Anda di halaman 1dari 16

Review Buku “Language, Culture, and Society” Bab 2 “Linguistic Relativites” Karya

Christine Jourdan, Kevin Tuite

Disusun Oleh:

1. Khalisa Alya Syahira 13040221130046


2. Nursalima Tsalats Hadimar Putri 13040221130065
3. Cahya Mulyani Rahmatullah 13040221130067

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2023
RELATIVITAS LINGUISTIK

Pada sekitar tahun 1920-an dan 1930-an, para antropolog serta ahli bahasa
mengemukakan prinsip relativitas linguistik yang berpandangan bahwa ciri-ciri bahasa
seseorang dapat memengaruhi aspek kehidupan lainnya dan harus diperhitungkan.

Universals, Particulars, and Relativity

Seluruh bahasa yang kita kenal pada dasarnya tidaklah sama dalam tiap tingkatannya,
baik itu suara, leksikon, urutan kata, kategori gramatikal, pola wacana, hingga bahkan budaya
bahasanya. Bahasa sebagai salah satu budaya manusia memanifestasikan dirinya dalam bentuk
sistem tertentu sehingga membentuk bahasa yang berbeda.

Implikasinya:

1. Bagi sebagian karikatur yang menganut pandangan universalis, penting untuk


memahami bahwa manusia adalah apa manusia pada umumnya, yang bisa dijelaskan
melalui natural-science-type laws dan perbedaan bahasa hanya sebatas perbedaan
ekspresi dari suatu pengalaman manusia dan serangkaian pola pikir.
2. Pandangan lain justru menyebutkan bahwa pengalaman dan penciptaan manusia pada
dasarnya jamak sehingga setiap manifestasi mengungkapkan esensi untuk dipahami
dan ditafsirkan secara holistik, bukan dijelaskan secara kausal.

Dengan demikian, perbedaan bahasa dalam pandangan ini menandakan perbedaan di


antara dunia: dalam konteks apa pun, bahasa, budaya, dan pemikiran mengekspresikan esensi
unik yang sama. Menyinggung mengenai Kaum Boasian, mereka pada kenyataannya
berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara bahasa suatu bangsa,
budayanya, dan proses kognitif mereka. Di sisi lain, mereka juga berpendapat bahwa bahasa
itu lebih dari sekadar sarana untuk menyampaikan pemikiran atau persepsi yang sama,
sehingga "pemotongan" bahasa itu pasti berimplikasi pada sudut pandang pengguna terhadap
dunia.

Pada tahun 1920-an Sapir memunculkan metafora yang sebenarnya ia lansir dari prinsip
relativitas Einstein di mana perbedaan posisi dan keadaan pergerakan seorang pengamat
menyiratkan perbedaan dalam pengamatannya. Prinsip ini Eisnten sebut sebagai teori sudut
pandang. Sederhananya, ia tidak berpendapat bahwa tidak ada dunia di luar pengalaman kita
tentang dunia, juga tidak ada kesamaan pemikiran atau pengalaman manusia, juga tidak ada
jalan keluar. Untuk bergerak dalam pikiran di antara keadaan atau situasi yang berbeda, dan
tentu saja bukan berarti bahwa "semuanya relatif," tetapi perbedaan bahasa–seperti posisi dan
kecepatan–menyiratkan perbedaan sudut pandang yang harus diperhitungkan. Sederhananya,
teori ini menjelaskan bahwa hukum fisika akan selalu sama dan konstan di mana pun. Namun
sesuatu yang terjadi pada ruang dan waktulah yang membuatnya berbeda.

Melalui pandangan yang berbeda akan menghasilkan ruang dan waktu kejadian secara
berbeda pula. Semua hal tersebut sifatnya relatif. Ruang dan waktu terjalin menjadi sebuah
kontinum tunggal yang dikenal sebagai ruang-waktu (spacetime). Peristiwa yang terjadi pada
saat yang sama untuk satu pengamat dapat terjadi pada waktu yang berbeda untuk yang lain.

Before Boas: A Universe of Laws or A Multiverse of Essences

Pandangan filosofis yang dominan pada abad ke-17 dan ke-18 adalah pemahaman
bahwa pemikiran manusia merupakan hasil reproduksi yang kurang lebih linear dengan nalar
yang telah dimasukkan Tuhan ke dalam pikiran manusia atau bentuk refleksi yang kurang lebih
sejalan dengan hubungan pikiran yang diambil dari dunia (Bacon, Locke dan empirisme
berikutnya). Sejauh bahasa berbeda, mereka menimbulkan masalah.

Solusi rasionalis adalah mengusulkan tata bahasa umum berdasarkan logika universal
dan menilai bahasa tergantung pada seberapa dekat mereka berpegang pada logika ini. Solusi
empiris, yang diusulkan oleh John Locke (1632-1704), adalah mendisiplinkan bahasa agar
sesuai dengan dunia itu sendiri (Bauman dan Briggs 2000: 144–165). Pada akhir abad ke-18,
pandangan positif tentang pluralitas kemudian menjadi penting, terutama di Jerman yang
didukung dengan adanya tulisan-tulisan Johann Gottfried Herder (1744–1803) sebelum
akhirnya mencapai puncaknya dalam gerakan Romantik.

a. Herder
Herder berpandangan bahwa sifat sebenarnya dari pemahaman manusia
bukanlah untuk mengikuti garis penalaran, tetapi juga untuk memahami keutuhan,
untuk menangkap esensi dalam berbagai ekspresi. Pandangannya ini sejalan dengan
pendapat Immanuel Kant (1724-1804), tetapi keduanya berbeda dalam memandangan
terkait perbedaan bahasa. Kant berpendapat kalau pikiran manusia itu bekerja dari data
yang masuk, ia melakukannya mulai dari sejumlah intuisi bawaan–dalam urutan ruang,
waktu, dan kausalitas–yang berfungsi sebagai prinsip pengorganisasian mendasar.
Herder mengkritik pengabaian Kant terhadap keragaman linguistik dan peran yang
dimainkan bahasa dalam memahami dunia. “Menjawab Kant yang menempatkan ruang
dan waktu sebagai ide bawaan, Herder menawarkan bahasa sebagai guru dari ide-ide
ini.” (Penn1972: 52).

b. Romaticism
Dalam studi bahasa, di antara tokoh Romantis yang paling penting adalah
Agustus bersaudara (1767–1845) dan Friedrich (1772–1829) von Schlegel. Buku
Friedrich tentang On the Language and Wisdom of the Indians (1808) membahas dua
ide yang akan tetap mendasar dalam linguistik. Bahwa bahasa Sanskerta, bahasa kuno
India, secara historis terkait dengan banyak bahasa di Eropa, dan secara lebih umum
mungkin menemukan hubungan historis antarbahasa dengan membandingkan bunyi
dan struktur gramatikal. Ini adalah awal dari bidang linguistik sejarah, tetapi Schlegel
kemudian memperlakukan seluruh rumpun bahasa ini–rumpun yang sekarang kita
sebut bahasa Indo-Eropa–sebagai contoh dari satu jenis bahasa yang elemen kunci serta
esensi atau struktur dalamnya (batin Bau), terletak pada caranya menyatukan unsur-
unsur yang bermakna untuk membuat kata-kata. Inilah yang sekarang disebut
morfologi kata.
Dalam pengembangan gagasan ini, saudara laki-laki Friedrich, August (1818),
datang untuk membedakan morfologi infleksi khas bahasa Indo-Eropa dari morfologi
isolasi bahasa Cina dan morfologi aglutinasi dari banyak bahasa Dunia Lama, termasuk
bahasa Turki. Seluruh presentasi adalah awal dari apa yang sekarang disebut klasifikasi
tipologis. Dalam bahasa yang terisolasi, unsur-unsur yang bermakna hanya bertabrakan
satu sama lain, sementara dalam bahasa yang menggumpal mereka saling menempel
secara mekanis.
Sepanjang abad ke-19, cara-cara genetik dan tipologis untuk menganalisis dan
mengklasifikasikan bahasa akan menyimpang menjadi dua aliran yang berbeda.
Linguistik historis akan berkonsentrasi pada hubungan genetik di antara bahasa rumpun
Indo-Eropa, mengembangkan metode-metode gaya sains alam yang semakin
meningkat berdasarkan penetapan hukum, khususnya perubahan suara. Ini akan
menjadi bentuk linguistik yang dominan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Pada
saat yang sama, linguistik minoritas yang muncul dari karya Wilhelm von Humboldt
(1767–1835) berusaha menganalisis variasi jenis bahasa sebesar mungkin untuk
mengidentifikasi esensi spesifik masing-masing.
c. Humboldt
Secara garis besar, Humboldt menggambarkan bahasa dengan memasukkan
komponen universalis yang kemudian menggambarkan implikasi esensialisme
romantis. Bagi Humboldt: Pluralitas dan perbedaan pada dasarnya baik. Oleh karena
itu seseorang harus mempertimbangkan jumlah terbesar dari bahasa yang berbeda
secara maksimal.
Setiap bahasa memiliki bentuk batin yang unik dan harus dipahami sebagai
suatu sistem atau keseluruhan. Bahasa adalah makhluk (Wesen) ditentukan di mana-
mana oleh satu prinsip yang mendiami yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
kategori umum apa pun, seperti halnya manusia atau wajah manusia. Setiap bahasa
beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang berbeda, dan ahli tata bahasa harus
memahami ini untuk memberikan deskripsi yang memadai (Trabant1986: 173–175),
memerlukan pengembangan: “metode … disesuaikan dengan kejeniusan bahasa yang
sebenarnya”. Bahasa bukan hanya sarana ekspresi pikiran, tetapi masuk ke dalam
konstitusi itu sendiri. Bahasa adalah organ pembentuk pemikiran … pikiran dan bahasa
adalah … satu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sistem bahasa berdiri di antara
subjek dan dunia dan mengorientasikan konstruksinya tentang dunia ini.
Fakta perbedaan linguistik dengan demikian berarti bahwa setiap bahasa
menyiratkan: "keanekaragaman pandangan dunia". Bahasa menarik tentang orang-
orang yang memiliki lingkaran di mana dimungkinkan untuk keluar hanya dengan
melangkah sekaligus ke lingkaran yang lain. Untuk mempelajari bahasa asing karena
itu harus memperoleh sudut pandang baru (Standpunkt) dalam pandangan dunia
(Weltansicht) yang dimiliki sampai sekarang. Sastra dan puisi adalah ekspresi esensi
linguistik yang paling berkembang (Trabant 2000: 33–34). Dalam keadaan normal,
karakter bangsa, bahasa, ras, pandangan dunia semuanya cocok satu sama lain. Bahasa
adalah milik suatu bangsa, darah mereka, tubuh mereka, semuanya mengekspresikan
esensi yang sama.

d. After Humboldt
Pada abad 19 ke atas, linguistik sejarah semakin kehilangan minat pada bahasa
tertentu sebagai sistem atau keseluruhan. Objeknya bukan lagi bahasa, melainkan
bidang transformasi historis suara dan bentuk. Para penganut aliran Humboldtian lantas
mengembangkan linguistik sistemik yang fokus pada karakterisasi jenis bahasa yang
kemudian oleh Heymann Steinthal dicoba didasarkan pada filsafat Hegel. Hegel sendiri
percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini dinamis atau terus bergerak.
Sebagai metafora untuk menggambarkan konsep ini, Hegel menggunakan
siklus pertumbuhan tanaman, yang tahapannya terjadi sesuai dengan prinsip yang telah
digariskan. Dengan demikian, Hegel melihat sejarah sebagai siklus yang mengikuti
logika yang telah ditentukan sebelumnya, yang kemudian, berulang kali menyebabkan
kontradiksi dan revolusi. Logika Hegel dibangun dengan menggunakan prinsip tesis,
antitesis dan sintesis, lalu seiring waktu, sintesis ini kembali berlaku sebagai tesis,
demikian prosesnya terus berlanjut dalam siklus ini. Dia yakin bahwa proses dialektika
adalah perubahan yang secara konsisten membawa umat manusia, dan sejarah, untuk
jadi selangkah lebih maju.

e. Evolusionism
Akhir abad ke-19, gerakan terpenting dari kaum universalis dalam studi
kemanusiaan adalah evolusionisme yang mengurutkan kebudayaan manusia. Hal-hal
primitif yang sampai sekarang masih berkembang di masyarakat, seperti takhayul, adat-
istiadat, dll pada dasarnya menunjukkan bukti adanya kelangsungan hidup dari zaman
yang lebih awal. Karena dalam konteks ini, manusi dianggap telah melewati atau gagal
melewati tahapan yang sama, ini menunjukkan bahwa informasi yang kita dapatkan
terkait berburu dan mengumpulkan makanan masih bisa kita gunakan untuk
merekonstruksi sejarah awal umat manusia. Akan tetapi, tidak dengan bahasa. Berbeda
dengan perilaku berburu dan perilaku primitif yang bisa dijadikan bukti bahwa manusia
berevolusi, bahasa justru tidak disebut sebagai 'bahasa primitif'. Oleh karena itu, sulit
bagi para evolusionis untuk mengkaji mengenai bahasa. Salah satu antropolog ternama,
E. B. Tylor menyebutkan dalam buku Primitive Culture (1871) bahwa meskipun tidak
ada bukti konkret, tapi ia meyakini bahwa bahasa awal pasti didominasi oleh gerak
tubuh dan onomatope.

Boas and Boasian Linguistic

a. Boasian Principles
Linguistik Boasian paling sering digabungkan dengan pekerjaan pada aspek
budaya lainnya. Kaum Boasian sendiri menentang pandangan evolusionis di setiap
tingkatan: mereka berpendapat bahwa setiap bahasa layak diperlakukan dengan
istilahnya sendiri, bahwa kekhususan setiap bahasa itu penting, dan bahwa setiap sistem
linguistik mengorientasikan pemikiran kebiasaan penggunanya. Pemikian kaum
Boasian ini jelas linear dengan apa yang dianut oleh kaum Humboldtian. Namun pada
saat yang sama, kaum Boasian tidak mengadopsi semua prinsip kaum Humboldtian.
Mereka tidak menganggap wajar pecarian pola koherensi dalam bahasa dan budaya
yang dilakukan oleh kaum Humboldtian.
Kaum Boasian juga menolak gagasan bahwa bahasa, budaya, ras, dan pemikiran
saling terkait. Sebaliknya: penutur bahasa yang sangat berbeda bisa saja sangat mirip
dalam aktivitas ekonomi, struktur sosial, estetika, dan/atau agama. Sebaliknya, penutur
bahasa yang sama bisa saja berbeda secara drastis pada parameter ini. Sederhananya,
bahasa, budaya, dan ras dalam hal ini bukanlah komponen parsial, melainkan aspek-
aspek yang terpisah antara satu sama lainnya, mereka tidak begitu saling
mempengaruhi. Sehingga, bahasa apa pun mampu mengekspresikan konteks/konten
apa pun; bahasa yang diucapkan seseorang tidak membatasi apa yang
mungkin dipikirkan.

b. Boas, Science, and Linguistics


Awalnya, Boas memulai ketertarikan dalam bidang fisika, lalu pindah ke bidang
psikofisika Jerman yang khas dalam memahami hubungan antara fenomena alam dalam
penjelasan ilmiah dan fenomena yang dirasakan manusia. Kemudian, Boas mulai
tertarik pada konsep ruang dalam pandangan seluruh manusia. Penelitian pertamanya
mengenai hidup dengan Inuit memberinya pengalaman yang mempengaruhinya tentang
bagaimana ia menyikapi perbedaan budaya. Dari penelitian tersebut, ia menjadi
penasaran dengan bagaimana peradaban masayarakat Eropa mengenai pentingnya
Herzenbildung atau pembentukan hati setiap orang dalam latar budaya apapun.
Pemilihan kata ini menarik karena bermakna bagaimana pembentukan hati disini dapat
membentuk dan mengembangkan peradaban masyarakat secara keseluruhan sebagai
manusia yang cerdas.
Dalam sebuah perdebatannya dengan beberapa antropolog dalam mengatur
sebuah museum, Boas berpendapat bahwa sebuah museum harus menunjukkan
perkembangan budaya yang “relatif” karena budaya bukanlah hal yang absolut,
melainkan hal yang relatif. Pernyataan Boas kemudian menimbulkan beberapa
pertanyaan mengenai apakah ide-ide dan gagasan manusia hanya merupakan produk
dari peradaban? Hal ini kemudian dijawab melalui salah satu cabang antropologi
lainnya yakni mengenai tujuan etnologi yang dapat membuka pandangan kita mengenai
hal yang ada di luar budaya kita. Etnologi sendiri memungkinkan kita untuk menilai
dan memandang budaya secara objektif.
Pembahasan pertamanya dalam makalah teori linguistik yang berjudul “On
Alternating Sounds” (1889), Boas menentang bahwa pengucapan kata yang jelas
tergantung pada tingkatan perkembangan bahasa. Misalnya, ketika seorang pengunjung
asing memiliki pengucapan yang berbeda, namun dalam bahasa lokal yang sama, hal
ini disebabkan karena para pengunjung asing tidak terbiasa untuk mendengar perbedaan
yang relevan dari pengucapan bahasa mereka sendiri. Boas berpendapat bahwa setiap
bahasa yang menata alam semesta memiliki pem-bunyi-annya sendiri. “Each
apperceives the unknown sounds by the means of the sounds of his own language” (pp.
75–76).
Awalnya, Boas mengira bahwa tidak adanya hubungan antara bahasa, keturunan
biologis, dan budaya. Kemudian, ia mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara bahasa
dan tidak adanya keterbatasan pemikiran seseorang dalam satu bahasa tersebut.
Misalnya, seorang peternak dalam menghafal jumlah sapi ternak yang dimilikinya tidak
harus mengatakan bahwa ia memiliki 27 ekor sapi, tetapi ia tetap mengetahui jika salah
satu ternaknya hilang.
Pernyataan Boas mengenai korelasi antar bahasa dan lainnya membuka
gambaran mengenai konsep presentasi bahasa yang sebenarnya. Hal tersebut
berhubungan dengan struktur kebahasaan seperti fonetik, leksikon, dan tata bahasa.
Dalam fonetik, Boas berpenapat bahwa potensi produksi suara yang dihasilkan dari
suara vokal manusia itu tidak terbatas. Sedangkan, pada leksikon dan tata bahasa, ia
berpendapat bahwa setiap bahasa harus bisa mengkonfigurasi dan mendefinisikan lebih
baik daripada hal lainnya, baik dengan memberi leksikon atau dengan memerhatikan
suatu pengalaman lainnya melalui perangkat tata bahasa. Seperti halnya bunyi,
keterbatasan dari sistematis sifat kosa kata dan tata bahasa menyebabkan bahasa yang
akan berbeda.
Kemudian, hasil dari diskusi Boas membahas mengenai bagaimana kosa kata
yang ditunjukkan dalam bahasa yang berbeda dapat membatasi bidang pengalaman.
Contohnya, pada kata bahasa inggris “snow” atau salju dapat di interpretasikan dalam
tiga bentuk yang berbeda, yaitu salju yang jatuh, salju yang ada di permukaan, dan salju
yang melayang. Contoh lainnya adalah tetesan hujan, sungai, dan danau, ketiga kata
tersebut jelas berbeda dan memiliki makna sebenarnya yang berbeda, namun ketiga
kata tersebut juga dapat kita ketahui bahwa mereka adalah air atau memiliki kesamaan
(identik) dengan air. Disini Boas mencoba menegaskan bahwa setiap bahasa dalam
sudut pandang bahasa lainnya dapat membentuk fonetik atau bunyi yang berbeda dalam
bahasa satu dengan yang lainnya. Seperti halnya, dalam bahasa Inggris ada penggunaan
imbuhan menggunakan /s/ untuk menunjukkan bahwa suatu “benda” tersebut bersifat
plural atau jamak. Namun, menurut Boas penggunaan sistem tata bahasa atau imbuhan
gramatikal bersifat mutlak, tetapi maknanya dapat bergeser menjadi makna yang
kurang tepat seperti apa yang ingin disampaikan.
Boas mengatakan bahwa adanya perbedaan berbagai bahasa dalam
mengkategorikan tata bahasa yang relevan. Boas menyimpulkan bahwa ketika berpikir
tentang sifat-sifat beberapa bahasa, pada dasarnya terdapat kategori bahasa yang
berbeda dan memerlukan perbandingan sifat fonetik serta sifat kosa kata dan konsep
tata bahasa untuk menerima setiap bahasa dengan caranya sendiri di tempat yang sesuai.
Itulah yang dimaksud dengan relativitas linguistik.

c. Sapir, Lee, Whorf


Edward Sapir (1884-1939) merupakan orang yang terlatih dalam bidang sastra,
Ia memiliki kepekaan yang kuat terhadap bunyi puisi linguistik dan juga polanya,
seperti sebaik ia peduli dengan pengalaman individu terhadap bagaimana bahasa
“hidup” dalam subjek manusia. Sapir juga menyangkal adanya hubungan yang
diperlukan antara bahasa, ras, dan budaya. Konsep fonem juga dikembangkan oleh
Sapir. Ia dapat memperjelas antara bunyi sebagai akustik atau entinitas artikulatoris dan
fones sebagai sistem sistem elemennya. Sapir (Sapir 1933 [1949]) menyebutnya
sebagai “realitas psikologis fonem” dan ia tidak hanya tertarik dengan sistemnya saja,
namun juga dengan bagaimana sistem tersebut dirasakan oleh manusia.
Dalam fonologi, Sapir menulis mengenai “pola perasaan” yang memengaruhi
seseorang merasakan suara dalam berbagai cara tertentu. Sapir berpendapat bahwa
penggunaan tata bahasa yang spesifik juga menuntun pengguna bahasa tersebut pada
pola dari ekspektasi yang tidak disadari (Erickson et al.1997). Dalam presentasi
umumnya, ia mengatakaan bahwa dalam istilah yang kuat terkadang membuat
ketergantungan individu pada pola konseptual yang berasal dari bahasa yang
digunakan. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak jauh dari berbagai aktivitas
sosial di dunia. Oleh karena itu, manusia sangat bergantung pada bahasa tertentu yang
sudah menjadi media pengekspresian suatu masyarakat. Namun, karena itu juga bahasa
dikatakan hanya sebagai sarana yang sekedar untuk memecahkan masalah komunikasi
atau refleksi tertentu bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri. Faktanya, dunia ini
secara tidak sadar memang terbentuk dari kebiasaan bahasa beberapa kelompok. Teori
yang dibawa oleh Sapir kemudian diperluas oleh Dorothy Demetracopoulou Lee (1905-
1975) dalam karyanya tentang Wintu, yakni bahasa Penutian di California utara dan
budaya penuturnya. Ia berusaha merumuskan mengenai “filosofi yang tidak
dirumuskan” dari tata bahasa Wintu.
Benjamin Lee Whorf (1897-1941) juga mengaktualisasikan pandangan Sapir
dalam analisis lanjutan mengenai bahasa, seperti dalam kasusnya yang meneliti suku
Hopi, yaitu bahasa Uto-Aztec yang digunakan di Arizona. Whorf terkenal dalam
“hipotesis Sapir-Whorf” yang mengatakan bahwa suatu bahasa khusus dapat
mempengaruhi atau menentukan pemikiran penuturnya, atau bahasa merupakan proses
menentukan kemungkinan dari pemikiran seseorang. Dalam pandangannya mengenai
bahasa dan konsepsi manusia, ia menggunakan prinsip Boasian bahwa manusia bebas
menggunakan dan mengatakan bahasa apapun, bahasa bukanlah tolak ukur nilai
seseorang karena tiap bahasa memiliki struktur yang berbeda. Whorf percaya bahwa
pemikiran dan persepsi manusia bersifat non-linguistik dan melainkan universal pada
seluruh bahasa.Whorf juga melakukan analisis bahasa secara eksplisit dan membuat
pengkategorian tentang kategori rahasia suatu bahasa serta cryptotypes, yaitu perbedaan
yang diungkapkan dalam pembicaraan namun hanya dapat dikenali melalui
perbandingan konteks. Whorf juga berpendapat bahwa sejauh mana bahasa yang
dikuasi seseorang cenderung mengarahkan pemikiran seseorang pada garis tertentu
untuk mempelajari bahasa lain.

d. Sapir, Whorf, Einstein


Konsep teori yang dikemukakan oleh Sapir dan Whorf sebelumnya berpacu
pada teori relativitas Einstein. Konsep relativitas atau bentuk relativitas pemikiran ini
merupakan penerimaan kita terhadap kebiasaan berbicara sebagai panduan dalam
pemahaman objektif mengenai sifat pengalaman. Relativitas bukanlah teori baru,
relativitas Newton juga masih mengasumsikan ruang yang absolut dan waktu yang
tetap memberikan tempat peristiwa yang ditemukan. Kata relativitas telah digunakan
untuk mengacu pada bahasa dalam filosofi yang dicetuskan oleh Humboldt pada abad
ke-19. Namun, relativitas belum tentu relativisme.
Beside Boas: Structuralism and Neoromanticism

Sekolah pada masa abad ke-20 mengajukan pertanyaan tentang perbedaan linguistik.
Dalam hal tersebut, ini termasuk formalism Rusia, diantaranya adalah mengenai strukturalisme
dari Ferdinand de Saussure dengan perkembangan di sekolah Praha tahun 1930-an dan
strukturalisme yang berbasis di Paris tahun 1960-an dan 1970-an dan linguistik neo-
Humboldtian di Jerman. Para strukturalis telah memiliki beberapa konsep yang mirip dengan
determinisme bahasa oleh pemikiran (Saussure1916 [1972]; Benveniste 1958), hipotesis Sapir
Whorf justri memperluas proyek strukturalis.

Setelah kematian Steinthal, gagasan Humboldtian mengenai hubungan antara bahasa


dan pandangan dunia diangkat oleh beberapa sejarawan sastra dan filolog. Pada awal 1920-an
filsuf Ernst Cassirer (1874– 1945) mengemukakan gagasan aliran Herder–Humboldt dalam
filsafat dan linguistik (1923 [1955]). Dengan emigrasinya ke Amerika Serikat, pembaruan
pluralisme dan esensialisme Cassirer memengaruhi siswa Amerika dan menjadi sumber
inspirasi bagi antropologi simbolik tahun 1970-an. Kemudian, dalam sebuah gerakan pararel
mengenai “return to Humboldt” sedang berlangsung di Jerman dengan sebutan linguistik neo-
Humboldtian atau Neuromantic, yang mana berusaha untuk membuat makna eksplisit tersirat
dalam kosa kata sampai batas dalam tata bahasa tertentu s (Basilius 1952; Ohman 1953; Bynon
1966; Miller 1968). Neo-Humboldtian berbicara tentang bagaimana setiap bahasa yang
merepresentasikan pandangan mengenai dunia, konstruksi dunia (Weltbild), dan dicirikan oleh
batin atau perasaan yang ada dalam manusia. Bentuk ini dilakukan terutama dalam leksikon,
dalam kumpulan kata yang terkait dan kontras. Untuk memahami suatu bahasa dalam
kekhususannya, seseorang harus merekonstruksi tidak hanya bentuknya, tetapi juga bidang
semantik, bidang kata, yang menyusun isinya.

Aspek utama dari proyek neo-Humboldtian ini adalah peningkatan bahasa ibu
seseorang, yang kekhususannya terikat dengan nilai-nilai seseorang yang paling mendalam.
Hal ini bertentangan dengan Boasian, yang menganggap kemampuan untuk memahami bahasa
asing lain itu penting dan diperlukan. Sedangkan menurut kaum neo-Humboldtia berpendapat
bahwa mempelajari bahasa lain tidak dapat banyak membantu dalam memperluas cakrawala
seseorang, karena seseorang mempelajarinya melalui bahasa ibu, dan bahasa itu tetap
terpinggirkan darinya. (Binon1966: 472).

Leo Weisgerber merupakan orang neo-Humboldtians yang paling terkenal. Dalam kosa
kata, Weisgerber menganggap tingginya jumlah istilah warna abstrak (yang kemudian disebut
istilah warna dasar) dalam bahasa Jerman dan bahasa Eropa Barat lainnya sebagai tanda
kesesuaian mereka yang lebih besar untuk pemikiran abstrak. Dalam sintaks (Weisgerber 1954:
190–200; Miller 1968: 94–97), ia mengusulkan efek konseptual dari sifat Jerman yang
mencakup sejumlah besar materi antara pengubah dan kepala sintagma tertentu, kumpulan
sintagma yang mengharuskan pembicara untuk mengingat pola hubungan yang kompleks.

Pandangan mengenai pentingnya penekanan dan pengembangan bahasa ibu membuar


Reich ketiga tertarik dengan pembahasan ini. Dalam sebuah ulasan yang ternyata sejalan
dengan pemikiran Sosialis Nasional, Kurt Stegmann von Pritzwald (1936) melihat
Neoromantisisme sebagai perwakilan dari generasi baru yang menolak ilmu dingin dari
linguistik historis lama dan berupaya membantu secara aktif dalam realisasi diri bangsa Jerman.
Namun, adanya Neo-Humboldtian ini menunjukkan seperti apa esensialisme linguistik abad
ke-20 yang sebenarnya; sebaliknya, mereka menunjukkan betapa berbedanya proyek Boasian.

After Boas: The Near-death and Rebirth of Linguistic Relativity

Setelah Sapir wafat pada tahun 1939, Whorf pada tahun 1941, dan Boas pada tahun
1942. Dorothy Lee menerbitkan beberapa makalah tentang bahasa dan perspektif dunia, yang
juga dilakukan oleh Harry Hoijer (1904-1976) dan berfokus pada bahasa Athapaskan. Dalam
sebuah konferensi tentang bahasa dan budaya, Hoijer (1954) pertama kali mengemukakan
hipotesis Sapir-Whorf bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran. Di akhir tahun 1950-an,
tidak ada terobosan yang signifikan dalam penelitian tentang "Whorfian Effects", dan para
psikolog yang mencari efek tersebut saat ini sedang mengikuti arus peningkatan ilmu kognitif.
Karena tujuannya adalah untuk mempelajari pikiran manusia sebagai satu domain. Antusiasme
terhadap ilmu kognitif baru, tidak diterima secara serius oleh ahli linguistik. Selama waktu
tersebut, beberapa filsuf menemukan "hipotesis Whorfian", namun mereka tidak merasa puas
dengan itu. Lewis Feuer (1953) menyatakan bahwa teori Whorf berdasarkan pada
perbandingan kosakata. Ketika Feuer mempertimbangkan bahwa relativitas linguistik
sepenuhnya berkaitan dengan kosakata, maka hal ini harus membatalkan seluruh argumen
relativitas linguistik. Feuer melanjutkan dengan mengatakan bahwa relativitas linguistik adalah
pandangan bahwa setiap bahasa adalah semesta yang sepenuhnya terisolasi: "Prinsip relativitas
linguistik" menyatakan bahwa budaya tidak dapat dibandingkan. Dunia budaya yang tidak
dapat dibandingkan akan menjadi sesuatu yang tidak diketahui. Fakta komunikasi linguistik,
fakta penerjemahan, menyangkal doktrin relativitas" (1953: 95).
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Max Black (1962). Black menyatakan bahwa
Whorf meyakini "realitas" tidak memiliki struktur yang jelas, dan semua struktur tersebut
ditentukan oleh bahasa. Jika hal ini benar, maka terjemahan tidak dapat dilakukan, dan upaya
Whorf untuk menerjemahkan bahasa Hopi ke dalam bahasa Inggris akan menjadi sia-sia. Selain
itu, Donald Davidson mengatakan bahwa perbedaan dalam pandangan dunia atau skema
konseptual tidak dapat diterjemahkan, karena skema konseptual dapat diidentifikasi dengan
bahasa. Serta kemungkinan bahwa lebih dari satu bahasa dapat mengekspresikan skema yang
sama, menjadikan kumpulan bahasa yang dapat diterjemahkan. Jika memungkinkan untuk
menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, maka harus sama kedua skema konseptualnya.
Namun, Davidson menyimpulkan bahwa gagasan skema konseptual tidak berguna, karena
kemungkinan penerjemahan yang universal. Setiap kesulitan dalam penerjemahan
membuktikan bahwa bahasa mewakili dunia yang berbeda. Sebenarnya, seperti yang dicatat
oleh para ahli teori penerjemahan selama berabad-abad, bahwa menerjemahkan dari bahasa
manusia apa pun ke bahasa lain selalu memungkinkan namun tidak pernah terbukti.

Dalam kurun waktu dari tahun 1950 hingga 1980, terjadi kemajuan progresif dalam
ilmu kognitif universal. Namun, mulai tahun 1980-an, postmodernisme relativistik muncul
secara bersamaan. Pada akhir dekade tersebut, terjadi perpecahan besar antara universalisasi
ilmu alam dan ilmu sosial di satu sisi, serta humaniora dan studi budaya di sisi lain. Terdapat
beberapa konsep yang bersifat universal, namun ada juga yang sangat khusus sehingga
dianggap sebagai fiksi atau refleksi pribadi.

a. Returns of Relativity

Terdapat beberapa bentuk dalam penelitian tentang implikasi variasi linguistik.


Pertama, Etnosemantik. Etnosemantik melaksanakan proyek operasionalisasi
pandangan secara keseluruhan tentang bahasa dan pemikiran. Hal ini dilakukan dengan
membatasi data pada apa yang mudah dipetakan. Penelitian yang terkenal di bidang ini
fokus pada domain kosa kata seperti hewan, tumbuhan, dan penyakit kulit. Dalam
penelitian ini, batasan timbal balik dan hubungan antar istilah digunakan untuk
membangun model sistem klasifikasi penutur (Tyler 1969). Meskipun metode ini masih
valid, namun tidak dapat menggantikan etnografi partisipatif skala penuh atau
mempertimbangkan semua aspek bahasa, bukan hanya susunan leksikal.

Kedua, Relativitas penggunaan bahasa. Tidak semua masyarakat menggunakan


bahasa dengan cara yang serupa. Dell Hymes (1926) menyebut perbedaan penggunaan
bahasa ini sebagai etnografi berbicara atau komunikasi. Ketiga, Nuansa gramatikal dan
Etnopoetik. Paul Friedrich (1979, 1986) mengatakan bahwa gaya puitis yang terdapat
dalam bahasa itu sendiri membentuk kekuatan estetika yang setara dengan penggunaan
referensi murni yang biasanya dikaitkan dengan gagasan relativitas linguistik. Friedrich
mendapat inspirasi dari Sapir, upayanya membantu menghubungkan pertanyaan
tentang susunan bahasa, dan pandangan hidup adalah dengan gerakan etnopoetik yang
sedang berkembang. Keempat, Fungsionalisme semiotik. Silverstein telah menegaskan
bahwa referensi hanyalah salah satu dari sejumlah fungsi yang terlibat dalam
penggunaan bahasa. Yang menarik baginya adalah cara bahasa menempatkan
pembicara dalam konteks melalui penggunaan indeksikal atau shifter, seperti kata ganti
orang atau bentuk kata kerja, yang keduanya mengandung informasi referensial dan
dapat berubah tergantung pada siapa yang berbicara, di mana, atau kapan.

Conclusions

Manusia menjalani kehidupan mereka menggunakan bahasa, mereka terus-menerus


berbicara dan mendengarkan, dan setidaknya sebagian besar dari pemikiran mereka, imajinasi
dan kemampuan memecahkan masalah terjadi dalam beberapa bentuk bahasa lisan. Tidak ada
bahasa yang bersifat umum, hanya bahasa tertentu yang digunakan untuk berbicara,
mendengarkan pembicaraan, dan berpikir dalam kata-kata hanya dapat terjadi dalam medium
bahasa tertentu dan harus mencakup karakteristik khas bahasa itu. Jika karakteristik khas
bahasa tersebut penting, maka setiap bahasa dapat dianggap sebagai ekspresi dari esensi yang
unik. Ini bukanlah pendekatan Boasian yang memandang setiap bahasa sebagai "sudut
pandang" yang berbeda bagi pembicara/pendengar.

Prinsip relativitas linguistik bukanlah sebuah aliran, melainkan sebuah prinsip yang
bertujuan untuk memungkinkan pertimbangan konseptualisasi manusia yang lebih kompleks
daripada prinsip-prinsip alternatif yang umumnya tidak dinyatakan, yaitu: (1) pandangan dunia
penutur bahasa Eropa Barat adalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan orang lain
salah; (2) setiap orang di dunia memahami dunia dengan cara yang sama; (3) setiap bahasa
harus dijaga kemurniannya sebagai satu kesatuan alam semesta. Relativitas linguistik menurut
Boasian sangat jelas bukan tentang pemikiran dalam arti pemrosesan mental, namun lebih pada
konseptualisasi dunia. Menguji kemampuan atau proses kognitif penutur bahasa yang berbeda
pada tugas yang berbeda, merupakan kegiatan yang cukup tepat jika dilakukan dengan benar.
Namun, hal ini tidak termasuk dalam proyek Boasian, yang juga merupakan proyek Whorfian.
Meskipun demikian, impian untuk menguji semacam itu telah mendominasi pembacaan
ortodoks relativitas linguistik sejak tahun 1950-an.
Daftar Pustaka

Jourdan, Christine and Kevin Taute. (2006). Language, Culture, and Society. New York:
Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai