Anda di halaman 1dari 16

BILINGUALISME DAN MULTILINGUALISME

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Mata kuliah Sosiolinguistik
Program Studi Tadris Bahasa Inggris pada Jurusan Tarbiyah

Kelompok 5 Semester Enam

Oleh:

NURHAENI
NIM. 02.18.4050

IKA APRILIA
NIM. 02.18.4040

AYU ANDIRA
NIM. 02.18. 4038

JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2021
KATA PENGANTAR

‫بسمﷲﺍﻟﺭﺣﻤﻥﺍﻟﺭﺣﻴﻡ‬

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan
makalah kami dengan judul “Bilingualisme dan Multilingualisme”. Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang senantiasa membawa kita kepada jalan
keridhaan dan maghfirah Allah Swt.

Tentunya dalam penyusunan makalah ini, tak luput dari adanya kekurangan dan
kelemahan dari segala sisinya. Oleh karena itu, dengan hati terbuka kami menerima saran dan
kritik dari pembaca sekalian yang tentunya bisa menyempurnakan penyusunan makalah ini. Rasa
terima kasih terdalam kami hanturkan kepada semua pihak yang telah ikut serta mendukung dan
membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Terlebih ucapan terima kasih itu kami
sampaikan kepada dosen pengajar. Akhirnya dapatlah kami menengadahkan tangan kepada
Allah Swt. Seraya berdoa dan bermunajat, semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya
pada mata kuliah “Sosiolinguistik”.

Watampone, 18 April 2021

Penulis,

Kelompok V

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...........................................................................................1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Bilingualisme .............................................................................................3
B. Multilingualisme ........................................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................12
B. Saran ..........................................................................................................12

DAFTAR RUJUKAN .........................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur
lainnya, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau
berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi
masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya,
masyarakat tutur yang terbuka artinya yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur
lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-
peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin
terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang di dalam sosiolinguistik
disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi,
dan pergeseran bahasa. Dalam pembahasan ini, hanya akan dibahas tentang bilingualisme
dan adapula yang disebut dengan multilingualisme yang modelnya hampir sama dengan
bilingualisme.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari bilingualisme ?
2. Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan bahasa kedua sehingga dia dapat disebut
sebagai seorang yang bilingual ?
3. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini ? Apakah bahasa dalam
pengertian langue atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
4. Kapan seorang bilingual dapat menggunakan kedua bahasa itu, secara bergantian
maupun secara bebas ?
5. Sejauhmana bahasa pertama mampu memengaruhi bahasa kedua dan sebaliknya ?
6. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan atau juga pada satu kelompok
masyarakat tutur ?
7. Apa definisi multilingualisme ?
8. Bagaimana pengaruh multilingualisme di Indonesia ?
9. Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia ?
10. Apa cara yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan dalam
bermultilingualisme di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu;

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud bilingualisme.


2. Untuk mengetahui taraf kemampuan seseorang akan bahasa kedua sehingga dia dapat
disebut sebagai seorang yang bilingual.

iv
3. Untuk mengetahui maksud bilingualisme. Apakah bahasa dalam pengertian langue atau
sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
4. Untuk mengetahui kapan seorang bilingual dapat menggunakan kedua bahasa itu, secara
bergantian maupun secara bebas.
5. Untuk mengetahui pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua dan sebaliknya.
6. Untuk mengetahui bilingualisme untuk perseorangan atau juga pada satu kelompok
masyarakat tutur.
7. Untuk mengetahui pengertian multilingualisme.
8. Untuk mengetahui pengaruh multilingualisme di Indonesia.
9. Untuk mengetahui kedudukan bahasa Indonesia.
10. Untuk mengetahui cara yang dapat dilakukan untuk menangani permasalahan dalam
bermultilingualisme di Indonesia.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bilingualisme
1. Definisi Bilingualisme

Istilah bilingualisme (Inggris : bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga


kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud
dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode
bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan
dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian (Mackey 1962 : 12, Fishman 1975 : 73). Untuk menggunakan dua bahasa
tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri
atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi
bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu
disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan).
Sedangkan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).

a) Orang yang Bilingual

Batasan-batasan mengenai bilingualisme yang diberikan oleh beberapa orang


pakar. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa
bilingualisme adalah “kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa
dengan sama baiknya.” Jadi, menurut Bloomfield ini seseorang disebut bilingual apabila
dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya. Konsep Bloomfield
mengenai bilingualisme ini banyak dipertanyakan dan dipersoalkan orang, sebab pertama
bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua buah
bahasa yang digunakannya. Kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat
menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya. Kalaupun ada barangkali akan jarang
ditemui, sebab kalau seseorang dapat menguasai B1 dan B2 sama baiknya, berarti orang
tersebut mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua
bahasa itu. Dalam situasi yang biasa, kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka
daripada kesempatan untuk menggunakan B2. Atau sebaliknya, seseorang yang terlalu
lama tinggal dalam masyarakat tutur B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur B1-nya),
akan mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan B2-nya daripada B1-
nya. Jadi, tetap saja kesempatan yang sama untuk menggunakan B1 dan B2 itu tidak ada.
Oleh karena itu, batasan Bloomfield mengenai bilingualisme ini banyak dimodifikasi
orang. Robert Lado (1964:214) misalnya, mengatakan bahwa bilingualisme adalah
“kemampuan menggunakan bahasa oleh seorang penutur dengan sama baik atau hampir
sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa

vi
bagaimana pun tingkatnya”. Jadi menurut Lado penguasaan terhadap kedua bahasa itu
tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) “tahu akan dua
bahasa atau lebih berarti bilingual”. Menurut Haugen selanjutnya “seorang bilingual tidak
perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, cukup kalau bisa memahaminya saja.”
Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua apalagi bahasa asing, tida dengan
sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya”. Lagipula seseorang yang
mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu
berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.

Berkenaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitannya dengan menggunakan


B2, Diebold (1968 :10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient
bilingualism), yaitu bilingualisme yang dialam oleh orang-orang, terutama anak-anak
yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini
bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat
diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme selanjutnya.

Berdasarkan pada beberapa pendapat pakar di atas dapat disimpulkan bahwa


bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya
dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan
dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama
baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti
seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya,
untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja. Seorang bilingual yang dapat
menggunakan B2 sama baiknya dengan B1, oleh Halliday (dalam Fishman 1968:141)
disebut ambilingual. Oleh Oksaar (dalam Sebeok 1972:481) disebut ekuilingual, dan oleh
Diebold (dalam Hymes 1964:496) disebut koordinat bilingual. Namun, seperti sudah
disebutkan di atas, penutur bilingual yang seperti ini jarang ada. Yang ada dan biasa
adalah para penutur bilingual yang sama-sama baik dalam dus bahasa, tetapi umumnya
dalam ranah kebahasaan (Inggris: language domain) yang berbeda. Misalnya, Si A baik
berbahasa tertentu dalam ranah ilmu sosial, tetapi kurang dalam ilmu kedokteran, Si B
baik dalam ranah ilmu hukum tetapi kurang dalam ilmu sastra, dan sebagainya.

b) Bahasa : langue atau kode


Di atas kita sudah mengutip pendapat Bloomfield mengenai bilingualisme, yaitu
kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua buah bahasa secara sama baiknya.
Di tempat lain, Bloomfield (1933) juga mengatakan bahwa menguasai dua buah bahasa,
berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa
bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang
berupa berbagai dialek dan ragam. Seorang pakar lain, Mackey (1962:12), mengatakan
dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian,
dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua
bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas

vii
yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar
lain, Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa
membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua
bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang
sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukkan
penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian
juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang disebut dua
bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di
dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti bahasa
Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti
bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya. Kalau yang dimaksud
dengan bahasa adalah juga dialek, maka berarti hampir semua anggota masyarakat
Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya
sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
c) Penggunaan B1 dan B2
Dalam penggunaan B1 dan B2, hal ini menyangkut masalah pokok
sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan
tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakan dengan para anggota
masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Jika B1 si penutur adalah bahasa
Sunda, maka dia akan dan dapat menggunakan bahasa Sunda dengan semua anggota
masyarakat tutur yang berbahasa Sunda, tentunya untuk keadaan dan situasi yang
memang dapat dilakukan dengan bahasa Sunda itu, seperti dalam percakapan sehari-hari
di dalam keluarga dan untuk topik pembicaraan yang biasa. Tetapi di dalam pendidikan
di sekolah meskipun si guru dan si murid sama-sama ber Bl bahasa Sunda, dia tidak dapat
menggunakan bahasa Sunda itu untuk alat interaksi selama jam pelajaran berlangsung.
Dalam hal ini hanya bahas Indonesialah yang dapat digunakan, sebab bahasa Indonesia,
yang juga menjadi B2 bagi guru dan murid-murid itu, adalah bahasa yang diberi fungsi
untuk digunakan dalam situasi resmi kenegaraan, seperti dalam proses belajar mengajar
itu. Bagi seorang penutur bilingual yang B2-nya adalah bahasa Indonesia adalah agak
beruntung sebab dia dapat menggunakan B2-nya itu, secara teoretis, kepada semua orang
Indonesia. Tetapi bagi penutur bilingual yang B1-nya bahasa Sunda dan B2-nya bahasa
Jawa hanya dapat menggunakan B2-nya itu kepada anggota masyarakat tutur bahasa
Jawa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan
kapan pula harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan
situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan Bl dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh karena
itu, pertanyaan berikutnya yaitu, “kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas
menggunakan B1 atau B2" adalah agak sukar dijawab. Dalam kasus penutur bilingual
Sunda - Indonesia di atas barangkali memang ada topik dan situasi tutur yang memberi
kebebasan untuk menggunakan salah satu bahasa itu. Dalam catatan sosiolinguistik hanya
viii
didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan
salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Montreal, Kanada.
Masyarakat tutur di Montreal merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa,
yaitu bahasa Inggris dan bahasa Prancis, yang dapat digunakan secara bebas, sebab
tampaknya dalam masyarakat Montreal itu tidak ada pembedaan fungsi kapan harus
digunakan bahasa Inggris dan kapan pula harus digunakan bahasa Prancis. Oleh karena
itu, dapat dikatakan masyarakat tutur bilingual di Montreal itu dapat secara bebas
menggunakan kedua bahasa tersebut. Bangsa Belgia yang mengakui adanya dua bahasa
negara, yaitu bahasa Prancis dan bahasa Belanda (dialek Vlam) tidak dapat menggunakan
kedua bahasa itu secara bebas seperti di Montreal, sebab kedua bahasa itu digunakan di
wilayah yang berbeda: bahasa Prancis di wilayah Belgia Selatan, sedangkan Belanda di
wilayah Belgia Utara. Bangsa Singapura yang mengakui mempunyai empat buah bahasa
negara (Melayu, Mandarin, Hindi, dan Inggris) juga tidak menggunakan keempat bahasa
itu secara bebas, sebab masing-masing bahasa tersebut merupakan B1 bagi etnis tertentu.
Maka dalam praktiknya bahasa Inggris lebih umum digunakan sebagai lingua franca
antaretnis yang terdapat di negara kecil itu.
d) Pengaruh B1 terhadap B2 dan sebaliknya
Masalah selanjutnya yaitu, sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat
mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan
kesempatan untuk menggunakannya. Sebelum ini, kita berasumsi bahwa penguasaan
terhadap B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap
B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam
keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah
menguasai B1 Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik daripada B2, dan juga
kesempatan untuk menggunakannya lebih luas, akan ada kemungkinan B1 si penutur
akan mempengaruhi B2-nya. Pengaruh ini dapat berupa peristiwa yang disebut
interferensi, baik pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun tataran leksikon.
Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya
terhadap B2. Penutur bilingual Sunda (B1) - Indonesia (B2) yang kurang menguasai
sistem fonologi bahasa Indonesia akan mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia
/kemana/, /kata/, dan /berapa/ menjadi/kamanah/ atau / kamana?/, /kata?/, dan /barapah/.
Penutur bilingual Indonesia (B1) - Inggris (B2) yang kurang fasih berbahasa Inggris akan
mengucapkan fonem /p/ bahasa Inggris pada kata <pace>, <space>, dan <map> dengan
ucapan yang sama; padahal fonem /p/ pada <pace> harus diucapkan dengan aspirasi,
pada kata <space> tanpa aspirasi, dan pada kata <map> tanpa letupan (eksplosif).
Kekurangfasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering
dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang mempelajari B2 itu
(Nababan 1984 32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya?
Kemungkinan itu akan ada kalau si penutur bilingual itu dalam jangka waktu yang cukup
ix
lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus-menerus menggunakan B2-nya.
Umpamanya seorang penutur bilingual Indonesia (B1) “ Inggris (B2) untuk jangka waktu
yang cukup lama tinggal dalam masyarakat tutur monolingual bahasa Inggris, dan tidak
mempunyai kesempatan untuk menggunakan B1-nya. Pada suatu waktu bila dia
mempunyai kesempatan untuk menggunakan B1-nya, pasti B1-nya akan sudah tercampur
dengan B2-nya, bahasa Inggris. Sejauhmana pengaruh bahasa Inggris (B2) terhadap
bahasa Indonesa (B1)-nya tergantung dari sisa kefasihannya dalam berbahasa Indonesia
Kalau dalam masyarakat Indonesia dewasa ini banyak penutur Indonesia dalam
berbahasa Indonesia "menyelipkan" kosakata bahasa Inggris, bukanlah karena
penguasaannya akan bahasa Inggris lebih baik, tetapi mungkin karena sebab kebutuhan,
karena sebab sikap bahasa, atau karena sebab ingin bergengsi.
Masalah selanjutnya yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu
terjadi pada perseorangan ataukah pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu
maryarakat tutur? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey (1968:554-555)
berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan
bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan
ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitu pun bukan
bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga menyatakan kalau bahasa
itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme
adalah milik individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian
oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda,
misalnya masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2.
Berbeda dengan Mackey, Oksaar (1972:478) berpendapat bahwa bilngualisme
bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu
penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga
digunakan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa itu bukan sekadar alat
komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok
(Chaer 1994). Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memberi peluang
untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan
dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak
hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang
sangat luas: mungkin juga meliputi satu negara. Umpamanya di negara Belgia, seperti
sudah disebutkan di awal, digunakan dua bahasa, Belanda dan Prancis, sebagai bahasa
resmi negara. Begitu juga Finlandia, di mana digunakan bahasa Find dan bahasa Swedia
secara berdampingan dan bergantian dalam kehidupan di negara itu. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Belgia dan Finlandia adalah dua buah negara yang bilingual.
Hanya masalahnya, seperti dikatakan Wolf (1974:5), salah satu ciri bilingualisme adalah
digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan
tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat
digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan
x
bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan
bicaranya. Contoh yang diberikan Wolf adalah seperti terdapat di Montreal, Kanada Di
sana bahasa Inggris dan bahasa Prancis digunakan secara berdampingan dan sejajar, dan
hampir semua anggota masyarakat di daerah itu menguasai kedua bahasa itu dengan baik.
Bilingualisme yang sungguh murni seperti yang terdapat di Montreal itu jarang
ditemukan di tempat lain. Yang lazim adalah adanya perbedaan Peranan untuk setiap
bahasa. Artinya, setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas
digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Umpamanya, di
Indonesia penutur bilingual bahasa Sunda (B1) - bahasa Indonesia (B2), hanya bisa
menggunakan bahasa Sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan tidak
dapat menggunakannya untuk berbicara dalam sidang DPR. Keadaan di dalarn
masyarakat di mana adanya pembedaan penggunaan bahasa berdasarkan fungsi atau
peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, di dalam sosiolinguistik dikenal
dengan sebutan diglosia.
B. Multilingualisme
1. Definisi Multilingualisme
Multilingualisme dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan istilah
keanekabahasaan. Multilingualisme merupakan penggunaan lebih dari dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian(Weinreich,
1970: 1).Multilingualisme ini dapat terjadi pada masyarakat yang terdiri dari beberapa
etnik seperti di Indonesia. Negara yang menerapkan multilingualisme, misalnyaIndia
yang mengakui 14 bahasa dalam UUD-nya; Filipina mempunyai 6 bahasa regional;
Nigeria mempunyai 3 bahasa regional, dan lain-lain. Bahkan, multilingualisme dewasa
ini juga sering ditemui dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bukan hanya guru yang
bermultilingualisme, siswa pun banyak yang bermultilingualisme. Multilingualisme ini
selain mempunyai dampak positif, yakni terciptanya negara yang memiliki aneka macam
bahasa, juga mempunyai dampak negatif yakni keanekabahasaan itu berlawanan dengan
nasionalisme. Dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, multilingualisme terjadi
karena kondisi untuk bermultilingualisme sangat mendukung. Hal itu terjadi karena
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen dengan beragam bahasa
yang berbeda pula. Selain itu, dunia pendidikan di Indonesia juga membuka peluang
dengan mempelajari bahasa-bahasa asing sehingga mendorong dan memungkinkan siswa
bermultilingualisme dalam dunia pendidikan. Hal tersebut tentu harus diwaspadai secara
saksama.
2. Pengaruh Bermultilingualisme di Indonesia
a) Hegemoni Bahasa Asing dalam Dunia Pendidikan di Indonesia pada Era
Globalisasi
Tidak ada bangsa yang tidak mempunyai bahasa dan tidak akan ada
bahasa jika tidak ada bangsa. Bahasa dan bangsa adalah dua hal yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan keberadaannya satu dengan lainnya.
Keduanya berdiri sejajar dan berjalan secara bersamaan. Akan tetapi, yang
xi
menjadi permasalahannya pada era globalisasi eksistensi sebuah bangsa di dalam
kancah internasional mempunyai peran yang sangat penting terhadap
keeksistensian sebuah bahasa. Secara mudah, dapat dipahami bahwa keberadaan
bangsa yang adikuasa mempunyai daya pengaruh yang sangat besar terhadap
bangsa lain. Bangsa yang kuat memberi rasa ketergantungan bagi bangsa lain
yang secara ekonomi, politik, pendidikan dan ipteknya masih lemah atau masih
dalam masa berkembang seperti bangsa Indonesia. Dengan melihat kondisi yang
demikian itu, mau tidak mau bahasa yang digunakan oleh bangsa yang maju ikut
juga digunakan oleh bangsa lain yang mempunyai ketergantungan sangat kuat
dalam berbagai sektor. Sebagai contoh, saat ini bangsa-bangsa Eropa dan
Amerika merupakan bangsa yang mempunyai kemajuan dan pengaruh besar bagi
negara lain, bahkan pengaruhnya terasa sangat kuat sampai di Asia dan Afrika.
Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika yang secara budaya mempunyai perbedaan
dengan budaya Eropa akhirnya berusaha mempelajari bahasa Inggris. Fenomena
yang seperti inilah yang jika tidak mendapatkan perhatian khusus akan
mengaburkan kaidah-kaidah kebahasaan yang dimiliki oleh bahasa-bangsa yang
bergantung pada bangsa adikuasa termasuk bahasa Indonesia.
b) Gengsi Sosial Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Dunia Pendidikan
Realitas tentang gengsi penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia
pendidikan menuntut pemerintah dan para akademisi untuk terus berusaha keras
meningkatkan gengsi tersebut. Dalam hal ini pembinaan dan pengembanganya
memerlukan keseriusan. Sangat ironis ketika euforia pendidikan di Indonesia
menyerukan kelas tertentu untuk menjadi kelas bertaraf Internasional belum lama
ini diberbagai jenjang pendidikan mulai SMP, SMA, dan bahkan perguruan
tinggi. Alih-alih program tersebut berusaha meningkatkan kualitas yang benar-
benar meningkatkan mutu. Program tersebut justru hanya semakin memopulerkan
bahasa Inggris sebagai pengantar pelajaran dalam setiap mata pelajaran.
3. Kedudukan Bahasa Indonesia
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus (BAB XV, pasal 36)
mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang dinyatakan berkedudukan sebagai bahasa
nasional dan bahasa negara. Ditinjau dari kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas
nasional, (3) alat perhubungan antarwarga, antar daerah, dan antarbudaya,dan (4) alat
yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial
budaya dan bahasa kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan , (2) bahasa pengantar didalam dunia pendidikan, (3) alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Menangani permasalahan dalam bermultilingualisme di Indonesia

xii
Sosiolinguistik pendidikan mengkaji penggunaan bahasa yang digunakan dalam
dunia pembelajaran. Sosiolinguistik pendidikan memang menghalalkan adanya
multilngualisme dalam dunia pendidikan (Chaer, 2004: 34). Akan tetapi, yang menjadi
permasalahannya adalah sejauh mana multilingualisme itu harus dilakukan dan dengan
bahasa yang mana multilingualisme itu diterapkan harus dikaji lebih dalam. Karena
sekolah merupakan tempat mendidik dan mengajar siswa, sekolah mempunyai tanggung
jawab besar dalam membina siswanya, termasuk dalam berbahasa. Memang hal ini tidak
mudah dilakukan karena pertemuan di sekolah mempunyai waktu yang terbatas. Namun,
setidaknya sekolah masih mempunyai peluang untuk mengarahkan atau membina
multilingualisme yang terjadi sekolah. Sejauh ini, multilingualisme dengan penguasaan
beberapa daerah memangberdampak positif, tetapi bagaimana seandainya yang dikuasai
bukanlah bahasa daerah, melainkan bahasa asing?
Selama ini bahasa asing khususnya bahasa Inggris memang menjadi
matapelajaran wajib di SMP dan SMA. Sementara itu, tingkat kepopulerannya menjadi
beberapa kali lipat lebih besar di dunia perguruan tinggi. Alasan utamanya adalah bahasa
Inggris dijadikansarana penyampai informasi materi atau bahan ajar dari Barat. Dalam
hal ini, dunia pendidikan kita adalah pihak yang butuh sehingga pemikiran mempelajari
bahasa Inggris dalam dunia pendidikan menjadi hal yang dianggap wajar dan tepat.
Ironisnnya perhatian terhadap dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pembelajaran
belum dikaji secara mendalam. Sejauh mana peserta didik akan lebih terfokus terhadap
bahasa Inggris dibanding bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu belum ditelaah lebih komprehensif.
Salah satu langkah konkret yang dapat ditempuh oleh sekolah dalam
melaksanakan perannya tersebut adalah dengan memopulerkan kembali metode
penerjemahan dalam dunia pendidikan. Untuk masalah yang demikian itu, metode
penerjemahan dapat dijadikan alternatif solusi. Metode penerjemahan merupakan metode
mengubah atau menyalin bahasa satu ke dalam bahasa lain. Metode ini, berkembang
mulai tahun1800-an(Richard, 2001: 4)). Melalui metode ini semua informasi dari luar
negeri yang akan dipelajari oleh peserta didik akan menerima informasi –e-books, buku
materi, jurnal, dll.-berwujud bahasa Indonesia. Dengan demikian, peserta didik akan
lebih dekat dengan bahasa pengantar pendidikan, yaitu bahasa Indonesia. Penggunaan
bahasa asing juga dapat diminimalisasi dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, memang
tidak dapat dipungkiri penerapan metode penerjemahan dalam dunia pendidikan memang
sulit berkembang pesat di Indonesia. Hal itu tidak lepas dari proses menerjemahkan
bahasa asing itu sendiri yang masih dianggap sebagai proses yang menyulitkan,
sedangkan perhatian kesejahteraan bagi para akademisi yang berkiprah dalam dunia
penerjemahan masih kurang. Hal ini menjadikan seseorang enggan menjadi penerjemah.
Dalam kasus ini, tentu peran pemerintah sangat dibutuhkan. Pemerintah harus lebih
memperhatikan kesejahteraan para penerjemah sehingga metode ini dapat diterapkan
dalam dunia pendidikan di Indonesia.

xiii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Secara harfiah bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau
due kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum bilingualisme diartikan sebagai

xiv
penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian (Mackey 1962 : 12, Fishman 1975 : 73).

Multilingualisme merupakan penggunaan lebih dari dua bahasadalam proses


komunikasi oleh seorang penutur satu dengan lainnya. Pada hakikatnya multilingualisme
lazim terjadipada masyarakat yang heterogen,seperti di Indonesiatermasuk dalam dunia
pendidikannya.

Kemampuan berbahasa memang sangat penting di masa sekarang (era globalisasi).


Hal ini tentu menjadi kelebihan atau dampak positif dari kemampuan berbahasa. Namun,
perlu diketahui bahwa selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yang
dihasilkannya, karenanya perlu dowaspadai dan diberikan penangan khusus. Hal ini
dilakukan agar pengaruh yang negatif ini tidak mengancam penggunaan bahasa di Indonesia.

B. Saran

Makalah ini di buat sesuai dengan konsep dan konteks yang tertera dalam berbagai
media cetak, dan berhubung dalam pembuatan makalah ini tentu kami sebagai manusia biasa
yang tidak luput dari yang namanya kesalahan dan lupa. Oleh karena itu, apabila terdapat
kesalahan dalam pembuatan makalah ini, maka kiranya mohon untuk di perbaiki dan kami
pun sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari saudara sekalian demi kebaikan
untuk kedepannya. Semoga ke depannya kita dapat memahami materi ini dan bisa
mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari yaitu mampu memahami Bilingualisme dan
Multilingualisme semoga ilmu pengetahuan yang telah di pelajari ini bisa diajarkan dengan
baik kepada sesama.

DAFTAR RUJUKAN

Chaer Abdul, Agustina Leonie, Sosiolinguistik: perkenalan awal., Ed. Rev.,


Jakarta: Rineka Cipta, 2014.

http://lpm.iain-jember.ac.id/download/file/materi_diskusi.pdf

xv
xvi

Anda mungkin juga menyukai