Materi:
Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara
mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi bahasa, berpikir, dan
berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.
A. Pengertian Berpikir
Berpikir yang paling umum dari berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep
(Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide
dan konsep ini berlangsung melalui proses. Penjalinan hubungan antara bagian-bagian
informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.
“Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir saat memutuskan barang apa
yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat mencoba memecahkan ujian yang diberikan di
kelas. Kita berpikir saat enulis artikel, menulis makalah, menulis surat, membaca buku,
membaca koran, merencanakan liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang
ternganggu.
Berpikir adalah suatu kegitan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa
dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar organ tubuh yang
disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan
perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan dari pada obyek
tertentu, menyadari secara aktif dan menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai
wawasan tentang obyek tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu yang
dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam berpikir juga
termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur,
mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan,
menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, membuat
analisis dan sintesis menalar atau menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip yang ada,
menimbang dan memutuskan.
Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara
kognitif, secara lebih, formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik
informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang tersimpan dalam long term memory.
Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah,
2006:117).
Biasanya kegitan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk
dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan pemecahan.
Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dengan apa yang terjadi
atau dialami. Dengan demikian, kegiatan berpikir manusia selalu tersituasikan dalam kondisi
konkret subyek yang bersangkutan. Kegiatan berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa
yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan
(Sudarminta, 2000).
B. Pengertian Bahasa
Pengertian Bahasa Indonesia Oleh Para Ilmuan Menurut Keraf dalam Smarapradhipa
(2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa
sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-
simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer. Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan
(2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared
combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa
dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk
menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi
simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau
memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang
kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana
suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia secara sadar. Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu
keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang
arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu
tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Menurut Wibowo (2001:3),
bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat
ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh
sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Hampir senada dengan
pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang
paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat
kepada orang lain.
Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2),
beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk
membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai
untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda yang jelas dari
kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda
yang jelas dari budi kemanusiaan. Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa
adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.
Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01),
bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.
C. Pengertian Budaya
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan
luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-
budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Beberapa alasan mengapa
orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat
dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan
oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang
memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
"individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan
pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang
menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut
Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-
benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
D. Hubungan Bahasa dan Budaya
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan
mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan
Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan
Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat
bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota
satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan
bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan
dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah
‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam
menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat
(KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan
dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran
memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai
sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam
berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat
dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah
manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya
disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan
pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi
antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran
masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan
berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan
atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan,
beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa.
Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda.
Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris
tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan
sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar
bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa
Melayu atau Indonesia.
Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal
kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa
Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna
yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat,
wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die
dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk
pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh
Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau
produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai
produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan
perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh
masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya,
bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat,
tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat
penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa
‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa
mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso,
nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang
dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik
‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas
budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336)
menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan
pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di
sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi
Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan
identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan
Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972
terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional
bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna
dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media
komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka
menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari
kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap
komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau
kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
E. Hubungan Bahasa dan Berpikir
Alat komunikasi manusia yang paling utama adalah bahasa selain alat ucap yang
baik, untuk dapat berbahasa atau berkomunikasi diperlukan pikiran dan ingatan yang baik
pula sebab faktor inilah yang memungkinkan terjadinya kegiatan berbahasa dengan lancar.
Pikiran berperan penting tidak hanya menyimak , membaca, maupun dalam proses
pengujaran. Dalam penyimakan, pikiran menangkap dan menahan untaian fonologis ucapan
dari lawan bicara untuk dapat dijadikan pesan yang bermakna. Dalam membaca, pikiran
menangkap dan menahan informasi yang dibaca dalam bentuk untaian kata, frase, klausa,
kalimat, paragraf sampai wacana atau teks.
Otak manusia sebagai alat berpikir, selalu menanggapi bermacam-macam informasi
melalui bahasa yang diterimanya melalui indra pendengar, atau indra penglihatan, kemudian
diproses dalam pikiran. Selanjutnya pikiran membagi informasi tadi melalui kelompok-
kelompok guna penyimpanan (stroge) dalam ingatan dan menemukannya kembali (recieve)
dengan mudah. Hal ini disebut kategorisasi.
Bahasa adalah data pemikiran. Bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi dengan
orang lain tetapi bahasa juga digunakan untuk berpikir itu sendiri. Contoh:
1. kata disimpan dalam pikiran dan tidak disimpan dalam bentuk ejaan, tetapi sebagai
bunyi lafal, dengan mendengar kata benda, orang akan membayangkan berbagai
wujud benda sebagai kelas kata benda.
2. pikiran dapat menjelaskan kata benda yang abstrak, pengetahuan
3. dulu orang berpendapat bahwa sesuatu yang konkret menghambat cara berpikir
abstrak. Pendapat itu kini terbalik, sesuatu yang konkret membantu pemikiran abstrak.
Itulah sebabnya dalam buku ajar kimia dan fisika masa kini, banyaknya gambar dan
tulisan bersaing. Satu gambar sama dengan seribu kata. Gambar jenaka lebih lama
diingat dalam pikiran daripada tulisan yang panjang.
4. fungsi otak kiri dan otak kanan manusia berbeda. Logika, matematika, lanjar, bahasa,
runtun, analisa, berada pada otak sebelah kiri, irama, kreatifitas, imajinasi, ruang,
warna, keseutuhan, berada pada otak sebelah kanan.
5. banyak orang jenius memanfaatkan kedua belahan otak mereka, kiri dan kanan,
mereka menuangkan dalam gambar atau berimajinasi dengan imaj/citra.
6. bahasa yang tertib sangat diperlukan dalam penerjemahan dalam komputer, bahasa
yang tertib diperlukan dalam berpikir dan mengungkapkan pikiran dengan cermat.
Beberapa ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih
disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut antara lain Von
Humboldt, Edwar Saphir, Benyamin Whorf, dan rnst Cassier. Dari keempat tokoh tersebut
hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti.
Sapir dan Whorf mengatakan bahwa ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk
mempertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Whorf menguraikan dua
hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingustic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa
perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa
(nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang
yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah lingustic determinism yang menyatakan bahwa struktur
bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual.
Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur
yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek
formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Bahasa bagi whorf pemandu realitas sosial.
Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa secara kuat
mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak
hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa
dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan
bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang
sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama
akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa
pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda
maka pandangan tentang dunia pun berbeda.
RANCANGAN TUGAS
B.Uraian Tugas
1. Objek Garapan
a. Pengertian berbahasa, berpikir, ingatan dan budaya.
b. Hubungan berbahasa, berpikir, ingatan dan budaya.
c. Teori-teori yang berhubungan dengan berbahasa, pikiran, ingatan dan budaya.
2.Metode/ Cara Pengerjaan
a.Mencari sumber-sumber tentang objek garapan.
b.Mengidentifikasi data berkaitan dengan objek garapan.
c.Merekonstruksi dalam bentuk tulisan ilmiah ( ringkasan).
3.Luaran
Membuat ringkasan dalam bentuk makalah ilmuah.
C.Kriteria
1. Ketepetan penjelasan
2. Kelengkapan data
3. Kreativitas.
Rubrik Penilaian
Kriteria 1: Ketepatan Penjelasan
Dimensi Sangat Memuaskan Kurang Tidak Skor
memuaska memuaska memuaskan
n n
Kriteria 3: Kreativitas
Dimensi Sangat Memuaska Kurang Tidak Skor
memuaskan n memuaskan memuaskan