Anda di halaman 1dari 7

 

Hubungan antara Bahasa dan Budaya serta Pengaruhnya terhadap


  Pengajaran Bahasa
 
Farida Agoes
 
Dosen Bahasa Inggris & Cross Cultural Understanding
 
Jur. Bahasa Inggris – Politeknik Negeri Bandung
 

 
Bahasa dan Persepsi
 
Seberapa besar
 
atau seberapa banyak persepsi kita dibentuk oleh bahasa tertentu yang kita

gunakan dalam
  berbicara? Kaum nominalis berpendapat bahwa persepsi tidak dibentuk oleh

 
bahasa tertentu yang kita gunakan dalam berbicara. Bahasa hanyalah alat untuk

mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda. Maksudnya, setiap pemikiran dapat

diungkapkan dalam berbagai bahasa meskipun terkadang kata-katanya menjadi lebih

panjang atau lebih pendek. Sebuah ‘pohon’ bisa menjadi ‘arbre’ dalam bahasa Perancis dan

‘arboi’ dalam bahasa Spanyol, tetapi kita mempersepsikan pohon dalam cara yang sama

(N. Judith and Thomas K. Nakayama, 2004)

Budaya
Setiap orang, kemanapun dia pergi, akan selalu membawa pola pikir, perasaan, dan

cara tindak yang telah dipelajari sepanjang hidupnya. Sebagian besar dari pola tersebut

dia peroleh dan pelajari pada masa kanak-kanaknya karena masa itu adalah masa

seseorang mudah mempelajari sesuatu dan menerima pelajaran. Ketika mereka harus

mempelajari pola yang baru dan berbeda setelah pola yang dipelajarinya tertanam kuat,

mereka akan mengalami kesulitan.

Every person carries within him or herself patterns of thinking, feeling, and potential
acting which were learned throughout their lifetime. Much of it has been acquired in
early childhood, because at that time a person is most susceptible to learning and
assimilating. As soon as certain patterns of thinking, feeling and acting have established
themselves within a person’s mind, (s)he must unlearn these before being able to learn


 
 
 
something different, and unlearning is more difficult than learning for the first time.
(Hofstede,1994)
 

Kepribadian individu
  merupakan kepribadian unik dari serangkaian program mental yang

 
dimilikinya yang tidak dia bagikan pada orang lain. Hal ini dikarenakan sifat bawaan yang
 
sebagian diwarisi dari serangkaian plasma pembawa sifat keturunan (genes) yang bersifat
 
individu dan unik dan sebagian lagi merupakan apa yang dia pelajari (learned). Yang
 
dimaksud learned di sini adalah modifikasi yang dipengaruhi oleh pemograman yang bersifat
 
kolektif (disebut budaya) dan pengalaman unik yang bersifat pribadi.
 

 
Hubungan
  antara Bahasa dan Budaya
Bahasa sangat erat berhubungan dengan budaya. Bahasa merupakan bagian dari budaya dan

bahasa memainkan peranan yang penting dalam budaya. Beberapa ilmuwan di bidang sosial

berpendapat bahwa tanpa bahasa maka budaya tidak mungkin. Bahasa tidak dapat dipisahkan

dari budaya dan budaya tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Jika diibaratkan pada organisme

kehidupan, bahasa adalah daging dan budaya adalah darah. Bahasa adalah cerminan budaya.

Kalau diibaratkan dengan sebongkah es di lautan, maka bahasa adalah bagian yang terlihat

dengan sedikit polesan budaya, sedangkan bagian yang tidak terlihat dan tersembunyi di

bawah permukaan air adalah budaya.Bahasa mencerminkan budaya dan bahasa dipengaruhi

serta dibentuk oleh budaya. Tanpa budaya, bahasa akan mati, tanpa bahasa, budaya tidak

akan mempunyai bentuk. Bahasa digunakan untuk memelihara dan mengungkapkan budaya

serta ikatan budaya. . Bahasa merupakan representasi simbolik dari suatu masyarakat karena

bahasa menggambarkan latar belakang budaya dan sejarah masyarakat tersebut, serta

pendekatan mereka terhadap hidup, cara mempertahankan hidup, serta cara berpikir.

“People use an organized framework that they have built out of a lifetime of experiences and
accumulated values. Having unique views is another way in which people insist on acting like
human beings rather than rational machines.People see worlds differently for a variety of
reasons. They may differ in their personalities, needs, demographic factors, and past


 
 
 
experiences, or they may find themselves in different physical settings, time periods, or social
surroundings.
  Whatever the reasons, they tend to act on the basis of their perceptions.”
(John W. Newstorm and Keith Davis, 1997)
 
Cara pandang setiap orang sangat tergantung pada budaya yang mempengaruhinya serta
 
deskripsi yang disampaikan dengan bahasa yang terbentuk dari budayanya. Pemahaman
 
tentang suatu  budaya dan masyarakatnya dapat diperoleh dengan memahami bahasanya.

Emmit
  dan Pollock (1997) berpendapat bahwa meskipun orang-orang tumbuh di latar

 
belakang perilaku atau situasi budaya yang sama tetapi ada kemungkinan mereka

menggunakan  bahasa yang berbeda. Sapir-Whorf berpendapat bahwa pemikiran yang


 
berbeda disampaikan dengan menggunakan bentuk bahasa yang berbeda. Seseorang biasanya
 
dibatasi oleh bahasa yang digunakannya untuk mengekspresikan pendapatnya. Bahasa yang

berbeda akan menciptakan batasan yang berbeda. Oleh sebab itu, seseorang yang

mempelajari bahasa yang baru dia kenal harus juga mempelajari budaya dimana bahasa itu

digunakan.(Allwright & Balley, 1991) dan seseorang yang mengajarkan bahasa, harus juga

mengajarkan budaya (Byran, 1989). Seorang pengajar bahasa sebaiknya memberikan

instruksi pada siswanya berdasarkan budaya dari pengguna bahasa tersebut. Selain itu dia

juga harus menggunakan gaya pengajaran yang tepat secara budaya. Untuk menanamkan

pemahaman dan untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman serta prasangka.

Seorang pengajar bahasa harus menggali perbedaan linguistik secara budaya. Kebijakan

bahasa harus digunakan untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman tentang perbedaan

dan harus dituliskan agar dapat mengkaitkan budaya dari siswa sebagai pihak yang diajar.

Seperti ungkapan berikut ini:.

Americans who work overseas for any length of time find it desirable to learn the
native language in the country in which they are living. Learning language may
not be absolutely necessary for their job assignment, but a basic mastery of the
language will be necessary if they hope to integrate themselves into their new
culture. (Zane K. Quible at all (1996).


 
 
 
Implikasi Hubungan Bahasa dan Budaya untuk Pengajaran Bahasa
 
Seorang pengajar harus memberi instruksi pada siswanya dengan menggunakan latar
 
belakang budaya dari pengguna bahasa itu. Jika seorang pengajar bahasa tidak mengajarkan
 
budaya dari bahasa yang digunakan itu maka siswa hanya mempelajari simbol-simbol yang
 

kosong yg tak  bermakna atau mungkin mereka akan mensalahtafsirkan apa yang sedang

 
diajarkan. Ketika siswa menggunakan bahasa yang sedang dipelajari, ada kemungkinan dia
 
menggunakan bahasa secara tidak tepat atau ada dalam konteks budaya yang salah dan
 
sebagai akibatnya tujuan belajar bahasa tidak tercapai.
 
Hampir semua komunikasi bersifat simbolik yang biasanya direpresentasikan dengan kata,
 
gambar, dan tindakan yang mengandung makna tertentu. Simbol-simbol ini hanyalah suatu

peta yang menggambarkan suatu wilayah yang bukan wilayah yang sebenarnya namun

wilayah ini harus diberi kode dan harus dapat ditafsirkan oleh penerimanya. Seorang pengajar

bahasa harus menyadari bahwa pemahamannya terhadap sesuatu akan mudah ditafsirkan oleh

siswanya. Seperti misalnya kata yang tidak pernah memiliki makna tunggal, seorang pengajar

harus mampu menjelaskan kekhasan dari makna yang satu dengan yang lain dengan

menempatkannya dalam konteks sebagai lingkungan dimana kata itu digunkan. Seorang

pengajar bahasa harus mampu membuat kalimat yang dapat menjelaskan makna kata kunci

dengan memposisikan kata-kata lain atau symbol dalam konteks yang tepat sehingga makna

itu menyempit dan kebingungan siswa dapat diminimalkan. Dan sebagai akibatnya

komunikasi efektif yang berpusat pada gagasan akan tercipta karena kata tidak dapat

membuat dirinya bermakna tapi manusialah yang memberikan makna pada kata.tersebut.

Seorang pengajar tidak hanya harus menjelaskan makna dari bahasa yang digunakan tetapi

juga konteks budaya dimana bahasa tersebut digunakan. Dalam komunikasi yang dilakukan

oleh masyarakat berbudaya konteks rendah, mayoritas makna dan informasi ada dalam kode

verbal. Gaya komunikasi ini, yang menekankan pada pesan verbal dan disampaikan secara

 
 
 
eksplisit, sangat dihargai di Amerika Serikat. Mereka mengatakan bahwa kita tidak boleh
 
tergantung pada informasi nonverbal dan kontekstual. Menurut mereka, sebaiknya kita
 
berterusterang, mengatakan apa yang dimaksud secara eksplisit dan langsung pada tujuan (to
 
the point). Berkaitan dengan keterusterangan dan gayanya yang langsung ini, orang Inggris
 

menciptakan frase:
  “Don’t beat around the bush,” “Get to the point,” and “What exactly are

  trying to say?” Mereka berpendapat bahwa gaya langsung ini merupakan cerminan
you
 
kejujuran, keterbukaan, blak-blakan, dan individualism. (N. Judith and Thomas K. Nakayama
 
2004) Selain memahami dan mengajarkan hal tersebut, seorang pengajar bahasa juga harus
 
ingat bahwa orang yang berasal dari budaya berbeda mempelajari sesuatu dengan cara
 
berbeda, sebagai contoh di Cina dan di Indonesia cara mengingat adalah cara yang paling

dianjurkan dalam mempelajari bahasa dan hal ini berbeda dengan ideology Barat yang

menganjurkan untuk mampu menempatkan suatu onus dalam pembicaraan apapun sebagai

alat untuk menggunakan dan mengingat kosakata dan urutan grammar. Ketika seorang

pengajar membagikan suatu materi ajar (teaching material), akan dianggap berbeda oleh

mahasiswa tergantung pada pandangan budayanya. Seorang yang berasal dari budaya konteks

rendah (low context culture) akan menganggap buku hanya sebagai kumpulan halaman yang

berisikan fakta yang terbuka untuk ditafsirkan.; sedangkan seorang yang berasal dari budaya

konteks tinggi (high context culture) memandang bahwa buku merupakan personifikasi dari

semua kebijaksanaan, pengetahuan, dan kebenaran.

Seorang pengajar bahasa tidak hanya harus mencari perbandingan tetapi juga harus mencari

kontras dari perbedaan budaya dalam bahasa yang digunakan, serta mengaplikasikan

pengetahuan itu dalam praktek mengajarnya. Kontras terhadap penggunaan bahasa yang

berbeda, khususnya penggunaan yang bersifat gramatis dan penggunaan idiom dalam konteks

budaya perlu dilakukan agar siswa memahami sepenuhnya mengapa sesuatu dikatakan

demikian dalam suatu bahasa. Melalui kemampuan memvisualisasikan dan memahami



 
 
 
perbedaan antara kedua budaya akan membuat siswa mampu mempertimbangkan dengan
 
benar penggunaan yang tepat dan penyebab dari keanehan dan keistimewaan bahasa.
 


 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Allwright D & Bailey KM (1991) Focus on the Language Classroom: an Introduction to
 
Classroom Research for Language Teachers. Cambridge: Cambridge University Press.
 
Beamer, Linda and Irish Varner. 2001. Intercultural Communication in the Global
  York: McGraw Hill.
Workplace. New
 
Brooks N (1986) Culture in the Classroom. In JM Valdes (ed) Culture Bound: Bridging the
Cultural
 
Gap in Language Taching. Cambridge: Cambridge University Press, pp 123–
128Martin,
 
Byram M (1989) Cultural Studies in Foreign Language Education. Clevedon: Multilingual
 
Matters.
 
Emmitt M & Pollock J (1997) Language and Learning: an Introduction for Teaching (2nded).
 
Melbourne: Oxford University Press.

Englebert (2004) Character or Culture? An EFL Journal, 24(2), 37-41.


Hantrais L (1989) The Undergraduate’s Guide to Studying Languages. London: Centre for
Information on Language Teaching and Research.

Hofstede, Geert. 1994. Culture and Organizations. Great Britain: McGraw-Hill International
(UK)

Judith N and Thomas K. Nakayama. 2004. Intercultural Communication in Context. New


York: McGraw Hill

Newstorm, John W and Keith Davis. 1997. Organizational Behaviour: Human Behaviour at
Work. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Quible, Zane K. at all (1996). Business Communication: Principles and Applications. New
Jersey: Prentice-Hall Inc.

Hui Du (2005) False alarm or real warning? Implications for China of teaching English.
Journal of Educational Enquiry, Vol. 6, (1), 90- 109. Information for foreigners (n.d.)
Retrieved June 17, 2007 from http://iff.immigration.gov.tw/front/residence.php

Kim J. (2004) Coping with Cultural Obstacles to Speaking English in the Korean Secondary
School Context. Asian EFL Journal, Vol 6 Issue 3 Retrieved May 12, 2007 from
htp://www.asian-efl-journal.com/september_04_ksj.php


 
 

Anda mungkin juga menyukai