Anda di halaman 1dari 16

ETNOGRAFI KOMUNIKASI DAN REGISTER

ETNOGRAFI KOMUNIKASI DAN REGISTER


Oleh: Dwi Purnanto
1. Pendahuluan
Di dalam studi sosiolinguistik bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi
juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam kajian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik
senantiasa akan memperhitungkan bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor sosial itu, antara lain : status sosial,
tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Selain itu bentuk
bahasanya dipengaruhi oleh faktor situasional, misalnya : siapa yang berbicara, bagaimana
bentuk bahasanya, kepada siapa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa. Faktor-faktor
situasional seperti itu sejalan dengan rumusan Fishman : Who speaks what language to whom
and when (dalam Pride and Holmes, 1979:15; Suwito, 1985: 3). Dengan demikian, setiap
bentuk bahasa yang dipengaruhi oleh berbagai kontek dengan masyarakat pemakaiannya
merupakan tulisan sosiolinguistik.
Telah banyak diterbitkan reverensi yang mengkaji tentang pemakaian bahasa, termasuk juga
teori-teori tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat. Di dalam buku J. B. Pride dan
Holmes (ed.) yang berjudul Sociolinguistics (1979), misalnya, ditemukan tulisan
J.A. Fishman berjudul The Relationship between Micro and Macro-Sociolinguistics to the
Study of Who Speaks What Language To Whom and When (1971). Di dalam tulisan itu
diuraikan masalah tuturan. Dikatakannya bahwa pada tiap-tiap tuturan terdapat beberapa
unsur yang mengambil peranan, antara lain : penutur, pendengar, pokok pembicaraan, tempat
berlangsungnya pembicaraan, waktu, suasana, yang harus selalu dipertimbangkan oleh setiap
penutur. Teori di atas diperjelas lagi oleh Hymes dalam tulisan yang berjudulModels of
Interaction of Language and Social Life (di dalam T. Bell, Sociolinguistics: Goals,
Approaches and Problems (1976) yang membicarakan adanya delapan faktor yang menandai
terjadinya peristiwa tutur. Kedelapan faktor itu diistilahkan dengan komponen tutur yang
diringkas dalam akronim SPEAKING (setting and scene, participants, ends, key,
instrumentalities, norms, and genres).
Makalah ini akan mencoba menjelaskan ihwal etnografi komunikasi dan register.
Pembahasan ini akan berfokus pada beberapa konsep inti keduanya.
2. Etnografi Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang
etnografi komunikasi. Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu
masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa.
Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian
perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards
dkk.,1985).

Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau


etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking). Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian
yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan
dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu. Karena
sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur
bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam
pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan
sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes (dalam Gladwin, T. dan Sturtevant, W.,1982;
juga dalam Fishman, J., 1968). Istilah itu kemudian diubah oleh penulisnya
menjadi etnography o fcommunication, karena istilah ini dianggap lebih tepat.
Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah
komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian
etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional
tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit; persoalan bahasa diperlakukan di bawah
aspek lain, yaitu. sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak
buku yang megkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik, dan sebagainya, tetapi
tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya
juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan
dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun,
bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah
kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian
teori linguistik. Menurut Hymes para pakar i1mu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan
kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur(1974:126). Etnografi
komunikasi akan mengisi kesenjangan itu dengan menambahkan hal lain (pertuturan atau
komunikasi) terhadap topik-topik garapan bidang antropologi bagi pemerian etnografis, dan
mengembangkan kajian linguistik. Linguistik yang lebih lengkap akan dikaitkan bagaimana
penutur menggunakan struktur tersebut.
2.1. Konsep Etnografi Komunikasi dan Cakupan Kajiannya
Menurut Hymes(1974), istilah etnografi komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian
berlandaskan etnografi dan komunikasi.. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan,
misalnya hanya mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi,
lalu menghubung-hubungkannya. Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung
terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat mengamati
dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan tidak terlepas (secara
terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti dilakukan oleh linguis), tentang
kepribadian (seperti psikologi), tentang struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi
(seperti etnologi), dan sebagainya. Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak
dapat membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang sempit. Peneliti
harus mengambil konteks suatu komunitas (community), atau jaringan orang-orang, lalu
meneliti kegiatan komunikasinya secara menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau
kode komunikasi selalu merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para
penutur ketika dibutuhkan.
Menurut Hymes, linguistik yang dapat memberikan sumbangan terhadap etnografi
komunikasi itulah yang kini dikenal dengan nama sosiolinguistik. Namun, sosiolinguistik itu

tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik.
Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada
umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhir yang
didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu disebut etnografi
komunikasi, yaitu kajian tentang etnografi wicara. Untuk memahami kajian ini, Hymes
menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir.
Tekanan itu harus diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang
lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi,
dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4) ketepatan
unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari
berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, (6) komunitas atau konteks sosial lainnya
sebagai titik tolak pemahaman- (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam
konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya
diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada
kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan
daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara semuanya itu
selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan,
melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari
kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting
yang berkaitan dengan etnografi wicara.
2.2 Konsep-konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
2.2.1 Tata cara bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam
suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif
seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan
antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran
seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap, di lain pihak.
Tata cara bertutur itu berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, bahkan yang paling
mendasar sekali pun. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih Amerika dari kelas
menengah terdapat kaidah tanpa kesenjangan, tanpa tumpang tindih dalam giliran bertutur
(turn-taking). Jika dua orang atau lebih terlibat dalam perpercakapan dan jika dua orang
mulai berbicara dalam waktu yang sama (tanpa disengaja), dengan cepat yang satu memberi
kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sebaliknya, jika terjadi
kemacetan beberapa detik saja, para partisipan menjadi begitu merasa tidak enak,
kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak penting sekadar untuk
mengisi kesenjangan atau kelompok partisipan itu segera bubar.
Namun menurut penelitian Reisman (1974), penduduk desa Antiguan (Swedia) biasa
melakukan pembicaraan dengan lebih dari satu orang dengan berbicara sekaligus. Dalam
komunitas Lapp di Swedia utara, kesenjangan dianggap sebagai bagian dari kebiasaan dalam
perpercakapan. Saville-Troike (1982) mengemukakan, beberapa kelompok Indian Amerika
yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil
giliran berbicara adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan tradisi di dalam lingkungan
keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka,

tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk
berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya
memulai ujarannya, yang benada minta izin dengan mengucapkan Nuwun sewu,. (minta
beribu maaf).
Dengan demikian, tata cara bertutur itu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dan
kelompok masyarakat yang lain. Masalahnya ialah bagaimana peneliti menentukan kelompok
masyarakat itu untuk tujuan pemerian etnografis.
2.2.2 Komunitas tutur
Jelas sekali, tidak semua warga negara menjadi anggota satu komunitas tutur (speech
community) saja. Contoh di atas menunjukkan, cara bertutur warga kulit putih kelas
menengah berbeda dengan warga dari Indian. Komunitas tutur juga tidak bisa ditentukan
karena dipakainya bahasa yang sama. Orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa
Inggris tetapi mempunyai tatacara bertutur yang berbeda di tempat umum, misalnya
restauran. Di Inggris dalam perpercakapan di restauran suara partisipan direndahkan sehingga
orang-orang yang tidak terlibat percakapan itu tidak akan bisa mendengar apa yang
dicakapkan. Di Amerika percakapan semacam itu dapat didengar oleh seorang peneliti.
Karena itu perlu dirumuskan komunitas tutur yang dapat diperikan secara etnografis.
Rumusan itu tidak mudah diperoleh karena banyak definisi tentang komunitas tutur. Hymes
berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah
wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville
Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan
kaidah wicara.Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang
mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan
seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam halhal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk
hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama
sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat
yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan
komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah mengurangi, dan mengganti kaidah
perilaku komunikatif Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat tentang komunitas tutur.
Hudson (1980) berpendapat bahwa istilah komunitas tutur mengacu kepada komunitas yang
berdasarkan bahasa, yang sering dikacaukan dengan istilah komunitas bahasa (linguistic
community). Kajian tentang komunitas tutur ini banyak diminati oleh para linguis, setidaktidaknya sejak Bloomfield menulis dalam buku Language (1933).
Batasan paling sederhana tentang komunitas tutur dikemukakan olehJohn Lyons
(1970), Speech community is all the people who use a given language (or dialect).
(komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu).
Menurut batasan ini, komunitas tutur-komunitas tutur dapat saja bertumpang tindih (jika ada
para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan sosial atau kesatuan kultural.jelasnya,mungkin
saja peneliti membatasi komunitas tutur jika peneliti dapat membatasi bahasa atau dialek.
2.2.2 Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur

Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus
mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech
event), dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan
peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.3 Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan
dengandengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik, misalnya upacara,
pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat
dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutr dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur.
Misalnya gurauan yang terjadi dalam suatu percakapan(peristiwa tutur) dan terjadi di dalam
suatu pesta (situasi tutur). Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup
peristiwa tutur dan situasi tutur, misalnya tindak tutur berdoa.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam
komunikasi merupakan jenjang terendah, namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal,
dan intonasi.
2.2.4 Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa, dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu
komponen tutur. Komponen tutur, misalnya akan meliputi akronim dari SPEAKING.
Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan
lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan
suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis, misalnya situasi formal atau santai
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru
bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat. dan audience. (pendengar)
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari
peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing
partisipan (goals)
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu
disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci) , yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan, misalnya
serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan
bentuk tutur ( misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, register, dan sebagainya)
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi. Misalnya
bagaimana orang Jawa selalu mematuhi sopan santun sebagai norma interaksi,
meskipun hanya tuturan fatis
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya puisi,
khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya.
2.2.5 Nilai di Balik Tutur

Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidahkaidah tertentu, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti
ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur,
peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan
melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau
setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi siapaorang itu, dari kelompok mana dia,
makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya. Hal ini sangat masuk
akal karena sosiolinguis itu mengkaji hubungan antara gejala atau faktor sosial dengan gejala
atau faktor bahasa, dan peneliti dapat memulai kajian dari mana pun. Itulah sebabnya maka
Fasold membagi buku sosiolinguistiknya menjadi dua jilid, yaitu The Sociolinguisticts of
Society (1984) dan The Sociolinguistics of Language (1990).
3. Contoh Penelitian Etografi di Indonesiia
Untuk memahami lebih jauh tentang etnografi komunikasi berikut ini akan dikemukakan
hasil penelitian pakar sosiolinguistik Indonesia, yang dituangkan dalam disertasi mereka,
yaitu Dede Oetomo dan Soeseno Kartomihardjo.
3.1 Bahasa dan Identitas: Dede Oetomo
Dede Oetomo (1987) mengkaji kelompok Cina di Pasuruan dengan. melihat tuturan seharihari di berbagai peristiwa tutur, misalnya di ruang tunggu praktek dokter gigi, di dalam
rumah, di rumah orang yang kematian anggota keluarga, di toko, dan sebagainya. Partisipan
dan topik pertuturan juga beragam. Berdasarkan pengamatan terhadap mereka itu Dede
sampai kepada simpulan tentang adanya dua kelompok Cina, yakni Cina Totok dan Cina
Peranakan. Ini berarti, bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Kajian ini berdasarkan kerangka teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes
yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), yang antara lain
memusatkan perhatian kepada perabot tutur (means of speaker) yang mencakup informasi
mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang
dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus
menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tatabahasa,
adalah rule governed (mengandung kaidah). Di dalam memilah-milah kaidah itu tidak
boleh memisahkan bahasa dari kebudayaan, melainkan melihat peristiwa tutur sebagai
satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai
(value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa. Tugas analisis
sosiolinguistik adalah menspesifikasikan interrelasi antara kedua variabel iltu dalam
peristiwa-peristiwa tutur yang merupakan ciri khas kelompok sosial tertentu.
Kajian Dede juga mengambil karya Labov (1972) tentang pemertahanan ciri-ciri dialek
dalam berbagai kelompok penutur bahasa Inggris-Amerika. Sebagaimana banyak dikutip oleh
buku-buku sosiolinguistik, kasus Kepulauan Martha Vineyard di AS mengemuka karena
kajian Labov. Wilayah itu merupakan wilayah pariwisata, penduduk asli banyak terdesak.
Karena banyak pendatang itu, banyak pula ragam bahasa di situ, tetapi ragam daratan
sangat dominan. Labov menemukan, salah satu ciri pembeda ragam adalah bidang fonologi.
Ada kelompok penduduk yang ciri lafalnya memakai sentralisasi bunyi /ay/ dan /aw/, dan
kelompok ini temyata penduduk asli kepulauan itu. Mereka tidak mau menyesuaikan diri
dengan lafal daratan yang dominan, dan mereka melakukan itu sebagai klaim dan
pemertahanan bahwa mereka sebagai penduduk asli. Ini berarti bahasa merupakan penanda

identitas kelompok. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa bahasa dan


komponennya dapat berfungsi sebagai pemarkah identitas (identity markers) atau pemarkah
tutur (speech markers).
Giles (1979) juga berbicara tentang pemarkah etnisitas (ethnicity markers). Di dalam sebuah
tuturan dapat dibedakan tiga macam situasi kontak yang berciri etnolinguistik, yakni (1)
paradigma pilihan bahasa, (2) paradigma. akomodasi, dan (3) paradigma asimilasi. Paradigma
pilihan bahasa terdapat dalam masyarakat aneka etnik yang mengandung banyak etnik,
masing-masing kelompok memakai bahasanya masing-masing, seringkali bahasa-bahasa itu
tidak saling dimengerti oleh kelompok lain, tetapi semua kelompok itu memakai bahasa
umum atau salah satu dari bahasa-bahasa tadi. sebagai contoh, Singapura, yang masingmasing etniknya (Cina, Melayu, Tamil) memakai bahasa mereka sendiri tetapi juga memakai
bahasa Inggris sebagai bahasa umum atau kadang-kadang mencoba memakai bahasa
kelompok lain. Kedua paradigma yang lain terjadi dalam masyarakat tempat satu kelompok
etnik (biasanya secara ekonomi, sosial, dan politik, menjadi kelompok bawahan) dalam
kontak antaretniknya tidak perlu memilih atau harus menerima (mengadopsi) bahasa
kelompok lain. Paradigma akomodasi terjadi kalau kelompok bawahan harus menjadi
dwibahasawan dari bahasa kelompoknya sendiri plus bahasa keiompok dominan agar mereka
ini dapat berfungsi secara efektif di dalam masyarakat yang didominasi oleh kelompok
dominan tadi, tetapi mereka juga mempertahankan bahasa kelompoknya sendiri untuk
interaksi di dalam kelompok. Sebagai contoh, kelompok Hispanik (Spanyol) di AS.
Dede menemukan identitas etnik, subetnik, dan kelas dalam masyarakat Cina Pasuruhan yang
berinterrelasi dengan perilaku dan sikap bahasa. Perbedaan identitas dicerminakan oleh
terdapatnya perbedaan reportoar (khasanah) bahasa atau perbedaan fungsi yang dibebankan
pada suatu kode dalam reportoar yang sama, di samping mencerminkan berbagai sikap orang
terhadap berbagai kode.
Etnik Cina dipilah atas dua subetnik, yaitu Cina Peranakan dan Cina Totok. Di samping itu
juga ada peranakan klas atas dan peranakan klas bawah. Pemarkah utama identitas etnik
adalah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa sopan di dalam masyarakat itu. Di
dalam situasi yang menuntut kesopanan dari sudut penutur, dia akan menggunakan bahasa
Indonesia. Meskipun terdapat orang Cina yang berbahasa Jawa Krama, tetapi hanya
digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Jawa dan tidak dengan teman sesama Cina.
Pemarkah lain untuk identitas etnik adalah pemakaian bahasa Hokkian atau dialek lain dari
Cina oleh Cina angkatan pertma yang lahir di Cina dan anak-anak mereka, atau penggunaan
bahasa Mandarin atau Belanda oleh mereka yang berpendidikan cukup. Pemarkah lain adalah
penggunaan kata pinjaman dari ketiga bahasa tersebut di dalam berbahasa Jawa atau
Indonesia yang mereka pakai. Semua orang Cina memiliki istilah kekerabatan dalam bahasa
Hokkian, banyak sekali memakai angka, istilah bagi barang dan konsep-konsep kecinaan
lainnya dari bahasa Hokkian.
3.2 Penelitian Etnografi Kode Komunikasi Soeseno Kartomiharjo
Soeseno Kartomihardjo (1981) mengkaji etnografi kode komunikatif di Jawa Timur. Dia
berasumsi, variasi tutur merupakan pencerminan dari faktor-faktor sosial dan kultural. Maka,
masalah yang diujinya adalah variasi tutur yang tampak dan dikaitkan dengan faktor-faktor
sosial dan kultural yang menentukan variasi tutur. Misalnya, bahasa Indonesia (BI) yang
dipakai orang Jawa tidak terdidik dimarkahi dengan penggunaan imbuhan bahasa jawa (Bj);

Cina peranakan. juga memakai imbuhan Bi tetapi memakai juga kata pinjaman dari bahasa
Cina (BC). Ini berarti, etnisitas menentukan kata pinjaman. Para mahasiswa memakai kata
sapaan you dan kata-kata pinjaman yang diindonesiakan: pendidikan menjadi faktor penentu
pilihan kata. Situasi sosial dan nada bicara juga dicatat Soeseno sebagai faktor signifikan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur di dalam interaksi dan komunikasi
mereka. Masih ada beberapa faktor sosial lain yang hendak digarap.
Untuk menangani beberapa masalah itu Soeseno memilih pendekatan sosiolinguistik yang
mencakup faktor-faktor sosial dan kultural dalam menganalisis varian-varian tutur da1am
komunitas bahasa. Dia menunjukkan, pilihan tutur yang bahasanya diikuti oleh perilaku
(tutur) tertentu dikendalai oleh nilai-nilai umum dan faktor-faktor sosial seperti usia,
pendidikan, ikatan kekeluargaan, keakraban, etnisitas, dan bagainya, faktor-faktor sosial
seperti situasi, pokok pembicaraan, maksud, dan sebagainya. Hanya saja karena Jawa Timur
merupakan wilayah dominasi Bj, maka Soeseno menentukan bahwa standar yang membentuk
basis umum t,agi semua interaksi sosial adalah standar Bj.
Di dalam penggunaan istilah, Soeseno meminjamnya dari Gumperz dan Hymes (1972) dan
Fishman (1972). Istilah varietas (variety) mengacu kepada varietas bahasa (dalam hal ini BI
dan Bj) yang berkorelasi dengan etnisitas, pendidikan, daerah, okupasi, dan sebagainya.
Misalnya, ada varietas BI peranakan Cina, BI oleh orang Jawa terdidik. Kode (code)
mengacu kepada bentuk tutur yang menyarankan adanya kesalingmengertian, solidaritas,
kelompok, identitas status atau kedudukan, dan sebagainya. Di Jawa Timur yang menjadi
kode umum bagi sebagian besar penduduk adalah bahasa Indonesia yang dijawakan
(colloquial javanised Indonesian) yang bervariasi sesuai dengan etnisitas dan pendidikan,
sementara bahasa Belanda merupakan kode yang dipakai sebagai identitas dalam kelompok
bagi orang-orang berpendidikan lama.
Orang biasanya berkomunikasi dalam suatu situasi sosial yang menurut Fishman (1972)
adalah kombinasi latar (waktu dan tempat) dengan hubungan peran antara para partisipan
dalam suatu. tindak (komunikasi) tertentu. Suatu situasi padu (kongruen) adalah situasi yang
di dalamnya hubungan peran, partisipan, waktu dan tempat berjalan bersama dalam suatu tata
cara yang secara kultural berterima (akseptabel). Norma-norma penggunaan bahasa di Jawa
Timur secara amat jelas dan seragam direalisasikan dalam situasi-situasi yang kongruen. Pada
umumnya, orang di Jawa Timur mengenal dua macam situasi sosial, yaitu situasi resmi dan
tak resmi. Situasi tak resmi mencakup sejumlah besar kejadian yang warganya berinteraksi
untuk tujuan kemasyarakatan, seperti kunjungan kepada teman, mengobrol dengan kenalan di
jalan, percakapan di antara keluarga, dan sebagainya. Situasi yang resmi (official) dibagi
menjadi formal dan informal. Dalam situasi formal dan ofisial, seperti pada rapat resmi yang
dihadiri personel dari sebuah kantor, pada upacara ritual dalam perkawinan, pada waktu
kuliah, dan sebagainya, pilihan kode biasanya jatuh kepada BI disertai pilihan terbatas katakata sapaan. Sebaliknya, dalam situasi informal misalnya dalam interaksi di antara teman
sekantor, dalam interaksi nonritual dan perkawinan, bagian informal dari kuliah, dan
sebagainya, bagi para partisipan lebih banyak pilihan kode dan kata sapaan meskipun tidak
sebanyak dalam situasi tidak ofisial, misalnya percakapan di lapangan tenis.
Partisipan dalam komunikasi terdiri dari penutur, lawan tutur, dan pendengar. Di Jawa Timur
hadirya pendengar bisa signifikan dalam pilihan kaidah yang kemudian menentukan pilihan
varietas. Misalnya hadirya seorang anak sebagai pendengar sering memaksa penutur dewasa
dan lawan tutur memakai kata sapaan lain dibandingkan jika tidak ada si anak. Pokok
pembicaraan juga sangat signifikan dalam menentukan pilihan kode. Misalnya, dua orang

Jawa yang biasa menyapa dan berbicara tentang keluarga dalam Bj segera beralih kode BInya orang Jawa yang terdidik jika mereka berbicara tentang tes masuk PT.
Kaidah dan norma untuk penggunaan tutur menguasai peristiwa dan tindak tutur yang terjadi
di dalam situasi sosial. Tindak tutur merupakan satuan terkecil yang mungkin masuk;
peristiwa tutur mengacu kepada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung
diatur oleh kaidah atau norma untuk penggunaan tutur. Misalnya, lelucon atau kata pengantar
adalah tindak tutur, salah satu atau keduanya dapat dimasukkan ke dalam suatu
perpercakapan (peristiwa tutur), yang terakhir dapat terjadi dalam konteks tertentu, misalnya
pesta ulang tahun (situasi sosial). Satuan lain yang juga menjadi kunci adalah nada, cara atau
semangat yang mengandung terjadinya tindakan. Lalu, apa dan bagaimana nilai orang Jawa
Timur itu? Soeseno mengemukakan, yang dimaksudkan dengan nilai ialah things in social
life induding ideals, customs, institutions and othersfor which the East Javanese people have
an affective regard (1981:.18), segala sesuatu dalam kehidupan sosial, mencakup cita-cita,
adat (kebiasaan), lembaga, dan segala hal yang menyentuh afeksi orang Jawa Timur.
4. Register, Dialek, dan Gaya Bahasa
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan
penggunaannya, sedangkan dialek sebagai variasi bahasa berdasarkan penggunanya Di dalam
konsep ini register tidak terbatas pada pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam
teori tradisional) tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks, dan teksturnya:
kohesi dan teksikogramatika, serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register
meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistik, maka banyak linguis menyebut
register sebagai styleatau gaya bahasa. Variasi pilihan bahasa register tergantung pada
konteks situasi, yang meliputi 3 variabel: field (meda), tenor (pelibat) dan mode (sarana) yang
bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasu makna.
Sementara itu variasi bahasa pada dialek berdasarkan letak geografis (misalnya di dalam
Bahasa Jawa meliputi daerah Jawa Timuran, pesisiran, Surakartan, Yogyakartan, dan
Banyumasan), sastra sosial (misalnya : struktur hirarkis di dalam sistem kekerabatan, struktur
hirarkis status sosial, struktur hirarkis profesi). Secara umum Halliday (dalam Halliday dan
Hasan, 1985) membedakan register dan dialek sebagai berikut:

Figur 14. Perbedaan Register dan Dialek


Dialek

Register

Variasi bahasa berdasarkan user


dialek merupakan variasi bahasa yang
digunakan setiap hari, dan ditentukan
oleh secara geografis atau sosiologis
siapa anda (daerah &/atau asal klas
sosial &/atau klas sosial yang diadopsi.

Variasi bahasa berdasarkan usenya. Register adalah bahasa yang


digunakan pada saat tertentu; dan
dietntukan oleh: apa yang anda
kerjakan, dengan siapa dan dengan
menggunakan sarana apa.

Dialek menunjukkan struktur sosial Register menunjukkan tipe proatau tipe hirarki sosial yang dimiliki oleh

penggunanya.

ses sosial yang sedang terjadi.

Oleh karena itu pada dasarnya dialek


adalah mengatakan hal yang sama
secara berbeda. Maka dialek cenderung
berbeda dalam hal: fonetik, fonologi,
kosa kata, dan dalam beberapa hal
tatabahasa; tetapi tidak pernah berbeda di
dalam semantik.

Oleh karena itu pada hakekatnya


register mengata-kanhal yang
berbeda. Maka register cenderung
berbeda dalam bidang: semantik
dan oleh karena itu berbeda
tatabahasa dan kosa katanya
(seperti ekspresi makan), tetapi
jarang berbeda dalam fonologinya
Contoh sekstrem dialek ini adalah: (menuntut kuali-tas suara yang
khas).
anti-bahasa, prokem, dan bahasa ibu.
Contoh-contoh lainnya, misalnya:
variasi sub-kultur, kasta, klas sosial,
keaslian (rural atau urban), generasi
(orang/anak), usia (tua/muda, dan seks
(pria/wanita) lihat juga Chambers dan
Trudgill, 1980: Lyons, 1981 untuk
membandingkan dengan register.

Contoh ekstrem register ialah:


bahasa terbatas, dan bahasa untuk
tujuan khusus. Contoh lainnya,
mislanya: variasi profesi (ilmiah,
tehnologis), kelembagaan (doktorpasien; guru-murid) dan kontekskonteks lain yang mempunyai
struktur dan strategi tertentu
(seperti : dalam diskusi belanja,
ngobrol, dll).

Diambil dari (Halliday dan Hasan, 1985 dengan modifikasi)


Yang perlu diperhatikan selanjutnya ialah bahwa di dalam dialek anggota masyarakat
mempunyai ikatan afektif yang sangat kuat dengan dialeknya, sehubungan dengan fungsi
dialek dalam mengekspresikan setra mengatur hirarki sosial. Oleh karena itu satu dialek
mungkin mempunyai status tertentu sebagai simbol nilai-nilai masyarakat secara keseluruhan.
Sementara itu register merupakan konfigurasi semantik yang secara khusus dihubungkan
dengan konteks situasi tertentu (seperti yang ditentukan oleh: medan, pelibat dan sarana
tertentu).
Akan tetapi garis batas antara register dan dialek tidak selalu kelihatan jelas, ada titik-titik
tertentu yang menunjukkan dimana dialek dan register saling tumpang tindih (overlapping).
Misalnya dalam dunia kerja terdapat pembagian tingkatan pekerja (buruh, staf, pegawai,
manager, dan direktur), yang setiap anggota tingkatan mempunyai peran sosial yang berbeda,
dengan demikian dalam register tertentu memerlukan dialek (misalnya register birokrasi
memerlukan dialek standar) lihat juga contoh-contoh dialek dalam Chambers dan Trudgill
overlap dengan register, 1980). Di lain pihak ada kelompok-kelompok sosial yang cenderung
mempunyai konsep makna register yang berbeda dalam mengekspresikan satu situsi tertentu.
Dalam kasus ini banyak penelitian di dalam dunia pendidikan pada anak-anak yang berasal
dari kelas sosial yang berbeda. Dalam kaus Berntein misalnya dalam register sekolah
misalnya anak-anak dari kelas sosial menengah menggunakan elaborate codes dan anakanak dari kalangan kelas sosial bawah menggunakan restricted codes yang masng-masing
dipengaruhi oleh dialeknya di lingkungan mereka (Cook-Gumperz), 1986). Banyak penelitian

sejenis yang menunjukkan hasil yang sama misalnya peneltiian oleh Brian Gray (1986) yang
meneliti bahasa anak sekolah orang kulit putih dengan anak Aborigin di Australia, kemudian
Michaels dan Heath yang melihat bahasa anak dan orang kulit hitam dan kulit putih di
Amerika Serikat (untuk detilnya lihat dalam Cook-Gumperz, 1986).
4.1 Konsep Register Berdasarkan Perspektif Sosiolinguistik
Pada mulanya register digunakan oleh kelompok-kelompok profesi (pekerjaan) tertentu.
Bermula dari adanya usaha orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat,
tepat, dan efisien di dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapanungkapankhusus. Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling mengetahui
karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan,pengalaman, dan kepentingan yang sama.
Akibat dari interaksisemacam itu akhirnya bentuk tuturan (kebahasaannya) akan
menunjukkan ciri-ciri tertentu, misalnya pengurangan struktur sintaktik, pembalikan urutan
kata yang normal dalam kalimat(Holmes, 1992:276-282). Oleh sebab itu, ciri-ciri
tuturan(kebahasaan) mereka selain akan mencerminkan identitas kelompoktertentu, juga
dapat menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguisdengan pemahaman
yang berbeda-beda. Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih
umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). yakni menunjuk pada variasi
bahasa yang mencerminkan perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi (seperti O2,
tempat/waktu, topik pembicaraan). Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kebanyakan para
sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada
pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda.
Karena perbedaan ragam danregister tidak begitu penting maka kebanyakan
para sosiolinguis tidakbegitu mempermasalahkannya.
Dengan
demikian,
berdasarkan padasituasi
pemakaiannya,
Chaer
(1995:90)
menjelaskan
bahwa
variasibahasa akan berkaitan dengan fungsi pemakaiannya, dalam arti setiapbahasa yang
akan digunakan untuk keperluan tertentu disebut dengan fungsiolek, ragam, atau register.
Di dalam buku Sosiolinguistik II (Depdikbud, 1995:164) dikemukakan bahwa slang dalam
bahasa Inggris disebut register.Slang atau register merupakan bagian leksikal, yang
termasuk bidangyang disebut unsur bahasa tidak baku. Unsur tidak baku
tersebutmencakup (1) kata-kata
dengan
gaya
tertanda yaitu katakataekspresif yang digunakan
sehari-hari
dan
(2) katakata yangditentukan secara sosial yang penggunaannya terbatas pada kelompok sosial dan
profesi tertentu.
Sementara itu, Wardaugh (1986:48), memahami register sebagai pemakaian kosakata
khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial tertentu. Misalnya
pemakaian bahasa parapilot, manajer bank, para penjual, para penggemar musik jazz,
perantara (pialang), dan sebagainya. Konsep Wardaugh ternyata lebih jelas dibandingkan
dengan konsep Holmes.
Ferguson (1994) dalam kaitannya dengan konsep register berpendapat sebagai berikut.
A communication situation that recurs regularly in a society (in term of participants,
setting,
communicative functions,
and so forth)
will
tend
overtime to develop identifying markers of
language
structure
and
language use, different from the language of other communication situations. (dalam Biber,
1994:20). Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam masyarakat (dalam
hal partisipan, tempat, fungsi-fungsi komunikatif, dan seterusnya) akan cenderung
berkembang sepanjang waktumengidentifikasikan penanda struktur bahasa dan pemakaian
bahasa, yang berbeda dari bahasa pada situasi-situasi komunikasi yang lainnya.

Dijelaskan oleh Ferguson bahwa orang yang terlibat dalam situasi komunikasi secara
langsung cenderung mengembangkan kosa kata,ciri-ciri intonasi sama, dan potonganpotongan ciri kalimat dan fonologi yang mereka gunakan dalam situasi itu. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian itu akan memudahkan komunikasi
yang cepat, sementara ciri yang lain dapat membina perasaan yang erat.
4.2 Konsep Register Menurut Linguistik Sistemik Fungsional
Halliday
(1978:32)
menjelaskan
bahwa register
adalah suatu bentukprediksi,
dalam arti untuk mengetahui situasi dan konteks sosial pemakaian bahasa, bahasa
yang akan terjadi dan dipakai. Dengandemikian, fenomena pemakaian register tentunya
akan mengalami suatu perkembangan, baik dari khazanah kosa kata dan ungkapanungkapannya, maupun perkembangan dalam pengacuan maknanya. Adapaun ciri-ciri
register itu antara lain:
1. variasi bahasa berdasarkan penggunaannya dan ditentukan berdasarkan apa yang
sedang dikerjakan (sifat kegiatan yang menggunakan bahasa).
2. mencerminkan proses sosial (berbagai kegiatan sosial).
3. register menyatakan hal yang berbeda sehingga cenderung berbeda dalam hal
semantik, tatabahasa, dan kosakata (jarang dalam bidang fonologi). (Halliday,
1994:58-59)
Register oleh Halliday tidak hanya membahas soal variasi pilihan kata saja, tetapi akan
melingkupi pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, kohesi dan leksikogramatika.,
serta pilihan fonologi dan grafologinya. Oleh karena register meliputi keseluruhan aspek
kebahasaan maka sering register disebut juga sebagai gaya tutur (style). Variasi pilihan
bahasa di dalam register akan terikat pada konteks situasi yang meliputi 3 variabel, yaitu
medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Medan akan merujuk apa yang terjadi
sebagai gambaran proses sosial, apa yang sedang dilakukan partisipan dengan bahasa, dan
lingkungan tempat terjadinya; pelibat akan menunjuk pada siapa saja yang berperan di
dalam kejadian sosial, bagaimana sifat-sifatnya, status dan peran sosial yang dimiliki; sarana
akan menunjuk pada apa yang diperankan dengan bahasa (persuasif, ekspositoris, atau
didaktis)saluran apa yang digunakan (tulis atau lisan). Ketiganya bekerja secara simultan
untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.
Secara populer register akan dibagi menjadi dua, yaitu register yang timbul karena
kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan profesi dan register yang timbul karena
orang-orang menjadi bagian dari profesi sosial bersama. (Depdikbud, 1995:166).
Seperti yang telah sedikit disebutkan di atas register merupakan konsep semantis yang
dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara: medan, pelibat
dan sarana di dalam konteks situasu tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi
penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di dalam
konfigurasi itu. Dengan demikian register bukan semata-mata merupakan konsep bentuk. Jika
di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register memerlukan bentuk-bentuk ekpresi
tertentu, hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi diperlukan untuk mengungkapkan makna
yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut. Dalam pengertian ini register sama dengan
pengertianstyle atau gaya bahasa yaitu suatu varuan bahasa yang berdasarkan penggunaannya
(lihat Lyons, 1981, 1987). Bahkan Fowler mengatakan bahwa register atau gaya termasuk
penggunan bahasa dalam karya sastra seperti puisi, novel, drama dan lain sebagainya (1989).
Ia berpendapat walaupun para sastrawan mengklim bahwa karya sastra merupakan dunia
kreasi tersendiri, yang merupakan second order semiotic system (sistem semiotika tingkat
kedua) dan bahasa sebagai medianya hanya merupakan first order semiotic system (sistem

semiotika tingkat pertama), keseluruhan sistem semiotik tersebut baik yang tingkat pertama
maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan sebagai media
karya sastra tersebut.
Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang terjadi: apa
yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan kejadian seperti:
kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa kejadian itu terjadi dan sebagainya.
Di dalam contoh rembug desa di atas, medan emrujuk pada peristiwa rembug desanya itu
sendiri, cara yang digunakan dalam rembug desa tersebut, yaitu: musyawarah, topik yang
dibahas, tempat dan waktu musyawarah, serta mengapa musyawarah itu dilaksanakan. Aspek
medan ini di dalam teks dapat dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi, transifitas, sistem
klausa, sistem grup, (nimona, verba dan adjunct), serta sistem leksis: abstraksi dan
teknikalitas, serta ciri-ciri dan kategori semantiknya.
Kemudian pelibat (tenor) merujuk pada siapa yang berperan di dalam kejadian sosial
tersebut, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: macam
peran sosial yang bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau
peran permanen atau sesaat, disamping juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan
untuk mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam contoh di
atas yang termasuk di dalam pelibat ialah: partisipan: lurah, punggawa desa, dan masyarakat,
serta hubungan peran dan status sosial mereka seperti yang tampa pada bahasa yang mereka
gunakan untuk mengekspresikan hubungan peran serta status sosial mereka masing-masing.
Aspek pelibat ini juga mempunyai 3 sub-bagian, yaitu: afek, status dan kontak. Afek ialah
penilaian (assesment, evaluation dna judgement) antar partisipan di dalam teks. Penilaian ini
secara umum dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu: penilaian positif atau negatif. Akan tetapi
di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen
semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya untuk penilaian positif dapat
dikatakan apakah partisipan mendukung, setuju pendapat partisipan yang lain, apakah
partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain dan sebagainya.
Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang meyerang, mengkritik,
mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya. Dari penilaian
inilah sebetulnya peneliti dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan yang
lainnya. Dalam sistem kebahasaannya, afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem
fonologi/grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau
proposal, transitifitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek
pelibat yang kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran
partisipannya. Secara umum, hubungan peran dan status sosial ini dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu: hirarkis/vertikal, dan non-hirarkis/horisontal. Di dalam analisis, status
sosial dan hubungan peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial
apa yang sedang diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran
sosial partisipan lebih bersifat otoriter, tertutup seperti atasan-bawahan, dokter-pasien, dan
lain sebagainya, atau mungkin lebih bersifat demokratos, terbuka seperti hubungan antar
anggota parlemen, antar dosen, antar mahasiswa, dan sebagainya. Secara semiotis, hubungan
status dan peran sosial ini dapat dilihat melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau
atitudinal, struktur mood, proposisi atau proposal, transitifitas, struktur tema, kohesi, dan
struktur teks beserta genrenya. Subaspek yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi
penggunaan bahasa yang sedang digunakan di dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang
digunakan tersebut familiar atau tidak, artinya semua partisipan yang terlibat di dalamnya
memahami dan menegrti bahasa yang sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal)

tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut kontak ini menyangkut tingkat keterbatasan (readibility)
suatu teks yang sedang digunakan, maksudnya apakah teks ini terlalu sulit, sulit, mudah atau
terlalu muda untuk dimengerti. Untuk mencari tahu kontak (afamiliaritas dan keterbacaan ini)
seluruh aspek kebahasaan, dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terendah (struktur
teks : jelas pembukaan, isi dan penutuonya atau membingungkan, linier atau spiral (dalam
bahasa Jawa mbulet), kohesi: rujukannya jelas atau membingungkan, sistem klausanya:
simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks kompleks dengan embbeding,sistem
grupnya (nomina, verba, adjunct): simpleks atau kompleks, sistem leksisnya: kingruen atau
inkongruen, menggunakan abtraksi atau teknikaliats, serta fonologi atau grafologinya harus
diukur.
Akhirnya sarana (mode) merujuk pada bagian mana yang diperankan oleh bahasa, apa yang
diharapkan partisipan dengan menggunkan bahasa dalam situasi tertentu itu: organisasi
simbolis teks, status yang dimilokinya, fungsinya di dalam konteks tersebut, termasuk saluran
(channel) (apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis atau lisan atau gabungan?)
termasuk di dalamnya sarna retorisnya: apakah yang diinginkan teks tersebut termasuk dalam
kategori: persuasif, ekspositpri, didaktis atau yang lainnya. Di samping itu aspek sarana ini
juga melibatkan medium yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah
mediumnya bersifat lisan dengan one-way (satu arah) atau two-way (dua arah)
communication: audio, audio-visual, misalnya: tutorial, pidato, siaran radio atau televisi,
dialog, seminar, kotbah dan lain sebagainya: atau tulis/cetak yang bersifat komunikasi satu
arah atau dua arah seperti: koran, majalah, tabloit, spanduk, papan iklan, surat menyurat dan
lain sebagainya.
Dalam contoh di atas yang termasuk di dalam aspek sarana ialah varian bahasa lisan: ngoko,
kromo yang digunakan oleh partisipan di dalam medium rembug desa, teksnya merupakan
satuan kesatuan aktivitas sosial yang bersifat persuasif dengan argumen logis atau hortatoris,
serta mediumnya ialah musyawarah dengan berbagai aturan tempat dan tata letak
(proksemik), cara bermusyawarah dan lain sebagainya.
Secara terperinci channel atau yang juga disebut gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua yaitu
gaya lisan dan gaya tulis. Gaya lisan atau tulis ini tidak terikat erat dengan apakah bahasa itu
diucapkan atau ditulis, tetapi gaya lisan dan gaya tulis ini dilihat dari sifat alamiah bahasa
yang sedang digunakan (the nature of language). Sebenarnya pembagian gaya bahasa lisan
atau tulis ini tidak semata-mata bersifat mengklasifikasikan atau mengkategorikan bahwa
gaya bahasa hanya ada dua, tetapi pembedaan itu lebih merupakan suatu kontinum. Artinya
bahasa yang peneliti gunakan sehari-hari dapat jatuh pada garis kontinum lebih bersifat lisan,
cenderung lisan, tengah-tengah antara lisan dan tulis, cenderung tulis atau lebih bersifat tulis.

Figur 15: Kontinum Gaya Bahaya Lisan


dan Tulis

Lisan tulis

Cenderung lisan lisan-tulis cenderung tulis


Akan tetapi di dalam realitas sehari-hari variasi gaya bahasanya akan jauh lebih banyak
dibanding dengan pembagian di atas. Akan ada gaya bahasa yang jatuh pada titik kontinum
atantara lisan dengan cenderung lisan, antara cenderung lisan dan lisan-tulis, antara lisan-tulis
dengan cenderung tulis, dan antara cenderung tulis, dengan tulis, yang tergantung pada
konteks situasinya.
Sementara itu ciri-ciri gaya bahasa lisan atau tulis ini pada dasarnya dibedakan menurut
tingkat keabstrakan serta encer dan padatnya bahasa yang digunakan. Bahasa lisan secara
keseluruhan lebih konkrit dan encer, sedangkan bahasa tulis lebih abstrak dan padat. Pada
sistem kebahasaan keabstrakan dan kepadatan bahasa dapat dilihat melalui sistem leksisnya:
kongruen atau inkongruen, kepadatan leksikalnya: perperbandingan antara leksis gramatikal
dan leksis konten, sistem klausanya: simpleks atau kompleks, sistem grupnya (nomina verba
dan adjunct): simpleks atau kompleks, sistem gramatikanya: merujuk pada situasi komunikasi
searah atau dua arah, serta penggunaannya aspek kohesi tertentu. Lebih lanjut perbedana
bahasa lisan dan tulis dapat dirangkum sebagai berikut:

Figur 16: Perbedaan Ciri-ciri Bahasa


Lisan dan Tulis
Bahasa ragam Lisan
Sistem leksisnya lebih kongruen (sistem
penyimbulannya langsung, serta lebih encer
karena sedikit abstaksi dan tehnikalitas,
rasio antara leksis konten dan gramatikalnya
lebih dari 0,5.
Penggunaan gramatikalnya lebih merujuk
pada situasi komunikasi dua arah, misalnya
penggunaan vokatif (gramatika untuk
memanggil seseorang), seperti: John,
sayang, Pak. Penggunaan kata ganti orang
kedua: you, kamu, anda dengan variaso
promina orang keduanya: seperti: your,
yours.

Bahasa Ragam Tulis

Sistem lesisknya lebih inkongruen


(penyimbulannya
secara
tidak
langsung), serta padat karena banyak
abstraksi dan teknikalitas, rasio leksis
konten dan gramatikalnya lebih
banyak kurang dari 0,5.
Penggunana gramatikalnya lebih
merujuk pada situasi komunikasi satu
arah. Tidak ada vokatif, tidak
menggunakan kata ganti orang kedua.

Sistem klausanya lebih ebrsifat


simpleks, karena penggunaan klausa
simpleks lebih menutupi hubungan
Sistem klausanya lebih bersifat kompleks, logis antara kejadian yang satu
karena klausa kompleks secara jelas dengan kejadian yang lain. Jika suatu
menunjukkan hubungan logis antara teks banyak menggunakan klausa

kejadian yang satu dengan yang lainnya.


Klausa kompleks dengan kata sambung
(eksternal): dan, tetapi, atau, walaupun,
karena, sehingga, setelah, sebelum, dan lain
sebagainya, membuat logika lebih mudah
dimengerti.

simpleks logika sering diekspresikan


secara implisit atau menggunakan
kata sambung internal yang biasanya
terletak di bagian depan klausa
simpleks
(kalimat
simpleks),
misalnya: sementara itu, oleh karena
itu, lebih lanjut, Pada sisi lain, dan
Sistem grupnya (nomia, verba, dan sebagainya.
adjunct) lebih bersifat simpleks, karena grup
simpleks ini lebih jelas entitasnya (nomina), Sistem grupnya lebih bersifat
prosesnya (verba) serta lebih jelas kompleks, terdapat pre dan post
sirkumstannya (adjunct).
modifer (embedding) di dalam
kelompok nominanya, dengan verba
Sistem kohesi yang digunakan banyak ganda serta modifiernya pada
menggunakan repetisi, karena dengan kelompok verba, serta adanya
repetisi rujukannya lebih jelas, adanya embedding frasa benda di dalam
elipsis, yang memuat teks seperti wacana kelompok adjunct.
perpercakapan.
Sistem
kohesinya
jarang
menggunakan repetisi, jika hanya
terpaksa
untuk
menghindari
ambiguitas rujukan.m. tdiak adanya
penggunaan elipsis yang membuat
seolah-olah
seperti
wacana
perpercakapan.

Karena tingkat abstraksi dan keencerannya gaya bahasa lisan dan tulis ini, sering dikaitkan
dengan ragam bahasa lainnya. Misalnya anak sering menggunakan bahasa ragam lisan,
karena tingkat pemikiran anak yang lebih konkret serta logika anak yang sederhana dan jelas
untuk mengekspresikan hubungan kejadian yang satu dengan kejadian yang lainnya.
Sementara orang tua sering menggunakan ragama bahasa lebih cenderung tulis karena orang
tua lebih banyak berfikir secara abstrak dengan logika yang lebih rumit. Kemudian, bahasa
akademik lebih bersifat lisan, karena sistemnya secara keseluruhan lebih abstrak dan logika
implisit dan leksis yang lebih padat. Sementara itu bahasa awam lebih cenderung berhaya
lisan, karena orang awam lebih berfikir lebih kongkrit dan lebih encer dengan logika yang
lebih eksplisit.
Dengan asumsi ini, maka setiap ragam bahasa seperti ragam jurnalistik, hukum, sastra, seni
dan sebagainya dapat dikategorikan menurut gaya bahasa lisan atau tulis dengan berbagai
kecenderungannya.

Anda mungkin juga menyukai