Anda di halaman 1dari 122

BAB 1

PENDAHULUAN

Sebagai seorang calon guru, kita memerlukan media bahasa dalam upaya membelajarkan
para siswa, dalam menjalani profesi dan kehidupan sehari-hari. Kita perlu membaca buku-buku,
jurnal, ensiklopedia, dan laporan-laporan yang bermanfaat sebagai sumber materi ajar. Pada
kesempatan yang sama, kita perlu membuat catatan-catatan mengenai isi bacaan tersebut dan
mungkin pada kesempatan lain kita harus menulis persiapan mengajar, menulis laporan, atau
mungkin menulis makalah. Dalam berbagai kegiatan, seperti rapat guru, di kelas, dan dalam
berbagai kesempatan, kita perlu mendengarkan pembicaraan guru lain, para siswa, relasi, dan
orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Tentu saja pada konteks tertentu kita perlu pula
menyampaikan pikiran, perasaan, fakta atau hal lainnya melalui berbicara. Jadi, jelas sekali
bahwa kita perlu memiliki keterampilan berbahasa yang memadai dalam beraktivitas sebagai
guru dan sebagai anggota masyarakat. Agar Anda memperoleh pemahaman mengenai
Pendidikan basa dan sastra Indonesia melalui buku ini Anda akan diajak mempelajari
perkembangan dan pemerolehan bahasa anak, hakikat menyimak, efektifitas menyimak, bahan
dan metode pengajaran menyimak, hakikat berbicara, efektifitas berbicara, pengajaran berbicara
di sekolah dasar, membaca, menulis, apresiasi sastra anak, pembelajaran membaca dan menulis
permulaan,program pembelajaran bahasa terpadu, dan EYD. Dengan demikian, setelah
mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan:
1. Perkembangan dan pemerolehan bahasa anak.
2. Menyimak, pengertian, tujuan, tahap-tahap menyimak, dan peranan menyimak, serta jenis-
jenis menyimak. mengidentifikasi perbedaan menyimak, mendengar, mendengarkan.
3. Efektifitas menyimak, factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan menyimak, dan
meningkatkan daya simak siswa.
4. Materi dan menerapkan merode dan penilaian pembelajaran menyimak.
5. Efektifitas berbicara, faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas berbicara.
6. Bahan, metode serta penilaian pembelajaran berbicara di Sekolah Dasar.
7. Hakikat membaca, mengidentifikasi tujuan membaca, menjelaskan proses membaca,
menjelaskan jenis-jenis membaca dan tahap-tahapan membaca.

1
8. Hakikat menulis, mengidentifikasi tujuan Menulis, menjelaskan tahap menulis ,
mengidentifikasi jenis menulis.
9. Apresiasi sastra anak, karakteristik sastra anak, ciri-ciri sastra anak, fungsi sastra anak,
pembelajaran sastra anak, dan menerapkannya dalam pembelajaran.
10. Pembelajaran membaca dan menulis permulaan. tujuan, metode, model, langkah-langkah
pembelajaran membaca dan menulis permulaan, penilaian pembelajaran membaca dan
menulis permulaan.
11. Program pembelajaran bahasa terpadu, mengidentifikasi hubungan antarketerampilan
berbahasa, hubungan membaca dan menulis, hubungan berbicara dan menulis, hubungan
menyimak dan berbicara, hubungan menyimak dan membaca, prinsip-prinsip untuk
mencapai keterpaduan, keterpaduan pembelajaran bahasa, keterpaduan dalam satu
keterampilan berbahasa, keterpaduan antarketerampilan berbahasa, keterpaduan lintas
kurikulum, keterpaduan bahasa dan IPS, keterpaduan bahasa dan IPA,

2
BAB 2.
PEMEROLEHAN DAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK.

Kemampuan Akhir yang Diharapkan

Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa mampu menjelaskan


perkembangan dan pemerolehan bahasa anak dan faktor-Faktor yang mempengaruhi serta
Tahap-tahap perkembangan bahasa anak

A. Pengertian Pemerolehan Bahasa


Bahasa merupakan media komunikasi yang penting bagi manusia, ketika manusia
dilahirkan belum memiliki keterampilan dalam berbicara. Penguasaan bahasa oleh
seorang anak dimulai dengan perolehan bahasa pertama yang dikenal dengan istilah
bahasa ibu. Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses yang dilalui sejak anak
belum mengenal bahasa sampai terampil berbahasa. Selanjutnya Setelah bahasa ibu
diperoleh maka pada usia tertentu anak memperoleh bahasa kedua sebagai khazanah
pengetahuan yang baru. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak
awal hidupnya melalui interaksi dengan keluarga dan lingkungan masyarakat disekitar
anak.
Pemerolehan bahasa merupakan keunggulan yang dimiliki menusia yang paling hebat dan
menakjubkan karena tidak terjadi pada makhluk lain seperti binatang. Dengan kata lain, bahwa
potensi manusia dalam mengetahui dan menggunakan suatu bahasa tidaklah terjadi karena
bawaan sejak lahir semata, lebih dari itu. Bahasa juga menjadi penting bagi manusia karena
dengan bahasalah manusia dapat memerankan fungsinya sebagai halifah di bumi, sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 berikut.
         
            

Artinya:

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

3
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Bedasarkan ayat di atas jelas sekali pentingnya penguasaan bahasa bagi manusia karena
dengan bahasalah manusia dapat memerankan fungsinya sebagai halifah di bumi, baik digunakan
sebagai ekspresi diri pada lingkungan individu maupun sebagai alat komunikasi pada lingkungan
sosial. Menurut Dardjowidjojo (2003:225) istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah
inggris acquisition, yang merupakan suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak
secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya. Sementara Chaer (2003) memberikan
pengertian bahwa pemerolehan bahasa atau acquisition adalah proses yang berlangsung di
dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning).
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak
mempelajari bahasa kedua, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Definisi yang lain
dikemukakan oleh Krashen bahwa pemerolehan bahasa sebagai "the product of a
subconscious process very similar to the process children undergo when they acquire their first
language. (Stephen D. Krashen, 2006: 121) Dengan kata lain pemerolehan bahasa adalah proses
bagaimana seseorang dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya memperoleh bahasa
pertama

Manusia yang normal paling sedikit memperoleh satu bahasa alamiah. Bahasa alamiah
merupakan bahasa pertama atau bahasa asli yang diperoleh sejak manusia dilakhirkan.
Kealamiahan bahasa pada setiap manusia merupakan kriteria utama untuk membatasi apa
sebenarnya yang disebut insan manusia. Namun di dalam perkembangan dirinya di tengah-
tengah masyarakat kompleks dan majemuk, keberadaan bahasa bukan lagi terbatas pada
kealamiahannya belaka, melainkan juga sebagai media yang memungkinkan terjadinya kontak
antara sesama masyarakat yang saling membutuhkan. Untuk menutupi kebutuhan manusia di
tengah-tengah masyarakat yang beragam secara aktual menuntut kreativitas manusia sebagai
peran sosial untuk memahami sistem komunikasi tidak lagi kondusif bila hanya mengetahui satu
bahasa saja, karena sistem kemasyarakatan tidak lagi terbatas pada satu bahasa sebagai alat
komunikasi, peran sosial dari berbagai suku seperti di Indonesia masing-masing mempunyai
keinginan untuk memperkenalkan dan mempergunakan bahasa daerahnya. Pertalian dan kontak

4
antar suku di dalam suatu masyarakat, bahasa daerah masih dapat difungsikan sebagai alat
komunikasi. Tetapi ketika terjadi interaksi antara lain suku, maka mau tidak mau mereka harus
mencari sistem komunikasi baru yang memungkinkanterjadinya kontak secara integratif.
Seseorang yang terlibat dalam peristiwa kemasyarakatan yang kompleks seperti di atas
akan selalu berusaha untuk mengetahui dan memakai suatu bahasa di samping bahasa daerahnya
atau bahasa ibunya (B1). Upaya ini dilakukan untuk mencapai tingkat komunikatif di antara
mereka yang berlainan suku . Kehadiran sistem komunikasi baru sebagai penghubung diantara
mereka yang berlainan suku dikategorikan sebagai bahasa kedua (B2). Penguasaan dua bahasa
dapat menggunakan dua bahasa secara bergantian dinamakan dwibahasawan dan peristiwa
kebahasaan inilah yang terjadi di Indonesia. Penentuan Bl dan B2 dapat dilihat dari segi
perolehannya dan dari urutan tersebut masing-masing mempunyai fungsi yang berlainan. Teknik
pemerolehan dan pengaruhnya terhadap perilaku berbahasa termasuk kemampuan kognitif dapat
dilihat dalam pembahasan berikut:
1. Pemerolehan bahasa pertama
Pemerolehan Bahasa ibu (Bl) terjadi apabila anak yang belum pernah belajar bahasa
sebelumnya memperoleh satu bahasa, maka anak itu disebut ekabahasawan (monolingual). Kalau
yang diperolehnya itu dua bahasa melalui dua proses secara bersamaan atau berurutan, anak itu
disebut dwibahasawan. Selanjutnya, kalau yang diperolehnya lebih dari dua bahasa secara
berurutan, anak itu disebut gandabahasawan (multilingual) (Nababan, 1988:66).
Pemerolehan bahasa pertama berkaitan erat dengan perkembangan kognitif dan
perkembangan sosial anak. Perkembangan kognitif anak dapat terlihat dengan jelas dari
penguasaan kosakata anak seperti kosakata yang menyangkut masalah waktu, ruang, moralitas
dan sebab akibat. Sedangkan perkembangan sosial anak dapat dilihat ketika anak itu menjadikan
bahasa pertama sebagai sarana untuk rnengungkapkan perasaan, keinginan, dan sebagainya.
Dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap wajar oleh anggota masyarakat dimana anak itu
tinggal. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima olehanggota
masyarakat dan ia berusaha tidak mengungkapkan perasaannya secara gamblang.
2. Pemerolehan bahasa kedua
Kalau bahasa pertama diperoleh pada masa kanak-kanak maka lumrahlah kalau timbul
pertanyaan, sampai berapa lamakah belajar bahasa pertama itu? Memang agak sukar
memberikan jawaban yang tegas terhadap pertanyaan ini selama kita belum menentukan dengan

5
pasti terjadi dari apa sajakah bahasa itu dan apa yang dimaksud dengan bahasa yang sempurna.
Dari semua kriteria yang akan muncul, kita dapat memberikan garis batas antara pemerolehan
bahasa pertama (B1) dan pemerolehan bahasa kedua (B2).
Pemerolehan bahasa kedua bermula apabila pemerolehan bahasa pertama talah lewat,
dan secara khusus terjadi pada usia masa puber. Ada juga yang lazim dipergunakan orang dalam
membedakan kedua pemerolehan bahasa ini yaitu (Klein, 1986 dalam Tarigan, 1988)
beranggapan bahwa pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition) bermula sesudah
usia 3 atau 4 tahun ketika bahasa pertama masih dalam proses atau kemajuan. Kalau perbedaan
lain yang lebih baik masih diperlukan, maka kita akan berbicara mengenai pemerolehan bahasa
kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa orang-orang dewasa. Pembicaraan mengenai bahasa
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Pemerolehan Bahasa
Usia Penunjukan
A B
+ - PBI Ekabahasawan
1-2 Tahun
+ + PBI Dwibahasawan
3-4 Tahun sampai Remaja + + PB2 Anak

Sesudah Remaja - + PB2 Aorang Dewasa


Model dasar pemerolehan bahasa (Klein, 1986:15 dalam tarigan, 1988)

B. Proses Pemerolehan Bahasa


1. Tahap Perkembangan Bahasa Pertama
Seperti yang dijelaskan pada pembahasa terdahulu bahwa bahasa pertama diperoleh
secara alamiah yang sifatnya primer. Pemerolehan ini merupakan proses bawah sadar karena
para pemeroleh tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa buat
komunikasi. Hasil ini akibat pemerolehan bahasa, ini juga merupakan peristiwa bawah sadar.
Kita umumnya tidak menyadari benar-benar kaidah aturan bahasa yang kita peroleh, bahkan kita
memiliki suatu perasaan yang benar walaupun tidak mengetahui kaidah dan pendukungnya.
Sebaliknya, apa yang kita rasakan salah juga, tidak diketahui kaidah mana yang dilanggar. Cara-

6
cara ini menirukan pemeroleha termasuk belajar implisit, belajar informal, tidak diprogramkan
secara sistematis, dan dimulai sejak manusia dilahirkan ke dunia. Setelah melalui beberapa tahap
proses pengenalan bunyi, eksperimen dengan orang-orang yang dapat memproduksi bunyi atau
suara. Barry dalam Nababan, 1983: 20-25) tentang tahap perkembangan bahasa seorang anak
dari usia 0-36 bulan. Tahap perkembangan bahasa anak sebagai berikut sebagai berikut:
a. Pada bulan pertama, seorang bayi memberi respons terhadap gerak-gerik atau suara ibunya
bila diberi kesenangan (misalnya disusui/diberi minum atau digendong) dengan senyum
refleks, dan apabila terkejut, sakit atau merasa basah/tidak enak, maka ia akan menangis.
Tangisan bayi pada usia ini sangat berpengaruh pada alat wicara, yaitu menggerakkan pita
suara (larynx) agar dilatih untuk nantinya dapat menghasilkan unsur-unsur bunyi berbahasa
dan selain itu juga melatih pola bernafas.
b. Pada bulan kedua, bayi mulai menyadari suara-suara yang dikeluarkannya sendiri dan mulai
bereksperimen dengan bunyi-bunyi yang dapat dihasilkan dengan organ-organ wicara
dengan anggota tubuh lainnya. Pada usia inilah sebetulnya proses "mengoceh" (bunyi-bunyi
yang tidak beraturan dan bermakna) sudah mulai.
c. Pada bulan ketiga, sudah mengenali benda-benda dan arah bunyi/suara disekitarnya. Selain
itu bayi juga mulai menyatakan perasaannya dengan nada-nada suara yang mengandung
makna tertentu.
d. Pada bulan keempat, bayi mulai berperan serta dalam komunikasi antara ibu dan anak,
dengan memberikan respon/reaksi dan 4 - 5 suku kata, misalnya "agagaga","bababa" dan
sebagainya.
e. Pada bulan kelima, bayi sudah dapat memberikan reaksi yang tepat terhadap suara-
suara/bunyi-bunyi di sekitarnya. Pada usia ini ia semakin rajin meniru suaranya sendiri dan
bereksperimen dengan organ-organ produksi suara. Tahap mengoceh (babling) berkembang
terus dan hampir menyerupai ungkapanungkapan.
f. Pada bulan keenam, gerak-gerik bayi disesuaikan dengan reaksinya terhadap suara orang
dewasa dan mulai meniru bunyi/suara yang dapat dikenalinya, yaitu yang paling sering
didengarnya misalnya mama karena ibunya sering mengucapkan kata/bunyi tersebut untuk
menyatakan diri.

7
g. Pada bulan ketujuh, bayi mulai memperhatikan suara orang-orang disekitarnya. Selain ia
mendengar suara bunyi yang dikeluarkan sendiri ia juga sering meniru bunyi-bunyi lain
yang didengarnya, dan dapat mengungkapkan perasaan senang/tidak senang secara verbal.
h. Pada bulan kedelapan, bayi sangat peka terbadap bunyi suara disekitarnya dan proses
peniruannya makin melibatkan intonasinya yang mempunyai arti tertentu. Misalnya ia
mcnyebut "mama" dengan nada atau frekuensi tinggi maka kemungkinan ia meminta
sesuatu dan bila diucapkan dengan nada rendah berarti ia merasa senang/puas, ingin di
gendong/dibelai dan sebagainya.
i. Pada bulan kesembilan, proses peniruan bunyi/suara disekitarnya secara konstan menjadi
ciri yang khas pada bayi. Gerakan tangan dan kaki juga mengikuti vokalisasi dalam
komunikasinya dengan ibu atau orang lain.
j. Pada bulan kesepuluh, bayi mulai memberikan reaksi terhadap instruksi/perintah dengan
menganggukkan kepala tanda setuju atau jawaban "ya" dan ia juga sudah mengenal
namanya bila dipanggil atau disebutkan padanya, demikian juga namanama orang lain yang
sering didengarnya.
k. Pada bulan kesebelas, bayi sudah dapat membedakan antara orang yang dikenal dengan
yang tidak. Biasanya pada usia ini kebanyakan bayi sudah mulai menggunakan ujaran-
ujaran pertama yang diungkapkan untuk menyatakan sesuatu, misalnya "mam" untuk
menyatakan makan, "nak" (dari enak) bila sering diucapkan orang lain pada waktu diberi
makan dan lain-lain.
l. Pada bulan keduabelas, sampai kepada ulang tahunnya yang pertama bayi sudah mengerti
beberapa frase dan kalimat-kalimat sederhana serta dapat memberikan respons terhadap
perhatian. Biasanya pada usia ini, satu kata dapat mewakili seluruh kalimat yang ingin
diungkapkan.
Antara usia 13 - 8 bulan, seorang anak sudah mampu mengenal banyak benda maupun
orang di sekitarnya. Dalam periode ini, anak juga mulai menghafal nama benda dan orang.
Kalimat yang tadinya diwakili oleh satu kata mulai berkembang ke suatu pola kalimat yang
terdiri dari dua kata yang dapat dikategorikan sebagai kelompok kata "pipot" (yang menempati
posisi tetap) dan kelompok kata "open" (terbuka posisi yang dapat diisi dengan kata-kata
pengganti yang membedakan maksud).

8
Antara usia 2 - 3 tahun, pengetahuan komprehensif seorang anak mulai berkembang
dengan pesat. Dia sudah bisa menamai benda-benda yang dimaksudkannya. Selain itu, ia dapat
menyebutkan namanya sendiri secara jelas, menghapal lagu anak-anak yang singkat, dan
menggunakan beraneka pertanyaan untuk memenuhi "rasa ingin tahunya" (curiosity) sebagai ciri
yang sangat menonjol pada usia ini. Pola kalimat dua sampai tiga kata mulai berkembang ke arah
tata bahasa yang lebih sempurna.
Setelah usia lima tahun, proses belajar dikerjakan secara sadar, lebih dominan dalam
perolehan bahasa pertama, lebih-lebih setelah anak masuk dalam pendidikan formal (taman
kanak-kanak dan sekolah dasar). Menurut Lenneberg (1976) dalam Nababan (1983)
pengembangan proses perolehan bahasa secara efektif sampai dengan usai 20 tahun, maka
kemungkinan besar ia tidak akan dapat berbahasa/berkomunikasi dengan baik dan sangat kecil
kemungkinannya untuk mengetahui bahasa tersebut.
2. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa kedua (B2) dapat terjadi dengan bermacam-macam cara, pada usia
apa saja, untuk tujuan bermacam-macam, dan pada tingkat kebahasaan yang berlainan.
Berdasarkan fakta ini, kita dapat membedakan beberapa tipe pemerolehan bahasa kedua. Kedua
tipe itu adalah pemerolehan yang terpimpin (learning) dan pemerolehan bahasa alamiah
(acquisition). Menurut Krashen (1981) dalam Nababan (1983), pemerolehan bahasa kedua dapat
dibagi atas dua kategori dasar, yakni "language, acquisition", di mana seseorang juga dapat
mempelajari bahasa kedua secara wajar dan alami (tanpa disadari) seperti halnya pemerolehan
bahasa pertama dan kedua, "language learning" dimana bahasa kedua diajarkan dan atau
dipelajari dengan kesadaran penuh untuk suatu tujuan/maksud tertentu.
Pemerolehan bahasa kedua yang terpimpin, yaitu B2 diajarkan kepada pelajar dengan
menyajikan materi yang telah diseleksi dan kriterianya ditentukan oleh guru atau seorang
pengajar. Sering terjadi ketidakwajaran dalam penyajian materi ini seperti penghapalan pola-pola
kalimat tanpa pemberian latihan-latihan bagaimana kata-kata itu diterapkan dalam komunikasi.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau spontan adalah pemerolehan bahasa
kedua/asing dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematik yang sengaja.
Dalam komunikasi sehari-hari pelajar B2 berusaha sekuat tenaga untuk mengajar menggunakan
B2 agar ia dapat berkomunikasi dengan baik. Makin tinggi motivasinya, makin cepat ia
mencapai tujuannya. Mereka tidak merasa tertekan untuk memanfaatkan segala potensi

9
bahasanya dan selalu merasa terpanggil untuk mencapai tingkat kemahiran yang memuaskan.
Kedua yaitu bebas dari pimpinan yang sistematis masih sukar untuk dikerjakan. Oleh karena itu,
hampir tidak ada penelitian atau eksperimen untuk mengkaji hal ini. Namun kalau dilihat dari
segi kemahiran berbahasa, banyak kita jumpai keberhasilan dalam berbahasa tanpa berkaitan
dengan pengajar atau pemimpin. Jadi, sesuatu hal yang keliru kalau penelitian B2 selalu
dikaitkan dengan pengajaran yang terpimpin.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa
Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bahasa antara lain : Umur, jenis
kelamin, kecerdasan, milieu, perekonomian dan kemasyarakatan bagi anak.
1. Urutan usia (Chronological age).
Setiap kali anak bertambah maju umurnya maka bertambah maju pula dalam
menemukan bahasa dan dalam kemampuan untuk menilai bahasanya. Hal itu kembali pada
ikatan antar umur dan kematanganya/kepekaanya, terutama sekali kematangannya pada alatalat
bicaranya, kematanganya pada akal dan hal-hal lain yang menyertai dalam pengalaman anak.
Parawansa menyatakan beberapa fase perkembangan pada bahasa sesuai dengan tingkat usia
anak sebagai berikut :
a. Fase usia beberapa bulan pertama: vokalisasi, berteriak, mendekut dan berbagai bunyi yang
belum dideskripsikan pada usia 3 atau4 bulan pertama barangkali merupakan yang paling
signifikan.
b. Tahap “babling”: Tahap mendekut (cooing) yang terjadi pada usia beberapa bulan pertama
biasanya berkembang kearah lebih banyak tipe vokalisasi random.
c. Permulaan pemahaman bahasa: Biasanya pada usia 8-10 bulan atau kadang-kadang lebih
awal (Pada bagian akhir nasa babling) terdapat gejala pertama tentang pemahaman dan
pengertian terhadap mimik simbolik tertentu intonasi, kata-kata dan struktur frasa sebagai
bagian dari penguasaan anak.
d. Permulaan komunikasi ujaran yang dibedakan: menuju akhir tahun kedua, terjadi
pertumbuhan yang pesat dalam kosa kata, anak mulai dengan eksperimentasi linguistik
(linguistic experimentatica).
e. Tahap akhir: Anak mulai memanipulasi struktur sintaksia bahasa bebas (language freely)
pada selesai tahap komunikasi ujaran yang di bedakan. Selanjutnya tak ada lagi tahap yang

10
membedakan dalam perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa sudah cepat dalam
berbagai hal.
2. Faktor Kesehatan Secara Umum.
Sesungguhnya anak-anak yang ada dalam kondisi fisik yang sehat, itu lebih banyak
kegiatanya dan pengetahuanya terhadap apa-apa yang ada di sekelilingnya ; akan tetapi
sebaliknya bila anak berada dalam kondisi fisik yang buruk. Dilihat dari segi kemajuan dan
kemunduranya keadaan kesehatan itu mempengaruhi dalam proses pertumbuhan yang
bermacam-macam. Jika awal periode kanak-kanak itu disebabkan oleh sakit sehingga
perumbuhan geraknya terlambat, maka dalam periode kanakkanak tertentu dari pertumbuhan
geraknya akan mengakibatkan sedikit bermain dengan suara dan hal itulah yang sngat
menentukan dalam pertumbuhan bahasa anak-anak. Jadi dalam hal ini ada hubungan timbal balik
antara keaktifan anak dengan pertumbuhan bahasanya. Maka dilihat dari segi fisiknya setiap
anak yang sehat lebih banyak kemampuanya untuk menentukan bahasanya.

3. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin


Beberapa hasil penelitian telah menetapkan bahwa pertumbuhan bahasa pada anak-anak
perempuan itu lebih cepat dari anakanak lelaki. Hal itu dapat dijumpai dalam hubunganya
dengan jumlah kosa kata, panjangnya kalimat-kalimat dan pemahaman. Perbedaan perbedaan itu
tampak pada lima tahun yang pertama (periode sekolah dasar) sedangkan diantara tahun kelima
dan keenam kita lihat anak lelaki dan anak perempuan sama atau perbedaan-perbedaan setara
antara keduanya hampir sama.
4. Faktor Kecerdasan
Dalam hal ini ada hubungan yang jelas tampak antara kecerdasan dan kemampuan
berbahasa, maka nak-anak yang lemah akalnya itu akan memulai berbicara lebih lambat
dibanding dengan anak-anak yang normal, dan anak-anak yang normalpun akan lebih lambat
daripada anak-anak yang cerdas akalnya. Hal tersebut tidak berarti bahwa semua anak yang
terlambat dalam memulai bicara itu lemah akalnya atau bodoh, sebab dalam hal ini ada faktor-
faktor lain yang mempengaruhi pada kelemahan bicara, akan tetapi tidak mesti berpengaruh pada
kecerdasan akalnya.
Bagi anak yang memiliki kemampuan akal yang istimewa, maka ia akan memilki
keistimewaan-keistimewaan yang berhubungan dengan kemampuanya dalam memperhatikan,

11
menemukan hubungan hubungan dan dalam memahami arti serta dalam menemukan perbedaan-
perbedaan diantara arti-arti yang berbeda. Ini semua adalah faktor-faktor yang membantu pada
pertumbuhan bahasa anak.
5. Faktor Milieu
Dalam hal ini ada hubungan timbal balik yang pasti atau positif-negatif antara pusat
perekonomian dengan pusat masyarakat bagi keluarga tempat anak-anak itu tumbuh dan tempat
pertumbuhan bahasanya. Maka-maka yang tumbuh dalam lingkungan yang menyenangkan, yang
dilengkapi dengan alat-alat hiburan dan dalam keluarga mereka yang berpendidikan itu
memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk mendapatkan bekal kosa kata dalam jumlah
yang besar serta membentu kebiasaan-kebiasaan memakai bahasa yang benar. Sebaliknya anak
yang tumbuh/hidup dalam lingkungan yang inus, sekalipun kecerdasanya sama dengan anak-
anak yang tumbuh dalam masyarakat yang surplus namun tingkat pertumbuhan bahasanya dalam
mencapai kosa kata dapat berbeda atau ada kemungkinan lebih rendah.
D. Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Dalam Belajar Bahasa Kedua
Pada pokok bahasan ini secara berturut-turut akan di tinjau halhal yang berkaitan dengan
model konseptual proses belajar bahasa, hubungan variabel bakat dengan variabel kebahasaan
dalam belajar bahasa, kesulitan inter dan intra linguistik dalam belajar bahasa.
1. Model Konseptual Belajar Bahasa
Carroll (1962) menyajikan model konseptual proses belajar bahasa yang asing yang
berlandaskan pendidikan formal. Disajikanya lima unsur yang secara kompleks berfungsi dalam
keberhasilan belajar bahasa asing, yakni (1) Bakat si pelajar, (2) Kecerdasan umum si pelajar, (3)
Ketekunan si pelajar, (4) kualitas pengajaran dan (5) kesempatan belajar (Gage , 1963 : 1060).
Dalam kepustakaan penelitian-penelitian yang dibahas oleh carroll (1963) kelima unsur itu di
jajagi sebagai variabel-variabel yang memberi efek pada keberhasilan belajar bahasa. Sejalan
dengan kelima unsur tersebut, metode-metode pengajaran bahasa dapat beraneka ragam sesuai
dengan tujuan yang dicapai dan asumsi yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan itu
(Gage, 1963 : 1060-1090). Kelima unsurunsur yang merupakan variabel-variabel bebas itu, unsur
(1).(2), dan (3) menyangkut latar belakang pribadi si pelajar, unsur (4) menyangkut guru dan
kurikulum, unsur (5) menyangkut waktu. (Gage, 1963 : 1073).
Sadtono (1983) dalam hubunganya dengan model Carroll di atas, menyajikan faktor-
faktor keberhasilan belajar bahasa yang dibagi atas faktor umum da khusus. Pada faktor umu

12
diperkenalkan “hukumhukum besi” dalam belajar bahasa seperti (a) “Mempelajari bahasa
memerlukan waktu yang lama dan dengan ketekunan”, (b) “Belajar bahasa memerlukan
frekuensi yangtinggi”, (c) “Kesempatan memakainya banyak”, (d) “Belajar bahasa memerlukan
keuletan yang tinggi”, (e) “Belajar bahasa memerlukan motivasi”, (f) “Adanya bakat bajasa”.
Sedangkan faktor khusus di bagi lagi atas faktor yang bersifat kebahasaan dan yang
bersifat non-kebahasaan. Dari faktor-faktor yang bersifat kebahasaan dapat ditelusuri kesulitan-
kesulitan yang mungkin di hadapi si pelajar karena keunikan yang dimiliki setiap bahasa.
Keunikan-keunikan tersebut dapat terjadi pada sistem bunyi, sistem tat bahasa, sistem kosa kata,
sistem wacana. Dan latar belakang kebudayaan bahasa sasaran, serta hubungan antar bahasa
sumber dan bahasa sasaran. Faktor-Faktor yang bersifat non-kebahasaan meliputi kurikulum
guru, metode, bahan pengajaran, besarnya kelas, jumlah dan frekuensi jam pelajaran, peralatan
dan kemudahan-kemudahan lainya. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang berada dalam
diri si pelajar, seperti bakat bahasa, keuletan, motivasi, dan sikap terhadap bahasa yang sedang
dipelajari (Sadtono, 1983 : 24-42).

2. Bakat Bahasa dan Kebahasaan dalam Belajar Bahasa


Dalam rangka pengajaran bahasa dalam berbagai rentangan kemampuan, Hawkins
(1972) membahas hubungan bakat berbahasa asing dan masalah kebahasaan dalam belajar
bahasa. Dijelaskanya bahwa pengajaran bahasa tidak terbatas hanya pada belajar pelajar yang
berbakat saja. Akan tetapi juga pada mereka yang kurang berbakat. Berkaitan dengan fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi, Hawkins mengatakan : karena bahasa adalah alat untuk belajar,
untuk berpikir, dan untuk menggunakan perasaan, maka bahasa harus di ajarkan kepada pelajar-
pelajar yang berkemampuan rendah.
Bardasarkan hasil kajian estasio (1971), Hawkins menyarankan perlunya perhatian
hubungan antara pengalaman berbahasa dengan perkembangan kognisi.Menurut Estacio,
pengajaran bahasa kedua mempunyai efek langsung terhadap perkembangan proses kognitif
pelajar. Kedua alasan di atas saling menunjang dalam menentukan pengajaran bahasa bagi
pelajar-pelajar yang berkemampuan rendah. (Hawkins, 1972 : 12 - 20).
Selanjutnya dalam mengajarkan bahasa tersebut, Hawkins melihat dari segi bakat
bahasa. Melalui pembahasanya melalui kajian bakat bahsa yang dilakukan oleh Carroll dan
Sapon yang telah dirangkumoleh Pimalcur, yang kemudian ditunjang oleh kajian S.P Green

13
dicarinya faktor yang palin tinggi meramalkan kemampuan berbahasa. Ditemukan bahwa dari
sepili jenis tes bakat bahasa, tes pemahaman akan hubungan-hubungan gramatikalbahasa adalah
tes yang mempunyai daya ramal tinggi.
3. Kesulitan Inter dan Intralingustik dalam Belajar Bahasa
Kesulitan interlinguistik dan intralinguistik diperkenalkan pada wakt munculnya analisis
kesilapan sebagai akibat rasa tak puas terhadap analisis kontrastif. Kedua konsep tentang
kesulitan ini mengganggu pada sumber kesilapan pada pelajar dalam mempelajari sistem bahasa
dan sub sistem tata bahasanya. Kesulitan interlinguistik adalah sumber kesilapan yang
diakibatkan oleh interaksi unsur-unsur sistem antara bahasa ibu pelajat dengan bahasa yang
sedang dipelajarinya. Sedangkan kesulitan intralinguistik adalah sumber kesilapan yang
diakibatkan oleh ketidak konsintenan kaidah pada sistem bahasa yang sedang dipelajari. Baik
sumber kesilapan yang diidentifikasi oleh selinker (1972) sebagai proses dalam interlanguage
atau bahasa pelajar dalam belajar bahasa yang sedang dipelajari, ataupun jenis-jenis kesilapan
menurut Richards (1974) yang didasarkan atas deskripsi selinker, maupun kekeliruan dalam
proses belajar mengajar dalam kelas yang diobservasi stenson (1978), seluruhnya dikelompokan
menjaditiga kelompok menurut Schuman dan Stenson (1978), yakni (1) kesilapan yang
disebabkan kesulitan akuisisi tat bahasa sasaran sebagai akibat kesulitan inter dan intralinguistik,
(2) kesilapan yang disebabkan oleh urgensi keadaan pengajaran/ belajar bahasa, (3) kesilapan
yang disebabkan oleh masalah-masalah biasa dalam perilaku berbahasa (Schuman dan Stenson ,
1978 : 4).
Selanjutnya Dulay dan Burt (1972 ;1974) dalam hasil penelitiannya terhadap anak-anak
yang berbahasa Cina, Spanyol, Jepang dan Norwegia dalam belajar bahasa Inggris, dalam
analisis kesilapan menunjukan bahwa tanpa memandang latar belakang B1 nya anak-anak
merekonstruksi kreatif yang disebabkan oleh mekanisme-mekanisme bawaan yang semesta
(universal innate mechanishm). Dulay dan Burt, 1974.

4. Peranan Faktor Lingkungan dalam Belajar Bahasa


Carroll (1967) dalam hasil penelitianya terhadap 2704 mahasiswa senior (tahun III dan
IV) yang mengambil bahasa Perancis, Jerman dan Rusia, mengadakan kesimpulan bahwa ada
hubungan yang positif antara hasil (kemampuan) dengan lamanya tinggal. Penelitian selanjutnya

14
oleh Saegert dan kawan-kawan di American University, terhadap mahasiswa yang mengambil
English as a Foreign Language dengan kuliah bahasa Inggris ternyata hasilnya sama juga dengan
Carroll. Gardner juga menyatakan bahwa lingkungan alamiah sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan anak dalam proses belajar bahasa kedua. Dulay, Burt dan Krashen (1982)
menyimpulkan bahwa lingkungan alamiah punya kemampuan yang kuat dalam proses
pemerolehan bahasa. Selanjutnya Berlitz dan de Sauze (pencetus metode langsung) mengetahui
bahwa cara belajar secara alamiah yang non-akademik, situasi dunia nyata menggambarkan
model alternative pengajaran bahasa. Blair, (1982). Selanjutnya Blair pula mengatakan bahwa
pengajaran bahasa dapat maju pesat jika lingkungan disediakan, jenis-jenis komunikasi nyata
yang kontekstual diciptakan. Bebrapa penelitian telah dicatat Blair bahwa faktor lingkungan
sangat menentulan dalam pemerolehan bahasa kedua, antara lain, oleh Leonard Newmark
terhadap anaknya yang berumur 4 tahun ; oleh Albert Stom dengan pengalamannya sendiri;
Arthur Sorenson dengan suku Tokeno di Amerika Selatan dan laporan serdadu yang tinggal di
pedalaman Inggris.
E. Tahap-Tahap Perkembangan Bahasa Anak
Ada beberapa ahli yang membagi tahap-tahap perkembangan bahasa itu ke dalam tahap
pralinguistik dan tahap linguistik. Akan tetapi ada ahli-ahli lain yang menyanggah pembagian
ini, dan mengatakan bahwa tehap pralinguistik tidak dapat dikatakan bahasa permulaan karena
bunyi-bunyi seperti: tangisan, rengekan, dan lain sebagainya dikendalikan oleh ransangan
(stimulus) semata.
Sudah diuraikan sebelumnya bahwa kemampuan berbahasa anak-anak tidaklah
diperoleh secara tiba-tiba atau sekaligus, tetapi berkembang secara bertahap. Tahapan
perkembangan bahasa anak dapat dibagi atas: (1) tahap pralingustik, (2) tahap satu-kata, (3)
tahap dua-kata, dan (4) tahap banyak-kata.
1. Tahap Pralingustik (0 – 12 bulan)
Sebelum mampu mengucapkan suatu kata, bayi mulai memperoleh bahasa ketika
berumur kurang dari satu tahun. Namun pada tahap ini, bunyibunyi bahasa yang dihasilkan anak
belumlah bermakna. Bunyi-bunyi itu berupa vokal atau konsonan tertentu tetapi tidak mengacu
pada kata atau makna tertentu. Untuk itulah sehingga perkembangan bahasa anak pada masa ini
disebut tahap pralinguistik (Tarigan, 1988; Tarigan dkk., 1998; Ellies dkk.,1989). Bahkan pada
awalnya, bayi hanya mampu mengeluarkan suara yaitu tangisan. Pada umumnya orang

15
mengatakan bahwa bila bayi yang baru lahir menangis, menandakan bahwa bayi tersebut merasa
lapar, takut, atau bosan.
Sebenarnya tidak hanya itu saja terjadi. Para peneliti perkembangan mengatakan bahwa
lingkungan memberikan mereka halangan tentang apa yang dirasakan oleh bayi, bahkan tangisan
itu sudah mempunyai nilai komunikatif. Bayi yang berusia 4 – 7 bulan biasanya sudah mulai
mengahasilkan banyak suara baru yang menyebabkan masa ini disebut masa ekspansi
(Dworetzky, 1990). Suara-suara baru itu meliputi: bisikan, menggeram, dan memekik. Setelah
memasuki usia 7 – 12 bulan, ocehan bayi meningkat pesat.
Sebagian bayi mulai mengucapkan suku kata dan menggandakan rangkaian kata seperti
“dadada” atau “mamama”. Ini dekanal dengan masa connical.
2. Tahap Satu-Kata (12 – 18 bulan)
Pada masa ini, anak sudah mulai belajar menggunakan satu kata yang memiliki arti yang
mewakili keseluruhan idenya. Satu-kata mewakili satu atau bahkan lebih frase atau kalimat.

Contoh:
Ujaran anak
- “Juju!” (sambil memegang baju)
- “Gi!” (sambil menunjuk keluar)
- “Bum-bum” (sambil menunjuk
motor

Maksud
- Mau memakai baju atau Ini
baju saya
- Mau pergi atau keluar
- Itu motor atau saya mau naik
motor

Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objek-objek nyata atau
perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya berbicara
berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi. Selain itu, kata tersebut
mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain

16
itu, kata-kata tersebut mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan
(tinggal membuka mulut saja).
Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah. Untuk
menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-
linguistik lainnya seperti gerak isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa
begitu? Menurut Tarigan dkk, (1998) ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut.
1. Pertama, bahasa anak masih terbatas sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide
atau perasaannya secara lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi muka,
gerak tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
2. Kedua, apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja.
Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan kesulitan untuk memahami
maksud tuturannya.
Walaupun memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah,
tetapi komunikasi aktif dengan si anak sangat penting dilakukan. Untuk dapat berbicara, anak
perlu mengetahui perbendaharaan kata yang akan disimpan di otaknya dan ini bisa didapat ketika
orang tua mengajak bicara. Kalau anak jaran diajak berbicara, kata-kata yang dia dapat sangat
minim sehingga penguasaan kosa kata anak juga sangat minim. Selain itu, yang perlu
diperhatikan dalam menghadapi anak yang memasuki usia ini adalah “jangan memakai bahasa
bayi untuk anak-anak, melainkan dengan orang dewasa.” Maksudnya, ucapkanlah dengan bahasa
yang seharusnya didengar sehingga si anak juga terpacu untuk berkomunikasi dengan baik.
3. Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata. Kata-
kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek
tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain yang sseharusnya digunakan. Anak
mulai dapat mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”. Pada tahap dua
kata ini anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan bentuk
bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa. Selain itu, anak
belum dapat menggunkan pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan sebaginya.
4. Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan
kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan negatif, kalimat

17
majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam
Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang
dan tatabahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau
lebih. Pada umur 5 – 6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian
besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin
bervariasi. Anak telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai
keperluan, termasuk bercanda atau menghibur.
Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan bahasa anak seperti yang
telah diurakan, Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) membagi tahap perkembangan
bahasa sebagai berikut.
a. Tahap meraban (pralinguistik) pertama pada usia 0,0 – 0,5
b. Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsens, pada usia 0,5 –1,0.
c. Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata, pada usia 1,0 – 2,0.
d. Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
e. Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia 3,0 – 4,0.
f. Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia 4,0 – 5,0.
g. Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.
F. Strategi Pemerolehan Bahasa Anak
Saudara, pasti kalian bertanya-tanya, “Bagaimana caranya seorang anak memperoleh
bahasanya?” “Apakah kemampuan berbahasa anak adalah pembawaan atau ada faktor-faktor lain
yang memungkinkannya memiliki kemampuan tersebut?” Menurut Tarigan (1988), untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus mempertimbangkan masalah interaksi sang anak
dengan konteksnya. Landasan atau dasar kognitif pemerolehan bahasa sangat mudah sekali
terlihat dalam tiga hal, yaitu:
1. perkembangan semantik sang anak,
2. perkembangan sintaksis permulaan, dan
3. penggunaan aktif sang anak akan sejenis siasat belajar.
Kalau kita amati, anak-anak pada umumnya cenderung lebih cepat belajar dan
menguasai suatu bahasa, terutama bahasa ibunya. Sejak lahir seorang bayi sudah memperoduksi
bunyi yaitu mengeram atau menangis. Bunyi bunyi itu menggambarkan suasana kebutuhan
dalam upaya merespon terhadap lingkungan internal dan eksternalnya. Sejalan dengan

18
pertumbuhan usia bayi tersebut, maka bunyi-bunyi yang diproduksinya itu mulai ada
kecenderungan mempunyai kemiripan dengan bahasa (kata-kata) orang dewasa, misalanya
“mama”. Kata “ma-ma” (biasa diistilahkan dalam kajian bahasa sebagai “babling”) yang
dituturkan oleh si bayi, diprediksikan sebagai langkah awal dari perkembangan fonologi anak
untuk pemerolehan bahasa. Para behavioris berpandangan bahwa setiap orang terdorong (apakah
dorongan positif atau negatif) untuk melakukan sesuatu. Bahasa itu merupakan ciri dan milik
manusia, merupakan pembeda dari makhluk ciptaan lainnya. Bahasa itu bertemali dengan
beraneka sistem pada akal manusia dan sekaligus dibentuk oleh sistem yang ada itu.
Saudara, untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan sebuah ilustarsi hipotesis klasik
berikut ini. Amatilah seorang bayi yang sedang tidur telentang di pembaringan. Saatibunya
menghampiri dan mengajaknya bermain, si bayi merasa senang dan mulai “membabling”. Dia
merasa akan mendapatkan respon dari sang ibu. Si ibu pun memahami apa yang dikehendaki
oleh sang bayi. Kemudian, si bayi digendong, didekap dan dipeluk dalam pangkuan,
disendaguraui atau ditimang, atau barangkali diselingi pula dengan ungkapan suara-suara puji
kasih saying dari sang ibu.
Semakin besar perhatian sang ibu curahkan ke pada si bayi, maka semakin berani pula
sang bayi melahirkan ungkapan-ungkapan sebagai respon atas stimulus yang diberikan oleh si
ibu kepadanya. Respon-respon yang diberikan kepada sang ibu tiada lain suatu pertanda telah
terjalinnya proses interaksi pada tahap awal kemampuan berbahasa sang bayi.
Kejadian semacam itu bagi si bayi dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau
positif reinforsmen. Setiap dia menyuarakan “ma-ma”, dia akan mendapatkan sesuatu yang
menyenangkan, maka dia akan mengulanginya terus dan terus. Kondisi belajar bahasa semacam
itu akan terus mempengaruhi seorang anak hingga ia menjadi tumbuh dewasa. Dorongan yang
positif tadi terus mempengaruhinya sehingga timbul keinginan seorang anak untuk meniruniru
orang dewasa berbahasa.
Dari ilustrasi di atas, apakah Anda sudah memahami bagaimana strategi anak
memperoleh bahasa? Ya, anak memperoleh kemampuan berbahasa lisan melalui peniruan dan
pengalaman langsung. Apakah hanya itu? Menurut Tarigan dkk. (1998), selain meniru dan
mengalami langsung, anak memperoleh kemampuan berbahasa dengan cara mengingat, bermain,
dan penyederhanaan. Mengingat, memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau
belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Pada

19
tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunyi
tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami. Ingatan ini akan semakin kuat,
terutama bila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara
ini, anak akan mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengucapnya.
Kegiatan bermain pun memegang peran penting dalam pemerolehan bahasa anak. Dalam
kegiatan bermain, anak-anak sering dan senang bermain peran yaitu memerankan perilaku orang
dewasa atau perilaku orang lain di sekelilingnya. Tampa mereka sadari, dalam kegiatan bermain
tersebut mereka berlatih berbicara dan menyimak. Selanjutnya, cara belajar dengan
penyederhanaan, maksudnya adalah ketika berbicara anak-anak pada awalnya cenderung
menyederhanakan model tuturan orang dewasa. Ada beberapa fonem dan bahkan kata yang
dihilangkan pada saat bertutur. Walaupun dalam bertutur, anak-anak hanya menggunakan satu
kata tetapi memiliki cakupan makna yang luas (Tarigan dkk., 1998).
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak? Ada dua
persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa, yaitu
potensi faktor biologis yang dimiliki sang anak, serta dukungan sosial yang diperolehnya. Selain
itu, ada beberapa factor penunjang yang merupakan penjabaran dari kedua hal di atas yang dapat
mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak. Faktor-faktor yang dimaksud
adalah seperti berikut: (a) faktor biologis; (b) faktor lingkungan sosial; (c) faktor intelegensi; dan
(d) faktor motivasi (Tarigan dkk., 1998).
Noam Chomsky, tokoh behavioris, berpendapat bahwa semua manusia mempunyai
kemampuan bawaan untuk berbahasa. Dari kegiatan berinteraksi dengan lingkungan, seseorang
akan mampu belajar bahasa atau membentuk kemampuan berbahasa (Dworetzky, 1990).
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada tiga,
yaitu otak (system syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap. Dalam proses berbicara, sistem
syaraf yang ada di otaklah sebagai pengendali. Semua isyarat tanggapan bahasa yang sudah
diproses di otak selanjutnya dikirimkan ke daerah motor seperti alat ucap, untuk menghasilkan
bahasa secara fisik (Tarigan dkk., 1998).
Terkait dengan pandanga di atas, Slobin dalam (Nurhadi dan Roekhan, 1990)
mengemukakan bahwa seorang anak itu lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan-aturan
bahasa yang oleh Chomsky dinamakan Language Acquisition Device (LAD). Selanjutnya Slobin
mengatakan bahwa yang dibawa lahir itu bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik

20
yang semsta sepeerti yang dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan bahasa
bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data
linguistik. Tetapi perlu diketahui bahwa prosedur dan aturanaturan bahasa bawaan bukanlah
satu-satunya faktor yang menentukan per-kembangan bahasa anak selanjutnya, karena potensi ini
harus ditunjang faktor kognitif dan situasi mental anak. Dengan demikian, anak yang tidak sehat
mentalnya tidak dapat mengembangkan potensi bahasa itu dengan baik. Bahkan, mungkin sama
sekali potensi itu tidak dapat difungsikan.
Perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penetu dalam proses
pemerolehan bahasa. Seorang anak memperoleh atau belajar bahasa ibunya dengan jalan
mengetahui struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan
keterampilan berbahasa menurut cara yang diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena itu,
bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam
lingkungan yang menggunakan bahasa. Sehubungan dengan hal itu, maka anak memerlukan
orang lain, anak memerlukan contoh atau model berbahasa, respon dan tanggapan, serta teman
untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya. Dengan
demikian, lingkungan sosial merupakan salah satu factor penting yang menentukan pemerolehan
bahasa anak. Selain lingkungan sosial, intelegensi pun berpengaruh terhadap pemerolehan
bahasa anak. Anak yang berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih
cepat, lebih banyak, dan lebih variatif khasanah bahasanya daripada anak-anak yang
berintelegensi rendah (Tarigan dkk., 1998).
Bagaimana dengan faktor komunikasi? Pada ilustrasi sebelumnya sudah diuraikan
bahwa semakin besar perhatian sang ibu curahkan ke pada si bayi, maka semakin berani pula
sang bayi melahirkan ungkapan-ungkapan sebagai respon atas stimulus yang diberikan oleh si
ibu kepadanya. Kejadian semacam itu bagi si bayi dirasakan sebagai sesuatu yang
menyenangkan atau positif reinforsmen. Setiap dia menyuarakan “ma-ma”, dia akan
mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, maka dia akan mengulanginya lagi. Kondisi belajar
bahasa semacam itu akan terus mempengaruhi seorang anak hingga ia menjadi tumbuh dewasa.
Dorongan yang positif tadi terus mempengaruhinya sehingga timbul keinginan seorang anak
untuk meniru-niru orang dewasa berbahasa. Dengan demikian sudah jelas bahwa motivasi atau
dorongan akan memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi.

21
Selain pendapat di atas, Ellies dkk. (1989) mengemukakan bahwa anak belajar berbicara
sesuai dengan kebutuhannya. Sekiranya ia dapat memperoleh apa yang diinginkannya tampa
bersusah payah untuk memintanya, maka ia tidak merasa perlu untuk berusaha belajar berbahasa.
Jadi pada mulanya motif anak belajar bahasa ialah agar dapat memenuhi kebutuhan-ke-
butuhannya, keinginan-keinginannya, dan menguasai lingkungan-nya sesuai dengan keinginan
dan kebutuhannya Dengan demikian, kebutuhan utama anak-anak sehingga belajar berbahasa
adalah:
1. keinginan untuk memperoleh informasi tentang lingkungannya,
2. kemudian mengenai dirinya sendiri dan kawan-kawannya;
3. memberi perintah dan menyatakan kemauan;
4. pergaulan sosial dengan orang lain; dan
5. menyatakan pendapat dan ide-idenya.

Latihan

1. Jelaskan pengertian pemerolehan bahasa anak


2. Jelaskan pengertian perkembangan bahasa anak
3. Jelasakan pemerolehan bahasa pertama dan kedua pada anak.
4. Jelaskan proses pemerolehan faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa pada
anak.
5. Jelaskan perbedan pemerolehan dan pembelajaran bahasa pada anak.

22
BAB 3.
MENYIMAK

Kemampuan Akhir yang Diharapkan

Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa mampu menjelaskan hakikat


menyimak, pengertian, tujuan, tahap-tahap menyimak, dan peranan menyimak, serta jenis-
jenis menyimak. mengidentifikasi perbedaan menyimak, mendengar,
mendengarkan.0Mahasiswa mampu menjelaskan efektifitas menyimak, factor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan menyimak, dan meningkatkan daya simak siswa. Mahasiswa
mampu memilih materi dan menerapkan merode dan penilaian pembelajaran menyimak.

A. Pengertian Menyimak
Menyimak atau mendengarkan adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-
lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi serta interprestasi untuk
memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan, serta memahami makna komunikasi yang
ujaran atau bahasa lisan. Hakikat dari menyimak yaitu untuk mendengarkan dan memahami isi
dari bahan yang disimak, oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa tujuan utama dari menyimak
adalah menangkap, memahami ataupun menghayati pesan, ide, gagasan, yang tersirat dalam
bahan simakan.
Mendengarkan adalah keterampilan memahami bahasa lisan yang bersifat reseptif. Yang
dimaksud dengan keterampilan mendengarkan di sini bukan berarti hanya sekadar mendengarkan
bunyi-bunyi bahasa melalui alat pendengarannya, melainkan sekaligus memahami maksudnya.
Oleh karena itu, istilah mendengarkan sering diidentikkan dengan menyimak. Istilah
mendengarkan/menyimak berbeda dari istilah mendengar. Meskipun samasama menggunakan
alat pendengaran, mendengarkan berbeda dengan mendengar. Pada kegiatan mendengar tidak
tercakup unsur kesengajaan, konsentrasi, atau bahkan pemahaman. Sementara pada kegiatan
mendengarkan terdapat unsur-unsur kesengajaan, dilakukan dengan penuh perhatian dan
konsentrasi untuk memperoleh pemahaman yang memadai.

23
Dalam bahasa pertama (bahasa ibu), kita memperoleh keterampilan mendengarkan
melalui proses yang tidak kita sadari yang disebut dengan proses aquisition (pemerolehan),
bukan melalui proses learning (pembelajaran). Oleh karena itu, kita pun tidak menyadari begitu
kompleksnya proses pemerolehan keterampilan mendengarkan tersebut. Berikut ini secara
singkat disajikan deskripsi mengenai aspek-aspek yang terkait dalam upaya belajar memahami
apa yang kita dengarkan dalam bahasa kedua.
Ada dua jenis situasi dalam mendengarkan, yaitu situasi mendengarkan secara interaktif
dan situasi mendengarkan secara noninteraktif. Mendengarkan secara interaktif terjadi dalam
percakapan tatap muka dan percakapan di telepon atau yang sejenis dengan itu. Dalam
mendengarkan jenis ini kita secara bergantian melakukan aktivitas mendengarkan dan berbicara.
Oleh karena itu, kita memiliki kesempatan untuk bertanya guna memperoleh penjelasan,
meminta lawan bicara mengulang apa yang diucapkan olehnya, atau mungkin memintanya
berbicara agak lebih lambat.
Contoh situasi-situasi mendengarkan noninteraktif, yaitu mendengarkan radio, TV, film,
khotbah, atau mendengarkan dalam acara-acara seremonial. Dalam situasi mendengarkan
noninteraktif tersebut, kita tidak dapat meminta penjelasan dari pembicara, tidak bisa meminta
pembicara mengulangi apa yang diucapkannya, dan tidak bisa meminta pembicaraan
diperlambat.
Berikut ini adalah keterampilan-keterampilan mikro yang terlibat ketika kita berupaya
untuk memahami apa yang kita dengar, yaitu pendengar harus:
1. Menyimpan/mengingat unsur bahasa yang didengar menggunakan daya
ingat jangka pendek (short-term memory);
2. berupaya membedakan bunyi-bunyi yang membedakan arti dalam bahasa target
3. Menyadari adanya bentuk-bentuk tekanan dan nada, warna suara dan intonasi; menyadari
adanya reduksi bentuk-bentuk kata;
4. Membedakan dan memahami arti kata-kata yang didengar;
5. Mengenal bentuk-bentuk kata yang khusus (typical word-order patterns);
6. Mendeteksi kata-kata kunci yang mengidentifikasikan topik dan gagasan;
7. Menebak makna dari konteks;
8. Mengenal kelas-kelas kata (grammatical word classes);
9. Menyadari bentuk-bentuk dasar sintaksis;

24
10. Mengenal perangkat-perangkat kohesif (recognize cohesive devices);
11. Mendeteksi unsur-unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, preposisi, dan unsur-unsur
lainnya

B. Tujuan Menyimak
Secara umum tujuan menyimak ada dua macam, yaitu tujuan bersifat khusus dan tujuan
bersifat umum. Adapun tujuan yang bersifat khusus adalah untuk memperoleh informasi,
menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si pembicara
melalui ujaran. Namun tujuan yang bersifat umum tersebut dapat dipecah-pecah menjadi
beberapa bagian sesuai dengan aspek tertentu yang ditekankan. Adapun tujuan menyimak
menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut.
a. Mendapatkan fakta
Mendapatkan fakta dapat dilakukan melalui penelitian, riset, eksperimen, dan membaca. Cara
lain yang dapat dilakukan adalah menyimak melalui radio, tape recorder, TV, dan
percakapan.
b. Menganalisis fakta
Fakta atau informasi yang telah terkumpul dianalisis. Kaitannya harus jelas pada unsur-unsur
yang ada, sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Apa yang disampaikan penyimak harus
dikaitkan dengan pengetahuan dan pengalaman penyimak dalam bidang yang sesuai.
c. Mendapatkan inspirasi
Dapat dilakukan dalam pertemuan ilmiah atau jamuan makan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan ilham. Penyimak tidak memerlukan fakta baru. Mereka yang datang diharapkan
untuk dapat memberikan masukan atau jalan keluar berkaitan dengan masalah yang dihadapi.
d. Menghibur diri
Para penyimak yang datang untuk menghadiri pertunjukkan sandiwara, musik untuk
menghibur diri. Mereka itu umumnya adalah orang yang sudah jenuh atau lelah sehingga
perlu menyegarkan fisik, mental agar kondisinya pulih kembali.
C. Peranan Menyimak
Tahapan-tahapan dari menyimak adalah sebagai berikut:
1. Mendengar
2. Memahami

25
3. Menginterpretasi
4. Mengevaluasi
5. Menanggapi

D. Jenis-jenis Menyimak
1. Sumber suara
Berdasarkan sumber suara yang disimak, penyimak dibagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Intrapersonal listening atau menyimak intrapribadi
b. Interpersonal listening atau penyimak antar pribadi
2. Cara menyimak bahan yang disimak berdasarkan pada cara penyimakan bahan yang disimak,
dapat diklarifikasikan sebagai berikut:
a. Menyimak ekstensif (extensive listening)
Menyimak ekstensif ialah kegiatan menyimak tidak memerlukan perhatian, ketentuan dan
ketelitian sehingga penyimak hanya memahami seluruh secara garis besarnya saja.
b. Menyimak intensif
Menyimak intensif adalah kegiatan menyimak dengan penuh perhtian, ketentuan dan
ketelitian sehingga penyimak memahami secra mendalam. Menyimak intensif meliputi:
c. Menyimak kritis
Menyimak kritis ialah kegiatan menyimak yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk
memberikan peniin secara objektif, menentukan keaslian, kebenaran, dan lebih kelebihan
serta kekurangan-kekurangannya.
d. Menyimak introgatif
Menyimak introgatif ialah kegiatan menyimak yang bertujuan memperoleh informasi
dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepada pemerolehan
informasi tersebut.
e. Menyimak ekploratif
Menyimak ekploratif ialah kegiatan menyimak yang dilakukan dengan penuh perhatian
untuk mendapatkan informasi baru.
f. Menyimak kreatif
Menyimak kreatif ialah kegiatan menyimak yang bertujuan untuk mengembangkan daya
imajinasi dan kreativitas pembelajaran.

26
g. Menyimak konsentratif
Menyimak konsentratif ialah kegiatan menyimak yang dilakukan dengan penuh perhatian
untuk memperoleh pemahaman yang baik terhadap informasi yang disimak.
h. Menyimak selektif
Menyimak selektif ialah kegiatan menyimak yang dilakukan secara selektif dan terfokus
untuk mengenal, bunyi-bunyi homogen, kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, dan bentuk-
bentuk, bahasa yang sedang dipelajarinya.

E. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Menyimak


1. Faktor fisik
Kita telah mengetahui bahwa kondisi fisik seseorang penyimak memang merupakan
faktor pening yang turut menentukan keefektifan serta kualitas keaktifannya dalam menyimak.
Sebagai misal, ada orang yang sukar mendengar. Dalam keadaan yang serupa itu, dia mungkin
saja terganggu serta dibingunggkan oleh upaya yang dilakukannya untuk mendengar, atau dia
mungkin kehilangan ide-ide pokok seluruhnya. Kesehatan serta kesejahteraan fisik merupakan
suatu modal penting yang turut menentukan bagi setiap penyimak.
2. Faktor psikologis
Di samping faktor-faktor fisik yang telah dikemukakan tadi, masih terdapat faktor-faktor
yang kerap kali lebih sulit diatasi, yang melibatkan sikap-sikap dan sifat-sifat pribadi, yaitu
faktor-faktor psikologis dalam menyimak. Faktor-faktor ini antara lain mencakup masalah-
masalah:
a. Prasangka dan kurangny simpati terhadap para pembicara dengan aneka sebab dan alasan.
b. Keegoisentrisan dan keasyikan terhadap minat pribadi serta masalah pribadi
c. Kepicikan yang menyebabkan pandangan yang kurang luas.
d. Kebosanan dan kejenuhan yang menyebabkan tiadanya perhatian sama sekali pada pokok
pembicaraan.
e. Sikap yang tidak layak terhadap sekolah, terhadap guru, terhadap pokok pembicaraan, atau
terhadap sang pembicara.
3. Faktor pengalaman
Agaknya tidak perlu disangsikan lagi bahwa sikap-sikap kita merupakan hasil
pertumbuhan, perkembangan pengalaman kita sendiri. Kurangnya atau tiadanya minat pun

27
agaknya merupakan akibat dari pengalaman yang kurang atau tidak ada sama sekali pengalaman
dalam bidang yang akan disimak itu.
4. Faktor sikap
Setiap orang akan cenderung menyimak secara saksama pada topik –topik atau pokok-
pokok pembicaraan yang dapat dia setujui ditimbang pada yang kurang atau tidak disetujuinya.
Sikap ini adalah wajar dlam kehidupan ini. Kita memang cenderung menyingkirkan atau
menghilangkan hal-hal yang dapat membuat kita goyah, membuat kita tidak seimbang, atau yang
justru membuat kita mempertanyakan posisi kita sendiri pada suatu pokok tertentu.
5. Fakor motivasi
Motivasi merupakan salah satu butir penentu keberhasilan seseorang. Kalau motivasi
kuat untuk mengerjakan sesuatu maka dapat diharapkan orang itu akan berhasil mencapai tjuan.
Begitu pula halnya dengan menyimak. Kebanyakan kegiatan menyimak melibatkan sistem
peniaian kita sendiri. Kalau kita dapat memeperoleh sesuatu yang berharga dari pembicaraan itu,
maka kita pun akan bersemangat menyimaknya dengan tekun dan saksama.
F. Menyimak Sebagai Suatu Proses dan Keterampilan
Keterampilan berbahasa (atau languange art, languange skill) dalam kurikulum di sekolah
biasanya mencakup empat segi,yaitu:
a. Keterampilan menyimak (listening skill)
b. Keterampilan berbicara (speaking skill)
c. Keterampilan membaca (reading skill)
d. Keterampilan menulis (writing skill)
Setiap keterampilan itu erat sekali berhubungan dengan keempat keterampilan lainnya
dengan cara yang beraneka ragam. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya kita
melalui suatu hubungan urutan yang terakhir. Selanjutnya setiap keterampilan itu erat pula
berhungan dengan proses-proses berpikir yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang
mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula
jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan
banyak latihan melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir
G. Metode Pembelajaran Menyimak
Pada dasanya terdapat banyak Metode Pembelajaran Menyimak di Sekolah Dasar kelas
rendah di antaranya

28
1. Metode berkisah
Diberikan oleh guru di depan kelas dengan membawakan sebuah kisah. Dongeng dan
fabel dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran dengan metode berkisah. Metode berkisah
tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dialog dan humor
dengan suara berubah-ubah.
2. Metode pembacaan
Pembacaan yang menarik dicontohkan oleh guru di depan kelas dapat mengundang
perhatian siswa untuk ikut terlibat dan berempati dalam suasana karya sastra yang dibacanya.
Siswa kelas 1-3 sekolah dasar dapat dengan cepat menangkap irama puisi atau cerita pendek
yang dibacakan oleh gurunya tanpa menghiraukan maknanya.
3. Metode tanya-jawab
Pertanyaan diberikan guru kepada siswa, setelah siswa itu mendengarkan cerita gutu atau
menonton pertunjukan pentas karya sastra. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk ukuran
kelas rendah biasanya lebih sederhana seperti siapa tokoh dalah cerita tersebut ? dimana kisah
tersebut terjadi ? dsb.
4. Metode penugasan
Guru dapat memberi tugas membaca, mendengar, ataupun menonton pertunjukan karya
sastra baik di dalam kelas ataupun sebagai pekerjaan rumah.
H. Teknik Pembelajaran Menyimak
Teknik atau cara pengajaran menyimak di Sekolah Dasar dapat dilakukan secara variatif
untuk menghindari kesan yang monoton terhadap strategi mengajar guru di Sekolah Dasar.
Selain itu, melalui penggunaan teknik menyimak yang beragam menjadikan pembelajaran lebih
menarik bagi siswa. Adapun beberapa teknik menyimak yang dapat digunakan guru dalam
proses belajar mengajar di Sekolah Dasar, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Teknik Ulang-Ucap (Menirukan)
Teknik ini biasa digunakan guru pada siswa yang belajar bahasa permulaan, baik belajar
bahasa ibu maupun bahasa asing. Teknik ini digunakan untuk memperkenalkan bunyi bahasa
dengan dengan pengucapan atau lafal yang tepat dan jelas oleh guru.
Dengan teknik ini, pertama-tama guru mengucapkan kata-kata yang sederhana, seperti
“mata”, misalnya, kemudian guru memperjelas kata tersebut dengan cara
mendemonstrasikannya; guru menggunakan jari tangannya untuk menunjuk salah satu bagian

