Anda di halaman 1dari 10

1.

Perkembangan Strukturalisme
Strukturalisme adalah bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang
perkembangannya diawali di Perancis melalui tokoh Ferdinand de Saussure.
Saussure adalah ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913).
Istilah strukturalisme sendiri diperkenalkan kali pertama oleh Roman Jakobson
seorang ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah
berkutat pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan
yang disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dll. Saussure
menyebutkan bahwa dalam bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda
bahasa mempunyai hubungan dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda
tersebut adalah relasi keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda,
dan karena inilah setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini
kemudian dikenal dengan istilah oposisi biner (binary opposition). Pemahaman
lebih jauh pada relasi-relasi antar tanda kemudian secara khusus disebut dengan
ilmu semiotika atau semiologi.
Semiotika sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu
semieon, yang artinya adalah “tanda”. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi
biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang
mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir
strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda
kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka,
terdiri dari unsur “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Kedua, elemen
tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari
keduanya inilah yang kemudian menghasilkan “tanda” (sign). Penanda adalah
aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda
bahasa. Pendekatan strukturalis terhadap sastra memperlakukan kata sebagai
tanda. Tanda biasanya bermakna karena mereka bersinggungan dengan kode-kode
yang memiliki makna tertentu pada kata tersebut.
Teori Struktural menjadi semakin kuat setelah Levi Strauss
mengembangkannya ke ranah yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog,
pandangannya pada konsep-konsep linguistik banyak dipengaruhi oleh
antropologi. Kita dapat melihatnya pada konsep oposisi biner. Oposisi biner yang
oleh Saussure hanya berkutat pada sistem keberbedaan tanda dengan tanda
lainnya, menjadi lebih luas di tangan Levi Strauss. Oposisi biner adalah the
essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita
terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup.
Strauss memandang bahwa cara pandang seseorang dihasilkan dari proses
kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat eksis tanpa berhubungan dengan
kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan kategori lain). Terbentuknya
struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh
karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations
atau system of relation (sistem relasi).
Kontribusi utama kajian struktur dalam kesusastraan dibentuk melalui
pergerakan intelektual yang disebut “strukturalisme”. Isi buku Course in General
Linguistik (1916) karya Ferdinand de Saussure adalah tentang pemikiran yang
menjadi dasar pergerakan ini. Saussure berpendapat bahwa bahasa seharusnya
tidak dipelajari karena bahasa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari; tetapi
linguistik harus mempelajari sistem peraturan yang terdapat dalam bahasa dan
memungkinkan terjadinya pelbagai macam yang diucapkan sehari-hari.
Pendekatan strukturalisme biasa disebut juga dengan pendekatan objektif
yakni pendekatan penelitian sastra yang mendasarkan pada karya sastra tersebut.
Secara keseluruhan (otonom). Pendekatannya dilihat dari eksistensi sastra itu
sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku, konvensi tersebut adalah aspek-
aspek intrinsik karya sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur
kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Yang jelas penilaian yang
diberikan diihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut
berdasarkan keharmonisan semua unsur-unsur pembentuknya.
Konsep teori strukturalisme yang paling pokok ditunjukkan ialah peranan
unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya secara fungsional di antara
unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan
jumlah unsur -unsurnya. Menurut Jean Peaget ada tiga dasar konsep
strukturalisme:
1) Unsur kesatuan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas,
2) Transformasi sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan
terjadinya saling keterkaitan antar unsur pembentuk,
3) Regulasi diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuatan dari
dalam dan unsur-unsur pembentuknya saling mengatur dirinya sendiri.
Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni
suatu metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur
intrinsik karya sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat,
tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsur-unsur yang dipaparkan
berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi saling keterkaitan antar
unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri (self regulating).
Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme karya sastra di
pandang dari aspek dalam saja yakni konsep bentuk dan isinya. Sebagaimana
yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan dengan
konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan oleh
Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma. Pengertiannya
adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan yang di
artikan. Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling berkaitan.
Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra, penelaah
harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini terrefleksi
melalui unsur bahasa.

