PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis
hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau
memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan
itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk
berkomunikasi.
Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan
dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut
menentukan wajah dari bahasa itu.
Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita bisa
mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa tercermin
dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata-kata, paragraph,
wacana atau retorika.
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri
dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural, Proses konseling dipandang
sebagai perjumpaan budaya (cultural encounter) antara konselor dan konseli (Dedi
Supriadi, 2001:6).
1.2 Rumusan Masalah
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
BAB II
PEMBAHASAN
d. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam
menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
e. Definisi sturktural yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu
sistem yang berpola teratur.
f. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama
secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah
hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu
berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya,
menjadikan perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar
identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan
sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya
yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam
khasanah budaya nasional.
2.3 Bahasa sebagai Refleksi Diri
Levi-Strauss dalam Siberani (992) menyatakan bahwa bahasa adalah hasil kebudayaan.
Artinya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin
keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut.
Contoh :
Bahasa Sunda
Atos : sudah
Amis : manis
Cokot : ambil
Gedang : papaya
Bahasa Jawa
Raos : enak
Amis : amis
5
Gedhang : pisang
Atos : keras
Raos : rasa
Cokot : gigit
Dari uraian diatas, jelas bahasa mempunyai latar makna dalam latar kebudayaan yang menjadi
wadahnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan
kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Jika dikaitkan dengan budi bahasa Indonesia dapat diartikan dengan perilaku, karena dalam
bahasa itu tercermin perilaku penuturnya. Keeratan ini mengakibatkan kesulitan penerjrmahan
kata-kata atau ungkapan dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain karena yang
diterjemahkan atau yang dialihkan bukan saja kata-kata atau ungkapan-ungkapan tersebut,
melainkan juga konsep budaya yang mendasarinya.
2.4 Hubungan antara Bahasa dan Budaya
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan
bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan.
Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal
yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang
mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau
masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan.
Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang
melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia
di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu.
Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah
fenomena yang sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem
kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
2.5 Pengaruh Budaya pada Perilaku
Ketika berinteraksi dengan orang dari budaya lain diseluruh dunia, baik saat kita
berpergian atau sebaliknya, kita menghadapi berbagai cara budaya mewujudkan dirinya
melalui perilaku. Dengan meningkatnya pemahaman kita tentang perwujudan-prwujudan ini,
kita akan semakin menghargai pentingnya peran budaya, tidak hanya memberi kita ramburambu dalam hidup, tapi juga membantu kita menemukan jalan untuk bertahan hidup.
Kenyataannya,
budaya
menyediakan
bagi
kita
aturan-aturan
yang
memastikan
berlangsungnya hidup, dengan asumsi bahwa sumber daya hidup masih tersedia.
Alasan lain mengapa kita perlu belajar tentang budaya adalah bahwa budaya terus berubah.
Budaya bukanlah entitas yang statis dan tetap. Dengan definisi fungsional kita tentang
budaya, kita tahu bahwa budaya bisa berubah seiring waktu. Saat inipun kita sedang
menyaksikan perubahan-perubahan dalam budaya dan orang-oorang Eropa, Asia dan Amerika
Serikat. Perubahan-perubahan ini memastikan bahwa kita takkan kekurangan bahan untuk
dipelajari berkaitan dengan pengaruh budaya pada perilaku manusia. Tapi kita perlu
menumbuhkan keinginan untuk memperlajarinya.
2.6 Pengaruh Budaya terhadap Perubahan Bahasa
Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau
istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal
tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah.
Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan
turis atau pelancong. Kata darmawisata untuk mengganti kata piknik; dan kata suku cadang
untuk mengganti kata onderdil. Kata-kata turisme, turis dan onderdil dianggap tidak nasional.
Karena itu perlu diganti yang bersifat nasional.
Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah
tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap
berbau feodal.
Begitu juga dengan kata penjara diganti dengan lembaga pemasyarakatan, kenaikan harga
diganti dengan penyesuaian harga, gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tuna
susila adalah karena kata-kata tersebut dianggap halus ; kurang sopan menurut pandangan
norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih terus akan berlangsung
sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya di dalam masyarakat.
Begitu juga bahasa yang diplesetkan yang tidak lepas dari perkembangan pengetahuan,
pertukaran budaya, dan kemajuan informasi sekarang ini. Sebagaimana Mansoer Pateda
mengatakan bahwa bahasa yang diplesetkan sangat berhubungan erat dengan perkembangan
pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya.
Misalnya kata kepala diplesetkan menjadi kelapa, tolong diplesetkan menjadi lontong,
reformasi diplesetkan menjadi repot nasi, partisipasi diplesetkan menjadi partisisapi. Begitu
juga dalam kalimat misalnya I am going to school menjadi ayam goreng to school.
2.7 Etika Berbahasa
Telah dijelaskan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu bersifat koordinaif
atau subordinatif yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling
memengaruhi. Menurut Masinambouw (dalam Crista, 2012:2), yang mengatakan bahasa
sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam
masyarakat, sehingga di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang
berlaku didalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya
disebut sebagai etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris : linguistic etiquette, Geertz
1973).
Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sitem
budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Seseorang baru dapat dikatakan pandai
berbahasa apabila dia menguasai tata cara atau etika berbahasa itu. Kajian mengenai etika
berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa.
Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan untuk menggunakan kata sapaan itu adalah
yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak; status sosial lebih tinggi,
sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau tidak formal, akrab atau tidak akrab, wanita
atau pria; sudah dikenal atau belum dikenal, dan sebagainya. Setiap budaya mempunyai
aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Para penutur dari Sumatra Utara
dalam berbahasa Batak menggunakan volume suara yang lebih tinggi disbanding dengan para
penutur bahasa Sunda dan Jawa. Selain itu, untuk tujuan - tujuan tertentu volume dan nada
suara ini juga biasanya berbeda.
Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal yakni yang disebut kinesik dan
proksimik. Kinesik meliputi gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki,
gerakan tangan bahu, kepala, dan sebagainya. Gerakan mata dan kepala sangat penting di
dalam etika berbahasa. Gerakan kepala juga mempunyai arti penting didalam etika berbahasa.
Bagi orang yunani kuno gerakan kepala ke bawah berarti ya dan gerakan kepala keats
berarti tidak. Hal ini berbeda dengan di Indonesia : gerakan ke bawah menyatakan ya dan
untuk menyatakan tidak adalah gerakan ke samping kiri dan kanan. Orang Amerika bila
mengucapkan selamat tinggal disertai dengan lambaian telapak tangan ke bawah, tetapi
orang-orang Eropa melakukan hal itu dengan telapak tangan ke atas, disertai dengan gerakan
jari-jari tangan ke muka kebelakang. Banyak lagi gerak-gerik anggota tubuh yang harus
diperhatikan dalam bertindak tutur.
Proksimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Dalam
pembicaraan yang akrab antara budaya yang satu dengan budaya yang lain biasanya berbeda.
Di Amerika Utara, dalam pembicaraan antara dua orang yang belum saling mengenal,
biasanya berjarak empat kaki. Bila seorang mendekat, maka yang lain akan mundur untuk
menjaga jarak itu. Tetapi di Amerika Latin jarak itu biasanya dua atau tiga orang Amerika
Utara kebudayaan akan merasa canggung. Aturan jarak dalam berbicara di Amerika Utara
dipahami oleh semua orang mempunyai maksud tertentu. Bila dua orang Amerika berbicara
dalam jarak satu kaki atau kurang, maka yang dibicarakan biasanya sangat bersifat rahasia.
Pada jarak dua atau tiga kaki, maka yang dibicarakan persoalan pribadi; dan pada jarak empat
atau lima kaki adalah persoalan yang nonpribadi (impersonal). Bila berbicara dengan orang
banyak, jaraknya biasanya antara sepuluh sampai dua puluh kaki. Lebih dari dua puluh kaki,
tentunya yang bisa terjadi hanya ucapan selamat; tidak mungkin ada interaksi verbal.
Secara terpisah, kinesik dan proksimik ini merupakan alat komunikasi juga yaitu alat
komunikasi nonverbal atau alat komunikasi nonlinguistik, yang biasa dibedakan dengan alat
komunikasi verbal atau alat komunikasi linguistik. Dalam kontak langsung, biasanya kedua
alat komunikasi ini digunakan untuk mencapai kesempurnaan interaksi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di dunia terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan sub budaya yang berbeda,
tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi
dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimknai secara sama.
Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami
kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.
Oleh karenanya suatu masyarakat bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa
di antara para anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh,
sebab di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam berkomunkasi
verbal.
Seperti halnya Masyarakat Indonesia yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai
macam bahasa daerah memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun demikian
disisi lain perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi
sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek
moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam
khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk
kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik.
Permasalahan silang budaya dan bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan
multi kultural yang sehat yaitu dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi
antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan bahasa dan ciri khas budaya tertentu.
Dengan demikian sebagai orang terpelajar harus bisa memposisikan diri dengan
memperhatikan beberapa hal sebagaimana Mudjia Rahardjo katakan bahwa penggunaan
bahasa akan terus berbeda tergantung pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi,
formal atau informal, dengan siapa kita bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan
kata-kata itu. Satu hal yang tak terpisahkan dari pilihan-pilihan yang kita buat dalam
penggunaan bahasa yaitu dimensi budaya.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada khususnya. Semoga
kita sebagai calon konselor masa depan yang profesional dapat memahami berbagai macam
karakteristik kebudayaan yang dimiliki oleh klien kita nantinya. Semoga dengan membaca
makalah ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan yang baru bagi pembaca dan
penulis pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Jogyakarta : Pustaka Pelajar
Offset.
Nababan, PWJ, 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
http://pasca.undiksha.ac.id/media/1230.pdf