Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN BUDAYA DAN PENGAJARAN BAHASA

MN ARIFIN
Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
moh.nur.arifin@uinbanten.ac.id
arifinnur21@gmail.com

Bahasa berfungsi sebagai alat untuk merefleksikan nilai-nilai budaya


masyarakat di mana bahasa itu digunakan, seperti keyakinan, sikap dan
pandangan dunia penuturnya. Selain itu, bahasa juga digunakan untuk
mengekspresikan realitas budaya kepada orang lain dan dari orang lain.
Tulisan ini membahas hubungan antara bahasa, budaya dan pikiran
yang difokuskan pada bagaimana bahasa mempengaruhi proses pikiran
manusia, bagaimana budaya dan bahasa bersinergi, bersatu dan saling
berhubungan, dan yang terakhir bagaimana bahasa digunakan pada
beragam konteks.

Keywords : budaya, pengajaran bahasa

1. Pendahuluan

Sudah menjadi pemahaman jamak, bahwa bahasa dan budaya memiliki


hubungan yang sangat erat. Dalam konteks pengajaran bahasa di kelas misalnya,
ketika guru memahami hubungan antara bahasa dan budaya, ia akan dengan
mudah membantu siswa membangun kesadaran dan pemahaman tentang
hubungan keduanya. Selain itu, siswa juga akan mudah memahami bagaimana
bahasa dan budaya ‘saling berkaitan’ (interconnected) dan bagaimana keterkaitan
ini mempengaruhi belajarnya baik di kelas maupun di luar.
Setiap negara memilki budaya atau kebudayaan. Ketika seseorang bertempat
tinggal di negara itu, bahasa sebagai pengantar budaya akan terdengar di mana-
mana, seperti di jalan, pasar, subway, stasiun kereta, di dalam bus, restauran,
warung kopi dan sebagainya. Selain itu, bahasa juga akan terdengar melalui musik,
film, atau drama. Oleh karena itu, bagi pembelajar bahasa, ketika bertempat tinggal
di negara yang baru, perlahan-lahan ia akan menyerap bahasa negara itu baik
dengan mendengar, melihat, atau menggunakan dalam situasi yang sesungguhnya.
Selain itu, pembelajar bahasa juga akan melihat bagaimana bahasa dan budaya
saling berfusi dan berkaitan, dan ia juga akan semakin memahami lingkungannya
serta mengerti bagimana bahasa dan budaya mempengaruhi proses penguasaan
bahasa negara itu.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang dapat digunakan untuk mengantar
beragam pesan, yaitu segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman
manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami
bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara
abstrak dimana objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa
yang abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir tentang
sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu
dilakukan olehnya1
Ernst Cassier menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang
menggunakan simbol. Secara generik ungkapan ini lebih luas daripada sekedar
homo sapiens. Bagi Cassier, Keunikan manusia sebenamya bukanlah sekedar
terletak pada kemampuan berpikimya melainkan terletak pada kemampuannnya
berbahasa. Seorang filosof kenamaan, H.G. Gadamer, menyatakan bahvva status
manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa menggunakan bahasa. Dalam satu
pemyataannya yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa, Ludwid Van
Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa mereka 2
Pandangan Franz Boas tentang hubungan bahasa, budaya dan pikiran, seperti
dipaparkan oleh John A. Lucy (1992) dalam A reformulation of the linguistic relativity
hypothesis, bahwa bahasa merupakan refleksi dari pikiran dan bahasa tidak
mempengaruhi (dictate) pikiran. Walaupun Boas tidak menjelaskan secara eksplisit
tentang gagasannya tersebut, tetapi ia tetap menegaskan bahwa bahasa adalah alat
untuk merefleksikan dan mengekspresikan ide-ide, dan data-data linguistik dapat
digunakan untuk studi tentang dunia ide tersebut.

Boas’s essential view was that linguistic classifications reflect but do not dictate
thought, that is, the conceptual ideas and forms of thinking characteristic of a
culture.3

1
Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001)
2
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi (Yogyakarta: Pustaka
Filsafata, 1999), hlm., 35
3
John A. Lucy, ibid., hlm.,13
Kutipan ini menegaskan bahwa peran bahasa tidak dominan terhadap pikiran
manusia, posisi bahasa adalah sebagai refleksi gagasan dan pikiran manusia.
Tetapi, Boas tetap mengganggap bahwa antara bahasa dan budaya ada inter-relasi
diantara keduanya.

Selain itu, Boas juga menyampaikan gagasannya tentang the unity of


fundamental psychological process (keterpaduan proses fundamental
perkembangan mental manusia). Ia melihat ada hal-hal yang unik yang muncul di
setiap kelompok bahasa manusia, yaitu perkembangan mental penuturnya. Boas
meyakini bahwa secara konsep, dasar-dasar gramatika setiap bahasa menjadi bukti
bahwa secara fundamental, semua manusia memiliki kesamaan perkembangan
mental. Berikut kutipan pernyataan Boas,

It seems well worth while...to seek in the peculiarities of the grouping of ideas in
different languages an important characteristic in the history of the mental
development of the various branches of mankind. From this point of view, the
occurrence of the most fundamental grammatical concepts in all languages
must be considered as proof of the unity of fundamental psychological
processes4

Kendatipun Boas menyatakan bahwa bahasa tidak dominan pengeruhnya terhadap


pikiran manusia, namun ia meyakini bahwa bahasa adalah refleksi gagasan dan
pikiran manusia.

Ann C. Wintergerst dan Joe McVeigh (2011) dalam Tips for teaching culture:
Practical Approach to Intercultural Communication menegaskan bahwa bahasa,
budaya, dan pikiran saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan 5. Claire Kramsch
(1998) menyebut tiga hal penting bagaimana budaya, bahasa dan pikiran itu saling
terkait. Pertama, bahasa digunakan untuk mengekspresikan realitas budaya.
Bahasa digunakan oleh penuturnya untuk mengungkapkan pengalaman secara
umum (common experience) kepada orang lain dan dari orang lain. Selain itu,
bahasa juga digunakan sebagai alat untuk merefleksikan keyakinan, sikap dan
pandangan-dunia (wolrdview) penuturnya. Kedua, bahasa menjelmakan (embody)
realitas budaya, artinya melalui bentuknya, baik itu tutur kata, tulisan atau visual,
4
Op.cit., hlm.,14.
5
Ann C. Wintergerst dan Joe McVeigh, Tips for teaching culture: Practical Approach to
Intercultural Communication, (New York: Pearson Longman, 2011), hlm.,27.
bahasa digunakan untuk membentuk makna yang dapat dipahami oleh kelompok
masyarakat yang berbeda budaya. Ketiga, bahasa adalah simbol realitas budaya.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa menggambarkan identitas sosial penuturnya.
Bagaimana seseorang memandang, menilai, mempercayai atau melakukan sesuatu
adalah refleksi budayanya.6
Menurut Moran (2001), bahasa bukan hanya sekedar simbol dari hasil karya,
kebiasaan, perspektif, komunitas atau masyarakat berbudaya, tetapi bahasa itu
sendiri juga produk budaya7 Masih menurut Moran, ekspresi, sturktur, suara dan
tulisan dari bahasa menggambarkan budaya, sebagaimana produk-produk budaya
dan kebiasaan-kebiasan masyarakat menggambarkan bahasa. 8 Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa antara bahasa dan budaya saling berkaitan dan
berhubungan satu dengan yang lain.
Tentang hubungan bahasa dan pikiran atau bagaimana bahasa
mempengaruhi proses berpikir manusia, penulis mengutip the priciple of linguistic
relativity atau yang lebih dikenal dengan Sapir-Worf hypothesis. Menurut prinsip ini
bahwa “...the speaker of different languages have different ways of viewing the
world.”9 Setiap penutur bahasa yang berbeda-berbeda memiliki cara yang berbeda-
beda pula dalam mengekspresikan dunia disekitarnya. Menurut Sapir-Worf, hal ini
disebabkan karena perbedaan bahasa yang mempengaruhi tingkah laku, perangai
dan proses berpikir penuturnya. Selain itu, berbeda bahasa juga berbeda struktur
gramatikanya. Karenanya, hal itu berakibat pada perebedaan cara menggambarkan
dunia.10 Seperti dikutif oleh Samovar dan Porter (2004), bahwa The Sapir-Whorf
hypothesis argues that, “language is not simply a means of reporting experience but,
more important, it is a way of defining experience”. 11 Bahasa bukan sekedar alat
untuk menyampaikan dan berbagi pengalaman dengan orang lain, tetapi lebih dari
itu, bahasa sebagai alat untuk menjelaskan, menegaskan dan menetapkan
pengalaman.
Versi lain yang kuat, Sapir-Whorf hypothesis menandaskan bahwa ..that
language determines thought. It suggest that we are prisoners of our language and

6
Claire Kramsch, language and culture, (Oxford: Oxford university press,1998), hlm., 3
7
Ibid., 28
8
Ibid
9
Ibid
10
ibid
11
L.A. Samovar, & R.E. Porter, Communication between Culture (5th ed.)(Belmont: CA
Wadsworht), hlm.,143.
that the way we think is determined by language. 12 Bahasa menentukan proses
berpikir seseorang. Sapir-Whorf menyatakan bahwa manusia itu menjadi tawanan
bahasa yang digunakan, karenanya proses berpikirnya ditentukan pula oleh bahasa
yang digunakan.
Ada juga versi lain, seperti yang dikutip oleh Damen (1987), bahwa
“languages structure perception and experience, and literally create and define the
reality people perceive.13 Bahasa berfungsi untuk menyusun persepsi dan
pengalaman manusia, dan secara literal, bahasa mewujudkan dan menjelaskan apa
yang dilihat manusia.
Versi yang lemah dari Sapir-Whorf hypothesis menyatakan bahwa “that
language influences but does not determine thought. It suggest that a relationship
exists between language and culture” 14. Bahasa mempengaruhi proses berpikir
manusia, tetapi tidak menentukan. Sapir-Whorf berpendapat bahwa memang ada
hubungan antara bahasa dan budaya. Menurut DeCapua dan Wintergerst, versi ini
yang banyak diterima saat ini.15

2. Keterkaitan Antara Budaya dan Pengajaran Bahasa


Para linguis dan antropolog telah lama menyatakan bahwa bahasa berfungsi
sebagai alat untuk merefleksikan nilai-nilai budaya masyarakat di mana bahasa itu
digunakan. Karenanya, bagi pembelajar sebuah bahasa, memiliki kompetensi
bahasa (language kompetence) saja tidak cukup untuk menguasai bahasa
tersebut.16 Pernyataan Krasner (1999) ini menjadi salah satu alasan untuk
menegaskan bahwa secara ilmiah budaya memiliki hubungan yang amat erat
dengan bahasa, baik dalam konteks sosial maupun pendidikan. Dalam konteks
sosial, bahasa menjadi media untuk berkomunikasi dan menyampaikan gagasan,
pengalaman dan informasi tentang dunia di sekitarnya (world view). Dalam dunia
pendidikan, pengajaran bahasa asing misalnya, memahami budaya penutur bahasa
target menjadi suatu kelaziman. Oleh karena itu, pembelajar bahasa, tidak ada
alasan lagi untuk tidak menyadari pentingnya literasi budaya bahasa target, seperti
12
Ann C. Wintergerst dan Joe McVeigh, loc.cit.
13
L. Damen, Culture Learning:The fifth dimension in the language classroom, (Reading, MA:
Addison-Wesley), hlm.125.
14
Ann C. Wintergerst dan Joe McVeigh, loc.cit.
15
A. DeCapua & Wintergerst, Crossing culture in language classroom, (An Arbor, MI:
University of Michigan Press), 23.
16
I.Krasner, (1999). The role of culture in language teaching. Dialog on Language
Instruction, 13(1-2), 79-88.
memahami budaya tindak tutur, cara memuji orang (express gratitude), meminta
(make request), setuju tidak setuju (agree and disagree) dan sebagainnya. Tata cara
dan etika berbicara masing-masing bahasa itu bebrbeda-beda, seperti intonasi, gaya
bicara, mimik dan termasuk di dalamnya bahasa gerak tubuh (gesture). Komunikasi
yang efektif dan lancar akan tercipta dengan menguasai budaya penutur bahasa
tersebut.
Tidak aneh jika kemudian beberapa ilmuan, pendidik dan profesional
berpendapat bahwa tidak layak untuk mengajar bahasa tanpa mengajar budaya,
peran guru bahasa di kelas sebagai "mediator profesional antara bahasa asing dan
budaya17 Dengan kata lain, pengajaran bahasa selalu disertai dengan pengajaran
budaya. Bahkan menurut Vernier et al., dalam konteks pembelajaran bahasa,
pemahaman budaya bahasa target dianggap sebagai keterampilan kelima bagi
pembelajar bahasa.18. Kramsch (1993) berpendapat bahwa budaya dalam
pengajaran bahasa memiliki peranan sangat sentral, ia menyebutnya bukan hanya
keterampilan kelima, melainkan keterampilan yang "selalu menjadi latar belakang,
dan (dipelajari) sejak hari pertama. 19 Glison (1961) seperti dikutip oleh Ming-Mu Kuo
dan Cheng-Chieh Lai ;
that languages are not only the products of cultures, but also are the symbols
of cultures. The development of a language frequently affects its associated
culture, and cultural patterns of cognition and custom are often explicitly
coded in language.20

Pernyataan ini juga menjadi dasar bahwa belajar suatu bahasa adalah belajar
budayanya. Kompetensi linguistik tidak cukup untuk memahami bahasa suatu
bangsa atau kelompok masyarakat. Oleh sebab itu, kompetensi antarbudaya
(intercultural competence) berperan sangat signifikan dalam proses penguasaan
bahasa asing. Kompetensi antarbudaya tersebut meliputi pemahaman geografi,
pekerjaan, hiburan, peristiwa sejarah, kepribadian, tata krama atau bahkan bahasa
tubuh. Tidak hanya itu, penguasaan kosa kata dan tata bahasa akan menjadi mudah
17
Byram, M., and K. Risager. 1999. Language teachers, politics and cultures. Clevedon, UK:
Multilingual Matters hlm 58
18
Vernier, S., S. Barbuzza, S. D. Giusti, and G. D. Moral. 2008. The five language skills in
the EFL classroom. Nueva Revista de Lenguas Extranjeras 10: 263–91.
19
Kramsch, C. 1993. Context and culture in language teaching. Oxford: Oxford University
Press. Hlm., 1
20
Kuo, Ming-Mu, and Cheng-Chieh Lai. "Linguistics across Cultures: The Impact of Culture
on Second Language Learning." Online Submission 1.1 (2006).
manakala pembelajar bahasa asing memahami norma sosial budaya penuturnya.
Ketidakpahaman akan budaya tersebut akan menimbulkan masalah.
Penerjemahanan kata bahasa asing secara literal misalnya, akan bermasalah ketika
konteks budaya tidak dipahami oleh penerjemahnya. Contoh lain, seorang siswa
belajar di negara yang memiliki bahasa resmi bahasa Inggris, karena ia kurang
memahami budayanya, akhirnya kebingungan menanggapi pertanyaan, “What’s
up?”, ia berusaha menjawab pertanyaan tersebut, padahal pertanyaan itu secara
kultural tidak perlu ditanggapi, karena, bagi mereka, pertanyaan itu hanyalah kalimat
pembuka. Oleh karena itu, agar komunikasi menjadi lebih efektif, pembelajar bahasa
asing tidak hanya harus memiliki kompetensi linguistik, tetapi juga kompetensi
antarbudaya (intercultural competence).
Begitu pentingnya kompetensi antarbudaya dalam pengajaran bahasa asing,
beberapa ahli bahasa mendorong guru-guru bahasa untuk meningkatkan kesadaran
budaya (cultural awareness) pembelajar bahasa di kelas, baik secara teoretis
maupun praktis. Pengajaran budaya dapat disajikan melalui materi pelajaran
(textooks), kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan-kegiatan penunjang akademis
lainnya. Dieter Buttjes dan Michael Byram memiliki gagasan tentang pengajaran
budaya di kelas;
In practice the two possibilities ought to be combined. The use of the learners'
mother tongue for comparative analysis of own and foreign cultural meanings
can be combined with the teaching of the foreign language both as a subject
and as the medium of experience of foreign cultural phenomena 21

Pengajaran budaya dapat dilakukan dengan dua cara, pertama menggunakan


bahasa ibu (mother tongue) sebagai alat untuk membandingkan antara budaya yang
dimiliki dan budaya bahasa target. Kedua, melalui mata pelajaran bahasa asing, baik
melalui materi (subject) dalam buku teks atau peragaan (role play) budaya penutur
bahasa asing. Kombinasi dua aktivitas ini secara tidak langsung akan mendorong
siswa untuk pertama; mempelajari bahasa pertama dibarengi dengan proses
pemahaman bahasa sebagai fenomena sosial dan budaya (language awareness).
Kedua; pembelajaran bahasa selalu dibarengi dengan pembelajaran budaya, dan

21
Dieter Buttjes dan Michael Byram, Mediating Languages and Cultures : Towards an
Intercultural Theory of Foreign Language Education Multilingual Matters, (Clevedon: Multilingual
Matter, 1991), hlm.,19.
keduanya dapat dilakukan di antaranya melalui teknik komparatif dengan
menggunakan bahasa pertama siswa (cultural awareness). Ketiga; peragaan
budaya penutur bahasa asing menjadi media yang efektif untuk proses belajar
bahasa. Gambar berikut adalah siklus proses pengajaran bahasa dan budaya
menurut Dieter Buttjes dan Michael Byram22

Gambar 1 : Siklus proses pengajaran bahasa dan budaya


(Dieter Buttjes dan Michael Byram)

Gambar anak panah di luar lingkaran itu menunjukkan hubungan saling


mendukung antarpengetahuan dan skill di dalam lingkaran, yaitu antara dimensi
sosiolinguistik bahasa—seperti makna semantis kedua bahasa, dan makna
kulturalnya. Sementara itu, kesadaran budaya (cultural awareness) penutur dua
bahasa baik L1 (first language) dan FL (foreign language) juga saling berhubungan,
yaitu pada aspek peningkatkan kompetensi linguistik siswa. Dengan kata lain,
bahwa hubungan signifikan antara belajar bahasa dan pengalaman (belajar) budaya.
Menurut Buttjes dan Byram, keterkaitan itu akan sangat efektif dan memberikan
dampak positif bagi siswa jika proses pembelajaran di kelola dengan menggunakan
teknik komunikatif (communicative teaching), seperti peragaan (role play), dan
22
Ibid., hlm 20
information gap. Teknik-teknik ini memberikan pengalaman realistis tersendiri bagi
siswa, karenanya kegiatan belajar akan menjadi lebih bermakna. 23
Seliger seperti dikutip oleh Michael Byram dan Carol Morgan dalam
Teaching-and-learning Language-and-culture Multilingual Matters, menguatkan
gagasan tentang pengajaran bahasa dan budaya;
Since language is used in social exchanges, the feelings, attitudes, and
motivations of learners in relation to the target language itself, to the
speakers of the language, and to the culture will affect how learners respond
to the input to which they are exposed. In other words, these affective
variables will determine the rate and degree of second language learning. 24

Selama bahasa (asing) digunakan sebagai media komunikasi atau berdialog


antarpenutur, baik pembelajar maupun penutur bahasa target, ketiga faktor, yaitu
rasa, tingkah laku dan motivasi pembelajar selau berkaitan satu dengan lain.
Pemahaman budaya bahasa target juga akan sangat membantu penutur dalam
merespon setiap fokus pembicaraan. Oleh karena itu, Saliger meyakini bahwa
keberhasilan pembelajaran bahasa asing bisa diukur dengan seberapa efektif
pembelajaran budaya bahasa target dilakukan.

Guru bahasa inggris, oleh sebab itu, harus memahami budaya negara-
negara di mana bahasa inggris secara de facto menjadi bahasa resminya, seperti
Amerika, Canada, Inggris, atau Australia. Pada saat yang sama, guru juga harus
memahami budaya negara seperti India, Singapore atau Philipina, karena di negara-
negara itu, bahasa inggris menjadi non-primary official language dan digunakan
mayoritas penduduknya. Cates (2004) dalam artikelnya berjudul Becoming global
teacher: Ten steps to international classroom, berargumen;
that English education means much more than just the study of a linguistic
system; it can also be seen as “an international language for communication
with people from around the world” and a subject for learning about the
world’s peoples, countries, and problems25
23
Ibid. Hlm 21
24
Michael Byram and Carol Morgan, Teaching-and-learning Language-and-culture
(Clevedon: Multilingual Matters, 1981), hlm., 5
25
K. Cates, 2004. Becoming a global teacher: Ten steps to an international classroom. The
Language Teacher 28 (7): 31–35. Retrieved from http://www.jalt
publications.org/tlt/articles/2004/07/cates on February 28, 2016.
Guru bahasa inggris tidak hanya harus memiliki kompetensi pada bidang linguistik
tetapi juga pada bidang apa yang Ziesing (2001) sebut sebagai cultural literacy dan
language fluencey. Dengan kata lain, semakin pembelajar mengetahui budaya
teman bicara (interlocutor) semakin lancar dan mudah percakapan berlangsung,
dengan bahasa apapun percakapan itu dilakukan. 26

Pengenalan literacy budaya di kelas dapat dilakukan salah satunya dengan


kegiatan belajar melalui buku teks. Melalui buku teks, guru dapat mengembangkan
salah satu kegiatan, seperti feature tentang budaya berbentuk topik diskusi atau
latihan-latihan keterampilan bahasa baik berbicara, menulis, mendengar dan
membaca. Dalam bahasa inggris misalnya, guru dapat mengenalkan kepada siswa
tentang ungkapan yang secara sosial budaya sopan digunakan, misalnya ungkapan,
“Hey you, come here”. Secara linguistik ungkapan ini benar, tetapi secara budaya
kurang etis jika digunakan siswa untuk memanggil gurunya. Jadi, kompetensi
antarbudaya (intercultural competence) itu secara tidak langsung juga mendidik
siswa belajar etika dan kesantunan baik dalam konteks budayanya sendiri maupun
budaya orang lain.

3. Budaya dan Materi Ajar Bahasa Asing

Selama bahasa itu ada, budaya juga ada. Budaya merupakan bagian yang
teramat penting untuk menuntun kelancaran komunikasi dengan penutur bahasa
asing. Ada ungkapan menarik dari ahli bahasa bahwa belajar bahasa tanpa diikuti
dengan kemahiran budaya itu seperti orang bodoh tetapi fasih bicara.

Learning a language without its culture is a recipe for becoming a “fluent


fool”. A fluent fool is someone who speaks a foreign language well, but does
not understand the social or philosophical content of that language 27

Pernyataan ini menegaskan bahwa kendatipun seseorang mahir berbicara bahasa


asing, tetapi bila berkomunikasi dengan penutur aslinya, komunikasi tidak
berlangsung secara efektif. Kekurangannya ialah karena ia tidak memiliki

26
Ibid., hlm 13

27
M. J Bennett,. (1993). How not to be a fluent fool: Understanding the cultural dimension of
language. The Language Teacher, 27(9).
pengetahuan budaya bahasa target yang cukup. Hampir semua ahli seperti
Pennycook (1989), Philipson (1992), dan Alptekin (1996) seperti di kutip oleh Siros
Izadpanah (2011) bahwa “A language consists of culturally loaded rudiments”.
Bahasa merupakan dasar adanya budaya. Sementara itu, agar komunikasi menjadi
lancar, mempelajari bahasa asing, harus dibarengi dengan pengetahuan tentang
budaya penuturnya. “While learning a foreign language, it is likely for its learners to
need cultural information for better communication” 28
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam proses pembelajaran bahasa
aspek-aspek budaya bahasa target memengaruhi pembelajarnya. Secara alami
pembelajar bahasa target dapat dikenalkan terhadap aspek-aspek budaya tersebut,
baik melalui praktik langsung di negara penuturnya atau melalui buku teks berupa
peragaan, latihan, lembar kerja, wacana atau kegiatan-kegiatan pembelajaran
lainnya. Byram (1988) menegaskan bahwa
... language has no function independent of the context in which it is used,
thus language always refers to something beyond itself—the cultural
context. This cultural context defines the language patterns being used
when particular people come together under particular circumstances at a
particular time and place.29

Ketika bahasa digunakan, ia tidak pernah terlepas dari konteks. Bahasa selalu
berkaitan dengan makna dibaliknya—yaitu konteks budaya. Karenanya,
pengetahuan tentang budaya bahasa target membantu memahami pola-pola bahasa
tersebut.

Meski terus dalam polemik dan perdebatan, buku teks (textbooks) mesih
tetap berperan sangat dominan sebagai media pengajaran bahasa asing di seluruh
penjuru dunia. Buku teks tetap menjadi rujukan dan guideline bagi guru dalam
mengelola pembelajan bahasa asing di kelas. Bagi pembelajar bahasa pemula
(beginner) misalnya, melalui materi ajar dalam buku teks, ia akan dengan mudah
mengenali pola-pola kalimat dan leksikal bahasa target. Selain itu, ia juga akan
memiliki pengalaman berharga terkait budaya target, baik melalui unit-unit materi
dalam buku, lembar-lembar latihan, referensi, peragaan budaya atau bahkan tes.

28
Siros Izadpanah, The Review Study: The Place of Culture in English Language Teaching,
(US-China Foreign Language, ISSN 1539-8080 February 2011, Vol. 9, No. 2, 109-116), hlm., 109.
29
Byram, dikutip oleh Siros Izadpanah, ibid.
Buku-buku teks juga menyajikan wacana-wacana pilihan, format-format latihan baik
dalam bentuk audio maupun visual.
Dibalik peran dan fungsinya di kelas, keberadaan buku teks juga
mengundang banyak kritik, mayoritas kritik tersebut lebih bersifat praksis, seperti
materi-materi dalam buku teks dianggap terlalu rigid, tidak mampu memenuhi
kebutuhan siswa, teknik penyajian topik-topik budaya yang kurang bagus, terjadi
proses belajar yang terkesan ‘memaksa’ baik guru atau siswa, tidak terbuka ruang
praktik atau peragaan yang luas baik bagi guru dan siswa, hanya menyajikan
fragmen atau cuplikan gambar-gambar budaya dan stereotip penutur bahasa
target.30 Selain itu, buku teks dianggap belum mampu memotivasi siswa, latihan-
latihan yang disajikan, variasi wacana yang dipilih serta visualisasi materi dianggap
belum cukup31
Walaupun materi ajar dalam buku teks sebagai media pembelajaran budaya
dan bahasa terus mendapat kritik dan evaluasi, tetapi secara praktis, buku teks tetap
eksis dan digunakan di ruang-ruang kelas bahasa di seluruh dunia. Christenbury dan
Kelly (1994) dalam artikelnya berjudul, ‘What textbooks can—and can not—do’
menyatakan;

Apart from linguistic progression, which teachers may have to use textbooks
in their classes, with time, money, convenience, reassurance and shool’s
desire to control teachers being the major reasons addressed 32

Penggunaan buku sebagai media belajar di kelas, bagi guru, tetap menarik karena
beberapa alasan, seperti efektifitas waktu, hemat biaya, yaman, sebagai hiburan,
atau, bagi sekolah, buku dapat digunakan juga untuk mengontrol kegiatan mengajar
guru di kelas. Beberapa guru, mungkin, bangga menggunakan buku teks sebagai
media pembelajaran, mungkin sebagian lain sangat jarang menggunakan buku
kecuali jika dibutuhkan melengkapi sumber pembelajaran.

Pengajaran bahasa asing berbeda dengan pengajaran bahasa pertama.


Ketika siswa belajar bahasa Inggris di sekolah misalnya, ia tidak berada
dilingkungan yang sebenarnya di mana bahasa inggris digunakan sebagai alat
30
Leah Davcheva and Lies Sercu, Culture in foreign language teaching materials, dalam
Michael Byram and Alison Phipps (ed.), Foreign Langauge Teachers and Intercultural Competence,
An Intenational Investigation, (Clevedon: Multilingual Matters Ltd.), hlm 90.
31
Ibid.
32
Ibid
komunikasi sehari-hari. Karena ia tidak belajar di negera asalnya, oleh sebab itu
beberapa kendala dan kesulitan belajar siswa bermunculan. Kendatipun guru telah
berusaha semaksimal mungkin, seperti menggunakan materi ajar otentik,
memanfaatkan film dokumenter atau sejenisnya, tetapi siswa secara psikologis tetap
merasa ada ‘jarak’ dan tidak menemukan pengalaman belajar yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, siswa tidak memperoleh kesempatan menggunakan bahasa asing
sebagai alat komunikasi pada kehidupan yang nyata.

Salah satu cara untuk mengurai kesulitan belajar ini, beberapa ahli
pengembang kurikulum menyarankan agar memasukkan kegiatan trip to foreign
country ke dalam kurikulum bahasa inggris, melalui kegiatan itu siswa akan
memperoleh kesempatan yang cukup untuk mempraktikkan bahasa asing di negara
penutur aslinya.33 Tujuannya tidak hanya untuk peningkatan kompetensi bahasa
asing siswa, tetapi juga pangajaran budaya. Selain itu, sekolah, dalam hal ini siswa
akan memperolah banyak keuntungan, seperti kemandirian, percaya diri dan
keterampilan berinteraksi dengan penutur asli bahasa inggris dalam beragam
konteks.

Byram (1989) mempromosikan model pembelajaran bahasa dan budaya


yang terdiri dari a) language learning, b) language awareness, c) cultural component
learning, dan d) cultural experience component.34 Ketika siswa berada di negara
penutur asli bahasa target, ia memeroleh pengalaman belajar antarbudaya dan
memahami hubungan antara bahasa dan budaya lebih banyak ketimbang ketika
belajar di kelas. Dengan kata lain, pengalaman belajar bahasa dan budaya akan
lebih bermakna bila dilakukan di negara punutur bahasa asalnya.

Model pembelajaran budaya dan bahasa seperti trip to foreign country


memang memiliki kelemahan. Di samping durasinya yang terlalu pendek, biasanya
field trip seperti ini, lebih cenderung pada tujuan wisata, dan siswa lebih dianggap
sebagai wisatawan (tourist). Berbeda dengan student exchange, siswa lebih banyak
mendapatkan kesempatan untuk belajar, memiliki durasi yang lebih lama,
kesempatan home stays dan berinteraksi dengan teman sejawat, atau orang lain.
33
Chryssa Laskaridou and Lies Sercu, Experiential Culture Learning Activities : School trips
and Exchange Prject, dalam Michael Byram and Alison Phipps (ed.), Foreign Langauge Teachers
and Intercultural Competence, An Intenational Investigation, (Clevedon: Multilingual Matters Ltd.), hlm
110.
34
Ibid.
Memang, ada beberapa kendala dalam menanamkan prinsip-prinsip
pemahaman budaya orang lain, di antaranya adalah asumsi eksklusif akan budaya
sendiri, menolak dan menentang budaya orang lain atas alasan superioritas.
Kesulitan ini dapat diselesaikan dengan mengarahkan siswa kepada pemahaman
atas kesamaan nilai antarbudaya tersebut. Inilah konsep relatifitas budaya (cultural
relativity) yang diusulkan oleh Seelye (1987). Konsep ini memiliki dampat positif
terhadap pertumbuhan sensitifats budaya yang didasarkan pada proses relatifisasi
berikut ini;

a. Mengajak siswa sadar akan budayanya sendiri


b. menggambar paralelisme dengan budaya asing
c. menilai dua budaya dengan kriteria relatif35
Kemajuan kesadaran budaya siswa tergantung pada kemampuan mereka
memahami pandangan atau perspektif orang dengan budaya yang berbeda.
Kesadaran itu akan membimbingnya memandang dirinya sendiri dalam konteks
budaya orang lain. Bahwa setiap budaya memiliki nilai-nilai dan pilihan-pilhan
tersendiri yang berfungsi untuk memenuhi kepuasan baik fisik maupun psikologis
anggota budaya tertentu. Ketika siswa mampu menerima relatifitas antarbudaya, ia
juga akan memahami bahwa persepsi dan kriteria-kriteria pikiranya dipengarui oleh
pendidikan sosial, etnis dan moralitasnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
keberhasilan relatifitas budaya dapat diraih melalui kesadaran perbedaan
antarbudaya dan toleransi antarbudaya.

Hal lain yang perlu diperhatikan berhubungan dengan kesadaran budaya


siswa adalah siswa sebaiknya diberi informasi dan pengetahuan tentang budaya,
seperti norma-norma orang asing dan nilai-nilai (values) budaya mereka vis-à-vis
budaya siswa sendiri. Oleh sebab itu, integrasi budaya dalam proses belajar bahasa
asing dalam konteks keberterimaan antarbudaya menjadi tujuan utama bagi guru
bahasa asing.

...this process of relativitization should provide students with cultural


information about foreign norms of behaviour and values similar to their own,
so that they start to experience the validity of both cultures for their

35
Dagmar Scheu, Integrating Activities in the Foreign Language Classroom, (Murcia: Depto.
De Filologia Inglesa, Universidad de Murcia, C/Santo Cristo s/n, 1996), hlm., 35-50
members. Therefore, critical integration within the process of cross-cultural
acceptence becomes the main objective for teachers of a foreign language.36

Dagmar Scheu (1989) mengusulkan tiga langkah penting untuk


mengintgrasikan budaya dalam proses kegiatan belajar di kelas, yaitu a) kerangka
metodologi (the methodological framework), b) tujuan (the goal), dan c) kegiatan-
kegiatan yang dirancang sesuai dengan tujuan (the goal-related activities).

a. Kerangka kerja metodologi (the methodological framework),


Dickinson (1987) seperti dikutip oleh Dagmar Scheu mengusulkan kerangka
kerja integrasi budaya dalam pengajaran bahasa asing. Dalam konteks ini, guru
memiliki dua tugas pokok, pertama membangun kompetensi komunikatif siswa, dan
kedua membangun kompetensnya sebagai pembelajar. Kompetensi komunikatif
berhubungan erat dengan pengajaran budaya. Karena pengajaran antarbudaya
tidak bisa dihindarkan dari aktifitas dan kegiatan komunikasi antarpenutur.
Metodologi komunikatif, menurut Sansechez (1987) berdasar pada dua prinsip
penting, yaitu a) bahasa adalah gerbong pengantar komunikasi sehingga pesan dan
isi komunikasi dapat disampaikan dengan baik, b) isi pesan dalam komunikasi harus
memperhatikan aspek semantis, konteks dan fungsi bahasa dimana komunikasi itu
berlangsung.37 Oleh karena itu, kompetensi komunikatif dapat dibina melalui
pemahaman konteks sosio-kultural dimana bahasa asing digunakan. Dari sinilah
kemudian dapat tegaskan adanya pertalian yang kuat antara bahasa dan budaya,
dan hubungan keduanya mendorong para guru dan pembelajar untuk
mengaplikasikan metodologi komunikatif pada integrasi budaya dalam pembelajaran
bahasa asing. Caranya, dengan memilih topik-topik menarik dan aktifitas belajar
sesuai dengan situasi, kebutuhan dan ketertarikan siswa. Selain itu, guru juga dapat
mendorong partisipasi siswa dalam setiap kegiatan pelajaran. Menurut Sanchez
(1987), ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam kelas bahasa asing, yaitu
aspek psikologi dan metodologi. Dua aspek ini berhubungan dengan pengembangan
metakognitif siswa, sifat percaya diri dan keterampilan belajarnya. Bila semua hal
tersebut tadi terlakasana, menurut Dagmar Scheu, pendekatan psikologi
(psychological approach) dapat diterapkan dan digunakan untuk membangun sikap
siswa terhadap budaya asing.

36
Ibid.
37
Ibid.hlm., 40
Mengacu pada dua aspek penting yang menjadi pedoman (guide line)
pengajaran budaya dan bahasa di atas, baik aspek psikologis maupun meodologi
komunikatif, Seelye (1987) mengusulkan tiga langkap penting untuk pengajaran
konsep budaya di kelas, yaitu pertama guru harus mampu mengidentifikasi
kemampuan atau skill siswa yang bertalian dengan pemahaman antarbudaya dan
kamunikasi. Keterampilan ini akan menjadi tujuan utama pembelajaran budaya.
Kedua, aktifitas-aktifitas yang dirancang dalam setiap materi pembelajaran budaya
diintegrasikan dengan materi-materi pelajaran bahasa asing.

b. Tujuan (goal)
Seelye (1987) mengusulkan tujuh tujuan yang dapat dikembangkan dalam
merancang pembelajaran bahasa dan budaya di kelas. Seluruh tujuan berikut
diawali dengan tujuan pemahaman aspek psikologis siswa kemudian dipadukan
dengan aspek bahasa dan budaya.

1) Sikap terhadap kelompok masyarakat lain: pada tujuan ini siswa diarahkan
pada pengalaman intelektual yang mendorong siswa memiliki sifat ingin tahu
tentang budaya sasaran serta memiliki sifat empati terhadap penduduknya.
2) Siswa memiliki sikap budaya yang relatif dan berarti; pada tujuan ini siswa
dibina agar memahami asal muasal budaya yang dimiliki dan buday orang
lain.
3) Interaksi variabel-variabel bahasa dan sosio-kultural (seperti; umur, seks,
kelas sosial dst..). Pada tujuan ini siswa diarahkan agar memiliki kesadaran
akan keterbatasan sosio-kultural terhadap fungsi bahasa.
4) Arti konotasi budaya pada setiap kata dan frasa; pada tujuan ini siswa akan
membangun kesadaran bahwa gambaran budaya itu sama dengan makna
kata pada umumnya.
5) Adat atau kebiasan yang telah menjadi konvensi bersama : Pada tujuan ini
siswa akan memahami konvensi-konvensi pada masyarakat penutur bahasa
asing.
6) Evaluasi penjelasan tentang budaya: pada tujuan ini siswa akan dibekali
kemampuan mengevaluasi dan menggenalisir pakem budaya bahasa target.
7) Melakukan penelitian tentang budaya bahasa target; dalam hal ini siswa
dibekali kemempuan untuk menggali informsi tentang budaya bahasa target. 38
38
Ibid hlm., 41
c. Aktifitas belajar bahasa dan budaya
Kegiatan-kegiatan belajar siswa dikelas dapat dirancang sedemikian rupa
sehingga siswa lebih banyak memiliki pengalaman belajar budaya di kelas.
Kegiatan-kegiatan belajar berikut ini, akan menjadi media bagi siswa untuk belajar
akulturasi budaya, sebuah proses atau hasil pertemuan kebudayaan atau bahasa di
antara anggota dua masyarakat bahasa, ditandai oleh peminjaman atau
bilingualisme. Aktifitas ini oleh Scheu disebut sebagai emotional journey of
acculturation. Dalam konteks pengajaran bahasa asing, aktifitas seperti ini dianggap
sangat perlu. Dengannya, siswa secara tidak langsung akan belajar perbedaan dan
persamaan budaya. Menurut C. Mantle-Bromley (1992), untuk mencapai tujuan
tersebut, hendaknya guru merancang pembelajaran bahasa asing di kelas
terintegrasi dengan pembelajaran budaya bahasa target, di antaranya dengan
memasukkan sub kegiatan atau instruksi yang membimbing siswa memiliki
kesadaran diri untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang dimiliki, memahami
perintah atau larangan misalnya. Pada saat bersamaan, siswa akan memahami
budaya orang lain, yaitu budaya penutur bahasa target. 39 Berikut adalah beberapa
contoh aktifitas belajar bahasa dan budaya secara bersamaan yang disarikan dari
naskah Dagmar Scheu, Integrating Activities in the Foreign Language Classroom40.

1. Changing Attitude towards other societies


Aktifitas pertama; siswa menjelaskan definisi budaya. Caranya, siswa diberi
beberapa contoh perilaku budaya, sepuluh contoh budayanya sendiri dan sepuluh
yang lain contoh budaya bahasa target. Prosedurnya, siswa diminta mengamati dan
menganalisis contoh-contoh perilaku budaya tersebut. Kemudian siswa menulis
daftar karakteristik baik budaya bahasa target maupun budaya sendiri. Kemudian
siswa membedakan antara kedua budaya tersebut. Tidak hanya itu, siswa juga akan
mempu membangun konsep dan definisi tentang budaya.

2. Cultural Awarness.
Pada aktifitas ini, siswa diajak malakukan curah gagasan tentang budaya sendiri
(native culture). Kemudian dalam kelompok-kelompok kecil a) siswa mencatat
sebanyak mungkin contoh-contoh perilaku budaya (waktu 8 menit), b) menentukan

39
Ibid., 41
40
Ibid., 41-47
15 sampai dengan 20 topik yang relevan dengan pembelajaran. Setelah itu, siswa
mendiskusikan topik-topik tersebut dengan membandingkan persamaa dan
perbedaannya dengan budaya target language.

3. Eliciting stereotype
Pada kegiatan ini, guru bersama siswa mengidentifikasi dan mendiskusikan
stereotip budaya target. Kemudian siswa diajak menemukan contoh-contoh
stereotip budaya target, melalui koran atau iklan majalah. 41
4. Ethnocentric Awareness.
Aktifitas ini dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran etnosentris.
Etnosentrisme berarti penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan
standar budaya sendiri. Kesadaran etnosentris menilai kelompok lain bersifat relatif
terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan
bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Aktiftas untuk membangkitkan keadaran
ini dapat dilakukan dengan cara berdiskusi tentang etika dan sopan santun dalam
berbagai hal menurut tradisi dan kebiasaannya. Kemudian, siswa diajak untuk
membedakan antara budayanya dan budaya orang lain. Dari sini, siswa akan
memahami bahwa perbedaan itu akan menjadi pengalang komunikasi di antara
mereka. Karenanya, toleransi adalah jalan untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Aktifitas yang dapat membangkitkan sikap negatif atau etnosentrisme, menurut
Triandis (1971) dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran di kelas bahasa.
Activities to improve negative attitudes or strong ethnocentric beliefs can be used
with an attitude-readiness programme easily adaptable to the language classroom 42

Ketiga aktifitas berikut dapat menggambarkan kesadaran etnosentri di atas;

5. Memberikan informasi yang baragam;


Pada aktifitas ini, siswa diajak untuk mengkritisi kebenaran stereotip budaya sendiri
kemudian dibandingkan dengan budaya orang lain. Dengan aktifitas ini, siswa akan
mempelajari dan akhirnya menyimpulkan bahwa setiap kelompok memiliki stereotip yang
berbeda-beda

6. Behaving in an inconsistent way with one's attitudes

41
Mantle-Bromley, Preparing Students for Meaningful Culture Leaming, Journal: Foreign
Language Annals. ( 251.2.: 9-21
42
H.C Triandis, Attitude and Attitude Change. (New York: Wiley,1971)
Setelah melakukan diskusi tentang beragam budaya, pada aktifitas ini, siswa diajak
melakukan curah gagasan tentang kekurangan dan kelebihan masing-masing
budaya tersebut. Selanjutnya, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk
kegiatan debat tentang keragaman budaya tersebut. Dari kegiatan debat ini, siswa
secara tidak langsug akan memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing
budaya.

7. Direct exposure
Pada kegiatan ini, siswa berlatih berdiskusi secara langsung bersama siswa tamu dari
budaya target. Topik ditentukan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Melalui diskusi seperti
ini, siswa akan mendapatkan informasi dan share secara langsung dengan budaya target.
Berbedaan latar belakang budaya akan membuat diskusi sangat menarik. Siswa akan
meraskan secara langsung kelebihan dan kekurangan masing budaya yang dimiliki. Melalui
aktifitas ini, relatifitas budaya (culture relativity) akan dengan mudah diperkenalkan kepada
siswa.

8. Cultural Relativity
Dalam kegiatan ini, siswa diminta mengidentifikasi daftar kebutuhan
masyarakat secara umum, seperti perumahan, pakaian, makanan, cinta, iman dan
lain-lain. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, kemudian mereka diminta
melengkapi daftar kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis tersebut. Langkah
berikutnya, siswa diminta menjelaskan secara kultural bagaimana kebutuhan-
kebutuhan tersebut dapat memuaskan batinnya. Guru membantu menejelaskan
perbedaan dan persamaan dari dua budaya itu. Dengan kegiatan ini, siswa akan
memahami, bahwa secara kultural, dalam memenuhi kebutuhan baik fisik maupun
psikologis, masing-masing kelompok masyarakat memiliki standar kepuasan sendiri-
sendiri yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik itu sejarah, letak geografis dan
demografis. Selain itu, kegiatan ini juga akan meningkatkan pemahaman siswa
tentang relatifitas budaya.

Sejauh pengamatan penulis, tidak semua buku teks yang secara nasional
digunakan di sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan bahasa dan budaya
secara bersamaan. Oleh sebab itu, guru harus kreatif, merancang kegiatan
tambahan yang sesuai dengan materi atau kompetensi yang diajarkan di kelas.
4. Pengalaman Budaya dan Persepsi

Bahasa seringkali dianggap sebagai produk dari budaya. Di lain pihak,


terbentuknya budaya tak dapat dilepaskan dari peran dominan bahasa. Fishman
seperti dikutip oleh Risager, (2006) merumuskan tiga keterkaitan erat antara bahasa
dan budaya dengan menyatakan bahwa bahasa merupakan “bagian”, “index”, dan
“simbolik” budaya. Sebagai “bagian” dari budaya, bahasa berperan penting sebagai
jembatan dalam pemahaman budaya, terutama bagi mereka yang ingin belajar
banyak mengenai budaya tersebut. Sebagai “index” budaya, bahasa mengungkap
cara berpikir atau pengorganisasian pengalaman dalam budaya tertentu. Sebagai
“simbolik” budaya, pergerakan dan konflik bahasa mendayagunakan bahasa
sebagai simbol untuk memobilisasi populasi dalam mempertahankan (atau
menyerang) dan mendukung (atau menolak) budaya-budaya yang berkaitan
dengannya.43
Dalam melihat keterkaitan antara bahasa dan budaya, Kramsch seperti
dikutip oleh Risager melihat bahasa dalam fungsinya untuk mengekspresikan,
menampilkan, dan menyimbolkan realitas budaya. Dengan menggunakan bahasa,
manusia tidak hanya mengartikulasikan pengalaman, fakta-fakta, ide dan kejadian
kepada satu sama lain, tetapi menyampaikan pula sikap, kepercayaan, dan sudut
pandang. Bahasa menampilkan juga realitas budaya dengan membantu manusia
menciptakan pengalaman. Pengalaman tersebut menjadi bermakna pada saat
bahasa menjadi medianya. Masih menurut Kramsch pengalaman budaya juga
disimbolkan oleh bahasa. Bahasa menjadi simbol budaya karena, sebagai sebuah
sistem tanda, bahasa mengandung nilai budaya. Manusia mampu mengenal dan
membedakan satu sama lain sedikit banyak melalaui proses pengamatan terhadap
cara penggunaan bahasanya.44

5. Penutup

Memahami keterkaitan antara bahasa dan budaya menjadi penting dalam


pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing. Seperti diungkapkan oleh Liddicoat,
Scarino & Kohler (2003), bahasa tidak semata-mata struktural, namun juga

43
Risager, K., Language and culture: Global flows and local complexity. (Clevedon,
England: Multilingual Matters, 2006), h 39.
44
Ibid., h. 60
komunikatif dan bersifat sosial. Belajar bahasa baru, oleh karenanya, menjadi lebih
rumit mengingat kompleksitas yang dibentuk oleh keterkaitan antara bentuk-bentuk
linguistik dan aspek-aspek sosiokulturalnya. 45 Oleh karena itu pamahaman budaya
bahasa target akan membantu pembelajar menguasai dan memahami bahasa
tersebut.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwa, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010.
Aloliliweri, Gatra-Gatra, Komunikasi Antar Buday. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Baldwin, Elaine, et al, Introducing Cultural Studies: Revised First Edition, England:
Pearson Education Limited. 2004.
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Practice, 2000. Diterjemahkan oleh
Nurhadi, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
2004.
Boas, Franz, Race, Language and Culture, New York: The Macmillan Company,
1940.
Burton, Graeme, Media and Popular Culture,1999. Diterjemahkan oleh Alfathri Adlin:
Media dan Budaya Popular. Yogyakarta: Jalasutra. 2012.
Buttjes, D., Mediating languages and cultures: The social and intercultural dimension
restored. In D. Buttjes and M. Byram (eds.), Mediating languages and cultures.
Clevedon: Multilingual Matters, 1991.

Byram, M. and V. Esarte-Sarries, Investigating cultural studies in foreign language


teaching: a book for teacher. New York: Multilingual Matters. 1991.

45
Liddicoat, A. J., Papademetre, L., Scarino, A. & Kohler, M., Report on intercultural
language learning, (Canberra: Australian Department of Education, Science and Training,
2003), h., 130
Byram, Michael, et al, From Foreign Language Education for Intercultural
Citizenship: Essay and Reflections. UK: the Cromwell Press Ltd. 2008.
Byram, Michael, et al. Context and Culture in Language Teaching and Learning. UK:
Short Run Press Ltd. 2003.

Byram, et al., Teaching-and-learning Language-and-culture Multilingual, Clevedon:


Multilingual Matters, 1994.
Chomsky, Noam, On Nature and Language, United Kingdom: Cambridge University
Press. 2002.
Corbett, J. Languages for intercultural communication and education, 7: Intercultural
Approach to English Language Teaching [online].
(16.11.2010),2003.http://site.ebrary.com/lib/jyvaskyla/Doc?
id=10051997&ppg=152.

Corbett, John, An Intercultural Approach to English Language Teaching, UK: The


Cromwell Press Ltd. 2003.
Cunningsworth, Alan, Choosing your Coursebook. UK: Macmillan Publishers
Limited. 1995.
David G. Mandelbaum, Selected Writings of Edward Sapir in Language, Culture and
Personality, Berkeley: University of California Press, 1973.

Dell Hyme, Language in Culture and society, New York: Harper & Row, 1964
Edwards, Vive. Multilingualism in the English-speaking World. UK: Blackwell
Publishing Ltd. 2004.
Feng, Anwei, et al, Becoming Interculturally Competent through Education and
Training, UK: Techset Composition Ltd. 2009.
Hall, Stuart, et al, Culture, Media, language (London and New York: Routledge in
association with the Centrefor Contemporary Cultural Studies University of
Birmingham, 1980, reprinted 1992). Diterjemahkan oleh Saleh Rahmana:
Budaya Media Bahasa: Teks Utama Pencanang Cultural Studies 1972-1979.
Yogyakarta: Jalasutra. 2011
Hornberger, Nancy H, et al. Sociolinguistics and Language Education. UK: Short
Run Press Ltd. 2010.
Ivić, Ivan & Pešikan & Ana. 2013. Textbook Qualit, A Guide to Textbook Standards.
Göttingen : V&R unipress in.
James, Joyce E., et al. The Language-Culture Connection. Singapore: SEAMEO
Regional language Centre. 1996.
Kaelan, M.S. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
2009.
Kaiser, D., Pedagogy and the Practice of Science: Historical and Contemporary
Perspectives, Massachusetts: MIT., 2005.
Kaplan, David, Robert A Manners. The Theory of Culture. Diterjemahkan oleh
Landung Simatupang, Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Keesing, Roger M. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective, second
Edition. Diterjemahkan oleh R.G Soekadijo. Antropologi Budaya: Suatu
Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga. 1981.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-press. 2010.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI-press. 2010.
Kotthof, Helga, et al. Handbookbof Intercultural Communication. Berlin: Walter de
Gruyter GmbH & Co. KG. 2007.
Kramsch, C., Context and Culture in Language Learning, Oxford: Oxford University
Press, 1993.

Krippendorff, K., Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. Second


Edition. Thousand Oaks: Sage Publications, 2004.

Kuper, Adam, Culture: The Anthropologists’ Account, UK: Harvard University Press.
2000.
Lee, Richard E. Globalization, Language, and Culture. New York: Chelsea House.
2005.
M.A.K Halliday.1993. Language as Social semiotic, New York: Routledge, Chpaman
ane HALL, Inc.

Mandelbaum, David G., Selected Writings in Language, Culture, and Personality.


USA: Califorania University Press. 1949.
Miller, Daniel, et al., Anthropologi and the Individual, A Material Culture Perspective,
UK : the MPG Books Group., 2009.
Richard, J. C. & Renandya, W. A. (Eds). Methodology in Language Teaching: An
Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.

Richard, J. C. & Schmidt, R. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and


Applied Linguistics 3rd Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited.

Sastra, Gusdi. Neurolinguistik: Suatu Pengntar. Bandung: Alfabeta. 2011.


Sercu, Lies, et al. Foreign Language Teachers and Intercultural Competence: An
International Investigation. UK: the Cromwell Press Ltd. 2005.
Soskice, Janet Martin. The Kindness of God: Metaphore, Gender, and Religious
Language. New York. Oxford University Press Inc. 2007.
Storey, John, Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction, England:
Pearson Longman. 2004.
Sutrisno, Mudji, dkk., Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar
Kebudayaan, Depok: Koekoesan, 2004
Swales, John M, Christine B. Feak, Academic Writing for Graduate Students: A
Course for Nonnative Speakers of English. UK: The University of Michigan
Press. 1994.
Thwaites, Toni, dkk., Introducing Cultural and Media Studies, Yogyakarta: Jalasutra.
2011. Disadur dari Palgrave, 2002. Introducing Cultural and Media Studies: A
Semiotic Approach.
Tomlinson, Brian, Developing Materials for Language Teaching, United Kingdom:
Cromwell Press. 2003.
Wijana, Dewa Putu, dkk. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2006.

Anda mungkin juga menyukai