Anda di halaman 1dari 3

E.

Filsafat Analitis; Ludwig Wittgenstein

Oleh Rani Wahyuningtyas, 1306394285 (Prodi Jepang)

Filsafat analitis adalah filsafat yang jenisnya dikategorikan sebagai aliran


filsafat yang muncul dari eklompok filsuf yang menyebut dirinya berasal dari
lingkaran Wina yang mulai berkembang dari Jerman, sampai ke Polandia, dan Inggris.
Filsafat analitis itu sendiri dikembangkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Austria
bernama Ludwig Wittgenstein yang merupakan seorang murid dari seorang filsuf
yang bernama Bertrand Russell. Sehingga membuat pemikiran filsafat dari Ludwig
Wittgenstein hampir sama dengan Bertrand Russell. Filsafat analitis hampir mirip
dengan filsafat Science, karena pandangan utama dari pada filsuf yang mengikuti
aliran ini adalah penolakan terhadap metafisik. Menurut mereka, metafisika tidak
dapat di pertanggung jawabkan oleh ilmu pengetahuan manapun serta tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Akan tetapi, walaupun sebagian filsuf yang
mengikuti aliran filsafat analitis ini menolak mentah-mentah terhadap metafisika, tapi
Ludwig Wittgenstein tidak menolak akan adanya hal tersebut, karena menurut
pandangan beliau yang mengakui adanya proposisi-proposisi yang bersifat tautologis,
dimana kebenarannya hanya bisa ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip logis, bukan
dengan pengalaman empiris saja. Di beberapa negara, gerakan filsafat analitis sangat
berpengaruh dan memiliki peran penting di dalam bahasa. Munculnya filsafat analitis
di latar belakangi oleh adanya kekacauan dalam bahasa filsafat. Banyak teori yang
dipaparkan dengan bahasa yang sulit dan membingungkan dan bahkan jauh dari
bahasa sehari-hari (Bakker, 1984:122). berpengaruh dengan rasionalisme Perancis,
idealisme Inggris, dan kritisisme Emmanuel Kant. Selain itu, munculnya aliran
filsafat ini juga merupakan reaksi keras dari pengikut Hagel yang mengusung sistem
idealisme total.

Teori dari filsafat analitis yang dibuat oleh Ludwig Wittgenstein adalah teori
yang sudah sangat inovatif dan sangat lengkap. Teori yang dicetuskan oleh Ludwig
Wittgenstein dibagi menjadi dua periode. Periode pertama adalah teorinya yang
mengenai Tractatus Logico-Philosophicus (1922). Teori tersebut berisikan tentang
teori gambar yang mengungkapkan tentang logika bahasa. Menurut Ludwig
Wittgenstein, hakikat bahasa merupakan gambaran logis dunia empiris yang
didalamnya menyusun proposisi-proposisi yang menggambarkan keberadaan suatu
peristiwa (state of affairs). Menurut pendapat dari Ludwig Wittgenstein, seluruh
filsafat hanya menggunakan satu metode, yaitu metode Critique of Language (Bakker,
1984 :125). Dengan menggunakan metode tersebut, membuat terbukanya
kemungkinan untuk melakukan kritik terhadap pemikiran filsafat yang juga dapat
mengetahui kejelasan dan ketidak jelasan dari konsep itu sendiri. Karya pertama dari
Ludwig Wittgenstein yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (1922) adalah
suatu karya filsafat yang singkat, padat dan disajikan secara unik dengan disajikan
dalam suatu deskripsi yang unik, yaitu dengan sistem notasi angka dengan
menunjukkan prioritas logis dari proposisi-proposisinya. Seperti yang sudah
disebutkan tadi, inti dalam karyanya ini adalah adanya Picture Theory yan
menguraikan tentang logika bahasa. Menurut beliau, hakikat dari logika bahasa itu
sendiri adalah gambaran yang logis dari realitas dunia (Wittgenstein, 1961:67).
Sedangkan hakikat dunia adalah state of affairs atau keseluruhan dari fakta-fakta yang
terdapat di dunia yang nyatanya terbagi dari fakta-fakta itu sendiri (Wittgenstein,
1961:31). Proposisi-proporsisi yang dimaksudkan dalam hal tersebut adalah satuan
bahasa yang menggambarkan dunia itu sendiri. Proposisi-proposisi tersebut bersifat
kompleks dan tidak terbatas. Proposisi tersebut tersusun dari proposisi elementer atau
atomis yang merupakan proposisi paling kecil. Proposisi elementer tersebut adalah
"nama-nama" yang merupakan unsur satuan logis. Totalitas dari proposisi itu sendiri
adalah bahasa yang menggambarkan realitas dunia. Kesesuaian antara realitas dengan
proposisi itu sendiri tidak hanya menyangkut pada hubungan yang terlihat saja, tetapi
juga menyangkut pada situasinya (Pitcher, 1964:77). Sebuah gambaran logis tentang
kenya- taan merupakan sebuah pikiran dan di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran
mendapat- kan sebuah ungkapan yang dapat diamati dengan indra (Wittgenstein, 1961
:3). Wittgenstein berkeyakinan bahwa hal yang dapat diambil dari teori tersebut
adalah ungkapan metafisis itu tidak mengungkapkan realitas sehingga tidak bermakna
dan mistis, walaupun hubugan itu sendiri menyangkut dan berhubugan dengan tuhan,
nilai keindahan, dan etika. Pemikiran dari Wittgensten pada periode pertama itu
sendiri menyangkut dan sangat berpengaruh paham potifismelogis atau yang bisa kita
kenal dengan suatu kelompok filsuf positif yang berpusat di Wina.

Pemikiran filsafat Wittgenstein pada periode kedua adalah Philosophical


Investigations (1953). Pemikiran filsafat Wittgenstein yang kedua berisikan tentang
permainan bahasa (language games) yang menurut beliau bahasa itu sendiri
digunakan oleh manusia dalam berbagai bidang kehidupan dan memiliki aturan dan
penggunaan yang berbeda beda di masing-masing wilayah. Philosophical
Investigations itu sendiri tidak berdasar pada logika bahasa, tetapi pada bahasa yang
biasa dipakai manusia itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika pada periode pertama
Ludwig memfokuskan pada satu bahasa yang ideal yang juga memenuhi sayart
logika, pada periode kedua Ludwig justru mendasarkan bahasa pada bahasa yang
biasa yang bersifat beraneka ragam. Inti dari pemikiran filsafat Ludwig Wittgenstein
yang kedua adalah tata permainan bahasa. Pemikiran filsafat Wittgenstein periode
kedua ini berpengaruh terhadap munculnya aliran filsafat bahasa biasa (Ordinary
Language Philosophy) dan terjadinya postmodernism. Aliran filsafat bahasa biasa ini
berkembang di Eropa terutama di Inggris dan Amerika, serta memiliki pemikiran
filsafat yang ber-aneka ragam.

Filsafat analitis yang diterangkan oleh Ludwig Wittgenstein tersebut


berhubungan sangat relevan bagi pengembangan filsafat bahasa itu sendiri. Hakikat
bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Oleh karena itu, terdapat banyak permainan bahasa yang sifatnya dinamis, tidak
terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia. Hakikat bahasa juga secara
ontologis mengandung nilai yang bersifat sangat relevan jika dikaitkan dan
dikembangkan dengan aksiologi bahasa. Aksiologi bahasa dapat di deskripsikan
dengan nilai bahasa yang terdapat dalam berbagai macam konteks kehidupan
manusia. Aspek lain yang dapat relevan untuk dikembangkan dari hakikat bahasa itu
sendiri adalah Teologi Gramatikal, yang merupakan suatu bidang kajian bahasa pada
pengguannya dalam kehidupan yang religius. Dari kedua teori filsafat analitis yang
diberikan Ludwig Wittgenstein tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa kedua teori
tersebut walaupun sangat berpengaruh tetapi sangat bertolak belakang. Teori filsafat
analitis Ludwig Wittgenstein tersebut juga berpengaruh secara relevan terhadap
pengembangan dasar filosofis pragmatik yang menyangkut aspek ontologis,
epistemologis, maupun aksiologis.

Anda mungkin juga menyukai