Anda di halaman 1dari 6

FORMALISME RUSIA

Oleh Aditya Ananta Putra

A. Lahirnya Formalisme dan Pengertiannya

Formalisme lahir di Rusia sebagai suatu reaksi terhadap aliran positivisme abad ke-19
yang memperhatikan ‘’keterangan’’ biografis. Selain sebagai reaksi terhadap aliran
positivisme, kelahiran aliran formalisme juga beriringan dengan berkembangnya
kecenderungan penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian
terhadap hubungan karya sastra dengan disiplin sejarah, psikologi, dan sosiologi. Selain itu,
aliran Formalisme Rusia juga didorong oleh adanya kecenderungan pergeseran paradigma
dalam ilmu humaniora dari paradigma diakronis ke paradigma sinkronis. (Manshur, 2019)

Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab
ini dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra di Rusia. Hal ini didasarkan pada
keyakinan para formalis bahwa studi seperti itu sangat mungkin dan memang pantas
dilakukan. Kaum Formalis yakin bahwa studi-studi mereka akan meningkatkan kemampuan
pembaca untuk membaca teks-teks sastra dengan cara yang tepat. Kaum formalis cenderung
untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa.
(Rokhmansyah, 2015)

Secara Etimologis formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau
wujud. Dalam ilmu sastra, formalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisa karya
sastra yang mengutamakan bentuk dari karya sastra yang meliputi tehnik pengucapan-
meliputi ritma, rima, aqustik/bunyi, aliterasi, asonansi dsb, kata-kata formal (formal words)
dan bukan isi serta terbebas dari unsur luar seperti sejarah, biografi, konteks budaya dsb
sehingga sastra dapat berdiri sendiri (otonom) sebagai sebuah ilmu dan terbebas dari
pengaruh ilmu lainnya. Teori formalis ini bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur
yang terdapat dalam karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi
dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb. (Saleh, 2014)
Aliran formalisme ini menentang kecenderungan di Rusia untuk meneliti sastra
sebagai ungkapan pandangan hidup atau iklim perasaan dalam masyarakat. Tokoh-tokoh
utama aliran ini adalah Sjklovski, Tynjanov, dan Jacobson (walaupun pada akhirnya di
kemudian hari Tynjanov berubah pikiran). Hal yang menarik dari aliran ini adalah bahwa
mereka bukanlah kelompok yang homogeny dan kompak. Pandangan-pandangan mereka
berbeda-beda satu sama lainnya. Mereka menekankan bahwa suatu ilmu yang hidup tidak
dapat diikat pada sejumlah kebenaran. Mereka tidak ingin menyusun secara apriori beberapa
teori yang berlaku umum, melainkan berdasarkan sejumlah analisis pada beberapa prinsip
yang berlaku sementara saja. Kaum formalis Rusia ini dipandang sebagai peletak dasar bagi
ilmu sastra modern. Baru pada tahun 1960-an, karya mereka disebarluaskan ke dunia Barat.
Sebelumnya, pandangan mereka diolah oleh kaum strukturalis Ceko. (Manshur, 2019)

Didasarkan pada prinsip formalisme, meminjam istilah Saussure, bahasa memiliki dua
tanda, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signifie). Penanda memiliki aspek sementara
dan menghasilkan rantai diakronis. Diakronis mengacu pada hubungan kata yang linear dan
runtut di dalam sebuah ucapan, sementara sinkronis mengacu pada keseluruhan sistematis
yang ada pada waktu tertentu. Kombinasi yang berasal dari hubungan saling ketergantungan
yang berurutan, Saussure menyebutnya sebagai sintagmatik (“hampir semua unit linguistik
tergantung pada apa yang mendahului, atau mengikuti pada rangkaian yang diucapkan”,
sedangkan hubungan dalam sistem, secara keseluruhan, disebut sebagai paradigmatik (yaitu,
“paradigma fleksional5” sistem infleksi6, deklinasi7, sinonim8, dan sebagainya yang
disimpulkan dan digantikan oleh kata-kata dalam kombinasi sintagmatik9). (Manshur, 2019)

B. Tokoh Formalisme

1. Jakobson

Kaum formalis menyusun sejumlah besar analisis dan dalil umum tentang karya
sastra, antara lain pandangan mereka mengenai ciri khas sastra atau kesastraan (literaturnost)
dalam sebuah teks. Mereka tidak setuju kalau dibedakan antara bentuk dan isi. Istilah
kesastraan berasal dari Jacobson, seorang penganut formalisme, yang meletakkan dasar bagi
teori fungsi puitik. Bahasa puisi adalah bahasa yang sederhana yang memiliki fungsi estetik.
Menurut pandangan formalis, sifat kesastraan timbul dengan menyusun dan mengubah
‘’bahan’’nya yang bersifat netral. Dalam hal puisi, bahan itu ialah riwayat yang disajikan.
(Manshur, 2019, p. 83)

Jakobson menguraikan tahapan penelitian formalis : ‘’(i) analisis aspek-aspek suara


dari sebuah karya sastra; (ii) masalah-masalah makna dalam kerangka puisi; (iii) integrasi
suara dan makna ke dalam keseluruhan yang tidak terpisahkan’’. Studi formalis mengenai
puisi ada di dalam studi bahasa yang lebih umum, yang digolongkan oleh Jakobson sesuai
dengan fungsinya. Unsur-unsur utama sistem fungsional ini adalah pembicara (fungsi
emotif10) dan penerima (fungsi konatif); yang berada di antara keduanya adalah satu set
faktor penentu yang kompleks yang mencakup konteks (fungsi referensial11), pesan, kontak
(fungsi phatic: “saluran fisik dan hubungan psikologis antara pembicara dan penerima”), dan
sebuah kode (fungsi metalingual12) yang dimengerti oleh pembicara dan penerima. Jakobson
menekankan fungsi puitis bahasa yang “fokus pada pesan untuk kepentingan pesan itu
sendiri.” Namun, itu adalah penyederhanaan yang berlebihan untuk mereduksi puisi menjadi
sebuah fungsi puitis. “Fungsi puitis bukan satu-satunya fungsi seni verbal, ia merupakan
fungsi penentu, sedangkan pada kegiatan verbal lainnya, fungsi puitis bertindak sebagai unsur
pokok tambahan”. (Manshur, 2019)

2. Victor Shklovsky

Victor Shklovsky mendominasi fase awal Formalisme. Shklovsky mengambil suatu


pendekatan bersahaja, mencoba teknik-teknik yang dipergunakan oleh para sastrawan untuk
menghasilkan efek-efek yang khusus. Shklovsky menyebut salah satu konsepnya sebagai
defamiliarisasi (ostranenie) yang berarti membuat aneh atau proses menjadikan sesuatu itu
luar biasa sifatnya. Shklovsky juga mengungkapkan bahwa teknik seni adalah membuat
objek-objek menjadi ‘tidak biasa’ dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang sukar untuk
menambah tingkat kesukaran dan memperpanjang persepsi karena proses persepsi adalah
suatu tujuan estetik dan harus diperpanjang. (Rokhmansyah, 2015)
Yang menjadi pusat perhatian dalam pandangan kaum formalis mengenai sastra ialah
pengertian pengasingan atau making strange atau juga disebut defamiliarization. Orang yang
memperkenalkan istilah ini ialah Shklovsky; ia berpendapat bahwa sastra, sama seperti seni-
seni lainnya, mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan kenyataan dengan suatu cara
baru, sehingga sifat otomatik dalam pengamatan dan pencerapan kita didobrak. Shklovsky
memakai istilah pengasingan bila sebuah karya sastra memakai gaya bahasa yang menonjol
atau menyimpang dari yang biasa, atau menggunakan teknik bercerita yang baru. (Manshur,
2019)

C. Fabula dan Sjuzet

Kaum formalis tidak lagi menjadikan puisi sebagai satu-satunya objek pengkajian,
juga tidak lagi terpadu sarana yang mengganjilkan atau mengasingkan karya sastra.
Shklovsky mengembangkan teory oposisi ‘’fabula’’(story) dengan sjuzet (plot). Fabula
adalah bahan dasar berupa jalan cerita menurut logika dan kronologi peristiwa, sedangkan
sjuzet adalah sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil atau aneh. (Saleh, 2014, p.
149)

Istilah fabula dan sjuzet diperkenalkan oleh kaum formalism rusia, kaum yang
mengutamakan bentuk dari pada isi. Fabula adalah penggambaran rangkaian kejadian dalam
tatanan yang urut. Di lain pihak, sjuzet adalah plot atau struktur naratif, yaitu cara penyajian
sebuah teks sastra. Fabula adalah bahan bagi penyusunan sjuzet. Fabula yang mengacu pada
urutan kronologi waktu dapat dikatakan sebagai bahan mentah sedangkan sjuzet adalah hasil
akhir pemodifikasian pengarang. Sjuzet pada dasarnya merupakan defamilirisasi atau
pemodifikasian dari fakta yang merupakan landasan fabula. (Putri, Kurniawan, & Haryanti)

Perbedaan antara ‘’cerita’’ dengan ‘’alur’’ diberi tempat penting dalam teori naratif
kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya ‘’alur’’(sjuzet) yang sungguh-
sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai bahan mentah yang
menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-
peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana yang digunakan untuk menyela dan menunda
penceritaan, serta yang ditujukan untuk menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa
tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah
pembaca dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan sudah lazim.
(Rokhmansyah, 2015)

Perbedaan antara konsep “cerita” (fabula) dan “alur” (sjuzet) mendapat tempat yang
sangat penting di dalam teori naratif formalis Rusia. Fabula didefinisikan sebagai deskripsi
rangkaian peristiwa, atau lebih tepatnya sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam
tatanan yang urut dan relasi-relasi kausal. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep
sjuzet yang biasanya diterjemahkan sebagai “plot” atau “strukturnaratif”. Menurut kaum
formalis, “alur” (sjuzet) adalah cara penyajian materi semantic dalam teks tertentu,
sedangkan “cerita” (fabula) hanyalah materi bagi formasi plot. (Rokhmansyah, 2015)
Referensi
Manshur, F. M. (2019). KAJIAN TEORI FORMALISME DAN STRUKTURALISME . Sasdaya , 82.

Putri, G. L., Kurniawan, S., & Haryanti, P. (n.d.). ANALISIS KESEJAJARAN FABULA DAN SJUZET DALAM
ALUR NOVEL ANKOKU JOSHI KARYA AKIYOSHI RIKAKO. 3.

Rokhmansyah, A. (2015). ORDE BARU SEBAGAI LANDASAN FABULA DALAM NOVEL ENTROK KARYA
OKKY MADASARI : KAJIAN FORMALISME RUSIA. 41.

Saleh, F. (2014). Teori Formalisme - Balaghah. Al-Turas , 148.

Anda mungkin juga menyukai