feminism tidak hanya berbicara mengenai perempuan tetapi juga memberikan ruang
bagi laki-laki. Hal ini disebabkan karena feminisme tidak hanya “untuk perempuan”
(for women), tetapi juga memberikan fokus ekstensif “mengenai perempuan” (about
women). Gender dalam konteks kekinian juga dianggap memiliki posisi analitik yang
2008).
Perbedaan antar budaya juga melahirkan cara pandang yang berbeda pula
pada aspek keberagaman (Baxter et al., 1997:488). Selain itu, titik berat dalam riset
perempuan dan laki-laki, tetapi juga perbedaan yang ada antara perempuan (McGee
& Warms, 2008). Hal ini didasarkan karena perempuan memiliki karakteristik yang
bersifat context- dan history-specific yang berarti bahwa konteks dan sejarah
2006). Antropolog feminis pada era ini menganggap bahwa antropologi feminisme di
masa lampau tidak mengeksplorasi kebudayaan secara utuh karena mengabaikan isu
perempuan dan isu gender dengan menunjukkan bahwa cara mendefinisikan gender
berubah seiring dengan gerak laju sejarah dan budaya (Feminist Anthropology: A
dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa gerakan feminis yang tumbuh dan berkembang
pada 1970-an dan awal -80-an didominasi oleh kalangan kelas menengah kulit putih
dan gerakan tersebut tidak mampu keanekaragaman antara perempuan. Hal ini
didukung dengan temuan bahwa posisi sosial dan perilaku perempuan kaya
miskin, terutama perempuan yang tidak berkulit putih. Era 90-an menandai
keberadaan perempuan. Menurut Moore, dalam Idrus (2014), terdapat setidaknya tiga
bias yang menjadi acuan bagi para antropolog feminis dalam melakukan penelitian
lapangan, yaitu masalah yang berkaitan dengan bias laki-laki (androgenic bias) yang
terdiri atas tiga tingkatan, antara lain; bias yang berasal dari kalangan antropolog, bias
dari kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan bias yang melekat
Pada bias yang pertama, yang berkaitan dengan bias yang berasal dari para
antropolog, ada anggapan bahwa laki-laki lebih mudah untuk berkomunikasi dan
keyakinan tersebut dibawa pada kebudayaan yang sedang diteliti. Sebagai akibat,
bahwa laki-laki lebih mudah untuk berkomunikasi dan memiliki keterlibatan yang
dominan dalam aspek budaya yang penting (Sattel & Reiter, 1976). Menurut Idrus
perempuan menjadi tidak terdengar dalam riset-riset karena mereka tidak diberikan
kesempatan untuk menjadi sumber informasi karena adanya anggapan bahwa laki-
Bias kedua, yang berasa dari masyarakat yang menjadi objek penelitian,
berkaitan dengan anggapan bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki dan peneliti
menangkap hal tersebut dan menjadikannya sebagai fakta penelitian. Hal ini
diperparah dengan kecenderungan peneliti untuk mengkonfirmasi pemikirannya
semata (confirming the researcher’s voice) bukannya melakukan eksplorasi apa yang
dipahami oleh masyarakat (exploring from the native’s point of view) dalam konteks
relasi gender (Idrus, 2014). Menurut Malinowski dalam Spradley (2016:3), etnografi
menjadi objek penelitian, dalam artian antropolog bukan mempelajari orang yang
menjadi objek penelitian melainkan belajar dari orang yang menjadi objek penelitian.
mendasarkan pada premis bahwa subordinasi pada perempuan adalah sesuatu yang
lekat dengan identitas sebagai natur (natural creator) dan laki-laki dengan kultur
(cultural creator) (Ortner, 1972). Menurut Ortner, bukan karena perempuan dilihat
reproduksinya yang khas membuatnya seakan-akan tampak lebih dekat dengan alam.
perbedaan yang beraneka ragam. Plan ini melakukan spesifikasi mengenai bagaimana
hubungan antar jenis kelamin distrukturisasikan: “Kedua jenis kelamin dapat bersatu
(vested) pada kedua jenis kelamin atau didominasi oleh salah satunya” (Brydon &
Sanday, 1982: 5). Sanday membagi orientasi kultural berdasarkan pada dikotomi
disakralkan, dimana ada alur hubungan tukar-menukar antara kekuasaan alam dan
Kontrol dan manifestasi dari kekuatan itu ada pada perempuan dan pada simbol-
simbol alam yang disakralkan (Brydon & Sanday, 1982: 5), sebagai orientasi feminin.
Sebaliknya pada outer orientation, kekuasaan terletak di luar tubuh manusia, alam
dianggap sebagai kekuatan yang tidak dapat dikontrol dan dapat mengancam kapan
saja, sehingga manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Orientasi ini
didasarkan pada ketakutan, konflik dan perselisihan (Brydon & Sanday, 1982: 35),
yang dianggap oleh Sanday sebagai orientasi maskulin. Satu di antara poin penting
dalam teori Sanday yang merupakan dimensi rumit dan seringkali diabaikan oleh
teoris lainnya adalah kenyataan di banyak masyarakat, yakni dominasi laki-laki yang
authority).
Bias ketiga, yakni bias yang melekat dalam kebudayaan barat (Eurocentric
bias), yaitu situasi dimana peneliti melihat adanya hubungan asimetris antara
perempuan dan laki-laki, maka ini dianggap sebagai ketidaksetaraan dan efek dari
adanya hirarki pada masyarakat barat. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan
generalisasi meskipun sejatinya terdapat hubungan yang bersifat egaliter antara laki-
laki dan perempuan. Para peneliti tidak mampu menyadari potensi tersebut akibat
dekonstruksi pada struktur tiga lapis bias androgenic dengan memberikan perhatian
dalam suatu usaha untuk membangun dasar teoritis dan empiris, hal tersebut
dalam riset tidak akan membawa dampak berarti bagi gerakan perempuan.
Referensi
https://doi.org/10.2307/3034785
Brydon, L., & Sanday, P. R. (1982). Female Power and Male Dominance: On the
https://doi.org/10.5860/choice.44-1011
https://doi.org/10.7454/ai.v30i3.3568
1(2). https://doi.org/10.2307/3177638