Anda di halaman 1dari 14

Pendidikan di Singapura

Pendidikan di Singapura dikelola oleh Departemen Pendidikan yang bertugas untuk mengontrol
perkembangan dan administrasi pendanaan sekolah negeri oleh pemerintah serta menjadi
penasehat dan pengawas sekolah swasta. Untuk sekolah swasta dan negeri, terdapat variasi
dalam hal kurikulum, bantuan pendanaan dari pemerintah, SPP untuk siswa, dan kebijakan
seleksi masuk.

Anggaran untuk pendidikan biasanya sekitar 20 persen dari APBN tahunan, dimana itu
digunakan untuk mensubsidi pendidikan negara dan pendidikan swasta bagi warga Singapura
serta untuk dana program Edusave. Biaya pendidikan biasanya lebih tinggi bagi non-warga
negara. Pada tahun 2000, Undang-Undang Pendidikan Wajib mewajibkan anak-anak usia
sekolah dasar (kecuali mereka yang menyandang cacat). Orangtua akan dikenakan tindak pidana
jika mereka gagal mendaftarkan anaknya di sekolah dan memastikan kehadiran anaknya.
Pengecualian diperbolehkan untuk homeschooling atau lembaga keagamaan, tetapi orangtua
harus mengajukan permohonan pembebasan dari Departemen Pendidikan dan memenuhi
beberapa persyaratan minimum.
Bahasa utama yang digunakan sekolah Singapura saat proses belajar mengajar adalah bahasa
Inggris. Bahasa Inggris adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh separuh anak-anak pada usia
prasekolah dan menjadi bahasa utama dalam proses belajar mengajar saat mencapai sekolah
dasar. Meskipun bahasa Melayu, bahasa Mandarin, dan bahasa Tamil juga merupakan bahasa
resmi, bahasa Inggris tetap menjadi bahasa pengantar untuk hampir semua mata pelajaran
kecuali pelajaran bahasa asing, meskipun ada ketentuan untuk penggunaan bahasa Inggris pada
tahap awal. Beberapa sekolah untuk menengah kebawah yang dikelola oleh Rencana Bantuan
Khusus, mendorong penggunaan bahasa ibu dan terkadang mengajar dengan bahasa Mandarin.
Beberapa sekolah telah bereksperimen dengan kurikulum yang mengintegrasikan pelajaran
bahasa (baik bahasa Inggris maupun bahasa asing) dengan matematika dan ilmu pengetahuan.

Sistem pendidikan di Singapura sering disebut sebagai yang terkemuka di dunia dan mendapat
banyak pujian dari banyak pihak.

1. Sejarah Pendidikan di Singapura

Sir Thomas Stamford Raffles mendirikan Institut Singapura (sekarang dikenal sebagai Institut
Raffles) pada tahun 1823, yang memulai pendidikan di Singapura yang berada dibawah
kekuasaan Inggris. Kemudian, terdapat tiga jenis sekolah muncul di Singapura yaitu sekolah
Melayu, sekolah Tionghoa dan Tamil, dan sekolah Bahasa Inggris. Sekolah Melayu digratiskan
untuk semua siswa oleh Inggris, dimana bahasa Inggris dijadikan bahasa utama dalam proses
belajar mengajar. Sebagian besar sekolah Tionghoa dan Tamil mengajarkan dengan bahasa ibu
masing-masing. Siswa dari sekolah Tionghoa sangat serius mengikuti perkembangan di
Tiongkok, terutama saat kebangkitan nasionalisme Tiongkok.

Selama Perang Dunia II, banyak siswa di Singapura yang putus sekolah. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya backlog siswa setelah perang. Pada tahun 1947, program pendidikan
sepuluh tahun dirumuskan. Antara tahun 1950 dan 1960-an, ketika ekonomi di Singapura mulai
berkembang, Singapura mengadopsi sistem pendidikan yang menyediakan tenaga kerja terampil
untuk program industrialisasi serta untuk menurunkan angka pengangguran. Kebijakan
bilingualisme di sekolah secara resmi diperkenalkan pada tahun 1960, dimulai dengan
menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi negara. Pendidikan untuk anak-anak dari semua
ras dan latar belakang mulai terbentuk.

Pada tahun 1980-an, perekonomian Singapura mulai makmur, membuat fokus sistem pendidikan
Singapura bergeser dari kuantitas menjadi kualitas. Diferensiasi bagi siswa dengan kemampuan
akademik yang berbeda mulai dilaksanaan, seperti pembenahan pendidikan kejuruan dan
pembentukan Institut Teknologi baru.

Pada tahun 1997, sistem pendidikan di Singapura mulai berubah menjadi “kemampuan yang
digerakkan” setelah Perdana Menteri Goh Chok Tong merumuskan visi pendidikan sebagai
tempat untuk mempelajari bangsa. Kebijakan ini lebih menekankan kepada pendidikan nasional,
berpikir kreatif, pembelajaran kolaboratif, dan pembelajaran TIK. Sekolah menjadi lebih
beragam dan diberi otonomi yang lebih bebas dalam menentukan kurikulum sendiri dan potensi
akademik di daerahnya. Perbedaan antara berbagai aliran akademis mulai hilang. Kementerian
Pendidikan secara resmi menyatakan bahwa “kesempurnaan” tidak hanya diukur dari segi
akademik, sama seperti pegunungan “kesempurnaan” yang memiliki banyak puncak.

2. Jenjang Sekolah

Tahun ajaran dibagi menjadi dua semester. Semester pertama dimulai pada awal Januari dan
berakhir pada bulan Mei, sedangkan semester kedua dimulai pada bulan Juli dan berakhir pada
bulan November.

3. Taman Kanak-Kanak di Singapura

Taman kanak-kanak di Singapura menyediakan pendidikan prasekolah hingga tiga tahun untuk
anak-anak usia 3-6 tahun. Tiga tahun tersebut biasa disebut Nursery, Kindergarten 1 (K1), dan
Kindergarten 2 (K2).

Taman kanak-kanak menyediakan lingkungan bagi anak-anak yang membuat mereka belajar
bagaimana berinteraksi dengan orang lain, dan mempersiapkan mereka untuk melanjutkan ke
jenjang pendidikan formal di sekolah dasar. Kegiatan meliputi belajar bahasa (tertulis dan lisan)
dan angka, pengembangan keterampilan pribadi dan sosial, permainan, musik, dan permainan
outdoor. Anak-anak belajar dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan bahasa ibu mereka (bahasa
Mandarin, bahasa Melayu, atau bahasa Tamil). Banyak taman kanak-kanak swasta atau yang
berbasis gereja tidak mengajarkan bahasa Melayu ataupun bahasa Tamil, sehingga murid non-
Tionghoa mungkin juga akan belajar bahasa Mandarin di taman kanak-kanak tersebut. Para
siswa belajar lima hari per minggu dengan waktu belajar selama 3 sampai 4 jam per hari.

Taman kanak-kanak dijalankan oleh sektor swasta, termasuk yayasan masyarakat, badan
keagamaan, dan pebisnis. Ada lebih dari 200 taman kanak-kanak yang terdaftar di Departemen
Pendidikan. Taman kanak-kanak juga dijalankan oleh pusat penitipan anak dan sekolah
internasional.

Partai Aksi Rakyat, yang telah memerintah Singapura sejak tahun 1957, menjalankan 247 taman
kanak-kanak melalui badan amalnya yang bernama PAP Community Foundation.

4. Pendidikan Dasar di Singapura

Pendidikan dasar biasanya dimulai pada usia tujuh tahun, terdiri dari tahap dasar empat tahun
(dasar 1 sampai 4) dan tahap orientasi dua tahun (dasar 5 sampai 6). Pendidikan dasar wajib
menurut Undang-Undang Wajib Belajar sejak tahun 2003. Pengecualian dibuat untuk siswa yang
mengikuti homeschooling, anggota lembaga keagamaan penuh waktu, atau mereka yang
memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat menghadiri sekolah formal. Namun, orangtua harus
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan sebelum pengecualian ini
diberikan. Pendidikan dasar gratis untuk semua warga negara Singapura di sekolah-sekolah
dibawah lingkup Departemen Pendidikan, meskipun ada biaya hingga SGD 13 per bulan per
siswa untuk membantu menutupi biaya lain-lain.

Tahap dasar adalah tahap pertama dari sekolah dasar yang berlangsung selama empat tahun dari
dasar 1 sampai 4. Siswa akan mempelajari dasar bahasa Inggris, bahasa ibu (termasuk bahasa
Mandarin Standar, bahasa Melayu, bahasa Tamil, dan bahasa India Non-Tamil), matematika, dan
ilmu pengetahuan. Mata pelajaran lainnya termasuk PKn, pendidikan moral, seni dan kerajinan,
seni musik, pendidikan kesehatan, ilmu sosial, dan pendidikan jasmani yang diajarkan di seluruh
dasar 1 sampai 6. Pelajaran sains diajarkan dari dasar 3 dan seterusnya.

Semua murid melangkah ke tahap orientasi setelah dasar 4, dimana mereka diajarkan sesuai
kemampuan masing-masing. Sejak tahun 2008, siswa mengalir sesuai dengan subjek di bawah
skema yang disebut “banding berbasis subjek”. Siswa mengambil pelajaran pada tingkat yang
berbeda berdasarkan nilai mata pelajaran pada akhir dasar 4. Pelajaran bahasa ibu terdapat
tingkat tinggi, tingkat standar, atau tingkat dasar. Sedangkan pelajaran sains dan matematika
terdapat tingkat standar atau dasar.

Setelah enam tahun pendidikan dasar, siswa harus mengikuti Primary School Leaving
Examination (PSLE). Setelah itu siswa akan memilih sekolah menengah sesuai dengan hasil
PSLE, prestasi, dan minat. Sekolah menengah dapat memilih sejumlah siswa berdasarkan bakat
khusus mereka sebelum para siswa mengikuti PSLE.

4.1. Program Pendidikan Berbakat

Program Pendidikan Berbakat (GEP) didirikan oleh Departemen Pendidikan pada tahun 1984
untuk memenuhi bakat intelektual siswa. Program ini bertujuan untuk mengembangkan anak-
anak yang memiliki bakat potensial dan memberikan mereka penekanan khusus pada tingkat
berpikir tinggi dan pemikiran kreatif. Saat ini ada 9 sekolah dasar yang menawarkan Program
Pendidikan Berbakat. Program Pendidikan Berbakat untuk sekolah menengah diberhentikan pada
akhir tahun 2008 karena siswa lebih memilih Program Terpadu.

Seleksi akan dilakukan di dasar 3. Siswa yang ditawarkan program ini akan diberikan pengayaan
khusus untuk meningkatkan kemampuan mereka. Namun, siswa GEP tetap harus mengikuti
PSLE seperti siswa lainnya.

5. Pendidikan Menengah di Singapura

Berdasarkan hasil PSLE, siswa akan ditempatkan di jalur pendidikan menengah yang berbeda
yaitu “Khusus”, “Percepatan”, “Normal (Akademik)”, atau “Normal (Teknik)”. Orang Singapura
dilarang mengunjungi sekolah internasional tanpa izim Departemen Pendidikan.

“Khusus” dan “Percepatan” adalah program empat tahun menjelang ujian Singapore-Cambridge
GCE Tingkat “O”. “Normal” adalah program empat tahun yang mengarah ke ujian tingkat
normal, dengan kemungkinan tahun kelima diikuti oleh ujian tingkat “O”.
Terjadi perdebatan yang masih berlangsung tentang efektivitas sistem str*aming, salah satu
alasan sistem tersebut harus dihapuskan karena terdapat efek psikologis yang merugikan.

Mata pelajaran yang dipelajaran di sekolah menengah adalah bahasa Inggris, bahasa ibu,
matematika, sains, dan humaniora. Beberapa mata pelajaran baru seperti komputer dan studi
teater dan drama sedang diperkenalkan.

Setelah menyelesaikan 4 atau 5 tahun pendidikan sekolah menengah, siswa akan berpartisipasi
dalam ujian GCE tingkat “O” yang menentukan pra-universitas atau institusi pasca sekolah
menengah yang dituju. Sistem penilaian berada pada rentang A1 (terbaik) sampai F9 (terburuk).
Mata pelajaran yang diujikan adalah bahasa Inggris, humaniora, sains, dan matematika.

5.1. Kegiatan Ekstrakurikuler di Singapura

Kegiatan ekstrakurikuler wajib di tingkat dasar dan menengah, di mana semua murid harus
berpartisipasi dalam setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler yang tersedia
berupa seni pertunjukan, kelompok tertentu, dan kelompok olahraga dan permainan. Jumlah
sebenarnya berbeda di setiap sekolah. Siswa dapat memilih untuk mengikuti lebih dari 1
ekstrakurikuler.

Partisipasi dalam ekstrakurikuler dinilai bersama-sama dengan prestasi non akademik lainnya di
sekolah pendidikan sekolah menengah dalam sistem penilaian yang dikenal sebagai LEAPS.
Poin dihitung dari segi kepemimpinan, pengayaan, prestasi, dan partisipasi akan menentukan
nilai ekstrakurikuler siswa. Siswa mungkin akan mendapatkan maksimum dua poin bonus untuk
masuk ke perguruan tinggi bergantung pada nilai ekstrakurikulernya.

6. Pra-Universitas di Singapura

Pra-universitas dirancang untuk siswa yang lebih ingin mengejar gelar sarjana di universitas
setelah dua sampai tiga tahun pendidikan di pra-universitas, dibandingkan berhenti setelah
mengenyam pendidikan di politeknik. Terdapat 18 Junior College (JCs) dan Centralised Institute
(CI) dengan National Junior College (1969) sebagai yang tertua. Kurikulum terdiri dari dua
pelajaran wajib yaitu general paper dan salah satu dari bahasa ibu (Mandarin, Melayu, atau
Tamil) dan maksimum empat pelajaran dari GCE tingkat “A”.

7. Diploma dan Pendidikan Kejuruan (Vokasi) di Singapura

7.1. Politeknik

Politeknik pertama di Singapura, Singapore Polytechnic, didirikan pada tahun 1954. Ngee Ann
Polytechnic, mempunyai sejarah awal pada tahun 1963. Dua politeknik lainnya, Temasek
Polytechnic dan Nanyang Polytechnic, didirikan pada tahun 1990-an. Yang terbaru, Republic
Polytechnic didirikan pada tahun 2003.
Politeknik di Singapura menyediakan pendidikan diploma selama 3 tahun. Mereka menerima
siswa berdasarkan hasil GCE tingkat “O”, GCE tingkat “A”, atau hasil pendidikan di Institute of
Technical Education (ITE). Tidak seperti politeknik di beberapa negara lain, mereka tidak
menawarkan program gelar.

Politeknik menawarkan berbagai macam pendidikan di berbagai bidang termasuk teknik, studi
bisnis, akuntansi, pariwisata, manajemen perhotelan, komunikasi massa, media digital, dan
bioteknologi. Ada juga program khusus seperti teknik kelautan, penelitian laut, keperawatan, dan
optometri.

Lulusan politeknik dengan nilai yang baik dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih lanjut
di universitas atau universitas luar negeri.

Politeknik juga telah bekerja sama dengan banyak universitas asing untuk memberikan
kesempatan kepada lulusannya untuk mendapatkan gelar atau pendidikan tambahan.

7.2. Institute of Technical Education

Institute of Technical Education (ITE) menerima siswa berdasarkan hasil GCE tingkat “O” atau
GCE tingkat “N” kemudian diberikan pendidikan selama dua tahun untuk mendapatkan
“Sertifikat Nasional ITE” Terdapat empat sekolah ITE di Singapura. Beberapa lulusan ITE
melanjutkan pendidikannya di politeknik dan universitas. Lulusan ITE terkadang dipandang
kurang mampu dan mungkin kurang sukses dibandingkan Junior College.

8. Universitas di Singapura

Singapura memiliki enam universitas negeri yaitu National University of Singapore, Nanyang
Technological University, Singapore Management University, Singapore University of
Technology & Design, Singapore Institute of Technology, dan SIM University.

National University of Singapore dan Nanyang Technological University masing-masing


memiliki lebih dari 30.000 mahasiswa dan menyediakan berbagai program gelar sarjana dan
pascasarjana termasuk gelar doktor. Keduanya juga mendirikan universitas riset dengan ribuan
staf peneliti dan mahasiswa pascasarjana. Pada tahun 2012, kedua universitas ini masuk ke daftar
50 universitas terbaik di dunia.

Singapore Management University (SMU) yang dibuka pada tahun 2000 adalah rumah bagi lebih
dari 7.000 mahasiswa dan terdiri dari enam fakultas yang menawarkan program sarjana,
pascasarjana, dan PhD di Manajemen Bisnis, Akuntansi, Ekonomi, Manajemen Sistem
Informasi, Hukum, dan Ilmu Sosial. Universitas ini memiliki pusat penelitian, sejumlah lembaga
unggulan, dan memberikan program-program untuk publik.

SIM University (UniSIM) adalah universitas swasta yang dibuka pada tahun 2005 dan hanya
menerima mahasiswa paruh waktu dan menawarkan program gelar paruh waktu untuk orang
dewasa yang sedang bekerja. Pada tahun 2012, pemerintah memberikan status negeri pada
UniSIM dan berencana memperluas universitas dengan menawarkan program gelar penuh
waktu.

Dua universitas lain yang juga disponsori pemerintah yaitu Singapore University of Technology
and Design dan Singapore Institute of Technology. Banyak perguruan tinggi swasta yang ada,
termasuk perguruan tinggi asing yang telah mendirikan kampus di Singapura seperti Chicago
Business School dan Technische Universität München.

James Cook University Singapore, University of Adelaide, Southern Cross University,


University of New Brunswick, Queen Margaret University, Temple University, The City
University of New York, Baruch College, University of Nevada, Las Vegas, Aventis School of
Management, Curtin University of Technology, dan University of Wales Institute, Cardiff telah
membangun kampus di Singapura untuk memberikan kesempatan kepada siswa lokal dan asing
(khususnya Asia) untuk mendapatkan pendidikan universitas Barat dengan biaya yang lebih
sedikit.

Pemerintah telah berencana membangun universitas baru yang bernama Singapore University of
Technology and Design (SUTD) untuk memenuhi meningkatnya permintaan pendidikan
universitas. Pengerjaannya dimulai pada bulan April 2012. Kampusnya di Changi siap pada awal
2015.

Biaya kuliah rata-rata di universitas negeri Singapura sekitar S$ 15.000 – S$ 18.000 per tahun
(tuition grant/penerima beasiswa); sedangkan S$ 24.000 – S$ 26.000 per tahun (non tuition
grant). Penerima beasiswa harus bekerja magang di perusahaan Singapura selama kurang lebih
tiga tahun tergantung dari kontrak kerjanya. Syarat minimal masuk ke universitas di Singapura
adalah IELTS 6.0. Sedangkan untuk mendapatkan gelar master (PhD) di Singapura, persyaratan
minumum adalah IELTS 6.5.

9. Sekolah Internasional dan Sekolah Swasta di Singapura

Karena banyak penduduk Singapura yang berasal dari luar negeri, Singapura menjadi pusat bagi
banyak sekolah internasional. Sekolah internasional dan sekolah swasta di Singapura umumnya
tidak mengijinkan siswa Singapura untuk mendaftar tanpa ijin dari Kementerian Pendidikan.
Siswa dari sekolah internasional kebanyakan berasal dari Malaysia, India, Indonesia, Republik
Rakyat Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, Vietnam, Belanda, dan Inggris.

Namun, pada 29 April 2004 Kementerian Pendidikan mengijinkan tiga sekolah internasional
untuk merekrut siswa Singapura tanpa perlu ijin dari pemerintah. Sekolah tersebut harus
mengikuti kebijakan wajib yang ditetapkan oleh Kementerian seperti menyanyikan lagu
kebangsaan Singapura dan melakukan upacara bendera setiap pagi. Biaya sekolah ini 15 sampai
20 persen lebih rendah dibandingkan dengan sekolah internasional lainnya.
Didirikan di bawah Undang-Undang Pendidikan Swasta, Dewan Pendidikan Swasta adalah
lembaga yang mengatur sektor pendidikan swasta. Selain perannya sebagai regulator lembaga
pendidikan swasta, Dewan juga memfasilitasi upaya pengembangan standar pendidikan swasta.

10. Singapura Sebagai “Global Schoolhouse”

Pendidikan selalu menjadi fokus utama Singapura sejak kemerdekaannya pada tahun 1965. Hal
ini dikarenakan Singapura tidak memiliki sumber daya alam sehingga kualitas sumber daya
manusia harus ditingkatkan dengan membangun ekonomi berbasis pengetahuan.

Dalam beberapa tahun terakhir, tujuan dari sektor pendidikan dan pendidikan tinggi tidak hanya
sekedar membangun kemampuan tenaga kerja lokal, tetapi mulai dijadikan sebagai sumber
pendapatan oleh pemerintah. Rencana pemerintah yang dimulai pada tahun 2002 adalah
menjadikan Singapura sebagai “Global Schoolhouse” dengan menarik mahasiswa internasional.
Saat ini, Singapura adalah negara tujuan yang populer bagi siswa internasional. Pada tahun 2002,
sektor pendidikan menyumbang 3,6% dari perekonomian Singapura. Pemerintah menargetkan
pertumbuhan sektor ini hingga mencapai 5% dari perekonomian Singapura dalam dekade
berikutnya.

11. Kebijakan Pendidikan di Singapura

Sekolah di Singapura menerapkan sistem bilingual dimana bahasa Inggris adalah bahasa utama
dan menjadi bahasa pengajaran di sekolah dan bahasa kedua adalah bahasa ibu (bahasa
Mandarin, bahasa Melayu, atau bahasa Tamil). Orang India non-Tamil dapat mengambil bahasa
Tamil atau bahasa lain yang tidak resmi seperti bahasa Bengal, bahasa Gujarat, bahasa Hindi,
bahasa Punjab, atau bahasa Urdu. Namun, orang Tionghoa yang berlatarbelakang keluarga yang
tidak berbahasa Mandarin harus belajar bahasa Mandarin. Siswa dengan latarbelakang orang
Indonesia harus belajar bahasa Melayu.

Kebijakan pendidikan di Singapura dirancang untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang
tidak sekolah karena latar belakang keuangan. Iuran di sekolah negeri telah disubsidi. Tidak ada
iuran di sekolah dasar namun setiap siswa harus membayar maksimum $6,5 per bulan untuk
biaya operasional sekolah. Pemerintah menyediakan beasiswa bagi siswa dengan pendapatan
keluarga kurang dari SGD$2.500 per bulan.
Pendidikan Vokasi di Indonesia

DI negara - negara maju, hubungan antara pendidikan vokasi dan industri sudah seperti suami-
istri. Semua ini berkat keberhasilan dalam membangun link and match antara pendidikan vokasi
dengan industri dan dunia kerja (Iduka). Bagaimana dengan Indonesia? Mendikbud Nadiem
Awar Makarim menyampaikan, “Menurut saya, pernikahan massal ini analogi yang tepat karena
itu menunjukkan komitmen yang permanen karena baru namanya vokasi jika pola belajarnya
mengikuti industri. Jadi kita (pendidikan vokasi) harus menikah dan beranak,” kata Nadiem
dalam Bincang Inspiratif Mendikbud dengan Dirjen Vokasi pada Lokakarya Kepala SMK
melalui Webinar, Jakarta, Sabtu (27/6). Mafhum diketahui, permasalahan pendidikan vokasi
sejak dulu masih berputar pada lingkaran yang sama, yaitu lulusannya kurang kompetitif dan
sulit mencari pekerjaan. Baik pada level sekolah (SMK) maupun kampus vokasi, seperti
universitas, politeknik, institut, sekolah tinggi, dan akademi. Stereotip bahwa mereka yang
masuk SMK merupakan ‘buangan’ karena tidak diterima di SMA, mengakar kuat di masyarakat.
Ada humor lama yang nyelekit ‘masuk ke SMK itu bagus bagi anaknya orang lain’. Sindiran ini
juga dihadapi mereka yang masuk D-1 hingga D-3 kampus vokasi dianggap hanya karena tidak
diterima di S-1. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya stereotip miring tersebut. Apalagi jika
melihat lulusannya saat ini banyak termarginalkan, bingung mau ke mana setelah lulus. Padahal,
tujuan mereka masuk ke sana agar cepat mendapatkan pekerjaan. Sistem yang berjalan saat ini
perlu direformasi. Link and match dengan dunia industri perlu dikonkretkan. Sekolah dan
kampus vokasi tidak sekadar fokus menciptakan lulusan dengan mengantongi selembar ijazah,
lebih dari itu lulusannya harus memiliki kompetensi yang mumpuni sehingga berkelindan
dengan kebutuhan industri. Lebih jauh, kurikulum dan jurusan perlu di-upgrade sesuai kebutuhan
zaman. Dunia sudah berubah cepat, artifi cial intelligence, big data, internet of things, virtual
reality, dan 3D printing hadir, jurusan- jurusan baru dibuka. Jangan sampai kita terperangkap
hanya pada materi dan jurusan yang monoton. Terobosan dan keuntungan industri Pilihan
Mendikbud Nadiem dengan menambah direktorat baru di lingkungan Kemendikbud, yaitu
Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi perlu diapresiasi. Ditjen ini menggawangi empat
direktorat, yaitu Direktorat SMK, Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi, Kursus dan Pelatihan,
serta Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia In- dustri. Pasalnya, tantangan dan
kebutuhan SDM di dunia industri semakin meningkat. Termasuk untuk memberesi pekerjaan
rumah mindset negatif masyarakat terhadap pendidikan vokasi. Penunjukan Wikan Sakarinto
sebagai Dirjen Pendiagai Dirjen Pendidikan Vokasi yang merupakan mantan dekan Sekolah
Vokasi UGM perlu diacungi jempol. Dalam satu kesempatan melalui akun Youtube pribadinya,
ia menyampaikan, “Selama ini industri selalu komplain bahwa lulusan SMK atau kampus vokasi
itu soft skill-nya kurang. Materi terkini tidak diajarkan. Daripada komplain, ayo duduk bersama,
bikin resep bersama, dan menjawab kompetisi bersama. Kemudian, masak dan dicicipi bersama,
magang, lalu diserap. Di sinilah industri akan diuntungkan karena industri itu salah satu pilar
utamanya mendapatkan SDM bermutu.”
Terobosan besar seperti ini termasuk mengembangkan Center of Excellence (CoE), Rumah
Vokasi, dan pelibatan industri dalam menyusun kurikulum merupakan langkah yang tepat.
Dengan pengalaman dan gagasan besarnya kita menaruh harapan akan masa depan pendidikan
vokasi di negeri ini. Jika diselisik lebih jauh, yang paling diuntungkan dengan lulusan
pendidikan vokasi ialah Iduka. Perusahaan mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sebentar
untuk mencari serta memberikan training kepada calon pekerjanya. Jadi seharusnya perusahaan
berinvestasi lebih efektif, yaitu dengan ikut terlibat mendesain kurikulum, menjadi dosen tamu
dari indsutri, memberikan beasiswa, joint research, program magang, memberikan sertifikat
kompetensi, membantu fasilitas laboratorium, hingga komitmen kuat menyerap lulusan SMK
dan kampus vokasi. Harapannya dengan link and match ini ketika mereka lulus, bisa langsung
ditarik sebagai pekerja karena telah memiliki kompetensi sesuai dengan yang diinginkan Iduka.
Demand lulusan vokasi sangat tinggi. Dalam bidang IT, misalnya, menurut World Economic
Forum (WEF), Indonesia membutuhkan 9 juta tenaga IT pada 2030. Padahal, dalam setahunnya
Indonesia hanya memiliki 45 ribu-50 ribu lulsuan IT. Ini belum dengan kebutuhan kerja di
bidang lain serta tenaga terampil (skilled workers) ke luar negeri yang juga tinggi. Belajar dan
bersinergi Hal positif yang saya lihat ketika sedang menempuh kuliah di Technische Universitat
Braunschweig Germany ialah Jerman berhasil mengoptimalkan fungsi sekolah kejuruan/ kan
fungsi vokasi (berufsschule). Dengan menerapkan model dual system, mereka memiliki jumlah
pengangguran paling sedikit di Eropa. Banyaknya perusahaan raksasa di dalam negeri
dimanfaatkan sangat baik de- ngan menerapkan model pendidikan dual system sebagai bentuk
kolaborasi ideal antara pemerintah dan industri. Siswa vokasi di Jerman memiliki jam belajar di
sekolah satu sampai dua hari dan di perusahaan tiga sampai empat hari per minggu, selama masa
sekolah. Siswa mendapatkan hak gaji dan cuti selama proses belajar tersebut. Alhasil, setelah
lulus, siswa memiliki kecakapan dari satu bidang yang diminati dan benar-benar siap bekerja.
Begitu juga dengan Tiongkok. Di sana kita bisa melihat banyaknya produk inovasi lahir justru
berkat kontribusi pendidikan vokasi yang diterapkan. Sebut saja Alipay, Payease, Wechat, dan
lain-lain yang memungkinkan masyarakat menyelesaikan hampir semua aktivitas kebutuhan
sehari-hari hanya dengan telepon seluler (ponsel). Kemajuan ekonomi, sains, dan teknologi yang
mengguncang dunia ini tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan pemerintah Tiongkok dalam
menjaga kualitas pendidikan vokasi di negara tersebut. Tentu kita tidak harus menduplikat secara
penuh apa yang ada di negara lain karena setiap negara memiliki budaya, permasalahan, hingga
kearifan lokal masing-masing. Namun, satu hal yang perlu kita catat bahwa link and match
antara pendidikan vokasi dan industri mutlak dibutuhkan. Harapan besar ini juga membutuhkan
kerja keras dari kepala sekolah dan rektor. Pimpinan sekolah dan kampus vokasi tidak boleh
terjebak dalam rutinitas birokrasi atau sekadar membuat memorandum of understanding (MoU)
dengan perusahaan dan dimuat di berita tanpa tindak lanjut. Mereka harus mampu menjadi
pimpinan sekolah/kampus vokasi sekaligus chief executive officer (CEO). Pemimpin untuk
mencetak alumni yang kompeten dan berakhlak baik serta CEO untuk menjalin kerja sama
dengan Iduka. Pada akhirnya, keberhasilan pendidikan vokasi di Indonesia tidak bisa dibebankan
secara tunggal hanya kepada Kemendikbud, tetapi juga perlu sinergi baik antarkementerian,
sekolah, perguruan tinggi, hingga industri. Jika ini dapat dilakukan, bukan hal yang mustahil
orang-orang akan antre berebut masuk ke SMK dan kampus vokasi.

Permasalahan Pendidikan Vokasi di Indonesia

Aset utama dalam proses membangun suatu bangsa adalah sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas, sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan kualitas SDM merupakan tumpuan
utama peningkatan kualitas suatu bangsa. Peningkatan kualitas SDM dapat dicapai melalui
proses pendidikan, dengan kata lain pendidikan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
peningkatan kualitas suatu bangsa.

Dari sisi jumlah SDM, Indonesia memiliki kelebihan diantara negaranegara anggota G-20 yaitu
Bonus Demografi yang dialami pada tahun 2020- 2030. Saat ini Indonesia memiliki 68,6% atau
sekitar 181,3 juta orang berada pada usia produktif. Boleh dikatakan, sumber daya manusia
melimpah inilah yang saat ini paling diandalkan untuk memajukan Indonesia dalam "bersaing"
dengan sesama negara anggota G20. Oleh karena itu, di tengah pertumbuhan ekonomi dan PDB
yang stagnan, Indonesia wajib mengembangkan sumberdaya manusianya agar dapat terus eksis
bersama negara-negara anggota G20 lainnya.

Potensi ini akan menjadi modal besar pembangunan jika Pemerintah mengelola sumber daya
manusia tersebut agar memiliki kompetensi yang tinggi melalui transformasi pendidikan.
Kompetensi yang diperlukan harus disiapkan dengan didukung oleh kurikulum, sarana dan
prasarana, pendanaan serta pengelolaan yang adaptif. Bekal yang harus disiapkan bagi
sumberdaya produktif, tidak cukup hanya keterampilan basis, namun harus memiliki ketrampilan
komunikasi, kritis dan kreatif, digital literasi, ketrampilan berpikir, tingkat keingintahuan yang
tinggi, ketrampilan interpersonal, multi kultural, multi bahasa, dan terampil menyelesaikan
masalah.

Salah satu upaya Pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
revitalisasi SMK. Pemerintah mengeluarkan lnpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi
SMK dalam Rangka Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. lnpres ditujukan
kepada beberapa Menteri, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi, dan Para Gubernur. Inti
dari lnpres ini adalah dalam rangka penguatan sinergi antar pemangku kepentingan untuk
merevitalisasi SMK guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Sementara dari sisi Pendidikan Tinggi, Pemerintah masih terus berusaha merevitalisasi
Pendidikan Tinggi Vokasi misalnya melalui pendirian akademi komunitas, pelatihan
keterampilan, kemudahan akses dan layanan pendidikan vokasi, penyediaan sarana dan
prasarana, penataan kelembagaan dan lain sebagainya. Namun, data Forlap Dikti menyebutkan
terdapat 275 politeknik di seIuruh Indonesia dengan jumlah hampir 900-an ribu mahasiswa. Atau
hanya sekitar 6% dari total jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia dengan jumlah mahasiswa
5,2% dari total jumlah seluruh mahasiswa di Indonesia, dan dengan jumlah rata-rata lulusan per-
tahun sebesar 3.885 lulusan. Pada tataran pelaksanaan, pendidikan tinggi vokasi masih kurang
dukungan.

Terbatasnya anggaran, jumlah institusi pendidikan vokasi masih rendah, hingga stigma
masyarakat yang memandang remeh lulusan vokasi. Pendidikan vokasi sebenarnya merupakan
jalur pendidikan yang paling mudah diaplikasikan, dengan syarat kurikulum yang diajarkan
sesuai dengan kebutuhan industri. Pendidikan vokasi juga diarahkan pada penguasaan keahlian
terapan tertentu dan beradaptasi pada bidang pekerjaan tertentu sehingga dapat menciptakan
peluang kerja. Namun demikian, menurut Kadin (Kamar Dagang dan lndustri), lapangan kerja
rata-rata hanya menyerap sekitar 40% lulusan vokasi. Realitasnya memang demikian,
berdasarkan data BPS, pengangguran terdidik terbuka justru berada pada lulusan SMK.

UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas mengatur bahwa Pendidikan Kejuruan merupakan
jenjang pendidikan menengah yang memilki fungsi antara lain membekali peserta didik dengan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan dalam UU No.12 Tahun 2012 mengatur bahwa
Pendidikan Vokasi adalah program studi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu.

Untuk meningkatkan kualitas dan daya saing manusia Indonesia khususnya terkait keluaran
pendidikan kejuruan dan vokasi, maka perlu melihat kondisi dan pemetaan penyelenggaraan
pendidikan kejuruan dan vokasi dan arah kebijakan pendidikan kejuruan dan vokasi kedepan.

Berdasarkan data kondisi penyelenggaraan pendidikan kejuruan SMK terdapat 122.909 siswa
SMK (2,45%) mengalami drop out.
Jumlah Guru Produktif 114.315 tidak dirinci berdasarkan bidang keahlian sehingga tidak dapat
dilihat kebutuhan guru produktif untuk bidang-bidang keahlian di satuan pendidikan secara
keseluruhan.

Pendidikan kejuruan SMK dalam UU Sisdiknas dan PP No.17 Tahun 2010 merupakan jenjang
pendidikan menengah yang berfungsi antara lain membekali peserta didik dengan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Namun dengan kondisi sarana prasarana rusak berat yaitu 4.260 ruang perpustakaan,
6.766 ruang komputer, 13.543 ruang praktik siswa, 2.389 ruang penunjang lainnya, 6.766
laboratorium fisika, 13.543 laboratorium kimia, dan 2.389 laboratorium biologi, tentunya fungsi
tersebut tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.

Belum ada kesepahaman antara pihak SMK dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI).
SMK masih memandang bahwa kerja sama dengan DUDI tidak berdampak kepada tingkat
kelulusan dan peringkat SMK di tingkat daerah dan nasional. Sementara DUDI masih
menganggap kerja sama dengan SMK merupakan beban dan tidak memberikan nilai manfaat
yang memadai secara ekonomi.

Kualifikasi kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia usaha lebih tinggi daripada yang mampu
disediakan oleh SMK. Hal ini diakibatkan oleh perubahan dan perkembangan industri yang jauh
lebih cepat dan berkembang. Sementara orientasi pendidikan tidak mudah melakukan
penyesuaian terlebih dalam waktu yang singkat.

Keterbatasan guru kejuruan, sarana dan prasarana yang kurang memadai dengan tuntutan
industry, serta merubah pola pikir guru untuk mengikuti perkembangan IPTEK, karena sekolah
selalu tertinggal oleh DUDI dalam perkembangan teknologi.

Jumlah dan kompetensi bagi pendidik dan tenaga kependidikan SMK saat ini belum sesuai,
dilihat dari perbandingan rasio jumlah tenaga pendidik dengan jumlah siswa. Demikian juga
kesesuaian kompetensi tenaga pendidik masih harus disesuaikan dan jumlah tenaga kependidikan
yang secara rasio masih kurang dari yang dibutuhkan.
lnformasi yang kurang jelas karena nama SMK tidak dibarengi dengan konsentrasi jurusan yang
dibuka sehingga menimbulkan kebingungan, dan kurangnya sosialisasi ke sekolah juga
berpengaruh kepada ketidakpahaman tamatan SMP dalam memilih jurusan di sekolah kejuruan.

Kebijakan pemerintah daerah dalam menyediakan sarpras sudah cukup memadai dan berkualitas,
namun untuk penyediaan pemenuhan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan perlu
ditingkatkan dan diadakan segera.

Untuk mengakses sertifikasi dan mendapat lisensi dari Lembaga Sertifikasi Pelatihan (LSP-1)
dalam bentuk klaster (melalui Unit Kegiatan Mandiri) sudah dapat berjalan dengan baik. Akan
tetapi akses sertifikasi dengan sertifikasi level II dengan logo garuda yang dikeluarkan BNSP
masih perlu mendapat akses lebih baik lagi.

Permasalahan lain Penyelenggaraan Pendidikan Vokasi adalah (1) Masih lemahnya komitmen
bersama (unsur Tetrahelix) untuk berperan serta secara aktif dalam mendukung pelaksanaan dan
penguatan pendidikan vokasi; (2) Kurikulum pendidikan vokasi belum mampu beradaptasi
dengan kebutuhan DUDI; (3) Pendidikan Vokasi belum menjadi pilihan utama bagi calon
mahasiswa dan masyarakat secara umum; (4) Alokasi anggaran untuk penyelenggaraan
pendidikan vokasi masih belum mencukupi, sementara pendidikan vokasi membutuhkan sarana
prasarana yang memadai sesuai dengan perkembangan DUDI;

(5) SDM tenaga pendidik politeknik umumnya berlatar belakang pendidikan akademis; (6)
Minat masyarakat secara umum masih fokus terhadap pendidikan jangka pendek (LPK/Kursus),
dan kurang mempertimbangkan jenjang karir di masa depan; (7) Kurangnya dukungan dari
pemerintah daerah dalam hal alokasi dana Beasiswa untuk calon mahasiswa kurang mampu
namun ingin kuliah di perguruan tinggi vokasi; (8) Terbatasnya dosen vokasi yang memiliki
gelar S2, seperti Koki (Chef) yang juga berpendidikan S2 itu sangat susah. *)

Anda mungkin juga menyukai