Anda di halaman 1dari 21

PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Parlindungan Pardede

Pendahuluan

Peningkatan hubungan antarpribadi, antarkelompok maupun antarbangsa yang dipicu oleh


kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu membuat kebutuhan
untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang mereka temui dengan tujuan
mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat. Para pedagang, diplomat, tentara, maupun
mahasiswa yang harus berinteraksi, bertugas, atau tinggal bersama komunitas dengan budaya
yang asing karena tuntutan pekerjaan maupun studi mereka sering menemukan
masalah-masalah yang timbul karena perbedaan budaya. Untuk menjawab tantangan ini, para
ilmuan menggagas kajian perbandingan terhadap sifat-sifat manusia melalui penelitian
terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin disiplin

1 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

ilmu yang relevan. Gagasan untuk meningkatkan pemahaman atas konflik antar etnis dan
masalah-masalah global yang dipicu oleh keanekaragaman budaya dunia dengan
menggunakan strategi inter dan multidisipliner inilah yang menjadi cikal bakal kajian lintas
budaya (KLB) yang dalam bahasa Inggris disebut cross-cultural studies (atau lebih sering
disebut dengan cultural
studies
saja).

Makalah ini berfokus pada penelitian lintas budaya sebagai landasan untuk memahami
bagaimana materi-materi yang digunakan dalam program-program pemahaman lintas budaya
diperoleh oleh para ilmuan. Pembahasan diawali dengan menguraikan hakikat dan sejarah
singkat crosscultural studies sebagai titik tolak. Setelah itu pembahasan dilanjutkan dengan
penjelasan tentang metodologi penelitian lintas budaya dan diakhiri dengan uraian singkat
tentang beberapa penelitian lintas budaya terkini sebagai contoh.

Hakikat Kajian Lintas Budaya

Istilah "cross-cultural studies" muncul dalam ilmu-ilmu sosial pada tahun 1930-an yang
terinspirasi oleh cross-cultural survey yang dilakukan oleh George Peter Murdock, seorang
antropolog dari Universitas
Yale
. Istilah ini pada mulanya merujuk pada kajian-kajian komparatif yang didasarkan pada
kompilasi data-data kultural. Namun istilah itu perlahan-lahan memperoleh perluasan makna
menjadi hubungan interaktif antar individu dari dua atau lebih kebudayaan yang berbeda (
Wikipedia, 2008c). Dalam konteks pengertian pertama,
penelitian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan
cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang
politik, ekonomi,
komunikasi
,
sosiologi
, teori media,
antropologi
budaya,
filsafat
, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam

2 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

konteks ini.
Dalam konteks pengertian kedua, penelitian lintas budaya diarahkan pada kajian tentang
berbagai bentuk interaksi antara individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang
berbeda. Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari-hari
sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan
pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (
way of life
). Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang
‘spektakuler’saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan,
dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau
lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan
cross-cultural studies
. Kajian lintas budaya kontemporer cenderung termasuk ke dalam
"cross-cultural studies" dengan makna kedua di atas.

Penggunaan kata majemuk ‘studies’ dalam penamaan crosscultural studies menyiratkan sikap
dan ‘positioning’ para penggagas yang tidak puas terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era
modern yang terkotak-kotak dan saling mengklaim kebenaran. Padahal lambat laun disadari
bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan secara sendiri-sendiri bersifat
parsial dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan di kalangan masyarakat secara
komprehensif. Kondisi inilah yang mendorong ilmuwan memasukkan kontribusi teori maupun
metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk memahami
fenomena-fenomena kultural dalam realita kehidupan masyarakat manusia maupun
representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan masyarakat. Wikipedia (2008d)
menyatakan:

Cultural studies is an academic discipline which combines political economy, communication,


sociology, social theory, literary theory, media theory, film/video studies, cultural anthropology,
philosophy, museum studies and art history/criticism to study cultural phenomena in various
societies. Cultural studies researchers often concentrate on how a particular phenomenon
relates to matters of ideology, nationality, ethnicity, social class, and/or gender.

Sejarah Singkat Kajian Lintas Budaya

3 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Menurut Wikipedia (2008c), kajian lintas budaya pertamakali dilakukan oleh Abū Rayhān Bīrūnī
yang menulis kajian-kajian antropologis bandingan di bidang agama, kemasyarakatan, dan
kebudayaan di Timur Tengah, Mediterania, dan khususnya di India. Dia menyajikan
temuan-temuannya secara objektif dan netral dengan menggunakan metode perbandingan
kebudayaan.

Kajian lintas budaya yang ekstensif kemudian dilakukan pada akhir abad ke-19 oleh beberapa
antropologis, seperti Tylor dan Morgan. Mereka memanfaatkan data-data tentang berbagai
kebudayaan yang dihimpun oleh banyak pihak dari berbagai penjuru dunia, seperti missioner,
petualang, atau pegawai-pegawai kolonial ( Wikipedia,
2008c). bahan-bahan itu kemudian diorganisasikan dan dibandingkan untuk memahami ciri-ciri
masyarakat manusia.

Kajian lintas budaya modern diawali oleh George Peter Murdock (1897-1985) yang terkenal
dengan kajian perbandingan system-sistem dan analisis kajian lintas budaya tentang
keteraturan danperbedaan-perbedaan yang terdapat diantara masyarakat yang berbeda. Dia
mempelopori penggunaan pendekatan empiris terhadap antropologi melalui kompilasi data
berbagai kebudayaan mandiri dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik yang
sesuai. Murdok memandang dirinya lebih sebagai ilmuwan sosial yang tetap menjalin kemitraan
dengan para peneliti di bidang ilmu lainnya daripada antropolog. Menurut Gillies
(2005), sambil
mengajar di Universitas Yale, selama tahun 1930-an hingga 1940-an
Murdock mengembangkan beberapa kompilasi data kultural mendasar, termasuk “Cross
Cultural Survey” yang kemudian lebih dikenal dengan
Human Relations Area Files
(HRAF)
dan
Ethnographic Atlas.
Saat ini, HRAF merupakan sebuah
index
berbagai lembaga etnografi dunia. HRAF sekarang dapat diakses dilebih dari 250 perpustakaan
institusional di seluruh dunia.

Berdasarkan keyakinannya bahwa kompilasi data kultural yang disusunnya akan lebih
bermanfaat bila para peneliti dari luar Universitas Yale, pada tahun 1948, Murdock mengajukan
pembentukan sebuah organisasi inter-universitas kepada Social Science Research Council.
Dengan bantuan dana dari badan tersebut, Murdock mendirikan
Human Relations Area Files
yang koleksinya ditempatkan di Universitas Yale. Pada tahun 1969, Bersama
Douglas R. White

4 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

, Murdock membuat sampel kajian lintas budaya standar (


Standard Cross-Cultural Sample
) yang dipakai secara luas di bidang kajian budaya. Sampel itu terdiri dari dokumentasi 186
kebudayaan yang saat ini diprogram dalam bentuk
 
2000 variabel yang hingga saat ini dapat diakses pada jurnal elektronik
World Cultures
.

Metodologi Kajian Lintas Budaya

Seperti telah disinggung sebelumnya, kajian lintas budaya mengambil interaksi sehari-hari
manusia dengan
latarbelakang kebudayaan berbeda
sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Kajian lintas budaya dilandaskan pada
asumsi dasar bahwa kontak, persinggungan atau pergesekan antar budaya yang memicu
proses inkulturasi, akulturasi, asimilasi, dan sebagainya akan mengubah budaya asli. Melalui
analisis bandingan terhadap berbagai unsur yang terlibat dalam kontak antar individu dengan
kebudayaan berbeda diharapkan dapat menghasilkan: (1) generalisasi induk dan orisinalitas
budaya, seperti tujuan penelitian Tylor dan antropolog lainnya; dan (2) pemahaman tentang
proses evolusi dan difusi budaya, yang menjadi fokus utama
kajian lintas budaya kontemporer.
 

Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan pertama di atas dilandasi pada paham positivistik
dan biasanya membutuhkan sampel yang cukup besar. Dengan menggunakan metode
etnografis, data dijaring tidak hanya dari satu wilayah tetapi juga dari luar wilayah budaya yang
bersangkutan. Kajian seperti inilah yang dilakukan Murdock (Wikipedia, 2008e) ketika dia
mencoba mencari korelasi budaya hubungan kekerabatan patrilineal dan matrilineal. Dia
mencari seberapa jauh korelasi antar variabel, seperti mata pencaharian, kemampuan
membuat tembikar, menenun, keahlian sebagai tukang, dan stratifikasi sosial. Selanjutnya, dia
mengkaji masalah “rasa tak sehat”, bahwa dalam kebudayaan di dunia ternyata “rasa tak sehat”
berbeda dengan “rasa sakit”. Dari hasil-hasil analisi data, biasanya diperoleh kesimpulan
tentang adanya “culture area”, atau sebuah golongan budaya berdasarkan wilayah
geografisnya. Sebagai contoh, menurut Endraswara (dalam Prasetia, 2007), Wissler sempat
membagi kebudayaan suku bangsa Indian menjadi sembilan

5 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

culture area
. Gagasan serupa tampaknya juga telah mempengaruhi peneliti budaya di Indonesia, sehingga
ada etnografi Batak, etnografi Bugis, etnografi Jawa, etnografi Sunda, dan sebagainya.

Kajian yang diarahkan untuk mencapai tujuan kedua di atas menggunakan studi komparatif
dalam rangka merekonstruksi kemiripan budaya, proses evolusi, serta transformasi budaya
masa kini. Rekonstruksi akan menggambarkan aspek historis dan homogenitas. Tujuan yang
dikejar adalah mencari kesamaan-kesamaan budaya pada masing-masing daerah. Untuk
mencapai tujuan itu, perbadingan diarahkan pada tiga hal pokok: (1) persepsi, yaitu bagaimana
tanggapan pelaku budaya satu dengan yang lain ketika menerima dan atau menolak budaya
yang hadir, (2) kognisi, yaitu membandingkan pola pemikiran pendukung budaya
masing-masing, (3) kepribadian dan jati diri, yaitu memban­dingkan kepribadian dan jatidi
pemilik budaya masing-masing. Dari berbagai hal yang dibandingkan ini, peneliti akan mencari
korelasi atau hubungan kemiripan. Hubungan tersebut akan memben­tuk varian-varian budaya
satu sama lain, sehingga dapat ditentukan mana budaya transformasi dan mana budaya yang
asli Endraswara (dalam Prasetia, 2007).

Mengingat luasnya ruang lingkup dan banyaknya unsur maupun disiplin ilmu yang terlibat
dalam kajian lintas budaya, metode penelitian yang ’fixed’ untuk digunakan dalam bidang ini
tidak dapat ditentukan. Home/FAQ (2006) menegaskan: “There is no such thing as "the cultural
studies method," and there is no single or simple answer to the question of how to do cultural
studies. Hal ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa kajian budaya merupakan studi yang
kontekstual, dengan pengertian bahwa pertanyaan apapun yang dicoba dijawab biasanya
membutuhkan berbagai pendekatan dan metode yang tersedia.   Di satu
penelitian, analisis atas data yang diperoleh dari berbagai teks mungkin sudah memadai. Pada
penelitian lain, metode etnografi yang utuh mungkin dibutuhkan; sedangkan penelitian yang lain
lagi membutuhkan metode perpaduan beberapa metode. Sehubungan dengan hal ini, yang
dibahas dalam makalah ini dibatasi hanya pada metode-metode penelitian lintas budaya yang
paling lazim digunakan, yaitu: etnografi, folklore, etnometodologi, etnosains interaksi simbolik,
dan grounded theory. Secara umum materi penjelasan tersebut diadaptasi dari
Prasetia (2007).

1. Etnografi

6 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan kebu­dayaan sebagaimana


adanya. Model ini berupaya mempelajari peristi­wa kultural yang menyajikan pandangan hidup
subyek sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan bagaimana subyek berpikir, hidup, dan
berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa unik—yang jarang teramati oleh kebanyakan
orang. Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan secara
sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial, peristiwa dan kejadian unik dan
berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.

Penelitian etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, kon­struktif, transferabilitas,


dan subyektif . Selain itu, etnografi juga lebih
mene­kankan teknik idiografik yang dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan budaya dan
tradisi yang ada.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan berperan serta (partisipant
observa­tion ).
Sehubungan dengan itu, peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan
sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Hal ini sejalan dengan pengertian
istilah etnografi—berasal dari kata ’
ethno’ (bangsa) dan ‘graphy’ (menguraikan atau menggam­barkan)
—yaitu ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi
dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. 

Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu
aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian tersebut kemudian akan mengungkapkan
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Selain analisis data yang dilakukan
secara holistic--bukan parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah: (a) sumber data
bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan
sehari-hari; (b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan
data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang
dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan,
mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) digunakan
untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (
shaping
), atau studi kasus; (e) analisis bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku
seperti masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan
pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek
dengan data tulis)
; (i)
orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan
juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan

7 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari
orang yang diteliti, dan bukan dari etik, (k) dalam pengumpulan data menggu­nakan
purposive sampling
dan bukan probabilitas statistik; (1) dapat menggunakan data kualitatif maupun
kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif.
 

Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupa­kan model penelitian
budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk,
melainkan proses.  Harris (dalam Prasetia, 2007) menegaskan bahwa
kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah
sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan
institusi hidup manusia dan sekaligus merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya
tingkah laku. Oleh sebab itu, etno­grafi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai
pengeta­huan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpreta­sikan pengalaman
dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh
tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
 

Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu: (1) seleksi
sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur
atau wilayah
subyek; (2) seleksi komprehensif, artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang
relevan; (3) seleksi quota, seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan
beberapa kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin; (4) seleksi menggunakan
jaringan, seleksi menggunakan informasi dari salah satu warga pemilik budaya, dan (5) seleksi
dengan perbandingan antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada,
sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas.Dari
lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu yang paling
relevan dengan fenomena yang dihadapi.
Meskipun demikian, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat
kriteria seleksi yang lain.
Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat
sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel,
sebaiknya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu mengetahui
konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang
dimilikinya.

8 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

 2. Kajian Folklore

Istilah folklor berasal dari kata folk, yang berarti ’kolektif’, dan lore, yang berrti ’tradisi’. J
adi, folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat.  Menurut Dundes (dalam
Prasetia, 2007),
folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya.  
Ciri fisik, antara lain berujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka
memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun.
Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi’ semacam ini yang dikenal dengan
budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi
sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah milik
kolektif kebudayaan.
 

Dalam kaitannya dengan budaya, folklor memiliki beragam bentuk. Pakar yang berbeda
memberikan ragam yang berbeda (Prasetia, 2007). Menurut Bascom, misalnya, folklor terdiri
dari budaya material, organisasi politik, dan religi.  Menurut
Balys
, folklor terdiri dari
kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dll
. Menurut
Espinosa
folklor terdiri dari:
kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magi, ilmu gaib dan sebagainya.
 Unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti budaya melalui kajian folklor.

Seabagai patokan tentang apakah unsur-unsur itu merupakan obyek kajian folklor atau bukan,
Dananjaya (dalam Prasetia, 2007) mengusulkan sembilan kriteria berikut. Pertama,
penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut
ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari. Kedua, bersifat tradisional, artinya
disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk standar.Ketiga, folklor ada dalam
berbagai versi-versi atau varian. Keempat, folklore bersifat anonim, penciptanya tidak
diketahui secara pasti. Kelima, folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau
berpola. Keenam, mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif. Ketujuh, bersifat
pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika umum.
Kedelapan, merupakan milik bersama suatu masyarakat. Kesembilan, bersifat polos dan
lugu

9 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel, yaitu: pengumpulan data,


pengklasifikasian, dan penganalisisan
. Tahap­ tahap ini, tentu didahului prapenelitian yang bermacam-macam, antara lain perlu
persiapan matang dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan pemiliki folklor. Dengan
cara terjun langsung ke kancah folklor, peneliti akan
mengambil data asli dan bukan sekunder
. Tentu saja, sulit tidaknya data digali dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu
dipertimbangkan masak-masak. Lebih penting lagi, peneliti folklor perlu membangun jalinan
yang akrab dengan subyek penelitian. Jika tidak, kemungkinan besar folklor yang berhubungan
dengan
kepercayaan rahasia akan sulit terungkap
. Padahal, folklor demikian justru ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan antara
peneliti dan subjek penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian. Jika
hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada tanda-tanda bahwa penelitian
kurang berhasil. 

3. Etnometodologi

Etnometodologi adalah metode kajian modern yang banyak diterapkan pada ilmu sosial.
Namun, dalam kajian budaya metode ini sering digunakan. Etnometodologi dipelopori oleh
Harold Garfinkel (Muhadjir, 2000:129). Model penelitian ini merupakan cara
pandang kajian sosial budaya masyarakat sebagaimana adanya. Jadi, dasar filosofi metode
penelitian ini adalah fenomenologi, yang memandang “pengertian dan penje­lasan dari suatu
realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108).

Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya memandang, menjelaskan,


dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Penelitian diarahkan untuk mengungkap
bagaimana seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek penelitian tak
harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang ada di sekitar kita. Bagaimana orang
atau suatu kelompok memandang budayanya, menerangkan, dan menguraikan keteraturan
dunia tempat mereka hidup. Dengan kata lain, etnometodologi lebih banyak untuk
mengung­kap budaya dalam konteks interaksi sosial. Dalam hal ini, bahasa sebagai medium
interaksi pun perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Tiap-tiap pemilik budaya biasanya memiliki
bahasa khas sebagai medium interaksi sosial. Sehubungan dengan itu, realita menjadi suatu

10 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

hal yang sangat penting bagi model ini.

Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskanpada postpositivistik. Paradigma yang


dibangun oleh paham ini senada dengan etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya,
tradisi, keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang miliknya menjadi
pangkal tolak etnosains.

4. Etnosains

Etnosains adalah salah satu teori penelitian budaya yang relatif baru. Kata etnosains berasal
dari kata Yunani ethnos yang berarti ’bangsa’, dan Latin scientia artinya ’ilmu’. Jadi, secara
etimologis etnosains berarti ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya,
sedangkan dalam konteks kajian lintasbudaya, etnosains merupakan ilmu yang mempelajari
atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif budaya tertentu. Tekanannya adalah
pada pengetahuan asli dan khas suatu komunitas budaya.

Menurut Haviland (dalam Prasetia, 2007), etnosains adalah cabang pengka­jian budaya yang
berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam mereka. Pribumi biasanya memiliki
ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Ditinjau dari
pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru
(the new ethnography). Melalui etnosains, sebenarnya peneliti budaya di luar Barat justru akan
mampu membangun teori yang grass root dan tidak harus mengadopsi
teori budaya Barat yang belum tentu relevan.

Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya selalu berbasis etno dan atau folk. Pangkal
kajian selalu berpusat pada pemilik budaya. Dengan demikian, budaya tidak lagi dipandang dari
aspek peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris pemilik. Budaya diangkat
berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur tangan peneliti yang berarti. Peneliti
tidak bermaksud menilai atau mengeklaim apakah pandangan mereka benar atau keliru, tepat
atau tidak tepat, dan seterusnya. Tugas peneliti lebih mengarah pada upaya menjelaskan
kepada publik tentang pandangan-pandangan mereka. Peneliti bertu­gas mensistematiskan
pandangan mereka ke dalam bentuk laporan hasil penelitian.

11 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Kehadiran etnosains, menurut Putra (dalam Prasetia, 2007), me­mang akan memberi angin
segar pada penelitian budaya. Meskipun hal demikian bukan hal yang baru, karena sebelumnya
telah mengenal verstehen (pemahaman), namun tetap memberi wajah baru bagi penelitian
budaya. Oleh karena, memang banyak peneliti budaya yang secara sistematis memanfaatkan
kajian etnosains.

Pengumpulan data dalam etnisains tidak berbeda dengan penelitian etno­grafi, yaitu dengan
menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul, pengklasifikasian atau
kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti. Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada
infor­man, dan kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru klasifikasi
informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.

5. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa­fah dasar
interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.
Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfa­atkan fenomenologi,
interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai
bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal,
sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan  atau kelompok. Karena itu bukan
mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya
juga diminati oleh peneliti budaya. 

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang
terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna
interaksi budaya sebuah komunitas.
Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat
berkomunikasi manusia banyak menampilkan simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah
menemukan makna tersebut. 

12 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Prasetia (2007) menyebutkan tiga premis inte­raksionisme simbolik yang perlu dipahami
peneliti budaya. Pertam
a ,
manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu
kepada mereka. Sebagai contoh, tentara berseragam, mobil polisi, tukang ojek, tipe orang, dan
sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. 
Kedua
, dasar interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari
interaksi sosial seorang dengan orang lain”. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang
dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefmisikan dalam konteks orang
yang berinteraksi. 
Ketiga
, dari interaksionisme simbolik bahwa makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi.
Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpre­tasikan situasi. 

Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir (dalam Prasetia, 2007) menambahkan lagi tujuh
proposisi yang terkait dengan para tokoh-tokoh penemu pendahulunya. Pertama, perilaku
manusia itu mempunyai makna di balik yang menggejala.  Kedua, pemaknaan kemanusiaan
perlu dicari sumbernya ke dalam interaksi sosial.
 Ketiga
, komunitas manusia merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan
tidak terduga.
Keempat
, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud,
dan bukan berdasarkan mekanik.
Kelima
, konsep mental manusia berkembang secara dialektik. Ke­enam, perilaku manusia itu wajar,
konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif:
Ketujuh
, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk
menangkap makna. 

Melalui premis dan proposisi dasar di atas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu:
(1) simbol dan interaksi menyatu.
Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai
pada konteks; (2) karena simbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang
jati diri pribadi subyek penelitian; (3) peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol
pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya; (4) perlu direkam situ­asi yang
melukiskan simbol; (5) metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya; (6)
perlu menangkap makna di balik fenomena; (7) ketika memasuki lapangan, sekedar
mengarahkan pemikiran subyek, akan lebih baik. 

13 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Pemaknaan interaksi simbolik bisa melalui empat proses. Pertama, terjemahan (translation)
yang dilakukan dengan cara mengalihbahasakan ungkapan penduduk asli menjadi
tulisan. Kedua, aktivitas penafsiran yang dilakukan sesuai dengan
 
latar belakang atau konteksnya, sehingga terangkum konsep yang jelas. Ketiga,
ekstrapolasi, yang menggunakan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di
balik yang tersaji. Keempat, kegiatan pemaknaan, yang menuntut kemam­puan integratif
inderawi, daya pikir, dan akal budi peneliti.
 Pemaknaan sebaiknya tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” dari pemilik budaya,
melainkan menggunakan wawasan
“intersubjektif’
. Artinya, peneliti berusaha
merekonstruksi realitas budaya
yang terjadi melalui
interaksi antar anggota komunitas
. Pada saat interaksi itu terjadi, peneliti bisa melakukan umpan balik berupa
pertanyaan-pertanyaan yang saling menunjang. Pancingan­-pancingan pertanyaan peneliti
yang menggelitik, akan memunculkan makna dalam sebuah interaksi antar pelaku
budaya. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu
sebuah interaksi
. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain, akan terbentuk pengertian yang utuh.

6. Grounded Theory

Grounded theory termasuk ragam. atau model penelitian dasar yang ingin mencari rumusan
teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar pemikiran model ini adalah simpulan secara
induktif yang digunakan untuk sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded theory
merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data berbentuk kenyataan Teori
tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan
tersebut, dan kelak bisa dimanfaatkan ulang untuk kebudayaan tersebut. Oleh sebab itu,
Grounded merupakan penelitian dasar yang diarahkan untuk: (a) mengembangkan
kategori-kategori yang menjelaskan data, (b) “menjenuhkan” kategori dengan banyak kasus
yang menunjukkan relevansinya, dan (c) mengembangkan kategori-kategori ke dalam kerangka
analitik yang lebih umum. Dilihat dari sisi ini, grounded theory merupakan pengembangan
etnografi yang tidak jauh berbeda dengan penelitian budaya kognitif

14 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Melalui grounded theory, budaya dibiarkan berkembang sejalan dengan zamannya.


 Perkembangan justru akan menantang lahirnya teori baru. Dengan kata lain, peneli­tian
budaya melalui grounded theory bukan mengejar pembuktian teori yang telah ada, melainkan
menghimpun data untuk menciptakan teori. Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis
positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan lebih
mengem­bangkan hipotesis
. Makna boleh berubah dan berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian akan
ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya, dan sesuai dengan kondisi
setempat. Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari simpulan
deduktif-logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang secara progresif menjadi besar.

 Sampel pada penelitian grounded berbeda dengan sampel positivistik-statistik. Jika positivistik
ingin menguji atau verivikasi teori, sehingga sampel dipilih berdasarkan struktur populasi,
grounded theory justru bertujuan untuk menemukan dan atau tepatnya mengembangkan
rumusan teori atau mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data. Karena
itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada kelompok atau subkelompok yang
akan memperkaya penemuan ciri-ciri utama. 

Data yang digunakan tidak terbatas pada wawancara dan pengamatan, melainkan bisa
menggunakan bahan dokumen atau referensi yang relevan. Hal ini dilakukan agar kerja
penelitian berlangsung efisien. Dari data tersebut akan dihasilkan sebuah teori subs­tantif dan
bukan teori formal (yang jangkauannya lebih luas meliputi sekian subtansi penelitian). Dalam
kaitannya dengan budaya, grounded akan menemukan teori substansi (teori yang dibangun
dari data berdasarkan wilayah substansi penelitian) budaya tertentu. Kendati demikian,
grounded bukan tidak mungkin menghasilkan teori formal, namun proses menuju ke situ cukup
pelan-pelan dan cermat. Yakni, manakala teori budaya tadi telah sahih berlaku pada salah satu
substansi, kelak akan dikembangkan pada substansi yang lebih luas atau substansi lain,
sampai menghasilkan teori formal. 

Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data lapangan. Grounded theory merupakan
usaha penggalian yang mendalam dengan menganalisis data secara sistematis dan intensif
(sering kali­mat demi kalimat) terhadap catatan lapangan, hasil wawancara, atau dokumen.
Dengan perbandingan yang konstan, data yang terkumpul, diberi kode, lalu dianalisis sehingga
menghasilkan teori yang baik. Peneliti tidak perlu terburu-buru membatasi perhatiannya pada
masalah kategori. Mungkin setelah beberapa bulan di lapangan baru menemukan sejumlah
kategori yang tepat. Dalam proses pengkatego­rian, kemungkinan besar lalu muncul kategori
baru. Pada pertengahan penelitian, baru dilakukan pemilihan memo dan kode. Kemudian
memo-memo yang terpilih diperluas, diringkas, dan difokuskan untuk menutup kesenjangan

15 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

teori yang telah muncul. 

Teknik Analisis Kajian Lintas Budaya

Mengingat bahwa kajian lintas budaya merupakan kajian yang dilakukan dengan cara
membandingkan berbagai unsur sejumlah kebudayaan maupun ucapan, sikap, tingkah laku
berbagai individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda yang
terlibat dalam
interaksi sehari-hari, maka ’perbandingan’ merupakan teknik analisis utama dalam
bidang
penelitian ini. Gilliet (2005) menegaskan: ”To understand culture, societies must be compared.”
Analisis perbandingan dalam bidang kajian lintas budaya dapat dibedakan ke dalam tiga jenis.

Pertama, perbandingan regional (regional comparison) yang dilkukan dengan terlebih dahulu
mengklasifikasikan kebudayaan-kebudayaan yang dijaring. Setelah itu, ditarik
kesimpulantentang proses bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu berdifusi menjadi sebuah
wilayah kultural (cultural region). Teknik analisis ini berupaya melihat bagaimana berbagai
kebudayaan saling berhubungan sebagai unit-unit kebudayaan yang menyeluruh (whole
cultural units).

Kedua, analisis holocultural, atau analisis lintas budaya global (worldwide cross-cultural
analysis). Teknik ini merupakan pengembangan  analisis yang
diprakarsai oleh Tylor dan kemudian oleh Murdock.
Levinson (dalam Gillies, 2005) menjelaskan bahwa
analisis holocultural
“is designed to test or develop a proposition through the statistical analysis of data on a sample
of ten or more nonliterate societies from three or more geographical regions of the world”.
Dalam pendekatanini, ciri-ciri kultural diambil darikonteks seluruh kebudayaan dan
dibandingkan dengan ciri-ciri kultural yang relevan dalam kebudayaan-kebudayaan yang lebih
luas untuk menentukan
 
pola-pola keteraturan dan perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan-kebudayaan yang diteliti.
 

16 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Ketiga, analisis komparatif terkontrol (controlled comparative), yang dilakukan terhadap


kajian perbandingan dengan skala yang lebih kecil. Menurut Eggan (dalam Gillies, 2005),
kombinasi konsep antropologis tentang etnologi dengan struktur dan fungsi akan
memungkinkan peneliti menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik
dengan rentang subyek yang lebih luas.

Contoh Penelitian Lintas Budaya Terkini

                        Berikut ini adalah dua abstrak


penelitian lintas budaya yang dikutip dari Poerwanto (2002). Kedua
contoh penelitian ini diharapkan dapat mengkonkritkan
beberapakonsepyang dijelaskan di atas.

Death: A Cross-Cultural Perspective

Phylis Palgi dan Henry Abramovitch (1984)

Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya berbagai upacara penguburan yang
dikaitkan dengan gagasan yang ada di balik upacara tersebut pada penduduk di Melanesia,
Siberia Timur Laut, dan India. Berbagai pandangan evolusionis tentang kematian—seperti  kep
ercayaan tentang kehidupan lain setelah kematian, perbedaan jenis kelamin mendominasi
upacara adapt penguburan—digunakan sebagai latar belakang.

17 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi mengenai asal mula
kematian, penyebab kematian seseorang, ketakutan terhadap arwah, perlakuan terhadap
jenazah, hal-hal tabu selama masa berkabung, dan berbagai konsepsi lain, Palgi dan
Abramovitch menemukan sejumlah persamaan maupun perbedaan diantara
masyarakat-masyarakat subjek penelitian. Berdasarkan temuan-temuan berbentuk persamaan
itu, kedua peneliti merumuskan beberapa hal yang universal tentang kematian.

The Origins of the Economic

F.L. Pryor (1984)

Kajian ini dilakukan untuk meneliti secara lintas budaya pandangan 60 kelompok masyarakat
hal-halyang berkaitan dengan konsep ekonomi. Variabel yang diteliti antara lain hubungan
permasalahan ekonomi dengan kelangkaan dan penyewaan tanah, intensitas modal dalam
produksi, pasar, tenaga kerja terdidik, perbudakan, ketimpangan sosial, dan lain-lain.

Berdasarkan analisis perbandingan yang dilakukan terhadap konsepsi ke 60 kelompok


masyarakat mengenai variable-variabel tersebut, Pryor menggeneralisasi beberapa hal yang
universal tentang perekonomian.

Penutup

Dalam skala nasional, keanekaragaman suku bangsa di Indonesia merupakan aset


pembangunan dan sekaligus potensi bagi pemunculan konflik. Untuk mencegah disintegrasi

18 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

bangsa yang diakibatkan oleh keanekaragaman budaya tersebut, penelitian kajian lintas
budaya bisa berkontribusi strategis. Data-data etnografi yang ada perlu dilengkapi dan dikemas
sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh sebanyak mungkin warga negara. Jika suatu
waktu timbul masalah yang dipicu oleh keragaman budaya, data tersebut mudah dicari dan
dirujuk.

Dalam konteks global,  penelitian kajian lintas budaya juga berperan penting dalam membantu
masyarakat memahami berbagai budaya bangsa lain. Pemahaman itu sangat dibutuhkan oleh
pelajar, usahawan, pekerja, diplomat, dan warga Indonesia lainnya yang berinteraksi dengan
warga bangsa lain dalam rangka mencegah kesalahpahaman dan konflik.

Daftar Pustaka

Aminudin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.
Malang: Yayasan Asih, Asah, Asuh.

Gillies, Judith L. 2005. “Cross-Cultural Analysis”. Diunduh pada tanggal 4 Oktober 2008 dari
"http:// jgillies@tenhoor.as.ua.edu

Home / FAQ. 2006. “Cultstud-L”. Diunduh pada tanggal 18


Oktober 2008 dari "Home / FAQ. Journal.
Lewis, Hugh M. 2005. “Cross Cultural Researches,
Political Economies and the Genders of Anthropologies”
Diunduh pada tanggal 18 Oktober 2008 dari "http: Cross
Cultural .htm"

Poerwanto, Heri. 2002. “Analisis Komparasi Lintas Budaya”. Dipublikasikan dalam Jurnal
Humaniora Vol.XIV, No.1 2002.

19 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Prasetia, Teguh Iman.2007.”Interaksi Simbolik dan Cross-


Cultural Studies” Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008
dari http://prasetia/culturalstudies/17.htm

Simatupang, G.R. dan Lono Lastoro. 2006. “Cross-Cultural Studies”Makalah, disampaikan


dalam Bengkel Kerja Budaya: Belajar Menulis Sejarah Sosial Masyarakat, kerjasama Lafadl
dan Desantara, di SAV PUSKAT Sinduharjo, Sleman, 25 Juli 2006.

White, Douglas R. 2003. “Cross-Cultural Research: An Introduction for Students” Diunduh tang
gal 8 Oktober 2008 dari “http://eclectic.ss.uci.edu/~drwhite/courses/ WCC03.html.”

Wikipedia.2008a. “Anthropology”. Diunduh pada tanggal


24 Oktober 2008 dari "http://en.
wikipedia.org/wiki/Anthropology"
Wikipedia.2008b. “Cultural Anthropology”. Diunduh pada
tanggal 26 Oktober 2008 dari "http://en.
wikipedia.org/wiki/Cultural Anthropology"
Wikipedia.2008c. “Cross-Cultural Studies”. Diunduh pada
tanggal 18 Oktober 2008 dari "http://en.
wikipedia.org/wiki/Cross-cultural_studies"
Wikipedia.2008d. “Cultural Studies”. 2008. Diunduh pada
tanggal 18 Oktober 2008 dari "http://en.wikipedia.
org/wiki/Cultural_studies"
Wikipedia.2008e. “George Peter Murdock”. 2008. Diunduh
pada tanggal 11 Oktober 2008 dari "http://en.wikipedia.
org/wiki/George Peter Murdock"
Wikipedia.2008f. “Centre for Contemporary Cultural
Studies ”. 2008. Diunduh pada tanggal
24 Oktober 2008 dari "http://en.wikipedia. org/wiki/Centre
for Contemporary Study"

20 / 21
PENELITIAN LINTAS BUDAYA

Written by Administrator
Monday, 09 August 2010 10:07 - Last Updated Monday, 09 August 2010 10:50

Ying Dong and Kun-Pyo Lee. 2008. “A Cross-Cultural Comparative Study of Users’ Perceptions
of a Webpage: With a Focus on the Cognitive Styles of Ch
inese, Koreans and Americans
.” Published in
International Journal of Design Vol.2 No.2 2008. Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2008 dari
www.ijdesign.org 30

Jakarta, 13 Oktober 2009

21 / 21

Anda mungkin juga menyukai