Anda di halaman 1dari 74

FAKTOR SOSIOKULTURAL DALAM PROSES BELAJAR DAN PENGAJARAN BAHASA

Posted on August 5, 2010 by prodibpi

6 Votes

Oleh:

Sitti Fauziah M. M.Pd

Abstrak: Budaya adalah bagian integral dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Faktor sosial dan
kultur atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali kita mengajarkan satu
bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara
berpikir, merasa, dan bertindak.
Faktor-faktor sosiokultural juga berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa
asing. Pebelajar bahasa kedua bisa terputus aksesnya dengan penutur asli (dan berdampak juga
pada input yang dibutuhkan) akibat jarak sosial dan jarak psikologis. Akulturasi dan pemerolehan
bahasa kedua juga ditentukan oleh seberapa jauhnya jarak sosial (social distance) dan jarak
psikologis (psychological distance) antara pebelajar dan budaya bahasa sasaran.
Oleh karena itu, Guru dapat memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya
memahami budaya kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut
dengan baik dan mencapai tingkat mahir.

Kata Kunci: Faktor Sosiokultural, Pengajaran Bahasa Kedua

Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran bahasa banyak faktor yang mendukung keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran tersebut dan salah satunya adalah faktor-faktor sosiokultural. Faktor sosial dan kultur
atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali kita mengajarkan satu bahasa,
kita juga mengajarkan satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir,
merasa, dan bertindak (H. Douglas Brown, 2000: 65).
Bahasa, di samping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia
memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam
pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Antara anggota
masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi,
lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang
dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh
mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Bahasa
memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya.
Melalui bahasa seorang anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenal adat istiadat, tingkah
laku dan tata krama masyarakatnya. Ia mencoba menyesuaikan dirinya (adaptasi) dengan semuanya
melaui bahasa. Seorang pendatang baru dalam sebuah masyarakat pun harus melakukan hal yang
sama. Bila ingin hidup tenteram dan harmonis dengan masyarakat itu ia harus menyesuaikan dirinya
dengan masyarakat itu, untuk itu ia memerlukan bahasa, yaitu bahasa masyarakat tersebut. Bila ia
dapat menyesuaikan dirinya maka ia pun dengan mudah membaurkan dirinya (integrasi) dengan
segala macam tata-krama masyarakat tersebut.
Bahasa menunjukkan perbedaan antara satu dengan yang lainnya, tetapi masing-masing tetap
mengikat kelompok penuturnya dalam satu kesatuan. Setiap individu memungkinkan untuk
menyesuaikan dirinya dengan adat istiadat dan kebiasaan bahasa masyarakat itu. Dua orang yang
mempergunakan bahasa yang sama, akan mempergunakan pula kata-kata yang sama untuk
melukiskan suatu situasi yang identik. Kata sebagai sebuah simbol bukan saja melambangkan pikiran
atau gagasan tertentu, tetapi juga melambangkan perasaan, kemauan dan tingkah laku seseorang.
Dalam tulisan ini akan memaparkan pengertian tentang budaya, juga hubungan antara belajar
bahasa kedua dan belajar konteks budaya bahasa kedua tersebut. Beberapa topik akan dibahas
diantaranya adalah jarak sosial (social distance), budaya dalam kelas, kebijakan politik dan
kebahasaan, bahasa-budaya dan pikiran, juga beberapa contoh penerapannya dalam pengajaran
bahasa di kelas.

Definisi Budaya
Kultur atau budaya adalah pengetahuan yang diperoleh secara sosiai — socially acquired knowledge.
Pengetahuan ini diperoleh dari orang-orang lain di dalam lingkungan sekelilingnya; bisa melalui
petunjuk langsung atau dari mengamati perilaku mereka (R.A. Hudson, 1988: 77). Budaya juga
didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, keahlian, seni, dan peralatan (tools) yang menjadi ciri satu
kelompok masyarakat pada suatu masa tertentu. Tapi budaya bukan hanya sekedar kumpulan dari
bagian-bagian kecil. Larson dan Smalley dalam Brown (2000:176) memandang budaya sebagai
penuntun tingkah laku seseorang dalam suatu komunitas; budaya membuat orang peka terhadap
suatu masalah, dan budaya juga menolong kita untuk mengetahui apa yang orang lain harapkan dari
kita (H. Douglas Brown, 2000: 176). Kenyataannya memang tidak ada satupun kelompok masyarakat
yang tidak mempunyai budaya.

Stereotipe Budaya
Dalam pertukaran budaya, kita menyadari bahwa semua aspek yang ada dalam budaya yang masuk
akan bercampur dengan budaya kita, baik budaya positif maupun negatif. Tentu saja pandangan
seseorang tentang budaya yang masuk itu berbeda-beda. Jika seseorang berpandangan tertutup
(close-minded) maka mereka tidak akan bisa menerima perbedaan-perbedaan dari budaya mereka.
Dan hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah ‘stereotype’ tercipta. Stereotype melukiskan
tipikal dari anggota masyarakat. Contohnya, ada anggapan bahwa orang Amerika semuanya kaya,
santai, matrealistis, terlalu ramah, dan suka minum kopi. Orang Italia umumnya penuh gairah
(passionate), kekasih yang hebat, dan suka minum anggur merah. Sedangkan orang Inggris sopan,
pelit, dan suka minum teh.
Stereotype mungkin benar dalam menduga watak ‘umum’ anggota budaya tertentu tapi tidak akurat
untuk menggambarkan satu individu karena setiap orang memiliki keunikannya masing-masing. Olen
karena itu stereotyping atau pelabelan orang dari budaya berbeda haruslah dihindari baik pebelajar
maupun guru bahasa kedua harus memahami perbedaan budaya, menyadari bahwa setiap orang
berbeda-beda dan menghormati perbedaan tersebut.

1. Attitudes (sikap)
Menurut Gardner (1979), sikap memengaruhi motivasi yang pada akhimya akan mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua atau Second Language Acquisition-SLA (Diane Larsen Freeman, Michael
H. Long, 1992: 173); dengan kata lain sikap memiliki efek penting namun tidak langsung terhadap
SLA. Salah satu sikap yang paling banyak diteliti adalah sikap si pebelajar terhadap para pembicara
(speakers) bahasa sasaran (target language-TL.) tersebut. Makin positif sikap si pebelajar maka
makin bagus pula kemajuan belajarnya..
Sebuah studi dilakukan oleh Hermann (1980) yang meneliti satu kelompok yang terdiri dari 750
anak-anak Jerman yang sedang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing (Diane Larsen Freeman,
Michael H. Long, 1992: 175). la menemukan bukti bahwa anak anak yang sudah belajar bahasa
Inggris selama lima tahun menunjukkan sikap positif yang jauh lebih tinggi terhadap budaya sasaran
(target culture) dibandingkan kelompok yang baru mulai belajar bahasa Inggris. Kesimpulan
Hermann adalah: kepuasan yang didapatkan pebelajar dari prestasinya dalam kegiatan belajar bisa
mempengaruhi sikapnya terhadap satu kelompok ethnolinguistic bahkan bisa menghasilkan
perubahan sikap. Jadi, bisa disimpulkan bahwa sikap dan kemajuan belajar sangat terkait erat dan
mempengaruhi satu sama lain.
Meneliti lebih dalam lagi, menurut Freeman dan Long (1991) ada beberapa faktor lain yang juga
mempengaruhi sikap dan motivasi pebelajar untuk mempelajari satu bahasa.

a. Orang Tua
Beberapa studi sudah menyelidiki peran orang tua dalam pembentukan sikap si pebelajar terhadap
pengguna TL. Diantaranya Feenstra (1969) yang menyimpulkan bahwa anak-anak Anglophone di
Canada yang belajar bahasa Perancis sebagai bahasa kedua di Montreal tidak harya mengadopsi
sikap orang tuanya terhadap komunitas French Canada tapi sikap ini juga mempengaruhi prestasi
anak-anak itu dalam mempelajari bahasa Perancis.

b. Teman Sebaya (peers)


Penelitian Elias-Olivares (1976) menunjukkan bahwa generasi kedua Mexican American lebih suka
memakai dialek calo daripada memakai bahasa Spanyol standar yang mereka pelajari di kelas
bilingual. Hal ini dikarenakan anak-anak yang sudah lebih lama memakai calo akan mengolok-olok
jika mereka berusaha bicara dengan bahasa standar.

c. guru
Sikap guru terhadap murid sudah tentu mempengaruhi kualitas belajar. Bahkan Tucker dan Lambert
(1973) menyatakan sikap guru lebih penting daripada sikap orang tua atau masyarakat dalam
mempengaruhi hasil pemerolehan bahasa kedua.

d. Etnis
Kelompok etnis seseorang bisa menentukan sikap dan perilaku terhadap anggota kelompok lain dan
pada akhirnya bisa mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua/asing.

2. Akulturasi
Teori akulturasi berfokus pada pertanyaan kenapa pebelajar bahasa kedua, tidak seperti pebelajar
bahasa pertama, kerap gagal mencapai kefasihan (mastery) bahasa sasaran. Penjelasannya disebut
dengan istilah ‘distance’ atau ‘jarak’. Pebelajar bahasa kedua bisa terputus aksesnya dengan penutur
asli (dan berdampak juga pada input yang dibutuhkan) akibat jarak sosial atau jarak psikologis.
Dalam kasus seperti itu maka perkembangan kemampuan pebelajar menjadi berhenti ‘fossilizes’ dan
tidak ada perkembangan lebih lanjut pada interlanguage.
Akulturasi adalah proses modifikasi sikap, pengetahuan, dan perilaku dengan cara menambahkan
elemen-elemen baru pada latar belakang budaya seseorang, mengurangi beberapa elemen yang
sudah ada sebelumnya, dan penyusunan ulang (reorganisasi) elemen-eleinen lain (Barry McLaughlin,
1989). Keseluruhan proses akulturasi tersebut membutuhkan adaptasi sosial dan psikologis.
Akulturasi dan pemerolehan bahasa kedua ditentukan oleh seberapa jauhnya jarak sosial (social
distance) dan jarak psikologis (psychological distance) antara pebelajar dan budaya bahasa sasaran.
Social distance berhubungan dengan individu sebagai anggota kelompok sosial yang berhubungan
dengan kelompok sosial lain yang anggota-anggotanya bicara dengan bahasa berbeda. Sedangkan
Psychological distance adalah hasil dari beragam faktor-faktor afektif yang menyangkut si pebelajar
sebagai individu, misalnya gegar budaya dan motivasi tinggi/rendah.
Gegar budaya (culture shock) adalah pengalaman yang sering terjadi pada pebelajar bahasa kedua
pada budaya keduanya. Artinya, pebelajar itu belajar bahasa kedua di tempat yang baru dengan
budaya yang baru juga. Gegar budaya identik dengan rasa asing, marah, frustasi, tidak senang, sedih,
kesepian, bahkan sakit fisik.
Gegar budaya ini digambarkan sebagai tahap kedua dalam pemerolehan budaya (culture acqusition),
yang seluruhnya terdiri dari:
1. Euphoria dan excitement;
2. Gegar budaya (culture shock),
3. Culture stress;
4. Asimilasi dan adaptasi.

Namun, gegar budaya juga bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif yaitu sebagai pengalaman
be!ajar lintas budaya dimana seseorang menjadi sadar akan perkembangan, proses belajar, dan
perubahan vang terjadi pada dirinya. Melalui pengalaman ini seseorang akan mendapatkan cara
pandang yang berbeda atas dirinya sendiri dan memahami nilai-nilai, sikap, dan cara pandang orang
lain yang diturunkan dari budaya mereka.

3. Social Distance (jarak sosial)


John Schuman dalam Brown (2000:185) mendeskripsikan jarak budaya seperti di bawah ini:
1. Dominansi; sehubungan dengan kelompok bahasa target (Target Language Group), apakah
kelompok pembelajar bahasa kedua (second language group-L2 group)
tersebut dominan, non-dominan, atau sub-ordinat secara politik, budaya, teknis, dan ekonomi?
2. Integrasi; bagaimana pola integrasi kelompok L2? Apakah secara asimilasi, akulturasi, atau
preservasi? Apakah derajat/tingkat kelompok L2 saling terpisah?
3. Kepaduan; apakah kelompok L2 saling terpadu? Seberapa banyakkah anggota kelompok L2
tersebut?
4. Kesamaan; apakah ada kesamaan budaya antara kelompok L2 dan kelompok TL dalam hal sistem
nilai dan kepercayaan? Bagaimana sikap-sikap keduanya satu sama lain?
5. Lama tinggal; Seberapa lamanya kelompok L2 berniat untuk tinggal di daerah TL?

Kelima faktor diatas digunakan pula oleh Schumann untuk mendeskripsikan situasi belajar bahasa
yang ‘baik’ dan yang ‘buruk’. Situasi belajar yang buruk adalah:
1. Kelompok TL menganggap bahwa kelompok L2 dominan dan kelompok L2 pun beranggapan sama
terhadap diri mereka. Kelompok L2 padu dan besar, budaya keduanya tidak sama, keduanya
memiliki pandangan yang buruk satu sama lain, dan
kelompok L2 bemiat untuk tinggal di wilayah TL sebentar saja.
2. Situasinya sama dengan poin 1 tapi kelompok L2 justru menganggap diri mereka sebagai
kelompok minoritas dan dianggap demikian pula oleh kelompok TL.

Situasi belajar yang baik adalah: kelompok L2 tidak mendominasi kelompok TL. Keduanya saling
berasimilasi atau minimal berakulturasi. Budaya keduanya mirip/sama Kelompok L2 hanya sedikit
dan tidak begitu padu. Kedua kelompok saling menghargai. Kelompok L2 berniat untuk tinggal di
wilayah TL lebih lama. Kondisi-kondisi inilah yang akan meminimalkan jarak atau kesenjangan dan
pemerolehan bahasa target akan tercapai.
Salah satu kelemahan hipotesis Schumann tersebut terletak pada cara pengukuran jarak yang ada,
seberapa besar jarak tersebut, bagaimana cara mengukurnya, dan bagaimana cara pengukuran
tersebut dapat menjadi tolak ukur perbandingan jarak yang ada. William Acton kemudian
menentukan solusi dengan tes PDAQ (Professed Difference in Altitude Questionnare) yang
mengkarakterisasi pebelajar bahasa yang baik/berhasil. Tes ini memiliki tingkat akurasi tinggi. Tes ini
mencoba menggambarkan perbedaan-perbedaan konsep kata (misalnya ‘perceraian’ atau ‘polisi’)
berdasarkan jarak antara pebelajar dengan masyarakat mereka sendiri secara umum, dengan
anggota kelompok TL, dan antara masyarakat mereka sendiri dengan masyarakat kelompok TL.
Teori Acton didukung pula oleh Lambert yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa asing terjadi
seiring dengan kondisi/situasi di mana pebelajar telah ‘keluar’ dari budaya awalnya tapi belum
seutuhnya berasimilasi dengan/ ke dalam budaya TL. Menurut optimal distance model (Brown: 1980)
tentang pemerolehan bahasa kedua, orang dewasa yang gagal menguasai bahasa kedua dalam
budaya kedua mungkin telah gagal menyelaraskan antara perkembangan linguistik dengan budaya.

6. Budaya dalam Kelas


Tidak semua siswa dapat dengan mudah beradaptasi dengan budaya baru. Ada sebagian siswa yang
mengalami hambatan psikologis dan efek-efek budaya lainnya. Siswa yang mengalami haI ini bisa
merasa diasingkan oleh orang-orang disekitarnya dalam budaya kelompok TL. Keterasingan budaya
ini dapat diatasi dengan teknik role-play (untuk berkomunikasi secara oral) dan menggunakan teknik
lain seperti bacaan, film, atau pemainan simulasi.
Belajar bahasa yang baik adalah dengan mempelajari bahasa tersebut di wilayahnya, misalnya
belajar bahasa Jepang di Jepang. Tapi kendalanya adalah siswa terkadang masih membawa dan
cenderung menerapkan budaya aslinya ke dalam budaya barunya. Geert Hofstede dalam Brown
(2000:190) menggunakan empat kategori untuk mempelajari norma budaya dari lima puluh negara
yang berbeda:
1. Budaya individualisme melawan budaya kolektivisme. Dalam budaya individualis, seseorang
dipandang berdasarkan kepentingannya sendiri atau kepentingan anggota
keluarganya. Sedangkan dalam budaya kolektivisme, seseorang dipandang sebagai anggota
kelompok/keluarga/marga/organisasi tersebut sejak kelahirannya.
2. Perbedaan derajat. Seseorang dengan posisi/pangkat yang tinggi akan diperlakukan dengan
hormat sedangkan seseorang dengan pangkat rendah akan diperlakukan dengan rendah pula.
3. Menghindari kebingungan, dilakukan dengan cara menjaga tingkah laku dan sikap.
4. Gender. Ada budaya yang meletakkan semua peran sosial pada pihak lelaki (patrilineal).

7. Kebijakan Berbahasa dan Politik


Bicara tentang bahasa dan masyarakat tidak terlepas dari faktor-faktor politik tentang penggunaan
bahasa dan kebijakan berbahasa. Bahasa Inggris yang sekarang ini telah menjadi ‘lingua franca’ telah
menimbulkan perdebatan internasional tentang pembuatan kebijakan berbahasa yang harus
berhadapan dengan bermacam-macam legitimasi bahasa lnggris yang ada.
a. Status bahasa Inggris dalam keberagamannya
b. Munculnya konsep baru terhadap konteks penggunaan bahasa Inggris. Contoh: adanya bahasa
Inggris Melayu di Malaysia dan Singapura, bahasa Inggris India di India. Hal ini dinamakan sebagai
proses nativisasi atau pengaslian.
c. ESL (English as a Second Language) dan EFL (English as a Foreign Language).
d. ESL berarti bahasa Inggris dipelajari sebagai bahasa kedua dan digunakan di negara tersebut. EFL
berarti bahasa Inggris hanya dipelajari sebagai bahasa asing dan bukan sebagai bahasa sehari-hari.
Pebelajar harus bisa membedakan status budaya dan sosiopolitikalnya dalam bahasa asli dan bahasa
target, tujuannya mempelajari bahasa tersebut, dan intensitas motivasi pebelajar tersebut.
e. Imperialisme linguistik dan hak-hak bahasa
f. ’Penjajahan’ bahasa asli oleh bahasa asing (bahasa Inggris), Sebagai guru, kita harus waspada
terhadap penerapan sistem nilai asing terhadap siswa.
g. Kebijakan berbahasa dan kewajiban menggunakan bahasa Inggris

Satu lagi bentuk manifestasi penguasaan sosiopolitis di dunia ada pada kebijakan pemerolehan
bahasa kedua. Kebijakan berbahasa bervariasi antara penggunaan bahasa dalam pendidikan anak
dengan penggunaan bahasa secara resmi dalam suatu negara. Untuk mengatasinya diperlukan
kehati-hatian dalam pembuatan kebijakan berbahasa karena bahasa akan dianggap sebagai suatu
sistem nilai bagi generasi selanjutnya dalam masyarakat tersebut.

8. Hubungan Bahasa, Pikiran, dan Budaya


Perkembangan kognitif dan perkembangan linguistik berjalan beriringan dan berinteraksi satu sama
lain. Cara sebuah gagasan/fakta dinyatakan mempengaruhi cara kita membentuk konsep tentang
gagasan tersebut. Misalnya, persuasi dalam bahasa iklan, dalam ceramah seorang politisi, atau kisah
menyentuh dalam sebuah novel.
Budaya adalah bagian integral dari interaksi antara bahasa dan pikiran. Contoh faktor budaya adalah
gaya wacana percakapan. Misalnya, gaya obrolan santai di US tidak terlalu blak-blakan dibandingkan
dengan gaya percakapan di Yunani. Pendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa terpisahkan
dipopulerkan oleh ahli-ahli Jerman seperti Johann, Herder (1803) dan Wilhelm von Humboldt (1835).
Mereka menyatakan bahwa:
….different people speak differently because they think differently, and that they think differently
because their language offers them different ways of expressing the world around them.” (Kramsch,
1998: him 11).

Gagasan ini disebut sebagai linguistic relativity. Ide ini dikemukakan lagi di US oleh linguis Edward
Sapir (1939) dan muridnya Benjamin Lee Whorf (1941) saat meneliti bahasa suku Hopi (lndian
Amerika). Pandangan \Vhorf tentang saling ketergantungan antara bahasa dan pikiran dikenal
dengan nama hipotesis Sapir-Whorf.
Hipotesis Sapir-Whorf mengatakan bahwa struktur bahasa yang kerap dipakai oleh seseorang
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak orang tersebut. Hipotesis ini menimbulkan banyak
kontroversi sejak dirumuskan oleh Whorf pada tabun 1940. Banyak orang tidak mau menerima ide
bahwa bahasa menentukan pikiran (versi keras dari hipotesis ini) dan bukan sebaliknya. Namun
sejalan dengan waktu, versi lemah hipotesis ini, yang didukung oleh penemuan-penemuan bahwa
memang ada perbedaan budaya dalam asosiasi semantik yang dimunculkan oleh konsep-konsep
yang tampakuya umum, dapat diterima secara luas.
Contoh kasus: Bahasa anak Navajo membedakan antara kata kerja ‘memungut benda bulat’ seperti
bola dengan ‘memungut benda panjang, tipis, dan lentur’ sepeiti tali. Saat disajikan tali biru, tali
kuning, dan tongkat biru, lalu diminta memilih benda apa yang paling cocok dengan tali biru, hampir
semua anak Navajo memilih tali kuning karena mengasosiasikan benda atas dasar bentuk fisik.
Sedangkan anak berbahasa inggris hampir selalu memilih tongkat biru, mengasosiasikan dengan
dasar warna, walau sebetulnya dua kelompok anak ini sama-sama bisa membedakan antara warna
dan bentuk dengan baik.
Eksperimen ini mendukung versi lemah hipotesis Whorf bahwa para pengguna bahasa cenderung
memilah dan membedakan pengalaman yarig mereka temui secara berheda-beda tergantung
kategori semantik yang tersedia di bahasa masing-masing.
Maka kita sebetulnya tidak terkurung oleh makna budaya yang ada dalam bahasa kita tapi kita juga
bisa memperkaya makna tersebut melalui interaksi pragmatik dengan pengguna bahasa lain.

9. Penerapan di Kelas
Hubungan bahasa-budaya adalah faktor penting dalam pembelajaran bahasa kedua. Di dalam kelas
guru bisa:
1. Membantu murid untuk menyadari tentang akulturasi dan tahap -tahapnya;
2. Menekankan pentingnya bahasa kedua sebagai alat yang berguna untuk menyesuaikan diri di
budaya yang baru;
3. Lebih peka terhadap murid-murid yang nampaknya putus asa dan berusaha seoptimal mungkin
untuk membantu mereka.

Prinsip ini juga harus melandasi teknik-teknik yang dipakai guru bahasa asing di dalam kelas. Berikut
adalah contoh checklist untuk menilai apakah teknik-teknik yang dipakai guru cocok secara budaya
(Brown, 2000: hlm 202):
1. Apakah teknik tersebut mengindahkan nilai-nilai dan kepercayaan yang merupakan bagian dari
budaya murid?
2. Apakah teknik tersebut tidak merendahkan stereotype budaya manapun, termasuk budaya murid-
murid Anda?
3. Apakah teknik tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk merendahkan bahasa asli murid-murid
Anda?
4. Apakah teknik tersebut mengindahkan tingkat kerelaan (willingness} murid untuk berpartisipasi
secara terbuka akibat faktor-faktor kolektivitas/individualitas dan kedudukan antara guru-murid?
5. Jika teknik tersebut mengharuskan murid untuk keluar dari zona nyaman budaya mereka, apakah
hal itu dilakukan dengan empati dan cermat?
6. Apakah teknik tersebut peka terhadap peran lelaki dan perempuan yang dianggap baku dalam
budaya murid-murid Anda?
7. Apakah teknik tersebut menghubungkan unsur-unsur bahasa khusus (mis. Kategori tata bahasa,
leksikon, wacana) dengan cara berpikir, merasa, dan bertindak yang dipengaruhi oleh budaya?
8. Apakah teknik tersebut dapat menggali latar belakang pengalaman murid yang melimpah,
termasuk pengalaman pribadi mereka dalam budaya lain?

Penutup
Faktor-faktor sosiokultural berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa
asing. Dengan mengenali hubungan yang kompleks tersebut guru bahasa dapat merancang
perlakuan apa yang oocok terhadap murid-muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun
teknik. Guru juga dapat memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami
budaya kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut dengan
baik dan mencapai tingkat mahir.

Daftar Pustaka
Brovvn, H. Douglas. Principles in Language Learning and Teaching-4th Ed. Longman. New York, 2000
_____. Teaching by Principles, An Interactive Approach to Language Pedagogy, Second Edition,
Longman. New York, 2000.
Gorys Keraf. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Jakarta: Penerbit Nusa Indah, 1994.
Kramsch, Claire. Language and Culture. Oxford University Press. Oxford, 1998.
Larsen-Freeman, Diane dan Long, Michael H. An Introduction to Second Language Acqusition
Research. Longman, New York, 1992.
Metodologi Pengajaran Bahasa Dan Sastra : Faktor-Faktor Sosiokultural

BAB I

PENDALUHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fungsi Bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya
maka bahasa berfungsi sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan
inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi
sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas bangsa, alat
pemersatu, dan sebagai alat penghubung antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok,
bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi
perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh, kepribadian, pemecahan masalah,
mempengaruhi dan khayalan.

Didalam pemerolehan maupun menguasai bahasa, seseorang akan dipengaruhi oleh empat bagian
utama, yang meliputi lingkup sosio-kultural, perbedaan individual, konteks pemerolehan bahasa,
dan out-comes belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan
afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan
kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa.
Sehingga faktor sosio-kultural atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Setiap kali
kita mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang kompleks tentang kebiasaan
budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan bertindak. Faktor-faktor sosio-kultural juga berkaitan
erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua.

Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan


pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus
dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang
bukan dengan cara menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman jiwanya,
melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah hidupnya.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka makalah ini akan memaparkan faktor serta pengaruh sosio-
kultural dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa.

B. Rumusan Masalah

Adapun fokus kajian dalam makalah ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa, sosio-budaya
dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran bahasa.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan bahasa secara
umum dan faktor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa, Masyarakat, dan Budaya

Hakikat bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang dalam diri anak-
anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal, dipakai tanpa memahami logika yang
mendasarinya, secara kualitatif sama dalam diri setiap orang, dan berbeda dari kecakapan-
kecakapan lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memproses informasi atau berperilaku secara
cerdas.[1]

Merupakan suatu kenyataan bahwa bahasa wajar dimiliki oleh setiap manusia. Kewajaran ini
mungkin menyebabkan bahasa dianggap sebagai alat kominikasi sehari-hari yang biasa saja,
sehingga tidak perlu mendapat perhatian yang selayaknya sesuai dengan fungsinya di dalam
masyarakat. Dapatkah dipikirkan bagaimana kebudayaan dapat diterima dari nenek moyang dan
diteruskan kepada generasi penerus tanpa menggunakan bahasa sebagai alat penghubungnya.
Berdasarkan kenyataan yang ada, bahasa merupakan hal yang vital dalam masyarakat karena di
dalam melakukan kegiatan bermasyarakat sangat tergantung dengan adanya bahasa.

Bahasa tidak terpisahkan dari manusia / masyarakat dan selalu mengikuti dalam setiap
kegiatan manusia. Mulai saat ketika bangun pagi sampai jauh malam waktu beristirahat, manusia
tetap menggunakan bahasa, bahkan pada waktu tidur pun sering manusia memakai bahasanya.
Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakikatnya mereka masih juga memakai bahasa
karena bahasa alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran dan perasaannya, keinginan dan
perbuatan-perbuatan, alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa
adalah dasar pertama dan paling berurat-berakar bagi manusia / masyarakat. Bahasa adalah tanda
yang jelas dari kepribadian, keluarga, bangsa, dan budi pekerti manusia. Dari pembicaraan seseorang
kita bisa menangkap tidak saja keinginannya, tetapi juga motif keinginannya, latar belakang
pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan sebagainya.

Bahasa memberikan kepada manusia di samping warisan biologisnya, juga suatu garis
kelangsungan yang lain yang menyebabkan timbulnya kebudayaan dan akumulasi ilmu
pengetahuan.[2] Dengan demikian sebenarnya bahasa itu menandai eksistensi manusia dan
keseluruhan kegiatan anggota masyarakat yang dapat dirangkum dalam kata “kebudayaan”. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah dasar kebudayaan karena bahasa merupakan kunci yang
paling penting untuk membuka ciri-ciri suatu kelompok masyarakat. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa bahasa, masyarakat, dan budaya merupakan trilogi yang tidak dapat
dipisahkan karena bahasa hidup di dalam masyarakat yang memiliki budaya.

B. Faktor Sosial, Budaya dan Bahasa

1. Budaya

Budaya dapat diartikan sebagai tuntunan cara hidup manusia, karena budaya adalah konteks yang
ada dalam diri manusia bisa berupa berpikir, merasa, dan penghubung dengan yang lain. Budaya
juga bisa didefinisikan sebagai gagasan, kebiasaan, ketrampilan seni dan piranti yang mencirikan
kelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu.[3]
Budaya adalah sebuah system aturan yang dinamis, eksplisit dan implisit, yang dibangun oleh
kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup mereka.[4] Bagi setiap orang, budaya
meneguhkan sebuah konteks perilaku kognitif dan efektif, sebuah model untuk eksistensi personal
dan sosial.

Matsumoto mendeskripsikan konsep-konsep penting yang melekat dalam definisi budaya, seperti:

a. Dinamis.

b. Sistem aturan.

c. Kelompok dan unit.

d. Kelangsungan hidup.

e. Sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku.

f. Dianut bersama sebuah kelompok.

g. Dijaga secara berbeda oleh tipa unit khusus.

h. Dikomunikasikan lintas generasi

i. Berpontensi berubah seiring dengan berjalannya waktu.[5]

Berdasarkan dari pemaparan beberapa konsep tentang budaya, ternyata tampak jelas bahwa
budaya sebagai himpunan perilaku dan mode persepsi yang berurat akar, dan menjadi sangat
penting dalam pembelajaran sebuah bahasa baik bahasa pertama dan kedua. Bahasa adalah bagian
dari budaya, dan budaya bagian dari bahasa, keduannya saling terkait satu sama lain sehingga tidak
ada seorang pun yang bisa memisahkan keterkaitan keduannya tanpa menghilangkan arti penting
masing-masing.

Ketika berbicara proses keterkaitan pembelajaran bahasa khusunya bahasa kedua dengan budaya,
artinya bahwa seorang peserta didik / siswa tidak hanya sebatas belajar bahasanya saja tetapi juga
harus belajar tentang budaya yang terkait dengan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini bertujuan agar
siswa dapat menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan kebudayaan yang melatar belakanginya
dan menghindari kesalahpahaman (karena salah persepsi) antara siswa dengan penutur asli bahasa
tersebut. Berikut ini contoh realitas bahasa yang menunjukkan betapa pentingnya mempelajari
bahasa dengan mengikutsertakan budaya yang melatar belakanginya.

Budaya Indonesia dan budaya orang barat relative berbeda. Orang barat akan menyapa lawan
bicaranya dengan ucapan ‘Good morning’, walaupun pada saat itu menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Maka ketika orang barat bertemu dengan orang Indonesia, orang Indonesia akan merasa ada
sesuatu yang janggal pada sapaan orang barat tersebut. Hal ini disebabkan orang Indonesia
menganggap pukul 11.00 WIB sudah siang, maka seharusnya orang barat mengucapkan ‘Good
afternoon’. Contoh di atas hanya merupakan contoh kecil yang tidak akan menimbulkan masalah
yang berarti. Pada kasus-kasus bahasa yang lain, bias jadi menimbulkan masalah besar.

Harefa menyarankan agar siswa yang mempelajari bahasa harus mempelajari budaya sebagai jalan
untuk merasa, menginterpretasi merasakan dan berhubungan dengan siapa saja yang ditemui.[6]
Mempelajari budaya merupakan suatu proses menciptakan arti berbagi antaranggota kebudayaan.
Proses ini hendaknya terus berlangsung sepanjang mempelajari bahasa, hingga akhirnya meresap ke
dalam pola pikir, perasaan, dan perbuatan.

Proses pembelajaran budaya akan menciptakan suatu identitas baru yang merupakan inti
pembelajaran budaya atau yang biasa disebut penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini tidaklah mudah.
Kadang-kadang siswa mengalami gangguan dalam penyesuaian diri. Gangguan ini disebut culture
shock. Culture shock merupakan fenomena psikologis yang berupa kepanikan dan krisis psikologis.
Culture shock dapat berupa perasaan asing, marah, permusuhan, keraguan, frustasi, sedih,
kesendirian, keinginan untuk pulang (homesickness), dan bias sampai sakit jasmani.

2. Stereotipe Budaya

Dalam pertukaran budaya, kita menyadari bahwa semua aspek yang ada dalam budaya yang masuk
akan bercampur dengan budaya kita, baik budaya positif maupun negatif. Tentu saja pandangan
seseorang tentang budaya yang masuk itu berbeda-beda. Jika seseorang berpandangan tertutup
(close-minded) maka mereka tidak akan bisa menerima perbedaan-perbedaan dari budaya mereka.
Dan hal-hal seperti itulah yang menyebabkan sebuah ‘stereotype’ tercipta. Stereotype melukiskan
tipikal dari anggota masyarakat. Contohnya, ada anggapan bahwa orang Amerika semuanya kaya,
santai, matrealistis, terlalu ramah, dan suka minum kopi. Orang Italia umumnya berhasrat, pecinta
ulung dan suka minum anggur merah. Sedangkan orang Inggris sopan, hemat, dan suka minum
teh.[7]

Stereotip-stereotip tersebut merupakan sudut pandang pada umumnya oleh rata-rata kelompok
masyarakat suatu negara yang pernah mengenalnya. Stereotip bisa dibentuk melalui pergaulan.
Orang bisa mengenal dan mengerti akan perbedaan budaya satu dengan yang lain. Perbedaan
tersebut bisa positif atau pun negatif. Hal yang positif bisa diambil namun yang negatif bisa dicegah
dengan jalan filterisasi.

“The stereotype may be accurate in depicting the “typical“ member of a culture, but it is
inaccurate for describing a particular individual, because every person is unique and all of person’s
behavioral characteristics cannot be accurately predicted.”[8] Sesuai pernyataan tersebut stereotip
suatu budaya tidak bisa diidentifikasikan secara individu namun berdasarkan kelompok masyarakat
yang memiliki kebiasaan dalam bertingkah laku atau berbahasa.

Karakteristik yang dimiliki antarbudaya memiliki stereotip tertentu yang berbeda satu sama
lain. Seperti yang diungkapkan Brown dalam hasil penelitiannya, ”Cross-cultural research has shown
that there are indeed characteristics of culture that make one culture different from another”
(penelitian antarbudaya telah menunjukkan bahwa terdapat karakteristik membuat suatu budaya
benar-benar berbeda dari yang lain).[9] Stereotype mungkin benar dalam menduga watak ‘umum’
anggota budaya tertentu tapi tidak akurat untuk menggambarkan satu individu karena setiap orang
memiliki keunikannya masing-masing. Oleh karena itu stereotip atau pelabelan orang dari budaya
berbeda haruslah dihindari baik oleh pembelajar maupun guru bahasa kedua, mereka harus
memahami perbedaan budaya, menyadari bahwa setiap orang berbeda-beda dan menghormati
perbedaan tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kehadiran stereotipe diharapkan


tidak menimbulkan dampak buruk atau negatif bagi pembelajaran bahasa, tetapi dengan perbedaan-
perbedaan budaya itu, justru guru harus peka terhadapnya sehingga dapat memanfaatkan
perbedaan-perbedaan budaya tersebut sebagai motor penggerak pembelajaran bahasa.

3. Sikap

Stereotip juga berpengaruh pada sikap tingkah laku seseorang terhadap budaya atau bahasa
yang dibicarakan / dipelajari. Pengaruh tersebut bisa datangnya melalui media secara tidak langsung
baik televisi, buku, atau internet. Selain itu juga bisa didapat dari hasil atau pengaruh dari sikap
orang dewasa, orang tua, teman sebaya, dan hasil interaksi dengan orang yang berbeda-beda, serta
hasil interaksi faktor-faktor afektif pada pengalaman manusia. Sikap inilah yang membentuk satu
bagian persepsi atas diri sendiri, orang lain, dan kebudayaan. Menurut Nasution, sikap memengaruhi
motivasi yang pada akhimya akan mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua atau Second Language
Acquisition-SLA.[10] Sikap dibagi menjadi dua, yaitu sikap positif dan negative

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh John Oller dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa
sikap positif terhadap diri sendiri, kelompok bahasa penduduk asli, dan kelompok bahasa target
mempertinggi kecakapan atau penguasaan berbahasa seseorang dan akan berpeluang lebih sukses
dalam pembelajaran suatu bahasa. Terkadang orang yang mempelajari bahasa kedua yang
mempunyai sikap negative terhadap diri sendiri, bahasa target, dan kebudayaan yang
melatarbelakangi bahasa target akan mempersulit dalam penguasaan serta pengetahuan tentang
bahasa tersebut. Sikap negative ini dapat diubah dengan seringnya melihat kenyataan. Salah satu
contohnya dengan berjumpa dengan orang-orang dari kebudayaan lain, sehingga akan memperoleh
pengetahuan secara langsung.

Guru pembimbing bahasa kedua juga dapat membantu siswa untuk menekan atau mengubah sikap
negative dengan cara memberikan keterangan yang benar tentang mitos-mitos yang ada pada
budaya lain, yang tentu saja berbeda dengan budaya siswa yang belajar bahasa kedua. Siswa yang
belajar bahasa kedua diarahkan untuk menerima, menghormati, dan menghargai kebudayaan yang
berbeda-beda. Sehingga diharapakan dengan adanya penjelasan dari guru pembimbing akan
membantu siswa untuk memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran bahasa kedua.

4. Pemerolehan Budaya Kedua

Pembelajaran bahasa kedua mempunyai hubungan dengan pembelajaran budaya kedua. Robinson
Stuart dan Nokon mempertemukan beberapa pespektif tentang pembelajaran budaya kedua,
mereka mengomentari gagasan yang menyebut bahwa pembelajaran budaya adalah perjalanan
dengan karpet merah menuju budaya lain, yang teraih sebagai produk samping dari pelatihan
bahasa adalah konsesi yang keliru[11]. Banyak murid di kelas bahasa asing yang mempelajari bahasa
bahasa itu dengan sedikit atau tidak ada pengertian sama sekali tentang kedalaman norma dan pola
budaya dari orang-orang yang berbicara pada bahasa itu[12]. Perspektif lain adalah gagasan bahwa
sebuah kurikulum bahasa asing itu bisa menghadirkan budaya fakta yang dikonsumsi secara kognitif,
oleh murid tanpa interaksi yang memadai dengan budaya itu[13]. Dengan meminggirkan perspektif-
perspektif tersebut karena tidak efektif dan salah pengertian, . Robinson Stuart dan Nokon
menyarankan agar para pembelajar bahasa menjalani pembelajaran budaya sebagai “sebuah proses,
yaitu sebagai sebuah cara mengindra, menafsir, merasa, hidup di dunia… dan berhubungan dengan
tempat di mana seseorang berada dan dengan siapa seorang berjumpa” [14]. Berdasarkan
pendapat itu, Brown menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa adalah sebuah proses penciptaan
makna bersama perwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus dijalani, proses pembelajaran
bahasa yang berlangsung selama bertahun-tahun pembelajaran bahasa yang berlangsung selama
bertahun-tahun pembelajaran bahasa, dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan,
dan tindakan seseorang[15]. Dalam proses ini akan menimbulkan akulturasi budaya.

Budaya adalah bagian yang tertanam sangat dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi
bahasa –cara-cara berkomunikasi di antara anggota-anggota seluruh budaya- adalah ekspresi yang
paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka, cara pandang, identiras diri, dan sistem berpikir,
bertindak, merasa, dan berkomunikasi bisa terusik oleh kontak dengan budaya lain[16].

Kadang gangguan tersebut sedemikian berat, sehingga seseorang mengalami gegar budaya. Gegar
budaya merujuk kepada fenomena yang berentang dari ketersinggungan ringan sampai panic dan
krisis psikologis yang dalam[17]. Gegar budaya diasosiasikan dengan perasaan keterasingan, marah,
bermusuhan, bimbang, frustasi, gundah, sedih, kesepian, kangen rumah, dan bahkan sakit fisik.
Orang-orang yang mengalami gegar budaya melihat dunia baru dengan perasaan sengit dan bubah-
ubah dari iba kepada diri sendiri dan marah kepada orang lain yang tak memahami mereka. Dari
kasus yang didapatkan dalam penelitian mengenai orang yang mengalami gegar budaya, dapat
member pandangan baru bahwa orang-orang yang berada dalam suatu budaya kedua awalnya
mungkin nyaman dan terhibur dengan lingkungan yang eksotis. Sepanjang mereka bisa secara
perceptual menyaring lingkungan sekitar mereka dan menginternalisasi lingkungan itu dalam
pandangan mereka sendiri, mereka merasa nyaman. Begitu kebaruan ini luntur dan kontra diksi yang
bertumpuk mengganggu pikiran dan perasaan, mereka menjadi terdis orientasi[18].

Lazim menggambarkan menggambarkan gegar budaya sebagai yang kedua dari empat tahap
beruntun pemerolehan budaya[19]:

a. Tahap 1 adalah kegembiraan dan euphoria karena kebaruan lingkungan sekitar

b. Tahap 2 –gegar budaya- muncul ketika merasakan makin bayak gangguan masuk dar perbedaan
budaya ke dalam bayangan mereka akan diri sendiri dan rasa aman. Dalam tahap ini orang-orang
mengandalkan dan mencari dukungan dari orang-orang sebangsa di budaya kedua, menghibur diri
dengan mengeluh tentang adat dan kondisi local, berusaha lara dari kesengsaraan ini.

c. Tahap 3 adalah salah satu dari pemulihan bertahap dan pada awalnya tentative dan terombang-
ambing. Tahap ini di cirikan oleh apa yang disebutkan Larson dan Smalley “stress budaya”: beberapa
masalah akulturasi terpecahkan sementara masalah lain berlanjut untuk beberapa waktu. Tetapi ada
kemajuan umum, lambat tapi pasti, ketika orang mulai menerima perbedaan-perbedaan di sekitar
mereka dalam berpikir dan merasakan, pelan-pelan mereka lebih berempati pada orang lain di
budaya kedua[20].

d. Tahap 4 mewakili pemulihanhampir penuh dan sepenuhnya , baik asimilasi maupun adaptasi,
penerimaan budaya dan kepercayaan diri baru dalam orang “baru” yang sudah berkembang dalam
budaya ini.

Karya Wallace Lambert tentang sikap-sikap dalam pembelajaran bahasatentang sikap-sikap dalam
pembelajaran bahasa kedua sering merujuk kepada konsep Durkheim tentang anomi-perasaan
ketidak pastian sosial atau ketidak puasan- sebagai sebuah aspek signifikan hubungan antara
pembelajaran bahasa dan sikap terhadap budaya asing[21]. Saat orang mulai kehilangan ikatan
dengan budaya asli mereka dan beradaptasi dengan budaya kedua, mereka mengalami perasaan
gusar atau menyesal, bercampur dengan harap-harap cemas memasuki sebuah kelompok baru.
Anomi mungkin bisa digambarkan sebagai tahap ketiga akulturasi, perasaan tak berumah, ketika
orang tak merasa lagi tak punya ikatankuat dengan budaya aslinya dan belum sepenuhnya
beradaptasi dengan budaya kedua.

Penelitain Lambert mendukung pandangan bahwa dosis terkuat anomi terjadi ketika secara linguistik
seseorang mulai “menguasai” bahasa asing. Dalam studi Lambert, ketika seorang Kanada berbahasa
inggris mulai menjadi begitu terampil dalam bahasa Prancis sehingga mulai “berpikir” dalam bahasa
Prancis bahkan bermimp[I dalam bahasa Prancis, perasaan anomi tercatat tinggi. Bagi subjek
Lambert interraksi antara anomi dan keterampilan yang meningkat dalam bahasa kadang menggiring
orang untuk berbalik atau “mundur” ke bahasa Inggris –untuk mencari situasi-situasi diman mereka
bisa bicaa bahasa Inggris. Dorongan semacam ini bertimbal-balik dengan ketentatifan tahap ketiga
akulturasi –kembali sesaat ke mekanisme pelarian yang diperoleh dalam tahap awal gegar budaya.
Baru ketika orang itu masuk penuh ke tahap ketiga, perasaan anomi pembalajar “sudah melompati
rintangan” dalam transisi menuju adaptasi[22].
Gegar budaya akulturasi tidak harus digambarkan sebagai sebuah titik ketika para pembelajar adalah
korban tak sengaja dan tanpa daya dari keadaan. Peter Adler, mencatat bahwa gegar budaya,
sekalipun pasti mempunyai manifestasi kritis, juga bisa dilihat lebih positif sebagai sebuah
pengalaman mendalam pembelajaran lintas budaya[23]. Ia merupakan satu rangkaian situasi atau
lingkungan yang melibatkan komunikasi antar budaya di mana seseorang, sebagai hasil pengalaman,
menjadi sadar akan pertumbuhan, pembelajaran, dan perubahannya sendiri. Sebagai hasil gegar
budaya, orang tersbut memperoleh perspektif baru atas dirinya sendiri, dan menjadi paham bahwa
identitasnya sendiri penting untuknya. Selain itu, pengalaman lintas budaya berlangsung ketika
seseorang berhadapan dengan sebuah budaya yang berbeda dan sebagai hasilnya:

a. Memeriksa sampai diman ia terpengaruh oleh budayanya sendiri,.

b. Memahami nilai, sikap, dan pembawaan orang lain yang bersumber dari budaya.

5. Jarak Sosial

Konsep jarak sosial muncul sebagai sebuah pengertian afektif untuk menjelaskan tempat
pembelajaran budaya dalam pembelajaran bahasa kedua. Jarak sosial merujuk kepada kedekatan
kognitif dan afektif dari dua budaya yang bertemu dalam diri sesorang[24]. Jarak jelas dipakai
sebagai metafora untuk menunjukkan ketidakmiripan antara kedua budaya. Pada tataran yang
superficial orang Amerika Serikat mirip secara budaya dengan orang Kanada, semantara penduduk
asli AS dan China, jika jika dibandingkan, relative tidak serupa. Kita bisa bilang bahwa jarak sosial
kasus yang belakangan melampaui yang sebelumnya.

John Schumann menggambarkan jarak sosial terdiri atas parameter-parameter berikut[25]:

a. Dominasi. Dalam kaitannya dengan BS (bahasa sasaran), apakah kelompok B2 (pebelajar bahasa
kedua) secara politik, budaya, teknis, atau ekonomi, dominan, tak dominan, atau bawahan?

b. Integrasi. Apakah pola integrasi B2 berupa asimilasi, akulturasi, atau preservasi? Seperti apa
derajat penutupan diri kelompok B2 –terpisahkan identitasnya dari kelompok lian di sekitarnya?

c. Kekohesifan. Apakah kelompok B2 kohesif? Seberapa besar ukuran kelompok B2?

d. Keserasian apakah budaya dari dua kelompok itu serasi –sistem nilai dan keyakinan mereka
mirip? Seperti apa sikap timbale balik kedua kelompok?

e. Kepermanenan. Berapa lama kelompok B2 berniat tinggal di wilayah bahasa sasaran?

Schumann mengguanakan factor-faktor di atas untuk menggambarkan secara hipotesis


pembelajaran bahasa yang baik dan buruk, dan mengilustrasikan tiap situasi dengan dua konteks
lintas budaya yang aktual[26]. Dua hipotesis situasi pembelajaran bahaasa yang “buruk” darinya:

a. Kelompok BS melihat kelompok B2 sebagai dominan dan kelompok B2 melihat dirinya dengan
cara yang sama. Kedua kelompok menginginkan preservasi dan penutupan diri tinggi bagi kelompok
B2, dan kelompok B2 kohesif sekaligus besar, dua budaya tak serasi, dua kelompok saling bersikap
negative, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS hanya untuk waktu singkat.

b. Situasi buruk kedua memiliki semua karakteristik yang pertama kecuali dalam kasus ini,
kelompok B2 memandang dirinya bawahan dan dianggap bawahan oleh kelompok BS.
Situasi pertama, menurut Schumann, adalah tipikal orang Amerika yang tinggal Riyadh, Arab Saudi.
Situasi kedua adalah gambaran IndianNavajo yang tinggal di wilayah barat Amerika Serikat.

Situasi pembelajaan yang “baik”, menurut model Svhumann adalah situasi di mana kelompok B2
tidak dominan dalam hubungannya dengan kelompok BS. Kedua kelompok menginginkan asimilasi
(atau setidaknya akulturasi) uuntuk kelompook B2, penutupan diri yang rendah adalah cita-cita
kedua kelompok, kedua budaya serasi, kelompok B2 kecil dan tidak kohesif, kedua kelompok salaing
memiliki sikap positif, dan kelompok B2 berniat tinggal di wilayah BS dalam waktu yang lama[27].

Hipotesis Schumann addalah makin besar jarak sosial antara dua budaya, makain besar kesulitan
yang akan ditemui pembelajar saat belajar bahasa kedua, dan sebaliknya, makainkecil jarak sosial
(solidaritas sosial yang lebih besar antara dua budaya), makin baik situasi pembelajaran
bahasanya[28].

Salah satu kessulitan dalam hipotesis Schumann tentang jarak sosial adalah pengukuran jarak sosial
actual. Bagaimana orang dapat bisa menentukan derajat jarak sosial? Dengan cara apa? Dan
bagaimancara-cara itu dikuantifikasikan untuk perbandingan jarak relative? Sampai hari ini
pengertian ini masih tetap merupakan fenomena yang didefenisikan secara agak subjektif yang,
seperti empati, harga diri, dan banyak pengertian psikologis lain, sulit didefenisikan walaupun orang
bisa secara intuitif menangkap pengertian yang dimaksud.

William Acton mengajukan solusi untuk dilema tersebut. Ia merancang ukuran jarak sosial yang
dipahami. Pendapatnya adalah bahwa jarak actual antara budaya-budaya tidak secara khusus
relevan mengingat apa yang dilihat pembelajarlah yang membentuk realitas mereka sendiri. Kita
sudah mencatat bahwa manusia mencerap lingkungan budaya melalui saringan dan tabir pandangan
dunia mereka sendiri dan kemudian bertindakdi atas persepsi itu seberapa pun biasnya. Menurut
Acton, ketika pembelajar menemui budaya baru, proses akulturasi mereka adalah sebuah factor
bagaimana mereka melihat budaya mereka sendiri dalam hubungannya dengan budaya bahasa
sasaran, dan sebaliknya[29].

Dengan meminta merespon tiga dimensi jarak, Acton merancang pengkuran jarak sosial yang
dipahami –Kuesioner Perbedaan Nyata dalam Sikap atau Profesed Difference In
Attitude Questionnare (PDAQ)- yang memperlihatkan karakter pembelajaran yang “baik” atau
berhasil (sebagaimana yang diukur dengan tes kecakapan standar) dengan akurasi yang
mengagumkan[30]. Pada dasarnya PDAQ meminta pembelajar mengkur perbedaan sikap belajar
mereka terhadap berbagai konsep pada tiga dimensi:

a. Jarak (perbedaan) antara mereka sendiri dan orang sebangsa secara umum;

b. Jarak antara mereka sendiri dan anggota budaya secara umum;

c. Jarak antara orang yang sebangsa mereka dan anggota budaya sasaran.

Dengan teknik differensial semantic, skor tiga jarak itu dihitung untuk tiap-tiap dimensi.

Acton mendapati bahwa dalam kasus pembelajar Bahasa Inggris yang sudah berada di Amerika
Serikat selama empat bulan, ada rasio optimal pada jarak sosial yang dipahami (di antara tiga skor)
yang menunjukkan pembelajar bahasa yang “baik”. Jika pembelajar melihat mereka sendiri terlallu
dekat atau terlalu berjarak dengan dengan budaya sasaran ataupun budaya asli, mereka masuk ke
aktegori pembelajr bahasa yang “buruk” sebagaimana diukur dengan tes kecakapan
standar. Impllikasinya adalah bahwa pembelajar bahasa yang berhasil melihat diri mereka menjaga
jarak antara diri mereka dan kedua budaya. Tidak mengejutkan bahwa PDAQ Acton tak
memprediksi keberhasilan bahasa sebab kita tahu tidak ada instrumen memadai untuk memprediksi
keberhasilan bahasa atau menaksir bakat bahasa. Namun, PDAQ betul-betul menjabarkan secara
empiris, berkenaan dengan yang bisa dihitung, seluruh hubungan antara jarak sosial dan
pemerolehan bahasa kedua[31].

Teori Acton mengenai jarak sosial optimal yang bisa dipahami mendukung pendapat Lambert bahwa
penguasaan bahasa asing sejalan dengan perasaan anomi atau tak berumah, ketika pembelajar
sudah bergerak menjauhi budaya asli mereka tetapi belum sepenuhnya berasimilasi atau
menyesuaiaakan diri dengan budaya sasaran[32]. Lebih penting, model Acton mendekatkan kita
pada sebuah pemahaman gegar budaya dan hubungan akulturasi dengan pembelajaran bahasa
dengan memasok sebua puzzle. Jika kita menggabungkan penelitian Acton dan Lambert, sebuah
hipotesis yang menarik muncul –yaitu, bahwa penguasaan atau kefasihan dalam bahasa kedua (di
dalam budaya kedua) terjadi sekitar awal tahap ketiga –atau pemulihan-akulturasi. Implikasi
hipotesis semacam itu adalah bahwa penguasaan mungkin tidak terjadi secara efektif sebelum tahap
itu, atau kemungkinan besar bahwa, si pembelajar tak akan pernah berhasil dalam penguasaan
bahasa itu jika mereka melaju melampaui awal tahap ke 3 tanpa menuntaskan penguasaan linguistik
itu. Tahap 3 mungkin tak hanya menghadirkan jarak optimal tetapi juga tegangan kognitif dan afektif
optimal untuk menghasilkan tekanan yang dibutuhkan guna memperoleh bahasa, tekanan yang tak
membuat kewalahan (seperti gegar budaya tipikal dari tahap 2) ataupun terlalu lemah (yang akan
ditemui di tahap 4, adaptasi/asimilasi). Penguasaan bahasa tahap 3, pada gilirannya, akan muncul
sebagai instrumen untuk melaju secara psikologis melalui tahap 3 dan akhirnya ke tahap 4.

Menurut model jarak optimal (yang dikembangkan oleh Brown) dari perolehan bahasa kedua ini,
seorang dewasa yang gagal menguasai bahasa kedua di sebuah budaya kedua mungkin karena
berbagai alasan telah gagal untuk menyelaraskan perkembangan linguitik dan budaya[33]. Orang
dewasa yang sudah mendapatkan cara-cara nonlinguitik untuk mengatasin masalah di budaya asli
akan melewati tahap 3 dan masuk ke tahap 4 dengan terlalu banyak bentuk bahasa yang
terformilkan, tak pernah mencapai penguasaan. Mereka tidak punya alasan meraih npenguasaan
sebab mereka telah belajar mengatasi masalah tanpa pengetahuan bahasa yang canggih. Mereka
mungkin sudah memperoleh fungsi-fungsi bahasa kedua dalam jumlah memadai tanpa memperoleh
bentuk yang yang tepat. Apa yang disarankan model jarak optimal ini mungkin bisa dilihat sebagai
hipotesis periode kritis berdsarkan budaya, yakni sebuah periode kritis yang independen terhadap
usia pembelajar. Meskipun model jarak optimal lebih tepat diterapkan kepada pembelajar dewasa,
ia juga bisa punya relevansi untuk anak-anak, sekalipun tidak sekritis untuk orang dewasa. Karena
mereka belum bertahun-tahun membangun pandangan dunia yang terkait budaya (atau pandangan
tentang mereka sendiri), anak-anak memiliki saingan perspektif lebih sedikit untuk menyesuaikan
diri lagi sehingga bisa melampaui tahap-tahap akulturasi lebih cepat. Namun kurang lebih mereka
bergerak melewati tahap-tahap yang sama, dan masuk akal membuat hipotesis bahwa tahapan
pemulihan mereka juga merupakan periode kritis pemerolehan.

Sejumlah bukti penelitian telah dikumpulkan untuk mendukung gagasan tentang jarak optimal. Day
mendapat semacam bukti pengamatan mengenai lompatan kritis dalam kelancaran bahsa dan
anomi budaya yang terjadi secara bersamaan. Dan Svanes mendapati bahwa mahasiswa asing yang
belajar di Norwegia sepertinya meraih kemahiran yang lebih tinggi jika mereka mempunyai “sikap
berimbang dan kritis kepada orang-orang asli Norwegia“ sebagai lawan dari penghormatan tak kritis
kepada semua aspek budaya sasaran. Testimony informal banyaak guru ESL di AS juga
membenarkan kemungkinan terjadinya tegangan motivasional yang dihaasilkan melalui kebutuhan
“bergerak seiring” dalam proses adaptasi yang kadang panjang dan melelahkan di tanah air baru[34].
Para guru dalam konteks yang serupa bisa memetik manfaat dari penilaian saksama tahap budaya
terkini si pembelajar dengan perhatian yang pas bagi periode optimal yang memungkinkan bagi
penguasaan bahasa.

6. Mengajarkan Kompetensi Antarbudaya

Sekalipun kebanyakan pembelajar betul-betul dapat menemukan manfaat dalam pengalaman


pembelajaran atau tinggal di wilayah lintas budaya, sejumlah orang mengalami kendala psikologis
dan efek menghambat lainnya dari budaya kedua. Stevick mewanti-wanti bahwa para pembelajar
bisa merasakan keterasingan dalam proses pembelajaran bahasa kedua, terasing dari orang-orang di
budaya kapung halaman mereka, budaya sasaran, dan diri merka sendiri[35]. Saat mengajar sebuah
budaya asing, kita perlu peka pada kerapuhan murid dengan menggunakan teknik yang
meningkatkan pemahaman budaya.

Banyak studi penelitian terbaru telah memperlihatkan efek positif penyertaan kesadaran budaya di
kelas-kelas bahasa[36]. Sauvignon dan Sysoyev mempromosikan kompetensi sosial budaya pada
pembelajar bahasa Inggris mereka di Rusia dengan memperkenalkan strategi-strategi sosial budaya
sepertimengawali kontak, mengantisipasi kesalahanpahaman budaya, dan menggunakan diplomasi
dalam diskusi. Wright mendapati bahwa mengajar bahasa Jerman sebagai bahasa asing, dengan
menggunakan tugas berorientasi proses, bnisa memajukan kemampuan adaptasi budaya. Abrams
sukses menggunakan portofolio budaya berdasarkan internet untuk mempromosikan kesadaran
budaya dan melucuti stereotype budaya. Wawancara-wawancara dengan penutur asli bahasa
sasaran membantu pembelajar, dalam studi Bateman, untuk mengembangkan sikap lebih positif
kepada budaya sasaran. Choi menggunakan drama sebagai “gerbang” menuju kesadaran
antarbudaya dan pemahaman bagi mahasiswa Koreanya yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua.

Para guru yang menerapkan pembelajaran budaya dengan model eksperimental atau proses di
ruang kelas mampu membantu para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk membantu
para murid mengubah pengalaman semacam itu untuk meningkatkan kesadaran budaya dan
kepahaman diri[37]. Donahue dan Parsons memeriksa penggunaan role play di kelas ESL sebagai
cara membantu murid mengatasi “kelelahan” budaya; role play mendukung proses dialog lintas
budaya sembari menyediakan kesempatan untuk komunikasi lisan. Sejumlah materi dan teknik lain –
bacaan, film, permainan stimulasi, assimilator budaya, “kapsul budaya”, dan “kulturgram”- tersedia
bagi guru bahasa untuk membantu mereka dalam proses akulturasi di ruang kelas.

Sejumlah cara untuk untuk merumuskan berbagai ketidakcocokan dalam standar norma
digambarkan dalam karya Geert Hofstedeyang menggunakan empat kategori konseptual untuk
mempelajari norma-norma budaya lima puluh Negara berbeda[38]. Berikut penjabaran kategori
masing-masing:

a. Individulisme adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari kolektivisme
(dipakai di sini dalam pengertian antropologis, bukan politis). Budaya individualism mengasumsikan
bahwa setiap orang terutama menjaga kepentingannya sendiri dan kepentingan keluarga intinya
(suami,istri, anak-anak). Budaya kolektivitas mengasumsikan bahwa setiap orang, masuk ke salah
satu atau lebih “kelompok dalam” (apakah perkerabatan, klan, atau organisasi) melindingi
kepentingan anggota-anggotanya, tetapi mengharap loyalitas permanen sebagai imbalannya.
Masyarakat kolektifitas sangat menyatu: masyarakat individualis menyatu secara longgar.
b. Jarak kekuasaan adalah sebuah karakteristik sebuah budaya yang mendefenisikan sampai sejauh
mana orang-orang yang kurang berdaya dalam sebuah masyarakat menerima ketidaksetaraan dalam
kekuasaan dan menganggapnya normal. Ketidaksetaraan ada di dalam setiap budaya, tetapi derajat
bisa ditoleransinya bervariasi antara satu budaya dan lainnya. Menurut Hofstede: semua masyarakat
tak setara, tetapi beberapa lebih tak setara disbanding yang lannya.

c. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) adalah karakteristik sebuah budaya yang


mendefenisikan sampai sejauh mana orang-orang di dalam sebuah budaya dibuat gugup oleh
situasi-situasi yang mereka lihat sebagai tak terstruktur, tak jelas, tak bisa diduga –situasi-situasi
yang yang kemudian mereka coba hindari dengan menegakkan aturan-aturan perilaku dan
keyakinan mutlak. Budaya-budaya dengan penghindaran kuat terhadap ketidakpastian adalah
budaya yang aktif, agresif, emosional, impulsive, mencari keamanan, dan tidak toleran; budaya-
budaya dengan penghindaran lemah terhadap ketidak pastian adalah adalah budaya yang
kontemplatif, kurang agresif, tak emosional, santai, menerima resiko personal, dan relative toleran.

d. Maskulinitas adalah karakteristik sebuah budaya yang merupakan lawan dari femininitas.
Keduanya berbeda dalam peran-peran sosiaal terkait dengan fakta biologis jenis kelamin, dan dalam
hal-hal khusus peran sosial yang disandangkan kepada laki-laki. Budaya yang dilabeli “maskulin”
berupaya untuk membuat perbedaan maksimal antara apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki
dan o9leh perempuan. Mereka mengahrapkan laki-laki bernyali, ambisius, dan gigih mendapatkan
sukses materi dan menghormati apapun yang besar, kuat, dan cepat. Mereka mengharapkan
perempuan meladeni dan memperhatikan kualitas non materi kehidupan, anak-anak, dan kaum
lemah. Budaya-budaya feminin, di sisi lain, merumuskan secara relatif tumpang tindih peran sosial
untuk kedua jenis kelamin, di mana laki-laki tak perlu ambisius atau kompetitif, tetapi boleh
mengejar kualitas hidup yang berbeda selain sukses materi; laki-laki boleh menghormati apa pun
yang kecil, lemah, dan lambat. Maka, di budaya maskulin nilai-nilai politis/organisatoris menekankan
sukses materi dan kebernyalian; dalam budaya feminin, mereka menekankan jenis lain kualitas
hidup, hubungan antar personal, dan perhatian kepada yang lemah.
BAB III

KESIMPULAN

Bahasa sebagai alat komunikasi berkaitan erat dengan budaya. Jika dikaitkan dengan
masyarakat maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional. Pembelajaran bahasa kedua melibatkan
pemerolehan identitas kedua dalam pembelajaran budaya (akulturasi).

Faktor-faktor sosiokultural berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa
asing. Dengan mengenali hubungan yang kompleks tersebut guru bahasa dapat merancang
perlakuan apa yang oocok terhadap murid-muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun
teknik. Guru juga dapat memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami
budaya kelompok pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut dengan
baik dan mencapai tingkat mahir.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Pearson Education,
Inc, Kedubes Amerika Serikat.
Nasution. 2009. Berbagai Pendidikan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Harefa, Andrias. 2003. Mengasah Paradigma Pembelajar. (Cetakan ke-2). Yogyakarta: Gradien.

Brown, H. Douglas. 2000. Principles Language Learning And Teaching.

USA: San Francisco State University.

PENGARUH SOSIAL BUDAYA TERHADAP PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat secara individu, selalu berkeinginan untuk
tinggal bersama dengan individu-individu lainnya. Keinginan hidup bersama ini terutama pada
aktivitas hidup yang berhubungan dengan lingkungannya. Dalam menjawab tantangan alam,
manusia saling berhubungan satu dengan yang lain, sehingga suatu masyarakat dan aturan yang
menyebabkan suatu hubungan antar individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan
kelompok. Adanya norma-norma, adat istiadat, kepercayaan dalam suatu masyarakat, semuanya
berhubungan dengan keseimbangan. Agar tercipta suatu hubungan yang serasi, baik dalam
pengelolaan alam maupun dalam hubungan sosial. Melihat hubungan tersebut maka kebudayaan
menjadi mekanisme kontrol bagi kelakuan manusia.

Adanya tantangan alam dan respon masyarakat, mengakibatkan kehidupan ini berkembang
menjadi masyarakat menjadi dinamis. Setiap saat timbul berbagai pemikiran untuk memberikan
respon terhadap tantangan alam tersebut. Dinamika masyarakat memberikan kesempatan
kebudayaan untuk berkembang. Sehingga secara singkat dapat dikatakan bahwa tidak ada
kebudayaan tanpa masyrakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai wadah
pendukung. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan
sistem.

Pendidikan di sekolah bukan hanya ditentukan oleh usaha murid secara individual atau
berkat interaksi murid dan guru dalam proses belajar-mengajar, melainkan juga oleh interaksi murid
dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai situasi sosial yang dihadapinya di dalam maupun diluar
sekolah. Anak itu berbeda-beda bukan hanya karena berbeda bakat atau pembawaannya akan tetapi
terutama karena pengaruh lingkungan sosial yang berlain-lainan. Ia datang ke sekolah dengan
membawa kebudayaan rumah tangganya, yang mempunyai corak tertentu, bergantung antara lain
pada golongan atau status sosial, kesukuan, agama, nilai-nilai dan aspirasi orang tuanya. Di sekolah
ia akan memilih teman, kelompok, yang ada pada suatu saat akan sangat mempengaruhi tingkah
lakunya. Selanjutnya anak dipengaruhi oleh kepala sekolah dan guru-guru, yang masing-masing
mempunyai kepribadian sendiri-sendiri yang antara lain terbentuk atas golongan sosial dari mana ia
berasal dari orang-orang yang dipilihnya sebagai kelompok pergaulannya. Pendidikan sendiri dapat
dipandang sebagai sosialisasi, yang terjadi dalam interaksi sosial. Maka karena itu sudah sewajarnya
seorang pendidik harus berusaha menganalisa lapangan pendidikan dari segi sosiologi, mengenai
hubungan antara manusiawi dalam keluarga di sekolah, diluar sekolah, dalam masyarakat dan
sistem-sistem sosialnya. Selain memandang anak sebagai makhluk sosial, sebagai anggota dari
berbagai macam lingkungan sosial.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah :

a. Apa yang dimaksud dengan sosiologi dalam pendidikan ?

b. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan dalam pendidikan ?

c. Apa yang dimaksud dengan sekolah dan perubahan masyarakat ?

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi batasan masalahnya adalah
bagaimana pengaruh sosial budaya terhadap pendidikan

1.4. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang landasan sosial
budaya dalam pengembangan ilmu pendidikan

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Sosiologi dan pendidikan

Secara harfiah atau etimologis, sosiologi berasal dari bahasa latin : socius = teman, kawan,
sahabat, dan logos = ilmu pengetahuan. Jadi sosilogi adalah ilmu pengetahuan tentang cara
berteman, berkawan, dan bersahabat yang baik dalam masyarakat.

Ada beberapa pemngertian sosiologi pendidikan yaitu :

a. Menurut Prof. DR. S. Nasution, MA, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk
mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian
individu agar lebih baik.

b. Menurut F. G. Robbins dan Brown, sosiologi pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan
menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta
mengorganisasikan pengalaman. Sosilogi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-
prinsip untuk mengontrolnya.

Ciri-Ciri Sosiologi

Sosiologi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan pada
observasi terhadap kenyataan dan akal serta hasilnya bersifat sekulatif.

b. Sosilogi bersifat teoristis, yaitu ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun
abstraksi dari hasil-hadil observasi. Abstraksi terfsebut merupakan kerangka unsur-unsur yang
tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat,
sehingga menjadi teori.

c. Sosiologi bersifat komulatif yang berati bahwa teori-teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-
teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas sertamemperluas teori-teori yang lama.

d. Bersifat non-etis, yakni yang mempersoalkan bukanlah buruk baiknya fakta tertentu akan
tetapi tujuannya dalah untuk menjelaskan fakata tersebut secara analistis.

Peran Sosiologi Dalam Dunia Pendidikan

Kenyataan menjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sangat cepat, progresif,


dan kerap kali menunjukkan gejala “disintegratif” (berkurangnya kesetiaan terhadap nilai-nilai
umum), perubahan sosial yang sangat cepat menimbulkan “cultural lag” (ketinggalan kebudayaan
akibat adanya hambatan-hambatan). Cultural lag ini merupakan sumber masalah-masalah sosial
dalam masyarakat. Masalah-masalah sosial juga dialami di dunia pendidikan, sehingga lembaga-
lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya. Maka lembaga-lembaga pendidikan
mengharapkan ahli sosiologi dapat menyumbangkan pemikirannya untuk ikut memecahkan
masalah-maswalah pendidikan yang fundamental. Dalam hal ini adalah sosiologi pendidikan.

Agar para pendidikan dapat mengajar atau memberitahu bagaimana siswa dapat memiliki
kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab maka pendidik harus memahami dan
dibekali dengan sosiologi. Mengapa para guru dan calon guru harus memahahami dan dibekali
dengan sosiologi? Guru adalah seorang administrator, informator, konduktor, dan sebagainya, dan
harus berkelakuan menurut harapan masyarakat. Dari guru, sebagai pendidik dan pembangun maka
generasi baru diharapkan memiliki tingkah laku yang bermoral tinggi demi masa depan bamngsa dan
negara. Selain itu kepribadian guru dapat mempengaruhi suasana kelas/sekolah, baik kebebasan
yang dinkmati anak dalam mengeluarkan buah pikiran, dan mengembangkan kreatifitasnya ataupun
pengekangan dan keterbatasan yang dialami dalam pengembangan pribadinya.

Proses sosial dimulai dari interaksi sosial yang didasarkan pada faktor-faktor berikut ini :

 Imitasi

Peniruan yang bisa bersifat positif atau negatif yang dilihat peserta didik dari lingkungannya

 Sugesti

Sesorang yang memiliki sifat tertarik atau menerima pada pandangan atau sikap orang lain yang
berwibawa atau berwewenang atau mayoritas.

 Identifikasi

Seorang anak akan mensosialisasikan lewat identifikasi, ia akan berusaha menyamakan dirinya
dengan orang lain baik secara sadar maupun tidak sadar.

 Simpati

Sikap ini akan terjadi jika sesorang tertarik terhadap orang lain.

Faktor perasaan disini sangat dominan dan biasanya terjadi hubungan yang akrab diantaranya.

Keempat faktor tersebut yang mendasari sosialisasi anak-anak dimana terjadi suatu tingkatan
keterlibatan hati anak-anak dalam mengadakan proses sosial. Untuk memudahkan terjadinya
sosialisasi dalam pendidikan, guru haruslah menciptakan situasi pada dirinya sendiri, agar faktor-
faktor yang mendasari sosialisasi itu muncul pada diri anak-anak.

Proses sosialisasi yang dilakukan dengan baik akan sangat membantu pelaksanaan sosiologi
pendidikan. Sosialisasi dapat diartikan sebagai proses membimbing individu ke dalam dunia sosial.
Sosialisasi dilakukan dengan mendidik individu/siswa pada kebudayaan yang harus dimiliki dan
diikutinya, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik termasuk juga kedalam berbagai kelompok
khusus. Jadi sosialisasi juga dapat dianggap sebagai pendidikan atau masyarakat atau memanusiakan
diri. Sebagai pendidikan adalah proses memanusiakan manusia secara manusiawi, disesuaikan
dengan perkembangan situasi dan kondisi sosialnya.

Dalam proses sosialisasi individu/siswa belajar bertingkah laku, kebiasaan, serta pola-pola
kebudayaan lainnya, juga belajar tentang keterampilan-keterampilan sosial seperti bahasa , bergaul,
berpakain, cara makan, dan sebagainya. Seluruh proses sosialisasi berlangsung dalam interaksi
individu/siswa dengan lingkungan seperti orang tua, saudara-saudara, guru-guru, teman
sekolah/sepermainan, informasi-informasi insidental seperti membaca buku, mendengarkan radio,
berinteraksi dengan lingkungan dan sebagainya.

Dari interaksi anak dengan lingkungannya, lambat laun ia akan memperoleh keadaan akan dirinya
sebagai pribadi. Ia juga memandang dirinya sebagai objek, seperti orang lain memandang dirinya. Ia
dapat mengatur kelakuannya seperti yang diharapkan orang lain dari padanya. Ia dapat merasakan
tentang perbuatannya yang salah, dan harus maaf. Dengan menghadapi dirinya sebagai pribadi, ia
dapat menempatkan dirinya dalam struktur sosial, dapat mengharapkan konsekuensi positif bila
berkelakuan menurut norma yang berlaku atau menerima aib yang negatif atas kelakuannya/
tindakannya yang melanggar norma yang berlaku. Dengan demikian akhirnya ia dapat mengenal
dirinya dalam lingkungan sosialnya, dapat menyesuaikan kelakuan dan tindakannya sesuai harapan
masyarakatnya, sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang baik melalui proses sosialisasi
yang dilaluinya, jadi dalam interaksi sosial ia menemukan jati dirinya.

Dalam proses sosialisasi bisa terjadi kendala atau hambatan, hal ini terjadi karena kesulitan
komunikasi, dan adanya pola kelakuan yang berbeda-beda atau bertentangan. Guru dapat
mengatasi keadaan ini dalam proses belajar mengajar dengan memeberikan kebebasan kepada
siswa untuk mengekspresikan pendapatnya, sehingga anak mampu berkomunikasi dengan baik
dengan teman sebayanya maupun dengan para guru. Misalnya kepada anak yang, mereka adalah
orang-orang yang sangat sulit bersosialisasi dengan anak-anak yang lainnya, guru harus mempunyai
cara agar anak tersebut mempunyai keinginan bersosialisasi dengan teman-temannya. Selain itu
guru tidak bisa membeda-bedakan anak yang satu dengan anak yang lainnya sehingga tidak ada
anak yang merasa dikucilkan. Hal yang lain yang dapat dilakukan guru dalam proses sosialisasi
dikelas misalnya kerja kelompok, dengan adanya kerja kelompok anak akan berusaha menyesuaikan
diri semaksimal mungkin dengan temannya.

2.2 Kebudayaan dan Pendidikan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-
Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan
untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

§ Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika
masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga
masyarakat tersebut.

§ Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

§ Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan
memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Secara historis-religius bahwa pendidikan terjadi lebih dahulu dari kebudayan. Dari sisi lain
kemudian disebutkan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan pendidikan tidak
dapat dari kebudayaan. Keduanya merupakan gejala dan faktor pelengkap dan penting dalam
kehidupan manusia.Sebab manusia sebagai makhluk alam, juga berfungsi sebagai makhluk
kebudayaan atau makhluk berfikir (human rational).

Pendidikan merupakan kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun


sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses
pendidikan. Pendidikan telah ada sepanjang peradaban manusia. Pendidikan pada hakekatnya
merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Tiada kehidupan masyarakat tanapa adanya
kegiatan pendidikan.

Meskipun pendidikan merupakan gejala umum dalam setiap kehidupan masyarakat, namun terlihat
adanya perbedaan praktek kegiatan pendidiksn dalam masyarakat masing-masing, yang disebabkan
oleh adanya falsafah/pandangan hidupnya. Sebagai contoh, praktek pandidikan yang dilakukan
masyarakat zaman pertengahan sangat mementingkan norma kehidupan keagamaan, sedang
masyarakat zaman Renaissance lebih mementingkan nilai-nilai kehidupan duniawi.

Pendidikan di Indonesia pada zaman penjajahan kolonial belanda juga menampakkan perbedanya
dsalam praktek pendidikan oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan praktek pendidikan Indonesia.
Pendidikan Hindia Belanda menciptakan strata-strata masyarakat agar dapat menjadi ajang politik
“adu domba dan pecah belah”, sedangkan praktek pendidikan Indonesia seperti Taman Siswa
berdasarkan asas kebangsaan dan pendidikan pondok-pondok pesantren berdasarkan agama Islam,
dan sebagainya.

Kini praktek pendidikan zaman Indonessia merdeka yang berdasarkan falsafah dan asas pancasila,
harus dilaksanakan dalam dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Setiap pendidik
wajib mewujudkan falsafah Pancasila dalam segala kegiatan pendidikan, menuju terwujudnya
masyarakat yang sejahtera berdasarkan Pancasila.

Agar kebudayaan bangsa tidak hilang/pudar dari diri anak/siswa, guru perlu menumbuhkan
kemampuan untuk memahami dan mengamalkan nilai budaya daerah yang luhur dan beradab serta
menyerap nilai budaya asing yang positif untuk memperkaya budaya bangsa. Selain itu guru perlu
menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap kebudayaannya. Agar rasa cinta dan bangga
terhadap kebudayaannya tidak menjadi berlebihan seperti tidak menyukai kebudayaan orang lain
atau menghina kebudayaan orang lain, guru juga harus mengajarkan dan memberitahu agar sikap
feodal, sikap eksekutif, dan paham kedaerahan yang sempit serta pengaruh budaya asing yang
bertentangan dengan nilai budaya bangsa dihilangkan karena ini akan dapat merusak persatuan dan
kesatuan baik di masyarakat maupun di bangsa.

Dalam pembangunan budaya nasional, guru perlu menciptakan suasana yang mendorong tumbuh
dan berkembangnya sikap serta pengaruh budaya asing yang bertentangan dengan nilai budaya
bangsa dilhilangkan karena ini akan dapat merusak persatuan dan kesatuan baik di masyarakat
maupun di bangsa.

Dalam pembangunan budaya nasional, guru perlu menciptakan suasana yang mendorong tumbuh
dan berkembangnya sikap kerja keras. Disiplin, sikap menghargai prestasi, berani bersaing, serta
mampu menyesuaikan diri dan kreatif. Selain itu perlu menumbuhkan budaya menghormati dan
menghargai orang yang lebih tua, budaya belajar, budaya ingin maju, dan budaya ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perlu dikembangkan pranata sosial yang dapat mendukung proses pemantapan
budaya bangsa.

Setiap bangsa, setiap individu pada umunya menginginkan pendidikan.Dalam pendidikan dimaksud
disini pendidikan formal, makin banyak formal, makin banyak dan makin tinggi pendidikan makin
baik.Bahkan diinginkan agar tiap warga negara melanjutkan pendidikannya sepanjang hidup. Dahulu
banyak tugas pendidikan yang dipegang oleh keluarga dan lembaga-lembaga lain yang lambat laun
makin banyak dialihkan menjadi beban sekolah seperti persiapan untuk mencari nafkah, kesehatan,
agama, pendidikan kesejahteraan keluarga,dan lain-lain. Namum pendidikan formal tidak dapat
diharapkan menanggung transmisi keseluruhan kebudayaan bangsa. Masyarakat masih akan tetap
memegang fungsi yang penting dalam pendidikan tranmisi kebudayaan. Pendidikan norma-norma,
sikap adat istiadat, keterampilan sosial dan lain-lain banyak diperoleh anak terutama berkat
pengalamannya dalam pergaulannya dengan anggota keluarga, teman-teman sepermainan dan
kelompok primer lainnya, bukan di sekolah.

Fungsi sekolah yang utama ialah pendidikan intelektual yakni memperoleh ilmu dan pengetahuan.
Sekolah dalam kenyataan masih mengutamakan latihan mental formal yaitu suatu tugas pada
umumnya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga atau lembaga lain, oleh sebab itu memerlukan tenaga
yang khusus dipersiapkan yakni guru. Dalam pendidikan formal yang biasa memegang peranan
utama ilah guru dengan mengontrol reaksi dan respon murid. Anak-anak biasa belajar dibawah
tekanan dan bila perlu paksaan tertentu dan kelakuannya dikuasai dan diatur dengan berbagai
aturan. Kurikulum pada umumnya juga ditentukan oleh petugas pendidikan, dan bukan oleh murid
itu sendiri. Materi yang disajikan tidak selalu menarik minat dan perhatian siswa, dalam hal ini guru
berusaha memberikan motivasi ekstrinsik.
Walaupun banyak kritik terhadap pendidikan dan guru, walaupun sistem pendidikan banyak
mengandung kelemahan, namum pada umum ya orang percaya akan manfaat pendidikan. Jumlah
anak yang memasuki sekolah senantiasa bertambah. Banyak permintaan yang telah menjalankan
kewajiban belajar, ada yang sampai berusia 12 tahun bahkan sampai 18 tahun. Dalam sistem
kewajiban belajar, kelalaian menhadiri pelajaran disekolah tanpa alasan dipandang sebagai
pelanggaran yang dapat diberikan hukuman.

Jumlah peserta didik semakin bertambah banyak dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari
tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Semuanya ini akan menjadi tanggungjawab pihak
pendidik dalam hal memberikan ilmu dan pengetahuan kepada mereka sebagai bekal dalam
menghadapi era globalisasi dimasa yang akan datang.

Ciri-ciri Kebudayaan

Adapun ciri-ciri dari kebudayaan adalah :

1. Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya keudayaan adalah ciptaan manusia bukan
ciptaan Tuhan atau dewa. Manusia adalah pelaku sejarah dan kebudayaannya.

2. Kebudayaan selalu bersifat sosial. Artinya kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara
individual, melainkan oleh manusia secara bersama. Kebudayaan adalah suatu karya
bersama bukan karya perorangan.

3. Kebudayaan diteruskan lewat proses belajar. Artinya kebudayaan itu diwariskan dari
generasi yang satu kegenerasi yang lainnya melalui suatu proses belajar. Kebudayaan
berkembang dari waktu ke waktu karena kemampuan belajar manusia Tampak disini bahwa
kebudayaan itu selalu bersifat historis, artinya proses yang selalu berkembang.

4. Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan bersifat ekspresi, ungkapan kehadiran


manusia. Suatu ekspresi manusia, kebudayaan ini tidak sama dengan manusia. Kebudayaan
disebut simbolik, sebab mengekspresikan manusia dan segala upayanya untuk mewujudkan
dirinya.

5. Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia. Tidak seperti hewan,
manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan cara-cara yang beradab, atau dengan cara-
cara manusiawi.

Menurut Kerber dan Smith (imran Manan, 1989) menyebutkan ada 6 fungsi utama kebudayaan
dalam kehidupan manusia yaitu :

a. Penerus keturunan dan pengasuh anak

b. Pengembangan kehidupan ekonomi

c. Transmisi budaya

d. Meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

e. Pengendalian sosial
f. Rekreasi

Sekolah sebagai pusat Kebudayaan

Mempelajari dan memperhatikan sekolah sebagai pusat kebudayaan diharapkan akan memperoleh
manfaat ganda yaitu :

a. sebagai guru/dosen dapat membantu menciptakan lingkungan sekolah dimana ia bekerja dan
memperoleh nafkah serta mendamarbaktikan dirinya pada kehidupan.

b. Sebagai guru/dosen dapat membantu para peserta didik agar dapat menghayati bahwa
lingkungan sekolah adalah pusat kebudayaan, bekal-bekal untuk menciptakan lingkungan sekolah
pada tempat mereka bekerja nanti, dapat juga merupakan pusat kebudayaan yang bermanfaat bagi
lingkungan sosialnnya dan lingkungan kemanusiaan.

Agar dapat berperan secara aktif dalam mewujudkan sekolah sebagai pusat kebudayaan, maka
beberapa hal perlu dilakukan oleh para pendidik, beberapa hal tersebut antara lain :

1. Setiap pendidik hendaknya bersikap inovatif serta peka terhadap perkembangan dan
tuntutan masyarakat, terutama dalam era globalisasi.

2. Pendidik harus mampu membelajarkan peserta didiknya dengan menciptakan suasana


belajar yang menarik.

3. Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik, pendidik hendaknya telah
menguasai dan mengoperasikan kompetensi profesionalnya.

4. Pendidik hendaknya dapat menjadi teladan bagi para pesreta didik serta warga masyarakat
sekitarnya dalam rangka mencioptakan sekolah sebagai pusat kebudayaan.

5. Pendidik hendaknya mampu menumbuhkembangkan kesadaran para peserta didiknya agar


selalu ingin belajar, baik di sekolah maupun diluar sekolah.

2.3. Sekolah dan Perubahan Masyarakat.

Asal mula munculnya sekolah adalah atas dasar anggapan dan kenyataan bahwa pada umumnya
para orang tua tidak mampu mendidik anak mereka secara sempurna dan lengkap. Karena itu
mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk mendidik anak-anak mereka. Dengan sekolah
mereka berharap ia mengalami perubahan dalam kehidupannya baik untuk memperoleh
pekerjaannya yang baik maupun untuk meningkatkan derajat hidup dan prestise di dalam
masyarakat. Oleh karenanya banyak orang yang sekolah sampai ketingkat yang lebih tinggi.

1. Sekolah yang mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan

Anak yang menamatkan sekolah diharapkan sanggup melakukan pekerjaan sebagai mata pencarian
atau setidaknya mempunyai dasar untuk mencari nafkahnya. Makin tinggi pendidikan makin besar
harapannya memperoleh pekerjaan yang baik. Ijajah masih dijadikan syarat penting untuk suatu
jabatan. Walaupun ijajah itu sendiri belun menjamin kesiapan seseorang untuk melakukan pekerjaan
tertentu. Akan tetapi dengan ijajah yamng tinggi seorang dapat memahami dan menguasai
pekerjaan kepemimpinan atau tugas lain yang dipercayakan kepadanya. Memiliki ijajah perguruan
tinggi merupakan bukti akan kesanggupan intelektualnya untuk menyelesaikan studinya yang tidak
mungkin dicapai oleh orang yang rendah kemampuannya. Sekolah yang ditempuh seseorang banyak
menentukan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang.

2. Sekolah memberikan keterampilan dasar

Orang yang telah bersekolah setidak-tidaknya pandai membaca, menulis, dan berhitung yang
diperlukan dalam tiap masyarakat modern. Selain tiu diperoleh sejumlah pengetahuan lain seperti
sejarah, geograpi, kesehatan, kewarganegaraan, fisika dan lain-lain yang membekali anak untuk
melanjutkan pelajarannya, atau memperluas pandangan dan pemahamanya tentang masalah-
masalah dunia.

3. Sekolah yang membuka kesempatan memperbaiki nasib.

Sekolah sering dipandang jalan bagi mobilitas sosial. Melalui pendidikan orang dari golongan rendah
dapat meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Orang tua mengharapkan agar anank-anak
mempunyai nasib yang baik dan bkarena itu berusaha untuk menyekolahkan anaknya jika mungkin
sampai memperoleh gelar dari suatu perguruan tinggi, walaupun sering dengan pengorbanan besar
mengenai pembiayaan.

4. Sekolah menyediakan tenaga pembanguna sekolah mambantu memecahkan masalah-


masalah sosial.

Masalah-masalah sosial di harapkan dapat diatasi dengan mendidik generasi muda untuk
mengelakkan atau mencegah penyakit-penyakit sosial seperti kejahatan, pertumbuhan penduduk
yang melewati batas, pengrusakan lingkungan,kecelakaan lalu lintas,narkotika dan sebagaainya.

5. Sekolah mentransmisi kebudayaan.

6. Sekolah membantu manusia yang sosial.

7. Sekolah merupakan alat menstraformasi kebudayaan

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

§ Sosiologi ialah ilmu pengetahuan tentang cara berteman/berkawan/bersahabat atau bergaul yang
baik dalam masyarakat.

§ Sosiologi pendidikan adalah iklmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan
proses pendidikan untuk mengembangkan individu kearah yang lebih baik.

§ Kebudayaan adalah merupakan hasil (karya) dari cipta, rasa, dan karsa manusia.
§ Sistem sekolah yang dipertahankan masyarakat sangat tergantung pada kebudayannya, karena
sekolah merupakan perantara kebudayaan.

3.2. Implikasi

Sosial budaya sangat berperan dalam proses pendidikan oleh karena itu kita sebagai anggota
masyarakat perlu memberi dukungan yang positif agar pendidikan menjadi agen pembangunan di
masyarakat.

3.3. Saran

Agar hidup bermasyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai sosial budaya maka sudah
seharusnya kita sebagai pemerintah/sekolah,orang tua siswa, dan masyarakat secara bersama-sama
bertanggung jawab atas lancarnya pelaksanaan pendidikan dari segi sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Ary H.,G.,(2000). Sosilogi Pendidikan Suatu Analisis Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta :
Rineka Cipta.

Hassan S.,(1993). Sosiologi Untuk Masyrakat Indonesia. Jakarta :Rineka Cipta.

Nasution S., (1999). Sosilogi Pendidikan. Jakarta : bumi Aksara.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta


FAKTOR-FAKTOR SOSIOKULTURAL DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fungsi Bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya
maka bahasa berfungsi sebagai sarana perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan
inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi
sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan bangsa, lambang identitas bangsa, alat
pemersatu, dan sebagai alat penghubung antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok,
bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari
sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh, kepribadian, pemecahan
masalah, mempengaruhi dan khayalan.

Di dalam pemerolehan maupun menguasai bahasa, seseorang akan dipengaruhi oleh empat
bagian utama, yang meliputi lingkup sosio-kultural, perbedaan individual, konteks pemerolehan
bahasa, dan out-comes belajar bahasa . Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel
kognitif dan afektif Metodologi Pengajaran Bahasa Dan Sastra: Faktor-Faktor Sosiokultural
pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan
kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar
bahasa. Sehingga faktor sosio-kultural atau budaya memiliki hubungan yang erat dengan bahasa.
Setiap kali kita mengajarkan satu bahasa, kita juga mengajarkan satu sistem yang
kompleks tentang kebiasaan budaya, nilai-nilai, cara berpikir, merasa, dan bertindak. Faktor-faktor
sosio-kultural juga berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua.

Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution dalam teori belajar dan


pembelajaran dikemukakan oleh Lev Vigotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami
pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang ada dibalik otaknya dan pada kedalaman
jiwanya, melainkan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari sejarah
hidupnya. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka makalah ini akan memaparkan faktor serta
pengaruh sosio-kultural dalam pemerolehan bahasa dan pengajaran bahasa.

Rumusan Masalah

Adapun fokus kajian dalam makalah ini adalah mengenai sosio-budaya dan bahasa, sosio-
budaya dalam pemerolehan bahasa kedua, dan aplikasinya dalam pembelajaran bahasa.

Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan faktor sosial budaya dan
bahasa secara umum dan faktor sosio-budaya dalam pemerolehan bahasa kedua.

BAB II
PEMBAHASAN

BUDAYA

1. Pengertian Budaya

Budaya berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah berarti budi atau akal. Budaya atau culture
berasal dari bahasa latin Colere artinya mengolah tanah atau segala tindakan untuk mengelola alam.
Karena manusia adalah bagian dari alam, maka budaya diartikan sebagai usaha manusia dengan akal
mengelola lingkunan alam dan sosial, atau usaha manusia mengelola lingkungan hidupnya.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa dan karya seni.

2. Aspek –aspek Budaya

Menurut W.A. Gerungan aspek budaya yang perlu diperhatikan adalah:

a. Rule/Aturan

Yaitu sesuatu untuk melaksanakan aktifitas kehidupan masyarakat. Rule terbagi menjadi Legal Rule
(bentuk penekanan dalam arti luas dimana sanksinya tidak bisa dihindarkan melalui mengorbankan
anggota sipelanggar) dan the rule of association (menjaga kondisi nyata dan kegagalan harus
dipatuhi anggota termasuk kehilangan keanggotaan atau acuan pribadi dapat berupa penyerangan
dari anggota lain).

b. Costum/kebiasaan

Yaitu prosedur kelompok yang diciotakan secara berulang.

c. Attitude/sikap

Yaitu perbuatan yang mempunyai arah tujuan dan dilakukan secara senang atau tidak senang.

d. Value/nilai

Yaitu menunjukkan dimana lingkup usaha pokok sangat penting bagi individu, dan merupakan
standar keadilan dan tingkah laku yang dapat diterima masyarakat serta dilaksanakan pada proses
interaksi sosial.

3. Hubungan Bahasa dengan Budaya

a. Subordinatif yaitu bahasa bagian dari budaya, dimana bahasa dibawah lingkup budaya.
Sehingga dikatakan bahwa budaya sebagai Main System dan Subsytem.

b. Koordinatif yaitu hubungan sederajad yang kedudukannya sama tinggi.

Hubungan bahasa dan budaya diibaratkan seperti sekeping mata uang logam. Dua fenomena yang
berbeda tetapi sangat erat dan tidak dapat dipisahkan.

4. Hubungan Budaya dengan Manusia

a. Budaya merupakan gejala kemanusiaan artinya tidak ada budaya tanpa manusia atau tidak ada
manusia yang tidak mempunyai budaya.
b. Budaya ikut sderta menciptakan manusia artinya budaya yang dibuat manusia, menyebabkan
manusia tunduk kepada budaya tersebut.

c. Budaya adalah alat untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kehidupan manusia.

d. Budaya adalah alat untuk mempertahankan hidup manusia.

e. Perkembangan budaya kadang-kadang terjadi lompatan untuk menyesuaikan dengan keadaan


seluruhnya.

SIKAP

Tempramen yaitu kecenderungan yang bersifat berlebihan dalam pembawaan yang menciptakan
kejelekan, lebih tampak. Trait yaitu sesuatu yang dengan hal itu seseorang dapat dibedakan dengan
orang lain.

1. Pengertian sikap

Dalam istilah yang digunakan kecenderungan mempunyai makna pengertian arah tindakan yang
dilakukan seseorang berkaitan dengan suatu objek.

2. Ciri-ciri sikap

a. Sikap bukan bawaan sejak lahir, melaikan terbentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan
individu tersebut.

b. Sikap itu dapat berubah-ubah.

c. Mempunyai segi motivasi dan segi perasaan.

d. Objek sikap dapat berupa kumpulan objek.

e. Tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan suatu objek.

3. Sikap bahasa

Sesungguhnya sikap dapat dikatakan sebagai fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi
dalam bentuk tindakan dan prilaku. Lambert dalam dikutip oleh Chaer dan Agustina, berpendapat
bahwa sikap terdiri dari tiga komponen yaitu; komponen kognitif (berhubungan dengan
pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang
dipergunakan dalam proses berpikir), komponen afektif (penilaian baik suka atau tidak suka
terhadap keadaan), dan komponen konatif (perilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir
kecenderungan terhadap suatu objek atau keadaan).

PEMEROLEHAN BUDAYA KEDUA

Pemerolehan budaya kedua berlangsung ketika seseorang belajar pemerolehan bahasa kedua
karena keduanya satu unit dan berkaitan satu sama lain. Perspektif lain bahwa gagasan sebuah
kurikulum bahasa asing dapat menghadirkan budaya sebagai daftar fakta yang dikomsumsi secara
kognitif oleh siswa tanpa interaksi memadai dengan budaya itu. Pembelajaran budaya adalah
sebuah proses penciptaan makna bersama diantarabperwakilan-perwakilan budaya. Proses ini harus
dijalani, proses pembelajaran bahasa yang berlangsung secara bertahun-tahun pembelajaran bahasa,
dan menembus sangat dalam ke pola pemikiran, perasaan dan tindakan seseorang.

Akulturasa adalah penciptaan identitas baru yang merupakan jantung dari pembelajaran budaya.
Terjadinya proses akulturasi akan mempengaruhi budaya baru. Budaya adalah bagian yang tertanam
sangat dalam keberadaan sebagai manusia, tetapi bahasa cara bagaimana berkomunikasi diantara
anggota-anggota sebuah budaya merupakan ekspresi yang terlihat dan tersedia dari budaya itu.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan

Bahasa sebagai alat komunikasi berkaitan erat dengan budaya. Jika dikaitkan dengan
masyarakat maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional. Pembelajaran bahasa kedua
melibatkan pemerolehan identitas kedua dalam pembelajaran budaya (akulturasi). Faktor-faktor
sosiokultural berkaitan erat dalam proses pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing. Dengan
mengenali hubungan yang kompleks tersebut guru bahasa dapat merancang perlakuan apa yang
oocok terhadap murid-muridnya di kelas, baik dari segi pendekatan maupun teknik. Guru juga dapat
memberi pemahaman pada murid-murid tentang pentingnya memahami budaya kelompok
pemakai bahasa sasaran jika mereka ingin menguasai bahasa tersebut dengan baik dan mencapai
tingkat mahir.

Saran

Kita sebagai calon guru yang akan mengajar di sekolah Dasar hendaknya mengetahui tentang apa
apa saja yang harus dipahami oleh kita sebagai calon guru. Jangan sampai kita mengajar dengan asal
asalan karena itu akan membuat ketidak nyamanan bagi siswa. Di biasakan setiap kita akan
mengajar kita terlebih dahulu harus mempunyai rencana pembelajaran atau yang biasa di sebut RPP,
mengapa demikian agar pembelajaran kita terencana. Jadi kita dapat mengetahui tema apa yang
akan di bahas metode apa saja yang akan digunakan dan teknik apa saja yang akan dipakai. Oleh
karena itu kita harus selaku calon guru harus mengetahui teori-teori tersebut sehingga dapat
dituangkan dalam proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Brown. 2003. Prinsip PrinsipLinguistics. Jakarta: Bumi Aksara.

Kinayati Djojosuroto. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Kumaravadivelu. 2006. Understanding language teaching from method to post method. New Jersey.

Suenjono Dardjowidjojo. 2008. Psikolinguistik, pengantar pemahaman bahasa manusia. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesi.
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2

A. Latar Belakang2
B. Rumusan Masalah2
C. Tujuan Penulisan3
D. Manfaat Penulisan3

BAB II PEMBAHASAN 4

A. Dampak Budaya 4
B. Pengaruh Status Sosio Ekonomi 5

BAB III PENUTUP 17


A. Kesimpulan17
B. Saran17
DAFTAR PUSTAKA 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan
praktik, pengalaman, pengetahuan dan budaya. Hal ini terkait dengan proses belajar mengajar
yakni bagaimana interaksi antara siswa dan guru dalam mencapai tujannya. Seorang guru
harus bersikap arif, bijaksana dan penuh kasih sayang sebagai landasan dalam
mentranformasikan ilmu pengetahuan, sikap dan budaya.
Beberapa hal yang mempengaruhi pembelajaran dan hasil pencapaian siswa yaitu budaya
dan status sosialyaitu peranan dan status seseorang tentunya memiliki status sosial yang
heterogen pula seperti halnya latar belakang keluarga yang termasuk golongan High Class
(tinggi), Middle class (menengah) dan Law class (umum).
Berdasarkan hal tersebut maka kami akan membahas mengenai Dampak Budaya pada
Pengajaran Pembelajaran dan Pengaruh Status Sosio Ekonomi Terhadap Pencapaian Siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas oleh
penulis adalah:

1. Bagaimana dampak budaya terhadap pengajaran dan pembelajaran?

2. Bagaimana pengaruh status sosio ekonomi terhadap pencapaian siswa?

C. Tujuan Penulisan

Secara umum penulisan makalah ini bertujuan sebagai tugas semester dua mata
kuliah Psikologi Pendidikan Tujuan khusus dari penulisan ini adalah:
1. Mengetahuibagaimana dampak budaya terhadap pengajaran dan pembelajaran?
2. Mengetahui bagaimana pengaruh status ekonomi terhadap pencapaian siswa?

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :


1. Bagi pembaca memberikan tambahan informasi yang berkaitan dengan dampak budaya
terhadap pengajaran dan pembelajaran, sertabagaimana pengaruh status sosio ekonomi
terhadap pencapaian siswa.
2. Bagi mahasiswa dapat mengetahui dampak budaya terhadap pengajaran dan pembelajaran,
serta bagaimana pengaruh status sosio ekonomi terhadap pencapaian siswa.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dampak Budaya pada Pengajaran dan Pembelajaran

Pada suatu kelompok kita akan menemukan perbedaan budaya, yang merujuk pada
norma, tradisi, perilaku, bahasa, dan persepsi (King, 2002). Kita biasanya memikirkan
perbedaan budaya sebagai perbedaan bangsa. Terdapat banyak keragaman budaya di setiap
negara dan bangsa industri lain. Namun, meskipun kita menghargai perbedaan budaya
antarbangsa, perbedaan dalam masyarakat kita sendiri kurang dihargai.Kecenderungannya
ialah mengahargai karakteristik kelompok-kelompok arus utama yang berstatus tinggi dan
tidak menghargai karakteristik kelompok lain.
Pada saat anak-anak memasuki sekolah, mereka telah menyerap banyak aspek budaya
di tempat mereka dibesarkan, seperti bahasa, keyakinan, sikap, cara berperilaku, dan
kesukaan akan makanan. Lebih tepat lagi kebanyakan anak dipengaruhi beberapa budaya,
dalam pengertian bahwa kebanyakan adalah anggota banyak kelompok yang tumpang tindih.
Latar belakang budaya masing-masing anak dipengaruhi oleh suku bangsa, status sosio
ekonomi, agama, bahasa keluarga, jenis kelamin, dan identitas serta pengalaman kelompok
lain. Banyak perilaku yang terkait dengan pengasuhan budaya tertentu mempunyai
konsekuensi penting bagi pengajaran di ruang kelas. Misalnya, sekolah mengharapkan siswa
berbicara dalam bahasa Inggris standar. Hal ini mudah dilakukan siswa dari keluarga yang
menggunakan bahasa Inggris standar, tetapi sulit dilakukan siswa yang keluarganya
menggunakan bahasa lain atau dialek bahasa Inggris yang cukup berbeda. Sekolah juga
mengaharapkan siswa sangat fasih berbahasa lisan, menghabiskan kebanyakan waktunya
bekerja mandiri, dan bersaing dengan siswa lain untuk memeroleh nilai yang baik dan
penghargaan. Namun, banyak budaya meletakkan nilai yang lebih tinggi pada kerja sama dan
orientasi teman sebaya daripada kemandirian dan daya saing (Boykin, 1994). Karena budaya
sekolah mencerminkan nilai-nilai kelas menengah arus utama (Grossman, 1995), dan karena
kebanyakan guru berasal dari latar belakang kelas menengah, anak dari budaya yang berbeda
sering tidak diuntungkan. Pemahaman akan latar belakang siswa sangat berperan penting
untuk mengajarkan dengan efektif bahan akademis maupun perilaku dan harapan sekolah.

B. Pengaruh Status Sosio Ekonomi terhadap Pencapaian Siswa

Salah satu hal penting yang membedakan siswa sama lain ialah kelas sosial.Bahkan
dikota-kota perdesaan kecil yang hampir setiap orang mempunyai kesamaan suku bangsa dan
agama,anak-anak banker,dokter,dan guru dikota itu mungkin mempunyai pengasuhan yang
berbeda daripada yang dialami anak kebanyakan buruh tani atau pekerja rumah tangga.
Para pakar sosiologi mendefinisikan kelas sosial,atauStatus Sosio Ekonomi (SSE),berdasar
penghasilan,pekerjaan,pendidikan dan gengsi seseorang dalam masyarakat (Thompos &
Hickey,2008). Faktor-faktor ini cenderung berjalan beriringan,sehingga SSE paling sering
diukur sebagai kombinasi penghasilan dan jangka waktu pendidikan individu tersebut, karena
keduanya paling mudah dihitung.
Istilah kelas menengah di Amerika digunakan untuk mengacu pada keluarga yang
pencari nafkahnya mempunyai pekerjakan yang memerlukan pendidikan yang lumayan kelas
pekerjaan yang relatif stabil yang tidak memerlukan pendidikan yang lebih tinggi dan kelas
bawah mengacu pada orang dalam lapis bawah perkotaan atau perdesaan yang sering
menganggur dan mungkin hidup dari bantuan pemerintah.
Namun, kelas sosial menunjukan lebih daripada sekadar tingkat penghasilan dan
pendidikan.Bersama kelas sosial terdapat seperangkat perilaku,harapan,dan sikap yang
ditemukan dimana-mana, yang saling bersinggungan dengan faktor budaya lain dan
dipengaruhi olehnya.Asal kelas sosial siswa kemungkinan mempunyai dampak yang sangat
besar pada sikap dan perilaku disekolah. Sisiwa dari latar belakang kelas pekerja dan kelas
bawah mempunyai kemungkinan yang lebih kecil daripada siswa kelas menegah yang
memasuki sekolah yang tau bagaiman berhitung,menyebut nama huruf, dan memotong
dengan gunting atau menyebur warna.Mereka mempunyai kemungkinan yang lebih kecil
berkinerja bagus disekolah daripada dan anak-anak keluarga kelas (Natriello,2002; Sirin
2007). Tentu saja,perbedaan ini hanya berlaku secara rata-rata banyak orang tua kelas pekerja
dan kelas bawah mempunyai pekerjaan yang luar biasa untuk mendukung keberhasilan anak-
anak mereka disekolah, dan banyak anak kelas pekerja dan kelas bawah mempunyai
pekerjaan yang luar biasa untuk mendukung keberhasilan pada anak-anak mereka disekolah,
dan banyak anak kelas pekerja dan kelas bawah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Kelas
sosial ditemukan dalam segala kategori ras dan suku bangsa. Walaupun benar bahwa
keluarga keturunan Latin dan Afrika secara rata-rata mempunyai kelas sosial yang lebih
rendah daripada keluarga kulit putih, terdapat tumpang tindih yang sangat besar mayoritas
keluarga yang berpenghasilan rendah di Amerika Serikat berkulit putih, dan banyak keluarga
kelas menengah yang merupakan non-kulit putih (Biro sensus A.S.,2001). Definisi kelas
sosial didasarkan pada faktor seperti penghasilan, pekerjaan, dan pendidikan, tidak pernah
pada ras dan suku bangsa.
National Assessment of Educational Progress 2003 (NCES, 2003). Perhatikanlah
bahwa nak-anak oaring tua yang lebih berpendidikan (komponen utama kelas sosial) secara
konsisten memerolah nilai yang lebih tinggi daripada anak-anak orang tua yang kurang
berpendidikan.Sama halnya, diantara siswa kelas empat yang memenuhi syarat untuk makan
siang cuma-cuma atau mendapat harga potongan, hanya 15 persen memerolah nilai sama atau
diatas “mahir” dalam bagian membaca NAEP, dibandingkan dengan 42 persen siwa kelas
empat yang tidak memenuhi syarat (NCES,2003). NAEP menggunakan kualifikasi untuk
makan siang cuma-cuma sebagai indikator penghasilan keluarga seorang anak.
 Peran Praktik Pengasuhan Anak
Perbedaan rata-rata antara orang tua kelas menengah dan kelas bawah dalam praktik
pengasuhan anak merupakan alasan utama perbedaan pencapaian sekolah. Sebagai salah satu
indikatornya ada banyak bukti bawah anak kelas bawah yang diadopsi oleh keluarga kelas
menegah memepunyai pencapaian yang jauh lebih tinggi daripada saudara laki-laki atau
perempuan mereka yang tidak diadopsi, dan mempunyai pencapaian yang mirip dengan
saudara mereka yang diadopsi (van Ijzendoorn,Juffer &Klein Poelhuis,2005).
Banyak riset telah terfokus dan perbedaan praktik pengasuhan anak antar keluarga kelas
menegah rata-rata dan keluartga kelas pekerja atau kelas bawah rata-rata.Banyak anak dari
keluarga penghasilan rendah memperolah pengasuhan yang kurang sesuai dengan apa yang
diharapkan untuk mereka lakukan disekolah jika dibandingkan dengan pengasuhan anak
kelas menegah.Pada saat mereka memasuki sekolah,anak kelas menengah kemungkinan akan
baik dalam mengikuti pengarahan,menjelaskan dan memahami alasan, dan memahami dan
menggunakan bahasa yang rumit,sedangkan anak kelas pekerja atau kelas bawah dapat
mempunyai pengalaman dalam semua bidang ini (Parkay,2006).Anak-anak dari keluarga
kurang beruntung lebih mungkin memeroleh akses yang buruk ke perawatan dan menderita
penyakit ketika keracunan timbal. Ibu mereka mempunyai kemungkinan yang lebih kecil
memeroleh prenatal yang baik (McLoyd,1998). Faktor ini dapat menunda perkembangan
kognisi, yang juga memengaruhi kesiapan sekolah. Tentu saja keluarga berpenghasilan
rendah mengalami kekurangan segala jenis sumber daya untuk membantu anak mereka
berhasil. Misalnya, anak-anak keluarga yang kurang beruntung jauh lebih mungkin menderita
penglihatan yang tidak ditangani, masalah pendengaran, atau masalah kesehatan lain yang
dapat saja menghambat keberhasilan mereka disekolah (Natriello,2002; Rothstein, 2004).
Perbedaan penting lain antara keluarga kelas menegah dan kelas bawah terdapat pada
jenis kegiatan yang cenderung dilakukan orang tua bersama anak mereka. Orang tua kelas
menengah mempunyai kemungkinan mengungkapkan harapan yang tinggi bagi anak meraka
dan memberi imbalan kepada mereka karena perkembangan intelektual.Mereka mempunyai
kemungkinan memberi contoh yang baik tentang penggunaan bahasa, sering membicaran dan
membacakan sesuatu kepada anak mereka, dan mendorong kegiatan membaca dan belajar
lain. Mereka khususnya cenderung menyediakan segala jenis bahan belajar bagi anak-anak
dirumah, seperti buku, ensiklopedia, rekaman, teka-teki, dan makin banyak Komputer
(Yeung, Linver & Brooks-Gunn, 2002). Orang tua ini juga kemungkinan akan
memperkenalkan anak mereka pada pengalaman belajar diluar rumah, seperti museum,
konser, dan kebun binatang (Duke, 2000). Mereka lebih mungkin sanggup membantu anak
mereka berhasil di sekolah dan terlibat ke dalam pendidikan mereka (Heymann & Earle, 200).
Orang tua mempunyai kemungkinan mengharapkan dan menurut pencapaian yang tinggi dari
anak mereka; orang tua kelas pekerja dan kelas bawah lebih mungkin menuntut perilaku yang
baik dan kepatuhan (Knapp & Woolverton, 1995; Trawick-Smith, 1997). Bantuan
pemerintahan kepada orang tua yang miskin agar terlibat ke dalam interaksi yang lebih
memperkaya dengan anak mereka dapat membawa dampak yang sangat besar pada kinerja
kognisi anak mereka. Misalnya, prakarsa Parent-Child Home Program (PCHP) menyediakan
bagi ibu-ibu balita yang kurang beruntung mainan dan peragaan cara bermain dan berbicara
dengan anak untuk meningkatkan perkembangan intelektual mereka. Studi telah menemukan
dampak yang kuat dan berlangsung lama intelektual sederhana ini pada kemampuan kognisi
dan keberhasilan sekolah anak, dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak
memerolah layanan PCHP (Allen & Seth, 2004; Levenstein, Levenstein & Oliver, 2002).
 Hubungan antara Penghasilan dan Pembelajaran
Beberapa studi menemukan bahwa, walaupun anak-anak yang mempunyai SSE rendah
dan SSE tinggi mengalami kemajuan yang mirip dalam pencapaian akademis selama masa
sekolah, anak-anak yang mempunyai SSE rendah tertinggal dibelakang (Borman, Benson &
Overman, 2005;Cooper, Lindsay, Nye & Greathouse,1998; Entwisle, Alexander & Olson,
2001; Heyns, 2002). Temuan ini menyebutkan bahwa lingkungan tidak hanya memengaruhi
kesiapan akademis untuk sekolah, tetapi juga tingkat pencapaian sepanjang karier siswa
disekolah. Anak-anak kelas menengah lebih mungkin terlibat dalam kegiatan yang
menyerupai sekolah selama musim panas dan mempunyai lebih banyak bahan yang
menyerupai sekolah. Anak-anak kelas bawah mungkin menerima rangsangan yang kurang
relevan secara akademis dirumah dan lebih mungkin melupakan apayang mereka pelajari
disekolah (Hill, 2001). Fenomena “slide musim panas” telah menyebabkan banyak sekolah
menawarkan sekolah musim panas kepada siswa yang beresiko, dan riset bmenemukan hal
ini dapat menjadi strategi yang efektif (Borman, & Dowling, 2004).
 Peran Sekolah sebagai Lembaga Kelas Menengah
Siswa dari latar belakang di luar kelas menengah arus utama menghadapi kesulitan di
sekolah sebagian karena pengasuhan mereka menekankan perilaku yang berbeda daripada
yang dinilai tinggi di sekolah. Masalahnya ialah bahwa sekolah terlalu mewakili nilai-nilai
dan harapan masyarakat kelas menengah. Dua di antara nilai ini ialah individualitas dan
orientasi waktu masa depan (Boykin, 1994a; Jagers & Caroll,2002). Kebanyakan ruang kelas
di A.S berlangsung dengan asumsi bahwa anak-anak harus menyelesaikan pekerjaan mereka
sendiri. Bantuan kepada orang lain sering diartikan sebagai kecurangan. Siswa diharapkan
bersaing demi nilai, perhatian, dan pujian guru, dan imbalan lain. Persaingan dan pekerjaan
individu adalah nilai yang ditanamkan sejak dini dalam kebanyakan keluarga kelas menengah.
Namun, siswa dari latar belakang kelas bawah (Boykin, 1994a) kurang bersedia bersaing dan
lebih tertarik bekerja sama dengan teman sebaya mereka daripada anak-anak keturunan Eropa
kelas menengah. Siswa ini sering belajara sejak usia dini dengan mengandalkan komunitas,
teman, dan keluarga mereka dan juga selalu membantu dan dibantu oleh orang lain. Tidak
mengherankan, siswa yang paling berorientasi ke arah kerja sama dengan orang lain belajar
paling baik melalui kerja sama dengan orang lain, sedangkan siswa yang lebih suka bersaing
belajar paling baik melalui persaingan dengan orang lain (Kagan, Zahn, Widaman
Schwartzwald & Tyrell, 1985). Karena ketidakcocokan antara orientasi kerja sama banyak
anak kelas bawah serta kelompok minoritas dan orientasi persaingan sekolah, banyak peneliti
(misalnya, Boykin, 1994a; Greenfield & Cocking, 1994; Triandis, 1995) berpendapat bahwa
ada ketidakadilan struktural di ruang kelas tradisional yang bertentangan dengan anak-anak
ini. Mereka menyarankan agar guru menggunakan strategi pembelajaran kooperatif
setidaknya untuk sebagian waktu pelajaran dengan siswa ini sehingga mereka menerima
pengajaran yang selaras dengan orientasi budaya mereka (Slavin, Hurley & Chamberlain,
2003).
 Faktor Sekolah dan Komunitas
Sering anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah beresiko mengalami kegagalan
sekolah karena karakteristik komunitas yang menjadi tempat mereka tinggal dan sekolah
yang mereka masuki (Everson & Millsap, 2004). Misalnya, pendanaan sekolah di
kebanyakan wilayah Amerika Serikat berkorelasi dengan kelas sosial; anak-anak kelas
menengah mempunyai kemungkinan masuk ke sekolah dengan sumber daya yang lebih besar,
guru yang bergaji lebih tinggi (dan karena itu berkualitas lebih tinggi), dan keunggulan lain
(Darling-Hammond, 1995). Di atas semua perbedaan ini, sekolah yang melayani pemukiman
yang berpenghasilan rendah mungkin harus membelanjakan lebih banyak untuk keamanan,
layanan bagi siswa yang memiliki kesulitan, dan banyak kebutuhan lain, yang bahkan
menyisakan lebih sedikit untuk pendidikan biasa (Persell, 1997). Kekurangan sumber daya
ini dapat sangat mempengaruhi pencapaian siswa (Land & Legters, 2002; Rothstein, 2002).
Dalam pemukiman yang sangat miskin, kejahatan, ketiadaan panutan yang positif, layanan
sosial dan kesehatan yang tidak memadai, dan faktor lain dapat menciptakan lingkungan yang
merusak motivasi, pencapaian, dan kesehatan mental anakl-anak. (Behrman, 1997; Black &
Krishnakumar, 1998; Vernez, 1998). Selain itu, guru sering mempunyai harapan yang rendah
terhadap siswa yang kurang beruntung dan hal ini dapat mempengaruhi motivasi dan
pencapaian mereka. (Becker & Luthar, 2002; Hauser-Cram, Sirin & Stipek, 2003). Namun,
faktor ini tidak otomatis menakdirkan siswa untuk gagal. Banyak siswa yang beresiko
berkembang apa yang disebut “kelenturan” (resilience), yaitu kemampuan berhasil meskipun
terdapat banyak faktor resiko (Borman & Overman, 2004; Glantz, Johnson & Huffman, 2002;
Waxmman, Gray &Padron, 2002). Tetapi faktor semacam itu memang menyebabkan
keberhasilan di sekolah jauh lebih sulit.
 Kemitraan Sekolah, Keluarga, dan Komunitas
Kalau latar belakang keluarga merupakan faktor kunci dalam menjelaskan perbedaan
pencapaian siswa, itu berarti bahwa pelibatan keluarga dalam mendukung keberhasilan
sekolah anak-anak dapat menjadi bagian dari jalan keluarnya. Para pendidik professional
dapat mengulurkan tangan kepada keluarga-keluarga dan anggota-anggota komunitas lain
dengan berbagai cara untuk meningkatkan komunikasi dan rasa hormat antara keluarga dan
sekolah dan untuk memberi strategi kepada orang tua guna membantu anak-anak mereka
sendiri berhasil. Epstein dan Sanders (2002) menggambarkan enam jenis keterlibatan yang
dapat ditekankan sekolah dalam kemitraan yang komprehensif dengan orang tua:
1. Pengasuhan. Membantu keluarga dalam kemampuan pengasuhan dan pembesaran anak,
dukungan keluarga, pemahaman perkembangan anak dan remaja, dan penataan kondisi
keluarga untuk mendukung pembelajaran pada masing-masing tingkat usia dan kelas.
Memperoleh informasi dari keluarga untuk membantu sekolah memahami latar belakang,
budaya dan tujuan keluarga bagi anak-anak.
2. Komunikasi. Berkomunikasi dengan keluarga tentang program sekolah dan kemajuan siswa
dengan komunikasi sekolah-ke-keluarga dan keluarga-ke-sekolah. Menciptakan saluran
komunikasi dua arah sehingga keluarga dapat dengan guru dan pengurus.
3. Bantuan suka rela. Memperbaiki perekrutan, pelatihan, kegiatan dan jadwal dengan
melibatkan keluarga sebagai sukarelawan dan pendengar di sekolah atau di tempat-tempat
lain untuk mendukung siswa dan program sekolah.
4. Pembelajaran di rumah. Melibatkan keluarga bersama anak-anak mereka dalam kegiatan-
kegiatan belajar akademis dalam keluarga, termasuk pekerjaan rumah, penentuan tujuan, dan
kegiatan serta keputusan yang terkait dengan kurikulum lainnya.
5. Pengambilan keputusan. Menyertakan keluarga sebagai partisipan dalam keputusan
sekolah, kepengurusan dan kegiatan dukungan melalui POM, komite, dewan, dan organisasi-
organisasi orang tua lainnya. Membantu perwakilan keluarga memperoleh informasi dari dan
memberi informasi kepada orang-orang yang mereka wakili.
6. Kerja sama dengan komunitas. Berkoordinasi dengan dunia bisnis, lembaga, organisasi
budaya dan sipil, perguruan tinggi atau universita, dan kelompok-kelompok lain di
masyarakat. Berdayakan siswa agar mampu memberikan layanan kepada komunitas (disadur
dari Epstein & Sanders, 2002, hal. 527).
Riset karelasi tentang keterlibatan orang tua dengan jelas dan telah memperlihatkan bahwa
orang tua yang melibatkan diri dalam pendidikan anak-anak mereka mempm itu unyai anak
yang memperoleh pencapaian yang lebih tinggi dari pada orang tua lain (Flouri & Buchanan,
2004). Namun telah muncul lebih banyak perdebatan tentang dampak program sekolah untuk
meningkatkan keterlibatan orang tua. Banyak studi yang memperlihatkan efek positif
program keterlibatan orang tua, Khususnya yang menekan peran orang tua sebagai pendididk
bagi anak-anak mereka sendiri (lihat Epstein & Sanders, 2002). Apa yang dikatakan riset
tersebut manfaat semacam itu (Mattingly et al, 2002). Apa yang dikatakan riset tersebut ialah
bahwa pembangunan hubungan positif dengan orang tua dan pemberian sarana praktis
kepada orang tua untuk membantu anak-anak mereka berhasil di sekolah adalah bagian
penting setiap rencana pendidik yang intensional untuk meningkatkan pencapaian dan
penyesuaian diri semua anak, tetapi unsur-unsur lain, seperti perbaikan pengajaran dan
kurikulum, juga diperlukan.

 Apakah Pencapaian Rendah Anak dari Kelompok yang Berpenghasilan Rendah Tidak
Terhindarkan?
Sekolah dapat melakukan banyak hal untuk memungkinkan anak-anak dari keluarga yang
berpenghasilan rendah berhasil di sekolah (Barr & Parrelt, 2001; Borman, 2002/03; Cole-
Henderson, 2000); Gunter, Estes & Schwab, 2003; Slavin, 2002). Misalnya, intervensi
intensif telah dirancang untuk membantu mengembangkan kemampuan kognitif nak-anak
sejak dini dalam kehidupan mereka dan membantu orang tua mereka melakukan tugas yang
lebuh baik dalam menyiapkan mereka memasuki sekolah. Studi tentang program-program ini
telah memperlihatkan efek positif jangka panjang bagi anak-anak yang dibesarkan bagi
keluarga yang sangat miskin, khususnya ketika program itu dilanjutkan hingga kelas-kelas
awal sekolah dasar (Conyers et al., 2003;Ramey& Ramey,1998; Reynolds et al., 2002).
Reading Recovery 9Lyons, Pinell & Deford, 1993) dan program-program pengajaran pribadi
(tutoring) lain untuk kelas satu telah memperlihatkan efek yang sangat besar terhadap
pencapaian membaca anak-anak yang beresiko 9Denton, Anthony, Parker 7 Hasbrouck, 2004;
Mirris, Tyner & Perney, 2000; wasik & Slavin,1993). Succes for All (Slain & Madden, 2001),
yang menggabungkan program pengajaran efektif, Pengajaran pribadi, dan layanan dukungan
keluarga, telah memperlihatkan dampak yang sangat besar dan bertahan terus terhadap
pencapaian anak-anak disekolah-sekolah yang sangat miskin. Pengurangan ukuran kelas yang
lumayan besar telah ditemukan sangat menguntungkan bagi anak-anak disekolah-sekolah
yang sangat miskin sangat menguntungkam bagi anak-anak disekolah-sekolah yang sangat
miskin (Finn et al, 2002). Program-program sekolah musim panas yang bermutu tinggi
(Borman & Boulay, 2004) dan program-program seusai sekolah (McComb & Scott Little,
2003) data memberikan peluang untuk mengantarkan siswa-siswa yang termasuk intervensi
kesehatan dan social diluar sekolah tersebut (Jackson, 1999; Rothstein, 2001),
memperlihatkan bahwa pencapaian rendah anak-anak kelas bawah bukan tidak terhindarkan.
Pencapaian dapat diingatkan besar-besaran dengan pengguanaan steategi yang cepat tersedia
bagi sekolah.
 Solusi Non-sekolah atas Masalah Pencapaian Siswa yang Kurang Beruntung
Richard Rothstein melakukan pengamatan penting tentang kesenjangan pencapaian antara
kelas menengah dan anak-anak yang kurang beruntung. Dia mencatat bahwa penjelasan
utama kesenjangan tersebut berasal dari persoalan yang pada umumnya bukan di bawah
kendali sekolah, yang dapat dibenahi oleh kebijakan yang memeroleh pencerahan. Beberapa
contoh yang dia bahas adalah sebagai berikut.
1. Penglihatan
Rothstein mencatat bahwa anak-anak miskin mempunyai kerusakan penglihatan yang
parah dua kali tingkat rata-rata. Herannya, anak-anak remaja yang nakal mempunyai masalah
penglihatan dengan tingkat yang amat tinggi. Rothstein mengutip data yang menunjukkan
bahwa lebih dari 50 persen kaum minoritas dan anak-anak keluarga berpenghasilan rendah
mempunyai masalah penglihatan yang menggangu tugas akademis mereka. Sebagian
membutuhkan kacamata dan yang lain memerlukan terapi latihan mata. Studi yang dilakukan
Harris (2002) menemukan bahwa siswa kelas empat yang kurang beruntung yang
mendapatkan kacamata dan terapi cuma-cuma memeroleh pencapaian yang sangat besar jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Siswa di sekolah biasanya diperiksa untuk
memastikan rabun jauh tetapi bukan rabun dekat atau jalur khusus (Gould & Gould 2003).
Bahkan walaupun siswa berpenghasilan rendah memeroleh resep kacamata, mereka sering
tidak memperolehnya atau tidak mengenakannya ke sekolah.
2. Pendengaran
Anak-anak yang kurang beruntung mempunyai labih banyak masalah pendengaran dari
pada anak-anak kelas menengah khususnya karena kegagalan mendapatkan perawatan
kesehatan untuk infeksi telinga.
3. Keterapan Timbal
Anak-anak yang kurang beruntung jauh lebih mungkin tinggal dalam rumah di mana debu
dari cat timbal yang sudah tua beterbangan di udara. Bahkan timbal dalam jumlah kecil dapat
mengakibatkan kehilangan fungsi kognisi dan kehilangan pendengaran. Studi telah
menemukan bahwa tingkat timbal darah anak-anak miskin mencapai lima kali tingkat timbal
darah anak-anak kelas menegah (Brookes-Gunn & Duncan, 1997).
4. Asma
Anak-anak perkotaan yang miskin mempunyai tingkat asma yang sangat tinggi. Studi
New York dan Chicago (Whitman, Williams & Shah, 2004) menemukan bahwa satu di
antara empat anak-anak keturunan Afrika di tengah kota menderita asma, enam kali lipat dari
tingkat nasional. Pada gilirannya asma merupakan penyebab utama kemangkiran kronis di
sekolah dan, bahkan di sekolah , sama yang tidak disembuhkan menganggu kinerja akademis.
5. Perawatan Kesehatan
Anak-anak yang kurang beruntung mempunyai kemungkinan yang jauh lebih kecil
memeroleh perawatan kesehatan yang memadai daripada anak-anak kelas menegah. Ini
mengakibatkan persoalan dengan kemangkiran; motivasi rendah karena kesehatan yang
buruk; dan masalah penglihatan, pendengaran, dan asma yang disebutkan sebelumnya
(Starfield, 1997).
6. Gizi
Walaupun kekurangan gizi yang parah jarang ditemukan di Amerika Serikat, gizi di
bawah rata-rata lazim dijumpai di kalangan anak-anak miskin dan ini memengaruhi kinerja
akademis. Salah satu studi (Neisser et al., 1996) menemukan bahwa hanya pemberian vitamin
dan suplemen mineral kepada anak-anak meningkatkan nilai ujian mereka.
Argumen Rothstein (2004) ialah bahwa aspek ini dan aspek kemiskinan lain dapat
dipecahkan dan tindakan seperti itu dapat mempunyai dampak penting bagi pencapaian anak-
anak berpenghasilan rendah. Walaupun ada lembaga kesehatan dan lembaga layanan sosial
yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah ini, sekolah mempunyai keunggulan karena
mereka bertemu dengan anak-anak setiap hari. Reformasi sederhana, seperti perbaikan makan
siang sekolah atau penyediaan kacamata cuma-cuma yang tetap ada di tangan sekolah, dapat
berhasil seefektif intervensi yang jauh lebih mahal, seperti pengajaran pribadi atau
pendidikan khusus yang mungkin saja tidak membidik akar penyebab masalah anak-anak.
 Implikasi bagi guru
Anak-anak memasuki sekolah dengan tingkat persiapan perilaku sekolah yang berbeda-
beda yang membawanya menuju keberhasilan. Perilaku, sikap dan nilai mereka juga berbeda-
beda. Namun, fakta semata-mata bahwa beberapa siswa pada awalnya tidak mengetahui apa
yang diharapkan dari mereka dan mempunyai kemampuan awal yang lebih sedikit daripada
siswa lain tidak berarti bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk mengalami kegagalan
akademis. Walaupun terdapat sedikit korelasi positif antara kelas sosial dan pencapaian,
seharusnya tidak diasumsikan bahwa hubungan ini berlaku bagi semua anak dari keluarga
dengan SSE yang rendah. Ada banyak pengecualian. Banyak keluarga kelas pekerja dan kelas
bawah dapat dan benar-benar menyediakan lingkungan keluarga yang mendukung
keberhasilan anak-anak mereka di sekolah. Otobiografi orang-orang yang telah mengatasi
kemiskinan (misalnya, Corner, 1990) sering merujuk ke pengaruh kuat orang tua dan panutan
dengan standar tinggi yang tidak mengharapkan sesuatu selain yang terbaik dari anak-anak
mereka dan melakukan apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu anak-anak berhasil.
Walaupun pendidik perlu menyadari masalah yang di hadapi banyak siswa kelas bawah,
mereka juga perlu menghindari untuk mengubah pengetahuan ini menjadi stereotipe. Bahkan
ada bukti bahwa guru kelas menengah sering mempunyai harapan yang rendah terhadap
siswa kelas pekerja dan kelas bawah (Persell, 1997) dan bahwa harapan yang rendah ini dapat
menjadi mimpi yang menjadi kenyataan yang menyebabkan siswa berkinerja kurang baik
dari pada yang mestinya dapat mereka perbuat (Becker & Luthar, 2002; Hauser-Cram et al.,
2003).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Latar belakang budaya masing-masing anak dipengaruhi oleh suku bangsa, status sosio
ekonomi, agama, bahasa keluarga, jenis kelamin, dan identitas serta pengalaman kelompok
lain.Pemahaman akan latar belakang siswa sangat berperan penting untuk mengajarkan
dengan efektif bahan akademis maupun perilaku dan harapan sekolah.Para pakar sosiologi
mendefinisikan kelas sosial,atau Status Sosio Ekonomi (SSE), berdasar penghasilan,
pekerjaan, pendidikan dan gengsi seseorang dalam masyarakat (Thompos & Hickey,2008).

B. Saran

Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian bahan
maupun dalam segi penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
agar makalah ini berguna bagi kemajuan pendidikan Indonesia.

HUBUGAN BERBAHASA, BERFIKIR DAN BERBUDAYA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu
termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa
akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia.
Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-
objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak.
Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai
tentang sebuah objek. Meskipun objek itu Tidak terinderakan saat proses berpikir itu
dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998). Ernst Cassier menyebut manusia sebagai
animal Symbolicum, mahluk yang menggunakan simbol. Secara generik ungkapan
ini lebih luas daripada sekedar homo sapiens. Bagi Cassier, keunikan manusia
sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada kemampuan berpikirnya melainkan
terletak pada kemampuannya berbahasa. Seorang filosof kenamaan, Gadamer,
menyatakan bahwa status manusia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa
menggunakan bahasa.
Dalam satu pernyataan yang terkenal, secara jelas pula seorang filosof bahasa,
Ludwid van Wittgenstein, mengatakan bahwa batas dunia manusia adalah bahasa
mereka (Sumaryono. 1993). Sebuah uraian yang cukup menarik mengenai
keterkaitan antara bahasa dan berpikir dinyatakan oleh Whorf dan Saphir. Whorf
dan Saphir melihat bahwa pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dan
bahasa tertentu yang digunakan manusia (Schlenker, 2004). Menurut hipotesis ini,
dunia mental orang Indonesia berbeda dengan dunia mental orang Inggris karena
mereka menggunakan bahasa yang berbeda.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah hubungan berpikir,
berbahasa, dan berbudaya.

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui hubungan berpikir,
berbahasa, dan berbudaya.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bahasa


Pengertian Bahasa Indonesia Oleh Para Ilmuan Menurut Keraf dalam
Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama
menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem
komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat
arbitrer. Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi
bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those
symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat
didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional
untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki
dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).
Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4),
beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang
sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah
seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia secara sadar. Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan
bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem
lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-
sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem.
Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12). Menurut Wibowo
(2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi
(dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai
sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan
dan pikiran. Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4),
mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif
untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain.

Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin


(1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang
dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-
perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa
adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang
jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Sementara
Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang
mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf. Pendapat terakhir
dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa
adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.

2.2 Pengertian Berpikir

Berpikir yang paling umum dari berpikir adalah berkembangnya ide dan
konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang.
Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses Penjalinan hubungan
antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa
pengertian-pengertian. “Berpikir” mencakup banyak aktivitas mental. Kita berpikir
saat memutuskan barang apa yang akan kita beli di toko. Kita berpikir saat mencoba
memecahkan ujian yang diberikan di kelas. Kita berpikir saat menulis artikel,
menulis makalah, menulis surat, membaca buku, membaca koran, merencanakan
liburan, atau mengkhawatirkan suatu persahabatan yang ternganggu.
Berpikir adalah suatu kegitan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun
tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar
organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi
manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu
berarti mengarahkan dari pada obyek tertentu, menyadari secara aktif dan
menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai wawasan tentang obyek
tersebut.
Berpikir juga berarti berjerih-payah secara mental untuk memahami sesuatu
yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi. Dalam
berpikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan, merancang,
menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-
milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-
kemungkinan yang ada, membuat analisis dan sintesis menalar atau menarik
kesimpulan dari prinsip-prinsip yang ada, menimbang dan memutuskan.
Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau
secara kognitif, secara lebih, formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau
manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang
tersimpan dalam long term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi
simbol dari beberapa peristiwa atau item (Khodijah, 2006:117).
Biasanya kegitan berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan
untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yang memerlukan
pemecahan. Kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan
dengan apa yang terjadi atau dialami. Dengan demikian, kegiatan berpikir manusia
selalu tersituasikan dalam kondisi konkret subyek yang bersangkutan. Kegiatan
berpikir juga dikondisikan oleh struktur bahasa yang dipakai serta konteks sosio-
budaya dan historis tempat kegiatan berpikir dilakukan (Sudarminta, 2000).

2.3 Pengertian Budaya


Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi
dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang
mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu
mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme
kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan
kolektif" di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari
satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian
nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang
bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.4 Hubungan Bahasa dan Budaya


Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk
komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu
lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota
masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan
definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3),
Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian,
Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat
komunikasi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:

1. bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh
anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri;
2. bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang


menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar
linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use)
merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal
ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan
dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat
istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu
yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan
bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa
pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam
berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga
ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau
pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga
digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau
manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan
tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan
lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing
sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda
tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita
ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik.
Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia,
beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga
berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda
dalam konteks budaya berbeda.

Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah


bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan
langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang
lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu
saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia.
Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang
terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya
dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata
yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus,
meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam
bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat
tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang
dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap
sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa
merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah
penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai
bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu
dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat,
tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat
penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden
awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang
jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa,
rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak
mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada
ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-
bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya
yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336)
menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini
berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur
masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina
dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan
bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan
Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada
tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan
ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa
masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian
bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan
komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu
yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai
inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat
dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
Bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia.
Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu.

2.5 Hubungan Bahasa dan Berpikir

Alat komunikasi manusia yang paling utama adalah bahasa selain alat ucap
yang baik, untuk dapat berbahasa atau berkomunikasi diperlukan pikiran dan
ingatan yang baik pula sebab faktor inilah yang memungkinkan terjadinya kegiatan
berbahasa dengan lancar. Pikiran berperan penting tidak hanya menyimak ,
membaca, maupun dalam proses pengujaran. Dalam penyimakan, pikiran
menangkap dan menahan untaian fonologis ucapan dari lawan bicara untuk dapat
dijadikan pesan yang bermakna. Dalam membaca, pikiran menangkap dan menahan
informasi yang dibaca dalam bentuk untaian kata, frase, klausa, kalimat, paragraf
sampai wacana atau teks.
Otak manusia sebagai alat berpikir, selalu menanggapi bermacam-macam
informasi melalui bahasa yang diterimanya melalui indra pendengar, atau indra
penglihatan, kemudian diproses dalam pikiran. Selanjutnya pikiran membagi
informasi tadi melalui kelompok-kelompok guna penyimpanan (stroge) dalam
ingatan dan menemukannya kembali (recieve) dengan mudah. Hal ini disebut
kategorisasi.
Bahasa adalah data pemikiran. Bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi
dengan orang lain tetapi bahasa juga digunakan untuk berpikir itu sendiri.
Contoh:

1. Kata disimpan dalam pikiran dan tidak disimpan dalam bentuk ejaan, tetapi sebagai
bunyi lafal, dengan mendengar kata benda, orang akan membayangkan berbagai
wujud benda sebagai kelas kata benda.
2. Pikiran dapat menjelaskan kata benda yang abstrak, pengetahuan
3. Dulu orang berpendapat bahwa sesuatu yang konkret menghambat cara berpikir
abstrak. Pendapat itu kini terbalik, sesuatu yang konkret membantu pemikiran
abstrak. Itulah sebabnya dalam buku ajar kimia dan fisika masa kini, banyaknya
gambar dan tulisan bersaing. Satu gambar sama dengan seribu kata. Gambar jenaka
lebih lama diingat dalam pikiran daripada tulisan yang panjang.
4. Fungsi otak kiri dan otak kanan manusia berbeda. Logika, matematika, lanjar,
bahasa, runtun, analisa, berada pada otak sebelah kiri, irama, kreatifitas, imajinasi,
ruang, warna, keseutuhan, berada pada otak sebelah kanan.
5. Banyak orang jenius memanfaatkan kedua belahan otak mereka, kiri dan kanan,
mereka menuangkan dalam gambar atau berimajinasi dengan imaj/citra.
6. Bahasa yang tertib sangat diperlukan dalam penerjemahan dalam komputer, bahasa
yang tertib diperlukan dalam berpikir dan mengungkapkan pikiran dengan cermat.

Beberapa ahli mencoba memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran,


atau lebih disempitkan lagi, bahasa mempengaruhi pikiran. Beberapa ahli tersebut
antara lain Von Humboldt, Edwar Saphir, Benyamin Whorf, dan rnst Cassier. Dari
keempat tokoh tersebut hanya Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak
dikutip oleh berbagai peneliti.
Sapir dan Whorf mengatakan bahwa ada dua bahasa yang memiliki kesamaan
untuk mempertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Whorf
menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingustic relativity hypothesis yang menyatakan
bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan
kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa
menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah lingustic determinism yang menyatakan bahwa
struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar
dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh
kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui
aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Bahasa bagi whorf pemandu
realitas sosial. Walaupun bahasa biasanya tidak diminati oleh ilmuwan sosial, bahasa
secara kuat mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses
sosial.
Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan
sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh bahasa tertentu
yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang
cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai
masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan
karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan
manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka
pandangan tentang dunia pun berbeda.

2.6 Hubungan Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya


Pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman
sistem bahasa dan adanya sistem bahasa dan adanya sistem universal yang dimiliki
oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Struktur bahasa menentukan struktur
pikiran. Struktur pikiran dibentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa.
Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian
untuk berbahasa. Menurut Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan
kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya,
kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik
perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau
pandangan hidup yang berbeda.
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas.
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi
secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu
membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan,
sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam
masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup
sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami
penuturnya, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan
wajah dari bahasa itu.
Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah
sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang
bersifat arbitrer.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam


Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep
ini berlangsung melalui proses Penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi
yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.
Bahasa, pikiran, dan budaya memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi
(resiprokal). Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi
oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa pikiran, bahasa
dan budaya memiliki keterkaitan yang yang saling mempengaruhi.
Bahasa adalah bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah
sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang
bersifat arbitrer.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Berpikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam
Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep
ini berlangsung melalui proses. Penjalinan hubungan antara bagian-bagian
informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-
pengertian.
Bahasa, pikiran, dan budaya memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi
(resiprokal). Pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi
oleh struktur bahasanya (hipotesis Sapir-Worf).

3.2 Saran
Dari pemaparan makalah ini diharapkan apa yang telah penulis sampaikan
dapat menambah pengetahuan serta memberi manfaat dalam pembelajaran bagi
mahasiswa dan teman-teman semua.
bahasa, budaya dan pemikiran

1. 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada berbagai teori yang membahas


tentang keterkaitan antara bahasa dan budaya. Ada yang mengatakan bahwa bahasa
adalah merupakan produk budaya, ada pula yang mengatakan bahwa kebudayaan
sangat dipengaruhi oleh bahasa yang mana bahasa inilah yang menggambarkan
pikiran seseorang karena pada dasarnya bahasa merupakan alat komunikasi untuk
menyampaikan gagasan atau ide dalam pikiran seseorang. Perbedaan tersebut
menunjukkan bahwa antara keduanya mempunyai hubungan sangat erat. Selain itu
bahasa juga erat kaitannya dengan pikiran seseorang, karena dia merupakan jawaban
dari sebuah pikiran. Setelah berpikir, seseorang akan mengungkapkan idenya melalui
sebuah bahasa, dan bahasa yang mereka keluarkan akan berpengaruh dengan budaya
yang ada di sekitarnya. Antara bahasa, budaya dan pikiran mempunyai kaitan yang
sangat erat, namun terkadang kita masih belum tahu secara persis hubungan antara
ketiganya. Oleh karena itu sebelum kita beranjak lebih jauh, ada baiknya kita
mengetahui maksud dari ketiganya. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian bahasa,
budaya dan pikiran ? 2. Apa hubungan antara ketiganya ? 3. Bagaimana jika salah
satunya tidak terpenuhi ? C. Tujuan Pembahasan 1. Memahami pengertian bahasa,
budaya dan pikiran 2. Mengetahui hubungan antara ketiganya 3. Agar bisa
mengapresiaskannya secara lengkap dalam kehidupan sehari-hari
2. 2. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Bahasa, Budaya dan pikiran Sebelum kita
melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari
bahasa, budaya dan pikiran. Secara teknis, bahasa adalah seperangkat ujaran yang
bermakna yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Secara praktis, bahasa merupakan
alat komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa system lambang bunyi yang
bermakna dan dihasilkan oleh alat ucapa manusia.1 Menurut ilmu Antropologi,
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.2
Pikiran adalah ide ataupun gagasan yang ada di dalam otak manusia B. Hubungan
Bahasa dengan Pikiran Pikiran dan bahasa, sesungguhnya merupakan tempat
terjadinya peristiwa realitas. Berfikir adalah suatu tanggapan. Kegiatan berfikir
sebagai jawaban terhadap kata suara realitas mencari ungkapannya yang tepat
sehingga realitas dapat menjadi bahasa dan selanjutnya dapat dikomunikasikan.
Bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya. Fungsi-
Fungsi Bahasa 1. Fungsi informatif yaitu meng-iya-kan dan menolak proposisi atau
pulamenyuguhkan argumen/argumentasi. Ilmu adalah contoh yang jelas dari realisasi
fungsi informatif bahasa 2. Fungsi ekspresif yakni dipakai sebagai alat pengungkapan
rasa perasaan dan sikap 1 Winci Firdaus, dkk, Bahasa Indonesia, (Banda Aceh :CV.
Mita Mulia,2009) hlm. 1 2 Koentjaraninggrat.Pengantar Ilmu Antropologi.(Bandung:
Rineka Cipta.2009).Hal. 144.
3. 3. 3. Fungsi direktif yakni pemakaian bahasa untuk menyebabkan atau menghalangi
suatu perilaku. Perintah atau permintaan merupakan contoh jelas fungsi direktif
bahasa. PEMIKIRAN Pemikiran adalah aksi (act) yang menyebabkan pikiran
mendapatkan pengertian baru dengan perantaraan hal yang sudah diketahui. Berpikir
yang pada hakikatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak berhenti pada pola-pola,
pada teori-teori, pada pagar (yang disebut) “conventional wosdom”, atau pada
tembok-tembok sistem.3 Pikiran adalah benda kodrat Dalam kehidupan sehari-hari,
kita melakukan komunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, dengan
bahasa kita mampu mengkomunikasikan ide-ide kita. Apakah bahasa merupakan satu-
satunya instrumen untuk berkomunikasi? Tidak terasa kita memang menganut paham
tersebut, bahwa “bahasa adalah alat yang digunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi”. Dan memang itu benar adanya. Gadamer pernah mengatakan bahwa
“Ada (sein) yang dapat dipahami adalah bahasa”. Hanya sejauh “terbahasakan”
sesuatu dapat ditangkap. Ini berarti Gadamer berpendapat bahwa manusia hanya dapat
memahami realitas sepanjang realitas itu terbahasakan. Dengan kata lain, yang disebut
dengan realitas adalah hal-hal yang dapat dibahasakan. Sayangnya, sampai saat ini,
sangat sulit kita temukan pemikiran-pemikiran yang secara khusus membahas korelasi
antara bahasa dan pikiran. Tesis Gadamer di atas tentu saja terbatas pada bahasa dan
realitas, sedangkan bahasa (yang merealisir realitas) itu merupakan realisasi ide-ide.
Ide terletak dalam pikiran. Bahkan tidak ada garis pembeda yang tegas, yang „meng-
antara-kan‟ ide dan pikiran. Kita bisa melihat jelas seseorang yang pikirannya kacau
mengakibatkan bahasanya kacau juga. Kadang juga jika seseorang sedang
memikirkan sesuatu yang berat, yang bersangkutan tidak berselera untuk bicara. Ada
juga yang berpendapat bahwa bahasa merupakan cermin pikiran, apa yang
dibicarakan adalah apa yang dipikirkan. Bahasa terbentuk dari pikiran, atau bentuk
bahasa (secara individual dan spontan) meniru atau mengikuti bentuk pikiran atau ide.
3 W,Poespoprodjo. Logika Scientika Pengantar Dialektika dan Ilmu. Pustaka Grafika:
Bandung.2007
4. 4. Akan tetapi jika kita mau lebih jeli melihat, sesungguhnya bahasa itu hanyalah
“wujud” dari ide atau pikiran saja. Sehingga analisa bahasa dengan melepaskannya
dari analisa ide adalah kesesatan. Artinya, tidak mungkin ada bahasa tanpa ada ide,
begitu pula sebaliknya. Kita malah tidak dapat berpikir atau menangkap kesan dan
membentuk sebuah ide, tanpa bahasa. Di satu sisi juga, bahasa merupakan sangkar
bagi realitas, yang mana dengan bahasa realitas dapat dikongkretisasikan. Bahasa
merupakan indra manusia yang sangat vital, tanpa bahasa yang dipahami, meskipun
telinga anda sehat, anda tidak akan dapat memahami apa yang dibicarakan orang.
Tanpa bahasa, anda tidak akan memahami apa yang anda baca, apa yang anda lihat
dapa yang anda amati. Bahasa bukan apresiasi lidah, tetapi apresiasi pikiran saat
berhadapan atau bergelut dengan kenyataan. Oleh karena itu kenyataan hanya dapat
terungkap ketika kenyataan tersebut terbahasakan. Bahasa dan ide seperti halnya es
dengan sifat dinginnya, api dengan sifat panasnya, peluru dengan sifat
menghancurkannya, pedang dengan sifat melukainya. Bahasa memuat ide, sekaligus
menyingkap ide mengenai kenyataan yang ada. Bahasa tidak hanya instrumen untuk
merepresentasikan ide mengenai kenyataan, tetapi bahasa adalah apa yang
diistilahkan oleh Heidegger sebagai “Sangkar Ada”, kenyataan atau realitas tidak
berada di luar bahasa, melainkan bersemayam di dalam bahasa. Bahasa bagi saya
merupakan jasad bagi ide, ide merupakan ruh bagi bahasa. Gerak bahasa merupakan
gerak ide sebagaimana gerak jasad merupakan manifestasi gerak ruh.4 C. Hubungan
Bahasa dengan Budaya Walau ada sebagian yang mengatakan bahwa hubungan antara
bahasa dan budaya adalah hubungan koordinatif, Namun dari berbagai tanggapan para
pakar linguistik hampir semuanya bersepakat bahwa hubungan antara bahasa dan
budaya tersebut bersifat sub ordinatif dengan menjadikan kebudayaan sebagi main
system (sistem atasan) dan bahasa adalah subsystemnya (sistem bawahan). Kalau
hubungan antara bahasa dan kebudayaan disepakati bersifat secara subordinatif maka
secara otomatis ada hubungan dengan pikiran. Karena pikiran inilah yang membentuk
sebuah kebudayaan, sedangkan didalam kebudayaan terdapat bahasa. Jadi antara
pikiran, 4 http://rinacahyaningsih.blogspot.com/2011/02/hubungan-bahasa-dan-
pikiran.Html
5. 5. bahasa dan kebudayaan ada keterkaitan atau hubungan yang saling
berkesinambungan. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
kebudayaan orang barat berbeda dengan kkebudayaan orang indonesia. Perbedaan
tersebut disebabkan perbedaan pandangan (pikiran) masing-masing yang kemudian
tertuang dalam bahasa. Misalnya orang barat menyebut “meja” dengan sebutan “table”
baik meja itu bundar, persegi, atau bentuk yang lainya mereka tetap menyebut dengan
sebutan yang sama tanpa memandang bentuk, warna, dan rupa. Berbeda halnya
dengan orang indonesia yang memperhatikan bentuk, warna, dan rupa walau secara
fungsinya sama. Misalkan orang indonesia menyebut meja yang bentuknya bundar
dengan sebutan “meja bundar”. Karena menurut pikiran orang indonesia perbedaan
bentuk akan menimbulkan perbedaan nama dalam bahasa. Wal hasil, Kaitanya dengan
pembelajaran bahasa arab perlu kiranya mengetahui kebudayaan bangsa arab karena
bahasa ini adalah merupakan bagian dari budaya mereka.5 5 Op.cit, W.Poespoprodjo
6. 6. BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Bahasa dan pikiran mempunyai ikatan
yang kuat yang tidk bisa dipisahkan antara keduanya, karana bahasa merupakan
jawaban realitas dari suatu pikiran. Begitu juga dengan budaya, karena bahasa
seseorang dapat memberikan suatu gambaran tentang kebudayaan yang dia miliki.
Misalnya, orang yang berbicara dengan logat yang berbeda, logat itu yang akan
menunjukkan budaya dia sendiri.
7. 7. DAFTAR PUSTAKA Firdaus Winci, dkk. Bahasa Indonesia,Banda Aceh : CV.
Mita Mulia, 2009. Koncoroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Bandung : Rineka
Cipta. 2009. Poespoprojo w, Logika Scientika Pengantar Dialektika dan Ilmu,
Bandung : Pustaka Grafika, 2007.
Http://rinacahyaningsih.blogspot.com/2011/02/hubungan-bahasa-dan-pikiran.Html
HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA

Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya
(1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang
digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”.

Bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan
bahwa dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam
komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan
‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai
media/alat berkomunikasi.

Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI: 2005:169).
Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau
pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan
timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan
kebudayaan.

Para ahli sepakat bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang
menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini
pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga
digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang
mendengar atau yang menjadi lawan penutur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau
“lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan
kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.

Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita
sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini
disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-
lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa (Hodgson:1990:169). Kata “Kamu”
dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara
yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan.
Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang
kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa
Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan
lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam
menghormati orang lebih tua.

Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung kepada
budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan &
Partana (lidahtinda.wordpress.com:2009) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau
produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai
produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku
masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat
pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam
suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang
bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam
bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini
mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan
ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi
tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan
ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut
memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.

Dede Oetomo (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat
mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di
Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa
masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Peranakan. Ini menunjukkan
bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok. Bahasa yang tidak dapat terlepas dari
budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan
penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal
dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat
pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media
komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan
bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek
berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya
dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.

Dalam kaitannya dengan bahasa dan budaya, ada beberapa teori yang muncul, antara lain;

a. Teori Wilhelm Von Humboldt

Teori ini dikemukakan oleh Wilhelm Von Humboldt, seorang sarjana Jerman abad ke-19 yang sangat
terkenal. Inti teorinya adalah manusia sebagai makhluk sosial berkomunikasi, bersikap, dan
berperilaku sebagai presepsinya. Dan proses itu menyatu antara bahasa dan persepsinya. Von
Humboldt menekankan ketergantungan manusia pada bahasa. Demikian juga kaitannya dengan
budaya, semakin dikenal dan dipahami bahasanya semakin baik juga identitas dirinya.

Menurut Von Humboldt, substansi bahasa terdiri atas sebagian bunyi-bunyi dan sebagian pikiran
yang belum terbetuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh Lautform dan pikiran-pikiran dibentuk oleh
Ideenform/Innereform. Jadi, menurut Von Humboldt, bahasa adalah suatu sintetis dari kedua
bentuk ini yaitu bentuk bunyi (Luatform) dan bentuk pikiran (Ideenform) (Simanjuntak, 1983:244).

b. Teori Revalitas Linguistik dari Sapir dan Whorf

Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang sarjana Amerika yang meneliti hubungan bahasa dan
berpikir. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini karena belas kasihan bahasanya yang
telah menjadi alat pengantar dalam masyarakatnya. Lebih lanjut Sapir mengatakan bahwa budaya
masyarakat sebagian besar dibentuk dari perilaku bahasa masyarakatnya (Sapir, 1921: 162). Oleh
karena itu, Sapir menyatakan bahwa bahasa adalah suatu pedoman bagi suatu realitas sosial. Bahasa
juga sudah menentukan pilihan-pilihan interpretasi tertentu terlebih dahulu.

Benyamin Lee Whorf (1897-1941) seorang murid Sapir, setelah banyak meneliti bahasa Suku Indian,
seperti bahasa Aztec di Mexico dan terutama bahasa Hopi di California yang dihubungkannya
dengan pengalamannya sewaktu dulu ia bekerja sebagai pakar pencegah kebakaran di sebuah kilang.
Mendapati dasar untuk menolak pandangan klasik tentang hubungan bahasa dan berpikir.
Whorf menyatakan bahasa yang menentukan pikiran seseorang itu kadangkala dapat berakibat pada
bahasa seseorang. Setelah melakukan penelitian terhadap bahasa Hopi, Whorf merumuskan suatu
hipotesis yang sangat terkenal yaitu teori relativitas linguistik atau hipotesis Whorf atau hipotesis
Sapir – Whorf. Inti teori relativitas ini adalah para peneliti tidaklah dibimbing oleh bukti fisik yang
sama untuk mendapatkan gambaran- gambaran hidup yang sama, kecuali latar belakang linguistik
mereka sama atau dapat disamakan dengan satu cara. Bahasa-bahasa yang berbeda mengkaji alam
ini dengan cara-cara yang berlainan, sehingga terciptalah suatu relativitas sistem-sistem konsep yang
berlainan pula tergantung pada bahasa yang beragam itu. Tatabahasa suatu bahasa tidak hanya
merupakan alat penyampai ide semata tetapi merupakan pembentuk ide. Tatabahasalah yang
menentukan jalan pikiran seseorang bukan kata-katanya (Simanjuntak, 1983:245-246).

MAKALAH

HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR

DAN BERBUDAYA

OLEH:

MEKI WIJAYA

0821244
PEROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS BATURAJA

2011

KATA PENGANTAR

Segala rasa syukur penulis haturkan kepada Allah Swt karena nikmat yang telah diberikan kepada
kami, salah satunya adalah dengan terselesaikannya tugas makalah Psikolinguistik.

Bahan-bahan yang penulis kumpulkan penulis dapat dari sumber-sumber yang pasti. Makalah ini
dibuat dengan bahasan penyajian yang sederhana, agar penulis dan yang membacanya dapat
mempelajari dan memahami dengan mudah. Dengan makalah ini diharapkan dapat
mengembangkan pengetahuan kita terhadap materi Hubungan Berbahasa, Berpikir, dan Berbudaya.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Psikolinguistik dan teman-
teman yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Kritik yang membangun, informasi, dan
gagasan-gagasan yang inovatif tetap kami harapkan dari kalian semua, agar dikemudian hari kami
bisa menjadi lebih baik. Akhirnya semoga Allah Swt selalu memberikan kesuksesan kepada kita.

Baturaja, April 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN

KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 1

C. Tujuan................................................................................................... 1

D. Manfaat................................................................................................ 2

BAB II HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR

DAN BERBUDAYA...................................................................................... 3

1. Teori Wilhelm Von Humboldt..............................................................3

2. Teori Sapir-Whorf................................................................................. 4

3. Teori Jean Piaget................................................................................... 5

4. Teori L.S. Vygotsky............................................................................. 6

5. Teori Noam Chomsky........................................................................... 6

6. Teori Eric Lenneberg............................................................................ 7

7. Teori Bruner.......................................................................................... 8

8. Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf............................................ 8

BAB III PENUTUP......................................................................................... 11

A. Kesimpulan........................................................................................... 11

B. Saran..................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai manusia, di dalam kehiduapan sehari-hari kita tidak terlepas dari proses berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya. Proses berkomunikasi tersebut yaitu proses menggunakan bahasa.
Dalam proses berbahasa kita tentu melakukan proses berpikir. Berbahasa dalam arti berkomunikasi,
dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara,
dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dekode
fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam
otaknya.

Kata lain bahwasanya berbahasa itu adalah proses penyampaian isi pikiran yang telah dirancang di
dalam otak kita. Jadi dalam makalah ini kita kan membahas tentang suatu hubungan antara
berbahasa, berpikir dan berbudaya. Karena dalam kehiduapan sehari-hari kita tidak lepas dari
berhubungan dengan budaya dimana kita bertempat tinggal, sebab itulah alasan kami untuk
mengangkat permasalahan yang ada pada makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka timbulah masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini,
masalah tersebut diantaranya adalah: hubungan berbahasa, berpikir, dan berbudaya.

C. Tujuan

Berdasarkan pembahasan yang akan diuraikan dalam makalah ini, maka tujuan dari pembuatan
makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana hubungan berbahasa, berpikir dan berbudaya di
dalam kehiduapan yang kita jalani.

D. Manfaat

Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan penulis, setelah menulis makalah ini kami
mendapat manfaat secara praktis maupun teoritis. Secara praktis, pembaca mampu menyusun
makalah yang baik dan benar sesuai dengan sistematisnya. Secara teoritisnya, mahasiswa atau
pembaca bisa mengetahui secara teori tentang apa yang dibahas dalam pembahasan makalah ini.

BAB II

HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR

DAN BERBUDAYA

Menurut Abdul Chaer (2009:51) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang
yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat
berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam
kehidupan manusia.

Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode
gramatikal didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian di
lanjutkan dengan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak
pendengar yang terjadi di dalam otaknya.

Berikut dalam pembahasan ini akan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar. Kemudian
dicoba membuat konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang
telah ada sejak abad yang silam.

1. Teori Wilhelm Von Humboldt


Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan
pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan
oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi
dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa
lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa
lain.

Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari
dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang
belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform
atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan
pikiran (ideeform).

Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan
pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-
bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan
cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa
menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.

2. Teori Sapir-Whorf

Edward Sapir (dalam Chaer, 2009:52) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan
Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah ’’belas kasih’’
bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir,
telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian ’’didirikan’’ diatas tabiat-tabiat
dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat
dianggap mewakili satu masyarakat yang sama.

Benjamin Lee Whorf (dalam Chaer, 2009:52), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai
hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal
yang berdiri sendiri-sendiri.

Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan
pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf
yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan ’’kaleng kosong’’ bekas minyak bisa meledak.
Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya.

Setelah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan
mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis
Sapir-Whorf) mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang
berbeda’’membedah’’ alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas
sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu.

Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup
bangsa-bangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena
bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup
bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan
karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan
kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa (event) , sedangkan kebudayaan
eropa diorganisasi berdasarkan ruang (space) dan waktu (time).

3. Teori Jean Piaget

Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah
yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-
aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya.

Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua
hal penting berikut:

a. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik,
yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-
gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-
benda(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan
opersai pemakaian kembali.

b. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang
bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki suatu proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambing pada umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal
terjadi fungsi lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam
perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan
terjadi serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan bayangan-bayangan mental.

Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku
yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa.
Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekekalan benda merupakan
pemerolehan umum.

4. Teori L.S. Vygotsky

Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum
adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian,
kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa
dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang
secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa,
dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu
dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan
bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.

Selanjutnya Vygotsky (dalam Chaer, 2009:56) menjelaskan bahwa hubungan antara pikiran dan
bahasa bukanlah merupakan suatu benda, melainkan merupakan satu proses, satu gerak yang terus-
menerus dari pikiran ke kata (bahasa) dan dari kata (bahasa) ke pikiran.

Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam
yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang merupakan
aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan
kompleks.

5. Teori Noam Chomsky


Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang
disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung
membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai
hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang
baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia.

Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu
di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah
dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat
unifersal. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau pembelajaran, misalnya
dengan aksi atau perilaku seperti yang dikatakan Piaget, dan tidak ada hubungannya dengan apa
yang disebut kecerdasan.

6. Teori Eric Lenneberg

Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori
yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti
yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada
hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.

Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg adalah
sebagai berikut:

a. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi
manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa.

b. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-
anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu
menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.

c. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat
tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini
tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.

d. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain
yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa.

e. Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi
yang universal.

Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud
membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan
dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara
ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa
suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh
kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas.

Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang
menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk
manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis
kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif,
bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.

7. Teori Bruner

Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang
disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk
mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu
pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Bruner berpendapat bahwa bahasa dan
pemikiran berkembang dari sumber yang sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang
sangat sempurna. Lalu, karena sumber yang sama dan bentuk yang sangat serupa, maka keduanya
dapat saling membantu.

Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistik dan
kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang
dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi
lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya
mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik.

8. Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf

Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan.
Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-
macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya
system unifersal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-
Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget
Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa.
Struktur pikiran mendahului kemampuan-kemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa.
Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang
sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya
saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori
kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang
bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-
bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar
bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah
menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang
khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan
berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner
menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan
mengembangkan pemikirannya itu.

Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:

a. Bahasa mempengaruhi pikiran

Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia
terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah
Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang
Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata
dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman
yang mendetail tentang realitas.
b. Pikiran mempengaruhi bahasa

Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean
Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia
melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya.
Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.

c. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi

Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang
ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget
mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap
kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah disajikan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa
dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-
domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada
awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production
of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti
misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics
di dalam otaknya dengan performansi yang optimal.

Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan.
Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial.
Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan
atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, namun hipotesis tersebut banyak menimbulkan kritik dan
reksi hebat dari para ahli filsafat, linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-
lain. Dan untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian.

Para ahli menguraikan mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain:

1. Bahasa mempengaruhi pikiran

2. Pikiran mempengaruhi bahasa

3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi.

B. Saran

Demikianlah makalah yang penulis buat, dengan bekal pengetahuan dasar tentang hal-hal yang kami
sampaikan, diharapkan pembaca dapat mengerti secara intens pada pembahasan yang dibicarakan.
Namun penulis sebagai penyusun makalah ini menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah
ini, maka kami harapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun dari pembaca guna untuk
perbaikan makalah yang akan datang. Kami juga berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik (Kajian Teoritik). Jakarta: Renika Cipta.

Utama, Satria Sidik dkk. 2010. Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya. http://satria87-
satria87.blogspot.com/2010/03/hubungan-berbahasa-berpikir-dan.html. Diakses: Kamis, 31 April
2011.

Anda mungkin juga menyukai