ESTETIKA BARAT
DISUSUN OLEH
Ryan Saharatua
NIM. 1643400034
1. TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
pengertian estetika dan ruang lingkup kajiaanya, serta dapat memahami tentang
teori keindahan.
2. Materi Perkuliahan
0
2.1 Pengertian Estetika
Estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Kata estetika
dikutip dari bahasa Yunani aisthetikos, atau aisthanomai yang berarti mengamati
dengan indera (Lexicon Webster Dic: 1977:18). Pengertian tersebut juga berkaitan
dengan istilah aesthesis (bahasa Yunani) yang mempunyai pengertian pengamatan.
Feldman dalam hal ini melihat estetika sebagai ilmu pengetahuan pengamatan
atau ilmu pengetahuan inderawi, mengacu pada kesan-kesan inderawi. Demikian juga
J. Addison, memadankan estetika dengan teori cita rasa, dilandasi tradisi empirisme
dan teori yang mengacu kepada tradisi lain yakni menurut pandangan Platonis dan
Neoplatonis. Struktur teori ini telah dikembangkan menjadi lima bagian yakni: (1)
persepsi, (2) cita rasa, (3) produk mental, (4) objek pengamatan, (5) pertimbangan cita
rasa ( Dickie, 1989) sehingga jika dilihat dari kelima struktur tersebut maka teori
pengamatan identik dengan teori cita rasa.
Secara luas estetika mempunyai pengertian, semua pemikiran filosofis
keindahan (yang berkaitan dengan seni). Estetika muncul tatkala para filusuf memiliki
pemikiran terbuka untuk meneliti , dan memiliki perasaan haru ( Paul Valery). Seperti
yang diutarakan Hegel bahwa filsafat seni membentuk bagian yang sangat penting
dalam struktur filsafat. Estetika sebagai filsafat seni, telah berkaitan dengan etika dan
logika. Karena itu estetika, etika dan logika membentuk tritunggal ilmu-ilmu normatif
di dalam filsafat. Jerome Stolnitz menggaris bawahi bahwa estetika dianggap sebagai
telaah filsafat keindahan dan keburukan. Selain itu, dikatakan bahwa estetika adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral yang
berkaitan dengan karya seni.
Di sisi lain John Hosper mendefinisikan estetika sebagai salah satu cabang
filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis., artinya estetika tidak
hanya sekedar mempermasalahkan tentang objek seni, melainkan seluruh permasalahan
yang berkaitan dengan suatu “karya yang indah”. Demikian halnya Plato mengutarakan
ciri-ciri dan hukum keindahan, Aristoteles dalam hal ini merumuskan keindahan
sebagai suatu yang baik dan menyenangkan, sedangkan Politinus menulis tentang ilmu
dan kebajikan yang indah. Orang Yunani juga mengemukakan bahwa keindahan
berkaitan dengan tradisi atau adat kebiasaan, selain itu mereka juga mengenal
pengertian keindahan yang bersifat kasat mata, dikenal dengan sebutan symetria, misal
pada karya seni visual , dan harmonia untuk keindahan dalam seni musik yang
1
berkaitan dengan pendengaran. Jadi pengertian estetika secara luas meliputi keindahan
seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual.
Beberapa ahli pikir menyatakan bahwa keindahan tersusun dari berbagai
keselarasan dan perlawanan unsur-unsurnya seperti garis, bentuk, nada dan kata-kata,
ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan bentuk
yang terdapat di antara pencerapan inderawi, sehingga bisa dibedakan antara
ekstraestetis dan intraestetis. Keindahan yang menyangkut pengalaman estetis
seseorang yang berkaitan dengan segala sesuatu yang tidak secara langsung dicerap
melalui indera, disebut ekstraestetis, sedangkan intraestetis adalah segala sesuatu yang
bersifat kasat mata, berkaitan dengan penglihatan (jiwo katon), berupa keindahan
bentuk, warna, garis, tekstur, ruang, cahaya dan sejumlah kualita pokok tertentu antara
lain; kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry)
keseimbangan (balance), irama (rytme), perulangan (repetion), perlawanan, (contrast),
dominasi (emphasis) (lihat Read; 1998)
Estetika sebagai bagian dari kebudayaan dalam berkesenian berisi tentang (1)
nilai-nilai,(2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4) kepercayaan atau keyakinan
tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut digunakan untuk menciptakan dan
memahami suatu karya seni. Kendati kedinamisan perkembangan suatu kebudayaan
akan mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai.dan konsep estetika,secara
kontektual, estetika ditentukan oleh keadaan, kebudayaan dan peradaban yang berlaku.
Sebagai contoh, dari sudut pandang ekonomi “kecil itu indah” atau “sederhana itu
indah” (konsep estetika Jepang). Pengertian estetika dari berbagai sudut pandang ilmu
pengetahuan lainnya misal, “pikiran original itu indah” dan dari sudut pandang
teknologi, bisa mengatakan: “teknologi itu indah” atau “rasional itu indah”. Sehingga
konsep estetika bukan saja untuk para pencipta karya seni, tetapi bisa untuk siapa saja
yang dapat menentukan dan merasakan keindahan secara kontekstual berdasarkan
tingkat apresiasi, situasi dan latar belakang budaya.
Akhirnya pengertian estetika meliputi totalitas dari esensi kehidupan yang
mampu menggelitik jiwa manusia, dan berlaku terhadap apa saja yang dirasakan
manusia sejalan dengan konsep hidup dan jamannya. Gejala semacam ini merupakan
suatu kenyataan, bahwa estetika bukan lagi suatu yang perlu diagungkan seperti yang
pernah terjadi pada abad pertengahan, melainkan telah melebur dalam totalitas yang
disebut dengan era “Estetika Paripurna” (Sutrisno 1999). Salah satu yang paling penting
dalam konsep estetika ini adalah keindahan yang melekat pada karya seni atau
2
merupakan ruh dari suatu karya seni. Dalam estetika modern, lebih cenderung
membicarakan tentang seni dan pengalaman estetik, karena keindahan bukan
pengertian yang bersifat abstrak tetapi merupakan suatu gejala kongkret yang dapat
ditelaah dengan pengamatan empiris serta dapat diuraikan secara sistematis.
Sebelum abad ke 18 muncul teori keindahan yang mempermasalahkan tentang
hakikat keindahan dan setelah abad ke 18, mulai dibicarakan tentang keindahan yang
adiluhung dan keindahan yang dangkal, di antaranya adalah: Kant, Shaftesbury,
Hutcheson, Burke, dan Alison (sebelum abad ke18). Mereka menyoroti tentang teori
selera (taste theory) dengan menggunakan “pengalaman keindahan” sebagai
pendekatan analisisnya. Selain itu mereka juga mengaitkan seni dalam estetika dengan
rasa indah, halus, dan luhung Kemudian setelah abad ke 18 arti kata “indah” disamakan
dengan “sesuatu yang mempunyai nilai estetis” lazim digunakan untuk mengkaitkan
seni dengan alam. Sehingga masalah keindahan dibahas melalui dua teori yakni teori
estetika dan teori seni. Secara rinci akan dibicarakan dalam mata kuliah estetika 2.
2.2 Lingkup Kajian Estetika.
2.2.1 Hubungan antara Keindahan dan Kebudayaan.
Keindahan adalah filsafat tentang segala sesuatu yang indah atau ilmu tentang
keindahan dan “cita rasa”. In essence, aesthetics is philosophy of the beautiful, the
science of beauty and “taste” ( Hope M. Smith, 1968) Mengacu dari pendapat Smith
tersebut, keindahan tidak terlepas dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan
penentu corak, typical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung
kebudayaan tersebut.
Di sisi lain manusia sebagai mahluk multidimensi mempunyai peran untuk
mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya. Konsep
keindahan dan cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari ajaran-ajaran agama dan konsep
budaya dari masing-masing kelompok. Estetika sebagai sub sistem kebudayaan dalam
berkesenian berisi tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3) gagasan-gagasan vital, (4)
kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian. Nilai atau pedoman tersebut
digunakan untuk menciptakan dan memahami karya seni.
Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem makna atau
sistem-sistem simbol. Fungsinya bukan hanya digunakan atau menjadi pedoman
strategi adaptasi dalam menghadapi lingkungan dan sumber daya alam, tetapi sekaligus
berfungsi sebagai pedoman strategi dalam menghadapi lingkungan sosial dan
3
lingkungan kebudayaan itu sendiri (Suparlan Parsudi 1995 ). Budaya sebagai acuan
bagi suatu masyarakat yang bersifat normatif, maka ia mampu melahirkan “gaya hidup”
tertentu, serta memberi makna yang dapat membedakan dengan kelompok lain. Misal
kebudayaan Jawa berbeda dengan kebudayaan Irian, Sumatra, Bali dst, demikian juga
kebudayaan Indonesia, berbeda dengan kebudayaan Jepang, Korea, Eropa atau India.
Di dalam suatu kebudayaan mengandung unsur-unsur seperti ilmu pengetahuan,
kepercayaan (termasuk agama) dan nilai-nilai (etika dan estetika). Agama dalam hal ini
merupakan salah satu unsur dari kebudayaan telah beroperasi dan berperan melalui
kebudayaan. Agama bersifat Illahi sebagai sistem kepercayaan terhadap adikodrati,
yang berkaitan dengan nilai, norma, kelembagaan dan simbol-simbol tertentu. Sehingga
agama sebagai pedoman bagi ketepatan kebudayaan, telah berfungsi untuk
menstrukturkan kebudayaan, dan beroperasi melalui sistem simbol pada tingkat
emosional, kognitif, subjektif dan individual. Keberadaan kebudayaan itu telah
didukung oleh manusia, maka dengan sendirinya manusia tidak dapat terlepas dari
kebudayaan tersebut, karena budaya merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi
manusia,
Manusia adalah mahluk multidemensi, yang pada awalnya seperti halnya
mahluk yang lain memiliki jasmani dan kebutuhan biologis, tetapi untuk membedakan
manusia dengan mahluk lain adalah pada kebutuhan integratif, suatu kebutuhan yang
berkenaan dengan hakikat manusia sebagai mahluk berpikir, bermoral dan bercita-rasa,
mencakup etika-estetika dan seni. Kendatipun masih ada dua kebutuhan lainnya
sebagai penunjang kehidupan manusia yakni kebutuhan primer; adalah kebutuhan yang
bersumber pada aspek biologis berkaitan dengan kelangsungan hidup seperti sandang,
pangan, dan papan. Dan kebutuhan sekunder atau sosial; merupakan suatu kebutuhan
yang berkaitan dengan keterlibatan hidup orang lain.
Etika dalam hal ini merupakan nilai-nilai moral menyangkut agama terdiri dari
(a) kesediaan untuk bertanggung jawab, (b) kejujuran, (c) kemandirian moral, (d)
prinsip sikap baik-buruk (lihat Magnis Suseno; 1998). Sedangkan seni, desain,
teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan perwujudan dari kebudayaan. Secara
realitas karya seni / desain tidak lebih dari fenomena praktis kebutuhan manusia atau
sebagai proyeksi diri manusia dalam dimensi lain yang mencerminkan suatu sikap
budaya dari kelompok manusia dalam membangun lingkungannya. (Malvin Rader:
1990). Sikap budaya dalam hal ini merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia
untuk memberi makna kultural dan makna sosial terhadap setiap pemikiran dan
4
perbuatan manusia. Selain itu mampu memperkaya nilai-nilai dan khasanah peradapan
rohani di sekitarnya. Sedangkan keindahan merupakan ruh dari kesenian dan sebagai
sistem dalam kebudayaan dalam berkesenian yang berisi nilai- nilai, pedoman-
pedoman, gagasan vital serta kepercayaan atau keyakinan tentang berkesenian.
Manusia juga memiliki empat demensi yakni (1) dimensi pengalaman (2)
dimensi pikir, (3) dimensi rasa, (4) dimensi keyakinan. Semua dimensi tersebut
mengarahkan manusia menjadi manusia yang manusiawi dan manusia yang utuh. Jika
perkembangan dari salah satu aspek dimensi tidak seimbang maka akan menjadikan
manusia yang kurang manusiawi. Untuk menjadikan manusia yang utuh dan seimbang
diperlukan keseimbangan untuk mengembangkan dimensi-dimensi rohaninya.
Dimensi-dimensi tersebut digambarkan sebagai berikut:
FILSAFAT
AGAMA
(KEYAKINAN) (PIKIR)
SENI
(RASA) ILMU
(PENGALAMAN)
5
Berdasarkan apresiasi dari pengalaman manusia, serta mengandung das sollen
dan das sein.
6
Menurut Schopenhauer hanya para komponis yang benar-benar bisa bebas
mencipta karya seni lepas dari kesadarannya sendiri, tidak mempunyai tujuan lain
kecuali agar dapat menyenangkan. Kendatipun semua seniman mempunyai tujuan yang
sama yakni menyenangkan publik. Sehingga seni secara sederhana didefinisikan
sebagai usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang meyenangkan dan bentuk-
bentuk tersebut dapat memberikan kepuasan rasa ’indah’. Terpenuhinya rasa indah
akan terjadi, jika seseorang pengamat dapat meresapi kesatuan atau harmoni dari tata
susunan bentuk.
Seni sebagai kegiatan budi pikiran seniman, secara mahir diciptakan sebagai
suatu karya yang mengekspresikan perasaan seniman. Hasil ciptaan itu merupakan
kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat ekspresif yang
termuat dalam suatu medium inderawi. Sebagai suatu kesatuan organis, karya seni
terdiri dari beberapa unsur ekspresif dalam suatu bentuk tertentu. Setiap bagian atau
unsurnya tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk satu kesatuan organis ( catatan :
sedangkan kesatuan dari unsur-unsur mekanis adalah unsur-unsur yang tersusun dari
luar dan tidak saling berhubungan, sehingga masing-masing unsur dapat saling bertukar
tempat dengan tanpa merusak kesatuan dalam suatu komposisi.)
. Estetika, secara umum mempunyai pengertian sebagai suatu cabang filsafat
yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah yang terdapat pada
alam maupun seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Penggunaan
istilah estetika berbeda dengan filsafat keindahan, karena estetika semata-mata tidak
lagi menjadi permasalahan di dalam ilmu filsafat. Estetika memuat bahasan ilmiah
yang berkaitan dengan karya seni, sehingga estetika termasuk lingkup bahasan ilmiah,
yang mencakup tentang keindahan dalam seni, pengalaman seni, gaya atau aliran seni,
dan perkembangan seni.
Masalah-masalah yang diketengahkan dalam kajian estetika menurut George
T.Dickie adalah pertama, pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau
menilai karya-karya seni yang khas. Kedua, pernyataan yang bersifat umum oleh para
ahli sastra, musik atau seni visual untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik,
missal tragedi, bentuk sonata, lukisan abstrak dst . Ketiga, ada pertanyaan tentang
keindahan seni imitasi.
Menurut Louis Kattsof, estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
struktur dan peran dari keindahan, khususnya dalam seni. Sehingga muncul teori-teori
tentang seni, teori tentang keindahan, serta hal-hal yang menjelaskan tentang arti
7
keindahan, keindahan subjektif dan objektif serta masalah peran keindahan dalam
kehidupan manusia. Pada intinya persoalan pokok estetika meliputi empat hal yakni (1)
nilai estetika (esthetic value); (2) pengalaman estetis (esthetic experience) ; (3) Prilaku
pencipta /seniman; dan (4) seni/ karya seni.
Selain pembagian estetika yang berkaitan dengan esensi dan pokok
permasalahan, menurut ruang lingkupnya estetika dibagi menjadi dua bagian, pertama
estetika falsafahi, terdiri dari : pertama, filsafsat keindahan, teori seni indah dan filsafat
kritik; kedua, estetika ilmiah yang meliputi: ilmu seni, psikologi seni, sosiologi seni,
antropologi seni, semiologi seni, sejarah seni dan filsafat seni.
Filsafat seni merupakan bidang pengetahuan yang senantiasa
mempermasalahkan seni atau keindahan dalam karya seni. Filsafat seni berhubungan
dengan teori penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni (Lucius Garvin). Filsafat
seni bagi Joseph Brennan, merupakan telaah mengenai asas-asas umum penciptaan dan
apresiasi seni. John Hosper memandang filsafat seni lebih sempit dari pada estetika,
alasannya filsafat meliputi konsep-konsep seni dan persoalan-persoalan yang timbul
dalam karya seni. Berkaitan dengan pendapat dari para ahli tersebut, Thomas Munro
merinci berbagai persoalan yang berkaitan dengan filsafat seni atau estetika modern
sebagai berikut :
(1) Penggolongan sistematika seni
(2) Morfologi estetis; telaah deskriptif tentang bentuk seni dan gaya dalam berbagai
seni.
(3) Teori sejarah seni: berkaitan dengan adanya kecenderungan utama, pola-pola,
pengaruh-pengaruh, sebab akibat, dan gaya-gaya dalam seni yang berhubungan
dengan factor budaya.
(4) Sosiologi seni; menjelaskan kausal antara karya seni dengan kondisi social
budaya masyarakat atau sebaliknya.
(5) Semiologi seni; membahas tentang masalah-masalah bahasa seni berupa tanda,
symbol, serta konsep-konsep dalam seni.
(6) Ragam dan gaya seni, membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan
sifat dasar manusia, pribadi dan social.
(7) Pengetahuan tentang jenis akibat yang cenderung memperngaruhi manusia
dalam berbagai kondisi..
Pembagian filsafat berdasarkan karakteristik filosofis adalah; spekulatif,
mendasar, menyeluruh dan logis. Bentuk ajarannya adalah sistemik konsepsional.
8
Berikut ini disajikan dua penggolongan yaitu penggolongan berdasarkan subjek dan
penggolongan bersadarkan objek antara lain sebagai berikut :
Penggolongan Filsafat Berdasarkan Subjek :
ONTOLOGIA : MANUSIA
ADA THEOLOGIA : TUHAN
COSMOLOGIA: ALAM
LOGIKA
PENGETAHUAN ANTROPOLOGIA
ETIKA
PENILAIAN ESTETIKA
ADA
UMUM
KHUSUS
MUTLAK
TIDAK MUTLAK
ALAM MANUSIA
MANUSIA :ANTROPOLOGIA
ONTOLOGIA : MANUSIA AKAL : LOGIKA
THELOGIA : TUHAN TINGKAH LAKU :ETIKA
COSMOLOGIA : ALAM KEINDAHAN :ESTETIKA
2.2.3 Hubungan antara Tiga Aspek dalam Seni: Karya Seni, Seniman, dan Publik
Seni
9
Lingkup kajian dalam filsafat keindahan ini terdiri dari tiga kenyataan; pertama,
objek seni atau segala sesuatu yang berkaitan dengan seni; kedua, pendapat
(pandangan) tentang seni dan; ketiga, adalah fakta. Kenyataan pertama berupa objek
seni yang meliputi karya seni; aktivitas penciptaan/seniman dan pengamat atau publik
seni. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Secara rinci dijelaskan sebagai berikut:
(1). Karya / benda seni
Karya atau benda seni ini terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk dalam hal ini
mempunyai pengertian suatu kesatuan organis yang terdiri dari unsur-unsur seni, yang
memiliki nilai ekspresi atau nilai ungkap. Unsur-unsur tersebut terdiri dari representasi,
kualitas keinderaan (sensasi) dan konotasi. Representasi merupakan perwujudan
ekspresi, yang mengandung sensasi /sensori (suara, warna, bentuk, tekstur, ruang,
cahaya, dst). Sensori ini merupakan kualitas keinderaan/ kepekaan terhadap rangsangan
yang menciptakan suasana perasaan misal, rasa segar, senang, bahagia, sedih dst. Di
sisi lain wujud tidak hanya dipahami secara tuntas sebagai wujud, tetapi ada sisa sesuatu
yang tidak bisa tertangkap indera yakni isi atau makna. Dalam hal ini untuk
memperoleh makna/ isi,perlu melakukan konotasi terhadap karya/ benda seni dengan
cara mengkaitkan antara unsur, prinsip dan lingkup budaya. Bentuk dan isi dalam suatu
karya seni merupakan satu kesatuan. Bentuk lebih menekankan pada munculnya
kesatuan di antara unsur-unsurnya dalam bentuk organis. Sedangkan isi adalah unsur-
unsur yang membentuk struktur dalam ’kesatuan arti’ atau makna. Karya seni bisa
diterima oleh penikmat atau publik seni, jika nilai-nilai yang terdapat karya seni
tersebut juga bisa diterima oleh publik pengamat seni. Dengan demikian maka akan
terjadi komunikasi seni. Komunikasi akan terjadi jika publik/ pengamat seni
mempunyai pengalaman seni atau pengalaman estetik.
Karya seni terwujud berdasarkan medium tertentu, yakni; (1) medium
pendengaran (audio) menghasilkan seni audio; seni sastra, dan musik (2) Medium
penglihatan (visual) menghasilkan seni visual (seni rupa): seni patung, seni lukis,
arsitektur dst. (3) gabungan keduanya, akan melahirkan bidang seni audio visual : seni
tari, seni teater, seni film dst. Aspek tinjauan seni sebagai benda atau karya seni
(artefak) menyangkut masalah:
Nilai seni ( nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai hidup)
Material seni
10
Bentuk dan isi seni (imajinasi, metafora, simbol, mimesis, ekspresi, subjek
matter dan tema.)
Makna seni
11
universal. Keindahan yang menyangkut seni, mengandung nilai-nilai universal dan
sekaligus juga kontekstual budaya.
(5) Pengalaman Seni.
Pengalaman seni ini diperlukan dalam berkomunikasi seni yakni
mengkomunikasikan nilai-nilai, kualitas perasaan,dan kualitas medium seni itu sendiri.
Dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi diperlukan pengalaman yang melibatkan
kegiatan penginderaan, nalar, emosi dan intuisi. Pengalaman seni berlangsung dalam
suatu proses yang berkaitan dengan waktu. Ada suatu pendapat yang mengatakan
bahwa hakikat seni terletak pada pengalaman seni bukan pada ilmu dan filsafat seni.
Sedangkan analisis pengalaman seni meliputi pengalaman artistik, empati, jarak estetis
dan unsur-unsur serta struktur pengalaman seni.
Hakikat seni kontekstual tidak dapat dipisahkan dari; ideology, sosial, masalah
infrastruktur, struktur perkembangan sejarah seni, tradisi seni, akulturasi budaya,
masalah seni, elit budaya, seni popular, seni rakyat, seni massa, seni elit istana, seni
modern dan seni postmodern. Secara keseluruhan rangkaian dalam pembicaraan ini
adalah topik permasalahan dalam estetika ataupun filsafat seni. Permasalahan yang
masih panjang diperdebatkan adalah masalah ekspresi seni dalam sepanjang sejarah
seni. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa pemikir besar Yunani kuno, Plato dan
Aristoteles telah meletakan dasar-dasar persoalan filosofis seni sampai sekarang.
Berikut bagan eksistensi seni hubungan antara empat aspek dalam seni yakni
karya seni, seniman, publik seni dan konteks seni, seperti yang telah dijelaskan di atas.
NILAI-NILAI SENI
PENGALAMAN SENI
KONTEKS SENI
12
Aspek Konteks seni menyangkut persoalan nilai-nilai dasar dalam suatu masyarakat.
(6) Konteks Seni
Hakikat seni pada konteks : Seni merupakan konsep yang mendapat
kesepakatan dari masyarakat sejamannya. Hakikat seni dapat ditelusur dari berbagai
institusi seni maupun institusi yang bukan seni yang ada dalam masyarakat yang
bersangkutan.
3。TUGAS / LATIHAN :
2. Materi Perkuliahan
2.1. Nilai : Pengertian, Fungsi, dan Jenis- Jenisnya
Nilai, baik sebagai sebuah kata maupun sebagai suatu istilah sudah sering dikenal,
didengar, bahkan sering diucapkan. Namun demikian sangat dimungkinkan masih cukup
banyak orang yang belum mengetahui secara lebih mendalam apa arti, fungsi, makna, atau
jenis-jenis nilai. Acapkali kata atau istilah nilai dipakai begitu saja tanpa mempersoalkan tepat
atau tidak penggunaannya. Nilai, baik sebagai kata atau istilah memiliki pengertian, makna,dan
fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Demikian pula jenis-jenis
nilai juga cukup banyak sejalan dengan bidang-bidang kehidupan yang ada di dalam
masyarakat; tak terkecuali dalam bidang kehidupan seni. Artinya semakin kompleks bidang
kehidupan masyarakat semakin kompleks kemunculan sebuah nilai.
Kata atau istilah nilai, sesungguhnya, bukan sesuatu yang bersifat kuantitatif atau
menunjuk pada sesuatu yang bersifat konkret, melainkan menunjuk pada sesuatu yang bersifat
kualitatif dan abstrak. Nilai dalam bahasan ini bukan score atau biji, yang berfungsi sebagai
angka yang menandai prestasi seseorang seperti yang tertera dalam raport atau laporan hasil
13
belajar. Melainkan harga atau sifat-sifat/ hal-hal yang penting atau berguna bagi manusia ( Lihat
KBBI; 1996: 690 ). Dari sisi filsafat The Liang Gie menjelaskan bahwa istilah nilai sering
dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Selanjutnya ia mengatakan bahwa nilai atau value adalah kemampuan yang
dipercayakan pada sesuatu benda untuk memuaskan keinginan manusia, dan penyebab
ketertarikan minat seseorang atau suatu golongan terhadap benda tersebut. Nilai dalam hal ini
mempunyai makna suatu realitas psikologis karena sebagai penetu nilai adalah jiwa manusia
bukan bendanya.
Sesuai dengan penjelasan tersebut terlihat bahwa nilai merupakan sesuatu yang bersifat
abstrak dan menunjuk pada suatu kualitas tertertu dari suatu objek yang menarik minat atau
perhatian. Minat dan perhatian itu muncul karena ada sesuatu yang berkualitas pada suatu
objek dan berharga bagi diri seseorang. Pada gilirannya akan menimbulkan daya tarik dan
mendorong untuk bersikap dan bertindak untuk dapat memperoleh atau menggunakannya.
Suatu kualitas objek yang dianggap berharga bagi seseorang menandakan bahwa objek itu
memiliki nilai dan suatu yang bernilai acapkali menimbulkan makna tertentu. Suatu nilai,
selain berharga juga mempunyai potensi untuk menimbulkan makna dengan lain kata, makna
merupakan implikasi lebih lanjut dari persepsi suatu keberhargaan. Setiap benda yang
berharga memiliki sebuah makna bagi seseorang. Misal, rokok, kendati tidak menyehatkan,
tetapi bagi sebagian besar orang menjadi salah satu kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan.
Karena ada suatu nilai yang melekat pada rokok yaitu kualitas tertentu sangat berharga yang
dirasakan sebagian orang untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika rokok sangat bermakna bagi mereka yang membutuhkan. Banyak
fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rokok dapat mendorong seseorang untuk bersikap dan
bertindak untuk mengupayakan dengan berbagai cara agar ia dapat memperoleh, memiliki,
dan menikmatinya.
Contoh sederhana tersebut menyiratkan pengertian bahwa nilai merupakan sesuatu
yang dapat mempengaruhi pikiran, sikap, tindakan, atau gaya hidup seseorang atau
sekelompok orang, bahkan masyarakat. Dalam hal demikian, nilai memiliki fungsi
sebagai variabel bebas yang berpengaruh dalam membentuk pikiran, sikap, tindakan,
atau gaya hidup. Dengan kata lain nilai dapat berfungsi sebagai dasar, acuan, rujukan,
pedoman bagi para pemiliknya untuk menentukan arah berpikir, bersikap, dan berbuat
dalam melakukan sesuatu. Fungsi ini menunjukkan bahwa nilai merupakan sumber
dasar pembentukan pola berpikir, pola bertindak, dan pola atau gaya hidup. Tegasnya
dengan nilai, suatu kebudayaan dapat hidup dan berkembang.
Kebutuhan hidup manusia sangat beragam, kompleks, dan bertingkat-tingkat atau
berjenjang sehingga jenis nilai juga sangat kompleks dan beragam (lihat : Piddington
14
dalam Suparlan, 1985). Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain faktor
lingkungan alam, sosial, budaya, dan teknologi variabel ruang dan waktu, juga sangat
ikut menentukan jenis, tingkat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan hidup. Dilihat dari
pandangan filsafat ada empat macam jenis nilai, yaitu nilai logika (kebenaran), nilai
etika (kebaikan), nilai keindahan (estetika) dan nilai kekudusan (agama). Masing-
masing jenis nilai ini tentu memiliki batasan wilayah dan sifat yang berbeda. Namun
tetap memiliki fungsi yang sama, yaitu menjadi dasar, acuan, rujukan atau pedoman
untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang relevan sesuai dengan bidangnya (lihat : The
Liang Gie 2005 : 112). Selanjutnya dari wawasan sosial-budaya Gie, juga
mengetengahkan jenis nilai, antara lain nilai yang berkenaan dengan : kepercayaan,
pengetahuan, moral, ekonomi, politik, hukum, komunikasi, pendidikan, kesehatan,
keamanan, kekerabatan, perkawinan, dan teknologi. Masing-masing jenis nilai ini ada
dan dibutuhkan untuk mengatur atau mengendalikan cara-cara berpikir, bersikap,
bertindak dalam rangka memenuhi dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat yang amat kompleks itu. Tanpa adanya nilai maka kehidupan manusia
tidak akan menjadi tertib atau teratur, liar, tidak berkembang sesuai dengan harkat dan
martabatnya. Tegasnya, tanpa nilai kehidupan manusia tidak berbeda dengan
kehidupan mahluk lain atau binatang.
2. 2. Nilai dalam Karya Seni
Jika dikatakan bahwa kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan
(Koentjaraningrat 1984) maka karya seni adalah produk atau hasil salah satu kreativitas
kebudayaan di samping hasil-hasil kreativitas kebudayaan yang lainnya.. Berbeda
dengan hasil kreativitas kebudayaan lainnya, karya seni memiliki ciri tersendiri yaitu
perwujudannya senantiasa dikemas melalui pertimbangan-pertimbangan atau kaidah-
kaidah estetis. Penggunaan kaidah-kaidah estetis inilah yang menyebabkan
perwujudan seni memiliki citarasa keindahan. Karena itu tidaklah mengherankan jika
secara umum orang mengatakan bahwa seni senantiasa identik dengan keindahan atau
seni adalah perwujudan perasaan akan keindahan itu sendiri. Menurut Bahtiar (1982)
karya seni merupakan salah satu jenis simbol yang masuk dalam kategori simbol
ekspresif yakni simbol pengungkapan perasaan yang, tentu saja, perwujudannya
dikemas melalui bentuk-bentuk estetis.
Sebagai salah satu hasil kreativitas kebudayaan maka karya seni tentu memiliki nilai
tersendiri yang berbeda dengan nilai hasil-hasil kebudayaan yang lainnya. Dalam
wawasan kebudayaan karya seni dilihat sebagai suatu perwujudan manusia dalam
15
upaya mengungkapkan perasaan akan keindahan yang dipedomani atau dipengaruhi
oleh nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan yang menyelimutinya (lihat Melalatoa
1992; Koentjaraningrat 1987). Oleh karena itu nilai karya seni bukan hanya sekadar
perwujudan benda fisik yang berkeindahan tertentu yang lepas dari aspek-aspek lain
yang mempengaruhinya.
Secara sederhana, dengan menggunakan perspektif filsafat, nilai karya seni dapat
dikategorikan dalam tiga jenis nilai, yaitu nilai intrinsik, nilai ekstrinsik, dan nilai
instrumental (lihat : The Liang Gie 2005; ). Berdasarkan perspektif ini uraian berikut
di bawah ini akan menjelaskannya lebih lanjut.
2. 2.1. Nilai Intrinsik
Kata intrinsik artinya adalah yang terkandung di dalamnya (Depdikbud 1989 :
37). Dari arti kata ini kata intrinsik menunjuk pada sesuatu yang ada pada atau dalam
suatu objek. Pada karya seni, dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai intrinsik
adalah kualitas atau sifat yang memiliki harga tertentu itu terletak pada bentuk fisiknya.
Dengan kata lain nilai intrisik karya seni adalah nilai perbentukan fisik dari suatu
karya, yaitu kualitas atau sifat dari perbentukan fisik itu yang menimbulkan rasa atau
kesan indah. Menurut Anwar (1985 : 76-77) suatu perbentukan fisik karya seni yang
menimbulkan rasa indah dianggap memiliki nilai normal karena ia memperlihatkan
fungsi-fungsi psikologis dan sosiologis yang bersangkutan dengan terbentuknya
keselarasan (harmoni). Sebaliknya, karya seni mempunyai nilai negatif,abnormal,
jelek, bila gagal memenuhi salah satu fungsinya yakni memperlihatkan arah yang
menimbulkan rasa atau kesan tidak indah atau bertentangan dengan tujuannya.
Pada musik, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur nada, melodi,
irama, dan harmoni. Pada tari, nilai intrinsiknya antara lain terletak pada unsur gerak
dan pola lantai(wiraga) irama (wirama), pengungkapan atau ekspresinya (wirasa),
dan, bahkan mungkin terletak pada penampilan pakaian atau busananya (wirupa).
Sedangkan pada karya seni rupa nilai intrinsiknya terletak pada struktur dan bentuknya.
Dalam karya seni rupa yang dimaksud dengan struktur adalah susunan atas
serangkaian unsur-unsur rupa (visual) yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur rupa
atau visual itu antara lain adalah garis, bidang, warna, gelap terang, ruang, dan tekstur.
Garis sebagai salah satu unsur rupa bisa diartikan sebagai : tanda atau markah
yang membekas pada suatu permukaan dan memiliki arah (dalam hal ini bisa berupa
grafis yang konkret yang terbentuk oleh suatu goresan yang membetuk irama), batas
suatu bidang/permukaan, dan sifat atau kualitas yang melekat pada objek yang
16
memanjang (Sunaryo 2000:7; lihat juga : Kartika 2004 : 40-41; Wong 1986 : 5).
Djelantik (2000:19) mengemukakan bahwa terbentuknya garis dapat menimbulkan
kesan tertentu pada pengamat, missal garis kencang berkesan keras, keras, sementara
itu garis yang membelok atau melengkung berkesan luwes, lemah gemulai.
Menurut beberapa pendapat ahli (Sunaryo 2000, Kartika 2004; Wong 1986;)
bahwa unsur-unsur rupa seperti : bidang, ruang, warna, dan tekstur dijelaskan konsep
atau pengertiannya sebagai berikut. Bidang sebagai unsur rupa dapat dipahami sebagai
sesuatu yang pipih, terbentuk oleh dua buah ujung garis yang bertemu pada satu titik.
Ia bersifat datas karena tidak memiliki massa/volume. Ruang dsapat dipahami setelah
ada sosok atau bentuk yang mengisinya atau unsur yang mengikutinya. Ruang
mempunyai tiga dimensi, yaitu panjang, lebar, dan tinggi. Dalam seni rupa dua
dimensi, kesan ruang diciptakan oleh ilusi yang dibuat dengan pengolahan garis dan
dibantu oleh warna sebagai unsur penunjang yang mampu menciptakan ilusi sinar atau
bayangan yang meliputi gelap dan terang sehingga memiliki kesan tiga dimensi. Warna
merupakan kualitas rupa yang membedakan kedua objek atau bentuk yang identik
dengan raut, ukuran, dan gelap terangnya. Tekstur adalah sifat atau kualitas permukaan
suatu benda. Ia dapat halus, kasar, polos, licin, mengkilap, berkerut, lunak, keras dan
lain sebagainya. Tekstur terdiri atas tekstur visual dan tekstur taktil. Yang pertama
dicerap me;lalui penglihatan yang kedua dirasakan dengan melihat dan rabaan tangan.
Tekstur taktil dapat berupa tekstur nyata dan tekstur semu.
Struktur atau susunan unsur-unsur tersebut jika ditata atau dikomposisikan
sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah-kaidah estetis yang acapkali dikenal
dengan istilah prinsip kesatuan, irama, keseimbangan, proporsi, dominasi, variasi, dan
harmoni akan menentukan kualitas keindahan fisik suatu karya seni rupa (Lihat The
Liang Gie. 2005; Djelantik 2004; Sunaryo 2000; Kartika 2004; Wong 1`986). Dngan
kata lain dapat ditegaskan bahwa nilai intrinsik karya seni rupa dapat dilihat dari
bagaimana kaidah-kaidah estetis itu digunakan dalam penataan susunan unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya.
2. 2.2. Nilai Ekstrinsik
Berlawanan arti dengan kata atau istilah intrinsik di atas, kata atau istilah
eksrinsik berarti sesuatu yang berada di luar atau di balik suatu objek atau benda. Dalam
kamus kata ekstrinsik berarti berasal dari luar atau tidak merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sesuatu (Depdikbud 1989 : 223). Merujuk pengertian ini maka yang
dimaksud dengan nilai ekstrinsik ialah kualitas atau harga yang berada di luar atau di
17
balik suatu perwujudan fisik. Kualitas atau harga ini merupakan sesuatu yang tidak
konkret yakni berupa pengertian, makna, pesan, dan ajaran atau informasi lainnya
yang berharga. Nilai yang demikian ini dapat pula disebut dengan nilai simbolis, artinya
dalam posisi ini karya seni adalah sebagai simbol yang memiliki makna, pesan, atau
harapan-harapan di luar bentuk fisiknya itu.
Dalam kenyataan, banyak sekali dijumpai karya seni yang hadir tidak hanya
sekadar menciptakan bentuk fisik yang bernilai estetis semata melainkan juga
membawa pesan-pesan, harapan-harapan, atau muatan-muatan makna di luar bentuk
estetisnya itu.
Sebagai contoh, misalnya karya-karya pelukis Indonesia di zaman pra-
kemerdekaan yang menggelorakan semangat perjuangan atau nasionalisme melalui
bentuk-bentuk fisik dengan tema-tema tertentu seperti tema perjuangan, penindasan,
penderitaan, dan lain sebagainya akibat penjajahan Belanda dan Jepang. Demikian pula
pada zaman pasca kemerdekaan hingga pada era modern sekarang banyak dijumpai
karya-karya seni rupa yang selain menampilkan bentuk-bentuk fisik estetis yang kreatif
juga membawa pesan, harapan, muatan-muatan makna tertentu di luar bentuk fisiknya.
Pada karya-karya instalasi misalnya, seniman bukan hanya sekadar menciptakan
bentuk-bentuk kreatif yang unik, menarik, dan bahkan terasa absurd, tetapi lebih dari
itu mereka ingin menyampaikan sesuatu di balik karya nya. Dengan kata lain karya
tersebut berfungsi sebagai simbol dari apa yang sejatinya dirasakan atau diinginkan.
3. Tugas
Diskusikan dengan anggota kelompok Saudara tentang jenis-jenis dan makna
nilai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Saudara. Masih dalam
kelompok diskusi Saudara, amati dan identifikasi beberapa jenis karya seni
rupa dilihat dari nilai intrinsik, ekstrinsik, dan instrumentalnya.
Buat laporan kelompok hasil diskusi Saudara dalam suatu kertas kerja (paparan)
untuk disampaikan dalam forum diskusi kelas.
20
ESTETIKA KLASIK DOGMATIS
1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika klasik-dogmatis yang meliputi konsep estetika platonisme dan konsep
estetika neo-platonisme.
2. Materi Perkuliahaan
2.1.1 Plato
Dalam tulisan Sahman (1993) dijelaskan beberapa pemikiran tentang pemikian
Plato mengenai hakikat keindahan. Pandangan Plato mengenai konsep keindahan
dikembangkan berdasarkan teori atau konsep tentang idea atau eidos. Plato berpendapat
bahwa keindahan sebagai konsep idea memiliki esksistensinya sendiri terlepas dari
eksistensi yang lain. Eksistensi idea bersifat transendental dan berada pada alam
spiritual yang serba sempurna. Dunia idea merupakan kenyataan yang sesungguhnya
yang paling sempurna dan menjadi contoh atau model yang abadi dan dilihat sebagai
landasan untuk membuat kenyataan yang bersifat fisik. Kenyataan-kenyataan fisik yang
bersifat alamiah bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Eksistensi dari kenyataan
fisik atau alamiah hakikatnya adalah kenyataan semu atau tiruan dari kenyataan idea.
Dalam kaitan dengan seni, keindahan yang muncul bersifat semu atau tiruan dari
keindahan yang ada di dunia idea. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa keindahan
seni adalah imitasi yang bersifat mimesis (meniru) dari keindahan sesungguhnya yang
berada di dunia idea.
Dengan menganggap bahwa seni pada hakikatnya adalah imitasi atau mimesis
dari dunia idea, Plato ingin menunjukkan bahwa keindahan seni memiliki kedudukan
atau derajatnya lebih rendah jika dibandingkan dengan keindahan idea. Dikatakan
demikian karena keindahan seni yang muncul bersifat semu atau hanyalah merupakan
21
tiruan yang, tentu saja, tidak akan pernah memiliki kesempurnaan. Dengan kata lain
bagi Plato, seni sebaiknya tidak meingimitasi apa pun yang ada di sekitar kita sebagai
sesuatu yang pernah ditahui atau dikenal sebelumnya. Seni yang baik, dengan
demikian, mempersyaratkan adanya peran inspirasi dalam arti menyatu dengan
keindahan idea (a communion with the idea of beauty). Pandangan ini menyiratkan
bahwa sesungguhnya Plato tidak menyukai seni apa pun yang bersifat imitatif. Eidos
(idea keindahan) menjadi kata kunci yang harus dijadikan sebagai acuan dalam
membuat karya seni. Jika keindahan idea yang diacu, maka karya yang dibuat akan
berpartisipasi di dalam eidos, artinya akan ikut menjadi indah karena mendapat aliran
atau emanasi eidos keindahan itu.
Untuk mencapai eidos, bisa dilakukan melalui nous (arti harafiahnya adalah
intelegensi atau kemampuan menalari secara dialektis). Sebelum memasuki dunia yang
tidak sempurna, nous sempat melihat eidos. Eidos tertanam dalam jiwa atau nous (yang
dimaksud jiwa pranatal, jiwa yang belum diturunkan ke dunia menyatu dengan raga)
untuk selama-lamanya, dan dapat dikenali dengan anamnesis (pengenalan kembali).
Lewat communion with the idea of beauty seniman akan mengamnanesis eidos. Namun
produk anamnesis ini tidak pernah akan sesempurna eidos itu sendiri, apalagi setelah
jiwa atau nous itu terikat pada raga (jiwa pascanatal).Keterikatan kepada raga
menjadikan jiwa tak mampu lagi melihat eidos dalam kadarnya yang paling murni.
Menjangkau eidos memang tidaklah mudah. Untuk ke situ setidaknya perlu empat
tangga yang harus dilalui, yakni : keindahan ragawi, keindahan rukhaniah, keindahan
intelektual, dan keindahan mutlak.
Orang yang pernah mengenali atau bersatu dengan idea keindahan akan
mendapatkan imortalitas. Di samping itu, jiwanya akan menjadi kreatif. Jiwanya akan
sarat dengan ide-idea ia akan mampu berkarya secara kreatif sehingga seninya menjadi
inventif (kaya akan penemuan-penemuan). Tidak seperti halnyapara teknisi (Plato
sebenarnya adalah orang konservatif yang tidak menyukai pembahauruan-
pembaharuan). Penghayatan eidos keindahan akan menjadikan potensi kreativitas
menjadi kreativitas yang aktual.
Selain mempersyaratkan peran nous (sebagai potensi mental spiritual) dan
anamnesis (sebagai proses intuitif rasional) untuk dapat bersatu dengan idea keindahan
masih diperlukan adanya eros (love, desire) akan keindahan . Jika kita tidak menyukai
keindahan, kita tidak akan termotivasi untuk mengadakan perjumpaan dengan eidos
keindahan. Peran imajinasi tidak disinggung oleh Plato. Yang indah dalam artian yang
22
mengacu pada eidos, tidak hanya mengekspresikan hakikat eiditis, tetapi juga yang
dapat difungsikan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tertentu. Yang indah
adalah yang fungsional atau yang berguna. Kegunaan inilah yang menjadi tolok ukur
keberhasilan suatu ciptaan. Yang memiliki otoritas menilai keberhasilan tersebut dari
segi kegunaan atau utilitasnya adalah negarawan atau filsuf selaku seniman unggulan.
Di dalam melakukan penilaian ini mereka akan menelaahnya dari segi tujuan moral dari
polis (negara kota/masyarakat). Jika pertimbangan-pertimbangan teknis dan moral
bertumbukan, maka yang terakhirlah yang akan dijadikan dasar pertimbangan.
Hal lain yang menarik untuk diketahui tentang Plato adalah apa yang pernah
dikemukakannya teori tentang seni sebagai permainan, klasifikasi seni, dan kriteria
mempertimbangkan seni imitatif. Yang pertama menjelaskan bahwa siapa pun yang
ingin mengembangkan diri menjadi orang berkeahlian dalam bidangnya, sejak masa
mudanya sudah melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk permainan i
berkesungguhan di dalam bidang tersebut. Misalnya, yang ingin jadi arsitek yang baik,
harus mengawali langkah-langkahnya dengan membangun rumah-rumah mainan.
Dengan cara demikian ia akan dapat menghimpun pengalaman yang diperlukan sebagai
persiapan bekerja dan berkarya sebagai arsitek sungguhan. Yang kedua, oleh Plato, seni
dibagi menjadi dua kategori, yakni yang lebih eksak seperti seni ketukangan kayu dan
yang kurang eksak seperti seni musik. Yang ketiga, untuk kriteria mempertimbangkan
seni imitatif, seseorang harus menjadi penilai yang kompeten yang memiliki tiga hal,
yakni ia harus tahu pertama apa imitasinya, kedua ia harus tahu bahwa itu benar, dan
ketiga ia sudah pernah melakukannya dengan baik.
Dalam pandangan lain (lihat: Sutrisno SJ dan Verhaak SJ 1993), diperoleh
penjelasan tentang hakikat keindahan menurut pemikiran Plato. Menurut Plato,
keindahan dapat diklasifikasikan dalam dua kategori dunia, yaitu dunia idea dan dunia
yang nyata. Yang pertama, keindahan yang hakiki atau sempurna adalah keindahan
yang ada di dunia idea. Semua keindahan lain hanya ikut ambil bagian pada yang indah
dalam dunia idea. Artinya, keindahan yang muncul hanyalah bersifat mimesis atau
tiruan (imitasi) dari keindahan yang adan di dunia idea. Selanjutnya, keindahan kategori
kedua, yakni keindahan dunia nyata dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala
keindahan adalah yang paling sederhana, umpanya bentuk, warna, atau nada yang
sederhana. Yang dimaksud dengan sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak
dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Bagi
Plato, kesederhanaan dilihatnya sebagai ciri khas keindahan, baik dalam alam maupun
23
dalam seni. Keindahan kategori pertama dilepaskan dari pengalaman akan yang
jasmani (karena dunia idea adalah dunia abstrak) sedangkan keindahan kategori kedua
merupakan keindahan taraf kedua. Keindahan taraf kedua ini tidak pengalaman estetis
dan keindahan sehari-hari, tetapi unsur inderawi dijabarkan sesedikit mungkin.
Singkatnya Plato amat menghargaia dan menekankan pengetahuan murni (episteme)
yang mengungguli segala pengetahuan semu (doxa), dalam bidang keindahan pun Plato
amat menekankan bahwa yang berarti adalah idea (eidos), sedangkan yang lain dari
idea itu hanyalah berhala (eidola atau idols) saja.
Dalam kaitan dengan karya seni, Plato menjelaskan penilaianya ada dua unsur,
yaitu unsur teoretis dan unsur praktis. Unsur teoretis menyatakan bahwa segala
kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli yang
terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul dari pada kenyataan di dunia nyata ini.
Karya seni merupakan tiruan dari (mimesis memesos) Oleh karena itu Plato menilai
rendah karya seni. Karya seni adalah tiruan yang jauh dari kebenaran sejati dan
menjauhkan warga negara terutama para remaja dari tugasnya membangun negara.
Seniman dianggap baik dalam negara jika mereka menyajikan apa yang benar, baik,
sopan dan adil, dan ikut mendidik rakyat.
2.1.2 Aristoteles
Dalam tulisan Surisno S.J. dan Verhaak S.J (1993) dikemukakan pokok-pokok
penting tentang pemikiran Aristoteles dalam tautan dengan hakikat keindahan dan
karya seni. Pokok-pokok penting pemikiran tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua
dari Plato, yaitu bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran
material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam atauapun untuk karya seni
buatan manusia.
Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya sastra dan drama. Ia
membicarakab drama terutama dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam peran-
peran diiringi dengan musik dan tarian, yakni tragedi klasik dari masa hidup Aristoteles
sendiri. Kalaupun ada catatan tentang seni rupa itu pun sedikit dan kalah menonjol bila
dibandingkan dengan dengan pandangannya tentang tragedi.
Titik pangkal pandangan Aristoteles adalah bahwa karya seni harus dinilai
sebagai tiruan, yakni tiruan dunia alamiah dan dunia manusia. Ia tidak sependapat
24
dengan penilaian negatif Plato atas karya seni dengan dasar penolakannya terhadap
teori idea. Tiruan di sini dimaksudkan tidak sekadar tiruan belaka. Maksud ini sudah
jelas karena minat Aristoteles pertama-tama bukan seni rupa melainkan justru seni
drama dan musik.
Menurut Aristoteles, karya seni seharusnya memiliki keunggulan falsafi, yakni
bersifat universal. Kendati partikular, peristiwa dan peran yang dipentaskan harus
melambangkan an mengandung unsur-unsur universal dalam kepartikularannya itu,
yaitu unsur yang khas manusiawi yang seolah-olah berlaku pada segala masa dan dan
segala tempat. Dengan demikian, karya seni diharapkan menjadi simbol yang
maknanya harus ditemukan dan dikenali oleh penikmat berdasarkan pengalamannya
sendiri baik dalam posisi sebagai pemain ataupun sebagai penonton.
Pokok pemikiran penting dari Aristoteles yang perlu mendapat perhatian adalah
pandangannya tentang teori katharsis yang artinya pemurnian (dari kata kathoros
artinya murni atau bersih). Menurutnya, katarsis adalah puncak dan tujuan karya drama
dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan,
keberhasilan, kegagalan, dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian
rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak logis tetapi juga
seolah-olah tak terduga. Pada saat itulah katharsis terjadi secara tiba-tiba, yakni seakan-
akan segala masalah dan kejadian yang muncul tertimbun dalam pengalaman peran-
peran utama dan dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair, tak jarang ini terjadi
secara mengharukan.
Pandangan tersebut lama mempengaruhi filsafat karya seni, bahkan teori drama.
Katharsis diharapkan terjadi dalam diri penonton dan kemudian dibawa pulang sebagai
pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin dari
segala pengalaman penderitaan. Dengan demikian, katarsis memiliki makna sebagai
pencerahan atau terapeutis dari segi kejiwaan, bahkan di dalamnya kerap kali ada
unusur penyesalan dan perubahan atau semacam pertobatan dalam kerangka religius.
2.2.2 Plotinos
Plotinos dikenal dengan filsafatnya tentang pengaliran (emanasi) semua hal dari
Yang Esa dan kembali semua itu kepada Yang Esa lagi. Padangannya tentang
keindahan berangkat dari kenyataan duniawi yang kita saksikan dan yang kita alami
sehari-hari. Dalam upayanya untuk mengetahui dari manakah asal semua itu—
termasuk diri manusia sendiri—manusia menempuh jalan kembali tersebut. Dalam
menghadapi kenyataan tersebut dan dalam perjalanan kembali ke sumbernya, manusia
mengalami sesuatu yang disebut indah. Keindahan itu ia temukan baik dalam yang
terlihat maupun terdengar, bahkan juga dalam watak dan tingkah laku manusia.
26
Setelah mengalami keindahan, manusia mulai merefleksikan pengalaman
tersebut. Plotinos menolak pandangan Stoa tentang simetri dan menganggapnya tidak
perlu serta tidak memadai. Yang membuat sesuatu indah bukan warna, nada, bentuk,
yang muni homogen. Sebaliknya, pengalaman akan keindahan justru terbentuk kalau
ada persatuan anatara pelbagai bagian yang berbeda satu sama lain. Persatuan semacam
itu hanya bisa terjadi jika ada heteroginitas dan bukan homogenitas. Misalnya, sebuah
rumah atau perahu kita anggap indah karena kesatuan rancangan bentuknya. Semakin
sesuatu mendekati Yang Esa`sebagai sumber dan tujuan segala-galanya dan ikut ambil
bagian di dalamnya, semakin indahlah sesuatu itu.
Dalam perkembangan dunia dan pengalaman manusia kembali ke tujuannya,
keindahan sekali-kali sirna. Pengalaman estetis ini menenteramkan dan akrab dan
mengikat, memikat, dan mengambil dia kepadaNya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Plotinos mendekatkan pengalaman estetis
dengan pengalaman religius, bahkan puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah
pengalaman religius yang disebut dengan pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal
filsafat Plotinos (emanasi) titik akhir pun bukan karunia khusus, namun hanya
merupakan penyelesaian dari awal itu. Meskipun begitu, tidak banyak insan
mengendalikan diri dalam latihan.
Meskipun dipengaruhi oleh Plato, filsafat keindahan Plotinos amat berbeda.
Seorang pelukis, misalnya, mula-mula meniru keindahan alam. Ini tidak berarti bahwa
ia melengkapi keindahan alam, tetapi dalam interaksi seniman dengan alam di
sekitarnya dan dalam terjadinya karya seni melalui tangannya, semuanya itu—termasuk
senimannya sendiri—semakin menuju kembali pada keindahan asasi, sambil mengatasi
dan melewati dirinya sendiri, sampai tak teraba dan teralami secara inderawi lagi.
2.2.3 Agustinus
Filsafat Agustinus cukup dipengaruhi Neoplatonisme. Catatan-catatannya
mengenai keindahan agak tersebar dalam banyak karyanya, seringkali sesuai dengan
pandangan-pandangan mereka yang mengemukakan keselarasan, keseimbangan,
keteraturan, dan lain-lain sebagai ciri-ciri khas keindahan. Di antara semua faham itu
kesatuanlah yang dikemukakan Agustinus sebagai sumber atau dasar keindahan.
Yang lebih khas bagi Agustinus ialah bahwa menurut dia pengamatan mengenai
keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai
suatu objek itu indah, kita mengamati sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang
27
seharusnya ada di dalamnya, yakni keteraturan. Sebaliknya apabila kita menilai suatu
objek itu jelek, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang menyimpang dari apa yang
seharusnya terdapat di dalamnya, yaitu ketidakteraturannya. Agar kita mampu
mengamati kedua-keduanya, kita memerlukan idea tentang “keteraturan ideal” yang
hanya kita terima lewat Terang Ilahi. Pandangan terakhir ini sesuai dengan paham
“iluminisme” Agustinus, yang menilai rendah kemampuan manusia.
Keteraturan ideal betul-betul ada dalam apa yang diamati manusia. Yang hadir
dalam objek yang indah itu, dan yang dapat kita bedakan berkat Terang Ilahi itu ialah
“ splendor ordinis”, artinya gemilangnya keteraturan.
28
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi dalam bentuk resume yang singkat dan padat.
1. Tujuan Perkuliahan
29
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika kritisisme (Kantianisme) yang meliputi konsep estetika sebelum Kant, pada
ma- sa Kant, dan sesudah Kant.
2. Materi Perkuliahan
Ketika estetika beralih dari tahap Dogmatis ke tahap Kritika, atau dari
objektivisme ke relativisme, atau dengan lebih tepat ke arah subjektivisme, maka ia
mengalami perkembangan yang membawanya keluar dari pembahasan ontologis dan
masuk ke bidang pembahasan ilmu-jiwa. Inilah yang dikatakan salah satu di antara
fenomena Revolusi Kopernik dalam filsafat.
Di bawah ini, dengan mengutip tulisan Anwar (1985) secara singkat akan
dikemukakan pemikiran-pemikiran estetika pada masa sebelum, pada masa , dan
sesudah masa Kant sebagai berikut.
30
Di tempat lain, estetika menurut Kant dapat dikatakan sebagai terjemahan dengan
secara subjektif terhadap estetika Leibniz. Ini berarti bahwa Leibniz (1646-1716)
mempunyai arti yang penting di dalam sejarah teori estetika karena ia telah
menghidupkan kembali konsepsi lama seperti simbolisme, vitalisme, dan teleologisme1
yang bertentangan dengan Descartes. Namun demikian, ia juga justru memperdalam
dan menyempurnakan apa yang masih tampak dangkal dan kurang dalam filsafat
Descartes. Wujud menurut Leibniz merupakan lapisan yang bertingkat-tingkat, terdiri
dari mahluk hidup yang membentuk kesatuan yang sagat seragam. Alam ini tidak lain
dari gambaran tentang pengamatan kita, di mana ada satu, di sana ada banyak; dan
keindahan seragamnya alam pada hakikatnya adalah pencerminan dari keseragaman
yang terdapat di dalam diri kita sendiri.
Orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap sejarah estetika adalah
Baumgarten yang hidup sesudah Leibniz. Baumgarten (1714-1762) memperkenalkan
kepada dunia nama “Aesthetika” untuk pengkajian khusus yang menyangkut teori
tentang keindahan. Istilah ini akhirnya dap menjawab bahwa tujuan hidup at diterima
sebagai nama dari setiap filsafat yang membahas tentang keindahan secara keseluruhan.
Selain penemuan nama atau istilah itu, Baumgarten tidak banyak memberikan pikiran
yang baru mengenai teori keindahan. Meskipun Kant banyak mengambil istilah-istilah
teknis dari Baumgarten, namun justru dia banyak mengembangkan pikiran-pikiran
baru. Karena pengkajian itu belum mempunyai nama khusus sebelum Baumgarten
menemukan istilah tadi, maka Baumgarten di kemudian hari diberi gelar bapak ilmu
estetika.
Beberapa karya lain menyusul setelah dierbitkannya “Aesthetika” karya
Baumgarten pada tahun 1750. karya-karya itu berasal dari penulis-penulis Inggris yang
bersifat empirisis, di antaranya “Analysis of Beauty” karya Hogarth (1753), dan “ Essay
on the Sublime and Beautiful” karya Burke (1756). Analisis keindahan menurut
Hogarth erat sekali hubungannya dengan seni bangunan (formative art), seperti seni
ukir, patung, dan arsitektur. Ia mengemukakan prinsip abstrak tentang kesatuan dalam
aneka (unity in variety) sebagai tingkat yang tertinggi dari keindahan.
1
Istilah ini merupakan persoalan etika sebagaimana pernah dijelaskan oleh Aristoteles sebagai berikut.
Apa sebenarnya tujuan hidup manusia yang paling ultimate?. Aristoteles menjawab bahwa tujuan hidup
manusia yang paling akhir tidak lain adalah kebahagiaan. Karena pola pikirnya yang berpijak pada tujuan
akhir, pemikiran Aristoteles tentang etika ini disebut teleologisme. Dalam pikiran Arsitoteles,
kebahagiaan dapat dicapai ketika manusia mampu mencapai phronesis, yaitu sebuah tahapan ketika
seseorang itu mampu menggabungkan keutamaan pikiran (theoria) dan keutamaan tindakan (praxis).
31
Hogarth pada praktek artistiknya berusaha mencari keistimewaan di belakang
batas kejelekan. Tema yang dikemukakan oleh Burke adalah sederhana. Ia
mengemukakan bahwa selera tidaklah dapat dijadikan hakim keindahan. Cantik berasal
dari tabiat atau instink kemasyarakatan yang ada pada manusia, sedang sublimisme
(agung) berasal dari instink pemeliharaan diri. Yang membentuk kecantikan ialah “rasa
kesenangan positif yang menimbulkan cinta diiringi lepasnya ketegangan urat saraf.
Sedangkan agung ialah sebaliknya, erat hubungannya dengan ketegangan urat saraf.
Kalau indah berasal dari idea tentang kesenangan yang bertalian dengan tabiat
kemasyarakatn manusia, maka agung berasal dari idea-idea mengenai sakit dan bahaya
yang menimbulkan emosi-emosi dahsyat, seperti kekosongan, kekuatan besar, diam,
gelap , dan seterusnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa siang itu indah, malam
adalah sublim, perempuan bersifat cantik, dan lelaki bersifat sublim.
Lord Kaimes sependapat dengan Burke dengan mengemukakan suatu titik tolak
baru bahwa pengalaman mengenai suatu emosi walaupun sangat pedih seperti emosi
takut atau kesengsaraan simpatis adalah menyenangkan. Seperti yang dikatakan Lord
Kaimes, emosi menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana
alam adalah menyedihkan; tetapi kita suka mendengar beritanya dan senang melihat
gambaran berkecamuknya, di dalam panggung sandiwara dan surat-surat kabar.
Kejadian yang paling dahsyat dan ngeri justru yang paling mengesankan dan
menggembirakan.
Di sini kita melihat antitesa aliran Platonisme, karena yang penting bukan
keindahan “an-sich” tetapi selera manusia. Di sini benih-benih romantisme mulai
disebarkan, dan pahlawan revolusi Kopernik di dalam filsafat, yaitu Kant, memperoleh
landasan kuat bagi kritiknya.
32
Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang adanya “selera subjektif”
sebagai bahan perasaan di satu pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di dalam
daya rasa (sinnlichkeit) seperti ketiadapastian, kekhususan, dan penyusunan baru; di
pihak lain mengenai idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universal dan pasti.
Idea mengenai selera perasaan ini berkesudahan pada dua kutub ini kadang-kadang
dikembalikan kepada kesenangan dan kadang kepada penilaian, sehingga akhirnya
selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa.
Filsafat Kant memiliki ciri khusus, yaitu ditemukannya “kritik ketiga” yang
merupakan teori baru mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekadar penilaian
tentang perasaan “gefuehlsurtheit” tapi juga merupakan perasaan mengenai penilaian
“urtheilsgefuehl”. Dengan kata lain ia bersifat universal, pasti, berdasar emosi.
Dalam bukunya “Kritik de Urtheilskraf” Kant mengemukakan beberapa pokok
persoalan, yang secara umum mengemukakan dua aspek penting : pertama, tentang
analisis daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian, kedua daya penilaian
teleologis atau penyelidikan objecktive purposiveness di dalam alam. Analisis putusan
terdiri dua hal, ikut. yakni tentang analisis tentang cantik (beautiful) dan analisis tentang
agung (sublime). Hal pertama dipaparkan dalam empat pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, penilaian terhadap selera perasaan dari segi kualitas. Setelah menganalisis
dengan teliti perasaan puas yang menjadi ciri putusan yang diberikan oleh selera, yaitu
suatu perasaan yang tidak bertujuan apa pun. Kant membandingkan antara bentuk-
bentuk pemuasan ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan dan kebaikan.
Setelah membandingkan bentuk-bentuk ini, ia menyimpulkan definisi kecantikan
berdasarkan pertimbangan pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk
memberikan putusan senang atau tidak senang atas suatu objek atau perbuatan tertentu
dengan syarat bahwa putusan itu bebas dari tujuan. Objek dari rasa puas ini di sebut
cantik”.
Pertimbangan kedua mengenai keputusan selera dari segi kualitas. Ketika Kant
memandang selera dari segai kategori kedua dengan mengikuti perencanaan tadi ia
mengemukakan bahwa kecantikan berwujud tanpa konsep, sebagai objek dari
pemuasan hajat yang mendesak, dan bahwa selera mengandung rasa senang dan
putusan yang tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal tadi. Definisi
lain tentang keindahan berdasarkankan pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa
keindahan ialah yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak
berkonsepsi.
33
Pertimbangan ketiga mengenai putusan selera dari segi hubungan. Putusan selera
bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “emosi” dan juga
bebas`dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga tentang keindahan ialah
bahwa konsepi tentang adanya tujuan pada objek tapi tujuan itu tidak berwujud dengan
tegas.
Pertimbangan keempat mengenai putusan selera menurut arahnya (menurut
kesenangan yang timbul dari objek tertentu), yaitu bahwa keharusan kesenangan umum
yang terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subjektif, akan tetapi terwujud
dalam bentuk objektif ketika dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir
keindahan adalah apa yang diakui sebagi objek pemuasan darurat yang tidak berkonsep.
Kant selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik dan agung. Ia sependapat
dengan Burke bahwa agama adalah tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya
termasuk dalam penilaian estetis; kecantikan termasuk putusan selera. Sedangkan
keagungan memiliki akar di dalam emosi kecedasan (geistesgefuehl) . Keindahan
selamanya bertalian dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya bergantung
pada forma dan adakalanya bergantung pada non-forma (uniform) yang menyangkut
tidak adanya forma dan cacat. Kant membedakan antara dua bentuk keagungan ;
bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis.
Kita perlu memahami perasaan estetis menurut Kant berada pada keselarasan
pikiran dengan imajinasi dengan dasar bebasnya kerja imajinasi. Di samping itu geni
atau semangat (geist) kreatif yang menghasilkan objek-objek seni tersembunyi pula di
dalam adonan antara pikiran dan imajinasi. Teori keselarasan subjektif ini menafsirkan
segala idea estetis Kant.
Keselarasan inilah yang melahirkan adanya tujuan yang tidak bertujuan selain
mewujudkan rasa keindahan. Seni menurut Kant ialah penciptaan sadar terhadap
objek-objek yang menyebabkan orang yang mengenangkannya merasa seolah objek-
objek itu dicipta seperti alam tanpa tujuan. Ciri utama seni berada pada geni yang tidak
berjalan seperti pada ilmu pengetahuan. Klasifikasi seni adalah berdasarkan pembagian
geni kemanusiaan, menjadi seni bahasa (retorika dan puisi) seni rupa, seni suara
(musik) atau lebih tepat seni “permainan perasaan”, dan akhirnya seni campuran antara
pelbagai seni di atas dengan cara berbeda-beda seperti drama, menyanyi, opera, atau
tari-tarian.
Secara ringkas, apa yang dikemukakan di atas baru merupakan suatu bagian kecil
dari bentangan luas pemikiran Kant, tapi telah meletakkan dasar-dasar penting bagi
34
ilmu tentang keindahan. Tampaknya Kant telah berhasil merombak sendi-sendi filsafat
seni dengan berani dan tenang. Menurut Bousanquet, belum pernah ada orang
sebelumnya dapat mencapai ketelitian demikian dalam membedakan istilah-istilah
estetis, dan dapat dikatakan dialah orang pertama yang menerapkan logika dalam
estetika dan menganalisis seni dengan cara yang sangat ilmiah.
35
berubah menjadi objek seni , karena Hegel selalu berusaha untuk menyelami dengan
akal batin segala objek kenyataan.
Pikiran seniman tidaklah tetap bersifat abstrak. Taraf kehidupan rohani tertinggi
ialah apa yang disebut oleh Hegel dengan “ruh mutlak”, dan apabila ruh mencapai
tingkat ini, maka ia akan berubah menjadi kesadaran yang memahami idealisme objek
kenyataan, idealisasi segala sesuatu dengan ruh mutlak tadi. Di sinilah kesadaran
berpadu menjadi satu dengan perantara subjektivitas kesadaran dan tercerminlah di
dalamnya ruh mutlak yang merata di segala hal yang terdapat di dalam kehidupan yang
tak terbatas.
Tiga tahap perjalanan jiwa kemanusiaan dalam mencari ruh mutlak ialah seni,
agama, dan filsafat. Dikatakan oleh Hegel bahwa bila seni mencapai tujuan terakhirnya,
maka ia akan ikut serta bersama-sama agama dan filsafat dalam menafsirkan dan
menjelaskan unsur ketuhanan yang sangat mendalam dan luas sekali. Akan tetapi ia
akan mencapai kesempurnaannya di dalam ilmu pengetahuan.
Setelah menerangkan bagaimana seni menampakkan dirinya pada manusia, Hegel
mencoba mengemukakan tahap-tahap perjalanan seni yang terpenting dan periode-
periode sejarah di mana ia pernah berkembang pesat. Menurut Hegel seni adalah
hubungan yang terdapat antara idea dan gambaran indera. Ia menyebutnya simbolis
dalam tahap permualaan, karena hubungan itu tidak mencapai idealisme. Kemudian
tahap klasik ketika seni merupakan realisasi dari idea, telah membentuk kesatuan
inderawi yang hidup antara dua pihak tadi dan kesatuan ini terealisasi dalam kesatuan
yang terbatas. Akhirnya tahap romantik, yaitu ketika hubungan dialektik yang terdapat
antara dua tahap tadi mencapai tingkat di mana idea yang tak terbatas tidak terealisasi
kecuali dalam infinitasnya intuisi didalam gerak yang selalu menyerang dan
membubarkan segala bentuk inderawi. Tiga tahap perkembangan seni ini sesuai dengan
tiga periode sejarah seni, periode ketimuran, periode Yunani, dan periode modern yang
di dalamnya terdapat bentuk-bentuk peradaban tertentu. Hegel menyusun pelbagai
macam berdasar dialektika ketiga tahap; seni pahat mewakili tahap klasik, dan seni
lukis, musik, serta puisi mewakili tahap romantik. Akan tetapi, puisi atau syair dapat
dibagi menjadi dua bagian, pertama mempunyai bentuk seni rupa atau lukis (seperti
puisi yang bersanjak) kedua, mempunyai bentuk sugesti, dan musik seperti syair yang
dilagukan. Semua bentuk yang berbeda-beda ini berpadu menjadi satu dalam drama.
Hegel, selanjutnya, telah menegaskan bentuk seni yang rasional atau teoretis,
akan tetapi ia telah mendapatkan kesulitan besar yang dielakkan oleh orang-orang
36
sebelumnya. Filsafat Hegel menghadapi kesulitan itu, dan ia berusaha mengatasi
dengan memadukan seni, agama, dan filsafat. Seni dan agama memiliki fungsi yang
berlainan dari filsafat, dan agaknya berada di bawah tingkatan filsafat, akan tetapi tidak
dapat dibuang jauh dari usaha untuk mengenal ruh (geist) . Mana yang lebih besar
nilainya antara filsafat di satu pihak dan seni serta agama di pihak lain. Menurut Croce,
sistem filsafat Hegel pada hakikatnya adalah bertentangan dengan seni sebagaimana
juga karena terlalu rasional bertentangan dengan agama. Croce menambahkan di sini
kita akan menjumpai simpulan yang ganjil dan tidak dapat diterima dari seseorang
yang berusaha menciptakan estetika dan dianggap penggemar seni amatir seperti Hegel.
Hal itu disebabkan ia menempuh jalan buruk seperti yang ditempuh oleh Plato dan
kesalahan-kesalahan lain yang pernah dialami Plato. Plato dahulu terlalu mengikuti
akal dan membuang seni imitasi dan syair-syair Homer karena tidak dimengertinya,
maka Hegel demikian pula terlalu tunduk pada keharusan sistem filsafatnya sehingga
ia mengumumkan musnahnya seni.
Hegel mengemukakan bahwa kita telah memberikan kepada seni kedudukan yang
sangat tinggi, akan tetapi perlu diingat bahwa seni baik materinya maupun dalam
formanya adalah bukan jalan mulia untuk mengembalikan kesadaran ruh mengenai
instinknya yang sesungguhnya. Seni karena formanya maka terkurung di dalam materi
yang sempit, karya seni hanya menyodorkan kebenaran secara terbatas dan sempit.
Sedangkan jiwa dunia modern kita, khususnya jiwa agama dan perkembangan akal kita
agaknya melampaui titik di mana seni dianggap merupakan alat untuk mencapai Zat
Yang Mutlak. Hasil seni dan karya seni belum memuaskan hajat kita yang tertinggi.
Selanjutnya Hegel menutup pembicaraannya dengan mengemukakan bahwa pikiran
dan renungan mempunyai peranan besar di dalam seni.
Tokoh berikutnya yang akan dibicarakan dalam kaiatan dengan estetika sesudah
Kant dan yang merupakan penutup dari periode Kritika adalah Schopenhouer.
Schopenhouer selalu menyebut-nyebut filasafat Kant sebagai sumber dari filsafatnya
dan Plato sebagai orang yang digemarinya. Segala seni memiliki tempat tertentu di
dalam idea yang dibentangkan dalam bukunya “World as Will and Idea” . Keindahan
barang yang indah, menurut Schopenhouer, memiliki dua segi, yaitu membebaskan
kita dari kemauan, dan dengan demikian dari seluruh potensi yang menyebabkan
kejahatan dan kesengsaraan kita terbesar, kemauan untuk hidup di satu segi, dan di segi
lain mengisi pikiran kita dengan suatu “gagasan”, suatu objektivasi kemauan hingga
mencapai suatu tingkat di mana kita melihat objek khusus dari pengamatan estetis kita.
37
Sebagaimana segala sesuatu pada taraf tertentu merupakan suatu objektivikasi dari
kemauan, maka segala sesuatu adalah karakteristik dan dalam taraf tertentu indah.
Tidaklah ada perbedaan yang lebih jauh antara seni dan alam selain bahwa di dalam
seni, seniman meminjamkan matanya kepada kita untuk melihat; karena geninya dapat
memahami bahasa alam yang diucapkan setengah-tengah, sehingga ia dapat melahirkan
apa yang diinginkan oleh alam tapi belum berhasil.
Menurut Schopenhouer, seni yang tertnggi ialah musik. Alam adalah musik yang
terjelma di dalam barang-barang. Musik adalah seni yang terselinap di dalam dunia ini.
Ia merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan tapi tidak dapat dinyatakan; ia mirip
dengan sorga yang telah kita kenal tapi tak penah diketahui, sangat masuk akal tapi
tidak dapat sama sekali diterangkan.
Arsitektur, menurut Schopenhouer, adalah seni yang paling rendah, setingkat
dengan seni mencangkul kebun karena sangat dekat dengan hajat jasmani manusia. Seni
lukis dan seni rupa datang berikutnya, kemudian lebih tinggi dari itu seni sastra (puisi)
dan menyusul seni drama, tragedia, dan komedia. Tragedia dapat membawa kita untuk
mengikuti perasaan “manusia mutlak”. Hal itu terjadi dengan perantaraan rasa belas
kasihan. Belas kasihan adalah indera yang keenam, karena manusia tidak akan dapat
mengatahui barang-barang kecuali bila ia bisa menaruh simpati kepada mereka dan
menaruh rasa belas kasihan kepada kemanusiaan. Rasa impati adalah tujuan terakhir
dari semua filsafat.
Menurut Schopenhauer seni adalah jalan yang terbagus untuk mencapai
pengetahuan murni tentang dunia, karena seni adalah “mekarnya segala yang ada”.
Kalau kemauan itu memilukan atau kemauan untuk hidup itu menyedihkan maka seni
adalah hiburan yang terbaik, dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Di satu
pihak, seni membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah tapi di pihak lain
ia juga mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam
hidup.
Schopenhauer memiliki pandangan mengenai kecantikan yang berlainan dengan
kita. Kalau Kant menganggap lelaki bersifat agung dan wanita bersifat cantik, maka
Scopenhauer memandang kedua-duanya adalah cantik. Akan tetapi, lelaki justru lebih
cantik daripada wanita. Kelebihan pada jenis lelaki ini tidak terbatas pada manusia, tapi
bahkan dibuktikan oleh jenis binatang-binatang. Ayam jantan lebih cantik dari ayam
betina; bulunya, potongan tubuhnya, geraknya dan sebagainya. Kuda jantan lebih
38
cantik dari kuda betina, burung, ikan, dan binatang-binatang lainnya yang berjenis
kelamin, semua yang lelaki lebih cantik dari betina.
Selanjunya dikemukakan bahwa seni tidaklah merupakan sorga yang penghabisan
karena kesenangan yang terdalam menghendaki ketenangan mutlak, dan keindahan
yang mutlak adalah mirip dengan kemusnahan. Di sini estetika berubah menjadi
mistika. Orang yang mencapai pemusnahan kemauanlah yang dapat tenggelam di
dalam kemusnahan dirinya, dan inilah nirvana. Terlihat di sini Schopenhauer
terpengaruh oleh filsafat India.
Meskipun mempunyai pengaruh besar di belakang hari, namun hasil pemikiran
Schopenhauer lebih mirip dengan karya pujangga daripada karya seorang ahli filsafat.
Pemikiran Scopenhauer ini agaknya menjadi pengakhir warisan sumbangan pikiran
para pengikut Kant. Jaman baru dewasa ini adalah kelanjutan dari jaman filsafat kritika.
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi tersebut dalam resume yang singkat dan padat.
1.Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika positivisme dan romantisme.
39
2. Materi Perkuliahan
2.1 Estetika Positivisme (Abad ke-19)
Sejak tahun 1850-an, filsafat seni atau estetika berubah dari dasar metafisik
idealistik ke arah dasar metafisik positif dan evolusi. Pertengahan akhir abad ke-19 di
Eropa tampaknya merupakan masa yang kacau, campur aduk antara gagasan
materialistik dan idealistik, teori mekanikal, dan teori teologi, skeptisme, dan lain-lain.
Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000) bahasan perkembangan tentang pemikiran
mengenai estetika pada masa-masa ini yang diwarnai oleh padangan dari beberapa
tokoh dapat diuraikan sebagai berikut.
40
Para peneliti lain menyatakan bahwa kesenangan estetik dapat mengakibatkan
aktivitas organ fisik manusia seperti pernafasan, peredaran darah, dan peregangan otot.
Kegilaan ilmu-ilmu alam dalam mencoba menembus makna seni ini mengakibatkan
laboratorium kimia, fisika, dan fisiologi menjadi ajang percobaan untuk
mempertanyakan dan menjawab hal-hal spiritual seperti ini.
44
Manfaat jarak psikis atau jarak estetik ini adalah dapat ditemukannya karakteristik
yang ada pada objek estetik. Dari karakteristik tadi kita dapt lebih mengarahkan
perhatian perhatian, dan dengan demikian juga memperoleh pengalaman estetik.
3. Estetika Romantisme
Dalam tulisan Sumarjo (2000) dijelaskan bahwa sumber pokok dari pemikiran
kaum Romantik adalah pendapat Kant tentang pengetahuan. Menurut Kant, terdapapat
dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan dunia empiris yang merupakan objek
pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan noumenal yang dalam beberapa hal berada di
belakang dunia inderawi-empiris yang terbatas. Suatu pengalaman empiris memiliki
karakteristiknya bukan karena pengamatan empirisnya belaka, tetapi karena adanya
struktur berpikir subjek pengamatnya. Struktur berpikir ini merupakan dunia noumenal
yang berupa substansi. Pemikiran dunia noumenal inilah yang menarik perhatian kaum
Romantik itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pandangan kaum romantik
merupakan reaksi terhadap filsafat empiris dan mentalitas ilmiah yang berkembang
sejak abad ke-17 dan ke-18.
Ketika filsafat Romantik diaplikasikan pada dunia seni, terdapat peran baru
seniman dalam dunia kreativitas artistik. Para seniman dipandang sebagai penghubung
atau medium antara dunia empiris dan dunia noumenal yang berada di balik kenyataan
pengalaman. Seniman merupakan sumber vital atas dicapainya dunia noumenal dalam
dunia empiris.
Di samping itu, seni juga merupakan eskpresi emosi yang sejak zaman Renaisans
diabaikan peranannya dalam aktivitas mental manusia. Zaman-zaman sebelumnya
adalah zaman logika, zaman rasio, yang mendasarkan kebenaran otak melulu. Dengan
munculnya pandangan kaum Romantik, emosi diberi peranan yang cukup penting dan
vital dalam segala aktivitas dan kreativitas. Para seniman dapat memberikan
sumbangannya terhadap kebudayaan dengan cara yang tak mungkin disumbangkan
oleh ilmu pengetahuan.
Peran seniman dalam masa ini diungkapkan oleh Nietzsche bahwa selama ini
estetika kita adalah estetika wanita, karena hanya mengungkapkan pengalaman tentang
apa yang indah dari pandangan para penerima seni. Sampai sekarang ini filsafat kurang
48
mempertimbangkan peran seniman. Memang benar bahwa pada zaman Plato perhatian
terhadap peran seniman dalam filsafat telah dibicarakan, namun setelah itu perhatian
terhadap para pencipta seni hilang begitu saja dari pertimbangan pemikiran filsafat.
Dunia seni Romantik menjujung tinggi sifat seni Dionysian yang bertumpu pada
intensitas dan spiritualitas, dan semakin menjauh dari sifat seni Appolonian yang lebih
menekankan ketenangan dan ketertiban. Dari lingkungan seniman muncul teori
ekspresi yang menyatakan bahwa seni adalah ekspresi emosi seniman. Beberapa
pemikir menyatakan pentingnya emosi di samping peran pikiran. Seni adalah ungkapan
emosi yang memperoleh penafsiran eksternal lewat pengaturan garis, bentuk, atau
warna yang ekspresif. Pengaturan serupa kini terdapat lewat gerak, suara, atau kata-
kata yang diatur oleh ritme tertentu, begitu pendapat Veron.
Selanjutnyan, Alexander Smith menulis perbedaan esensial antara puisi dan
prosa. Prosa adalah bahasa intelektual, sedangkan puisi adalah bahasa emosi. Prosa kita
mengomunikasikan pengetahuan kita atas objek inderawi atau pikiran, sedangkan
dalam puisi kita mengekspresikan bagaimana objek ini mempengaruhi diri kita. Lebih
jauh Leo Tolstoy menyatakan bahwa karya seni pada dasarnya merupakan ekspresi
perasaan dalam bentuk tertentu sehingga orang lain mampu merasakan ungkapan emosi
dalam seni itu.
Dalam garis besarnya estetika Romantik berusaha mencapai beberapa tujuan.
Pertama, menempatkan peran seni dalam kedudukan sentral dalam kebudayaan Barat.
Sejak abad ke-19 peran ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia Barat telah
mereduksi peran seni dalam kebudayaan. Kaum Romantik ingin menunjukkan bahwa
seni dan perasaan dapat berperan penting bagi kehidupan ini. Kedua, bahwa seni ada
hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Emosi adalah sesuatu yang biasa dialami
oleh setiap orang dan telah menunjukkan, berdasarkan pengalaman, pengaruhnya atas
kehidupan manusia. Ketiga, mereka ingin menunjukkan bahwa seni lebih berperan
dalam menggerakkan manusia daripada seni imitasi atau representasi. Contohnya
dalam seni musik dan seni non-objek. Musik adalah contoh jelas tentang pengaruh
ekspresi emosi dalam seni yang mampu mempengaruhi kehidupan manusia.
Faham Romantisme sebetulnya dapat dilihat sebagi suatu faham yang memberi
reaksi terhadap dominasi rasionalisme dalam pemikiran filsafat. Sebelumnya seniman
harus tunduk pada kaidah-kaidah ketat. Faham ini memberi tempat bagi seniman untuk
meluapkan emosinya dalam berkarya seni secara bebas, karena pada awalnya manusia
hidup bebas. Kaum Romantik sangat menghargai atau menghormati kemerdakaan dan
49
kedaulatan individu untuk mengekspresikan perasaannya. Beberapa sifat khas gaya
Romantik dalam seni adalah pemujaan terhadap alam, rasa melankolik dan nostalgik
terhadap masa silam, kesadaran agama mengambang, mengarahkan perhatian kepada
diri seniman dan proses kreatifnya, lari dari kenyataan riil, inspirasi muncul dari dalam
diri seniman (bukan dari kekuatan luar), genius dalam arti kemampuan menemukan dan
menghasilkan karya yang orisinal, serta berupaya menciptakan dunia “lain” (khayal)
yang bersifat emotif dan imajinatif.
1. Tujuan Perkuliahan
Mahasiswa dapat menjelaskan dan/atau membandingkan konsep-konsep
estetika modern (kontemporer) dan posmodernisme
2. Materi Perkuliahan
50
Dalam membahas konsep-konsep estetika kontemporer ini, akan dikemukakan
lima pendapat filsuf tentang seni, yakni Clive Bell, Sussane K.Langer, R.G.
Collingwood, Moris Weiltz, dan George Dickie. Tiga yang pertama meninjau kembali
tema filsafat seni lama dengan pengembangan baru sedangkan dua terakhir mengajukan
sumber teori sendiri yang kontemporer. Dengan mengutip tulisan Sumarjo (2000)
pokok-pokok pemikian dari para tokoh tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
51
Bagaimana dalam seni representasi (mimesis) adakah di situ juga terdapat bentuk
signifikan? Dalam seni representasi tidak didapatkan nilai estetika, selama tidak
mengandung potensi bentuk signifikan. Lukisan potret sebagai seni representasi
mungkin saja dikagumi orang, namun selama dalam menghayati potret tersebut tak
muncul hubungan bentuk signifikan, lukisan potret bukanlah seni. Bentuk signifikan
dalam potret terlepas sama sekali untuk representasinya; yang ada hanya struktur
hubungan yang mampu menumbuhkan emosi estetik. Emosi stetik itu memberikan
emosi karakteristik yang spesifik
52
Semua karya seni merupakan perwujudan perasaan manusia. Dalam pernyataan
ini, banyak kritik dilancarkan kepadanya. Apakah hanya perasaan manusia semata?
Sebuah karya seni kadang juga mewujudkan proses piskologis, seperti dalam musik.
Tentang fungsi seni, Langer menyatakan bahwa semua karya seni merupakan
sebuah ilusi, yang dalam terminologi Langer disebut imaji virtual. Ruang visual murni
adalah sebuh ilusi, karena penagalaman sensoris kita tidak mencapai kesepakatan
tentang ruang visual tersebut. Seperti halnya ruang di belakang cermin; ruang tersebut
disebut oleh pakar fisika sebagai ruang virtual. Teori seni ilusi Langer ini mirip dengan
jarak psikis dalam teori estetika yang mendahuluinya. Seni dapat disebut sebuah simbol
karena seni memenuhi fungsi tertentu, yakni seni mewujudkan, membentuk suatu
perasaan menjadi wujud. Dalam karya seni yang baik, fungsi ini harus benar-benar
dijalankan.
2. Estetika Posmodernisme
Seperti halnya yang terjadi pada kemunculan pemikiran filsafat Kritisisme yang
mengkritik faham sebelumnya yakni Klasik-Dogmatisme, faham posmodernisme ini
juga muncul sebagai upaya dari sebuah pergerakan pemikiran para tokoh pemikir untuk
mengritik pandangan atau pemikiran modernisme. Hal ini karena dalam banyak hal,
selain memperlihatkan segi-segi positif, modernisme sebagai sebuah faham yang
berkembang begitu luas dalam berbagai kehidupan ini, ternyata juga memperlihatkan
banyak segi-segi negatif.
Secara umum, faham modernisme mengembangkan narasi-narasi besar (grand
narrative) dalam bentuk isme-isme yang berkembang antara lain : rasionalisme,
kapitalisme, individualisme, ekspresionisme, eksistensialisme, kubisme, abstrakisme,
strukturalisme, dan feminisme yang berdampak terjadinya dehumanisasi, yaitu
kehidupan dan kreativitas yang terkotak-kotak, diplot-plot, dan kaku. Seolah-olah
kebenaran itu bersifat tunggal hanya yang berada di wilayah narasi-narasi besar ini.
56
Ideologi modernisme bersemangat melakukan kooptasi, yaitu semacam upaya untuk
mengarahkan segala sesuatu menurut standar atau ukuran yang sudah ada atau baku
(universlisme). Ideologi isme-isme, atau kondisi semacam inilah yang dikritik, dilucuti,
dibongkar, atau ingin didekonstruksi oleh posmodernisme.
Dalam faham posmodernisme, pluralitas, heteroginitas, dialog, interaksi, dan
relasi dengan unsur-unsur dan realitas yang lain, kreativitas yang mengalir terus
mendapat tempat dan lebih dihargai. Posmodernisme memberi kebebasan kehidupan
dan kreativitas untuk menemukan unsur-unsurnya sendiri atau jati dirinya. Beberapa
aspek sentral yang diasosiasikan dengan posmodernisme dalam seni antara lain
penghapusan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, ekologis, lebih bersentuhan
dengan lingkungan alam, runtuhnya perbedaan hirarkhis antara kebudayaan popular
dan kebudayaan elit (tinggi), eklektisisme, stilistik, dan percampuran kode atau aturan.
Terdapat parodi, pastiche, dan semangat untuk bermain-main. Sejalan dengan hal ini,
posmodernisme menghargai hal-hal yang bersifat lokal, spekulatif, irasional,
pengalaman mistik, pengalaman pribadi, konteks, emosi, tradisi, adat-istadat, magis,
dan kelompok minoritas; suatu hal yang dalam faham modernisme tidak mendapat
tempat atau diabaikan.
Pendek kata, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, posmodernisme
adalah sebuah gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara khusus dalam seni, yang
memberikan pemahaman baru yang berbeda (dekonstruksi) atas apa-apa yang telah
menjadi semacam mistifikasi atas kebenaran atau kenyataan tunggal yang
dikembangkan oleh ideologi modernisme. Melalui pemahaman lebih baru itu, seni,
menjadi sarana bagi seniman untuk mengembangkan barbagai kemungkinan dalam
mengungkapkan berbagai ide seninya secara lebih fleksibel (lentur) sesuai dengan apa
yang dikehendaki secara lebih spesifik, bebas kreatif, dan humanistik; baik dalam
pemilihan medium yang digunakan, proses penciptaannya, bentuk yang dihasilkan, dan
pesan atau makna yang ingin disampaikan.
3. Tugas
Diskusikan materi pokok bahasan tersebut sesuai dengan kelompok Saudara
kemudian buatlah laporan hasil diskusi tersebut dalam bentuk resume yang singkat dan
padat.
57
Suplemen
Seni Kontemporer
Oleh : Jim Supangkat
Belakangan ini beredar cukup luas pertanyaan ”apakah seni kontemporer” yang punya
tujuan praktis menemukan pengertiannya yang bisa digunakan untuk mengenali ciri-
cirinya pada karya seni (rupa).
Keinginan itu tidak akan mudah terpenuhi karena ruang makna ”seni kontemporer”
kosong. Isi ruang makna ini jejak-jejak pemikiran modern yang sudah tidak dipercayai
lagi tetapi menjadi pangkal persoalan seni kontemporer. Karena itu, upaya terbaik
memahami seni kontemporer adalah mengenali jejak-jejak pemikiran modern—
berkembang sampai pertengahan abad ke-20—pada ruang maknanya.
Pemikiran modern itu percaya dunia modern bersifat homogen. Tidak terpecah-pecah
oleh kebudayaan etnik dan tradisi-tradisi. Dalam pemikiran modern, dunia yang
terpecah-pecah ini mencerminkan dunia masa lalu.
58
Dipengaruhi keyakinan itu, persoalan tradisi dan budaya tidak popular ada pemikiran
modern. Para pendukungnya tidak suka menggunakan istilah ”kebudayaan modern”
walau tidak sampai menyebut istilah ini salah.
Dalam teori-teori budaya ada keyakinan seni adalah tanda penting budaya. Dalam
pemikiran modern pemahaman ini tersingkir. Bila seni dikaitkan dengan budaya akan
muncul bermacam-macam seni mengikuti keragaman tradisi. Pada pemikiran modern,
hanya ada satu seni di dunia modern yang homogen, yaitu seni modern.
Premis-premis seni modern ini muncul di Eropa pada abad ke-19 melalui pemikiran
filosof-filosof Kant dan Hegel. Sejumlah pandangan melihatnya sebagai terusan
perkembangan seni pada kebudayaan Barat. Namun lebih banyak yang melihatnya
sebagai pemikiran yang muncul bersama pemikiran modern lain—kebanyakan muncul
di Eropa juga.
Seni modern itu berkaitan dengan dunia pemikiran. Seperti dikemukakan Hegel, muara
dari semua ekspresi seni adalah filsafat. Mencerminkan pemikiran modern yang
mengutamakan kemajuan, seni modern percaya juga pada keperintisan dan seni
diniscayakan berjalan mendahului zamannya. Karena itu, seni modern disebut juga seni
avant garde. Demi terobosan seniman berada di luar zamannya, di luar masyarakat dan
di luar semua konvensi sosial.
Seni modern dekat juga dengan ilmu pengetahuan yang menandai kejayaan dunia
modern. Ilmu pengetahuan menggali dunia material dengan kepercayaan pada
obyektivitas. Seni modern adalah seni yang diarahkan mencari obyektivitas (mencari
the real presence of being).
Seperti ilmu pengetahuan, seni modern mengenal otoritas yaitu pranata (lembaga dan
orang-orang) yang dipercaya paling menguasai ”ilmu seni” dan mampu menentukan
cutting edge perkembangan yang menandakan terobosan baru. Persepsi ini membuat
seni modern merupakan bagian infrastruktur seni yang dikendalikan otoritas seni dan
bukan bagian dari budaya apalagi masyarakat (kebanyakan).
Pemikiran modern itu bertahan cuma enam dekade pada abad ke-20. Sesudah itu
muncul tanda-tanda keruntuhan. Salah satu tanda penting keruntuhan ini adalah
gagalnya proyek besar konstruktivisme menghimpun semua pemikiran dalam
perkembangan seabad untuk menemukan esensi yang bisa menunjukkan hukum-hukum
alam dan kehidupan (universal laws).
Seperti kisah keruntuhan menara Babil, upaya mengatasi hambatan bahasa dalam
penghimpunan pemikiran seabad itu goyah ketika dikritik melalui gramatologi Derrida,
59
khususnya tentang pengertian ”presence”. Kritik ini seperti membuka kotak pandora
berbagai ”keburukan” pemikiran modern tanpa bisa dicegah muncul ke permukaan.
Pada pergolakan itu, pemikiran budaya muncul ke permukaan. Pangkalnya adalah sikap
kritis melihat pengabaian budaya dan masyarakat pada pemikiran modern yang
membuat dunia modern yang dibayangkan sama sekali bukan representasi kehidupan
(modern) masa kini. Dari kritik ini muncul pemikiran baru yang berpangkal pada
pertanyaan, lalu apakah ”budaya masa kini” (contemporary culture ).
Pemikiran seni dipengaruhi pergolakan itu dan memunculkan perubahan besar dalam
memahami seni. Berkembang kesadaran bahwa seni bukan bagian dari infrastruktur
seni yang dikendalikan otoritas seni, tetapi bagian dari budaya. Seniman tidak berada
di luar masyarakat dan karena itu ekspresi seni berkaitan dengan budaya yang sedang
dipersoalkan yaitu contemporary culture. Dari sini muncul istilah ”seni kontemporer”
atau contemporary art.
Dua pemikiran berlawanan arah bisa disebutkan sebagai agenda pencarian makna seni
kontemporer. Di satu sisi, bagaimana menempatkan budaya yang mencerminkan tradisi
dan keragaman ke lingkup budaya kontemporer. Di sisi lain, bagaimana melihat
globalisasi yang melahirkan keseragaman—seperti prediksi pemikiran modern—
dalam budaya kontemporer.
Di dunia tari, teater, dan musik yang diabaikan pemikiran seni modern (sastra
senantiasa dikaji terpisah) pemahaman tentang keragaman budaya tidak menimbulkan
pergolakan. Sejak dekade 1960 muncul upaya mencampurkan estetik modern dan
estetik tradisi-tradisi. Maka di dunia tari, teater, dan musik, gejala seni kontemporer
sudah bisa dibaca.
Pencapaian itu tidak terlihat di dunia seni rupa yang di masa lalu merupakan ”jantung”
pemikiran seni modern. Terjadi upaya sulit melepaskan pemahaman seni yang sudah
terstruktur. Pergolakan pemikiran yang terjadi tidak bisa melepaskan diri dari
epistemologi Cartesian (mendasari pemikiran modern) yang bipolar. Kendati terkesan
paling heboh, gejala di dunia seni rupa ini memacetkan pemikiran seni kontemporer
dan membuat ruang makna ”seni kontemporer” masih kosong.
Ketika pertanyaan, apakah seni kontemporer meluas di Tanah Air, kehebohan di dunia
seni rupa yang mencuri perhatian itu membangun sangkaan bahwa persoalan seni
kontemporer adalah persoalan seni rupa. Di dunia seni rupa Indonesia, contemporary
art, dibaca, dipahami, dan dikaji sebagai ”seni rupa kontemporer”, yang lepas dari ”seni
kontemporer”. Terjadi distorsi pemahaman yang mengandung kebingungan karena
tidak umum diketahui bahwa istilah ”art” dalam bahasa Inggris berarti ”seni” dan
sekaligus ”seni rupa”—dalam bahasa Indonesia keduanya terpisah dengan jelas.
Pengertian ”art” dalam bahasa Inggris itu mencerminkan persepsi seni pada pemikiran
modern yang sulit dipahami dan membuat peluasan seni modern ke tingkat dunia gagal
karena membingungkan. Di dunia seni rupa Indonesia, muncul persoalan seni dunia
yang mutakhir, kebingungan ini merambat ke pemahaman seni kontemporer.
60
Sumber : http://.kompas.com/read/xml//2008/07/13/01275943/seni kontemporer
Hyper-Reality
(sumber : http://aprillins.com/jean baudrilard.tentang simulacra dan hiperealitas)
Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan
dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari
masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena
pengaruh model-model dari simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat
menjadi berbeda. Mereka jadi lebih concern dengan gaya hidupnya dan nilai yang
mereka junjung tinggi.
Sumber :
http://www.egs.edu/faculty/baudrillard.html#top
http://www.infed.org/thinkers/baudrillard.htm, 2006
http://www.tcw.utwente.nl/theorieenoverzicht/Levels%20of%20theories/micro/semiot
ics.htm, 2006
61
http://www.uta.edu/english/hawk/semiotics/Baudrillard and Simulation.htm.htm
Osborn, H. 1970. Aesthetics and Art Theory. New York : E.P.Dulton & Co.Inc.
62
Sahman, H. 1993. Estetika : Telaah Sistemik dan Historik. Semarang : IKIP Semarang
Press.
.Sugiharto, I.B. 1996. Posmodernisme Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta :
Kanisius.
Sutrisno SJ, M dan Verhaak SJ, Ch. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta :
Kanisius.
Smiers, J. 2009. Arts Under Pressure. Terjemahan : Umi Haryati. Yogyakarta : ISIST
Press.
63