2. Tokoh-tokoh dan Konsep Dasar Teori Strukturalisme


a. Aristoteles
Empat konsep Aristoteles yaitu :
1) Order berarti urutan dan aturan. Urutan aksi harus teratur dan logis.
2) Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, dan tidak bisa
bertukar tempat tanpa mengacaukan keseluruhannya.
3) Complexity berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekomplekan karya
harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang logis
untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun
sebaliknya.
4) Coherence berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebutkan hal-
hal yang benar terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi
dalam rangka keseluruhan plot.
b. Ferdinand De Saussure
Secara garis besar, konsep Saussure menganggap linguistik merupakan
ilmu yang otonom. Jika ditarik dalam ilmu sastra, maka karya sastra juga
memiliki sifat keotonomian sehingga pembicaraan mengenai karya sastra
tidak perlu dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
c. Kaum Formalis
Tokoh-tokoh kaum formalis yaitu :
1) Jakobson 3) Erchenbaum
2) Shklovsky 4) Tynjanov
Teori kaum formalis dalam waktu singkat antara 1915 dan 1930 telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga tidak mungkin
pendirian formalis disimpulkan dalam satu rumusan saja. Adapun konsep
kaum formalis yaitu :
a) Konsep yang sangat penting dalam pandangan kaum formalis adalah
konsep dominan ciri yang paling menonjol menurut pendapat dan
pengalaman mereka dalam sebuah karya sastra (seringkali pula dalam
aliran atau zaman tertentu) aspek bahasa tertentu secara dominan
menentukan ciri-ciri khas hasil karya sastra.
b) Konsep kaum formalis bersifat otonom artinya dapat dipahami sebagai
kesatuan yang bulat.

3. Kelebihan Teori Strukturalisme


Kelebihan dari teori strukturalisme adalah sebagai berikut:
1) Teori stukturalisme hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu
dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana prasarana
penelitian secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya
genre sastra.
2) Menumbuhkan prinsip antarhubungan baik itu hubungan masyarakat
dengan sastra, minat mayarakat terhadap penelitian interdisipliner,
memberi pengaruh terhadap berkembangnya teori sastra.
3) Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa
manusia pada pemahaman yang maksimal.

4. Kekurangan Teori Strukturalisme


Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme ini disebabkan
karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsip objektivitas pada
struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai
berikut:
1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra
kehilangan relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari
permasalahan manusia.
2) Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam
penafsiran terhadap karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya
karena penafsiran tersebut akan mengorbankan ciri khas kepribadian, cita-
cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut
dalam kultur sosial tertentu. Otomatis keobjektivitasannya akan diragukan
lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan
pembaca di dalam penafsiran karya sastra tersebut.
3) Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvensi
kesusastraan sehingga pemahaman terhadap terhadap genre dan sistem
sastra sangat terbatas sekali.

5. Penerapan teori strukturalisme dalam karya sastra asing:


a. Drama “King Lear” karya William Shakespears
b. The Map karya Elizabeth Bishop
c. Hold Me Fast, Don’t Let Me Pass karya Alice Munro
d. Film “The Searchers” tahun 1950-an

6. Contoh Analisis Struktural Karya Sastra Indonesia: Unsur Intrinsik dan


Ekstrinsik Naskah Drama Roh karya Wisran Hadi

IDENTITAS BUKU
Judul buku : 5 Naskah Drama (Pemenang Sayembara Dewan Kesenian
Jakarta).
Judul Drama : Roh.
Pengarang : Wisran Hadi.
Penerbit : PT. Grasindo 2005.

SINOPSIS
Drama roh menceritakan tentang seorang dukun yang dapat membuat
hubungan antara manusia dengan roh atau arwah nenek moyang. Perantara itu
bernama Manda.
Suatu saat datang seorang ibu kepada Manda untuk meminta pertolongannya.
Ia bernama Ibu Suri. Ibu Suri sebenarnya hanyalah panggilan. Dia bukan ibu dari
seorang raja atau istri dari raja, maupun bangsawan manapun. Ibu Suri, seorang
perempuan yang bersetatus sebagai ibu yang menganggap dirinya ibu dari Suri.
Sebenarnya Ibu Suri tidak percaya benar kepada roh yang dapat masuk kedalam
diri perantara. Tapi apa boleh buat, Ibu Suri terpaksa melakukannya karena secara
tradisi dia diyakinkan akan peranan roh-roh atau arwah nenek moyang dalam
kehidupan manusia. Dia mau mengikuti tradisi itu karena yakin akan dapat
menemui Suri.
Proses ritual pemanggilan roh kedalam tubuh Manda mulai berlangsung.
Manda menggigil, kain hitam yang menyelimutinya bergoyang-goyang.
Kemudian manda berdiri dan berputar-putar seperti gangsing. Tubuh Manda telah
berhasil dirasuki roh yang dipanggil.roh itu segera memperkenalkan diri dan
menawarkan bantuan kepada Ibu Suri. Ibu Suri langsung antusias dan bertanya
perihal Suri kepada roh itu.
Secara bergantian roh-roh itu datang, dan Ibu Suri pun terus bertanya perihal
Suri. Namun Ibu Suri tidak puas atas keterangan para roh itu tentang suri.
Jawaban para roh tidak memberikan kepastian akan keberadaan Suri. Apalagi
Manda menyangsikan keberadaan suri. Ibu Suri harus bertindak dan memastikan
suri hingga dapat meyakinkan dirinya.
Ibu Suri marah karena para roh yang diundang Manda adalah roh para bandit
dan penipu, bukan roh nenek moyang. Karena tidak percaya lagi kepada Manda,
Ibu Suri sendiri yang melakukan pemanggilan roh tersebut. Dia akan mengundang
roh yang jujur dan arwah nenek moyang yang budiman.
Walaupun melakukan dengan tangannya sendiri, tetapi Ibu Suri tetap gagal
dalam mencari informasi keadaan Suri. Ibu Suri malah menganggap kuburan yang
ada di depannya adalah kuburan suri. Manda menjelaskan bahwa kuburan itu
bukan kuburan Suri, tetapi Ibu Suri bersikeras pada pendiriannya. Bahkan
menyuruh para roh untuk menggali kuburan tersebut. Tiba-tiba Ibu Suri tersentak
kaget, karena wajah jasad yang terbungkus kain kapan itu adalah wajah yang
sangat dikenalnya yaitu wajah Manda.

UNSUR INTRINSIK
1. Tema
 Tema utama : Mistik / Alam ghaib
 Tema khusus : Ritual pemanggilan roh nenek moyang
“...aku akan memanggil roh-roh yang jujur...”
2. Alur : Maju
Tahapan alur :
 Eksposisi : Ibu Suri sebenarnya hanyalah panggilan. Dia bukan ibu dari
seorang raja atau istri dari raja, maupun bangsawan manapun. Ibu Suri,
seorang perempuan yang bersetatus sebagai ibu yang menganggap dirinya ibu
dari Suri. Sedasngkan siapa Suri itu sendiri dia pun sulit untuk menjelaskan
apa, siapa, dan bagaimana. Ibu Suri tidak percaya benar kepada roh yang
dapat masuk kedalam diri perantara. Apalagi sebagai seorang yang beragama,
meminta bantuan si perantara adalah pekerjaan setan yang menggoda
keimanan seseorang.
 Konflikasi : Tapi apa boleh buat, Ibu Suri terpaksa melakukannya karena
secara tradisi dia diyakinkan akan peranan roh-roh atau arwah nenek moyang
dalam kehidupan manusia. Dia mau mengikuti tradisi itu karena yakin akan
dapat menemui Suri. Oleh karena itu, Ibu Suri tidak menganggap apa yang
dilakukannya sebagai pekerjaan benar atau tidak, logis atau tidak. Soalnya
Ibu Suri terdesak oleh keadaan yang tidak dapat diatasinya sendiri dan mau
tidak mau dia harus mengikuti tradisinya.
 Klimaks : Ibu Suri tidak puas atas keterangan roh dan arwah tentang Suri.
Apalagi Manda sendiri menyangsikan adanya Suri. Ibu Suri harus bertindak
dan memastikan Suri hingga dapat meyakinkan dirinya. Bungkusan barang
bawaan Manda dirampasnya. Manda tidak dapat berbuat apa-apa, selain
berusaha membujuk agar barang-barangnya diserahkan. Tapi, Ibu Suri tetap
pada pendiriannya. Dengan penuh keyakinan dan suara lantang, Manda
disuruhnya pergi.
“...Ibu Suri : Ternyata roh yang Mannda undang bukan roh para tokoh atau
arwah nenek moyang ! Tapi, roh para bandit dan penipu. Suri dikaburkannya,
suri disangsikannya. Aku harus meretas jalan pintas untuk melakukan
terobosan. Aku akan bicara langsung tanpa perantara dusta atau medium
mesum! Pergi kau. Pergi ! aku akan memanggil roh-roh yang jujur dan arwah
nenek moyang yang budiman...”
 Antiklimak : Manda mengingatkan kepada kepada Ibu Suri jika orang yang
beriman jangan bersekutu dengan setan karena hukumnya syirik. Berkali-kali
Manda mengatakan, bila berteman dengan setan neraka jahanam
ancamannya.
 Penyelesaian : Karena keingintahuannya kepada Suri, Ibu Suri bersikeras
melakukan ritual pemanggilan kembali bahkan Ibu Suri mengundang lebih
banyak roh.
3. Latar :
 Latar Tempat : Kuburan
“...Ini bukan kuburan keramat, tapi kuburan Suri...”
 Latar Waktu : Malam hari
“...sampai malam ini Ibu Suri duduk bersimpah...”
4. Penokohan :
 Ibu Suri : Keras kepala
“...Ini bukan kubur keramat, tapi kuburan Suri...”
 Manda : Pendusta / Munafik
“...Aii ! Manda rupanya pendusta !...”
 Roh : Penipu
“... Ternyata roh yang Manda undang, ternyata roh para bandit dan penipu...”
5. Amanat :
Jangan sampai kita menyekutukan Tuhan, karena hanya kepada Tuhanlah kita
meminta pertolongan, bukan kepada roh atau arwah nenek moyang. Jika manusia
meminta pertolongan kepasa Syetan, pekerjaan itu disebut syirik, menduakan
keesaan Tuhan dan termasuk dosa besar yang tidak dapat diampuni.
6. Konflik :
Ibu Suri tidak percaya benar kepada roh uang dapat masuk kedalam diri
perantara. Apalagi sebagai seorang yang beragama, meminta bantuan si perantara
adalah pekerjaan setan yang menggoda keimanan seseorang. Tapi apa boleh buat,
Ibu Suri terpaksa melakukannya karena secara tradisi dia diyakinkan akan peranan
roh-roh atau arwah nenek moyang dalam kehidupan manusia. Dia mau mengikuti
tradisi itu karena yakin akan dapat menemui Suri. Oleh karena itu, Ibu Suri tidak
menganggap apa yang dilakukannya sebagai pekerjaan benar atau tidak, logis atau
tidak. Soalnya Ibu Suri terdesak oleh keadaan yang tidak dapat diatasinya sendiri
dan mau tidak mau dia harus mengikuti tradisinya.

UNSUR EKSTRINSIK
Secara garis besar, drama “Roh” ini benyak sekali mengandung NILAI
BUDAYA. Drama ini menjelaskan tentang seorang medium atau perantara yang
dikenal dalam masyarakat tradisi sebagai seorang yang lebih daripada dukun
biasa. Dia dapat membuat hubungan antara manusia yang masih hidup dengan roh
dari orang yang telah lama meninggal.
Percaya atau tidak, benar atau tidak, peranan seorang seorang perantara
begitu penting. Meminta bantuan seorang perantara merupakan usaha terakhir dari
mereka yang ingin mengobati penyakit yang tidak dapat diatasi oleh dokter di
zaman modern ini.

DAFTAR RUJUKAN

Hadi, Wisran. 2005. 5 Naskah Drama (Pemenang Sayembara Dewan Kesenian


Jakarta). Jakarta: Grasindo.
Ryan, Michael. 2005. Literary Theory: A Practical Introduction. Malden, Oxford,
dan Carlton: Blackwell Publishing.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press.

Satoto, Soediro. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.


Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai