tidak serupa dengan segala sesuatu yang baru-baru ini termasuk dengan nama sosiolinguistik.
Bagi Hymes, sosiolinguistik itu memberikan sumbangan terhadap kajian komunikasi pada
umumnya melalui kajian tentang organisasi alat-alat verbal dan tujuan akhir yang
didukungnya. Pendekatan di dalam sosiolinguistik yang demikian itu disebut etnografi
komunikasi, yaitu kajian tentang etnografi wicara. Untuk memahami kajian ini, Hymes
menyarankan untuk mengubah orientasi peneliti terhadap bahasa, yang mencakup tujuh butir.
Tekanan itu harus diarahkan kepada (1) struktur atau sistem tutur (la parole); (2) fungsi yang
lebih daripada struktur; (3) bahasa sebagai tatanan, dalam arti banyak mengandung fungsi,
dan fungsi yang berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda; (4) ketepatan
unsur linguistik dengan pesan (yang hendak disampaikan); (5) keanekaragaman fungsi dari
berbagai bahasa dan alat-alat komunikasi lainnya, (6) komunitas atau konteks sosial lainnya
sebagai titik tolak pemahaman- (7) fungsi-fungsi itu sendiri dikuatkan atau dibenarkan dalam
konteks, dan biasanya tempat batas, dan tatanan bahasa serta alat komunikasi lainnya
diangkat sebagai problematika. Secara singkat, pengutamaan lebih kepada tutur daripada
kode, kepada fungsi daripada struktur, ada konteks ketimbang pesan, kepada ketepatan
daripada kesewenangan atau hanya kemungkinan; tetapi antarhubungan antara semuanya itu
selalu esensial, sehingga .peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan,
melainkan juga mengkhususkan yang umum.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan bagian dari
kajian komunikasi secara keseluruhan. Untuk itu perlu dipahami beberapa konsep penting
yang berkaitan dengan etnografi wicara.
2.2 Konsep-konsep Dasar dalam Etnografi Komunikasi
2.2.1 Tata cara bertutur
Tata cara bertutur (ways of speaking) mengandung gagasan, peristiwa komunikasi di dalam
suatu komunitas mengandung pola-pola kegiatan tutur, sehingga kompetensi komunikatif
seseorang mencakup pengetahuan tentang pola itu. Tata cara itu mengacu kepada hubungan
antara peristiwa tutur, tindak tutur, dan gaya, di satu pihak, dengan kemampuan dan peran
seseorang, konteks dan institusi, serta kepercayaan, nilai, dan sikap, di lain pihak.
Tata cara bertutur itu berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lain, bahkan yang paling
mendasar sekali pun. Misalnya, di kalangan orang-orang kulit putih Amerika dari kelas
menengah terdapat kaidah tanpa kesenjangan, tanpa tumpang tindih dalam giliran bertutur
(turn-taking). Jika dua orang atau lebih terlibat dalam perpercakapan dan jika dua orang
mulai berbicara dalam waktu yang sama (tanpa disengaja), dengan cepat yang satu memberi
kesempatan kepada yang lain sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sebaliknya, jika terjadi
kemacetan beberapa detik saja, para partisipan menjadi begitu merasa tidak enak,
kemudian seseorang akan mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak penting sekadar untuk
mengisi kesenjangan atau kelompok partisipan itu segera bubar.
Namun menurut penelitian Reisman (1974), penduduk desa Antiguan (Swedia) biasa
melakukan pembicaraan dengan lebih dari satu orang dengan berbicara sekaligus. Dalam
komunitas Lapp di Swedia utara, kesenjangan dianggap sebagai bagian dari kebiasaan dalam
perpercakapan. Saville-Troike (1982) mengemukakan, beberapa kelompok Indian Amerika
yang menunggu beberapa menit berdiam diri sebelum menjawab pertanyaan atau mengambil
giliran berbicara adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan tradisi di dalam lingkungan
keluarga Jawa, anak-anak muda yang terlibat dalam pembicaraan dengan orang tua mereka,
tidak boleh begitu saja menyela tutur orang tua tanpa seizin si orang tua, tanpa diminta untuk
berbicara. Kalau pun si anak mempunyai kesempatan karena ada waktu, dia biasanya
memulai ujarannya, yang benada minta izin dengan mengucapkan Nuwun sewu,. (minta
beribu maaf).
Dengan demikian, tata cara bertutur itu berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dan
kelompok masyarakat yang lain. Masalahnya ialah bagaimana peneliti menentukan kelompok
masyarakat itu untuk tujuan pemerian etnografis.
2.2.2 Komunitas tutur
Jelas sekali, tidak semua warga negara menjadi anggota satu komunitas tutur (speech
community) saja. Contoh di atas menunjukkan, cara bertutur warga kulit putih kelas
menengah berbeda dengan warga dari Indian. Komunitas tutur juga tidak bisa ditentukan
karena dipakainya bahasa yang sama. Orang Inggris dan Amerika sama-sama berbahasa
Inggris tetapi mempunyai tatacara bertutur yang berbeda di tempat umum, misalnya
restauran. Di Inggris dalam perpercakapan di restauran suara partisipan direndahkan sehingga
orang-orang yang tidak terlibat percakapan itu tidak akan bisa mendengar apa yang
dicakapkan. Di Amerika percakapan semacam itu dapat didengar oleh seorang peneliti.
Karena itu perlu dirumuskan komunitas tutur yang dapat diperikan secara etnografis.
Rumusan itu tidak mudah diperoleh karena banyak definisi tentang komunitas tutur. Hymes
berpendapat bahwa semua warga komunitas tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah
wicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam (varietas) bahasa. Saville
Troike menganggap persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting terdapat persamaan
kaidah wicara.Troike juga menyebut adanya komunitas tutur yang tumpang tindih. Seorang
mahasiswa adalah warga kampus, tetapi juga warga asrama, warga suku, warga bangsa, dan
seterusnya. Tiap komunitas mempunyai sedikit kaidah pembeda komunikasi dan dalam halhal tertentu juga kaidah pembeda wicara. Ini berarti, setiap penutur tidak perlu termasuk
hanya ke dalam satu komunitas tutur atau ke dalam dua atau lebih komunitas tutur yang sama
sekali berbeda. Orang biasanya menjadi anggota dari beberapa komunitas tutur pada saat
yang sama. Orang akan mengubah perilaku tuturya, dengan menyesuaikan diri dengan
komunitas yang melibatkan tutumya, dengan menambah mengurangi, dan mengganti kaidah
perilaku komunikatif Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat tentang komunitas tutur.
Hudson (1980) berpendapat bahwa istilah komunitas tutur mengacu kepada komunitas yang
berdasarkan bahasa, yang sering dikacaukan dengan istilah komunitas bahasa (linguistic
community). Kajian tentang komunitas tutur ini banyak diminati oleh para linguis, setidaktidaknya sejak Bloomfield menulis dalam buku Language (1933).
Batasan paling sederhana tentang komunitas tutur dikemukakan olehJohn Lyons
(1970), Speech community is all the people who use a given language (or dialect).
(komunitas tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu).
Menurut batasan ini, komunitas tutur-komunitas tutur dapat saja bertumpang tindih (jika ada
para dwibahasawan) dan tidak perlu kesatuan sosial atau kesatuan kultural.jelasnya,mungkin
saja peneliti membatasi komunitas tutur jika peneliti dapat membatasi bahasa atau dialek.
2.2.2 Situasi, Peristiwa dan Tindak Tutur
Untuk mengkaji kebiasaan komunikasi di dalam suatu komunitas tutur, seorang peneliti harus
mengamati unit-unit interaksi, yaitu situasi tutur (speech situation), peristiwa tutur (speech
event), dan tindak tutur (speech act). Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan
peristiwa tutur menjadi bagian dari situasi tutur.3 Situasi tutur adalah situasi yang dikaitkan
dengandengan tuturan dan tidak ada kaitannya dengan linguistik, misalnya upacara,
pertengkaran, percintaan, dan sebagainya. Peristiwa tutur berciri komunikatif dan terikat
dengan aturan cara bertutur. Peristiwa tutr dapat terdiri atas satu atau lebih tindak tutur.
Misalnya gurauan yang terjadi dalam suatu percakapan(peristiwa tutur) dan terjadi di dalam
suatu pesta (situasi tutur). Dimungkinkan pula suatu tindak tutur sekaligus mencakup
peristiwa tutur dan situasi tutur, misalnya tindak tutur berdoa.
Tindak tutur merupakan tataran yang sederhana dan rumit, karena kedudukannya di dalam
komunikasi merupakan jenjang terendah, namun rumit sebab berkait dengan pragmatik.
Hymes berpendapat bahwa tindak tutur dipengaruhi oleh konteks sosial, bentuk gramatikal,
dan intonasi.
2.2.4 Komponen Tutur
Selain situasi, peristiwa, dan tindak tutur masih ada konsep lain yang cukup penting, yaitu
komponen tutur. Komponen tutur, misalnya akan meliputi akronim dari SPEAKING.
Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
S = Situasi (act situation), mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan
lingkungan fisik komunikasi yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Sedangkan
suasana akan berkaitan dengan suasana psikologis, misalnya situasi formal atau santai
P = Partisipan, mencakup tidak hanya penutur dan mitra tutur, tetapi juga adressor (juru
bicara) yang terkadang yang diwakili tidak berada di tempat. dan audience. (pendengar)
E = End (tujuan), mencakup maksud dan hasil yang akan dipilah atas tujuan dari
peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing
partisipan (goals)
A = Act sequence (urutan tindak), mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu
disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan).
K = Key (kunci) , yang mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan, misalnya
serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya.
I = Instrumentalities (peranti, perabotan), mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan
bentuk tutur ( misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, register, dan sebagainya)
N = Norms (norma), mencakup norma interaksi dan norma interpretasi. Misalnya
bagaimana orang Jawa selalu mematuhi sopan santun sebagai norma interaksi,
meskipun hanya tuturan fatis
G = Genre, yang mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya puisi,
khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya.
2.2.5 Nilai di Balik Tutur
Di dalam suatu komunikasi peneliti hendaknya mengamati pertuturan yang memiliki kaidahkaidah tertentu, dan yang menentukan kaidah tersebut adalah komunitas tutur. Kalau peneliti
ingin mengawali pandangannya dari sudut tutur bukan dari sudut sosial komunitas tutur,
peneliti dapat melihat bahwa di balik tutur ada nilai-nilai sosial-budaya. Artinya,dengan
melihat tuturan seseorang atau sekelompok orang peneliti akan dapat menentukan atau
setidak-tidaknya menerka dapat mengidentifikasi siapaorang itu, dari kelompok mana dia,
makna sosial tutumya, nilai, ajaran, pandangan hidup, dan sebagainya. Hal ini sangat masuk
akal karena sosiolinguis itu mengkaji hubungan antara gejala atau faktor sosial dengan gejala
atau faktor bahasa, dan peneliti dapat memulai kajian dari mana pun. Itulah sebabnya maka
Fasold membagi buku sosiolinguistiknya menjadi dua jilid, yaitu The Sociolinguisticts of
Society (1984) dan The Sociolinguistics of Language (1990).
3. Contoh Penelitian Etografi di Indonesiia
Untuk memahami lebih jauh tentang etnografi komunikasi berikut ini akan dikemukakan
hasil penelitian pakar sosiolinguistik Indonesia, yang dituangkan dalam disertasi mereka,
yaitu Dede Oetomo dan Soeseno Kartomihardjo.
3.1 Bahasa dan Identitas: Dede Oetomo
Dede Oetomo (1987) mengkaji kelompok Cina di Pasuruan dengan. melihat tuturan seharihari di berbagai peristiwa tutur, misalnya di ruang tunggu praktek dokter gigi, di dalam
rumah, di rumah orang yang kematian anggota keluarga, di toko, dan sebagainya. Partisipan
dan topik pertuturan juga beragam. Berdasarkan pengamatan terhadap mereka itu Dede
sampai kepada simpulan tentang adanya dua kelompok Cina, yakni Cina Totok dan Cina
Peranakan. Ini berarti, bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Kajian ini berdasarkan kerangka teori etnografi komunikasi yang dikembangkan oleh Hymes
yang antara lain melihat tutur sebagai bagian dari interaksi sosial (1987:.4), yang antara lain
memusatkan perhatian kepada perabot tutur (means of speaker) yang mencakup informasi
mengenai khasanah bahasa lokal, keseluruhan dari berbagai varietas, dialek, dan gaya yang
dipakai dalam komunitas. Menurut Gumperz (1982), pakar etnografi komunikasi harus
menyadari sepenuhnya, bahwa banyak penggunaan bahasa sebagaimana halnya tatabahasa,
adalah rule governed (mengandung kaidah). Di dalam memilah-milah kaidah itu tidak
boleh memisahkan bahasa dari kebudayaan, melainkan melihat peristiwa tutur sebagai
satuan-satuan terikat, yang menggambarkan miniatur sistem sosial di mana norma dan nilai
(value) merupakan variabel-variabel bebas yang terpisah dari bahasa. Tugas analisis
sosiolinguistik adalah menspesifikasikan interrelasi antara kedua variabel iltu dalam
peristiwa-peristiwa tutur yang merupakan ciri khas kelompok sosial tertentu.
Kajian Dede juga mengambil karya Labov (1972) tentang pemertahanan ciri-ciri dialek
dalam berbagai kelompok penutur bahasa Inggris-Amerika. Sebagaimana banyak dikutip oleh
buku-buku sosiolinguistik, kasus Kepulauan Martha Vineyard di AS mengemuka karena
kajian Labov. Wilayah itu merupakan wilayah pariwisata, penduduk asli banyak terdesak.
Karena banyak pendatang itu, banyak pula ragam bahasa di situ, tetapi ragam daratan
sangat dominan. Labov menemukan, salah satu ciri pembeda ragam adalah bidang fonologi.
Ada kelompok penduduk yang ciri lafalnya memakai sentralisasi bunyi /ay/ dan /aw/, dan
kelompok ini temyata penduduk asli kepulauan itu. Mereka tidak mau menyesuaikan diri
dengan lafal daratan yang dominan, dan mereka melakukan itu sebagai klaim dan
pemertahanan bahwa mereka sebagai penduduk asli. Ini berarti bahasa merupakan penanda
Cina peranakan. juga memakai imbuhan Bi tetapi memakai juga kata pinjaman dari bahasa
Cina (BC). Ini berarti, etnisitas menentukan kata pinjaman. Para mahasiswa memakai kata
sapaan you dan kata-kata pinjaman yang diindonesiakan: pendidikan menjadi faktor penentu
pilihan kata. Situasi sosial dan nada bicara juga dicatat Soeseno sebagai faktor signifikan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur di dalam interaksi dan komunikasi
mereka. Masih ada beberapa faktor sosial lain yang hendak digarap.
Untuk menangani beberapa masalah itu Soeseno memilih pendekatan sosiolinguistik yang
mencakup faktor-faktor sosial dan kultural dalam menganalisis varian-varian tutur da1am
komunitas bahasa. Dia menunjukkan, pilihan tutur yang bahasanya diikuti oleh perilaku
(tutur) tertentu dikendalai oleh nilai-nilai umum dan faktor-faktor sosial seperti usia,
pendidikan, ikatan kekeluargaan, keakraban, etnisitas, dan bagainya, faktor-faktor sosial
seperti situasi, pokok pembicaraan, maksud, dan sebagainya. Hanya saja karena Jawa Timur
merupakan wilayah dominasi Bj, maka Soeseno menentukan bahwa standar yang membentuk
basis umum t,agi semua interaksi sosial adalah standar Bj.
Di dalam penggunaan istilah, Soeseno meminjamnya dari Gumperz dan Hymes (1972) dan
Fishman (1972). Istilah varietas (variety) mengacu kepada varietas bahasa (dalam hal ini BI
dan Bj) yang berkorelasi dengan etnisitas, pendidikan, daerah, okupasi, dan sebagainya.
Misalnya, ada varietas BI peranakan Cina, BI oleh orang Jawa terdidik. Kode (code)
mengacu kepada bentuk tutur yang menyarankan adanya kesalingmengertian, solidaritas,
kelompok, identitas status atau kedudukan, dan sebagainya. Di Jawa Timur yang menjadi
kode umum bagi sebagian besar penduduk adalah bahasa Indonesia yang dijawakan
(colloquial javanised Indonesian) yang bervariasi sesuai dengan etnisitas dan pendidikan,
sementara bahasa Belanda merupakan kode yang dipakai sebagai identitas dalam kelompok
bagi orang-orang berpendidikan lama.
Orang biasanya berkomunikasi dalam suatu situasi sosial yang menurut Fishman (1972)
adalah kombinasi latar (waktu dan tempat) dengan hubungan peran antara para partisipan
dalam suatu. tindak (komunikasi) tertentu. Suatu situasi padu (kongruen) adalah situasi yang
di dalamnya hubungan peran, partisipan, waktu dan tempat berjalan bersama dalam suatu tata
cara yang secara kultural berterima (akseptabel). Norma-norma penggunaan bahasa di Jawa
Timur secara amat jelas dan seragam direalisasikan dalam situasi-situasi yang kongruen. Pada
umumnya, orang di Jawa Timur mengenal dua macam situasi sosial, yaitu situasi resmi dan
tak resmi. Situasi tak resmi mencakup sejumlah besar kejadian yang warganya berinteraksi
untuk tujuan kemasyarakatan, seperti kunjungan kepada teman, mengobrol dengan kenalan di
jalan, percakapan di antara keluarga, dan sebagainya. Situasi yang resmi (official) dibagi
menjadi formal dan informal. Dalam situasi formal dan ofisial, seperti pada rapat resmi yang
dihadiri personel dari sebuah kantor, pada upacara ritual dalam perkawinan, pada waktu
kuliah, dan sebagainya, pilihan kode biasanya jatuh kepada BI disertai pilihan terbatas katakata sapaan. Sebaliknya, dalam situasi informal misalnya dalam interaksi di antara teman
sekantor, dalam interaksi nonritual dan perkawinan, bagian informal dari kuliah, dan
sebagainya, bagi para partisipan lebih banyak pilihan kode dan kata sapaan meskipun tidak
sebanyak dalam situasi tidak ofisial, misalnya percakapan di lapangan tenis.
Partisipan dalam komunikasi terdiri dari penutur, lawan tutur, dan pendengar. Di Jawa Timur
hadirya pendengar bisa signifikan dalam pilihan kaidah yang kemudian menentukan pilihan
varietas. Misalnya hadirya seorang anak sebagai pendengar sering memaksa penutur dewasa
dan lawan tutur memakai kata sapaan lain dibandingkan jika tidak ada si anak. Pokok
pembicaraan juga sangat signifikan dalam menentukan pilihan kode. Misalnya, dua orang
Jawa yang biasa menyapa dan berbicara tentang keluarga dalam Bj segera beralih kode BInya orang Jawa yang terdidik jika mereka berbicara tentang tes masuk PT.
Kaidah dan norma untuk penggunaan tutur menguasai peristiwa dan tindak tutur yang terjadi
di dalam situasi sosial. Tindak tutur merupakan satuan terkecil yang mungkin masuk;
peristiwa tutur mengacu kepada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung
diatur oleh kaidah atau norma untuk penggunaan tutur. Misalnya, lelucon atau kata pengantar
adalah tindak tutur, salah satu atau keduanya dapat dimasukkan ke dalam suatu
perpercakapan (peristiwa tutur), yang terakhir dapat terjadi dalam konteks tertentu, misalnya
pesta ulang tahun (situasi sosial). Satuan lain yang juga menjadi kunci adalah nada, cara atau
semangat yang mengandung terjadinya tindakan. Lalu, apa dan bagaimana nilai orang Jawa
Timur itu? Soeseno mengemukakan, yang dimaksudkan dengan nilai ialah things in social
life induding ideals, customs, institutions and othersfor which the East Javanese people have
an affective regard (1981:.18), segala sesuatu dalam kehidupan sosial, mencakup cita-cita,
adat (kebiasaan), lembaga, dan segala hal yang menyentuh afeksi orang Jawa Timur.
4. Register, Dialek, dan Gaya Bahasa
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa berdasarkan
penggunaannya, sedangkan dialek sebagai variasi bahasa berdasarkan penggunanya Di dalam
konsep ini register tidak terbatas pada pilihan kata saja (seperti pengertian register dalam
teori tradisional) tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan struktur teks, dan teksturnya:
kohesi dan teksikogramatika, serta pilihan fonologi atau grafologinya. Karena register
meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau linguistik, maka banyak linguis menyebut
register sebagai styleatau gaya bahasa. Variasi pilihan bahasa register tergantung pada
konteks situasi, yang meliputi 3 variabel: field (meda), tenor (pelibat) dan mode (sarana) yang
bekerja secara simultan untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasu makna.
Sementara itu variasi bahasa pada dialek berdasarkan letak geografis (misalnya di dalam
Bahasa Jawa meliputi daerah Jawa Timuran, pesisiran, Surakartan, Yogyakartan, dan
Banyumasan), sastra sosial (misalnya : struktur hirarkis di dalam sistem kekerabatan, struktur
hirarkis status sosial, struktur hirarkis profesi). Secara umum Halliday (dalam Halliday dan
Hasan, 1985) membedakan register dan dialek sebagai berikut:
Register
Dialek menunjukkan struktur sosial Register menunjukkan tipe proatau tipe hirarki sosial yang dimiliki oleh
penggunanya.
sejenis yang menunjukkan hasil yang sama misalnya peneltiian oleh Brian Gray (1986) yang
meneliti bahasa anak sekolah orang kulit putih dengan anak Aborigin di Australia, kemudian
Michaels dan Heath yang melihat bahasa anak dan orang kulit hitam dan kulit putih di
Amerika Serikat (untuk detilnya lihat dalam Cook-Gumperz, 1986).
4.1 Konsep Register Berdasarkan Perspektif Sosiolinguistik
Pada mulanya register digunakan oleh kelompok-kelompok profesi (pekerjaan) tertentu.
Bermula dari adanya usaha orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat,
tepat, dan efisien di dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapanungkapankhusus. Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling mengetahui
karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan,pengalaman, dan kepentingan yang sama.
Akibat dari interaksisemacam itu akhirnya bentuk tuturan (kebahasaannya) akan
menunjukkan ciri-ciri tertentu, misalnya pengurangan struktur sintaktik, pembalikan urutan
kata yang normal dalam kalimat(Holmes, 1992:276-282). Oleh sebab itu, ciri-ciri
tuturan(kebahasaan) mereka selain akan mencerminkan identitas kelompoktertentu, juga
dapat menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguisdengan pemahaman
yang berbeda-beda. Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih
umum karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). yakni menunjuk pada variasi
bahasa yang mencerminkan perubahan berdasarkan faktor-faktor situasi (seperti O2,
tempat/waktu, topik pembicaraan). Lebih lanjut dijelaskannya bahwa kebanyakan para
sosiolinguis menjelaskan konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada
pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda.
Karena perbedaan ragam danregister tidak begitu penting maka kebanyakan
para sosiolinguis tidakbegitu mempermasalahkannya.
Dengan
demikian,
berdasarkan padasituasi
pemakaiannya,
Chaer
(1995:90)
menjelaskan
bahwa
variasibahasa akan berkaitan dengan fungsi pemakaiannya, dalam arti setiapbahasa yang
akan digunakan untuk keperluan tertentu disebut dengan fungsiolek, ragam, atau register.
Di dalam buku Sosiolinguistik II (Depdikbud, 1995:164) dikemukakan bahwa slang dalam
bahasa Inggris disebut register.Slang atau register merupakan bagian leksikal, yang
termasuk bidangyang disebut unsur bahasa tidak baku. Unsur tidak baku
tersebutmencakup (1) kata-kata
dengan
gaya
tertanda yaitu katakataekspresif yang digunakan
sehari-hari
dan
(2) katakata yangditentukan secara sosial yang penggunaannya terbatas pada kelompok sosial dan
profesi tertentu.
Sementara itu, Wardaugh (1986:48), memahami register sebagai pemakaian kosakata
khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial tertentu. Misalnya
pemakaian bahasa parapilot, manajer bank, para penjual, para penggemar musik jazz,
perantara (pialang), dan sebagainya. Konsep Wardaugh ternyata lebih jelas dibandingkan
dengan konsep Holmes.
Ferguson (1994) dalam kaitannya dengan konsep register berpendapat sebagai berikut.
A communication situation that recurs regularly in a society (in term of participants,
setting,
communicative functions,
and so forth)
will
tend
overtime to develop identifying markers of
language
structure
and
language use, different from the language of other communication situations. (dalam Biber,
1994:20). Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam masyarakat (dalam
hal partisipan, tempat, fungsi-fungsi komunikatif, dan seterusnya) akan cenderung
berkembang sepanjang waktumengidentifikasikan penanda struktur bahasa dan pemakaian
bahasa, yang berbeda dari bahasa pada situasi-situasi komunikasi yang lainnya.
Dijelaskan oleh Ferguson bahwa orang yang terlibat dalam situasi komunikasi secara
langsung cenderung mengembangkan kosa kata,ciri-ciri intonasi sama, dan potonganpotongan ciri kalimat dan fonologi yang mereka gunakan dalam situasi itu. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian itu akan memudahkan komunikasi
yang cepat, sementara ciri yang lain dapat membina perasaan yang erat.
4.2 Konsep Register Menurut Linguistik Sistemik Fungsional
Halliday
(1978:32)
menjelaskan
bahwa register
adalah suatu bentukprediksi,
dalam arti untuk mengetahui situasi dan konteks sosial pemakaian bahasa, bahasa
yang akan terjadi dan dipakai. Dengandemikian, fenomena pemakaian register tentunya
akan mengalami suatu perkembangan, baik dari khazanah kosa kata dan ungkapanungkapannya, maupun perkembangan dalam pengacuan maknanya. Adapaun ciri-ciri
register itu antara lain:
1. variasi bahasa berdasarkan penggunaannya dan ditentukan berdasarkan apa yang
sedang dikerjakan (sifat kegiatan yang menggunakan bahasa).
2. mencerminkan proses sosial (berbagai kegiatan sosial).
3. register menyatakan hal yang berbeda sehingga cenderung berbeda dalam hal
semantik, tatabahasa, dan kosakata (jarang dalam bidang fonologi). (Halliday,
1994:58-59)
Register oleh Halliday tidak hanya membahas soal variasi pilihan kata saja, tetapi akan
melingkupi pilihan penggunaan struktur teks dan teksturnya, kohesi dan leksikogramatika.,
serta pilihan fonologi dan grafologinya. Oleh karena register meliputi keseluruhan aspek
kebahasaan maka sering register disebut juga sebagai gaya tutur (style). Variasi pilihan
bahasa di dalam register akan terikat pada konteks situasi yang meliputi 3 variabel, yaitu
medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Medan akan merujuk apa yang terjadi
sebagai gambaran proses sosial, apa yang sedang dilakukan partisipan dengan bahasa, dan
lingkungan tempat terjadinya; pelibat akan menunjuk pada siapa saja yang berperan di
dalam kejadian sosial, bagaimana sifat-sifatnya, status dan peran sosial yang dimiliki; sarana
akan menunjuk pada apa yang diperankan dengan bahasa (persuasif, ekspositoris, atau
didaktis)saluran apa yang digunakan (tulis atau lisan). Ketiganya bekerja secara simultan
untuk membentuk konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna.
Secara populer register akan dibagi menjadi dua, yaitu register yang timbul karena
kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan profesi dan register yang timbul karena
orang-orang menjadi bagian dari profesi sosial bersama. (Depdikbud, 1995:166).
Seperti yang telah sedikit disebutkan di atas register merupakan konsep semantis yang
dihasilkan dari suatu konfigurasi makna atau konfigurasi kontekstual antara: medan, pelibat
dan sarana di dalam konteks situasu tertentu. Konfigurasi makna tersebut membatasi
penggunaan/pilihan makna dan sekaligus bentuknya untuk mengantar sebuah teks di dalam
konfigurasi itu. Dengan demikian register bukan semata-mata merupakan konsep bentuk. Jika
di dalam suatu konfigurasi makna tertentu register memerlukan bentuk-bentuk ekpresi
tertentu, hal itu disebabkan bentuk-bentuk ekspresi diperlukan untuk mengungkapkan makna
yang dibangun di dalam konfigurasi tersebut. Dalam pengertian ini register sama dengan
pengertianstyle atau gaya bahasa yaitu suatu varuan bahasa yang berdasarkan penggunaannya
(lihat Lyons, 1981, 1987). Bahkan Fowler mengatakan bahwa register atau gaya termasuk
penggunan bahasa dalam karya sastra seperti puisi, novel, drama dan lain sebagainya (1989).
Ia berpendapat walaupun para sastrawan mengklim bahwa karya sastra merupakan dunia
kreasi tersendiri, yang merupakan second order semiotic system (sistem semiotika tingkat
kedua) dan bahasa sebagai medianya hanya merupakan first order semiotic system (sistem
semiotika tingkat pertama), keseluruhan sistem semiotik tersebut baik yang tingkat pertama
maupun kedua tetap saja direalisasikan ke dalam bahasa yang merupakan sebagai media
karya sastra tersebut.
Medan (field) merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang terjadi: apa
yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Medan ini juga menyangkut pertanyaan yang terkait dengan lingkungan kejadian seperti:
kapan, di mana, bagaimana kejadian itu terjadi, mengapa kejadian itu terjadi dan sebagainya.
Di dalam contoh rembug desa di atas, medan emrujuk pada peristiwa rembug desanya itu
sendiri, cara yang digunakan dalam rembug desa tersebut, yaitu: musyawarah, topik yang
dibahas, tempat dan waktu musyawarah, serta mengapa musyawarah itu dilaksanakan. Aspek
medan ini di dalam teks dapat dilihat melalui struktur teks, sistem kohesi, transifitas, sistem
klausa, sistem grup, (nimona, verba dan adjunct), serta sistem leksis: abstraksi dan
teknikalitas, serta ciri-ciri dan kategori semantiknya.
Kemudian pelibat (tenor) merujuk pada siapa yang berperan di dalam kejadian sosial
tersebut, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya: macam
peran sosial yang bagaimana yang dipegang setiap partisipan, termasuk hubungan status atau
peran permanen atau sesaat, disamping juga merujuk pada peran bahasa yang digunakan
untuk mengekspresikan hubungan peran dan status sosial di dalamnya. Di dalam contoh di
atas yang termasuk di dalam pelibat ialah: partisipan: lurah, punggawa desa, dan masyarakat,
serta hubungan peran dan status sosial mereka seperti yang tampa pada bahasa yang mereka
gunakan untuk mengekspresikan hubungan peran serta status sosial mereka masing-masing.
Aspek pelibat ini juga mempunyai 3 sub-bagian, yaitu: afek, status dan kontak. Afek ialah
penilaian (assesment, evaluation dna judgement) antar partisipan di dalam teks. Penilaian ini
secara umum dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu: penilaian positif atau negatif. Akan tetapi
di dalam analisis teks penilaian positif atau negatif ini dapat dijelaskan melalui komponen
semiotik yang digunakan di dalam teks tersebut. Misalnya untuk penilaian positif dapat
dikatakan apakah partisipan mendukung, setuju pendapat partisipan yang lain, apakah
partisipan yang satu sedang menghargai, menyanjung partisipan yang lain dan sebagainya.
Penilaian negatif dapat terlihat apakah partisipan yang satu sedang meyerang, mengkritik,
mengejek, mencela, atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lainnya. Dari penilaian
inilah sebetulnya peneliti dapat melihat ideologi partisipan yang satu terhadap partisipan yang
lainnya. Dalam sistem kebahasaannya, afek ini dapat diinterpretasikan dari sistem
fonologi/grafologi, leksisnya: deskriptif atau atitudinal, struktur mood-nya: proposisi atau
proposal, transitifitas, struktur temanya, kohesi, dan struktur teks, serta genrenya. Aspek
pelibat yang kedua, yaitu status, membahas hubungan status sosial atau hubungan peran
partisipannya. Secara umum, hubungan peran dan status sosial ini dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu: hirarkis/vertikal, dan non-hirarkis/horisontal. Di dalam analisis, status
sosial dan hubungan peran ini harus dijelaskan status sosial yang seperti apa serta peran sosial
apa yang sedang diperankan oleh partisipan di dalam suatu teks, misalnya status dan peran
sosial partisipan lebih bersifat otoriter, tertutup seperti atasan-bawahan, dokter-pasien, dan
lain sebagainya, atau mungkin lebih bersifat demokratos, terbuka seperti hubungan antar
anggota parlemen, antar dosen, antar mahasiswa, dan sebagainya. Secara semiotis, hubungan
status dan peran sosial ini dapat dilihat melalui fonologi, grafologi, leksis: deskriptif atau
atitudinal, struktur mood, proposisi atau proposal, transitifitas, struktur tema, kohesi, dan
struktur teks beserta genrenya. Subaspek yang terakhir, yaitu kontak, mengevaluasi
penggunaan bahasa yang sedang digunakan di dalam teks tersebut. Apakah bahasa yang
digunakan tersebut familiar atau tidak, artinya semua partisipan yang terlibat di dalamnya
memahami dan menegrti bahasa yang sedang digunakan di dalam teks (proses sosial verbal)
tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut kontak ini menyangkut tingkat keterbatasan (readibility)
suatu teks yang sedang digunakan, maksudnya apakah teks ini terlalu sulit, sulit, mudah atau
terlalu muda untuk dimengerti. Untuk mencari tahu kontak (afamiliaritas dan keterbacaan ini)
seluruh aspek kebahasaan, dari aspek yang tertinggi sampai aspek yang terendah (struktur
teks : jelas pembukaan, isi dan penutuonya atau membingungkan, linier atau spiral (dalam
bahasa Jawa mbulet), kohesi: rujukannya jelas atau membingungkan, sistem klausanya:
simpleks, simpleks dengan embbeding, kompleks kompleks dengan embbeding,sistem
grupnya (nomina, verba, adjunct): simpleks atau kompleks, sistem leksisnya: kingruen atau
inkongruen, menggunakan abtraksi atau teknikaliats, serta fonologi atau grafologinya harus
diukur.
Akhirnya sarana (mode) merujuk pada bagian mana yang diperankan oleh bahasa, apa yang
diharapkan partisipan dengan menggunkan bahasa dalam situasi tertentu itu: organisasi
simbolis teks, status yang dimilokinya, fungsinya di dalam konteks tersebut, termasuk saluran
(channel) (apakah bahasa yang digunakan termasuk bahasa tulis atau lisan atau gabungan?)
termasuk di dalamnya sarna retorisnya: apakah yang diinginkan teks tersebut termasuk dalam
kategori: persuasif, ekspositpri, didaktis atau yang lainnya. Di samping itu aspek sarana ini
juga melibatkan medium yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut: apakah
mediumnya bersifat lisan dengan one-way (satu arah) atau two-way (dua arah)
communication: audio, audio-visual, misalnya: tutorial, pidato, siaran radio atau televisi,
dialog, seminar, kotbah dan lain sebagainya: atau tulis/cetak yang bersifat komunikasi satu
arah atau dua arah seperti: koran, majalah, tabloit, spanduk, papan iklan, surat menyurat dan
lain sebagainya.
Dalam contoh di atas yang termasuk di dalam aspek sarana ialah varian bahasa lisan: ngoko,
kromo yang digunakan oleh partisipan di dalam medium rembug desa, teksnya merupakan
satuan kesatuan aktivitas sosial yang bersifat persuasif dengan argumen logis atau hortatoris,
serta mediumnya ialah musyawarah dengan berbagai aturan tempat dan tata letak
(proksemik), cara bermusyawarah dan lain sebagainya.
Secara terperinci channel atau yang juga disebut gaya bahasa dapat dibagi menjadi dua yaitu
gaya lisan dan gaya tulis. Gaya lisan atau tulis ini tidak terikat erat dengan apakah bahasa itu
diucapkan atau ditulis, tetapi gaya lisan dan gaya tulis ini dilihat dari sifat alamiah bahasa
yang sedang digunakan (the nature of language). Sebenarnya pembagian gaya bahasa lisan
atau tulis ini tidak semata-mata bersifat mengklasifikasikan atau mengkategorikan bahwa
gaya bahasa hanya ada dua, tetapi pembedaan itu lebih merupakan suatu kontinum. Artinya
bahasa yang peneliti gunakan sehari-hari dapat jatuh pada garis kontinum lebih bersifat lisan,
cenderung lisan, tengah-tengah antara lisan dan tulis, cenderung tulis atau lebih bersifat tulis.
Lisan tulis
Karena tingkat abstraksi dan keencerannya gaya bahasa lisan dan tulis ini, sering dikaitkan
dengan ragam bahasa lainnya. Misalnya anak sering menggunakan bahasa ragam lisan,
karena tingkat pemikiran anak yang lebih konkret serta logika anak yang sederhana dan jelas
untuk mengekspresikan hubungan kejadian yang satu dengan kejadian yang lainnya.
Sementara orang tua sering menggunakan ragama bahasa lebih cenderung tulis karena orang
tua lebih banyak berfikir secara abstrak dengan logika yang lebih rumit. Kemudian, bahasa
akademik lebih bersifat lisan, karena sistemnya secara keseluruhan lebih abstrak dan logika
implisit dan leksis yang lebih padat. Sementara itu bahasa awam lebih cenderung berhaya
lisan, karena orang awam lebih berfikir lebih kongkrit dan lebih encer dengan logika yang
lebih eksplisit.
Dengan asumsi ini, maka setiap ragam bahasa seperti ragam jurnalistik, hukum, sastra, seni
dan sebagainya dapat dikategorikan menurut gaya bahasa lisan atau tulis dengan berbagai
kecenderungannya.