Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

“ BAHASA DAN BUDAYA ”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Bahasa dan Budaya Daerah

Dosen Pengampu : HOTNA SARI, S.Pd.I, MA

Disusun oleh Kelompok 1 :

1. ARIFAH KURNIAWATI

2. ANGGUN RISMAWATI

PRODI: EKONOMI SYARIAH

SEMESTER EMPAT

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

STAI AR-RIDHA

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belajar bahasa asing di negeri penuturnya mempunyai kelebihan, antara lain
kesempatan untuk mengalami interaksi dengan lingkungan masyarakat dan budayanya.
Kita tahu bahwa belajar bahasa asing berjalan sejajar dengan belajar kebudayaan asing,
baik budaya kebahasaan itu sendiri maupun aspek budaya yang lain, seperti budaya
materiil, lingkungan, dan religi. Namun, yang sering terjadi, pemelajar merekam
kebudayaan asing dalam bentuk stereotipe masyarakat pendukungnya. Dalam
pembelajaran bahasa asing di negeri penuturnya, pemelajar akan memahami, bahkan
menghayati, kebudayaan masyarakat penutur asli itu.
Pengajaran bahasa sering dipisahkan dari pengajaran budaya (culture), bahkan ada
yang menganggap bahwa bahasa tidak ada hubungannya dengan budaya. Memang diakui
bahwa budaya penting untuk dipahami oleh pemelajar bahasa, tetapi pengajarannya
sering terpisah dari pengajaran bahasa. Joan Kelly Hall (2002) menyebutkan bahwa
ancangan kemampuan komunikatif (communicative competence), misalnya, memang
mempertimbangkan aspek budaya dalam pembelajaran bahasa dengan lebih menekankan
pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai
satu sistem homogen yang terpisah dari interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis akan menjelaskan secara singkat masalah
Bahasa dan Keudayaan, dimana suatu negara memiliki ragam bahasa yang sangat
berbeda. Oleh karena itu penulis akan menjelaskan secara singkat pada bab pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bahasa Sebagai Sarana


Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa
dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan
semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa
terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut,
bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan
masyarakat. Koentjaraningrat dalam bukunya Sosiolinguistik (1985), bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di
bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan
bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat
koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi.
Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari
sistem kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua
aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-
unsur dari semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak
akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan
terbentuknya kebudayaan.
Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur
bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua
hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat,
seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer
mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk
bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.Bahasa Indonesia
yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia
sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak
universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia
kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa
Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun
di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga
yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi,
sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus.
B. Pengertian Budaya
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani
Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri
dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi,
dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang
kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki
bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.
Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya
Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang
harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma
dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu
yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan.
Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan
kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai
sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat
akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang
berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur
Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-
elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran
yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta
mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi
6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi
secara kemasyarakatan.
3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku.
4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan
dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar
hidup.
5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem
yang berpola teratur.
6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya
manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami
bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku
yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan
manusia, baik itu berupa produk material atau non material. Dalam konteks masyarakat
Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-
kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi
sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku
bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional.

C. Anatar Bahasa dan Budaya


Sosiolinguistik bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan
sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip
setiap aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu,
agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan Budaya”
sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam
makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan dalam seminar
nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia
menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-
pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian
yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan,
“Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh
struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya
(pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi
oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa
perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya)
yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa
berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan
budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan
dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-
58).
Lantas, bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah
yang akan kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-
teori yang sudah ada dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat
(daerah) masalah ini kita diskusikan.

D. Hubungan Bahasa Dan Budaya


Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi
dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan
pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure
(1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf
(1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh
anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2. Bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan
bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari
pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah
‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam
menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat
(KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa
dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini
dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam
berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia
dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat
bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan)
yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang
menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan
bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku
berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya
dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna
bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan
atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan,
beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan
bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya
berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah
bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan
langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih
tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu
jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika
dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati
orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa
Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata
“mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb.,
sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk
pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh
Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau
produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu.
Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial,
kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang
diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin
zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi
dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat
penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak
bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan
merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa
yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön
tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki
ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336)
menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini
berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur
masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat
dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa
itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan
Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun
1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam
regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat
pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai
media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa
mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para
penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung
terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.

E. Bahasa dan Kebudayaan Dalam Masyarakat Aceh


Pemahaman mengenai tingkah laku sosial melalui bahasa tergantung pada teori
umum tentang masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pertukaran bahasa dan
pengekalan bahasa juga bergantung kepada teori sosiobudaya.
Kebudayaan atau kebiasaan masyarakat penutur bahasa Aceh misalnya. Penutur
bahasa Aceh Barat dan bahasa Aceh Selatan (termasuk Lamno, Jeuram, dan Nagan Raya)
bertutur antara anak dan orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh
Utara (termasuk Pidie, Peusangan, dan sebelah timur Aceh) dalam konteks yang sama,
yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam masyarakat Aceh Barat-Selatan adanya
penggunaan ku- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya dipandang sebagai hal yang biasa.
Misal: uroe nyoe han ék kujak peukan, Mak. Namun, dalam masyarakat Aceh Utara, ku
di sana tidak biasa digunakan sehingga dipandang “kasar”. Masyarakat Aceh Utara akan
menggunakan kata lôn/lôntuan untuk menyapa orangtuanya atau orang yang lebih tua
dari dia, uroe nyoe lôn han ék lônjak peukan, Mak.
Karena itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi
kebudayaan. Teori yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf, yang
dikutip oleh banyak ahli dalam menulis buku tentang sosiolinguistik dan psikolinguistik1.
Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia
selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Perkara “waktu” sebagai salah satu kebiasaan dalam bertindak dan berkomunikasi
seperti saya contohkan di atas juga sudah pernah disitir oleh Chaer (1994:70) saat
mengamati teori Sapir-Whorf. Chaer sepakat bahwa apa yang disebutkan oleh teori
tersebut memunculkan nama “jam karet” bagi bangsa Indonesia, sedangkan di Eropa
ungkapan tersebut tidak ada.
Kendati teori Sapir-Whorf banyak dibantah orang, banyak pula yang sampai
sekarang masih membicarakannya. Persoalan sepakat atau tidaknya bahwa bahasa
mempengaruhi kebiasaan (kebudayaan) akhirnya kembali kepada peneliti yang meneliti
dari sudut pandang mana. Pasalnya, tidak ada bahasa di dunia ini yang sempurna, yang
memiliki kekomplitan kosa kata untuk mengungkapkan hal atau perihal tertentu.

F. Bahasa dan Kebudayaan Nasional


Pada 1930-an terjadilah di kalangan para intelektual muda Indonesia polemik tentang
masa depan bangsa Indonesia. Polemik itu berlangsung bertahun-tahun serta dimuat
dalam berbagai majalah dan surat kabar. Sekarang kita sebut sebagai polemik
kebudayaan karena sebagian besar polemik itu dikumpulkan oleh Achdiat K. Mihardja
yang diberinya judul “Polemik Kebudayaan” (Balai Pustaka, Jakarta, 1950). Yang terlibat
dalam polemik itu kemudian kita kenal sebagai pendiri bangsa dan negara Indonesia,
antara lain S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, Dr. Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, dan
Dr. Poerbatjaraka.
Mereka membahas berbagai segi kebudayaan nasional Indonesia yang sebenarnya
ketika itu merupakan suatu hal yang diangankan. S. Takdir Alisjahbana dengan
lantangnya mengatakan bahwa untuk membangun bangsa dan kebudayaan nasional
Indonesia, kita harus memutuskan hubungan dengan masa lampau yang disebutnya
sebagai masa pra-Indonesia. Kalau mau maju, bangsa Indonesia harus sebanyak-
banyaknya menyedot jiwa Barat yang dinamis. Begitu juga dengan kekayaan kebudayaan
daerah kita yang dianggap sebagai hasil masa lalu, dianggap bukan bagian dari
kebudayaan kita.
Akan tetapi, ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa kita sebagai bangsa tidak
dapat melepaskan diri dari masa lalu. Kita sekarang adalah lanjutan dari masa lalu itu.
Masa lalu tak bisa begitu saja dihapuskan dari hidup kita. Yang menarik adalah bahwa
polemik itu ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu bahasa yang belum lama sebelumnya
(28 Oktober 1928) dinobatkan sebagai bahasa persatuan oleh para pemuda yang
mengadakan kerapatan di Jakarta. Para pemuda yang mewakili berbagai suku bangsa dari
seluruh daerah di Indonesia itu dengan tegas menyatakan bahwa mereka mengaku
berbangsa dan bertanah air satu dan bahwa mereka menjunjung bahasa persatuan yang
mereka pilih dari ratusan macam bahasa yang terdapat di seluruh persada Indonesia, yaitu
bahasa Melayu yang mereka beri nama bahasa Indonesia. Bahasa Melayu yang mereka
jadikan bahasa nasional itu sudah mereka pergunakan sebagai lingua franca, baik dalam
pergaulan sesama suku maupun sebagai bahasa pers.
Sesungguhnya bahasa nasional itulah yang telah nyata-nyata kita miliki sebagai
budaya bangsa. Padahal, para pemuda yang menasbihkan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan Indonesia itu sendiri adalah hasil didikan sekolah Belanda yang lebih fasih
menggunakan bahasa Belanda daripada bahasa Melayu yang tampak antara lain dari
pengakuan Dr. Poerbatjaraka dalam tulisannya. Setelah bahasa Melayu diakui sebagai
bahasa persatuan dan diberi nama bahasa Indonesia, para pemuda kaum intelektual
pejuang kemerdekaan itu mulai belajar sungguh-sungguh berbahasa Indonesia. Dengan
bahasa nasional itulah mereka memengaruhi bangsanya tentang kesadaran nasional,
tentang cita-cita kemerdekaan. Adalah faktor kebetulan bahwa tidak lama kemudian,
Belanda diusir oleh bala tentara Jepang (1942) dan pemakaian bahasa Belanda sama
sekali dilarang. Pemerintah pendudukan Jepang ingin menjadikan bahasanya sendiri
sebagai bahasa resmi di tanah jajahannya. Akan tetapi, karena belum banyak yang dapat
menguasainya, mereka terpaksa mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus
digunakan di seluruh Indonesia, sementara bahasa Jepang diajarkan sangat intensif. Para
pemimpin kita dikerahkan oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk berpropaganda
tentang kehebatan bala tentara Dai Nippon dan janji-janjinya. Para pemimpin kita dalam
kesempatan itu membangkitkan kesadaran kebangsaan rakyat untuk mempunyai negara
dan pemerintahan sendiri.
Bahwa pada waktu Jepang kalah dan kita memproklamasikan kemerdekaan disokong
oleh seluruh rakyat, menunjukkan bahwa para pemimpin nasional kita telah berhasil
menanamkan kesadaran nasional dan patriotisme. Dengan kata lain, bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional telah berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di samping
itu, kita pun melihat bahwa bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang dapat
dipergunakan untuk melahirkan karya sastra berupa prosa dan puisi yang ternyata
mendapat pengakuan secara internasional. Karya-karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai
Apin, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Utuy T.
Sontani, dianggap bermutu sehingga banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa asing. Dalam perkembangan selanjutnya, kian banyak orang yang menulis dalam
bahasa Indonesia. Kalau tadinya pada masa sebelum perang yang menulis karya sastra itu
terutama hanya orang-orang Sumatra, istimewa dari Minangkabau, sekarang kita melihat
para penyair dan sastrrawan berdatangan dari berbagai suku bangsa dari seluruh pelosok
Indonesia. Pengakuan terhadap mutu karya-karya sastra Indonesia juga kian banyak dari
berbagai negeri lain dengan munculnya para ahli bahasa dan sastra Indonesia di negeri-
negeri itu dan karya-karya sastra Indonesia kian banyak diterjemahkan ke dalam kian
banyak bahasa. Tidak hanya dalam bidang sastra kita menyaksikan kemajuan pemakaian
bahasa Indonesia, melainkan juga dalam bidang ilmu. Bahasa Indonesia bukan saja dapat
dipergunakan sebagai bahasa pengantar di dalam semua jenjang pendidikan, melainkan
juga dapat digunakan untuk menulis berbagai macam ilmu.
Akan tetapi, kemajuan bahasa Indonesia dalam bidang seni dan ilmu itu sayang
sekali tidak terjangkau oleh kebanyakan bangsa kita karena sejak Republik Indonesia
berdiri, tidak ada pemerintah yang secara sungguh-sungguh mengamalkan amanat
Mukadimah UUD untuk mencerdaskan bangsa. Sekolah banyak didirikan tetapi
kegemaran membaca tidak dibina karena sekolah-sekolah dan universitas-universitas itu
tidak dilengkapi perpustakaan yang memadai, yang bukan saja akan memupuk
kegemaran membaca dan memperkenalkan siswa dengan dunia bacaan yang tak terbatas,
melainkan juga akan menyebabkan mereka mengikuti perkembangan prestasi bangsanya
dalam bidang ilmu dan seni, terutama sastra.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia.
kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti
anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi
yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya
Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah
lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat,
yang kedudukannya sama tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Bloomfield, Leonard. 1995. LANGUAGE. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Brown, Gillian dan George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis
Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–.2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman, Joshua A. 1991. Sosiologi Bahasa. Kuala Lumpur: Universitas Sains Malaysia
Pulai Pinang.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan
Pustaka Pelajar.
Suryadi. 2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara
(makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas
Sumatera Utara, Medan 25 April 2009).
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Pusat Bahasa RI.

Anda mungkin juga menyukai