Anda di halaman 1dari 8

 Pengertian Post Strukturalisme

Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau ketidak setujuan pada
pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de
Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal
sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah
dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir
sementara menjadi hal yang utama. Menurut David dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir
sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme.

Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik
struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-
strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih,
baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi
pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren
sebagai asal muasal makna stabil.

 Latar Belakang

Postrukturalisme terdiri atas kata post + struktur + isme yang berarti paham sesudah struktur.
Artinya, postrukturalisme merupakan sebuah teori pengkajian sastra yang lahir setelah teori
strukturalisme. Dalam sastra, teori ini berkembang pada tahun 1970-an. Teori ini merupakan
perkembangan terakhir teori sastra, khususnya teori-teori yang didasarkan atas relevansi struktur.
Teori postrukturalisme ini lahir didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terdapat pada teori
strukturalisme. Pada umunya terdapat beberapa kelemahan strukturalisme. Pertama, model analisis
strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata
didasarkan atas struktur dan sistem tertentu. Kedua, strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian
terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan
subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca. Ketiga, hasil analisis dengan demikian seolah-olah
demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas.1[4]
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme. Oleh karena itu, sebagaimana halnya
strukturalisme, postrukturalisme juga merupakan sebuah teori yang digunakan untuk mengkaji makna
yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Hanya saja, terdapat perbedaan pandangan antara kelompok
strukturalisme dan postrukturalisme dalam pencarian makna tersebut.
Pencarian makna oleh kelompok strukturalisme masih bertumpu pada struktur karya sastra.
Artinya, makna selalu dihasilkan dalam kaitannya dengan penanda, makna sebagai hasil artikulasi
lambang-lambang, makna sebagai hasil perbedaan antara dua penanda. Hal tersebut berbeda dengan
pengkajian makna menurut postrukturalisme. Menurut postrukturalisme, mengkaji makna tidak hanya
terbatas pada kekuatan struktur, tetapi dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berada di luar struktur. 2[5]
Artinya, makna tidak selalu hanya diwakili kata (penanda), tetapi justru sering berada di luar bahasa atau
kata.
Pemaknaan sebuah karya sastra jika hanya ditelaah berdasarkan penanda, bisa saja makna itu
hadir setelah penanda tersebut dibandingkan dengan penanda yang lain. 3[6] Oleh karena itu, ketika
penanda tersebut berdiri sendiri, kemungkinan belum memiliki makna yang utuh dan baru merujuk makna
yang lengkap ketika dirangkai dengan penanda yang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
menelaah makna sebuah karya sastra akan dapat muncul jika dilihat dari hubungan antarunsur
pembentuknya dan dapat juga muncul kaitannya dengan unsur di luar teks.

3
Ada dua tahapan dalam menelaah makna karya sastra dengan menggunakan teori
postrukturalisme seperti yang dikembangkan oleh Riffaterre dan Roland Barthes (dalam Nyoman)
sebagai berikut.
1.   Mendaftar semua unsur (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan
semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah.
Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai
peranan.
2.    Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk
mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua
unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dengan Y). 4[7]
Berdasarkan dua tahapan tersebut, jelaslah bahwa esensi pemaknaan sebuah karya sastra
dapat muncul dari hubungan antarstruktur dan unsur di luar struktur. Unsur di luar struktur yang dimaksud
seperti kode budaya dan juga hal-hal lainnya yang mempengaruhi penciptaan karya sastra tersebut.
Selain menghubungkan dengan unsur di luar struktur, menurut postrukturalisme memahami
sebuah karya sastra itu bersifat bebas, boleh dari sisi mana saja, karena ia tidak terikat dengan struktur.
Dengan demikian, kajian posstrukturalisme ini juga akan melupakan struktur sebuah karya sastra dengan
melakukan dekonstruksi terhadap karya sastra tersebut. Oleh karena itu, paham postrukturalisme ini
sering juga disebut dengan pengkajian dekonstruksi. Artinya, sebuah ragam penelitian sastra yang tidak
menghiraukan struktur.5[8]
Karena tidak menghiraukan struktur, bahkan melupakan struktur dengan melakukan dekonstruksi
terhadap sebuah karya, maka ciri khas dari postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks. Artinya,
makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan oleh teks
tersebut.6[9] Dengan demikian, terjadi pergeseran dari penerima menjadi pencipta. Makna teks tidak
diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi aktif. Karya bukan milik pengarang, melainkan milik
pembaca. Makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi
terbuka secara terus menerus berinteraksi ke luar dirinya.
Teori-teori Postrukturalisme
Dasar teori-teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui
formalisme Rusia, yang mulai berkembang awal abad ke-20 (1915-1930), dengan tokoh-tokoh Roman
Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, dan Jurij Tynjanov. Hubungan antara strukturalisme
dengan postrukturalisme sangat kompleks. Metode yang digunakan dalam postrukturalisme ialah metode
dekonstruksi, tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakikat yang wajar, perbedaan justru
untuk memberikan pengakuan pada unsur lain. Menurut kelompok postrukturalis (Selden, 1986: 101),
kekuatan sejarah atau lingistik tidak dapat dikuasai. Postrukturalis lebih banyak menampilkan masalah
dibandingkan dengan memberikan jawaban sekaligus menghindarkan logosentrisme. Postrukturalisme
pada dasarnya identik dengan post-Saussurean.

