Anda di halaman 1dari 15

Bahasa dan Kelas Sosial

Posted by Sholekhaozora on 6 September 2014

A. Pengertian Bahasa dan Kelas Sosial

Menurut Sumarsono (2000:43), kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pendidikan, pekerjaan,
kedudukan, kasta, dan sebagainya.

Tangson mengatakan bahwa dalam setiap aspek kelas sosial biasanya memiliki karakter sosial dan
variasi bahasa tertentu. Kelas sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat ke dalam suatu
tingkatan status kelas yang memiliki perbedaan sehingga para anggota setiap kelas secara relatif
memiliki status yang sama, dan para anggota kelas lain mempunyai status yang lebih tinggi atau
lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang
rendah sampai yang tinggi.

Kelas sosial ialah suatu strata atau lapisan sekelompok masyarakat yang berkedudukan sama
dalam rangkaian kesatuan status sosial. Dalam masyarakat terdapat orang-orang yang memiliki
kedudukan sosial yang sama. Mereka yang memiliki kedudukan sosial sama akan berada pada
suatu lapisan yang sama pula.

Berdasarkan beberapa pengertian kelas sosial di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelas sosial
merupakan penggolongan/pembedaan kedudukan antar masyarakat ke dalam hierarki atau kelas-
kelas tertentu yang dalam tiap anggota sekelasnya didasari atas kesamaan kedudukan kekuasaan,
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.

B. Bahasa dan Kelas Sosial

Ada ketertarikan tertentu pada proses sosialisasi yakni bagaimana seseorang memperoleh suatu
identitas budaya yang khusus dan bagaimana ia memberi respon terhadap identitas tersebut.
Bahasa memiliki hubungan dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Selain itu bahasa juga
menentukan cara penutur bahasa memandang dunia Bernstein (dalam Ronald, 1987). Pengalaman
bahasa penutur yang relatif akan berpengaruh pada kehidupannya. Adanya variasi bahasa yang
digunakan penutur bahasa dalam berkomunikasi disebabkan antar sesama anggotanya atau dengan
anggota yang lain.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan
orang lain demi kelangsungan hidupnya. Manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
dalam berinteraksi dengan orang lain. Bahasa juga merupakan identitas kelompok yang memiliki
ciri-ciri tertentu yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa kelompok lain.

Sosiolinguistik merupakan bagian dari ilmu kebahasaan yang mengkaji fenomena masyarakat.
Fisman menyatakan bahwa sosiolinguistik mempunyai komponen utama yakni ciri dan fungsi
bahasa. Fungsi bahasa yang dimaksudkan ialah fungsi sosial (regulatory) sebagai pembentuk
arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik. Adapun fungsi imajinatif untuk
meneroka alam fantasi. Selain itu ada juga fungsi emosi untuk mengungkapkan suasana hati
(marah, kecewa, apresiasi, sedih, gembira, dan sebagainya).

Kelas sosial berbeda dengan kasta, meskipun kasta bisa disebut sebagai contoh kelas sosial yang
ada di dalam masyarakat. Bedanya hanya dari segi sifat keterbukaan, yang mana kita mengenal
kelas sosial bersifat terbuka sedangkan kasta bersifat tertutup Kelas sosial memungkinkan
seseorang yang berada di tingkat kelas buruh jika ia bekerja dengan tekun suatu hari dapat
berpindah kelas sosial menjadi di tingkat atas. Berbeda halnya jika seseorang berada dalam
tingkatan kasta, seandainya ia terlahir pada kasta brahmana maka mustahil ia akan menjadi
golongan kasta sudra atau waisya (Sumarsono, 2000:43).

1. Aksen dan Dialek

* Variasi Regional dan Variasi Sosial

Semua penutur memiliki aksen dan dialek. Aksen merupakan bentuk ciri khas berdasarkan
pengucapan, sementara dialek ialah bentuk gaya tutur berdasarkan perbedaan kosa kata dan tata
bahasa.

Gaya dan ciri bahasa tertentu seringkali dihubungkan dengan kelompok sosial tertentu, biasanya
orang berharap anggota dari kelompok sosial ini menggunakan gaya atau ciri bicara yang sesuai
dengan status mereka.

Orang-orang yang berasal dari kelas sosial tinggi dianggap harus secara otomatis menggunakan
varian bahasa yang bergengsi juga, yaitu varian yang oleh masyarakat dianggap
sebagai bahasanya orang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi.

Variasi regional merupakan variasi yang menyeluruh atau tidak begitu terpengaruh dengan adanya
peran kelas sosial. Sedangkan variasi sosial ialah variasi yang disebabkan karena pengaruh kelas
sosial, contohnya penggunaan variasi bahasa yang bergengsi bagi masyarakat kelas atas.

Hubungan antara variasi regional dengan variasi sosial serta hubungan antara varian-varian
linguistik dengan kelas sosial hanya berbentuk sekadar keyakinan yang didasari pengalaman
sehari-hari (sikap terhadap norma-norma linguistik) atau dapat pula didasarkan lewat penelitian
handal terhadap kelas sosial penutur yang dihitung menggunakan berbagai metode.

* Bukti Tentang Informasi Sosial

Informasi sosial bisa didapatkan dengan melihat pada aksen, pendapat ini adalah sebuah pendapat
yang sudah banyak dianut dalam bidang sastra. Kita bisa membaca karya-karya sastra kanonikal
(karya orang terkenal) dan mendapati bagaimana posisi sosial dari sebuah tokoh tertentu dalam
karya itu ditunjukkan lewat jenis aksen atau dialek yang mereka gunakan.
Perbedaan gaya bicara digunakan untuk menggambarkan informasi tentang perbedaan posisi dan
kelas sosial. Ada jenis varian: varian bergengsi dan varian rendahan. Bahasa dan segala
variasinya memiliki hubungan dengan kelas sosial suatu masyarakat.

Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner, kajiannya tidak dapat dilepaskan dari disiplin ilmu
lain, dalam hal ini yaitu sosiologi. Melalui kajian sosiolinguistik kita dapat mengetahui variasi
bahasa sekaligus kelas-kelas sosial suatu masyarakat. Salah satu faktor penyebab munculnya
variasi bahasa dalam sosioliungistik adalah faktor tempat.

Tempat berbahasa yang berbeda akan berpengaruh pada perbedaan pilihan kata yang digunakan.
Orang Sumatera tentu memiliki perbedaan dengan orang Jawa dalam hal pemilihan kata.
Masyarakat Asia tentu memiliki perbedaan pula dalam hal memilih kata dengan masyarakat di
Eropa dan Amerika.

Selain tempat, pendidikan juga mempengaruhi perbedaan dalam bertutur. Ada kecendrungan
bahwa pendidikan pemakai bahasa mempengaruhi tingkat kesukaran dan keunikan kata yang
digunakan. Tingkat pendidikan yang rendah cenderung menggunakan kata-kata umum daripada
bentuk-bentuk istilah yang sulit dipahami maknanya.

Bahasa yang digunakan oleh kelompok tertentu berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh
kelompok yang lain. Hal ini terlihat dari kelompok pedagang dan pembeli dan kelompok suster
sebagai pegawai rumah sakit misalnya. Kelompok pedagang dan pembeli menggunakan kata-kata
yang berkaitan, dengan perdagagang, kelompok perawat menggunakan kata-kata berkaitan dengan
istilah-istilah kesehatan. Jadi setiap penutur bahasa mempunyai variasi tertentu dalam
mengutarakan idenya.

2. Korelasi antara Bahasa dengan Kelas Sosial

Kelas sosial merupakan stratifikasi (perbedaan hierarki) antar manusia atau sekelompok orang
dalam masyarakat atau budaya, baik dari segi kekuasaan (politik), pendapatan (ekonomi),
kedudukan (derajat), pekerjaan (profesi), pendidikan, dan sebagainya.*

* Ragam Bahasa Kelas Sosial

Khususnya di Indonesia, kelas sosial sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi,
ragam bahasanya justru nonbaku. Salah satunya Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi
lafal mereka.

* Kelas Sosial dan Ragam Baku

Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal
(she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sufiks-s. kemudian diadakan penelitian
apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua
tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat
kelas sosial, yaitu:
 Kelas Menengah Tinggi (KMT)
 Kelas Menengah Atas (KMA)
 Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
 Kelas pekerja bawah (KPB)

3. Masalah dalam megidentifikasi kelas sosial

Konsep kelas sosial sulit untuk ditentukan secara pasti, disebabkan karena menentukan kriteria
penentu kelas sosial bukanlah hal yang mudah. Berbicara tentang kelas social, maka akan ada
pemilahan antara “atas”, “menengah”, dan “bawah”. Namun kita akan sulit dalam
mendefinisikan apa persisnya yang membedakan anggota dari kelas sosia yang satu dengan yang
lain.

Kriteria untuk mendefinisikan kelas sosial di antaranya adalah pendidikan, kekayaan, pekerjaan.

Wolfram dan Schilling-Estes, (1998:152) mengatakan bahwa pembedaan kelas sosial akan
didasari pada status dan kekuasaan, di mana status adalah besarnya rasa hormat yang diberikan
kepada orang dan kekuasaan adalah besarnya sumber daya sosial dan sumber daya material yang
bisa dikendalikan oleh seseorang, dan sekaligus kemampuan untuk membuat keputusan dan
memengaruhi kejadian.

4. Penelitian Terhadap Hubungan antara Bahasa dengan Kelas Sosial

Penelitian Labov (1966) terhadap variasi bahasa, bahwa kelas sosial ditentukan dengan kriteria
berupa tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Dari ketiga kriteria tersebut
ada empat kelas sosial yakni kelas bawah, kelas pekerja, kelas menengah bawah, dan kelas
menengah atas.

 William Labov: Klasifikasi sosial dari bunyi ucapan “r” di toko-toko swalayan di New
York City
 Peter Trudgil: Diferensiasi sosial untuk bahasa inggris di Norwich

Sumber:

Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Linguistik. Bandung: PT Refika Aditama

Pangaribuan, Tangson. Hubungan Variasi Bahasa dengan Kelompok

Sosial dan Pemakaian Bahasa. Medan: UNIMED

Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA

Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.
Wolfram, Walt dan Natalie Schilling-Estes. 1998. American English. Oxford: Blackwell
Publishing.

Bahasa dan Kelas Sosial


Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang
kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan
sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan
memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih
dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari
ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa
kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih
terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.

Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur
tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu
situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa
penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan
kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses
pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas
(contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil
belajar).

Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh
bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu
masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam
bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal
dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-
nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari
berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat
juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan
hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga
jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka
menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya
kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan
bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.

Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya
berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial
penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi
priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula
kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus
yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa
menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
*(sebagian resume dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.)
Bahasa dan Kelas Sosial

Published by Ummu Rayhan at 4:03 am under Sosiolinguistik Lanjut

Terjadinya penggunaan bahasa yang berbeda-beda dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
misalnya geografis, situasi, fungsional, usia, kelas sosial, dll. Perbedaan pemakaian bahasa yang
disebabkan oleh faktor kelas sosial memunculkan terjadinya variasi bahasa. Variasi ini muncul
akibat pengaruh gaya bicara akibat latar belakang sosial yang berbeda.

Perbedaan tuturan bisa saja terjadi karena pelafalan tiap daerah yang berbeda. Hal ini disebut
sebagai aksen regional. Jika perbedaannya disebabkan oleh tata bahasa dan kosakata yang
berbeda disebut dialek. Penyebaran dialek dapat terjadi secara regional dan secara sosial. Dialek
sosial memunculkan dialek bergengsi seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika. Baik buruknya
aksen dan dialek sangat dipengaruhi oleh stereotip terhadap kawasan dan orang yang tinggal di
tempat, varian itu digunakan. Aksen dan dialek ini memberikan bukti informasi sosial. Melalui
aksen memunculkan perbedaan posisi kelas sosial. Selain itu, Anwar (1984)[1] menambahkan
bahwa tidak jauh dari kajian dialektologi mengenai keanekaan dalam ragam bahasa itu buat
sosiolinguistik merupakan suatu kenyataan.

Terjadinya posisi kelas sosial yang berbeda memberikan pengaruh terhadap penggunaan bahasa.
Gaya bahasa dapat menunjukkan posisi kelas sosial. Jadi, kelas sosial memengaruhi penggunaan
bahasa. Contoh ada varian paling bergengsi, yaitu bahasa Inggris standar dan ada varian
pengucapan yang paling bergengsi, yaitu Received Pronuncie. Aksen kelas sosial tertinggi
tersebar bukan berdasarkan varian regional.

Untuk mendefiniskan kelas sosial agaknya rumit. Tinggi/rendah kelas sosial secara umum dapat
mengacu pada asumsi masyarakat. Asumsi tersebut berdasarkan kriteria kekayaan, orang tua,
pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dll. Namun adakalanya tingkatan asumsi ini berbeda
antarmanusia karena memiliki prioritas yang berbeda atas beberapa indikator tersebut. Secara
sederhana, kelas sosial dapat dilihat melalui kekayaan yang berasal dari gaji pekerjaan.

Beberapa penelitian menyatakan ada hubungan bahasa dan kelas sosial. Labov (1996)
menyatakan bahwa kriteria kelas sosial dapat ditentukan melalui tiga bagian, yaitu pendidikan,
pekerjaan, dan pendapatan. la meneliti posisi kelas sosial pada supermarket di New York City
pada supermarket yang memiliki pangsa pasar kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. la
menemukan terjadinya pemakaian bunyi ‘r’ secara postvocalic pada kelas atas dan
distigmatis pada kelas bawah. Sementara itu, pada tahun 1960-1970 Peter Trudgill melihat
adanya gaya bicara tertentu dari kaca mata faktor sosial. Hal ini pada akhirnya menciptakan
penggunaan gaya bahasa yang khas pada kelas sosial. la melihat penggunaan ‘-ing’ secara
stagnan pada kelas atas, sedangkan pada kelas bawah ‘-ing’ berubah menjadi -in’.

Dalam hal ini dikenal dua istilah, yaitu aksen dan dialek. Istilah aksen merujuk pada pengucapan.
Sementara dialek merujuk pada perbedaan tata bahasa dan kosakata (lexis). Dalam bahasa ucap,
sebuah dialek sering dikenali berdasarkan aksennya. Sehingga penutur yang menggunakan dialek
regional akan besar sekali kemungkinannya menggunakan aksen regional dari daerah yang sama.
Namun pada dasarnya, pendapat ini tidak serta merta demikian. Karena tidak semua dialek dan
aksen terbatas pada wilayah tertentu saja, melainkan melalui status sosial seseorang tersebut.

Sumarsono (2013)[2] menjelaskan bahwa ada dua teori dalam pembahasan ini, yaitu teori
Beirnstein dan Hipotesis Sapir-Whorf. Yang pertama, mengemukakan dua anggapan dasar yaitu
ada dua ragam bahasa penutur, kode terperinci dan kode terbatas. Yang kedua, mengemukakan
cara berpikir seseorang benar-benar ditentukan oleh bahasa.

Namun dalam hal ini, untuk konteks negara Indonesia, seperti kita ketahui bahwa Indonesia
melindungi seluruh etnis termasuk bahasa tidak mengenal minoritas dan mayoritas, dengannya
variasi bahasa yang muncul akibat kelas sosial tidak terlalu kentara. Sehingga, nampaknya yang
dijabarkan oleh Thomas-Wareing tidak berlaku di Indonesia. Di Indonesia variasi linguistik yang
membedakan terdapat pada ragam situasinya (formal-tidak formal) dan selalu berkaitan erat
dengan kesantunan yang begitu dijaga untuk mempertahankan posisi kekuasaan seseorang di
masyarakat, seperti berbicara pada teman tentu berbeda saat berbicara dengan guru, berbicara
pada saudara berbeda dengan berbicara dengan orang tua, berbicara dengan orang asing berbeda
dengan berbicara dengan sahabat.

Dewasa ini, variasi linguistik tidak lagi menjadi penanda mutlak dalam menentukan kelas
seseorang. Di Indonesia, saat ini supir taksi kualitas berbahasa ada yang baik seperti seorang
mahasiswa (dilihat dari kesantunan dan wawasan). Seorang anak kuli mampu mengenyam
pendidikan tinggi, sehingga bahasa yang dimilikinya pun sangat bagus. Justru, kondisi tersebut
terkadang terbalik yakni kebahasaan mahasiswa saat ini diragukan. Tidak semua mahasiswa
pandai berkomunikasi dan terlihat keintelektualannya.

[1] Anwar, Khaidir. Fungsi dan Peranan Bahasa; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Gadjah Mada
Press, 1984), hlm 23.

[2] Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA


VARIASI SOSIAL BAHASA:
KERAGAMAN BERDASAR
KELAS SOSIAL
 Leave a comment

oleh Agung Widiyantoro, S.Pd.

Bahasa hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Bahasa dapat berkembang sebab digunakan
oleh manusia sebagai penutur bahasa untuk kebutuhan berinteraksi dan berkomunikasi sesuai
dengan kepentingan. Kenyataannya masyarakat tidaklah tersusun atas unsur yang homogen
tetapi memiliki heterogenitas tinggi. Artinya, masyarakat sangat beragam baik dari segi agama,
status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, dan usia. Meskipun beaneka ragam, tuntutan
interaksi dan komunikasi antarkelompok berbeda tidak bisa dihindari sebab manusia adalah
makhluk sosial. Selanjutnya, interaksi dan komunikasi tersebut mengharuskan penggunaan
bahasa yang bermakna dan mudah dipahami antarpenutur dari kelompok berbeda. Tidak hanya
itu, kelompok-kelompok masyarakat pengguna bahasa sering menggunakan kekhususan bahasa
yang mewakili karakteristik kelompoknya. Kekhususan bahasa tersebut sering hanya diketahui
oleh pengguna bahasa dari kelompoknya saja sedang penutur dari kelompok lain tidak tahu.
Misalnya, bahasa-bahasa yang digunakan oleh anak remaja atau usia SMP & SMA terkadang
tidak dipahami orang dewasa. Sebab cenderung menggunakan kosakata khusus sesuai dengan
tingkat usia remaja.

BAHASA DAN KELAS SOSIAL

Bentuk-bentuk bahasa yang ada dalam masyarakat berdasar kacamata sosiolinguistik sangat
dipengaruhi oleh faktor sosial. Salah satunya adalah kelas sosial dalam masyarakat. Lalu, apa itu
kelas sosial? Sumarsono (2007: 43) menjelaskan bahwa kelas sosial (social class) mengacu pada
golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti
ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Di sisi lain, Thomas dan
Wareing (2004:144) mengatakan bahwa kelas sosial sulit untuk didefinisikan. Ia menambahkan
jika pembicaraan kelas sosial dikaitkan dengan tinggi dan rendahnya kelas, dapat diasumsikan
bahwa masyarakat dapat distratifikasi berdasarkan kelas. Artinya, anggota masyarakat dapat
dikelompokkan pada lapisan sosial tertentu berdasar pertimbangan kesamaan dan kesetaraan
yang menunjukkan lapisan sosial tinggi dan rendah. Secara umum dalam kelas sosial ini
dibicarakan masalah kelas tinggi, menengah, rendah atau kelas pekerja.

Pendapat Sumarsono (2007) dan Thomas & Wareing (2004)tidaklah berbeda jauh, hanya perlu
digarisbawahi persamaan kedua pendapat itu. Pada intinya, kelas sosial merupakan
pengelompokkan masyarakat yang memunyai persamaan dan kesetaraan pada lapisan dan
bidang-bidang tertentu. Akibatnya dikenal istilah kelas sosial buruh, kelas sosial pejabat, kelas
sosial terdidik dan tak terdidik, dan lain sebagainya. Namun perlu diperhatikan bahwa kelas
sosial bersifat terbuka yang memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu berpindahnya
seseorang dari kelas ke kelas. Selanjutnya, bagaimana kaitan antara bentuk-bentuk bahasa dan
kelas sosial? Informasi mengenai hal ini akan terjawab dengan penyajian hasil penelitian para
ahli berikut.

William Labov: the social stratification of ‘r’ in New York City department stores.

Labov adalah ahli sosiolinguistik Amerika, pada tahun 1962 Ia melakukan survei untuk
mengetahui hubungan antara kelas sosial dan variasi bahasa di Amerika Serikat, khususnya di
kota New York City. Penelitian ini didasarkan pada kriteria pendidikan, pekerjaan dan
penghasilan. Labov ingin menemukan apakah pelafalan fonem “r” membedakan kelas sosial
penutur. Lokasi penelitian itu adalah tiga supermarket yang telah dipilih dengan dasar kriteria
tertentu. Supermarket pertama kategori kelas sosial tinggi, supermarket kedua kategori kelas
sosial menengah, dan ketiga kategori kelas sosial rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa orang-orang yang berbelanja di supermarket kategori kelas sosial rendah jarang sekali
memunculkan pelafalan fonem ‘r’, sementara di dua supermarket lain frekuensi kemunculannya
sama atau lebih banyak daripada yang ada di supermarket ketiga. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa kehadiran dan ketidakhadiran lafal ‘r’ pada kata tertentu sangat berkaitan dengan kelas
sosial.

Peter Trudgill: Diferensiasi sosial penutur bahasa Inggris di Norwich.

Peter Trudgill seorang ahli sosiolinguistik di Inggris pada 1974 melakukan penelitian skala besar
di Norwich. Ia ingin menemukan apakah faktor sosial memainkan bagian pada pembicaraan
orang-orang di Norwich. Asumsi dasarnya adalah orang di kelas sosial tinggi lebih dekat pada
bentuk-bentuk prestige pada ujarannya. Penelitian Trudgill menggambarkan bahwa
posisi/kedudukan seseorang yang berada di kelas sosial tinggi semakin dekat dengan bentuk
bahasa prestige. Dengan kata lain, semakin formal situasi percakapan orang cenderung semakin
dekat dengan bahasa yang prestige. Atau dapat dikatakan, semakin rendah kelas sosial semakin
banyak penggunaan bahasa nonbaku yang ditemukan.

SIMPULAN

Di Indonesia fenomena seperti dua hasil penelitian di atas tergambar jelas. Orang-orang yang
berada di kelompok/golongan pekerjaan, pendidikan, dan ekonomi akan memiliki perbedaan
bentuk bahasa. Sebagai contoh, orang yang berlatar belakang pendidikan berbeda tentu akan
memiliki bahasa yang berbeda pula. Orang yang berpendidikan tinggi (Sarjana) akan mudah
menggunakan bentuk bahasa formal daripada orang berpendidikan rendah (tidak lulus SD/SD
saja). Begitu pula yang terjadi pada orang berlatar belakang pekerjaan berbeda. Misalnya orang
yang bekerja sebagai tukang becak cenderung menggunakan bahasa tidak formal, kasar, dan
kurang menjaga prestige. Sementara itu, orang yang pekerjaannya guru tentu tidak demikian.
Pada akhirnya, hasil penelitian Labov (1962) dan Trudgill (1974) memang menunjukkan fakta
bahwa kelas sosial berkaitan erat dengan bentuk-bentuk bahasa. Semakin prestige kelas sosial
semakin menggunakan bentuk bahasa yang standar/baku. Begitu pula sebaliknya.
William Labov, Penelitian tentang Kelas Sosial Pengguna Bahasa
Oleh Endah Ratna

Penelitian yang berperan penting dalam hubungan dengan kelas sosial, khususnya tentang
lapisan sosial ini adalah penelitian yang dilakukan oleh William Labov. Penelitian Labov (1966)
melalui Milroy dan Milroy (1998: 38) dan Sumarsono (2007: 49) dilakukan untuk meneliti
variasi bahasa dengan berbagai variasi kelas sosial di kota New York. Labov menggunakan 340
orang sebagai sampel yang dipilih secara acak (random sampling). Labov dapat membuktikan
bahwa seorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan
menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu; sehingga dengan cara ini kita sekarang dapat
membuat korelasi antara ciri-ciri kebahasaan (linguistik) dengan kelas sosial.
Labov (Brown & Attardo, 2000: 102) berhipotesis bahwa penutur memiliki perbedaan frekuensi
dalam menggunakan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa berdasarkan latar belakang kelas
sosial. Menurut Brown dan Attardo (2000: 103), hipotesis yang dikemukakan oleh Labov
tersebut terbukti benar, yaitu bahwa kelas sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-
bentuk prestige suatu bahasa.
Salah satu contoh penelitian tentang hubungan kelas sosial dengan ragam baku dilakukan di
Detroit (AS) dan Norwich (Inggris) dengan menggunakan berbagai tingkat kelas sosial sebagai
informannya. Hasilnya, semakin rendah kelas sosial seseorang, semakin banyak pemakaian
bentuk nonbaku dari suatu bahasa.

REFERENSI

Brown, S. & Attardo, S. 2000.Understanding Language Structure, Interaction, and Variation. An


Introduction to Applied Linguistics and Sociolinguistics for Nonspecialists. Michigan: The
University of Michigan Press.

Milroy, J. & Milroy, L. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. Ed. Florian Coulmas.
Blackwell Reference Online.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.


RAGAM BAHASA BERDASARKAN KELAS SOSIAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester Lima
Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu: Sri Hastuti, S.S

Oleh:
IKA RAHAYU SUSILANINGSIH
K1207020

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
RAGAM BAHASA BERDASARKAN KELAS SOSIAL

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mengenal adanya ragam bahasa berdasarkan kelas sosial.Daerah-
daerah yang mengenal ragam bahasa tersebut antara lain:
1. Sunda
Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak
kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda
dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah
Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa
ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.
Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-
Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam
dialek yang berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
• Dialek Barat
• Dialek Utara
• Dialek Selatan
• Dialek Tengah Timur
• Dialek Timur Laut
• Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara
termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang
mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar
Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di
beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.
Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda.
Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di
Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama
Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya,
nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa
nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis
sebagai "Clacap".
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya
sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap
sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi
warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan
Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama
di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus,
bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan
mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap
dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh.
Tempat:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
di atas .. di luhur .. di luhur ..
di belakang .. di tukang .. di pengker ..
di bawah .. di handap .. di handap ..
di dalam .. di jero .. di lebet ..
di luar .. di luar .. di luar ..
di samping .. di samping .. di gigir ..
di antara ..
dan .. di antara ..
jeung .. di antawis ..
sareng ..
Waktu:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
sebelum saacan sateuacan
sesudah sanggeus saparantos
ketika basa nalika
Besok Isukan Enjing
Lain Lain:
Bahasa Indonesia Bahasa Sunda
(normal) Bahasa Sunda
(sopan/lemes)
Dari Tina Tina
Ada Aya Nyondong
Tidak Embung Alim

2. Surakarta dan Yogyakarta


Dialaek sosial dalam bahasa jawa (Surakarta dan Yogyakarta) berbentuk sebagai berikut:
a. Ngoko lugu
b. Ngoko andhap
c. Madya
d. Madyantara
e. Krama
f. Krama inggil
g. Bagongan
h. Kedhaton
Kedua dialek terakhir digunakan di kalangan keluarga keraton dan sulit dipahami oleh orang jawa
kebanyakan.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kaliamt dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda tadi:
• Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
• Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon omahe Budi kuwi neng ndi?”
• Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, daleme mas budi kuwi neng ndi?”
• Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahe mas Budi kuwi neng ndi?”
• Madya: “Nuwun sewu, kula ajeng tangklet, griyane mas Budi niku teng pundi?”
• Madya alus: “Nuwun sewu, kula ajeng tangklet , daleme mas Budi niku teng pundi?”
• Krama andhap: “Nuwun sewu, dalem badhe nyuwun pirsa, griyanipun mas Budi menika wonten
pundi?”
• Krama: “Nuwun sewu, kula badhe taken, griyanipun mas Budi punika wonten pundi?”
• Krama inggil: “nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika wonten pundi?”
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tata bahasa berarti sama,
seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang
dibicarakan. Namun juga harus diakui bahwa tidak semua penutur bahasa jawa mengenal semuanya.
Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

3. Surabaya
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa
yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian
masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan
sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih
dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian
penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan
tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan
kata sehari-hari yang lebih kasar.
Batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai wilayah:
• Wilayah Selatan
Perak (Kab. Jombang - bukan Tanjung Perak di Surabaya).
Wilayah Perak Utara masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah menggunakan
Dialek Kulonan.
• Wilayah Utara
Madura
Beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif.
• Barat
Wilayah Gresik
• Timur
Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo
sampai Banyuwangi) Dialek ini juga banyak digunakan.
Akhir-akhir ini, banyak media lokal yang menggunakan dialek Surabaya sebagai bahasa pengantar
mereka.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel "rek" sebagai ciri khas mereka. Partikel ini berasal
dari kata "arek", yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata "bocah" (anak) dalam bahasa Jawa
standar. Partikel lain adalah "seh" (e dibaca seperti e dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia
setara dengan partikel "sih".
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata "titip" secara /tetep/, dengan diucapkan seperti /e/
dalam kata "edan"; dan kata "tutup" secara /totop/ dengan u diucapkan seperti /o/ dalam kata "soto".
Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti misalnya: "kaya" (=seperti) lebih banyak
diucapkan /k@y@?/ daripada /k@y@/, kata "isa" (=bisa) sering diucapkan /is@?/ daripada /is@/.
Berikut ini beberapa kosa kata berdasarkan kelas sosial yang ada di Surabaya:
Bahasa Indonesia Dialek Surabaya (Ngoko) Dialek Surabaya (Krama alus) Dialek Surabaya (Krama inggil)
Kamu Koen Peno/Sampean Panjenengan
Makan Mbadog Mangan Dhahar
Pergi Lungo Kesa Tindak
Kepala Ndas Sirah Mustaka

Anda mungkin juga menyukai