Anda di halaman 1dari 8

IMPLEMENTASI FILSAFAT ANALITIK DAN LANGUAGE

GAME LUDWIG WITTGENSTEIN DALAM BAHASA


DAKWAH

Fattah Fadhila Abulkhair


UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Adab dan Humaniora
Email : fattahfadhila08@gmail.com

Abstrak
Artikel ini menjelajahi kehidupan dan filsafat Ludwig Wittgenstein, melacak perjalanan pemikirannya
dari "Tractatus Logico-philosophicus" hingga "Philosophical Investigations." Penekanan awal
Wittgenstein pada "picture theory" menghubungkan bahasa dengan representasi fakta, sementara
konsep kemudian tentang "language games" memindahkan fokus pada penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa, elemen penting dalam komunikasi dan filsafat, memainkan peran
krusial dalam filsafat analitik Wittgenstein.

Filsafat Wittgenstein merespons kebingungan dalam penggunaan bahasa dalam filsafat,


memperjuangkan pendekatan logis, mendalam, dan universal. Dalam konteks agama, Wittgenstein
melihatnya sebagai "form of life," mengakui pengaruhnya pada aktivitas manusia. Konsep Language
Game menjadi instrumen penting dalam berdakwah, mengatasi perilaku kompulsif dan impulsif
melalui motivasi rasional. Fenomena khusus, seperti gerakan childfree, mencerminkan pentingnya
bahasa dinamis dan kontekstual dalam berdakwah agar sejalan dengan prinsip-prinsip Islam dan
menghindari kesalahpahaman. Filsafat Wittgenstein menantang kita untuk melakukan penyelidikan
yang berpusat pada diri sendiri, mengakui bahasa bukan hanya sebagai sumber masalah filosofis tetapi
juga sebagai sarana untuk

Kata kunci: Wittgenstein, Dakwah, Tractatus Logico-Philosophicus, Philosophical


investigation.

Pendahuluan
Penggunaan Bahasa dalam berdakwah bisa memudahkan kita untuk menyampaikan
nilai-nilai yang terkandung dalam agama. Bahasa sebagai peran untuk memindahkan
informasi dari satu individu ke individu yang lain, mengharuskan bagi para pendakwah
agama untuk mencari cara bagaimana supaya informasi yang terkandung didalam agama
dapat tersampaikan dengan jelas dan gamblang.

Seorang pendakwah yang mempunyai keterampilan didalam berdakwah tentunya


mempunyai skill berbicara dan pengalaman yang matang. Mereka paham akan situasi
masyarakat serta menyesuaikan kultur dan budaya mereka. Dalam hal ini, dakwah yang
sering dilakukan adalah dengan bentuk pengajaran menggunakan metode ceramah. Dengan
metode ceramah pendakwah ditantang agar informasi yang ia sampaikan bisa berdampak
pada si pendengar.

Oleh karena itu sang penulis tertarik untuk menerapkan prinsip-prinsip Filsafat analitik
dan Language game yang dipelopori oleh Ludwig Wittgenstein untuk dijadikanya prinsip-
prinsip ini sebagai landasan untuk berdakwah. Mudahnya retorika yang disampaikan oleh
pendakwah dapat menjembatani pemahaman yang ideal dan tidak membingungkan. Karena
konsep-konsep yang ditanamkan pada agama adalah bersifat doktrinal, maka penggunaan
Metode Language Game sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Metode

Artikel ini ditulis berdasarkan review penulis setelah membaca empat jurnal sebagai
berikut, (1) Pemikiran Ludwig Wittgenstein Dalam Kerangka Analiika Bahasa Filsafat Barat
Abad Kontemporer karya Muh. Iffan Gufron, (2) Reinterpretasi Teori Language Game dalam
Bahasa Dakwah Perspektif Ludwig Wittgenstein Karya Khairul Fikri dan Umi Wasiatul
Firdausiyah, (3) Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya Bagi
Pengembangan Pragmatik Karya Kaelan, (4) Kajian Filsafat Analitik Ludwig Wittgenstein
dan Implikasinya Dalam Kajian Agama Karya Muhammad Edy Waluyo. Tak hanya sampai
situ, artikel ini juga didukung dengan berbagai sumber yang terkait dengan topik
pembahasan, suapaya membangun pemahaman yang lebih kompleks.

Ditulis dengan menggunakan metode kualitatif, metode ini melibatkan penggunaan


pendekatan deskriptif, mendalam, dan interpretatif untuk memahami bagaimana filsafat
analitik dan konsep language game Wittgenstein diterapkan dalam konteks bahasa dakwah.
Proses pencarian sumber melalui Library Research dapat dilakukan dengan langkah-langkah
berikut; (1) Menemukan kata kunci yang sesuai, (2) Memilih sumber informasi, (3)
Mengakses katalog perpustakaan, (4) Menjelajahi basis data jurnal, (5) Memeriksa daftar
pustaka, (6) Pertimbangkan sumber primodial, (7) Manfaatkan sumber elektronik di era yang
serba digital ini, (8) Menyimpan sumber-sumber yang ditemukan. Dengan tahapan-tahapan
tersebut artikel ini bisa dihasilkan dan dinikmati oleh pembaca.

Hasil dan Pembahasan

Ludwig J.J Wittgenstein seorang filsuf aktif kelahiran Wina, Austria, pada 26 April
1889. Ayah dan ibunya merupakan keturunan Yahudi; ayahnya adalah seorang penganut
agama Kristen Protestan, sedangkan ibunya menganut agama Katolik. Wittgenstein adalah
anak terakhir dan mempunyai sembilan saudara, dan tiga diantaranya telah bunuh diri,
sementara saudara lainnya gugur dalam Perang Dunia pada tahun 1939-1945. Kondisi ini
menjadimenjadikan wittgenstein seorang bintang harapan keluarga dan membuatnya depresi
atas hal itu. Selama masa depresinya, Oleh karena itu Wittgenstein mulai memasuki dunia
filsafat, khususnya dalam kajian bahasa dalam perspektif filsafatnya. Konsep filsafat bahasa
Wittgenstein mengharapkan bisa merubah pernyataan yang kompleks dan deskriptif menjadi
ungkapan yang mudah dipahami dan sederhana. Pendekatan ini berkaitan dengan pengalaman
Wittgenstein sebagai guru di sekolah dasar dan sebagai tukang kebun di biara. Ketika
mengajar, Wittgenstein harus menyampaikan informasi dengan menggunakan bahasa yang
simpel dan mudah dimengerti. (Oktian 2016:13–17).
Wittgenstein dikenal melalui dua karyanya dari karyanya yang sangat banyak yang
signifikan yaitu "Tractatus logico philosophicus" dan "Philosophical Investigations." Karya-
karya ini menjadi landasan penting bagi kontribusinya sebagai tokoh filsafat analitik dengan
penjelasan yang berkelanjutan. Pemikirannya dapat dibagi menjadi dua periode. Periode
pertama, disebut sebagai pemikiran Wittgenstein 1, dapat ditemukan didalam "Tractatus
Logico-philosophicus." Buku ini berbicara mengenai ujaran dan pemakaian bahasa,
mengaitkannya dengan ide bahwa sesuatu yang memiliki makna seharusnya dapat dijelaskan
secara faktual. Sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan dijabarkan, tidak memiliki
makna yang terkandung, dan dalam hal itu lebih baik seseorang untuk tetap diam
(Wittgenstein 2001:3). Teori ini bisa kita sebut dengan "picture theory" atau pemaknaan
bahasa, di mana Wittgenstein menekankan bahwa bahasa harus mencerminkan realitas untuk
memiliki makna. Wittgenstein juga mengidentifikasi tiga konsep yang dianggap mistis:
subjek, kematian, dan Tuhan (Mustansyir 2012:5).

Pendapat kedua Wittgenstein, yang dikenal sebagai pemikiran Wittgenstein 2,


diungkapkan dalam bukunya yang berjudul "Philosophical Investigations," menunjukkan
perubahan dari pandangannya sebelumnya. Buku ini lebih menitikberatkan pada kritik
terhadap karya sebelumnya, "Tractatus." Pemikiran Wittgenstein II difokuskan pada
penggunaan bahasa untuk merinci keadaan faktual. Dengan keyakinan bahwa makna kalimat
terwujud ketika mampu menggambarkan keadaan faktual, dan setiap jenis bahasa dapat
diuraikan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun mungkin sulit dimengerti pada
pandangan pertama. (Listiana 2012:237).

Dari perubahan pemikiran Wittgenstein 1 ke Wittgenstein 2, muncul suatu ide yaitu


"language game," mengindikasikan bahwa pandangan terhadap permainan merupakan aspek
umum dalam kehidupan sehari-hari sejak kecil. Bahasa menjadi kunci untuk memahami
konsep tata permainan bahasa (language-game), yang terkait dengan sejauh mana bahasa
dapat diterapkan, tidak hanya dalam hubungannya dengan realitas (Wittgenstein 1986).

Wittgenstein 2 menyoroti konsep "language game" atau tata permainan bahasa sebagai
pokok pemikirannya. Penggunaan bahasa melibatkan berbagai aspek kehidupan manusia,
dengan aturan dan nilai tersendiri. Contohnya termasuk memberikan perintah, menyampaikan
ucapan terima kasih, berdoa, dan menguji hipotesis. Wittgenstein menyatakan bahwa makna
suatu kata tergantung pada bagaimana kalimatnya digunakan, dan kalimat itu sendiri terkait
erat dengan cara bahasa digunakan dalam konteks kehidupan manusia.

Dalam pandangan Wittgenstein II terhadap agama, ia melihatnya sebagai suatu bentuk


kehidupan atau "form of life" yang memengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang. Bahasa
dalam agama menjadi bagian dari "language game" yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Meskipun Wittgenstein I menganggap agama tidak memiliki makna, Wittgenstein II
memandangnya sebagai aspek penting dalam aktivitas manusia.

Bahasa, sebagai alat komunikasi, juga memiliki peran penting dalam filsafat. Dalam
perkembangannya, bahasa menjadi pusat perhatian filsuf, terutama pada abad ke-20 dengan
metode analitika bahasa. Bahasa tidak hanya sebagai sarana komunikasi sehari-hari, tetapi
juga sebagai alat untuk menyampaikan konsep-konsep ilmu pengetahuan, terutama dalam
bidang filsafat.

Berdasarkan hubungan bahasa dan filsafat, bahasa menjadi bagian berharga dari
budaya suatu bangsa. Indonesia, sebagai contoh, memiliki keragaman bahasa yang mencapai
746 bahasa, meskipun beberapa di antaranya terancam kepunahan. Bahasa digunakan sebagai
alat untuk berfilsafat dan mengungkapkan konsep-konsep, termasuk konsep tentang alam
semesta.

Dalam kerangka filsafat analitik Wittgenstein, Wittgenstein membangun filsafat


analitik sebagai tanggapan terhadap ketidakjelasan penggunaan bahasa dalam dunia filsafat,
terutama oleh kalangan idealis Inggris seperti Bradley dan Taggart. Bagi Wittgenstein,
berfilsafat adalah suatu metode berpikir logis, mendalam, dan universal mengenai keberadaan
Tuhan, alam semesta, dan manusia. Bahasa dianggap sebagai modus operandi manusia dalam
eksistensi di dunia, mencakup konstitusi seluruh realitas. Kekacauan dan ketidakjelasan
dalam penggunaan bahasa dalam ranah filsafat masih terasa, sehingga filsafat dianggap sulit
dimengerti, membingungkan, dan kurang jelas. Melalui karyanya, Wittgenstein menyajikan
konsep bahasa ideal yang memenuhi formulasi logis sebagai representasi realitas dunia
empiris. Kekurangan ekspresi konsep filsafat, yang muncul akibat kekacauan bahasa, dapat
membahayakan eksistensi ilmu filsafat dalam lingkup kajian ilmiah.

Didalam memahami eksistensi tuhan, maka filsafat analitik menjadi alat untuk
mempermudah jalan berpikir seseorang dalam mengungkapkan eksistensi tuhan. Menjadikan
tuhan sebagai sesuatu yang empiris dan nyata walalupun secara penjabaran menggunakan
bahasa sosok tuhan memang hanya ada di alam idea saja.

Disini berperanlah pengembangan filsafat tahap dua yang di cetuskan oleh Ludwig
Wittgenstein didalam bukunya yang berjudul Philosophical Investigations yang diddalamnya
mencakup pembahasan menegnai Language Game. Language Game, sebagai teori dalam
filsafat, memiliki dampak besar dalam strategi komunikasi berdakwah, terutama dalam
konteks bahasa dakwah. Dalam ranah sosial keagamaan, pemahaman ini memengaruhi cara
masyarakat menerima dakwah, baik secara personal maupun universal. Penerimaan dakwah
secara personal, menurut penulis, dapat memengaruhi perilaku kompulsif dan impulsif.
Kompulsif muncul dari ketidakmampuan mengendalikan diri, sementara impulsif melibatkan
pengambilan keputusan tanpa pertimbangan konsekuensi kedepan. Language Game dalam
dakwah dianggap penting untuk membawa motivasi rasional dalam perilaku individu.

Pada tahap perilaku kompulsif, language game dalam penyampaian dakwah dapat
membantu mengatasi stres dan kecemasan individu, memberikan pemahaman yang dapat
melekat dalam diri mereka. Di sisi lain, perilaku impulsif, yang merupakan tindakan reflek
tanpa pertimbangan konsekuensi, menuntut pendakwah menjadi dinamis dan fleksibel dalam
membimbing pendengar ke pemikiran positif.

Dalam konteks spesifik, seperti fenomena childfree, language game digunakan untuk
membimbing pendengar dan pembaca menuju pemahaman positif. Dakwah harus
disampaikan dengan bahasa logis dan mudah dimengerti, sesuai dengan syari’at Islam, tetapi
tetap dinamis dan kontekstual. Penggunaan bahasa yang tepat dalam dakwah menghindari
kesalahpahaman dan kesalahpemaknaan masyarakat, mendukung tujuan-tujuan dakwah.

Kemudian penjabaran mengenai ketuhanan. Dengan adanya Language Game dapat


memberikan pemahaman yang kuat dan tepat dalam konsepsi ketuhanan. Sulitnya memahami
penggambaran eksistensi tuhan menjadikan sebagian orang salah dalam memahaminya,
bahkan cenderung menyimpang dari apa yang diajarkan oleh suatu agama. Menyambung
dengan konsep filsafat analitik Wittgenstein, karena pembahasan ketuhanan itu adalam
pembahansan yang tidak ada empirisnya, dalam artian pembahasan konsep tuhan tidak dapat
kita lihat degan panca indra kita, tapi bagaimana supaya pendengar bisa mengkonfirmasi
bahwa tuhan itu tetap ada namun hanya tak nampak wujudnya, oleh karena itu penggunaan
Language game sangat dibutuhkan dalam penjelasan ini untuk merasakan tuhan dengan iman
sesuai dengan ajaran agama.

Language game ini berperan besar bagaimana cara kita mendoktrin ajaran-ajaran
agama yang dibawakan oleh sang pendakwah. Begitu pula seperti halnya Motivator yang
selalu menggunakan konsep Language dalam public speaking nya demi menanamkan
semnagat audience terhadap tema tertentu.

Dengan menerapkan konsep-konsep tersebut, Filsafat menjadi lebih accessible bagi


semua orang. Wittgenstein, seperti yang ditekankan oleh Marie McGinn, menyadari
sepenuhnya tantangan dalam memahami karyanya, termasuk pertentangan dengan cara
berpikirnya. Wittgenstein memandang kesulitan tersebut bukan sebagai tantangan intelektual
semata, tetapi sebagai kesulitan dalam merubah perspektif. Dia mengusulkan bahwa kita
perlu melakukan eksplorasi baru yang mengarah pada introspeksi diri, bukan untuk
menciptakan teori-teori baru yang menggemparkan, melainkan untuk mengevaluasi
penggunaan bahasa. Wittgenstein yakin bahwa akar masalah dalam filsafat berasal dari
kesalahpahaman terhadap logika bahasa kita. Baginya, masalah ini bukanlah tantangan
empiris yang tidak dapat dipecahkan, melainkan kesalahpahaman yang bisa diatasi dengan
memahami cara kerja bahasa. Bahasa, menurut Wittgenstein, tidak hanya menjadi sumber
masalah filosofis, tetapi juga menjadi alat untuk mengatasinya. Wittgenstein menyatakan
bahwa filsafat merupakan bentuk perjuangan melawan kekuatan kecerdasan kita dengan
menggunakan bahasa.

Kesimpulan

Ludwig Wittgenstein, lahir di Austria pada 26 April 1889, adalah seorang filsuf yang
dikenal melalui dua karyanya yang signifikan, "Tractatus Logico-philosophicus" dan
"Philosophical Investigations." Evolusi pemikirannya dari Wittgenstein I ke Wittgenstein II
menyoroti pergeseran fokus dari pemaknaan bahasa yang bersifat faktual dalam "Tractatus"
ke konsep "language game" dalam "Philosophical Investigations."

Pandangan Wittgenstein II terhadap agama menunjukkan bahwa bahasa dalam konteks


kehidupan sehari-hari menjadi inti pemikirannya, dan meskipun Wittgenstein I menganggap
agama tidak memiliki makna, Wittgenstein II melihatnya sebagai aspek penting dalam
aktivitas manusia. Selain itu, peran bahasa dalam filsafat, terutama dengan metode analitika
bahasa, menjadi pusat perhatian pada abad ke-20.

Dalam konteks sosial dan agama, konsep "language game" membawa dampak besar
dalam strategi komunikasi berdakwah. Penerimaan dakwah secara personal dapat
memengaruhi perilaku kompulsif dan impulsif individu. Language game membantu dalam
mengatasi stres dan kecemasan, serta membimbing pendengar menuju pemahaman positif,
terutama dalam konteks fenomena seperti childfree.

Dalam pemahaman mengenai ketuhanan, Wittgenstein menyajikan konsep "Language


Game" sebagai alat untuk mempermudah jalan berpikir dan menjelaskan konsepsi ketuhanan.
Penggunaan bahasa yang tepat dalam dakwah dan penjelasan konsep-konsep agama menjadi
kunci dalam merancang pemahaman yang kuat dan tepat. Dengan demikian, konsep
Wittgenstein memperlihatkan bahwa bahasa tidak hanya menjadi sumber masalah filosofis,
tetapi juga menjadi alat untuk mengatasinya. Filsafat, menurut Wittgenstein, adalah
perjuangan melawan daya tarik kecerdasan kita dengan menggunakan bahasa.
Daftar Pustaka
Waluyo Edy M. Filsafat Analitik Ludwig Wittgeinstein dan Implikasinya dalam Kajian
Agama, Journal LENTERNAL: Learning and Teaching Journal. Vol. 3, No. 3, 2022, Hal. 171-
180

Gufron Iffan Muh. Pemikiran Ludwig Wittgenstein Dalam Kerangka Analitika Bahasa Filsafat
Barat Abad Kontemporer. Jurnal Misykah, Vo. 1 No. 1 Januari 2016 hal. 118-144.

Firdausiyah Wasiatul Umi, Fikri Khairul. Reinterpretasi Teori Language Game dalam Bahasa
Dakwah Perspektif Ludwig Wittgenstein. Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2,
October 2021, Hal. 80-92.

Kaelan. Filsafat Analitik Menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya Bagi Pengembangan


Pragmatik. Jurnal Humaniora Volume 16, No. 2, Juni 2024, Hal. 133-146.

Link Journal
https://media.neliti.com/media/publications/11654-ID-filsafat-analitis-menurut-ludwig-
wittgenstein-relevansinya-bagi-pengembangan-pra.pdf
https://journal.bungabangsacirebon.ac.id/index.php/misykah/article/view/11/19
https://journal2.unusa.ac.id/index.php/JIC/article/view/2374/1508
https://media.neliti.com/media/publications/11654-none-cb3df45f.pdf

Anda mungkin juga menyukai