29
wajahnya, yaitu mata. Langkah kedua, guru mengucapkan kata “mata” dengan jelas dan keras,
siswa diminta menyimaknya dengan baik, kemudian menirukan apa yang diucapkan guru.
Langkah ketiga, guru memberikan latihan ekstensif dengan mengulang kata-kata yang sudah
dikenalkan, kemudian menambah kosa kata serta mengenalkan struktur kalimat kepada siswa
sampai siswa dapat mengucapkan kata-kata dengan tepat, dan akhirnya menggunakan kata itu
dalam struktur yang sederhana.
2. Teknik Informasi Beranting
Guru memberi informasi kepada salah seorang siswa kemudian informasi tersebut
disampaikan kepada siswa di dekatnya; begitu seterusnya, informasi disampaikan secara
beranting. Siswa yang menerima informasi terakhir, mengucapkan keras-keras informasi tersebut
di hadapan teman-temannya. Dengan demikian, kita tahu apakah informasi itu tetap sama dengan
sumber pertama atau tidak. Jika tetap sama, berarti daya simak siswa sudah cukup baik, akan
tetapi, bila informasi pertama berubah setelah beranting, ini berarti daya simak siswa masih
kurang
Contoh Informasi: Andi membeli mie bersama Rani tadi pagi.
3. Teknik Satu Mulut Satu Kelas
Guru membacakan sebuah wacana yang dapat berupa artikel atau cerita di hadapan siswa,
dan siswa diminta menyimak baik-baik. Sebelum siswa menyimak, guru memberi penjelasan
tentang apa-apa yang pernah disimak. Setelah guru selesai membacakan, guru dapat meminta
siswa, misalnya:
a. menceritakan kembali isi materi yang disimaknya;
b. menyebutkan urutan ide pokok dari apa yang disimak;
c. menyebutkan tokoh atau pelaku cerita dari apa yang disimaknya;
d. menemukan makna yang tersurat dari apa yang disimaknya;
e. menemukan makna yang tersirat dari apa yang disimaknya;
f. menemukan ciri-ciri atau gaya bahasa yang digunakan dalam wacana yang dibacakan;
g. menilai isi dari apa yang disimaknya
Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan guru kepada siswa tentu saja harus disesuaikan
dengan tujuan yang telah dirumuskan. Dalam penggunaan teknik ini, guru dituntut untuk dapat
membaca dengan baik sesuai dengan jenis wacana yang dibacanya. Oleh karena itu, guru perlu

30
menyiapkan benar-benar bahan bacaan dan cara membacanya, jangan sampai siswa mengalami
kesulitan memahami isi yang disimaknya hanya karena pembacaan yang kurang siap.
4. Teknik Satu Rekaman Satu Kelas
Guru terlebih dahulu menyiapkan rekaman melalui kaset (tape recorder), CD, ataupun
laptop yang berisi ceramah, pembacaan puisi, pidato, cerita/dongeng, drama, dan sebagainya.
Kemudian guru memberi petunjuk-petunjuk sebelum kaset di putar tentang hal-hal yang perlu
disimak. Setelah itu guru memutar rekaman yang telah disiapkan sebelumnya (dongeng,
misalnya). Siswa diminta menyimak baik-baik. Rekaman dapat diputar ulang bila siswa belum
dapat mengikuti tentang apa yang diputar. Kemudian siswa diberikan tugas menjawab
pertanyaan-pertanyaan untuk menguji pemahamannya terhadap rekaman yang disimaknya,
seperti:
a. apa tema dari dongeng yang anak-anak simak?
b. siapa yang menjadi tokoh dalam dongeng tersebut?
c. bagaimana watak dari tokoh tersebut?
d. sebutkan amanat yang terdapat dalam dongeng tersebut! dan lain-lain.
5. Teknik Group Cloze
Dalam penggunaan teknik ini, guru membacakan sebuah wacana sekali, siswa diminta
menyimak baik-baik. Kemudian, guru membacakan lagi wacana tersebut dengan cara membaca
paragraf awal penuh, sedangkan paragraf berikutnya ada beberapa kata atau kelompok kata yang
dihilangkan. Setelah itu, tugas siswa adalah memikirkan konteks wacana dan mengisi tempat
yang kosong dengan kata-kata atau peristilahan atau kelompok kata yang asli dari wacana yang
dibacakan sebelumnya.
6. Teknik Parafrase
Dalam penggunaan teknik ini, guru terlebih dahulu menyiapkan sebuah puisi untuk
disimak oleh siswa. Setelah itu, guru membacakan puisi yang telah disiapkan dengan jelas.
Kemudian setelah siswa selesai menyimak, siswa secara bergiliran disuruh menceritakan
kembali isi puisi yang telah disimaknya dengan kata-kata sendiri. Dalam menerapkan teknik ini,
guru harus menyesuaikan dengan perkembangan kebahasaan siswa, agar dalam pelaksanaannya
dapat berjalan sesuai tujuan.

31
7. Teknik Simak Lihat ucap
Sesuai dengan nama teknik ini, penyimak terlibat dalam pembicaraan. Dalam
pelaksanaan teknik ini guru dapat menugaskan siswa mengadakan wawancara, misalnya dengan
guru wali, guru pengajar bahasa Bali, budayawan. Sebelum mengadakan wawancara, siswa
diminta menyiapkan apa yang perlu ditanyakan kepada orang yang diwawancarai. Tugas
selanjutnya siswa menyusun hasil wawancara yang kemudian diserahkan kepada guru untuk
teliti.
8. Teknik Simak Bebas Libat ucap
Teknik ini senada dengan teknik simak libat cakap yang mementingkan keterlibatan
penyimak dalam pembicaraan. Penyimak di sini hanya berlaku sebagai pemerhati yang penuh
minat, tekun menyimak apa yang disampaikan oleh pembicara sehingga penyimak dapat
memahami isi pembicaraan, tujuan pembicaraan, menganalisis apa yang dibicarakan, serta
akhirnya menilai isi pembicaraan.

Latihan
1. Jelaskan Pengertian menyimak,
2. Jelaskan tujuan menyimak
3. Jelaskan peranan menyimak
4. Jelaskan maksud menyimak sebagai peroses dan keterampilan
5. Jelaskan jenis-jenis menyimak
6. Jelaskan factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan menyimak.
7. Jelaskan cirri-ciri menyimak ideal.
8. Jelaskan cara meningkatkan keterampilan menyimak peserta didik
9. Jelaskan bagaimana cara saudara menentukan materi pembelajaran yang sesuai dengan
pembelajaran menyimak.
10. Rancanglah sebuah metode pembelajaran dengan materi yang telah saudara pilih dalam
pembelajaran menyimak.

32
BAB 4.
BERBICARA

Kemampuan Akhir yang Diharapkan

Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa mampu menjelaskan efektifitas


berbicara, faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas berbicara. Mahasiswa mampu
menerapkan bahan, metode serta penilaian pembelajaran berbicara di Sekolah Dasar.

A. Pengertian Berbicara
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan dan
menyatakan serta menyampaikan pikiran, ide, dan perasaan kepada orang lain. Di samping itu,
kegiatan berbicara merupakan gambaran tingkah laku atau kerpribadian seseorang. Terbentuknya
kepribadian ini ridak sekaligus, tapi harus dilatih dan dipelajari secara bertahap dan
berkesinambungan.
B. Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Tujuan tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Untuk menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain, yakni mampu berkomunikasi
mengenai sesuatu dalam bentuk bahasa lisan.
2. Menyampaikan pesan kepada orang lain yang secara sosial dapat diterima, tidak
menyinggung, nerendahkan, dan sebagainya.
Sedangkan program pengajaran berbicara haruslah mampu memberikan kesempatan
kepada setiap individu mencapai tujuan yang dicita-citakan. Menurut M.E Fowler (dalam
Ahmadi, 1990: 19-20), tujuan menyeluruh dari program pengajaran keterampilan berbicara akan
mencakup hal-hal berikut.
1. Mudah dan lancar
Siswa harus mendapat kesempatan yang besar untuk berlatih berbicara sampai mereka
mengembangkan ketarmpilan ini secara wajar, lancer, dan menyenangkan, baik di dalam
kelompok kecil maupun dihadapan pendengar umum yang lebih besar.

33
2. Kejelasan
Dalam hal ini, dimaksudkan agar siswa dapat berbicara dengan tepat dan jelas, baik artikulasi
maupun diksi. Gagasan yang diucapkan harus tersusun dengan baik. Dengan berdiskusi
mangatur cara berfikir yang logis dan jelas.
3. Bertanggung jawab
Latihan berbicara yang bagus menekankan pembicara untuk bertanggung jawab agar
berbicara secara tepat dan dipikirkan dengan sungguh-sungguh menganai topik yang
dibicarakan, tujuan, dan siapa yang diajak berbicara.
4. Membentuk pendengaran yang kritis
Latihan berbicara yang baik sekaligus mengembangkan keterampilan menyimak secara tepat
dan kritis.
Teori komunikatif tidak menekankan suatu model, tetapi mencoba menerangkan
kebenaran jalan pikirannya mengenai apa sebenarnya komunikasi itu. Yang banyak dipersoalkan
oleh guru bahasa mengenai teori ini bukanlah jalan pikirannya, tetapi penerepannya dalam situasi
ketika kemampuan komunikatif diartikan dalam arti yang terlalu sempit.
Jadi, hingga saat ini kita masih belum pasti mengenai metode mana yang paling efektif
digunakan dalam mengajar berbicara kepada siswa. Kita mengenal gejala siswa yang mampu
mengetahui dan menghafal pola kalimat, tetapi belum mampu berkomunikasi dengan baik.
Gejala ini disinyalir oleh guru bahasa sebagai gejala yang kurang memuaskan.
C. Faktor-Faktor Berbicara
Jika seseorang ingin mahir berbicara, maka faktor-faktor berikut harus dikuasai. Faktor-
faktor tersebut meliputi (1) kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi ujaran dengan benar, (2)
kemampuan mengorganisasikan bahan yang hendak disampaikan, (3) kemampuan memahami
informasi secara tepat, efektif, dan kreatif, dan (4) mempunyai rasa kepemimpinan dan sikap
untuk berbicara.
Kegiatan mengekspresikan dan menyajikan gagasan melibatkan unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Pesan
2. Bahasa pengemban pesan atau gagasan
3. Media penyampaian
4. Arus bunyi ujaran yang dikirim oleh pembicara

34
5. Upaya menyimak untuk menangkap arus bunyi ujaran dan mengamati gerak mimic
pembicara serta usaha mengamati penyampaian gagasan lewat media visual.
6. Usaha menyimak untuk meresapkan, menilai, mengembangkan gagasan yang disampaikan.
Dari keenam unsur yang terlibat tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur
penting dalam kegiatan berbicara, yaitu (1) pembicara, (2) penyimak, dan (3) medan pembicara.
Unsur pembicara memiliki tugas dalam menata gagasan, media kebahasaan, dan menyampaikan
atau mengirimkan bunyi-bunyi ujaran. Unsur medan pembicara berfungsi sebagai penerima
bunyi-bunyi ujaran yang bermakna yang disampaikan oleh pembicara.
D. Bahan Pengajaran Berbicara
Pembelajaran bahasa Indonesia, guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran
sesuai dengan aspek ketrerampilan berbahasa. Kompetensi pembelajaran terkait dengan berbagai
faktor. Salah satunya adalah faktor siapa yang berkomunikasi. Artinya, bahwa penentuan dan
pemilihan bahan ajar harus menyesuaikan tingkat peserta didik.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan guru bahasa dalam menentuka bahan ajar
keterampilan berbicara, yaitu:
1. Tingkat Keterbacaan
Keterbacaan berasal dari kata dasar “terbaca” mendapat simulfik ke-an yang mengandung
makna aktif produktif. Dengan demikian, yang dimaksud dengan tingkat keterbacaan adalah
kemampuan siswa dalam memahami wacana yang meliputi diksi, kalimat, tema, maupun
laur dapat terbaca oleh siswa.
2. Tingkat Kesesuaian
Kesesuaian wacana yang kita pilih sebagai bahan pembelajaran bagi siswa ditentukan oleh
tingkat perkembangan usia anak. Jadi, apabila kita memilih dan menentukan wacana sebagai
bahan pembelajaran anak harus memperhatikan tingkat kematangan baik pengetahuan
maupun mental anak itu sendiri. Usia siswa kelas 1 dan siswa kelas 6 jelas berbeda. Maka
dari itu guru harus pandai memilih wacana yang cocok untuk disampaikan kepada siswa
sesuai dengan jenjang atau tingkat berfikirnya.
Untuk mencapai kedua hal di atas, Nababan (1993: 174) menyarankan aktivitas-aktivitas
yang dapat disajikan oleh guru bahasa berdasarkan situasi dan kondisi. Aktivitas-aktivitas yang
disarankan meliputi:
1. Aktivitas Prakomunikatif

35
Yang dimaksud prakonmunikatif adalah bahwa siswa belum dapat dinamakan komunikatif,
karena belum ada unsure yang diperlukan agar suatu komunikasi disebut wajar.
2. Aktivitas Komunikatif
Berbeda dengan aktivitas pra-komunikatif, pada tahap komunikatif, siswa sudah mulai
mendapatkan informasi baru yang dapat digunakan sebagai bahan komunikasi.
E. Metode Pengajaran Berbicara
Setelah kita menemukan bahan atau formula yang tepat untuk disampaikan kepada
siswa, langkah-langkah selanjutnya adalah menentukan metode apa yangtepat digunakan untuk
menyampaikan materi pengajaran. Metode yang dapat digunakan dalam pengajaran berbicaa
sesuai dengan tingkatannya meliputi:
1. Aktivitas Prakomunikatif
Metode yang dapat digunakan dalam aktivitas prakomunikasi dalah:
a. Teknik dialog sederhana, yakni menhafalkan kalimat-kalimat dalam suatu dialog dan
mendramatisasikannya secara lancar sebelum melatih dengan driil struktur dan kosakata.
Manfaatannya penghafalan dialog adalah untuk menambah kelancaran dan untuk mengurangi
keragu-raguan dalam pelafalan.
b. Teknik dialog dengan gambar. Guru membawa gambar-gambar sebagai alat bantu dan
menunjukkannya kepada siswa sambil bertanya “Gambar apa ini?”yang akan dijawab oleh
siswa, misalnya, “Itu gambar kuda”.
c. Dramatisasi suatu tindakan, misalnya, guru berlari, berjalan, tersenyum, tertawa, dan lain
sebagainya. Guru bertanya sambil melakukan tindakan itu “Apa yang sedang saya lakukan?’,
kemudian dijawab oleh siswa, misalnya, “Anda sedang berlari”.
d. Menyelesaikan kalimat, paragraf atau cerita pendek. Guru memberi kalimat yang belum
selesai,dan siswa diminta menyelesaikannya.
Sementara itu, Tarigan (1986: 90) menyampaikan sejumlah metode yang dapat
digunakan dalam pengajaran berbicara, yaitu:
a. Ulang-ucap. Guru menyampaiakan dan siswa mengikuti apa yang diucapkan guru.
b. Lihat-ucapkan. Guru memperlihatkan kepada siswa benda tertentu kemudian siswa
menyebutkan nama benda tersebut. Benda yang dipilih harus disesuaikan denga lingkungan
siswa.

36
c. Menjawab Pertanyaan. Teknik ini digunakan untuk memancing siswa yang susah atau malu
berbicara. Tentunya pertanyaan yang diajukan haruslah pertanyaan yang dapat dijawab oleh
siswa.
d. Melanjutkan. Gru menyampaikan cerita sederhana dan siswa melanjutkan cerita yang
disampaikan guru.
e. Reka gambar. Guru memberikan potongan gambar dan siswa diminta ntuk menyusunnya.
Selanjutnya siswa menceritakan sebuah cerita berdasarkan gambar yang disusunnya.
2. Aktivitas Komunikatif
Dalam bagian ini, guru mulai mengurangi penguasaannya dalam kelas dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk lebih banyak berbicara daripada guru. Penyajianlatihan-latihan
harus bertahap. Guru bahasa dianjurkan untuk memilih yang mana yang sesuai bagi kelasnya.
Teknik yang dapat digunakan pada tahap konunikatif adalah:
a. Belajar secara berkelompok. Yakni, guru membagi kelas dalam kelompok-kelompok. Setiap
kelompok mempunyai ketua. Para siswa begantian mengatakan sesuatu yang disambung
oleh teman sekelompoknya sehingga mengatakan sesuatu yang disambung oleh teman
sekelompoknya sehingga membentuk satu cerita yang lengkap. Guru berkeliling dari satu
kelompok ke kelompok lain dan memberi jawaban kalau diminta.
b. Bermain peran. Guru dapat memberi peran untuk dimainkan para siswa. Untuk siswa yang
tingkat kebahasaannya masih rendah, peran itu dapat dibuat yang sederhana, misalnya,
“Andaikata kamu jadi guru, dan Wahyu adalah seorang siswa yang terlambat masuk kelas,
apa yang akan dikatakan oleh keduanya?”. Coba peragakan!
c. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dalam bentuk Tanya jawab. Kegiatan ini dapat
membantu sisiwa dalam mengembangkan kemmapuan
berbicaranya. Wawancara dapat dilkukan dengan keluarga maupun orang lain tergantung
dari tujuan yang ingin dicapai.
d. Parafrase. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa melalui
sastra. Misalnya, menyampaikan makna isi puisi
e. Formula sosial dan dialog-dialog. Yang dimaksud dengan metode ini adalah penyajian
formula-formula sosial yang diperlukan orang untuk berkomunikasi, seperti memberi
hormat, mengucapkan salam, meminta maaf, dan lain sebagainya.

37
f. Tugas-tugas yang berorientasi pada masyarakat. Yang dimaksud dengan metode ini adalah
siswa belajar berkomunikasi dengan penutur asli di luar kelas. Ini hanya dapat dilakukan di
mana banyak orang penutur asli, misalnya, ditempat wisata. Siswa mencoba berlatih
berbicara dengan cara berwawancara atu berdialog dengan orang lain dengan bahan yang
sudah disiapkan oleh guru.

F. Tes Dalam Penilaian Pengajaran Berbicara


Tes kemampuan berbicara termasuk salah satu tes yang sangat sulit dilaksanakan. Hal
ini karena kemampuan berbicara tidak mudah didefinisikan sehingga me nimbulkan perbedaan
pendapat dalam menetukan kriteria asesmennya. Berukut in akan diapaprkan beberapa contoh tes
yang dapat dilakukan dalam penilaian berbicara.
1. Tes respon terbimbing
Tes ini digunakan untuk mengukur kelancaran dan keberanian siswa dalam
menyampaiakan informasi secara lisan. Hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat kesukaran
dan tingkatan siswa. Tes dapat dimulai dari hal yang sederhana, misalnya, bertanya tentang
teman.
2. Tes bercerita singkat.
Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam mendeskripsikan dan
menganalisis informasi berdasarkan gambar atau pengalaman. Misalnya, menceritakan pengalan
pribadi maupun pengalanman orang lain.
3. Tes berbicara bebas
Tes ni digunakan untuk siswa yang berada pada kelas tinggi. Misalnya, guru meminta
siswa untuk memilih topik tertentu dan selanjutnya siswa menyampaikan informasi secara lisan
yang berhubungan dengan topik yang dipilihnya.

Latihan

1. Jelaskan Pengertian berbicara,


2. Jelaskan peranan berbicara
3. Jelaskan tujuan berbicara
4. Jelaskan konsep dasar berbicara
5. Jelaskan jenis-jenis berbicara

38
6. Jelaskan factor-faktor yang mempengaruhi efektivitas berbicara
7. Jelaskan cirri-ciri pembaca ideal
8. Rancanglah rancangan pembelajaran berbicara di sekolah
9. Jelaskan cara saudara memilih materi dalam pembelajaran berbicara di sekolah.
10. Rancanglah sebuah metode pembelajaran
11. Rancanglah sebuah system penilaian dalam

39
BAB 5
MEMBACA

Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa mampu menjelaskan hakikat
membaca, mengidentifikasi tujuan membaca, menjelaskan proses membaca, menjelaskan jenis-
jenis membaca dan tahap-tahapan membaca.

A. Hakikat Membaca
Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit yang melibatkan banyak hal, tidak
hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan aktivitas visual, berfikir,
psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses visual membaca merupakan proses
menerjemahkan simbol tulis(huruf kedalam kata-kata lisan).Sebagai suatu poses berfikir,
membaca, mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis
dan membaca kreatif. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas membaca kata-kata dengan
menggunakan kamus (Crawley dan Mountain, 1995).
Menurut Burns (1996:7-17) dan Syai’ie (1993 : 42-45) proses membaca terdiri atas
delapan aspek. Kedelapan aspek-aspek tersebut adalah (1) aspek sensori, yakni kemampuan
untuk memahami simbol-simbol tertulis; (2) aspek perseptual, yakni aspek kemampuan untuk
menginterpretasi apa yang dilihatnya sebagai simbol atau kata; (3) aspek sekuensial, yakni
kemampuan mengikuti pola-pola urutan, logika, dan gramatikal teks; (4) aspek asosiasi, yakni
aspek kemampuan mengenal hubungan antara simbol dan bunyi, dan antara kata-kata dan yang
dipresentasikan; (5) aspek pengalaman, yakni aspek kemampuan menghubungkan kata-kata
dengan pengalaman yang telah dimiliki untuk memberikan makna itu; (6) aspek berpikir, yakni
kemampuan untuk membuat interferensi dan evaluasi dari materi yang dipelajari; (7) aspek
belajar, yakni aspek kemampuan untuk mengingat apa yang telah dipelajari dan
menghubungkannya dengan gagasan dan fakta yang baru dipelajari; (8) aspek afektif, yakni
aspek yang berkenaan dengan minat pembaca yang berpengaruh terhadap keinginan membaca.
Aspek-aspek ini tidak selalu dilaksanakan dengan cara yang sama oleh pembaca yang berbeda.
Interaksi antara kedelapan aspek secara harmonis akan menghasilkan hasil membaca yang baik,
yakni komunikasi yang baik antara penulis dan pembaca.

40
Tiga istilah sering digunakan untuk membaca, yaitu recording, decoding, dan meaning.
Klein, dkk. (1996 mengemukakan bahwa defenisi membaca mencakup:
1. Membaca merupakan suatu proses
2. Membaca adalah strategis
3. Membaca merupakan interaktif
Pada hakikatnya, tindakan membaca terdiri atas dua bagian, yaitu membaca sebagai
proses dan membaca sebagai produk (Burns dan Roe, 1996: 13, Syafiie 1993;42). Membaca
sebagai proses mengacu pada aktivitas, baik yang bersifat mental maupun fisik, sedang membaca
sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan pada saat membaca.
B. Tujuan Membaca
Pembelajaran bahasa Indonseia di SD bertujuan meningkatkan kemampuan siswa
berkomunikasi secara efektif, baik lisan maupun tertulis. Keterampilan membaca sebagai salah
satu keterampilan berbahasa tulis yang bersifaf reseptif perlu dimiliki siswa SD agar mampu
berkomunikasi secara tertulis. Oleh karena itu, peranan pengajaran bahasa Indonesia khususnya
pengajaran membaca di SD menjadi sangat penting. Peran tersebut semakin penting bila
dikaitkan dengan tuntutan pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi (Joni, 1995:5)
Pengajaran bahasa Indonesia di SD yang bertumpu pada kemampuan dasar membaca dan
menulis juga perlu diarahkan pada tercapainya kemahirwacanaan.
Kemahirwacanaan dalam konteks ini sejalan dengan konsep kemahirwacanaan yang
dikemukakan oleh Wells (dalam Joni, 1995:7), yakni kemahirwacanaan modus kritis dan
imajinatif. Kemahirwacanaan tersebut ditandai dengan kemampuan memaknai, meringkas,
menjelaskan, dan menyintesiskan informasi dalam teks. (Kathryn; 1995:15).
Pembelajaran membaca di SD menjadi bagian penting dari pembelajaran bahasa
Indonedsia. Syafi’ie, (1999:2) menyatakan bahwa melalui pembelajaran membaca siswa
diharapkan, antara lain: (1) memperoleh informasi dan tanggapan yang tepat atas berbagai hal;
(2) mencari sumber, menyimpulkan, menyaring, dan menyerap informasi dari bacaan; serta (3)
mampu mendalami, menghayati, menikmati, dan menarik manfaat dari bacaan.
Aspek-aspek keterampilan untuk memahami isi bacaan itu ada bermacam-macam Burns
dan Roe (1996:225), Rubin (19820; dan Syafi’ie (1993) menyebutkan empat tingkatan atau
kategori pemahaman membaca, yaitu literal, inferensial, kritis, dan kreatif. Pembahasan

41
mengenai tingkat pemahaman berikut mengacu pada Burns dan Roe sebagaimana diuraikan
sebagai berikut.
Pemahaman literal adalah kemampuan memahami informasi yang dinyatakan secara
eksplisit dalam teks. Pemahaman literal merupakan pemahaman tingkat paling rendah. Walaupun
tergolong tingkat rendah, pemahaman literal tetap penting, karena dibutuhkan dalam proses
pemahaman bacaan secara keseluruhan. Pemahaman literal merupakan prasyarat bagi
pemahaman yang lebih tinggi (Burns dan Roe, 1996:225).Pemahaman inferansial adalah
kemampuan memahami informasi yang dinyatakan secara tidak langsung (tersirat) dalam teks.
Memahami teks secara inferensial berarti memahami apa yang diimplikasikan oleh informasi-
informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Dalam hal ini, pembaca menggunakan
informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks, latar belakang pengetahuan, dan
pengalaman pribadi secara terpadu untuk membuat dugaan atau hipotesis.
Pemahaman kritis merupakan kemampuan mengevaluasi materi teks. Pemahaman kritis
pada dasarnya sama dengan pemahaman evaluatif. Dalam pemahaman ini, pembaca
membandingkan informasi yang ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu,
pengetahuan, dan latar belakang pengalaman pembaca untuk menilai teks.
Pemahaman kreatif merupakan kemampuan untuk mengungkapkan respon emosional dan
estetis terhadap teks yang sesuai dengan standar pribadi dan standar profesional. Pemahaman
kreatif melibatkan seluruh dimensi kognitif membaca karena berkaitan dengan dampak psikologi
dan estetis teks terhadap pembaca. (Hafni, 1981) dalam pemahaman kreatif, pembaca dituntut
menggunakan daya imajinasinya untuk memperoleh gambaran baru yang melebihi apa yang
disajikan penulis.
Penetapan tujuan membaca bagi siswa harus memenuhi dua syarat, yaitu (1)
menggunakan pernyataan yang jelas dan tepat tentang apa yang harus diperhatikan atau dicari
oleh siswa ketika membaca dan (2) memberi gambaran yang mudah ditangkap oleh siswa
tentang apa yang semestinya mampu mereka lakukan setelah selesai membaca.
Jika tujuan membaca telah ditetapkan oleh guru, siswa akan berpikir sungguh-sungguh
untuk memperoleh tujuan membaca mereka. Cara merumuskan tujuan membaca yang ditujukan
oleh guru akan menjadi model bagi siswa pada setiap saat ia akan membaca, yaitu merumuskan
tujuan lebih duhulu, baru kemudian menyesuaikan strategi membaca yang dianggap paling
sesuai.

42
C. Proses Membaca
Membaca merupakan proses yang kompleks. Proses ini melibatkan sejumlah kegiatan
fisik dan mental. Menurut Burns dkk (1997: 7), proses membaca terdiri atas sembilan aspek,
yaitu; sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran, pembelajaran, asosiasi, sikap, dan
gagasan.
D. Jenis-Jenis Membaca
Jenis-jenis membaca diantaranya:
1. Membaca Nyaring
Yaitu suatu kegiatan membaca, yang merupakan alat bagi pembaca, bersama orang lain,
untuk menanggap isi yang berupa informasi, pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Dengan
kata lain, membaca nyaring adalah proses melisankan dengan menggunakan suara, intonasi,
tekanan secara tepat , serta pemahaman makna bacaan oleh pembaca.
2. Membaca dalam Hati
Yaitu kegiatan membaca yang hanya mengandalkan kemampuan fisual, pemahaman,
serta ingatan dalam menghadapi bacaan tanpa mengeluarkan suara atau menggerak, gerakkan
bibir.
3. Membaca Skimming, Skanning atau Memindai
Yaitu membaca dengan cepat suatu bahan bacaan untuk mendapatkan kesan awal atau
untuk menemukan suatu informasi yang kita cari, yang ada dalam bacaan. Membaca skimming
adalah membaca untuk memperoleh kesan umum. Membaca skaning adalah membaca dengan
tujuan untuk mendapatkan informasi khusus saja.
4. Membaca Intensif
Yaitu kegiatan membaca sebuah bacaan secara telitih, dengan tujuan memahami secara
rinci. Menurut H.G Tarigan Membaca intensif ialah membaca yang dilakukan secara seksama
dan merupakan suatu upaya untuk mengasah kemampuan membaca secara kritis. Menurut Brook
Membaca intensif ialah telaah terinci secara pemahaman terinci terhadap suatu bacaan.Jadi,
Membaca intenif ialah kegiatan membaca yang dilakukan dengan penuh seksama terhadap bahan
bacaan sehingga timbul pemahaman yang tinggi.
5. Membaca Telaah Isi

43
Yaitu membacayang dilakukan untuk menelaah isi bacaan.Membaca telitih atau
pemahaman ialah kegiatan membaca yang bertujuan untuk memperoleh pengertian atau
memahami bahan bacaan secara cepat dan tepat.
Dalam membaca pemahaman ada beberapa aspek yang diperlukan:
a. Seorang pembaca harus mempunyai kosa kata yang banyak.
b. Memiliki kemampuan menafsirkan makna kata
c. Memiliki kemampuan ide pokok
d. Memiliki kemampuan menangkap urutan peristiwa.

6. Membaca Kritis
Yaitu kegiatan membaca yang dilakukan secara bijaksana, mendalam efektif, analisis,
dan bukan ingin mencari kesalahan penulis.Dalam membaca kritis diperlukan kemampuan
berfikir bersikap kritis dalam mengolah bahan bacaan.
7. Membaca Cepat
Yaitu kegiatan membaca yang dilakukan secara cepat, disertai dengan pemahaman
terhadap isi bacaan. Kecepatan membaca bisa disebut kemampuan membaca. Kemampuan
membaca ialah kecepatan yang dicapai pembaca berdasarkan rumus jumlah banyaknya kata
dibagi dengan waktu yang diperlukan dikalikan dengan jumlah detik dalam 1 menit.
8. Membaca Paragraf
Yaitu satuan pengembangan terkecil, dari suatu karangan . Dalam paragrap mesti
mengandung pikiran pokok atau gagasan utama dijabarkan oleh kalimat penjelas.
9. Membaca artikel
Yaitu artikel bisa berupa opini, bisa berupa hal yang baru diperbincangkan, headline
news, berupa argumentasi.
E. Tahapan Membaca
Tahapan membaca sebagai berikut;
1. Prabaca
Yaitu tahapan yang dilaksanakan sebelum siswa melakukan kegiatan membaca. Dalam
kegiatan prabaca guru mengarahkan perhatian pada pengaktifan skemata siswa yang
berhubungan dengan topik bacaan. Aktivitas yang dilakukan saat prabaca ini menggunakan
pengajaran mini. Pengajaran mini dilakukan untuk membantu siswa membangkitkan pengalaman

44
atau skemata. Salah satu tujuan pengajaran mini untuk aktivitas ini ialah mambantu siswa dalam
mengaktifkan skemata sebelum membaca atau mengisikan skemata pada pembaca, hal ini
penting karena keberhasilan dalam membaca sangat ditentukan oleh pengalaman dan
pengetahuan pendahuluan (prior knowledge) yang dimilki siswa (Aminuddin 1995:4). Selain itu,
pengajaran mini yang bertujuan membangkitkan skemata ini dianggap penting karena aktivitas
tersebut akan membantu guru dalam menciptakan iklim yang lebih kuat bagi pengembangan
afektif minat, sikap positif, dan motivasi.
Aktivitas pada tahap prabaca memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih dan
mencoba kebiasaan untuk memecahkan suatu masalah dan langsung termotivasi untuk menguji
kebenaranya dari bacaan. Di samping itu, siswa akan dapat mengaktifkan skemata untuk
menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan topik yang akan dibaca. Aktivitas yang
dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut.
a. Guru mengelompokan siswa menjadi empat kelompok yang terdiri atas lima siswa.
Pengelompokan siswa berdasarkan perbedaan kemampuan.
b. Guru memperkenalkan topik bacaan. Guru memberikan penjelasan atau pernyataan yang
akan membantu metakognisi siswa dengan cara menghubungkan judul bacaan dengan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa. Dalam hal ini akan membantu
meningkatkan pengetahuannya.
c. Guru memberikan penjelasan tentang tujuan membaca yang akan dilaksanakan.
d. Guru menjelaskan langkah-langkah belajar yang akan dilaksanakan. Penjelasan langkah-
langkah mengajar ini sangat bermanfaat bagi siswa untuk mempersiapkan mental dan
kerangka kerja terhadap metakognisi yang telah dimiliki. Guru memfokuskan perhatian
siswa pada judul bacaan. Dari judul bacaan ini siswa diminta mencoba memprediksi isi
bacaan. Judul bacaan dapat dihubungkan dengan petunjuk-petunjuk yang ada dalam bacaan
seperti gambar dan kata-kata yang menghubungkan dengan pengalaman siswa. Apabila
siswa menemui hambatan dalam memprediksi guru melaksanakan pengajaran mini yaitu
memberi penjelasan singkat cara memprediksi.
e. Guru mencatat di papan tulis semua prediksi yang dikemukakan siswa.
2. Saat Baca
Periode membaca dalam hati merupakan waktu yang ditetapkan guru yang harus
dilaksanakan. Pelaksanaanya dapat perorangan, berpasangan, maupun kelompok. Banyak hal

45
yang harus dibaca dapat ditentukan oleh guru atau kelompok, misalnya sejumlah bab, halaman
atau paragraf. Sewaktu membaca dalam hati siswa dapat menentukan ide pokok dan ide penjelas
dalam setiap paragraf, menemukan alasan tujuan penulis, dan menyimpulkan isi bacaan.
Membaca dalam hati biasanya untuk penikmatan atau kesenangan. Oleh karena itu,
membaca dalam hati sering juga disebut membaca rekreasional, yang memerlukan ketenangan
dan terbebas dari rasa tertekan. Dalam kegiatan membaca dalam hati, siswa dan guru harus
membaca. Guru harus turut serta membaca karena ia sebagai model membaca bagi siswa
(Holaway, 1980). Bila pada waktu membaca dalam hati siswa disuruh membaca tetapi gurunya
tidak ikut serta membaca bahkan tidak berada di kelas, maka ada kemungkinan siswa
menganggap kegiatan membaca sesuatu yang kurang penting.
Setelah kegiatan prabaca kegiatan berikutnya adalah kegiatan saat baca. Beberapa straegi
dan kegiatan bisa digunakan dalam kegiatan saat baca untuk meningkatkan pemahaman siswa.
Pembaca yang baik memandang pembaca sebagai proses memahami, namun pembaca yang
lemah memandang membaca sebagai kegiatan mekanis.
3. Kegiatan Pasca Baca
Aktivitas pascabaca adalah aktivitas pengajaran setelah siswa melakukan kegiatan
membaca. Kegiatan pascabaca ini sangat membantu siswa mengintegrasikan informasi yang baru
dalam menghidupkan skematanya. Dan juga penghadiran pengalaman belajarnya pada tahapan
yang dilaluinya.
Pengajaran pada tahap pascabaca dilakukan dengan cara membaca ulang prediksi awal
yang dikemukakan pada tahap prabaca, bertanya-jawab untuk merevisi/menguji prediksi awal,
melakukan sharing hasil dalam diskusi kelas, serta menjawab pertanyaan tingkat literal,
inferensial, kritis, dan kreatif secara individu
Kegiatan pasca baca digunakan untuk membantu siswa memadukan informasi yang baru
yang dibacanya kedalam skemata yang telah dimilikinya sehingga diperoleh tingkat pemahaman
yang lebih tinggi. Strategi yang dapat digunakan ada tahap pasca baca adalah belajar
mengembangkan bahan bacaan pengajaran, memberikan pertanyaan, menceritakan kembali, dan
presentasi visual.

46
F. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca
Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, baik membaca permasalahan
maupun membaca lanjut (membaca pemahaman). Faktor-faktor yang mempengaruhi membaca
menurut Lamb dan Arnol (Rahim Farida 2007: 6) ada 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Fisiologis
Mencakup kesehatan fisik, pertimbangan neurologis, dan jenis kelamin. Beberapa ahli
mengemukakan bahwa keterbelakangan neurologis (misalnya berbagai cacat otak) dan
kekurangan matang secara fisik merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak
gagal dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman mereka.
2. Faktor Intelektual
Istilah intelegensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berfikir yang terdiri dari
pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponnya secara tepat. Secara
umum ada hubungan antara kecerdasan yang diindikasikan oleh IQ dengan rata-rata peningkatan
remedial membaca. Tingkatan intelegensi membaca itu sendiri pada hakikatnya proses berfikir
dan memecahkan masalah. Dua orang yang berbeda IQnya sudah pasti akan berbeda hasil dan
kemampuan membacanya.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ikut mempengaruhi kemajuan kemampuan membaca murid. Faktor
lingkungan tersebut ialah:
a. Latar belakang dan pengalaman anak dirumah
b. Faktor sosial ekonomi
c. Faktor psikologis
G. Kebiasaan-Kebiasaan Buruk dalam Membaca
Disadari atau tidak, setiap orang membawa kebiasaan membaca yang buruk sehingga
memperlambat kecepatan baca. Kebiasaan buruk yang lazim dimiliki orang adalah sebagai
berikut:
1. Vokalisasi
Sesuai namanya, vokalisasi berarti melafalkan apa yang dibaca. Tingkat vokalisasi ini
berbeda-beda pada tiap orang termasuk tinggi rendahnya bunyi yang dilafalkan. Kebiasaan
vokalisasi saya duga muncul ketika pertama kali kita belajar membaca dan diminta
melafalkannya. Vokalisasi akan menyebabkan kecepatan baca turun drastis menjadi setara

47
kecepatan berbicara. Kecepatan bicara ini sangat lambat sekitar 120 kata permenit (word per
minute/wpm) bahkan jika Anda termasuk orang yang berbicara dengan cepat sekalipun.
2. Gerakan Bibir
Gerakan bibir sangat mirip dengan vokalisasi. Bedanya adalah jika vokalisasi
mengeluarkan suara, maka pada gerakan bibir hanya ada gerakan saja tanpa disertai suara.
Karena alat berbicara yang digunakan pada dasarnya sama yakni menggunakan bibir dan lidah
Anda, maka dapat dipastikan kecepatan membaca dengan cara ini juga setara dengan kecepatan
berbicara.
3. Gerakan Kepala
Kebiasaan berikut ini relatif lebih ringan dari kedua kebiasaan yang pertama. Kebiasaaan
buruk berikutnya adalah menggerakkan kepala dari arah kiri secara teratur perlahan-lahan
bergerak ke kanan mengikuti alur bahan bacaan. Gerakan kepala ini seringkali dilakukan pula
bersamaan dengan pola gerakan mata dengan alur yang mirip.
Gerakan kepala dalam membaca akan mengurangi kecepatan baca karena Anda
membutuhkan waktu tertentu untuk melakukannya. Sebenarnya tanpa menggerakkan kepala
seperti itu bahan bacaan sudah dapat terlihat dan terbaca. Namun, dengan gerakan kepala
biasanya seseorang ingin memastikan bahwa apa yang dibaca sebelumnya telah lewat dan
gerakan tersebut mengindikasikan proses perpindahan ke bahan bacaan berikutnya.
4. Regresi
Regresi adalah sebuah kebiasaan membaca bahan bacaan kemudian mengulangnya
kembali karena khawatir apa yang baru saja dibaca tidak terpahami. Regresi paling sering
dialami mahasiswa yang akan menghadapi ujian apalagi jika sebelumnya tidak punya persiapan.
Ketika membaca suatu paragraph akan muncul perasaan kurang yakin bahwa paragraf tersebut
telah dimengerti kemudian berusaha mengulang lagi dari awal paragraf atau awal baris sampai
beberapa kali.
5. Sub Vokalisasi
Dari namanya kebiasaan buruk yang satu ini punya kemiripan dengan vokalisasi.
Bedanya adalah, jika vokalisasi melafalkan bahan bacaan dengan bersuara, maka sub vokalisasi
adalah membaca di dalam hati. Ketika melakukan proses membaca Anda membaca dalam hati
baik kata per kata, per kelompok kata, atau pun membaca dalam hati dengan cepat. Sub
vokalisasi termasuk yang paling sulit diatasi bahkan oleh pembaca cepat sekalipun. Secara

48
natural ini terjadi dalam diri setiap orang. Sub vokalisasi akan mengganggu jika kecepatan baca
Anda menjadi cenderung rendah karena terlalu “menghayati” kata per kata. Adapun bagi
pembaca cepat, sub vokalisasi biasanya tidak lagi kata per kata melainkan suatu konteks
pemahaman yang “didiktekan ulang” dalam hati atau pikiran anda.

Latihan
1. Jelaskan Hakikat membaca
2. Jelaskan tujuan membaca
3. Jelaskan peroses membaca
4. Jelaskan jenis-jenis membaca
5. Jelaskan tahap-tahap membaca
6. Jelaskan factor-faktor yang mempengaruhi keterampilan membaca
7. Jelaskan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam membaca

49
BAB 6
MENULIS

Kemampuan Akhir yang Diharapkan

Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat


menulis, mengidentifikasi tujuan Menulis, menjelaskan tahap menulis , mengidentifikasi jenis-
jenis menulis.

A. Pengertian Menulis
Menulis adalah kegiatan mengungkapkan pikiran dan gagasan melalui bahasa tulis yang
ditujukan kepada orang lain dan diri sendiri dengan tujuan dan maksud tertentu. Absori
(2005:129) mengatakan, “Menulis adalah suatu proses mengubah bentuk pikiran (perasaan)
menjadi wujud lambang (tulisan).” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:682)
disebutkan bahwa ”Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang,
membuat surat) dengan tulisan.” Tarigan (2005:12) berpendapat, “Menulis adalah merumuskan
atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipakai oleh
seseorang, sehingga orang yang dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut.”
Menurut Jago Tarigan ( 1995: 117) menulis berarti mengekpreikan secara tertulis
gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi
ekspresi melalui bahasa itu akan dimegerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam
bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti.
Menulis bukan sesuatu yang diperoleh secara spontan, tetapi memerlukan usaha sadar
“menuliskan” kalimat dan mempertimbangkan cara mengkomunikasikan dan mengatur (Donn
Byrne. 1988.1) Sejalan dengan itu, menurut Lado (1964. 14) menulis adalah meletakkan symbol
grafis yang mewakili bahasa yang dimengerti orang lain. Jadi, orang lain dapat membaca simbol
grafis itu, jika mengetahui bahwa itu menjadi bagian dari ekspresi bahasa. Semi (1990. 8)
jugamengatakan bahwa menulis pada0hakikatnya merupakan pemindahan pikiran atau perasaan
ke dalam bentuklambang bahasa.
Menurut Gere (1985.4), menulis dalam arti komunikasi ialah menyampaikan
pengetahuan atau informasi tentang subjek. Menulis berarti mendukung ide. Byrne (1988. 1),

50
mengatakan bahwa menulis tidak hanya membuat satu kalimat atau hanya beberapa hal yang
tidak berhubungan, tetapi menghasilkan serangkaian hal yang teratur, yang berhubungan satu
dengan yang lain, dan dalam gaya tertentu. Rangkaian kalimat itu bisa pendek, mungkin hanya
dua atau tiga kalimat, tetapi kalimat itu diletakkan secara teratur dan berhubungan satu dengan
yang lain, dan berbentuk kesatuan yang masuk akal. Crimmon (1984.191), berpendapat bahwa
menulis adalah kerja keras, tetapi juga merupakan kesempatan untuk menyampaikan sesuatu
tentang diri sendiri mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain, bahkan dapat mempelajari
sesuatu yang belum diketahui.
Lebih lanjut Rusyana (1984:191), memberikan batasan bahwa kemampuan menulis atau
mengarang adalah kemampuan menggunakan pola-pola bahasa dalam tampilan tertulis untuk
mengungkapkan gagasan atau pesan. Kemampuan menulis mencakup berbagai kemampuan,
seperti kemampuan menguasai gagasan yang dikemukakan, kemampuan menggunaka unsur-
unsur bahasa, kemampuan menggunakan gaya, dan kemampuan menggunakan ejaan serta tanda
baca.
Berdasarkan konsep di atas, dapat dikatakan bahwa menulis merupakan komunikasi tidak
langsung yang berupa pemindahan pikiran atau perasaan dengan memanfaatkan grafologi,
struktur bahasa, dan kosakata dengan menggunakan simbol-simbol sehingga dapat dibaca seperti
apa yang diwakili oleh simbol tersebut.
Mengkombinasikan dan menganalisis setiap unsur kebahasaan dalam sebuah karangan
merupakan suatu keharusan bagi penulis. Dari sinilah akan terlihat sejauh mana pengetahuan
yang dimiliki penulis dalam menciptakan sebuah karangan yang efektif. Kosakata dan kalimat
yang digunakan dalam kegiatan menulis harus jelas agar mudah dipahami oleh pembaca. Di
samping itu, jalan pikiran dan perasaan penulis sangat menentukan arah penulisan sebuah karya
tulis atau karangan yang berkualitas. Dengan kata lain hasil sebuah karangan yang berkualitas
umumnya ditunjang oleh keterampilan kebahasaan yang dimiliki seorang penulis.
B. Tujuan Menulis
Seorang tergerak menulis karena memiliki tujuan objektif yang bisa
dipertanggungjawabkan dihadapan publik pembacanya. Karena tulisan pada dasarnya adalah
sarana untuk menyampaikan pendapat atau gagasan agar dapat dipahami dan diterima orang lain.
Tulisan dengan demikian menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang cukup efektif dan
efesien untuk menjangkau khalayak masa yang luas. Atas dasar pemikiran inilah, maka tujuan

51
menulis dapat dirunut dari tujuan-tujuan komunikasi yang cukup mendasar dalam konteks
pengembangan peradapan dan kebudayaan mesyarakat itu sendiri. Adapun tujuan penulisan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Menginformasikan segala sesuatu, baik itu fakta, data maupun peristiwa termasuk pendapat
dan pandangan terhadap fakta, data dan peristiwa agar khalayak pembaca memperoleh
pengetahuan dan pemahaman baru tentang berbagai hal yangdapat maupun yang terjadi di
muka bumi ini.
2. Membujuk; melalui tulisan seorang penulis mengharapkan pula pembaca dapat menentukan
sikap, apakah menyetujui atau mendukung yang dikemukakan. Penulis harus mampu
membujuk dan meyakinkan pembaca dengan menggunakan gaya bahasa yang persuasif.
Oleh karena itu, fungsi persuasi dari sebuah tulisan akan dapat menghasilkan apabila penulis
mampu menyajikan dengan gaya bahasa yang menarik, akrab, bersahabat, dan mudah
dicerna.
3. Mendidik adalah salah satu tujuan dari komunikasi melalui tulisan. Melalui membaca hasil
tulisan wawasan pengetahuan seseorang akan terus bertambah, kecerdasan terus diasah,
yang pada akhirnya akan menentukan perilaku seseorang. Orang-orang yang berpendidikan
misalnya, cenderung lebih terbuka dan penuh toleransi, lebih menghargai pendapat orang
lain, dan tentu saja cenderung lebih rasional.
4. Menghibur; fungsi dan tujuan menghibur dalam komunikasi, bukan monopoli media massa,
radio, televisi, namun media cetak dapat pula berperan dalam menghibur khalayak
pembacanya. Tulisan-tulisan atau bacaan-bacaan “ringan” yang kaya dengan anekdot, cerita
dan pengalaman lucu bisa pula menjadi bacaan penglipur lara atau untuk melepaskan
ketegangan setelah seharian sibuk beraktifitas.
C. Jenis-Jenis Menulis
Keterampilan menulis dapat kita klasifikasikan berdasarkan dua sudut pandang yang
berbeda. Sudut pandang tersebut adalah kegiatan atau aktivitas dalam melaksanakan
keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu. Klasifikasi keterampilan menulis
berdasarkan sudut pandang kedua menghasilkan pembagian produk menulis atau empat kategori,
yaitu; karangan narasi, eksposisi, deskripsi, dan argumentasi. Di berikut ini akan dijelaskan satu
persatu.

52
1. Eksposisi
Eksposisi biasa juga disebut pemaparan, yakni salah satu bentuk karangan yang berusaha
menerangkan, menguraikan atau menganalisis suatu pokok pikiran yang dapat memperluas
pengetahuan dan pandangan seseorang. Penulis berusaha memaparkan kejadian atau masalah
secara analisis dan terperinci memberikan interpretasi terhadap fakta yang dikemukakan. Dalam
tulisan eksposisi, teramat dipentingkan informasi yang akurat dan lengkap.
Eksposisi merupakan tulisan yang sering digunakan untuk menyampaikan uraian ilmiah,
seperti makalah, skripsi, tesis, desertasi, atau artikel pada surat kabar atau majalah. Jika hendak
menulis bagaimana peraturan bermain sepak bola, cara kerja pesawat, bagaimana membuat
tempe, misalnya, maka jenis tulisan eksposisi sangat tepat untuk digunakan. Ekposisi berusaha
menjelaskan atau menerangkan. Parera (1993 : 5) mengemukakan bahwa “Seorang pengarang
eksposisi akan mengatakan, Saya akan menceritakan kepada kalian semua kejadian dan peristiwa
ini dan menjelaskan agar Anda dapat memahaminya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk menulis karangan eksposisi maka,
penulis harus memiliki pengetahuan memadai tentang objek yang akan digarapnya. Untuk itu,
maka seorang penulis harus memperluas pengetahuan dengan berbagai cara seperti membaca
referensi yang berkaitan dengan masalah yang dikaji melakukan penelitian, misalnya wawancara,
merekam pembicaraan orang, mengedarkan angket, melakukan pengamatan terhadap objek dan
sebagainya. Untuk menghasilkan tulisan ekposisi yang baik pikiran utama dan pikiran penjelas
harus diorganisir dalam bentuk kerangka karangan yang pada umumnya dibagi dalam tiga bagian
yaitu, bagian pembuka (pendahuluan) bagian pengembangan (isi), dan bagian penutup yang
merupakan penegasan ide. Untuk karangan yang bersifat kompleks, harus diuraikan dalam
bentuk subbagian yang lebih rinci. Dalam karangan seperti itu dapat disusun dalam bentuk bab
dan diperinci lagi menjadi sub-sub bab.
Contoh eksposisi :
“Masa remaja adalah saat yang penuh kesenangan dan kegembiraan. Namun,
masa itu juga merupakan saat mulai timbulnya jerawat. Suatu pertanda bahwa Anda telah
memasuki masa dewasa, namun merupakan suatu hal yang Anda harapkan tidak begitu
tampak. Cobalah Clearasil krem pengobatan jerawat.
Clearasil memiliki tiga daya ampuh yang khas untuk membantu mempercepat
proses penyembuhan jerawat serta membantu menghindari timbulnya jerawat baru.

53
Jadikanlah dirimu salah satu dari berjuta-juta pemakai Clearasil di dunia dan tampilkan
wajah Anda dengan banggga !”
2. Deskripsi
Deskrisi adalah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat,
suasana atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya,
dapat ‘melihat’ apa yang dilihatnya, dapat ‘mendengar’ apa yang didengarnya, ‘merasakan’ apa
yang dirasakanya, serta sampai kepada ‘kesimpulan’ yang sama dengannnya. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil dari obesrvasi melalui panca indera, yang
disampaikan dengan kata-kata (Marahimin. 1993.46)

Contoh deskripsi:
Pasar Blaura merupakan pasar perbelanjaan yang sempurna. Semua barang ada di
sana. Di bagian terdepan berderet toko sepatu dalam dan luar negeri. Di lantai satu
terdapat toko pakaian yang lengkap berderet-deret. Di sampaing kanan pasar terdapat
stan-stan kecil penjual perkakas dapur. Di samping kiri ada pula jenis buah-buahan. Pada
bagian belakang kita dapat menemukan berpuluh-puluh pedagang kecil yang berjualan
makanan dan minuman. Belum lagi kalau kita melihat lantai di atasnya ( Adisampurno.
2003. 11)

3. Narasi (kisahan)
Narasi atau kisahan merupakan corak tulisan yang bertujuan menceritakan rangkaian
peristiwa atau pengalaman manusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu. Paragraf
narasi itu dimaksudkan untuk memberi tahu pembaca atau pendengar tentang apa yang telah
diketahui atau apa yang dialami oleh penulisnya. Narasi lebih menekankan pada dimensi waktu
dan adanya konflik (Pusat Bahasa. 2003.46).
Contoh Narasi:
Sore itu kami pergi ke rumah Puspa. Sopir kusuruh memakirkan mobil.
Kemudian, kami memasuki gang kecil. Beberapa waktu kemudian, kami sampai di
sebuah rumah yangh sederhana seperti rumah-rumah di sekitarnya. Rumahrumah itu
tanpak tidak semewah rumah-rumah gedung yang terletak di pinggir jalan. Pintu rumah

54
yang sederhana itu terbuka pelan. Seorang gadis berlari dan memelukku. Gadis itu tiba-
tiba pinsan dan terkulai lemas dalam pelukanku ( Pusat Bahasa .2003. 47).

4. Argumentasi
Argumentasi merupakan corak tulisan yang bertujuan membuktikan pendapat penulis
meyakinkan atau mempengaruhi pembaca agar amenerima pendapanya. Argumentasi berusaha
meyakinkan pembaca. Cara menyakinkan pembaca itu dapat dilakukan dengan jalan menyajikan
data, bukti, atau hasilhasil penalaran (Pusat Bahasa. 2001. 45).

Contoh Argumentasi:
Kedisiplinan lalu lintas masayarakat di Jakarta cenderung menurun. Hal ini
terbukti pada bertambahnaya jumlah pelanggarannya yang tercatat di kepolisian. Selain
itu, jumlah korban yang meninggal akibat kecelakaan pun juga semakin meningkat. Oleh
karena itu, kesadaran mesyarakat tentang kedisplinan berlalu lintas perlu ditingkatkan
(Pusat Bahasa. 2003. 45).

5. Persuasi
Persuasi adalah karangan yang berisi paparan berdaya-ajuk, ataupun berdaya himbau
yang dapat membangkitkan ketergiuran pembaca untuk meyakini dan menuruti himbauan
implisit maupun eksplisit yang dilontarkan oleh penulis. Dengan kata lain, persuasi berurusan
dengan masalah mempengaruhi orang lain lewat bahasa.
Contoh Persuasi:
Bahasa adalah alat komunikasi. Sebagai alat, bahas saangat luwes dalam
menjalankan fungsinya, bahasabdapat dipakai oleh pemakaiannya untuk kepentingan apa
saja selama dalam batas-batas fungsinya sebagai alat komunikasi. Anda tenttunya dapat
mengatakan pikiran ini dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Karena pemakaian
bahasa yang luwes ini kita dapat menemukan akibatnya dalam masyarakat: terjadi
penipuan, kesuksesan, kedengkian, percekcokan, dan sejenisnya. Kita bisa mengaitkan
masalah ini misalnya dengan kemampuan seorang ”penjual obat” Obat atau jamu yang
dibawanya biasanya disangsikan orang ketinggian mutunya. Tetapi mengapa dia bisa
berhasil memperdayakan orang lain untuk membeli obat atau jamunya? Salah satu faktor

55
yang tidak bisa diingkari adalah karena bahasa yang dipakainya. Dia berhasil
memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain.
D. Teknik Menulis
Kejelasan merupakan asas yang pertama dan utama bagi hampir semua karangan,
khususnya ragam karangan faktawi. Setiap pembaca betapa pun terpelajarnya menghargai
karangan yang dapat dibaca dan dimengerti secara jelas. Karangan yang kabur, ruwet, dan gelap
maksudnya akan membosankan pembaca dan melatih pikirannya. Berikut ini dijelaskan ciri-ciri
karangan yang jelas.
1. Mudah; karangan yang jelas mudah dimengerti oleh pembaca. Setiap orang menyukai
karangan yang dapat dipahami tanpa susah payah;
2. Sederhana; karangan yang jelas tidak berlebih-lebihan dengan kalimatkalimat dan kata-kata.
semakin sederhana, semakin dapat karangan itu menggambarkan sesuatu buah pikiran secara
terang dalam pikiran pembaca;
3. Langsung; karangan yang jelas tidak berbelit-belit ketika menyampaikan pokok soalnya;
4. Tepat; karangan yang jelas dapat melukiskan secara betul ide-ide yang terdapat dalam pikiran
penulis.
Gunning juga mengemukakan sepuluh pedoman untuk menghasilkan sesuatu karangan
yang jelas adalah.
1. Usahakan kalimat-kalimat yang pendek Panjang rata-rata yang kalimat dalam suatu
karangan merupakan sebuah tolak ukur yang penting bagi keterbacaan. Kalimat-kalimat
harus selangseling antara panjang dan pendek. Pemakaian kalimat yang panjang harus
diimbangin oleh kalimat-kalimat yang pendek sehingga meningkatkan kejelasan karangan.
2. Pilihlah yang sederhana ketimbang yang rumit kata-kata yang sederhana, kalimat yang
sederhana, bahasa yang sederhana lebih meningkatkan keterbacaan sesuatu karangan.
3. Pilih kata yang umum dikenal. Dalam mengarang pakailah kata-kata yang telah dikenal
masyarakat umum sehingga ide yang diungkapkan dapat secara mudah dan jelas ditangkap
pembaca.
4. Hindari kata-kata yang tak perlu. Setiap kata harus mempunyai peranan dalam kalimat dan
karangan. Katakata yang tak perlu hanya melelahkan pembaca dan melenyapkan perhatian.
5. Berilah tindakan dalam kata-kata kerja Kata kerja yang aktif mengandung tindakan, yang
menunjukkan gerak akan membuat suatu karangan hidup dan bertenanga untuk

56
menyampaikan informasi yang dimaksud. Kalimat “Bola itu menjebol gawang lawan” lebih
bertenaga ketimbang “Gawang lawan kemasukan bola”
6. Menulislah seperti bercakap-cakap. Kata tertulis hanyalah pengganti kata yang diucapkan
lisan. Dengan mengungkapkan gagasan seperti halnya bercakap-cakap, karangan menjadi
lebih jelas.
7. Pakailah istilah-istilah yang pembaca dapat menggambarkan. Kata yang konkret lebih jelas
bagi pembaca ketimbang kata yang abstrak.
8. Kaitkan dengan pengalaman pembaca. Karangan yang jelas bilaman dapat dibaca dan
dipahami pembacasesuai dengan latar belakang pengalamannya.
9. Manfaatkan sepenuhnya keanekaragaman. Karangan harus ada variasi dalam kata, frasa,
kalimat maupun ungkapan lainnya. Keaneragaman dalam karangan adalah sumber
kesenangan dalam pembacaan.
10. Mengaranglah untuk mengungkapkan, bukan untuk mengesankan Maksud utama
mengarang ialah mengungkapkan gagasan dan bukannya menimbulkan kesan pada pihak
pembaca mengenai kepandaian, kebolehan, atau kehebatan diri penulisnya. Ada lima
komponen menulis prosa yang baik yaitu
a. penggunaan bahasa, yaitu kemampuan menulis kalimat yang tepat dan baik
b. kemampuan mekanis; yaitu kemampuan menggunakan tanda baca dengan tepat
c. kemampuan menjaga isi kalimat; yaitu kemampuan berpikir kreatif, mengembangkan
ide, dan membuang informasi yang tidak relevan; gaya menulis; yaitu kemampuan
memanipulasi kalimat dan paragraf, serta kemampuan menggunakan bahasa secara
efektif;
d. kemampuan mengambil keputusan; yaitu kemampuan menulis dengan gaya yang tepat
untuk tujuan dan untuk pembaca tertentu, serta kemampuan memilih, mengorganisasi,
dan menyusun informasi yang relevan.
E. Tahap-tahap Menulis
1. Perencanaan Karangan
Menurut Sabarti dkk, secara teoritis proses penulisan meliputi tiga tahap utama, yaitu
prapenulisan, penulisan dan revisi. Ini tidak berarti bahwa kegiatan menulis dilakukan secara
terpisah-pisah. Pada tahap prapenulisan kita membuat persiapan-persiapan yang akan digunakan

57
pada penulisaan dengan kata lain merencanakan karangan. Berikut ini dibahas cara
merencanakan karangan.
2. Pemilihan Topik
Kegiatan yang mula-mula dilakukan jika menulis suatu karangan menentukan topik. Hal
ini untuk menentukan apa yang akan dibahas dalam tulisan. Ada beberapa yang harus
dipertimbangkan dalam memilih topik yaitu;
a. topik itu ada menfaatnya dan layak dibahas. Ada manfaatnya mengandung pengertiam
bahwah bahasan tentang topik itu akan memberikan sumbangan kepada ilmu atau propesi
yang ditekuni, atau berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Layak dibahas berarti
topik itu memang memerlukan pembahasan dan sesuai dengan bidang yang ditekuni.
b. topik itu cukup menarik terutama bagi penulis;
c. topik itu dikenal baik oleh penulis;
d. bahan yang diperlukan dapat diperoleh dan cukup memadai;
e. topik itu tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit:
Setelah berhasil memilih topik sesuai dengan syarat-syarat pemilihan di atas maka yang
akan dilakukan selanjutnya membatasi topik tersebut. Proses pembatasan topik dapat
dipermudah dengan membuat diagram pohon atau diagram jam. Ide induk yang menjadi benih
atau pangkal awal sesuatu karangan yang akan ditulis hendaknya juga dikembangkan. Setelah
ide induk dikembangbiakkan sampai cukup tuntas, langkah berikutnya ialah memilih salah satu
saja di antara rincian ide-ide yang muncul itu untuk dijadikan topik karangan. Topik inilah yang
kemudian perlu diolah lebih lanjut dengan membatasi topik dengan sebuah tema tertentu. Jadi
pada topik ini ditentukan salah satu segi, unsur, atau factornya yang dijadikan pembicaraan.
Langkah yang terakhir yang perlu dilakukan pengarang ialah menguraikan atau mengudar
rumusan kalimat ide pokok menjadi sebuah garis besar karangan. Garis besar, rangka atau
disebut juga outline adalah suatu rencana kerangka yang menunjukkan ide-ide yang berhubungan
satu sama lain secara tertib untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah karangan yang
lengkap dan utuh. Di bawah ini secara ringkas proses ide induk menjadi garis besar karangan
menempuh enam langkah sebagai berikut.

Langkah Aktifitas Pengarang Hasil

58
1 Menemukan ide yang akan diungkapkan menjadi karangan Ide pokok
2 Mengembangkan ide induk Rincian ide
3 Memilih salah satu ide menjadi pokok soal yang Topik
4 Membatasi topik dengan sesuatu segi/unsur/faktor Tema
5 Merumuskan topik berikut temanya dalam sebuah pokok Kalimat ide
pernyataan
6 Menguraikan rumusan ide pokok menjadi rangka Garis besar karangan

1. Tahap-tahap Menulis
Setelah mengetahui cara-cara memulai dan teknik memberikan nafas ke dalam tulisan.
Sekarang kita melangkah ke proses penulisan. Pada tahap ini, kita hanya membangun suatu
fondasi untuk topik yang berdasarkan pada pengetahuan, gagasan, dan pengalaman. Adapun
proses penulisan tersebut sebagai berikut.
a. Darf kasar disini dimulai menelusuri dan mengembangkan gagasan-gagasan. Pusatkan pada
isi daripada tanda baca, tata bahasa, atau ejaan. Ingat untuk menunjukkan bukan
memberitahukan saat menulis.
b. Berbagi; sebagi penulis kita sangat dekat tulisan kita sehingga sulit bagi kita untuk menulai
secara objektif. Untuk mengambil jarak dengan tulisan. Oleh sebab itu perlu meminta orang
lain untuk membaca dan memberikan umpan balik. Mintalah seorang teman membacanya
dan mengatakan bagian manayang benar –benar kuat dan menunjukkan ketidakkonsistenan,
kalimat yany tidak jelas, atau transisi yang lemah. Inilah beberapa petunjuk untuk berbagi.
c. Perbaikan (revisi); setelah mendapat umpan balik dari teman tentang mana yang baik dan
mana yang perlu digarap lagi, ulangi dan perbaikilah. Ingat bahwa penulis adalah tauan dari
tulisan Anda jadi Andalah yang membuat umpan balik itu. Manfaatkanlah umpan balik yang
dianggap membantu. Ingat tujuan menulis membuat sebaik mungkin.
d. Menyunting (editing); inilah saatnya untuk membiarkan “editor” otak kini melangkah
masuk. Pada tahap ini, perbaikilah semua kesalahan ejaan, tata bahasa, dan tanda baca.
Pastikanlah semua transisi berjalan mulus, penggunaan kata kerja tepat, dan kalimat-kalimat
lengkap.
e. Penulisan kembali ; tulis kembali tulisan Anda, masukkan isi yang baru dan perubahan –
perubahan penyuntingkan.

59
f. Evaluasi; periksalah kembali untuk memastikan bahwa Anda telah menyelesaikan apa yang
Anda rencanakan dan apa yang ingin Anda sampaikan. Walaupun ini merupakan proses
yang terus berlangsung tahap ini menandai akhir
Kegiatan menulis dibaratkan seperti seorang arsitektur akan membangun sebuah gedung,
biasanya ia membuat rancangan terlebih dahulu dalam bentuk gambar di atas kertas. Demikian
pula seorang penulis, membuat kerangka tulisan atau outline merupakan kebiasaan yang perlu
dipupuk terus untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang baik. Penulis dalam hal ini dibaratkan
sebagai seorang arsitek bahasa, yang selain mengetahui bagaimana membangun sebuah tulisan
secara utuh, ia tidak boleh mengabaikan dasardasar penulisan. Dasar-dasar penulisan ini menjadi
fondasi utama dalam penulisan adalah pemahaman kita tentang paragraf. Dengan memahami
makna dan ciri-ciri paragraf yang baik, kita akan lebih mampu menuangkan gagasan dan pikiran
kita secara lebih runtut, sistematis, dan teratur. Pada dasarnya sebuah tulisan mencerminkan cara
berpikir seseorang dan bagaimana ia memandang suatu persoalan.
F. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Menulis
Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan menulis. Namun, pada prinsipnya dapat
dikategorikan dalam dua faktor yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal di
antaranya belum tersedia fasilitas pendukung, berupa keterbatasan sarana untuk menulis. Faktor
internal mencakup faktor psikologis dan faktor teknis. Yang tergolong faktor psikologis di
antaranya Faktor kebiasaan atau pengalaman yang dimiliki. Semakin terbiasa menulis maka
kemampuan dan kualitas tulisan akan semakin baik. Faktor lain yang tergolong faktor psikologis
adalah faktor kebutuhan. Faktor kebutuhan kadang akan memaksa seseorang untuk menulis.
Seseorang akan mencoba dan terus mencoba untuk menulis karena didorong oleh kebutuhannya.
Faktor teknis meliputi penguasaan akan konsep dan penerapan teknik-teknik menulis.
Konsep yang berkaitan dengan teori- teori menulis yang terbatas yang dimiliki seseorang turut
berpengaruh. Faktor kedua dari faktor teknis yakni penerapan konsep. Kemampuan penerapan
konsep dipengaruhi banyak sedikitnya bahan yang akan ditulis dan pengethuan cara menuliskan
bahan yang diperolehnya.
Keterampilan menulis banyak kaitannya dengan kemampuan membaca maka seseorang
yang ingin memiliki kemampuan menulisnya lebih baik, dituntut untuk memiliki kemampuan
membacanya lebih baik pula.
G. Konsep Pembelajaran Menulis

60
1. Konsep Pembelajaran Menulis
Dalam pembelajaran siswa hendaklah diarahkan pengembangan potensi diri sendiri.
Segala masalah kebahasaan yang perlu dimainkan di sekolah haruslah juga sesuai dengan
zamannya. Kata, kalimat, paragraf, bahkan tulisan harus bernuansa kekinian. Sumber bahasa
yang digunakan oleh guru juga harus mengacu kepada minat dan harapan siswa. Dengan
demikian siswa dapat tertarik dengan pembelajaran bahasa Indonesia.
Siswa sudah semestinya dapat berpikir, berkreasi, dan berkomuikasi baik lisan maupun
tulisan dengan bahasa Indonesia secara logis, langsung, dan lancar. Dengan begitu, suatu saat
akan dihasilkan karya-karya besar dari orang Indonesia dengan bahasa yang mantap. Hal itu
tentunya harus menjadi obsesi guru bahasa Indonesia.
Guru berperan dalam menentukan pembelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, guru
dituntut untuk menguasai bahasa Indonesia dan pembelajarannya sehingga menjadi mata
pelajaran yang menarik bagi siswa. Kemenarikan ini akhirnya membawa siswa ke tingkat
komunikasi yang lancar. Komunikasi yang didasari oleh minat yang kuat dari siswa. Guru
berperan besar dalam hal itu. Peran tersebut didasari oleh kekuatan konsep dan kekuatan
mengembangkan strategi pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa, banyak strategi
pembelajaran yang tersedia. Namun, mengapa banyak guru bahasa Indonesia yang masih
kesulitan dalam memvariasikan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka banyak berkutat
dengan ceramah, diskusi, dan penugasan. Padahal hal tersebut merupakan teknik pengelolaan
kelas. Teknik adalah cara kongkret yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung. Guru
dapat berganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Adapun strategi meliputi pendekatan, metode, dan teknik. Pendekatan adalah konsep
dasar yang melingkupi metode dengan cakupan teoritis tertentu. Metode merupakan jabaran dari
pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah
prosedur pembelajaran yang dapat yang fokuskan kepada pencapaian tujuan. Dari metode, teknik
pembelajaran diturunkan secara aplikasi. Satu metode dapat diaplikasikan melalui berbagai
teknik pembelajaran. Di bawah ini dijelaskan beberapa metode dan teknik pembelajaran menulis.
2. Karakteristik Pembelajaran Menulis
Setiap guru keterampilan menulis harus sudah memahami karakteristik keterampilan
menulis karena sangat menentukan dalam ketepatan penyusunan perencanaan, pelaksanaan,
maupun penilaian keterampilan menulis. Sudah dapat dipastikan tanpa memahami karakteristik

61
keterampilan menulis guru yang bersangkutan tak mungkin menyusun perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran menulis yang akurat, bervariasi, dan menarik. Ada
empat karakteristik keterampilan menulis yang sangat menonjol, yakni;
a. keterampilan menulis merupakan kemampuan yang komplek;
b. keterampilan menulis condong ke arah skill atau praktik;
c. keterampilan menulis bersifat mekanistik;
d. penguasaan keterampilan menulis harus melalui kegiatan yang bertahap atau akumulatif.
Keterampilan menulis menuntut kemampuan yang kompleks. Penulisan sebuah karangan
yang sederhana sekalipun menuntut kepada penulisnya kemampuan memahami apa yang hendak
ditulis dan bagaimana cara menulisnya. Persoalan pertama menyangkut isi karangan dan
persoalan kedua menyangkut pemakaian bahasa serta bentuk atau struktur karangan.
Pembelajaran keterampilan menulis yang tidak memperhatikan kedua hal tersebut di atas pasti
akan mengalami ketidakberesan atau kegagalan.
Keterampilan menulis lebih condong ke arah praktik ketimbang teori. Ini tidak berarti
pembahasan teori menulis ditabukan dalam pengajaran menulis. Pertimbangan antar praktek dan
teori sebaiknya lebih banyak praktek dari teori. Keterampilan menulis bersifat mekanistik. Ini
berarti bahwa penguasaan keterampilan menulis tersebut harus melalui latihan atau praktik.
Dengan perkataan lain semakin banyak seseorang melakukan kegiatan menulis semakin terampil
menulis yang bersangkutan. Karakteristik keterampilan menulis seperti ini menuntut
pembelajaran menulis yang memungkinkan siswa banyak latihan, praktek, atau mengalami
berbagai pengalaman kegiatan menulis. Di samping kegiatan menulis harus bervariasi juga
sistematis, bertahap, dan akumulatif. Berlatih menulis yang tidak terarah apalagi kurang diawasi
guru membuat kegiatan siswa tidak terarah bahkan sering membingungkan siswa. Mereka tidak
tahu apakah mereka sudah bekerja benar, atau mereka tidak tahu membuat kesalahan yang
berulang. Latihan mengarang terkendali disertai diskusi sangat diperlukan dalam memahami dan
menguasai keterampilan menulis.

3. Metode Pembelajaran Menulis


a. Metode Langsung
Metode pengajaran langsung dirancang secara khusus untuk mengembangkan belajar
siswa tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik

62
dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Metode tersebut didasari anggapan bahwa pada
umumnya pengetahuan dibagi dua, yakni pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural.
Deklaratif berarti pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.
Dalam metode langsung, terdapat lima fase yang sangat penting. Guru mengawali dengan
penjelasan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran serta mempersiapkan siswa untuk
menerima penjelasan guru. Hal itu disebut fase persiapan dan motivasi. Fase berikutnya adalah
fase demontrasi, pembimbingan, pengecekan, dan pelatihan lanjutan. Pada metode langsung bisa
dikembangkan dengan teknik pembelajaran menulis dari gambar atau menulis objek langsung
dan atau perbandingan objek langsung. Teknik menulis dari gambar atau menulis objek langsung
bertujuan agar siswa dapat menulis dengan cepat berdasarkan gambar yang dilihat. Misalnya,
guru menunjukkan gambar kebakaran yang melanda sebuah desa atau melihat langsung kejadian
kebakaran sebuah desa, Dari gambar tersebut siswa dapat membuat tulisan secara runtut dan
logis berdasarkan gambar.
b. Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan metode komunikatif harus mencakup semua keterampilan
berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran
dispesifikkan ke dalam tujuan kongkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk di sini
dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diusahakan, atau disajikan
ke dalam nonlinguistik. Sepucuk surat adalah sebuah produk. Demikian pula sebuah perintah,
pesan, laporan atau peta juga merupakan produk yang dapat dilihat dan diamati. Dengan begitu,
produk-produk tersebut dihasilkan melalui penyelesaian tugas yang berhasil.
Metode komunikatif dapat dilakukan dengan teknik menulis dialog. Siswa menulis dialog
tentang yang mereka lakukan dalam sebuah aktivitas. Kegiatan ini dapat dilaksanakan
perseorangan maupun kelompok.
c. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberap aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi
menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam
satu bidang studi diintegrasikan. Misalnya, menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan
menulis. Menulis diintegrasikan dengan membaca dan berbicara. Materi kebahasaan
diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Sedangkan antarbidang studi merupakan
pengintegrasian bahan dari beberapa bidang studi. Misalnya; antarabahasa Indonesia dengan

63
matematika atau dengan bidang studi lainnya. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, integratif
interbidang studi lebih banyak digunakan. Saat mengajarkan kalimat, guru tidak secara langsung
menyodorkan materi kalimat ke siswa tetapi diawali dengan membaca atau yang lainnya.
Perpindahannya diatur secara tipis. Bahkan, guru yang pandai mengintegrasikan penyampaian
materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi.
Integratif sangat diharapkan oleh Kurikulum Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi.
Pengintegrasiannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa.
Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi ajar justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara
menarik. Metode inregratif dapat dilaksanakan dalam pembelajaran mambaca dengan memberi
catatan bacaan. Siswa dapat membuat catatan yang diangap penting atau kalimat kunci sebuah
bacaan. Dalam melakukan kegiatan membaca sekaligus siswa menulis.
d. Metode Tematik
Dalam metode tematik, semua komponen materi pembelajaran diintegrasikan ke dalam
tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah tema bukanlah tujuan
tetapi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan
disajikan secara kontekstualitas, kontemporer, kongkret, dan konseptual.
Tema yang telah ditentukan harus diolah sesuai dengan perkembangan dan lingkungan
siswa. Budaya, sosial, dan religiusitas mereka menjadi perhatian. Begitu pula isi tema yang
disajikan secara kontemporer sehingga siswa senang. Apa yang terjadi sekarang di lingkungan
siswa juga harus terbahas dan terdiskusikan di kelas. Kemudian, tema tidak disajikan secara
abstrak tetapi diberikan secara kongkret. Semua siswa dapat mengikuti proses pembelajaran
dengan logika yang dipunyainya. Siswa berangkat dari konsep ke analisis atau dari analisis ke
konsep kebahasaan, penggunaan, dan pemahaman.
e. Metode Konstruktivistik
Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah belajar itu menemukan. Artinya, meskipun
guru menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka melakukan proses mental atau kerja otak atas
informasi itu agar informasi tersebut masuk ke dalam pemahaman mereka. Konstuktivistik
dimulai dari masalah (sering muncul dari siswa sendiri) dan selanjutnya membantu siswa
menyelesaikan dan menemukan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.

64
Metode konstruktivistik didasarkan pada teori belajar kognitif yang menekankan pada
pembelajaran kooperatif, pembelajaran generatif strategi bertanya, inkuiri, atau menemukan dan
keterampilan metakognitif lainnya (belajar bagaimana seharusnya belajar).
f. Metode Kontekstual
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru
menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi
siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai
anggota keluarga dan masyarakat (Ardina, 2001).
Pembelajaran dengan menggunakan metode ini akan mempermudah dalam pembelajaran
menulis. Anak dimotivasi agar mampu menulis. Menurut Nur (2001) pengajaran kontekstual
memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengatahuan dan keterampilan
akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan di luar sekolah agar siswa
dapat memecahkan masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan. Sebenarnya siswa
dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat
belajar, waktu, situasi, dan suasana alam dan masyarakatnya. Untuk itu, metode yang dianggap
tepat untuk mengembangkan pembelajaran adalah metode kontekstual (Contextual Teaching and
Learning).
Adapun metode ini dapat diterapkan dalam salah satu pembelajaran menulis deskripsi.
Siswa dapat belajar dalam situasi dunia nyata tidak dalam dunia awang-awang.
H. Media Pembelajaran Menulis
Media pembelajaran memegang peranan penting dalam usaha meningkatkan hasil belajar.
Tampaknya masih sedikit guru yang mempergunakan media dalam mengajarkan menulis.
Sebaiknya guru harus mempersiapkan berbagai macam media yang dapat dipergunakan untuk
memotivasi pembelajaran menulis sehingga menjadi pembelajaran yang menyenangkan.
Berbagai bentuk pemakaian bahasa dapat dijadikan media pembelajaran menulis.
Misalnya, ketika akan belajar menulis surat pribadi, guru dapat membawakan beberapa contoh
surat pribadi atau siswa disuruh membawanya. Guru dapat mendiskusikan dengan siswa
mengenai segi isi, bentuk dan bahasanya. Di bawah ini dicantumkan altenatif media
pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar menulis di SD kelas V, semester 1

No Kompetensi Dasar Media


Pembelajaran

65
Rialia:
guru
Menulis karangan berdasarkan pengalaman dengan memperhatikan
1 Visual:
pilihan kata dan ejaan
buku harian
teks karangan
Rialia:
Menulis surat undangan (ulang tahun, acara agama, kegiatan
guru
2 sekolah, kenaikan kelas, dll) dengan kalimat efektif dan
Visual:
memperhatikan penggunaan ejaan.
Surat undangan
Rialia
Gambar orang
Menulis dialog sederhan antara dua atau tiga tokoh dengan sedang
3
memperhati kan isi serta perannya berdialog
Visual:
teks dialog

I. Penilaian Pembelajaran Menulis


a. Landasan Filosofis
Penilaian merupakan bagian dari proses pendidikan yang dapat memacu dan memotivasi
peserta didik untuk lebih berprestasi, meraih tingkat dan level yang setinggi-tingginya sesuai
dengan potensi peserta didik. Potensi peserta didik sangat beragam sehingga sulit untuk dapat
secara tepat mengakomodasi kebutuhan setiap individu peserta didik dalam proses pendidikan.
b. Landasan Yuridis
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 57
ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Pasal 57 ayat (2) menyatakan evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,
lembaga pendidikan, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua
jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Pasal 58 ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. Pasal 58 ayat (2) menyatakan bahwa evaluasi
peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri

66
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan.
Dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I ayat 17
penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian
hasil peserta didik.
c. Landasan Konseptual
Evaluasi merupakan salah satu sarana penting untuk menilai keberhasilan proses
pembelajaran melalui penilaian pencapaian kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran.
Melalui evaluasi, guru sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan
yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode pembelajaran yang digunakan dan keberhasilan
siswa dalam mencapai kompetensi sebagai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan
informasi ini, guru dapat mengambil keputusan yang tepat, dan langkah apa yang harus
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam rangka peningkatan pencapaian
kompetensi yang merupakan indicator penting dari mutu pendidikan. Informasi tersebut juga
dapat memberikan motivasi kepada siswa untuk berprestasi lebih baik.
d. Penilaian Pembelajaran Menulis
Secaraq yuridis berdasarkan PP No, 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian pendidikan
terdapat beberapa istilah standar penilaian pendidikan, penilaian pendidikan, ulangan , ulangan
harian, ulangan tengah smester, ulangan akhir semester, ulangan kenaikkan kelas,ujian sekolah
dan ujian nasional. peserta didik. Pengertian penilaian yang dimaksud dalam penilaian
pendidikan adalah penilaian proses dan penilaian hasil. Penilaian pendidikan adalaah proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta
didik.
Penilaian terhadap hasil pembelajaran menulis mempunyai kelemahan, yaitu rendahnya
kadar objektivitas. Unsur subjektivitas penilai pasti berpengaruh dalam menilai karangan jenis
ini. Sebuah karangan yang dinilai oleh dua orang atau lebih biasanya tidak akan sama skornya.
Bahkan sebuah karangan dinilai oleh hanya satu orang penilai pun jika kondisinya berlainan ada
kemungkinan berbeda skor yang diberikan. Masalah yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita
mendapatkan atau memilih model teknik penilaian yang memungkinkan penilai untuk
memperkecil kadar subjektivitas dirinya.

67
Penilaian yang dilakukan terhadap karangan siswa biasanya bersifat holistis, impresif,
dan selintas. Jadi, penilaian yang bersifat menyeluruh berdasarkan kesan yang diperoleh dari
membaca karangan secara selintas. Penilaian yang demikian jika dilakukan oleh orang yang ahli
dan berpengalaman sedikit banyak dapat dipertanggungjawabkan. Namun keahlian demikian
tidak semua guru memiliknya.
Penilaian yang bersifat holistis memang diperlukan. Akan tetapi, agar guru dapat menilai
secara lebih objektif dan memperoleh informasi yang lebih rinci tentang kemampuan siswa untuk
keperluan diagnostik-edukatif, penilai hendaknya disertai dengan penilaian yang bersifat analitis
(Zaini Machmuoed,1983: 11). Penilaian dengan pendekatan analitis merinci karangan ke dalam
aspek-aspek atau kategori-kategori tertentu. Perincian kategori dalam setiap karangan dapat
berbeda-beda variasinya. Kategori-kategori yang pokok hendaknya meliputi:
1) kualitas dan ruang lingkup isi
2) organisasi dan penyajian isi
3) gaya dan bentuk bahasa
4) mekanik: tatabahasa, ejaan, tanda baca, kerapihan dan kebersihan tulisan
5) Respons efektif guru terhadap karya tulis.
Karangan yang ditulis berdasarkan rangasang buku, baik fiksi maupun nonfiksi, kategori
ke-1 tersebut dapat diganti, atau kriterianya berisi kesesuaiannya dengan isi buku. Respon
efektif guru juga penting karena jenis-jenis karangan, misalnya yang bersifat argumentatif atau
persuaisf, dapat dinilai baik jika pembaca merasa tertarik. Dalam kaitan ini, guru adalah
pembaca. Di bawah ini dicantumkan beberapa model penilaian menulis
Model Penilaian Tugas Menulis dengan Skala 1-10
No. Aspek yang dinila Tingkatan skala
1 Kulitas dan ruang lingkup isi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2 Organisasi dan penyajian isi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
3 Gaya dan bentuk bahasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
4 Mekanik tata bahasa, ejaan, kerapian tulisan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5 Respon efektif guru terhadap karangan 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah skor .................................

No. Unsur yang dinilai Skor maksimal Skor siswa


1 Isi gagasan yang dikemukakan 35 ................

68
2 Organisasi isi 23 ...............
3 Tata bahasa 20 ...............
4 Gaya pilihan struktur dan kosa kata 15 ...............
5 Ejaan 5 ...............
...............
100 ………………..

Latihan
1. Jelaskan Hakikat menulis
2. Jelaskan tujuan menulis
3. Jelaskan tahap-tahap menulis
4. Jelaskan jenis-jenis menulis
5. Jelaskan bagaimana proses pembelajaran menulis di sekolah dasar

69
BAB 7
APRESIASI SASTRA ANAK

Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa dapat menjelaskan apresiasi
sastra anak, karakteristik sastra anak, ciri-ciri sastra anak, fungsi sastra anak, pembelajaran
sastra anak, dan menerapkannya dalam pembelajaran.

A. Pengertian Sastra Anak


Secara konseptual, sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa (adult
literacy). Keduanya sama berada pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala
perasaan, pikiran dan wawasan kehidupan. Yang membedakannya hanyalah dalam hal fokus
pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebut.
Sastra anak adalah sastra yang ditujukan untuk anak, bukan sastra tentang anak. Sastra
tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra untuk anak sudah tentu
sengaja dan disesuaikan untuk anak-anak selaku pembacanya. Kata anak yang dimaksud disini
bukanlah anak balita ataupun anak remaja, tetapi anak usia SD yang berumur antara 6 sampai 13
tahun. Sesuai dengan sasaran pembacanya, sastra anak dituntut untuk dikemas dalam bentuk
yang berbeda dari sastra orang dewasa hingga dapat diterima anak dan dipahami mereka dengan
baik.
Ada empat hal yang menjadi perbedaan antara sastra anak dan sastra dewasa (Sarumpaet,
2010):
No Unsur pembeda Sastra anak Sastra dewasa
1 Penyajian bahasa Bahasa cerita yang Menggunakan bahasa
dipakai cerita yang
adalah kalimat- rumit. Struktur
kalimat yang gramatikal dan
sederhana, struktur pemilihan diksi yang
gramatikal yang dipakai
mudah, dan lebih kompleks.
pemilihan diksi yang

70
disesuaikan dengan
pemerolehan bahasa
anak.
Misalnya, dalam satu
kalimat
hanya terdiri dari
beberapa
kata dan struktur
gramatikal yang
dipakai hanya subjek
dan predikat.
2 Kognisi Memberikan Memberikan
pengetahuan pengetahuan yang
dan pengenalan yang lebih kompleks
masih seputar
bersifat sederhana, kehidupan, misalnya
misalnya, konflik,
pengetahuan dan pengalaman, dan
pengenalan konsep
seputar konsep angka, kehidupan.
warna,
dan bentuk.

3 Psikologis yang Sisi psikologis sastra Sisi psikologis sastra


terkandung anak dewasa
mulai dikenalkan umumnya
nilai-nilai mempersoalkan
moral yang baik banyak hal, seperti
dalam perkembangan moral,
kehidupan secara permasalahan jiwa,
sederhana. dan
. pemahaman psikologi

71
sosial
kehidupan
4 Sosial Cerita Sosial cerita yang Sosial cerita yang
disampaikan meliputi disampaikan
seputar mengenai seks,
berbakti pada kekerasan, dan
orangtua, kehidupan masyarakat
bersahabat baik yang tabu
dengan untuk anak.
teman, dan dekat
dengan
guru.

Selain itu ada tiga ciri yang membedakan antara sastra anak dengan sastra dewasa, antara
lain (Sarumpaet dalam Santoso, 2003: 8.4):
1. Unsur pantangan, yaitu unsur yang yang secra khusus berhubungan dengan tema dan amanat.
Artinya, sastra anak pantang atau menghindari masalah-masalah yang menyangkut tentang
seks, cinta yang erotis, dendam yang menimbulkan kebencian atau hal-hal yang bersifat
negatif.
2. Penyajian dengan gaya secara langsung, artinya tokoh yang diperankan sifatnya hitam putih.
Maksudnya adalah setiap tokoh yang berperan hanya mempunyai satu sifat utama, yaitu baik
atau jahat.
3. Fungsi terapan adalah sajian cerita harus bersifat menambah pengetahuan yang bermanfaat.
Dengan demikian, sastra anak dan sastra dewasa memiliki perbedaan tergantung dari
sudut pandang apa yang dilihat. Pada intinya, sastra anak dan sastra dewasa memberikan
pengetahuan yang berbeda dan memiliki perbedaan tema. Tema yang dipakai sastra anak masih
sangat sederhana sementara tema dalam sastra dewasa telah mengambil berbagai macam dimensi
kehidupan.
Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa
tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman
tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dewasa ataupun

72
anak-anak. Apakah sastra anak merupakan sastra yang ditulis oleh orang dewasa yang ditujukan
untuk anak-anak atau sastra yang ditulis anak-anak untuk kalangan mereka sendiri tidaklah perlu
dipersoalkan. Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak-anak tidak
perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang
memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka. Sastra anak-anak adalah sastra yang mencerminkan
perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak (Norton,1993). Namun
demikian, dalam kenyataannya, nilai kebermaknaan bagi anak-anak itu terkadang dilihat dan
diukur dari perspektif orang dewasa.
Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang
dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan (Wahidin, 2009). Dalam sastra anak
terdapat refleksi kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa.
Sastra anak pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan yang
kemudian disuguhkan secara emosional psikologis agar mampu ditanggapi dan dipahami oleh
anak. Kisah yang disajikan mampu merangsang anak untuk berbuat sesuatu karena mereka
memiliki fantasi yang baru berkembang dan akan menerima segala macam cerita terlepas dari
cerita itu masuk akal atau tidak, misalnya bercerita tentang binatang yang dapat berbicara,
bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Disinilah imajinasi dan emosi anak
sangat berperan penting dalam proses menangkap dan menerima cerita itu secara wajar. Dengan
demikian, sastra anak mampu bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu
yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
B. Ciri-Ciri Sastra Anak
Menurut Puryanto (2008: 7) ada dua ciri pokok dalam sastra anak adalah, antara lain:
1. Cerita anak mengandung tema yang mendidik, alurnya lurus dan tidak berbelitbelit,
menggunakan setting yang ada di sekitar atau ada di dunia anak, tokoh dan penokohan
mengandung peneladanan yang baik, gaya bahasanya mudah dipahami tapi mampu
mengembangkan bahasa anak, sudut pandang orang yang tepat, dan imajinasi masih dalam
jangkauan anak.
2. Puisi anak mengandung tema yang menyentuh, ritme yang meriangkan anak, tidak terlalu
panjang, ada rima dan bunyi yang serasi dan indah, serta isinya bisa menambah wawasan
pikiran anak.

73
Buku anak-anak biasanya mencerminkan masalah-masalah masa kini. Hal-hal yang
dibaca oleh anak-anak dalam koran, yang ditontonnya dilayar televisi dan di bioskop, cenderung
pada masalah-masalah masa kini, bahkan yang dialaminya di rumah pun adalah situasi masa
kini. (Tarigan, 1995: 5).
C. Fungsi Sastra Anak
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan
dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan
dalam karya sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak,
mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan ketrampilan praktis bagi
anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa gembira atau senang
membaca, senang mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan dan dapat
memperoleh kenikmatan atau kepuasa batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya (Wahidin,
2009).
D. Penyajian Sastra Anak
Bentuk penyajian bacaan sastra untuk anak- anak juga memiliki ciri tertentu yang
berbeda dengan penyajian bacaan sastra untuk orang dewasa. Resmini mengungkapkan beberapa
bentuk penyajian bacaan sastra anak, meliputi:
1. Format buku sebaiknya disesuaikan dengan dunia anak- anak sehingga memberikan efek
khusus dari kesan visual. Ilustrasi gambar sampul hendaknya mewakii tema yang digarap dan
harus disesuaikan dengam pembacanya (anakanak).
2. Penjilidan buku sebaiknya dijilid tebal sehingga tidak mudah rusak, dan divariasikan dengan
warna yang variatif yang memberikan efek visual yang menarik.
3. Ukuran dan bentuk huruf hendaknya tidak terlalu kecil yang akan menyulitkan anak saat
membacanya. Setiap buku yang diperuntukkan untuk anak- anak sebaiknya dicetak dalam
kertas putih bersinar dengan tujua memberikan efek visual yang menarik minat membaca
anak.
4. Ilustrasi gambar sebagai alat penceritaan harus mampu membuat cerita lebih hidup dan yang
lebih penting harus menunjukkan adanya harmoni atau keselarasan dengan cerita. Dengan
demikian, ketika anak melihat gambar, mereka akan terdorong untuk lebih melatih dirinya
dalam mengembangkan persepsi berimajinasi.

74
5. Cara penuturan cerita anak yang meliputi diksi, gaya bahasa dan teknik penggambaran tokoh
serta latar cerita. Pemilihan kata sebaiknya menggunakan kata yang disesuaikan dengan
readiness anak, yakni kata dan gaya bahasa yang konkret dan mengacu pada pengertian yang
tersurat.
6. Dari segi tokoh, bacaan cerita anak- anak menampilkan tokoh yang jumlahnya tidak terlalu
banyak agar tidak membingungkan anak dalam memahami alur cerita yang tergambarkan
lewat rentetan peristiwa yang ada.
7. Latar cerita anak hendaknya menggambarkan tempat- tempat yang menarik bagi anak dan
disesuaikan kedekatannya dengan kehidupan anak, misalnya rumah, sekolah, tempat
bermain, kebun binatang, dll.
8. Alur cerita anak biasanya bersifat linier dan berpusat pada satu cerita yang tidak
membingungkan anak.
9. Tema pada sastra anak umumnya sesuai dengan minat mereka,misalnya keluarga,teman,
petualangan, fantasi, cerita lucu, kepahlawanan dll.
10. Bahasa yang digunakan dalam cerita anak sebaiknya menggunakan bahasa yang sederhana.
Penggunaan bahasa harus mempertimbangkan perkembangan bahasa anak usia SD baik dari
segi penguasaan struktur tata bahasa maupun kemampuan anak dalam memahaminya. Hal ini
terlihat dari penggunaan kosakata dan kalimat karena pemahaman dan pembacanya akan
membaca teks melalui proses pemahaman print out yang diarahkan oleh dunia pengalaman
dan pengetahuannya. Kosakata dan rangkaian kalimat yang digunakan seharusnya sesuai
dengan yang dikuasai anak- anak dengan mengacu pada kenyataan konkrit yang diasumsikan
dekat dan akrab dengan kehidupan anak. Kalimat yang digunakan adalah kalimatkalimat
sederhana dalam arti tidak terlalu panjang dan tidak banyak menggunakan pelesapan kata.
Bilapun, beberapa kata yang digunakan masih asing bagi anak, hendaknya dilengkapi dengan
ilustrasi gambar atau melalui paparan deskriptif. Pemanfaatan konteks bacaan dan kalimat
sebagai petunjuk penafsiran makna suatu kata hendaknya dipertimbangkan.
E. Jenis Dan Ragam Sastra Anak
Secara garis besar Lukens dalam Nurgiyantoro, 2005: 15 mengelompokkan genre sastra
anak ke dalam enam macam, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional,bpuisi dan
nonfiksi dengan masing-masing mempunyai beberapa jenis lagi Enam genre anak tersebut adalah
sebagai berikut:

75
1. Realisme
Realisme dalam sastra dapat dipahami bahwa cerita yang dikisahkan itu mungkin saja ada
dan terjadi walau tidak harus benar-benar ada dan terjadi. Cerita yang disuguhkan
mempresentasikan berbagai peristiwa, aksi, dan interaksi, yang seolah-olah memang benar, dan
penyelesaiannyapun masuk akal dan dapat dipercaya. Ada beberapa cerita yang dapat
dikategorikan ke dalam realisme, yaitu cerita realistik, realisme binatang, realisme historis dan
cerita olahraga.
2. Fiksi Formula
Genre ini sengaja disebut sebagai fiksi formula yang karena memiliki pola-pola tertentu
yang membedakannya dengan jenis lain. Jenis sastra anak yang dapat dikategorikan ke dalam
fiksi formula adalah cerita misteri dan detektif, dan novel serial.
3. Fantasi
Fantasi dapat dipahami sebagai cerita yang menawarkan sesuatu yang sulit diterima.
Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat diterima sehingga sebagai
sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. (Nurgiyantoro, 2005:20). Jenis sastra anak yang
menjadi sub fantasi adalah cerita fantasi (cerita yang menampilkan tokoh, alur, atau tema yang
derajat kebenarannya diragukan, baik menyangkut sebagian maupun seluruh cerita.) dan cerita
fantasi tinggi (cerita yang berupa sisi baik dan sisi jahatnya. Tokoh yang dimunculkan sangat
menarik dan meyakinkan pembaca).
4. Sastra Tradisional
Istilah “tradisional” dalam kesastraan (traditional literature atau folk literature )
menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan
mulainya dan siapa penciptanya, dan kisahkan secara turun temurun secara lisan. Jenis cerita
yang dikelompokkan ke dalam genre ini adalah fabel, dongeng rakyat, mitologi, legenda dan
epos.
5. Puisi
Puisi merupakan karya sastra yang mendayakan unsur bahasa untuk mencapai efek
keindahan. Bahasa puisi tentulah singkat dan padat, dengan sedikit kata, tetapi dapat
mendialogkan sesuatu yang lebih banyak. Keterjalinan secara harmonis diantara berbagai unsur
kebahasaaan tersebut merupakan cara memperoleh keindahan dalam berpuisi. Untuk puisi anak,
kesederhanaan bahasa haruslah tetap menjadi perharian tersendiri dan kadang-kadng keindahan

76
puisi justru terletak pada kesederhanaannya. Genre puisi anak dapat berupa puisi lirik tembang-
tembang anak tradisional, lirik tembang tradisional, atau lirik tembang ninabobo, puisi naratif,
dan puisi personal. (Nurgiyantoro, 2005: 27)
6. Nonfiksi
Bacaan nonfiksi yang sastra ditulis secara artistik sehingga jika dibaca oleh anak, anak
akan memperoleh pemahaman dan sekaligus kesenangan. Bacaan tersebut akan membangkitkan
perasaan keindahan yang berwujud efek emosional dan intelektual pada diri anak. Bacaan
nonfiksi dapat dikelompokkan ke dalam sub genre buku informasi dan biografi.
Latihan
1. Jelaskan Pengertian apresiasi
2. Jelaskan pengertian sastra anak,
3. Jelaskan perbedaan sastra anak dengan sastra dewasa
4. Jelaskan karakteristik sastra anak
5. Jelaskan cirri-ciri sastra anak
6. Jelaskan fungsi sastra anak
7. Jelaskan Pembelajaran sastra anak, dan menerapkannya dalam pembelajaran.

BAB 8

77
PEMBELAJARAN MEMBACA DAN MENULIS PERMULAAN

Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan Mahasiswa dapat menjelaskan
pembelajaran membaca dan menulis permulaan. tujuan, metode, model, langkah-langkah
pembelajaran membaca dan menulis permulaan, penilaian pembelajaran membaca dan menulis
permulaan.

A. Pengertian Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan


Membaca permulaan adalah tahapan proses belajara membaca yang diperuntukan bagi
siswa SD kelas awal. menurut akhadiah (1992/1993:33) membaca permulaan berlangsung
selama dua tahun, yaitu untuk SD kelas I dan II, bagi mereka, membaca adalah kegiatan belajar
mengenal bahasa tulis. melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan lambing-lambang
bunyi bahasa tersebut. sedangkan menurut menurut Arifin, (2004), membaca permulaan
merupakan membaca awal yang diberikan kepad anak di kelas I dan II sebagai dasar untuk
pelajaran selanjutnya.
Menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan membaca permulaan, menulis permulaan
merupakan tahapan proses belajara membaca yang diperuntukan bagi siswa SD kelas awal yang
berlangsung selama dua tahun, yaitu untuk SD kelas I dan II, pembelajaran menulis lebih
diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih untuk dapat
menuliskan (mirip dengan kemampuan melukis atau menggambar) lambang-lambang tulis yang
jika dirangkaikan dalam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna. Selanjutnya,
dengan kemampuan dasar ini, secara perlahan-lahan anak-anak digiring pada kemampuan
menuangkan gagasan, pikiran, perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang
tulis yang sudah dikuasainya.
Berdasarkan pengertian membaca dan menulis permulaan menurut para ahli di atas dapat
kita simpulkan membaca dan menulis merupakan program pembelajaran yang diorientasikan
kepada kemampuan membaca dan menulis permulaan di kelas-kelas awal pada saat anak-anak
mulai memasuki bangku sekolah di kelas 1 dan II sekolah dasar.

B. Tujuan Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan

78
Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan kurikulum
terkini yang digunakan di sekolah-sekolah sebagai pengganti atas kurikulum sebelumnya, yakni
Kurikulum1994. Penyempurnaan kurikulum ini mengacu pada Undang-undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah terkait yang
mengamanatkan adanya standar nasional pendidikan. Standar-standar dimaksud berkenaan
dengan standar isi, proses, dan kompetensi lulusan serta penetapan kerangka dasar dan standar
kurikulum oleh pemerintah
Seperti dijelaskan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Dr. Tr. Indra Jati Sidi
dalam kata pengantar untuk Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bahwa
upaya penyempurnaan kurikulum dimaksudkan untuk mewujudkan peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh mencakup pengembangan dimensi
manusia Indonesia seutuhnya. Dimensi-dimensi dimaksud meliputi aspek-aspek moral, akhlak,
budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni, dan budaya. Pengembangan aspek-
aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup yang
diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup serta
menyesuaiakan diri, dan berhasil dalam kehidupan. Kurikulum tersebut dikembangkan secara
lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing daerah dan sekolah setempat.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia hendaknya memadai dan efektif
sebagai alat berkomunikasi, berinteraksi sosial, media pengembangan ilmu, dan alat pemersatu
bangsa. Daerah atau sekolah-sekolah diberi kesempatan untuk menjabarkan standar kompetensi
itu sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masing-masing secara kontekstual.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya aspek membaca, untuk
SD dan MI adalah sebagai berikut: “membaca huruf, suku kata, kata, kalimat, paraagraf,
berbagai teks bacaan, denah, petunjuk, tata tertib, pengumuman, kamus, ensiklopedia, serta
mengapresiasi dan berekspresi sastra melalui kegiatan membaca hasil sastra berupa dongeng,
cerita anak-anak, cerita rakyat, cerita binatang, puisi anak, syair lagu, pantun, dan drama anak.
Kompetensi membaca juga diarahkan menumbuhkan budaya baca.
Standar kompetensi aspek membaca di kelas 1 sekolah dasar ialah siswa mampu
membaca dan memahami teks pendek dengan cara membaca lancar (bersuara) dan membaca
nyaring beberapa kalimat sederhana. Standar kompetensi ini diturunkan ke dalam empat buah

79
kompetensi dasar, yakni: membiasakan sikap membaca yang benar membaca nyaring membaca
bersuara (lancar) membacakan penggalan cerita.
Berdasarkan kompetensi dasar tersebut ditetapkanlah hasil belajar dan indika-tornya
seperti tampak dalam uraian berikut.

Hasil Belajar Indikator


Membiasakan diri dan bersikap de-ngan benar
dalam membaca: a. Menunjukkan posisi duduk yang benar
a. gambar tinggal b. Mengatur jarak antara mata dan objek
b. gambar seri harus tepat (30 cm)
c. gambar dalam buku c. Memegang objek dengan benar
d. Membuka buku dengan urutan yang benar

Membaca nyaring:
a. Suku kata a. Mengenal hruf dan membacanya se-bagai
b. Kata suku kata, kata, dan kalimat sederhana
c. Label b. Membaca nyaring (didengar siswa lain)
d. angka Arab kalimat demi kalimat dalam pa-ragraf
e. kalimat sederhana serta menggunakan lafal dan intonasi
yang tepat sehingga dapat dipahami
orang lain

Membaca bersuara (lancar) kalimat a. Membaca teks pendek dengan lafal dan
sederhana terdiri atas 3-5 kata intonasi yang benar
b. Membaca dengan memperhatikan tempat
jeda (untuk berhenti, menarik napas):
jeda panjang atau pendek
c. Membaca dengan memberikan penekanan
pada kata tertentu sesuai dengan
konteksnya
d. Mengidentifikasi kata-kata kunci dari
bacaan agak panjang

80
Membacakan penggalan cerita dengan lafal Membacakan penggalan cerita dengan lafal
dan intonasi yang benar dan intonasi yang benar

Berdasarkan paduan kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator pencapaian hasil
belajar seperti yang telah diuraikan di muka, jelas tampak bahwa sasaran pembelajaran membaca
permulaan lebih diarahkan pada kemampuan “melek huruf” dengan titik berat pengajaran
diarahkan pada keterampilan membaca teknis.
Untuk keterampilan menulis di kelas1 (kelas rendah), Kurikulum 2004 menetapkan
standar kompetensi sebagai berikut: siswa mampu menulis beberapa kalimat yang dibuat sendiri
dengan huruf lepas dan huruf sambung, menulis kalimat yang diiktekan guru, dan menulis rapi
menggunakan huruf sambung. Standar kompetensi ini diturunkan ke dalam tujuh buah
kompetensi dasar, yakni: membiasakan sikap menulis yang benar (memegang dan menggunakan
alat tulis) menjiplak dan menebalkan meyalin menulis permulaan menulis beberapa kalimat
dengan huruf sambung menulis kalimat yang didiktekan guru menulis dengan huruf sambung.
Berdasarkan kompetensi dasar tersebut ditetapkanlah hasil belajar dan indika-tornya
menulis untuk kelas 1 sekolah dasar seperti tampak dalam uraian berikut.

Hasil Belajar Indikator


Bersikap dengan benar dalam menulis:
a. garis putus-putus a. Menggerakkan telunjuk untuk mem-buat
b. garis lurus berbagai bentuk garis dan ling-karan
c. garis lengkung b. Memegang alat tulis dan mengguna-
d. lingkaran kannya dengan benar
e. garis pembentuk huruf c. Mewarnai

Menjiplak dan menebalkan: a. Menjiplak dan menebalkan berbagai


a. Gambar bentuk gambar, lingkaran, dan bentuk
b. Lingkaran huruf
c. Bentuk huruf

Menyalin: a. Menyalin atau mencontoh huruf, kata, atau


a. Huruf kalimat dari buku atau papan tulis dengan

81
b. Kata benar
c. Kalimat b. Menyalin atau mencontoh kalimat dari
d. Angka Arab buku atau papan tulis yang ditulis guru,
e. Kalimat atau beberapa kalimat dan menuliskannya pada buku tulisnya

Menulis huruf, kata, dan kalimat sederhana


dengan huruf lepas a. Menulis huruf, kata, dan kalimat sederhana
b. Menulis huruf, kata, dan kalimat sederhana
dengan benar dan dapat dibaca orang lain
c. Mrmbuat label untuk benda-benda dalam
kelas
d. Melengkapi kalimat yang belum selesai
berdasarkn gambar
e. Menuliskan nama diri, umur, tempat
tinggal

Menulis beberapa kalimat sederhana (terdiri Menuliskan pikiran dan pengalaman


atas 3-5 kata) dengan huruf sambung dengan huruf sambung dengan rapi yang
mudah dibaca orang lain

Menulis kalimat yang didiktekan guru a. Menulis kalimat secara benar dan tepat
menggunakan huruf sambung dan mengikuti apa yang didiktekan guru
menuliskannya dengan benar b. Menulis dengan menggunakan huruf
sambung

Menulis rapi kalimat dengan huruf sambung


a. Menulis kalimat dengan huruf sambung yang
rapi dan dapat dibaca orang lain

Berdasarkan paduan kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator pencapaian hasil
belajar seperti yang telah diuraikan di muka, jelas tampak bahwa sasaran pembelajaran menulis
permulaan lebih diarahkan pada kemampuan menulis secara mekanis.
C. Metode Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan

82
1. Metode Eja
Gina sudah mengenal lambang-lambang berikut: /A/, /B/, /C/, /E/, /F/, dan seterusnya
sebagai [a], [be], [ce], [de], [e], [ef], dan seterusnya. Bu Imam mengajari anaknya membaca
dengan Metode Eja atau biasa disebut Metode Abjad atau Metode Alpabet.
Mungkin Anda bertanya, bagaimana prinsip dasar Metode Eja tersebut? Pembelajaran
membaca dan menulis permulaan dengan metode ini memulai pengajarannya dengan
memperkenlkan huruf-huruf secara alpabetis. Huruf-huruf tersebut dihafalkan dan dilafalkan
anak sesuai dengan bunyinya menurut abjad. Sebagai contoh A/a, B/b, C/c, D/d, E/e, F/f, dan
seterusnya, dilafalkan sebagai [a], [be], [ce], [de], [ef], dan seterusnya. Kegiatan ini diikuti
dengan latihan menulis lambang, tulisan, seperti a, b, c, d, e, f, dan seterusnya atau dengan huruf
rangkai a, b, c, d, dan seterusnya. Setelah melalui tahapan ini, para siswa diajak untuk berkenalan
dengan suku kata dengan cara merangkaikan beberapa huruf yang sudah dikenalnya.

Misalnya : b, a, d, u menjadi b-a ba (dibaca atau dieja /be-a/ [ba ])


d-u du (dibaca atau dieja /de-u/ [du])
ba-du dilafalkan /badu/

b, u, k, u menjadi b-u bu (dibaca atau dieja /be-u/ bu] )

k-u ku (dibaca atau dieja / ke-u/ [ku] )

Proses ini sama dengan menulis permulaan, setelah anak-anak bisa menuliskan huruf-
huruf lepas, kemudian dilanjutkan dengan belajar menulis rangkaian huruf yang berupa suku
kata. Sebagai contoh, ambillah kata ‘badu’ tadi. Selanjutnya, anak diminta menulis seperti ini: ba
– du badu.
Proses pembelajaran selanjutnya adalah pengenalan kalimat-kalimat sederhana. Contoh-
contoh perangkaian huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat
diupayakan mengikuti prinsip pendekatan spiral, pendekatan komunikatif, dan pengalaman
berbahasa. Artinya, pemilihan bahan ajar untuk pembelajaran MMP hendaknya dimulai dari hal-
hal yang konkret menuju hal-hal yang abstrak, dari hal-hal yang mudah, akrab, familiar dengan
kehidupan anak menuju hal-hal yang sulit dan mungkin merupakan sesuatu yang baru bagi anak.
Kelemahan yang mendasar dari penggunaan Metode Eja ini. Meskipun siswa sudah
mengenal dan hapal abjad dengan baik, siswa tetap mengalami kesulitan dalam mengenal

83
rangkaian-rangkaian huruf yang berupa suku kata atau pun kata. Anak yang baru mulai belajar
membaca, mungkin akan mengalami kesukaran dalam memahami sitem pelafalan bunyi /b/
dan /a/ menjadi [ba], bukan [bea]. Bukankah huruf /b/ dilafalkan [be] dan huruf /a/ dilafalkan [a].
Mengapa kelompok huruf /ba/ dilafalkan [ba], bukan [bea], seperti tampak pada pelafalan
awalnya? Hal ini, tentu akan membingungkan anak. Penanaman konsep hafalan abjad dengan
menirukan bunyi pelafalannya secara mandiri, terlepas dari konteksnya, menyebabkan anak
mengalami kebingungan manakala menghadapi bentukan bentukan baru, seperti bentuk kata tadi.
Di samping hal tersebut, hal lain yang dipandang sebagai kelemahan dari penggunaan
metode ini adalah dalam pelafalan diftong dan fonem-fonem rangkap, seperti /ng/, /ny/, /kh/, /ai/,
/au/, /oi/, dan sebagainya. Sebagai contoh, kita ambil fonem /ng/. Anak-anak mengenal huruf
tersebut sebagai [en] dan [ge]. Dengan demikian, mereka berkesimpulan bahwa fonem itu jika
dilafalkan akan menjadi [en-ge] atau [neg] atau [nege].
Bertolak dari kedua kelemahan tersebut, tampaknya proses pembelajaran melalui sistem
tubian dan hafalan akan mendominasi proses pembelajaran MMP dengan metode ini. Padahal,
seperti yang Anda ketahui, pendekatan kontekstual merupakan ciri utama dari pelaksanaan
Kurikulum SD yang saat ini berlaku. Prinsip „kebermaknaan dan menemukan sendiri,‟ sebagai
cerminan dari pendekatan tersebut dalam proses pembelajaran menjadi terabaikan, bahkan
terhapus dengan penggunaan metode ini.
2. Metode Bunyi
Proses pembelajaran membaca permulaan metode bunyi hamper sama dengan metode
eja. Perbedaannya terletak pada sistem pelafalan abjad atau huruf (baca: berapa huruf
konsonan ).
Sebagai contoh:
huruf /b/ dilafalkan [eb]
/d/ dilafalkan [ed].
/e/ dilafalkan [e]
/g/ dilafalkan [eg]
/p/ dilafalkan [ep]
Dengan demikian. kata „nani‟ dieja menjadi:
/en-a/ [na]
/en-i/ [ni] dibaca [na-ni]

84
proses pembelajaran membaca permulaan melalui metode ini, mampu membangkitkan
motivasi siswa untuk terus belajar dan berlatih. Proses pembelajaran MMP seperti itu dilakukan
melalui „Metode Bunyi‟. Metode ini sebenarnya merupakan bagian dari Metode Eja. Prinsip
dasar dan proses pembelajarannya tidak jauh berbeda dengan Metode Eja/Abjad di atas.
Demikian juga dengan kelemahan-kelemahannya. Perbedaannya terletak hanya pada cara atau
sistem pembacaan atau pelafalan abjad (huruf-hurufnya).
3. Metode Suku
Proses pembelajaran MMP dengan metode ini diawali dengan pengenalan suku kata,
seperti /ba, bi, bu, be, bo/; /ca, ci, cu, ce, co/; /da, di, du, de, do/; /ka, ki, ku, ke, ko/, dan
seterusnya. Suku-suku kata tersebut, kemudian dirangkaikan menjadi kata-kata bermakna.
Sebagai contoh, dari daftar suku kata tadi, guru dapat membuat berbagai variasi paduan suku
kata menjadi kata-kata bermakna, untuk bahan ajar MMP. Kata-kata dimaksud, misalnya:

bo - bi cu – ci da – da ka – ki
bi - bu ca – ci di – da ku – ku
bi – bi ci – ca da – du ka – ku
ba – ca ka – ca du – ka ku – da
Kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan proses perangkaian kata menjadi kelompok kata
atau kalimat sederhana. Contoh perangkaian kata menjadi kalimat dimaksud, seperti tampak
pada contoh di bawah ini.
ka-ki ku-da
ba-ca bu-ku
cu–ci ka–ki (dan sebagainya).
Proses perangkaian suku kata menjadi kata, kata menjadi kelompok kata atau kalimat
sederhana, kemudian ditindaklanjuti dengan proses pengupasan atau penguraian bentuk-bentuk
tersebut menjadi satuan-satuan bahasa terkecil di bawahnya, yakni dari kalimat ke dalam kata-
kata dan dari kata ke suku-suku kata. Proses pembelajaran MMP yang melibatkan kegiatan
merangkai dan mengupas, kemudian melahirkan istilah lain untuk metode ini, yakni Metode
Rangkai-Kupas.
Jika kita simpulkan, langkah-langkah pembelajaran MMP dengan Metode Suku Kata
adalah: (1) tahap pertama, pengenalan suku-suku kata; (2) tahap kedua, perangkaian suku-suku

85
kata menjadi kata; (3) tahap ketiga, perangakaian kata menjadi kelompok kata atau kalimat
sederhana; (4) tahap keempat, pengintegrasian kegiatan perangakaian dan pengupasan: (kalimat
menjadi kata-kata kemudian suku-suku kata) Metode Suku Kata/Silaba populer dalam
pembelajaran baca tulis Al-Qur‟an. Dalam pembelajaran baca tulis Al-Qur‟an, metode ini
dikenal dengan istilah „‟Metode Iqro‟‟.
4. Metode Kata
Proses pembelajaran MMP seperti yang digambarkan dalam langkah-langkah di atas
dapat pula dimodifikasi dengan mengubah objek pengenalan awalnya. Sebagai contoh, proses
pembelajaran MMP diawali dengan pengenalan sebuah kata tertentu. Kata ini, kemudian
dijadikan lembaga sebagai dasar untuk pengenalan suku kata dan huruf. Artinya, kata dimaksud
diuraikan (dikupas) menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf-huruf. Selanjutnya, dilakukan
proses perangkaian huruf menjadi suku kata dan suku kata menjadi kata. Dengan kata lain, hasil
pengupasan tadi dikembalikan lagi ke bentuk asalnya sebagai kata lembaga (kata semula).
Karena proses pembelajaran MMP dengan metode ini melibatkan serangkaian proses
pengupasan dan perangkaian maka metode ini dikenal juga sebagai „Metode Kupas-Rangkai‟
(sebagai lawan dari Metode Suku Kata yang biasa juga disebut Metode Rangkai-Kupas).
Sebagian orang menyebutnya ‟Metode Kata‟ atau ‟Metode Kata Lembaga‟.
5. Metode Global
Sebagian orang mengistilahkan metode ini sebagai ‟Metode Kalimat‟. Dikatakan
demikian, karena alur proses pembelajaran MMP yang diperlihatkan melalui metode ini diawali
dengan penyajian beberapa kalimat secara global. Untuk membantu pengenalan kalimat
dimaksud, biasanya digunakan gambar. Di bawah gambar dimaksud, dituliskan sebuah kalimat
yang kira-kira merujuk pada makna gambar tersebut. Sebagai contoh, jika kalimat yang
diperkenalkan berbunyi ‟ini nani‟, maka gambar yang cocok untuk menyertai kalimat itu adalah
gambar seorang anak perempuan.
Selanjutnya, setelah anak diperkenalkan dengan beberapa kalimat, barulah proses
pembelajaran MMP dimulai. Mula-mula, guru mengambil salah satu kalimat dari beberapa
kalimat yang diperkenalkan di awal pembelajaran tadi. Kalimat tersebut dijadikan dasar/alat
untuk pembelajaran MMP. Melalui proses deglobalisasi (proses penguraian kalimat menjadi
satuan-satuan yang lebih kecil, yakni menjadi kata, suku kata, dan huruf), selanjutnya anak
menjalani proses belajar MMP.

86
Proses penguraian kalimat menjadi kata, kata menjadi suku kata, suku kata menjadi
huruf-huruf, tidak disertai dengan proses sintesis (perangkaian kembali). Artinya, huruf-huruf
yang telah terurai itu tidak dikembalikan lagi pada satuan di atasnya, yakni suku kata. Demikian
juga dengan suku-suku kata, tidak dirangkaikan lagi menjadi kata; kata-kata menjadi kalimat.
Sebagai contoh, di bawah ini dapat Anda lihat bahan untuk MMP yang menggunakan
Metode Gglobal.
a. Memperkenalkan gambar dan kalimat.
(tolong beri gambar dadu di sisni)(tolong berikan gambar kuda di sini)
ini dadu ini kuda

b. Menguraikan salah satu kalimat menjadi kata; kata menjadi suku kata; suku kata menjadi
huruf-huruf.
ini dadu
ini dadu
i-ni da-du
i-n-i d-a-d-u

6. Metode SAS
SAS merupakan singkatan dari ‘’Struktural Analitik Sintetik’’. Metode SAS merupakan
salah satu jenis metode yang bisa digunakan untuk proses pembelajaran membaca dan menulis
permulaan bagi siswa pemula.
Pembelajarn MMP dengan metode ini mengawali pelajarannya dengan menampilkan dan
memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Mula-mula anak disuguhi sebuah struktur yang memberi
makna lengkap, yakni struktur kalimat. Hal ini dimaksudkan untuk membangun konsep-konsep
„‟kebermaknaan‟‟ pada diri anak. Akan lebih baik jika struktur kalimat yang disajikan sebagai
bahan pembelajaran MMP dengan metode ini adalah struktur kalimat yang digali dari
pengalaman berbahasa si pembelajar itu sendiri. Untuk itu, sebelum KBM MMP yang
sesungguhnya dimulai, guru dapat melakukan pra-KBM melalui berbagai cara. Sebagai contoh,
guru dapat memanfaatkan rangsang gambar, benda nyata, tanya jawab informal untuk menggali
bahasa siswa. Setelah ditemukan suatu struktur kalimat yang dianggap cocok untuk materi MMP,

87
barulah KBM MMP yang sesungguhnya dimulai. Pembelajaran MMP dimulai dengan
pengenalan struktur kalimat.
Kemudian, melalui proses analitik, anak-anak diajak untuk mengenal konsep kata.
Kalimat utuh yang dijadikan tonggak dasar untuk pembelajaran membaca permulaan ini
diuraikan ke dalam satuan-satuan bahasa yang lebih kecil yang disebut kata. Proses
penganalisisan atau penguraian ini terus berlanjut hingga pada wujud satuan bahasa terkecil yang
tidak bisa diuraikan lagi, yakni huruf-huruf.
Proses penguraian/penganalisian dalam pembelajaran MMP dengan metode SAS,
meliputi:
a. kalimat menjadi kata-kata
b. kata menjadi suku-suku kata, dan
c. suku kata menjadi huruf-huruf.
Pada tahap selanjutnya, anak-anak didorong untuk melakukan kerja sintesis
(menyimpulkan). Satuan-satuan bahasa yang telah terurai tadi dikembalikan lagi kepada
satuannya semula, yakni dari huruf-huruf menjadi suku kata, suku-suku kata menjadi kata, dan
kata-kata menjadi kalimat. Dengan demikian, melalui proses sintesis ini, anak-anak akan
menemukan kembali wujud struktur semula, yakni sebuah kalimat utuh.
Melihat prosesnya, tampaknya metode ini merupakan campuran dari metode-metode
membaca permulaan seperti yang telah kita bicarakan di atas. Oleh karena itu, penggunaan
metode SAS dalam pengajaran MMP pada sekolah-sekolah kita ditingkat SD pernah dianjurkan,
bahkan diwajibkan pemakaiannya oleh perintah.
Beberapa manfaat yang dianggap sebagai kelebihan dari metode ini, di antaranya sebagai
berikut ini.
a. Metode ini sejalan dengan prinsip linguistik (ilmu bahasa) yang memandang satuan bahasa
terkecil yang untuk berkomunikasi adalah kalimat. Kalimat dibentuk oleh satuan-satuan
bahasa dibawahnya, ykni kata, suku kata, dan akhirnya fonem (huruf-huruf).
b. Metode ini mempertimbangkan pengalaman berbahasa anak. Oleh karena itu, penga- jaran
akan lebih bermakna bagi anak karena bertolak dari sesuatu yang dikenal dan diketahui
anak. Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap daya ingat dan pemahaman anak.

88
c. Metode ini sesuai dengan prinsip inkuiri (menemukan sendiri). Anak mengenal dan
memahami sesuatu berdasarkan hasil temuannya sendiri. Sikap seperti ini akan membantu
anak dalam mencapai kebrhasilan belajar.
Bahan ajar untuk pembelajaran membaca permulaan dengan metode ini tampak seperti
berikut.
ini mama
ini mama
i - ni ma - ma
i-n-i m-a-m-a
i - ni ma – ma
ini mama
ini mama

Uraian ini ditutup dengan sebuah simpulan bahwa “tidak ada metode yang terbaik dan
juga tidak ada metode yang terburuk”. Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Metode yang terbaik adalah metode yang cocok dengan pemakainya.
D. Model-Model Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar MMP ini terbagi ke dalam dua tahapan, yakni (a)
pembelaran tanpa buku, dan (b) pembelajaran dengan menggunakan buku.
1. Langkah-langkah Pembelajaran MMP Tanpa Buku
Pembelajaran membaca permulaan tanpa buku berlangsung pada awal-awal anak
bersekolah pada minggu-minggu pertama mereka duduk di bangku sekolah. Hal ini dapat
berlangsung kira-kira 8-10 minggu. Jika memungkinkan tenggang waktu tersebut dapat
dipersingkat lagi, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Berikut ini akan disajikan salah satu model alternatif pembelajaran membaca permulaan
tanpa buku. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut.
Sebelum KBM dilakukan sebaiknya guru mengawalinya dengan berbagai kegiatan pra-
KBM yang dapat merangsang dan menggali pengalaman berbahasa anak. Percakapan-
percakapan ringan antara guru dan siswa sebelum KBM dimulai merupakan langkah awal yang
bagus untuk membuka pintu komunikasi. Sapaan-sapaan hangat dan berbagai pertanyaan ringan
kepada mereka akan membuat siswa termotivasi untuk betah dan mau belajar di sekolah.

89
Contoh percakapan ringan itu, dapat dilukiskan seperti berikut ini. Guru : Selamat pagi,
anak-anak! Selamat datang di sekolah ini.
Murid : Selamat pagi, Bu! Guru :
Bu Guru senang sekali bisa bertemu dengan anak-anak yang manis-manis dan rapi-rapi. Yang
duduk di depan ini siapa namanya?
Gina : Gina, Bu!
Guru : Wah…bagus sekali namanya.
Di sampi Gina siapa?
Orin : Orin, Bu!
Guru : Oh…Orin! Namanya seperti orang Jepang ya? Nah… tadi kita sudah berke- Nalan
dengan Gina dan Orin, bagaimana kalau sekarang kita berkenalan dulu Dengan semuanya?
Caranya begini, kalau Ibu menunjuk salah seorang dari kamu, kamu harus menyebutkan nama
dan alamat rumah. Misalnya ibu menunjuk Gina, lalu Gina harus memperkenalkan diri seperti
ini. Dengarkan contoh dari Bu Guru, “Nama saya Gina; saya tinggal di Perumahan
Margahayuraya no 78. Mari kita mulai, ya! (Lalu guru menunjuk Dudi)
Dudi : Nama saya Dudi; saya tinggal di Blok H no. 2, dekat sekolah ini. Demikian seterusnya.
Selanjutnya, pilihlah variasi-variasi kegiatan belajar mengajar berikut.
a. Menunjukkan gambar
Variasi ini dilakukan dengan cara guru memperlihatkan sebuah gambar yang melukiskan
sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak (laki-laki dan perempuan). Hal ini
dimaksudkan utnuk menarik minat dan perhatian anak.
b. Menceritakan gambar
Guru menceritakan gambar tersebut dengan memberi nama terhadap peran-peran yang
terdapat di dalam gambar. Penamaan tokoh-tokoh hendaknya menggunakan huruf-huruf yang
pertama-tama hendak diperkenalkan kepada anak Buku Paket dapat dijadikan acuan untuk
penamaan tokoh-tokoh tersebut. Misalnya, Anda dapat menyebutkan: “mama” untuk gambar ibu,
“mimi” untuk gambar anak perempuan, dan “nana” untuk gambar anak laki-laki, “bapak” untuk
gambar ayah. Tema cerita dapat disesuaikan dengana tema-tema yang terdapat dalam
GBPP/Kurikulum atau tema-tema yang diperkirakan menarik perhatian anak dan akrab dengan
kehidupan anak.
c. Siswa bercerita dengan bahasa sendiri

90
Selanjutnya, satu dua orang siswa diminta menceritakan kembali gambar tersebut dengan
bahasanya sendiri.
d. Memperkenalkan bentuk-bentuk huruf (tulisan) melalui bantuan gambar
Pada fasse ini, guru mulai melepaskan gambar-gambar tadi secara terpisah dan
menempelinya dengan tulisan sebagai keterangan atas gambar tadi. Sebagai contoh: dibawah
gambar ibu tertera tulisan yang berbunyi, “ini mama” atau “ini ibu” (bergantung kepada
pemilihan metode MMP yang Anda gunakan: Metode SAS, Metode Kata, Metode Eja, dan
seterusnya).
e. Membaca tulisan bergambar
Pada fase ini, guru mulai melakukan proses pembelajaran membaca sesuai dengan
metode yang dipilihnya. Jika menggunakan Metode Eja atau Metode Bunyi pengenalan lambang
tulisan akan diawali dengan pengenalan huruf-huruf melalui proses drill (teknik tubian) atau
proses hafalan. Jika menggunakan Metode Global atau Metode SAS proses pembelajaran
membaca akan dimulai dari pengenalan struktur kalimat (sederhana); lalu diuraikan menjadi
kata, kata menjadi suku kata, hingga unit terkecil di tingkat huruf. Setelah itu dilakukan sintesis
(perangkaian) huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, kata menjadi kalimat, hingga
kembali lagi ke struktur semula.
f. Membaca tulisan tanpa gambar
Setelah proses ini dilalui, langkah selanjutnya guru secara perlahan-lahan dapat
menyingkirkan gambar-gambar tadi dan siswa diupayakan untuk melihat bentuk tuliannya saja.
Kegiatan ini dapat disertai dengan penyalinan bentuk tulisan di papan tulisan dan guru
menyajikan wacana sederhana yang dapat memberikan keutuhan makna atau keutuhan informasi
kepada anak. Misalnya, guru dapat menyajikan wacana seperti berikut.
ini mama
ini mimi
ini nana
ini mama mimi
ini mama nana
g. Memperkenalkan huruf, suku kata, kata, atau kalimat dengan bantuan kartu.
1) Memperkenalkan unsur kalimat/kata
ini mama

91
…… Mama

Ini …..

….. …..

ini
mama

2) Memperkenalkan unsur kata/suku kata

mana mimi
ma.. .. mi

.. na mi ..

….. …..

ma na

mi mi
3) Memperkenalkan unsur suku kata/huruf

Ma ma

m a m a

92
….. a m a

…. …. m a

…. …. …. a
…. …. …. ….

m a

m a

Ada hal penting yang harus diperhatikan guru dalam menguraikan suku kata menjadi
bunyi-bunyi huruf. Perhatikan ilustrasi berikut.
(Guru memperlihatkan kartu suku kata [ma])
Guru : /ma/ (suku kata ini diucapkan panjang dan bunyi [m] didengungkan
Murid : [mmm] (panjang)
Guru : Lalu?
Murid : [a…] (panjang)
4) Memperkenalkan unsur suku kata/huruf
Perhatikan contoh kartu-kartu huruf berikut serta bentukan-bentukan kata yang
dihasilkannya

93
n

i n i

i i n

a m i n

m a i n

i m a n

m i n a

5) Merangkai suku kata menjadi kata


Anda dapat melakukannya seperti pada butir (d) di atas, namun kartu yang
dipergunakan untuk merangkai kata adalah kartu-kartu suku kata. Demikianlah model-model
alternatif pengajaran membaca permulaan tanpa buku. Anda dapat mengembangkan model
lain yang lebih kreatif dan menarik serta cocok dengan situasi dan kondisi murid-murid
Anda. Pengajaran menulis permulaan tanpa buku dapat dilakukan melalui pelatihan mekanik
untuk melemaskan otot-otot tangan, misalnya berlatih membuat telur atau lingkaran di udara,
membuat pagar di udara, menirukan gambar huruf di udara, dan sejenisnya.

94
2. Langkah-langkah Pembelajaran MMP dengan Menggunakan Buku
Setelah Anda memastikan diri bahwa murid-murid Anda mengenal bentuk-bentuk tulisan
dengan baik melalui pembelajaran membaca tanpa buku, langkah selanjutnya anak-anak mulai
diperkenalkan dengan lambang-lambang tulis yang tercetak di dalam buku. Langkah hal yang
paling penting di dalam pembelajaran MMP dengan buku adalah bagaimana menarik minat dan
perhatian siswa agar mereka tertarik dengan buku (bacaan) dan mau belajar sendiri yang
dilandasi motivasi intrinsik. Kondisi belajar terpakasa atau dipaksakan harus dihindari.
Ada beberapa tawaran alternatif langkah pembelajaran MMP dengan menggunakan
buku. Kegiatan pembeljaran pada fase ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan awal, yakni
pembelajaran MMP tanpa buku. Dengan demikian, diasumsikan anak-anak tidak berangkat dari
kondisi nol. Berikut beberapa alternatif pembelajaran yang penulis tawarkan.
a. Membaca Buku Pelajaran (Buku Paket)
Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut ini.
1) Siswa diberi buku (paket) yang sama dan diberi kesempatan untuk melihat-lihat isi buku
tersebut. Mereka mungkin membuka-buka dan membolak-balik halaman demi halaman dari
buku tersebut hanya sekedar untuk melihat-lihat gambarnya saja. Oleh karena itu penting
bagi guru untuk mempertimbangkan segi kemenarikan ilustrasi di dalam memilih buku ajar
untuk siswa.
2) Siswa diberi penjelasan singkat mengenai buku tersebut: tentang warna, jilid, tulisan/judul
luar, dan sebagainya.
3) Siswa diberi penjelasan dan petunjuk tentang bagaimana cara membuka halaman-halaman
buku agar buku tetap terpelihara dan tidak cepaat rusak.
4) Siswa diberi penjelasan mengenai fungsi dan kegunaan angka-angka yang menunjukkan
halaman-halaman buku.
5) Siswa diajak memusatkan perhatian pada salah satu teks/bacaan yang terdapat pada halaman
tertentu.
6) Jika bacaan itu disertai gambar, sebaiknya terlebih dahuku guru bercerita tentang gambar
dimaksud.
7) Selanjutnya, barulah pelajaran membaca dimulai. Guru dapat mengawali pembelajaran ini
dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang mengawalinya dengan pemberian contoh (pola
kalimat yang tersedia dengan llafal dan intonasi yng baik dan benar), ada yang langsung

95
meminta contoh dari salah seorang siswa yang dianggap sudah mampu membaca dengan
baik (melek huruf), atau dengan cara lainnya.
Pembelajaran membaca selanjutnya dapat dilakukan seperti contoh-contoh model
pembelajaran membaca tanpa buku. Perbedaannya terletak pada alat ajarnya. Membaca tanpa
buku dilakukan dengan memanfaatkan gambar-gambar, kartu-kartu, dan lain-lain; sementara
membaca dengan menggunakan buku memanfaatkan buku sebagai alat dan sumber belajar. Hal
lain yang perlu Anda perhatikan dalam pembelajaran MMP adalah penerapan prinsip dan hakikat
pembelajaran bahasa (bahasa Indonesia). Salah satu prinsip pengajaran bahasa dimaksud adalah
bahwa pembelajaran bahasa harus dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, model pembelajaran bahasa harus didaarkan pada pendekatan
komunikatif-integratif. Artinya, di samping mengajarkan membaca, guru harus pandai menggali
potensi anak dalam melakukan aktivitas berbahasanya seperti menyimak, berbicara, membaca,
menulis, dan apresiasi sastra.
b. Membaca Buku dan Majalah Anak yang Sudah Terpilih
Pengenalan terhadap jenis bacaan lain selain buku ajar sangat membantu anak di dalam
menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca sejak dini. Namun, tentu saja pemilihan buku dan
majalah bebas itu perlu dilakukan guru dengan mempertimbangkan taraf kemampuan siswa, azas
kebermaknaan dan kebermanfaatan, kemenarikan, keterbacaan, dan kemudahan memperolehnya.
Untuk langkah awal, bacaan-bacaan sederhana hendaknya menjadi pilihan utama. Kosakata yang
dipakai dalam bacaan tersebut hendaknya mengandung huruf-huruf yang sudah dikenal anak, di
samping pemakaian kosakata yang juga dianggap yang sudah dikenal anak.
c. Membaca Bacaan Susunan Bersama Guru-Siswa
Untuk menerapkan model ini, langkah-langkah yang ditempuh antara lain:
1) Guru memperlihatkan beberapa gambar, anak diminta menyebutkan gambar-gambar
tersebut.
2) Di samping gambar, guru juga memperlihatkan beberapa kartu (bisa kartu huruf, kartu suku
kata, atau kartu kata). Anak diminta menempelkan kartu-kartu dimaksud di bawah gambar
sehingga gambar-gambar dimaksud menjadi berjudul.
3) Satu-dua buah gambar dipilih anak untuk bahan diskusi dan sebagai stimulasi untuk
membuat bacaan bersama. Melalui arahan dan bimbingan guru, misalnya melalui kegiatan
tanya jawab, diharapkan guru dan siswa dapat menyusun bacaan bersama. Pada kegiatan ini,

96
usahakan mengajak siswa untuk membuat kalimat-kalimat. Kalimat-kalimat tersebut lalu
disusun menjadi bacaan sederhana.

Contoh:
a) Guru memperlihatkan gambar seorang anak perempuan yang sedang membonceng anak
laki-laki menggunakan sepeda roda tiga.
b) Disediakan kartu huruf yang terdiri atas:
/a/ (13 buah); /1/ (15 buah); /e/ (4 buah); /m/ (6 buah); /s/ (2 buah); /p/ (2 buah); /d/ (5
buah); /k/ (2 buah); /n/ (10 buah); /g/ (2buah); /o/ (2 buah); /t/ (2 buah).
c) Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai gambar:
Guru : Siapakah nama anak perempuan ini?
Siswa: ini mimi
Guru : Siapakah nama anak laki-laki ini?
Siswa: ini nana
Guru : Yang mana kakaknya?
Siswa: mimi
Guru :Yang mana adiknya?
Siswa: nana
Guru : Mereka naik apa?
Siswa: sepeda
Guru : Ada berapa roda sepeda ini?
Siswa: ada tiga (dan seterusnya)
d) Kemungkinan wacana/bacaan yang dihasilkan bersama:
ini mimi
ini nana
nana adik mimi
mimi dan nana naik sepeda
sepeda roda tiga
sepeda baru dari ibu
e) Guru menyajikan gambar dengan bacaan hasil susunan bersama antara guru-siswa
sebagai bahan ajar membaca permulaan.

97
d. Membaca Bacaan Susunan Siswa (Kelompok-Perseorangan)
Langkah-langkah yang ditempuh pada kegiatan ini pada dasarnya hampir sama dengan
kegiatan membaca bacaan susunan bersama guru-siswa. Hanya pada kegiatan ini lebih banyak
melibatakan kegiatan siswa. Guru berkeliling untuk mengontrol dan membimbing siswa dan atau
kelompok siswa yang mengalami kesulitan. Tentu saja, pada kegiatan ini lebih banyak
diperlukan alat bantu, baik gambar-gambar maupun kartu-kartu, atau alat ajar lainnya.

Langkah-langkah Pembelajaran Menulis Permulaan


1) Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi ke dalam dua kelompok, yakni
a) penegenalan huruf,
Pengenalan Huruf Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan pembelajaraan
membaca permulaan. Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan
serta pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra
siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan.
contoh pembelajaran pengenalan bentuk tulisan untuk murid kelas 1 SD. Misalnya, guru
hendak memperkenalkan huruf a, i, dan n. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai
berikut:
1) Guru menunjukkan gambar seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kedua
gambar anak tersebut diberi nama “nani” dan “nana”.
2) Guru memperkenalkan nama kedua anak itu sambil menunjukkan tulisan “nani” dan
“nana” yang tertera di bawah masing-masing gambar.
3) Melalui proses tanya jawab secara berulang-ulang anak diminta menunjukkan mana
“nani” dan mana “nana” sambil diminta menunjukkan bentuk tulisannya.
4) Selanjutnya, guru memindahkan dan menuliskan kedua bentuk tulisan tersebut di papan
tulis dan anak diminta memperhatikannya. Guru hendaknya menulis secara perlahan-
lahan dan anak diminta untuk memperhatikan gerakan-gerakan tangan serta contoh
pengucapan dari bentuk tulisan yang sedang ditulis guru.

5) Setiap tulisan itu kemudian dinalisis dan disintesiskan kembali. Perhatikan contoh
tulisan berikut.
nani

98
na ni
n a n i
na ni
nani
atau

nana
na na
n a n a
na na
nana

Demikian seterusnya, kegiatan ini dilakukan berulang-ulang bersamaan dengan


pembelajaran membaca permulaan. Proses pemberian latihan dilaksanakan dengan
mengikuti prinsip dari yang mudah ke yang sukar, dari latihan sederhana menuju latihan
yang kompleks. Ada beberapa bentuk latihan menulis permulaan yang dapat kita lakukan,
antara lain:
1) Latihan memegang pinsil dan duduk dengan sikap dan posisi yang benar. Tangan kanan
berfungsi untuk menulis, tangan kiri untuk menekan buku tulis agar tidak mudah
bergeser. Pensil diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk. Ujung ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah menekan pensil dengan luwes, tidak kaku. Posisi badan ketika duduk hendaknya
tegak. Dada tidak menempel pada meja, jarak mata antara mata dengan buku kira-kira
25-30 cm.
2) Latihan gerakan tangan. Mula-mula melatih gerakan tangan di udara dengan telunjuk
sendiri atau dengan bantuan alat seperti pinsil, kemudian dilanjutkan dengan latihan
dalam buku latihan. Agar kegiatan ini menarik, sebaiknya disertai dengan kegiatan
bercerita, misalnya untuk melatih membuat garis tegak lurus guru dapat bercerita yang
ada kaitannya dengan pagar, bulatan dengan telur.
3) Latihan mengeblat, yakni menirukan atau menebalkan suatu tulisan dengan menindas
tulisan yang telah ada. Ada beberapa cara mengeblat yang bisa dilakukan anak, misalnya
dengan menggunakan kertas karbon, kertas tipis, menebalkan tulisan yang sudah ada.

99
Sebelum anak melakukan kegiatan ini, guru hendaknya memberi contoh cara menulis
dengan benar di papan tulis, kemudian menirukan gerakan tersebut dengan telunjuknya di
udara. Setelah itu, barulah kegiatan mengeblat dimulai. Pengawasan dan pembimbingan
harus dilakukan secara individual sampai seluruh anak memberikan perhatiannya.
4) Latihan menghubung-hubungkan tanda titik-titik yang membentuk tulisan. Latihan dapat
dilakukan dalam buku-buku yang secara khusus menyajikan latihan semacam ini.
5) Latihan menatap bentuk tulisan. Latihan ini dimaksudkan untuk melatih koordinasi antara
mata, ingatan, dan jemari anak ketika menulis sehingga anak dapat mengingat bentuk
kata atau bentuk huruf dalam benaknya dan memindahkannya ke jari-jemari tangannya.
Dengan demikian, gambaran kata yang hendak ditulis tergores dalam ingatan dan pikiran
siswa pada saat dia menuliskannya.
6) Latihan menyalin, baik dari buku pelajaran maupun dari tulisan guru pada papan tulis.
Latihan ini hendaknya diberikan setelah dipastikan bahwa semua anak telah mengenal
huruf dengan baik. Ada beragam model variasi latihan menyalin, di antaranya menyalin
tulisan apa adanya sesuai dengan sumber yang ada, menyalin tulisan dengan cara yang
berbeda, misalnya dari huruf cetak ke huruf tegak bersambung, atau sebliknya dari huruf
tegak bersambung ke huruf cetak.
7) Latihan menulis halus/indah. Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan buku
bergaris untuk latihan menulis atau buku kotak. Ada petunjuk berharga yang dapat Anda
ikuti, jika mrid-murid Anda tidak memiliki fasilitas seperti itu. Perhatikan petunjuk
berikut dengan cermat.
Untuk tulisan/huruf cetak, bagilah setiap baris pada halaman buku menjadi dua.
Untuk ukuran dan bentuk tulisan, lihat pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional.
1. Untuk tulisan tegak bersambung. Bagilah setiap baris pada halaman buku menjadi
tiga bagian. Untuk ukuran dan bentuk tulisan lihat pedoman dari Depdiknas.
2. Latihan dikte/imla. Latihan ini dimaksudkan untuk melatih siswa dalam
mengkoordinasikan antara ucapan, pendengaran, ingatan, dan jari-jarinya ketika
menulis, sehingga ucapan seseorang itu dapat didengar, diingat, dan dipindahkan ke
dalam wujud tulisan dengan benar.

100
3. Latihan melengkapi tulisan (melengkapi huruf, suku kata, atau kata) yang secara
sengaja dihilangkan. Perhatikan contoh berikut
a. Melengkapi huruf
bola

b …. l a

……. O l a

b. Melengkapi suku kata

adik bermain
a dik ber ma ..

a .. ber .. in
.. .. ber .. ..
.. .. .. .. ..

c. Menuliskan nama-nama benda yang terdapat dalam gambar


Berikut ini akan disajikan berbagai alternatif pengenalan berbagai unsur
bahasa melalui kartu-kartu.

Beri
gambar
bola

d. Mengarang sederhana dengan bantuan gambar.


Ikuti langkah-langkah berikut ini.
1) Guru menunjukkan suatu susunan gambar berseri.
2) Guru menceritakan dan bertanya jawab tentang tema, isi, dan maksud gambar.

101
3) Siswa diberi tugas untuk menulis karangan sederhana sesuai dengan
penafsiran-nya mengenai gambar tadi atau sesuai dengan cerita gurunya
dengan menggunakan kata-kata sendiri.
E. Penilaian Pembelajaran Membaca Dan Menulis Permulaan
Evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses pengumpulan, pengolahan, dan
pemaknaan data (informasi) untuk menentukan kualitas sesuatu yang terkandung dalam data
tersebut. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, data atau informasi tersebut diperoleh melalui
serangkaian kegiatan atau peristiwa yang terjadi di dalam pembelajaran. Kegiatan-kegiatan
dimaksud berkaitan dengan apa yang dilakukan guru, apa yang terjadi di dalam kelas, dan apa
yang dilakukan dan diperoleh siswa. Sekaitan dengan penilaian dalam pembelajaran MMP di
kelas rendah sekolah dasar, penilaian itu tentunya harus bersesuaian dengan tujuan dan hakikat
pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya. Penilaian dimaksud berkenaan dengan penilaian
terhadap proses dan penilaian terhadap hasil.
Mengapa penilaian itu harus mencakupi proses belajar dan hasil belajar? Dalam
kaitannya dengan pertanyaan “apa yang terjadi di dalam kelas?” dan “apa yang dilakukan dan
diperoleh siswa melalui pembelajaran di kelas?”, jawaban atas pertanyaan tersebut mustahil
hanya bisa digali melalui penilaian terhadap hasil belaka tanpa melihat prosesnya. Di samping
itu, sasaran penilaian itu pun harus mencakupi tiga ranah, yakni ranah kognitif (kemampuan
intelektual), ranah afektif (emosi dan sikap), dan ranah psikomotor (keterampilan). Oleh
karenanya, penilaian ini harus bersifat utuh dan menyeluruh. Keharusan akan penilaian yang
bersifat utuh dan menyeluruh tersebut mustahil dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan
pada alat penilaian yang berupa tes belaka. Alat penilaian yang berbentuk tes dan nontes yang
dilakukan, baik terhadap proses maupun hasil diharapkan akan dapat memberikan gambaran
kemampuan dan kemajuan belajar siswa secara utuh dan menyeluruh. Penilaian dengan cara
seperti ini dinamakan penilaian dengan pendekatan holistik.
Penilaian yang diarahkan pada proses dan hasil belajar siswa dimaksudkan untuk melihat
kemajuan dan hasil belajar yang dicapai masing-masing siswa. Berdasarkan informasi kemajuan
dan hasil belajar yang bersifat individual itu, hasil penilaian tersebut dapat juga digunakan untuk
membandingkan kemampuan antarsiswa dalam kelas tersebut. Dengan demikian, hasil penilaian
dimaksud akan menjadi bahan masukan yang berharga untuk menentukan tingkat keberhasilan
anak dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan guru. Di samping itu, guru juga

102
akan mendapat masukan tentang kesulitan-kesulitan yang dialami siswanya dalam belajar.
Berbekal informasi tersebut, guru akan dapat memilih dan merancang pembelajaran dan
memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak didiknya.
1. Penilaian Proses
Penilaian proses dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dalam kegiatan
belajar-mengajar. Dalam proses pembelajaran dimaksud, guru akan memperhatikan aktivitas,
respon, kegiatan, minat, sikap, dan upaya-upaya siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut, perkembangan dan kemajuan belajar siswa akan diketahui. Bukan
hanya itu, masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar juga akan
terdeteksi. Demikian juga dengan respon dan tanggapan siswa terhadap kemajuan belajar yang
dicapainya atau terhadap masalah yang dihadapinya akan dapat diketahui. Berdasarkan
penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa informasi yang harus terekam melalui proses
ini meliputi tiga ranah, yakni ranah kognisi, afeksi, dan psikomotor. Oleh karenanya, untuk
mendapatkan informasi tentang ketiga ranah tersebut dalam proses belajar tidak bisa hanya
mengandalkan satu jenis alat penilaian tertentu. Alat penilaian yang berbentuk tes pada
umumnya cocok untuk menggali hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan kognisi, sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan kemampuan afeksi dan psikomotor lebih cocok bila digali dengan
alat penilaian nontes.
Tes adalah serangkaian pertanyaan yang harus dijawab, pernyataan yang harus
ditanggapi, atau tugas yang harus dilaksanakan testee (peserta tes). Dalam pembelajaran MMP,
teknik tes dapat dilakukan untuk mengetahui dan menilai sejauh mana kemampuan dan
penguasaan siswa dalam hal kemelekhurufan (kemampuan membaca tingkat dasar) dan
kemampuan menulis secara teknis.
Berdasarkan cara pelaksanaannya, alat penilaian teknik tes dapat dilakukan secara
tertulis, lisan, dan perbuatan.
a. Tes tertulis merupakan alat penilaian yang penyajian maupun pengerjaannya dilakukan
dalam bentuk tertulis. Pengerjaannya oleh sisa dapat berupa jawaban atas pertanyaan atau
tanggapan, baik atas pernyataan maupun tugas yang diberikan atau diperintahkan.
b. Tes lisan merupakan alat penilaian yang penyajian maupun pengerjaannya dilakukan dalam
bentuk lisan. Dalam cara ini pun, pengerjaannya oleh siswa dapat berupa jawaban atas
pertanyaan atau tanggapan atas pernyataan.

103
c. Tes perbuatan merupakan alat penilaian yang penugasannya dapat dismpaikan secara tertulis
atau lisan dan pengerjaannya oleh siswa dilakukan dalam bentuk penampilan atau perbuatan.
Teknik nontes merupakan alat penilaian yang dilakukan untuk memperoleh gambaran
mengenai karakteristik minat, sikap, dan kepribadian. Teknik ini pada umumnya digunakan
untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tengah terjadi dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan kata lain, teknik nontes lebih cocok digunakan dalam penilaian proses. Sedangkan untuk
penilaian hasil dapat dilakukan dengan kedua-duanya, baik teknik tes maupun teknik nontes.
2. Penilaian Hasil
Penilaian hasil dimaksudkan untuk menentukan pencapaian atau hasil belajar siswa. Alat
penilaian yang digunakan bisa berupa tes maupun nontes. Untuk menilai pencapaian hasil belajar
siswa dalam pembelajaran MMP di kelas rendah dimaksudkan untuk menilai kemampuan siswa
dalam hal “kemelekhurufan” yang dicapainya. Kemampuan-kemampuan dimaksud meliputi
pengenalan atas satuan-satuan lambang bahasa yang berupa huruf, suku kata, kata, dan kalimat
sederhana.
Tes membaca permulaan dapat mengambil bentuk-bentuk seperti berikut ini.
a. Membaca nyaring; siswa diminta untuk melafalkan lambang tertulis baik berupa lambang
yang berupa, huruf, suku kata, kata, atau kalimat sederhana. Melalui tes ini, guru akan dapat
menilai kemampuan siswa dalam mengidentifikasi lambang-lambang bunyi, melafalkannya,
dan memaknainya.
b. Mengisi wacana rumpang dalam berbagai tataran kebahasaan sesuai dengan pemokusan
pembelajaran yang diberikan. Teknik isian rumpang untuk membaca permulan tidak
berpatokan pada teknik isian rumpang sebagaimana halnya untuk membaca tingkat lanjut
(membaca pemahaman) yang aturannya sudah baku, misalnya dengan pelesapan setiap kata
kelima, keenam, atau ketujuh secara konsisten. Misalnya, untuk tes identifikasi lambang
bunyi berupa lambang huruf, penyajian struktur dapat dilakukan dalam bentuk sajian kata
dengan menghilangkan bagian-bagian huruf yang hendak diteskan. Demikian juga, dengan
perumpangan suku kata atau kata. Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh pelesapan huruf
B o l …

Contoh pelesapan suku kata:

104
ini mimi (sebaiknya dibantu dengan gambar)
i-ni mi-… i-… mi-mi
Contoh pelesapan kata pada teks sederhana dapat dikombinasikan dengan gambar. (Teks
ini sebaiknya diambil dari teks yang pernah diperkenalkan kepada anak)
ini … (gambar anak laki-laki)
ini … (gambar perempuan dewasa) budi dan seterusnya
c. Menjawab dan mengajukan pertanyaan dari teks tertulis (teks sederhana)
Untuk sekedar mengecek pemahaman siswa terhadap teks-teks sederhana, guru dapat
mengajukan beberapa pertanyaan sederhana untuk menilai kemampuan siswa dalam memahami
lambang-lambang tertulis. Sebaliknya, siswa juga dapat dirangsang untuk mengajukan
pertanyaan sehubungan dengan teks yang dibacanya.

Latihan
1. Jelaskan Pengertian pembelajaran membaca dan menulis permulaan.
2. Jelaskan tujuan pembelajaran membaca dan menulis permulaan.
3. Jelaskan Tujuan pembelajaran membaca dan menulis permulaan,
4. Jelaskan Metode pembelajaran membaca dan menulis permulaan,
5. Jelaskan pembelajaran membaca dan menulis permulaan,
6. Jelaskan Langkah-langkah pembelajaran membaca dan menulis permulaan,
7. Rancanglah sebuah system penilaian pembelajaran membaca dan menulis permulaan

BAB 9
PROGRAM PEMBELAJARAN BAHASA TERPADU

Kemampuan Akhir yang Diharapkan


Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan program
pembelajaran bahasa terpadu, mengidentifikasi hubungan antarketerampilan berbahasa,
hubungan membaca dan menulis, hubungan berbicara dan menulis, hubungan menyimak dan
berbicara, hubungan menyimak dan membaca, prinsip-prinsip untuk mencapai keterpaduan,
keterpaduan pembelajaran bahasa, keterpaduan dalam satu keterampilan berbahasa,

105
keterpaduan antarketerampilan berbahasa, keterpaduan lintas kurikulum, keterpaduan bahasa
dan IPS, keterpaduan bahasa dan IPA,.

A. Pengertian Pembelajaran Bahasa Terpadu


Terdapat dua istilah yang secara teoretis memiliki hubungan yang sangat erat, yaitu
integrated curriculum (kurikulum terpadu) dan integrated learning (pembelajaran terpadu).
Kurikulum terpadu adalah kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui
pemaduan isi, keterampilan, dan sikap (Wolfinger, 1994:133; Soewignyo, 1996). Rasional
pemaduan itu antara lain disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1. Kebanyakan masalah dan pengalaman (termasuk pengalaman belajar) bersifat
interdisipliner, sehingga untuk memahami, mempelajari dan memecahkannya diperlukan
“multi-skill”.
2. Adanya tuntutan interaksi kolaboratif yang tinggi dalam memecahkan berbagai masalah.
3. Memudahkan anak membuat hubungan antar skemata dan transfer pemahaman antar
konteks.
4. Demi efisiensi; dan
5. Adanya tuntutan keterlibatan anak yang tinggi dalam proses pembelajaran.
Sejalan dengan hal tersebut, pembelajaran terpadu banyak dipengaruhi oleh eksplorasi
topik yang ada di dalam kurikulum sehingga anak dapat belajar menghubungkan proses dan isi
pembelajaran secara lintas disiplin dalam waktu yang bersamaan.
Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat diartikan sebagai pendekatan
pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang
bermakna kepada siswa. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, siswa akan
memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan
menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pahami.
Fokus perhatian pembelajaran terpadu terletak pada proses yang ditempuh siswa saat
berusaha memahami isi pembelajaran sejalan dengan bentuk-bentuk keterampilan yang harus
dikembangkannya (Aminuddin, 1994). Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian pembelajaran
terpadu dapat dilihat sebagai:

106
1. Pembelajaran yang beranjak dari suatu tema tertentu sebagai pusat perhatian (center of
interest) yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal
dari mata pelajaran yang bersangkutan maupun dari mata pelajaran lainnya;
2. Suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai mata pelajaran yang
mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan
anak;
3. Suatu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak secara serempak
(simultan);
4. Merakit atau menggabungkan sejumlah konsep dalam beberapa mata pelajaran yang
berbeda, dengan harapan siswa akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan yang berorientasi pada praktik
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak. Pendekatan ini berangkat dari
teori pembelajaran yang menolak proses latihan/hafalan (drill) sebagai dasar pembentukan
pengetahuan dan struktur intelektual anak. Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi
Gestalt, (termasuk teori Piaget) yang menekankan bahwa pembelajaran itu haruslah bermakna
dan menekankan juga pentingnya program pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan
perkembangan anak.
Pelaksanaan pendekatan pembelajaran terpadu ini bertolak dari suatu topik atau tema
yang dipilih dan dikembangkan oleh guru bersama-sama dengan anak. Tujuan dari tema ini
bukan hanya untuk menguasai konsep-konsep mata pelajaran, akan tetapi konsep-konsep dari
mata pelajaran terkait dijadikan sebagai alat dan wahana untuk mempelajari dan menjelajahi
topik atau tema tersebut. Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, maka
pembelajaran terpadu tampaknya lebih menekankan pada keterlibatan anak dalam proses belajar
atau mengarahkan anak secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan pembuatan
keputusan. Pendekatan pembelajaran terpadu ini lebih menekankan pada penerapan konsep
belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing).
B. Karakteristik Pembelajaran Bahasa Terpadu
Penerapan pendekatan pembelajaran terpadu di sekolah dasar bisa disebut sebagai suatu
upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan, terutama dalam rangka mengimbangi gejala
penjejalan isi kurikulum yang sering terjadi dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah kita. Penjejalan isi kurikulum tersebut dikhawatirkan akan mengganggu

107
perkembangan anak, karena terlalu banyak menuntut anak untuk mengerjakan aktivitas atau
tugas-tugas yang melebihi kapasitas dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, anak kehilangan
sesuatu yang seharusnya bisa mereka kerjakan. Jika dalam proses pembelajaran, anak hanya
merespon segalanya dari guru, maka mereka akan kehilangan pengalaman pembelajaran yang
alamiah dan langsung (direct experiences). Pengalaman-pengalaman sensorik yang membentuk
dasar kemampuan pembelajaran abstrak siswa menjadi tidak tersentuh, padahal hal tersebut
merupakan karakteristik utama perkembangan anak usia sekolah dasar. Di sinilah mengapa
pembelajaran terpadu sebagai pendekatan baru dianggap penting untuk dikembangkan di sekolah
dasar.
Terdapat beberapa karakteristik yang perlu Anda pahami dari pembelajaran terpadu.
Coba perhatikan uraian berikut ini, kemudian Anda bandingkan dengan pembelajaran
konvensional yang biasa dilakukan oleh guru di sekolah saat ini.
1. Pembelajaran terpadu berpusat pada siswa (student centered). Hal ini sesuai dengan
pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar.
Peran guru lebih banyak sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan
kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
2. Pembelajaran terpadu dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa (direct
experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata
(konkrit) sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak.
3. Dalam pembelajaran terpadu pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas.
Bahkan dalam pelaksanaan di kelas-kelas awal sekolah dasar, fokus pembelajaran diarahkan
kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
4. Pembelajaran terpadu menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu
proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat memahami konsep-konsep tersebut
secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah
yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pembelajaran terpadu bersifat luwes (fleksibel), sebab guru dapat mengaitkan bahan ajar
dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan dengan kehidupan
siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
6. Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Dengan
demikian, siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

108
C. Prinsip-prinsip Pembelajaran Bahasa Indonesia secara Terpadu
Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran
bahasa secara terpadu di sekolah dasar, terutama pada saat penggalian tema-tema, pelaksanaan
pembelajaran, dan pelaksanaan penilaian. Dalam proses penggalian tema-tema perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk
memadukan mata pelajaran.
2. Tema harus bermakna, maksudnya tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal
bagi siswa untuk belajar selanjutnya.
3. Tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Tema yang dikembangkan harus mampu menunjukkan sebagian besar minat siswa.
5. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di
dalam rentang waktu belajar.
6. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang berlaku serta harapan
masyarakat.
7. Tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar.
Dalam proses pelaksanaan pembelajaran bahasa secara terpadu perlu diperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Guru hendaknya tidak bersikap otoriter atau menjadi “single actor” yang mendominasi
aktivitas dalam proses pembelajaran.
2. Pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam setiap tugas yang
menuntut adanya kerjasama kelompok.
3. Guru perlu bersikap akomodatif terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali tidak
terpikirkan dalam perencanaan pembelajaran.
Dalam proses penilaian pembelajaran bahasa secara terpadu perlu diperhatikan prinsip-
prinsip sebagai berikut.
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penilaian diri (self-evaluation) di
samping bentuk penilaian lainnya.
2. Guru perlu mengajak para siswa untuk menilai perolehan belajar yang telah dicapai
berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan atau kompetensi yang telah disepakati.
D. Manfaat Pembelajaran Terpadu

109
Di bawah ini diuraikan beberapa manfaat yang dapat dipetik dari pelaksanaan
pembelajaran terpadu.
1. Dengan menggabungkan berbagai mata pelajaran akan terjadi penghematan karena tumpang
tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
2. Siswa dapat melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab materi pembelajaran lebih
berperan sebagai sarana atau alat daripada tujuan akhir itu sendiri.
3. Pembelajaran terpadu dapat meningkatkan taraf kecakapan berpikir siswa. Hal ini dapat
terjadi karena siswa dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih besar, lebih luas
dan lebih dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran.
4. Kemungkinan pembelajaran yang terpotong-potong sedikit sekali terjadi, sebab siswa
dilengkapi dengan pengalaman belajar yang lebih terpadu sehingga akan mendapat
pengertian mengenai proses dan materi yang lebih terpadu.
5. Pembelajaran terpadu memberikan penerapan-penerapan dunia nyata sehingga dapat
mempertinggi kesempatan transfer pembelajaran (transfer of learning).
6. Dengan pemaduan pembelajaran antar mata pelajaran diharapkan penguasaan materi
pembelajaran akan semakin baik dan meningkat.
7. Pengalaman belajar antar mata pelajaran sangat positif untuk membentuk pendekatan
menyeluruh pembelajaran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Siswa akan lebih
aktif dan otonom dalam pemikirannya.
8. Motivasi belajar dapat diperbaiki dan ditingkatkan dalam latar antar mata pelajaran. Para
siswa akan terlibat dalam “konfrontasi yang melibatkan banyak pemikiran” dengan pokok
bahasan yang dihadapi.
9. Pembelajaran terpadu membantu menciptakan struktur kognitif atau pengetahuan awal siswa
yang dapat menjembatani pemahaman yang terkait, pemahaman yang terorganisasi dan
pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep-konsep yang sedang dipelajari, dan akan
terjadi transfer pemahaman dari satu konteks ke konteks yang lain.
10. Melalui pembelajaran terpadu terjadi kerjasama yang lebih meningkat antara para guru, para
siswa, guru-siswa dan siswa-orang/nara sumber lain; belajar menjadi lebih menyenangkan;
belajar dalam situasi yang lebih nyata dan dalam konteks yang lebih bermakna.
D. Model Pembelajaran Terpadu

110
Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit tematisnya, Fogarty
(1991) mengemukakan sepuluh cara atau model dalam merencanakan pembelajaran terpadu.
Kesepuluh cara atau model tersebut adalah: (1) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4)
sequenced, (5) shared, (6) webbed, (7) threaded, (8) integrated, (9) immersed, dan (10)
networked. Dari sepuluh model yang disodorkan Fogarty, terdapat tiga model pembelajaran
terpadu yang nampaknya paling cocok atau tepat diterapkan di sekolah dasar kita yaitu model
jaring laba-laba (webbing), model keterhubungan (connected), dan model keterpaduan
(integrated). Di bawah ini diuraikan ketiga model pembelajaran terpadu tersebut beserta
kelebihan dan kelemahan dalam pelaksanaannya.
1. Model Jaring Laba-laba (Webbed)
Model webbed merupakan model yang paling populer. Model ini bertolak dari
pendekatan tematis sebagai pemadu bahan dan kegiatan pembelajaran. Dalam hubungan ini tema
dapat mengikat kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu (intrabidang studi)
maupun lintas mata pelajaran (antarbidang studi). Untuk membantu Anda memahami model ini,
coba perhatikan gambar atau ilustrasi di atas.
Model pembelajaran ini adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan
pendekatan tematik. Pendekan ini dimulai dengan menentukan tema, yang kemudian
dikembangkan menjadi subtema dengan memperhatikan keterkaitan tema tersebut dengan mata
pelajaran yang terkait. Dari subtema tersebut diharapakan aktivitas siswa dapat berkembang
dengan sendirinya.
Kekuatan pembelajaran terpadu model jaring laba-laba adalah sebagai berikut.
a. Adanya faktor motivasional yang dihasilkan dari menyeleksi tema yang sangat diminati.
b. Model jaring laba-laba relatif lebih mudah dilakukan oleh guru yang belum berpengalaman.
c. Model ini mempermudah perencanaan kerja tim untuk mengembangkan tema ke dalam
semua bidang isi pelajaran.
Kelemahan pembelajaran terpadu model jaring laba-laba sebagai berikut:
a. Langkah yang sulit dalam pembelajaran terpadu model jaring laba-laba adalah menyeleksi
tema
b. Adanya kecenderungan merumuskan suatu tema yang dangkal, sehingga hal ini hanya
berguna secara artifisial di dalam perencanaan kurikulum.
c. Guru dapat menjaga misi kurikulum

111
d. Dalam pembelajaran guru lebih fokus pada kegiatan daripada pengembangan konsep.
2. Model Keterhubungan (Connected)
Model connected dilandasi oleh anggapan bahwa butir-butir pembelajaran dapat
dipayungkan pada induk mata pelajaran tertentu. Butir-butir pembelajaran kosakata, struktur,
membaca dan mengarang misalnya, dapat dipayungkan pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Penguasaan butir-butir pembelajaran tersebut merupakan keutuhan dalam membentuk
kemampuan berbahasa dan bersastra. Hanya saja pembentukan pemahaman, keterampilan dan
pengalaman secara utuh tersebut tidak berlangsung secara otomatis. Karena itu, guru harus
menata butir-butir pembelajaran dan proses pembelajarannya secara terpadu. Untuk membantu
Anda memahami model ini, coba perhatikan gambar atau ilustrasi di atas.
Model keterhubungan adalah model pembelajaran terpadu yang secara sengaja
diusahakan untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lain, satu topik dengan topik lain,
satu keterampilan dengan keterampilan lain, tugas-tugas yang dilakukan dalam satu hari dengan
tugas-tugas yang dilakukan dihari berikutnya, bahkan ide-ide yang dipelajari dalam satu semester
dengan ide-ide yang akan dipelajari pada semester berikutnya di dalam satu mata pelajaran.
Kekuatan pembelajaran terpadu model keterhubungan adalah:
a. Dengan mengaitkan ide-ide dalam satu mata pelajaran, siswa memiliki keuntungan
gambaran yang besar seperti halnya suatu mata pelajaran yang terfokus pada satu aspek.
b. Konsep-konsep kunci dikembangkan siswa secara terus menerus sehingga terjadi
internalisasi.
c. Mengaitkan ide-ide dalam suatu mata pelajaran memungkinkan siswa mengkaji,
mengkonseptualisasi, memperbaiki, dan mengasimilasi ide secara berangsur-angsur dan
memudahkan transfer atau pemindahan ide-ide tersebut dalam memecahkan masalah.
Adapun kelemahan model pembelajaran keterhubungan adalah:
a. Berbagai mata pelajaran di dalam model ini tetap terpisah dan nampak tidak terkait,
walaupun hubungan dibuat secara eksplisit antara mata pelajaran (interdisiplin).
b. Guru tidak didorong untuk bekerja secara bersama-sama sehingga isi pelajaran tetap
terfokus tanpa merentangkan konsep-konsep dan ide-ide antara mata pelajaran.
c. Usaha-usaha yang terkonsentrasi untuk mengintregrasikan ide-ide dalam suatu mata
pelajaran dapat mengabaikan kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang lebih
global dengan mata pelajaran lain.

112
3. Model Keterpaduan (Integrated)
Model integrated merupakan pemaduan sejumlah topik dari mata pelajaran yang berbeda,
tetapi esensinya sama dalam sebuah topik tertentu. Topik evidensi yang semula terdapat dalam
mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Alam, dan Pengetahuan Sosial, agar
tidak membuat muatan kurikulum berlebihan cukup diletakkan dalam mata pelajaran tertentu,
misalnya Pengetahuan Alam. Contoh lain, dalam teks membaca yang
merupakan bagian mata pelajaran Bahasa Indonesia, dapat dimasukkan butir
pembelajaran yang dapat dihubungkan dengan Matematika, Pengetahuan Alam, dan sebagainya.
Dalam hal ini diperlukan penataan area isi bacaan yang lengkap sehingga dapat dimanfaatkan
untuk menyampaikan berbagai butir pembelajaran dari berbagai mata pelajaran yang berbeda
tersebut. Ditinjau dari penerapannya, model ini sangat baik dikembangkan di SD. Untuk
membantu Anda memahami model ini, coba perhatikan gambar atau ilustrasi di atas.
Model ini merupakan model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan
antarmata pelajaran. Model ini diusahakan dengan cara menggabungkan mata pelajaran dengan
cara menetapkan prioritas kurikuler dan menentukan keterampilan, konsep, dan sikap yang
saling tumpang tindih di dalam beberapa mata pelajaran. Berbeda dengan model jaring laba-laba
yang menuntut pemilihan tema dan pengembangannya sebagai langkah awal, maka dalam model
keterpaduan tema yang terkait dan bertumpang tindih merupakan hal yang terakhir yang ingn
dicari dan dipilih oleh guru dalam tahap perencanaan program. Pertama guru menyeleksi konsep-
konsep, keterampilan dan sikap yang diajarkan dalan satu semester dari beberapa mata pelajaran,
selanjutnya dipilih beberapa konsep, keterampilan dan sikap yang memiliki keterhubungan yang
erat dan tumpang tindih di antara berbagai mata pelajaran.
Kekuatan model keterpaduan antara lain sebagai berikut.
a. Memudahkan siswa untuk mengarahkan keterkaitan dan keterhubungan di antara berbagai
mata pelajaran.
b. Memungkinkan pemahaman antar mata pelajaran dan memberikan penghargaan terhadap
pengetahuan dan keahlian.
c. Mampuh membangun motivasi.
Selain memiliki kelebihan, ketepaduan model integrated ini juga memiliki kelemahan,
yaitu:
a. Model ini model yang sangat sulit diterapkan secara penuh.

113
b. Model ini menghendaki guru yang trampil, percaya diri dan menguasai konsep, sikap dan
keterampilan yang sangat diprioritaskan.
c. Model ini menghendaki tim antar Mata pelajaran yang terkadang sulit dilakukan, baik dalam
perencanaan maupun pelaksanaan.
E. Hubungan Antar Keterampilan Berbahasa
1. Hubungan Menyimak dengan Berbicara
Kegiatan menyimak oleh Tompkins dan Hoskisson (dalam Aminuddin, 1997:72) disebut
sebagai “most mysterious language process’ Dinyatakan demikian karena pelajar yang tampak
dengan serius menyimak belum tentu memahami isi simakan. Sementara itu, pelajar yang
menyimak sambil melakukan aktivitas lain, misalnya membaca, ternyata ketika diberi pertanyaan
mampu menanggapi secara tepat. Sebab itulah bagi Tompkins dan Hoskisson, Listening is more
than just hearing. Dinyatakan demikian, karena hearing “mendengarkan” sebenarnya hanya
merupakan bagian dari menyimak. Penentuan demikian sesuai dengan konsepsi bahwa dalam
menyimak juga berlangsung kegiatan gagasan dan rekonstruksi makna sesuai dengan tangkapan
bunyi ujaran dan skemata penyimaknya.
Dalam percakapan sehari-hari, kata mendengar, mendengarkan, dan menyimak sering
kita gunakan. Dalam pengajaran keterampilan berbahasa makna ketiga kata itu dengan jelas
harus dibedakan. Perhatikan peristiwa-peristiwa berikut ini!
a. Karim sedang asyik menyusun laporan perjalanannya ke Tangkuban Perahu. Tiba-tiba
terdengar suara ”boom” di sebelah kamar belajarnya. Karim terperanjat dan berhenti
menulis sejenak. Ia menoleh ke arah datangnya suara itu, lalu meneruskan tugasnya.
b. Gani sedang sibuk menyelesaikan denah bangunan pesanan tuan Marto. Jam m-enunjukkan
pukul 2.30 pagi. Keadaan sepi. Teman sekamar Gani sudah tidur lelap. Tiba-tiba terdengar
suara dari tetangga sebelah ”Api! Api! Tolong! Tolong!” Gani tersentak, lalu lari ke luar
menuju suara tersebut. Gani melihat bangunan atau rumah Pak Hasan sedang dilahap api.
Gani pun dengan sigap membantu tuan rumah memadamkan api itu.
Ilustrasi yang tergambar dalam contoh pertama, peristiwa mendengar melukiskan Karim
benar-benar mendengar bunyi sesuatu yang jatuh. Ia hanya terperanjat, kaget, namun ia tidak
begitu terpengaruh terhadap suara itu. Buktinya Karim tetap meneruskan penyelesaian tugasnya.
Selanjutnya, pada ilustrasi contoh mendengar yang kedua, juga melukiskan Gani mendengar

114
sesuatu tanpa sengaja. Tetapi Gani tahu persis teriakan itu sekaligus menandakan bahaya, maka
ia cepat-cepat menuju sumber suara dan ikut memadamkan kebakaran itu.
Mendengarkan setingkat lebih tinggi tarafnya dari mendengar. Bila dalam peristiwa
mendengar belum ada faktor kesengajaan, maka dalam peristiwa mendengarkan faktor
kesengajaan sudah ada. Faktor pemahaman biasanya juga mungkin tidak ada karena hal itu
belum menjadi tujuanmendengar atau mendengarkan. Kegiatan mendengarkan sudah mencakup
kegaiatan mendengar. Contoh berikut ini melukiskan suatu peristiwa mendengarkan
Mira sedang sibuk menyelesaikan soal-soal matematik. Di depannya, di atas meja belajar,
radio kecil sedang menyiarkan lagu-lagu intrumentalia. Pada saat Mira sedang mengerjakan soal
terakhir, radio itu memancarkan lagu Mutiara dari Selatan. Lagu itu adalah lagu kesenangan
Mira. Mira pun berhenti sejenak dan membesarkan volume suara radio. Sambil mendengarkan
lagu itu Mira juga meneruskan pekerjaanya.
Di antara ketiga kegiatan, mendengar, mendengarkan, dan menyimak, taraf tertinggi
diduduki adalah kegiatan menyimak. Dalam peristiwa menyimak sudah ada faktor kesengajaan.
Faktor pemahaman merupakan unsur utama dalam setiap peristiwa menyimak. Bahkan lebih dari
itu, faktor perhatian dan penilaian pun selalu terdapat dalam peristiwa menyimak. Bila
mendengar sudah tercakup dalam mendengarkan maka baik mendengar maupun mendengarkan
sudah tercakup dalam menyimak.
Menyimak, sebagai salah satu keterampilan berbahasa, tidak kalah pentingnya dengan
berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak, berbicara, membaca, dan menulis harus disajikan
secara terpadu dalam pembelajaran keterampilan berbahasa di SD. Hal ini perlu dikemukakan
agar apa yang ditemukan oleh Chastain (Achsin, 1981) dapat dihindari, yaitu bahwa guru-guru
pada umumnya berasumsi keterampilan menyimak dengan sendirinya dapat berkembang dari
belajar berbicara saja. Dengan kata lain, pembelajaran menyimak itu sendiri tidak perlu diberikan
di sekolah.
Peristiwa menyimak diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa secara langsung atau
melalui rekaman radio, telepon, atau televisi. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga kita
diindentifikasi menjadi suku kata, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Jeda dan intonasi pun
ikut diperhatikan oleh penyimak. Bunyi bahasa yang diterima kemudian ditafsirkan maknanya
dan dinilai kebenarannya agar dapat diputuskan diterima tidaknya.

115
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menyimak merupakan proses yang mencakup
kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasikan, menafsirkan, menilai, dan mereaksi
terhadap makna yang termuat pada wacana lisan. Jadi, peristiwa menyimak pada hakikatnya
merupakan rangkaian kegiatan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi.
Menyimak harus dikaitkan dengan berbicara. Kedua kegiatan ini merupakan proses
interaksi antarwarga dalam masyarakat yang ditopang oleh alat komunikasi yang disebut bahasa
yang dimiliki dan dipahami bersama. Komunikasi dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya
disebut komunikasi verbal. Ada pula komunikasi lain dengan menggunakan gerak-gerik, isyarat
atau bendera sebagai alatnya. Kegiatan komunikasi dengan menggunakan alat bukan bahasa
seperti itu dinamakan komunikasi nonverbal. Pada kenyataannya, komunikasi verbal itulah yang
kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi verbal itulah yang kita ajarkan di
sekolah-sekolah.
Secara sederhana dapat kita katakan, menyimak merupakan proses memahami pesan
yang disampaikan melalui lisan. Sebaiknya, berbicara adalah proses penyampaian pesan dengan
menggunakan bahasa lisan. Pesan yang diterima oleh peyimak bukanlah wujud aslinya
melainkan berupa bunyi bahasa yang kemudian dialihkan menjadi bentuk semula yaitu ide atau
gagasan yang sama seperti yang dimaksudkan oleh pembicara. Di situ kita temukan adanya
kaitan antara menyimak dengan berbicara. Berdasarkan jenis bahasa yang digunakan, menyimak
dan berbicara termasuk keterampilan berbahasa lisan. Dengan berbicara seseorang
menyampaikan informasi melalui ujaran kepada kita. Dengan menyimak kita menerima
informasi dari seseorang. Pada kenyataanya, peristiwa berbicara selalu dibarengi dengan
peristiwa menyimak. Atau peristiwa menyimak pasti ada dalam peristiwa berbicara. Dalam
kegiatan komunikasi keduanya secara fungsional tidak terpisahkan. Dengan demikian,
komunikasi lisan tidak akan terjadi jika kedua kegiatan itu, yaitu berbicara dan menyimak, tidak
berlangsung sekaligus atau tidak saling melengkapi.
Dengan uraian di atas kita tahu bahwa dalam komunikasi lisan pembicara dan penyimak
berpadu dalam satu kegiatan yang resiprokal. Keduanya dapat berganti peran secara spontan, dari
pembicara menjadi penyimak atau sebaliknya, dari penyimak menjadi pembicara. Dengan
demikian, kegiatan berbicara dan menyimak saling mengisi atau saling melengkapi. Tidak ada
gunanya kita berbicara tanpa penyimak dan tidak mungkin terjadi peristiwa menyimak jika pada

116
saat yang tidak sama tidak ada yang berbicara. Dari situlah kita tahu bahwa berbicara dan
menyimak adalah dua kegiatan yang bersifat resiprokal.
Dawson dalam Tarigan (1994:3) menjelaskan hubungan antara berbicara dan
mendengarkan, seperti berikut ini.
a. Ujaran biasanya dipelajari melalui proses mendengarkan dan proses meniru. Dengan
demikian, materi yang didengarkan dan direkam dalam ingatan berpengaruh terhadap
kecakapan berbicara seseorang,
b. Ujaran seseorang mencerminkan pemakaian bahasa di lingkungan keluarga dan masyarakat
tempatnya hidup, misalnya dalam penggunaan intonasi, kosakata, dan pola-pola kalimat.
c. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan berarti pula
membantu meningkatkan kualitas berbicara.
d. Bunyi suara yang didengar merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap
kemampuan berbicara seseorang (terutama anak-anak). Oleh karena itu, suara dan materi
pembicaraan yang berkualitas baik yang didengar dari seorang guru, tokoh-tokoh, atau dari
pemuka-pemuka agama, dari rekaman-rekaman atau cerita-cerita yang bernilai tinggi,
sangat membantu anak atau seseorang yang sedang belajar berbicara.
2. Hubungan menyimak dan membaca
Seperti telah disinggung pada bagian terdahulu, mendengarkan danmembaca sama-sama
merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif. Mendengarkan berkaitan dengan
penggunaan bahasa ragam lisan, sedangkan membaca merupakan aktivitas berbahasa ragam
tulis. Ini sejalandengan penjelasan yang dikemukakan oleh Tarigan (1994:4) melalui diagram
berikut ini.

mendengarkan reseptif lisan (hasil berbicara)


membaca tulisan (hasil menulis)
(menerima informasi)
Gambar 1.7
Diagram Hubungan Mendengarkan dan Membaca
Dalam Gambar 1.7, bukan hanya menggambarkan hubungan antara endengarkan dan
membaca, melainkan juga memperlihatkan kaitan antara menyimak dan berbicara serta membaca
dan menulis.
Melalui diagram di atas tampak jelas bahwa baik mendengarkan maupun membaca
merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif. Perbedaannya hanya pada objek yang

117
menjadi fokus perhatian awal yang menjadi stimulus. Pada mendengarkan fokus perhatian
(stimulus) berupa suara (bunyi-bunyi), sedangkan pada membaca adalah lambang tulisan.
Kemudian, baik penyimak maupun pembaca melakukan aktivitas pengidentifikasian terhadap
unsur-unsur bahasa yang berupa suara (dalam mendengarkan) maupun berupa tulisan (dalam
membaca), yang selanjutnya diikuti dengan proses decoding guna memperoleh pesan yang
berupa konsep, ide atau informasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh si penyampainya.
Apabila ditinjau dari sudut pemerolehan atau belajar bahasa, aktivitas membaca dapat
membantu seseorang memperoleh kosakata yang berguna bagi pengembangan kemampuan
mendengarkan pada tahap berikutnya. Jadi, pengenalan terhadap kosakata baru pada aktivitas
membaca akan dapat meningkatkan kemampuan mendengarkan pada tahap berikutnya melalui
proses pengenalan kembali terhadap kosakata tersebut.
Sehubungan dengan proses pembelajaran bahasa, Tarigan (1994:4-5) menyatakan bahwa
mendengarkan pun merupakan faktor penting dalam belajar membaca secara efektif. Petunjuk-
petunjuk mengenai strategi membaca sering disampaikan guru di kelas dengan menggunakan
bahasa lisan. Untuk itu, kemampuan murid dalam mendengarkan dengan pemahaman sangat
penting.
Dari uraian di atas, kita dapat mengajukan hipotesis bahwa terdapat korelasi yang tinggi
antara kemampuan mendengarkan dan membaca pada kelas-kelas yang relatif tinggi. Apabila
terdapat peningkatan pada kemampuan yang satu maka akan diikuti dengan peningkatan pada
kemampuan yang lain (Tarigan, 1994:5).
3. Hubungan Membaca Dengan Menulis
Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa baik membaca maupun menulis
merupakan aktivitas berbahasa ragam tulis. Menulis merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat
produktif, sedangkan membaca merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat reseptif. Seseorang
menulis guna menyampaikan gagasan, perasaan atau informasi dalam bentuk tulisan. Sebaliknya,
seseorang membaca guna memahami gagasan, perasaan atau informasi yang disajikan dalam
bentuk tulisan tersebut.
Dalam menuangkan gagasan melalui kegiatan menulis, paling tidak terdapat tiga tahapan
yang dilakukan penulis, yakni perencanaan, penulisan, dan revisi. Ketika si penulis menyusun
perencanaan mengenai apa yang hendak ditulisnya, sering kali dibutuhkan banyak informasi
untuk bahan tulisannya itu. Salah satu cara menghimpun informasi itu dilakukan melalui

118
aktivitas membaca. Aktivitas membaca dan menulis dapat diibaratkan sebagai berikut. Sebelum
bisa mengalirkan air dari gentong, seseorang harus mengisi gentongnya terlebih dahulu dengan
air. Tidak mungkin seseorang dapat menuangkan air dari gentong jika gentongnya kosong.
Aktivitas pengisian air ke dalam gentong dapat disetarakan dengan kegiatan membaca.
Sementara aktivitas menuangkan air dari gentong dapat disetarakan dengan kegiatan menulis.
Selanjutnya, dalam proses penulisan si penulis acap kali pula melakukan bongkar-pasang
untuk tulisannya itu. Di sana-sini dilakukan revisi untuk bagian-bagian tulisan yang dirasanya
tidak sesuai dengan gagasan yang akan disampaikannya. Kegiatan bongkar-pasang tulisan ini
diperlukan aktivitas membaca, lalu menulis kembali secara berulang-ulang. Jadi, tampak jelas
bahwa kemampuan membaca penting sekali bagi proses menulis (Wray, 1994:96-97).
Sebaliknya pula, dalam kegiatan membaca, terutama dalam membaca pemahaman atau membaca
untuk kepentingan studi, sering kali kita harus menulis catatan-catatan, bagan, rangkuman, dan
komentar mengenai isi bacaan guna menunjang pemahaman kita terhadap isi bacaan. Bahkan,
kadang-kadang kita merasa perlu untuk menulis laporan mengenai isi bacaan guna berbagi
informasi kepada pembaca lain atau justru sekadar memperkuat pemahaman kita mengenai isi
bacaan. Selain itu, mungkin pula kita terdorong untuk menulis resensi atau kritik terhadap suatu
tulisan yang telah kita baca.
Berdasarkan gambaran di atas, tampak jelas bahwa antara aktivitas membaca dan menulis
begitu erat kaitannya dalam kegiatan berbahasa.
4. Hubungan Menulis Dengan Berbicara
Anda tentu sering menghadiri acara seminar, bahkan mungkin pernah menjadi
pemakalahnya. Seorang pembicara dalam seminar biasanya diminta menulis sebuah makalah
terlebih dulu. Kemudian, yang bersangkutan diminta menyajikan makalah itu secara lisan dalam
suatu forum. Selanjutnya, peserta seminar akan menanggapi isi pembicaraan si pemakalah
tersebut. Dalam berpidato pun (salah satu jenis aktivitas berbicara) seseorang dituntut membuat
perencanaan dalam bentuk tulisan. Untuk pidato-pidato yang tidak terlalu resmi mungkin si
pembicara cukup menuliskan secara singkat pokok-pokok yang akan dibicarakan itu sebagai
persiapan. Dalam suatu pidato resmi (misalnya pidato kenegaraan), pembicara dituntut menulis
naskah pidatonya secara lengkap. Pidato kenegaraan biasanya dilakukan melalui pembacaan teks
naskah pidato yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

119
Dalam kedua jenis aktivitas berbicara seperti yang dikemukakan di atas, tampak jelas
keterkaitan antara aktivitas menulis dan berbicara. Kegiatan menulis dilakukan guna mendukung
aktivitas berbicara. Bahkan dalam suatu seminar, keempat aspek keterampilan berbahasa itu
dilibatkan secara simultan. Subyakto-Nababan (1993:153) dan Tarigan (1994:10) menjelaskan
bahwa baik berbicara maupun menulis merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat produktif.
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa ragam lisan, sedangkan menulis merupakan
kegiatan berbahasa ragam tulis. Kemudian, kegiatan menulis pada umumnya merupakan
kegiatan berbahasa tak langsung, sedangkan berbicara pada umumnya bersifat langsung. Ini
berarti ada juga kegiatan menulis yang bersifat langsung, misalnya komunikasi tulis dengan
menggunakan telepon seluler (SMS) dan dengan menggunakan internet (chatting). Sebaliknya,
ada pula kegiatan berbicara secara tidak langsung, misalnya melalui pengiriman pesan suara
melalui telepon seluler.

Latihan
1. Jelaskan Hubungan antarketerampilan berbahasa,
2. Jelaskan Hubungan membaca dan menulis,
3. Jelaskan Hubungan berbicara dan menulis,
4. Jelaskan Hubungan menyimak dan berbicara,
5. Jelaskan Hubungan menyimak dan membaca,
6. Jelaskan Prinsip-prinsip untuk mencapai keterpaduan, pembelajaran bahasa,
7. Jelaskan Keterpaduan pembelajaran bahasa

DAFTAR PUSTAKA

Agus, dkk. 1992. Metode Materi Penilaian Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Bandung: PPPG
Tertulis.

120
Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar, Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi
Sastra. Malang: YA3 Malang.

Akhadiah, Sabarti. dkk. 1992/1993. Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti P2TK.

Aminuddin. 1997. Isi dan Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra. Malang.

Arifin, Samsul. (2004). Penggunaan Metode Motessori dalam Pengajaran Membaca Pemulaan
di TK Palm Kids. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang

Depdikbud. (1991/1992). Petunjuk Pengajaran Membaca dan Menulis Kelas I, II di Sekolah


Dasar. Jakarta: P2MSDK.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 22004 Standar Kompetensi Mata


Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD/IBTIDAIYAH. Jakarta: Depdiknas

Depdikbud. (1995/1996). Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat


Dikdasmen.

Djiwandono. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB

Nababan. 1983. Peralihan Pola Perolehan dan Penggunaan Bahasa Indonesia. Skripsi. Jakarta:
Univertas Indonesia

Rofiuddin, A. 1996. Penelitian pengajaran Bahasa Indonesia di SD. Makalah disajikan dalam
seminar, 13 Januari 1996. PPS-Universitas Negeri Malang.
Subana, M. dan Sunarti. Tanpa tahun. Strategi Belajar mengajar Bahasa Indonesia Bandung:
Pustaka Setia

Sadiman, A. S., dkk. 2007. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan


Pemanfaatannya. Jakarta: Rajagrafindo.

121
Syafie’e.; Nurhadi dan Roekhan. 1993. Pengajaran Membaca Terpadu. Bahasan Kursus
Pebekalan Materi Guru Inti PKG Bahasa dan Sasatra Indoenesia .Jakarta: Dirjen
Pendasmen

Tarigan, Djago dan H.G. Tarigan. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa

Tarigan, Henri Guntur.1988. Pengajaran Perolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1979. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Penerbit Angkasa

Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Penerbit Angkasa.

Wardani, I.G.A.K. 1994. Pembelajaran Bahasa Indonesia Melalui tema Lingkungan, Peristiwa,
dan Komunikasi. Jakarta: UT Jakarta.

Zuchdi, Darmiati dan Budiasih. 1997. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas
Rendah. Jakarta: Depdikbud

Ruty j. Kapoh. Beberapa faktor yang berpengaruh Dalam perolehan bahasa interlingua vol 4,
april 2010

122

Anda mungkin juga menyukai