Anda di halaman 1dari 19

1.1.

Latar Belakang
Belajar bahasa asing di negeri penuturnya mempunyai kelebihan, antara lain kesempatan untuk
mengalami interaksi dengan lingkungan masyarakat dan budayanya. Kita tahu bahwa belajar bahasa
asing berjalan sejajar dengan belajar kebudayaan asing, baik budaya kebahasaan itu sendiri maupun
aspek budaya yang lain, seperti budaya materiil, lingkungan, dan religi. Namun, yang sering terjadi,
pemelajar merekam kebudayaan asing dalam bentuk stereotipe masyarakat pendukungnya. Dalam
pembelajaran bahasa asing di negeri penuturnya, pemelajar akan memahami, bahkan menghayati,
kebudayaan masyarakat penutur asli itu.
Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada yang
menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui bahwa budaya
penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya sering terpisah dari pengajaran
bahasa. Joan Kelly Hall (2002) menyebutkan bahwa ancangan kemampuan komunikatif (communicative
competence), misalnya, memang mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa
dengan lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih
dianggap sebagai satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari.

1.2.Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis akan menjelaskan secara singkat masalah Bahasa dan
Keudayaan, dimana suatu negara memiliki ragam bahasa yang sangat berbeda. Oleh karena itu penulis
akan menjelaskan secara singkat pada bab pembahasan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bahasa Sebagai Sarana
Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan
kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh
suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu
kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah
kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan
kedudukannya sama tinggi.
Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem
kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan,
paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan
itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah
faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan.
Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang
digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan
erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa
sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa
lain.Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik
Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak
universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada para
mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan
kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya,
saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur
asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus.

2.2. Pengertian Budaya


Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam
bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna
yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas
Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-
makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung
Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan
dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam
masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari
dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki
seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan
dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh
kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol
bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam
mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran
yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota
kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi
kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan
menurut Abdul Chaer yaitu:

1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.


2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan
tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan
diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya
akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan
kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau
non material. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya,
menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri
dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku
bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.
2.3. Anatar Bahasa dan Budaya
Sosiolinguistik bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau
ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek kehidupan yang
berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu, agar pembahasan di sini tidak meluas, kami
membatasinya pada “Bahasa dan Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan
Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas
Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai
bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki
kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini
menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur
bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan
membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda
dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap
sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan
pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat
kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan
dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58).
Lantas, bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan
kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada dan
mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah) masalah ini kita diskusikan.

2.4. Hubungan Bahasa Dan Budaya


Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya
(1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer
mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3),
Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan
Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2. Bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa
bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam
penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam
bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada
kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169).
Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran.
Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat
dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai
alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai
komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada
tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau
manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau
“pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa
perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan
kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita
sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini
disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain.
Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan
berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris
akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua
sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh
penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh
yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa
Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama
dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb.,
sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya
tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002:
20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa
merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya
termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai
cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam
masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam
bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini
mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan
ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi
tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet
takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan
bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya
terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia
berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini
menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono
dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di
Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa
Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan
penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan
komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan
para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap
komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.

2.5.Bahasa dan Kebudayaan Dalam Masyarakat Aceh


Pemahaman mengenai tingkah laku sosial melalui bahasa tergantung pada teori umum tentang
masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pertukaran bahasa dan pengekalan bahasa juga bergantung
kepada teori sosiobudaya.
Kebudayaan atau kebiasaan masyarakat penutur bahasa Aceh misalnya. Penutur bahasa Aceh
Barat dan bahasa Aceh Selatan (termasuk Lamno, Jeuram, dan Nagan Raya) bertutur antara anak dan
orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh Utara (termasuk Pidie, Peusangan, dan
sebelah timur Aceh) dalam konteks yang sama, yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam masyarakat
Aceh Barat-Selatan adanya penggunaan ku- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya dipandang sebagai hal
yang biasa. Misal: uroe nyoe han ék kujak peukan, Mak. Namun, dalam masyarakat Aceh Utara, ku di
sana tidak biasa digunakan sehingga dipandang “kasar”. Masyarakat Aceh Utara akan menggunakan
kata lôn/lôntuan untuk menyapa orangtuanya atau orang yang lebih tua dari dia, uroe nyoe lôn han ék
lônjak peukan, Mak.
Karena itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan.
Teori yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf, yang dikutip oleh banyak ahli dalam
menulis buku tentang sosiolinguistik dan psikolinguistik1. Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan
bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang
dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Perkara “waktu” sebagai salah satu kebiasaan dalam bertindak dan berkomunikasi seperti saya
contohkan di atas juga sudah pernah disitir oleh Chaer (1994:70) saat mengamati teori Sapir-Whorf.
Chaer sepakat bahwa apa yang disebutkan oleh teori tersebut memunculkan nama “jam karet” bagi
bangsa Indonesia, sedangkan di Eropa ungkapan tersebut tidak ada.
Kendati teori Sapir-Whorf banyak dibantah orang, banyak pula yang sampai sekarang masih
membicarakannya. Persoalan sepakat atau tidaknya bahwa bahasa mempengaruhi kebiasaan
(kebudayaan) akhirnya kembali kepada peneliti yang meneliti dari sudut pandang mana. Pasalnya, tidak
ada bahasa di dunia ini yang sempurna, yang memiliki kekomplitan kosa kata untuk mengungkapkan hal
atau perihal tertentu.

2.6.Bahasa dan Kebudayaan Nasional


Pada 1930-an terjadilah di kalangan para intelektual muda Indonesia polemik tentang masa
depan bangsa Indonesia. Polemik itu berlangsung bertahun-tahun serta dimuat dalam berbagai majalah
dan surat kabar. Sekarang kita sebut sebagai polemik kebudayaan karena sebagian besar polemik itu
dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja yang diberinya judul “Polemik Kebudayaan” (Balai Pustaka,
Jakarta, 1950). Yang terlibat dalam polemik itu kemudian kita kenal sebagai pendiri bangsa dan negara
Indonesia, antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan Dr.
Poerbatjaraka.
Mereka membahas berbagai segi kebudayaan nasional Indonesia yang sebenarnya ketika itu
merupakan suatu hal yang diangankan. S. Takdir Alisjahbana dengan lantangnya mengatakan bahwa
untuk membangun bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia, kita harus memutuskan hubungan
dengan masa lampau yang disebutnya sebagai masa pra-Indonesia. Kalau mau maju, bangsa Indonesia
harus sebanyak-banyaknya menyedot jiwa Barat yang dinamis. Begitu juga dengan kekayaan
kebudayaan daerah kita yang dianggap sebagai hasil masa lalu, dianggap bukan bagian dari kebudayaan
kita.
Akan tetapi, ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa kita sebagai bangsa tidak dapat
melepaskan diri dari masa lalu. Kita sekarang adalah lanjutan dari masa lalu itu. Masa lalu tak bisa begitu
saja dihapuskan dari hidup kita. Yang menarik adalah bahwa polemik itu ditulis dalam bahasa Indonesia,
yaitu bahasa yang belum lama sebelumnya (28 Oktober 1928) dinobatkan sebagai bahasa persatuan
oleh para pemuda yang mengadakan kerapatan di Jakarta.Para pemuda yang mewakili berbagai suku
bangsa dari seluruh daerah di Indonesia itu dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengaku
berbangsa dan bertanah air satu dan bahwa mereka menjunjung bahasa persatuan yang mereka pilih
dari ratusan macam bahasa yang terdapat di seluruh persada Indonesia, yaitu bahasa Melayu yang
mereka beri nama bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang mereka jadikan bahasa nasional itu sudah
mereka pergunakan sebagai lingua franca, baik dalam pergaulan sesama suku maupun sebagai bahasa
pers.
Sesungguhnya bahasa nasional itulah yang telah nyata-nyata kita miliki sebagai budaya bangsa.
Padahal, para pemuda yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia itu
sendiri adalah hasil didikan sekolah Belanda yang lebih fasih menggunakan bahasa Belanda daripada
bahasa Melayu yang tampak antara lain dari pengakuan Dr. Poerbatjaraka dalam tulisannya. Setelah
bahasa Melayu diakui sebagai bahasa persatuan dan diberi nama bahasa Indonesia, para pemuda kaum
intelektual pejuang kemerdekaan itu mulai belajar sungguh-sungguh berbahasa Indonesia. Dengan
bahasa nasional itulah mereka memengaruhi bangsanya tentang kesadaran nasional, tentang cita-cita
kemerdekaan. Adalah faktor kebetulan bahwa tidak lama kemudian, Belanda diusir oleh bala tentara
Jepang (1942) dan pemakaian bahasa Belanda sama sekali dilarang. Pemerintah pendudukan Jepang
ingin menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi di tanah jajahannya. Akan tetapi, karena
belum banyak yang dapat menguasainya, mereka terpaksa mengangkat bahasa Indonesia sebagai
bahasa yang harus digunakan di seluruh Indonesia, sementara bahasa Jepang diajarkan sangat intensif.
Para pemimpin kita dikerahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk berpropaganda tentang
kehebatan bala tentara Dai Nippon dan janji-janjinya. Para pemimpin kita dalam kesempatan itu
membangkitkan kesadaran kebangsaan rakyat untuk mempunyai negara dan pemerintahan sendiri.
Bahwa pada waktu Jepang kalah dan kita memproklamasikan kemerdekaan disokong oleh
seluruh rakyat, menunjukkan bahwa para pemimpin nasional kita telah berhasil menanamkan kesadaran
nasional dan patriotisme. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah berfungsi
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di samping itu, kita pun melihat bahwa bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa yang dapat dipergunakan untuk melahirkan karya sastra berupa prosa dan puisi yang
ternyata mendapat pengakuan secara internasional. Karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin,
Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Utuy T. Sontani, dianggap bermutu
sehingga banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Dalam perkembangan
selanjutnya, kian banyak orang yang menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau tadinya pada masa
sebelum perang yang menulis karya sastra itu terutama hanya orang-orang Sumatra, istimewa dari
Minangkabau, sekarang kita melihat para penyair dan sastrrawan berdatangan dari berbagai suku
bangsa dari seluruh pelosok Indonesia. Pengakuan terhadap mutu karya-karya sastra Indonesia juga
kian banyak dari berbagai negeri lain dengan munculnya para ahli bahasa dan sastra Indonesia di negeri-
negeri itu dan karya-karya sastra Indonesia kian banyak diterjemahkan ke dalam kian banyak bahasa.
Tidak hanya dalam bidang sastra kita menyaksikan kemajuan pemakaian bahasa Indonesia, melainkan
juga dalam bidang ilmu. Bahasa Indonesia bukan saja dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar di
dalam semua jenjang pendidikan, melainkan juga dapat digunakan untuk menulis berbagai macam ilmu.
Akan tetapi, kemajuan bahasa Indonesia dalam bidang seni dan ilmu itu sayang sekali tidak
terjangkau oleh kebanyakan bangsa kita karena sejak Republik Indonesia berdiri, tidak ada pemerintah
yang secara sungguh-sungguh mengamalkan amanat Mukadimah UUD untuk mencerdaskan
bangsa. Sekolah banyak didirikan tetapi kegemaran membaca tidak dibina karena sekolah-sekolah dan
universitas-universitas itu tidak dilengkapi perpustakaan yang memadai, yang bukan saja akan memupuk
kegemaran membaca dan memperkenalkan siswa dengan dunia bacaan yang tak terbatas, melainkan
juga akan menyebabkan mereka mengikuti perkembangan prestasi bangsanya dalam bidang ilmu dan
seni, terutama sastra.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. kalau
kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan
adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian
hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali
bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai
sistem kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam
bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
BAB I
PENDAHULUAN

Telah dikukuhkan oleh para linguist bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetik
hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi
nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu. Bahasa
hidup berada di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan
hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya.

Bahasa dan budaya adalah dua bentuk hasil pemikiran manusia. Banyak ahli yang
mengemukakan teorinya mengenai kaitan antara bahasa dan budaya, salah satunya Willem von
Humboldt seorang filosof Jerman. Menurutnya “language by its very nature represents the spirit and
national character of a people (bahasa adalah repesentasi/perwujudan semangat alami dan karakter
nasional masyarakat)”(Steinberg dkk, 2001: 244). Humboldt yakin setiap bahasa di dunia pasti
merupakan perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat bahasa tertentu akan tercermin atau terwujud dalam bahasanya. Dan ternyata pendapat
Humboldt juga didukung oleh para linguis ternama seperti Edward Sapir (1929) dan Alfred Korzybski
(1933).

Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi kebudayaan
masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya
dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat. Berbagai pendapat para ahli
mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan membuat tema ini menarik untuk dikaji lebih
lanjut. Sehingga pada akhirnya dapat melahirkan teori-teori baru mengenai hubungan keduanya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN

a. Bahasa

Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal
dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam
bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai
dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang
sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan
oleh para ahli:

1. menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang,


berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama
dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a
finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang
bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap
batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama, meskipun
terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat
disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing dalam bukunya Bahasa,
Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan
memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang
lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa
(fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir
leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-
aturan sintaksis dalam bahasa.

Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara
arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang
berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

b. Budaya

Budaya merupakan sebuah istilah yang sangat luas. Dan oleh keluasan itu, maka dapat
ditemukan banyak sekali definisi. Di sini yang dimaksud dengan budaya bukan budaya dalam arti seni
seperti musik, sastra atau seni rupa. Istilah budaya disini merupakan pengetahuan yang harus
diketahui oleh seseorang yang hidup dalam masyarakat yang tertentu. Goodenough (di dalam
Wardhaugh, 1992) menegaskan definisi ini: “a society’s culture consists of whatever it is one has to
know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and to do so in any role
that they accept for any one of themselves” (budaya masyarakat terdiri dari apa pun yang kita harus
tahu atau percaya agar dapat beroperasi dengan cara yang dapat diterima oleh anggotanya, dan
untuk melakukannya dalam peran apapun yang mereka terima untuk salah satu dari mereka sendiri).

Wardhaugh (1992) sendiri mengatakan: “Culture, therefore, is the ‘knowledge’ how that
person must possess to get through the task of daily living.” (budaya adalah 'pengetahuan' bagaimana
orang itu harus memilikinya untuk didapatkkan melalui tugas sehari-hari.)

Definisi di atas belum terlalu memperhatikan aspek bahasa dalam kaitan dengan budaya. Hall
(1997, h 2) memberikan definisi yang lebih jelas dan lebih dapat digunakan dalam bidang
sosiolinguistik: “To say that two people belong to the same culture is to say that they interpret the
world in roughly similar ways and can express themselves, their thoughts and feeling about the world,
in ways which will be understood by eachother”.( Dua orang dikatakan memiliki budaya yang sama
apabila mereka menafsirkan dunia dengan cara yang kurang lebih sama dan dapat mengekspresikan
diri, pikiran dan perasaan tentang dunia, dengan cara-cara yang akan dipahami oleh masing-masing)

Kita tahu bahwa kelebihan manusia adalah berfikir dan kemampuan untuk mengekspresikan
perasaan dan pikirannya. Selama dekade terakhir ini ada perdebatan sengit antara bahasa dan
pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah suatu identitas yang berdiri sendiri-
sendiri. Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu gagasan yang
terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa secara antar budaya adalah hipotesis Sapir –
Whorf yang sering disebut tesis Whorfian. Dalam bagian berikut hipotesis tersebut akan dijelaskan
lebih ringkas.

B. Hipotesis Whorfian

Edward Sapir adalah seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir
berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang tidak dapat dipisahkan
diantara kedua gambarnya.

Budaya merupakan sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah
sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa
yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan. Lebih lanjut, Sapir menegaskan
pendapatnya dengan menyatakan, bahwa ketika suatu komunitas sosial dihilangkan dari hidup
seseorang individu, maka individu itu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya
mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu.

Sapir memandang bahwa kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang
pemahaman mengenai simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih
terfokus kepada upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya kesepahaman
antara pengujar dan pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sapir –yang berbeda dengan
Sausurre – yang menyatakan bahwa bahasa itu ada sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar,
ditulis dan dibaca.

Sedangkan Benjamin L. Whorf adalah seorang ahli, yang dikenal Sapir lewat kuliahnya yang
diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka Whorf pun melakukan penelitian,
antara lain tentang bahasa Indian Hopi.

Para peneliti membagi hipotesis Whorfian menjadi dua bagian, yaitu :

1. Determinisme Linguistik

Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norma budaya.
Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan
bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang
diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasikan juga perbedaan dasar dalam
pandangan dunia berbagai budaya.

2. Relativitas Linguistik

Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan
arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa
menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya
dikode dan disimpan.

Hipotesis Sapir – Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh
bahasa dalam budaya kita. “Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara
dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan
cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di
sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula”

Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu
mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan
sosial. Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman,
tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda
bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas
yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk
memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan,
mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya.

Whorf menemukan dalam pekerjaan sebagai insinyur dalam bidang pencegahan kebakaran
bahwa penutur dalam bahasa Inggris menandaikan tempat untuk bahan bakar (drigen bensin) dengan
“full” atau “empty”. Whorf mengatakan bahwa implikasinya kata empty membuat orang disekitar
drigen bensin itu kurang hati-hati. Padahal botol atau drigen bensin yang “empty” sebenarnya penuh
dengan gas dan dapat menyebabkan ledakkan yang jauh lebih bahaya daripada drigen yang penuh
bensin. Whorf berpendapat bahwa struktur dalam bahasa kita dapat mempengaruhi perilaku kita.

Dalam kajiannya dengan bahasa Hopi, sebuah bahasa pribumi di Amerika, Whorf
membandingkan bahasa tersebut dengan yang dia sebut “Standard Average Eropean” (SAE) yaitu
bahasa Inggris, bahasa Pirancis dan bahasa Jerman. Dia menemukan perbedaan antara istilah untuk
orientasi dan waktu dalam pembandingan tersebut dan menyimpulkan bahwa karena ada perbedaan
tersebut, persepsi penutur Hopi juga berbeda dengan persepsi penutur SAE.

Ketika kita melihat kaitan antara bahasa dan budaya dengan pandangan Whorf, berarti
bahasa memfasilitasi sebuah filter untuk realitas kita. Bahasa mendeterminasi bagaimana penutur
memperoleh dan mengorganisasi dunia alami dan dunia sosial yang ada di sekitar mereka.

Pada hipotesis Whorfian muncul pendukung maupun banyak orang linguist yang mengkritik
hipotesis tersebut. Linguist yang mendukung Whorf mengatakan bahwa memang ketika ada sebuah
istilah khusus dalam suatu bahasa maka untuk penutur lebih mudah untuk meracu pada istilah itu.
(lht. Wardhaugh, 222- 223) Sebagai contohnya istilah “latah” tidak ada dalam bahasa Jerman.

Linguist yang mengkritisiasi hipotesis Whorf katakan bahwa ketika hipotesisnya benar, maka
tidak ada kemungkinan untuk menjelaskan istilah yang khusus itu dalam sebuah bahasa dimana
istilah tersebut tidak ada. Kita harus menganggap bahwa semua bahasa memiliki sumber linguistik
seperlunya yang memungkinkan penuturnya untuk menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan.

C. SISTEM KEKERABATAN

Suatu cara yang menarik untuk diteliti dimana manusia menggunakan bahasa adalah dalam
hidup sehari-hari ketika merujuk terhadap kekerabatan. Oleh karena sistem kekerabatan memiliki
kebersamaan dalam semua bagian dunia ini, tetapi manusia menggunakan sistem berbeda untuk
berbicara tentang kekerabatan mereka. Tentang topik ini ada banyak literatur dan kajian. Beberapa
sistem jauh lebih kaya daripada sistem lain dan peraturannya berbeda-beda. Dalam bahasa Jerman
misalnya, istilah untuk “brother” dan “sister” hanya digunakan untuk kakak atau adik laki-laki atau
perempuan, sangat berbeda dengan bahasa Indonesia, dimana istilah kakak/adik juga dapat
digunakan dalam hubungan sosial yang lain, yang tidak semestinya merancu pada hubungan dalam
keluarga.

Dalam berbagai system kekerabatan hubungan yang berbeda kadang-kadang dikasih istilah
yang sama dan kadang-kadang hubungan yang similar ditandai dengan istilah berbeda. Untuk
mengerti kenapa system itu bisa berbeda-beda, harus ada pengetahuan tentang kebudayaan
penuturnya. Dengan perubahan sistem kebudayaan dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan
juga akan berubah dan mereflek perubahan tersebut.

D. MULTIKULTURALISME

Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang


tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada
dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang
mereka anut.

Pengertian multikulturalisme menurut beberapa ahli:


“Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas
keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam
kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia,
suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural
society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less
distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis,
customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya
seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence
Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary
1991, Watson 2000).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan,
oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun
mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M.
Atho’ Muzhar).

Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik


multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh
(1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural
menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat
penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat
ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif
secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha
mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom
dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah
untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok
dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural
tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk
penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk
menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu
dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus
mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat


kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat
multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama
hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang
dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat
tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan
pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok
manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap
masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi
masyarakat tersebut.

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-
kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia
memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk
suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat
itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan
beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang
berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi
pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

E. HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA

Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang
kedudukannya sama tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217) menyebutkan bahwa kebudayaan
dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan
kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya
karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan
(1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari
kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).

Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti,
dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan
tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak
akan pernah ada budaya.

Meski begitu ternyata bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
masyarakatnya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis
suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa
lain. Contohnya dalam budaya masyarakat Inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok
hanya ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Jadi, kata rice dalam Bahasa
Inggris mengacu kepada nasi, beras, gabah, dan padi dalam Bahasa Indonesia. Variasi dalam Bahasa
Indonesia itu disebabkan karena kedekatan masyarakat Indonesia dengan nasi sebagai makanan
pokoknya yang merupakan bentuk budaya masyarakat Indonesia.

Contoh lain misalnya, dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim
yang sama) berdasarkan jenis kelamin yaitu brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakan berdasarkan usia yaitu yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut adik.
Kebudayaan Inggris tidak memandang saudara berdasarkan usia namun berdasarkan jenis kelamin
berlawanan dengan kebudayaan Indonesia yang lebih mementingkan segi usia. Ini dikarenakan
kebudayaan santun masyarakat Indonesia lebih kental dibanding masyarakat Inggris pada umumnya.

Pendapat senada dikatakan oleh Levi-Strauss (dalam Sibarani 1992:104). Menurutnya, bahasa adalah
hasil kebudayaan. Dalam hal ini berarti kebudayaan mempengaruhi bahasa seperti halnya pada
contoh-contoh di atas. Bahasa merupakan refleksi seluruh kebudayaan dari sebuah masyarakat.
Contohnya dapat kita lihat jika kita membandingkan bahasa Sunda dengan bahasa Jawa, yaitu
sebagai berikut:

Bahasa Sunda Bahasa Jawa

Amis : manis Amis : amis

Gedang : papaya Gedhang : pisang

Raos : enak Raos : rasa

Atos : sudah Atos : keras

Cokot : ambil Cokot : gigit

Kata dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa meskipun bentuk dan ejaannya sama namun berbeda
artinya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan latar budaya yang mempengaruhi arti tersebut. Tata
cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu. Kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa
seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma-norma kebudayaan sebelum atau selain
mempelajari bahasa (Hodidjah, artikel hlm. 6).

Pandangan berbeda terungkap dari teori Sapir-Whorf. Teori ini mengungkapkan bahwa bahasa
mempengaruhi budaya. Mereka mengatakan demikian karena apa yang diungkapkan pengguna
bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur. Dalam teori Sapir-Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari
bahasa sehingga ia menegaskan bahwa bahasa mempengaruhi budaya (kebiasaan). Sayangnya teori
ini dianggap lemah untuk saat ini, karena fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kebudayaanlah
yang mempengaruhi bahasa.

BAB III

KESIMPULAN

Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada
yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan
mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk
menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya,
individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang
statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.

Kita dapat mengekspresikan perasaan dan budaya kita dengan komunikasi kita, tidak hanya dengan
menggunakan tetapi bisa jadi menggunakan gerakan. Namun di berbagai negara gerakan dapat
diinterpretasikan dalam cara yang berbeda, sehingga, menurut saya, lebih baik menggunakan bahasa
khusus daripada gerakan agar tidak membuat orang lain frustrasi.

Oleh karena itu, apa yang kita sebut budaya dan bahasa terkait satu sama lain, bahwa kita tidak bisa
memisahkan mereka dari satu sama lain.

Jadi, kenapa budaya itu beda? Mengapa ia penting? Karena: budaya adalah kehidupan yang kita
representasikan; ia adalah bagian dari identitas kita; cara hidup yang unik; kebiasaan kita, ritme kita,
makanan kita; dan tentu saja, budaya adalah bahasa kita!

Bahasa ditentukan oleh budaya. Setiap budaya memiliki bahasanya sendiri, alat untuk berekspresi.
Bahasa adalah jalan dalam peta budaya. Bahasa memberitahu anda, dari mana seseorang berasal,
dan kemana mereka akan pergi. Bahasa sangat penting untuk memahami perspektif budaya kita yang
unik. Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Bahasa adalah budaya dan budaya adalah bahasa.

Kita, para calon guru bahasa, sebaiknya mengajarkan bahasa pada siswa kita dengan budaya
berperilaku kita yang baik!
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara
genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang
atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu
melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk
berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang
terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling
bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.

Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal
dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan
bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek
tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang
mempunyai aspek yang sangat

luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang
diungkapkan oleh para ahli:
1. menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-
wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk
kerjasama dan saling berhubungan.
2. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of
a finite set of elements.
3. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa
lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.

Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap
batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep-konsep yang sama,
meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan
tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing
dalam bukunya Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah
bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk mengabungkan unit-
unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh,
kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai
dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian
digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan
sintaksis dalam bahasa.

Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara
arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung
makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

PENGERTIAN BUDAYA
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin
dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol
dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai
sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik.

Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-


relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus
diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan
nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang
harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena
itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan
sehari-hari dalam hidupnya.

Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga
pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang
terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkah laku manusia.

Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam
mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen
pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang
memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta
mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.

Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6
golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara
kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan
hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam
menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang
berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.

Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah
hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik
itu berupa produk material atau non material.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya,
menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar
identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam
tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan
budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak
ternilai dalam khasanah budaya nasional.

HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA

Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan
yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal
yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah
lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi.

Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang
melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi
sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.

Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah
fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

FENOMENA ANTARA BAHASA DAN BUDAYA


Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak
oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu
diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana,
makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu
mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya
ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya
selalu dibayangi oleh budaya.

Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk
kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa
Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam
bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang
digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan
tempe sering juga disebut iwak.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? semua ini karena bahasa itu adalah produk budaya dan
sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Dalam budaya masyarakat inggris yang tidak mengenal nasi sebagai makanan pokok hanya
ada kata rice untuk menyatakan nasi, beras, gabah, dan padi. Karena itu, kata rice pada
konteks tertentu berarti nasi pada konteks lain berarti gabah dan pada konteks lain lagi
berarti beras atau padi. Lalu karena makan nasi bukan merupakan budaya Inggris, maka
dalam bahasa Inggris dan juga bahasa lain yang masyakatnya tidak berbudaya makan nasi;
tidak ada kata yang menyatakan lauk atau iwak (bahasa Jawa).

Contoh lain dalam budaya Inggris pembedaan kata saudara (orang yang lahir dari rahim
yang sama) berdasarkan jenis kelamin: brother dan sister. Padahal budaya Indonesia
membedakan berdasarkan usia: yang lebih tua disebut kakak dan yang lebih muda disebut
adik. Maka itu brother dan sister dalam bahasa Inggris bisa berarti kakak dan bisa juga
berarti adik.

Anda mungkin juga menyukai