut aliran
strukturalisme dan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan teori
sastra. Roland Barthes merupakan tokoh besar lain pada fase awal strukturalisme kemudian
beralih ke Post-Strukturalisme dengan menerapkan analisis dan semiologi strukturalis pada
fenomena budaya yang luas. Karyanya mewujudkan transisi dari perspektif strukturalis ke
poststrukturalis.
Menurut Barthes, bahasa dalam karya sastra bukan hanya digunakan sebagai alat
untuk mengekspresikan emosi pengarang. Lebih dari itu, setiap karya sastra yang
mengandung makna juga mencakup penggunaan bahasa dan elemen-elemen linguistiknya.
Dengan kata lain, bahasa dan semua komponennya adalah bagian integral dari isi sastra.
Menurut Barthes, mitos adalah bahasa, cara pemaknaan. Ia mengulangi pandangan
Saussure bahwa semiologi terdiri dari tiga istilah: marker, signified dan sign, dimana tanda
merupakan hubungan antara penanda dan yang ditandai. Struktur mitos mengulangi pola tiga
dimensi ini. Mitos adalah sistem penandaan urutan kedua.
Dalam Mythologies ia meneliti Prancis modern dari sudut pandang seorang ahli teori
budaya. Ini adalah kritik ideologis terhadap produk-produk budaya borjuis massal, seperti
sabun, iklan, gambar Roma, dll., Yang dijelaskan dengan menggunakan konsep ‘mitos’.
Denotasi merupakan sistem makna pertama yang telah disepakati secara
konvensional. Denotasi menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi merupakan sistem makna kedua
yang tersembunyi. Tahap ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi. Selain itu, Barthes juga mengungkapkan bahwa ada mitos dalam
konsep semiotiknya. Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini
kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Dalam mitos, ada ideologi yang disampaikan.
Menurut Barthes, mitos dalam semiotik bukan merupakan sebuah konsep tapi suatu cara
pemberian makna (Sobur, 2016:71).
Dalam studi teks khususnya dalam karya sastra, Barthes mengaplikasikan analisis
naratif struktural yang telah ia kembangkan. Dengan metode ini, Barthes melakukan analisis
terhadap berbagai jenis teks, termasuk novel Sarrasine karya Balzac, tulisan-tulisan Edgar
Allan Poe, serta ayat-ayat dari kitab Injil. Dengan pendekatan ini, Barthes memeriksa struktur
naratif dan elemen-elemen penting dalam teks-teks tersebut untuk memahami makna dan
pesan yang terkandung di dalamnya.
Menurut Barthes, analisis naratif struktural berasal dari pengembangan awal linguistik
struktural dan akhirnya berkembang menjadi semiotika teks atau semiotika. Dalam istilah
sederhana, analisis naratif struktural juga dapat disebut sebagai semiotika teks karena
fokusnya pada analisis naskah. Pendekatannya adalah mencoba memahami makna suatu
karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan cara tertentu. Barthes
mencoba memberikan ruang yang lebih luas bagi variasi makna dan teks dengan memilah-
milah penanda-penanda dalam naratif menjadi serangkaian fragmen pendek yang disebutnya
sebagai leksia-leksia (lexias). Leksia-leksia ini adalah satuan-satuan pembacaan dengan
panjang pendek yang bervariasi. Sebuah leksia adalah bagian teks yang, ketika diisolasi,
memiliki dampak atau fungsi yang khas jika dibandingkan dengan teks lain di sekitarnya.
Sebuah leksia sebenarnya dapat berupa berbagai hal, terkadang hanya satu atau dua kata,
kadang-kadang kelompok kata, atau bahkan beberapa kalimat atau sebuah paragraf. Ini
tergantung pada sejauh mana kemudahan atau kenyamanannya. Dimensi leksia bervariasi
tergantung pada kedalaman konotasi-konotasinya yang dapat berubah sesuai dengan momen-
momen dalam teks. Selama proses membaca teks, leksia-leksia ini dapat diidentifikasi, baik
pada tingkat pertama interaksi antara pembaca dan teks, maupun saat unit-unit tersebut
diorganisir ulang untuk mencapai berbagai fungsi dalam tingkat pengorganisasian yang lebih
kompleks.
Menurut Roland Barthes dalam karyanya tahun 1985, sebuah teks setidaknya
beroperasi dengan lima kode pokok di dalamnya, yang memiliki penanda-penanda tekstual
(leksia) yang dapat dikelompokkan. Setiap leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari
lima kode ini. Kode tersebut merupakan sistem makna luar yang menyediakan dasar untuk
setiap tanda dalam teks. Menurut Barthes, ada lima jenis kode, yaitu kode hermeneutik (kode
teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proairetik (logika tindakan),
dan kode gnomik (kode kultural). Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkaitan dengan
harapan pembaca untuk menemukan "kebenaran" terkait pertanyaan yang muncul dalam teks,
dan kode teka-teki ini merupakan unsur terstruktur utama dalam narasi tradisional.
Dalam narasi, terdapat hubungan yang berkesinambungan antara munculnya suatu
peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya dalam cerita. Kode semik merujuk pada penggunaan
isyarat, petunjuk, atau "kilasan makna" yang timbul dari penanda-penanda tertentu dalam
teks. Sementara itu, kode simbolik adalah suatu kode yang mengelompokkan atau mengatur
konfigurasi tertentu yang mudah dikenali karena muncul secara teratur melalui berbagai cara
dan petunjuk dalam teks, seperti serangkaian antitesis, seperti hidup dan mati, di luar dan di
dalam, dingin atau panas. Kode proairetik atau kode tindakan, dianggap oleh Barthes sebagai
elemen kunci dalam teks yang membimbing pembaca. Kode ini melibatkan logika perilaku
manusia: tindakan-tindakan yang menghasilkan konsekuensi-konsekuensi, dan setiap
konsekuensi memiliki nama umumnya sendiri, mirip dengan "judul" untuk rangkaian
peristiwa tersebut. Sedangkan, kode gnomik atau kode kultural, menurut Barthes, sangat
beragam dan merujuk pada referensi teks ke objek-objek yang sudah dikenal dan
terkodifikasi oleh budaya. Dengan kata lain, kode ini mengacu pada elemen-elemen dalam
teks yang terhubung dengan pengetahuan dan norma-norma budaya yang ada.

Tzvetan Todorov
Tzvetan Todorov adalah seorang ahli strukturalisme asal Bulgaria yang mirip dengan
Greimas dalam kecenderungannya untuk fokus pada aspek linguistik dan tata bahasa dalam
analisis karya sastra. Dalam penelitiannya terhadap karya sastra, Todorov membagi cerita
menjadi tiga aspek: semantik, sintaksis, dan aspek verbal. Dari ketiga aspek ini, Todorov
lebih memusatkan perhatiannya pada aspek sintaksis, yaitu tata bahasa dan struktur kalimat
secara keseluruhan. Todorov menunjukkan minatnya pada aspek sintaksis melalui analisis
cerita "The Decameron". Dalam analisis ini, ia mengidentifikasi dua unit struktural dasar:
proposisi (propositions) dan urutan (sequences).
Propositions adalah elemen utama dalam sebuah kalimat yang mencakup tindakan
atau perbuatan yang tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut dan membentuk dasar dari
sebuah cerita. Sementara itu, sequences adalah unit hubungan atau keterkaitan antara
pernyataan yang membentuk suatu keseluruhan yang utuh dan dapat berdiri sendiri sebagai
cerita. Meskipun sebuah cerita dapat terdiri dari banyak sequences, hanya ada satu sequence
yang paling penting dan dominan dalam menentukan perkembangan alur cerita.
Todorov mengusulkan suatu model analisis linguistik dengan membagi cerita menjadi
tiga aspek: semantik, sintaksis, dan aspek verbal. Aspek semantik mencakup isi atau
kandungan cerita, aspek verbal melibatkan penggunaan bahasa untuk menyampaikan cerita,
sedangkan aspek sintaksis menyangkut hubungan dan struktur antar peristiwa dalam cerita.
Dalam analisisnya, Todorov lebih memusatkan perhatiannya pada aspek sintaksis.
Dalam analisis linguistiknya, Todorov pertama-tama mencari unsur atau unit paling
fundamental yang membawa prinsip atau ide cerita. Dia menggunakan analogi dengan
analisis linguistik, di mana fonem, morfem, dan elemen-elemen lainnya menjadi dasar
analisis bahasa. Dalam sintaksis cerita, unit yang memiliki peran sentral adalah klausa, yang
terdiri dari satu subjek dan satu predikat. Todorov melanjutkan analisisnya dengan
menentukan kategori tata bahasa primer cerita yang diteliti, seperti kata benda, kata sifat, dan
kata kerja.

Pascastrukturalisme
Pascastrukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidakpuasan atau
ketidaksetujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Pascastrukturalisme bisa
dikatakan bukanlah suatu paham yang berdiri sendiri, namun paham ini merupakan sisi lain
dari strukturalisme. Pascastrukturalisme lahir sebagai dekonstruksi dari strukturalisme.
Pascastrukturalisme mengadopsi metode strukturalisme tetapi mendorong struktur hingga
titik di mana ia bertentangan dengan dirinya sendiri, membatalkan dan menunda
eksistensinya. Tren ini sangat mencolok dalam dekonstruksi dan psikoanalisis Lacanian,
meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam pendekatan analisis wacana Foucaultian
antara strukturalisme dan Pascastrukturalisme. Pascatrukturalisme muncul setelah era
Strukturalisme, menandakan tahap perkembangan di dunia akademik yang menegaskan
keberadaannya.

Ciri Pascastrukturalisme
Pascastrukturalisme ditandai oleh ketidakpastian dalam makna karya, di mana makna
ditentukan oleh apa yang terjadi dalam teks, bukan oleh niat penciptanya. Terjadi pergeseran
dari fokus pada produksi seni ke pengalaman konsumen, di mana penerima karya seni juga
berperan sebagai pencipta, dan makna teks tidak terbentuk melalui refleksi pasif, melainkan
melibatkan pembaca sebagai pembuat makna. Karya seni bersifat anonim, tidak ada karya
yang memiliki hak eksklusif, semuanya terhubung dengan karya lainnya, dan makna teks
bergantung pada konteks dan interaksi pembaca. Teks tidak bersifat tertutup tetapi terbuka
karena terus menerus berinteraksi dengan pembaca

Pemikiran Tokoh Aliran Pascastrukturalisme

Jacques Derrida
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada 15 Juli 1930 dan merupakan seorang filsuf
Prancis keturunan Yahudi. Pada tahun 1949, ia pindah ke Prancis dan menetap di sana
sepanjang hidupnya. Pada tahun 1967, Derrida telah menjadi filsuf terkenal secara global. Ia
menerbitkan tiga karya utama, termasuk "Of Grammatology," "Writing and Difference," dan
"Speech and Phenomena." Meskipun karyanya memiliki pengaruh yang bervariasi, "Of
Grammatology" tetap menjadi karyanya yang paling terkenal.
Pada karya awalnya, Derrida menyampaikan kritik terhadap pemikir strukturalis
terkemuka seperti Saussure, antropolog Claude Lévi-Strauss, dan sejarawan intelektual serta
filsuf Michel Foucault. Sebagai hasilnya, terutama di Amerika Serikat, Derrida dianggap
sebagai pemimpin pergerakan melewati strukturalisme menuju "pascastrukturalisme," yang
meragukan kemungkinan adanya ilmu umum tentang makna. Dalam "Of Grammatology,"
Derrida mengungkapkan dan mempertanyakan oposisi antara ujaran dan tulisan, yang
menurutnya memiliki dampak besar pada pemikiran Barat. Dalam tulisannya, Derrida secara
kritis menilai karya-karya filosof, ilmuwan, dan sastrawan. Namun, kritiknya tidak bersifat
umum, melainkan dilakukan dengan pendekatan khusus. Melalui kritik dan komentarnya ini,
pemikiran Derrida berkembang secara bertahap. Dari kritikannya terhadap teks-teks yang
ada, Derrida menciptakan pemikiran baru dan menghasilkan teks-teks yang tidak terdapat
dalam karya-karya yang dia kritik. Pendekatan yang digunakan oleh Derrida ini dikenal
dengan istilah "dekonstruksi" atau "pembongkaran."
Dekonstruksi sendiri adalah metode membaca teks, baik sastra maupun filsafat, yang
didasarkan pada filosofi Jacques Derrida. Derrida dipengaruhi oleh pandangan fenomenologi
(Heidegger) dan skeptisisme (Nietzsche). Pendekatan ini menantang klaim strukturalisme
yang menyatakan bahwa sebuah teks memiliki makna yang tetap dalam struktur keseluruhan
di dalam sistem bahasa tertentu. Dekonstruksi sering disebut sebagai pascastrukturalisme
karena membangun teorinya dengan mempertentangkan dan merusak konsep-konsep
strukturalisme semiotik Ferdinand de Saussure. Mereka menggali akar konsep-konsep
strukturalisme klasik dan mengubahnya dengan pandangan baru.
Menurut Jacques Derrida,perbedaan antara strukturalisme dan pascastrukturalisme
terletak pada pandangan mereka terhadap bahasa. Strukturalis melihat bahasa sebagai sesuatu
yang teratur dan stabil dalam sistemnya, sedangkan pascastrukturalisme melihat bahasa
sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Pendekatan pascastrukturalisme
melibatkan kritik dan juga penerimaan terhadap konsep-konsep strukturalis, mengambil
elemen-elemen linguistik struktural sambil mengkritiknya dengan cara yang dianggap dapat
melampaui batasan strukturalisme.
Singkatnya, pascastrukturalisme menolak ide tentang struktur yang stabil yang
membentuk makna melalui pasangan-pasangan biner seperti hitam-putih atau baik-buruk.
Bagi paham Pascastrukturalisme, makna adalah sesuatu yang tidak tetap, selalu bergeser
dalam prosesnya, dan tidak terbatas pada kata, kalimat, atau teks tunggal, melainkan hasil
dari hubungan antar teks. Seperti pendekatannya yang sebelumnya, pascastrukturalisme
menolak konsep manusia sebagai subjek yang terpadu dan koheren, yang pada gilirannya
merupakan sumber makna yang stabil.
Dalam pandangannya terhadap pemikiran Saussure tentang definisi bahasa, Derrida
menilai bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Derrida mengkritik
pandangan logosentrisme dan fonosentrisme. Dia menyoroti kekurangan logosentrisme
karena mengabaikan dimensi materi dari bahasa, sementara fonosentrisme dianggapnya salah
karena mengutamakan ucapan dan mengesampingkan tulisan.
Walaupun mengkritisi konsep-konsep dasar adalah bagian biasa dalam praktik
filosofis tradisi Barat, pendekatan yang sangat ketat seperti yang diterapkan oleh Derrida
adalah hal yang jarang terjadi. Tulisan-tulisannya terkenal karena kehalusan yang sangat
ekstrem, perhatian yang sangat teliti terhadap detail, dan upayanya yang gigih dalam
menggali implikasi logis dari fitur-fitur "marginal" dalam teks-teks. Namun, karyanya
mendapat banyak penolakan dari sejumlah filsuf, terutama yang berada dalam tradisi Anglo-
Amerika. Pada tahun 1992, usulan dari Universitas Cambridge untuk memberikan gelar
doktor kehormatan kepada Derrida memicu kontroversi besar sehingga universitas tersebut
mengambil langkah tidak lazim dengan meminta pendapat para profesor melalui pemungutan
suara (Derrida memenangkan pemungutan suara); sementara itu, 19 filsuf dari berbagai
belahan dunia mengeluarkan surat protes di mana mereka mengatakan bahwa tulisan-tulisan
Derrida sulit dimengerti dan klaim-klaim utamanya dianggap sepele atau salah. Di
lingkungan yang sama, kritikus lain menggambarkan Derrida sebagai penentang rasionalitas
dan nihilisme dalam pemikiran filosofis yang dianggap "serius". Walaupun mendapat kritik
semacam itu, ide-ide Derrida tetap memiliki pengaruh besar dalam bidang filosofi dan
berbagai bidang lainnya.

Michel Foucault
Paul-Michel Foucault adalah seorang filsuf, sejarawan, intelektual, kritikus, dan
sosiolog asal Prancis. Pada tahun 1960-an, ia terkait dengan gerakan strukturalis, tetapi
kemudian ia mengambil jarak dari pemikiran ini. Meskipun sering diidentifikasi sebagai
seorang pascamodernis, Foucault selalu menolak label pascastriukturalis dan pascamodernis.
Michel Foucault memusatkan perhatiannya pada studi tentang tubuh manusia. Dalam
karyanya, Foucault menunjukkan bagaimana faktor budaya dan sosial mempengaruhi definisi
ilmiah dan universal tubuh manusia, yang berfluktuasi tergantung pada konteks waktu dan
tempat. Menurutnya, konsep alamiah tubuh, baik laki-laki maupun perempuan, dapat
diartikan dengan berbagai cara dalam berbagai budaya.
Dalam dekade 1960-an, filsuf-filsuf merayakan kematian subjek (atau pencipta awal)
yang dianggap sejajar dengan Tuhan. Setelah kematian Tuhan, manusia yang mengikuti
Tuhan juga dianggap mati karena mereka kehilangan makna yang diberikan oleh Tuhan.
Konsep humanisme pun dianggap sudah usang karena manusia tidak memiliki otoritas atau
makna tanpa keberadaan Tuhan.
Michel Foucault, seorang filsuf terkenal pada masa itu, menganggap subjek sejajar
dengan individu hanya dapat dipahami melalui analisis kekuasaan. Baginya, kekuasaan
bukanlah sesuatu yang konkret atau dapat dipegang, tetapi merupakan hasil dari berbagai
kekuatan yang saling terkait. Kekuasaan tidak dapat dimiliki oleh satu kelompok atau
individu, dan tidak terpengaruh oleh hukum atau kebenaran. Hubungan antara subjek dan
kekuasaan tidak bersifat sebagai pelaku dan produk. Sebaliknya, kekuasaan mempengaruhi
eksistensi subjek, dan subjek pada akhirnya dihilangkan oleh kekuasaan. Namun, Foucault
juga menawarkan gagasan bahwa kebebasan dan subjektivitas baru dapat ditemukan melalui
kontrol atas kekuasaan dan kehendak yang menciptakan subjek tersebut.
Foucault menggunakan konsep ini untuk membahas pengaturan kehidupan seksualitas
di Eropa pada masa pemerintahan Ratu Victoria I. Kekuasaan yang dimaksud oleh Foucault
harus dibatasi oleh struktur pemerintahan, dan dia menilai pendekatan mekanis dan ilmiah
lebih efektif daripada pendekatan mistis seperti yang diusulkan oleh fenomenologi. Meskipun
dia mengakui bahwa sains, seperti psikologi, dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan
filosofis, dia juga menyadari bahwa pendekatan ini memiliki keterbatasan. Oleh karena itu,
Foucault memilih untuk kembali pada pendekatan filosofis zaman pencerahan pasca
Descartes pada abad ke-17, yang mengutamakan dialog dan penelitian di bidang medis,
sesuai dengan pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.
Dalam pemikiran Foucault, pengaruh Nietzsche terlihat jelas, meskipun dia tidak
mengikuti Nietzsche sepenuhnya. Bagi Foucault, Nietzsche yang diikutinya adalah individu
yang memiliki orisinalitas, dan dia sendiri juga harus memiliki pandangan orisinal yang unik.
Foucault sering kali tidak sependapat dengan Nietzsche, seperti yang tercermin dalam
teorinya, Genealogi Foucault. Baginya, bahasa tidak bisa dipisahkan antara "apa yang ditulis"
dan "apa yang ditafsirkan"; keduanya saling terkait tanpa pemisahan yang jelas. Ini
mencerminkan pandangannya tentang subjek dan objek, di mana bahasa yang tertulis dan
penafsirannya tidak dapat dipisahkan dalam konteks subjek dan objek. Keduanya tersebar
tanpa urutan yang kaku atau struktur yang baku.
Dalam dekade 1960-an, filsuf-filsuf merayakan kematian subjek (pencipta awal) yang
dianggap sejajar dengan Tuhan. Setelah kematian Tuhan, manusia yang mengikuti Tuhan
juga dianggap mati karena mereka kehilangan makna yang diberikan oleh Tuhan. Manusia
yang mengikuti Tuhan tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri tanpa Tuhan yang
memberikan makna pada keberadaannya. Akibatnya, filsafat yang selama ini berkutat pada
humanisme dianggap sudah berakhir. Namun, Foucault merasakan kesedihan karena
kehilangan makna seiring dengan hilangnya subjek (Tuhan) tersebut. Dalam konteks ini,
manusia baru dapat "dibangkitkan" kembali, tetapi Foucault merasakan kehilangan makna
karena kepergian subjek (Tuhan) tersebut.
Berbeda dengan pendekatan strukturalisme yang fokus pada bahasa, pendekatan
Foucault dan pascastrukturalisme secara umum melibatkan berbagai teori dan pendekatan.
Dalam teorinya, Foucault menggabungkan konsep-konsep dari pemikiran lain, yang
meskipun memengaruhi pandangannya, tidak menghambat perkembangan teorinya sendiri.
Bagi Foucault, bahasa tidak terbatas pada yang tertulis dan maknanya saja; keduanya saling
terkait dan tak dapat dipisahkan. Ini mencerminkan pandangannya tentang subjek dan objek,
bahwa bahasa yang tertulis dan maknanya tak dapat dipisahkan dalam konteks subjek dan
objek, melainkan saling tergantung tanpa struktur yang baku.

Jacques Lacan
Jacques Marie Émile Lacan (13 April 1901 hingga 9 September 1981) adalah tokoh
utama dalam kehidupan intelektual Paris sepanjang abad ke-20. Kadang-kadang disebut
sebagai "Freud Prancis," dia merupakan figur penting dalam sejarah psikoanalisis. Ajaran dan
tulisannya menjelajahi makna penemuan Freud tentang ketidaksadaran baik dalam teori
maupun praktik analisis itu sendiri, sekaligus dalam hubungannya dengan berbagai disiplin
lain. Terutama bagi mereka yang tertarik dengan dimensi filosofis pemikiran Freud, karya
Lacan sangat berharga. Selama lebih dari lima puluh tahun terakhir, gagasan-gagasan Lacan
telah menjadi pusat dalam berbagai penerimaan hal-hal yang bersifat psikoanalitis, terutama
dalam lingkup filsafat kontinental.
Jacques Lacan merupakan figur berpengaruh dalam bidang psikoanalisis karena
interpretasinya yang baru terhadap karya-karya Freud. Selain diakui sebagai inovator dalam
psikoanalisis, Lacan juga dianggap merombak teori psikoanalisis konvensional. Dia adalah
seorang terapis asal Prancis yang memiliki latar belakang dalam filsafat dan surealisme.
Lacan berpendapat bahwa terutama psikoanalisis di Amerika telah menjauh dari konsep awal
yang diperkenalkan oleh Freud.
Menurut Jacques Lacan, manusia dilahirkan dengan rasa kekurangan yang mendalam
dan sepanjang hidupnya mencoba mengatasi keadaan ini. Meskipun kekurangan ini dirasakan
dan diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda oleh setiap individu, ia tetap merupakan
ungkapan yang tidak dapat direpresentasikan sepenuhnya dari kondisi kekurangan yang
mendasar.
Dalam penelusuran kembali teori subjektivitas yang berasal dari karya Sigmund
Freud, Lacan menginterpretasi kembali konsep-konsep Freud untuk menjelaskan dan
memberikan pemahaman baru. Lacan mengemukakan gagasan bahwa nirsadar adalah domain
yang terstruktur mirip dengan bahasa, berbeda dengan pandangan Freud yang menganggap
nirsadar mengandung insting-insting. Bagi Lacan, nirsadar tidak dapat dipisahkan dari
bahasa.
Lacan menekankan pentingnya bahasa sebagai unsur dalam alam bawah sadar, dan ia
berusaha menggabungkan studi bahasa (sebagaimana dipraktikkan dalam linguistik modern,
filsafat, dan puisi) ke dalam teori psikoanalitik. Kontribusi utamanya adalah reinterpretasi
karya Freud dengan menggunakan pendekatan linguistik struktural yang dikembangkan oleh
penulis-penulis Perancis pada paruh kedua abad ke-20. Pengaruhnya meluas tidak hanya
dalam bidang psikoanalisis, tetapi juga menjadikannya salah satu tokoh dominan dalam
budaya Prancis pada tahun 1970an. Dalam praktik psikoanalisisnya, Lacan terkenal dengan
metode terapi yang tidak konvensional dan bahkan eksentrik.
Baginya, bahasa adalah suatu sistem ekspresi yang tidak pernah mampu sepenuhnya
menggambarkan ide atau perasaan yang ingin diungkapkan. Faktanya, sistem linguistik
berada di luar kendali manusia yang menjadi subjeknya. Orang yang menggunakan bahasa
berada jauh dari sistem tanda itu sendiri. Ada kesenjangan yang besar antara apa yang
dirasakan oleh individu dan cara sebuah sistem bahasa memungkinkan pengguna bahasa
mengungkapkan perasaan atau pengalaman tersebut.

Jean Baudrillard
Jean Baudrillard (1929-2007) adalah seorang pemikir yang sulit diposisikan dalam
kerangka filsafat tradisional dan kontemporer. Karyanya mencakup filsafat, teori sosial, dan
metafisika budaya, merefleksikan peristiwa dan fenomena penting di zamannya. Sebagai
seorang kritikus tajam terhadap masyarakat, budaya, dan pemikiran kontemporer. Namun, ia
juga dapat dipahami sebagai seorang pemikir yang menggabungkan kritik sosial dan budaya
dengan cara-cara yang orisinal dan provokatif. Gaya penulisannya sangat khas, menciptakan
bentuk tulisan yang unik dan berbeda. Baudrillard sangat produktif, menerbitkan lebih dari
lima puluh buku yang mengomentari fenomena budaya dan sosiologi paling menonjol dalam
era kontemporer. Karyanya mencakup berbagai topik, termasuk penghapusan perbedaan
gender, ras, dan kelas dalam masyarakat konsumen modern. Dia juga mengamati dampak
media, teknologi, dan informasi baru serta perubahan mendasar dalam politik, budaya, dan
manusia. Baudrillard menyoroti peran seni dan estetika yang berubah serta mencermati
dampak media baru dan teknologi sibernetik dalam menciptakan tatanan sosial yang berbeda
secara kualitatif. Melalui karyanya, Baudrillard memperkenalkan gagasan tentang mutasi
mendasar dalam kehidupan manusia dan sosial yang disebabkan oleh perkembangan media
dan teknologi.
Menurut Baudrillard, nilai suatu barang dibentuk oleh empat proses. Pertama, nilai
kegunaannya, misalnya sebuah mobil untuk bertransportasi atau sebuah tas untuk menyimpan
barang. Kedua, nilai tukarnya atau nilai ekonominya, seperti harga mobil dalam sejumlah
sepeda motor atau nilai tas dalam sebulan gaji. Ketiga, nilai simboliknya, yaitu nilai yang
diberikan seseorang kepada barang karena kaitannya dengan hal lain, seperti nilai seorang
ijazah atau cincin pernikahan. Keempat, nilai "tanda" atau nilai barang dalam sistem tanda,
seperti merek Mercedes atau Hermes yang sebenarnya memiliki fungsi yang sama seperti
mobil dan tas lainnya, tetapi menandakan kelas dan selera tertentu.
Menurut Baudrillard, nilai pertama dan kedua saat ini telah tercampur aduk oleh nilai
ketiga, terutama oleh nilai keempat. Haryatmoko menjelaskan bahwa saat ini orang membeli
barang bukan karena kebutuhan akan nilai fungsionalnya, tetapi karena dorongan untuk
menunjukkan status sosial. Contohnya, minum kopi di Starbucks atau mengendarai Harley
Davidson lebih didorong oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial daripada kebutuhan
akan manfaat praktis. Orang mungkin merasa bahwa mereka melakukan hal-hal tersebut
secara sukarela, namun sebenarnya mereka terjebak dalam tekanan struktur sosial yang
menciptakan perbedaan kelas berdasarkan konsumsi.
Baudrillard, seperti banyak pemikir Pascastrukturalisme lainnya, mengambil inspirasi
dari konsep strukturalisme semiotik Ferdinand de Saussure tentang sistem tanda. Dalam
sistem ini, terdapat penanda yang digunakan untuk merujuk pada realitas, seperti kata "kuda"
untuk mengidentifikasi mamalia berkaki empat, dan petanda yang merupakan objek
sebenarnya, yaitu kuda itu sendiri. Saussure menjelaskan bahwa makna dapat dipahami
ketika hubungan antara penanda dan petanda disepakati secara arbitrer, tergantung pada
perbedaannya dengan kata-kata lain, misalnya "kuda" adalah "kuda" karena bukan "kucing"
atau "anjing". Baudrillard melangkah lebih jauh dengan argumennya bahwa karena
pemahaman tentang objek tergantung pada apa yang menandainya dan penanda bergantung
pada perbedaannya dengan makna objek lain atau dalam suatu jaringan makna, penanda
akhirnya bisa kehilangan kemampuannya merepresentasikan objek atau realitas, bahkan
hingga tidak memiliki asal usul realitas sama sekali. Kondisi ini oleh Baudrillard disebut
sebagai hiperrealitas, hasil dari simulasi atas realitas.
Dalam hiperrealitas, penanda terlihat lebih nyata daripada petanda atau realitas itu
sendiri. Sebagai analogi, pura-pura sakit hanya memerlukan palsu satu atau dua gejala
penyakit. Namun, simulasi sakit akan menciptakan semua gejala, sehingga sulit untuk
membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Iklan adalah contoh sempurna dari
simulasi ini. Orang tidak lagi dapat membedakan mana yang nyata di antara penanda dan
petanda karena perbedaan di antara keduanya telah dihapus atau dimanipulasi. Iklan properti
mewah, misalnya, dapat membuat orang berbondong-bondong membelinya meskipun proyek
perumahan itu belum ada yang dibangun. Begitu juga dengan iklan politik yang menampilkan
politisi sebagai tokoh rakyat jelata, padahal sesungguhnya dia adalah seorang pengusaha
kaya.
Pemikiran Baudrillard memang tidak menawarkan definisi yang jelas tentang apa
yang benar-benar nyata, sehingga menciptakan rasa kebingungan dan kesia-siaan dalam
pencarian makna manusia modern. Namun, kontribusinya terletak pada pengungkapan bahwa
sistem tanda dan pemaknaan dalam era modern telah mengaburkan batas antara yang nyata
dan yang palsu.

Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu, lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin (Pyrénées-Atlantiques) dan
meninggal karena kanker paru-paru pada 23 Januari 2002 di Paris, merupakan salah satu
tokoh penting dalam bidang filsafat, sosiologi, dan antropologi pada paruh kedua abad ke-20.
Pengaruhnya meluas ke berbagai bidang ilmu sosial, termasuk filsafat, sosiologi, antropologi,
sejarah, ilmu politik, ekonomi politik, teori pendidikan, feminisme, teori sastra, kritik seni,
dan teori komunikasi. Bourdieu dikenal sebagai intelektual publik yang sangat berkomitmen
hingga akhir hayatnya.
Salah satu konsep utama dalam pemikirannya meliputi "habitus", "modal", "ranah"
atau "arena", dan "kekerasan simbolik". Konsep "habitus" Bourdieu menjadi terkenal karena
kemampuannya dalam mengatasi pemisahan antara individu dan masyarakat, struktur dan
agen, serta objektivisme dan subjektivisme. Pendekatan ini dikenal sebagai strukturalisme
genetik atau konstruktivisme strukturalis.
Pierre Bourdieu telah mengembangkan teori perjuangan kelas Karl Marx dengan
mengkritik fokus Marx pada perbedaan kelas berdasarkan kepemilikan alat produksi.
Bourdieu menyatakan bahwa Marx mengabaikan kelas-kelas yang muncul karena
dominasi simbolis atau budaya. Dominasi ekonomi kadang-kadang dapat berjalan lancar
berkat dominasi simbolis. Dalam konteks dominasi simbolis, mereka yang didominasi malah
menerima dan bahkan merasa solidaritas dengan yang mendominasi, menciptakan konsensus
tentang tatanan yang ada. Oleh karena itu, ketika Bourdieu membagi masyarakat menjadi
kelas-kelas sosial, ia memasukkan modal budaya sebagai salah satu faktor pertimbangan.
Kelas pertama atau yang paling dominan tidak hanya diisi oleh mereka yang memiliki
kekayaan ekonomi besar seperti industrialis atau bankir, tetapi juga oleh mereka yang
memiliki modal budaya tinggi, seperti eksekutif papan atas dan kaum intelektual yang lulus
dari sekolah-sekolah prestisius. Meskipun keduanya sama-sama memaksakan visi dunia dan
kepentingan mereka kepada kelas di bawahnya, kadang-kadang kedua kelompok dominan ini
saling bertentangan.
Kelas kedua terdiri dari borjuis kecil, seperti karyawan atau eksekutif kelas
menengah. Mereka memiliki ambisi untuk naik ke kelas dominan dan cenderung mengadopsi
gaya hidup yang kaku, menghormati dan meniru budaya kelas dominan.
Kelas ketiga terdiri dari buruh, petani, dan karyawan berupah kecil. Mereka tidak
hanya kekurangan modal ekonomi, tetapi juga memiliki modal budaya yang terbatas.
Bourdieu menyadari bahwa ketidaksetaraan dalam masyarakat tidak hanya terbatas pada
aspek ekonomi, melainkan juga mencakup dimensi budaya, dan ini mempengaruhi cara
individu-individu ini berinteraksi dalam struktur sosial.

Perbedaan Srtukturalisme dan Pascastrukturalisme


Definisi:
Strukturalisme: Ini adalah pendekatan dalam ilmu sosial dan humaniora yang
menekankan pentingnya struktur dan organisasi dalam menganalisis fenomena sosial dan
budaya. Strukturalisme percaya bahwa masyarakat dan budaya dapat dipahami melalui
struktur internalnya.
Pascastrukturalisme: Ini adalah perkembangan dari strukturalisme yang menolak ide
bahwa ada struktur atau makna tetap dalam bahasa, budaya, atau realitas sosial.
Pascastrukturalisme mencurigai kesatuan makna dan mencari keragaman dan ketidakstabilan
dalam interpretasi.

Pendekatan Terhadap Bahasa


Strukturalisme: Strukturalis percaya bahwa bahasa adalah sistem simbolik dengan
aturan-aturan tertentu yang dapat diidentifikasi dan dianalisis untuk memahami makna.
Pascastrukturalisme: Pascastrukturalis menekankan keragaman makna dan
kompleksitas bahasa. Mereka berpendapat bahwa bahasa tidak pernah stabil dan selalu berada
dalam perubahan dan pergeseran makna.

Subjektivitas
Strukturalisme: Strukturalis lebih cenderung melihat subjektivitas sebagai hasil dari
struktur sosial dan budaya yang ada. Individu dianggap sebagai produk dari struktur.
Pascastrukturalisme: Pascastrukturalis mengakui kerumitan subjektivitas dan menolak
pandangan bahwa identitas dan kebenaran dapat didefinisikan secara tetap. Mereka
mempertanyakan konsep otoritas dan kebenaran objektif.
Penekanan Pada Sejarah dan Konteks
Strukturalisme: Strukturalisme cenderung melihat fenomena dalam konteks
strukturalnya dan tidak selalu mempertimbangkan sejarah atau konteks sosial yang lebih luas.
Pascastrukturalisme: Pascastrukturalis memperhatikan sejarah, konteks, dan
kekuasaan dalam membentuk makna dan identitas. Mereka mempertanyakan sejarah sebagai
konstruksi dan meneliti bagaimana kekuasaan mempengaruhi narasi sejarah.

Pandangan Terhadap Kebenaran


Strukturalisme: Strukturalis percaya bahwa ada kebenaran objektif yang dapat
diidentifikasi melalui analisis struktural.
Pascastrukturalisme: Pascastrukturalis mencurigai ide kebenaran objektif dan
mengakui bahwa pandangan manusia selalu terbatas dan terbentuk oleh konteksnya.

Kesimpulan
Kesimpulannya, strukturalisme menekankan pada struktur, aturan, dan kesatuan
makna dalam bahasa dan budaya, sementara pascastrukturalisme menekankan pada
keragaman, kompleksitas, dan pergeseran makna. Pascastrukturalisme juga mencurigai
kebenaran objektif dan menyoroti peran konteks sosial, sejarah, dan kekuasaan dalam
pembentukan makna dan identitas.
Dengan demikian, perbedaan inti antara strukturalisme dan pascastrukturalisme
terletak pada pandangan mereka terhadap stabilitas makna, peran bahasa, dan pengaruh
konteks sosial serta kekuasaan dalam pembentukan identitas manusia. Strukturalisme
menyoroti kesatuan dan aturan-aturan dalam bahasa dan budaya, sementara
pascastrukturalisme menekankan keragaman, kompleksitas, dan pergeseran makna, serta
mencurigai kebenaran objektif dan menyoroti peran konteks sosial, sejarah, dan kekuasaan
dalam membentuk makna dan identitas manusia.
Daftar Pustaka
Hasibuan, Abdullah.(2015). Perbedaan Teori Linguistik Ferdinand De Saussure dan
Noam Chomsky. Jurnal Metamorfosa, 11(2), 22-24.
Sumiati dkk. (2021). Analisis Strukturalisme Levi-Strauss Lima Sastra Lisan Di
Kecamatan Sepulu Kabupaten Bangkalan Jawa Timur. Diperoleh dari http://repo.stkippgri-
bkl.ac.id/1246/1/SUMIATI_1734411034_ARTIKEL_PBSI-17.pdf
Sugiharto & Widyawati. 2013. “Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian Strukturalisme
Levi-Strauss)”. Tesis. Semarang: Universitas di Penogoro.
Nuarca, I Ketut. (2017). Strukturalis Semiotik Dalam Ilmu Sastra. Diperoleh dari
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/17715/1/4c010c2e18510fad49a34336ea4b8804.pdf
Antropedia Kawan Undip. (2020). Penjelasan Lengkap Teori Strukturalisme.
Diperoleh dari https://antropediakawanundip.wordpress.com/2020/09/21/pengertian-
struktualisme-bincang-teori/
Taum, Yoseph Yapi. (2014). Strukturalisme Levi-Strauss Sebagai Paradigma
Penyelesaian Konflik: Studi Kasus Dua Legenda Rakyat Nusantara. Jurnal Sintesis, 8(2),79-
81.
Lustyantie, Ninuk. (2012). Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes Dalam Karya
Sastra Prancis. Diperoleh dari https://pps.unj.ac.id/publikasi/dosen/ninuk.lustyantie/16.pdf
Wasilah, Deanawati Insani Wasilah. (2021). Kajian Post Strukturalisme terhadap
Fenomena Aplikasi Ojek Online (Gojek) di Indonesia. Jurnal Interior Design
Pristy, Kirana Lalita. & Budiarso, Sony. (2021, 10 Mei). Pasca-Strukturalisme:
Paradigma Alternatif dalam Riset Akuntansi. from Pasca-Strukturalisme: Paradigma
Alternatif dalam Riset Akuntansi - FEB UGM
Haryatmoko. 2016. Membongkar Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis.
Yogyakarta: PT Kanisius
Derian, J. D. (1989). International/Intertextual Relations, Postmodern Reading of
World Politics. New York: Lexington Books
Bainus, Arry., & Rachman, Junita Budi. (2019). Editorial: Linguistic Turn Dalam
Hubungan Internasional. Journal of International Studies , 4(1), 1-8.
Rohman, Abdul. (2018). ALIRAN STRUKTURALISME [Word]. Diperoleh dari
https://lms-paralel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file=%2F93559%2Fmod_resource
%2Fcontent%2F1%2F10_7155_psi118_112018_doc%20Strukturalisme.doc
John Lechte., 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai postmodernitas,
Yogyakarta: Kanisius, 2001, Hal. 114-120
Campbell, David, 2007. Poststructuralism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith
(eds.)International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 203-228.

Anda mungkin juga menyukai