Anda di halaman 1dari 8

Antropologi Feminisme

Feminisme dalam ilmu antropologi merupakan bagian dari perkembangan

wacana antropologi perempuan pada dasawarsa 70-an. Perbedaan mendasar antara

dua kajian tersebut terletak pada subjek kajian. Antropologi perempuan

menitikberatkan pada perempuan sebagai subjeknya, sedangkan antropologi

feminism tidak hanya berbicara mengenai perempuan tetapi juga memberikan ruang

bagi laki-laki. Hal ini disebabkan karena feminisme tidak hanya “untuk perempuan”

(for women), tetapi juga memberikan fokus ekstensif “mengenai perempuan” (about

women). Gender dalam konteks kekinian juga dianggap memiliki posisi analitik yang

penting sehingga antropologi feminism menemukan relevansinya (McGee & Warms,

2008).

Perbedaan antar budaya juga melahirkan cara pandang yang berbeda pula

akan gender. Perbedaan yang tampak kemudian mengilhami antropolog feminis

untuk menjauhi generalisasi sebagai keluaran (output) risetnya dan menitikberatkan

pada aspek keberagaman (Baxter et al., 1997:488). Selain itu, titik berat dalam riset

antropologi feminisme juga tidak sebatas memproblematisir perbedaan antara

perempuan dan laki-laki, tetapi juga perbedaan yang ada antara perempuan (McGee

& Warms, 2008). Hal ini didasarkan karena perempuan memiliki karakteristik yang

bersifat context- dan history-specific yang berarti bahwa konteks dan sejarah

melahirkan kategori mengenai perempuan yang spesifik dan untuk mendapatkan

pemahaman, diperlukan rises yang bersifat in-depth atau mendalam.


Pada awal kemunculannya pada decade 70-an, antropologi feminis mencoba

untuk mempermasalahkan asumsi yang berpusat pada laki-laki (male centered

assumptions) dalam studi antropologi dan melakukan penggalian pada status

perempuan serta perannya dalam masyarakat (Feminist Anthropology: A Reader,

2006). Antropolog feminis pada era ini menganggap bahwa antropologi feminisme di

masa lampau tidak mengeksplorasi kebudayaan secara utuh karena mengabaikan isu

gender. Dalam perkembangannya, pada tahun 1980-an, antropologi feminism

memberikan atensi pada analisis cross-cultural atau lintas budaya mengenai

perempuan dan isu gender dengan menunjukkan bahwa cara mendefinisikan gender

berubah seiring dengan gerak laju sejarah dan budaya (Feminist Anthropology: A

Reader, 2006). Adanya keberagaman dalam melihat pengalaman perempuan tersebut

dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa gerakan feminis yang tumbuh dan berkembang

pada 1970-an dan awal -80-an didominasi oleh kalangan kelas menengah kulit putih

dan gerakan tersebut tidak mampu keanekaragaman antara perempuan. Hal ini

didukung dengan temuan bahwa posisi sosial dan perilaku perempuan kaya

mendukung sistem sosial yang melanggengkan penindasan kepada perempuan

miskin, terutama perempuan yang tidak berkulit putih. Era 90-an menandai

meluasnya spektrum analisa antrolopogi feminisme yang berorientasi pada

penggalian sifat multikultural perempuan dengan mengembangkan model dan

pandangan baru dalam penulisan etnografi (Feminist Anthropology: A Reader, 2006).


Sejatinya, secara garis besar, antropologi feminisme muncul karena adanya

kritik terhadap disiplin kelimuan antropologi sosial yang cenderung mengabaikan

keberadaan perempuan. Menurut Moore, dalam Idrus (2014), terdapat setidaknya tiga

bias yang menjadi acuan bagi para antropolog feminis dalam melakukan penelitian

lapangan, yaitu masalah yang berkaitan dengan bias laki-laki (androgenic bias) yang

terdiri atas tiga tingkatan, antara lain; bias yang berasal dari kalangan antropolog, bias

dari kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan bias yang melekat

dalam kebudayaan barat.

Pada bias yang pertama, yang berkaitan dengan bias yang berasal dari para

antropolog, ada anggapan bahwa laki-laki lebih mudah untuk berkomunikasi dan

keyakinan tersebut dibawa pada kebudayaan yang sedang diteliti. Sebagai akibat,

antropolog cenderung tidak melibatkan perempuan sebagai informan karena merasa

bahwa laki-laki lebih mudah untuk berkomunikasi dan memiliki keterlibatan yang

dominan dalam aspek budaya yang penting (Sattel & Reiter, 1976). Menurut Idrus

( 2014) hal tersebut merupakan permasalahan politics of representation dalam artian

perempuan menjadi tidak terdengar dalam riset-riset karena mereka tidak diberikan

kesempatan untuk menjadi sumber informasi karena adanya anggapan bahwa laki-

laki sudah cukup untuk mewakili pendapat perempuan.

Bias kedua, yang berasa dari masyarakat yang menjadi objek penelitian,

berkaitan dengan anggapan bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan peneliti

menangkap hal tersebut dan menjadikannya sebagai fakta penelitian. Hal ini
diperparah dengan kecenderungan peneliti untuk mengkonfirmasi pemikirannya

semata (confirming the researcher’s voice) bukannya melakukan eksplorasi apa yang

dipahami oleh masyarakat (exploring from the native’s point of view) dalam konteks

relasi gender (Idrus, 2014). Menurut Malinowski dalam Spradley (2016:3), etnografi

dibangun untuk memahami kehidupan berdasarkan pendapat masyarakat yang

menjadi objek penelitian, dalam artian antropolog bukan mempelajari orang yang

menjadi objek penelitian melainkan belajar dari orang yang menjadi objek penelitian.

Dalam kaitannya dengan bias kedua, Ortner (1972) membuat model

penjelasan mengenai ketidak-simetrisan gender (gender asymmetry) dengan

mendasarkan pada premis bahwa subordinasi pada perempuan adalah sesuatu yang

universal dan meruapakan fenomena lintas-budaya. Dalam tulisannya yang bertajuk

Is Female to Male as Nature to Culture?, Ortner mempertanyakan ketidaksetaraan

gender dengan berorientasi pada dikotomi natur-kultur, bahwa perempuan dimanapun

lekat dengan identitas sebagai natur (natural creator) dan laki-laki dengan kultur

(cultural creator) (Ortner, 1972). Menurut Ortner, bukan karena perempuan dilihat

sebagai natural atau laki-laki sebagai kultural, tetapi perempuan dipersepsikan

memiliki ikatan langsung dengan alam. Argumentasi utama yang mendukung

perspektif Ortner berpusat pada aspek fisiologis perempuan, bahwa fungsi

reproduksinya yang khas membuatnya seakan-akan tampak lebih dekat dengan alam.

Perempuan memberi “kehidupan” secara natural melalui organ reproduksinya,

sedangkan laki-laki harus mengekspresikan kreativitasnya secara artifisial (Ortner,


1972). Hal tersebut yang kemudian membatasi perempuan dalam berbagai konteks

budaya melalui fungsi-fungsi sosial tertentu.

Sanday membangun teori tentang penyebab dominasi laki-laki dengan

mendasarkan pada aspek idealisme filosofikal dengan argumentasi, bahwa setiap

budaya memiliki sex role plan sendiri-sendiri yang mewujudkan perbedaan-

perbedaan yang beraneka ragam. Plan ini melakukan spesifikasi mengenai bagaimana

hubungan antar jenis kelamin distrukturisasikan: “Kedua jenis kelamin dapat bersatu

(merged) atau terpisah (segregated); otoritas untuk membuat keputusan ditetapkan

(vested) pada kedua jenis kelamin atau didominasi oleh salah satunya” (Brydon &

Sanday, 1982: 5). Sanday membagi orientasi kultural berdasarkan pada dikotomi

inner-outer orientation. Inner orientation ditandai dengan kekuatan alam yang

disakralkan, dimana ada alur hubungan tukar-menukar antara kekuasaan alam dan

kekuasaan inheren perempuan yang menekankan pada prinsip kreativitas perempuan.

Kontrol dan manifestasi dari kekuatan itu ada pada perempuan dan pada simbol-

simbol alam yang disakralkan (Brydon & Sanday, 1982: 5), sebagai orientasi feminin.

Sebaliknya pada outer orientation, kekuasaan terletak di luar tubuh manusia, alam

dianggap sebagai kekuatan yang tidak dapat dikontrol dan dapat mengancam kapan

saja, sehingga manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Orientasi ini

didasarkan pada ketakutan, konflik dan perselisihan (Brydon & Sanday, 1982: 35),

yang dianggap oleh Sanday sebagai orientasi maskulin. Satu di antara poin penting

dalam teori Sanday yang merupakan dimensi rumit dan seringkali diabaikan oleh
teoris lainnya adalah kenyataan di banyak masyarakat, yakni dominasi laki-laki yang

berimbang dengan otoritas perempuan (male dominace is balanced by female

authority).

Bias ketiga, yakni bias yang melekat dalam kebudayaan barat (Eurocentric

bias), yaitu situasi dimana peneliti melihat adanya hubungan asimetris antara

perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai ketidaksetaraan dan efek dari

adanya hirarki pada masyarakat barat. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan

generalisasi meskipun sejatinya terdapat hubungan yang bersifat egaliter antara laki-

laki dan perempuan. Para peneliti tidak mampu menyadari potensi tersebut akibat

kecenderungan untuk menyamakan pengalaman perempuan barat dengan perempuan

pada konteks budaya lain di dunia (Idrus, 2014).

Dengan demikian, antropologi feminis, memiliki tujuan untuk melakukan

dekonstruksi pada struktur tiga lapis bias androgenic dengan memberikan perhatian

pada perempuan dengan mempelajari serta menggambarkan apa yang sejatinya

dilakukan oleh perempuan. Antopologi feminis juga menitikberatkan pada perbedaan

dalam suatu usaha untuk membangun dasar teoritis dan empiris, hal tersebut

sekaligus mengafirmasi bahwa sekedar menambahkan dan menyatukan perempuan

dalam riset tidak akan membawa dampak berarti bagi gerakan perempuan.
Referensi

Baxter, P. T. W., Levinson, D., & Ember, M. (1997). Encyclopedia of Cultural

Anthropology. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 3(3).

https://doi.org/10.2307/3034785

Brydon, L., & Sanday, P. R. (1982). Female Power and Male Dominance: On the

Origins of Sexual Inequality. Man, 17(4). https://doi.org/10.2307/2802078

Feminist anthropology: a reader. (2006). Choice Reviews Online, 44(02).

https://doi.org/10.5860/choice.44-1011

Idrus, N. I. (2014). Antropologi Feminis: Etnografi, Relasi Gender dan Relativisme

Budaya di Indonesia. Antropologi Indonesia, 30(3).

https://doi.org/10.7454/ai.v30i3.3568

McGee, R. J., & Warms, R. L. (2008). Anthropological Theory: An Introductory

History. Anthropological Theory, 4.

Ortner, S. B. (1972). Is Female to Male as Nature Is to Culture? Feminist Studies,

1(2). https://doi.org/10.2307/3177638

Sattel, J. W., & Reiter, R. R. (1976). Toward an Anthropology of Women.

Contemporary Sociology, 5(3). https://doi.org/10.2307/2064070

Spradley, J. P. (2016). Participant Observation - James P. Spradley - Google Books.


Waveland Press.

Anda mungkin juga menyukai