Teori-teori yang dimasukkan ke dalam kelompok postrukturalisme adalah resepsi, interteks, feminis,
postkolonial, dan dekonstruksi. Teori postrukturalisme diakhiri dengan teori naratologi postrukturalisme.

a. Teori Resepsi Sastra


Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang berarti
penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks,
cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Dalam
kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan
Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra (A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra
Sebuah Pengantar (Umar Junus, terbit pertama kali tahun 1985).

b. Teori Interteks
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yng lain. Secara

6
etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi.
Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau
lebih. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos.

Cara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu:

1. membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama,
2. hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah
dibaca sebelumnya.

Dalam kerangka multikultural, aktivitas intertekstualitas berfungsi untuk membangkitkan kesadaran masa
lampau, baik sebagai citra primordial maupun nostalgia, yang pada umumnya disebut teks pastiche.

c. Teori Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang
untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis
adalah keseimbangan, interelasi gender.

Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang
politik maupun ekonomi serta kehidupan sosial pada umumnya. Dalam arti sempit, yaitu dalam sastra,
feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses
produksi maupun resepsi.

Sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam
bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Perkembangan pesatnya terjadi pada tahun 1960-
an. Tokoh-tokoh terpenting feminis kontemporer, yaitu: Luce Irigarai, Julia Kristeva, Helena Cixous, dan
Donna J. Haraway.

Model analisisnya sangat beragam, sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan
ekonomi. Menurut Teuww, beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di
dunia barat tersebut, sebagai berikut:

1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari


kekuasaan laki-laki.
2. Radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional.
4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik
Baru dan strukturalisme.
7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology Marxis orthodox, tidak terbatas sebagai Marxis
Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.

d. Teori Postkolonial
Secara etimologis postkolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri
berasal dari akar kata kolonial, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau permukiman.

Paling sedikit terkandung empat alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui
teori-teori postkolonial.
1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima,
sebagai mediator anatara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitis dan intelektualitis,
fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang
paling signifikan.
4. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-
tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Di sinilah ideologi oriental ditanamkan, di sini pulalah
analisis dekonstruksi postkolonial dilakukan.


Ciri khas postkolonialisme dibandingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah
kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan
imperium Eropah, khususnya Indonesia.

e. Teori Dekonstruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruksif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditujukan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural
sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung
nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran dan tujuan-tujuan tertentu.

Sebagai salah satu model pemahaman postrukturalis, Umar Junus (1996:109-109) memandang
dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan
dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian.
Dekonstruksi memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa
harus terikat dengan suatu aturan yang dianggap telah berlaku universal.

4. Teori Postrukturalisme Naratologi


Naratologi, seperti telah disinggung di depan adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi
mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra maupun
nonsastra. Secara definitif menurut (cf. Luxemburg, dkk., 1984: 119-120; Rimon-Kenan, 1983: 1-
5) struktur wacana atau teks naratif adalah semua teks atau wacana yang isinya merupakan
rangkaian peristiwa, yang dibedakan menjadi struktur naratif fiksi dan struktur naratif nonfiksi.

Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme (Gerald Prince, 1982: 4), teori dan analisis
naratif menyebar hamper ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat,
psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya
linguistik dan sastra.

a. Wacana dan Teks


Secara etimologis wacana berasal dari wacana (Sansekerta), berarti kata-kata atau cara berkata,
ucapan, perintah, nasihat. Teks seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum
(Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.

Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana
berfungsi untuk menyampaikan berbagai informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih
kekuasaan, alih teknologi. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama.
Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dalam struktur naratif secara keseluruhan,
sedangkan teks dibicarakan dalam struktur sastra.

b. Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi


Tokoh-tokoh postrukturalisme naratologi terdiri dari: Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour
Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Mikhail Mikhailovic Bakhtin, Hayden White, Mary
Louise Pratt, Jacques-Marie Emile Lacan, Michel Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jean
Baudrillard.
 Tokoh-tokoh Post strukturalisme

2.2.1    Jacques Derrida

Riwayat Hidup dan Karyanya

Jacques Derrida lahir di al-Jazair pada tanggal 15 Juli 1930, dan ia adalah seorang Filusuf
Prancis keturunan Yahudi. Pada tahun 1949 Ia pindah ke Prancis dan menetap di Prancis hingga
akhir hayatnya. Beliau kuliah dan belajar di Prancis hingga akhirnya dia menjadi maitre-
assistant, dosen tetap di bidang Filsafat. Selain dosen tetap di bidang filsafat, beliau juga dalam
beberapa waktu sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika Serikat. Dan pada masa
mudanya Derrida pernah menjadi anggota Partai Komunis Prancis.

Pada tahun 1962, Derrida menerbitkan terjemahan karangan Husserl Asal-Usul Ilmu Ukur
Introduction au probleme du signe dans la phenomenology de Husserl (suara dan fenomena.
Pengantar pada masalah tanda dalam Fenomenologi Husserl) memberi komentar panjang lebar
atas uraian Husserl tentang tanda dalam buku Penelitian-Penelitian Logika, Bab I, pasal 1 s/d 9.
bersama suatu pendahuluan.

Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of
Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini
memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling
terkenal. Pada Of Grammatology,   Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi
ujaran-tulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada
pemikiran Barat. Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian
besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk
Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of
Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua
Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini
khususnya terasa dibidang kritik sastra, dan kajian budaya, dimana metode analisis tekstual
dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.

Pada tahun 1972 terbit tiga buku lagi, yaitu Marges de la philosophie  (pinggiran-pinggiran
filsafat),  la   dissemination   (penyebaran) dan  Positions  (posisi-posisi).  L’archeologie du
frivole (1967) (arkeologi tentang yang sembrono), Glas (1974), Eperons (1976), Eperons. Les
styles de Nitzsche (1978), La verite en peinture (1978) (Kebenaran dalam Seni Lukis).La carte
postale de Socrate a Freud et au-dela  (1980) (Kartu pos dari Socrates kepada Freud dan di
seberang-nya), De l’esprit. Heidegger et la question (1987) (tentang spirit. Heidegger dan
pertanyaan), Spectress de Marx Spectre berarti : baik momok maupun spectrum), dan Politiques
de l’amitie (1994) (Politik Persahabatan).

Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang
memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah : Greph (Group
de recherché sur l’enseignement philoshophique) (Kelompok penelitian tentang Pengajaran
Filsafat). Kelompok ini didirikan akibat dari situasi lingkungan pada saat itu yang
mempersoalkan filsafat pada sekolah menengah. Pada saat ini juga Derrida menulis sebuah
artikel yang berjudul Qui a peur de la philoshophie? (1977) (Siapa Takut pada Filsafat?). dan
sebuaha karangan-karangan baru yang dikumpulkan dalam sebuah buku Du droit a la
phlosophie (1990) (Tentang Hak atas Filsafat).

Dari tulisan-tulisan yang di buat atau ditulis oleh Derrida, maka sudah bisa kita lihat bahwasanya
Derrida menulis atas dasar kritikan-kritikan terhadap para filusuf-filusuf, ilmuan-ilmuan, dan
sastrawan-satrawan. Akan tetapi komentarnya itu atau kritikannya itu dalam bentuk khusus,
dengan cara inilah pemikiran Derrida selangkah demi selangkah berkembang. Dari hasil kritikan
serta komentarnya itu Derrida menghasilkan sebuah pemikiran atau menyajikan teks-teks baru
yang tidak dikatakan dalam teks-teks yang yang dia kritik. Prosedur yang dilakukan oleh Derrida
ini disebut dengan deconstruction atau “pembongkaran”.

Derrida menyampaikan pandangannya terhadap pemikiran Saussure mengenai definisi bahasa. Ia


mengatakan bahwa Saussure memberikan esensi manusia kepada bahasa. Logosentrisme dan
fonosentrisme adalah paham yang berusaha dikritik Derrida. Menurutnya kelemahan
logosentrisme adalah menghapus dimensi material bahasa, dan kelemahan fonosentrisme adalah
menomorduakan tulisan karena memprioritaskan ucapan.

2.2.2    Jaques Lacan

Riwayat Hidup dan Karyanya

Jacques Lacan adalah tokoh yang sangat berpengaruh didalam psikoanalisa dengan teorinya yang
menafsirkan ulang karya-karya Freud, selain dianggap memberikan terobosan di dalam
psikoanalisa Lacan juga dianggap mengacaukan teori psikoanalisa konvensional. Jacques Lacan
adalah seorang terapis perancis yang memiliki latar belakang filsafat dan surealisme. Lacan
menganggap psikoanalisa khususnya amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan
Freud karena Lacan menganggap para terapis telah menjadikan pasien-pasiennya sebagai obyek
penelitian dan para terapis telah melakukan interupsi dalam porsi besar-besaran terhadap
perkembangan pasiennya karena Lacan beranggapan bahwa psikoanalisa adalah ilmu pengobatan
yang didalam prakteknya seorang terapis tidak boleh ikut campur dalam perkembangan
pasiennya dan hanya membuka jalan kepada wilayah tidak sadar pasiennya dan membiarkan
pasiennya yang menemukan jalan keluar permasalahannya sendiri.

Lacan juga menyadari  bahwasanya pemikiran Freud yang dipelajarinya selama ini adalah
pemikiran yang keliru karena Freud yang dipelajariya adalah Freud berdasarkan pemahaman
Freudian perancis dan Freud yang mendominasi Amerika. kemudian ia memutuskan untuk
membaca ulang karya Freud dan berusaha untuk memahami pemikiran Freud yang
sesungguhnya. Secara garis besar pengaruh yang dominan dalam teori Lacan adalah pemikiran
Freud, filsafat Hegel dan filsafat Strukturalis dan Post Strukturalis.
Jacques Lacan dengan mengacu pada Freud melakukan beberapa terobosan dalam pandangannya
mengenai wilayah tak sadar bukanlah sebagai penyebab, melalui teorinya ini Lacan menegaskan
bahwa wilayah tak sadar bukanlah yang menentukan neurosis. Penjelasannya ini sekaligus
meluruskan kesalahpahaman terhadap teori Freud yang selama ini dipahami sebagai menyatakan
bahwa wilayah tidak sadar adalah penyebab neurosis. Lacan menyatakan “wilayah tak sadar
merupakan diskursus dari yang lain” wilayah tidak-sadar adalah yang lain itu sendiri, asing dan
tak terpahami, kemudian peranan terapis disini adalah sebagai sarana bagi wilayah tak sadar ini
untuk menampilkan dirinya. Didalam wilayah tidak sadar sendiri terdapat hasrat yang menurut
Freud hasrat merupakan harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari dan menjadi
pendorong bagi tindakan seseorang yaitu mencari pemenuhan akan hasratnya. Sedangkan Lacan
memandang hasrat dengan tambahan pengaruh filsafat Hegel yang memahami hasrat sebagai
hasrat akan pengakuan atau seseorang yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari
sesamanya karena dengan demikianlah dia mendapatkan kepastian akan dirinya. Lacan juga
menyebutkan bahwa subyek terletak dalam wilayah tak sadar bahwa hasrat adalah kebenaran
sang subyek dan subyek merealisasikan dirinya lewat bahasa.

2.2.3.   Michel Paul Foucault

            Riwayat Hidup dan Karyanya

Paul-Michel Foucault (lahir di Poitiers, 15 Oktober 1926 – meninggal di Paris, 25 Juni 1984


pada umur 57 tahun) adalah seorang filsuf asal Perancis, sejarawan, intelektual, kritikus, dan
sosiolog. Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France, karena karyanya
yang berjudul Sejarah sistem pemikiran (History of Systems of Thought) dan juga mengajar di
Universitas California, Berkeley.

Foucault paling dikenal dengan penelitian tajamnya dalam bidang institusi sosial, terutama
psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan system penjara, dan karya-karyanya tentang
sejarah seksualitas. Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan,
pengetahuan dan diskursus telah banyak diperdebatkan secara luas. Pada tahun 60-an Foucault
sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis. Foucault kemudian menjauhkan dirinya dari
gerakan pemikiran ini. Meski sering dikarekterisasikan sebagai seorang Post Modernis, Foucault
selalu menolak label Post Strukturalis dan Post Modernis.

Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan


bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah,
universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan
perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang
post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan
menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk
menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu
bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-
bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat
mendefinisikan kehidupan modern.
Pemikiran Foucault sangat dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut
Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun
dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Bahkan dia tidak jarang tidak
sependapat dengan filsuf pujaannya itu. Hal ini terdapat dalam teori Genealogi Foucault. Di sini,
bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam “apa yang ditulis” dan “apa yang menjadi
tafsirnya”, keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya
tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan
dalam subjek dan objek. Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.

Tentang subjek dan objek, filsuf tahun 60an adalah filsuf yang merayakan kematian subjek
(pengada awal) yang disejajarkan dengan Tuhan. Lalu setelah itu, jika Tuhan mati, maka
manusia yang mengikuti Tuhan juga mati. Sebab manusia yang mengikuti Tuhan itu tidak punya
kuasa atas dirinya tanpa Tuhan yang memberi makna padanya. Maka dari sini filsafat yang
selama ini berkutat pada humanisme sudah tamat. Maka manusia baru pun bisa ‘dibangkitkan’
lagi. Namun Foucault sendiri bersedih karena kehilangan makna seiring hilangnya subjek
(Tuhan) tadi.

Subjek menurut Foucault subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa ditelaah melalui
kekuasaan. Lalu kekuasaan sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak pejal dan tidak bisa
dipegang, dia adalah peng-kata-an dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan. Kekuasaan
bukan sesuatu yang bisa dimiliki, bahkan oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi
oleh kepenuhan hukum atau pun kebenaran, dia tidak tunduk pada teori politik normal, tidak bisa
direduksi oleh representasi [hukum]]. Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah
bukan pelaku dan produk. Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan,
namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil
penemuan (founding subject). Demikian manusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan,
bukan manusia mempengaruhi kekuasaan. Bahkan subjek pada akhirnya menihilkan kebebasan
dan subjektivitas. Dengan begitu, kebebasan dan subjektivitas baru akan ditawarkan olehnya.
Kebebasan semacam apa itu, kebebasan yang senantiasa dapat mengendalikan kekuasaan dan
kehendak pada subjek yang dihasilkannya.

Subjek menurut Foucault subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa ditelaah melalui
kekuasaan. Lalu kekuasaan sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak pejal dan tidak bisa
dipegang, dia adalah peng-kata-an dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan. Kekuasaan
bukan sesuatu yang bisa dimiliki, bahkan oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi
oleh kepenuhan hukum atau pun kebenaran, dia tidak tunduk pada teori politik normal, tidak bisa
direduksi oleh representasi [hukum]]. Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah
bukan pelaku dan produk. Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan,
namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil
penemuan (founding subject). Demikian manusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan,
bukan manusia mempengaruhi kekuasaan. Bahkan subjek pada akhirnya menihilkan kebebasan
dan subjektivitas. Dengan begitu, kebebasan dan subjektivitas baru akan ditawarkan olehnya.
Kebebasan semacam apa itu, kebebasan yang senantiasa dapat mengendalikan kekuasaan dan
kehendak pada subjek yang dihasilkannya

Anda mungkin juga menyukai