Anda di halaman 1dari 2

Menurut barna 91994), ada enam kendala atau stumbling blocks dalam tercapainya komunikasi

lintas budaya yang efetif.

1. Asumsi kesamaan
Salah satu alasan mengapa kesalahpahaman terjadi dalam komunikasi lintas budaya adalah orang
secara naif mengasumsikan bahwa semua orang sama, atau paling tidak cukup mirip untuk
membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Hal ini sungguh tidak benar karena setiap manusia
memiliki keunikannya masing-masing yang terserah melalui budaya dan masyarakat.
2. Persebdaan bahasa
Saat seseorang berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa yang ia tidak fasih, ia cenderung
berpikir mengenai kata, frasa, atau kalimat yang memiliki makna tunggal, yaitu makna yang ia
berusaha sampaikan.
3. Kesalahpahaman non-verbal
Seperti yang kita ketahui, perilaku non-verbal memberikan pesan komunikasi paling banyak
dalam seluruh budaya. Namun, akan sulit sekali bagi kita memahaminya apabila bukan berasal
dari budaya tesebut.
4. Prekonsepsi dan stereotipe
Kedua hal ini merupakan proses psikologi alami dan tidak terelakkan lagi hal ini dapat
memengaruhi semua persepsi dan komunikasi kita. Terlalu bersandar pada stereotipe akan
memengaruhi objektivitas kita dalam melihat orang lain dan memahami pesan komunikasinya.
5. Kecenderungan untuk menilai negatif
Nilai-nilai di dalam budaya juga memengaruhi atribusi kita terhadap orang lain dan lingkungan
sekitar. Perbedaan nilai dapat mengakibatkan munculnya penilaian yang negatif terhadap orang
lain, yang kemudian dapat menjadi rintangan untuk membangun komunikasi lintas budaya yang
efektif.
6. Kecemasan yang tinggi atau ketegangan
komunikasi lintas budaya sering kali berhubungan dengan kecemasan dan ketegangan yang tinggi
dibandingkan dengan komunikasi interbudaya. Kecemasan dan ketegangan yang terlalu tinggi
dapat memengaruhi proses berpikir dan perilaku kita. Hal ini kemudian rentan menjadi rintangan
dalam proses komunikasi yang berlangsung. Misalnya seorang siswa SMA tiba-tiba ditanya arah
jalan oleh turis bule, karena terlalu cemas dan tegang, akhirnya siswa itu hanya tersenyum saja,
walaupun sebenarnya dia mengerti pertanyan si bule dan tahu jawabannya dalam bahasa Inggris.

Beberapa negara, seperti Indonesia, Malaysia, dan Belanda, memiliki bahsa ganda atau
multibahasa. Penelitian Ervin-Tripp (1964) menunjukkan adanya pengaruh budaya terhadap ekspresi
bahasa seseorang. Dalam penelitian tersebut tampak bahwa orang Inggris/Prancis yang bilingual
menunjukkan respon berbeda dalam Thematic Apperception Test (TAT), dimana respon mereka dalam
bahsa Prancis terlihat lebih agresif, menunjukkan otonomi, dan penghindaran dibandingkan dalam
bahasa Inggris. Di samping it, tampak pula bahwa partisipan perempuan lebih menunjukkan
kebutuhan untuk berprestasi saat diminta berespon dalam bahasa Inggris dibandingkan bahasa
Prancis. Hal ini nampaknya disebabkan oleh kecenderungan seseorang untuk berpikir sesuai dengan
bhasa yang digunakan. Saat menggunakan bahasa tertentu, secara otomatis kita akan mengikuti
norma-norma yang ada dalam budaya bahasa tersebut, ada pula penjelasan lain untuk hal ini, yaitu
culture affiliation hypothesis dan minority group affiliation hypothesis.

- culture affiliation hypothesis, yaitu hiptesis yang mejelaskan bahwa pendatang bilingual akan
cenderung berafiliasi dengan nilai dan belief dari budaya bahsa yang ia gunakan. Saat bahasa yang
digunakan berganti, nilai dan belief budaya yang dianut pun berganti (Matsumoto & Juang, 2004).
Misalnya, orang Jawa yang tinggal di Jakarta. Ketika ia berbicara bahasa jawa maka ia akan
menggunakan nilai dan belief Jawa, namun saat berganti menggunakan bahasa Jakarta, maka nilai
dan belief-nya pun mengikuti bahasa Jakarta.
- minority group affiliation hypothesis, hipotesis yang menjelaskan bhawa pendatang bilingual akan
cenderung memiliki identitas diri sebgai bagian dari kelompok suku minoritas dan mengadopsi
berbagai stereotipe yang dimiliki oleh suku minoritas tersebut saat menggunakan bahasanya.
Saat merekan berinteraksi menggunakan bahasa ibunya, mereka akan bersikap dan berperilaku
sesuai budaya leluhurnya. Contohnya adalah mahasiswa Indonesia yang kuliah di universitas di
Amerika. Di kampus dia menggunakan bahasa Inggris dengan lancar, dan sulit dibedakan dari
mahasiswa lainnya. tetapi ketika di Indonesia, dia berbicara bahasa ibunya dan tidak bisa
dibedakan dengan orang-orang Indonesia lainnya di tempat itu.

Perlu diketahui bahwa Benet-Martinez berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki dua
kebudayaan cenderung melakukan code-frame switching, yaitu percampuran dua bahasa (atau lebih)
dalam satu percakapan anatar dua orang yang sama-sama menguasai dwi atau multi bahasa. Di
indonesia sering terjadi percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, atau di kalangan
pelajar sering ditemui bahasa Indonesia dicampur bahasa Inggris, atau bahasa daerah sekaligus (tiga
bahasa). Dalam percakapan multi bahasa ini, orang-orang yang terlibat dalam percakapan harus
mampu untuk cepat mengubah kodifikasi kata-kata atau tulisan dari satu bahasa ke bahasa lainnya.

Anda mungkin juga menyukai