Anda di halaman 1dari 14

BAB 3

PENERAPAN BUDAYA DAN BAHASA


DI POLITEKNIK NEGERI MEDAN

Tujuan Pembelajaran:
Memahami pengertian budaya dan nilai dasar budaya secara umum, menerapkan kebudayaan
yang ada dilingkungan POLMED, menerapkan budaya disiplin dalam diri sendiri,
menerapkan pengunaan bahasa yang santun dan sopan dalam lingkungan POLMED.

3.1 PENERAPAN BUDAYA DI POLMED

Dalam kajian antropologi, budaya dianggap singkatan dari 'kebudayaan’ sehingga


tidak ada perbedaan berdasarkan definisinya. Namun, berdasarkan penelusuran dari berbagai
literatur, ada beberapa pengertian budaya dan kebudayaan.
Dalam bahasa Inggris, budaya dan kebudayaan disebut culture, yang secara etimologi
berasal dari kata Latin Colere, yang artinya mengolah atau mengerjakan. Kata 'culture' juga
kadang diterjemahkan sebagai 'kultur' dalam bahasa Indonesia, yang memiliki arti sama
dengan kebudayaan.
Menurut E. B Taylor dalam Soekanto (1990:188) Kebudayaan adalah kompleks
yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain
kemampuan-kemampuan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Somardi dalam Soekanto (1990:189),
Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1987) Budaya diartikan sebagai segala daya dan
kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Budaya merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari berbagai
unsur yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, bangunan, pakaian,
serta karya seni. Budaya memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Seiring
berjalannya waktu, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas dalam peradaban manusia
dimana pun berada termasuk di kampus, Perguruan Tinggi.
Kampus bukan hanya menjadi ruang belajar tetapi juga dapat menjadi tempat
pewarisan serta pembelajaran tentang budaya. Sebagai tempat para intelektual berkumpul,
kampus merupakan ruang dimana sebuah kebudayaan dapat berkembang dengan melakukan
kajian-kajian atau sekadar refleksi terhadap fakta budaya yang ada. Dengan demikian secara
tidak langsung kampus akan berperan dalam pelestarian dan perkembangan kebudayaan.

A. Akulturasi Budaya di Polmed


1. Akulturasi Budaya Mahasiswa Dalam Pergaulan Sosial Di Kampus
Pada lapisan masyarakat manapun akan selalu ada proses sosial yang terjadi, baik
proses asosiatif maupun disosiatif. Salah satu proses yang terjadi adalah akulturasi budaya.
Hal tersebut dapat terjadi di lingkungan masyarakat kompleks maupun di kampus akibat
adanya interaksi dan kontak sosial dengan manusia lain. Akulturasi terjadi karena keragaman
didalam masyarakat.
Akulturasi merupakan suatu sebutan yang dipakai untuk melukiskan sesuatu yang
terjadi ketika orang yang bermula dari satu budaya masuk ke satu budaya yang berlainan.
Akulturasi ialah suatu proses bagaimana kita mengangkat budaya baru dengan mengangkat
nilai-nilainya, perilaku, dan kemampuannya. (Oberg,1965).
Linton dan Herskovic menyatakan bahwa akulturasi adalah Proses dua arah
kebudayaan yang berbeda atau saling mempengaruhi dua kelompok yang saling mengadakan
hubungan. Interaksi sosial merupakan suatu tindakan atau hubungan timbal balik yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain. (Poerwanto, 2010: 107)
Akulturasi adalah memahami fenomena yang terjadi ketika kelompok inidividu yang
memiliki budaya yang berbeda menjadi kontak tangan yang terusmenerus, dengan perubahan
selanjutnya dalam pola budaya asli dari salah satu atau dua kelompok tersebut. Proses
akulturasi biasanya dimulai dari golongan atas dalam masyarakat yang tinggal di kota.
(Foster, 1965: 45)
Akulturasi selalu ditandai dengan perubahan secara fisik dan psikologi yang terjadi
sebagai hasil dari adaptasi yang dipersyaratkan untuk difungsikan dalam konteks budaya
yang baru atau budaya yang berbeda (Foster, 1965:45).
Dari beberapa pengertian ditarik kesimpulkan bahwa proses akulturasi adalah
fenomena yang terjadi dalam kelompok manusia yang memiliki kebudayaan berlainan
melakukan komunikasi secara langsung yang terus menerus, akan mengakibatkan pergantian
dalam cara berbudaya.
Menurut Suyono dalam Rumondor (1995: 208), akulturasi merupakan pengambilan
atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau
beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu. Salah satu
fenomena yang terjadi adalah di kalangan mahasiswa.
Di kampus ungu, Politeknik Negeri Medan atau yang biasa disebut dengan singkatan
Polmed, dinamika di kampus sangat beragam. Mereka bergaul dengan teman kampus tanpa
membedakan asal daerah, bahasa, agama dan ras, namun ternyata mahasiswa mampu
bekerjasama walau memiliki banyak perbedaan dan kekurangan. Hal ini terlihat dari
kekompakan untuk menyelesaikan tugas dari dosen ataupun kegiatan Program Studi.
Proses akulturasi budaya dapat dilihat di kalangan mahasiswa melalui beberapa
kegiatan yang mereka lakukan dikampus, baik kegiatan kemahasiswaan maupun kegiatan
dalam rangka menyelesaikan tugas perkuliahan, misalnya ketika sedang pembelajaran di
dalam kelas. Mereka harus mengerjakan setiap tugas dan soal yang diberikan bapak dan ibu
dosen. Begitu juga ketika mahasiswa membuat suatu event tahunan, diantaranya adalah
pameran, pentas seni, olahraga, bahasa, dan kegiatan keagamaan, mahasiswa mampu
beradaptasi dengan teman satu kelas di kampus. Mereka menjalin solidaritas tidak hanya di
luar kampus, namun di dalam kelas juga. Walaupun perbedaan tetap menyelimuti mereka,
misalnya dalam hal bahasa. Mahasiswa tetap mampu membaur dalam perbedaan, namun
unsur budaya yang mereka bawa tidak hilang. Keduanya masih dapat dipertahankan dengan
baik, walau mengalami sedikit kendala dalam pelaksanaannya.

2. Bentuk Akulturasi Pergaulan Sosial Pada Mahasiswa Politeknik Negeri Medan

Manusia merupakan mahkluk sosial, artinya mereka tidak dapat hidup sendiri namun
harus berdampingan dengan manusia lainnya. Manusia akan membutuhkan bantuan dari
orang lain dalam menjalankan kehidupan. Salah satu contohnya yaitu jika ingin mencapai
suatu tujuan tertentu manusia akan saling bekerjasama untuk mencapai tujuannya tersebut.
Kerjasama bisa dilakukan dengan orang lain yang ada pada lingkungan sekitar. Misalnya,
orang yang ada di lingkungan kampus. Tentu kerjasama bisa terbentuk karena adanya
kepentingan yang sama salah satunya kepentingan untuk mencapai suatu tujuan.
Kontak sosial pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat atau antar
individu dalam dua masyarakat memiliki pengaruh besar karena seseorang melakukannya
setiap hari. Kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh
unsur budaya, baik dalam kebiasaan, bahasa dan lain sebagainya. Biasanya masyarakat yang
menguasai adalah masyarakat asli atau pribumi, karena jumlah mereka lebih banyak.
Sedangkan kelompok yang dikuasai adalah kelompok pendatang yang jumlahnya lebih
sedikit atau minoritas.
Dalam hal ini mahasiswa mayoritas di Polmed adalah mahasiswa yang berasal dari
kota Medan dan sekitarnya serta dari berbagai daerah di Sumatera Utara, sedangkan yang
minoritas adalah mereka yang berasal dari luar propinsi Sumatera Utara, diantarnya adalah
Aceh, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Bali, NTT, Papua dan beberapa daerah lainnya.
Penilaian mahasiswa yang berasal dari luar Sumatera utara kepada orang Sumatera
utara adalah baik. Menurut mereka masyarakat Sumatera Utara merupakan masyarakat yang
logat daerahnya kental, keras, tegas, ramah mudah bergaul, juga diakui oleh mahasiswa.
Berikut cuplikan keterangan mahasiswa asal Aceh, Riau dan Bali : “... Orang Sumatera utara
itu baik-baik, walaupun intonasi suaranya tinggi tetapi bukan karena marah tetapi memang
sudah seperti itu kalau berbicara namun hatinya baik, ketika ada masalah, mereka sering
membantu dalam banyak hal...”
Proses adaptasi budaya mahasiswa di Polmed berjalan dengan baik. Mahasiswa
berdiskusi antar angkatan, walaupun mempunyai budaya yang tidak sama. Kendala yang
dihadapi Mahasiswa dalam Proses Akulturasi Budaya dalam Pergaulan Sosial di Kampus
adalah:
1. Asal daerah, yaitu pengelompokan mahasiswa berdasarkan asal daerah atau tempat
tinggalnya. Contoh diferensiasi asal daerah tampak dalam perilaku, tutur kata, cara
berpakaian, cara berinteraksi, dan lain-lain.
2. Bahasa, yaitu kemampuan yang dimiliki mahasiswa untuk berkomunikasi satu dengan
lainnya untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep maupun perasaan. Perbedaan
bahasa di tiap tiap daerah merupakan kendala dalam proses akulturasi budaya di kalangan
mahasiswa Polmed.
Perguruan Tinggi merupakan tempat menimba ilmu tanpa habisnya. Predikat "Maha"
yang disandang Mahasiswa sebenarnya memberikan beban moral dan dapat dipertanggung
jawabkan pada masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai golongan intelek oleh masyarakat,
oleh karena itu Mahasiswa harus mampu membaur dengan masyarakat dan memberikan 
energi positif bagi lingkungan setempat.
Sesuai dengan Tri dharma perguruan Tinggi yaitu; Pendidikan dan Pengajaran,
Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian pada Masyarakat, mahasiswa dituntut untuk
mempelajari berbagai ilmu diluar jurusan atau program studi yang dipilih. Keterbatasan ilmu
dibangku kuliah akhirnya dibentuk berbagai kegiatan diluar jurusan atau program studi,
kemudian inilah yang akan menimbulkan budaya sendiri untuk berkegiatan, berkarya dengan
segala keahlian atau potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dengan membentuk ragam
budaya kampus.
Budaya yang dimaksud adalah budaya yang mampu membentuk jati dirinya sebagai
seorang Intelektual yang profesional pada bidangnya, dan juga cakap dalam memimpin,
berinovasi, dan  berwawasan luas. Untuk itu maka Mahasiswa di polmed dituntut untuk
menunjang Soft Skillnya yang bisa diperoleh dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler kampus
misalnya aktif mengikuti Kegiatan Mahasiswa, BEM, HMPS, ataupun organisasi-organisasi
Ekstra Kampus. 
  Posisi mahasiswa sebagai middle class menyebabkan peran mahasiswa untuk
menjembatani antara pemerintah dengan rakyat. Mahasiswa merupakan komunitas terpelajar
dengan segala kelebihan kapasitas intelektualnya memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat. Dengan segala kemampuan berpikir kritis mahasiswa seharusnya dapat
menjawab kebutuhan praktis masyarakat berdasarkan realita yang ada.  
Melihat dinamika kampus saat ini, sedikit demi sedikit budaya kampus sudah mulai
bergeser dengan Mahasiswanya yang semakin apatis dengan lingkungan, budaya hedonisme
dan konsumerisme kian merajalela. Mahasiswa hanya disibukkan dengan kegiatan
perkuliahan semata, sehingga Mahasiswa yang seperti ini orientasi utamanya adalah untuk
memudahkannya mencari pekerjaan apabila mereka sudah lulus kelak. Maka tidak heran
apabila menemukan mahasiswa yang kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat
disekitarnya sendiri dan apatis dengan lingkungan di tempat tinggalnya.
 Untuk menyelesaikan masalah ini, maka dibutuhkan adanya perbaikan orientasi
keluarga mahasiswa, sinergitas dan dukungan dari birokrasi kampus. Langkah-langkah yang
bisa ditempuh antara lain, optimalisasi kaderisasi untuk meningkatkan partisipasi aktif massa
kampus, meningkatan daya serap aspirasi dan advokasi dengan meningkatkan jumlah
partisipasi dalam bidang pelayanan mahasiswa, memberdayakan potensi massa kampus, baik
minat, bakat maupun keprofesian.

B. Budaya Berorganisasi Mahasiswa


Berorganisasi tak terlepas dari persoalan manusia sebagai Makhluk sosial yang
dianugrahi kemampuan istimewa yaitu cipta, rasa dan karsa, maka dengan kemampuan itu
manusia berusaha meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya untuk memenuhi
kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang pertama menurut Maslow adalah pemenuhan
kebutuhan fisik dan biologis (physiological needs), seperti sandang, pangan, dan papan.
Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, meningkat pada heararki kedua, yakni kebutuhan
keselamatan dan keamanan (safety and security needs), tidak hanya dalam arti fisik, akan
tetapi juga mental, psikologikal, dan intelektual. Manusia itu menginginkan kebutuhan sosial,
yang menurut Maslow dikatakan sebagai affiliation atau acceptance atau belongingness dan
pada tingkat berikutnya kebutuhan akan penghargaan atau prestisse (esteem or status needs)
yang pada umumnya tercermin dalam simbol-simbol kehidupan manusia itu sendiri. Hirarki
Tertinggi dalam kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri (self actualization) dalam arti
tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang Terdapat dalam
dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. (Indra Yuzal dkk, 2011: 2)
Organisasi merupakan suatu wujud budaya (social system). Organisasi sebagai wujud
budaya merupakan suatu sistem sosial atas dasar kesepakatan beraktivitas yang menampung
berbagai aspirasi dari partisipasi pemikiran setiap individu yang selalu bergerak secara
dinamis, merupakan sekumpulan ide/gagasan program kegiatan pengembangan organisasi
dengan mempertimbangkan aspek lingkungan budaya, tata krama pergaulan dalam
kebhinekaan, sehingga setiap organisasi tampil dengan karakternya masing-masing.
Fungsi Budaya Organisasi
1. Sebagai penentu batas-batas prilaku dalam arti menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, apa yang dipandang baik atau tidak baik, menentukan yang benar dan
salah.
2. Menumbuhkan jati diri suatu organisasi dan para anggotanya.
3. Menumbuhkan komitmen kepada kepentingan bersama di atas kepentingan individual
atau kelompok sendiri.
4. Sebagai tali pengikat bagi seluruh anggota organisasi.
5. Sebagai alat pengendali prilaku para anggota organisasi yang bersangkutan.
Organisasi Mahasiwa adalah salah satu bagian yang penting dalam dunia akademisi
kampus, karena dengan organisasi mahasiswa mampu memahami banyak hal diluar kuliah
sebagai bahan pengembangan diri dan prestasi, baik itu di bidang olahraga, jurnalistik,
himpunan mahasiswa yang kaitannya dengan jurusan masing – masing, kegiatan alam bebas
dan lain sebagainya.
Demikian juga halnya dengan budaya organisasi kemahasiswaan Politeknik Negeri
Medan, yang notabene gagasan terbentuknya organisasi tersebut untuk mewadahi aktivitas
kegiatan kemahasiswaan dengan pola ilmiah yang pada pokoknya membidangi ilmu
keteknikan, administrasi bisnis, manajemen bisnis, manajemen informatika, akuntansi,
perbankan, dan MICE, dengan batas ruang program kegiatannya adalah visi dan misi
Politeknik Negeri Medan. Sehingga karakteristik organisasi kemahasiswaannya lebih spesifik
dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya.
Organisasi kemahasiswaan perguruan tinggi pada setiap daerah memiliki kekhasan
sesuai lingkungan budaya lokal yang dimiliki sebagai unggulan yang kompetitif. Oleh karena
itu organisasi kemahasiswaan Politeknik Negeri Medan merupakan tempat tumbuh dan
berkembangnya tunas-tunas generasi yang kreatif dan produktif secara akademis dan
professional dibidang vokasi.
Di Polmed, ada beberapa organisasi mahasiswa. Di tingkat Prodi, misalnya HMPS
dan UKM, sedangkan ditingkat Jurusan dan antar jurusan adalah HMJ, BEM dan DPM,
sedangkan organisasi keagamaan adalah HMI dan KMK.
Banyak manfaat dan skill yang dapat diraih mahasiswa dari berorganisasi, bukan
hanya mengandalkan IPK tinggi untuk hidup setelah lulus nanti karena bagi mahasiswa,
organisasi adalah seni, Mahasiswa akan merasa berkontribusi salah satunya melalui
organisasi.
Organisasi kemahasiswaan perguruan tinggi seharusnya dirancang lebih terbuka
terhadap berbagai fenomena perubahan dan perkembangan budaya di sekitarnya, sehingga
setiap mahasiswa mempunyai idealisme dan karakter yang unggul dalam mengaktualisasikan
kompetensi diri untuk menghadapi berbagai persoalan menyangkut pelestarian, pembinaan
dan pengembangan seni budaya melalui pembinaan penalaran, pengabdian pada masyarakat,
pengembangan bakat dan minat serta jiwa kewirausahaan.
Untuk mewujudkan karakter tersebut maka perlu dipertimbangkan sifat organisasi
kemahasiswaan Politeknik Negeri Medan yang memberikan rasa nyaman dan kondusif untuk
pembentukan jati dirinya antara lain:
1. Aspiratif. Organisasi harus dapat menampung dan menghargai berbagai pikiran dan
gagasan yang produktif serta terbuka dan selektif terhadap berbagai macam kritik dan
saran demi kemajuan organisasi.
2. Adaptif. Organisasi Harus dinamis, flexible dan peduli terhadap berbagai fenomena
perubahan lingkungan, seni budaya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
kebutuhan lingkungan budaya masyarakat sekitarnya yang dilandasi oleh visi dan misi
lembaga. Dengan demikian organisasi dapat berperan secara aktif dalam berbagai
aktivitas seni budaya di lingkungan masyarakatnya.
3. Kreatif. Organisasi Harus mampu menunjukan aktivitas sebagai wadah
pengembangan ide-ide kebaruan yang produktif, inovatif dan kompetitif sehingga seni
budaya tidak hanya mencerminkan nilai-nilai kehidupan tetapi seni budaya juga dapat
dikembangkan untuk kebutuhan hidup/kesejahteraan masyarakat.
4. Inspiratif. Organisasi harus dapat menunjukan nilai-nilai ketauladanan dalam tata
kelola pengembangannya berlandaskan etika akademik, sosial, estetika, dan prilaku
professional sehingga patut dijadikan panutan regenerasi berikutnya.
5. Kooperatif. Organisasi harus menunjukkan hubungan harmonis dan proaktif serta
kondusif secara internal di lingkungan tricivitas akademika di perguruan tingginya
masing-masing dan kerja sama secara eksternal dengan organisasi sejenis maupun
masyarakat di sekitarnya.
Pengembangan Organisasi kemahasiswaan di Politeknik Negeri Medan seharusnya
berorientasi kepada peningkatan berbagai kompetensi yang unggul dan kompetitif melalui
kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler secara berimbang. Pembinaan diarahkan kepada
pemantapan dan peningkatan kemampuan bakat dan minat mahasiswa menyangkut
kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial.
Kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler yang biasanya rutin dilakukan mahasiswa
polmed diantaranya adalah kegiatan jurnalis yaitu Neraca, English Public Speaking, dan
kegiatan olahraga, seni dan UKM yang bertujuan untuk mengembangkan semangat
kewirausahaan dikalangan mahasiswa Polmed.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kemudian pasal 13 ayat 6 UU. No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi yaitu
mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma Pendidikan Tinggi untuk
menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik, dan pasal 14
UU.No.12 Tahun 2012 bahwa
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan
kurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses pendidikan,
(2) Kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sebagai mana yang dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan melalui organisasi mahasiswa,
(3) Ketentuan lain mengenai kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sebagai mana yang
diatur pada ayat (1) diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.
Dalam pola pengembangan kemahasiswaan (POLBANGMAWA) yang diterbitkan oleh
Dirjen Dikti Tahun 2006, kondisi kemahasiswaan yang diharapkan antara lain:
1. Diterapkannya Polbangmawa pada perguruan tinggi, tanpa mengabaikan keragaman latar
belakang, bentuk dan kondisi masing-masing perguruan tinggi.
2. Proporsi kegiatan bidang kurikuler dengan kegiatan ekstra kurikuler di perguruan tinggi
yang semakin mendekati keseimbangan.
3. Terdapatnya Ormawa di perguruan tinggi yang mampu melibatkan mahasiswa dalam
pengembangan dan aktualisasi diri, serta meningkatkan daya saing mahasiswa.
4. Pemanfaatan sarana dan prasarana kampus secara optimal oleh Ormawa dalam
mengembangan program kegiatan mahasiswa.
5. Adanya kesadaran pada mahasiswa bahwa posisi mereka adalah sebagai bagian dari
sivitas akademika yang diharapkan untuk tetap menjungjung tinggi harkat dan martabat
almamater.
6. Tercipta iklim komunikasi dialogis antara pimpinan perguruan tinggi, staf pengajar, dan
pengurus Ormawa dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
7. Meningkatnya keterlibatan para pembimbing/pendamping kegiatan kemahasiswaan
dalam membantu mahasiswa maupun pimpinan perguruan tinggi dalam mengembangkan
program-program kemahasiswaan dan aktualisasi diri mahasiswa.
8. Meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab mahasiswa dihadapan hukum, baik sebagai
individu maupun sebagai anggota suatu organisasi
9. Terwujudnya komunikasi, sinkronisasi, dan kerjasama yang baik antara pimpinan
perguruan tinggi, staf pengajar, dan pengurus Ormawa dalam melaksanakan serta
mengembangkan kegiatan mahasiswa.
10. Berkembangnya system informasi kemahasiswaan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
11. Perguruan tinggi secara terencana, terarah dan berkesinambungan mengalokasikan dana
bagi pelaksanaan program kemahasiswaan.
12. Lahirnya berbagai prestasi akademik dan kemahasiswaan yang membanggakan, baik
pada tingkat nasional dan maupun internasional.
Kemudian dalam “Pedoman Pengembangan Wawasan Pimpinan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM) Tingkat Perguruan Tinggi menyangkut kebijakan dengan empat pilar
pendidikan yang dicanangkan UNESCO yaitu; Learning to know, learning to be, learning to
do, dan learning to live together, maka mahasiswa harus mempelajari dan sekaligus
melakukan pendekatan multikultur (multiculture approach) dalam merajut masa depannya.
Dengan demikian, mahasiswa Indonesia akan mampu hidup berdampingan dengan bangsa
lain yang memiliki budaya yang berbeda, dengan tetap dalam nuansa kehidupan yang
harmonis.(Dirjen Dikti: 2009:2)

C. Budaya akademik
Kampus merupakan kehidupan yang penuh dengan kegiatan akademik dan
nonakademik. Nilai ideal budaya akademik menuntut mahasiswa untuk memiliki kebiasaan
membaca, menulis, diskusi, aktif dalam perkuliahan dan organisasi. Namun, fakta di
lapangan tidak semua mahasiswa mampu menjalani kehidupan dunia akademik yang
sedemikian ideal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan akademik tetap menjadi pilihan pertama bagi
setiap mahasiswa untuk mencapai sebuah tujuan akhir dalam perkuliahan yaitu lulus sebagai
sarjana. Hanya saja dalam prosesnya, beragam cara digunakan oleh para mahasiswa. Ada
yang memanfaatkan waktu sebaik – baiknya dengan kegiatan yang bermanfaat. Ada juga
yang lebih memilih untuk fokus kuliah. Serta ada juga yang masih cenderung
mengedepankan aspek kesenangan dalam dunia ilmiah kehidupan kampus.
Ketika mahasiswa berada di kampus, mahasiswa berupaya untuk melakukan praktik-
praktik yang selama ini telah dibiasakan dalam lingkungan terdahulu mereka. Sayangnya,
mereka juga harus mampu memahami bagaimana nilai dan norma yang berlaku dalam
lingkungan kampus. Perlahan, kehidupan kampus dengan segala aturan dan kebiasaannya
juga akan terinternalisasi dalam diri individu, dan seperti yang telah terjadi sebelumnya akan
membentuk sebuah habitus.
Wujud nyata dari praktik-praktik akademik yang dilakukan oleh para mahasiswa
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa Varian mahasiswa di bawah ini.
1. Mahasiswa Aktivis
Mengikuti organisasi dikampus memang hanya merupakan pilihan kedua, setelah
pilihan pertama yaitu, menjalankan perannya di kegiatan akademik kampus. Menjadi
mahasiswa yang aktif di organisasi memang merupakan sebuah pilihan yang membutuhkan
atensi ekstra dari setiap mahasiswa. Karena sejatinya sebuah tindakan lahir dari sebuah
pilihan rasional yang mempunyai pertimbangan logis dan emotional yang matang.
Pada umumnya, mahasiswa yang aktif di organisasi memang mahasiswa yang
sebelumnya telah memiliki pengalaman di jenjang studi sebelumnya, aktif di organisasi OSIS
salah satunya, meskipun mereka tidak sepenuhnya menutup mata atas kewajiban utamanya
dalam kemampuan akademik. Organisasi menjadi sebuah pilihan dengan berbagai macam
motif untuk menjadi tempat ekspresi, apresiasi, dan atensi mahasiswa dalam merespon
eksistensi dirinya dan kehidupan sosial yang begitu kompleks.
Di satu sisi, eksistensi ini memang membawa implikasi konstruktif. Namun, di sisi
lain, bukan tidak mungkin jika aktivitas dalam organisasi justru berimplikasi destruktif
karena dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas akademik. Faktanya, para mahasiswa yang
berada dalam kategori ini adalah mahasiswa yang berusaha menyeimbangkan antara
kemampuan akademik dengan softskill seperti teamwork, leadership, communication skill
dan lain-lain. Implikasi konstruktif terjadi ketika para mahasiswa ini mampu merengguk
semua manfaat organisasi, dan juga bisa mengembangkan kemampuan akademiknya.
2. Mahasiswa Study Oriented
Berkuliah adalah kesempatan dan berorganisasi adalah pilihan inilah yang dipegang
teguh oleh mahasiswa jenis ini. Mereka cenderung kurang berminat pada hal lain di luar
aktivitas belajar (kuliah). Tipe mahasiswa ini memang lebih memiliki idealisme tinggi
sebagai seorang pelajar. Jadi tidak heran apabila mahasiswa jenis ini lebih cenderung Study
Oriented. Sebenarnya, tipe mahasiswa ini juga sadar bahwa mahasiswa yang ideal adalah
mahasiswa yang dapat memposisikan diri baik di kampus ataupun lingkungan sekitar. Dalam
arti, ketika di kampus mahasiswa harus kritis dan juga responsive terhadap lingkungan
sekitar. Namun, di sisi lain mereka juga cenderung stigmatik terhadap kehidupan mahasiswa
yang rela membagi waktunya selain untuk belajar juga untuk aktif di kegiatan lain. Mereka
menganggap bahwa orang-orang di luar tipe mereka, sebagai seseorang yang cenderung
mengabaikan urusan kuliah yang lebih bersifat wajib. Karenanya mahasiswa jenis ini lebih
memilih untuk menjalankan tugas sebagai mahasiswa yaitu belajar dan menaati peraturan
yang telah ada.
Aktivitas mahasiswa jenis ini biasanya kuliah lalu pulang. Kegiatan belajarnya lebih
banyak dilakukan pada ruang domestik mereka sendiri. Tipe mahasiswa ini memang lebih
memiliki target akademis. Ingin menguasai semua ilmu dibidangnya, dan terkadang ingin
disebut “master” dibidangnya tersebut. Target utama mereka adalah Lulus tepat waktu
dengan predikat cumlaude. Sehingga tidak heran jika mereka hanya peduli pada studinya dan
kurang peduli pada hal-hal lain di luar itu. Menurut mereka menjalani aktivitas di luar kuliah
hanya akan membuat repot, IP akan turun, menjadikan masa studi lebih lama, dan lain
sebagainya.
3. Mahasiswa Medioker
Mahasiswa jenis ini bisa diungkapkan dengan istilah “Of a middle quality”. Dalam
arti lain, performa atau citra mahasiswa yang cenderung biasa-biasa atau berada dalam
kualitas menengah. Dalam hal akademik, mahasiswa ini memang kurang rajin dalam belajar.
Perjalanan akademik mereka seolah dibiarkan mengalir seperti halnya aliran mata pelajaran
yang mereka terima. Pada jenjang sebelumnya, mereka sudah terbiasa tidak memiliki prestasi
di kelas, keberadaannya jika tidak di posisi tengah atau di posisi dasar kelas. Terkadang harus
mengalami remedial dalam ujian namun bagi mereka hal tersebut menjadi suatu hal yang
biasa ketika musim ujian tiba. Mendapat nilai jelek tidak menjadi suatu masalah yang harus
dibesarbesarkan. Belajar hanya sekedar belajar. Sekolah hanya sekedar sekolah. Begitulah
prinsip mereka. Mereka sudah biasa dengan anggapan bahwa selama mereka menempuh
pendidikan, nilai bagi mereka bukan segalanya.
Sehingga tidak heran mereka cenderung bersikap apa adanya. Ketika mendapatkan
nilai buruk, mereka merupakan pribadi yang tidak mudah down, karena memang target
mereka tidak terlalu muluk-muluk, serta mereka sudah terbiasa jatuh atau berada di bawah.
Anehnya, mereka pun susah untuk termotivasi untuk bangkit. Mereka tetap santai di titik
tersebut, Stagnan. Ketika berada di perguruan tinggi pun demikian halnya. Mereka belajar
hanya sekedar belajar, tidak bertujuan prestasi, ataupun prestise. Namun, bukan berarti hidup
mereka tanpa tujuan. Mereka mempunyai mimpi dan passion akan studi yang sedang
dijalaninya pun ada. Hanya saja, mereka cenderung santai menjalani semuanya.
Mereka memang malas untuk belajar, dan yang menjadi sumber pengetahuan utama
mereka adalah penjelasan dari dosen, serta diskusi yang bisa dilakukan dalam kelompok
mereka sendiri. Di kelas, bukan mereka tidak memiliki kemampuan. Mereka juga bisa aktif
dalam pembelajaran, hanya saja mereka cenderung menggampangkan segala hal. Malas
membaca buku bisa disiasati dengan membaca literatur dari internet. Bahan untuk membuat
tugas bisa dicari dari internet. Bahkan, jawaban saat ujian berlangsung pun mereka cari di
internet. Ranah pendidikan tinggi, tidak mereka gunakan sebagai tempat eksisnya potensi
mereka. Justru, mereka lebih eksis di ranah lain seperti kelompok Hobi atau yang lainnya.
Sehingga tidak heran jika dalam ranah pendidikan tinggi yang merupakan arena perjuangan
posisi, mereka tidak bisa memperoleh posisi khusus, selain potensi orang kebanyakan.
Kondisi ini diperparah dengan fakta kurangnya daya dukung pihak Perguruan Tinggi
untuk menumbuhkan minat mereka dalam hal peningkatan budaya akademik ini. Seperti
halnya tidak adanya atmosfer membaca, minimnya pelatihan kepenulisan, matinya forum-
forum diskusi, serta tidak adanya teladan dan bimbingan yang tepat dari tenaga pendidik dan
kependidikan baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Pada akhirnya, Praktik akademik
mahasiswa jenis ini sangat lemah dari nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, sikap sportif,
kompetitif, disiplin, peduli, kritis, kreatif, inovatif, dan produktif.
Berbagai macam karakteristik mahasiswa yang menghiasi dunia kampus termasuk
juga dalam lingkup mahasiswa Politeknik Negeri Medan. Ingin menjadi mahasiswa dengan
karakteristik yang mana, pada dasarnya hanyalah sebuah pilihan.

3.2 Variasi Bahasa


Manusia hidup perlu berinteraksi dengan manusia lain. Untuk berkomunikasi, manusia
menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesannya kepada lawan bicaranya. Bahasa yang
digunakan dalam berkomunikasi itu berbeda antara satu orang dengan orang lainnya yang
lazim disebut keberagaman bahasa menurut pemakaiannya. Indikator usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status sosial, etnisitas, topik pembicaraan sangat mempengaruhi isi
komunikasi itu antara si pembicara dan pendengar. Oleh karena itu, variasi atau ragam bahasa
akan muncul disebabkan oleh faktor-faktor indikator di atas. Perbedaaan dalam komunikasi
berdasarkan variasi di atas bisa saja akan menyebabkan perbedaan dalam pengucapan sebuah
kata, seperti gelap menjadi golap.
Contoh lainnya dapat dilihat berikut ini. Seorang wanita pejalan kaki sedang mencari
“Jalan Sutrisno”. Tidak jauh darinya terlihat seorang lelaki yang sedang menunggu angkutan
umum. Kemudian dia bertanya kepada lelaki itu.
Dina : “Maaf Pak, numpang tanya, di mana jalan Sutrisno sekitar sini?”
Daulat : “Ibu berjalan lurus sekitar 200 meter dari sini. Kemudian, belok kanan ke jalan
Materan. Di situlah Ibu akan menemukan Jalan Sutrisno “.
Dina : “terimakasih Pak”.
Dialog antara Bu Dina dan Pak Daulat lazim kita temui di berbagai situasi dan tempat.
Tidak jarang penyebutan nama orang bervariasi bergantung konteks situasi di mana
terjadinya percakapan itu. Kadang-kadang penyebutan Bapak untuk menyapa laki-laki adalah
bentuk penyapaan yang lazim. Namun, di lain pihak, tidak sedikit orang mengucapkan kata
Bang, Mas, atau Lae untuk penyebut kata sapaan bagi laki-laki. Begitu juga sebaliknya,
penyebutan ibu juga memiliki variasi bahasa lain untuk sapaan kepada perempuan, seperti
Mbak, Kak, Ito. Variasi-variasi bahasa ini perlu kita ketahui karena berhubungan dengan
etika dan sopan santun dalam berkomunikasi. Ada tujuh variasi bahasa yang lazim dikenal
dalam berkomunikasi yaitu kronologis, geografis, sosial, fungsional, gaya, kultural, dan
individu (Soeparno, 2002).

1. Variasi Kronologis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa. Perbedaan
pemakaian bahasa ini mengakibatkan perbedaan wujud bahasa itu. Wujud nyata pemakaian
bahasanya dinamakan kronolek.
Contoh Kronolek bahasa Jawa:
 Bahasa Kawi/Jawa Kuno: bahasa ini digunakan pada masa sebelum akhir Kerajaan
Majapahit.
 Bahasa Jawa Tengahan : pada masa akhir Kerajaan Majapahit.
 Bahasa Jawa Baru : pada masa sekarang.

2. Variasi Geografis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh perbedaan geografis atau faktor regional. Oleh
karena itu, sering disebut variasi regional. Wujud/variasinya dinamakan dialek. Beberapa
contoh variasi geografis dapat kita lihat bahasa Jawa dialek Banyumas, dialek tegal, dialek
Banten. Demikian juga di daerah Sumatera Utara, kita bisa menemukan bahasa Indonesia
dialek melayu, (golap ku rasa), batak (kemana kau pergi).

3. Variasi Sosial
Variasi bahasa ini disebabkan oleh perbedaan sosiologis. Realisasi variasi sosial ini
berupa sosiolek. Beberapa macam sosiolek yang kita kenal yakni akrolek, basilek, vulgar,
slang, kolokial, jargon.
1. Akrolek merupakan realisasi variasi bahasa yang dipandang lebih bergengsi atau
lebih tinggi dibandingkan dengan variasi bahasa lainnya. “Bahasa Bagongan”, misalnya,
digunakan oleh para bangsawan di kalangan kraton Jawa.
Contoh kedua, dialek Jakarta pada masa kini dianggap bergengsi sebagai ciri dialek kota
metropolitan, sebab kalangan remaja yang pernah tinggal di Jakarta merasa bangga bisa
berbicara dialek Jakarta. Akan tetapi, dalam bahasa Minangkabau tidak ada dialek yang
dianggap lebih tinggi dari dialek lainnya, karena tidak ada tingkatan dalam bahasa
Minangkabau.
2. Basilek merupakan realisasi variasi bahasa yang dipandang kurang bergengsi atau
bahkan dipandang rendah. Bahasa Jawa “Krama Ndeso”, misalnya, termasuk dalam
kelompok ini.
Contoh: “Tolong belikan pertalit 2 leter di pom bensin”. 
Penyebutan pertalit di sini dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan
pertalite.
3. Vulgar merupakan wujud realisasi bahasa yang ciri-cirinya menunjukkan pemakai
bahasa oleh penutur yang kurang terpelajar atau dari kalangan orang-orang yang bodoh. 
Contoh: “Dasar anak setan, jangan lari kau”.
4. Slang merupakan wujud atau realisasi bahasa yang bersikap khusus dan rahasia.
Bersikap khusus karena penguna bahasanya hanya pada kalangan tertentu. Sementara,
rahasia berarti penggunaan bahasanya tidak boleh di luar kelompoknya mengerti. Kata
bokap, nyokap 

Contoh: 
5. Kolokial merupakan bahasa percakapan sehari-hari dalam situasi yang tidak resmi
atau bahasa yang biasanya digunakan oleh kelompok sosial kelas bawah.
Contoh:  Kata sudah menjadi dah: “Kamu dah ngerjain tugas belum?”.
6. Jargon merupakan wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada
kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelompok pengguna jargon ini biasanya
menggunakan istilah-istilah khusus namun tidak bersifat rahasia. Misalnya bahasa tukang
batu, bahasa montir, bahasa kernet dan sopir, dll.
Contoh: ngetem = berhenti di halte yang merupakan bahasa sopir dan kondektur.
7. Argot merupakan wujud variasi bahasa yang pemakainnya terbatas pada profesi
tertentu yang bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri, pencopet, penggarong,
tentara, intel, dll. 
Contoh: “Pelaksanaan operasi 4112 kita akan mengerahkan tim Alpha2 di barisan
terdepan”.

4. Variasi Fungsional
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian bahasa. Sampai seberapa jauh
fungsi-fungsi bahasa itu dimanifestasikan akan tampak pada wujud variasi fungsional atau
yang telah populer dengan sebutan fungsiolek. Pemakaian bahasa dengan pokok pembicaraan
khusus dan dengan modus atau cara yang khusus di dalam dunia sosiolinguistik dikenal
dengan istilah register. Dengan demikian register tercakup dalam lingkup sosiolek dalam arti
yang lebih luas. Beberapa register yang dapat disebut di sini antara lain:
 Bahasa untuk khotbah;
Contoh: “Hadirin sidang jum’ah yang dirahmati ALLAH Swt, khotib disini tidak henti-
hentinya mengajak untuk selalu meningkatkan taqwa kita kepada ALLAH Swt.”
 Bahasa tukang jual obat;
Contoh: “Penyakit ginjal, mag kronis, asam urat, stroke semua bisa sembuh! jaminan uang
kembali! sudah terbukti dan dipakai oleh orang-orang di seluruh dunia dalam mengobati
penyakit berat. Saya di sini bukan mengada-ada dan bisa dibuktikan sendiri khasiatnya.”
 Bahasa telegram;
 Bahasa reportase/warta berita;
Contoh: Penggunaan kata “pemirsa” dan beberapa kata ajakan “mari kita melihat”, “mari
kita telusuri”.
“Selamat pagi pemirsa, Seputar Info kembali hadir di sela-sela aktivitas Anda, bersama
saya Dimas Permana yang akan memberikan berita-berita terbaru, teraktual, dan
terpercaya”
 Bahasa MC/Pewara, dan lain-lain.
Contoh: “Mari kita beri tepuk tangan yang meriah”.

5. Variasi Gaya/Style
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan gaya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang
dalam perfomansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan maupun tertulis.
Mario Pei dalam Alwasilah (1985:53) mengemukakan adanya lima macam gaya, yakni: (1)
gaya puisi, (2) gaya prosa, (3) gaya ujaran baku, (4) gaya kolokial atau gaya percakapan kelas
rendah, dan (5) gaya vulgar dan slang, sedangkan Martin Joos membedakan lima macam
gaya di dalam bukunya “the Five Clocks” berdasarkan tingkat kebakuan. Adapun lima
macam gaya tersebut adalah sebagai berikut.
1. Gaya Frozen, Gaya ini disebut gaya beku sebab pembentukkannya tidak pernah
berubah dari masa ke masa dan oleh siapapun penuturnya. Jadi ibarat es yang telah
membeku di kutub selatan. Bahasa yang dipakai dalam pewayangan, misalnya pada
“suluk” tidak pernah berubah oleh lakon apa pun dan oleh siapa pun dalangnya. Contoh
lain gaya baku ini ialah bahasa dalam bacaan shalat, doa, mantra, kiasan, klise pada bahasa
Melayu lama, dan lain sebagainya.
2. Gaya Formal, gaya ini juga disebut gaya baku. Pola dan kaidahnya sudah ditetapkan
secara mantap sebagai suatu standar dan pemakaiannya dirancangkan pada situasi resmi.
Gaya semacam ini biasa dipergunakan pada lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor
pemerintah, ceramah, buku-buku pelajaran, rapat dinas, dan lain-lain. Contoh pemakaian
gaya formal adalah ketika seorang mahasiswa berbicara kepada dosen atau pejabat
struktural tertentu di kampus.
Mahasiswa : “Selamat pagi Pak. Saya Roni, Manajemen Bisnis 2021, mahasiswa Bapak di
mata kuliah  Bahasa Inggris. Saya ingin berdiskusi dengan bapak untuk
skripsi saya. Apakah Bapak  ada waktu hari ini?”
Dosen : “Bisa, pukul 4 sore di ruangan saya ya”
Mahasiswa : “Baik Pak, terimakasih.”
3. Gaya Konsultatif, Gaya ini disebut juga setengah resmi atau gaya usaha. Disebut
demikian karena bentuknya terletak di antara gaya formal dan gaya informal, dan
pemakaiannya kebanyakan dipergunakan oleh para pengusaha atau kalangan bisnis. Selain
itu juga biasa digunakan dalam pembicaraan di sekolah, kampus, dan rapat atau
pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Contoh: Bahasa yang digunakan mahasiswa ketika sedang berdiskusi, dosen yang sedang
mengajar, dan lain-lain.
“Selamat siang, perkenalkan saya Lisa dari Fakultas Ilmu Ekonomi ingin
bertanya. Apa hasil diskusi BEM FIE untuk memaksimalkan kegiatan mahasiswa
di tengah pandemi?”.
4. Gaya Kasual (Casual), Gaya ini disebut juga gaya informal atau santai. Ciri gaya ini
antara lain banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk yang diperpendek baik pada
level kata, frasa, maupun kalimatnya. Ciri lain ialah banyaknya unsur leksikal dialek dan
unsur daerah. Gaya bahasa ini biasa dipergunakan oleh para pembicara di warung kopi, di
tempat-tempat rekreasi, di pinggir jalan, dan pembicaraan santai lainnya.
Contoh, Pembeli: “Bang, gorengannya 10 ribu GPL ya. Gercep!”
Penjual: “Oke sip, mau pakai plastik gak”.
5. Gaya Intim (Intimate), Gaya ini disebut juga gaya akrab karena biasa dipergunakan
oleh para penutur dan hubungannya sudah amat akrab. Cirinya hampir sama dengan gaya
santai, akan tetapi pada gaya akrab ini pemakaian bentuk alegronya sudah keterlaluan
sehingga tidak mungkin dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui situsinya. Gaya
intim ini biasa juga dipakai oleh pasangan yang sedang bermesraan, seorang ibu dengan
anak kecilnya, suami istri dalam situasi khusus, antaranggota keluarga, teman dekat, dan
sebagainya. Menurut Nababan (1984, 22-23) memasukkan gaya berdasarkan tingkat
keformalan ini ke dalam variasi fungsional (fungsiolek).
Contoh: “Cuy, dah dimana? Kok ga sampe-sampe?”.

6. Variasi Kultural
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya. Suatu bahasa
yang dipergunakan oleh penutur asli atau penutur pribumi kadang-kadang mengalami
perubahan dengan masuknya budaya lain. Varietas yang termasuk sebagai variasi kultural ini
antara lain sebagai berikut:
a. Vernakuler, bahasa asli atau bahasa penduduk pribumi di suatu wilayah. Misalnya
bahasa-bahasa di Eropa (selain bahasa Latin) sampai dengan abad pertengahan. Contoh
lain adalah bahasa-bahasa di Irian Timur sebelum kehadiran orang-orang Inggris.
b. Pidgin, bahasa yang sruktur maupun kosakatanya merupakan struktur campuran sebagai
akibat percampuran dua budaya yang bertemu. Beberapa pidgin yang kita kenal antara lain
“Pidgin English” di Papua Nugini, Melanesia, dan Hongkong.
c. Kreol (Creol), Pidgin yang sudah berlangsung turun-temurun sehingga struktur maupun
kosakatanya menjadi mantap. Bahkan kreol dapat diangkat menjadi bahasa resmi suatu
negeri.
d. Linguafranca, bahasa yang diangkat oleh para penutur yang berbeda budayanya untuk
dipakai bersama-sama sebagai alai komunikasi. Misalnya bahasa Arab di Timur Tengah,
bahasa Latin di Eropa pada abad pertengahan, bahasa Melayu di Nusantara pada zaman
Sriwijaya, bahasa Swahili di Afrika Tengah, dan lain sebagainya.
Bertalian dengan perihal linguafranca ini di dalam sejarah pernah ada bahasa ciptaan
seseorang yang direncanakan sebagai alat komunikasi antarbangsa atau yang mereka sebut
sebagai bahasa dunia. Bahasa-bahasa tersebut adalah Volapuk, Esperanto, dan Interlingua.
Berikut penjelasannya di bawah:

a. Volapuk
Bahasa ini diciptakan oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Johan Martin Schleyer
pada tahun 1879. Kosakatanya diramu dari unsur-unsur bahasa Inggris, Perancis, Jerman
dan bahasa-bahasa Roman. Semula bahasa ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Eropa, akan tetapi karena sistemnya dirasakan terlalu sukar, akhirnya banyak orang yang
enggan mempelajari dan menggunakannya. Tamatlah riwayat bahasa dunia ini sebelum
genap berusia sepuluh tahun.
b.  Esperanto
Bahasa ini diciptakan oleh seorang dokter berkebangsaan Polandia bernama Ludwik
Zamenhof dengan motif untuk mempersatukan atau mendamaikan masyarakat yang selalu
berselisih karena perbedaan bahasanya. Kosakata diramu dari unsur-unsur bahasa Jerman
dan Roman. Belajar dari kegagalan Volapuk, maka kaidah bahasa ini disusun sedemikian
sederhananya sehingga sangat mudah untuk dipelajari oleh berbagai lapisan dalam waktu
yang sangat singkat. Misalnya semua kata kerja berakhir –i, semua kata benda berakhir –o,
semua kata sifat berakhir –a, dan sebagainya. Dengan cara ini bahasa Esperanto tersebut
luas sampai ke seluruh Eropa, bahkan sampai ke luar Eropa. Oleh karena itu
pemakaiannya sangat luas menyebabka bahasa ini terpecah menjadi berbagai dialek.
Dialek-dialek yang berjauhan kadang-kadang terlalu banyak perbedaannya, sehingga
penutur kedua dialek itu menemui kesulitan untuk berkomunikasi. Akhirnya, sia-sialah
makna bahasa dunia karena sudah gagal berfungsi sebagai alat komunikasi internasional.
c. Interlingua 
Bahasa ini diciptakan oleh seseorang berkebangsaan Amerika bernama Alexander Gode.
Unsur-unsur bahasa yang dipergunakan diambil dari bahasa Perancis, Italia, Rusia,
Spanyol, Inggris, dan Jerman. Struktur bahasanya mirip bahasa Esperanto. Sayangnya
bahasa ini hanya cocok bagi orang-orang Eropa dan akhirnya lenyap pula dari peredaran.
d. Variasi Individual
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan perorangan. Wujud varietasnya dinamakan
idiolek. Setiap individu penutur memiliki ciri tuturan yang berbeda dengan penutur lain.
Itulah sebabnya kita dapat mengenal seseorang lewat tuturannya meskipun tidak melihat si
penutur itu. Contoh idiolek yang paling jelas ialah pada pewayangan yang dikenal dengan
istilah antawacana. Di dalam antawacana itu dengan mudah kita kenal ciri-ciri tuturan
Kresna, Wredakura, Sangkuni, Lesmana Mandukumara, Janaka, Citraksi, Bethara Narada,
Semar, Petruk, Bagong, dan sebagainya.

Tugas :
1. Tuliskan pendapat mahasiswa tentang kebudayaan yang berasal dari daerah lain dan
SUMUT ?
2. Demonstrasikan cara berkomunikasi antara mahasiswa dengan dosen melalui
a. Wa
b. Zoom
c. Google meet
d. Surat
e. Telephone

Kebudayaan yang benar dilahirkan di alam, sederhana, rendah hati, dan


murni” ― Masanobu Fukuoka, The One-Straw Revolution

DAFTAR PUSTAKA
Foster, E.M. 1965. Aspect of The Novel. Harmondswort: Penguin Book.
Indra Yuzal, SE., M.M,. Dkk, 2011, Panduan Praktis Seminar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Koentjara Ningrat, 1987, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta, Djambatan
Oberg, K, Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Environments, Practical
Anthropology, Volume: os-7 issue: 4, page(s): 177-182
Poerwanto Heri. 2010. Kebudayaan Dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
POLBANGMAWA: Pola Pengembangan Kemahasiswaan, 2006, Direktorat Kelembagaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Rumondor, Alex, H., (dkk), Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: UT, 1995
Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Van Peursen, C. A., Prof., Dr., 1976, Strategi Kebudayaan, Penerbit: Kanisius, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai