Anda di halaman 1dari 12

SISTEM PENDIDIKAN DI ZIMBABWE DAN PENGARUHNYA TERHADAP

PEMBELAJARAN TIGA BAHASA RESMI: BAHASA INGGRIS, SHONA DAN NDEBELE

R. Tachsin Fernandi (tachsin@yahoo.com), NIM : 017047146


Mahasiswa Program Studi : 87/Sastra Inggis Bidang Minat Penerjemahan
d/a Kedutaan Besar Republik Indonesia, 3 Duthie Avenue, P.O. Box. CY 69 Causeway,
Belgravia, Harare, Zimbabwe

ABSTRAK

Ketika Zimbabwe merdeka pada 18 April 1980 dari kolonisasi pemerintahan Rhodesia
yang merupakan negara boneka Inggris mayoritas rakyat kulit hitamnya tidak memiliki
kesempatan pendidikan, dan fasilitas yang disediakan hanyalah untuk sekolah kualitas sekunder.
Kebanyakan masyarakat Zimbabwe paling hanya menyelesaikan beberapa tahun pendidikan
sekolah dasar. Sistem pendidikan di Zimbabwe terdiri Taman kanak-kanak (Nursery School),
pendidikan kelas persiapan yang disebut Grade 0 (Zero), diikuti Sekolah Dasar (Primary School),
Form One dengan kelas akhir yang disebut Ordinary (O Level), dan Form Two yang merupakan
tingkatan Advanced (A Level), setelah menamatkan pendidikan dan lulus dalam ujian di kelas A
Level baru bisa masuk ke perguruan tinggi.
Sebagai bahasa pengantar di sektor administrasi dan pemerintahan, bahasa Inggris
memegang peranan penting di Zimbabwe karena bahasa umum yang banyak digunakan sebagai
bahasa nasional resmi, selain bahasa Inggris masyarakat Zimbabwe juga menggunakan bahasa
asli ibu setempat terutama yang disebut bahasa Shona dan bahasa Ndebele, serta 15 bahasa
lainnya dari suku minoritas. Kedua bahasa ibu tersebut secara demografi dapat dipetakan pada
10 provinsi di Zimbabwe yaitu bahasa Shona banyak digunakan oleh para penduduk yang
tinggal dikawasan provinsi Harare, Manicaland, Masvingo, Mashonaland East, Mashonaland
West dan Mashonaland Central, dan bahasa Ndebele dipergunakan oleh sebagian besar
penduduk yang tinggal di provinsi Bulawayo, Midlands, Matabeleland North dan Matabeleland
South. Perkembangan bahasa Inggris dan penyebarannya di Zimbabwe tidak lepas dari
kolonialisasi negara Inggris. Di seluruh dunia, diperkirakan bahasa Inggris dipakai sebagai
bahasa penutur oleh sekitar 508 juta orang dan merupakan bahasa pengantar di 54 negara di
dunia diantaranya : Inggris Raya, AS, Afrika Selatan, Namibia, Papua Nugini, Rwanda, Samoa,
Selandia Baru, Singapura, Solomon Kepulauan, Somalia, Swaziland, Tanzania, Tonga, Trinidad
& Tobago, Tuvalu, Uganda, Vanuatu, Zambia, Zimbabwe dll..
Kata kunci: pendidikan, bahasa Inggris, bahasa Shona, Bahasa Ndebele

Pendidikan sekolah yang dikelola pemerintah Zimbabwe untuk masyarakat kulit hitam
sepenuhnya diterapkan pada tahun 1980, dan ketidak-adilan yang tersisa dari warisan sistem
kolonial berkurang. Pendidikan dinyatakan sebagai hak asasi manusia di Zimbabwe dan tidak
ada lagi perlakuan sistem rasialisasi dan pembedaan warna kulit. Namun sejak tahun 1988,
pemerintah telah terus meningkatkan biaya yang melekat pada pendaftaran sekolah sampai biaya
tersebut sangat melebihi nilai riil dari biaya sebelum tahun 1980. Semua anak di Zimbabwe
memiliki hak untuk pendidikan. Namun, baik biaya retribusi pengembangan dan biaya kuliah
harus dibayar oleh para orang tua. Meskipun retribusi pengembangan sekolah menjadi hambatan,
sebagian besar penduduk yang lebih kaya mengirim anak-anak mereka ke sekolah swasta,
sedangkan yang dikelola pemerintah, sekolah-sekolahnya dihadiri oleh warga kurang mampu
penduduk kulit hitam.
Departemen Pendidikan, Olahraga dan Kebudayaan Zimbabwe menangani dan
mengoperasikan sekolah-sekolah pemerintah, tetapi biaya-biaya yang dikenakan oleh sekolah-
sekolah swasta tetap diatur oleh Kabinet Zimbabwe. Zimbabwe memiliki tingkat melek huruf
orang dewasa sekitar 90% yang merupakan salah satu yang tertinggi di Afrika. Namun, sejak
tahun 1995 tingkat melek huruf di Zimbabwe terus menurun yang merupakan kecenderungan
yang dimiliki oleh negara-negara Afrika lainnya.
Sistem pendidikan Zimbabwe pernah di antara yang terbaik di Afrika, meskipun saat
tersebut menderita penurunan yang merugikan karena masalah pendanaan publik, yang berkaitan
dengan hiperinflasi dan kerusuhan politik. Sampai pertengahan tahun 1990, semua masyarakat
Zimbabwe telah menamatkan pendidikan dasar, dan 65 persen mayoritasnya menyelesaikan
pendidikan sekunder. "Pada pertengahan 1990-an diadakan ujian O level nasional dengan tingkat
kelulusan hingga 72 persen. Berkenaan dengan penerapan Land reformd serta mulai timbulnya
berbagai kerusuhan pengambil alihan tanah-tanah warga kulit putih secara paksa semenjak 1999,
Zimbabwe mulai mengalami kekisruhan ekonomi dan ketidak stabilan politik, sehingga di tahun
2007 hasil tersebut jatuh sampai 11 persen, hal ini memuncak disebabkan pembatalan tahun
ajaran 2008. Para guru melakukan pemogokan dalam beberapa tahun terakhir atas gaji yang
rendah, kondisi kerja yang buruk, kekerasan politik dan hasil pemilu yang tidak adil, situasi
buruk yang terus berlanjut mengakibatkan kekecewaan semua pihak.
UNICEF menegaskan bahwa 94 persen sekolah di pedesaan yang melayani mayoritas penduduk
ditutup pada tahun 2009, dan 66 dari 70 sekolah ditinggalkan. Tingkat kehadiran menurun
drastis dari lebih dari 80 persen menjadi 20 persen. Belajar hanya dilanjutkan di sekolah-
sekolah perkotaan di mana gaji guru-guru dibayar dengan uang dolar AS oleh para orang tua
siswa, menciptakan kesenjangan yang besar antara sekolah pedesaan dan sekolah perkotaan, dan
selanjutnya kemarahan yang meletup membuat para guru melarikan diri ke negara-negara
tetangga. Sekolah perkotaan "tipe A" terus menjadi lebih siap daripada misi pendidikan sekolah-
sekolah di pedesaan dan pemerintah menjadi sponsor mitra sekolah-sekolah tipe A yang
menyebabkan perbedaan semakin jauh. Krisis ekonomi telah menyebabkan banyak anak-anak
rentan putus sekolah selama bertahun-tahun, meskipun program-program baru bertujuan untuk
memperbaiki situasi telah dijalankan.
Investasi besar di bidang pendidikan telah disediakan oleh UNICEF, komunitas donor
internasional dan Pemerintah Zimbabwe, melalui Dana Transisi Pendidikan (Educational
Transition Fund / ETF) dan Bantuan Modul Pendidikan Dasar (The Basic Education Assistance
Module / BEAM). BEAM bertujuan untuk mengimbangi biaya untuk anak yatim dan anak-anak
rentan kekerasan (Orphans and vulnerable Children / OVCs). Dana ini bersama-sama membantu
memerangi masalah yang berhubungan dengan kondisi bangunan sekolahan yang memburuk,
kurangnya pasokan para guru dan kekurangan sumber daya pada umumnya. UNICEF bertujuan
untuk memasok anak sekolah masing-masing dengan buku teks melalui BEAM, dan pada tahun
2011 untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, sekitar 13 juta buku teks
dikirimkan ke sekolah-sekolah dasar Zimbabwe yang dimungkinkan oleh sumbangan dari
negara-negara Skandinavia dan Jerman.
Tantangan lain yang dihadapi oleh sektor pendidikan di Zimbabwe, termasuk memiliki
proporsi siswa perempuan yang lebih rendah, meskipun Undang-undang Pendidikan memberikan
akses yang sama. Dengan sumber daya yang terbatas, para orang tua lebih sering memilih untuk
mengirim anak-anak lelaki ke sekolah daripada anak gadis mereka. Istilah "Hot-sitting" atau
"double sitting" merupakan kejadian umum yang menjadi kendala kekurangan sekolah di negara
ini, sebagai contoh salah satu kelompok siswa datang di pagi hari dan kemudian kelompok lain
baru belajar di sore atau malam hari.
Sistem pendidikan di Zimbabwe terdiri dari 7 tahun sekolah dasar yang dimulai dengan
Grade 0 (Zero) sejak setahun lalu diberlakukan pada semua sekolah dasar sebagai kelas
persiapan untuk masuk kelas 1 atau Grade One. Usia minimum tahun pertama sekolah dasar /
Primary School adalah 6 tahun. Dengan demikian anak diharapkan untuk memasuki tahun
pertama di sekolah tingkat lanjut “Form One” pada usia 13 tahun. Ini adalah standar yang
ditetapkan pemerintah. Sekolah-sekolah swasta khususnya, sangat liberal dalam menerapkannya.
Prioritas mereka adalah sebagian besar pada kinerja masing-masing anak.
Sekolah menengah yang disebut Form One dan Form Two ditempuh selama 6 tahun,
sebelum siswa dapat masuk universitas. Untuk lebih jelasnya Form One terdiri dari kelas Form 1,
Form 2 Form 3 dan kelas terakhir disebut O level (Ordinary Level). Dimana setelah menamatkan
tingkat O level akan menghadapi ujian tertulis serta mendapatkan sertifikat dasar untuk
menempuh kelas Form Two, kelas ini terbagi menjadi kelas Form 5 dan Form 6.
Setelah menyelesaikan ujian A Level mereka dapat menempuh jenjang universitas, usia
rata-rata generasi muda Zimbabwe mulai masuk universitas pada usia 19 tahun. Ujian nasional
biasanya diadakan pada awal bulan Nopember, dengan kategori ujian O level dan A Level. Ujian
O Level (tingkat biasa) dan A Level (tingkat lanjut) dipersiapkan oleh Kementerian Pendidikan,
Olahraga dan Kebudayaan, dibawah komite yang disebut Dewan Ujian Zimbabwe (ZIMSEC =
Zimbabwe Examinations Council).
Tahun akademik di Zimbabwe berlangsung dari bulan Januari hingga bulan Desember yang
terbagi dalam 3 termin semester.

Pelajaran yang diujian pada tingkat "O" di Zimbabwe meliputi:


Ilmu Pengetahuan: Biologi, Kimia, Fisika, Ilmu Pengetahun Umum, Matematika;
Seni Liberal: Sastra Inggris, Pendidikan Agama, Geografi, Sejarah
Bisnis dan Perdagangan: Akutansi, Perdagangan, Ekonomi, Ilmu Komputer
Bahasa: Inggris, Shona, Ndebele, Perancis, Jerman, Latin
Seni: Kesenian, Musik
Ujian Praktek: Kayu, Logam, Pertanian, Menggambar Teknik, fashion & bahan kain,
Makanan & Nutrisi
Pelajaran ujian A level meliputi:
Bisnis dan Perdagangan: Manajemen Bisnis, Ekonomi, Akutansi, Ilmu Komputer, Statistik
Seni Liberal: Sastra Inggris, Sastra Shona / Ndebele, Geografi, Pendidikan Agama, Sejarah
Bahasa: Inggris, Shona, Ndebele, Perancis
Seni: Kesenian, Musik
Ilmu Pengetahuan: Biologi, Kimia, Fisika, Matematika, Matematika lanjutan

Zimbabwe adalah sebuah negara di belahan kawasan Negara-negara bagian selatan Afrika,
memiliki populasi sekitar 13 juta yang terdiri dari kategori Afrika, Eropa serta kelompok-
kelompok kecil orang-orang asal Asia terutama berasal India, China dan Pakistan. Karenanya
dianggap sebagai negara multibahasa / multikultural bangsa. Seperti dibahas sebelumnya bahwa
ada tiga bahasa nasional utama di Zimbabwe yaitu Shona, Ndebele, dan Inggris. Dari ketiga
tersebut, bahasa Inggris adalah bahasa nasional resmi, Shona dan Ndebele adalah bahasa
nasional. Tambahan dengan tiga bahasa nasional utama, terdapat lima belas bahasa adat
minoritas, sebagai berikut:
1. Kalanga (terutama berbicara Zimbabwe tetapi juga diucapkan di Botswana)
2. Nyanja / Chewa (terutama diucapkan di Malawi)
3. Tonga (terutama diucapkan di Zambia, juga diucapkan di Namibia,
4. Botswana, dan Mozambik)
5. Nambya (Zimbabwe)
6. Hwesa (Zimbabwe)
7. Shangani (terutama diucapkan di Afrika Selatan, juga diucapkan dalam Mozambik)
8. Barwe (terutama digunakan di Mozambik)
9. Sotho (terutama diucapkan di Lesotho, Afrika juga)
10. Venda (terutama diucapkan di Afrika Selatan)
11. Chikunda (terutama digunakan di Mozambik, juga Zambia)
12. Xhosa (terutama diucapkan di Afrika Selatan)
13. Sena (terutama digunakan di Mozambik)
14. Tshwawo (Khoisa) (juga diucapkan di Botswana, Namibia, dan Zambia)
15. Tswana (terutama dituturkan di Botswana dan Afrika Selatan)
Kelompok minoritas merupakan sekitar 10% dari keseluruhan populasi Zimbabwe. Enam dari
bahasa minoritas, yaitu, Kalanga, Shangani, Chewa, Venda, Tonga, dan Nambya diakui secara
resmi.
Pendidikan dan pengetahuan berbahasa Inggris adalah hal yang sangat penting di Negara
Zimbabwe. Didaerah perkotaan pengantar dalam sekolah adalah murni bahasa Inggris, dengan
bahasa Shona dan Ndebele diajarkan sebagai mata pelajaran, disekolah pedesaan siswa mulai
belajar dalam bahasa Ibu mereka terutama yaitu Shona dan Ndebele, tapi transissi pendidikan
bahasa Inggris dalam membaca dan menulis mulai diajarkan di kelas 3.
Karena bahasa Inggris adalah bahasa kerja pemerintah, bisnis, dan industri di Zimbabwe,
kebijakan bahasa Inggris tampaknya menjadi cara praktis untuk mempersiapkan siswa untuk
pendidikan tinggi dan tenaga kerja. Status berkembangnya bahasa Inggris sebagai lingua franca
internasional menyediakan dukungan tambahan untuk kebijakan tersebut. Pengaruh ini
mendukung untuk pendekatan multifaset dengan cara bahasa Inggris pada saat ini diajarkan di
Zimbabwe, dan bahwa melalui pengantar bahasa Inggris, maka siswa dan guru dapat beradaptasi
dengan perubahan yang cepat, dan berhubungan dengan orang-orang dari latar belakang sosio-
budaya dan bahasa yang beragam.

METODOLOGI

Subyek utama penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dekat bagaimana
sistem pendidikan di Zimbabwe dan pengaruh bahasa Inggris, bahasa Shona dan bahasa
Nedebele dalam peranannya sebagai bahasa nasional untuk masyarakat Zimbabwe. Pemakalah
menggunakan beberapa cara semisal mengunakan kuesioner, wawancara, informasi lewat situs-
situs internet dan buku-buku; dengan cara tersebut diperoleh dua cara utama menjaring informasi
yang diperlukan yaitu cara metode historis dan metode deskripsi.
Dengan meminta beberapa relawan dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang
berbeda untuk diwawancara serta mengisi kuesioner semisal Mr. Ronald Mutematsaka praktisi
pendidikan dari Women’s University in Afrika, Ms. Dembe Memory -- sekretaris Duta Besar
Jepang, Ms. Lorraine Cellia Chatambara -- mahasiswi, Ms. Bernadette Hundu resepsionis, Mr.
Loyd Chibamu -- pengemudi Duta Besar Indonesia, dll.
Kuesioner diserahkan baik lewat email internet maupun secara langsung, dengan
pengisian kuesioner serta wawancara, hasil jawabannya kemudian dianalisis dan dibandingkan
dengan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan internet sehingga diperoleh data secara
kualitatif dan efektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari berbagai data yang masuk baik melalui metoda kuesioner, semcam pengajuan beberapa
pertanyaan :

1. Do the children in Zimbabwe must go to Nursery school before they enter Primary
School?
2. In what age are the children enrolled to the Primary School?
3. When do people start learning English in school actively?
4. What is form I (One) in Educational system?
5. What is form II (Two) in Educational system?
6. What is O level in Educational system?
7. What is A level in Educational system
8. When do young people in Zimbabwe enter university?
9. In which school level should they finish it first?
10. How was education history in Zimbabwe?

ditambah metoda wawancara dan metoda dokumentasi yaitu melalaui acuan buku dan internet,
akhirnya dapat diperoleh sejarah pendidikan di Zimbabwe dan pengaruh sistem pendidikan itu
sendiri terhadap pengembangan dan pengunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah di Zimbabwe.
Setelah munculnya negara-negara Afrika yang merdeka dari bekas jajahan Inggris, timbulah
pertanyaan yang telah menjadi agenda pemerintah masing-masing ketika mereka
mencapai kemerdekaan. Beberapa negara telah membuat langkah menuju penanganan itu.
Pada tahun 1997, perwakilan negara Afrika berkumpul di Harare, Zimbabwe untuk sebuah
konferensi antar pemerintah tentang kebijakan bahasa di Afrika yang diselenggarakan oleh
UNESCO dimaksudkan untuk membahas masalah perencanaan bahasa dan kebijakan di Afrika.
Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Harare” di mana setiap negara yang mewakili
menyatakan komitmennya terhadap visi untuk Afrika sebagaimana dinyatakan dalam berikut
pernyataan:
1. Sebuah negara demokrasi Afrika bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif dari para
warganya dalam semua institusi sosial, ekonomi dan politik serta lainnya;
2. Dalam sebuah demokrasi Afrika yang mana pembangunan tidak ditafsirkan untuk tujuan-
tujuan ekonomi yang sempit; tetapi sebaliknya secara budaya menghargai cara hidup
kebersamaan, serta dalam kontek yang lebih luas dari keadilan, kejujuran dan kesetaraan
bagi semua, penghormatan terhadap hak linguistik sebagai hak asasi manusia, termasuk
dari kelompok minoritas;
3. Dalam pengertian yang lebih luas, Afrika yang mengakui pluralism etno-linguistik,
menerima hal ini sebagai gaya hidup normal, dan sumber daya yang memperkaya untuk
pengembangan dan kemajuan;
4. Sebuah demokrasi Afrika bertujuan untuk mempromosikan hidup berdampingan secara
damai dalam suatu masyarakat di mana pluralisme tidak berarti penggantian satu bahasa
atau identitas oleh orang lain, tetapi sebaliknya mempromosikan saling melengkapi
fungsi serta kerjasama dan rasa takdir yang sama;
5. Demokratisasi Afrika dalam konteks pluralistik berusaha untuk mencarinya melalui suara
dan kebijakan bahasa eksplisit Afrika yang mampu beroperasi secara efektif di tingkat
lokal sebagaimana juga di tingkat regional dan internasional;
6. Sebuah demokrasi Afrika menyediakan lingkungan untuk promosi
dan pelestarian identitas Afrika serta pembudidayaan sebuah
kepribadian Afrika yang bangga dan percaya diri;
7. Di Afrika di mana wacana ilmiah dan teknologi dilakukan dalam bahasa-bahasa
nasional sebagai bagian dari persiapan kognitif kita untuk menghadapi
tantangan milenium berikutnya. (Chimhundu et al., 1997)

Para wakil-wakil negara membuat komitmen serius untuk mengambil langkah positif
terhadap perencanaan bahasa dan menerapkan kebijakan diantara isu-isu lainnya untuk turut
memperhitungkan peningkatan dari status dan penggunaan bahasa pribumi (indigenous
languages) yang kemudian menyinggung akan pentingnya pengaruh penggunaan bahasa pribumi
sebagai bahasa belajar dan mengajar. Hal ini juga akan mempertimbangkan langkah apa yang
telah diambil Zimbabwe dalam menstabilkan bahasa pribumi sebelum dan sesudah Harare
Deklarasi.
Tetapi faktanya di parlemen dan di bidang pendidikan, Bahasa Inggris terus menjadi bahasa yang
dominan. Undang-undang Pendidikan terbaru (1987, sebagaimana diubah pada tahun 1990)
menyatakan bahwa:

1. Tiga bahasa utama Zimbabwe, yaitu bahasa Shona, bahasa Ndebele dan bahasa Inggris,
akan diajarkan di semua sekolah dasar dari kelas pertama sebagai berikut :
a. Shona dan Inggris di semua daerah di mana bahasa ibu yang menjadi mayoritas
penduduk adalah bahasa Shona atau;
b. Ndebele dan Inggris di semua daerah di mana bahasa ibu dari Mayoritas penduduk
adalah bahasa Ndebele.
2. Sebelum kelas empat, salah satu bahasa sebagaimana dimaksud pada ayat (A) atau (b)
dari ayat (1) dapat digunakan sebagai pengantar, tergantung pada bahasa yang lebih
umum digunakan dan lebih baik dipahami oleh siswa.
3. Dari kelas empat, bahasa Inggris akan menjadi pengantar asalkan Shona atau Ndebele
harus diajarkan sebagai mata pelajaran pada alokasi waktu yang sama sebagaimana
bahasa Inggris.
4. Di daerah dimana bahasa minoritas ada, Menteri dapat mengesahkan pengajaran bahasa
tersebut di sekolah dasar selain yang ditentukan dalam sub-ayat (1), (2) dan (3). (Bagian
XI, Pasal 55, hlm. 255)

Seperti ditunjukkan di atas, meskipun semua bahasa utama menikmati beberapa derajat kecil
menonjol bawah Undang-Undang, bahasa Inggris terus menikmati peran sentral, meskipun
dalam ayat (3) dan dalam sifat non-wajib primer awal sekolah dilaksanakan dalam instruksi
bahasa ibu, akan tetapi pengakuan ini sebagian besar hanya dalam kata-kata saja, karena di
Zimbabwe, kebanyakan sekolah lebih suka menggunakan bahasa Inggris sejak awal untuk
memastikan para siswa mereka dalam kemahiran berbahasa Inggris, yang dianggap bahasa
kekuasaan dan status kesejahteraan ekonomi. Perlu dicatat bahwa, ketika mereka mulai sekolah,
sebagian besar anak-anak ini memiliki kemampuan yang sangat rendah atau tidak ada dalam
bahasa Inggris. Guru dan orang tua menjadi prihatin bahwa setelah kelas tiga, ketika mereka
harus beralih ke bahasa Inggris, tingkat rendah kemahiran siswa dalam berbahasa Inggris akan
membuat belajar menjadi sulit dan mengurangi apa pun yang akan mereka pelajari. Di kasus
bahasa minoritas, telah tercatat bahwa pelaksanaan Undang-Undang ini bahkan lebih sulit karena
beberapa guru yang mahir dalam bahasa tidak ditempatkan di bidang yang relevan dikarenakan
penyebaran guru yang tidak melibatkan pertimbangan tentang pertanyaan media utama ternyata
lebih rendah dari instruksi. Bukti lain yang menunjukkan berlanjutnya dominasi bahasa Inggris
adalah fakta bahwa tingkat kelulusan minimal di Zimbabwe adalah lima mata pelajaran di O
Level, dan salah satu dari lima mata pelajaran harus bahasa Inggris. Umumnya, tidak lulus mata
pelajaran bahasa Inggris di tingkat O level, seseorang tidak dapat dipertimbangkan untuk
pendidikan lanjutan dan kerja. Perlu dicatat bahwa Shona, Ndebele, atau yang bahasa adat lain,
saat ini, tidak diterima sebagai pengganti. Hal ini tidak mengherankan bahwa bahasa Inggris
terus mendominasi sistem pendidikan di Zimbabwe. Telah ada di banyak
kasus, sedikit atau tidak adanya upaya secara sadar untuk mempromosikan bahasa Ibu dalam
ketrampilan kognitif siswa (semacam mengasah memori, kemampuan untuk menggeneralisasi,
kemampuan untuk memahami hubungan seperti sebab dan akibat, kemampuan untuk
memprediksi konsekuensi, kemampuan untuk memahami pesan penting dari teks); ketrampilan
afektif siswa (sikap positif untuk bekerja, loyalitas ke satu negara , toleransi untuk keragaman),
dan keterampilan sosial mereka (kemampuan untuk bekerja sama, berkomunikasi, member
dukungan pada orang lain), akibatnya, tidak ada upaya untuk mempromosikan penggunaan
bahasa ibu dalam teknologi dan wacana intelektual.

Sistem Penilaian Di Dunia Pendidikan di Zimbabwe

Grading System in Secondary Schools:


A = Distinction = Istimewa
B = Merit = Terpuji
C = Credit (minimum pass mark) = Cukup Memuaskan
D= Satisfactory (considered satisfactory yet below pass mark) = Cukup
E = Fail = Gagal
U= Unsatisfactory = Sangat Tidak Memuaskan

Grading System in Universities:


A+ = Distinction = Sangat Istimewa
A = Distinction = Istimewa
B+ = Meritorious = Terpuji
B = Very Satisfactory = Sangat Memuaskan
S = Satisfactory = Memuaskan
C+ = Definite Pass = Pasti Lulus
P = Pass = Lulus
C = Bare Pass = Cukup Lulus
CP = Compensatory Pass = Dipertimbangkan Lulus
D+ = Bare Fail = Cukup Gagal
D = Clear Fail = Sangat Gaal
E = Worthless = Tidak bernilai

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil evaluasi semenjak Zimbabwe mengalami ketidakstabilan ekonomi dan


politik yang ekstrim tahun 2003. Akibatnya, IMF dan World Bank memperkirakan bahwa inflasi
di Zimbabwe telah terombang-ambing hingga mencapai puncaknya 300.000% yang mana pada
menjelang tahun 2008 krisis ekonomi menghantarkan kejatuhan mata uang dollar Zimbabwe dari
1US$ setara dengan Z$ 1 trillion (satu trillion Zimbabwe dollar), sehingga timbul berbagai
kerusuhan, kelaparan, ketidak stabilan ekonomi serta terpuruknya sistem pendidikan dimana-
mana yang mengakibatkan banyak para guru hijarah ke Negara-negara tetangga sekitar
Zimbabwe. Berdasarkan alasan ini, penerimaan dan petugas bantuan keuangan harus peka
terhadap kenyataan bahwa bahkan para penduduk Zimbabwe yang relatif kaya juga mendapat
tekanan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka apabila tidak adanya bantuan keuangan
yang signifikan karena semuanya harus dibayar dengan mata uang dollar Amerika Serikat. Dan
mulai tahun 2008 hingga saat ini Zimbabwe tidak memiliki mata uang sendiri. Negara tersebut
menggunakan sistem multi kurs mata uang asing terutama yang banyak dipakai adalah mata
uang dollar Amerika Serikat dan Rand Afrika Selatan.
Pendidikan di Zimbabwe hingga kini masih merupakan hal yang mahal, dari hasil
wawancara diperoleh hasil bahwa biaya pendidikan setiap semester secara umum antara US$150
- US$200 per semester (tiga bulan) untuk sekolah-sekolah dasar (Primary School), Biaya
sekolah di Form One berkisar antara US$300 – US$400 dan di Form Two antara US$500 –
US$600, padahal gaji rata-rata masyarakat penduduk Zimbabwe untuk golongan masyarakat
menengah bervariasi dari US$350 sampai dengan US$600. Biaya sekolah-sekolah swasta
hampir dua kali biaya dari sekolah-sekolah yang dikelola oleh pemerintah, dengan situasi
tersebut masih sangat mengkhawatirkan bagi sebagian besar masyarakat Zimbabwe untuk
mendapat pendidikan yang lebih layak, walaupun banyak organisasi-organisasi international
semacam UNICEF, USAID, IMF, AUSAID dll ikut banyak membantu permasalahan tersebut,
tetap saja masalah biaya sekolah sangat membebani para orang tua umumnya. Indonesia sendiri
melalui pihak Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Harare sudah selama beberapa tahun
terakhir memberikan bantuan beasiwa kepada para siswa dan mahasiswa Zimbabwe yang ingin
melanjutkan pendidikan tingkat Sarjana dan Master, melalui program beasiswa pemerintah. Dan
yang sudah jalan yaitu dengan ITB, UGM dan ITS. Disamping itu pemerintah Indonesia juga
memberikan tawaran pelatihan singkat “Short Training” kepada instansi-instansi pemerintah di
Zimbabwe.
Sementara mengenai pengaruh bilingualisme yaitu adanya 3 bahasa dalam kontek sistem
pendidikan di Zimbabwe harus disikapi secara realistis dengan mempertimbangkan kepraktisan
dari langkah tersebut. Pemerintah perlu menyisihkan sejumlah besar uang untuk pengembangan
kamus, bahan ajar, dan program pelatihan guru bilingual. Uang sebanyak itu mungkin tidak
tersedia, dan proses membutuhkan waktu untuk merencanakan dan melaksanakannya.

Daftar Pustaka

Chiwome, E., & Thondhlana, J. (1992). Sociolinguistics and education: A survey concerning
attitudes on the teaching of Shona through the media of Shona and English.
Government of Zimbabwe. (1987). Zimbabwe Education Act. Harare, Zimbabwe: Government
Printer.
Hachipola, S. J. (1998). A Survey of the minority languages of Zimbabwe. Harare, Zimbabwe:
University of Zimbabwe Publications.
Ganjar Harimansyah Wijaya, dkk,(2011) Bahasa Indonesia: Tata Bahasa dan Komposisi
Karnedi (2011), Analisis Teks Dalam Penerjemahan
English Language, http://en.wikipedia.org/wiki/English_language
Education in Zimbabwe, http://www.zimbabwe.cc/html/education-in-zimbabwe.html
Land Reform in Zimbabwe, http://en.wikipedia.org/wiki/Land_reform_in_Zimbabwe

Anda mungkin juga menyukai