Dari Antropologi Wanita ke Antropologi Feminis (Gender) Antropologi feminis antropologi wanita di tahun 1970-an. Antropologi wanita subyeknya adalah perempuan, maka antropologi feminis subyeknya gender. Gender merupakan konsep analitik yang penting (McGee dan Warms 1996:392). Definisi gender bisa saja berbeda antar budaya. Antropolog feminis untuk menjauhi penggeneralisasian (Lamphere 1996:488), dan menghargai keberagaman. Fokusnya tidak semata pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, tapi juga pada perbedaan yang terjadi di antara perempuan sendiri (McGee dan Warms 1996:392). Kategori perempuan juga spesifik secara kultural dan historis. Kritik thp antropologi feminis ‘Perempuan meneliti perempuan’ padahal yg dikaji isu gender. Identik dengan pengkajian perempuan Dunia Ketiga. Bh penafsiran ttg ‘budaya2 lain’ itu dlm literatur antropologi disamakan dgn st proses penerjemahan dr st budaya ke budaya yg lain Antropologi feminis 1970-an mempertanyakan asumsi yg berpusat hanya pada laki-laki dan meneliti status dan peranan perempuan di masyarakat. Para antropolog feminis mengklaim, bahwa antropologi feminis pada masa lalu tidak sepenuhnya mengeksplorasi kebudayaan manusia karena mereka mengabaikan isu gender. Tahun 1980an, antropologi feminis mulai perhatian pd analisis lintas-budaya perempuan & isu gender, bh definisi gender berubah scr historis & secara lintas-budaya. Sampai pd pertengahan 1980an, antropolog feminis msh cenderung berasumsi, bh perempuan merup kel yg homogen krn mrk bersama-sama memiliki posisi subordinat di bawah laki2 (argumentasi Rosaldo & Ortner). akhir tahun 1980-an antropolog feminis mulai berbalik arah terhadap pandangan tersebut dengan argumentasi, bahwa gerakan feminis tahun 1970an dan 1980an dimotori oleh para peneliti kelas menengah kulit putih (white middle class) dan gerakan tersebut gagal mempertimbangkan keanekaragaman di antara perempuan. Antropologi feminis kontemporer berubah arah kepada fokus yang lebih multikultural di tahun 1990-an sampai sekarang dengan mengeksplorasi bentuk baru dari penulisan etnografi, salah satunya adalah dengan mencakupkan ’keanekaragaman’ pandangan dalam penulisan etnografi. Perkembangan teori antropologi feminis, Ortner dan Whitehead (1981) 1970-an cenderung mendikotomi masy mjd laki-laki & perempuan, & mengkontraskannya dgn produksi-reproduksi, publik-domestik, & natur-kultur, masing2 sbg model ekonomi, politik & budaya. Tapi,1980an dikotomi ini diintegrasikan ke konsep konstruksi sosbud yg menekankan peranan laki-laki- perempuan dgn makna simbolik yang melekat pada kedua jenis kelamin, implikasi politik & sosial-ekonomi mrk. Moore (1988:1-3): kritikan para feminis dlm ansos muncul sbg akibat dr adanya perhatian thp pengabaian perempuan dlm antropologi. Menurutnya, antropologi feminis 1970 mengkonfrontasikan masalah2 representasi perempuan dlm penulisan antropologi. Masalah yg teridentifikasi ada tiga bias (laki-laki): (1) bias yg berasal dari para antropolog, 2) bias dr kel masy yg diteliti, dan (3) bias yg melekat dlm kebud Barat. Bias dari para antropolog—Reiter (1975:14), bahwa laki- laki pada berbagai budaya lebih mudah diakses dan diajak berbicara Akibatnya, para antropolog cenderung kurang menaruh perhatian pd informan perempuan, percaya bh laki2 lbh mudah diajak berbicara, lbh terlibat dlm sektor-sektor budaya yg penting, shg laki2 dianggap sbg informan yg lbh baik dibandingkan dgn perempuan di lapangan. Tudingan ttg ketdk-kooperatifan perempuan pd penelitian adalah bagian dr the politic of representation, shg suara perempuan mjd ‘tidak terdengar’ krn tdk diberi peluang utk berbicara &krn dianggap ktk laki2 berbicara, hal itu sdh ‘merepresentasikan perempuan.’ Kemampuan peneliti untuk membuat ‘suara perempuan terdengar’ adalah tantangan tersendiri dlm studi2 etnografi. Bias yang kedua—bias yg tdpt pd kel masy yg diteliti—bh perempuan ad subordinat laki2 & bias inilah yg ditangkap oleh peneliti. Seringkali peneliti telah terlebih dahulu membawa kerangka pemikiran mereka ke lapangan utk kmdn dikonfirmasikan ke masy, yg muncul kmdn ad mengkonfirmasikan pemikiran yg ada pd peneliti, bukan mengeksplorasi apa yg dipahami oleh masy. dlm relasi gender. Padahal, mnrt Malinowski—pionir observasi partisipasi dlm penelitian etnografi—esensi dlm penelitian etnografi adalah utk memahami kehidupan berdsrkn pendapat masy. yg diteliti (to grasp from the native point of view). Menurutnya, seorang etnografer bkn mempelajari org yg diteliti, tp belajar dr org yg diteliti (learning from people) (Spradley 1980:3).1 Dengan kata lain, seorang etnografer bukan sekedar ‘mengumpulkan data’ dari informan, tapi bgmn ‘belajar’ tentang wujud kebudayaan (pengetahuan, perilaku, dan artifak), dari mereka. Apa yang diobservasi dan direkam bukan hanya ditentukan oleh interes tertentu karena ini dapat mempersempit jangkauan pemahaman kita, tetapi juga oleh apa yang terjadi di sekitar kita. Sumber:
Idrus, Nurul Ilmi. 2006. Antropologi Feminis:
Etnografi, Relasi Gender dan Relativisme Budaya di Indonesia. ANTROPOLOGI INDONESIA, Vol. 30, No. 3, hlm. 273-296. Sekian dan Terimakasih