Anda di halaman 1dari 17

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TARI GANDRUNG DAN

UPAYA PELESTARIANNYA DI DESA KEMIREN,


KECAMATAN
GLAGAH, KABUPATEN BANYUWANGI

ARTIKEL

OLEH
ALFIA PUJI YUANITA
NIM. 106811402020

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
AGUSTUS 2010

Nilai-Nilai Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Tari Gandrung dan Upaya
Pelestariannya di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi
Alfia Puji Yuanita *
Abstrak: Tari Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional yang
berada di kabupaten Banyuwangi, sehingga disebut dengan Gandrung
Banyuwangi. Tari Gandrung Banyuwangi dalam pementasannya ada tiga
bagian, yaitu jejer Gandrung, ngrepen atau repenan, paju atau maju
Gandrung, dan seblang-seblangan. Tarian ini dipentaskan dalam berbagai
acara seperti, khitanan, pernikahan, event pariwisata dan dalam rangka
memperingati hari jadi kota kabupaten Banyuwangi, dan dijadikan muatan
lokal untuk tingkat sekolah. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap
baik dan benar oleh masyarakat sehingga dapat bertahan dalam waktu
yang lama. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tari Gandrung
yaitu nilai perjuangan, keindahan, pandangan hidup, simbolis, budaya dan
tanggung jawab. Upaya melestarikan budaya tari Gandrung agar tidak
punah yaitu dengan cara pelatihan-pelatihan secara menyeluruh di sekolahsekolah dan sanggar-sanggar yang ada di desa Kemiren bahkan mulai dari
taman kanan-kanak, SD sampai SMA. Dinas pariwisata dan kebudayaan
kabupaten Banyuwangi juga mempunyai program dalam melestarikan
tarian Gandrung, yaitu dengan cara aktualisasi yang dilakukan dalam 1
bulan sekali dan pelaksanaannya pada waktu padang bulan, artinya tarian
tersebut
dipertunjukkan
kembali
supaya
tetap
terjaga
kelestariannya.Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan asal-usul
tari Gandrung, (2) mendeskripsikan wujud / bentuk dalam gerakan tari
Gandrung, (3)mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung
dalam tari Gandrung, (4) mendeskripsikan persepsi masyarakat terhadap
tari Gandrung, dan (5) mendeskripsikan upaya melestarikan tari
Gandrung.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk
mencapai tujuan tersebut, data dikumpulkan dengan cara observasi
partisipatif, studi dokumentasi serta wawancara. Teknik analisis data yang
digunakan adalah model analisis interaktif. Penelitian dilakukan di desa
Kemiren, kecamatan Glagah, kabupaten Banyuwangi dengan obyek
penelitian adalah masyarakat desa Kemiren, penari Gandrung, perangkat
desa Kemiren dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi. Dari
hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa, asal-usul tari Gandrung yaitu
pada masa gerilya Blambangan dalam melawan penjajahan pemerintahan
Belanda, Gandrung dilakukan oleh laki-laki yang bernama Marsan dan
sekarang digantikan oleh perempuan yang bernama Temu. Bentuk gerakan
dalam tari Gandrung yaitu jejer, ngrepen, maju Gandrung dan seblangseblangan. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tari Gandrung yaitu
nilai perjuangan, keindahan, pandangan hidup, simbolis, budaya dan
tanggung jawab. Persepsi masyarakat terhadap tari Gandrung yaitu dalam
setiap gerakan dan lagu yang dibawakan oleh penari dapat menggugah
semangat pejuang dalam melawan penjajah Belanda pada waktu
pertempuran gerilya Blambangan. Upaya melestarikan tari Gandrung yaitu
Pemerintah kabupaten Banyuwangi pun bahkan mulai mewajibkan setiap

siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian


Banyuwangi. Dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten Banyuwangi
juga mempunyai program yaitu dengan cara aktualisasi yang dilakukan
dalam 1 bulan sekali dan pelaksanaannya pada waktu padang bulan,
artinya tarian tersebut dipertunjukkan kembali supaya tetap terjaga
kelestariannya. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan agar
dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya masyarakat lebih mengerti
tentang kandungan makna yang terdapat dalam setiap budaya yang
dimiliki oleh kabupaten Banyuwangi dan cara menjaga, melestarikan
kebudayaan daerah secara berkelanjutan supaya tidak tergilas oleh arus
globalisasi.
Kata Kunci: Nilai-nilai, Kearifan Lokal, Tari Gandrung

Secara geografis Indonesia merupakan Negara Kepulauan, terdiri dari 17


ribu pulau. Wilayah yang luas, ditambah lagi Indonesia mempunyai beraneka
ragam suku, bahasa dan kebudayaan daerah. Bangsa Indonesia mempunyai
semboyan yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap
satu. Ungkapan ini mengekspresikan suatu keinginan kuat, tidak hanya untuk
kalangan politik tetapi juga kalangan berbagai lapisan penduduk untuk mencapai
kesatuan.
Dasar dan tujuan kebudayaan di Indonesia juga didasarkan pada UUD
1945 Pasal 32 Ayat 1, yang berbunyi Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia yang di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Artinya, nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam setiap kebudayaan dari
masing-masing daerah harus dipelihara dan dikembangkan, supaya kebudayaan
yang dimiliki tidak pudar begitu saja. Adanya budaya asing yang masuk pada
negara Indonesia juga berpengaruh pada kemajuan kebudayaan daerah. Oleh
karena itu, penyaringan kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia penting

dilakukan untuk menghindari ketimpangan budaya antara budaya asing dan


budaya daerah yang dimiliki dari masing-masing daerah.
Taylor (dalam Munandar, 1992: 10) menyatakan bahwa kebudayaan
ataupun yang disebut peradaban mengandung pengertian yang luas, meliputi
pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan
lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Kata kebudayaan berasal dari
bahasa Sanskerta budhayah, yaitu budhi yang berarti budi atau akal
(Koentjaraningrat: 1982: 182). Dengan demikian kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan cara hidup manusia, yaitu
warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya atau kebudayaan bisa
dianggap sebagai lingkungan yang diciptakan manusia. Kebudayaan disebarkan
dengan melalui hubungan sosial, yaitu melalui komunikasi dan berangsur-angsur
membentuk suatu tradisi kelompok yang cara menyampaikannya melalui bahasa.
Kehidupan, atau mungkin bisa disebut sebagai living Culture, sudah
berkembang sedemikian rupa-makin kompleks dan majemuk. Konsekuensinya,
untuk mengapresiasi dan mengelola semua ini diperlukan pendekatan yang multi
dimensional. Kalau dilihat secara kritis ternyata perkembangan dalam living
Culture telah berubah sedemikian rupa secara radikal dan revolusioner.
Keterpelajaran budaya yang kreatif dan produktif seperti inilah harus mau
membiarkan diri terbuka untuk melakukan praktik-praktik budaya seperti:
menciptakan sesuatu yang dapat mewadahi imaginasi, melihat, mendengar,

menyentuh, mencium, atau merasakan apa-apa yang diproduksi oleh orang /


masyarakat lain melalui hal-hal yang kongkrit maupun bentuk-bentuk simbolik,
untuk selanjutnya mengapresiasi dan mengevaluasinya sebagai pekerjaan reflektif
yang kritis. Karena hanya dengan kerja-kerja praktik dan reflektif (dalam arti
menempatkan dalam konteks pemaknaan secara proporsional dan kreatif) lah
keterpelajaran kultural akan senantiasa mengalami pengayaan.
Kebudayaan tradisional pada perkembangannya diera globalisasi ini seolah
dikalahkan oleh kemajuan teknologi yang dapat menghadirkan berbagai macam
corak kesenian, setidaknya hal itulah yang dirasakan masyarakat dimasa sekarang
ini. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut didukung pula oleh arus
globalisasi, yang seharusnya diimbangi dengan berkembangnya kebudayaan
kesenian asli sehingga dapat berjalan seiring dan ikut pula mewarnai masuknya
kebudayaan-kebudayaan asing yang tumbuh cukup subur di Indonesia, sejalan
dengan pembangunan dibidang kebudayaan. Walaupun teknologi diera globalisasi
ini merupakan faktor dominan dalam kultur kehidupan manusia masa kini dan
juga merupakan ketergantungan yang hebat, namun sebaliknya masyarakat harus
dapat mewarnai era globalisasi ini dengan dikembangkannya kebudayaan negeri
sendiri.
Tari Gandrung sebagai salah satu kesenian tradisional, mengandung nilainilai kearifan lokal yang ada pada masyarakat desa Kemiren yang di antaranya
nilai tanggung jawab yang terletak pada sang penarinya itu sendiri. Sang penari
itu mempunyai tanggung jawab untuk membawakan tarian Gandrung dengan
sebaik-baiknya, dengan hati yang tulus tanpa adanya paksaan. Nilai keindahan
terletak pada gerakan yang dibawakan oleh sang penari membuat sang penari

terlihat gemulai dan cantik (Ilham, dalam http:// gandrung-panggilan-jiwa-yangmenari.htm). Gandrung, merupakan kesenian tradisional yang unik dan juga
merupakan salah satu kekayaan budaya yang seharusnya dapat mulai dilestarikan
mengingat keberadaannya yang semakin tenggelam dalam era globalisasi. Bukan
tidak mungkin dengan menghidupkan kesenian tari Gandrung, dapat menjadi ciri
khas daerah Banyuwangi dan dapat menjadi asset bagi daerah. Tari Gandrung
memiliki kekayaan yang tidak ternilai, yang diharapkan dapat menciptakan
keseimbangan dalam menghadapi persaingan yang jelas akan terjadi pada era
pasar perdagangan bebas.
Bentuk kesenian ini didominasi tarian dengan orkestrasi, yaitu seni olah
karya musik, sehingga dapat dimainkan oleh orkes, misalnya alat musik piano
yang diubah menjadi bentuk kesenian orkes. Tari Gandrung merupakan tarian
khas wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Tidak salah
jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan Gandrung. Dalam kenyataannya,
Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung. Dan patung penari Gandrung dapat
dijumpai diberbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Hal ini menunjukkan bahwa seni tidak mungkin lepas dari peradaban
manusia, karena terciptanya suatu karya seni selalu berkaitan dengan dorongan
rasa-pikiran-kehendak (Fenanie: 2000: 128). Perkembangan karya seni ini akan
selalu mencerminkan pikiran, perilaku dan peradaban manusia pada saat karya
tercipta.
Peradaban itu juga tidak lepas dari gaya hidup, pandangan hidup, moral,
serta watak pada saat dimana dan kapan peradaban tersebut berlangsung. Itulah
sebabnya, karya seni mencerminkan suatu peradaban yang berlangsung pada saat

karya seni tersebut diciptakan. Karena pada hakekatnya, karya seni merupakan
refleksi dari kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu, masyarakat desa
Kemiren ingin tetap melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki selama
ini dan menjaganya agar pengaruh-pengaruh dari luar tidak menggeser kesenian
tradisional.

Melalui kesenian tari Gandrung inilah masyarakat desa Kemiren

berusaha melestarikan nilai-nilai yang dimiliki selama ini.


Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti melakukan penelitian
yang berjudul Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tari Gandrung dan Upaya
Pelestariannya di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.

METODE

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan


kualitatif ini mengarah pada penelitian yang bersifat natural fenomenologis
(alamiah) dan penelitian etnografi. Karena, pada awalnya digunakan untuk
penelitian bidang antropologi budaya. Penelitian ini dilakukan karena peneliti
ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang
bersifat deskriptif seperti pengertian tari Gandrung, kandungan-kandungan nilai
dalam tari gandrung, gambar-gambar, pelaksanaan tari gandrung, upaya
pelestariannya

dan

lain

sebagainya.

Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mendeskripsikan, memaparkan atau menggambarkan tentang nilai-nilai kearifan


lokal dalam tari Gandrung dan upaya pelestariannya di Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
Instrumen penelitian kualitatif adalah human instrument atau manusia
sebagai informan maupun yang mencari data dan instrumen utama penelitian
kualitatif adalah peneliti itu sendiri sebagai ujung tombak pengumpul data

(instrumen). Peneliti terjun secara langsung ke lapangan untuk mengumpulkan


sejumlah informasi yang dibutuhkan dengan terlebih dahulu sudah memiliki
beberapa pedoman yang akan dijadikan alat bantu untuk mengumpulkan data.
Pedoman tersebut dikembangkan dari kategori / sub kategori yang akan dicari data
lapangannya dengan menggunakan teknik yang tepat. Teknik yang digunakan
dapat berupa kegiatan observasi, wawancara dan dokumentasi.
Suatu penelitian harus mengandung nilai terpercaya dan peneliti harus
mampu mempertanggungjawabkan penelitiannya dan meyakinkan kepada
khalayak bahwa kebenaran hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan.
Mempertanggungjawabkan keabsahan suatu penelitian dapat ditelusuri dari caracara memperoleh kepercayaan akan kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas
dan conformabilitas.

HASIL
Pada saat gerilya Blambangan melawan penjajahan Belanda, Gandrung
dimainkan oleh seorang laki-laki yang bernama Marsan. Pementasan kesenian
Gandrung pada masa itu biasanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama
pada bulan purnama di halaman terbuka. Gandrung pada masa pemerintahan
Belanda digunakan sebagai alat perjuangan, yang artinya dengan tari Gandrung
inilah akhirmya masyarakat Blambangan terbebas dari penjajahan Belanda.
Gandrung sering dipertunjukkan dalam acara pernikahan, khitanan, petik laut, dan
acara lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, Gandrung laki-laki
digantikan oleh perempuan karena dalam ajaran Islam telah diajarkan, bahwa
seorang laki-laki dilarang memakai perhiasan dan berpenampilan sebagai wanita.

Kesenian tari Gandrung ini sering diadakan pada acara khitanan, pernikahan,
pethik laut, dan acara-acara lainnya. Pementasannya diselenggarakan pada malam
hari mulai dari jam 21.00 sampai jam 04.00 pagi. Kadang-kadang juga pada siang
hari menyesuaikan dengan kebutuhan suatu acara tertentu. Adapun wujud atau
bentuk gerakan dalam tari Gandrung yang dibawakan dalam pementasan semalam
suntuk yaitu topengan, jejer Gandrung, ngrepen, dan maju Gandrung. Suatu
kebudayaan akan melahirkan sebuah kesenian. Kebudayaan itu diambil dari nilainilai yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini kesenian tari Gandrung banyak
mengandung nilai-nilai kearifan lokal seperti nilai keindahan, nilai tanggung
jawab, nilai pandangan hidup, nilai perjuangan dan nilai simbolis. Persepsi
masyarakat terhadap gerakan dan lagu dalam tari Gandrung yaitu kesenian
Gandrung mampu menjadi maskot kota Banyuwangi. Hal itu terbukti orang-orang
menyebut kota ini sebagai Gandrung Banyuwangi dan patung penari Gandrung
yang terpampang sebelum masuk wilayah Banyuwangi. Setiap gerakan dan lagu
yang dibawakan mengandung suatu makna yang artinya dapat menggugah
semangat pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Gerakan Nglayung adalah
gerakan penutup kepada penonton, kedua tangan di atas kepala sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tarian ini merupakan simbol berterima kasih
kepada Dewi Sri yang telah memberikan kemakmuran pada masyarakat desa
Kemiren. Selain itu, gending podo nonton dan seblang lukito yang di dalamnya
mengandung makna perjuangan yang digunakan sebagai sandi untuk mengelabuhi
Belanda. Cara melestarikan tari Gandrung, yaitu Pemerintah kabupaten
Banyuwangi pun tidak tinggal diam dalam melestarikan kebudayaan daerah
khususnya tari Gandrung ini, hal ini terbukti dengan adanya berbagai pelatihan-

pelatihan secara menyeluruh di sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar yang ada di


desa Kemiren bahkan mulai dari taman kanan-kanak, SD sampai SMA.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang asal-usul tarian Gandrung, maka
peneliti menyimpulkan yaitu asal mula penari Gandrung dilakukan oleh laki-laki
yang bernama Marsan, laki-laki yang menjadi Gandrung ini dari sisa-sisa pasukan
Blambangan dan Bali. Setiap hari berkeliling tanpa mengenal lelah mendatangi
tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Blambangan, yang hidup bercerai
berai dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, selain untuk memberi
hiburan, mengumpulkan sumbangan dan membagikannya kepada mereka yang
memerlukan bantuan, juga melantunkan gending-gending isinya tentang pesanpesan perjuangan, ternyata membawa hasil yang gemilang yang sulit dipercaya.
Gandrung pada masa pemerintahan Belanda digunakan sebagai alat perjuangan,
yang artinya dengan tari Gandrung inilah akhirmya masyarakat Blambangan
terbebas dari penjajahan Belanda, karena dengan tarian Gandrung, Belanda dapat
dikelabuhi dalam menjalankan setiap aksinya.
Pada perkembangan terakhir tari Gandrung akhirnya digantikan oleh
wanita, karena dalam agama Islam telah diajarkan, bahwa seorang laki-laki
dilarang memakai perhiasan dan berpenampilan sebagai wanita. Asal mula penari
Gandrung wanita yaitu berasal dari penari Seblang. Pada suatu saat puteri seorang
penduduk dukuh Cungking yang bernama Semi mengalami sakit keras dan tidak
ada obat yang dapat menyembuhkannya. Kemudian ibunya menyampaikan

ucapan kepada Semi yang sedang sakit tersebut sebagai berikut kalau engkau
sembuh, akan kujadikan Seblang, tetapi jika tidak sembuh ya tidak.
Kebetulan setelah itu Semi sembuh dari sakitnya dan untuk memenuhi
ucapan Mak Midah maka kemudian Semi dijadikan penari Seblang. Ternyata
banyak orang yang mengaguminya dan selanjutnya setiap malam diusahakanlah
oleh orang-orang sekitarnya untuk diadakan pementasan kesenian tersebut. Hal
yang dialami Semi juga dialami Temu pada sekitar tahun 1969, kemudian
timbullah gagasan dari orang-orang sekitarnya untuk menjadikan Temu sebagai
penari Gandrung. Sejak inilah penari Gandrung laki-laki berangsur-angsur kurang
sampai tidak ada sama sekali dan sejak itu pulalah Temu menjadi pemula untuk
dimulainya babak baru penari Gandrung yang dilakukan oleh wanita sampai
sekarang.
Pementasan jenis Gandrung ini biasanya diselenggarakan pada malam hari
mulai jam 21.00 sampai jam 04.00 pagi. Kadang-kadang juga pada siang hari
menyesuaikan dengan kebutuhan suatu acara tertentu. Penggunaanya antara lain
untuk keperluan hiburan suatu acara. Kedudukan penari Gandrung berfungsi
sebagai media bagi tuan rumah atau yang punya hajad dalam menjamu tamunya,
yaitu lewat bentuk-bentuk tarian sesuai dengan gendingnya. Dalam pementasan
kadang-kadang seorang penari Gandrung mampu membawakan beberapa puluh
gending,

tentu

saja

menurut

kemampuan

penari.

(Jimmy,

dalam

http://jimmy.wikipedia.com) menyatakan, pertunjukan Gandrung terbagi tiga


tahap, yaitu: jejer, maju, dan seblang subuh.
(Ilham, dalam http://ilham89.ngeblogs.com//gandrung-panggilan-jiwayang-menari) menyatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam

tarian Gandrung adalah tanggung jawab, keindahan, pandangan hidup, budaya,


dan simbolis. Nilai tanggung jawab yaitu terdapat pada seorang guru penari
Gandrung yang mengajarkan tarian kebudayaan Banyuwangi tersebut kepada
siswa-siswi di sekolah untuk bisa dilestarikan di masyarakat modern, walau
banyak perubahan yang terjadi dari masyarakat modern terhadap respon tari
Gandrung.
Nilai keindahan dari tarian Gandrung adalah adalah keindahan yang di
dapat ketika sang penari memainkan peranannya. Melakukan tarian Gandrung
dengan penuh senyum walau banyak terkadang banyak penonton yang kurang
sopan terhadap respon sang penari. Gerakan yang dibawakan oleh sang penari
membuat sang penari terlihat gemulai dan cantik. Selain dari gerakannya,
keindahan tarian gandrung juga terlihat dari aksesoris yang dikenakan oleh sang
penari,seperti pakaian yang dipakai, ditambah lagi mahkota yang disebut omprok
yang dikenakan di kepala. Musik pengiring juga membuat tarian gandrung
menjadi indah, membuat penonton ingin ikut menari.
Pandangan hidup yang berupa ideologi yang terkandung dalam cerita
Gandrung. Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan
pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan
itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut
waktu dan tempat hidupnya. Dengan demikian, pandangan hidup itu bukanlah
timbul seketika atau dalam waktu, karena di dalam film tari gandrung terdapat
pandangan hidup yang bertujuan untuk melestarikan kebudayaan tarian gandrung.
Nilai simbolis yang berada dalam tari Gandrung antara lain: penari utama
dan pengibing. Wanita dalam hal ini lebih dimaknai sebagai media pengucapan

syukur atas panen padi kepada dewi kesuburan. Wanita dalam konteks ini pula
berperan sebagai tokoh sentral dalam sebuah tarian yang memegang peran penting
dan sangat dihormati.
Nilai perjuangan dalam tari Gandrung yaitu pada masa perjuangan
dijadikan sebagai ajang berkumpulnya para pejuang dan memulai sarana tersebut
pusat informasi dan pembangkit semangat para pejuang yang disampaikan melalui
gending-gending yang dibawakannya dan dengan gending-gendingnya pula
berbagai informasi yang merupakan kata sandi disampaikan kepada para pejuang,
itulah andil dari kesenian Gandrung pada masa perjuangan.
Persepsi masyarakat terhadap tari gandrung yaitu setiap gerakan dan lagu
yang dibawakan mengandung suatu makna yang artinya dapat menggugah
semangat pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Salah satu gerakannya
seperti gerakan Nglayung adalah gerakan penutup kepada penonton, kedua tangan
di atas kepala sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tarian ini merupakan simbol
berterima kasih kepada Dewi Sri tersebut sambil menyanyikan lagu-lagu bertema
sedih seperti misalnya seblang lukito.
Pada saat ini Gandrung sudah jarang untuk dipertunjukkan dalam suatu
acara tertentu. Hal itu tidak menjadi penghalang bagi masyarakat desa Kemiren
untuk mempertahankannya, karena dalam kenyataannya meskipun ada berbagai
macam hiburan lain seperti electon atau hiburan lainnya, tetapi masyarakat masih
mengakui keberadaan Gandrung. Ini terbukti dengan adanya pelatihan-pelatihan
secara menyeluruh di sekolah-sekolah, sanggar-sanggar tari yang ada di desa
Kemiren. Selain itu, kerja sama yang baik antara Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan dengan masyarakat Banyuwangi yang sadar akan kebudayaan

daerah, yaitu dengan cara aktualisasi yang dilakukan dalam 1 bulan sekali dan
pelaksanaannya pada waktu padang bulan.
Cara melestarikan tari Gandrung ada 2 yaitu dengan mengadakan pelatihan
di sekolah-sekolah, di sanggar-sanggar, serta melalui aktualisasi atau pertunjukan
setiap bulan purnama dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Usaha yang
dilakukan umumnya hanya bersifat tradisional oleh kelompok-kelompok
masyarakat pelaku adat yang bersangkutan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Asal mula penari Gandrung dilakukan oleh laki-laki yang bernama
Marsan, laki-laki yang menjadi Gandrung ini dari sisa-sisa pasukan Blambangan
dan Bali. Setiap hari berkeliling tanpa mengenal lelah mendatangi tempat-tempat
yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Blambangan, yang hidup bercerai berai dengan
keadaan

yang

mengumpulkan

sangat

memprihatinkan,

sumbangan

dan

selain

untuk

membagikannya

memberi

kepada

hiburan,

mereka

yang

memerlukan bantuan, juga melantunkan gending-gending isinya tentang pesanpesan perjuangan, ternyata membawa hasil yang gemilang yang sulit dipercaya.
Pada perkembangan terakhir tari Gandrung akhirnya digantikan oleh
wanita, karena dalam agama Islam telah diajarkan, bahwa seorang laki-laki
dilarang memakai perhiasan dan berpenampilan sebagai wanita. Asal mula penari
Gandrung wanita yaitu berasal dari penari Seblang. Pada suatu saat puteri seorang
penduduk dukuh Cungking yang bernama Semi mengalami sakit keras dan tidak
ada obat yang dapat menyembuhkannya. Kemudian ibunya menyampaikan

ucapan kepada Semi yang sedang sakit tersebut sebagai berikut kalau engkau
sembuh, akan kujadikan Seblang, tetapi jika tidak sembuh ya tidak.
Kebetulan setelah itu Semi sembuh dari sakitnya dan untuk memenuhi
ucapan Mak Midah maka kemudian Semi dijadikan penari Seblang. Ternyata
banyak orang yang mengaguminya dan selanjutnya setiap malam diusahakanlah
oleh orang-orang sekitarnya untuk diadakan pementasan kesenian tersebut. Hal
yang dialami Semi juga dialami Temu pada sekitar tahun 1969, kemudian
timbullah gagasan dari orang-orang sekitarnya untuk menjadikan Temu sebagai
penari Gandrung. Sejak inilah penari Gandrung laki-laki berangsur-angsur kurang
sampai tidak ada sama sekali dan sejak itu pulalah Temu menjadi pemula untuk
dimulainya babak baru penari Gandrung yang dilakukan oleh wanita sampai
sekarang. Wujud atau bentuk gerakan dalam tari Gandrung adalah jejer, ngrepen
atau repenan, maju atau paju Gandrung dan seblang-seblangan. Nilai-nilai
kearifan lokal yang terkandung dalam tarian Gandrung adalah tanggung jawab,
keindahan, pandangan hidup, budaya, dan simbolis. Persepsi masyarakat desa
Kemiren terhadap tari Gandrung yaitu persepsi masyarakat terhadap setiap
gerakan dan lagu yang dibawakan dalam tari Gandrung dan persepsi masyarakat
bahwa tari Gandrung perlu dilestarikan. Upaya melestarikan tari Gandrung yaitu
pelatihan

dan

pertunjukan.

Adanya

berbagai

pelatihan-pelatihan

secara

menyeluruh di sekolah-sekolah dan sanggar-sanggar yang ada di desa Kemiren


bahkan mulai dari taman kanan-kanak, SD sampai SMA. Dinas pariwisata dan
kebudayaan kabupaten Banyuwangi

juga mempunyai program dalam

melestarikan tarian Gandrung, yaitu dengan cara aktualisasi yang dilakukan dalam
1 bulan sekali.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan sesuai dengan masalah penelitian, maka
penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut:
Bagi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banyuwangi yaitu penelitian
ini mengharapkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Banyuwangi agar tetap
melestarikan kesenian tradisional yang ada di kabupaten Banyuwangi dengan cara
meningkatkan pelatihan rutin dan aktualisasi seperti yang dilakukan sekarang agar
tidak tergilas dengan adanya globalisasi. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota
Banyuwangi juga harus mampu menyaring / memfilter kebudayaan asing yang
masuk pada setiap daerah di Banyuwangi supaya kesenian tradisional seperti tari
Gandrung ini dapat dipertahankan sampai generasi penerus. Selain itu , pemerintah
menyediakan dana atau anggaran khusus bagi pengembangan kesenian daerah
khususnya kesenian tari Gandrung ini karena kesenian daerah dapat menjadi salah
satu aset pendapatan bagi pemerintah daerah.

DAFTAR RUJUKAN
Abdurachman, Rosid. 1982. Pendidikan Seni Tari. Jakarta: PT Rais Utama.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Basri, Hasan. 2009. Kesenian Gandrung Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Blues, Najm. 2010. Pengertian Seni Tari. (Online),
(http://blues90.files.wordpress.com/2010/pengertian-seni-tari.doc, diakses
28 Januari).

Fenanie, Zainuddin. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MN I.


Surakarta: Muhammadiyah Universty Press.
Handoyo. 2007. Nilai- Nilai Sosial dalam Masyarakat. (Online),
(http://handoyo74.files.wordpress.com/2007/09/mdl-paket-c-kd-ii.doc,
diakses 28 Januari 2010).
Ifan. 2008. Gandrung Banyuwangi (budaya yang hampir punah). (Online),
http://ifanwibisono.ngeblogs.com/page/2/, diakses 28 Januari 2010).
Jimmy. 2006. Gandrung Banyuwangi. (Online),
(http://jimmy70.wikipedia.com/2006/20/gandrung-Banyuwangi, diakses
28 Januari 2010).
Maleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:Dirjen Dikti PP2 PTK
Sayuti, S.A. 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara Yang Lain dan
Kearifan Lokal. (Online), (http://www.semipalar.net, diakses 28 Januari
2010).
Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.
Malang: UM Press.
Yoety, Oka. 1983. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata.
Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai