PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kehidupan manusia diliputi oleh krisis dalam segala bidang, terutama bidang
pendidikan. Fenomena dunia pendidikan saat ini pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
pandangan hidup yang antara lain bercorak ateistik, materialistik, dan skeptis. Sehingga
kemudian yang terjadi adalah munculnya pola hidup yang bercorak materialistik,
hedonistik, individualistik, pola hidup permissive, living together (Nata, 2003). Jika
dibiarkan, krisis yang terus berlanjut ini akan membawa dampak negatif bagi kehidupan
manusia sehingga diperlukan penyelesaian yang tepat.
Manajemen pendidikan adalah keseluruhan (proses) yang membuat
sumber-sumber personil dan materiil sesuai yang tersedia dan efektif bagi
tercapainya tujuan-tujuan bersama. Ia mengerjakan fungsi-fungsinya dengan
jalan mempengaruhi perbuatan orang-orang. Proses ini meliputi
perencanaan, organisasi, koordinasi, pengawasan, penyelenggaraan dan
pelayanan dari segala sessuatu mengenai urusan sekolah yang langsung
berhubungan dengan pendidikan seklah seperti kurikulum, guru, murid,
metode-metode, alat-alat pelajaran, dan bimbingan. Juga soal-soal tentang
tanah dan bangunan sekolah, perlengkapan, pembekalan, dan pembiayaan
yang diperlukan penyelenggaraan pendidikan termasuk didalamnya.
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan
zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak
pernah terpikirkan sebelumnya. Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari
kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional-adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas,
berkarakter, bermoral dan berkepribadian. Untuk itu perlu dirancang suatu sistem
pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses pembelajaran yang
menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan diri
secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat
minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit.
1
Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal,
bahkan aturan uu pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata
alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan
kabupaten.
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-
pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya,
kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja,
jika kualitas sumber daya manusia dan mutu pendidikan di indonesia masih rendah.
Masalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR
besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah
pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan
terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak
indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan
yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada,
apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang akan di angkat
adalah berkaitan dengan “Perspektif Pedagogik Landasan Manajemen Pendidika”, maka
dirumuskan masalah makalah ini yaitu:
1. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada tujuan?
2. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada proses?
3. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada hasil?
4. Bagaimana manajemen pendidikan berbasis pada Total Quality Management (TQM)?
C. Tujuan
Oleh karena itu, maka makalah ini bertujuan untuk memaparkan:
1. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada tujuan?
2. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada proses?
3. Bagaimana manajemen pendidikan yang berorientasi pada hasil?
4. Bagaimana manajemen pendidikan berbasis pada Total Quality Management (TQM)?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
a. Misi, yang akan memberikan motivasi kepada peserta didik dan tantangan yang harus
dicapai.
b. Latar belakang, yang merupakan penjelasan mengenai pentingnya misi yang ditetapkan.
Di samping itu juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan
ketrampilannya dan mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan.
c. Skenario, yang harus dibuat selaras dengan misi serta menandung banyak kegiatan
praktek.
d. Sumberdaya, yang dapat digunakan oleh siswa untuk memperoleh ketrampilan yang
diharapkan.
e. Umpan balik, yang harus diberikan tepat waktu, dalam bentuk bimbingan, penjelasan
akan akibat dari suatu tindakan, dan cerita pengalaman yang mirip dengan kondisi yang
sedang diajarkan. Kesemuanya itu dilakukan oleh pengajar yang memiliki latar belakang
cukup kuat di bidangnya.
Model GBS ini juga bisa dikatakan sebagai model pembelajaran yang berbasis kinerja.
Siswa yang menjalankan proses ini diharapkan akan memiliki serangkaian pengetahuan dan
ketrampilan yang akan membantu dia ketika menjalankan pekerjaan. Dengan pengetahuan yang
lengkap (know-how) maka individu yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kinerja yang
diharapkan organisasi. Untuk mencapai hal tersebut siswa diharapkan bersikap aktif, tidak
menunggu materi dari pengajar saja, tetapi melengkapi dirinya dengan informasi lain yang unik
sesuai kebutuhannya. Pada model ini siswa diajarkan untuk memahami apa yang ada dibalik
informasi atau pengetahuan yang mereka dapatkan. Hal ini penting bagi mereka karena
pengetahuan-pengetahuan tersebut pada akhirnya akan mereka gunakan pada kehidupan nyata.
Oleh karena itu sistem ini sebaiknya dijalankan dengan metode kombinasi antara pembelajaran
konseptual dengan praktek langsung. Keberadaan pembimbing atau pengajar yang sangat
berpengalaman dibutuhkan dalam mendukung keberhasilan model ini. GBS membutuhkan
pengajar yang bisa menjadi pemandu, bukan sekedar mentransfer ilmu saja. Pengajar pada model
GBS harus dapat berinteraksi dengan siswa didik. Tanpa adanya interaksi, maka model GBS
tidak lebih dari sekedar belajar mandiri saja. Pada model pembimbingan ini, pengajar bisa
menyampaikan cerita-cerita positif dan keberhasilan terkait ketrampilan yang diajarkan. GBS
berorientasi pada perubahan kinerja yang dialami oleh peserta didik, bukan pada penambahan
pegetahuan saja. Sekedar menambah pengetahuan belum tentu dapat digunakan di tempat kerja.
Penambahan pengetahuan adlah sasawan awal, siswa harus mendapatkan pengetahuan baru.
Akan tetapi yang lebih penting adalah apakah pengetahuan baru tersebut diaplikasikan di dalam
pekerjaan mereka. mplementasi model GBS membutuhkan dua pendekatan, fleksibel dan
sekaligus konsisten, dua hal yang sebenarnya bertentangan. Akan tetapi konsep tersebut saling
mendukung dalam penerapan GBS. GBS membutuhkan fleksibilitas untuk mengakomodasi
pembelajaran individual, harus bisa dikembangkan dengan cepat, harus dapat disesuaikan dengan
4
materi terkini dan dapat didukung dengan multimedia, serta harus bisa dilakukan melalui
perpaduan antara pengajar dan komputer. Sedangkan untuk sisi konsistennya, GBS haruslah
konsisten dengan target awal yang ditetapkan serta harus senantiasa memberikan dukungan
kepada siswa untuk mempelajari apa yang mereka butuhkan, untuk selalu terlibat dalam kegiatan
pembelajaran, dan akhirnya menghasilkan kinerja di atas standar.
5
7. Budgeting
Merupakan pendanaan yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan yang biasanya
telah ada dalam perencanaan.
6
siswa diarahkan untuk bisa mandiri dalam mencari, menemukan, membahas, dan
mengembangkan pemikiran baru terkait materi yang sudah disampaikan sebelumnya.
Vermunt (Kutama, 2002) menyatakan bahwa inti dari PBL adalah konstruktivisme.
Penekanannya adalah pada siswa serta cara pembelajaran dan pemikiran mereka. Proses
ini berjalan secara bertahap, dimulai sejak transfer pengetahuan dari pengajar dan
selanjutnya siswa mengembangkan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain siswa juga
memiliki tanggung jawab atas tingkat penyerapan pengetahuan yang diajarkan.
Diharapkan pada akhirnya, siswa bisa mengembangkan pemahaman mereka sendiri
terhadap materi yang diajarkan. Menurut Conway & Ashman (Kutama, 2002) PBL
ditandai dengan adanya 3 tahap pembelajaran:
1. Tahap awal
2. Tahapan serangkaian proses kontinyu
3. Tahap pemikiran atau meta kognitif
Tahapan di atas memperlihatkan adanya proses pemikiran reflektif. Hal yang juga
penting adalah PBL merupakan proses membangun pengetahuan oleh siswa. Siswa
dilatih agar bisa mandiri dalam mencari solusi dan menyelesaikan masalah. Proses
pembelajaran yang dapat dianggap sebagai PBL harus memenuhi keriteria sebagai
berikut;
1. Diselenggarakan di kelas dengan siswa yang beragam (siswa biasa dan yang
berbakat)
2. Terintegrasi dengan kurikulum atau program
3. Mengakomodasi pengajar dan siswa untuk menerapkan model pemecahan masalah
yang baru
4. Mengijinkan siswa untuk beralih dari rangkaian pembelajaran pengajar dan
menggunakan rencana mereka sendiri
Di dalam proses PBL, siswa dapat bekerja secara individual ataupun kelompok mereka
juga bisa berbagi solusi untuk setiap masalah yang dihadapi. Beberapa situasi yang dapat
berlangsung antara lain; memberikan solusi, menjelaskan solusi, mengkaji solusi, dan
menggambarkan solusi. PBL tidak hanya mengajarkan siswa agar berpikir srategis,tetapi
juga membantu mereka dalam mencari solusi untuk menyelesaikan masalah (Kutama,
2002). Ashman, Wright, & Conway (Kutama, 2002) menyatakan bahwa siswa harus
diajarkan bagaimana mengelola dan menyaring pikiran mereka untuk menyelesaikan
masalah, baik di lingkungan akademik ataupun anti di lingkungan industri. Model meta
kognitif ini menjadikan PBL berbeda dengan model lain. Di dalam PBL, pengajar
7
bertanggung jawab untuk menentukan isi kurikulum, rangkaian aktivitas dan metode
pengajaran. Di dalam prosesnya, siswa diberikan kesempatan untuk bertanggung jawab
atas pembelajaran yang mereka lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan
ulang dengan kata-kata sendiri masalah yang sedang dibahas atau melalui diskusi dalam
kelompok serta menjadi tutor bagi siswa lain.
Meski siswa diharapkan bisa saling membantu dalam meningkatkan pengetahuan yang
dimiliki, pemantauan dan bimbingan dari pengajar masih diperlukan. Pemantuan ini
dapat membantu pengajar untuk memahami strategi pembelajaran yang digunakan
siswanya. Menurut Vermunt (1995) tes dan ujian merupakan pengukur yang tepat di
dalam PBL. Pengukuran dilakukan terhadap kemampuan berpikir strategis bukan pada
pemahaman siswa terhadap konten atau materi. PBL diharapkan bisa mengarahkan siswa
untuk mengubah orientasinya dari ketergantungan pada lingkungan luar menjadi
keyakinan akan diri sendiri. PBL mengkombinasikan model kognitif, afektif, dan meta
kognitif.
8
juga didasarkan pada pandangan teori konstruktif mengenai pengetahuan, konsep
kemandirian dalam belajar. Diyakini bahwa keberhasilan siswa dalam belajar
dipengaruhi oleh konsepsi pembelajaran yang mereka miliki serta pengaturan proses
belajar. Penulis menilai bahwa konsep PBL ini dikembangkan karena munculnya
pandangan bahwa keberhasilan siswa dalam belajar bukan ditentukan oleh pengajar dan
kurikulum, tetapi juga ditentukan oleh cara pandang siswa terhadap pembelajaran yang
mereka lakukan. Faktor terakhir ini justru memiliki peran paling utama.
SASARAN PBL
PBL diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kemampuan kognitif
dan proses meta kognitif siswa dalam membangun dan menggunakan pengetahuan. PBL
menekankan pentingnya pengetahuan untuk mempelajari (knowledge about learning)
sehingga merasa perlu untuk mengembangkan model mental yang kuat. Model mental
yang tepat mengenai isi pengetahuan terdiri dari bentuk pengetahuan yang berarti, mudah
diakses, terorganisir, saling terhubung, dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu
tersebut. Mengembangkan kemampuan ini merupakan tujuan utama dari PBL.
Tiberghien dan Megalakaki (Volet, 1995) menyajikan contoh yang jelas mengenai
proses permodelan tersebut membantu siswa untuk menghubungkan pengetahuan
berbasis pengalaman dan teori yang mereka miliki. PBL dapat membantu siswa untuk
membiasakan diri dengan proses berpikir relasional, sehingga mereka bisa mengkaitkan
teori dengan kondisi di dunia nyata. Model mental yang sesuai untuk memahami
pegetahuan biasanya mengandung penetahuan yang deklaratif, prosedural, dan
kondisional untuk setiap ilmu. PBL diarahkan pada penguatan kemampuan siswa dalam
hal pengetahuan prosedural dan kondisional, bukan pada deklaratif. Meski demikian,
Falvell dan Weinstein, Goetz, & Alexander (Volet, 1995) mengasumsikan model mental
pembelajaran dari siswa yang berhasil terdiri dari pengetahuan deklaratif dan
pemahaman faktor penting dalam pembelajaran serta pengetahuan prosedural dan
kondisional yang terkait dengan seragaian strategi pengelolaan pembelajaran.
Model mental ini mendorong siswa untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan
dengan mempertanyakan konsep yang mereka pelajari. Tentu saja untuk bisa
mempertanyakan atau membahas, siswa harus memiliki pengetahuan dasar terlebih
dahulu. Dengan berbekal pengetahuan dasar dan memahami cara belajar yang tepat,
siswa bisa membangun pengetahuan yang lebih luas, lengkap, dan bermanfaat.
9
FOKUS PBL
Mengacu pada penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa fokus di dalam PBL
adalah pada kegiatan siswa untuk memperoleh pengatahuan. Salah satu aspek penting di
dalam PBL adalah meningkatkan jumlah aktivitas mental selama proses belajar. Siswa
didorong untuk terlibat di dalam kegiatan belajar yang menuntut perhatian mereka
seperti berpikir, mengajukan jawaban, menganalisis, dan membandingkan teori.
Pengembangan model mental kontekstual juga dirangsang dalam bentuk dorongan agar
siswa mempelajari berbagai konten secara simultan dan menggunakannya sesuai
kebutuhan. Aktivitas lain yang mendorong berkembangnya model mental siswa adalah
transfer tanggung jawab dari pengajar ke siswa. Siswa juga harus bertanggung jawab atas
apa yang dia pelajari. Peran pengajar selanjutnya hanya sebagai pembimbing atau
fasilitator. Dengan demikian diharapkan siswa dapat mengalami peningkatan
kemampuan berpikir strategis untuk memecahkan masalah.
Siswa bisa mengembangkan pengetahuan metakognitif dan perilaku kompeten
dengan cara mengaplikasikan aspek tersebut dalam penerapan kognitif yang efektif dan
efisien, afektif, dan aktivtas mandiri serta strategi yang digunakan dalam pembentukan
pengetahuan (belajar dan mengkaji). Materi dari pengajar, buku komputer, panduan dan
lain-lain harus mendukung proses belajar mandiri.
Untuk mengukur perkembangannya, dapat dilihat apakah siswa sudah mengalami
peningkatan terkait pemahaman mereka dalam berperilaku mandiri selama menjalankan
proses belajarnya. Hal ini diperlukan untuk melihat siswa yang berhasil dan yang kurang
berhasil. Seperti prinsip utama di dalam PBL yaitu pembelajaran adalah proses
pembangungan pengetahuan secara aktif. Proses belajar bukanlah tindakan pasif dalam
menerima pengetahuan. PBL memahami pentingnya menciptakan suasana dan
lingkungan yang bisa mendorong siswa untuk membangun wawasan serta pengetahuan
dengan cara memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh selama mencari solusi bagi
kasus-kasus kompleks dan praktis yang didasarkan pada kondisi nyata di dalam
kehidupan pekerjaan sehari-hari. Hal ini membuat siswa memperolah gambaran yang
lebih luas dan memiliki pengalaman praktis yang bermanfaat sebagai bekal ketika
mereka nanti bekerja.
Selanjutnya, Vermunt (1995) mengatakan bahwa PBL harus memberikan
dukungan bagi siswa untuk lebih bertanggung jawab dan memiliki kendali atas proses
pembentukan pengetahuan mereka. Sedangkan pengajar harus memahami bahwa proses
belajar dan memahami tidak hanya berisi kegiatan kogitif saja, tetapi juga termasuk
10
kegiatan afektif dan pengaturan (regulatory). Belajar dan pemahaman adalah proses
dialog, dengan demikian proses belajar adalah proses sosial dimana semua peserta di
dalam dialog tersebut harus mengetahui apa yang dikuasai oleh masing-masing pihak,
dan bagaimana cara mereka mengartikan dan memahami melalui komunikasi yang bisa
mengakomodasi pihak yang memiliki pengetahuan lebih rendah, serta mendorong
munculnya kepedulian terhadap semua faktor yang mempengaruhi proses pembentukan
pengetahuan.
De Jong (Vermunt, 1995) mengemukakan bahwa kegiatan seperti penemuan,
penjelasan, demonstrasi, tranfer tanggung jawab pembelajaran secara bertahap, berpikir
dan mengemukakan pendapat, berbicara di depan kelas merupakan kegiatan yang sangat
membantu dan efektif di dalam proses belajar dan memahami sesuatu. Sehingga pengajar
harus mampu membangun suasana yang mendukung ke arah sana. Aktivitas-aktivitas
tersebut, yang secara tradisional merupakan domain pengajar harus diupayakan agar bisa
menyatu dengan proses belajar siswa. Dengan demikian, proses pembentukan
pengetahuan secara aktif dapat terlaksana.
Melalui penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa PBI atau process-oriented
instruction merupakan pembentukan pengetahuan dasar yang fleksibel melalui kegiatan
pengembangan mental peserta didik (siswa). PBL tidak hanya memperhatikan aktivitas
berbasis kognitif saja tetapi juga pada kegiatan yang bersifat kognitif strategis,
metakognitif (perencanaan, monitoring, dan pengelolaan) serta strategi pembelajaran.
PBL mencakup kegiatan belajar mengajar yang mendorong peningkatan kompetensi
belajar dari siswa (peningkatan kualitas kognitif dan metakognitif) sehingga siswa lebih
mampu dalam mengendalikan proses belajar mereka serta lebih bertanggung jawab atas
keberhasilan mereka dalam membentuk pengetahua yang komprehensif. Hal ini sesuai
dengan definisi dari PBL sebagai suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang ditujukan
untuk meningkatkan penerapan gaya belajar yang lebih berarti dan aplikatif.
11
waktu di kelas ataupun pada berapa banyak materi yang sudah dipelajari. Hasil yang
dinilai secara nyata yaitu berupa pencapaian keterampilan dan pengetahuan pada tingkat
tertentu.
Pendidikan tradisional berbeda dengan pendekatan orientasi pada hasil. Pencapaian
pengetahuan dan keterampilan pada pendekatan tradisional diberikan secara kontinyu
tetapi masih kurang memperhatikan apakah siswa dapat mempelajari materi dengan baik.
Seakan sekolah hanya memberikan kesempatan belajar saja, sementara pencapaian yang
nyata itu adalah kemampuan yang dapat siswa implementasikan dalam kehidupan nyata
diluar sekolah. Dalam pendidikan tradisional, penilaian hanya diukur melalui tes yang
biasanya dalam bentuk pilihan ganda yang pada akhirnya menentukan peringkat siswa
dari sejumlah jawaban yang benar. Tes tersebut tidak memberikan kriteria penilaian
tentang apakah seorang siswa sudah memenuhi standar atau kemampuan dasar
tertentu. Berbeda dengan pendidikan berbasis pada hasil, seorang siswa diharapkan
dapat memiliki tingkat pengetahuan atau keterampilan tertentu. Semua pencapaian yang
diharapkan sudah tertuang secara jelas pada kurikulum yang berorientasi pada
kompetensi. Kurikulum berorientasi pada pencapaian kompetensi (KBK) adalah upaya
untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual, emosional,
spiritual dan social yang bermutu tinggi sesuai dengan kemampuan daerah masing-
masing seperti yang digariskan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah
(Saepudin, 2012). Maka kurikulum ini memberikan keleluasaan pada guru untuk dapat
berimprovisasi dalam memilih konten ataupun prosedur pembelajaran yang dapat
menyesuaikan dengan karakteristik siswa dan kondisi daerahnya. Hal ini dapat
memberikan kesempatan pada guru di sekolah agar dapat menjabarkan kurikulum secara
kreatif dan inovatif ke dalam sistem instruksional sesuai dengan karakteristik siswa dan
kondisi serta kebutuhan daerah.
Terdapat dua sifat penilaian pencapaian siswa dalam pendidikan berbasis hasil ini
yaitu yang bersifat subjektif dan objektif. Penilaian subjektif adalah penilaian yang
didasarkan oleh pendapat guru dan orang tua, sementara objektif adalah penilaian yang
dilihat dari skor ujian. Dalam hal ini guru tidak hanya berfokus pada outcome atau
spesifiaksi pencapaian yang tertuang, melainkan di dalamnya terdapat penilaian pada
input dan proses. Indikator ini dijadikan dasar pertimbangan dari aspek program dan
keseluruhan program sekolah. Sekolah diharapkan dapat mencetak siswanya berprestasi
dalam bidang akademik dan non akademik. Misalnya dalam bidang akademik, siswa
dapat berpartisipasi dalam membuat karya ilmiah, mengikuti olimpiade suatu mata
12
pelajaran seperti fisika, kimia, matematika, bahasa inggris, dll. dimana siswa dapat
mengembangkan dirinya dengan membiasakan berfikir kritis, kreatif, rasional, induktif,
deduktif, dan ilmiah. Prestasi non akademik yaitu melalu pembiasaan dan edukasi secara
emosional atau pembentukan karakter didik siswa misalnya siswa diharapkan untuk
memiliki budi pekerti yag baik, berprilaku baik dalam lingkungan sosial seperti menjauhi
narkoba dan pergaulan bebas, displin, jujur, dan berprestasi dalam bidang seni ataupun
olahraga.
Banyak keunggulan yang didapat dalam menerapkan pendidikan berbasis pada
hasil ini yaitu clarity, flexibility, comparison, involvement. Istilah tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Clarity: Menciptakan harapan yang jelas terhadap apa yang harus dicapai pada akhir
pembelajaran. Siswa mengetahui apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut dan siswa akan merasa dibutuhkan dalam kebutuhan dunia nyata.
2. Flexibility: Memiliki tugas-tugas yang jelas sehingga guru dapat menentukan
strategi pembelajaran sesuai dengan kebuthan siswa. Tujuan pembelajaran dalam
outcome-based ini tidak terlalu spesifik yang memudahakan guru untuk dapat
menerapkan prosedur atau kegiatan yang variatif.
3. Comparison: Memperlihatkan kemungkinan perbandingan pada lembaga dan
institusi. Lembaga dapat mengukur apakah hasil pencapaian siswa telah dipenuhi
jika ditempatkan pada lembaga pendidikan atau institusi lain. Institusi pun dapat
saling memeriksa dan menentukan persamaanya, apakah ada celah atau hal yang
perlu diperbaiki.
4. Involvement : Melibatkan siswa di kelas dalam memperkaya ilmu pengetahuan dan
keterampilan secara mandiri dan mendapatkan pemahaman yang utuh sehingga
siswa bertanggung jawab terhadap masa depan mereka sendiri dan termasuk
melibatkan masyarakat.
13
konteksnya, manajemen berarti pengelolaan setiap orang berada dalam suatu organisasi
baik itu statusnya posisi dan peranannya dalam industri. Kualitas yaitu mutu yang harus
dimiliki dari setiap aspeknya dan Total yang berarti melibatkan semua komponen
organisasi secara kontinyu. Dapat disimpulkan dari pengertian tersebut bahwa TQM
adalah suatu bentuk manajemen yang setiap komponennta berfokus pada peningkatan
mutu.
TQM merupakan hal yang baru dalam bidang pendidikan karena biasanya yang
menerapkan ini hanya bidang industri saja. TQM memiliki konsep yang telah diterapkan
di Amerika dan di Inggris dimana industry-industri disana membuat indikator prestasi
yang berupaya meningkatkan mutu pelayanan. Dengan konsep peningkatan mutu inilah
menarik perhatian bidang pendidikan untuk dapat menerapkannya karena hal itu penting
untuk meningkatkan sumber daya manusia yang dapat bersaing di era global. Institusi
akhirnya menerapkan berbagai strategi kompetitif atau TQM sehingga ada perbedaan
bentuk institusi satu dengan yang lainnya. Institusi memposisikan sebagai insstitusi jasa
atau pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diharapkan pelanggan (customer).
prinsip dasarnya adalah bahwa customer adalah orang yang harus diutamakan sehingga
jasa yang diberikan pun harus bermutu atau dapat menciptakan manajemen pendidikan
yang baik secara internal maupun eksternal. Internal yaitu bagi orang-orang yang berada
dalam institusi tersebut seperti kepala sekolah, guru, staf, dll. dan Eksternal yaitu bagi
masyarakat, pemerintah, dan dunia industry.
Mutu ditentukan oleh dua factor yaitu terpenuhinya spesifikasi dan terpenuhinya
spesifikasi yang diharapkan sesuai tuntutan dan kebutuhan pengguna jasa. Dalam hal ini
kualitas harus memenuhi quality in fact dan quality in perfection.
1. Quality in fact berarti standar mutu pelayanan diukur dari criteria sesuai dengan
spesifikasi. Hal ini dapat dilihat dari profil lulusan yang sesuai dengan kualifikasi
tujuan pendidikan yang berbentuk standar kemampuan dasar yang harus dikuasai.
2. Quality in perfection berarti kualitas diukur sesuai kepuasaan, minat, dan harapan
pengguna jasa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peminat masyarakat,
pemerintah, dan industry terhadap hasil lulusan institusi tersebut.
Dalam penerapan TQM, institusi harus melakukan perbaikan secara terus
menerus (continuous improvement) untuk menjamin mutu standard an setiap
komponennya. Standar mutu dapat berupa kepemilikan kemampuan dasar dari masing
masing bidang dan sesuai dengan jenjang yang ditempuh. Manajemen harus menentukan
standar mutu untuk semua materi, kurikulum, dan standar evaluasi. Jika TQM
14
diterapkan, maka semua pihak harus membangun kesadaran diri akan pentingnya
mempertahankan dan meningkatkan mutu pembelajaran.
Kelebihan dari penerapan TQM yaitu dapat membantu sekolah dalam
meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik pada sisw, orang tua, dan lembaga terkait
dan meningkatkan tantangan bagi guru dan siswa dalam lingkungan belajar mengajar
yang bukan hanya sekedar melihat dari nila yang baik. Maka dari itu, muncullah sistem
akreditasi atas Perguruan Tinggi di Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi
Nasional (BAN) yang melihat dan menilai bahwa perguruan tinggi itu pada hakikatnya
harus bisa menciptakan sumber daya manusia yang berkualifikasi dan berkualitas yang
dapat mengaplikasikan peranannya di dunia nyata dan dunia kerja. Sistem akreditasi ini
ditujukan kepada program studi dan akreditasi kelembagaan.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
15
Oleh karena itu demi tercapainya tujuan pendidikan yang berkualitas,
diperlukan manajemen pendidikan yang dapat menggerakkan segala sumber
daya pendidikan. Manajemen pendidikan itu terkait dengan manajemen peserta
didik yang isinya merupakan pengelolaan dan juga pelaksanaannya. Sehingga
diharapkan untuk kepala sekolah, guru dan peserta didik agar dapat berperan
serta dalam manajemen pendidikan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
16