Anda di halaman 1dari 20

PSIKOLOGI KEWACANAAN

Kelompok 8
Disusun Oleh:
BADRU TAMAM
IRMA HANDAYANI
MUCHSIN TAUFIK
RR DEETY HANDAYANTI
WAHYU FITRIANINGSIH
2018
Latar Belakang
Ilmu linguistik telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Misalnya, analisis morfologi dan sintaksis masa lalu menggunakan
metode analisis unsur dan penyusunan (Item and arrangement), dan
kini analisis morfologi dan sintaksis bertumpu pada analisis unsur dan
proses (Item and procces). Demikian juga, teori dan teknik analisis
wacana sudah demikian maju. Misalnya, dulu para linguis menganalisis
wacana secara turun-temurun menggunakan pendekatan kohesi dan
koherensi. Sekarang para analis wacana sudah bekerja lebih luas lagi,
yaitu menganalisis wacana dengan teori modern, yang kritis, sosiologis,
dan psikologis.

Analisis wacana bukanlah sekedar satu pendekatan tunggal, melainkan


serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa digunakan untuk
mengekplorasi banyak domain sosial yang berbeda dan berada dalam
jenis-jenis kajian yang berbeda.
Selain analisis wacana konvensional, tiga pendekatan yang
berbeda pada analisis wacana modern juga dijadikan bahan penelitian
ini, yaitu analsis wacana posstrukturalis, analisis wacana kritis, dan
analisis wacana psikologis (psikologi kewacanaan).

Dalam psikologi kewacanaan, diargumentasikan bahwa cara


kita memahami dan mengkategorikan dunia bukan universal, tetapi
secara historis dan sosial tertentu dan bergantung pada
konsekuensinya. Lebih lanjut, ahli psikologi diskursif menarik
perhatian pada studi yang menantang penemuan dari ‘konsistensi
kognitif’. Studi ini memperlihatkan bahwa variasi dalam pembicaraaan
orang, di mana orang bertentangan dengan dirinya sangat sering dan
bahwa usaha membuat pendapat seseorang berpadu (yaitu
mengeliminasi variasi) relatif jarang terjadi.
Rumusan Masalah
1. Apa hakikat dari psikologi kewacanaan?
2. Bagaimana psikologi kewacanaan sebagai tantangan terhadap postrukturalis
kognitif?
3. Bagaimana analisis psikologi kewacanaan dalam proses komunikasi?

Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan hakikat psikologi kewacanaan.
2. Mendeskripsikan psikologi kewacanaan sebagai tantangan terhadap
postrukturalis kognitif.
3. Mendeskripsikan analisis psikologi kewacanaan dalam proses komunikasi.
HAKIKAT PSIKOLOGI KEWACANAAN
 KBBI : Psikologi berarti ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Psikologi
sosial artinya studi yang memadukan sosiologi dan psikologi, yang mempelajari aspek
kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Istilah psikologi sosial dalam analisis wacana
menurut Jorgensen dan Phillips (2007) sama dengan istilah psikologi kewacanaan.
 Jorgensen dan Phillips (2007), ujaran diorientasikan pada tindakan dalam konteks sosial
khusus dan dengan demikian makna tergantung pada penggunaan tertentu tempat
keberadaan ujaran tersebut. Dalam pengertian ini penggunaan bahasalah yang oleh ahli
psikologi kewacanaan disebut dengan wacana. Mereka juga menyatakan bahwa ketika
orang menjadi anggota sustu kelompok, dia mulai mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok itu dan memandang realitas sosial dari perspektif kelompok itu. Orang-orang
memiliki angapan kalau anggota kelompoknya sendiri lebih baik dibandingkan anggota
kelompok lain.
 Halliday dan Hassan dalam Arifin dkk. (2015) menguraikan konsep struktur informasi
dalam wacana dan berbagai aspek yang berkaitan dengannya. Halliday yang banyak
dipengaruhi aliran Praha, menyatakan bahwa informasi terdiri atas dua macam yaitu
informasi lama (given) atau latar dan informasi baru (new). Dalam wacana terdapat
informasi lama yaitu yang sudah diketahui oleh pemeberi maupun penerima informasi. Ini
sangat erat kaitannya dengan konteks komunikasi. Informasi yang sudah diketahui
bersama memudahkan komunikasi terutama bagi penerima, karena siap untuk
menerima informasi baru yang disampaikan.
Jadi…. Dapat disimpulkan

Psikologi Kewacanaan adalah kajian yang


subjek psikologis didefinikan sebagai “tentang
siapa yang akan dipikirkan oleh penutur” dan
predikat psikologis sebagai “tentang bagaimana
yang akan dipikirkan yang akan dipikirkan oleh
penutur”. Aspek-aspek psikologi sosial kognitif
merupakan konsep diri dan proses mental
dalam dua bidang utama penelitian tentang
sikap dan konflik kelompok
A. Diri dan Proses Mental
Psikologi Kognitif menganggap sebagai sumber pada konsepsi modern dari
individual sebagai mandiri, agen yang dibatasi oleh karakteristik yang otentik. Individual
dan masyarakat dianggap sebagai entitas yang terpisah, dengan demikian
mengimplikasikan keberadaan dari dualism antara individual dan masyarakat. Dunia
sosial diperlakukan sebagai informasi yang harus diproses, dan orang-orang dipahami
sebagai prosesor informasi yang terisolasi yang dengan cara proses kognitif,
mengobservasi dunia dan demikian mengakumulasi pengetahuan struktur dan
pengalaman yang menentukan persepsi mereka terhadap dunia.
Dalam psikologi kewacanaan, diargumentasikan bahwa cara kita memahami dan
mengkategorikan dunia bukan universal, tetapi secara historis dan sosial tertentu dan
bergantung pada konsekuensinya. Lebih lanjut, ahli psikologi kewacanaan menarik
perhatian pada studi yang menantang penemuan dari ‘konsistensi kognitif’. Studi ini
memperlihatkan bahwa variasi dalam pembicaraaan orang, di mana orang bertentangan
dengan dirinya sangat sering dan bahwa usaha membuat pendapat seseorang berpadu
(yaitu mengeliminasi variasi) relatif jarang terjadi
B. Penelitian Sikap
Berdasarkan kognitivisme, penelitian sikap memandang
sikap sebagai pengendalian aksi orang melalui produksi
evaluasi mental yang sedang berlangsung di dunia. Tujuan
penting dari penelitian adalah untuk meningkatkan kapasitas
komunikasi yang terencana seperti kampanye informasi untuk
mengubah sikap dan perilaku.
Dari perspektif psikologi kewacanaan, penelitian sikap
mengalami sejumlah masalah umum. Sebagai contoh, peneliti
sikap memperlakukan setiap sikap sebagai entitas yang
terisolasi dan tidak sebagai bagian dari sistem yang lebih besar
dari makna, dan tidak ada teori telah diformulasikan untuk
menjelaskan cara sikap individu yang berbeda yang terhubung
ke yang lain.
C. Konflik Kelompok
Pendekatan ahli Kognitif terhadap stereotip dan konflik kelompok
berusaha untuk memahami proses psikologi sosial yang khas yang
menimbulkan konflik antara kelompok. Salah satu gagasan pusat adalah bahwa
saat orang menjadi anggota sebuah kelompok, mereka mulai mengidentifikasi
dengan kelompok tersebut dan melihat realitas sosial dari sudut pandangnya.
Mereka datang dan menganggap anggota kelompok mereka sendiri lebih baik
daripada anggota kelompok lainnya. Rasisme dan etnosentrisme kemudian
dipahami sebagai hasil dari anggota kelompok. Perspektif ini menyiratkan
bahwa sebagai konsekuensi dari proses mental yang universal, fungsi semua
orang lebih atau kurang identik.
Dalam psikologi kewacanaan, teori identitas sosial dianggap sebagai
yang paling bermanfaat dari pendekatan kognitif. Teori Identitas sosial
dibedakan dari pendekatan kognitif lainnya dalam Social identity theory differs
from other cognitivist approaches in menekankan bahwa konflik antara
kelompok memiliki asal usul dalam konteks sosial dan sejarah tertentu. Tetapi,
mempertahankan aspek kognitif dalam hal melihat kategorisasi sebagai proses
psikologis. Tujuannya adalah untuk menentukan apa yang terjadi pada identitas
orang dan evaluasi mereka, persepsi dan motivasi ketika mereka saling
berinteraksi dalam kelompok.
D. Konstruksionisme Sosial dan Psikologi Kewacanaan
Menurut psikologi kewacanaan, wacana tidak mendeskripsikan dunia
eksternal ‘di luar sana’ sebagai skemata dan stereotip lakukan sesuai dengan
pendekatan kognitifisme. Sebaliknya, wacana menciptakan dunia yang
terlihat nyata atau benar untuk pembicara. Bahasa tidak terlihat sebagai
saluran yang berkomunikasi secara transparansi kenyataan psikologi yang
ada yang mana adalah basis dari pengalaman; sebaliknya, kenyataan
psikologi subjektif yang didasari melalui wacana, didefinisikan sebagai
penggunaan bahasa yang dikondisikan atau penggunaan bahasa dalam teks
dan bicara sehari-hari.
Pernyataan tentang keadaan psikologis harus diperlakukan sebagai
aktivitas sosial yang diskursif daripada sebagai ekspresi ‘esensi’ yang
mendalam di balik kata-kata. Kita memberikan arti untuk mengalami dari
keutamaan kata yang tersedia dan yang dihasilkan berarti kontribusi untuk
menghasilkan pengalaman daripada menjadi hanya deskripsi pengalaman
atau ‘setelah kejadian’ terjadi. Wacana dapat disebut untuk ’mengkostruksi’
kenyataan hidup kita. Banyak ahli psikolog kewacanaan berpendapat bahwa
kejadian sosial, hubungan dan struktur memiliki kondisi dari eksistensi yang
berada di luar bidang wacana.
E. Uraian Psikologi Kewacanaan yang Berbeda
Meskipun psikolog kewacanaan di seluruh jarak keseluruhan diri
mereka dari konsepsi yang sangat abstrak wacana dalam, misalnya,
pendekatan Laclau dan Mouffe, dalam mendukung posisi yang lebih
interaksionis, psikolog kewacanaan tidak setuju bagaimana untuk
menyeimbangkan antara sirkulasi yang lebih besar dari pola makna dalam
masyarakat di satu sisi, dan occuring produksi makna dalam konteks tertentu
di sisi lain.
Tiga alur yang berbeda dari psikologi kewacanaan dan dapat
digambarkan sebagai berikut:
1) Perspektif poststrukturalis yang didasarkan pada teori Foucault tentang
wacana, kekuasaan dan subjek.
2) Perspektif interaksionis yang dibangun pada analisis percakapan dan
ethnomethodologi.
3) Perspektif sintetis yang menyatukan dua perspektif pertama.
Fokus dalam perspektif pertama, yang paling dekat dengan konsepsi
yang lebih abstrak wacana, kemudian, adalah tentang bagaimana orang-
orang pemahaman dunia dan identitas diciptakan dan berubah dalam
wacana tertentu dan pada konsekuensi sosial dari konstruksi-konstruksi
diskursif. Perspektif kedua berkonsentrasi pada analisis orientasi aksi teks
dan berbicara dalam interaksi sosial. Berbekal pada analisis percakapan dan
ethnomethodologi, fokusnya adalah pada bagaimana organisasi sosial
dihasilkan melalui pidato dan interaksi.
Dalam perspektif ketiga, minat poststrukturalis bagaimana wacana
tertentu merupakan subjek dan objek yang dikombinasikan dengan minat
interaksionis dalam cara di mana wacana masyarakat berorientasi aksi sosial
dalam interaksi konteks tertentu. Stres yang sama ditempatkan pada apa
yang orang lakukan pada teks dan pembicaraan mereka dan pada sumber
daya kewacanaan yang mereka menyebarkan dalam praktek-prakteknya.
F. Repertoar Interpretatif
Inti dari model Potter dan Wetherell adalah pandangan wacana
sebagai ‘repertoar interpretatif’ yang digunakan sebagai sumber yang
fleksibel dalam interaksi sosial. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
informasi tentang pertanyaan tentang komunikasi, aksi sosial dan
pembangunan diri, lain dan dunia. Potter dan Wetherell menganalisis
bagaimana wacana dibangun dalam kaitannya dengan aksi sosial,
bagaimana orang membangun pemahaman mereka tentang dunia dalam
interaksi sosial, dan bagaimana pemahaman ini bekerja secara ideologis
untuk bentuk dukungan dari organisasi sosial berdasarkan pada hubungan
kekuasaan yang tidak seimbang.
Sebagai sumber yang fleksibel, repertoar interpretatif adalah, pada
saat yang sama, entitas yang dapat diidentifikasi yang mewakili cara yang
berbeda memberikan makna terhadap bentuk-bentuk dunia dan lunak yang
mengalami transformasi pada yang dimanfaatkan dengan retorika.
G. Jiwa, Diri, dan Identitas
Psikologi kewacanaan, sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas, didasarkan pada premis konstruksionis sosial yang menyatakan bahwa
diri itu bukanlah entitas yang otonomis dan tersendiri, tetapi senantiasa
berada dalam interaksi dinamis dan konstan dengan dunia sosialnya. Jiwa,
diri, dan identitas dibentuk, dinegosisasikan, dan dibentuk kembali dalam
interaksi sosial. Anak-anak mengembangkan rasa dirinya dengan cara
menginternalisasikan posisi mereka pada kategori-kategori yang terdapat
dalam wacana dan naratif-naratif yang berbeda.
Orang-orang, orang yang taksadar, jiwa dan diri dipandang sebagai
sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Dalam pendekatan ini, diri
bukanlah sebagai suatu objek yang bisa diuraikan sekaligus dan seketika,
tetapi harus dipandang sebagai sejarah hubungan-hubungan yang cair dan
senantiasa berubah. Diri harus dipandang sebagai sesuatu yang
didistribusikan tidak dilokalisasikan hendaknya menyebar, berubah,
mengelompok, dan mengumpul kembali di bidang sosial dan rasional.
Contoh Analisis Psikologi Kewacanaan

Contoh 1 Wetherell dan Potter dalam Jorgensen dan Phillips (2007: 120)
(Orang Maori secara keseluruhan bukanlah pemimpin, uh saya orang Maori yang memimpin dengan
cara seperti ini mungkin punya banyak darah Pakeha. Karena tidak ada orang Maori asli di Selandia
Baru dan kemungkinan, tahu kan, itulah alasannya mengapa.
Contoh 2 Wetherell dan Potter dalam Jorgensen dan Phillips (2007: 129)
(Saya cukup, saya tentunya sedikit menyukai Maoritanga kadang sangat unik di Selandia Baru dan
saya rasa saya berpikiran terus pada pelestarian (ya) dan begitu pula saya tidak ingin melihat suatu
spesies punah saya tidak suka melihat (ya) suatu budaya dan bahasa (ya) segala sesuatu yang lain
menghilang.
Contoh 3 Wetherell dan Potter dalam Jorgensen dan Phillips (2007: 129)
(Saya rasa mereka perlu berpegang pada budayanya (yah) karena jika saya mencoba
merenungkannya, orang Selandia Baru Pakeha tidak memiliki budaya (yeah). Saya, setahu saya dia
tidak punya budaya (yeah) kecuali bermain reguby, balapan, dan bir, itulah yang banyak dilakukan! (ya)
tapi orang Maori tentu punya sesuatu, ya khan, beberapa hal pasti yang mereka lakukan dan (yeah).
Tidak, saya mengatakan melestarikan budaya mereka).
Contoh 4 Wetherell dan Potter dalam Jorgensen dan Phillips (2007: 132)
(Uh, tahu kan orang Polinesia muda yang tak memiliki akar itu mungkin sedikit lebih jelas dibandingkan
orang Eropa meski jumlahnya beberapa orang saja dan anehnya karena alasan yang sama orang
semacam iitu masih tampak jelas di jalan-jalan (mmmhm). Um, dan sebagian kebangkitan akhir-akhir
ini di Maoritanga mendorong kebanyakan mereka untuk kembali dan menemukan akarnya dan itulah
apa yang benar-benar mereka butuhkan (ya).
Wacana 1 dapat dianalisis dengan pendekatan Psikologi Kewacanaan.
Contoh tersebut merupakan cerita yang mengacu pada “ras” kendati tidak
sepenuhnya rasis. Mereka tidak membicarakan secara langsung superioritas dan
inferioritas. tetapi mereka berdua menggunakan repertoar ras. Pada contoh 1,
Maori ditempatkan dalam posisi lebih tinggi dalam hierarki jika dibandingkan “ras-
ras” lain, seperti ras Aborigin. Pada contoh itu, orang yang berdarah “murni”
8dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan mereka yang berdarah
‘campuran” dan mereka tidak sebaik orang kulit putih (Wetherell dan Potter dalam
Jorgensen dan Phillips (2007).
Selanjutnya, menganalisis wacana 2 dan 3, “Budaya sebagai warisan”
merupakan konstruksi kewacanaan budaya sebagai sesuatu yang bersifat
tradisional dan tidak bisa diubah dan berlawanan dengan konsepsi budaya
sebagai suatu proses yang dinamis. Orang Maori dikonstruk sebagai ras
pemelihara meseum yang berkewajiban mempertahankan budayanya demi
kepentingan diri mereka sendiri
Wacana 4 dianalisis dalam repertoar interpretative yang lain, yakni
“budaya sebagai terapi”, diasumsikan bahwa jika orang Maori merasa baik-baik
saja, maka masalah-masalah sosial tidak akan muncul. Memiliki akar pada
budaya tradisional itu bagus-bagus saja karena menciptakan kebanyakan dan
rasa percaya diri yang didasarkan pada pengakuan atas perbedaan-perbedaan
budaya.
Contoh analisis berikutnya adalah pada artikel berita "Dampak Kunjungan Raja
Salman dan Rombongan bagi Perekonomian Indonesia"
Wacana kunjungan Raja Salman yang berkembang dalam masyarakat dapat
dibedah dengan aspek psikologi sosial atau kewacanaan. Arifin, dkk. menyatakan “Subjek
psikologis didefinikan sebagai “tentang siapa yang akan dipikirkan oleh penutur” dan
predikat psikologis sebagai “tentang bagaimana yang akan dipikirkan yang akan dipikirkan
oleh penutur”. Pendapat ini dapat dikaitkan dengan pendapat Halliday yang “menyatakan
bahwa informasi terdiri atas dua macam yaitu informasi lama (given) atau latar dan
informasi baru (new).”
Selanjutnya, dianalisis secara psikologis bahwa dalam benak dan pikiran warga
Indonesia Raja Salman dan rombongannya adalah orang kaya dari negeri Arab yang
membawa uang banyak yang akan diberikan kepada bangsa Indonesia. Ini sejalan dengan
apa dan bagaimana subjek dan objek tutur serta informasi lama tentang Raja Salman.
Sudah terbayang dampak apa yang akan dirasakan dengan kunjungan kali ini.
Secara finansial kedatangan Raja Salman diharapkan mendongkrak
perekonomian Indonesia khususnya sektor pariwisata, mengingat Raja Salman dan
rombongan merencanakan berlibur ke Pulau Dewata. Wisatawan dari Timur Tengah di
kenal sebagai wisatawan yang royal membelanjakan realnya hingga US$ 1.800 sementara
rerata dunia US$ 1.200. Ini peluang yang harus segera ditangkap Indonesia. Apalagi Raja
Salman membawa rombongan besar, 1500 orang. Dan ini adalah keluarga kerajaan, tentu
tidak hanya US$ 1.800 yang dibelanjakan di Bali. Bali menjadi alternatif liburan dari
keluarga Kerajaan. Jika ini yang terjadi pasti akan menarik juga wisatawan di luar keluarga
kerajaan.
Kunjungan ini juga dapat dinyatakan sebagai penjajakan apakah Negara-negara
yang dikujungi layak sebagai tujuan investasi. Kunjungan ke Asia antara lain mencari
pembeli 5 persen saham Saudi Aramco, mesin utama ekonomi kerajaan. Kunjungan Raja
Salman dan rombongan dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan yang terjadi di belahan
dunia, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika yang tak begitu bersahabat
dengan Timur Tengah. Meningkatnya terorisme yang mengatasnamakan Islam. Kemitraan
yang selama ini terjadi dengan Negara-negara sahabat tidak lagi menjanjikan. Dan situasi
perekonomian dalam negri yang memaksa mencari dana segar dari di luar minyak bumi.
Rakyat Indonesia sangat antusias dalam menyambut kunjungan Raja Salaman dan
Rombongan. Antusiasme ditunjukkan oleh penyambutan yang luar biasa oleh Presiden Joko
Widodo beserta staffnya. Pelayanan nomor satu dilakukan di mana saja. Warga yang juga
antusias menyambut, mereka tetap bertahan meski di tengah guyuran hujan.
Raja Salman sangat mengapresiasi atas sambutan hangat yang dilakukan
Indonesia. Beliau bersalaman dengan warga yang menyambutnya. Beliu juga memuji
kerukunan umat beragama di Indonesia.
Dalam simpulannya, Ausini dan Wahyono (2017) menegaskan bahwa kunjungan ini
membawa dampak besar pada perekonomian Indonesia. Pada saat kunjungan dengan
rombongan sangat besar tentu membutuhkan akomodasi yang memadai dan kualitas
terbaik. Pasca kunjungan ini tentu mendorong wisatawan Timur Tengah untuk mberkunjung
ke Indonesia, khususnya ke Bali. Pada sisi lain diharapkan dengan kunjungan ini investasi
Arab Saudi ke Indoneia bisa meningkat, beranjak dari peringkat ke-57.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, maka dapat ditentukan beberapa kesimpulan dalam
makalah ini sebagai berikut.
1. Beberapa kritik dalam psikologi kewacanaan dapat diilustrasikan dan dikonstruksi berdasarkan
perspektif dari masing-masing peneliti. Dengan menggunakan teknik analisis wacana yang
sistematis akan menunjukkan bagaimana orang memberikan diskursif termasuk identitas sosial
dalam membangun tuturan tertentu. Analisis wacana mencoba mengidentifikasi isi wacana,
hubungan antara wacana yang berbeda dan konsekuensi sosial untuk membangun subjek dan
objek dengan cara-cara yang memiliki konsekuensi sosial atau ideologi. Hasilnya akan
menerangkan/mendeskripsikan peran kewacanaan pada tatanan sosial tertentu yang dihubungkan
dengan kekuasaan sosial.
2. Beberapa kasus bahwa repertoar berkontribusi pada tatanan sosial yang dapat didokumentasikan
melalui analisis linguistik. Dengan teknik ini, segala macam interpretasi bersifat subjektif yang
memiliki kebebasan dengan criteria tidak ada yang baik ataupun yang buruk, semuanya bisa
dikatakan valid.
3. Penerapan pandangan relasional, fokus penelitian dapat secara individu ataupun kelompok dalam
proses produksi makna dalam interaksi sosial. Psikologi kewacanaan berpendapat bahwa variasi
dalam pemahaman dan identitas dapat ditemukan dalam pidato dengan pandangan konstruksionis
sosial diri. Sebaliknya, ahli kognitif berpendapat bahwa komunikasi dalam interaksi sosial tidak
hanya melibatkan linguistik saja tetapi sebagian didasarkan pada representasi dari dunia
(representasi sosial) yang tidak langsung dikomunikasikan, artinya dengan prasangka yang
membuat komunikasi tidak dinyatakan secara linguistik yang dibentuk dengan tindakan sosial.
Kedua komunikasi tersebut dapat digabungkan menjadi sebuah perspektif, artinya proses
komunikasi dalam interaksi sosial dan proses kognitif dapat dikombinasikan menjadi fokus analisis
wacana.
- TERIMA KASIH -
1) Pak Supron: Wacana kecelakaan lion ait JT
610 analisis Psikologi kewacanaan!
2) Pak Agus : Teori identitas sosial dalam
pendekatan kognitif!
3) Pak Alfaqih : Wacana penistaan agama,
uang berlogo PKI, (kelompok 3)
4) Pak Purwanto : Wacana keagamaan Syekh
Saman dan Sayyid Ja’far Bin Husain Bin
Abdul Karim Al Barzanji

Anda mungkin juga menyukai