Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi Bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu

dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sarana perkembangan

kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika

dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa

nasional, yaitu lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas bangsa, alat

pemersatu, dan sebagai alat penghubung antardaerah dan antarbudaya. Sebagai

bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-

hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi

instrumental, menyuruh, kepribadian, pemecahan masalah, mempengaruhi dan

khayalan.

Proses pembelajaran bahasa banyak faktor yang mendukung keberhasilan

pencapaian tujuan pembelajaran tersebut dan salah satunya adalah faktor-faktor

sosiokultural. Faktor sosial dan kultur atau budaya memiliki hubungan yang erat

dengan bahasa. Setiap kali kita mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan

satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir,

merasa, dan bertindak (H. Douglas Brown).

Di dalam pemerolehan maupun menguasai bahasa, seseorang akan

dipengaruhi oleh empat bagian utama, yang meliputi lingkup sosio-kultural,

perbedaan individual, konteks pemerolehan bahasa, dan out-comes belajar bahasa.

Lingkup social-budaya sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif

pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan

bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat

-1-
bahasa, dan strategi belajar bahasa. Sehingga faktor sosio-kultural atau budaya

memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali kita mengajarkan satu

bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan

budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan bertindak. Faktor-faktor sosio-

kultural juga berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua.

Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam

teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan

bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan

sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang bukan dengan cara

menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan

dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah

hidupnya. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka makalah ini akan memaparkan

faktor serta pengaruh social budaya dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran

bahasa.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipapakarkan di atas maka penulis

merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan sosial-budaya dan bahasa?

2. Bagaimana pengaruh sosial-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua?

3. Bagaimana aplikasinya dalam pembelajaran bahasa di dalam kelas?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka makalah ini bertujuan untuk

mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan hubungan sosial-budaya dan bahasa

-2-
2. Untuk mendeskripsikan faktor sosial-budaya dan bahasa secara umum.

3. Untuk mendeskripsikan faktor sosial-budaya dalam pemerolehan bahasa

kedua

4. Untuk mendeskripsikan hubungan bahasa, pemikiran, dan budaya

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian makalah ini adalah agar pembaca mengetahui

secara jelas dan memahami hubungan pemerolehan bahasa dan usia.

-3-
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Budaya: Definisi dan Teori

Budaya dapat diartikan sebagai tuntunan cara hidup manusia, karena

budaya adalah konteks yang ada dalam diri manusia bisa berupa berpikir, merasa,

dan penghubung dengan yang lain. Budaya juga bisa didefinisikan sebagai

gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang mencirikan kelompok

orang dalam sebuah periode waktu tertentu.

Budaya adalah sebuah sistem aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit,

yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup

mereka. Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif

dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal dan sosial.

Matsumoto mendeskripsikan konsep-konsep penting yang melekat dalam

definisi budaya, seperti:

a. Dinamis.

b. Sistem aturan.

c. Kelompok dan unit.

d. Kelangsungan hidup.

e. Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku.

f. Dianut bersama sebuah kelompok.

g. Dijaga secara berbeda oleh tiap unit khusus.

h. Dikomunikasikan lintas generasi

i. Berpontensi berubah seiring dengan berjalannya waktu.

Berdasarkan dari pemaparan beberapa konsep tentang budaya, ternyata

tampak jelas bahwa budaya sebagai himpunan perilaku dan mode persepsi yang

-4-
berurat akar, dan menjadi sangat penting dalam pembelajaran sebuah bahasa baik

bahasa pertama dan kedua. Bahasa adalah bagian dari budaya, dan budaya bagian

dari bahasa, keduannya saling terkait satu sama lain sehingga tidak ada seorang

pun yang bisa memisahkan keterkaitan keduannya tanpa menghilangkan arti

penting masing-masing.

Ketika berbicara proses keterkaitan pembelajaran bahasa khusunya bahasa

kedua dengan budaya, artinya bahwa seorang siswa tidak hanya sebatas belajar

bahasanya saja tetapi juga harus belajar tentang budaya yang terkait dengan

bahasa yang dipelajarinya. Hal ini bertujuan agar siswa dapat menggunakan

bahasa tersebut sesuai dengan kebudayaan yang melatar belakanginya dan

menghindari kesalahpahaman (karena salah persepsi) antara siswa dengan penutur

asli bahasa tersebut. Berikut ini contoh realitas bahasa yang menunjukkan betapa

pentingnya mempelajari bahasa dengan mengikutsertakan budaya yang

melatarbelakanginya.

Budaya Indonesia dan budaya orang barat relatif berbeda. Orang barat akan

menyapa lawan bicaranya dengan ucapan ‘Good morning’, walaupun pada saat

itu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Maka ketika orang barat bertemu dengan

orang Indonesia, orang Indonesia akan merasa ada sesuatu yang janggal pada

sapaan orang barat tersebut. Hal ini disebabkan orang Indonesia menganggap

pukul 11.00 WIB sudah siang, maka seharusnya orang barat mengucapkan ‘Good

afternoon’. Contoh di atas hanya merupakan contoh kecil yang tidak akan

menimbulkan masalah yang berarti. Pada kasus-kasus bahasa yang lain, bisa jadi

menimbulkan masalah besar.

Harefa menyarankan agar siswa yang mempelajari bahasa harus

mempelajari budaya sebagai jalan untuk merasa, menginterpretasi merasakan, dan

-5-
berhubungan dengan siapa saja yang ditemui. Mempelajari budaya merupakan

suatu proses menciptakan arti berbagi antaranggota kebudayaan. Proses ini

hendaknya terus berlangsung sepanjang mempelajari bahasa, hingga akhirnya

meresap ke dalam pola pikir, perasaan, dan perbuatan.

Proses pembelajaran budaya akan menciptakan suatu identitas baru yang

merupakan inti pembelajaran budaya atau yang biasa disebut penyesuaian diri.

Penyesuaian diri ini tidaklah mudah. Kadang-kadang siswa mengalami gangguan

dalam penyesuaian diri. Gangguan ini disebut culture shock. Culture shock

merupakan fenomena psikologis yang berupa kepanikan dan krisis psikologis.

Culture shock dapat berupa perasaan asing, marah, permusuhan, keraguan,

frustasi, sedih, kesendirian, keinginan untuk pulang (homesickness), dan sampai

sakit jasmani.

2.2 Steorotipe Budaya

Dalam pertukaran budaya, kita menyadari bahwa semua aspek yang ada

dalam budaya yang masuk akan bercampur dengan budaya kita, baik budaya

positif maupun negatif. Tentu saja pandangan seseorang tentang budaya yang

masuk itu berbeda-beda. Jika seseorang berpandangan tertutup (close-minded)

maka mereka tidak akan bisa menerima perbedaan-perbedaan dari budaya mereka.

Dan hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah ‘stereotype’ tercipta.

Stereotype melukiskan tipikal dari anggota masyarakat. Contohnya, ada anggapan

bahwa orang Amerika semuanya kaya, santai, matrealistis, terlalu ramah, dan

suka minum kopi. Orang Italia umumnya berhasrat, pecinta ulung dan suka

minum anggur merah. Sedangkan orang Inggris sopan, hemat, dan suka minum

teh.

-6-
Stereotip-stereotip tersebut merupakan sudut pandang pada umumnya oleh

rata-rata kelompok masyarakat suatu negara yang pernah mengenalnya. Stereotip

bisa dibentuk melalui pergaulan. Orang bisa mengenal dan mengerti akan

perbedaan budaya satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bisa positif atau pun

negatif. Hal yang positif bisa diambil namun yang negatif bisa dicegah dengan

jalan filterisasi.

“The stereotype may be accurate in depicting the “typical“ member of a

culture, but it is inaccurate for describing a particular individual, because every

person is unique and all of person’s behavioral characteristics cannot be

accurately predicted.” Sesuai pernyataan tersebut stereotip suatu budaya tidak

bisa diidentifikasikan secara individu namun berdasarkan kelompok masyarakat

yang memiliki kebiasaan dalam bertingkah laku atau berbahasa.

Karakteristik yang dimiliki antarbudaya memiliki stereotip tertentu yang

berbeda satu sama lain. Seperti yang diungkapkan Brown dalam hasil

penelitiannya, ”Cross-cultural research has shown that there are indeed

characteristics of culture that make one culture different from another”

(penelitian antarbudaya telah menunjukkan bahwa terdapat karakteristik membuat

suatu budaya benar-benar berbeda dari yang lain). Stereotype mungkin benar

dalam menduga watak ‘umum’ anggota budaya tertentu tapi tidak akurat untuk

menggambarkan satu individu karena setiap orang memiliki keunikannya masing-

masing. Oleh karena itu stereotip atau pelabelan orang dari budaya berbeda

haruslah dihindari baik oleh pembelajar maupun guru bahasa kedua, mereka harus

memahami perbedaan budaya, menyadari bahwa setiap orang berbeda-beda dan

menghormati perbedaan tersebut.

-7-
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran

stereotipe diharapkan tidak menimbulkan dampak buruk atau negatif bagi

pembelajaran bahasa, tetapi dengan perbedaan-perbedaan budaya itu, justru guru

harus peka terhadapnya sehingga dapat memanfaatkan perbedaan-perbedaan

budaya tersebut sebagai motor penggerak pembelajaran bahasa.

2.3 Sikap

Stereotip juga berpengaruh pada sikap tingkah laku seseorang terhadap

budaya atau bahasa yang dibicarakan atau dipelajari. Pengaruh tersebut bisa

datangnya melalui media secara tidak langsung baik televisi, buku, atau internet.

Selain itu juga bisa didapat dari hasil atau pengaruh dari sikap orang dewasa,

orang tua, teman sebaya, dan hasil interaksi dengan orang yang berbeda-beda,

serta hasil interaksi faktor-faktor afektif pada pengalaman manusia. Sikap inilah

yang membentuk satu bagian persepsi atas diri sendiri, orang lain, dan

kebudayaan. Menurut Nasution, sikap memengaruhi motivasi yang pada akhimya

akan mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua atau Second Language

Acquisition-SLA. Sikap dibagi menjadi dua, yaitu sikap positif dan negative

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh John Oller dan rekan-rekannya

menunjukkan bahwa sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa

penduduk asli, dan kelompok bahasa target mempertinggi kecakapan atau

penguasaan berbahasa seseorang dan akan berpeluang lebih sukses dalam

pembelajaran suatu bahasa. Terkadang orang yang mempelajari bahasa kedua

yang mempunyai sikap negatif terhadap diri sendiri, bahasa target, dan

kebudayaan yang melatarbelakangi bahasa target akan mempersulit dalam

penguasaan serta pengetahuan tentang bahasa tersebut. Sikap negatif ini dapat

diubah dengan seringnya melihat kenyataan. Salah satu contohnya dengan

-8-
berjumpa dengan orang-orang dari kebudayaan lain, sehingga akan memperoleh

pengetahuan secara langsung.

Guru pembimbing bahasa kedua juga dapat membantu siswa untuk

menekan atau mengubah sikap negatif dengan cara memberikan keterangan yang

benar tentang mitos-mitos yang ada pada budaya lain, yang tentu saja berbeda

dengan budaya siswa yang belajar bahasa kedua. Siswa yang belajar bahasa kedua

diarahkan untuk menerima, menghormati, dan menghargai kebudayaan yang

berbeda-beda. Sehingga diharapakan dengan adanya penjelasan dari guru

pembimbing akan membantu siswa untuk memiliki sikap yang positif terhadap

pembelajaran bahasa kedua.

2.4 Pemerolehan Budaya Kedua

Pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan dengan pembelajaran

budaya kedua. Robinson Stuart dan Nokon mempertemukan beberapa pespektif

tentang pembelajaran budaya kedua, mereka mengomentari gagasan yang

menyebut bahwa pembelajaran budaya adalah perjalanan dengan karpet merah

menuju budaya lain, yang teraih sebagai produk samping dari pelatihan bahasa

adalah konsesi yang keliru.

Banyak murid di kelas bahasa asing yang mempelajari bahasa bahasa itu

dengan sedikit atau tidak ada pengertian sama sekali tentang kedalaman norma

dan pola budaya dari orang-orang yang berbicara pada bahasa itu. Perspektif lain

adalah gagasan bahwa sebuah kurikulum bahasa asing itu bisa menghadirkan

budaya fakta yang dikonsumsi secara kognitif, oleh murid tanpa interaksi yang

memadai dengan budaya itu. Dengan meminggirkan perspektif-perspektif tersebut

karena tidak efektif dan salah pengertian. Robinson Stuart dan Nokon

menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya

-9-
sebagai “sebuah proses, yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsir, merasa,

hidup di dunia… dan berhubungan dengan tempat di mana seseorang berada dan

dengan siapa seorang berjumpa”.

Berdasarkan pendapat itu, Brown menyimpulkan bahwa pembelajaran

bahasa adalah sebuah proses penciptaan makna bersama perwakilan-perwakilan

budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung

selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa yang berlangsung selama bertahun-

tahun pembelajaran bahasa, dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran,

perasaan, dan tindakan seseorang. Dalam proses ini akan menimbulkan akulturasi

budaya.

Budaya adalah bagian yang tertanam sangat dalam dari keberadaan kita

sebagai manusia, tetapi bahasa -cara-cara berkomunikasi di antara anggota-

anggota seluruh budaya- adalah ekspresi yang paling terlihat dan tersedia dari

budaya itu. Maka, cara pandang, identiras diri, dan sistem berpikir, bertindak,

merasa, dan berkomunikasi bisa terusik oleh kontak dengan budaya lain.

Kadang gangguan tersebut sedemikian berat, sehingga seseorang

mengalami gegar budaya. Gegar budaya merujuk kepada fenomena yang

berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic dan krisis psikologis yang

dalam. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan, marah,

bermusuhan, bimbang, frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah, dan

bahkan sakit fisik. Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat dunia baru

dengan perasaan sengit dan berubah-ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah

kepada orang lain yang tak memahami mereka. Dari kasus yang didapatkan dalam

penelitian mengenai orang yang mengalami gegar budaya, dapat memberi

pandangan baru bahwa orang-orang yang berada dalam suatu budaya kedua

-10-
awalnya mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan yang eksotis.

Sepanjang mereka bisa secara perceptual menyaring lingkungan sekitar mereka

dan menginternalisasi lingkungan itu dalam pandangan mereka sendiri, mereka

merasa nyaman. Begitu kebaruan ini luntur dan kontra diksi yang bertumpuk

mengganggu pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdis orientasi.

Lazim menggambarkan menggambarkan gegar budaya sebagai yang kedua

dari empat tahap beruntun pemerolehan budaya:

a. Tahap 1 adalah kegembiraan dan euphoria karena kebaruan lingkungan

sekitar

b. Tahap 2 -gegar budaya- muncul ketika merasakan makin bayak gangguan

masuk dari perbedaan budaya ke dalam bayangan mereka akan diri sendiri

dan rasa aman. Dalam tahap ini orang-orang mengandalkan dan mencari

dukungan dari orang-orang sebangsa di budaya kedua, menghibur diri dengan

mengeluh tentang adat dan kondisi lokal, berusaha lari dari kesengsaraan ini.

c. Tahap 3 adalah salah satu dari pemulihan bertahap dan pada awalnya tentatif

dan terombang-ambing. Tahap ini di cirikan oleh apa yang disebutkan Larson

dan Smalley “stress budaya”: beberapa masalah akulturasi terpecahkan

sementara masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu. Tetapi ada kemajuan

umum, lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima perbedaan-perbedaan

di sekitar mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan mereka lebih

berempati pada orang lain di budaya kedua.

d. Tahap 4 mewakili pemulihan hampir penuh dan sepenuhnya, baik asimilasi

maupun adaptasi, penerimaan budaya dan kepercayaan diri baru dalam orang

“baru” yang sudah berkembang dalam budaya ini.

-11-
Karya Wallace Lambert tentang sikap-sikap dalam pembelajaran

bahasatentang sikap-sikap dalam pembelajaran bahasa kedua sering merujuk

kepada konsep Durkheim tentang anomi-perasaan ketidak pastian sosial atau

ketidakpuasan sebagai sebuah aspek signifikan hubungan antara pembelajaran

bahasa dan sikap terhadap budaya asing. Saat orang mulai kehilangan ikatan

dengan budaya asli mereka dan beradaptasi dengan budaya kedua, mereka

mengalami perasaan gusar atau menyesal, bercampur dengan harap-harap cemas

memasuki sebuah kelompok baru. Anomi mungkin bisa digambarkan sebagai

tahap ketiga akulturasi, perasaan tak berumah, ketika orang tak merasa lagi tak

punya ikatan kuat dengan budaya aslinya dan belum sepenuhnya beradaptasi

dengan budaya kedua.

Penelitain Lambert mendukung pandangan bahwa dosis terkuat anomi

terjadi ketika secara linguistik seseorang mulai “menguasai” bahasa asing. Dalam

studi Lambert, ketika seorang Kanada berbahasa inggris mulai menjadi begitu

terampil dalam bahasa Prancis sehingga mulai “berpikir” dalam bahasa Prancis

bahkan bermimpi dalam bahasa Prancis, perasaan anomi tercatat tinggi. Bagi

subjek Lambert interaksi antara anomi dan keterampilan yang meningkat dalam

bahasa kadang menggiring orang untuk berbalik atau “mundur” ke bahasa Inggris

untuk mencari situasi-situasi dimana mereka bisa bicara bahasa Inggris. Dorongan

semacam ini bertimbal-balik dengan ketentatifan tahap ketiga akulturasi kembali

sesaat ke mekanisme pelarian yang diperoleh dalam tahap awal gegar budaya.

Baru ketika orang itu masuk penuh ke tahap ketiga, perasaan anomi pembalajar

“sudah melompati rintangan” dalam transisi menuju adaptasi.

Gegar budaya akulturasi tidak harus digambarkan sebagai sebuah titik

ketika para pembelajar adalah korban tak sengaja dan tanpa daya dari keadaan.

-12-
Peter Adler, mencatat bahwa gegar budaya, sekalipun pasti mempunyai

manifestasi kritis, juga bisa dilihat lebih positif sebagai sebuah pengalaman

mendalam pembelajaran lintas budaya. Ia merupakan satu rangkaian situasi atau

lingkungan yang melibatkan komunikasi antar budaya di mana seseorang,

sebagai hasil pengalaman, menjadi sadar akan pertumbuhan, pembelajaran, dan

perubahannya sendiri. Sebagai hasil gegar budaya, orang tersebut memperoleh

perspektif baru atas dirinya sendiri, dan menjadi paham bahwa identitasnya

sendiri penting untuknya. Selain itu, pengalaman lintas budaya berlangsung ketika

seseorang berhadapan dengan sebuah budaya yang berbeda dan sebagai hasilnya:

a. Memeriksa sampai diman ia terpengaruh oleh budayanya sendiri

b. Memahami nilai, sikap, dan pembawaan orang lain yang bersumber dari

budaya.

2.5 Jarak Sosial

Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk

menjelaskan tempat pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua.

Jarak sosial merujuk kepada kedekatan kognitif dan afektif dari dua budaya yang

bertemu dalam diri sesorang. Jarak jelas dipakai sebagai metafora untuk

menunjukkan ketidakmiripan antara kedua budaya. Pada tataran yang superficial

orang Amerika Serikat mirip secara budaya dengan orang Kanada, semantara

penduduk asli AS dan China, jika jika dibandingkan, relatif tidak serupa. Kita bisa

bilang bahwa jarak sosial kasus yang belakangan melampaui yang sebelumnya.

John Schumann menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-

parameter berikut:

-13-
a. Dominasi. Dalam kaitannya dengan BS (bahasa sasaran), apakah kelompok

B2 (pebelajar bahasa kedua) secara politik, budaya, teknis, atau ekonomi,

dominan, tak dominan, atau bawahan?

b. Integrasi. Apakah pola integrasi B2 berupa asimilasi, akulturasi, atau

preservasi? Seperti apa derajat penutupan diri kelompok B2 –terpisahkan

identitasnya dari kelompok lian di sekitarnya?

c. Kekohesifan. Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran

kelompok B2?

d. Keserasian apakah budaya dari dua kelompok itu serasi –sistem nilai dan

keyakinan mereka mirip? Seperti apa sikap timbale balik kedua kelompok?

e. Kepermanenan. Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa

sasaran?

Schumann menggunakan faktor-faktor di atas untuk menggambarkan secara

hipotesis pembelajaran bahasa yang baik dan buruk, dan mengilustrasikan tiap

situasi dengan dua konteks lintas budaya yang aktual. Dua hipotesis situasi

pembelajaran bahasa yang “buruk” darinya:

a. Kelompok BS melihat kelompok B2 sebagai dominan dan kelompok B2

melihat dirinya dengan cara yang sama. Kedua kelompok menginginkan

preservasi dan penutupan diri tinggi bagi kelompok B2, dan kelompok B2

kohesif sekaligus besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok saling bersikap

negative, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya untuk waktu

singkat.

b. Situasi buruk kedua memiliki semua karakteristik yang pertama kecuali

dalam kasus ini, kelompok B2 memandang dirinya bawahan dan dianggap

bawahan oleh kelompok BS.

-14-
Situasi pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang Amerika yang

tinggal Riyadh, Arab Saudi. Situasi kedua adalah gambaran Indian Navajo yang

tinggal di wilayah barat Amerika Serikat. Situasi pembelajaan yang “baik”,

menurut model Schumann adalah situasi di mana kelompok B2 tidak dominan

dalam hubungannya dengan kelompok BS. Kedua kelompok menginginkan

asimilasi (atau setidaknya akulturasi) uuntuk kelompook B2, penutupan diri yang

rendah adalah cita-cita kedua kelompok, kedua budaya serasi, kelompok B2 kecil

dan tidak kohesif, kedua kelompok salaing memiliki sikap positif, dan kelompok

B2 berniat tinggal di wilayah BS dalam waktu yang lama.

Hipotesis Schumann adalah makin besar jarak sosial antara dua budaya,

makin besar kesulitan yang akan ditemui pembelajar saat belajar bahasa kedua,

dan sebaliknya, makain kecil jarak sosial (solidaritas sosial yang lebih besar

antara dua budaya), makin baik situasi pembelajaran bahasanya.

Salah satu kesulitan dalam hipotesis Schumann tentang jarak sosial adalah

pengukuran jarak sosial aktual. Bagaimana orang dapat bisa menentukan derajat

jarak sosial? Dengan cara apa? Dan bagaimancara-cara itu dikuantifikasikan

untuk perbandingan jarak relatif? Sampai hari ini pengertian ini masih tetap

merupakan fenomena yang didefenisikan secara agak subjektif yang, seperti

empati, harga diri, dan banyak pengertian psikologis lain, sulit didefenisikan

walaupun orang bisa secara intuitif menangkap pengertian yang dimaksud.

William Acton mengajukan solusi untuk dilema tersebut. Ia merancang

ukuran jarak sosial yang dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak aktual antara

budaya-budaya tidak secara khusus relevan mengingat apa yang dilihat

pembelajarlah yang membentuk realitas mereka sendiri. Kita sudah mencatat

bahwa manusia mencerap lingkungan budaya melalui saringan dan tabir

-15-
pandangan dunia mereka sendiri dan kemudian bertindak di atas persepsi itu

seberapa pun bisanya. Menurut Acton, ketika pembelajar menemui budaya baru,

proses akulturasi mereka adalah sebuah factor bagaimana mereka melihat budaya

mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya bahasa sasaran, dan

sebaliknya.

Dengan meminta merespon tiga dimensi jarak, Acton merancang pengkuran

jarak sosial yang dipahami -Kuesioner Perbedaan Nyata dalam Sikap atau

Profesed Difference In Attitude Questionnare (PDAQ)- yang memperlihatkan

karakter pembelajaran yang “baik” atau berhasil (sebagaimana yang diukur

dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang mengagumkan. Pada

dasarnya PDAQ meminta pembelajar mengkur perbedaan sikap belajar mereka

terhadap berbagai konsep pada tiga dimensi:

a. Jarak (perbedaan) antara mereka sendiri dan orang sebangsa secara umum;

b. Jarak antara mereka sendiri dan anggota budaya secara umum;

c. Jarak antara orang yang sebangsa mereka dan anggota budaya sasaran.

Dengan teknik differensial semantic, skor tiga jarak itu dihitung untuk tiap-

tiap dimensi. Acton mendapati bahwa dalam kasus pembelajar Bahasa Inggris

yang sudah berada di Amerika Serikat selama empat bulan, ada rasio optimal

pada jarak sosial yang dipahami (di antara tiga skor) yang menunjukkan

pembelajar bahasa yang “baik”. Jika pembelajar melihat mereka sendiri terlalu

dekat atau terlalu berjarak dengan dengan budaya sasaran ataupun budaya asli,

mereka masuk ke kategori pembelajar bahasa yang “buruk” sebagaimana diukur

dengan tes kecakapan standar. Impllikasinya adalah bahwa pembelajar bahasa

yang berhasil melihat diri mereka menjaga jarak antara diri mereka dan kedua

budaya. Tidak mengejutkan bahwa PDAQ Action tak memprediksi keberhasilan

-16-
bahasa sebab kita tahu tidak ada instrumen memadai untuk memprediksi

keberhasilan bahasa atau menaksir bakat bahasa. Namun, PDAQ betul-betul

menjabarkan secara empiris, berkenaan dengan yang bisa dihitung, seluruh

hubungan antara jarak sosial dan pemerolehan bahasa kedua.

Teori Acton mengenai jarak sosial optimal yang bisa dipahami mendukung

pendapat Lambert bahwa penguasaan bahasa asing sejalan dengan perasaan

anomi atau tak berumah, ketika pembelajar sudah bergerak menjauhi budaya asli

mereka tetapi belum sepenuhnya berasimilasi atau menyesuaikan diri dengan

budaya sasaran. Lebih penting, model Acton mendekatkan kita pada sebuah

pemahaman gegar budaya dan hubungan akulturasi dengan pembelajaran bahasa

dengan memasok sebuah puzzle. Jika kita menggabungkan penelitian Acton dan

Lambert, sebuah hipotesis yang menarik muncul yaitu, bahwa penguasaan atau

kefasihan dalam bahasa kedua (di dalam budaya kedua) terjadi sekitar awal tahap

ketiga atau pemulihan-akulturasi. Implikasi hipotesis semacam itu adalah bahwa

penguasaan mungkin tidak terjadi secara efektif sebelum tahap itu, atau

kemungkinan besar bahwa, si pembelajar tak akan pernah berhasil dalam

penguasaan bahasa itu jika mereka melaju melampaui awal tahap ke 3 tanpa

menuntaskan penguasaan linguistik itu. Tahap 3 mungkin tak hanya

menghadirkan jarak optimal tetapi juga tegangan kognitif dan afektif optimal

untuk menghasilkan tekanan yang dibutuhkan guna memperoleh bahasa, tekanan

yang tak membuat kewalahan (seperti gegar budaya tipikal dari tahap 2) ataupun

terlalu lemah (yang akan ditemui di tahap 4, adaptasi/asimilasi). Penguasaan

bahasa tahap 3, pada gilirannya, akan muncul sebagai instrumen untuk melaju

secara psikologis melalui tahap 3 dan akhirnya ke tahap 4.

-17-
Menurut model jarak optimal (yang dikembangkan oleh Brown) dari

perolehan bahasa kedua ini, seorang dewasa yang gagal menguasai bahasa kedua

di sebuah budaya kedua mungkin karena berbagai alasan telah gagal untuk

menyelaraskan perkembangan linguitik dan budaya. Orang dewasa yang sudah

mendapatkan cara-cara nonlinguistik untuk mengatasi masalah di budaya asli

akan melewati tahap 3 dan masuk ke tahap 4 dengan terlalu banyak bentuk bahasa

yang terformilkan, tak pernah mencapai penguasaan. Mereka tidak punya alasan

meraih penguasaan sebab mereka telah belajar mengatasi masalah tanpa

pengetahuan bahasa yang canggih. Mereka mungkin sudah memperoleh fungsi-

fungsi bahasa kedua dalam jumlah memadai tanpa memperoleh bentuk yang yang

tepat. Apa yang disarankan model jarak optimal ini mungkin bisa dilihat sebagai

hipotesis periode kritis berdsarkan budaya, yakni sebuah periode kritis yang

independen terhadap usia pembelajar. Meskipun model jarak optimal lebih tepat

diterapkan kepada pembelajar dewasa, ia juga bisa punya relevansi untuk anak-

anak, sekalipun tidak sekritis untuk orang dewasa. Karena mereka belum

bertahun-tahun membangun pandangan dunia yang terkait budaya (atau

pandangan tentang mereka sendiri), anak-anak memiliki saingan perspektif lebih

sedikit untuk menyesuaikan diri lagi sehingga bisa melampaui tahap-tahap

akulturasi lebih cepat. Namun kurang lebih mereka bergerak melewati tahap-

tahap yang sama, dan masuk akal membuat hipotesis bahwa tahapan pemulihan

mereka juga merupakan periode kritis pemerolehan.

Sejumlah bukti penelitian telah dikumpulkan untuk mendukung gagasan

tentang jarak optimal. Day mendapat semacam bukti pengamatan mengenai

lompatan kritis dalam kelancaran bahsa dan anomi budaya yang terjadi secara

bersamaan. Dan Svanes mendapati bahwa mahasiswa asing yang belajar di

-18-
Norwegia sepertinya meraih kemahiran yang lebih tinggi jika mereka mempunyai

“sikap berimbang dan kritis kepada orang-orang asli Norwegia“ sebagai lawan

dari penghormatan tak kritis kepada semua aspek budaya sasaran. Testimoni

informal banyaak guru ESL di AS juga membenarkan kemungkinan terjadinya

tegangan motivasional yang dihaasilkan melalui kebutuhan “bergerak seiring”

dalam proses adaptasi yang kadang panjang dan melelahkan di tanah air baru.

Para guru dalam konteks yang serupa bisa memetik manfaat dari penilaian

saksama tahap budaya terkini si pembelajar dengan perhatian yang pas bagi

periode optimal yang memungkinkan bagi penguasaan bahasa.

2.6 Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya

Sekalipun kebanyakan pembelajar betul-betul dapat menemukan manfaat

dalam pengalaman pembelajaran atau tinggal di wilayah lintas budaya, sejumlah

orang mengalami kendala psikologis dan efek menghambat lainnya dari budaya

kedua. Stevick mewanti-wanti bahwa para pembelajar bisa merasakan

keterasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua, terasing dari orang-orang

di budaya kapung halaman mereka, budaya sasaran, dan diri mereka sendiri. Saat

mengajar sebuah budaya asing, kita perlu peka pada kerapuhan murid dengan

menggunakan teknik yang meningkatkan pemahaman budaya.

Banyak studi penelitian terbaru telah memperlihatkan efek positif

penyertaan kesadaran budaya di kelas-kelas bahasa. Sauvignon dan Sysoyev

mempromosikan kompetensi sosial budaya pada pembelajar bahasa Inggris

mereka di Rusia dengan memperkenalkan strategi-strategi sosial budaya seperti

mengawali kontak, mengantisipasi kesalahanpahaman budaya, dan menggunakan

diplomasi dalam diskusi. Wright mendapati bahwa mengajar bahasa Jerman

sebagai bahasa asing, dengan menggunakan tugas berorientasi proses, dapat

-19-
memajukan kemampuan adaptasi budaya. Abrams sukses menggunakan

portofolio budaya berdasarkan internet untuk mempromosikan kesadaran budaya

dan melucuti stereotipe budaya. Wawancara-wawancara dengan penutur asli

bahasa sasaran membantu pembelajar, dalam studi Bateman, untuk

mengembangkan sikap lebih positif kepada budaya sasaran. Choi menggunakan

drama sebagai “gerbang” menuju kesadaran antarbudaya dan pemahaman bagi

mahasiswa Koreanya yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.

Para guru yang menerapkan pembelajaran budaya dengan model

eksperimental atau proses di ruang kelas mampu membantu para murid mengubah

pengalaman semacam itu untuk membantu para murid mengubah pengalaman

semacam itu untuk meningkatkan kesadaran budaya dan kepahaman diri.

Donahue dan Parsons memeriksa penggunaan role play di kelas ESL sebagai cara

membantu murid mengatasi “kelelahan” budaya; role play mendukung proses

dialog lintas budaya sembari menyediakan kesempatan untuk komunikasi lisan.

Sejumlah materi dan teknik lain -bacaan, film, permainan stimulasi, assimilator

budaya, “kapsul budaya”, dan “kulturgram”- tersedia bagi guru bahasa untuk

membantu mereka dalam proses akulturasi di ruang kelas.

Sejumlah cara untuk untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam

standar norma digambarkan dalam karya Geert Hofstedeyang menggunakan

empat kategori konseptual untuk mempelajari norma-norma budaya lima puluh

Negara berbeda. Berikut penjabaran kategori masing-masing:

a. Individulisme adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari

kolektivisme (dipakai di sini dalam pengertian antropologis, bukan politis).

Budaya individualisme mengasumsikan bahwa setiap orang terutama

menjaga kepentingannya sendiri dan kepentingan keluarga intinya (suami,

-20-
istri, anak-anak). Budaya kolektivitas mengasumsikan bahwa setiap orang,

masuk ke salah satu atau lebih “kelompok dalam” (apakah perkerabatan, klan,

atau organisasi) melindungi kepentingan anggota-anggotanya, tetapi

mengharap loyalitas permanen sebagai imbalannya. Masyarakat kolektifitas

sangat menyatu: masyarakat individualis menyatu secara longgar.

b. Jarak kekuasaan adalah sebuah karakteristik sebuah budaya yang

mendefinisikan sampai sejauh mana orang-orang yang kurang berdaya dalam

sebuah masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan

menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada di dalam setiap budaya, tetapi

derajat bisa ditoleransinya bervariasi antara satu budaya dan lainnya.

Menurut Hofstede: semua masyarakat tak setara, tetapi beberapa lebih tak

setara disbanding yang lannya.

c. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) adalah karakteristik

sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh mana orang-orang di

dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh situasi-situasi yang mereka lihat

sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga –situasi-situasi yang yang

kemudian mereka coba hindari dengan menegakkan aturan-aturan perilaku

dan keyakinan mutlak. Budaya-budaya dengan penghindaran kuat terhadap

ketidakpastian adalah budaya yang aktif, agresif, emosional, impulsive,

mencari keamanan, dan tidak toleran; budaya-budaya dengan penghindaran

lemah terhadap ketidak pastian adalah adalah budaya yang kontemplatif,

kurang agresif, tak emosional, santai, menerima resiko personal, dan relatif

toleran.

d. Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari

femininitas. Keduanya berbeda dalam peran-peran sosiaal terkait dengan

-21-
fakta biologis jenis kelamin, dan dalam hal-hal khusus peran sosial yang

disandangkan kepada laki-laki. Budaya yang dilabeli “maskulin” berupaya

untuk membuat perbedaan maksimal antara apa yang seharusnya dilakukan

oleh laki-laki dan perempuan. Mereka mengaharapkan laki-laki bernyali,

ambisius, dan gigih mendapatkan sukses materi dan menghormati apapun

yang besar, kuat, dan cepat. Mereka mengharapkan perempuan meladeni dan

memperhatikan kualitas non materi kehidupan, anak-anak, dan kaum lemah.

Budaya-budaya feminin, di sisi lain, merumuskan secara relatif tumpang

tindih peran sosial untuk kedua jenis kelamin, di mana laki-laki tak perlu

ambisius atau kompetitif, tetapi boleh mengejar kualitas hidup yang berbeda

selain sukses materi; laki-laki boleh menghormati apa pun yang kecil, lemah,

dan lambat. Maka, di budaya maskulin nilai-nilai politis/organisatoris

menekankan sukses materi dan kebernyalian; dalam budaya feminin, mereka

menekankan jenis lain kualitas hidup, hubungan antar personal, dan perhatian

kepada yang lemah.

2.7 Bahasa, Pemikiran, dan Budaya

Pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman

sistem bahasa dan adanya sistem bahasa dan adanya sistem universal yang

dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Struktur bahasa menentukan

struktur pikiran. Struktur pikiran dibentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur

bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai

kemudian untuk berbahasa. Menurut Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa jalan

pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh

struktur bahasanya, kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan

-22-
pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang

memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda.

Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas.

Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi

secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu

membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan,

sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam

masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan

hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan

dialami penuturnya, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut

menentukan wajah dari bahasa itu.

Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat

berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa

adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi

ujaran) yang bersifat arbitrer.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,

abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial

manusia.

Berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam

Suriasumantri) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini

berlangsung melalui proses Penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi

yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.

Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang hubungan bahasa dan berpikir,

di antaranya (Abdul Chaer):

-23-
Bahasa, pikiran, dan budaya memiliki keterkaitan yang saling

mempengaruhi (resiprokal). Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan

atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf). Menurutnya,

telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat “didirikan” di atas tabiat-

tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah tidak ada dua bahasa yang sama

sehingga bisa mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap Bahasa satu

masyarakat telah mendirikan satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu.

Bahasa juga mempunyai hubungan dengan pelestarian kebudayaan, yaitu

hubungan subordinatif dan koordinatif. Selain itu, ada beberapa klasifikasi bahasa,

di antaranya klasifikasi berdasarkan klasifikasi genetis, klasifikasi tipologis,

klasifikasi areal, dan klasifikasi sosiolinguistik.

Kebudayaan dalam lingkar komunikasi adalah keseluruhan system

komunikasi yang mengikat dan memungkinkan bekerjanya suatu himpunan

manusia (masyarakat), atau sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang

memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Bahasa

sebagai subsistem kebudayaan. Bahasa adalah faktor yang memungkinkan

terbentuknya kebudayaan. Bahasa adalah Sine qua non (yang mesti ada) bagi

kebudayaan dan masyarakat manusia. Bahasa adalah kunci bagi pengertian yang

mendalam atas suatu budaya atau ciri yang paling kuat dari kepribadian sosial

seseorang (teori Lindgrent).

-24-
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bahasa sebagai alat komunikasi berkaitan erat dengan budaya. Jika

dikaitkan dengan masyarakat maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional.

Pembelajaran bahasa kedua melibatkan pemerolehan identitas kedua dalam

pembelajaran budaya (akulturasi).

Faktor-faktor social budaya berkaitan erat dalam proses pembelajaran

bahasa kedua dan bahasa asing. Dengan mengenali hubungan yang kompleks

tersebut guru bahasa dapat merancang perlakuan apa yang oocok terhadap murid-

muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun teknik. Guru juga dapat

memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami budaya

kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut

dengan baik dan mencapai tingkat mahir.

3.2 Saran

1. Sebagai guru/dosen dapat membantu para siswa agar dapat menghayati

bahwa lingkungan sekolah adalah pusat kebudayaan, bekal-bekal untuk

menciptakan lingkungan sekolah pada tempat mereka bekerja nanti, dapat

juga merupakan pusat kebudayaan yang bermanfaat bagi lingkungan

sosialnya dalam proses pembelajaran bahasa

2. Agar hidup bermasyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya maka

sudah seharusnya kita sebagai pemerintah, sekolah,orang tua siswa, dan

masyarakat secara bersama-sama bertanggung jawab atas lancarnya

pelaksanaan pendidikan dengan memerhatikan faktor-faktor sosial budaya.

-25-

Anda mungkin juga menyukai