Bahasa dan Persepsi
Seberapa besar
atau seberapa banyak persepsi kita dibentuk oleh bahasa tertentu yang kita
gunakan dalam
berbicara? Kaum nominalis berpendapat bahwa persepsi tidak dibentuk oleh
bahasa tertentu yang kita gunakan dalam berbicara. Bahasa hanyalah alat untuk
mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda. Maksudnya, setiap pemikiran dapat
panjang atau lebih pendek. Sebuah ‘pohon’ bisa menjadi ‘arbre’ dalam bahasa Perancis dan
‘arboi’ dalam bahasa Spanyol, tetapi kita mempersepsikan pohon dalam cara yang sama
Budaya
Setiap orang, kemanapun dia pergi, akan selalu membawa pola pikir, perasaan, dan
cara tindak yang telah dipelajari sepanjang hidupnya. Sebagian besar dari pola tersebut
dia peroleh dan pelajari pada masa kanak-kanaknya karena masa itu adalah masa
seseorang mudah mempelajari sesuatu dan menerima pelajaran. Ketika mereka harus
mempelajari pola yang baru dan berbeda setelah pola yang dipelajarinya tertanam kuat,
Every person carries within him or herself patterns of thinking, feeling, and potential
acting which were learned throughout their lifetime. Much of it has been acquired in
early childhood, because at that time a person is most susceptible to learning and
assimilating. As soon as certain patterns of thinking, feeling and acting have established
themselves within a person’s mind, (s)he must unlearn these before being able to learn
1
something different, and unlearning is more difficult than learning for the first time.
(Hofstede,1994)
Kepribadian individu
merupakan kepribadian unik dari serangkaian program mental yang
dimilikinya yang tidak dia bagikan pada orang lain. Hal ini dikarenakan sifat bawaan yang
sebagian diwarisi dari serangkaian plasma pembawa sifat keturunan (genes) yang bersifat
individu dan unik dan sebagian lagi merupakan apa yang dia pelajari (learned). Yang
dimaksud learned di sini adalah modifikasi yang dipengaruhi oleh pemograman yang bersifat
kolektif (disebut budaya) dan pengalaman unik yang bersifat pribadi.
Hubungan
antara Bahasa dan Budaya
Bahasa sangat erat berhubungan dengan budaya. Bahasa merupakan bagian dari budaya dan
bahasa memainkan peranan yang penting dalam budaya. Beberapa ilmuwan di bidang sosial
berpendapat bahwa tanpa bahasa maka budaya tidak mungkin. Bahasa tidak dapat dipisahkan
dari budaya dan budaya tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Jika diibaratkan pada organisme
kehidupan, bahasa adalah daging dan budaya adalah darah. Bahasa adalah cerminan budaya.
Kalau diibaratkan dengan sebongkah es di lautan, maka bahasa adalah bagian yang terlihat
dengan sedikit polesan budaya, sedangkan bagian yang tidak terlihat dan tersembunyi di
bawah permukaan air adalah budaya.Bahasa mencerminkan budaya dan bahasa dipengaruhi
serta dibentuk oleh budaya. Tanpa budaya, bahasa akan mati, tanpa bahasa, budaya tidak
akan mempunyai bentuk. Bahasa digunakan untuk memelihara dan mengungkapkan budaya
serta ikatan budaya. . Bahasa merupakan representasi simbolik dari suatu masyarakat karena
bahasa menggambarkan latar belakang budaya dan sejarah masyarakat tersebut, serta
pendekatan mereka terhadap hidup, cara mempertahankan hidup, serta cara berpikir.
“People use an organized framework that they have built out of a lifetime of experiences and
accumulated values. Having unique views is another way in which people insist on acting like
human beings rather than rational machines.People see worlds differently for a variety of
reasons. They may differ in their personalities, needs, demographic factors, and past
2
experiences, or they may find themselves in different physical settings, time periods, or social
surroundings.
Whatever the reasons, they tend to act on the basis of their perceptions.”
(John W. Newstorm and Keith Davis, 1997)
Cara pandang setiap orang sangat tergantung pada budaya yang mempengaruhinya serta
deskripsi yang disampaikan dengan bahasa yang terbentuk dari budayanya. Pemahaman
tentang suatu budaya dan masyarakatnya dapat diperoleh dengan memahami bahasanya.
Emmit
dan Pollock (1997) berpendapat bahwa meskipun orang-orang tumbuh di latar
belakang perilaku atau situasi budaya yang sama tetapi ada kemungkinan mereka
berbeda akan menciptakan batasan yang berbeda. Oleh sebab itu, seseorang yang
mempelajari bahasa yang baru dia kenal harus juga mempelajari budaya dimana bahasa itu
digunakan.(Allwright & Balley, 1991) dan seseorang yang mengajarkan bahasa, harus juga
instruksi pada siswanya berdasarkan budaya dari pengguna bahasa tersebut. Selain itu dia
juga harus menggunakan gaya pengajaran yang tepat secara budaya. Untuk menanamkan
pemahaman dan untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman serta prasangka.
Seorang pengajar bahasa harus menggali perbedaan linguistik secara budaya. Kebijakan
bahasa harus digunakan untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman tentang perbedaan
dan harus dituliskan agar dapat mengkaitkan budaya dari siswa sebagai pihak yang diajar.
Americans who work overseas for any length of time find it desirable to learn the
native language in the country in which they are living. Learning language may
not be absolutely necessary for their job assignment, but a basic mastery of the
language will be necessary if they hope to integrate themselves into their new
culture. (Zane K. Quible at all (1996).
3
Implikasi Hubungan Bahasa dan Budaya untuk Pengajaran Bahasa
Seorang pengajar harus memberi instruksi pada siswanya dengan menggunakan latar
belakang budaya dari pengguna bahasa itu. Jika seorang pengajar bahasa tidak mengajarkan
budaya dari bahasa yang digunakan itu maka siswa hanya mempelajari simbol-simbol yang
kosong yg tak bermakna atau mungkin mereka akan mensalahtafsirkan apa yang sedang
diajarkan. Ketika siswa menggunakan bahasa yang sedang dipelajari, ada kemungkinan dia
menggunakan bahasa secara tidak tepat atau ada dalam konteks budaya yang salah dan
sebagai akibatnya tujuan belajar bahasa tidak tercapai.
Hampir semua komunikasi bersifat simbolik yang biasanya direpresentasikan dengan kata,
gambar, dan tindakan yang mengandung makna tertentu. Simbol-simbol ini hanyalah suatu
peta yang menggambarkan suatu wilayah yang bukan wilayah yang sebenarnya namun
wilayah ini harus diberi kode dan harus dapat ditafsirkan oleh penerimanya. Seorang pengajar
bahasa harus menyadari bahwa pemahamannya terhadap sesuatu akan mudah ditafsirkan oleh
siswanya. Seperti misalnya kata yang tidak pernah memiliki makna tunggal, seorang pengajar
harus mampu menjelaskan kekhasan dari makna yang satu dengan yang lain dengan
menempatkannya dalam konteks sebagai lingkungan dimana kata itu digunkan. Seorang
pengajar bahasa harus mampu membuat kalimat yang dapat menjelaskan makna kata kunci
dengan memposisikan kata-kata lain atau symbol dalam konteks yang tepat sehingga makna
itu menyempit dan kebingungan siswa dapat diminimalkan. Dan sebagai akibatnya
komunikasi efektif yang berpusat pada gagasan akan tercipta karena kata tidak dapat
membuat dirinya bermakna tapi manusialah yang memberikan makna pada kata.tersebut.
Seorang pengajar tidak hanya harus menjelaskan makna dari bahasa yang digunakan tetapi
juga konteks budaya dimana bahasa tersebut digunakan. Dalam komunikasi yang dilakukan
oleh masyarakat berbudaya konteks rendah, mayoritas makna dan informasi ada dalam kode
verbal. Gaya komunikasi ini, yang menekankan pada pesan verbal dan disampaikan secara
4
eksplisit, sangat dihargai di Amerika Serikat. Mereka mengatakan bahwa kita tidak boleh
tergantung pada informasi nonverbal dan kontekstual. Menurut mereka, sebaiknya kita
berterusterang, mengatakan apa yang dimaksud secara eksplisit dan langsung pada tujuan (to
the point). Berkaitan dengan keterusterangan dan gayanya yang langsung ini, orang Inggris
menciptakan frase:
“Don’t beat around the bush,” “Get to the point,” and “What exactly are
trying to say?” Mereka berpendapat bahwa gaya langsung ini merupakan cerminan
you
kejujuran, keterbukaan, blak-blakan, dan individualism. (N. Judith and Thomas K. Nakayama
2004) Selain memahami dan mengajarkan hal tersebut, seorang pengajar bahasa juga harus
ingat bahwa orang yang berasal dari budaya berbeda mempelajari sesuatu dengan cara
berbeda, sebagai contoh di Cina dan di Indonesia cara mengingat adalah cara yang paling
dianjurkan dalam mempelajari bahasa dan hal ini berbeda dengan ideology Barat yang
menganjurkan untuk mampu menempatkan suatu onus dalam pembicaraan apapun sebagai
alat untuk menggunakan dan mengingat kosakata dan urutan grammar. Ketika seorang
pengajar membagikan suatu materi ajar (teaching material), akan dianggap berbeda oleh
mahasiswa tergantung pada pandangan budayanya. Seorang yang berasal dari budaya konteks
rendah (low context culture) akan menganggap buku hanya sebagai kumpulan halaman yang
berisikan fakta yang terbuka untuk ditafsirkan.; sedangkan seorang yang berasal dari budaya
konteks tinggi (high context culture) memandang bahwa buku merupakan personifikasi dari
Seorang pengajar bahasa tidak hanya harus mencari perbandingan tetapi juga harus mencari
kontras dari perbedaan budaya dalam bahasa yang digunakan, serta mengaplikasikan
pengetahuan itu dalam praktek mengajarnya. Kontras terhadap penggunaan bahasa yang
berbeda, khususnya penggunaan yang bersifat gramatis dan penggunaan idiom dalam konteks
budaya perlu dilakukan agar siswa memahami sepenuhnya mengapa sesuatu dikatakan
6
DAFTAR PUSTAKA
Allwright D & Bailey KM (1991) Focus on the Language Classroom: an Introduction to
Classroom Research for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.
Beamer, Linda and Irish Varner. 2001. Intercultural Communication in the Global
York: McGraw Hill.
Workplace. New
Brooks N (1986) Culture in the Classroom. In JM Valdes (ed) Culture Bound: Bridging the
Cultural
Gap in Language Taching. Cambridge: Cambridge University Press, pp 123–
128Martin,
Byram M (1989) Cultural Studies in Foreign Language Education. Clevedon: Multilingual
Matters.
Emmitt M & Pollock J (1997) Language and Learning: an Introduction for Teaching (2nded).
Melbourne: Oxford University Press.
Hofstede, Geert. 1994. Culture and Organizations. Great Britain: McGraw-Hill International
(UK)
Newstorm, John W and Keith Davis. 1997. Organizational Behaviour: Human Behaviour at
Work. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Quible, Zane K. at all (1996). Business Communication: Principles and Applications. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.
Hui Du (2005) False alarm or real warning? Implications for China of teaching English.
Journal of Educational Enquiry, Vol. 6, (1), 90- 109. Information for foreigners (n.d.)
Retrieved June 17, 2007 from http://iff.immigration.gov.tw/front/residence.php
Kim J. (2004) Coping with Cultural Obstacles to Speaking English in the Korean Secondary
School Context. Asian EFL Journal, Vol 6 Issue 3 Retrieved May 12, 2007 from
htp://www.asian-efl-journal.com/september_04_ksj.php
7