Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat
erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi
kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara
berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam
buku Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup
kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi.

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang
berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis
dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu.
Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari
sejumlah subsistem.

Sistem bahasa yang dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi
yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu
yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang bersifat manasuka
(arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai banyak fungsi. Menurut Dell
Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa, yaitu (1) menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial,
(2) menyampaikan pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3) mengatur
kontak sosial, (4) mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi (2009), dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa
dan Budaya, Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya,
pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian
yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, Jalan
pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya
(Chaer, 2003: 61).

Sementara itu, Piaget (dalam Herman, 2009: 1), seorang sarjana Perancis, menyebutkan
bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan
kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky (dalam Herman, 2009: 1), sarjana
Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya
pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan
bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan
budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan
teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget dalam Chaer (2003: 52-58).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan batasan dari bahasa ?
2. Jelaskan batasan dari kebudayaan ?
3. Jelaskan hubungan antara bahasa dengan unsur kebudayaan ?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui batasan dari bahasa
2. Untuk mengetahui batasan dari budaya
3. Untuk mengetahui hubungan bahasa dengan unsur kebudayaan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bahasa

Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal
dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bahasa
dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri,
sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek
yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan, seperti yang
diungkapkan oleh para ahli.

Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang
terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa
bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi (Chaer dan Leonie Agustina,
2010: 11).

Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3)Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan
pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
Menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan makna
yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan. Sedangkan
bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88) bahasa berarti sistem
lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk
bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah
laku yang baik, sopan santun yang baik.

Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa


bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosial untuk bekerja sama dan
saling berhubungan. Sedangkan menurut Chomsky (1957: 13), language is a set of sentences,
each finite length and contructed out of a finite set of elements. Menegaskan pendapat tersebut,
Keraf (1997: 1) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat,
berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Keraf dalam bukunya tata bahasa indonesia (1984;16) megatakan bahwa bahasa adalah alat
komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia.

Kridalaksana dalam bukunya kamus linguistik (1983;17) mengatakan bahwa bahasa adalah
sistem lambang yang arbirter yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentivikasikan diri.

Badudu dalam bukunya inilah bahasa indonesia yang benar III (1989;3) mengatakan bahwa
bahasa adalah alat penghubung, alat komunikasi anggota masyarakat yaitu individu-individu
sebagai manusia yang berfikir, merasa, dan berkeinginan. Pikiran, perasaan, dan keingin baru
berwujud bila dinyatakan, dan alat untuk mengatakan itu adalah bahasa.

B. Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin


dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol
dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada
dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari
simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat
publik.

Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-


relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui
dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku
harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan cara yang
harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.

Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga
pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku
manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam
berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam
mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen
pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang
memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan
komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.

Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan
tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya
Koentjaraningrat (1992) menggunakan sesuatu yang disebutkan kerangka kebudayaan, yang
memiliki dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut
wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga
wujud itu secara berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem
sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret.

Isi kebudayaan itu terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal. Artinya ketujuh unsur itu
terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut yaitu
bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, sistem religi dan kesenian. Menurut Koentjaraningrat (1992), bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan. Akan
tetapi, kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri atas
kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja. Bahasa merupakan unsur
utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Kini, setelah unsur-unsur
lain dari kebudayaan manusia itu telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur
saja, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

C. Unsur Unsur Kebudayaan

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari
buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang
kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya: Primitive
Culture, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain,
serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Goodenough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu
sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang
berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan
berada dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan
mental yang oleh anggotaanggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi,
pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam
masyarakat mereka. Menurut C. Kluckhohn, kebudayaan memiliki 7 unsur sebagai berikut.

a. Sistem kepercayaan

Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan
upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam
Soekanto, 2007), yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata
“belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan
tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.
Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial.

Sistem kepercayaan (sistem religi) merupakan hal-hal yang bersifat keagamaan dan
kepercayaan. Dalam hal ini bisa dibilang budaya yang mistis, seperti animisme, dinamisme, dan
sebagainya. Biasanya terdapat bacaan-bacaan dan juga ritual-ritual dalam pelaksanaan sistem
kepercayaan ini. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi
kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut Daroeso (dalam Kalangie, 1994) adalah sebagai
berikut.

1. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai.
2. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu
keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma
sebagai landasan manusia dalam bertindak.
3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.

Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu:


1. Nilai logika adalah nilai benar salah.
2. Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah
3. Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai,
yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu
berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral
berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih
terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Nilai religius yang merupakan
nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan
manusia.
b. Sistem pengetahuan

Pengetahuan merupakan hal yang mendasar dalam unsur kebudayaan. Pengetahuan


dianggap penting karena dengan pengetahuan, seseorang dapat mengetahui kebudayaannya
sendiri maupun orang lain. Adanya pengetahuan dalam seorang individu dapat memicu
timbulnya ide-ide yang baru dan kreatif sehingga budaya tersebut dapat dipertahankan.

Spradlye (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa pengetahuan budaya itu bukanlah
sesuatu yang bisa kelihatan secara nyata, melainkan tersembunyi dari pandangan, namun
memainkan peranan yang sangat penting bagi manusia dalam menentukan perilakunya.
Pengetahuan budaya yang diformulasikan dengan beragam ungkapan tradisional itu sekaligus
juga merupakan gambaran dari nilai-nilai budaya yang mereka hayati.

Nilai budaya sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat (2002) adalah konsep-konsep


yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal
yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Dan suatu sistem nilai budaya, yang
sifatnya abstrak, biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

c. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia

Teknologi dan peralatan kesehatan adalah sarana prasarana yang diperlukan untuk tindakan
pelayanan, meliputi: ketersedian, keterjangkauan dan kualitas alat. Keterjangkauan meliputi: 1)
keterjangkauan fisik, keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah
menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran; 2) keterjangkauan ekonomi, keterjangkauan
ekonomi ini dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya untuk
memperoleh pelayanan menjadi bagian penting bagi klien; 3) keterjangkauan psikososial,
keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan partisipasi
masyarakat secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider, pengambil kebijakan, tokoh
agama, tokoh masyarakat; 4) keterjangkauan pengetahuan, keterjangkauan pengetahuan ini
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui tentang kebutuhannya. Dengan budaya yang
berkembang, sehingga timbulnya peralatan-peralatan baru yang bisa digunakan sebagai
pelengkap dan juga sebagai keindahan tersendiri.

d. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.

Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus
yang mejadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering,
kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan
yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand)
yang kadang-kadang serakah. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis
pekerjaan dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002). Terlahir karena manusia memiliki hawa
nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih sehingga budaya dimanfaatkan
untuk hal tersebut.

e. Sistem kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan merupakan sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa
meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan
dan kelebihan masing-masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, organisasi politik,
norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi
adalah bagian kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi
manusia mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan orang
lain (Syani, 1995).

Kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Kekerabatan
suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat
yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang
memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota keluarga, sanak saudara,
tetangga, dan teman sering kali memiliki pengaruh yang bermakna dalam pemakaian metode
kontrasepsi oleh suatu pasangan. Pada sebuah studi di India dan Turki, lebih dari separuh wanita
yang diwawancarai mengatakan bahwa pemilihan kontrasepsi mereka dibuat oleh atau dengan
suami.

f. Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang
lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata
krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.

Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat
untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah
untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra),
mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi
(Koentrajaningrat, 2002). Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah
sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa
yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.

g. Kesenian

Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan hati
setiap orang. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat
manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang
mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang
sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni
patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara, bangunan,
kesusastraan, dan drama (Koentrajaningrat, 2002).

Dengan demikian diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan
memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu umat manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

D. Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara
bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah
lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) malah menyebutkan bahwa
bahasa dan kebudayaan dua sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu
sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu
sistem yang berfungsi sebagai sarana.

Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara


kebahasaan dan kebudayaan, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau
bersifat subordinatif mana yang menjadi main sistem (sistem atasan) dan mana pula yang
menjadi subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa
kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsistem.

Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu
hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang
terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam (Silzer
dalam Crista, 2012: 1). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan
dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan,
sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini
adalah adanya hipotesis yang sangat controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik
ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama
hipotesis Sapir dan Whorf.

Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah
hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot
ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat
kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa
bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikir
manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak
budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula.

Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan
bahasa. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada
dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam
bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu, misalnya
pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak
karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya,
bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak
memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam.
Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.

Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya


perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda
dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis
Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab
bagi ilmu pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh
Masinsmbouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran
dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi
menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.

Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat
pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam
menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan
landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep
tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai
konsep lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima
pikiran Safir dan Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama
sekali hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula
orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui
kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian. Silzer (1990)
menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai
dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan
pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan
tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa
lainnya, yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata
yaitu rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata
untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya Indonesia ada karena ada
budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai kata yang berbeda untuk keempat
konsep itu.

Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat (1990) di
atas, ternyata yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti
luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Untuk lebih memahami adanya
hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama, sehingga
melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut.

Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan
Bajumu bagus sekali!, atau Wah rumah saudara besar sekali, maka yang dipuji akan menjawab
pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan Ah, ini cuma baju
murah kok dan Yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!. Akan tetapi kalau itu terjadi
dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata Terima kasih!. Contoh lain, dalam budaya
Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak
dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki
maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi-informasi
(dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan
menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum
disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang
berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis
dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu.
Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari
sejumlah subsistem.

Sistem bahasa yang dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi
yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu
yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang bersifat mana suka
(arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai banyak fungsi, antara lain menurut
Dell Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa, yaitu (1) menyesuaikan diri dengan norma-norma
sosial, (2) menyampaikan pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3)
mengatur kontak sosial, (4) mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.

Keanekaragaman bahasa tidak dapat dipisahkan dari keanekaragaman budaya. Ditinjau dari
segi budaya, bahasa termasuk aspek budaya, kekayaan bahasa merupakan sesuatu yang
menguntungkan. Berbagai bahasa itu akan merefleksikan kekayaan budaya yang ada pada
masyarakat pemakainya (multikultural). Hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu bersifat
koordinaif atau subordinatif yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling
memengaruhi. Hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya
sama tinggi. Hubungan subordinatif berarti suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.

Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan dua
sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, sehingga kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
saran. Sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia
didalam masyarakat, artinya tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku
di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya disebut sebagai
etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode
bahasa, norma-norma sosial, dan sitem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat.

Salah satu pertanyaan yang barangkali sukar untuk dijawab adalah, sesungguhnya yang lebih
dahulu muncul itu apakah bahasa lebih dahulu muncul kemudian disusul dengan adanya
kebudayaan atau sebaliknya, budaya lebih dahulu muncul kemudian disusul kemunculan bahasa.
Teori-teori yang dikemukakan para ahli tidaklah secara eksplisit menjelaskan hal tersebut.
Meskipun demikian, tampaknya mereka sepakat bahwa bahasa muncul karena adanya
kebudayaan. Lihat saja Teori Tekanan Sosial dari Adam Smith yang menyatakan bahwa bahasa
muncul ketika manusia primitif dihadapkan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk saling
memahami antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Begitu pula Teori Interjeksi yang
dikemukakan Ettienne Bonnet Condilac. Ia menyatakan bahwa bahasa dilahirkan dari ujaran-
ujaran instingtif (bersifat naluriah) karena adanya tekanan batin, perasaan yang sangat mendalam
yang dialami manusia tersebut.
.

DAFTAR PUSTAKA

Sibarani, Robert antropolinguistik. Penerbit poda jln tri darma 138 medan.

Bell. Roger T. 1990. Sosiolinguistics: Goal, Approach and Problem. London: BT. Batsford Ltd.

Herman, Rn. 2009. Antara Bahasa dan Budaya. http: //lidahtinta.wordpress.com.

Hymes, Dell (ed.). 1964. Language in Culture And Society. New york: Haper and Row

Ibrahim, A. Syukur.1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem (terjemahan


dari buku Roger T. Bell). Surabaya: Usaha Nasional.

Koentjananingrat. 1992. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama

Kridalaksana, Harimurti.1982. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta.


Universitas Indonesia.

Mursalin, Muhhamad. 2011. Bahasa Sebagai Alat Komunikasi dalam Interaksi Sosial. http:
//mursalin90.blogspot.com

Nababan, P.W.J.1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta: Gramedia.

Suryadi. 2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah
Seminar Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25
April 2009).

Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai