Tujuan Pembelajaran:
Memahami pengertian budaya dan nilai dasar budaya secara umum, menerapkan kebudayaan
yang ada dilingkungan POLMED, menerapkan budaya disiplin dalam diri sendiri,
menerapkan pengunaan bahasa yang santun dan sopan dalam lingkungan POLMED.
Manusia merupakan mahkluk sosial, artinya mereka tidak dapat hidup sendiri namun
harus berdampingan dengan manusia lainnya. Manusia akan membutuhkan bantuan dari
orang lain dalam menjalankan kehidupan. Salah satu contohnya yaitu jika ingin mencapai
suatu tujuan tertentu manusia akan saling bekerjasama untuk mencapai tujuannya tersebut.
Kerjasama bisa dilakukan dengan orang lain yang ada pada lingkungan sekitar. Misalnya,
orang yang ada di lingkungan kampus. Tentu kerjasama bisa terbentuk karena adanya
kepentingan yang sama salah satunya kepentingan untuk mencapai suatu tujuan.
Kontak sosial pada seluruh lapisan masyarakat, sebagian masyarakat atau antar
individu dalam dua masyarakat memiliki pengaruh besar karena seseorang melakukannya
setiap hari. Kontak budaya antara kelompok yang menguasai dan dikuasai dalam seluruh
unsur budaya, baik dalam kebiasaan, bahasa dan lain sebagainya. Biasanya masyarakat yang
menguasai adalah masyarakat asli atau pribumi, karena jumlah mereka lebih banyak.
Sedangkan kelompok yang dikuasai adalah kelompok pendatang yang jumlahnya lebih
sedikit atau minoritas.
Dalam hal ini mahasiswa mayoritas di Polmed adalah mahasiswa yang berasal dari
kota Medan dan sekitarnya serta dari berbagai daerah di Sumatera Utara, sedangkan yang
minoritas adalah mereka yang berasal dari luar propinsi Sumatera Utara, diantarnya adalah
Aceh, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Bali, NTT, Papua dan beberapa daerah lainnya.
Penilaian mahasiswa yang berasal dari luar Sumatera utara kepada orang Sumatera
utara adalah baik. Menurut mereka masyarakat Sumatera Utara merupakan masyarakat yang
logat daerahnya kental, keras, tegas, ramah mudah bergaul, juga diakui oleh mahasiswa.
Berikut cuplikan keterangan mahasiswa asal Aceh, Riau dan Bali : “... Orang Sumatera utara
itu baik-baik, walaupun intonasi suaranya tinggi tetapi bukan karena marah tetapi memang
sudah seperti itu kalau berbicara namun hatinya baik, ketika ada masalah, mereka sering
membantu dalam banyak hal...”
Proses adaptasi budaya mahasiswa di Polmed berjalan dengan baik. Mahasiswa
berdiskusi antar angkatan, walaupun mempunyai budaya yang tidak sama. Kendala yang
dihadapi Mahasiswa dalam Proses Akulturasi Budaya dalam Pergaulan Sosial di Kampus
adalah:
1. Asal daerah, yaitu pengelompokan mahasiswa berdasarkan asal daerah atau tempat
tinggalnya. Contoh diferensiasi asal daerah tampak dalam perilaku, tutur kata, cara
berpakaian, cara berinteraksi, dan lain-lain.
2. Bahasa, yaitu kemampuan yang dimiliki mahasiswa untuk berkomunikasi satu dengan
lainnya untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep maupun perasaan. Perbedaan
bahasa di tiap tiap daerah merupakan kendala dalam proses akulturasi budaya di kalangan
mahasiswa Polmed.
Perguruan Tinggi merupakan tempat menimba ilmu tanpa habisnya. Predikat "Maha"
yang disandang Mahasiswa sebenarnya memberikan beban moral dan dapat dipertanggung
jawabkan pada masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai golongan intelek oleh masyarakat,
oleh karena itu Mahasiswa harus mampu membaur dengan masyarakat dan memberikan
energi positif bagi lingkungan setempat.
Sesuai dengan Tri dharma perguruan Tinggi yaitu; Pendidikan dan Pengajaran,
Penelitian dan Pengembangan, dan Pengabdian pada Masyarakat, mahasiswa dituntut untuk
mempelajari berbagai ilmu diluar jurusan atau program studi yang dipilih. Keterbatasan ilmu
dibangku kuliah akhirnya dibentuk berbagai kegiatan diluar jurusan atau program studi,
kemudian inilah yang akan menimbulkan budaya sendiri untuk berkegiatan, berkarya dengan
segala keahlian atau potensi yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dengan membentuk ragam
budaya kampus.
Budaya yang dimaksud adalah budaya yang mampu membentuk jati dirinya sebagai
seorang Intelektual yang profesional pada bidangnya, dan juga cakap dalam memimpin,
berinovasi, dan berwawasan luas. Untuk itu maka Mahasiswa di polmed dituntut untuk
menunjang Soft Skillnya yang bisa diperoleh dari kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler kampus
misalnya aktif mengikuti Kegiatan Mahasiswa, BEM, HMPS, ataupun organisasi-organisasi
Ekstra Kampus.
Posisi mahasiswa sebagai middle class menyebabkan peran mahasiswa untuk
menjembatani antara pemerintah dengan rakyat. Mahasiswa merupakan komunitas terpelajar
dengan segala kelebihan kapasitas intelektualnya memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat. Dengan segala kemampuan berpikir kritis mahasiswa seharusnya dapat
menjawab kebutuhan praktis masyarakat berdasarkan realita yang ada.
Melihat dinamika kampus saat ini, sedikit demi sedikit budaya kampus sudah mulai
bergeser dengan Mahasiswanya yang semakin apatis dengan lingkungan, budaya hedonisme
dan konsumerisme kian merajalela. Mahasiswa hanya disibukkan dengan kegiatan
perkuliahan semata, sehingga Mahasiswa yang seperti ini orientasi utamanya adalah untuk
memudahkannya mencari pekerjaan apabila mereka sudah lulus kelak. Maka tidak heran
apabila menemukan mahasiswa yang kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat
disekitarnya sendiri dan apatis dengan lingkungan di tempat tinggalnya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, maka dibutuhkan adanya perbaikan orientasi
keluarga mahasiswa, sinergitas dan dukungan dari birokrasi kampus. Langkah-langkah yang
bisa ditempuh antara lain, optimalisasi kaderisasi untuk meningkatkan partisipasi aktif massa
kampus, meningkatan daya serap aspirasi dan advokasi dengan meningkatkan jumlah
partisipasi dalam bidang pelayanan mahasiswa, memberdayakan potensi massa kampus, baik
minat, bakat maupun keprofesian.
C. Budaya akademik
Kampus merupakan kehidupan yang penuh dengan kegiatan akademik dan
nonakademik. Nilai ideal budaya akademik menuntut mahasiswa untuk memiliki kebiasaan
membaca, menulis, diskusi, aktif dalam perkuliahan dan organisasi. Namun, fakta di
lapangan tidak semua mahasiswa mampu menjalani kehidupan dunia akademik yang
sedemikian ideal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan akademik tetap menjadi pilihan pertama bagi
setiap mahasiswa untuk mencapai sebuah tujuan akhir dalam perkuliahan yaitu lulus sebagai
sarjana. Hanya saja dalam prosesnya, beragam cara digunakan oleh para mahasiswa. Ada
yang memanfaatkan waktu sebaik – baiknya dengan kegiatan yang bermanfaat. Ada juga
yang lebih memilih untuk fokus kuliah. Serta ada juga yang masih cenderung
mengedepankan aspek kesenangan dalam dunia ilmiah kehidupan kampus.
Ketika mahasiswa berada di kampus, mahasiswa berupaya untuk melakukan praktik-
praktik yang selama ini telah dibiasakan dalam lingkungan terdahulu mereka. Sayangnya,
mereka juga harus mampu memahami bagaimana nilai dan norma yang berlaku dalam
lingkungan kampus. Perlahan, kehidupan kampus dengan segala aturan dan kebiasaannya
juga akan terinternalisasi dalam diri individu, dan seperti yang telah terjadi sebelumnya akan
membentuk sebuah habitus.
Wujud nyata dari praktik-praktik akademik yang dilakukan oleh para mahasiswa
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa Varian mahasiswa di bawah ini.
1. Mahasiswa Aktivis
Mengikuti organisasi dikampus memang hanya merupakan pilihan kedua, setelah
pilihan pertama yaitu, menjalankan perannya di kegiatan akademik kampus. Menjadi
mahasiswa yang aktif di organisasi memang merupakan sebuah pilihan yang membutuhkan
atensi ekstra dari setiap mahasiswa. Karena sejatinya sebuah tindakan lahir dari sebuah
pilihan rasional yang mempunyai pertimbangan logis dan emotional yang matang.
Pada umumnya, mahasiswa yang aktif di organisasi memang mahasiswa yang
sebelumnya telah memiliki pengalaman di jenjang studi sebelumnya, aktif di organisasi OSIS
salah satunya, meskipun mereka tidak sepenuhnya menutup mata atas kewajiban utamanya
dalam kemampuan akademik. Organisasi menjadi sebuah pilihan dengan berbagai macam
motif untuk menjadi tempat ekspresi, apresiasi, dan atensi mahasiswa dalam merespon
eksistensi dirinya dan kehidupan sosial yang begitu kompleks.
Di satu sisi, eksistensi ini memang membawa implikasi konstruktif. Namun, di sisi
lain, bukan tidak mungkin jika aktivitas dalam organisasi justru berimplikasi destruktif
karena dikhawatirkan akan mengganggu aktivitas akademik. Faktanya, para mahasiswa yang
berada dalam kategori ini adalah mahasiswa yang berusaha menyeimbangkan antara
kemampuan akademik dengan softskill seperti teamwork, leadership, communication skill
dan lain-lain. Implikasi konstruktif terjadi ketika para mahasiswa ini mampu merengguk
semua manfaat organisasi, dan juga bisa mengembangkan kemampuan akademiknya.
2. Mahasiswa Study Oriented
Berkuliah adalah kesempatan dan berorganisasi adalah pilihan inilah yang dipegang
teguh oleh mahasiswa jenis ini. Mereka cenderung kurang berminat pada hal lain di luar
aktivitas belajar (kuliah). Tipe mahasiswa ini memang lebih memiliki idealisme tinggi
sebagai seorang pelajar. Jadi tidak heran apabila mahasiswa jenis ini lebih cenderung Study
Oriented. Sebenarnya, tipe mahasiswa ini juga sadar bahwa mahasiswa yang ideal adalah
mahasiswa yang dapat memposisikan diri baik di kampus ataupun lingkungan sekitar. Dalam
arti, ketika di kampus mahasiswa harus kritis dan juga responsive terhadap lingkungan
sekitar. Namun, di sisi lain mereka juga cenderung stigmatik terhadap kehidupan mahasiswa
yang rela membagi waktunya selain untuk belajar juga untuk aktif di kegiatan lain. Mereka
menganggap bahwa orang-orang di luar tipe mereka, sebagai seseorang yang cenderung
mengabaikan urusan kuliah yang lebih bersifat wajib. Karenanya mahasiswa jenis ini lebih
memilih untuk menjalankan tugas sebagai mahasiswa yaitu belajar dan menaati peraturan
yang telah ada.
Aktivitas mahasiswa jenis ini biasanya kuliah lalu pulang. Kegiatan belajarnya lebih
banyak dilakukan pada ruang domestik mereka sendiri. Tipe mahasiswa ini memang lebih
memiliki target akademis. Ingin menguasai semua ilmu dibidangnya, dan terkadang ingin
disebut “master” dibidangnya tersebut. Target utama mereka adalah Lulus tepat waktu
dengan predikat cumlaude. Sehingga tidak heran jika mereka hanya peduli pada studinya dan
kurang peduli pada hal-hal lain di luar itu. Menurut mereka menjalani aktivitas di luar kuliah
hanya akan membuat repot, IP akan turun, menjadikan masa studi lebih lama, dan lain
sebagainya.
3. Mahasiswa Medioker
Mahasiswa jenis ini bisa diungkapkan dengan istilah “Of a middle quality”. Dalam
arti lain, performa atau citra mahasiswa yang cenderung biasa-biasa atau berada dalam
kualitas menengah. Dalam hal akademik, mahasiswa ini memang kurang rajin dalam belajar.
Perjalanan akademik mereka seolah dibiarkan mengalir seperti halnya aliran mata pelajaran
yang mereka terima. Pada jenjang sebelumnya, mereka sudah terbiasa tidak memiliki prestasi
di kelas, keberadaannya jika tidak di posisi tengah atau di posisi dasar kelas. Terkadang harus
mengalami remedial dalam ujian namun bagi mereka hal tersebut menjadi suatu hal yang
biasa ketika musim ujian tiba. Mendapat nilai jelek tidak menjadi suatu masalah yang harus
dibesarbesarkan. Belajar hanya sekedar belajar. Sekolah hanya sekedar sekolah. Begitulah
prinsip mereka. Mereka sudah biasa dengan anggapan bahwa selama mereka menempuh
pendidikan, nilai bagi mereka bukan segalanya.
Sehingga tidak heran mereka cenderung bersikap apa adanya. Ketika mendapatkan
nilai buruk, mereka merupakan pribadi yang tidak mudah down, karena memang target
mereka tidak terlalu muluk-muluk, serta mereka sudah terbiasa jatuh atau berada di bawah.
Anehnya, mereka pun susah untuk termotivasi untuk bangkit. Mereka tetap santai di titik
tersebut, Stagnan. Ketika berada di perguruan tinggi pun demikian halnya. Mereka belajar
hanya sekedar belajar, tidak bertujuan prestasi, ataupun prestise. Namun, bukan berarti hidup
mereka tanpa tujuan. Mereka mempunyai mimpi dan passion akan studi yang sedang
dijalaninya pun ada. Hanya saja, mereka cenderung santai menjalani semuanya.
Mereka memang malas untuk belajar, dan yang menjadi sumber pengetahuan utama
mereka adalah penjelasan dari dosen, serta diskusi yang bisa dilakukan dalam kelompok
mereka sendiri. Di kelas, bukan mereka tidak memiliki kemampuan. Mereka juga bisa aktif
dalam pembelajaran, hanya saja mereka cenderung menggampangkan segala hal. Malas
membaca buku bisa disiasati dengan membaca literatur dari internet. Bahan untuk membuat
tugas bisa dicari dari internet. Bahkan, jawaban saat ujian berlangsung pun mereka cari di
internet. Ranah pendidikan tinggi, tidak mereka gunakan sebagai tempat eksisnya potensi
mereka. Justru, mereka lebih eksis di ranah lain seperti kelompok Hobi atau yang lainnya.
Sehingga tidak heran jika dalam ranah pendidikan tinggi yang merupakan arena perjuangan
posisi, mereka tidak bisa memperoleh posisi khusus, selain potensi orang kebanyakan.
Kondisi ini diperparah dengan fakta kurangnya daya dukung pihak Perguruan Tinggi
untuk menumbuhkan minat mereka dalam hal peningkatan budaya akademik ini. Seperti
halnya tidak adanya atmosfer membaca, minimnya pelatihan kepenulisan, matinya forum-
forum diskusi, serta tidak adanya teladan dan bimbingan yang tepat dari tenaga pendidik dan
kependidikan baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Pada akhirnya, Praktik akademik
mahasiswa jenis ini sangat lemah dari nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, sikap sportif,
kompetitif, disiplin, peduli, kritis, kreatif, inovatif, dan produktif.
Berbagai macam karakteristik mahasiswa yang menghiasi dunia kampus termasuk
juga dalam lingkup mahasiswa Politeknik Negeri Medan. Ingin menjadi mahasiswa dengan
karakteristik yang mana, pada dasarnya hanyalah sebuah pilihan.
1. Variasi Kronologis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa. Perbedaan
pemakaian bahasa ini mengakibatkan perbedaan wujud bahasa itu. Wujud nyata pemakaian
bahasanya dinamakan kronolek.
Contoh Kronolek bahasa Jawa:
Bahasa Kawi/Jawa Kuno: bahasa ini digunakan pada masa sebelum akhir Kerajaan
Majapahit.
Bahasa Jawa Tengahan : pada masa akhir Kerajaan Majapahit.
Bahasa Jawa Baru : pada masa sekarang.
2. Variasi Geografis
Variasi bahasa ini disebabkan oleh perbedaan geografis atau faktor regional. Oleh
karena itu, sering disebut variasi regional. Wujud/variasinya dinamakan dialek. Beberapa
contoh variasi geografis dapat kita lihat bahasa Jawa dialek Banyumas, dialek tegal, dialek
Banten. Demikian juga di daerah Sumatera Utara, kita bisa menemukan bahasa Indonesia
dialek melayu, (golap ku rasa), batak (kemana kau pergi).
3. Variasi Sosial
Variasi bahasa ini disebabkan oleh perbedaan sosiologis. Realisasi variasi sosial ini
berupa sosiolek. Beberapa macam sosiolek yang kita kenal yakni akrolek, basilek, vulgar,
slang, kolokial, jargon.
1. Akrolek merupakan realisasi variasi bahasa yang dipandang lebih bergengsi atau
lebih tinggi dibandingkan dengan variasi bahasa lainnya. “Bahasa Bagongan”, misalnya,
digunakan oleh para bangsawan di kalangan kraton Jawa.
Contoh kedua, dialek Jakarta pada masa kini dianggap bergengsi sebagai ciri dialek kota
metropolitan, sebab kalangan remaja yang pernah tinggal di Jakarta merasa bangga bisa
berbicara dialek Jakarta. Akan tetapi, dalam bahasa Minangkabau tidak ada dialek yang
dianggap lebih tinggi dari dialek lainnya, karena tidak ada tingkatan dalam bahasa
Minangkabau.
2. Basilek merupakan realisasi variasi bahasa yang dipandang kurang bergengsi atau
bahkan dipandang rendah. Bahasa Jawa “Krama Ndeso”, misalnya, termasuk dalam
kelompok ini.
Contoh: “Tolong belikan pertalit 2 leter di pom bensin”.
Penyebutan pertalit di sini dianggap kurang bergengsi dibandingkan dengan
pertalite.
3. Vulgar merupakan wujud realisasi bahasa yang ciri-cirinya menunjukkan pemakai
bahasa oleh penutur yang kurang terpelajar atau dari kalangan orang-orang yang bodoh.
Contoh: “Dasar anak setan, jangan lari kau”.
4. Slang merupakan wujud atau realisasi bahasa yang bersikap khusus dan rahasia.
Bersikap khusus karena penguna bahasanya hanya pada kalangan tertentu. Sementara,
rahasia berarti penggunaan bahasanya tidak boleh di luar kelompoknya mengerti. Kata
bokap, nyokap
Contoh:
5. Kolokial merupakan bahasa percakapan sehari-hari dalam situasi yang tidak resmi
atau bahasa yang biasanya digunakan oleh kelompok sosial kelas bawah.
Contoh: Kata sudah menjadi dah: “Kamu dah ngerjain tugas belum?”.
6. Jargon merupakan wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada
kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelompok pengguna jargon ini biasanya
menggunakan istilah-istilah khusus namun tidak bersifat rahasia. Misalnya bahasa tukang
batu, bahasa montir, bahasa kernet dan sopir, dll.
Contoh: ngetem = berhenti di halte yang merupakan bahasa sopir dan kondektur.
7. Argot merupakan wujud variasi bahasa yang pemakainnya terbatas pada profesi
tertentu yang bersifat rahasia. Misalnya, bahasa para pencuri, pencopet, penggarong,
tentara, intel, dll.
Contoh: “Pelaksanaan operasi 4112 kita akan mengerahkan tim Alpha2 di barisan
terdepan”.
4. Variasi Fungsional
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian bahasa. Sampai seberapa jauh
fungsi-fungsi bahasa itu dimanifestasikan akan tampak pada wujud variasi fungsional atau
yang telah populer dengan sebutan fungsiolek. Pemakaian bahasa dengan pokok pembicaraan
khusus dan dengan modus atau cara yang khusus di dalam dunia sosiolinguistik dikenal
dengan istilah register. Dengan demikian register tercakup dalam lingkup sosiolek dalam arti
yang lebih luas. Beberapa register yang dapat disebut di sini antara lain:
Bahasa untuk khotbah;
Contoh: “Hadirin sidang jum’ah yang dirahmati ALLAH Swt, khotib disini tidak henti-
hentinya mengajak untuk selalu meningkatkan taqwa kita kepada ALLAH Swt.”
Bahasa tukang jual obat;
Contoh: “Penyakit ginjal, mag kronis, asam urat, stroke semua bisa sembuh! jaminan uang
kembali! sudah terbukti dan dipakai oleh orang-orang di seluruh dunia dalam mengobati
penyakit berat. Saya di sini bukan mengada-ada dan bisa dibuktikan sendiri khasiatnya.”
Bahasa telegram;
Bahasa reportase/warta berita;
Contoh: Penggunaan kata “pemirsa” dan beberapa kata ajakan “mari kita melihat”, “mari
kita telusuri”.
“Selamat pagi pemirsa, Seputar Info kembali hadir di sela-sela aktivitas Anda, bersama
saya Dimas Permana yang akan memberikan berita-berita terbaru, teraktual, dan
terpercaya”
Bahasa MC/Pewara, dan lain-lain.
Contoh: “Mari kita beri tepuk tangan yang meriah”.
5. Variasi Gaya/Style
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan gaya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang
dalam perfomansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan maupun tertulis.
Mario Pei dalam Alwasilah (1985:53) mengemukakan adanya lima macam gaya, yakni: (1)
gaya puisi, (2) gaya prosa, (3) gaya ujaran baku, (4) gaya kolokial atau gaya percakapan kelas
rendah, dan (5) gaya vulgar dan slang, sedangkan Martin Joos membedakan lima macam
gaya di dalam bukunya “the Five Clocks” berdasarkan tingkat kebakuan. Adapun lima
macam gaya tersebut adalah sebagai berikut.
1. Gaya Frozen, Gaya ini disebut gaya beku sebab pembentukkannya tidak pernah
berubah dari masa ke masa dan oleh siapapun penuturnya. Jadi ibarat es yang telah
membeku di kutub selatan. Bahasa yang dipakai dalam pewayangan, misalnya pada
“suluk” tidak pernah berubah oleh lakon apa pun dan oleh siapa pun dalangnya. Contoh
lain gaya baku ini ialah bahasa dalam bacaan shalat, doa, mantra, kiasan, klise pada bahasa
Melayu lama, dan lain sebagainya.
2. Gaya Formal, gaya ini juga disebut gaya baku. Pola dan kaidahnya sudah ditetapkan
secara mantap sebagai suatu standar dan pemakaiannya dirancangkan pada situasi resmi.
Gaya semacam ini biasa dipergunakan pada lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor
pemerintah, ceramah, buku-buku pelajaran, rapat dinas, dan lain-lain. Contoh pemakaian
gaya formal adalah ketika seorang mahasiswa berbicara kepada dosen atau pejabat
struktural tertentu di kampus.
Mahasiswa : “Selamat pagi Pak. Saya Roni, Manajemen Bisnis 2021, mahasiswa Bapak di
mata kuliah Bahasa Inggris. Saya ingin berdiskusi dengan bapak untuk
skripsi saya. Apakah Bapak ada waktu hari ini?”
Dosen : “Bisa, pukul 4 sore di ruangan saya ya”
Mahasiswa : “Baik Pak, terimakasih.”
3. Gaya Konsultatif, Gaya ini disebut juga setengah resmi atau gaya usaha. Disebut
demikian karena bentuknya terletak di antara gaya formal dan gaya informal, dan
pemakaiannya kebanyakan dipergunakan oleh para pengusaha atau kalangan bisnis. Selain
itu juga biasa digunakan dalam pembicaraan di sekolah, kampus, dan rapat atau
pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.
Contoh: Bahasa yang digunakan mahasiswa ketika sedang berdiskusi, dosen yang sedang
mengajar, dan lain-lain.
“Selamat siang, perkenalkan saya Lisa dari Fakultas Ilmu Ekonomi ingin
bertanya. Apa hasil diskusi BEM FIE untuk memaksimalkan kegiatan mahasiswa
di tengah pandemi?”.
4. Gaya Kasual (Casual), Gaya ini disebut juga gaya informal atau santai. Ciri gaya ini
antara lain banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk yang diperpendek baik pada
level kata, frasa, maupun kalimatnya. Ciri lain ialah banyaknya unsur leksikal dialek dan
unsur daerah. Gaya bahasa ini biasa dipergunakan oleh para pembicara di warung kopi, di
tempat-tempat rekreasi, di pinggir jalan, dan pembicaraan santai lainnya.
Contoh, Pembeli: “Bang, gorengannya 10 ribu GPL ya. Gercep!”
Penjual: “Oke sip, mau pakai plastik gak”.
5. Gaya Intim (Intimate), Gaya ini disebut juga gaya akrab karena biasa dipergunakan
oleh para penutur dan hubungannya sudah amat akrab. Cirinya hampir sama dengan gaya
santai, akan tetapi pada gaya akrab ini pemakaian bentuk alegronya sudah keterlaluan
sehingga tidak mungkin dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui situsinya. Gaya
intim ini biasa juga dipakai oleh pasangan yang sedang bermesraan, seorang ibu dengan
anak kecilnya, suami istri dalam situasi khusus, antaranggota keluarga, teman dekat, dan
sebagainya. Menurut Nababan (1984, 22-23) memasukkan gaya berdasarkan tingkat
keformalan ini ke dalam variasi fungsional (fungsiolek).
Contoh: “Cuy, dah dimana? Kok ga sampe-sampe?”.
6. Variasi Kultural
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya. Suatu bahasa
yang dipergunakan oleh penutur asli atau penutur pribumi kadang-kadang mengalami
perubahan dengan masuknya budaya lain. Varietas yang termasuk sebagai variasi kultural ini
antara lain sebagai berikut:
a. Vernakuler, bahasa asli atau bahasa penduduk pribumi di suatu wilayah. Misalnya
bahasa-bahasa di Eropa (selain bahasa Latin) sampai dengan abad pertengahan. Contoh
lain adalah bahasa-bahasa di Irian Timur sebelum kehadiran orang-orang Inggris.
b. Pidgin, bahasa yang sruktur maupun kosakatanya merupakan struktur campuran sebagai
akibat percampuran dua budaya yang bertemu. Beberapa pidgin yang kita kenal antara lain
“Pidgin English” di Papua Nugini, Melanesia, dan Hongkong.
c. Kreol (Creol), Pidgin yang sudah berlangsung turun-temurun sehingga struktur maupun
kosakatanya menjadi mantap. Bahkan kreol dapat diangkat menjadi bahasa resmi suatu
negeri.
d. Linguafranca, bahasa yang diangkat oleh para penutur yang berbeda budayanya untuk
dipakai bersama-sama sebagai alai komunikasi. Misalnya bahasa Arab di Timur Tengah,
bahasa Latin di Eropa pada abad pertengahan, bahasa Melayu di Nusantara pada zaman
Sriwijaya, bahasa Swahili di Afrika Tengah, dan lain sebagainya.
Bertalian dengan perihal linguafranca ini di dalam sejarah pernah ada bahasa ciptaan
seseorang yang direncanakan sebagai alat komunikasi antarbangsa atau yang mereka sebut
sebagai bahasa dunia. Bahasa-bahasa tersebut adalah Volapuk, Esperanto, dan Interlingua.
Berikut penjelasannya di bawah:
a. Volapuk
Bahasa ini diciptakan oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Johan Martin Schleyer
pada tahun 1879. Kosakatanya diramu dari unsur-unsur bahasa Inggris, Perancis, Jerman
dan bahasa-bahasa Roman. Semula bahasa ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Eropa, akan tetapi karena sistemnya dirasakan terlalu sukar, akhirnya banyak orang yang
enggan mempelajari dan menggunakannya. Tamatlah riwayat bahasa dunia ini sebelum
genap berusia sepuluh tahun.
b. Esperanto
Bahasa ini diciptakan oleh seorang dokter berkebangsaan Polandia bernama Ludwik
Zamenhof dengan motif untuk mempersatukan atau mendamaikan masyarakat yang selalu
berselisih karena perbedaan bahasanya. Kosakata diramu dari unsur-unsur bahasa Jerman
dan Roman. Belajar dari kegagalan Volapuk, maka kaidah bahasa ini disusun sedemikian
sederhananya sehingga sangat mudah untuk dipelajari oleh berbagai lapisan dalam waktu
yang sangat singkat. Misalnya semua kata kerja berakhir –i, semua kata benda berakhir –o,
semua kata sifat berakhir –a, dan sebagainya. Dengan cara ini bahasa Esperanto tersebut
luas sampai ke seluruh Eropa, bahkan sampai ke luar Eropa. Oleh karena itu
pemakaiannya sangat luas menyebabka bahasa ini terpecah menjadi berbagai dialek.
Dialek-dialek yang berjauhan kadang-kadang terlalu banyak perbedaannya, sehingga
penutur kedua dialek itu menemui kesulitan untuk berkomunikasi. Akhirnya, sia-sialah
makna bahasa dunia karena sudah gagal berfungsi sebagai alat komunikasi internasional.
c. Interlingua
Bahasa ini diciptakan oleh seseorang berkebangsaan Amerika bernama Alexander Gode.
Unsur-unsur bahasa yang dipergunakan diambil dari bahasa Perancis, Italia, Rusia,
Spanyol, Inggris, dan Jerman. Struktur bahasanya mirip bahasa Esperanto. Sayangnya
bahasa ini hanya cocok bagi orang-orang Eropa dan akhirnya lenyap pula dari peredaran.
d. Variasi Individual
Variasi ini disebabkan oleh perbedaan perorangan. Wujud varietasnya dinamakan
idiolek. Setiap individu penutur memiliki ciri tuturan yang berbeda dengan penutur lain.
Itulah sebabnya kita dapat mengenal seseorang lewat tuturannya meskipun tidak melihat si
penutur itu. Contoh idiolek yang paling jelas ialah pada pewayangan yang dikenal dengan
istilah antawacana. Di dalam antawacana itu dengan mudah kita kenal ciri-ciri tuturan
Kresna, Wredakura, Sangkuni, Lesmana Mandukumara, Janaka, Citraksi, Bethara Narada,
Semar, Petruk, Bagong, dan sebagainya.
Tugas :
1. Tuliskan pendapat mahasiswa tentang kebudayaan yang berasal dari daerah lain dan
SUMUT ?
2. Demonstrasikan cara berkomunikasi antara mahasiswa dengan dosen melalui
a. Wa
b. Zoom
c. Google meet
d. Surat
e. Telephone
DAFTAR PUSTAKA
Foster, E.M. 1965. Aspect of The Novel. Harmondswort: Penguin Book.
Indra Yuzal, SE., M.M,. Dkk, 2011, Panduan Praktis Seminar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Koentjara Ningrat, 1987, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Jakarta, Djambatan
Oberg, K, Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Environments, Practical
Anthropology, Volume: os-7 issue: 4, page(s): 177-182
Poerwanto Heri. 2010. Kebudayaan Dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
POLBANGMAWA: Pola Pengembangan Kemahasiswaan, 2006, Direktorat Kelembagaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Rumondor, Alex, H., (dkk), Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: UT, 1995
Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Van Peursen, C. A., Prof., Dr., 1976, Strategi Kebudayaan, Penerbit: Kanisius, Jakarta.