Anda di halaman 1dari 64

MATA KULIAH

ESTETIKA BARAT

DISUSUN OLEH
Ryan Saharatua
NIM. 1643400034

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS UHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN 2019

PENGERTIAN ESTETIKA DAN LINGKUP KAJIANNYA

1. TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
pengertian estetika dan ruang lingkup kajiaanya, serta dapat memahami tentang
teori keindahan.

2. Materi Perkuliahan

0
2.1 Pengertian Estetika
Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata estetika
dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos, atau aisthanomai yang berarti mengamati
dengan indera (Lexicon Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga berkaitan
dengan istilah aesthesis (bahasa Yunani) yang mempunyai pengertian pengamatan.
Feldman dalam hal ini melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan
atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga
J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa, dilandasi tradisi empirisme
dan teori yang mengacu kepada tradisi lain yakni menurut pandangan Platonis dan
Neoplatonis. Struktur teori ini telah dikembangkan menjadi lima bagian yakni: (1)
persepsi, (2) cita rasa, (3) produk mental, (4) objek pengamatan, (5) pertimbangan cita
rasa ( Dickie, 1989) sehingga jika dilihat dari kelima struktur tersebut maka teori
pengamatan identik dengan teori cita rasa.
Secara luas estetika mempunyai pengertian, semua pemikiran filosofis
keindahan (yang berkaitan dengan seni). Estetika muncul tatkala para filusuf memiliki
pemikiran terbuka untuk meneliti , dan memiliki perasaan haru ( Paul Valery). Seperti
yang diutarakan Hegel bahwa filsafat seni membentuk bagian yang sangat penting
dalam struktur filsafat. Estetika sebagai filsafat seni, telah berkaitan dengan etika dan
logika. Karena itu estetika, etika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu normatif
di dalam filsafat. Jerome Stolnitz menggaris bawahi bahwa estetika dianggap sebagai
telaah filsafat keindahan dan keburukan. Selain itu, dikatakan bahwa estetika adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang
berkaitan dengan karya seni.
Di sisi lain John Hosper mendefinisikan estetika sebagai salah satu cabang
filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis., artinya estetika tidak
hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni, melainkan seluruh permasalahan
yang berkaitan dengan suatu “karya yang indah”. Demikian halnya Plato mengutarakan
ciri-ciri dan hukum keindahan, Aristoteles dalam hal ini merumuskan keindahan
sebagai suatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan Politinus menulis tentang ilmu
dan kebajikan yang indah. Orang Yunani juga mengemukakan bahwa keindahan
berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan, selain itu mereka juga mengenal
pengertian keindahan yang bersifat kasat mata, dikenal dengan sebutan symetria, misal
pada karya seni visual , dan harmonia untuk keindahan dalam seni musik yang

1
berkaitan dengan pendengaran. Jadi pengertian estetika secara luas meliputi keindahan
seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual.
Beberapa ahli pikir menyatakan bahwa keindahan tersusun dari berbagai
keselarasan dan perlawanan unsur-unsurnya seperti garis, bentuk, nada dan kata-kata,
ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk
yang terdapat di antara pencerapan inderawi, sehingga bisa dibedakan antara
ekstraestetis dan intraestetis. Keindahan yang menyangkut pengalaman estetis
seseorang yang berkaitan dengan segala sesuatu yang tidak secara langsung dicerap
melalui indera, disebut ekstraestetis, sedangkan intraestetis adalah segala sesuatu yang
bersifat kasat mata, berkaitan dengan penglihatan (jiwo katon), berupa keindahan
bentuk, warna, garis, tekstur, ruang, cahaya dan sejumlah kualita pokok tertentu antara
lain; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry)
keseimbangan (balance), irama (rytme), perulangan (repetion), perlawanan, (contrast),
dominasi (emphasis) (lihat Read; 1998)
Estetika sebagai bagian dari kebudayaan dalam berkesenian berisi tentang (1)
nilai-nilai,(2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan
tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut digunakan untuk menciptakan dan
memahami suatu karya seni. Kendati kedinamisan perkembangan suatu kebudayaan
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai.dan konsep estetika,secara
kontektual, estetika ditentukan oleh keadaan, kebudayaan dan peradaban yang berlaku.
Sebagai contoh, dari sudut pandang ekonomi “kecil itu indah” atau “sederhana itu
indah” (konsep estetika Jepang). Pengertian estetika dari berbagai sudut pandang ilmu
pengetahuan lainnya misal, “pikiran original itu indah” dan dari sudut pandang
teknologi, bisa mengatakan: “teknologi itu indah” atau “rasional itu indah”. Sehingga
konsep estetika bukan saja untuk para pencipta karya seni, tetapi bisa untuk siapa saja
yang dapat menentukan dan merasakan keindahan secara kontekstual berdasarkan
tingkat apresiasi, situasi dan latar belakang budaya.
Akhirnya pengertian estetika meliputi totalitas dari esensi kehidupan yang
mampu menggelitik jiwa manusia, dan berlaku terhadap apa saja yang dirasakan
manusia sejalan dengan konsep hidup dan jamannya. Gejala semacam ini merupakan
suatu kenyataan, bahwa estetika bukan lagi suatu yang perlu diagungkan seperti yang
pernah terjadi pada abad pertengahan, melainkan telah melebur dalam totalitas yang
disebut dengan era “Estetika Paripurna” (Sutrisno 1999). Salah satu yang paling penting
dalam konsep estetika ini adalah keindahan yang melekat pada karya seni atau
2
merupakan ruh dari suatu karya seni. Dalam estetika modern, lebih cenderung
membicarakan tentang seni dan pengalaman estetik, karena keindahan bukan
pengertian yang bersifat abstrak tetapi merupakan suatu gejala kongkret yang dapat
ditelaah dengan pengamatan empiris serta dapat diuraikan secara sistematis.
Sebelum abad ke 18 muncul teori keindahan yang mempermasalahkan tentang
hakikat keindahan dan setelah abad ke 18, mulai dibicarakan tentang keindahan yang
adiluhung dan keindahan yang dangkal, di antaranya adalah: Kant, Shaftesbury,
Hutcheson, Burke, dan Alison (sebelum abad ke18). Mereka menyoroti tentang teori
selera (taste theory) dengan menggunakan “pengalaman keindahan” sebagai
pendekatan analisisnya. Selain itu mereka juga mengaitkan seni dalam estetika dengan
rasa indah, halus, dan luhung Kemudian setelah abad ke 18 arti kata “indah” disamakan
dengan “sesuatu yang mempunyai nilai estetis” lazim digunakan untuk mengkaitkan
seni dengan alam. Sehingga masalah keindahan dibahas melalui dua teori yakni teori
estetika dan teori seni. Secara rinci akan dibicarakan dalam mata kuliah estetika 2.
2.2 Lingkup Kajian Estetika.
2.2.1 Hubungan antara Keindahan dan Kebudayaan.
Keindahan adalah filsafat tentang segala sesuatu yang indah atau ilmu tentang
keindahan dan “cita rasa”. In essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the
science of beauty and “taste” ( Hope M. Smith, 1968) Mengacu dari pendapat Smith
tersebut, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan
penentu corak, typical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung
kebudayaan tersebut.
Di sisi lain manusia sebagai mahluk multidimensi mempunyai peran untuk
mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya. Konsep
keindahan dan cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari ajaran-ajaran agama dan konsep
budaya dari masing-masing kelompok. Estetika sebagai sub sistem kebudayaan dalam
berkesenian berisi tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4)
kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut
digunakan untuk menciptakan dan memahami karya seni.
Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna atau
sistem-sistem simbol. Fungsinya bukan hanya digunakan atau menjadi pedoman
strategi adaptasi dalam menghadapi lingkungan dan sumber daya alam, tetapi sekaligus
berfungsi sebagai pedoman strategi dalam menghadapi lingkungan sosial dan
3
lingkungan kebudayaan itu sendiri (Suparlan Parsudi 1995 ). Budaya sebagai acuan
bagi suatu masyarakat yang bersifat normatif, maka ia mampu melahirkan “gaya hidup”
tertentu, serta memberi makna yang dapat membedakan dengan kelompok lain. Misal
kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Irian, Sumatra, Bali dst, demikian juga
kebudayaan Indonesia, berbeda dengan kebudayaan Jepang, Korea, Eropa atau India.
Di dalam suatu kebudayaan mengandung unsur-unsur seperti ilmu pengetahuan,
kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-nilai (etika dan estetika). Agama dalam hal ini
merupakan salah satu unsur dari kebudayaan telah beroperasi dan berperan melalui
kebudayaan. Agama bersifat Illahi sebagai sistem kepercayaan terhadap adikodrati,
yang berkaitan dengan nilai, norma, kelembagaan dan simbol-simbol tertentu. Sehingga
agama sebagai pedoman bagi ketepatan kebudayaan, telah berfungsi untuk
menstrukturkan kebudayaan, dan beroperasi melalui sistem simbol pada tingkat
emosional, kognitif, subjektif dan individual. Keberadaan kebudayaan itu telah
didukung oleh manusia, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat terlepas dari
kebudayaan tersebut, karena budaya merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi
manusia,
Manusia adalah mahluk multidemensi, yang pada awalnya seperti halnya
mahluk yang lain memiliki jasmani dan kebutuhan biologis, tetapi untuk membedakan
manusia dengan mahluk lain adalah pada kebutuhan integratif, suatu kebutuhan yang
berkenaan dengan hakikat manusia sebagai mahluk berpikir, bermoral dan bercita-rasa,
mencakup etika-estetika dan seni. Kendatipun masih ada dua kebutuhan lainnya
sebagai penunjang kehidupan manusia yakni kebutuhan primer; adalah kebutuhan yang
bersumber pada aspek biologis berkaitan dengan kelangsungan hidup seperti sandang,
pangan, dan papan. Dan kebutuhan sekunder atau sosial; merupakan suatu kebutuhan
yang berkaitan dengan keterlibatan hidup orang lain.
Etika dalam hal ini merupakan nilai-nilai moral menyangkut agama terdiri dari
(a) kesediaan untuk bertanggung jawab, (b) kejujuran, (c) kemandirian moral, (d)
prinsip sikap baik-buruk (lihat Magnis Suseno; 1998). Sedangkan seni, desain,
teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan perwujudan dari kebudayaan. Secara
realitas karya seni / desain tidak lebih dari fenomena praktis kebutuhan manusia atau
sebagai proyeksi diri manusia dalam dimensi lain yang mencerminkan suatu sikap
budaya dari kelompok manusia dalam membangun lingkungannya. (Malvin Rader:
1990). Sikap budaya dalam hal ini merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia
untuk memberi makna kultural dan makna sosial terhadap setiap pemikiran dan
4
perbuatan manusia. Selain itu mampu memperkaya nilai-nilai dan khasanah peradapan
rohani di sekitarnya. Sedangkan keindahan merupakan ruh dari kesenian dan sebagai
sistem dalam kebudayaan dalam berkesenian yang berisi nilai- nilai, pedoman-
pedoman, gagasan vital serta kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian.
Manusia juga memiliki empat demensi yakni (1) dimensi pengalaman (2)
dimensi pikir, (3) dimensi rasa, (4) dimensi keyakinan. Semua dimensi tersebut
mengarahkan manusia menjadi manusia yang manusiawi dan manusia yang utuh. Jika
perkembangan dari salah satu aspek dimensi tidak seimbang maka akan menjadikan
manusia yang kurang manusiawi. Untuk menjadikan manusia yang utuh dan seimbang
diperlukan keseimbangan untuk mengembangkan dimensi-dimensi rohaninya.
Dimensi-dimensi tersebut digambarkan sebagai berikut:

FILSAFAT
AGAMA
(KEYAKINAN) (PIKIR)

SENI
(RASA) ILMU
(PENGALAMAN)

Karakteristik dari tiap-tiap dimensi adalah sebagai berikut :


 Agama bersifat trasendental, dasarnya kepercayaan, pengabdian penuh dan
takwa, ajarannya ’apa seharusnya’ (das sollen) , bertujuan meraih keselamatan,
harmoni, kedamaian, konsep berdasarkan filsafat masing-masing.
 Ilmu, bersifat nalar, logis, mempunyai sistem dan metode, bersumber pada
fakta, empiri (das sein) ’apa adanya’. Bertujuan untuk membuktikan kebenaran
secara khusus dan terbatas, serta mempunyai fungsi untuk deskripsi, prediksi
dan kontrol pada kenyataan empiris.
 Filsafat, bersifat nalar, logis, tidak ada metoda yang spekulatif, bertujuan untuk
mencapai kebenaran yang menyeluruh serta mendasar dalam sistem
konsepsional, berfungsi untuk kearifan hidup.

 Seni, menciptakan realita baru dari kenyataan empiris. Bentuknya ekspresi


realita baru secara sensoris dengan simbol dalam kebulatan dunia besar.

5
Berdasarkan apresiasi dari pengalaman manusia, serta mengandung das sollen
dan das sein.

Keempat karakter tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan dalam hal


cara kerja, sumber, wujud dan fungsi masing-masing dimensi. Pada mulanya keempat
dimensi pengetahuan tersebut tidak mempunyai batas yang jelas, namun dalam
perkembangannya batas-batas tersebut semakin jelas dan berkembang menjadi
spesialisasi. Di bidang ilmu terdapat tiga penggolongan besar yakni ilmu alam, ilmu
sosial, dan humaniora. Saat ini penggolongan tersebut kurang lebih berkembang sampai
700 disiplin ilmu.
Kesenian termasuk dalam bidang ilmu humaniora pada tiap-tiap
kebudayaan/bangsa mempunyai perbedaan perincian yang berkisar antara 9 sampai
dengan 10 ilmu antara lain; bahasa, sastra, sejarah, filsafat, dan seni. Bidang humaniora
ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang hakikat manusia. Khusus dalam hal
seni memberikan keindahan sebagai pengalaman tersendiri yang membedakan manusia
dengan mahluk lain yang tidak mampu menjadikan lebih bersifat manusia.

2.2.2 Hubungan antara Seni, Estetika dan Filsafat Seni.


Kata seni pada umumnya selalu dihubungkan dengan bentuk seni plastis atau
seni visual, walaupun sebenarnya kata seni telah mencakup berbagai cabang seni lain
seperti; seni sastra, seni musik, seni tari, seni drama dan seterusnya. Berdasarkan
penggolongan seni, cabang-cabang seni tersebut mempunyai kekhasan. Namun suatu
difinisi yang berlaku umum terhadap semua cabang seni ini akan menjadi titik tolak
yang baik. Dalam hal ini Schopenhauer pertama kali mengatakan bahwa semua cabang
seni bersumber pada kondisi seni musik, pernyataan itu sering disalah tafsirkan padahal
pemikiran Schopenhauer bertumpu pada kualitas abstrak dari seni musik. Alasannya di
dalam seni musik seniman menciptakan pesonanya secara langsung untuk peminatnya,
tanpa adanya campur tangan media komunikasi yang bisa digunakan untuk tujuan-
tujuan lain. Selanjutnya dikatakan bahwa seorang arsitek seharusnya mengekspresikan
dirinya dalam bentuk bangunan-bangunan yang mempunyai tujuan praktis dan seorang
penyair wajib menggunakan kata-kata yang berkaitan dengan percakapan sehari-hari.
Demikian halnya dengan seorang pelukis harus mampu mengungkapkan dirinya lewat
pembabaran dunia visual.

6
Menurut Schopenhauer hanya para komponis yang benar-benar bisa bebas
mencipta karya seni lepas dari kesadarannya sendiri, tidak mempunyai tujuan lain
kecuali agar dapat menyenangkan. Kendatipun semua seniman mempunyai tujuan yang
sama yakni menyenangkan publik. Sehingga seni secara sederhana didefinisikan
sebagai usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang meyenangkan dan bentuk-
bentuk tersebut dapat memberikan kepuasan rasa ’indah’. Terpenuhinya rasa indah
akan terjadi, jika seseorang pengamat dapat meresapi kesatuan atau harmoni dari tata
susunan bentuk.
Seni sebagai kegiatan budi pikiran seniman, secara mahir diciptakan sebagai
suatu karya yang mengekspresikan perasaan seniman. Hasil ciptaan itu merupakan
kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat ekspresif yang
termuat dalam suatu medium inderawi. Sebagai suatu kesatuan organis, karya seni
terdiri dari beberapa unsur ekspresif dalam suatu bentuk tertentu. Setiap bagian atau
unsurnya tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan organis ( catatan :
sedangkan kesatuan dari unsur-unsur mekanis adalah unsur-unsur yang tersusun dari
luar dan tidak saling berhubungan, sehingga masing-masing unsur dapat saling bertukar
tempat dengan tanpa merusak kesatuan dalam suatu komposisi.)
. Estetika, secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu cabang filsafat
yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah yang terdapat pada
alam maupun seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Penggunaan
istilah estetika berbeda dengan filsafat keindahan, karena estetika semata-mata tidak
lagi menjadi permasalahan di dalam ilmu filsafat. Estetika memuat bahasan ilmiah
yang berkaitan dengan karya seni, sehingga estetika termasuk lingkup bahasan ilmiah,
yang mencakup tentang keindahan dalam seni, pengalaman seni, gaya atau aliran seni,
dan perkembangan seni.
Masalah-masalah yang diketengahkan dalam kajian estetika menurut George
T.Dickie adalah pertama, pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau
menilai karya-karya seni yang khas. Kedua, pernyataan yang bersifat umum oleh para
ahli sastra, musik atau seni visual untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik,
missal tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak dst . Ketiga, ada pertanyaan tentang
keindahan seni imitasi.
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
struktur dan peran dari keindahan, khususnya dalam seni. Sehingga muncul teori-teori
tentang seni, teori tentang keindahan, serta hal-hal yang menjelaskan tentang arti
7
keindahan, keindahan subjektif dan objektif serta masalah peran keindahan dalam
kehidupan manusia. Pada intinya persoalan pokok estetika meliputi empat hal yakni (1)
nilai estetika (esthetic value); (2) pengalaman estetis (esthetic experience) ; (3) Prilaku
pencipta /seniman; dan (4) seni/ karya seni.
Selain pembagian estetika yang berkaitan dengan esensi dan pokok
permasalahan, menurut ruang lingkupnya estetika dibagi menjadi dua bagian, pertama
estetika falsafahi, terdiri dari : pertama, filsafsat keindahan, teori seni indah dan filsafat
kritik; kedua, estetika ilmiah yang meliputi: ilmu seni, psikologi seni, sosiologi seni,
antropologi seni, semiologi seni, sejarah seni dan filsafat seni.
Filsafat seni merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa
mempermasalahkan seni atau keindahan dalam karya seni. Filsafat seni berhubungan
dengan teori penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni (Lucius Garvin). Filsafat
seni bagi Joseph Brennan, merupakan telaah mengenai asas-asas umum penciptaan dan
apresiasi seni. John Hosper memandang filsafat seni lebih sempit dari pada estetika,
alasannya filsafat meliputi konsep-konsep seni dan persoalan-persoalan yang timbul
dalam karya seni. Berkaitan dengan pendapat dari para ahli tersebut, Thomas Munro
merinci berbagai persoalan yang berkaitan dengan filsafat seni atau estetika modern
sebagai berikut :
(1) Penggolongan sistematika seni
(2) Morfologi estetis; telaah deskriptif tentang bentuk seni dan gaya dalam berbagai
seni.
(3) Teori sejarah seni: berkaitan dengan adanya kecenderungan utama, pola-pola,
pengaruh-pengaruh, sebab akibat, dan gaya-gaya dalam seni yang berhubungan
dengan factor budaya.
(4) Sosiologi seni; menjelaskan kausal antara karya seni dengan kondisi social
budaya masyarakat atau sebaliknya.
(5) Semiologi seni; membahas tentang masalah-masalah bahasa seni berupa tanda,
symbol, serta konsep-konsep dalam seni.
(6) Ragam dan gaya seni, membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan
sifat dasar manusia, pribadi dan social.
(7) Pengetahuan tentang jenis akibat yang cenderung memperngaruhi manusia
dalam berbagai kondisi..
Pembagian filsafat berdasarkan karakteristik filosofis adalah; spekulatif,
mendasar, menyeluruh dan logis. Bentuk ajarannya adalah sistemik konsepsional.
8
Berikut ini disajikan dua penggolongan yaitu penggolongan berdasarkan subjek dan
penggolongan bersadarkan objek antara lain sebagai berikut :
Penggolongan Filsafat Berdasarkan Subjek :

ONTOLOGIA : MANUSIA
ADA THEOLOGIA : TUHAN
COSMOLOGIA: ALAM

LOGIKA
PENGETAHUAN ANTROPOLOGIA

ETIKA
PENILAIAN ESTETIKA

Penggolongan Filsafat Berdasarkan Objek;

ADA

UMUM
KHUSUS

MUTLAK
TIDAK MUTLAK

ALAM MANUSIA

MANUSIA :ANTROPOLOGIA
ONTOLOGIA : MANUSIA AKAL : LOGIKA
THELOGIA : TUHAN TINGKAH LAKU :ETIKA
COSMOLOGIA : ALAM KEINDAHAN :ESTETIKA

(Model dikutip dari Sumardjo, 2000)

2.2.3 Hubungan antara Tiga Aspek dalam Seni: Karya Seni, Seniman, dan Publik
Seni

9
Lingkup kajian dalam filsafat keindahan ini terdiri dari tiga kenyataan; pertama,
objek seni atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seni; kedua, pendapat
(pandangan) tentang seni dan; ketiga, adalah fakta. Kenyataan pertama berupa objek
seni yang meliputi karya seni; aktivitas penciptaan/seniman dan pengamat atau publik
seni. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
(1). Karya / benda seni
Karya atau benda seni ini terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk dalam hal ini
mempunyai pengertian suatu kesatuan organis yang terdiri dari unsur-unsur seni, yang
memiliki nilai ekspresi atau nilai ungkap. Unsur-unsur tersebut terdiri dari representasi,
kualitas keinderaan (sensasi) dan konotasi. Representasi merupakan perwujudan
ekspresi, yang mengandung sensasi /sensori (suara, warna, bentuk, tekstur, ruang,
cahaya, dst). Sensori ini merupakan kualitas keinderaan/ kepekaan terhadap rangsangan
yang menciptakan suasana perasaan misal, rasa segar, senang, bahagia, sedih dst. Di
sisi lain wujud tidak hanya dipahami secara tuntas sebagai wujud, tetapi ada sisa sesuatu
yang tidak bisa tertangkap indera yakni isi atau makna. Dalam hal ini untuk
memperoleh makna/ isi,perlu melakukan konotasi terhadap karya/ benda seni dengan
cara mengkaitkan antara unsur, prinsip dan lingkup budaya. Bentuk dan isi dalam suatu
karya seni merupakan satu kesatuan. Bentuk lebih menekankan pada munculnya
kesatuan di antara unsur-unsurnya dalam bentuk organis. Sedangkan isi adalah unsur-
unsur yang membentuk struktur dalam ’kesatuan arti’ atau makna. Karya seni bisa
diterima oleh penikmat atau publik seni, jika nilai-nilai yang terdapat karya seni
tersebut juga bisa diterima oleh publik pengamat seni. Dengan demikian maka akan
terjadi komunikasi seni. Komunikasi akan terjadi jika publik/ pengamat seni
mempunyai pengalaman seni atau pengalaman estetik.
Karya seni terwujud berdasarkan medium tertentu, yakni; (1) medium
pendengaran (audio) menghasilkan seni audio; seni sastra, dan musik (2) Medium
penglihatan (visual) menghasilkan seni visual (seni rupa): seni patung, seni lukis,
arsitektur dst. (3) gabungan keduanya, akan melahirkan bidang seni audio visual : seni
tari, seni teater, seni film dst. Aspek tinjauan seni sebagai benda atau karya seni
(artefak) menyangkut masalah:
 Nilai seni ( nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai hidup)
 Material seni

10
 Bentuk dan isi seni (imajinasi, metafora, simbol, mimesis, ekspresi, subjek
matter dan tema.)
 Makna seni

(2) Seniman/ Aktivitas Penciptaan ;


Sebagai pemilik ide, seniman memiliki sejumlah nilai-nilai intraestetik maupun
ekstraestetik, yang kemudian diekspresikan dalam sebuah wujud atau benda/karya seni.
Berkaitan aktivitas penciptaan ini seni identik dengan ekspresi, artinya seni merupakan
penjelmaan bentuk-bentuk ekspresi dari nilai- nilai kemanusiaan yang bersifat
individual maupun sosial. Aspek seniman dalam seni menyangkut masalah kreativitas
dan ekspresi yang berkaitan dalam penciptaan karya seni antara lain : tujuan
karakteristik seni, keunikan, orsinalitas, keontentikan karya seni, dan gaya (style). Teori
ekspresi seni yang mengacu dari seniman (lihat Leo Tolstoi) seni adalah ekspresi atau
ungkapan perasaan seniman akibat pengalaman hidupnya yang bertujuan bukan untuk
kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan umum.
(3) Publik Seni / Pengamat Seni :
Masyarakat yang mempunyai karakteristik dan kemampuan untuk membaca
dan menerima suatu produk seni tergolong dalam publik atau pengamat seni. Sehingga
tidak semua masyarakat adalah pengamat/ publik seni ini. Penemuan nilai seni dan
munculnya pengalaman seni dalam pengamat/ public seni merupakan peristiwa penting
dalam lahirnya fenomena seni. Pandangan ini muncul ketika ada permasalahan filosofis
tentang : komunikasi seni, relasi seni, wacana seni, pendidikan seni, interpertasi seni,
evaluasi seni dan selera seni ( lihat Yokop Sumardjo: 1995). Sehingga untuk
mengetahui persoalan karakter masyarakat dalam public seni diperlukan peran serta
bidang kajian sosiologi, psikologi dan antrophologi seni.
(4) Nilai Seni:
Benedetto Croce, seorang filusuf seni mengatakan bahwa seni pada karya atau
suatu benda itu tidak pernah ada, sebab seni itu ada di dalam jiwa pengamatnya. (seni
identik dengan keindahan). Bagi Benedetto, nilai merupakan masalah yang mendasar
yang terdapat dalam bidang etika (kebaikan), kebenaran (logika) dan estetika
(keindahan), di samping terdapat pula pada peristiwa perasaan yang lain seperti
keadilan, kebahagiaan, kegembiraan, kegelisahan dan seterusnya ( lihat Yakop
Sumardjo: 1995). Semuanya menyangkut tentang subjektivitas dan objektivitas, juga
sekaligus menyangkut hal-hal khusus dan universal, budaya kontekstual dan esensi

11
universal. Keindahan yang menyangkut seni, mengandung nilai-nilai universal dan
sekaligus juga kontekstual budaya.
(5) Pengalaman Seni.
Pengalaman seni ini diperlukan dalam berkomunikasi seni yakni
mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas perasaan,dan kualitas medium seni itu sendiri.
Dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi diperlukan pengalaman yang melibatkan
kegiatan penginderaan, nalar, emosi dan intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam
suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Ada suatu pendapat yang mengatakan
bahwa hakikat seni terletak pada pengalaman seni bukan pada ilmu dan filsafat seni.
Sedangkan analisis pengalaman seni meliputi pengalaman artistik, empati, jarak estetis
dan unsur-unsur serta struktur pengalaman seni.
Hakikat seni kontekstual tidak dapat dipisahkan dari; ideology, sosial, masalah
infrastruktur, struktur perkembangan sejarah seni, tradisi seni, akulturasi budaya,
masalah seni, elit budaya, seni popular, seni rakyat, seni massa, seni elit istana, seni
modern dan seni postmodern. Secara keseluruhan rangkaian dalam pembicaraan ini
adalah topik permasalahan dalam estetika ataupun filsafat seni. Permasalahan yang
masih panjang diperdebatkan adalah masalah ekspresi seni dalam sepanjang sejarah
seni. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pemikir besar Yunani kuno, Plato dan
Aristoteles telah meletakan dasar-dasar persoalan filosofis seni sampai sekarang.
Berikut bagan eksistensi seni hubungan antara empat aspek dalam seni yakni
karya seni, seniman, publik seni dan konteks seni, seperti yang telah dijelaskan di atas.

NILAI-NILAI SENI

SENIMAN KARYA SENI PUBLIK SENI


TEORI EKSPRESI TEORI FORMALIS TEORI RELASI

PENGALAMAN SENI

KONTEKS SENI

12
Aspek Konteks seni menyangkut persoalan nilai-nilai dasar dalam suatu masyarakat.
(6) Konteks Seni
Hakikat seni pada konteks : Seni merupakan konsep yang mendapat
kesepakatan dari masyarakat sejamannya. Hakikat seni dapat ditelusur dari berbagai
institusi seni maupun institusi yang bukan seni yang ada dalam masyarakat yang
bersangkutan.

3。TUGAS / LATIHAN :

Membaca dan membuat resume ; hasil resume didiskusikan secara berkelompok.


Diskusikan dengan anggota kelompok saudara tentang ruang lingkup, aliran dan
hubungan anatara estetika dan seni.
 Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja
(paparan) untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.

Nilai Karya Seni


1. Tujuan Perkuliahan
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
pengertian, fungsi, dan jenis nilai serta dapat menjelaskan nilai karya seni yang meliputi nilai
intrinsik, ekstrinsik, dan instrumental.

2. Materi Perkuliahan
2.1. Nilai : Pengertian, Fungsi, dan Jenis- Jenisnya
Nilai, baik sebagai sebuah kata maupun sebagai suatu istilah sudah sering dikenal,
didengar, bahkan sering diucapkan. Namun demikian sangat dimungkinkan masih cukup
banyak orang yang belum mengetahui secara lebih mendalam apa arti, fungsi, makna, atau
jenis-jenis nilai. Acapkali kata atau istilah nilai dipakai begitu saja tanpa mempersoalkan tepat
atau tidak penggunaannya. Nilai, baik sebagai kata atau istilah memiliki pengertian, makna,dan
fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula jenis-jenis
nilai juga cukup banyak sejalan dengan bidang-bidang kehidupan yang ada di dalam
masyarakat; tak terkecuali dalam bidang kehidupan seni. Artinya semakin kompleks bidang
kehidupan masyarakat semakin kompleks kemunculan sebuah nilai.
Kata atau istilah nilai, sesungguhnya, bukan sesuatu yang bersifat kuantitatif atau
menunjuk pada sesuatu yang bersifat konkret, melainkan menunjuk pada sesuatu yang bersifat
kualitatif dan abstrak. Nilai dalam bahasan ini bukan score atau biji, yang berfungsi sebagai
angka yang menandai prestasi seseorang seperti yang tertera dalam raport atau laporan hasil

13
belajar. Melainkan harga atau sifat-sifat/ hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia ( Lihat
KBBI; 1996: 690 ). Dari sisi filsafat The Liang Gie menjelaskan bahwa istilah nilai sering
dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Selanjutnya ia mengatakan bahwa nilai atau value adalah kemampuan yang
dipercayakan pada sesuatu benda untuk memuaskan keinginan manusia, dan penyebab
ketertarikan minat seseorang atau suatu golongan terhadap benda tersebut. Nilai dalam hal ini
mempunyai makna suatu realitas psikologis karena sebagai penetu nilai adalah jiwa manusia
bukan bendanya.
Sesuai dengan penjelasan tersebut terlihat bahwa nilai merupakan sesuatu yang bersifat
abstrak dan menunjuk pada suatu kualitas tertertu dari suatu objek yang menarik minat atau
perhatian. Minat dan perhatian itu muncul karena ada sesuatu yang berkualitas pada suatu
objek dan berharga bagi diri seseorang. Pada gilirannya akan menimbulkan daya tarik dan
mendorong untuk bersikap dan bertindak untuk dapat memperoleh atau menggunakannya.
Suatu kualitas objek yang dianggap berharga bagi seseorang menandakan bahwa objek itu
memiliki nilai dan suatu yang bernilai acapkali menimbulkan makna tertentu. Suatu nilai,
selain berharga juga mempunyai potensi untuk menimbulkan makna dengan lain kata, makna
merupakan implikasi lebih lanjut dari persepsi suatu keberhargaan. Setiap benda yang
berharga memiliki sebuah makna bagi seseorang. Misal, rokok, kendati tidak menyehatkan,
tetapi bagi sebagian besar orang menjadi salah satu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan.
Karena ada suatu nilai yang melekat pada rokok yaitu kualitas tertentu sangat berharga yang
dirasakan sebagian orang untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika rokok sangat bermakna bagi mereka yang membutuhkan. Banyak
fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rokok dapat mendorong seseorang untuk bersikap dan
bertindak untuk mengupayakan dengan berbagai cara agar ia dapat memperoleh, memiliki,
dan menikmatinya.
Contoh sederhana tersebut menyiratkan pengertian bahwa nilai merupakan sesuatu
yang dapat mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, atau gaya hidup seseorang atau
sekelompok orang, bahkan masyarakat. Dalam hal demikian, nilai memiliki fungsi
sebagai variabel bebas yang berpengaruh dalam membentuk pikiran, sikap, tindakan,
atau gaya hidup. Dengan kata lain nilai dapat berfungsi sebagai dasar, acuan, rujukan,
pedoman bagi para pemiliknya untuk menentukan arah berpikir, bersikap, dan berbuat
dalam melakukan sesuatu. Fungsi ini menunjukkan bahwa nilai merupakan sumber
dasar pembentukan pola berpikir, pola bertindak, dan pola atau gaya hidup. Tegasnya
dengan nilai, suatu kebudayaan dapat hidup dan berkembang.
Kebutuhan hidup manusia sangat beragam, kompleks, dan bertingkat-tingkat atau
berjenjang sehingga jenis nilai juga sangat kompleks dan beragam (lihat : Piddington

14
dalam Suparlan, 1985). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain faktor
lingkungan alam, sosial, budaya, dan teknologi variabel ruang dan waktu, juga sangat
ikut menentukan jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan hidup. Dilihat dari
pandangan filsafat ada empat macam jenis nilai, yaitu nilai logika (kebenaran), nilai
etika (kebaikan), nilai keindahan (estetika) dan nilai kekudusan (agama). Masing-
masing jenis nilai ini tentu memiliki batasan wilayah dan sifat yang berbeda. Namun
tetap memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi dasar, acuan, rujukan atau pedoman
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang relevan sesuai dengan bidangnya (lihat : The
Liang Gie 2005 : 112). Selanjutnya dari wawasan sosial-budaya Gie, juga
mengetengahkan jenis nilai, antara lain nilai yang berkenaan dengan : kepercayaan,
pengetahuan, moral, ekonomi, politik, hukum, komunikasi, pendidikan, kesehatan,
keamanan, kekerabatan, perkawinan, dan teknologi. Masing-masing jenis nilai ini ada
dan dibutuhkan untuk mengatur atau mengendalikan cara-cara berpikir, bersikap,
bertindak dalam rangka memenuhi dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat yang amat kompleks itu. Tanpa adanya nilai maka kehidupan manusia
tidak akan menjadi tertib atau teratur, liar, tidak berkembang sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Tegasnya, tanpa nilai kehidupan manusia tidak berbeda dengan
kehidupan mahluk lain atau binatang.
2. 2. Nilai dalam Karya Seni
Jika dikatakan bahwa kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan
(Koentjaraningrat 1984) maka karya seni adalah produk atau hasil salah satu kreativitas
kebudayaan di samping hasil-hasil kreativitas kebudayaan yang lainnya.. Berbeda
dengan hasil kreativitas kebudayaan lainnya, karya seni memiliki ciri tersendiri yaitu
perwujudannya senantiasa dikemas melalui pertimbangan-pertimbangan atau kaidah-
kaidah estetis. Penggunaan kaidah-kaidah estetis inilah yang menyebabkan
perwujudan seni memiliki citarasa keindahan. Karena itu tidaklah mengherankan jika
secara umum orang mengatakan bahwa seni senantiasa identik dengan keindahan atau
seni adalah perwujudan perasaan akan keindahan itu sendiri. Menurut Bahtiar (1982)
karya seni merupakan salah satu jenis simbol yang masuk dalam kategori simbol
ekspresif yakni simbol pengungkapan perasaan yang, tentu saja, perwujudannya
dikemas melalui bentuk-bentuk estetis.
Sebagai salah satu hasil kreativitas kebudayaan maka karya seni tentu memiliki nilai
tersendiri yang berbeda dengan nilai hasil-hasil kebudayaan yang lainnya. Dalam
wawasan kebudayaan karya seni dilihat sebagai suatu perwujudan manusia dalam
15
upaya mengungkapkan perasaan akan keindahan yang dipedomani atau dipengaruhi
oleh nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan yang menyelimutinya (lihat Melalatoa
1992; Koentjaraningrat 1987). Oleh karena itu nilai karya seni bukan hanya sekadar
perwujudan benda fisik yang berkeindahan tertentu yang lepas dari aspek-aspek lain
yang mempengaruhinya.
Secara sederhana, dengan menggunakan perspektif filsafat, nilai karya seni dapat
dikategorikan dalam tiga jenis nilai, yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai
instrumental (lihat : The Liang Gie 2005; ). Berdasarkan perspektif ini uraian berikut
di bawah ini akan menjelaskannya lebih lanjut.
2. 2.1. Nilai Intrinsik
Kata intrinsik artinya adalah yang terkandung di dalamnya (Depdikbud 1989 :
37). Dari arti kata ini kata intrinsik menunjuk pada sesuatu yang ada pada atau dalam
suatu objek. Pada karya seni, dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai intrinsik
adalah kualitas atau sifat yang memiliki harga tertentu itu terletak pada bentuk fisiknya.
Dengan kata lain nilai intrisik karya seni adalah nilai perbentukan fisik dari suatu
karya, yaitu kualitas atau sifat dari perbentukan fisik itu yang menimbulkan rasa atau
kesan indah. Menurut Anwar (1985 : 76-77) suatu perbentukan fisik karya seni yang
menimbulkan rasa indah dianggap memiliki nilai normal karena ia memperlihatkan
fungsi-fungsi psikologis dan sosiologis yang bersangkutan dengan terbentuknya
keselarasan (harmoni). Sebaliknya, karya seni mempunyai nilai negatif,abnormal,
jelek, bila gagal memenuhi salah satu fungsinya yakni memperlihatkan arah yang
menimbulkan rasa atau kesan tidak indah atau bertentangan dengan tujuannya.
Pada musik, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur nada, melodi,
irama, dan harmoni. Pada tari, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur gerak
dan pola lantai(wiraga) irama (wirama), pengungkapan atau ekspresinya (wirasa),
dan, bahkan mungkin terletak pada penampilan pakaian atau busananya (wirupa).
Sedangkan pada karya seni rupa nilai intrinsiknya terletak pada struktur dan bentuknya.
Dalam karya seni rupa yang dimaksud dengan struktur adalah susunan atas
serangkaian unsur-unsur rupa (visual) yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur rupa
atau visual itu antara lain adalah garis, bidang, warna, gelap terang, ruang, dan tekstur.
Garis sebagai salah satu unsur rupa bisa diartikan sebagai : tanda atau markah
yang membekas pada suatu permukaan dan memiliki arah (dalam hal ini bisa berupa
grafis yang konkret yang terbentuk oleh suatu goresan yang membetuk irama), batas
suatu bidang/permukaan, dan sifat atau kualitas yang melekat pada objek yang
16
memanjang (Sunaryo 2000:7; lihat juga : Kartika 2004 : 40-41; Wong 1986 : 5).
Djelantik (2000:19) mengemukakan bahwa terbentuknya garis dapat menimbulkan
kesan tertentu pada pengamat, missal garis kencang berkesan keras, keras, sementara
itu garis yang membelok atau melengkung berkesan luwes, lemah gemulai.
Menurut beberapa pendapat ahli (Sunaryo 2000, Kartika 2004; Wong 1986;)
bahwa unsur-unsur rupa seperti : bidang, ruang, warna, dan tekstur dijelaskan konsep
atau pengertiannya sebagai berikut. Bidang sebagai unsur rupa dapat dipahami sebagai
sesuatu yang pipih, terbentuk oleh dua buah ujung garis yang bertemu pada satu titik.
Ia bersifat datas karena tidak memiliki massa/volume. Ruang dsapat dipahami setelah
ada sosok atau bentuk yang mengisinya atau unsur yang mengikutinya. Ruang
mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Dalam seni rupa dua
dimensi, kesan ruang diciptakan oleh ilusi yang dibuat dengan pengolahan garis dan
dibantu oleh warna sebagai unsur penunjang yang mampu menciptakan ilusi sinar atau
bayangan yang meliputi gelap dan terang sehingga memiliki kesan tiga dimensi. Warna
merupakan kualitas rupa yang membedakan kedua objek atau bentuk yang identik
dengan raut, ukuran, dan gelap terangnya. Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan
suatu benda. Ia dapat halus, kasar, polos, licin, mengkilap, berkerut, lunak, keras dan
lain sebagainya. Tekstur terdiri atas tekstur visual dan tekstur taktil. Yang pertama
dicerap me;lalui penglihatan yang kedua dirasakan dengan melihat dan rabaan tangan.
Tekstur taktil dapat berupa tekstur nyata dan tekstur semu.
Struktur atau susunan unsur-unsur tersebut jika ditata atau dikomposisikan
sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah-kaidah estetis yang acapkali dikenal
dengan istilah prinsip kesatuan, irama, keseimbangan, proporsi, dominasi, variasi, dan
harmoni akan menentukan kualitas keindahan fisik suatu karya seni rupa (Lihat The
Liang Gie. 2005; Djelantik 2004; Sunaryo 2000; Kartika 2004; Wong 1`986). Dngan
kata lain dapat ditegaskan bahwa nilai intrinsik karya seni rupa dapat dilihat dari
bagaimana kaidah-kaidah estetis itu digunakan dalam penataan susunan unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya.
2. 2.2. Nilai Ekstrinsik
Berlawanan arti dengan kata atau istilah intrinsik di atas, kata atau istilah
eksrinsik berarti sesuatu yang berada di luar atau di balik suatu objek atau benda. Dalam
kamus kata ekstrinsik berarti berasal dari luar atau tidak merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sesuatu (Depdikbud 1989 : 223). Merujuk pengertian ini maka yang
dimaksud dengan nilai ekstrinsik ialah kualitas atau harga yang berada di luar atau di
17
balik suatu perwujudan fisik. Kualitas atau harga ini merupakan sesuatu yang tidak
konkret yakni berupa pengertian, makna, pesan, dan ajaran atau informasi lainnya
yang berharga. Nilai yang demikian ini dapat pula disebut dengan nilai simbolis, artinya
dalam posisi ini karya seni adalah sebagai simbol yang memiliki makna, pesan, atau
harapan-harapan di luar bentuk fisiknya itu.
Dalam kenyataan, banyak sekali dijumpai karya seni yang hadir tidak hanya
sekadar menciptakan bentuk fisik yang bernilai estetis semata melainkan juga
membawa pesan-pesan, harapan-harapan, atau muatan-muatan makna di luar bentuk
estetisnya itu.
Sebagai contoh, misalnya karya-karya pelukis Indonesia di zaman pra-
kemerdekaan yang menggelorakan semangat perjuangan atau nasionalisme melalui
bentuk-bentuk fisik dengan tema-tema tertentu seperti tema perjuangan, penindasan,
penderitaan, dan lain sebagainya akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Demikian pula
pada zaman pasca kemerdekaan hingga pada era modern sekarang banyak dijumpai
karya-karya seni rupa yang selain menampilkan bentuk-bentuk fisik estetis yang kreatif
juga membawa pesan, harapan, muatan-muatan makna tertentu di luar bentuk fisiknya.
Pada karya-karya instalasi misalnya, seniman bukan hanya sekadar menciptakan
bentuk-bentuk kreatif yang unik, menarik, dan bahkan terasa absurd, tetapi lebih dari
itu mereka ingin menyampaikan sesuatu di balik karya nya. Dengan kata lain karya
tersebut berfungsi sebagai simbol dari apa yang sejatinya dirasakan atau diinginkan.

2. 2.3. Nilai Instrumental


Kata instrumental merupakan kata sifat dari kata instrumen yang berarti alat
atau peralatan. Pengertian kata alat atau peralatan adalah segala benda atau barang yang
dapat digunakan sebagai sarana mermbantu atau melakukan suatu tugas untuk
mengerjakan kepentingan tertentu (lihat : Dedikbud 1996 : 382). Sebagai contoh, alat-
alat musik adalah benda atau barang-barang yang memiliki tugas untuk memunculkan
nada-nada tertentu bila dimainkan atau digunakan. Peralatan musik tersebut selain
secara visual memiliki nilai bentuk atau struktur tertentu juga memiliki nilai
instrumental sebagai benda atau barang yang berfungsi untuk memunculkan nada-nada
tertentu jika dimainkan. Oleh karena itu, tidak akan ada arti atau harganya jika suatu
alat musik tertentu meskipun secara visual memiliki nilai fisik atau bentuk yang indah
tetapi tidak dapat digunakan atau dimainkan dengan baik dalam upaya menghasilkan
nada-nada tertentu yang diinginkan dalam suatu permainan musik.
18
Dalam konteks seni rupa, suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai
instrumental jika karya tersebut secara fisik dapat digunakan untuk melakukan tugas
dalam rangka memenuhi suatu keperluan tertentu. Banyak contoh yang dapat
dikemukan untuk menunjukkan hal tersebut. Peralatan musik sebagaimana disebutkan
di atas, alat guitar misalnya, secara visual atau fisik merupakan hasil karya seni rupa
yang memiliki nilai keindahan struktur dan bentuk tersendiri (nilai intrinsiknya).
Namun demikian hal itu belumlah cukup jika guitar itu tidak dapat digunakan
atau dimainkan secara baik sebagai alat untuk bermain musik. Dengan demikian nilai
instrumental guitar bukan hanya terletak pada nilai keindahan bentuknya saja tetapi
lebih dari itu justru terletak pada fungsi alat itu ketika dimainkan yaitu apakah
memenuhi keperluan yang diinginkan atau tidak. Contoh lain bisa ditunjukkan pada
karya-karya seni perabot atau peralatan rumah tangga (mebeler). Suatu karya mebeler
kursi atau meja misalnya, nilai instrumentalnya terletak pada tingkat kenyamanan
barang tersebut ketika digunakan. Artinya meskipun secara visual mebeler tersebut
desainnya bagus akan tetapi ketika digunakan tidak memenuhi kenyamanan fungsinya,
sebagai tempat duduk atau menulis, maka nilai instrumentalnya menjadi rendah.
Termasuk dalam kategori nilai instrumental ini adalah karya-karya seni rupa yang
memiliki fungsi fisik sebagai tempat atau konstruksi.
Dalam karya-karya arsitektur, bangunan atau unsur bangunan misalnya,
dikatakan memiliki nilai instrumental jika secara fisik bangunan atau unsur bangunan
tertentu memenuhi fungsinya sebagai tempat yang nyaman dan memenuhi fungsi
konstruksinya .yang menjamin keamanan penggunanya. Secara khusus, misalnya,
unsur bangunan berupa tiang dengan berbagai bentuknya yang indah secara visual akan
kehilangan nilai instrumentalnya jika tidak mampu memenuhi fungsinya dalam
menopang atau menyangga suatu balok di atasnya secara maksimal. Dalam sejarah seni
rupa Yunani atau Romawi kuno, dapat dilihat karya-karya seni tiang bangunan dengan
bentuk kapitelnya yang sangat indah dan menarik namun secara konstruktif tetap kuat
menopang balok yang berada di atasnya.
Contoh-contoh lain nilai instrumental karya seni rupa dapat ditunjukkan pada
hasil karya desain peralatan elektronika, misalnya berbagai bentuk kamera, telepon
seluler (hand-phone), dan komputer (note book). Alat atau instrumen tersebut sekarang
ini mengalami perkembangan yang luar biasa dari segi desain bentuk, ukuran, dan
kegunaannya. Barang-barang tersebut selain desain bentuknya bagus, ukurannya yang
bersifat portable, juga semakin canggih kegunaannya dalam memenuhi tuntutan
19
kebutuhan pemakainya yang menghendaki kepraktisan, kemudahan, dan kenyamanan
penggunaannya. Semakin praktis, mudah, dan nyaman penggunaan alat-alat tersebut
semakin tinggi nilai instrumentalnya.
Dalam pengertian yang lebih luas, nilai instrumental karya seni bukan hanya
yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik teknis sebagaimana dijelaskan di atas.
Ada kalanya, nilai instrumental karya seni ini dimaknai secara abstrak sebagai media
atau sarana untuk menyampaikan suatu misi atau pesan tertentu. Sebagai contoh,
misalnya karya seni poster, baliho, patung, atau lukisan dapat dianggap memiliki nilai
instrumental ketika karya seni tersebut dipakai sebagai media atau sarana untuk
menyampaikan pesan-pesan atau misi tertentu kepada khalayak baik yang bersiafat
komersial atau non-komersial. Itu sebabnya ada kalanya dapat dijumpai karya seni
(rupa) yang difungsikan sebagai media atau sarana promosi, persuasi, atau edukasi.

3. Tugas
 Diskusikan dengan anggota kelompok Saudara tentang jenis-jenis dan makna
nilai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Saudara. Masih dalam
kelompok diskusi Saudara, amati dan identifikasi beberapa jenis karya seni
rupa dilihat dari nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumentalnya.
 Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja (paparan)
untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.

20
ESTETIKA KLASIK DOGMATIS

1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika klasik-dogmatis yang meliputi konsep estetika platonisme dan konsep
estetika neo-platonisme.

2. Materi Perkuliahaan

2.1 Estetika Platonisme


Ada dua tokoh filsuf penting yang perlu dikemukakan dalam kelompok faham
estetika platonisme, yaitu Plato dan Aristatoles.Uraian penjelasan singkat mengenai
pemikiran dua tokoh filsuf tersebut dibahas dalam paparan di bawah ini sebagai berikut.

2.1.1 Plato
Dalam tulisan Sahman (1993) dijelaskan beberapa pemikiran tentang pemikian
Plato mengenai hakikat keindahan. Pandangan Plato mengenai konsep keindahan
dikembangkan berdasarkan teori atau konsep tentang idea atau eidos. Plato berpendapat
bahwa keindahan sebagai konsep idea memiliki esksistensinya sendiri terlepas dari
eksistensi yang lain. Eksistensi idea bersifat transendental dan berada pada alam
spiritual yang serba sempurna. Dunia idea merupakan kenyataan yang sesungguhnya
yang paling sempurna dan menjadi contoh atau model yang abadi dan dilihat sebagai
landasan untuk membuat kenyataan yang bersifat fisik. Kenyataan-kenyataan fisik yang
bersifat alamiah bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Eksistensi dari kenyataan
fisik atau alamiah hakikatnya adalah kenyataan semu atau tiruan dari kenyataan idea.
Dalam kaitan dengan seni, keindahan yang muncul bersifat semu atau tiruan dari
keindahan yang ada di dunia idea. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keindahan
seni adalah imitasi yang bersifat mimesis (meniru) dari keindahan sesungguhnya yang
berada di dunia idea.
Dengan menganggap bahwa seni pada hakikatnya adalah imitasi atau mimesis
dari dunia idea, Plato ingin menunjukkan bahwa keindahan seni memiliki kedudukan
atau derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan keindahan idea. Dikatakan
demikian karena keindahan seni yang muncul bersifat semu atau hanyalah merupakan

21
tiruan yang, tentu saja, tidak akan pernah memiliki kesempurnaan. Dengan kata lain
bagi Plato, seni sebaiknya tidak meingimitasi apa pun yang ada di sekitar kita sebagai
sesuatu yang pernah ditahui atau dikenal sebelumnya. Seni yang baik, dengan
demikian, mempersyaratkan adanya peran inspirasi dalam arti menyatu dengan
keindahan idea (a communion with the idea of beauty). Pandangan ini menyiratkan
bahwa sesungguhnya Plato tidak menyukai seni apa pun yang bersifat imitatif. Eidos
(idea keindahan) menjadi kata kunci yang harus dijadikan sebagai acuan dalam
membuat karya seni. Jika keindahan idea yang diacu, maka karya yang dibuat akan
berpartisipasi di dalam eidos, artinya akan ikut menjadi indah karena mendapat aliran
atau emanasi eidos keindahan itu.
Untuk mencapai eidos, bisa dilakukan melalui nous (arti harafiahnya adalah
intelegensi atau kemampuan menalari secara dialektis). Sebelum memasuki dunia yang
tidak sempurna, nous sempat melihat eidos. Eidos tertanam dalam jiwa atau nous (yang
dimaksud jiwa pranatal, jiwa yang belum diturunkan ke dunia menyatu dengan raga)
untuk selama-lamanya, dan dapat dikenali dengan anamnesis (pengenalan kembali).
Lewat communion with the idea of beauty seniman akan mengamnanesis eidos. Namun
produk anamnesis ini tidak pernah akan sesempurna eidos itu sendiri, apalagi setelah
jiwa atau nous itu terikat pada raga (jiwa pascanatal).Keterikatan kepada raga
menjadikan jiwa tak mampu lagi melihat eidos dalam kadarnya yang paling murni.
Menjangkau eidos memang tidaklah mudah. Untuk ke situ setidaknya perlu empat
tangga yang harus dilalui, yakni : keindahan ragawi, keindahan rukhaniah, keindahan
intelektual, dan keindahan mutlak.
Orang yang pernah mengenali atau bersatu dengan idea keindahan akan
mendapatkan imortalitas. Di samping itu, jiwanya akan menjadi kreatif. Jiwanya akan
sarat dengan ide-idea ia akan mampu berkarya secara kreatif sehingga seninya menjadi
inventif (kaya akan penemuan-penemuan). Tidak seperti halnyapara teknisi (Plato
sebenarnya adalah orang konservatif yang tidak menyukai pembahauruan-
pembaharuan). Penghayatan eidos keindahan akan menjadikan potensi kreativitas
menjadi kreativitas yang aktual.
Selain mempersyaratkan peran nous (sebagai potensi mental spiritual) dan
anamnesis (sebagai proses intuitif rasional) untuk dapat bersatu dengan idea keindahan
masih diperlukan adanya eros (love, desire) akan keindahan . Jika kita tidak menyukai
keindahan, kita tidak akan termotivasi untuk mengadakan perjumpaan dengan eidos
keindahan. Peran imajinasi tidak disinggung oleh Plato. Yang indah dalam artian yang
22
mengacu pada eidos, tidak hanya mengekspresikan hakikat eiditis, tetapi juga yang
dapat difungsikan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tertentu. Yang indah
adalah yang fungsional atau yang berguna. Kegunaan inilah yang menjadi tolok ukur
keberhasilan suatu ciptaan. Yang memiliki otoritas menilai keberhasilan tersebut dari
segi kegunaan atau utilitasnya adalah negarawan atau filsuf selaku seniman unggulan.
Di dalam melakukan penilaian ini mereka akan menelaahnya dari segi tujuan moral dari
polis (negara kota/masyarakat). Jika pertimbangan-pertimbangan teknis dan moral
bertumbukan, maka yang terakhirlah yang akan dijadikan dasar pertimbangan.
Hal lain yang menarik untuk diketahui tentang Plato adalah apa yang pernah
dikemukakannya teori tentang seni sebagai permainan, klasifikasi seni, dan kriteria
mempertimbangkan seni imitatif. Yang pertama menjelaskan bahwa siapa pun yang
ingin mengembangkan diri menjadi orang berkeahlian dalam bidangnya, sejak masa
mudanya sudah melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk permainan i
berkesungguhan di dalam bidang tersebut. Misalnya, yang ingin jadi arsitek yang baik,
harus mengawali langkah-langkahnya dengan membangun rumah-rumah mainan.
Dengan cara demikian ia akan dapat menghimpun pengalaman yang diperlukan sebagai
persiapan bekerja dan berkarya sebagai arsitek sungguhan. Yang kedua, oleh Plato, seni
dibagi menjadi dua kategori, yakni yang lebih eksak seperti seni ketukangan kayu dan
yang kurang eksak seperti seni musik. Yang ketiga, untuk kriteria mempertimbangkan
seni imitatif, seseorang harus menjadi penilai yang kompeten yang memiliki tiga hal,
yakni ia harus tahu pertama apa imitasinya, kedua ia harus tahu bahwa itu benar, dan
ketiga ia sudah pernah melakukannya dengan baik.
Dalam pandangan lain (lihat: Sutrisno SJ dan Verhaak SJ 1993), diperoleh
penjelasan tentang hakikat keindahan menurut pemikiran Plato. Menurut Plato,
keindahan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori dunia, yaitu dunia idea dan dunia
yang nyata. Yang pertama, keindahan yang hakiki atau sempurna adalah keindahan
yang ada di dunia idea. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada yang indah
dalam dunia idea. Artinya, keindahan yang muncul hanyalah bersifat mimesis atau
tiruan (imitasi) dari keindahan yang adan di dunia idea. Selanjutnya, keindahan kategori
kedua, yakni keindahan dunia nyata dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala
keindahan adalah yang paling sederhana, umpanya bentuk, warna, atau nada yang
sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak
dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Bagi
Plato, kesederhanaan dilihatnya sebagai ciri khas keindahan, baik dalam alam maupun
23
dalam seni. Keindahan kategori pertama dilepaskan dari pengalaman akan yang
jasmani (karena dunia idea adalah dunia abstrak) sedangkan keindahan kategori kedua
merupakan keindahan taraf kedua. Keindahan taraf kedua ini tidak pengalaman estetis
dan keindahan sehari-hari, tetapi unsur inderawi dijabarkan sesedikit mungkin.
Singkatnya Plato amat menghargaia dan menekankan pengetahuan murni (episteme)
yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa), dalam bidang keindahan pun Plato
amat menekankan bahwa yang berarti adalah idea (eidos), sedangkan yang lain dari
idea itu hanyalah berhala (eidola atau idols) saja.
Dalam kaitan dengan karya seni, Plato menjelaskan penilaianya ada dua unsur,
yaitu unsur teoretis dan unsur praktis. Unsur teoretis menyatakan bahwa segala
kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli yang
terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul dari pada kenyataan di dunia nyata ini.
Karya seni merupakan tiruan dari (mimesis memesos) Oleh karena itu Plato menilai
rendah karya seni. Karya seni adalah tiruan yang jauh dari kebenaran sejati dan
menjauhkan warga negara terutama para remaja dari tugasnya membangun negara.
Seniman dianggap baik dalam negara jika mereka menyajikan apa yang benar, baik,
sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.

2.1.2 Aristoteles
Dalam tulisan Surisno S.J. dan Verhaak S.J (1993) dikemukakan pokok-pokok
penting tentang pemikiran Aristoteles dalam tautan dengan hakikat keindahan dan
karya seni. Pokok-pokok penting pemikiran tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua
dari Plato, yaitu bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran
material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam atauapun untuk karya seni
buatan manusia.
Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya sastra dan drama. Ia
membicarakab drama terutama dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam peran-
peran diiringi dengan musik dan tarian, yakni tragedi klasik dari masa hidup Aristoteles
sendiri. Kalaupun ada catatan tentang seni rupa itu pun sedikit dan kalah menonjol bila
dibandingkan dengan dengan pandangannya tentang tragedi.
Titik pangkal pandangan Aristoteles adalah bahwa karya seni harus dinilai
sebagai tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Ia tidak sependapat
24
dengan penilaian negatif Plato atas karya seni dengan dasar penolakannya terhadap
teori idea. Tiruan di sini dimaksudkan tidak sekadar tiruan belaka. Maksud ini sudah
jelas karena minat Aristoteles pertama-tama bukan seni rupa melainkan justru seni
drama dan musik.
Menurut Aristoteles, karya seni seharusnya memiliki keunggulan falsafi, yakni
bersifat universal. Kendati partikular, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus
melambangkan an mengandung unsur-unsur universal dalam kepartikularannya itu,
yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan dan
segala tempat. Dengan demikian, karya seni diharapkan menjadi simbol yang
maknanya harus ditemukan dan dikenali oleh penikmat berdasarkan pengalamannya
sendiri baik dalam posisi sebagai pemain ataupun sebagai penonton.
Pokok pemikiran penting dari Aristoteles yang perlu mendapat perhatian adalah
pandangannya tentang teori katharsis yang artinya pemurnian (dari kata kathoros
artinya murni atau bersih). Menurutnya, katarsis adalah puncak dan tujuan karya drama
dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan,
keberhasilan, kegagalan, dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian
rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak logis tetapi juga
seolah-olah tak terduga. Pada saat itulah katharsis terjadi secara tiba-tiba, yakni seakan-
akan segala masalah dan kejadian yang muncul tertimbun dalam pengalaman peran-
peran utama dan dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair, tak jarang ini terjadi
secara mengharukan.
Pandangan tersebut lama mempengaruhi filsafat karya seni, bahkan teori drama.
Katharsis diharapkan terjadi dalam diri penonton dan kemudian dibawa pulang sebagai
pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin dari
segala pengalaman penderitaan. Dengan demikian, katarsis memiliki makna sebagai
pencerahan atau terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan di dalamnya kerap kali ada
unusur penyesalan dan perubahan atau semacam pertobatan dalam kerangka religius.

2.2 Estetika Neo-Platonisme


Sesudah Aristatoles, tidak ada teori estetika yang orisinal. Teori, kosep, atau
pemikiran-pemikiran filosofis mengenai keindahan yang berkembang merupakan
perkembangan dari teori, konsep, atau pemikiran sebelemumnya. Pada tahap ini acuan
25
pemikiran bersifat Platonis telah dikembangkan sesuai dengan gagasan atau pemikiran
mereka masing-masing. Pemikiran-pemikiran yang muncul kemudian dari beberapa
tokoh tersebut lebih dikenal atau dapat dikategorikan dalam kelompok Estetika Neo-
Platonisme. Beberapa tokoh tersebut antara lain adalah kaum Stoa, Plotinus, S.
Agustinus, dan St.Thomas Aquinas. Di bawah ini dikemukakan secara singkat pokok-
pokok pemikiran mereka sebagai berikut. Dengan mengutip tulisan Sutrisno S.J. dan
Verhaak S.J. (1993) pokok-pokok pemikiran dari para tokoh tersebut dapat dibahas
sebagai berikut.

2.2.1 Estetika dalam Pandangan Stoa dan Epikurisme


Pandangan aliran Stoa dan Epikurisme menyinggung persoalan filsafat keindahan
dan karya seni. Dalam lingkungan Stoa, objek seni yang dibicarakan terutama, seni
sastra seperti syair dan sajak. Dalam pandangan aliran ini yang dihargai dalam seni
ialah keteraturan dan simetri. Keteraturan dan simetri dimaknai dapat menimbulkan
ketenteraman jiwa (apathea) .
Berbeda dengan Stoa, aliran Epikurisme justru membicarakan seni musik sebagai
objek kajiannya. Musik dan keindahan pada umumnya, tidak dihargai pada dirinya
secara formal. Penghargaan akan yang formal itu menyangkut ukuran-ukuran yang
seimbang atau kemurnian dan kesederhanaan, yakni sesuai dengan kriteria Plato dan
Aristatoles, yang sebenarnya melanjutkan suatu pandangan dasar dari sekolah
Pythagoras. Yang dihargai para penganut Epikurisme ialah isi keindahan yang bersifat
material, antara lain demi pendidikan. Dengan begitu, mereka berdiri lebih dekat
dengan Poietike filsafat maupun psikologi. Selain itu, sikap mereka dipengaruhi oleh
penghargaan akan kenikmatan material.

2.2.2 Plotinos
Plotinos dikenal dengan filsafatnya tentang pengaliran (emanasi) semua hal dari
Yang Esa dan kembali semua itu kepada Yang Esa lagi. Padangannya tentang
keindahan berangkat dari kenyataan duniawi yang kita saksikan dan yang kita alami
sehari-hari. Dalam upayanya untuk mengetahui dari manakah asal semua itu—
termasuk diri manusia sendiri—manusia menempuh jalan kembali tersebut. Dalam
menghadapi kenyataan tersebut dan dalam perjalanan kembali ke sumbernya, manusia
mengalami sesuatu yang disebut indah. Keindahan itu ia temukan baik dalam yang
terlihat maupun terdengar, bahkan juga dalam watak dan tingkah laku manusia.
26
Setelah mengalami keindahan, manusia mulai merefleksikan pengalaman
tersebut. Plotinos menolak pandangan Stoa tentang simetri dan menganggapnya tidak
perlu serta tidak memadai. Yang membuat sesuatu indah bukan warna, nada, bentuk,
yang muni homogen. Sebaliknya, pengalaman akan keindahan justru terbentuk kalau
ada persatuan anatara pelbagai bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan semacam
itu hanya bisa terjadi jika ada heteroginitas dan bukan homogenitas. Misalnya, sebuah
rumah atau perahu kita anggap indah karena kesatuan rancangan bentuknya. Semakin
sesuatu mendekati Yang Esa`sebagai sumber dan tujuan segala-galanya dan ikut ambil
bagian di dalamnya, semakin indahlah sesuatu itu.
Dalam perkembangan dunia dan pengalaman manusia kembali ke tujuannya,
keindahan sekali-kali sirna. Pengalaman estetis ini menenteramkan dan akrab dan
mengikat, memikat, dan mengambil dia kepadaNya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Plotinos mendekatkan pengalaman estetis
dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah
pengalaman religius yang disebut dengan pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal
filsafat Plotinos (emanasi) titik akhir pun bukan karunia khusus, namun hanya
merupakan penyelesaian dari awal itu. Meskipun begitu, tidak banyak insan
mengendalikan diri dalam latihan.
Meskipun dipengaruhi oleh Plato, filsafat keindahan Plotinos amat berbeda.
Seorang pelukis, misalnya, mula-mula meniru keindahan alam. Ini tidak berarti bahwa
ia melengkapi keindahan alam, tetapi dalam interaksi seniman dengan alam di
sekitarnya dan dalam terjadinya karya seni melalui tangannya, semuanya itu—termasuk
senimannya sendiri—semakin menuju kembali pada keindahan asasi, sambil mengatasi
dan melewati dirinya sendiri, sampai tak teraba dan teralami secara inderawi lagi.

2.2.3 Agustinus
Filsafat Agustinus cukup dipengaruhi Neoplatonisme. Catatan-catatannya
mengenai keindahan agak tersebar dalam banyak karyanya, seringkali sesuai dengan
pandangan-pandangan mereka yang mengemukakan keselarasan, keseimbangan,
keteraturan, dan lain-lain sebagai ciri-ciri khas keindahan. Di antara semua faham itu
kesatuanlah yang dikemukakan Agustinus sebagai sumber atau dasar keindahan.
Yang lebih khas bagi Agustinus ialah bahwa menurut dia pengamatan mengenai
keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai
suatu objek itu indah, kita mengamati sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang
27
seharusnya ada di dalamnya, yakni keteraturan. Sebaliknya apabila kita menilai suatu
objek itu jelek, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang menyimpang dari apa yang
seharusnya terdapat di dalamnya, yaitu ketidakteraturannya. Agar kita mampu
mengamati kedua-keduanya, kita memerlukan idea tentang “keteraturan ideal” yang
hanya kita terima lewat Terang Ilahi. Pandangan terakhir ini sesuai dengan paham
“iluminisme” Agustinus, yang menilai rendah kemampuan manusia.
Keteraturan ideal betul-betul ada dalam apa yang diamati manusia. Yang hadir
dalam objek yang indah itu, dan yang dapat kita bedakan berkat Terang Ilahi itu ialah
“ splendor ordinis”, artinya gemilangnya keteraturan.

2.2.4 Thomas Aquinas


Pemikiran Thomas yang paling terkenal ialah keindahan berkaitan dengan
pengetahuan; kita menyebut sesuatu itu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata
pengamat. Di samping tekanan pada pengetahuan, yang paling mencolok ialah peranan
subjek dalam keindahan.
Menurut Thomas, keindahan harus mencakupi tiga kualitas, yaitu : integritas atau
kelengkapan, proporsi atau keselarasan yang benar, dan kecemerlangan. Keindahan
terjadi jika pengarahan subjek muncul lewat kontemplasi atau pengatahuan inderawi.
Dengan begitu pada pokoknya indra-indra terasosiasi dengan keindahan yang paling
berperanan bagi pengetahuan kita, misalnya penglihatan dan pendengaran yang
berperanan bagi akal; kita bicara tentang penglihatan yang indah dan suara bagus; tetapi
kita tidak bicara tentang perasaan yang indah dan bau yang bagus; kita tidak
membicarakan keindahan dengan mengacu pada tiga indera lainnya. Di sini tampak
sekali tekanan subjek dalam hal pengetahuan. Selain itu, dalam teks ini Thomas
menunjukkan “berakhirnya kegiatan” dan tercapainya sesuatu yang diidam-idamkan.
Lagi pula dalam teks itu peranan indera, dengan membedakan penglihatan dan
pendengaran dari indera lainnya, tampak jelas.
Secara umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala unsur filsafat
keindahan yang sebelumnya dihargai. Dengan mengajukan peranan dan rasa subjek
dalam proses terjadinya keindahan, Thomas mengemukakan sesuatu yang baru.
Peranan subjek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori Aristoteles tentang drama.
Aristoteles, sama seperti Thomas, menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan
dan pengalaman yang terjadi dalam diri manusia.

28
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi dalam bentuk resume yang singkat dan padat.

POKOK BAHASAN IV (PERTEMUAN KE-7&8)


ESTETIKA KRITISISME (KANTIANISME)

1. Tujuan Perkuliahan

29
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika kritisisme (Kantianisme) yang meliputi konsep estetika sebelum Kant, pada
ma- sa Kant, dan sesudah Kant.

2. Materi Perkuliahan
Ketika estetika beralih dari tahap Dogmatis ke tahap Kritika, atau dari
objektivisme ke relativisme, atau dengan lebih tepat ke arah subjektivisme, maka ia
mengalami perkembangan yang membawanya keluar dari pembahasan ontologis dan
masuk ke bidang pembahasan ilmu-jiwa. Inilah yang dikatakan salah satu di antara
fenomena Revolusi Kopernik dalam filsafat.
Di bawah ini, dengan mengutip tulisan Anwar (1985) secara singkat akan
dikemukakan pemikiran-pemikiran estetika pada masa sebelum, pada masa , dan
sesudah masa Kant sebagai berikut.

2.1. Estetika Sebelum Kant


Jika kita memandang kepada gerakan filsafat sebelum Kant, maka dari jauh kita
dapat dengan mudah menentukan bahwa gerakan itu berkisar antara dua aliran besar,
yaitu : rasionalisme Leibnniz dan Baumgarten dan sensualisme Burke. Sedang Kant
berusaha memadukan kedua aliran tersebut. Akan tetapi sebelum itu Descartes telah
mengubah haluan filsafat umum dari objektivisme ke arah yang subjektif dan relatif
sebagai tanda dibukanya babak baru di dalam sejarah pemikiran murni.
Seorang tokoh, Montaigne berpendapat bahwa besar sekali kemungkinan kita
tidak akan mengetahui apa hakikat keindahan yang sebenarnya. Kecantikan menurut
orang negro berada pada bibir yang tebal, menurut orang Peru (Indian) ada pada telinga
yang besar, dan menurut sebagian bangsa lain ada pada gigi yang merah atau hitam.
Demikianlah pada zaman moden kita beralih dari objektivisme keindahan ke
skeptisisme yang ekstrim pada Montaigne, Descartes, atau Pascal, dan terutama pada
Voltaire di kemudian hari.
Ketika ditanyakan apakah keindahan itu, maka tak akan ada orang yang bisa
menjawabnya. Ia berubah menurut tempat dan budaya bangsa. Kebenaran ada di
seberang gunung, kata Pascal. Untuk mencapai kebenaran kita tidak boleh hanya
berada di dalam batas budaya negeri sendiri, seperi katak di dalam tempurung.
Kebenaran bersifat relatif.

30
Di tempat lain, estetika menurut Kant dapat dikatakan sebagai terjemahan dengan
secara subjektif terhadap estetika Leibniz. Ini berarti bahwa Leibniz (1646-1716)
mempunyai arti yang penting di dalam sejarah teori estetika karena ia telah
menghidupkan kembali konsepsi lama seperti simbolisme, vitalisme, dan teleologisme1
yang bertentangan dengan Descartes. Namun demikian, ia juga justru memperdalam
dan menyempurnakan apa yang masih tampak dangkal dan kurang dalam filsafat
Descartes. Wujud menurut Leibniz merupakan lapisan yang bertingkat-tingkat, terdiri
dari mahluk hidup yang membentuk kesatuan yang sagat seragam. Alam ini tidak lain
dari gambaran tentang pengamatan kita, di mana ada satu, di sana ada banyak; dan
keindahan seragamnya alam pada hakikatnya adalah pencerminan dari keseragaman
yang terdapat di dalam diri kita sendiri.
Orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap sejarah estetika adalah
Baumgarten yang hidup sesudah Leibniz. Baumgarten (1714-1762) memperkenalkan
kepada dunia nama “Aesthetika” untuk pengkajian khusus yang menyangkut teori
tentang keindahan. Istilah ini akhirnya dap menjawab bahwa tujuan hidup at diterima
sebagai nama dari setiap filsafat yang membahas tentang keindahan secara keseluruhan.
Selain penemuan nama atau istilah itu, Baumgarten tidak banyak memberikan pikiran
yang baru mengenai teori keindahan. Meskipun Kant banyak mengambil istilah-istilah
teknis dari Baumgarten, namun justru dia banyak mengembangkan pikiran-pikiran
baru. Karena pengkajian itu belum mempunyai nama khusus sebelum Baumgarten
menemukan istilah tadi, maka Baumgarten di kemudian hari diberi gelar bapak ilmu
estetika.
Beberapa karya lain menyusul setelah dierbitkannya “Aesthetika” karya
Baumgarten pada tahun 1750. karya-karya itu berasal dari penulis-penulis Inggris yang
bersifat empirisis, di antaranya “Analysis of Beauty” karya Hogarth (1753), dan “ Essay
on the Sublime and Beautiful” karya Burke (1756). Analisis keindahan menurut
Hogarth erat sekali hubungannya dengan seni bangunan (formative art), seperti seni
ukir, patung, dan arsitektur. Ia mengemukakan prinsip abstrak tentang kesatuan dalam
aneka (unity in variety) sebagai tingkat yang tertinggi dari keindahan.

1
Istilah ini merupakan persoalan etika sebagaimana pernah dijelaskan oleh Aristoteles sebagai berikut.
Apa sebenarnya tujuan hidup manusia yang paling ultimate?. Aristoteles menjawab bahwa tujuan hidup
manusia yang paling akhir tidak lain adalah kebahagiaan. Karena pola pikirnya yang berpijak pada tujuan
akhir, pemikiran Aristoteles tentang etika ini disebut teleologisme. Dalam pikiran Arsitoteles,
kebahagiaan dapat dicapai ketika manusia mampu mencapai phronesis, yaitu sebuah tahapan ketika
seseorang itu mampu menggabungkan keutamaan pikiran (theoria) dan keutamaan tindakan (praxis).

31
Hogarth pada praktek artistiknya berusaha mencari keistimewaan di belakang
batas kejelekan. Tema yang dikemukakan oleh Burke adalah sederhana. Ia
mengemukakan bahwa selera tidaklah dapat dijadikan hakim keindahan. Cantik berasal
dari tabiat atau instink kemasyarakatan yang ada pada manusia, sedang sublimisme
(agung) berasal dari instink pemeliharaan diri. Yang membentuk kecantikan ialah “rasa
kesenangan positif yang menimbulkan cinta diiringi lepasnya ketegangan urat saraf.
Sedangkan agung ialah sebaliknya, erat hubungannya dengan ketegangan urat saraf.
Kalau indah berasal dari idea tentang kesenangan yang bertalian dengan tabiat
kemasyarakatn manusia, maka agung berasal dari idea-idea mengenai sakit dan bahaya
yang menimbulkan emosi-emosi dahsyat, seperti kekosongan, kekuatan besar, diam,
gelap , dan seterusnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa siang itu indah, malam
adalah sublim, perempuan bersifat cantik, dan lelaki bersifat sublim.
Lord Kaimes sependapat dengan Burke dengan mengemukakan suatu titik tolak
baru bahwa pengalaman mengenai suatu emosi walaupun sangat pedih seperti emosi
takut atau kesengsaraan simpatis adalah menyenangkan. Seperti yang dikatakan Lord
Kaimes, emosi menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana
alam adalah menyedihkan; tetapi kita suka mendengar beritanya dan senang melihat
gambaran berkecamuknya, di dalam panggung sandiwara dan surat-surat kabar.
Kejadian yang paling dahsyat dan ngeri justru yang paling mengesankan dan
menggembirakan.
Di sini kita melihat antitesa aliran Platonisme, karena yang penting bukan
keindahan “an-sich” tetapi selera manusia. Di sini benih-benih romantisme mulai
disebarkan, dan pahlawan revolusi Kopernik di dalam filsafat, yaitu Kant, memperoleh
landasan kuat bagi kritiknya.

2.2 Estetika Kant


Orang-orang sebelum Kant, terutama Leibniz, mengemukakan bahwa keindahan
itu terdapat dalam keseragaman atau terwujudnya logika di dalam inderawi. Kemudian
mereka membuang “teleologisme objektif”, menonjolkan pentingnya arti forma atau
konsepsi mengenai fenomena dan menganggap selera (geschmack) sebagai fungsi
persepsi dan bukan fungsi akal. Mereka mengemukakan konsepsi subjektif tentang
keindahan. Pendapat yang berserakan mengenai segi kejiwaan dari estetika ini akhirnya
tersusun rapi di dalam filsafat Kant.

32
Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang adanya “selera subjektif”
sebagai bahan perasaan di satu pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di dalam
daya rasa (sinnlichkeit) seperti ketiadapastian, kekhususan, dan penyusunan baru; di
pihak lain mengenai idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universal dan pasti.
Idea mengenai selera perasaan ini berkesudahan pada dua kutub ini kadang-kadang
dikembalikan kepada kesenangan dan kadang kepada penilaian, sehingga akhirnya
selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa.
Filsafat Kant memiliki ciri khusus, yaitu ditemukannya “kritik ketiga” yang
merupakan teori baru mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekadar penilaian
tentang perasaan “gefuehlsurtheit” tapi juga merupakan perasaan mengenai penilaian
“urtheilsgefuehl”. Dengan kata lain ia bersifat universal, pasti, berdasar emosi.
Dalam bukunya “Kritik de Urtheilskraf” Kant mengemukakan beberapa pokok
persoalan, yang secara umum mengemukakan dua aspek penting : pertama, tentang
analisis daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian, kedua daya penilaian
teleologis atau penyelidikan objecktive purposiveness di dalam alam. Analisis putusan
terdiri dua hal, ikut. yakni tentang analisis tentang cantik (beautiful) dan analisis tentang
agung (sublime). Hal pertama dipaparkan dalam empat pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, penilaian terhadap selera perasaan dari segi kualitas. Setelah menganalisis
dengan teliti perasaan puas yang menjadi ciri putusan yang diberikan oleh selera, yaitu
suatu perasaan yang tidak bertujuan apa pun. Kant membandingkan antara bentuk-
bentuk pemuasan ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan dan kebaikan.
Setelah membandingkan bentuk-bentuk ini, ia menyimpulkan definisi kecantikan
berdasarkan pertimbangan pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk
memberikan putusan senang atau tidak senang atas suatu objek atau perbuatan tertentu
dengan syarat bahwa putusan itu bebas dari tujuan. Objek dari rasa puas ini di sebut
cantik”.
Pertimbangan kedua mengenai keputusan selera dari segi kualitas. Ketika Kant
memandang selera dari segai kategori kedua dengan mengikuti perencanaan tadi ia
mengemukakan bahwa kecantikan berwujud tanpa konsep, sebagai objek dari
pemuasan hajat yang mendesak, dan bahwa selera mengandung rasa senang dan
putusan yang tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal tadi. Definisi
lain tentang keindahan berdasarkankan pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa
keindahan ialah yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak
berkonsepsi.
33
Pertimbangan ketiga mengenai putusan selera dari segi hubungan. Putusan selera
bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “emosi” dan juga
bebas`dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga tentang keindahan ialah
bahwa konsepi tentang adanya tujuan pada objek tapi tujuan itu tidak berwujud dengan
tegas.
Pertimbangan keempat mengenai putusan selera menurut arahnya (menurut
kesenangan yang timbul dari objek tertentu), yaitu bahwa keharusan kesenangan umum
yang terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subjektif, akan tetapi terwujud
dalam bentuk objektif ketika dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir
keindahan adalah apa yang diakui sebagi objek pemuasan darurat yang tidak berkonsep.
Kant selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik dan agung. Ia sependapat
dengan Burke bahwa agama adalah tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya
termasuk dalam penilaian estetis; kecantikan termasuk putusan selera. Sedangkan
keagungan memiliki akar di dalam emosi kecedasan (geistesgefuehl) . Keindahan
selamanya bertalian dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya bergantung
pada forma dan adakalanya bergantung pada non-forma (uniform) yang menyangkut
tidak adanya forma dan cacat. Kant membedakan antara dua bentuk keagungan ;
bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis.
Kita perlu memahami perasaan estetis menurut Kant berada pada keselarasan
pikiran dengan imajinasi dengan dasar bebasnya kerja imajinasi. Di samping itu geni
atau semangat (geist) kreatif yang menghasilkan objek-objek seni tersembunyi pula di
dalam adonan antara pikiran dan imajinasi. Teori keselarasan subjektif ini menafsirkan
segala idea estetis Kant.
Keselarasan inilah yang melahirkan adanya tujuan yang tidak bertujuan selain
mewujudkan rasa keindahan. Seni menurut Kant ialah penciptaan sadar terhadap
objek-objek yang menyebabkan orang yang mengenangkannya merasa seolah objek-
objek itu dicipta seperti alam tanpa tujuan. Ciri utama seni berada pada geni yang tidak
berjalan seperti pada ilmu pengetahuan. Klasifikasi seni adalah berdasarkan pembagian
geni kemanusiaan, menjadi seni bahasa (retorika dan puisi) seni rupa, seni suara
(musik) atau lebih tepat seni “permainan perasaan”, dan akhirnya seni campuran antara
pelbagai seni di atas dengan cara berbeda-beda seperti drama, menyanyi, opera, atau
tari-tarian.
Secara ringkas, apa yang dikemukakan di atas baru merupakan suatu bagian kecil
dari bentangan luas pemikiran Kant, tapi telah meletakkan dasar-dasar penting bagi
34
ilmu tentang keindahan. Tampaknya Kant telah berhasil merombak sendi-sendi filsafat
seni dengan berani dan tenang. Menurut Bousanquet, belum pernah ada orang
sebelumnya dapat mencapai ketelitian demikian dalam membedakan istilah-istilah
estetis, dan dapat dikatakan dialah orang pertama yang menerapkan logika dalam
estetika dan menganalisis seni dengan cara yang sangat ilmiah.

2.3 Estetika Sesudah Kant


Pengikut Kant banyak dan hampir semua sepakat bahwa buku “ Kritik der
Urtheiskraft” adalah karya terbaik di antara ketiga karya kritiknya. Di antara mereka
yag menonjol adalah Schiller, Schelling, Hegel, dan Schoupenhouer. Berikut
dikemukakan secara singkat pemikiran mereka.
Menurut Schiller seni adalah kegiatan dan permainan dan letak keindahan ialah
pada pertemuan antara ruh dan alam, atau antara materi dan forma, karena keindahan
ialah hidup, atau juga gambar yang hidup rahasia seniman besar karena ia dapat
menyembunyikan materi dengan perantaraan forma. Menurutnya, bidang estetika
sajalah bidang yang luas dan mencakupi bidang-bidang yang lain. Ia, berbeda dari
segala bentuk kegiatan kemanusiaan lainnya, tidak memberikan arah tertentu dan
pengalaman estetis sajalah yang membawa kita kepada alam yang tak terbatas.
Schelling, mengusulkan mulai dengan menyelidiki filsafat alam dan kritik
putusan estetis teleologis sebagai kelanjutan dari penyelidikan putusan estetis. Yang
terpenting ialah tercapainya titik pertemuan antara filsafat praktis dan kesatuan esensial
antara kedua-duanya itu dalam ruh. Benarkah di dalam lubuk jiwa terdapat kegiatan
yang mengandung kesadaran dan non-kesadaran kegiatan tak sadar seperti ruh?.
Schelling menjawab ya, dan menyatakan bahwa hal itu terdapat di dalam kegiatan
estetis yang dianggapnya sebagai pembuka kunci filsafat.
Ada dua jalan yang dapat dipakai untuk keluar dari kenyataan sehari-hari, jalan
puisi, yaitu pelarian ke dunia idea dan jalan filsafat yaitu penghancuran dunia
kenyataan. Schelling menegaskan pula bahwa seni adalah bukan sekadar alat filsafat,
tapi sumber yang sesungguhnya. Filsafat dilahirkan dari syair, maka akan tiba satu saat
di mana ia akan kembali ke induk yang pernah ia lepaskan.
Menurut Hegel, keindahan adalah idea yang terwujud dalam indera. Materi seni
tak lain adalah idea, sedang formanya terdapat dalam gambaran inderawi dan
khayalinya. Agar dua hal ini tergabung dalam seni, materi itu harus sesuai untuk

35
berubah menjadi objek seni , karena Hegel selalu berusaha untuk menyelami dengan
akal batin segala objek kenyataan.
Pikiran seniman tidaklah tetap bersifat abstrak. Taraf kehidupan rohani tertinggi
ialah apa yang disebut oleh Hegel dengan “ruh mutlak”, dan apabila ruh mencapai
tingkat ini, maka ia akan berubah menjadi kesadaran yang memahami idealisme objek
kenyataan, idealisasi segala sesuatu dengan ruh mutlak tadi. Di sinilah kesadaran
berpadu menjadi satu dengan perantara subjektivitas kesadaran dan tercerminlah di
dalamnya ruh mutlak yang merata di segala hal yang terdapat di dalam kehidupan yang
tak terbatas.
Tiga tahap perjalanan jiwa kemanusiaan dalam mencari ruh mutlak ialah seni,
agama, dan filsafat. Dikatakan oleh Hegel bahwa bila seni mencapai tujuan terakhirnya,
maka ia akan ikut serta bersama-sama agama dan filsafat dalam menafsirkan dan
menjelaskan unsur ketuhanan yang sangat mendalam dan luas sekali. Akan tetapi ia
akan mencapai kesempurnaannya di dalam ilmu pengetahuan.
Setelah menerangkan bagaimana seni menampakkan dirinya pada manusia, Hegel
mencoba mengemukakan tahap-tahap perjalanan seni yang terpenting dan periode-
periode sejarah di mana ia pernah berkembang pesat. Menurut Hegel seni adalah
hubungan yang terdapat antara idea dan gambaran indera. Ia menyebutnya simbolis
dalam tahap permualaan, karena hubungan itu tidak mencapai idealisme. Kemudian
tahap klasik ketika seni merupakan realisasi dari idea, telah membentuk kesatuan
inderawi yang hidup antara dua pihak tadi dan kesatuan ini terealisasi dalam kesatuan
yang terbatas. Akhirnya tahap romantik, yaitu ketika hubungan dialektik yang terdapat
antara dua tahap tadi mencapai tingkat di mana idea yang tak terbatas tidak terealisasi
kecuali dalam infinitasnya intuisi didalam gerak yang selalu menyerang dan
membubarkan segala bentuk inderawi. Tiga tahap perkembangan seni ini sesuai dengan
tiga periode sejarah seni, periode ketimuran, periode Yunani, dan periode modern yang
di dalamnya terdapat bentuk-bentuk peradaban tertentu. Hegel menyusun pelbagai
macam berdasar dialektika ketiga tahap; seni pahat mewakili tahap klasik, dan seni
lukis, musik, serta puisi mewakili tahap romantik. Akan tetapi, puisi atau syair dapat
dibagi menjadi dua bagian, pertama mempunyai bentuk seni rupa atau lukis (seperti
puisi yang bersanjak) kedua, mempunyai bentuk sugesti, dan musik seperti syair yang
dilagukan. Semua bentuk yang berbeda-beda ini berpadu menjadi satu dalam drama.
Hegel, selanjutnya, telah menegaskan bentuk seni yang rasional atau teoretis,
akan tetapi ia telah mendapatkan kesulitan besar yang dielakkan oleh orang-orang
36
sebelumnya. Filsafat Hegel menghadapi kesulitan itu, dan ia berusaha mengatasi
dengan memadukan seni, agama, dan filsafat. Seni dan agama memiliki fungsi yang
berlainan dari filsafat, dan agaknya berada di bawah tingkatan filsafat, akan tetapi tidak
dapat dibuang jauh dari usaha untuk mengenal ruh (geist) . Mana yang lebih besar
nilainya antara filsafat di satu pihak dan seni serta agama di pihak lain. Menurut Croce,
sistem filsafat Hegel pada hakikatnya adalah bertentangan dengan seni sebagaimana
juga karena terlalu rasional bertentangan dengan agama. Croce menambahkan di sini
kita akan menjumpai simpulan yang ganjil dan tidak dapat diterima dari seseorang
yang berusaha menciptakan estetika dan dianggap penggemar seni amatir seperti Hegel.
Hal itu disebabkan ia menempuh jalan buruk seperti yang ditempuh oleh Plato dan
kesalahan-kesalahan lain yang pernah dialami Plato. Plato dahulu terlalu mengikuti
akal dan membuang seni imitasi dan syair-syair Homer karena tidak dimengertinya,
maka Hegel demikian pula terlalu tunduk pada keharusan sistem filsafatnya sehingga
ia mengumumkan musnahnya seni.
Hegel mengemukakan bahwa kita telah memberikan kepada seni kedudukan yang
sangat tinggi, akan tetapi perlu diingat bahwa seni baik materinya maupun dalam
formanya adalah bukan jalan mulia untuk mengembalikan kesadaran ruh mengenai
instinknya yang sesungguhnya. Seni karena formanya maka terkurung di dalam materi
yang sempit, karya seni hanya menyodorkan kebenaran secara terbatas dan sempit.
Sedangkan jiwa dunia modern kita, khususnya jiwa agama dan perkembangan akal kita
agaknya melampaui titik di mana seni dianggap merupakan alat untuk mencapai Zat
Yang Mutlak. Hasil seni dan karya seni belum memuaskan hajat kita yang tertinggi.
Selanjutnya Hegel menutup pembicaraannya dengan mengemukakan bahwa pikiran
dan renungan mempunyai peranan besar di dalam seni.
Tokoh berikutnya yang akan dibicarakan dalam kaiatan dengan estetika sesudah
Kant dan yang merupakan penutup dari periode Kritika adalah Schopenhouer.
Schopenhouer selalu menyebut-nyebut filasafat Kant sebagai sumber dari filsafatnya
dan Plato sebagai orang yang digemarinya. Segala seni memiliki tempat tertentu di
dalam idea yang dibentangkan dalam bukunya “World as Will and Idea” . Keindahan
barang yang indah, menurut Schopenhouer, memiliki dua segi, yaitu membebaskan
kita dari kemauan, dan dengan demikian dari seluruh potensi yang menyebabkan
kejahatan dan kesengsaraan kita terbesar, kemauan untuk hidup di satu segi, dan di segi
lain mengisi pikiran kita dengan suatu “gagasan”, suatu objektivasi kemauan hingga
mencapai suatu tingkat di mana kita melihat objek khusus dari pengamatan estetis kita.
37
Sebagaimana segala sesuatu pada taraf tertentu merupakan suatu objektivikasi dari
kemauan, maka segala sesuatu adalah karakteristik dan dalam taraf tertentu indah.
Tidaklah ada perbedaan yang lebih jauh antara seni dan alam selain bahwa di dalam
seni, seniman meminjamkan matanya kepada kita untuk melihat; karena geninya dapat
memahami bahasa alam yang diucapkan setengah-tengah, sehingga ia dapat melahirkan
apa yang diinginkan oleh alam tapi belum berhasil.
Menurut Schopenhouer, seni yang tertnggi ialah musik. Alam adalah musik yang
terjelma di dalam barang-barang. Musik adalah seni yang terselinap di dalam dunia ini.
Ia merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan tapi tidak dapat dinyatakan; ia mirip
dengan sorga yang telah kita kenal tapi tak penah diketahui, sangat masuk akal tapi
tidak dapat sama sekali diterangkan.
Arsitektur, menurut Schopenhouer, adalah seni yang paling rendah, setingkat
dengan seni mencangkul kebun karena sangat dekat dengan hajat jasmani manusia. Seni
lukis dan seni rupa datang berikutnya, kemudian lebih tinggi dari itu seni sastra (puisi)
dan menyusul seni drama, tragedia, dan komedia. Tragedia dapat membawa kita untuk
mengikuti perasaan “manusia mutlak”. Hal itu terjadi dengan perantaraan rasa belas
kasihan. Belas kasihan adalah indera yang keenam, karena manusia tidak akan dapat
mengatahui barang-barang kecuali bila ia bisa menaruh simpati kepada mereka dan
menaruh rasa belas kasihan kepada kemanusiaan. Rasa impati adalah tujuan terakhir
dari semua filsafat.
Menurut Schopenhauer seni adalah jalan yang terbagus untuk mencapai
pengetahuan murni tentang dunia, karena seni adalah “mekarnya segala yang ada”.
Kalau kemauan itu memilukan atau kemauan untuk hidup itu menyedihkan maka seni
adalah hiburan yang terbaik, dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Di satu
pihak, seni membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah tapi di pihak lain
ia juga mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam
hidup.
Schopenhauer memiliki pandangan mengenai kecantikan yang berlainan dengan
kita. Kalau Kant menganggap lelaki bersifat agung dan wanita bersifat cantik, maka
Scopenhauer memandang kedua-duanya adalah cantik. Akan tetapi, lelaki justru lebih
cantik daripada wanita. Kelebihan pada jenis lelaki ini tidak terbatas pada manusia, tapi
bahkan dibuktikan oleh jenis binatang-binatang. Ayam jantan lebih cantik dari ayam
betina; bulunya, potongan tubuhnya, geraknya dan sebagainya. Kuda jantan lebih

38
cantik dari kuda betina, burung, ikan, dan binatang-binatang lainnya yang berjenis
kelamin, semua yang lelaki lebih cantik dari betina.
Selanjunya dikemukakan bahwa seni tidaklah merupakan sorga yang penghabisan
karena kesenangan yang terdalam menghendaki ketenangan mutlak, dan keindahan
yang mutlak adalah mirip dengan kemusnahan. Di sini estetika berubah menjadi
mistika. Orang yang mencapai pemusnahan kemauanlah yang dapat tenggelam di
dalam kemusnahan dirinya, dan inilah nirvana. Terlihat di sini Schopenhauer
terpengaruh oleh filsafat India.
Meskipun mempunyai pengaruh besar di belakang hari, namun hasil pemikiran
Schopenhauer lebih mirip dengan karya pujangga daripada karya seorang ahli filsafat.
Pemikiran Scopenhauer ini agaknya menjadi pengakhir warisan sumbangan pikiran
para pengikut Kant. Jaman baru dewasa ini adalah kelanjutan dari jaman filsafat kritika.

3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi tersebut dalam resume yang singkat dan padat.

POKOK BAHASAN V (PERTEMUAN KE-9-11)


ESTETIKA POSITIVISME DAN ROMANTISME

1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika positivisme dan romantisme.

39
2. Materi Perkuliahan
2.1 Estetika Positivisme (Abad ke-19)
Sejak tahun 1850-an, filsafat seni atau estetika berubah dari dasar metafisik
idealistik ke arah dasar metafisik positif dan evolusi. Pertengahan akhir abad ke-19 di
Eropa tampaknya merupakan masa yang kacau, campur aduk antara gagasan
materialistik dan idealistik, teori mekanikal, dan teori teologi, skeptisme, dan lain-lain.
Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000) bahasan perkembangan tentang pemikiran
mengenai estetika pada masa-masa ini yang diwarnai oleh padangan dari beberapa
tokoh dapat diuraikan sebagai berikut.

2.1.1 Herbert Spencer


Spencer mulai menerbitkan berbagai telaahnya mengenai seni. Ia mulai
membandingkan nilai kegunaan dengan nilai seni. Sesuatu yang berguna menjadi
sesuatu yang indah ketika sesuatu itu sudah tak memerankan fungsi kegunaannya lagi.
Pendapat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh teori evolusi yang sedang populer waktu
itu. Persyaratan agar sesuatu itu dikatakan bernilai seni atau indah adalah adanya
simetri dan kesatuan, adanta sifat ekonomi dalam gaya keindahan, adanya keagungan
dan kekuasaan atau kekuatan, adanya efek moral yang baik pada penanggapnya.
Karya seni yang baik mampu membangkitkan energi, kekuatan, dan emosi, dan
emosi tingkat tinggi. Namun demikian, jarang ada karya seni yang demikian itu, karena
hampir semua karya seni merupakan campuran antara efek artistik dan anti artisitik.
Jelas bahwa pendapat Spencer mengenai seni berada antara sentimentalisme dan
moralisme.

2.1.2 Kaum Fisiologis


Pada masa ini, terdapat perkembangan pemikiran seni yang menjurus kepada
efek biologis pada manusia.Pelopor jenis ini adalah Grant Allen yang menulis buku
Estetika Fisiologis (1877). Menurutnya, secara fisiologis kesenangan estetik pada
manusia yang ditimbulkan oleh karya seni merupakan kumpulan aktivitas subjektif
dalam diri manusia yang tidak punya hubungan langsung dengan fungsi vitalnya, tetapi
hanya menyentuh terminal organ pikiran sistem saraf otak manusia.

40
Para peneliti lain menyatakan bahwa kesenangan estetik dapat mengakibatkan
aktivitas organ fisik manusia seperti pernafasan, peredaran darah, dan peregangan otot.
Kegilaan ilmu-ilmu alam dalam mencoba menembus makna seni ini mengakibatkan
laboratorium kimia, fisika, dan fisiologi menjadi ajang percobaan untuk
mempertanyakan dan menjawab hal-hal spiritual seperti ini.

2.1.3 Hyppolyte Taine


Tokoh estetika fisiologis ini percaya adanya hukum estetika. Hukum ini daidapat
berdasarkan studi lingkungan alam dan sosial sebagai sumber penciptaan karya seni.
Dari berbagai daerah eskisistensi seni tersebut akhirnya akan didapat hukum umum
estetika. Nyata bahwa pengaruh berbagai ilmu pengetahuan alam amat besar dalam
telaah estetika.
Bagi Taine, seni itu imitasi (mimesis) yang mengarah kepada penggambaran sifat
karakteristik yang esensial dari objeknya. Dalam arsitektur dan musik, mimesis tak
memerlukan objek nyata, namun tetap menyuguhkan karakter esensial. Inti seni adalah
menghadirkan esensi sesuatu, tetapi ia menolak arti esensi segala sesuatu sebagai hanya
peristilahan teknis.
Ada dua cara untuk mencapai tingkat hidup tertinggi pada manusia, yakni lewat
ilmu pengetahuan dan lewat seni. Cara ilmu pengetahuan adalah menemukan sebab
dan hukum dasar kenyataan (realitas), sedangkan cara seni adalah menemukan sebab
dan hukum, bukan dalam peristilahan kering dan abstrak, melainkan dalam pengalaman
inderawi yang tepat; bukan hanya menyangkut logika pemikiran, melainkan juga
perasaan hati dan penginderaan untuk semua orang. Di dalamnya termuat sesuatu yang
muskil dalam kesedarhanaan, sesuatu yang tinggi dalam gaya yang populer, sesuatu
yang tinggi dalam gaya yang biasa, agar semua orang mampu menangkap dan
menghayatinya.
Bagi Taine, nilai seni itu juga bertingkat-tingkat, seperti layaknya bagi para
pengikut Hegel. Menurutnya ada tiga tingkat nilai seni. Yang dipersoalkan pada tingkat
pertama adalah apakah sebuah karya seni memiliki bobot karakter yang memadai.
Apakah gagasan yang diajukannya besar atau sepele, apakah tingkat afektifnya pada
penanggap tinggi atau rendah, apakah bobot moralnya besar atau dangkal. Pada tingkat
kedua, apakah sebuah karya seni berhasil mencapai tingkat harmoni antara ide dan
bentuknya. Pada tingkat terakhir, Taine membuat solusi dialektik dengan memberikan
contoh sejarah seni. Pada lukisan Italia kuno seperti karya Giotto, yang terjadi adalah
41
seni yang punya jiwa (spirit) namun tak punya tubuh (bentuk). Ini merupakan tesis
pertama. Pada anti-tesis ia menunjukkan lukisan kaum Renaisans yang punya tubuh
dan bentuk tetapi kehilangan jiwa, sedang pada karya Raphael ia menemukan adanya
penyatuan tubuh dan jiwa dalam seni sintesis.

2.1.4 Gustaf Theodor Fechner


Buku Fechner yang terkenal adalah Introduction to Aesthetic (1876). Ia dikenal
sebagai pakar estetika eksperimental. Disebut demikian karena ia menolak konsep
deterministik terhadap objek esensi seni dan keindahan. Ia menyebut estetika demikian
itu sebagai estetika dari atas (von oben). Ia sendiri menciptakan estetika dari bawah
(von unten) yang lebih mencari kejelasan, bukan sublimitas seni.
Fechner bekerja secara induktif dengan melakukan berbagai eksperimen estetik.
Ia mengumpulkan data tentang warna yang paling banyak disenangi responden, serta
alasan mereka menyenangi warna tersebut. Ia juga meminta responden memilih dua
bentuk atau dua warna, dan mengapa mereka memilih itu. Hasil yang diperoleh
kemudian dianalisis. Temuannya ini masih diperdebatkan dalam kajian estetika.
Temuan eksperimentalnya meliputi antara lain masalah hukum dan prinsip estetika
seperti kesatuan dalam keberagaman, kejelasan, asosiasi, kontras, konsekuensi,
konsiliasi, makna yang benar, prinsip ekonomi, perubahan, pengukuran, dan masih
banyak lagi masalah lainnya.
Ketika ditanya apakah sebenarnya makna keindahan itu dalam berbagai
eksperimennya. Ia kembali kepada jawaban spekulatif. Menurutnya ada tiga arti
keindahan, yaitu : pertama, dalam arti luas bahwa seni adalah segala yang
menyenangkan secara umum, kedua, dalam arti lebih sempit bahwa keindahan
memberikan kesenangan yang lebih tinggi, tetapi masih bersifat inderawi, dan ketiga,
dalam arti paling sempit, keindahan sejati tidak hanya menyenangkan, tetapi juga
kesenangan yang sesungguhnya, yakni memiliki nilai-nilai dalam kesenangan tersebut
yang di dalamnya terkait konsep keindahan dan konsep moral, kebaikan.
Adapun beberapa prinsip seni yang diajukan adalah sebagai berikut. Pertama, seni
selalu memilih ide berharga dan menarik untuk direpresentasikan. Kedua, seni harus
mengekspresikan gagasannya dalam bentuk meterial yang begitu rupa sehingga bentuk
setara dengan isi. Ketiga, dari berbagai bentuk kemungkinan bentuk ekspresinya, harus
dipilih bentuk seni yang paling memberikan kesenangan tertinggi. Keempat, semua
unsur bentuknya secara rinci harus diperlakukan begitu rupa sehingga memberikan efek
42
kesenangan maksimal. Kelima, tujuan seni adalah memberikan pencapaian kesenangan
tertinggi yang mengandung nilai-nilai.

2.1.5 Ernst Grosse


Seperti Fechner, Grosse juga bekerja secara induktif untuk mencapai prinsip atau
hukum keindahan. Hanya saja data yang diambilnya bukan lewat eksperimen,
melainkan lewat data sejarah seni. Namun, banyak pertanyaan estetika yang hanya bisa
dijawab oleh Grosse dengan cara pemikiran spekulatif, dan bukan induktif berdasarkan
data sejarah, dari yang primitif sampai dengan yang modern.
Pada akhirnya Grosse menyimpulkan bahwa seni adalah suatu aktivitas yang
hasilnya memiliki nilai emosi dengan tujuan dirinya sendiri. Aktivitas estetik dan
aktivitas praktis bagi manusia selalu bertentangan. Jalan tengahnya adalah aktivitas
permainan, karena aktivitas praktis selalu mengarah pada hasil di luar aktivitas`itu,
sedangkan aktivitas`estetik hasilnya ada dalam aktivitas`itu sendiri. Hasil itu dalah
kegembiraan atau kesenangan dalam aktivitasnya.
Pada akhir telaahnya, Grosse menyimpulkan pula bahwa di lingkungan
masyarakat primitif jarang ada karya seni yang bersifat praktis-pragmatis; seni hanya
bersifat sosial dan individual dalam masyarakat yang telah beradab.
Begitulah estetika positivisme dan naturalisme akhir abad ke-19 yang amat
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan alam, fisika, dan kimia.

2.2 Estetika Positivisme (Abad ke-20)


Memasuki abad ke-20, estetika mencoba menggunakan pula psikologi untuk
menemukan hakikat seni. Seperti halnya pendekatan ilmu pengetahuan alam,
pendekatan psikologi pun kurang mendapat perhatian serius dari pemikir seni. Mereka
menamakan kegiatan ilmiah terhadap etstetika semacam itu hanya sebagai hobi Namun
abad ke-20 kembali disibukkan dengan pemikiran estetika yang berbasis pada pikiran
spekulatif kembali, yakni kembali ke bidang filsafat, sebagian menguji kembali hasil
para pemikir seni lama, sebagian lagi mengemukakan teori baru. Dalam pertengahan
abad ke-20 muncul perkembangan baru dalam kajian filsafat seni, yakni munculnya
teori kritik atau metakritik yang berdasarkan pemikiran falsafi. Estetika dan filsafat seni
dengan cepat benrkembang melalui disiplin baru metakritik ini. Adapun pemikiran
tokoh-tokoh estetika abad ke-20 sesuai dengan apa yang ditulis oleh Sumarjo (2000)
dapat dikemukakan sebagai berikut.
43
2.2.1 Edward Bullough
Pada awal abad ke-20, Bullough mengemukakan masalah “jarak psikis” dalam
seni. Gagasan ini berasal dari kaum filsuf empiris Inggris abad ke-17 dan ke-18 yang
kemudian dikembangkan oleh Kant. Istilah yang amat terkenal untuk itu adalah
disinterested. Jarak psikis ini bertujuan melihat dan menilai karya seni secara objektif.
Dengan demikian akan tercapai penikmatan seni yang objektif pula tanpa adanya
pengaruh kepentingan pribadi. Bullough mencontohkan seseorang yang naik perahu
menembus kabut. Ia terpesona oleh indahnya kabut diterjang cahaya matahari. Pesona
itu membuatnya melupakan atau tak menyadari bahaya yang mengancam dirinya akibat
berperahu menembus kabut tersebut. Dalam kasus ini, si tukang perahu melakukan
jarak psikisterhadap keindahan kabut di tengah remang sinar matahari.
Begitu pula dalam menghadapi karya seni, hendaknya orang melupakan segala
kepentingan pribadi yang menyangkut karya tersebut kecuali demi keindahan karya
seni itu sendiri. Dalam melihat potret seorang yang dikenalnya dalam sebuah lukisan,
misalnya presiden, hendaknya si penanggap lukisan tersebut menyingkirkan semua hal
yang ia kenal tentang presiden tersebut. Boleh jadi ia pengagum presiden yang dilukis
itu, sehingga hal yang ia ketahui tentangnya ikut terbawa dalam menikmati lukisan
tersebut. Cara memandang dan menilai lukisan semacam itu sudah tidak objektif lagi,
tak ada jarak psikis lagi. Orang itu dapat mengagumi lukisan bukan karena keindahan
lukisan itu sendiri, tetapi karena mengagumi tokoh yang diabadikan dalam lukisan.
Begitu pula apabila seseorang naik ke atas panggung ketika aktor pujaannya terancam
bahaya dalam sebuah lakon. Tindakan demikian itu sama dengan kalau seorang
penonton film berteriak mengingatkan tokoh pujaannya sedang dalam bahaya diintai
musuhnya.
Kedua contoh di atas menunjukkan tak ada jarak psikis atau jarak estetik antara
karya seni dan penanggapnya. Dalam peristiwa demikian, seorang pengikut Bullough,
Sheila Dawson, menamakannya sebagai under distancing atau di bawah jarak psikis.
Sebaliknya adalah over distancing, yakni apabila seoarng penanggap seni terlalu peduli
pada hal-hal teknis seni sampai rincian detilnya, sehingga keutuhan karya tersebut tak
terhayati. Kedua peristiwa tersebut mengakibatkan tidak terjadinya jarak psikis dalam
menanggapi dan menlai karya seni secara objektif.

44
Manfaat jarak psikis atau jarak estetik ini adalah dapat ditemukannya karakteristik
yang ada pada objek estetik. Dari karakteristik tadi kita dapt lebih mengarahkan
perhatian perhatian, dan dengan demikian juga memperoleh pengalaman estetik.

2.2.2 Jerome Stolnitz


Stolnitz menamakan persoalan disinterested ini dengan istilah aesthetic
awareness atau “perhatian tak acuh”, dalam arti perhatian tetapi sekaligus juga tidak
hadirnya kepentingan pribadi pengamat. Pemikir lain, Elisio Vivas menamakannya
sebagai”intransitif” yang memiliki makna semana dengan Stolnitz. perhatian yang
estetis, bukan perhatian yang non-estetis. Kalau sesorang memperhatikan unsur non-
estetis pada suatu karya seni, tentu perhatiannya pada yang karya seni tersebut juga
akan non-etstetis.
Dalam sebuah novel yang bercerita tentang kejadian sejarah, dapat saja perhatian
membaca terarah kepada peristiwa sejarahnya, sehingga perhatian pada elemen estetik
sastranya terabaikan. Dengan cara ini, besar kemungkinan ia menilai karya sastra novel
tersebut bukan sebagai novel, tetapi sebagai penghayatan dan pengetahuan sejarah.
Contoh dalam kasus tidak terjadinya aesthettic awareness ini, seperti dicontohkan
Vivas, adalah roman besar Dostojeski, Brothers Karamazov Roman ini begitu besar
dan kompleks, sehingga perhatian pembaca tersebut oleh pengolahan masalah,
melupakan aspek estetiknya. Kebesaran roman tersebut menghalangi pembaca untuk
melihat roman sebagai karya sastra. Pembaca cenderung menilai dan membaca
romantik but sebagai kritik sosial. Roman itu telah diperhatikan secara non- estetik.
Bisa jadi sebuah karya sastra lebih diperhatikan sebagai masalah penulisnya kalau
seorang bekas nara pidana yang menulis novel. Perhatian pembaca lebih pada
menghubungkan novel tersebut dengan pengarangnya yang eks-nara pidana. Novel itu
dibaca tanpa perhatin estetika lagi.

2.2.3 Virgil Aldrich


Apakah sebuah karya seni serta merta disikapi oleh penanggap seni seperti
orang lain menanggapi karya tersebut?. Bagaimana seharusnya hubungan antara karya
seni dan penanggap seni ?. Apakah karya seni menentukan sikap penanggap , atu
sebaliknya?. Pertanyaan semacam itulah yang dicaba dijawab oleh Aldrich. Apa yang
harus dilakukan oleh subjek seni terhadap objek seni sehingga objek seni tersebut objek
seni tersebut menjadi objek estetik?. Di sini subjek seni dituntut suatu sikap nilai
45
estetik tertentu dalam objek seni, sehingga sikapnya itu akan membuktikan
keyakinannya.
Contoh yang diajukan Aldrich adalah sebuah gambar ambigu (dua arti), yakni
gambar sederhana yang sekilas tampak seperti kelinci, tetapi dalam persepsi tertentu
juga merupakan gambar itik. Jadi, gambar tersebut dapat disikapi (dipersepsi) sebagai
gambar itik atau kelinci. Persepsi mana yang benar ? Itu bergantung pada cara subjek
menyikapi menyikapi gambar tersebut. Dua-duanya dapat benar.
Menurut Aldrich, adalah salah apabila orang beranggapan hanya ada satu cara,
persepsi tunggal, dalam menghadapi karya seni. Ada dua cara persepsi, yakni persepsi
estetik dan non-estetik. Cara estetik disebutnya sebagai preherensi, sedangkan cara non-
estetik disebutnya sebagai observasi. Objek observasi merupakan objek fisik, dan
objek preherensi disebut sebagai objek estetik. Sementara itu, cara menghadirkan,
menyusun, atau membentuk gambar itu disebut sebagai objek material.
Dengan demikian, karya seni itu sendiri secara objektif hanyalah objek material.
Kalau kita menyikapi objek material tersebut secara estetik, maka objek material akan
menjadi objek estetik. Sikap ini oleh Aldrich disebut sebagai preherensi, sikap estetik
yang sesungguhnya. Kalau sikap estetik kita mengarah kepada objek seni sebagai
kelinci (objek estetik), maka gambar itik menjadi objek fisik. Sebaliknya, kalau
persepsi estetik kita pada objek material itu sebagai gambar itik, maka gambar kelinci
menjadi objek fisik.
Begitulah tanggapan para filsuf seni pada pertengahan awal abad ke-20 mengenai
persoalan disinterestedness, yakni cara memperoleh pengalaman keindahan atau
pengalaman estetika murni tanpa dikotori oleh kepentingan praktis-pragmatis.

2.2.4 Benedetto Croce


Buku Croce yang terkenal adalah Aesthetic yang terbit pada tahun 1909. Croce
termasuk filsuf seni dalam deretan filsafat idealisme. Segala sesuatu merupakan
aktivitas pikiran, segala sesuatu adalah ideal belaka. Makna materi bergantung pada
makna idealnya. Bagi Croce, wilayah estetika adalah wilayah pengetahuan intuitif,
bukan wilayah pengetahuan logis (ilmiah). Intuisi merupakan sebuah imaji yang berada
dalam pikiran subjek. Jadi, oleh Croce, seni dimasukkan dalam kategori ilmu
pengetahuan. Benda seni itu idak ada. Seni terdapat dalam pemikiran imajinatif subjek
penanggapnya. Benda seni hanyalah objek fisik belaka, bukan estetika itu sendiri.
Benda seni hanyalah titik tolak subjek seni untuk menumbuhkan kembali estetika pada
46
diri subjek. Keindahan rada dalam diri subjek masing-masing, bukan dalam objek seni
itu sendiri. Pandangan Croce yang penting adalah bahwa benda seni bukanlah seni.
Benda seni menjadi seni hanya dalam tanggapan subjek penanggapnya masing-masing.
Seni terletak dalam diri masing-masing subjek.

2.2.5 George Santayana


Santayana menamakan dirinya seorang materialis, dan mengembangkan estetika
naturalis. Namun, pandangan estetikanya berada dalam jalur idealisme juga. Seperti
kaum idealis, Santayana menolak anggapan bahwa keindahan adalah sifat objektif
benda. Keindahan identik dengan kesenangan yang dialami subjek ketika objek seni
ditanggapi subjek.
Dalam menghadapi karya seni, yang terjadi adalah subjek mengobjektifkan niliai-
nilai keindahan objek seni. Yang terjadi dalam peristiwa estetik adalah subjek
memproykesikan kesenangan estetiknya pada objek tertentu. Dari pandangan ini, jelas
tampak pentingnya faktor fisiologis dan psikologis dalam memahami estetika.

2.2.6 John Dewey


Dewey termasuk filsuf aliran pragmatisme di Amerika Serikat. Ia menolak
pandangan kaum Cartesian yang memisahkan antara materialisme dan jiwa (roh)
sebagai dua substansi yang berbeda. Dualisme dalam pemikiran filsafat tentang
manusia diserangnya lewat pragmatisme. Ia berpendapat bahwa seni adalah bagian dari
kehidupan itu sendiri. Dasar estetika adalah pengalaman sehari-hari yang nyata.
Pengalaman seni adalah pengalaman yang terentang dalam waktu, ada awal ada akhir.
Ada struktur dalam pengalaman seni, seperti halnya dalam pengalaman sehari-hari.
Bentuk seni adalah pengalaman tersebut. Ada sesuatu yang selalu menyatukan seluruh
pengalaman sebagai suatu pengalaman. Pengalaman ini suatu kesatuan yang utuh dan
bulat. Begitu pula pengalaman keindahan dalam seni.
Bagi Dewey, yang terlebih dahulu adalah pengalaman estetik, baik pada seniman
maupun publik seni. Seniman adalah orang yang terlebih dahulu memiliki pengalaman
estetik. Pengalaman estetiknya yang diwujudkan dalam sebuah karya seni
dinamakannya pengalam artistik. Dari perwujudan pengalaman artistik itu, penanggap
seni akan dapat mengalami pengalaman estetik.
Dari penjelasan singkat para kelima tokoh filsuf di atas, terlihat bahwa pada awal
permulaan abad ke-20 tampak banyak persoalan estetika yang berkisar pada apa yang
47
dinamakan sikap estetik. Teori sikap estetik ini memiliki tiga sasaran utama. Pertama,
teori mencoba mengisolasi dan mendeskripsikan faktor psikologis yang membentuk
sikap estetik. Kedua, teori sikap estetik mencoba mengembangkan konsepsi objek
estetik sebagai objek sikap estetik. Ketiga, teori sikap estetik mencoba menjelaskan
pengalaman estetik dengan memandangnya sebagai pengalaman yang didapat dari
sebuah objek estetik.

3. Estetika Romantisme
Dalam tulisan Sumarjo (2000) dijelaskan bahwa sumber pokok dari pemikiran
kaum Romantik adalah pendapat Kant tentang pengetahuan. Menurut Kant, terdapapat
dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan dunia empiris yang merupakan objek
pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan noumenal yang dalam beberapa hal berada di
belakang dunia inderawi-empiris yang terbatas. Suatu pengalaman empiris memiliki
karakteristiknya bukan karena pengamatan empirisnya belaka, tetapi karena adanya
struktur berpikir subjek pengamatnya. Struktur berpikir ini merupakan dunia noumenal
yang berupa substansi. Pemikiran dunia noumenal inilah yang menarik perhatian kaum
Romantik itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pandangan kaum romantik
merupakan reaksi terhadap filsafat empiris dan mentalitas ilmiah yang berkembang
sejak abad ke-17 dan ke-18.
Ketika filsafat Romantik diaplikasikan pada dunia seni, terdapat peran baru
seniman dalam dunia kreativitas artistik. Para seniman dipandang sebagai penghubung
atau medium antara dunia empiris dan dunia noumenal yang berada di balik kenyataan
pengalaman. Seniman merupakan sumber vital atas dicapainya dunia noumenal dalam
dunia empiris.
Di samping itu, seni juga merupakan eskpresi emosi yang sejak zaman Renaisans
diabaikan peranannya dalam aktivitas mental manusia. Zaman-zaman sebelumnya
adalah zaman logika, zaman rasio, yang mendasarkan kebenaran otak melulu. Dengan
munculnya pandangan kaum Romantik, emosi diberi peranan yang cukup penting dan
vital dalam segala aktivitas dan kreativitas. Para seniman dapat memberikan
sumbangannya terhadap kebudayaan dengan cara yang tak mungkin disumbangkan
oleh ilmu pengetahuan.
Peran seniman dalam masa ini diungkapkan oleh Nietzsche bahwa selama ini
estetika kita adalah estetika wanita, karena hanya mengungkapkan pengalaman tentang
apa yang indah dari pandangan para penerima seni. Sampai sekarang ini filsafat kurang
48
mempertimbangkan peran seniman. Memang benar bahwa pada zaman Plato perhatian
terhadap peran seniman dalam filsafat telah dibicarakan, namun setelah itu perhatian
terhadap para pencipta seni hilang begitu saja dari pertimbangan pemikiran filsafat.
Dunia seni Romantik menjujung tinggi sifat seni Dionysian yang bertumpu pada
intensitas dan spiritualitas, dan semakin menjauh dari sifat seni Appolonian yang lebih
menekankan ketenangan dan ketertiban. Dari lingkungan seniman muncul teori
ekspresi yang menyatakan bahwa seni adalah ekspresi emosi seniman. Beberapa
pemikir menyatakan pentingnya emosi di samping peran pikiran. Seni adalah ungkapan
emosi yang memperoleh penafsiran eksternal lewat pengaturan garis, bentuk, atau
warna yang ekspresif. Pengaturan serupa kini terdapat lewat gerak, suara, atau kata-
kata yang diatur oleh ritme tertentu, begitu pendapat Veron.
Selanjutnyan, Alexander Smith menulis perbedaan esensial antara puisi dan
prosa. Prosa adalah bahasa intelektual, sedangkan puisi adalah bahasa emosi. Prosa kita
mengomunikasikan pengetahuan kita atas objek inderawi atau pikiran, sedangkan
dalam puisi kita mengekspresikan bagaimana objek ini mempengaruhi diri kita. Lebih
jauh Leo Tolstoy menyatakan bahwa karya seni pada dasarnya merupakan ekspresi
perasaan dalam bentuk tertentu sehingga orang lain mampu merasakan ungkapan emosi
dalam seni itu.
Dalam garis besarnya estetika Romantik berusaha mencapai beberapa tujuan.
Pertama, menempatkan peran seni dalam kedudukan sentral dalam kebudayaan Barat.
Sejak abad ke-19 peran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Barat telah
mereduksi peran seni dalam kebudayaan. Kaum Romantik ingin menunjukkan bahwa
seni dan perasaan dapat berperan penting bagi kehidupan ini. Kedua, bahwa seni ada
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Emosi adalah sesuatu yang biasa dialami
oleh setiap orang dan telah menunjukkan, berdasarkan pengalaman, pengaruhnya atas
kehidupan manusia. Ketiga, mereka ingin menunjukkan bahwa seni lebih berperan
dalam menggerakkan manusia daripada seni imitasi atau representasi. Contohnya
dalam seni musik dan seni non-objek. Musik adalah contoh jelas tentang pengaruh
ekspresi emosi dalam seni yang mampu mempengaruhi kehidupan manusia.
Faham Romantisme sebetulnya dapat dilihat sebagi suatu faham yang memberi
reaksi terhadap dominasi rasionalisme dalam pemikiran filsafat. Sebelumnya seniman
harus tunduk pada kaidah-kaidah ketat. Faham ini memberi tempat bagi seniman untuk
meluapkan emosinya dalam berkarya seni secara bebas, karena pada awalnya manusia
hidup bebas. Kaum Romantik sangat menghargai atau menghormati kemerdakaan dan
49
kedaulatan individu untuk mengekspresikan perasaannya. Beberapa sifat khas gaya
Romantik dalam seni adalah pemujaan terhadap alam, rasa melankolik dan nostalgik
terhadap masa silam, kesadaran agama mengambang, mengarahkan perhatian kepada
diri seniman dan proses kreatifnya, lari dari kenyataan riil, inspirasi muncul dari dalam
diri seniman (bukan dari kekuatan luar), genius dalam arti kemampuan menemukan dan
menghasilkan karya yang orisinal, serta berupaya menciptakan dunia “lain” (khayal)
yang bersifat emotif dan imajinatif.

Tugas :Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok


Saudara kemudian buatlah laporan hasil diskusi tersebut dalam ben-
Tuk resume yang singkat dan padat.

POKOK BAHASAN VI (PERTEMUAN 12-15)


ESTETIKA MODERN (KONTEMPORER)
DAN POSMODERNISME

1. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika modern (kontemporer) dan posmodernisme

2. Materi Perkuliahan

2.1 Estetika Modern (Kontemporer)

50
Dalam membahas konsep-konsep estetika kontemporer ini, akan dikemukakan
lima pendapat filsuf tentang seni, yakni Clive Bell, Sussane K.Langer, R.G.
Collingwood, Moris Weiltz, dan George Dickie. Tiga yang pertama meninjau kembali
tema filsafat seni lama dengan pengembangan baru sedangkan dua terakhir mengajukan
sumber teori sendiri yang kontemporer. Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000)
pokok-pokok pemikian dari para tokoh tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

2.1.1 Clive Bell : Teori Keindahan Modern


Sumbangan Bell yang utama dalam konteks ini adalah pendapatnya tenang
significant form dalam seni. Ia hanya membatasi telaahnya dalam bidang eni rupa saja,
meskipun dasar pendapatnya dapat diapliksaikan dalam banyak bidang seni.
Komponen teori Bell ada tiga, yakni emosi estetik, bentuk signifikan, dan
esensialisme. Emosi estetik bukanlah emosi pengalaman sehari-hari seperti kemarahan,
kesedihan, atau kegembiraan. Emosi estetik hanya dapat ditimbulkan oleh karya seni
yang mengandung nilai emosi tersebut. Sementara itu, bentuk signifikan adalah nama
sekumpulan hubungan tertentu dalam unsur-unsur sebuah karya seni. Dalam hal ini,
bentuk signifikan muncul dai subjek seni, tetapi, di waktu yang lain Bell juga
menyatakan bahwa bentuk signifikan merupakan karakteristik objek itu sendiri. Bell
tidak pernah pasti mengenai pegertian mana yang diambilnya sebagai karakteristik
objek atau sebagian hasil subjek dalam menghubungkan dan membentuk struktur
bentuk signifikan. Ia hanya dapat menyatakan, dengan demikian, sekalipun
karakteristik esensial itu tetap, dalam pilihan bentuk dapat ada perbahan persepsi. Jadi,
bentuk signifikan adalah karakter non-struktural yang menyerupai bentuk tertentu pada
saat tertentu.
Karya seni bagi Bell adalah sebuah objek yang memiliki bentuk signifikan, yaitu
nama objek apa pun yang menimbulkan emosi estetik. Sebuah karya seni adalah sebuah
artefak yang memiliki bentuk signifikan. Apakah artefak natural bukan karya seni
(artefak) dapat disebut seni kalau memberikan bentuk signifikan? Bell mengakui dapat
saja demikian, tetapi ini amat langka, hanya kebetulan belaka. Dengan demikian, ada
dua pengertian seni, yakni pengertian klasifikasi yang membedakan artefak seni dengan
benda alamiah, dan pengertian evaluasi, yakni mencari nilai-nilai bentuk signifikan
dalam artefak seni. Menyatakan bahwa sesuatu itu indah berarti menghargai dalam
memujinya. Dengan demikian, rumusan seni Bell adalah rumusan evaluasi seni.

51
Bagaimana dalam seni representasi (mimesis) adakah di situ juga terdapat bentuk
signifikan? Dalam seni representasi tidak didapatkan nilai estetika, selama tidak
mengandung potensi bentuk signifikan. Lukisan potret sebagai seni representasi
mungkin saja dikagumi orang, namun selama dalam menghayati potret tersebut tak
muncul hubungan bentuk signifikan, lukisan potret bukanlah seni. Bentuk signifikan
dalam potret terlepas sama sekali untuk representasinya; yang ada hanya struktur
hubungan yang mampu menumbuhkan emosi estetik. Emosi stetik itu memberikan
emosi karakteristik yang spesifik

2.1.2 Sussane K. Langer : Teori Imitasi Modern


Buku estetika langer adalah Philosophy in a New Key, Feeling and Form, dan
Problems of Art. Langer merumuskan seni sebagai penciptaan bentuk yang
menyimbolkan perasaan manusia. Inilah sebabnya teori seninya sering disebut teori
simbolisme ekspresif. Suatu simbol m,engekspresikan perasaan manusia,
melaluiabstraksi. Simbol dalam terminologi Langer ini termasuk simbol ikonik, yakni
simbol yang dlam beberapa hal menyerupai sesuatu yang ditunjukkanya.
Langer sendiri membedakan antara simbol seni dan simbol dalam seni. Simbol
seni adalah seni secara keseluruhan, dan karya seni belum tentu mengandung simbol.
Simbol yang dimaksudkan di sini adalah”simbol dalam seni“ yang merupakan elemen
seni yang dapat menimbulkan aura atau mengungkapkan penderitaan, pengorbanan,
dan kesucian. Simbol bagi Langer adalah alat yang memungkinkan kita membuat suatu
abstraksi. Setiap seni menyimbolkan dengan caranya sendiri tentang perasaan manusia.
Musik menyimbolkan perasaan manusia, seni lukis menyimbolkan aneka jenis adegan.
Bagi Langer karya seni representasional jika merupakan seni baik, sama dengan
seni non-representasional. Mereka memilih lebih dari stau fungsi simbolis, representasi,
dan juga ekspresi artistik yang merupakan presentasi ide perasaan. Dengan demikian,
semua karya seni adalah simbol seni. Semua seni mengabstraksikan, dan dengan
demikian menyimbolkan perasaan. Manusia, namun perasaan itu tidak disimbolkan
melalui representasi. Akhirnya langer berkesimpulan bahwa seni sejati merupakan
bentuk ekspresif dan bukan sekadar simbol seni. Teori Langer pun kemudian
dimasukkan dalam teori imitasi baru. Dalam pengertian ini karya seni dianggap
mengimitasi perasaan.

52
Semua karya seni merupakan perwujudan perasaan manusia. Dalam pernyataan
ini, banyak kritik dilancarkan kepadanya. Apakah hanya perasaan manusia semata?
Sebuah karya seni kadang juga mewujudkan proses piskologis, seperti dalam musik.
Tentang fungsi seni, Langer menyatakan bahwa semua karya seni merupakan
sebuah ilusi, yang dalam terminologi Langer disebut imaji virtual. Ruang visual murni
adalah sebuh ilusi, karena penagalaman sensoris kita tidak mencapai kesepakatan
tentang ruang visual tersebut. Seperti halnya ruang di belakang cermin; ruang tersebut
disebut oleh pakar fisika sebagai ruang virtual. Teori seni ilusi Langer ini mirip dengan
jarak psikis dalam teori estetika yang mendahuluinya. Seni dapat disebut sebuah simbol
karena seni memenuhi fungsi tertentu, yakni seni mewujudkan, membentuk suatu
perasaan menjadi wujud. Dalam karya seni yang baik, fungsi ini harus benar-benar
dijalankan.

2.1.3 Collingwood : Teori Seni Ekspresionis Modern


Collingwood membedakan secara prinsipial antara seni dan kerajinan (craft). Ia
menyangkal bahwa seni dan kerajinan sebagai dua spesies yang berasal dari genus
tunggal. Tak ada karateristik esensial yang mendasari keduanya. Kerajinan adalah
aktivitas yang mengubah material mentah dengan keterampilan yang dapat dipelajari
sehingga menjadi produk yang telah ditetapkan sebelumnya. Karakteristik kerajinan
adalah adanya hubungan antara alat dan tujuan ini. Keterampilan membuat sepatu kulit
adalah alat untuk menghasilkan suatu tujuan, yaitu sepatu, yang talah ditetapkan
sebelumnya dan dapat dibuat spesifikasinya.
Kerajinan dan seni dapat bersifat komplementer, sehingga substansi benda yang
sama dapat menjadi sebuah karya kerajinan di satu pihak dan sebuah karya seni di pihak
lain. Seorang seniman harus memiliki keterampilan menghasilkan kerajinan terlebih
dahulu. Barulah kemudian dia berkembang. Bisa sekadar menjadi tukang atau seniman.
Collingwood membedakan antara seni sejati (proper art) dan seni gadungan yang
juga dinamakannya sebagai seni hiburan. Jika sebuah artefak didesain untuk
mencetuskan emosi tertentu, dan jika emosi ini dimaksudkan bukan untuk penuangan
ke dalam okupasi kehidupan biasa, melainkan untuk kegembiraan sebagai sesuatu yang
bernilai, maka fungsi artefak tersebut adalah menyenangkan dan menghibur. Ke dalam
seni hiburan maupun seni magis dimaksudkan untuk mencetuskan emosi, keduanya
hanya berbeda dalam peran yang yang dimainkan oleh emosi yangdicetuskannya.
Emosi membangkitkan rasa cinta tanah air dalam sebuah patung lukisan adalah sejenis
53
dengan emosi yang dicetuskan dalam seni hiburan yang khayali atau tidak nyata. Seni
hiburan dan seni magis keduanya hanya kerajinan karena didesain untuk mecetuskan
emosi spesifik yang telah ditetapkan sebelumnya oleh si pembaut artefak.
Seni berhubungan dengan emosi; apa yang dilakukan seni dengan emosi memiliki
kemiripan tertentu dengan pencetusan, namun tidak mencetuskannya. Seniman
berhubungan dengan emosi, dan apa yang dilakukannya dengan emosi tidaklah untuk
mencetuskannya; jadi apa yang dilakukannya? Dapat dikatakan bahwa seni lebih
mengekspresikan emosi daripada mencetuskannya. Argumennya ini dapat
digambarkan sebagai berikut. Seni memiliki hubungan dengan emosi. Seni pasti
mencetuskan dan mengekspresikan emosi. Jadi, hanya ada dua kemungkinan. Seni
bukanlah kerajinan. Jadi, seni tidak dapat mencetuskan emosi karena jika
melakukannya ia akan menjadi kerajinan. Akhirnya seni adalah ekspresi emosi.
Ekspresi emosi dapat diwujudkan dalam sejumlah cara. Ekspresi yang umum
dalam kehidupan sehari-hari terjadi secara alami dan tidak terkontrol. Untuk
mengekspresikan marah, wajah bisa memerah, atau ekspresi ketakutan menyebabka
wajah memucat. Namun, semua itu di luar kendali subjeknya. Eksprsi dalam seni adalah
adanya kendali dan kesadaran mengendalikan emosi. Ekspresi emosi yang dikendalikan
secara sadar adalah bahasa. Seni pasti merupakan suatu bahasa. Pengekspresian emosi
yang merupakan seni seusngguhnya, dan bahasa, semuanya mengarah pada hal yang
sama, yakni ekspresi, seni, dan bahasa.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa ekspresi emosi melibatkan pengetahuan
eksplisit si pengekspresi mengenai emosi spesifik yang diekspresikannya. Emosi
spesifik ini dasarnya adalah emosi umum, hanya saja ada temuan emsi umum (misalnya
marah) yanh spesifik. Tetapi, Colllingwood menegaskan bahwa seniman tidak dapat
mengetahui sebelumnya apa yang akan diekspresikan atau diciptakan. Tak seorang
seniman pun dapat mulai menulis sebuah komedi, tragedi, atau elegi. Jika ia seorang
seniman sejati, ia mungkin akan menulis semuanya ini sebagaimana seniman lain. Ini
untuk menunjukkan bahwa seniman sejati tidak bekerja seperti tukang yang sudah siap
dan tahu persis emosi yang akan diekspresikan sebagai tujuannya. Bagaimana kita tahu
bahwa ekspresi emosi seniman itu benar-benar tak dimaksudkannya sebelum
penciptaan? Kita mengetahu bahwa ia mengekspresikan emosinya berdasarkan fakta
bahwa ia memungkinkan kita mengkspresikan emosi kita.
Pokok lain yang dibahas Collingwood adalah ekspresi dan imajinasi. Agar sesuatu
menjadi karya seni, sesuatu itu harus ekspresif dan imajinatif. Berimajinasi,
54
menurutnya adalah bertindak membentuk image mental, dan bertindak memasukkan
sesuatu ke dalam kesadaran. Batasannya tentang imaji ini banyak mendatangkan kritik.
Konklusinya adalah bahwa semua karya seni itu imajiner dalam pengertian hanya ada
di dalam kepala. Satu-satunya seni sejati adalah image mental yang terbentuk dalam
pikiran seniman sebelum atau padat saat ia menciptakan sebuah objek publik, atau
image mental yang terbentuk dalam pikiran penanggap seni sebagai akibat menanggapi
sebuah objek publik.
Tentang penilaian karya seni yang baik dan jelek, menurut Collinwood adalah
sebuah aktivitas yang membuat si seniman mencoba mengekspresikan emosi tertentu,
namun ia gagal. Sebuah lukisan jelek, pertama-tama harus berupa lukisan. Lukisan
yang jelek bukan berarti tidak lukisan sama sekali. Lukisan jelek telah memenuhi
persyaratan seni yang seharusnya, tetapi gagal dalam beberapa aspeknya.

2.1.4 Morris Weitz : Konsep Terbuka


Konsep terbuka adalah konsep yang tidak memiliki ketentuan esensial bagi
sesuatu untuk menjadi konsep tersebut. Teori konsep terbuka Weitz ini diturunkan dari
konsep terbuka tentang permainan. Tidak ada karakter umum apa pun dalam setiap
permainan. Konsep tentang permainan tidak berlaku umum untuk setiap permainan.
Konsep ini selalu terbuka berdasarkan situasi dan saatnya. Sebuah novel mungkin
memiliki karakteristik tertentu yang bisa saja ada pada novel lain, namun tak semuanya
memiliki karakteristik yang serupa. Justru sebuah novel sering memiliki karakteristik
yang tak ada pada novel mana pun sehinga patut dipertanyakan apakah itu novel atau
bukan. Mempertanyakan apakah X ini sebuah novel tidak memungkinkan satu jawaban
definitif dalam pengertian jawaban faktual. Semua anggota subseni, seperti novel dalam
sastra tadi, tak dapat memilki satu karakteristik karakteristik yang sama, tetapi jelas tak
akan terhindarkan adanya novel dengan karakteristik yang berbeda. Novel demikian itu
akan dimasukkan dalam subkonsep umum, dan ini menunjukkan bahwa subkonsep
tersebut bersifat terbuka.

2.1.5 George Dickie : Seni sebagai Pranata Sosial


Karya seni dalam pengertian klasifikasi adalah sebuah karya dalam pengertian
evaluasi. Jadi, sesuatu itu disebut mengandung atau tidak mengandung nilai tergantung
dari adanya suatu evaluasi nilai. Sebuah karya seni dalam pengertian kualifikasi adalah
sebuah artefak; kemudian, beberapa orang yang bertindak atas bama institusi (pranata)
55
sosial tertentu memberikan kandidat status untuk apresiasi. Jadi, evaluasi suatu pranata
dalam masyarakatlah yang memberkan status pada sesuatu sebagai berstatus seni atau
tidak.
Pandangan pemberian status ini memang cukup kabur, karena pranata seni juga
tidak jelas. Pranata seni tidak didukung oleh persyaratan legal. Pranata seni itu adalah
semua orang yang memandang dirinya sebagai anggota dunia seni, dan karenanya
memiliki kapasitas untuk memberikan status.
Teori pranata seni menyadari bahwa dirinya harus selalu mempertimbangkan
praktek dunia seni. Dalam hal ini harus selalu diperhatikan bahwa syarat menjadi
sebuah karya seni dalam pengertian klasifikasi tidak berarti karya itu memiliki nilai
aktual. Keputusan bahwa sebuah karya menjadi karya seni secara kepranataananya juga
mempertimbangkan latar belakang pranatanya. Suatu karya mungkin saja diakui
bernilai seni dalam satu lingkungan pranata, namun ditolak oleh pranata yang lain.
Sebuah pranata seni bisa menagatakan sebuah karya seni adalah sebuah objek
yang membuat seseorang mengatakan bahwa ini adalah karya seni. Tampaknya
sembarangan, tetapi pranata semacam itu mempertaruhkan semua martabat dirinya
untuk menyatakan demikian. Jika sebuah pranata secara sembarangan mentahbiskan
sebuah artefak sebagai karya seni, pranata tersebut akan mendapati kepercayaan
terhadapnya segera hilang.

2. Estetika Posmodernisme
Seperti halnya yang terjadi pada kemunculan pemikiran filsafat Kritisisme yang
mengkritik faham sebelumnya yakni Klasik-Dogmatisme, faham posmodernisme ini
juga muncul sebagai upaya dari sebuah pergerakan pemikiran para tokoh pemikir untuk
mengritik pandangan atau pemikiran modernisme. Hal ini karena dalam banyak hal,
selain memperlihatkan segi-segi positif, modernisme sebagai sebuah faham yang
berkembang begitu luas dalam berbagai kehidupan ini, ternyata juga memperlihatkan
banyak segi-segi negatif.
Secara umum, faham modernisme mengembangkan narasi-narasi besar (grand
narrative) dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain : rasionalisme,
kapitalisme, individualisme, ekspresionisme, eksistensialisme, kubisme, abstrakisme,
strukturalisme, dan feminisme yang berdampak terjadinya dehumanisasi, yaitu
kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot, dan kaku. Seolah-olah
kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini.
56
Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi, yaitu semacam upaya untuk
mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku
(universlisme). Ideologi isme-isme, atau kondisi semacam inilah yang dikritik, dilucuti,
dibongkar, atau ingin didekonstruksi oleh posmodernisme.
Dalam faham posmodernisme, pluralitas, heteroginitas, dialog, interaksi, dan
relasi dengan unsur-unsur dan realitas yang lain, kreativitas yang mengalir terus
mendapat tempat dan lebih dihargai. Posmodernisme memberi kebebasan kehidupan
dan kreativitas untuk menemukan unsur-unsurnya sendiri atau jati dirinya. Beberapa
aspek sentral yang diasosiasikan dengan posmodernisme dalam seni antara lain
penghapusan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, ekologis, lebih bersentuhan
dengan lingkungan alam, runtuhnya perbedaan hirarkhis antara kebudayaan popular
dan kebudayaan elit (tinggi), eklektisisme, stilistik, dan percampuran kode atau aturan.
Terdapat parodi, pastiche, dan semangat untuk bermain-main. Sejalan dengan hal ini,
posmodernisme menghargai hal-hal yang bersifat lokal, spekulatif, irasional,
pengalaman mistik, pengalaman pribadi, konteks, emosi, tradisi, adat-istadat, magis,
dan kelompok minoritas; suatu hal yang dalam faham modernisme tidak mendapat
tempat atau diabaikan.
Pendek kata, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, posmodernisme
adalah sebuah gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni, yang
memberikan pemahaman baru yang berbeda (dekonstruksi) atas apa-apa yang telah
menjadi semacam mistifikasi atas kebenaran atau kenyataan tunggal yang
dikembangkan oleh ideologi modernisme. Melalui pemahaman lebih baru itu, seni,
menjadi sarana bagi seniman untuk mengembangkan barbagai kemungkinan dalam
mengungkapkan berbagai ide seninya secara lebih fleksibel (lentur) sesuai dengan apa
yang dikehendaki secara lebih spesifik, bebas kreatif, dan humanistik; baik dalam
pemilihan medium yang digunakan, proses penciptaannya, bentuk yang dihasilkan, dan
pesan atau makna yang ingin disampaikan.

3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi tersebut dalam bentuk resume yang singkat dan
padat.

57
Suplemen
Seni Kontemporer
Oleh : Jim Supangkat

Belakangan ini beredar cukup luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer” yang punya
tujuan praktis menemukan pengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri-
cirinya pada karya seni (rupa).

Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruang makna ”seni kontemporer”
kosong. Isi ruang makna ini jejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayai
lagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer. Karena itu, upaya terbaik
memahami seni kontemporer adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—
berkembang sampai pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.

Pemikiran modern itu percaya dunia modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah
oleh kebudayaan etnik dan tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang
terpecah-pecah ini mencerminkan dunia masa lalu.

58
Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan budaya tidak popular ada pemikiran
modern. Para pendukungnya tidak suka menggunakan istilah ”kebudayaan modern”
walau tidak sampai menyebut istilah ini salah.

Dalam teori-teori budaya ada keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam
pemikiran modern pemahaman ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan
muncul bermacam-macam seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern,
hanya ada satu seni di dunia modern yang homogen, yaitu seni modern.

Premis-premis seni modern ini muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran
filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusan
perkembangan seni pada kebudayaan Barat. Namun lebih banyak yang melihatnya
sebagai pemikiran yang muncul bersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul
di Eropa juga.

Seni modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara
dari semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang
mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan dan seni
diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu, seni modern disebut juga seni
avant garde. Demi terobosan seniman berada di luar zamannya, di luar masyarakat dan
di luar semua konvensi sosial.

Dipengaruhi materialisme—yang mendasari seluruh pemikiran modern—seni modern


mengutamakan kekonkretan (dalam upaya memahami ”the real”). Karena itu,
manifestasi seni modern yang utama adalah seni rupa (membawa sifat konkret).
Persepsi ini membuat seni rupa menjadi ”jantung” seni modern. Pemikiran seni
terkonsentrasi di dunia seni rupa ini dan sejarah seni rupa modern dipercaya
mencerminkan sejarah seni modern. Infrastruktur seni modern yang paling kompleks,
megah, dan mahal—museum-museum— adalah infrastruktur seni rupa.

Seni modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia
modern. Ilmu pengetahuan menggali dunia material dengan kepercayaan pada
obyektivitas. Seni modern adalah seni yang diarahkan mencari obyektivitas (mencari
the real presence of being).

Seperti ilmu pengetahuan, seni modern mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan
orang-orang) yang dipercaya paling menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan
cutting edge perkembangan yang menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat
seni modern merupakan bagian infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni dan
bukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).

Pemikiran modern itu bertahan cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu
muncul tanda-tanda keruntuhan. Salah satu tanda penting keruntuhan ini adalah
gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran dalam
perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan hukum-hukum
alam dan kehidupan (universal laws).

Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan bahasa dalam
penghimpunan pemikiran seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida,

59
khususnya tentang pengertian ”presence”. Kritik ini seperti membuka kotak pandora
berbagai ”keburukan” pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.

Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul ke permukaan. Pangkalnya adalah sikap
kritis melihat pengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran modern yang
membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekali bukan representasi kehidupan
(modern) masa kini. Dari kritik ini muncul pemikiran baru yang berpangkal pada
pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ).

Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam
memahami seni. Berkembang kesadaran bahwa seni bukan bagian dari infrastruktur
seni yang dikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada
di luar masyarakat dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedang
dipersoalkan yaitu contemporary culture. Dari sini muncul istilah ”seni kontemporer”
atau contemporary art.

Dua pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni
kontemporer. Di satu sisi, bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisi
dan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana melihat
globalisasi yang melahirkan keseragaman—seperti prediksi pemikiran modern—
dalam budaya kontemporer.

Di dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra
senantiasa dikaji terpisah) pemahaman tentang keragaman budaya tidak menimbulkan
pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik modern dan
estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari, teater, dan musik, gejala seni kontemporer
sudah bisa dibaca.

Pencapaian itu tidak terlihat di dunia seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung”
pemikiran seni modern. Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah
terstruktur. Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari
epistemologi Cartesian (mendasari pemikiran modern) yang bipolar. Kendati terkesan
paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini memacetkan pemikiran seni kontemporer
dan membuat ruang makna ”seni kontemporer” masih kosong.

Ketika pertanyaan, apakah seni kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia
seni rupa yang mencuri perhatian itu membangun sangkaan bahwa persoalan seni
kontemporer adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary
art, dibaca, dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa kontemporer”, yang lepas dari ”seni
kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman yang mengandung kebingungan karena
tidak umum diketahui bahwa istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni” dan
sekaligus ”seni rupa”—dalam bahasa Indonesia keduanya terpisah dengan jelas.

Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu mencerminkan persepsi seni pada pemikiran
modern yang sulit dipahami dan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia gagal
karena membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia
yang mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.

Jim Supangkat Kurator Independen

60
Sumber : http://.kompas.com/read/xml//2008/07/13/01275943/seni kontemporer

Hyper-Reality
(sumber : http://aprillins.com/jean baudrilard.tentang simulacra dan hiperealitas)

Hiperealitas menciptakan satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan


keaslian; masa lalu berbaur masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda
melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori
kebenaran, kepalsuan, keaslian, isu, realitas seakan-akan tidak berlaku lagi di dalam
dunia seperti itu.

“Baudrillard menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat


merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan
komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi, dan ilmu-
ilmu alam lainnya di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi
sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu
yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard
sebagai hyperreality.” (Lechte, 2001, hal. 352)

Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan
dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari
masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena
pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat
menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang
mereka junjung tinggi.

Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak


sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder, sampai tertier. Ditemani
oleh kekuatan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk menjadi
lebih gencar tambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan pihak pengusaha
untuk mendapatkan informasi seperti apakah masyarakat yang dihadapi, dan pihak
konsumen mendapatkan informasi tentang kebutuhan yang mereka tidak butuhkan
tetapi mereka inginkan. Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan
keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiperrealitas ini.

Sumber :

http://www.egs.edu/faculty/baudrillard.html#top

http://www.infed.org/thinkers/baudrillard.htm, 2006

http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/Levels%20of%20theories/micro/semiot
ics.htm, 2006

61
http://www.uta.edu/english/hawk/semiotics/Baudrillard and Simulation.htm.htm

Lechte, John, 2001, 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Maarisit, Marthen L., Hipersemiotika dan Postmodernisme, http://www.glorianet.org/

Sumber Pustaka Bahan Ajar

.Anwar, W. 1985. Filafat Estetika. Yogyakarta : Nur Cahaya.

Awuy. T.1994. “Posmodernisme Bukan sebuah Isme” dalam Suara Merdeka.

Awuy,T.1999. Wacana, Tragedi, dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta : CV.


Lentera Wacana Publika

Djelantik, A.A.M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni


Pertunjukan Indonesia.

Featherstone, M. 2005. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.

Hartoko, D. 1981. Manusia dan Seni. Yogyakarta : Kanisius.

Kartika, S.D.2005 Seni Rupa Modern. Bandung : Rekayasa Sains.

Osborn, H. 1970. Aesthetics and Art Theory. New York : E.P.Dulton & Co.Inc.

62
Sahman, H. 1993. Estetika : Telaah Sistemik dan Historik. Semarang : IKIP Semarang
Press.
.Sugiharto, I.B. 1996. Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta :
Kanisius.

Sumardjo, Y. 2000. Filsafat Seni. Bandung : Penerbit ITB.

Sutrisno SJ, M dan Verhaak SJ, Ch. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta :
Kanisius.

The Liang Gie. 2005. Filsafat Keindahan. Yogyakarta : PUBIP.

The Liang Gie.2005 . Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta ; PUBIP.

Smiers, J. 2009. Arts Under Pressure. Terjemahan : Umi Haryati. Yogyakarta : ISIST
Press.

63

Anda mungkin juga menyukai