Anda di halaman 1dari 107

Pembelajaran Seni Topeng Malang

(Konsep Pembelajaran Berbasis


Self Efficacy- Bandura)

Penulis:
Dr. Wida Rahayuningtyas, M.Pd
Retno Tri Wulandari, S.Pd, M.Pd
Andy Pramono, S.Kom, M.T

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
TAHUN 2019
Kata Pengantar

Kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas ridho dan karunia-Nya
sehingga dapat terselesaikan buku tentang “Pembelajaran Seni Topeng Malang
(Konsep Pembelajaran Self-Efficacy Bandura)” ini. Buku tentang Pembelajaran Seni
Topeng Malang belum ada yang mengulas secara khusus, buku-buku yang
membahas tentang Topeng Malang semacam catatan-catatan yang tergabung
secara umum pada buku tentang pertunjukan dramatari wayang topeng. Kelebihan
Seni Topeng Malang yaitu nilai eksotis dan menyimpan nilai-nilai karakter dalam
bentuk topeng secara utuh. Terkait dengan konsep visualisasi buku tentang
Pembelajaran Seni Topeng Malang, tahapan-tahapan pembelajaran, sajian gambar
dan ulasan narasi memuat gambar dan informasi tentang berbagai macam topeng
Malang, baik secara bentuk ataupun nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang
dapat dimanfaatkan dalam proses kehidupan khususnya dalam pembelajaran.
Adapun tujuan utama adalah mengabadikan moment, potret wajah dan rangkuman
tentang seni topeng Malang yang merupakan salah satu aset cagar budaya yang
perlu dilestarikan keberadaannya. Buku “Pembelajaran Seni Topeng Malang”
diharapkan mampu memberikan informasi dan pengetahuan tentang keindahan dan
nilai luhur yang terdapat dalam seni topeng Malang.
Buku ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak dan untuk itu,
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah membantu dan
memberikan saran.
Malang, November 2019
Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL

BAB 1 PEWARISAN BUDAYA


A Pewarisan Budaya
B Nilai Budaya
C Pendidikan dalam Seni Pertunjukan

BAB II GAMBARAN UMUM TOPENG MALANG


A Wilayah Perkembangan Wayang Topeng
Kedungmonggo
B Sejarah Wayang Topeng Kedungmonggo
B Seni Pertunjukan Topeng
C Tari Topeng Malang

BAB III UNSUR-UNSUR PERTUNJUKAN


WAYANG TOPENG KEDUNGMONGGO
A Penari
B Sutradara
C Lakon atau Cerita
D Tata Rias dan Busana
E Musik Iringan
F Tata Panggung
BAB I
PEWARISAN BUDAYA
TAHAP I ATTENSIONAL
a. Siswa menganalisis peta konsep pembelajaran yang ada pada buku
(Gambar 1)
b. Siswa mengamati gambar seorang guru yang melatih tari
(gambar 2)
c. Siswa mengamati anak-anak yang sedang belajar tari
(gambar 3)
d. Siswa mengamati video pertunjukan wayang topeng yang ditampilkan
anak- anak (Video 1)

TAHAP II REPRESENTASI
a. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menganalisis
tentang konsep pewarisan budaya
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menyebutkan nilai-
nilai budaya dalam pertunjukan wayang topeng
c. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu mendeskripsikan
tentang makna Pendidikan dalam seni pertunjukan

TAHAP III PRODUKSI PERILAKU


a. Dari m a t e r i , gambar dan video yang dicermati, siswa mampu
mengerjakan soal-soal yang diberikan pada latihan
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan nilai-
nilai budaya pertunjukan wayang topeng dalam kehidupan sehari-hari
c. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan makna
Pendidikan dalam seni pertunjukan
PETA KONSEP
• KONSEP PEWARISAN
PEWARISAN • BENTUK PEWARISAN
BUDAYA

• KONSEP NILAI BUDAYA


NILAI • JENIS-JENIS SENI BUDAYA
BUDAYA

• BENTUK PENDIDIKAN DALAM SENI


PERTUNJUKAN
PENDIDIKAN
DALAM SENI • WAYANG TOPENG SEBAGAI BENTUK
PENDIDIKAN DALAM SENI PERTUNJUKAN
PERTUNJUKA
N

Gambar
Peta Konsep Pembelajaran Warisan Budaya
PEWARISAN BUDAYA
Konsep pewarisan (inheritance) mengadopsi dunia riil
yakni suatu entitas/objek dapat mempunyai entitas/obyek
turunan (Jazuli, 2011:86). Pewarisan adalah mengenai
pembinaan dan pelestarian komponen-komponen pertunjukan
dari generasi tua (generasi yang mewariskan) dan generasi
muda (generasi yang diwarisi) serta pewarisan nilai-nilai yang
terjadi dalam keluarga dan masyarakat (Jazuli, 2014:235).
Pewarisan atau transmisi nilai budaya adalah hal yang
ditradisikan secara turun-temurun, walaupun seringkali sulit
dirunut asal mulanya (Cahyono, 2006: 24). Dapat pula diartikan
pewarisan sebagai proses penerusan kebudayaan dari generasi
yang satu ke generasi berikutnya (William, 1985:397).
Soehardjo menjelaskan sistem pewarisan adalah sistem
aprentisip khusus, atau dengan sebutan sistem pewarisan orang
tua (parental succession). Berbagai motif mengapa orang tua
mewariskan sesuatu kepada anak kandungnya antara lain dan
yang utama adalah perjuangan untuk hidup (2005:11). Nilai,
kepercayaan dan keyakinan yang ditradisikan itu, kiranya
menjadi pola semacam kebutuhan atau kelengkapan dari
masyarakat yang bersangkutan. Bukan hanya wujud yang
ditransmisikan, namun didalamnya tercakup pula nilai-nilai dan
norma- norma yang berlaku serta dianut oleh warga masyarakat
pendukungnya. Norma-norma serta nilai- nilai kehidupan yang
diturunkan oleh orang tua selalu diupayakan untuk dijunjung
tinggi.
Pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi
berikutnya kebudayaan itu diwariskan secara historis.
Kebudayaan dimiliki oleh suatu generasi melalui proses belajar.
Kebudayaan bukan merupakan warisan biologis, melainkan
merupakan warisan sosial dari suatu generasi ke generasi
berikutnya mengenai keseluruhan pengetahuan, pengalaman
dan strategi adaptasi manusia dalam menghadapi lingkungan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pengertian
kebudayaan juga termasuk tradisi, dan “tradisi” dapat
diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma,
adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebut
bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru
diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan
diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat
sesuatu dengan tradisi itu, menerima, menolak atau
mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan
merupakan cerita tentang perubahan-perubahan; riwayat
manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola
kebudayaan yang sudah ada. Seni tradisi menjadi wahana
pembelajaran multikultural bagi peserta didik. Pembelajaran
multikultural ini penting agar peserta didik siap dan sadar
menjadi anggota masyarakat yang plural (Ambarwangi, 2013).

Gambar 2
Handoyo yang melatih tari Topeng Malang kepada siswa
(Wida Rahayu, 2017)
Gambar 3
Siswa melihat pelatih yang sedang memperagakan gerak tari
(Wida Rahayu, 2017)

Tilaar (2004:2) memandang bahwa manusia hidup tidak lepas dari


tiga dimensi waktu dalam eksistensinya yaitu adanya masa lalu, masa
kini dan masa depan. Masa lalu adalah kurun waktu akumulasi
pengalaman kehidupan manusia yang berguna untuk mengerti
keberadaannya dewasa ini dan kedua dimensi ini ikut menentukan
kehidupannya yang diarahkan ke masa depan. Akumulasi pengalaman
yang diperoleh sebagai hasil iteraksi horizontal (interaksi sesame
manusia, budaya dan lingkungan alamiahnya), sekaligus interaksi vertikal
yaitu kemampuannya untuk mengkontruksi masa depannya yang lebih
baik. Proses interaksi horisontal dan vertikal ini adalah pembudayaan
dalam kehidupan manusia. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari
lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang ebih besar (masyarakat).
Masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki karakteristik khas
dengan aneka ragam etnik, ras, budaya dan agama.
Pewarisan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat. Pertama,
melalui pengasuhan anak serta segala upaya enkulturasi yang terjadi
dalam lingkungan keluarga. Kedua, sistem pendidikan yang kurang lebih
bersifat formal, dimana adanya peranan yang jelas diperbedakan antara
guru dan
murid (Sedyawati, 2007: 412). Guru melakukan eksternalisasi, murid
mengalami internalisasi dan proses transmisi terjadi tanpa disadari
(Irawati, 2016: 108). Ketiga, kegiatan-kegiatan dalam masyarakat yang
kurang lebih dapat diikuti oleh ‘umum’, seperti pembacaan sastra,
pergelaran seni
pertunjukan, penyimakan terhadap penggambaran relief pada
bangunan candi, upacar-upacara
tertentu yang dihadiri oleh umum, dan lain-lain. Sedyawati (2007: 203)
juga menjelaskan bahwa tugas pembinaan kebudayaan yang diemban
oleh berbagai pihak dalam masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam
usaha-usaha yang menurut sifatnya dapat dibagi kedalam lima kelompok
yaitu: (1) Pemeliharaan, perawatan dan pemugaran, (2) Penggalian dan
pengkajian, (3) Pengemasan informasi budaya dan penyebarluasan, (4)
Perangsang inovasi dan kreasi dan (5) Perumusan nilai-nilai ideal bangsa
dan sosialisasinya.
Lima jenis usaha tersebut dapat dilakukan dalam kaitannya baik
dengan warisan budaya yang kita peroleh melalui proses sejarah maupun
dengan karya-karya yang aktual yang lebih bersifat menjawab tantangan
masa kini. Dalam rangka pembinaan kebudayaan yang perlu
ditingkatkan adalah segi pelayanan masyarakat. Pelayanan masyarakat
adalah menjalankan program serta kegiatan-kegiatan yang bersifat
menyenangkan dan nyaman, tetapi sekaligus bersifat meningkatkan
pemahaman dan atau apresiasi, serta menyuburkan nilai-nilai dan sikap-
sikap yang berada dalam cakupan harapan sebuah kebudayaan.
Berbagai aspek yang menjadi objek pewarisan, baik aspek
nilai, pengetahuan dan ketrampilan merupakan bahan dasar bagi
individu untuk berperilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan,
perilaku yang muncul pada individu tertentu secara psikologis ditentukan
pula oleh faktor dan lingkungan lain yang turut serta dalam proses
pewarisan budaya, seperti proses akulturasi yang diperolehnya.
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh seorang seniman tidak
akan terlepas dari proses pewarisan dan akulturasi. Kultur atau budaya
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen (Ranjabar,
2006:147.
Pewarisan terjadi melalui keluarga, masyarakat, sekolah,
termasuk pula lembaga keagamaan, lembaga swasta dan lembaga
pemerintahan yang berperan sebagai piranti utama. Identitas budaya
sebagai jati diri bangsa dapat bertahan karena hasil pemupukan atau
hasil proses pendidikan (Tilaar, 2007; Triyanto, 2015; Rochmat, 2013).
Identitas bangsa bukanlah sesuatu yang dilahirkan tetapi melalui proses
pewarisan. Pendidikan merupakan proses pembudayaan dan oleh sebab
itu pengembangan identitas bangsa melalui pendidikan berarti proses
tersebut terjadi dalam ruang lingkup suatu kebudayaan (Tilaar, 2007:193;
Triyanto, 2010). Sehingga hal ini tidak lepas dari pengertian kebudayaan
yang senantiasa tergantung 3 aspek penting, yaitu bahwa: (1)
kebudayaan dialihkan dari generasi ke generasi dalam hal ini dipandang
sebagai warisan atau tradisi sosial; (2)kebudayaan dipelajari, bukan
dialihkan dari keadaan jasmani manusia yang bersifat genetik,
(3)kebudayaan dihayati dan dimiliki bersama oleh para warga
masyarakat pendukungnya (Rohidi, 2000:28).
Berry dkk (1999: 32-33), bahwa pewarisan budaya terdiri dari 3
bentuk yaitu pewarisan tegak, pewarisan mendatar dan pewarisan miring.
Istilah ini diadopsi dari Cavalli-Sforza. Pewarisan tegak berarti dari orang
tua kepada anak cucunya, yang mewariskan nilai, ketrampilan,
keyakinan, motif budaya dan sebagainya. Pewarisan mendatar berarti,
seseorang belajar dari sebayanya (dalam kelompok primer atau
sekunder) semasa perkembangan. Pewarisan miring berarti seseorang
belajar dari orang dewasa dan lembaga-lembaga (contoh dalam
pendidikan formal). Perilaku enkulturasi (pewarisan) berfungsi sebagai
variabel mediasi dalam hubungan antara sikap akulturasi dan produk
hiburan dari budaya heritage (host) (Kizgin, 2018).
Berdasarkan kajian konsep pendidikan seni, sistem pewarisan
merupakan salah satu dari klasifikasi sistem penularan (Soehardjo,
2011). Sistem pewarisan (pariental sucsesion) atau disebut juga dengan
penggantianorang tua dapat dimaknai cara mengalihkan ketrampila
ketukangan seseorang dalam hal ini orang tua kepada anak. Cara
pewarisan ini bagi orang tua merupakan kebanggaan, meskipun ada
pemaksaan namun bagi lingkungan masyarakat cara ini didukung.
Sedyawati (2006:208), menjelaskan strategi pelestarian warisan budaya
berkenaan dengan dua aspek yaitu kelembagaan dan sumber daya
manusia. Disamping itu harus pula ditetapkan lebih dahulu tujuan dari
pelestarian warisan budaya. Pelestarian warisan budaya mengacu pada
hasil-hasil budaya tertentu secara terpisah sebagai unsur, komponen,
item atau bagian dari suatu kebudayaan secara menyeluruh.
Strategi pelestarian warisan budaya yang pertama adalah
kelembagaan. Misalnya saja institusi-institusi tradisional (seperti
kelembagaan agama pada masyarakat Bali), institusi-institusi modern
seperti pendidikan formal dan organisasi-organisasi kesenian lintas
banjar yang dapat berperan sebagai dinamisator, sebagai ‘penantang’.
Kedua jenis institusi itulah yang harus dilihat sebagai kekuatan lembaga
inti, sedangkan institusi-institusi ekonomi, termasuk didalamnya
kepariwisataan dan industri budaya adalah institusi-institusi pinggir,
dalam arti yang mengambil manfaat dalam upaya-upaya pemasaran.
Metode pelestarian harus memiliki pendirian organisasi yang melakukan
perubahan dan prosedur pengelolaan yang sistematis untuk
pemeliharaan (Prompayuk, 2016).
Aspek strategi yang kedua adalah menyangkut sumber daya
manusia. Pengertian tentang menyangkut sumber daya manusia adalah
anggota masyarakat yang memiliki peranan dalam berbagai aspek
budaya. Masyarakat yang merupakan pelaku dalam penerusan nilai-nilai
(pemimpin, pendidik formal dan nonformal), sumber keahlian dan contoh-
contoh kemahiran dalam aspek-aspek budaya khusus, adalah mereka
yang harus dijaga kemandirian dan keberadaannya. Perawatan dan
pengembangan keahlian-keahlian dapat dilakukan melalui institusi-
institusi pendidikan formal, informal dan non formal. Masyarakat juga
berperan sebagai penerima yaitu khalayak ramai. Melalui jalur-jalur
pendidikan dan media massa, masyarakat luas dapat dilayani untuk
membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan sadar
sejarah. Warga masyarakatlah yang pada gilirannya mampu menjadikan
bangsanya bangsa yang kuat juga dalam segi budaya.
Konsep pewarisan dalam dunia pendidikan diidentikkan dengan
konsep pembelajaran, transmisi atau transformasi pengetahuan (transfer
of knowledge) karena pada prinsipnya mencakup proses pengalihan
kompetensi dari generasi ke generasi, dalam hal ini dari guru kepada
murid. Pengalihan ini dapat berupa karakteristik, pengetahuan,
ketrampilan dan atau kompetensi lainnya. Oleh karena itu, konsep
pewarisan dalam penelitian ini lebih dimaknai sebagai proses
pembelajaran. Transmisi kebudayaan dan kesenian dilakukan melalui
proses pembudayaan atau enkulturasi dan proses pemasyarakatan atau
sosialisasi serta internlisasi (Koentjaraningrat, 2000).
Pewarisan juga dapat terjadi melalui proses tradisi lisan (oral
tradision). Tradisi lisan atau oral tradition adalah pesan atau kesaksian
yang disampaikan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Suardika, 2016). Pesan atau kesaksian itu disampaikan
melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita
rakyat, nasihat, balada atau lagu. Pada cara ini, maka suatu masyarakat
dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan
pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa
tulisan.
Berdasarkan konsep pewarisan diatas, maka wayang topeng yang
merupakan salah satu seni khas dari Kabupaten Malang dapat
dilestarikan melalui pewarisan, pewarisan dapat melalui proses
enkulturasi dan proses sosialisasi. Pewarisan nilai budaya dan
pewarisan seni budaya dari generasi ke generasi lain sebagai proses
pewarisan atau proses pengalihan kebudayaan. Tradisi lisan dalam
proses pewarisan wayang topeng Malang merupakan salah satu media
yang dapat digunakan untuk melestarikan.

Nilai Budaya
Pada dasarnya nilai merupakan ide-ide tentang apa yang baik,
benar, dan adil (Liliweri
2014:55). Nilai merupakan suatu penghargaan atau kualitas terhadap
sesuatu atau hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku
seseorang, karena sesuatu hal itu menyenangkan, memuaskan,
menguntungkan atau merupakan suatu sistem keyakinan (Akbar, dkk
2013:59). Talcot Parsons menyebutkan bahwa nilai merupakan suatu
elemen sistem simbolis sosial yang dijadikan sebagai kriteria atau
standar untuk memilih alternatif atau orientasi yang terdapat pada
situasi tertentu (Sumarno 2014:273). Selanjutnya, 3 dari 8 indikator nilai
yang dikemukakan oleh Rahts (dalam Adisusilo 2014:58-59), berbunyi,
bahwa: (1) Nilai memberi tujuan atau arah (goal or purposes) ke mana
kehidupan harus menuju, harus dikembangkan atau harus diarahkan; (2)
Nilai mengarahkan seseorang untuk bertingkah laku (attitudes), atau
bersikap sesuai dengan moralitas masyarakat, jadi nilai itu memberi
acuan atau pedoman bagaimana seharusnya seseorang harus
bertingkah laku; (3) Nilai itu menarik (interests), memikat hati seseorang
untuk dipikirkan, untuk direnungkan, untuk dimiliki, untuk diperjuangkan
dan untuk dihayati.
K. Garna menjelaskan nilai bukanlah suatu obyek, karena ini tak
memiliki sifat yang objektif. Nilai atau nilai-nilai merupakan suatu konsep,
yaitu pembentukan mentalitas yang dirumuskan dari tingkah laku
manusia sehingga menjadi sejumlah anggapan yang hakiki, baik, dan
perlu dihargai sebagaimana mestinya (1996:168). Selaras dengan
pendapat Sedyawati bahwa nilai budaya yang dimaksud dengan istilah
tersebut adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas,
sebagaimana disepakati di dalam masyarakat, dan dirumuskan dalam
kebudayaan yang didukung oleh masyarakat bersangkutan (2007:254).
Jadi nilai budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di
dalam masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya.
Ada beberapa saluran untuk pewarisan nilai-nilai budaya dalam
suatu masyarakat, diantaranya adalah melalui pengasuhan anak serta
segala upaya enkulturasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga.
Saluran lain yang umumnya paling disorot, adalah sistem pendidikan
yang kurang lebih bersifat formal artinya, di dalam sistem tersebut
dikenali adanya peranan-peranan yang jelas diperbedakan antara guru
dan murid. Adapun saluran yang ketiga adalah kegiatan-kegiatan dalam
masyarakat yang kurang lebih diikuti oleh “umum” seperti pembacaan
sastra, pergelaran seni pertunjukan, penyimakan terhadap
penggambaran relief pada bangunan candi, dan lain-lain.
Nilai-nilai yang terdapat dalam budaya hendaknya diperlakukan
bersamaan dengan nilai-nilai yang lain. Dengan cara demikian, budaya
yang kemudian terbentuk akan memiliki akar. Terdapat secara jelas nilai
budaya yang berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-
penciptaan baru. Dalam konteks ini, pendidikan yang dipilih hendaknya
pendidikan yang meniscayakan adanya orientasi untuk mencapai
kesadaran budaya, yakni kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa
sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural dan
multikultural.
Pengalaman estetika didapatkan melalui budaya dalam pendidikan.
Nilai-nilai budaya dalam pendidikan dimunculkan dari pemimpin yang
kharismatik, yang memang bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai yang digagasnya untuk kepentingan bersama (Abdi, 2009).
Penguatan dan pewarisan nilai-nilai kearifan lokal secara intensif pada
generasi muda agar tidak terjadi berbagai penyimpangan nilai moral yang
tercermin dalam corak, gaya dan pola hidup masyarakat (Suwardani,
2015).
Menurut Elliott (1995:23), pengalaman estetik sebagai suatu jenis
emosional yang menyenangkan dan terjadi manakala pendengar
melakukan konsentrasi secara penuh pada kualitas estetik dari karya
musik dan merupakan bagian yang terhubung dengan nilai moral, sosial,
religi, politik, personal atau mungkin saja mewakili dan
mewujudkan hal-hal lainnya. Kegiatan mengapresiasi karya seni
dengan sikap apresiatif dan sikap kritis dapat menumbuhkan pengalaman
estetika (Rondi, 2017; Rohidi, 2014). Estetika sebagai cabang dari
filsafat yang berarti bahwa estetika merupakan filsafat yang
membicarakan keindahan. Menurut Kartika & Perwira (2004:6), pokok
persoalan estetika meliput empat hal yaitu: (1) nilai estetika (esthetic
value), (2) pengalaman estetik (esthetic experience), (3) perilaku orang
yang mencipta (seniman), dan (4) seni.
Pengalaman estetik bisa didapatkan melalui berbagai
pendidikan, baik secara formal, informal maupun nonformal. Seperti
yang diungkapkan oleh Candela (2013) dalam artikelnya yang berjudul
The Role of Dancing in the Educational Process, bahwa pengalaman
estetik melalui tari dapat merenungkan baik tubuh dan aspek psikis atau
emosional dan kognitif, lebih dari bahasa ekspresif lainnya, menari dapat
mengajarkan anak-anak untuk "diam" tubuh mereka sendiri dan
mengetahui potensi yang belum dimanfaatkan, mempertinggi kesadaran
diri. Selanjutnya, fleksibilitas menari memungkinkan untuk
menghubungkannya terutama dengan musik tapi dengan disiplin lain
juga, karena memfasilitasi ikatan mereka dan memberikan kontribusi
terhadap pencapaian visi global pengetahuan.
Pengalaman estetik memberikan rasa keindahan yang
bernafaskan perasaan. Perasaan indah bermanfaat untuk
berkehidupan dan membangun karakter seseorang yang suka bergaul
dengan bercakap yang indah. Pemahaman terhadap estetika tidak hanya
berdasarkan pengalaman sensorik saja, melainkan juga berdasarkan
pengetahuan yang dipelajari. Misalnya orang dapat belajar dari
pengalaman sosial di rumah, di sekolah, belajar menilai mode. Dengan
kata lain bahwa jika pengetahuan atau pengalaman sosial dipisahkan,
maka orang tidak mampu menguasai ketrampilan yang dibutuhkan
dalam membangun suatu karya seni (Jazuli, 2014:17).
Pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat intuitif, bawaan,
dalam diri) manusia terhadap apa yang dipahami dari dunia ide
(representasi-eksistensi). Plato menjelaskan, apabila manusia sudah
terlatih dalam hal intuisi, maka ia pasti sanggup menatap ke dunia ide,
maka akan menemukan titik pandang yang tepat ke arah keindahan
sesuangguhnya (Pamardi, 2014: 44). Bidang pendidikan memberikan
pengalaman estetika melalui kegiatan apresiasi (penghargaan,
penanggapan) dan kreasi (penciptaan). Pada kegiatan apresiasi dan kresi
terkandung aspek ekspresi (penjiwaan) (Jazuli, 2008: 5).
Pengalaman estetika yang didapatkan melalui apresiasi seni akan
mendapatkan nilai-nilai seni. Nilai-nilai seni menurut Sumardjo (2000:
137-138) mengandung 3 aspek nilai yaitu nilai intrinsik artistik, nilai isi
dan nilai pengungkapan. Nilai intrisik artistik berupa bentuk-bentuk
menarik atau indah, dapat pula disebut nilai penampilan (appearance)
atau nilai wujud yang melahirkan benda seni. Nilai ini terdiri dari nilai
bentuk dan nilai struktur. Nilai isi (content) terdiri atas nilai pengetahuan
(kognisi), nilai rasa, intuisi, nilai gagasan, nilai pesan atau nilai hidup yang
terdiri dari nilai moral, nilai sosial, nilai religi, dan sebagainya. Nilai yang
ketiga adalah nilai pengungkapan yang dapat menunjukan adanya nilai
bakat pribadi seseorang, nilai ketrampilan dan nilai medium yang
dipakainya. Semua dasar-dasar nilai itu menyatu padu dalam wujud
budaya dan tak terpisahkan, hanya dapat dibedakan bagi kepentingan
analisis budaya oleh para kritikus. Sartini (2009) menyatakan bahwa nilai
–nilai ajaran moral antara lain (a) ungkapan yang menggambarkan
hubungan manusia dengan Tuhan, (b) ungkapan yang menggambarkan
hubungan manusia dengan manusia, (c) ungkapan yang
menggambarkan sikap dan pandangan hidup, (d) ungkapan yang
menggambarkan tekad kuat.
Menurut Edy Sedyawati (2006: 414), nilai-nilai budaya yang
diwariskan terbagi menjadi dua yaitu nilai- nilai budaya yang berkenaan
dengan: (1) hubungan manusia dengan yang adi kodrati; dan (2)
hubungan manusia dengan sesamanya. Sedyawati (2007: 255), juga
menyatakan bahwa nilai- nilai budaya itu atas lima jenis, yang berkenaan
dengan manusia dengan lima hal, yaitu 1) Tuhan atau “yang Adi kodrati”,
2) alam, 3) sesama manusia, 4) kerja, dan 5) waktu. Masing-masing dari
kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat dijabarkan dalam banyak
rincian nilai, dan itupun jumlahnya dapat berbeda-beda diantara berbagai
kebudayaan..Hubungan manusia dengan yang adi- kodrati merupakan
konsep-konsep yang bersumber pada religi ini membentuk sistem
kepercayaan yang menjadi landasan yang amat penting bagi
pembentukan dan penanaman nilai-nilai budaya dalam masyarakat.
Hubungan manusia dengan sesamanya bahwa manusia menjalankan
dharma, yaitu tugas hidup sesuai dengan kedudukan dan peranannya
dalam masyarakat (Sedyawati, 2006:417).
Sarana pewarisan nilai yang bersifat umum seperti pertunjukan-
pertunjukan itu dapat berfungsi dan bermanfaat baik untuk orang dewasa
maupun anak-anak, sudah tentu dengan tingkat penghayatan dan
kemampuan interpretasinya yang berbeda. Wayang topeng Malang
merupakan salah satu seni pertunjukan yang dapat dijadikan sebagai
sarana dalam pewarisan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam sebuah pertunjukan membawa sebuah pesan melalui
simbol-simbol yang memformulasikan perasaan (Kurnita, 2007;
Machmud, 2013; Dina, 2015; Gustianingrum, 2016). Tokoh-tokoh Panji
yang digunakan sebagai contoh kebaikan, perilakunya dapat digunakan
sebagai contoh untuk diterapkan dalam kehidupan manusia
sesungguhnya. Manusia mempunyai keanekaragaman pembawaan,
contoh tokoh-tokoh dibuat dalam berbagai varian watak, ada yang
keras dan ada yang halus. Demikian pula cerita yang disampaikan dalam
pertunjukan-pertunjukan, pada dasarnya dapat dilihat sebagai sarana
penerusan nilai-nilai melalui berbagai tamsil dan inti ajaran yang
disampaikannya.
Pendidikan dalan Seni Pertunjukan
Kemajuan teknologi dalam berbagai bidang untuk melakukan
perubahan besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan
seni, baik dalam hal ekspresi maupun apresiasinya. Berbagai bentuk
perilaku budaya, seperti gaya hidup, bahasa, pakaian, makanan
termasuk dalam seni yang ditayangkan melalui layar kaca dianggap yang
terbaik.
Perilaku budaya yang ditangkap oleh masyarakat ditiru begitu saja,
tanpa dipelajari sesuai tidaknya, dan fungsionalnya. Sebagai
konsekuensinya dapat dilihat terkait pada konsep, kaidah, wawasan atau
kategori yang semula dianggapnya baku dan kemudian digantikan
dengan sesuatu yang ‘baru’. Hal ini yang memberikan andil besar di
dalam pergeseran nilai budaya, termasuk perubahan budi pekerti. Apa-
apa yang dulu dianggap baik dan benar secara norma susila, kini tidak
lagi, bahkan sebaliknya apa-apa yang dulu dianggap tabu, salah, a-
susila, kini dianggap biasa, bahkan dikalangan pemuda/remaja malah
dianggap trend, gaul, maju, dengan kata lain itu adalah baik dan benar.
Fenomena tersebut sangat mempengaruhi selera terhadap citra seni
(Soehardjo,1996: 2-6).
Perspektif realistis dan konteks penting yang perlu dipertimbangkan
dengan adanya perubahan adalah persoalan realitas yang mengepung
fenomena budaya itu sendiri berikut para
pendukungnya. Fenomena budaya apapun bentuknya, posisinya bersifat
tidak stabil. Misalnya, jika tari Jawa sebagai identitas manusia Jawa telah
berubah, maka identitas manusia Jawa pun berubah pula. Sebagai
sebuah proses kultural, banyak kesempatan untuk memberikan ruang
yang begitu luas bagi siapapun untuk melakukan apapun yang disebut
konstruksi identitas. Lewat proses kontruksi identitas, maka peristiwa
pertukaran benda dan atau simbol menjadi amat mudah. Kemajuan
teknologi komunikasi juga akan membuat fertilisasi silang antar
budaya semakin mudah.
Seni pertunjukan yang lahir di bumi nusantara merupakan ekspresi
kebudayaan masyarakat dengan segala filsafat dan falsafah yang
melatarbelakanginya. Memahami kebudayaan pada dasarnya memahami
persoalan makna, nilai dan simbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok
masyarakat pendukungnya. Acuan dan pedoman akan menjadi bagian
bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian
makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik.
Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa
kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan
tingkah laku manusia dalam komunitasnya (Rohidi, 2000:3).
Menurut Rohidi (2016: 71), pengertian kebudayaan terkandung tiga
aspek penting, yaitu kebudayaan dialihkan dari generasi satu ke generasi
berikutnya, kebudayaan dipelajari bukan dialihkan dari keadaan
jasmaniah manusia yang bersifat genetik dan kebudayaan dihayati dan
dimiliki bersama oleh para warga masyarakat pendukungnya. Ketiga
aspek tersebut dapat dilakukan dengan melalui strategi dan proses
pendidikan. Seni pertunjukan wayang topeng Malang merupakan bagian
dari kebudayaan. Seni dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia dapat mencerminkan suatu nilai karakter bangsa Indonesia.
Karakter bangsa Indonesia lahir dari realita bahwa bangsa Indonesia
terbentuk oleh berbagai kelompok dan keberagaman. Konsep ideal
karakter bangsa diwujudkan ke dalam nilai-nilai yang menjadi
kesepakatan bersama yang disebut dengan Pancasila” (Marijan, 2011:
30). Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap
lingkungan) yang terpatri dalam diri dan terlihat dalam perilaku.
Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati,
olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang
(Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa
2010-2015: 7). Nilai-nilai yang disampaikan membawa pesan-pesan
kritik, pendidikan, keagamaan, dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia yaitu pesan yang baik, kejujuran dan ketakwaan.
Terdapat 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yang berlandaskan
budaya bangsa yaitu religius, kreatif, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab (Pusat
Kurikulum Balitbang Kemendiknas, 2009: 9-10). Pendidikan yang
diterapkan di berbagai sekolah juga menuntut untuk memaksimalkan
kecakapan dan kemampuan kognitif. Dengan pemahaman seperti ini,
sebenarnya ada hal lain yang lebih penting dan tanpa disadari terabaikan,
yaitu memberikan pendidikan karakter kepada anak. Pendidikan karakter
penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif.
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter akan mendukung nilai-nilai
yang terdapat dalam tradisi. Nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi
hendaknya diperlakukan sebagai landasan tatkala berhadapan dengan
nilai-nilai yang lain. Nilai-nilai budaya berfungsi sebagai sumber atau
acuan bagi berbagai penciptaan baru, termasuk dalam seni tari, yang
kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintas budaya. Pendidikan
yang dipilih hendaknya pendidikan yang meniscayakan adanya orientasi
untuk mencapai kesadaran kita sebagai bangsa yang tidak selalu bersifat
singular, tetapi plural dan multikultur. Dengan demikian kearifan-kearifan
lokal yang terdapat dalam tradisi menjadi suatu hal yang tidak
terhindarkan, karena melalui kearifan lokal petukaran pemahaman antar
budaya daerah menjadi niscaya juga.
Wayang topeng sebagai salah satu identitas masyarakat
Kabupaten Malang perlu dilestarikan. Pelestarian merupakan bentuk
penularan budaya dengan cara memperkuat akar nilai budaya setempat,
sehingga seni diyakini bukan sekedar ‘tontonan’ tetapi juga ‘tuntunan’
bagi generasi berikutnya, yang saat ini jauh dari tradisi. Belajar
wayang topeng Malang merupakan sesuatu hal yang diperlukan minat
dan kesabaran, wayang topeng Malang memiliki gerak yang tidak
sederhana, tidak bisa dipelajari dengan satu atau dua kali melihat saja.
Untuk mempelajari wayang topeng Malang diperlukan motivasi yang
tinggi dan waktu untuk belajar melalui proses pewarisan.
Pewarisan adalah suatu proses mengalihkan pengetahuan dan
ketrampilan dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda.
Pewarisan merupakan bentuk pembelajaran yang dapat berlangsung
melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Dalam berkesenian
bagi pelaku memiliki fungsi pribadi, yaitu pemenuhan keinginan
berekspresi. Secara individu manusia memiliki kebutuhan yang bersifat
rohani yaitu kebutuhan tentang estetika atau keindahan. Oleh karena itu,
demi pemenuhan kebutuhan rohani, disela-sela kehidupan
kesehariannya seseorang meluangkan waktu untuk menikmati ataupun
berekspresi seni. Keberadaan seni tari di lingkungan masyarakat dapat
dikenali dalam bentuk 2 ekspresi, yaitu ekspresi kolektif dan ekspresi
individual (Sumaryono,
2003: 27). Sebagai bentuk ekspresi kolektif adalah merujuk pada jenis
seni tari tradisional yang bersumber pada komunitas-komunitas
masyarakat etnik yang tersebar di seluruh propinsi se- Indoneia.
Seni tari sebagai ungkapan individual lebih berorientasi pada jalur
kekaryaan. Dalam arti, ungkapan-ungkapan ekspresi seni tari lebih
mengedepankan aspek-aspek subjektivitas senimannya. Penting
tidaknya bagi seniman maupun para apresiasinya, taksonomi tari di
Indonesia telah menjadi dinamika keberadaan dan perkembangan dunia
tari. Sementara pergeseran dan perubahan nilai-nilai sosial
kemasyarakatan sebagai bias dari globalisasi jaman jelas tidak sedikit
pula pengaruhnya pada keberadaan dan perkembangan tari di Indonesia.
Dari dua hal mengenai bentuk ekspresi keberadaan seni
pertunjukan, secara taksonomi dunia seni pertunjukan di Indonesia
terdapat berbagai corak, gaya dan bentuk garapan. Dari dikotomi gaya
tradisional klasik dan tradisional kerakyatan, kemudian corak-corak tari
garapan kreasi baru, modern, kontemporer maupun corak-corak
penggarapan yang belakangan ini sering disebut sebagai teater tari.
Sebagai studi dan riset tersebut pengkategorian corak dan gaya-gaya
seni pertunjukan perlu terus dikaji.

Manifestasi dinamis dari sistem masyarakat-kebudayaan terdapat


tiga unsur yang penting yaitu (l) sistem arti-arti (pemaknaan) (2) alat-alat
benda matrialistik, dan (3) orang-orang atau masyarakat. Sistem arti yang
murni hanya terdapat dalam pikiran, tetapi apabila disampaikan kepada
orang lain, maka terbungkuslah dalam suatu alat lahir, sebab kalau tidak
demikian arti itu tidak dapat menjadi suatu sistem empirik atau
kebudayaan (Alisjahbana, 1989: 222-223). Sekumpulan alat lahir menjadi
sistem yang berarti atau bermakna jika dapat memvisualisasikan
pemaknaan. Apabila yang divisualisasikan itu suatu pengetahuan arti-arti,
terjadilah pengertian yang penuh arti atau makna. Sudah barang tentu
orentasi nilai-nilai lama diyakini sebagai sumber karena memiliki potensi
yang besar. Hal ini rnengingatkan masyarakat bahwa kehadiran
pertunjukan tidak seperti benda turun dari langit atau karena sifat
pewarisannya.
Sebuah pertunjukan memiliki kaitan erat dengan kondisi sosial,
lingkungan, religi, dan sistem sosial yang telah tertata. Kesadaran sosial
yang bersifat integral dengan struktur pertunjukan yaitu menentukan
keterhubungan dengan faktor eksternal secara kontinyu dan berinteraksi
dengan individu-individu dalam komunitas, sebagai institusi yang memiliki
kesatuan stabil (Alisjahbana, 1989:
97).
Kabupaten Malang merupakan wilayah heterogen yang memiliki
kekayaan seni dan budaya. Salah satu kesenian yang masih berkembang
adalah topeng. Di Indonesia, setiap daerah memiliki topeng yang memiliki
fungsi dan kegunaan hampir sama antara satu dengan yang lain. Topeng
Malang merupakan salah satu kesenian rakyat (daerah Malang) yang
sangat kental unsur kelokalannya. Masyarakat menyadari bahwa secara
kodrat, kehidupan wayang Jawa Timuran (wayang kulit dan wayang
topeng) dan wayang Jawa Tengah (wayang kulit dan wayang topeng) di
Surakarta dan Yogyakarta sangat berbeda. Wayang Jawa Timuran lahir
dari kalangan rakyat bawah, seperti halnya perkembangan wayang
pesisiran lainnya. Adapun wayang gaya Surakarta maupun Yogyakarta
dipelihara dan dikembangkan oleh kalangan atas (kraton). Seni
pertunjukan topeng di Jawa merupakan jenis kesenian yang masih
dirawat dengan baik oleh sebagian masyarakatnya. Dari wilayah gaya tari
Jawa, yakni Surakarta dan Yogyakarta, maka dapat diketahui identifikasi
gaya penampilan yang spesifik. Nilai spesifikasi itu dapat dicermati dari
bentuk penyajian, urutan penyajian, tipologi karakter, visualisasi gerak tari
dan gaya busana maupun aksesoris yang melingkupinya (Pramutomo,
2014).
Wayang topeng Malang memiliki ciri khas yang berbeda dengan
wayang topeng lain. Hal ini dapat disaksikan pada corak dandanan
busana pertunjukan Panji Jabung dan Kedungmonggo sekarang ini.
Terutama Jamang (irah-irahan kepala) yang mirip dengan jamang yang
digunakan dalam pertunjukan semacam di Bali. Bali merupakan mata
rantai kesinambungan budaya sejak jaman abad XIII. Begitu juga
pahatan relief candi-candi Jawa Timuran yang menunjukkan corak
serupa. Apresiasi topeng Malang diwujudkan dalam bentuk pertunjukan
wayang topeng. Wayang topeng Malang merupakan pertunjukan
bertopeng yang menggambarkan berbagai tokoh dalam cerita Panji.
Wayang topeng merupakan pertunjukan yang mencerminkan pola
hidup masyarakat Malang, yang diyakini memiliki kaitan historis dengan
pertumbuhan kultur tertua di Malang, yaitu sebuah kerajaan yang tumbuh
sekitar abad VII bernama Kanjuruhan. Jejak kerajaan Kanjuruhan
terdapat di daerah Dinoyo ditandai adanya sebuah candi yang bernama
Badut. Adipramono menyatakan bahwa tradisi menari di daerah Malang
sudah ada sejak masa Kanjuruhan (Supriyanto dan Adipramono,
1997: 4). Seiring dengan dinamika, kesenian tradisional yang
berkembang di Malang komunitasnya juga beragam dan khas, seperti
wayang topeng, ludruk, jaran kepang, tayuban, wayang kulit Jawa
Timur-an versi Malang, dan masih banyak lagi. Khususnya di
Kabupaten Malang terdapat empat komunitas masyarakat yang
membentukpertumbuhan sosial budayanya. Komunitas masyarakat yang
membentuk pertumbuhan sosial budaya, secara tidak langsung
akan mempengaruhi jenis seni pertunjukan yang ada di Kabupaten
Malang. Empat komunitas masyarakat di Kabupaten Malang diantaranya
adalah Komunitas priyayi, komunitas wong gunung, komunitas wong
padulungan, dan komunitas pra-majapahit (Hidajat, 2011:1-2).
Komunitas priyayi merupakan komunitas yang bermukim di
daerah Kabupaten Malang wilayah barat yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Kediri. Seni pertunjukan yang berkembang
mendapatkan pengaruh dari masyarakat daerah imigran yang berasal
dari wilayah selatan yaitu Jawa Tengah, yang biasa disebut dengan
istilah wong kulonan. Menurut Geertz (1985:
329), membagi tipe kebudayaan menjadi tiga yaitu abangan, santri
danpriyayi. Priyayi adalah golongan ningrat, ada dari para priyayi
yang berdagang, tugas priyayi adalah menjalankan
pemerintahan (sebagai pejabat). Terutama priyayi yang berasal dari
Solo, Yogyakarta dan Kudus.
Seni pertunjukan yang berkembang di wilayah Malang selatan
diantaranya wayang orang, wayang kulit, ketoprak, karawitan dan wayang
kulit gaya Surakarta. Gertz (1985: 375) menjelaskan bahwa, seni yang
dilakukan pada golongan priyayi adalah seni alus yang merupakan seni
yang paling tersebar luas, yang paling berakar, paling dielaborasi secara
filosofis dan religis.
Kesenian lokal dapat menunjang pengalaman-pengalaman siswa
dalam berapresiasi dan berekspresi seni. Pengenalan terhadap wayang
topeng Malang dapat dijadikan sebagai salah satu upaya bagaimana
meningkatkan pendidikan karakter pada siswa dengan mencermati nilai-
nilai kependidikan yang terdapat dalam cerita wayang topeng Malang.
Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa tentu tidak
semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan
belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian
kegiatan
pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah.
Pembiasaan-pembiasan (habituasi)
dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta
damai, dan tanggung- jawab perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti
keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-
nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada
akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang
selanjutnya merupakan pencermi-nan hidup suatu bangsa yang besar.
Dalam pertunjukan wayang topeng Malang terdapat beberapa tari
topeng Malang yang telah berdiri sendiri menjadi tari individu. Tari topeng
adalah pelambang bagi sifat manusia, karena banyak
model topeng yang menggambarkan situasi yang berbeda, menangis,
tertawa, sedih malu dan sebagainya. Tari topeng Malang di Kabupaten
Malang memiliki bentuk gerak, karakter gerak serta struktur pertunjukan
yang kaya. Beberapa tokoh yang terdapat dalam wayang topeng,
menunjukan
keragaman karakter tokoh, karakter gerak dan karakter kostum.
Keragaman dalam pertunjukan
wayang topeng Malang menjadi salah satu daya tarik untuk di
apresiasi, baik dalam pendidikan formal, informal maupun non formal.
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah, khususnya para seniman
untuk mempertahankan eksistensi wayang topeng Malang.
Khususnya di Kabupaten Malang, terdapat beberapa wilayah
perkembangan wayang topeng Malang yaitu di Desa Jambuwer, Desa
Tumpang, Desa Jatiguwi dan Desa Kedungmonggo. Setiap kelompok
wayang topeng memiliki cara untuk mempertahankan eksistensi
kesenian, mulai dari mengemas seni pertunjukannya, strategi
pewarisannya sampai pada bentuk promosi yang dilakukan. Misalnya
saja proses pewarisan membutuhkan strategi pengajaran yang perlu
dikaji. Tidak hanya dari segi gerak saja, tetapi juga karakter tokoh atau
karakter topeng, kostum dan iringan musiknya. Wayang topeng Malang
sebagai salah satu seni pertunjukan tradisi dapat diwariskan kepada
generasi berikutnya untuk mempertahankan eksistensi budaya lokal
dalam kemajuan globalisasi. Sehigga perlu diwariskan kepada generasi
selanjutnya.
Pewarisan seni menjadi isu yang sangat krusial di tengah derasnya arus
globalisasi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian penuh seluruh
stakeholder agar terus diupayakan dan terus berjalan dalam kondisi
apapun, dengan harapan seni tradisional tidak tereliminasi oleh kesenian
barat yang terus dikumandangkan hampir di setiap stasiun televisi.
Sehingga seni tradisional dapat terus dipertahankan sebagai identitas
bangsa.
Ketika wayang topeng Malang digunakan sebagai simbol identitas
bagi masyarakat Kabupaten Malang, biasanya secara kualitatif seni
pertunjukan tersebut berbeda dari seni pertunjukan yang digunakan
untuk rekreasi. Royce (2007: 179), jika seseorang melakukan penelitian
situasi-situasi multikultural, dimana tari sebagai simbol identitas yang
penting, peneliti mendapatkan sebuah pola tertentu yang timbul
berkenaan dengan tipe-tipe tari tertentu. Tarian yang termasuk
dalam kategori formal adalah yang secara tersurat menggunakan sebuah
simbol identitas pada peristiwa-peristiwa lebih dari suatu kelompok
budaya. Orang menginginkan kemungkinan adanya status yang paling
tinggi pada kelompoknya sendiri, bahkan umumnya orang memilih
simbol-simbol yang akan diberikan prestisenya oleh orang luar maupun
anggota kelompoknya.
Bentuk dan karakter dalam sebuah kesenian diciptakan oleh
manusia (seniman) yang kapasitasnya sebagai sebuah karya estetika
dalam suatu budaya. Oleh karena itu, karakter dalam kesenian menurut
Tasman (2008: 24) merupakan suatu permainan yang bersemi dari
sebuah imajinasi dan persepsi seseorang pada teknik bahan sebagai
medium untuk terwujudnya bentuk objek fisik. Bentuk gerak tari adalah
kesatuan unsur organik dalam komposisi secara struktural. Jika tari untuk
mengekspresikan pengalaman emosional dengan simbol-simbol
gerakan nyata, maka bentuk gerakannya harus mencerminkan isi
aktivitas pengalaman jiwa. Bentuk dan karakter wayang topeng Malang
merupakan ekspresi manusia yang bersifat estetis, kehadirannya tidak
bersifat independen atau tidak lepas dari masyarakat pendukungnya.
Wayang topeng Malang adalah bagian dari immanent dan integral dari
dinamika sosio-kulural masyarakat Kabupaten Malang.
Pada tahun 2010, pemerintahan Kabupaten Malang telah
menetapkan wayang topeng Malang masuk sebagai data warisan
budaya tak benda (2010). Data warisan budaya tak benda Kabupaten
Malang menjelaskan bahwa kesenian wayang topeng menyebar
diberbagai wilayah di bagian timur seperti Jabung dan Tumpang, serta
bagian selatan yaitu Kedungonggo dan Sumberpucung. Seperti yang
dituliskan oleh Sedyawati (2007: 209), bahwa penanganan pewarisan
budaya dibedakan menjadi dua yaitu penanganan terhadap Benda
Cagar Budaya (BCB) dan non BCB yang diatur dalam UU No 5 Tahun
1992 tentang Benda Cagar Budaya beserta dua peraturan lain tentang
pendaftaran dan penyimpanan. Wayang Topeng berkembang pesat
pada Era 1950-
1960. Kebijakan pemerintah menekan arus masuk budaya barat,
membuat kesenian tadisional muncul dan bersinar. Intensitas
pertunjukan dan antusias masyarakat dalam pertunjukan semakin
meningkat.
Pertunjukan wayang topeng masih aktif sampai saat ini salah
satunya Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun yang dipimpin oleh
Bapak Tri Handoyo yang terdapat di Dusun Kedungmonggo. Keaktifan
Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun ini terlihat dari kegiatan rutinitas
yang dilakukan oleh sanggar, misalkan saja pementasan rutin yang
dilakukan setiap malam senin legi setiap bulannya, selain itu juga arak-
arakan topeng yang dilakukan satu tahun sekali sebagai wujud mengingat
meninggalnya pendiri Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun yaitu Alm.
Karimun.
Tahun 1990-an, perkembangan wayang topeng di Dusun
Kedungmonggo seringkali dinyatakan oleh PEMDA Kabupaten Malang
sebagai aset daerah. Oleh sebab itu, pihak PEMDA Kabupaten Malang
selalu mengikutsertakan wayang topeng Dusun Kedungmonggo pada
berbagai festival dan misi-misi kebudayaan serta pementasan pada
kegiatan promosi pariwisata daerah (Wawancara Handoyo). Perhatian
pihak PEMDA membuat pendukung perkumpulan wayang topeng di
Dusun Kedungmonggo terasa adanya perubahan sikap. Pendukung
perkumpulan wayang topeng merasa kesenian yang bertahun-tahun
dimiliki merupakan sebuah sumber penghasilan sampingan yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Eksistensi wayang topeng di Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun mengalami pasang surut, pernah terjadi kefakuman sekitar tahun
2000-an, karena tidak ada perhatian dari keturunan keluarga,
masayarakat dan pemerintah. Beberapa hal dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi wayang topeng. Suatu potensi progresif
yang terkandung harus diupayakan pengaktualisasiannya tanpa harus
mengabaikan bingkai ekternal yang mengkondisikannya. Proses
penyesuaian dan pendinamisan terus-menerus serta proses integrasi
dilakukan untuk menuju dan menjadi sesuatu yang solid. Upaya yang
sedang dilakukan, yang terkait dengan eksistensi, hendaknya merupakan
kesatuan yang padu antara gagasan dan wujud nyata. Itu pula sebabnya
mengapa upaya yang dilakukan, secara metodologis hendaknya
bersandar pada prinsip aksi dan refleksi. Pada satu sisi upaya itu
mengandung tindakan konkret, sedangkan pada sisi lainnya secara terus
menerus menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yang ada sekaligus
menumbuhkan hasrat dan komitmen untuk menanganinya. Upaya
penanganan dalam mempertahankan eksistensi sudah sewajarnya
menjadi action yang berkesinambungan.
Arah pemecahan yang harus ditempuh antara lain dengan
meneruskan usaha-usaha penggalian, pelestarian dan pengembangan
khasanah budaya suku-suku bangsa, dengan dua sasaran sekaligus
yaitu pertama demi kontuinitas identitas suku bangsa sebagai sesuatu
yang berakar dalam melalui perkembangan berabad-abad, dan kedua
untuk diperkenalkan antar suku bangsa secara lebih insentif. Khusus
bidang kesenian, apabila kebudayaan nasional Indonesia bertumpu
pada ciptaan-ciptaan baru, disamping juga mengambil alih warisan seni
dari suku-suku bangsa yang telah mampu melintasi batas
kesukubangsaannya untuk meng-Indonesia, maka kesenian daerah
sering dianggap semata-mata sebagai warisan yang statis dan perlu
dilestarikan.
Sistem sosial merupakan mekanisasi yang ditumbuhkan dari
sebuah konsep yaitu sebuah cara berpikir dari masyarakat dalam
memandang realitas kehidupan. Sistem sosial merupakan sebuah
motor penggerak dari berbagai pemikiran masyarakat, termasuk hadir
dari sebuah pertunjukan. Dapat dikatakan bahwa kehadiran sebuah
pertunjukan dipandang sebagai organisasi unsur-unsur teknis artistik, dan
sebuah dinamika proses kreatif. Sementara pola berpikir masyarakat
yang kaitannya dengan struktur sosial belum banyak yang
memperhatikan. Berhubungan dengan itu,
pola pikir yang dilandasi oleh dinamika. Struktur sosial bukan
merupakan faktor yang menentukan
keberadaan sebuah pertunjukan. Sebuah pertunjukan dalam masyarakat,
jika dipandang dari sudut perkembangan masyarakatnya, akan tampak
sebagai (1) aspek proses komunikasi,(2) aspek transformasi dan (3)
aspek fungsional (Kaplan dan Manners, 2012:79-87). Pertunjukan
memiliki kestabilan, baku atau kemapanan nilai-nilai dianggap mustahil
karena dalam dinamika suatu masyarakat secara minimal akan memiliki
tiga aspek tersebut di atas.
Pelestarian norma lama bangsa (budaya lokal) adalah
mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan
mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes dan selektif
serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang selalu berubah
dan berkembang (Ranjabar, 2006:114). Berkaitan dengan pelestarian
budaya lokal topeng Malang, perlu adanya cara untuk mempertahankan
eksistensi. Pada tahun 2008 No 12 ditetapkannya Undang-Undang
tentang Pemerintah Daerah dan Surat Keputusan Bupati Malang
No.180/696/KEP/421.013/2012 tentang penetapan penerimaan belanja
hibah bidang kesenian dan budaya tahun anggaran 2012 melakukan
program pembinaan oleh pemerintah yang diberikan kepada para pelaku
kesenian yang eksis dan benar-benar membutuhkan bantuan. Dengan
adanya kebijakan tersebut, maka secara otomatis mengalami
peningkatan untuk melestarikan kesenian budaya topeng Malang.
Purnama (2016) dalam artikel hasil penelitian menjelaskan bahwa
posisi tari tradisional wayang topeng Malangan tergeser dengan adanya
tarian modern. Antusias dari masyarakat sekitar sanggar tari Asmoro
Bangun cukup baik namun kurang adanya sarana prasarana pendukung
yang layak untuk membuat mereka meminati belajar menari maupun
membuat topeng wayang itu sendiri.
Sumber daya masyarakat Malang Raya tentang tari wayang topeng
Malangan sangatlah minim, sehingga banyak sanggar-sanggar tari
wayang topeng Malangan ditempat lainnya tidak mampu mengadakan
pertunjukan karena kurangnya kesadaran lokalitas budaya.

(VIDEO WAYANG TOPENG ANAK)


BAB II
GAMBARAN UMUM
TOPENG MALANG

TAHAP I ATTENSIONAL
a. Siswa menganalisis peta konsep pembelajaran yang ada pada buku
(Gambar 1)
b. Siswa mengamati peta wilayah perkembangan wayang topeng Malanga
(gambar 2, gambar, 3, dan gambar 4)
c. Siswa mengamati video tar topeng (Video 1)

TAHAP II REPRESENTASI
a. Dari gambar yang diamati, siswa mampu menganalisis tentang wilayah
perkembangan wayang topeng
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menjelaskan sejarah
perkembangan wayang topeng Malang

TAHAP III PRODUKSI PERILAKU


a. Dari m a t e r i , gambar dan video yang dicermati, siswa mampu
mengerjakan soal-soal yang diberikan pada latihan
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan nilai-nilai
budaya pertunjukan wayang topeng dalam kehidupan sehari-hari
c. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan makna
Pendidikan dalam seni pertunjukan
PETA KONSEP
GAMBARAN
UMUM WILAYAH PERKEMBANGAN
WAYANG
TOPENG WAYANG TOPENG MALANG
MALANG

SEJARAH PERKEMBANGAN
WAYANG TOPENG MALANG

SENI PERTUNJUKAN
TOPENG

TARI TOPENG MALANG

Gambar 1: Kedudukan Kecamatan Pakisaji pada peta Kabupaten Malang


Sumber: Buku Profil Kabupaten Malang 2016
Wilayah Perkembangan Wayang Topeng Kedungmonggo
Kabupaten Malang merupakan salah satu Kabupaten yang
merupakan bagian dari Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Malang adalah
adalah Kabupaten terluas di Jawa Timur setelah Kabupaten Banyuwangi
dan merupakan Kabupaten dengan populasi terbesar di Jawa Timur,
Kabupaten Malang juga merupakan Kabupaten terluas ketiga di pulu
Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Sukabumi di Jawa
Barat. Ibukota Kabupaten Malang adalah Kepanjen. Bersama dengan
Kota Batu dan Kota Malang, Kabupaten Malang merupakan bagian dari
kesatuan wilayah yang dikenal dengan Malang Raya (Wilayah
Metropolitan Malang). Sebagian besar wilayahnya merupakan
pegunungan yang berhawa sejuk, sehingga dikenal sebagai salah satu
daerah tujuan wisata utama di Jawa Timur.
Kondisi geografi Kabupaten Malang sebagaian besar adalah
dataran tinggi yang dilingkari dan dipagari oleh gunung-gunung. Kondisi
geografis lainnya adalah dataran rendah, lautan dan pantai. Secara
keseluruhan ketinggiannya berkisar antara 0-3.600 meter diatas
permukaan laut. Kawasan utara dan barat Kabupaten Malang terdapat
rangkaian Gunung Arjuna (3.339 m) dan Welirang yang disambung
dengan Gunung Anjasmoro (2.277 m), rangkaian itu disambung lagi oleh
deretan Gunung Panderman, Gunung Kawi (2.651 m) dan Gunung Kelud.
Sedang kawasan selatan Kabupaten Malang terdapat barisan
pegunungan kapur Kendeng. Rangkaian gunung itu bersambung lagi
pada bagiantimur yakni jajaran gunung Mahameru, gunung Widodaren,
gunung Bromo dengan rangkaian pegunungan Tengger.
Letak geografi Kabupaten Malang pada koordinat antara 112 derajat
17’10,9” hingga 12 derajat 57’00” Bujur Timur dan antara 7 derajat 44’
55,11” hingga 8 derajat 26’ 34,45” Lintang Selatan. Dengan batas
wilayah administrasi terdiri dari:

Sebelah utara : Kabupaten Pasuruan, Kabupaten


Probolinggo, kabupaten Mojokerto dan
Kabupaten Jombang.
Sebelah Selatan : Samudra Hindia
Sebelah Timur : Kabupaten Lumajang
Sebelah Barat : Kabupaten Blitar dan Kabupaten Kediri

Dusun Kedungmonggo adalah sebuah dusun yang berada di


wilayah Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang,
dengan Kepala Desa Edy Sutrisno, BE. Luas wilayah Desa
Karangpandan 26,45 hektar. Terletak pada koordinat bujur 112.58919,
koordinat lintang -8,068155 dengan ketinggian di atas permukaan Laut
382 meter. Batas wilayah dari desa Karangpandang sebelah utara adalah
Desa Pakisaji, sebelah selatan Desa Mojosari, sebelahtimur Desa
Glanggang dan sebelah barat adalah Desa Permanu
(www.prodeskel.binapemdes.kemendagri.go.id/mdesa/).
Letak Dusun Kedungmonggo merupakan bagian dari Desa
Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang dapat disimak
pada Kabupaten Malang, sebagai berikut

Wilayah
Pakisaji

Gambar 2: Kedudukan Kecamatan Pakisaji pada peta Kabupaten Malang


Sumber: Buku Profil Kabupaten Malang 2016

Peta Kecamatan Pakisaji dapat diperhatikan lebih spesifik,


seperti pada Dusun Kedungmonggo sebagai berikut,
Desa
Karangpandan

Gambar 3: Peta Desa Karangpandang pada Peta Kecamatan Pakisaji


Sumber: Monografi Deasa Karangpandan
Gambar 4. Letak dusun Kedungmonggo dan Padepokan Seni
Topeng Asmoro Bangun dilihat dari satelitte map
(Sumber:http://google-maps.pro/satellite/Kedungmonggo/2017)

Tahun 1930-an, Dusun Kedungmonggo tergabung dengan Desa


Bendo dan Desa Karangpandan. Keyakinan orang-orang tua di Dusun
Kedungmonggo, bahwa Dusun Kedungmonggo merupakan daerah
setingkat kecamatan yang dipimpin seorang Aris (jabatan setingkat
camat). Jabatan ini setelah tahun 1930-an tidak lagi digunakan. Namun,
setelah tahun 1940-an, Kedungmonggo dijadikan setingkat desa yang
dipimpin oleh Kamituwo.
Dusun Kedungmonggo terletak pada posisi diantara empat desa.
Sebelah utara berbatas Desa Jatisari, timur berbatas Desa Bendo, barat
berbatas Desa Permanu, dan sebelah selatan berbatas Desa Lowok.
Letak Desa Kedungmonggo seakan-akan ditengah, sebagai desa pusat.
Terletak 11 km dari alun-alun Kota Malang kea rah selatan.
Kedungmonggo terdiri dari 2 kata yaitu “Kedung” dan “Monggo”, “Kedung”
berarti sungai yang dalam, sedangkan “Monggo” berarti silahkan.
Sungai yang mengelilingi dusun ini bernama sungai Metro. Berdasarkan
hasil wwancara dengan
Handoyo (25 september 2018), terdapat beberapa kepercayaan lain yang
dianut oleh masyarakat, bahwa di sungai Metro pada zaman dahulu hidup
seekor ikan yang bernama “Monggo”, ikan tersebut hidup tetapi tidak
punya daging, hanya tulang dan kepala.

Sejarah Perkembangan Wayang Topeng Kedungmonggo


Wayang topeng Malang yang tumbuh dan berkembang di Dusun
Kedungmonggo merupakan salah satu perkumpulan wayang topeng
yang masih mempertahankan eksistensinya di Kabupaten Malang.
Perkumpulan wayang topeng selain yang berada di wilayah Malang
diantaranya adalah: (1) Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun di
dusun Kedungmonggo, (2) Padepokan Seni Mangun Dharma di
Kecamatan Tumpang, (3) Perkumpulan Wayang Topeng Sri Marga
Utama dari Dusun Glagahdowo di Kecamatan Tumpang, 4)
Perkumpulan Wayang Topeng Galuh Candrakirana dari desa Jambuwer
Kecamatan Sumber Pucung, 5) Perkumpulan Wayang Topeng Wira Bakti
dari Desa Jabung, dan (6) Perkumpulan Wayang Topeng Madyo Utama
yang berada di Desa Pujiombo Gunung Kawi.
Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun di dusun Kedungmonggo
awalnya bernama Sanggar Asmoro Bangun, sejak tahun 2008 telah
berubah nama. Perkumpulan ini semula hanya dikenal dengan nama
desa saja, kemudian diberikan nama organisasi, yaitu Asmoro Bangun.
Nama Asmoro Bangun diambil dari tokoh utama lakon wayang topeng
yaitu Panji Asmoro Bangun.
Pengelola Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun merupakan
keturunan ke 5, yaitu bermula dari Serun, Kiman, Karimoen, Taslan,
sampai pada cucu Karimoen yaitu Suroso dan Handoyo. Seperti yang
disampaikan oleh Hidajat (2011: 24) perkumpulan wayang topeng di
Dusun Kedungmonggo dirintis oleh salah seorang warga Dusun
Kedungmonggo yang bernama Kek Serun. Kek Serun merintis
perkumpulan wayang topeng mulai sekitar tahun 1890-an, kemudian
berkembang hingga tahun 1917. Dalam waktu kurang lebih 25 tahun
perkumpulan wayang topeng di Dusun Kedungmonggo berkembang
dengan berbagai dinamika, termasuk pasang surutnya, termasuk dalam
mempertahankan anggota-anggotanya yang umumnya berprofesi
sebagai petani. Kek Serun meninggal sekitar tahun 1930-an,
perkumpulan wayang topeng dilanjutkan oleh putra tunggalnya yang
bernama Kiman. Kiman meninggal tahun 1948, kemudian dilanjutkan oleh
Karimoen, dimana pada tahun 1948 tersebut perkumpulan wayang
topeng mengalami masa kritis karena kesulitan mengumpulkan pemain,
perlengkapan wayang topeng sudah banyak yang rusak dan hilang. Pada
tahun 1950-an, Karimoen (Alm.) beserta istri mulai berhasil
menghidupkan kembali wayang topeng. Taslan anak Karimoen juga ikut
berjuang dalam mempertahankan eksistensi perkumpulan wayang
topeng. Taslan meninggal terlebih dahulu yaitu tahun 1992, sehingga
Karimoen berjuang sendiri. Semenjak Taslan meninggal dunia, putra putri
Taslan mulai tertarik pada kesenian wayang topeng yaitu Handoyo dan
Suroso.
Pada tahun 1990-an putra putri Taslan Harsono belum tertarik
menekuni wayang topeng. Sekitar tahun 1990-an, Handoyo dan Suroso
mulai tertarik dengan seni topeng, Handoyo memilih menekuni sebagai
pengrajin topeng dan penari, sedangkan Suroso lebih tertarik sebagai
pengendang dan Hariati yang merupakan putri kedua Taslan saat ini lebih
banyak membantu Handoyo dalam membuat topeng maupun melatih
tari. Handoyo menggantungkan hidup dari mengajar tari, menari dan
membuat topeng. Handoyo bertekad untuk tidak melanjutkan kuliah
setelah SMA, karena Handoyo yakin bahwa ketrampilannya menari dan
mengukir topeng mampu menopang kehidupan keluarganya pada
kemudian hari. Setelah Taslan meninggal, putra putri Taslan mulai
tertantang untuk tetap mempertahankan eksistensi Padepokan Seni
Topeng Asmoro Bangun. Semenjak tahun
2002 segala urusan keorganisasian dijalankan oleh Suroso, sebagai
penerus generasi ke 5.
Tahun 1970-an awalnya sebuah perkumpulan belum ada sanggar,
hanya sekedar perkumpulan biasa yang dikoordinasi oleh Taslan dan
Karimoen. Taslan dan Karimoen mengumpulkan teman-temannya untuk
latihan wayang topeng. Latihan dilaksanakan di halaman rumah
Karimoen, sedangkan pada saat akan melakukan pertunjukan,
mendirikan rumah- rumahan dari bambu, dengan topeng-topeng
digantung dengan tali di atas bambu. Hidajat (2015:26) menjelaskan
bahwa anggota dari latihan wayang topeng saat itu tidak hanya penari-
penari tua saja, tetapi juga dari pemuda-pemuda. Para anggota
mengharapkan untuk dapat mengikuti pertunjukan di luar kota, karena
pada tahun 1970-an banyak permintaan dari Pemda Kabupaten Malang
untuk mengikuti pentas di Yogyakarta dan Jakarta.
Tahun 1978, setelah Karimoen melakukan pertunjukan di Jakarta,
perkumpulan Asmoro Bangun mendapatkan perhatian dari pihak PEMDA
Kabupaten Malang dengan dibuatkannya Pendapa untuk pentas dan
berlatih seluas 15x15 m, diatas tanah seluas 25x40m. Pendapa ini
dibangun diatas tanah milik anak Karimoen yang bernama Gini. Pendapa
Asmara Bangun diresmikan oleh Bupati Malang Eddy Slamet pada 30
Oktober 1982 dengan nama Sanggar Budaya Kedungmonggo.
Gambar 5 Batu Peresmian Sanggar Budaya Kedungmonggo
Sumber: Wida Rahayu (2017)

Pada masa Karimoen Sejak tahun 2006 Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun mulai menyadari pentingnya usaha regenerasi, karena semakin
berkurangnya anggota perkumpulan. Handoyo mulai merintis kembali untuk
membangkitkan kembali perkumpulan wayang topeng yang ada di dusun
Kedungmonggo. Awalnya yang diperbolehkan menjadi murid hanyalah anak-anak
yang bertempat tinggal di sekitar dusun Kedungmonggo saja. Setelah Karimoen
mengalami kecelakaan tahun 1992, beliau masih aktif dalam pembuatan topeng, dan
meninggal tahun 2010, maka kegiatan yang dilakukan di sanggar diteruskan oleh cucu
Karimoen yaitu Suroso dan Handoyo. Karimoen (Almarhum) adalah seorang maestro
Wayang Topeng Malangan mendapatkan gelar, dari Kementrian Kebudayaan pada
tahun 2009. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Desa Karang Pandan Edi Sutrisno
(56) yang menyatakan bahwa:
“… setelah mbah Mun meninggal wayang topeng dan sanggarnya diwariskan
ke pak Taslan, pak Taslan meninggal diwariskan ke mas Handoyo. Sebisa
mungkin kita menjaga. Ya kalau dari pihak desa berjalan terus seiring sejalan,
jadi selalu mendukung… “
Gambar 6 Kepala Desa Karangpandan (Edi Sutrisno)
Sumber: Wida Rahayu (2017)

Handoyo yang merupakan salah satu cucu dari Karimoen, putra dari Taslan
lahir di Malang pada 3 Maret 1978. Handoyo menikah pada tahun 2001 dengan Saini
yang memiliki profesi sebagai penari dan sindhen, dan memiliki 2 putri bernama
Dhita dan Winni. Kedua putri Handoyo juga antusias dengan seni topeng.

Gambar 7. Handoyo (Pemimpin Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun)


Sumber: Wida Rahayu (2017)
Padepokan seni topeng Asmoro Bangun beralamatkan di
Jalan Prajurit Slamet Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan,
Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Merupakan salah satu
Padepokan seni topeng Malang-an yang sangat komit dalam
mempertahankan dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan asli
dari Jawa Timur. Pada laman yang dimiliki oleh Padepokan Seni Topeng
Asmoro Bangun adalah http://bangunasmoro.blogspot.co.id, yang
dibuat tahu 2013, tetapi pengelolaannya tidak rutin karena Handoyo
sebagai pemimpin sanggar jarang menggunakannya. Handoyo sering
memanfaatkan media sosial berupa facebook dengan nama
“Handoyo Topeng Malangan” sebagai media untuk
menginformasikan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Padepokan
Seni Topeng Asmoro Bangun baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Berdasarkan hasil wawancara dengan Handoyo bahwa situs web
yang dimiliki merupakan hasil karya dari mahasiswa dari salah satu
universitas swasta di Malang. Alamat email dari Padepokan Seni
Topeng Asmoro Bangun adalah topengasmorobangun@gmail.com.
Padepokan yang dikelola oleh Handoyo merupakan sanggar yang
nonprofit yang dikelola secara perseorangan. Handoyo hanya dibantu
oleh istrinya dalam mengembangkan Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun. Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun sering melakukan
pentas di berbagai acara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Adapun definisi dari Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun secara
lebih jelas merupakan suatu lembaga atau perkumpulan organisasi
nonprofit yang bergerak dalam usaha-usaha pelestarian seni topeng
dalam bentuk kerajinan topeng maupun pertunjukan. Padepokan Topeng
Asmoro Bangun melakukan pengembangan seni topeng baik sebagai
bentuk pertunjukan maupun fungsinya sebagai media edukasi yang
kreatif bagi para pemuda pemudi penerus bangsa.
Walaupun dikelola sendiri, Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun merupakan salah satu lembaga pendidikan nonformal yang
dilembagakan yang berusaha melstarikan kesenian tradisional, baik
topeng sebagai bentuk kerajinan ataupun seni pertunjukan merupakan
salah satu kesenian tradisional dan media komunikasi tradisional untuk
menyampaikan pesan. Jazuli (2008: 22) menjelaskan bahwa pendidikan
seni nonformal dibedakan menjadi 2 yaitu pendidikan seni yang
dilembagakan dan tidak dilembagakan. Pendidikan seni yang
dilembagakan adalah pendidikan seni yang dikelola sendiri secara
perorangan maupun berbadan hukum, seperti tempat kursus dan
sanggar. Jazuli (2008: 23), juga menyampaikan bahwa pendidikan seni
yang berlangsung di sanggar merupakan tempat berkumpulnya para
pelaku seni, peminat seni, dan atau orang yang ingin menjadi seniman
untuk berlatih bersam, menempa dan mengembangkan potensi diri
atau ketrampilan seninya.
DRAMATARI WAYANG TOPENG MALANG

Gambar 8. Adegan dalam dramatari Wayang Topeng


Sumber: Wida Rahayu (2017)

Gambar 9. Adegan dalam dramatari Wayang Topeng


Sumber: Wida Rahayu (2017)

Kata ‘dramatari’ gabungan dari 2 kata, yaitu drama dan tari. Drama
adalah seni pertunjukan berlakon yang menggunakan acting sebagai
elemen pokoknya. Makna kata ‘drama’ dalam khasanah seni pertunjukan
Indonesia disebut sebagai seni peran atau seni akting. Sedangkan kata
‘tari’ adalah berupa tindakan memerankan sesuatu dengan gerak tari.
Dengan demikian, dramatari adalah seni pertunjukan tari berlakon atau
bercerita (Sumaryono, 2011: 217). Elemen-elemen pokok dalam seni
dramatari terdiri dari penari, sutradara (dalang), lakon atau cerita, tata rias
dan busana, musik iringan dan tata panggung.
Dramatari dibedakan menjadi 2 yaitu dramatari berdialog dan
dramatari tanpa dialog. Dramatari berdialog dibedakan: (1) berdialog
prosa bebas diantaranya wayang wong, wayang topeng, wayang gong;
(2) dramatari opera tradisional diantaranya Langendriyan, Langen
Mandrawanara dan Mak Yong. Sedangkan dramatari tanpa dialog disebut
dengan istilah sendratari.
Wayang topeng merupakan pertunjukan dimana penarinya
memakai topeng. Di Jawa Timur sumber ceritanya adalah Panji dengan
peran utamanya Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji. Bentuk
pertunjukannya hampir sama dengan wayang wong. Tema Panji di Asia
Tenggara merupakan manifestasi dari politik dan budaya pengaruh
Majapahit di wilayah ini. Kerajaan Majapahit Jawa Timur (sekitar tahun
1300 sampai 1500 M) memperluas kekuatannya ke sebagian besar
wilayah Indonesia sekarang, dan ke daratan Asia Tenggara, menerapkan
ciri khas dari budaya yang kaya. Melakukan cerita Panji, menjadi genre
sastra populer saat ini, menjadi bagian dari budaya (Kievin, 2017). Selain
ada penari dan sutradara, juga ada seorang narator yang disebut dalang.
Tugas dalang adalah menghantarkan struktur cerita dan menceritakan
suasana adegan dalam bentuk prosa bebas maupun nyanyian. Ini hampir
sama dengan tugas dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Hanya saja
dalang di dalam pertunjukan wayang kulit sekaligus pula memainkan
boneka wayangnya dan memanipulasi dialog-dialog antar tokohnya.
Wayang Topeng merupakan salah satu wujud budaya yang berada
di Kabupaten Malang, yang memiliki bentuk dan karakter gerak yang
khas. Sebagaimana disampaikan oleh Dharsono (2007:27), bahwa
semua bentuk seni beserta ekspresi estetik yang hadir dan berkembang
dalam setiap kebudayaan, cenderung berbeda dalam corak dan
ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang berbeda.
Budaya topeng telah ada sejak beberapa ratus tahun yang lalu
dibuktikan dengan ditemukannya sebuah topeng berlapis emas di suatu
situs pra-sejarah di Pasir Angin Jawa Barat. Dari data arkeologis
menunjukkan bahwa topeng emas tersebut merupakan alat pemakaman
bagi jenasah manusia yang dikenakan di wajah si mati (Sumaryono,
2003:125). Secara teknis koreografis, tradisi-tradisi topeng untuk upacara
ritual nampak sederhana. Misalnya saja pada pengulangan, pola lantai
yang simple dan sederhana, dinamika yang konstan dan monoton. Para
penari topeng lebih memfokuskan pada karakterisasi bentuk topengnya.
Artinya kurang mementingkan pada penguasaan teknik, kesadaran untuk
memamerkan kemampuan gerak tarinya. Dalam perspektif antropologi,
beberapa contoh tradisi topeng dipengaruhi oleh budaya animisme serta
terasa unsur-unsur primitifnya. Kesederhanaan tampak pada kualitas
penampilan tari topeng, sehingga sulit dibandingkan dengan bentuk-
bentuk sajian seni yang memang secara murni bernilai sebagai seni
pertunjukan.
Tari topeng Malang yang dikenal adalah salah satu jenis seni
pertunjukan tari yang penarinya menggunakan penutup muka dengan
mengikatkannya di kepala dengan seutas tali. Bentuk topengnya sendiri
menggambarkan karakter dan peran seperti Panji, Patih dan Klana
dengan mengambil sumber dari cerita Panji. Tari Topeng Malang adalah
perpaduan antara wajah manusia dan wayang dengan pergerakan tari
patah-patah. Gaya inilah yang lebih dikenal dengan Gaya Malangan.
Malang yang berarti kuat dan menggambarkan kekesatrian.
Tari topeng Malang sebagai bagian dari seni pertunjukan wayang
topeng Malang, merupakan salah satu bentuk seni tradisi yang ada di
wilayah Malang. Pertunjukan wayang topeng dengan lakon Panji
diperkirakan muncul pada zaman kerajaan Singasari, pada periode Raja
Kertanegara (1190-1214 Saka atau 1268-1298 Masehi) (Berg, 1923
dalam Supriyanto, 1995). Seni pertunjukan wayang topeng di Jawa Timur
dikenal dengan istilah yang berbeda-beda dari masa ke masa, seperti
Matapukan (hatapukan), matapelan, Raket, Patapukan, yang
kesemuanya menunjukkan sebuah ciri yang khas sebagai seni
pertunjukan dramatari bertopeng, atau yang sekarang dikenal dengan
istilah Tapel. Tapel atau topeng yaitu benda penutup wajah yang mewakili
seluruh pribadi seseorang. Maksudnya, topeng menggambarkan
karakteristik dan sifat orang yang digambarkan. Penggambaran ini tidak
terbatas pada figur manusia, tetapi juga makhluk gaib seperti dewa,
binatang-binatang mitologi (Sedyawati, 1993:1).
Sekitar abad VIII-XV, wayang topeng merupakan seni pertunjukan
istana, yaitu seiring kejayaan kerajaan Majapahit yang diwarnai oleh
budaya Hindu setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M.
Kemudian, pusat pemerintah dipindahkan ke Demak Jawa Tengan oleh
Raden Patah. Kerajaan Demak mulai mengembangkan budaya yang
bercorak islamistik. Bisa jadi suksesi kekuasaan ini berpengaruh terhadap
seni pertunjukan wayang topeng di Jawa Timur, sehingga kemudian
dikenal peran serta Sunan Kalijaga sebagai pencipta seni pertunjukan
Topeng (Sumarsam: 47). Sungguhpun demikian Pigeaud masih
memandang hal tersebut dengan bijak karena masalah ini bukan semata-
mata permasalahan asal usul sebuah pertunjukan, tetapi merupakan
varian dari persebaran seni pertunjukan Jawa (Pigeaud, 1938: 370).
Pigeaud dalam bukunya ‘Javaanse Volksvertoningen’ (dalam
Hidajat, 2011), juga mengatakan bahwa wayang topeng amat populer di
Malang. Kepala desa Pucangsanga (Kawedanan Tumpang) dikenal
sebagai penari wayang topeng. Secara geografis Kawedanan Tumpang
pada zaman Belanda meliputi wilayang Kawedanan Tumpang sekarang
sampai ke daerah Blimbing (sekarang termasuk wilayah Kotamadya
Malang), dan desa Polowijen. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa
benang merah pertumbuhan dan perkembangan wayang topeng di
kabupaten Malang adalah sebagai berikut: (1) penyebaran ke wilayah
Malang Timur di Kecamatan Jabung, dan Kecamatan Tumpang, yakni di
desa Pucangsanga, desa Precet. Desa Glagahdawa, dan desa Tulusayu;
(2) penyebaran ke wilayah Malang Selatan di Kecamatan Pakisaji, yakni
di dukuh Glagahdawa dan dukuh Karangpandan, di Kecamatan
Sumberpucung, yakni di desa Jatiguwi dan di desa Senggreng.
Seperti halnya lakon cerita tradisional, yang secara taat asas
menyajikan objek sastra lisan. Demikian juga halnya dengan lakon Panji
dalam pertunjukan wayang topeng Malang. Objek sastra lisan berupa
realitas, dan realitas tersebut adalah peristiwa sejarah. Dengan demikian
lakon wayang topeng tersebut berupaya menterjemahkan peristiwa
sejarah berdasarkan kemampuan anak panggungnya dalam
mengungkapkan pengalamannya dengan bahasa seni pertunjukan
(Supriyanto, 1997). Teater topeng yang menyajikan siklus cerita Panji
melalui sastra lisan dan dilestarikan secara turun temurun, yang
mengklasifikasikan tatanan masyarakat dalam dimensi masyarakat Jawa
yang digambarkan lebih maju dan berbudaya tinggi, serta dimensi tanah
Sabrang (seberang, dalam arti kerajaan di luar Jawa), yang masih
primitif, berbudaya rendah, dan hutannya dihuni binatang buas.
Wayang topeng Malang merupakan bentuk pertunjukan hasil
kesatuan dari beberapa unsur yang terdiri dari penari, dalang, cerita, tata
rias dan busana, musik iringan dan tata panggung. Unsur-unsur tersebut
menjadi kesatuan yang utuh dalam sebuah penyajian pertunjukan yang
indah.
Pertunjukan wayang topeng Malang juga memiliki unsur utama
yang disajikan pada penonton melalui cerita yang dibawakan oleh para
penari. Cerita menurut kamus besar bahasa Indonesia merupakan
tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa
atau kejadian. Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik
berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Unsur
cerita dalam pertunjukan Wayang Topeng terdapat rangkaian sebuah
peristiwa atau beberapa peristiwa yang dapat dikelompokkan menjadi
satu sehingga terlihat susunan peristiwa secara kualitas (sebab akibat)
yang dinamakan alur cerita (Hasanudin, 1996:89).
Cerita dalam pertunjukan wayang topeng pada saat pertunjukan
dibawakan dalam bentuk dialog-dialog yang dibawakan oleh dalang.
Menurut Wijayanto (2007:13) dialog adalah percakapan antar pemain.
Dialog memainkan peran yang amat penting karena menjadi pengarah
lakon drama. Artinya jalan cerita dapat diketahui oleh penonton yang
menyaksikan melalui dialog para pemain. Agar dialog tidak hambar,
pengucapan dialog harus disajikan dengan penjiwaan yang emosional.
Selain itu pelafalannya harus jelas dank eras sehingga dapat didengar
penonton.
BAB III
UNSUR-UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG

TAHAP I ATTENSIONAL
a. Siswa menganalisis peta konsep pembelajaran yang ada pada buku
(Gambar 1)
b. Siswa mengamati peta wilayah perkembangan wayang topeng Malanga
(gambar 2)
c. Siswa mengamati gambar perkembangan wayang topeng di masa lalu
(gambar 3)
d. Siswa mengamati video pertunjukan wayang topeng yang ditampilkan
anak- anak (Video 1)

TAHAP II REPRESENTASI
a. Dari gambar yang diamati, siswa mampu menganalisis tentang wilayah
perkembangan wayang topeng
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menjelaskan sejarah
perkembangan wayang topeng Malang

TAHAP III PRODUKSI PERILAKU


a. Dari m a t e r i , gambar dan video yang dicermati, siswa mampu
mengerjakan soal-soal yang diberikan pada latihan
b. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan nilai-nilai
budaya pertunjukan wayang topeng dalam kehidupan sehari-hari
c. Dari gambar dan video yang diamati, siswa mampu menerapkan makna
Pendidikan dalam seni pertunjukan
PETA KONSEP
Wayang topeng Malang merupakan seni yang sangat kompleks,
karena memiliki unsur pertunjukan berupa elemen-elemen yang saling
terkait di dalamnya. Menurut Sumaryono (2011: 219), elemen-elemen
pokok dalam seni dramatari terdiri dari (1) penari (aktor/aktrisnya); (2)
sutradara, yang dalam teater barat disebut director, dan di Jawa disebut
dalang, (3) lakon atau cerita; (4) tata rias dan busana; (5) musik iringan
dan (6) tata panggung.
Penari dalam dramatari memerankan sesuatu dengan menari
sesuai dengan karakter tokoh. Penokohan wayang topeng merupakan
tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita Panji. Tokoh-tokoh dalam cerita
Panji terdapat 76 tokoh yang terbagi dalam tokoh protagonis, antagonis
dan tritagonis serta tokoh pembantu. Sutradara yang dimaksud dalam
pertunjukan wayang topeng adalah dalang, yan memiliki peranan penting
dalam pertunjukan. Dalang merupakan pemimpin yang berada
dibelakang layar, berperan mengatur jalannya pertunjukan, sebagai figur
sentral dalam menyampaikan dialog-dialog dari berbagai peran tokoh dari
cerita yang dibawakan. Cerita yang dibawakan dalam wayang topeng
adalah mengambil cerita Panji. Karawitan yang digunakan adalah berupa
gamelan yang memiliki laras pelog lengkap. Waktu dan tempat
pertunjukan dilakukan sesuai dengan pesanan.

Penari dalam Wayang Topeng Malang


Penari dalam wayang topeng memerankan suatu karakter tokoh
dengan menari. Penari laki-laki memerankan tokoh sebagai laki-laki.
Penari perempuan memerankan tokoh sebagai perempuan. Tetapi,
karena anggota di Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun lebih banyak
perempuannya, maka tokoh laki-laki juga diperankan oleh perempuan.
Handoyo sebagai pemimpin dan pelatih sanggar tidak sekedar memilih
tokoh begitu saja, tetapi terdapat seleksi yang harus dilakukan. Seleksi
yang dilakukan oleh Handoyo dilakukan selama proses latihan. Seleksi ini
dilakukan untuk melihat kualitas gerak dan postur tubuh sesuai dengan
tokoh, terutama untuk peran tokoh utama.
Penokohan adalah proses penampilan tokoh sebagai pemeran di
atas pentas. Menurut Sujiman (1990:61) berpendapat bahwa tokoh harus
dihidupkan. Tokoh dalam lakon adalah tokoh hidup bukan tokoh mati.
Tokoh hidup yaitu dimensi fisiologis (ciri-ciri badani), dimensi sosiologis
(ciri-ciri kehidupan masyarakat) dan dimensi psikologis (ciri-ciri kejiwaan).
Lakon adalah tokoh yang mempunyai tiga dimensional. Penokohan
dengan menggunakan berbagai macam cara, watak tokoh juga dapat
terungkap oleh (1) tindakannya, (2) ajarannya, (3) pikirannya, (4)
penampilan fisiknya, (5) apa yang dikatakan atau dipikirkan tokoh tentang
dirinya. Istilah ‘tokoh’ menunjukkan pada person atau orangnya atau
pelaku cerita. Tokoh yang dikaitkan dengan karakter (watak) adalah
pelaku yang ditampilkan pada suatu cerita atau drama.
Tokoh dalam sebuah cerita menampilkan karakter atau watak yang
membentuk kepribadian atau citra mental melalui kata-kata (verbal),
tingkah laku, dan tindakan yang terdiri dari gerakan atau sikap yang
menunjukkan perbedaan kualitas tokoh yang satu dengan yang lain
(Nurgiyantoro, 2002: 165-166). Fungsi tokoh pada teater sangat
menentukan lakon. Setiap tokoh cerita tentu mempunyai ciri-ciri fisik
tersendiri. Deskripsi tokoh secara fisik merupakan penjabaran keadaan
fisik atau luar tokoh cerita dalam hal ini tokoh yang dilihat melalui kata-
kata maupun visual (gambar). Gambaran fisik memberikan suatu
kehidupan pada tokoh seakan-akan terdiri dari darah dan daging (Zaimar,
1990:55). Menurut David (2015) dalam artikel jurnal internasional
menjelaskan bahwa topeng yang dikembangkan dalam masyarakat
'barat' secara konsisten digunakan dalam pendidikan drama, yang secara
spesifik pada praktik drama dan teater.
Setiap tokoh dalam pertunjukan wayang topeng menggunakan
topeng. Topeng yang memiliki warna tersendiri menggambarkan karakter
dari tiap tokoh
pewayangan bertujuan untuk semakin memperkuat penokohan dari
setiap peran yang dibawakan (Prasetyo, 2004). Topeng Malangan
memiliki beragam warna, ukiran, serta simbol-simbol dalam ragam
hiasnya yang sangat khas. Topeng Malangan dengan karakteristiknya
tersebut dapat melengkapi karakteristik watak dari setiap tokoh yang
dimainkan dalam tarian dengan beragam ceritanya serta beragam warna
maupun ragam hias dalam kostum penarinya. Pada dasarnya topeng
Malangan merepresentasikan karakter utama manusia di muka bumi ini
yaitu karakter jahat/buruk dan baik/bijaksana. Astrini (2013) menyatakan
bahwa simbolisme atau pemaknaan tanda dalam topeng Malangan juga
merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap keindahan alam
semesta beserta isinya yang melingkupi kehidupan manusia di muka
bumi.
Simbol tokoh mewakili perilaku simbolis tertentu untuk
membukakan hati kepada masyarakat agar berperilaku yang adil, jujur,
bijaksana dan mewakili jiwa persatuan yang kuat diantara keluarga. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Randiyo (2011) pada tokoh-tokoh dalam
cerita wayang Kangsa Adu Jago, bahwa karakter tokoh Basudewa yang
agak lemah membuat semua tokoh lain sibuk menampilkan jati dirinya.
Kangsa Dewa simbol tokoh antagonis, gegabah dan kurang perhitungan
merupakan tokoh sentral yang harus dibasmi dengan
semangatpersatuan, keadilan, perjuangan dan kesucian.
Secara dimensi psikologis, penokohan dalam wayang topeng
terbagi menjadi 4 yaitu tokoh protagonis, antagonis, tritagonis dan tokoh
pembantu. Tokoh protagonis adalah peran utama atau sentral cerita.
Tokoh antagonis adalah peran lawan (penghalang protagonis), tokoh
tritagonis adalah peran pendukung protagonis dan antagonis atau tokoh
penengah (pelerai), dan tokoh peran pembantu adalah yang secara
langsung tidak terlibat dalam berbagai konflik, tetapi diperlukan untuk
menyelesaikan cerita.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Handoyo yang
saat ini beliau aktif dalam mengelola Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun, bahwa jumlah tokoh dalam cerita wayang topeng berjumlah 76
tokoh yang teridentifikasi dari topeng yang digunakan, yang merupakan
koleksi dari Handoyo sendiri, Berikut ini nama-nama topeng yang
digunakan tokoh dalam pertunjukan wayang topeng.
Tabel 1. Nama-Nama Topeng, Karakteristik dan Sifat Tokoh dalam Wayang Topeng

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
1 Patih Kollo - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Dinemprang - Hidung: Pangotan Sifat: Ksatria, pemberani
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng
2 Patih - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
Ngaronggo - Hidung: Pangotan Sifat: Ksatria, pemberani,
Kusumo bijaksana
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Nunggeng

3 Panji Asmoro - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Bangun - Hidung: Pangotan Sifat: katria, pemberani,
suka menolong, bijaksana
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

4 Panji Lembu - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Amijaya - Hidung: Pangotan Sifat: Ksatria, pemberani,
bijaksana, berwibawa
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
5 Panji Lembu - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
Amiluhur - Hidung: Pangotan Sifat: Ksatria, pemberani,
bijaksana, berwibawa
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

6 Udapati Kartolo - Mata: Kedelen Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan Sifat:ksatria, pemberani,
tegas, bijaksana, berwibawa
- Alis: Kuwel
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Bundelan
7 Panji Amiseno - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
bijaksana, berwibawa
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Njlaprang
8 Panji Amisani - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
bijaksana, berwibawa
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Njlaprang

9 Panji Pambelah - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Ulo Nglangi

10 Panji - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Panggending - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Ulo Nglangi

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
11 Panji Pamecut - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

12 Panji Anom - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Ulo Nglangi

13 Panji Amerdadu - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Ulo Nglangi
14 Panji - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
Banyaksasi - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

15 Panji - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Kudanawarsa - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut, bijaksana
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

16 Panji Laras - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
17 Dewi Sekartaji - Mata: Liyepan Tokoh Protagonis
- Hidung: Pangotan Sifat: anggun, setia, suka
menolong, teguh pendirian
- Alis: Nanggal Sepisan
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep

18 Dewi Ragil - Mata: Liyepan Tokoh Protagonis


Kuning - Hidung: Pangotan Sifat: anggun, suka
menolong, ceria, baik hati
- Alis: Nanggal Sepisan
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep

19 Dewi Kili Suci - Mata: Liyepan Tokoh Protagonis


- Hidung: Pangotan Sifat: anggun, suka
menolong, pemberi nasehat
- Alis: Nanggal Sepisan
(pertapa), baik hati
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep
20 Dewi Tejaswara - Mata: Liyepan Tokoh Protagonis
- Hidung: Pangotan Sifat: anggun, ceria, baik
hati
- Alis: Nanggal Sepisan
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep

21 Dewi - Mata: Liyepan Tokoh Protagonis


Walangwati - Hidung: Pangotan Sifat: ceria, suka menolong,
baik hati
- Alis: Nanggal Sepisan
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep

22 Panji Walang - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Semirang - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
suka menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
23 Raden - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
Gunungsari - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
suka menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

24 Raden Kudana - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Warangsa - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
suka menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok

25 Raden Tunjung - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis


Seto - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
suka menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Kucing Anjlok
26 Raden Parang - Mata: Gabahan Tokoh Protagonis
Tejo - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
suka menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Dlimo Mlethek
- Kumis: Ulo Nglangi

27 Klono - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Sewandono - Hidung: Pangotan Sifat: Pemberani, teguh
pendirin, sombong
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Njlaprang

28 KlanaGaruda - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


lelana - Hidung: Pangotan Sifat: Pemberani, teguh
pendirin, sombong
- Alis: Kuwel
- Mulut: jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Njlaprang

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
29 Bapang jaya - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Sentika - Hidung: Bapangan Sifat: suka humor, ksaria,
banyak bicara
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Bundelan

30 Bapang Jaya - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Pangangun - Hidung: Bapangan Sifat: suka humor, ksaria,
Angun banyak bicara
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Bundelan
31 Klono Baron - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Sakeber - Hidung: Pangotan Sifat: pemberani, teguh
pendirian, sombong
- Alis: Kuwel
- Mulut: jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Njlaprang

32 Lembu Sura - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, pemberani,
penurut/ setia
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Bundelan

33 Lembu - Mata: Kedelen Tokoh Binatang


Gumarang - Memiliki tanduk Peralihan dari Panji Walang
Semirang
- Bentuk telinga lebar
- Bentuk mulut tebuka

34 Patih Sura - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Dwipangga - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: nunggeng

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
35 Patih dandang - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
mangkurat - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Nunggeng
36 Patih Gajah - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Meto - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng

37 Patih Gajah - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Suba - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng

38 Patih Lindu - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Sekti - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Nunggeng

39 Patih carang - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Lampit - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

40 Patih Kollo - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Memreng - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
mangap
- Kumis: Nunggeng

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
41 Patih Dandang - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Mangku Praja - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Nunggeng

42 Patih Kraeng - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Praja - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

43 Panji - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Gurawangsa - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng

44 Patih Musing - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Jiwa - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Nunggeng

45 Brajanata - Mata: Gabahan Tokoh Baik


- Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Dlimo Pecah
- Kumis: Nunggeng

46 Patih Kollo - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis


Renggut Muka - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng
No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
47 Patih Talang - Mata: Kedelen Tokoh Antagonis
Segara - Hidung: Pangotan Sifat: ksatria, berani, tegas,
setia
- Alis: Kadal Melet
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng

48 Wadal Werdi - Mata: Kedelen Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Buto Perempuan
Sifat: Rakus, genit
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Jambe Sigar
Setangkep
- Kumis: Nunggeng

49 Totok Kerot - Mata: Kedelen Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: Rakus, genit
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

50 Buto Terong - Mata: Kedelen Tokoh Buto


- Hidung: Terong Sifat: berani, suka
mengganggu, jahat
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Bundelan

51 Betara Kollo - Mata: Dondongan Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: berani, suka
mengganggu, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng
52 Kollo Tekik - Mata: Dondongan Tokoh Buto
Sologonjo - Hidung: Pangotan Sifat: berani, suka
mengganggu, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
53 Kollo Marko - Mata: Dondongan Tokoh Buto
Mamang - Hidung: Pangotan Sifat: berani, suka
- Alis: Kuwel mengganggu, jahat
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

54 Mahesa Sura - Mata: Dondongan Tokoh Binatang


- Hidung: Pangotan Sifat: berani, suka
mengganggu, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
- Kumis: Nunggeng

55 Begawan - Mata: Penanggaban Tokoh Baik


Walang Dewa - Hidung: wani miring Sifat: Bijaksana, suka
menolong
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Gejul

56 Begawan gajah - Mata: Penanggalan Tokoh Jahat


Aboh - Hidung: Pangotan Sifat: Bijaksana, berani,
jahat
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Singo Barong
57 Narada - Mata: Penanggalan Tokoh Baik
- Hidung: Wani Miring Sifat: bijaksana, suka
menolong, penyampai
- Alis: Blarak Sineret
wahyu
- Mulut: Dlimo Pecah

58 Bilung - Mata: Telengan Tokoh Jahat


- Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
59 Raden Patrajaya - Mata: Penanggalan Tokoh Baik
- Hidung: Gandik’an Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Kluwung
- Mulut: Nyopet

60 Demang Mones - Mata: Telengan Tokoh Jahat


- Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet

61 Demang Mundu - Mata: Penanggalan Tokoh Jahat


- Hidung: Bundu Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet
62 Demang Tirto - Mata: Telengan Tokoh Jahat
Yudo - Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet
- Kumis: Bundelan

63 Bambang - Mata: Telengan Tokoh Jahat


painem - Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet

64 Emban Dawolo - Mata: Kedelen Tokoh Baik


- Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
65 Emban Ono Ini - Mata: Kedelen Tokoh Baik
- Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Nyopet

66 Jarodeh - Mata: Penanggalan Tokoh Baik


- Hidung: Gantik’an Sifat: ceria, loyal, setia,
pemberi nasehat
- Alis: Kluwung
- Mulut: Nyopet
67 Prasonto - Mata: Dondongan Tokoh Baik
- Hidung: Pangotan Sifat: ceria, loyal, setia,
pemberi nasehat
- Alis: Kluwung
- Mulut: Nyopet

68 Celeng srenggi - Mata: Kedelen Tokoh Binatang


- Hidung: seperti
hewan Babi
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Singo Barong

69 Laler Ijo - Mata: Kedelen Tokoh Binatang


- Hidung: Pangotan Peralihan dari Walangwati
- Alis: Blarak Sineret
- Mulut: Singo Barong
Mangap

70 Nogo Tahun - Mata: Dondongan Tokoh Binatang


- Mulut: Singo Barong Peralihan dari Panji
Gurawangsa
- Ukiran kepala seperi
sisik naga

No Nama dan Gambar Topeng Karakteristik Topeng Karakter dan Sifat Secara
Dimensi Psikologis
71 Bader Bang - Mata: Dondongan Tokoh Binatang
- Mulut: Terbuka
- Ukiran kepala
menyerupai sisik ikan
72 Bedes - Mata: Kedelen Tokoh Binatang
- Alis: Blarak Sinegar
- Mulut: Singo Barong
Mangap

73 Wahmuko - Mata: Dondongan Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: pemberani, tegas, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

74 Rohmuko - Mata: Dondongan Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: pemberani, tegas, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

75 Pinggir Muko - Mata: Dondongan Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: pemberani, tegas, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

76 Hermuko - Mata: Dondongan Tokoh Buto


- Hidung: Pangotan Sifat: pemberani, tegas, jahat
- Alis: Kuwel
- Mulut: Singo Barong
Mangap
- Kumis: Nunggeng

Sumber Gambar: Handoyo (2017)

Topeng merupakan penutup wajah yang biasanya dapat terbuat


dari kayu, kertas, plastik, kain maupun logam. Bentuk topeng di dunia
sangat bermacam-macam, tergantung dari segi fungsi dan manfaatnya.
Secara antropologi, topeng dan pembuat topeng biasanya
mempertimbangkan makna dan simbolisme topeng dan fungsi sosial
pada topeng ritual (Pollock, 1995). Di Yunani, topeng digunakan sebagai
pendukung yang utama dalam sebuah pertunjukan drama atau teater
(Chriss, 2012). Topeng sebagai bagian dari proses transformasi, dan
topeng itu tidak pernah terlihat di abad kelima sebagai objek otonom
(Willes, 2007).
Handoyo membagi topeng menjadi 5 kelompok yaitu topeng untuk
tokoh antagonis, protagonis, binatang, baik, buto dan jahat. Dengan
jumlah sebagai berikut topeng dalam tokoh antagonis sebanyak 20,
topeng dalam tokoh protagonis sebayak 25, topeng dalam tokoh Jahat
sebanyak 6, topeng dalam tokoh baik sebanyak 8, topeng dalam tokoh
buto sebanyak 10, topeng dalam tokoh binatang sebanyak 7. Dari 76
topeng yang dimiliki oleh Padepokan Seni Topeng Asmorobangun, tidak
semuanya digunakan dalam setiap pertunjukan, penggunaan topeng
disesuaikan dengan cerita-cerita yang akan dipertunjukan. Tetapi dari ke
76 tersebut terdapat 5 tokoh utama dalam pertunjukan yaitu Klana
Sewandana, Panji Asmoro Bangun, Sekartaji (Candrakirana), Ragil
kuning dan Gunung Sari, seperti yang disampaikan Hidajat (2015: 53)
bahwa penyajian lakon Wayang Topeng Malang di Dusun
Kedungmonggo pada intinya adalah mengetengahkan tokoh inti, yaitu
Klana Sewandana, Panji Asmor Bangun, Sekartaji (Candrakirana), Ragil
Kuning dan Gunungsari. Selain itu juga terdapat tokoh pokok yang
dianggap sebagai pokok dalam pertunjukan wayang topeng yaitu tokoh
Patih yang selalu hadir pada saat acara pembukaan yang disebut dengan
tari Beskalan Patih (Hidajat, 2015).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Handoyo pada 14 Agustus
2017 menyampaikan bahwa:
“… Ada 5 dasar yang kita pakai sebagai patokan. Putih ini artinya
suci, merah artinya pemberani, kuning artinye ceria/senang, hijau
artinya kedamaian/kesuburan, hitam artinya bijaksana. Warna
emas sama dengan warna putih, warna biru sama dengan warna
hitam. Pink itu artinya bisa berani dan setia. Tapi dikembalikan lagi
misal pink karakter antagonis. Berarti mempunyai arti dia suci dan
setia pada perintah raja di dalam karakter panji. Tapi kalau untuk
karaktek baik atau protagonis biasanya dia setia kepada suami dan
juga kepada rajanya… “

Penokohan pada wayang topeng menurut hasil observasi dan


wawancara oleh Handoyo dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a. Kelompok Tokoh Protagonis
Patih Ngaronggo Kusumo, Panji Asmoro Bangun, Panji Lembu
Amijoyo, Panji Lembu Amiluhur, Udapati Kartolo, Panji Amiseno, Panji
Amisani, Panji Pambelah, Panji Panggending, Panji Pamecut, Panji
Anom, Panji Amerdadu, Panji Banyaksasi, Panji Kudanawarsa, Panji
Laras, Dewi Sekartaji, Dewi Ragil Kuning, Dewi Kili Suci, Dewi Tejaswara,
Dewi Walangwati, Panji Walang Semirang, Raden Gunungsari, Raden
Kudana Warangsa, Raden Tunjung Seto, Raden Parang Tejo
b. Kelompok Tokoh Antagonis
Patih Kollo Dinemprang, Klana Sewandana, Klana Garuda Lelana,
Bapang Jaya Sentika, Bapang Jaya Pangangun Angun, Klono Baron
Sakeber, Lembu Suro, Patih Sura Dwipangga, Patih Dandang Mangkurat,
Patih gajah Meto, Patih Gajah Suba, Patih Lindu Sekti, Patih Carang
Lampit, Patih Kollo Memreng, Patih Dandang Mangku Praja, Patih Kraeng
Praja, Patih Gurawangsa, Patih Musing Jiwa, Patih Kollo Renggut Muka,
Patih Talang Segara
c. Kelompok Tokoh Baik
Brajanata, Bagawan Walang Dewa, Narada, Raden Patrajaya, Emban
Dawolo, Emban Ono Ini, Jarodeh, Prasonto
d. Kelompok Tokoh Jahat
Bagawan Gajah Aboh, Bilung, Demang Mones, Demang Mundu,
Demang Tirto Yudo, Bambang Painem
e. Kelompok Tokoh Binatang
Lembu Gumarang, Mahesa Suro, Celeng Srenggi, Laler Ijo, Nogo
Tahun, bader Bang, Bedes
f. Kelompok Tokoh Buto
Wadal Werdi, Totok Kerot, Buto Terong, Betara Kollo, Kollo Tekik
Sologonjo, Kollo Marko Mamang, Wahmuko, Rohmuko, Pinggir Muko,
Hermuko

Karakteristik Gerak dalam Wayang Topeng Malang


Gerak tari adalah gerak yang telah mengalami distorsi stilisasi.
Gerak dalam dramatari dibedakan menjadi 4 kategori yaitu gerak
maknawi (gesture), gerak murni (pure movement), gerak penguat
ekspresi (baton signal), serta gerak yang khusus untuk berpindah tempat
(locomotion) (Soedarsono, 1999: 160). Gerak dalam wayang topeng
adalah sebuah proses yang berkaitan dengan perpindahan anatomi tubuh
dari posisi tertentu ke posisi yang lain, yaitu untuk menampakkan
karakteristik tokoh masing-masing. Istilah gerak tari pada wayang topeng
Malang umumnya disebut “solah”. Pada umumnya gerak tari pada tokoh
wayang topeng Malang adalah gerakan yang bersifat sistematik dan
konstruktif, dibutuhkan cara agar posisi tubuh yang disebut adeg atau
tanjek dapat dilakukan dengan baik (Hidajat, 2011: 91).
Gerak pada wayang topeng dibedakan menjadi 2 yaitu gerak tari
bentuk dan gerak mengekspresikan dialog. Gerak tari bentuk pada
wayang topeng adalah gerak yang dilakukan oleh tokoh wayang topeng
secara utuh menjadi suatu tari bentuk sebelum melakukan dialog atau
perang, misalkan saja tari Gunungsari (ditarikan oleh tokoh Gunungsari),
tari Patih (ditarikan oleh para Patih dari Kerajaan Jenggala Manik), tari
Bapang (ditarikan oleh tokoh Bapang), tari Grebeg Jawa (ditarikan oleh
para prajurit Klana Sewandana), tari Grebeg Jawa (ditarikan oleh prajurit
dari kerajaan Jenggala Manik), tari Klana (ditarikan oleh tokoh Klana
Sewandana), tari Sekarsari (ditarikan oleh tokoh Ragil Kuning dang
Sekartaji). Gerak tari bentuk ditarikan pada awal pertunjukan (tari Patih),
sebelum tokoh melakukan dialog (tari Gunungsari, tari Sekarsari, tari
Klana dan tari Bapang) dan adegan persiapan menuju perang (tari
Grebeg Sabrang dan tari Grebeg Jawa). Jenis gerak yang dilakukan pada
tari bentuk adalah gerak maknawi dan gerak murni. Gerak maknawi
adalah gerak yang distilisasi dari gerak keseharian, yang secara jelas
menggambarkan makna tertentu dan gerak murni adalah gerak yang
hanya menitikberatkan keindahan semata (Soedarsono, 1999: 161).
Gerak dialog adalah gerak yang dilakukan oleh para tokoh pada
saat mengekspresikan dialog yang disampaikan oleh dalang. Gerak
dialog yang dilakukan oleh para tokoh menggunakan gerak penguat
ekspresi, gerak murni dan gerak berpindah tempat. Gerak penguat
ekspresi adalah gerak penambah ekspresif dari suatu maksud tertentu
dan gerak berpindah tempat adalah gerak yang dilakukan untuk
berpindah dari satu tempa ke tempat lainnya (Soedarsono, 1999: 161)
Gerak maknawi pada wayang topeng misalnya gerak ulap-ulap
pada tari Sekarsari merupakan stilisasi gerak tangan orang yang sedang
melihat sesuatu di kejahuan (gambar 5.1). Gerak ngore rambut pada tari
Patih merupakan stilisasi gerak orang yang sedang mengurai rambut
(gambar 5.2). Gerak merak ngombe pada tari Gunungsari merupakan
stilisasi gambaran burung merak yang sedang minum (gambar 5.3).

Gambar 5.1 Pose Gerak Ulap-Ulap


Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

Gambar 5.2 Pose Gerak Ngore Rambut


Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)
Gambar 5.3 Pose Gerak Merak Ngombe
Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

Gerak murni pada wayang topeng digunakan sebagai penghubung


antara gerak maknawi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya saja
gerak ngancap kebyok yaitu gerak melemparkan sampur pada
pergelangan tangan pada tari Sekarsari (gambar 5.4), gerak ukel yaitu
gerak memutarkan pergelangan tangan.

Gambar 5.4 Pose Gerak Ngancap Kebyok


Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)
Gerak penguat ekspresi pada wayang topeng dilakukan pada saat
mengekspresikan dialog yang disampaikan oleh dalang. Gerakan lebih
sederhana, misalkan saja pada saat mengekspresikan dialog, pose gerak
kaki yang dilakukan adalah tanjak, dan yang lebih banyak bergerak
adalah tangan kanan (bergerak menekuk didepan perut berpindah lurus
ke atas depan dengan jari supit urang tertutup untuk perempuan dan
ngruji untuk laki-laki).
Gerak berpindah tempat (locomotion) pada wayang topeng terdapat
pada gerak tari bentuk dan gerak mengekspresikan dialog. Misalkan saja
labas yaitu gerak berjalan, gejegan yaitu kedua kaki menggeser ke
samping dengan langkah kecil, dan sirigan yaitu berjalan maju mundur
dengan langkah kecil. Gerak berpindah tempat juga dilakukan pada saat
adegan perang. Gerak perang pada wayang topeng bukanlah gerak
perang sesungguhnya, tetapi hanya berpura-pura saja, gerak tiruan
perang distilisasi dan digarap agar lebih komunikatif.
Berdasarkan tokoh, gerak dapat dibedakan gerak tokoh putra halus,
gerak tokoh putra gagah, gerak tokoh putri, gerak tokoh Begawan, gerak
tokoh binatang, gerak tokoh Demang dan gerak tokoh Emban.
a. Gerak Tokoh Putra Halus
Tokoh putra halus dalam wayang topeng merupakan tokoh-tokoh
putra yang masuk pada golongan tokoh protagonis. Tokoh-tokoh putra
halus diantaranya Panji Asmoro Bangun, Panji Lembu Amijoyo, Panji
Lembu Amiluhur, Udapati Kartolo, Panji Amiseno, Panji Amisani, Panji
Pambelah, Panji Panggending, Panji Pamecut, Panji Anom, Panji
Amerdadu, Panji Banyaksasi, Panji Kudanawarsa, Panji Laras,
Sifat gerak putra (maskulin) yang bersifat halus adalah volume
gerak sempit, irama gerak pelan, tidak memiliki junjungan kaki, tidak
memiliki gerak sirig, dan tidak memiliki gerak jalan (labas lombo), tetapi
hanya memiliki gerak berjalan yang disebut labas kerak atau nggelap.
Pada gambar 5.5 merupakan salah satu pose gerak gedrug gawang pada
tokoh Gunungsari.
Gambar 5.5 Pose Gerak Gedrug Gawang
Doumentasi: Wida Rahayu (2012)

Gambar 5.6 Pose Gerak Tanjek (putra halus)


Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

b. Gerak Tokoh Putra Gagah


Tokoh putra gagah dalam wayang topeng tergolong pada tokoh antagonis. Tokoh antagonis adalah peran
lawan (penghalang protagonis). Gerak pada tokoh putra gaga adalah bervolume besar, garis gerak tegas dan
memiliki gerak berjalan yang disebut labas (lamba dan kerep). Bentuk – bentuk gerak yang lebih menonjolkan
kekuatan, seperti gerak Srodokan, atau gerak labas yang lebih lebar.
Gambar 5.7 Pose gerak kaki junjungan
Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

Gambar 5.8 Pose gerak kaki tanjek (putra gagah)


Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

c. Gerak Tokoh Putri


Gerak tari putri terbatas pada gerak jalan atau menggerakkan
tangan menyesuaikan gerakan kaki. Misalnya saja pada gerak tokoh Dewi
Sekartaji yang cenderung memiliki volume gerak sempit / gerak halus.
Sedangkan pada gerak Ragil Kuning cenderung volume gerak sempit
tetapi gerak sedikit lincah.
Gambar 5.9 Pose Gerak Tanjek pada tokoh Dewi Sekartaji
Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

d. Gerak Tokoh Buto


Karakteristik gerak tokoh Buto cenderung gerak putra gagah tetapi
lebih bringas, kasar, lebih lincah dan atraktif Bentuk jari adalah banya
mangap yaitu jari empat merapat lurus dan ibu jari membuka ke samping.

e. Gerak Tokoh Demang


Demang pada wayang topeng ada dua golongan yaitu demang
yang tergolong tokoh jahat dan demang yang tergolong tokoh baik.
Demang yang tergolong tokoh baik adalah Raden Patrajaya, sedangkan
demang yang tergolong jahat adalah Bilung, Demang Mones, Demang
Mundu dan Demang Tirto Yudo. Karakteristik gerak Demang tidak
terstruktur artinya bebas, tidak memiliki urutan dan dilakukan sesuai
dengan ekspresi orang yang berperan sebagai Demang.
f. Gerak Tokoh Emban
Emban adalah wanita pengasuh di lingkungan istana bagi keluarga
bangsawan. Emban termasuk dalam golongan tokoh pembantu yang
baik. Emban dipekerjakan sebagai pengasuh, penghibur, sekaligus
penjaga keselamatan seorang putra atau putri raja sejak kanak-kanak.
Emban dalam wayang topeng diantaranya Emban Dawolo dan Emban
Ono Ini. Emban Dawolo adalah pengasuh dari Dewi Sekartaji dan Emban
Ono Ini pengasuh dari Dewi Ragil Kuning. Karakteristik gerak Emban
tidak terstruktur seperti gerakan yang dilakukan oleh Demang yaitu
gerakan yang tidak memiliki pakem urutan. Gerak dilakukan sesuai
dengan kemampuan orang yang menjadi tokoh emban. Pada saat Emban
masuk panggung dengan Dewi, maka Emban masuk panggung
menirukan gerak menari dewi dengan gerak yang dibuat lebih lucu.

Dalang dalam Wayang Topeng Malang


Wayang topeng merupakan pertunjukan dimana penarinya
memakai topeng. Di Jawa Timur dan Jawa Barat sumber cerita adalah
Panji dengan peran utamanya Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji.
Bentuk pertunjukannya hampir sama dengan wayang wong. Selain ada
penari dan sutradara, juga ada seorang narator yang disebut dalang.
Tugas dalang adalah menghantarkan struktur cerita dan menceritakan
suasana adegan dalam bentuk prosa bebas maupun nyanyian. Ini hampir
sama dengan tugas dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Hanya saja
dalang di dalam pertunjukan wayang kulit sekaligus pula memainkan
boneka wayangnya dan memanipulasi dialog-dialog antar tokohnya.
Berdasarkan hasil observasi yang diamati pada saat pertunjukan
dramatari wayang topeng di Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun,
dalang memiliki peranan yang sangat penting dalam pertunjukan. Dalang
menyampaikan dialog-dialog dari cerita yang dibawakan. Dalang selalu
berusaha menyesuaikan karakter suara dengan tokoh-tokoh yang ada
dalam cerita. Tokoh dari nagara Sabrang seperti Klana Sewandana yang
memiliki karakter besar kecerobohannya, sedikit kesopanannya, punya
watak usil dan sering menjahili, pada saat keluar dari keraton mengepal-
ngepal jambangnya, melintir-melintir kumisnya (Hidajat, 2015:61),
dengan karakter Klana Sewandana seperti itu maka karakter suara yang
dikeluarkan oleh dalang adalah suara yang tinggi dan suara bass, karena
menggambarkan sosok yang sombong atau angkuh. Tokoh dari keluarga
Panji seperti Panji Asmoro Bangun dan Raden Gunungsari, seorang
dalang harus mengeluarkan karakter suara yang pelan dan rendah tetapi
tetap tegas. Berbeda lagi dengan karakter suara yang dikeluarkan dalang
pada saat tokoh perempuan yaitu dengan suara lebih rendah dan pelan.
Garap tokoh dari masing-masing peran adalah upaya dalang untuk
menyajikan perkembangan sikap batin tokoh agar terwujud melalui
tindakan lahir sesuai dengan peristiwa dan permasalahan pokok dari
lakon yang ditampilkan. Perwujudan perkembangan tokoh tersebut
diusahakan dapat memberi citra tokoh yang digambarkan seperti melalui
pikiran, kehendak, perasaan, tindakan dan penampilan fisiknya. Pemain
dalam sebuah seni pertunjukan berada di perbatasan antara stabilitas dan
ketidakstabilan. Stabilitas seorang pemain dalam sebuah pertunjukan
artinya tidak hanya sekedar berubah menjadi seorang lakon yang
diinginkan oleh sutradara, tetapi harus bisa betul-betul menghayati lakon
tersebut untuk menarik perhatian penonton. Ketidakstabilan seorang
pemain muncul karena belum betul-betul menguasai lakon yang yang
diberikan sutradara. Seorang pemain dalam seni pertunjukan harus
memiliki keahlian yang sangat spesifik khususnya pada masing-masing
domain, seperti keterampilan yang dibutuhkan dalam bermain
(Thompson, 2017).
Persiapan seorang dalang wayang topeng Malang adalah
menyiapkan judul cerita apa yang akan disajikan dalam pertunjukan.
Dalam hal ini, Kamdani dibantu oleh Handoyo untuk menentukan cerita
apa yang akan disajikan. Handoyo memberikan garis besar dari cerita
(synopsis) yang akan disajikan, serta dialog apa yang harus diucapkan
pada setiap adegannya, serta tokoh-tokoh siapa saja yang akan tampil
setiap adegannya. Kamdani diberikan kebebasan untuk mengembangkan
dialog dari masing-masing tokoh dengan bahasanya sendiri. Jadi, tidak
ada transkrip secara tertulis dalam setiap pertunjukan Wayang Topeng.
Pada saat pertunjukan, Kamdani jarang menggunakan baju tradisional
seperti beskap, jarit dan blankon. Kamdani menggunakan baju seadanya,
sederhana dan menggunakan kopiah hitam.
Menurut Supriyanto (1997:80), pada pertunjukan wayang topeng
Malang, dialog yang dilakukan dalang dapat dibagi menjadi beberapa
macam yaitu:
1. Janturan adalah suatu prolog secara lengkap dalam suatu adegan
yang disebut jejeran. Artinya dialog dalang mengenai keindahan,
kejayaan tata pemerintahan, kemakmuran negara, kebijaksanaan raja
serta memperkenalkan tokoh-tokoh kerajaan. Janturan dilakukan pada
setiap adegan, menceritakan suasana adegan. Pada pertunjukan wayang
topeng dengan durasi yang panjang, maka janturan juga dilakukan secara
lengkap. Misalnya saja menceritakan suasana pada adegan pertama di
kerajaan Jenggala Manik, maka menceritakan tentang sosok tokoh raja
Asmara Bangun secara lengkap, mulai dari sifatnya sampai pada ciri dan
makna busana yang digunakan.
Pada pertunjukan wayang topeng pada durasi pendek maka
janturan pun menyesuaikan, bahkan ada juga adegan yang tidak
menggunakan janturan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan,
bahwa pada cerita yang dibawakan dengan judul Ronggeng Roro Jiwo
Roro Tangis, tidak terdapat janturan yang diungkapkan oleh dalang,
dalang hanya langsung menyampaikan pocapan.
2. Pocapan adalah prolog singkat mengenai pergantian adegan,
seumpama prajurit berangkat menunaikan tugas. Dari konsep
pemanggungan maupun pedalangannya mempunyai satu kesamaan,
hanya berbeda cara pengolahan cerita. Contoh pocapan pada saat cerita
berjudul Ronggeng Roro Jiwo Roro Tangis adalah sebagai berikut:
Pada adegan 1:
…ono lungguhe dalang purba amisesa wayangan sajroning purbo,
ojo nonton dalang ojo nonton wayang, wayange iro gambar paesan.
Kothaknyo kayuning jati isine rojo sukma kelawan rogo...

Terjemahan:
… ada tempat duduknya dalang yang mengatur cerita wayangan
didalamnya, jangan melihat dalang, jangan melihat dalang,
wayangan itu bergambar berhias, kotaknya dari kayu jati, isisny
sukma dan raga…

Pada adegan 2:
Lepas lampahing prajurit saking Negara Rancang Kencana golong
mangetan koyo arep rebut salang tunjang. Sing abang kumpul podo
abangkoyo alas kobong sing putih campur podo putih koyo barisan
kuntul. Lepas lampahing prajurit Rancang Kencana ngucapaken
negara bugis plembang gih papan mboten…

Terjemahan:
Setelah perjalanan dari kerajaan Rancang Kencana, bergerombol
ke timur seperti mau merebut salang tuunjang, yang merah
berkumpul sesama merah seperti hutan yang terbakar, yang putih
berkumpul sesama putih seperti barisan burung kuntul. Setelah
perjalanan prajurit Rancang Kencana, mengucapkan Negara Bugis
Palembang yaitu…
Pada adegan 3: Rom rom bintarom kaunduran sagara, jagad bathara
jagad wasesane.

Pada adegan 4: Mbegegeg ugeg ugeg sadlito mhel mhel

Pada adegan 5:
Lepas lampahe Ronggeng Rara Jiwa Ronggeng Rara Tangis,
ngucapaken alon-alon ing negara Jenggala Manik. Sinten ingkang
wonten negara Jenggala Manik, Panji Pambelah, Panji
Panggending, Panji Pamecut, Patih Kudanawarsa Pangandikaning
patih Kudanwarsa ngger, kadang-kadang podo metu ing jabaning
paseban, opo sing dadi karepmu …

Terjemahan:
Setelah perjalanan Ronggeng Rara Jiwa Ronggeng Rara Tangis
mengucapkan pelan-pelan di Negara Jenggala Manik, siapa yang
berada di Negara Jenggala Manik, Panji Pambelah, Panji
Panggending, Panji Pamecut. Patih Kudanawarsa berbicara
‘anakku, saudara-saudaraku ayo keluar dari ruang rapat, apa yang
kamu inginkan…

Pada adegan 6:
Lepas lampahing prajurit saking Jenggala Manik, kalih saking
Rancang Kencana, soyo perang ngrebut jayaning tunggal.
Ngucapaken negara Rancang Kencana mbugis nggih mapan,
ngucapake negari Banjar Patoman sinten ingkang wonten? Inggih
meniko Bapang Jayasentika, satria bagus gagah perkoso godeg
simbar dodo, yen cinondro saking Mandaraka kadyo kalong
nebahing wowohan tindake.

Terjemahan:
Setelah perjalanan prajurit dari Jenggala Manik dan Rancang
Kencana, seperti merebut kekuasaan tunggal. Mengucapkan
Rancang Kencana Bugis yaitu Negara Banjar Patoman, siapa yang
berada di negara Banjar patoman, siapa lagi kalau bukan Bapang
Jayasentika. Satria ganteng gagah perkasa dengan rambut yang
lebat, Kalau diceritakan dari negara Mandaraka tingkahnya seperti
kelelawar besar yang mengambil buah-buahan.

Pada adegan 7:
Lepas lampahe lare Bapang Jayasentiko, ngucapake negari Banjar
Patoman Bapang Jayasentika nggih mapan, ngucapaken negari
Rancang Kencana lagi seneng, kadangipun kakang iki wes entuk
gawe ayo wes seneng-seneng ing negara Rancang Kencana…

Terjemahan:
Setelah perjalanan Bapang Jayasentika mengucapkan negara
Banjar Patoman telah mapan, mengucapkan negara Rancang
Kencana sedang senang, saudara kakak sudah dapat pekerjaan,
ayo bersenang-senang di negara Rancang Kencana…

3. Ontowecono adalah dialog dalang untuk untuk mewakili


membicarakan anak wayang satu dengan yang lain. Anak wayang pada
pertunjukan wayang topeng adalah pada umumnya suatu tim aktor yang
mahir menari topeng. Anak wayang topeng telah terbiasa membawakan
peran rangkap atau peran ganda. Misalnya saja pada adegan 5 dimana
terjadi komunikasi antara Klana Sewandana dengan beberapa patih yang
ada di Negara Sabrang, dari kelima patih yang ada, maka yang bergerak
untuk mengikuti dialog yang diucapkan oleh dalang hanya satu orang.

4. Aspek vocal dalang / Kombangan


Dalang menceritakan suasana dalam bentuk nyanyian atau seni
vocal dalam wayang topeng malang. Lebih dikenal sebagai cengkok
(ukuran gaya nyanyian) ala Jawa Timuran umumnya dan khususnya cara
wetanan (Malangan). Penggunaan bahasanya sederhana dan berciri
bahasa sehari-hari. Misalnya saja seperti dialog seperti ini:
Baiyuh, seneng lek ngono. Aku lek ruh wong ayu senenge ra
lumrah, lek koyo mengkono nduk aku arep gae ledek ing negara
Rancang Kencana sak isane waranggono lan panjake. Muga muga
ijo ijo kasembon aku yo gelem iso opo ae aku gelem, pokoe aku
eruh wong ayu”
”Patih talang segoro golek wedokan-wedokan goblok! Iku maeng
wedokan maling, iku mau cekelen malinge. Maling-maling mandek
Terjemahan:
Haduh… senang kalau begitu. Saya kalau melihat orang cantik
sangat senang, kalau seperti itu akan aku jadikan penari di Negara
Rancang Kencana, kalu bisa sekalian penyanyi dan pemusiknya.
‘Patih Talang Segoro, segera carikan perempuan bodoh tadi,
perempuan maling, kamu tangkap’

Jika dicermati bahasa dialog yang digunakan oleh dalang tersebut,


mencirikan bahasa sehari-hari yaitu bahasa Jawa sehari-hari yang mudah
dipahami oleh penonton yang rata-rata adalah warga yang menggunakan
bahasa Jawa sehari-hari. Bahasa dalang menggunakan bahasa jawa
campuran yaitu bahasa jawa ngoko, bahasa Jawa krama madya dan
krama inggil.
Bahasa pertunjukan yang digunakan oleh Kamdani pun tetap
memperhatikan konteks. Terdapat perbedaan bahasa antara masing-
masing tokoh yang dihadapi, misalnya saja bahasa yang digunakan
antara Asmara Bangun dengan Gunungsari, atau Ragil Kuning dengan
embannya.
Dalang sebagai sosok yang memegang peranan penting dalam
sebuah pertunjukan memiliki tanggung jawab terhadap jalannya
pertunjukan. Dalang memiliki tugas suci untuk mengajarkan kepada
penonton yang berupa wejangan (nasihat atau ajaran) yang baik bagi
pendidikan moral manusia. Jazuli (2003: 117) menjelaskan dalang harus
dapat memberi hiburan secara menarik dan bermakna bagi penontonnya
melalui ekspresi estetis wayang, sehingga penonton merasa terpesona
(terkesan, terhibur)) dan semakin menggemari pertunjukan wayang.
Selain itu dalang harus dapat memberikan pencerahan batin
penontonnya melalui ekspresi keindahan etisnya, sehingga penonton
merasa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman (pencerahan jiwa)
yang berguna bagi kehidupannya.
Menjadi seorang dalang sangatlah tidak mudah dan tidak semua
orang mampu menjadi dalang. Menjadi dalang membutuhkan ketekunan
yang luar biasa, seorang dalang harus selalu belajar terus bila ingin
menjadi baik dan bisa bertahan, yang digemari oleh masyarakat luas.
Ketenaran seorang dalang tidak jatuh dari langit, melainkan melalui
perjuangan dan keterkaitan dengan generasi sebelumnya (leluhur).
Menjadi dalang memang tidak selalu menjadi cita-cita, tetapi lebih
merupakan panggilan Tuhan melalui bakat yang diberikan seperti yang
disampaikan oleh Kamdani (59 tahun) yang merupakan satu-satunya
dalang wayang topeng yang ada di Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun bahwa ”… dalang kuwi kan bakat-bakatan. Masyo diwenehi tapi
lek ora bakat rak ora nyantol…” artinya dalang itu bakat, meskipun sudah
diberi kalau tidak bakat tidak akan bisa.

Gambar 5.10 Kamdani (Dalang)


Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Gambar 5.11 Kamdani (Dalang) akan memimpin doa sebelum pertunjukan


Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)
Handoyo dalam wawancara 17 Januari 2018 menyampaikan bahwa
menjadi seorang dalang memang tidak mudah dan tidak dapat
dipaksakan, seseorang yang ingin belajar dalang harus dari hatinya
sendiri dengan ikhlas. Handoyo memiliki cita-cita agar salah satu keluarga
bisa menjadi dalang. Handoyo juga berharap salah asatu dari anaknya
dapat menempuh pendidikan formal di bidang pedalangan. Keturunan
atau memiliki hubungan darah (genealogi) dengan dalang bukan saja
penting dari proses dan sumber belajar bagi calon dalang, melainkan juga
berhubungan dengan kharisma calon dalang itu sendiri. Keturunan bagi
seorang dalang merupakan salah satu sarana untuk mencapai pretise
dan memperoleh legitimasi dalam komunitas dalang maupun publiknya,
lebih-lebih keturunan dalang tenar yang memiliki kharisma dan ilmu tinggi
(narativisasi dan eufimasi). Keturunan juga berpengaruh terhadap
kemampuan atau bakat seseorang untuk menjadi dalang (Jazuli,
2003:288).
Berdasarkan hasil wawancara, Kamdani bukanlah keturunan
seorang dalang, Awalnya Kamdani merupakan seorang penari wayang
topeng di Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun. kamdani belajar
menjadi dalang pada Karimun (Alm) maestro wayang topeng yang
merupakan kakek dari Handoyo. Sebelum Kamdani menjadi dalang, ada
juga dalang wayang topeng dari desa Talun Kecamatan Pakisaji. Awal
belajar menjadi dalang, Kamdani belajar setiap sore di rumah Karimun
(Alm), seperti yang disampaikan oleh Kamdani dalam wawancara:
“…Aku biyen iku belajar dalang nang mbah Karimun, saben sore
dolen nok omahe terus jaluk wuruki. Soko tlaten iku akhire
tumekaning saiki wes keitung 5 tahun…”

Artinya: “… saya dulu belajar dalang di mbah Karimun, setiap sore


bermain kerumahnya terus minta dibelajari. Dari ketelatenan itu
sampai akhirnya sudah 5 tahun…”

Kamdani juga menyampaikan bahwa pernah memiliki siswa yang


belajar dalang, tetapi tidak berlangsung lama karena merasa kesulitan
dalam mempelajarinya. Belajar dalang membutuhkan ketelatenan dan
kesabaran. Seorang dalang harus memiliki kompetensi yang berupa
kemampuan, ketrampilan, kecakapan, pengalaman yang memadai
tentang segala hal seni wayang dan pedalangan. Menjadi dalang tidak
harus dari keturunan maupun kerabat dalang atau bahkan menempuh
pendidikan formal tentang pedalangan.
Biasanya menjadi dalang memiliki ketrampilan dalam bidang
kesenian seperti mampu menabuh gamelan, bermain musik, menari dan
memiliki kemampuan bidang seni lainnya. Seperti Kamdani yang awalnya
adalah seorang penari juga. Berdasarkan dari cara belajar dalang
Kamdani kepada Karimun (Alm) yang bukan berdasarkan keturunan,
maka disebut sistem nyantrik atau pencantrikan. Terdapat hubungan
antara bagawan/ empu dan cantrik. Bahwa tokoh bagawan adalah
seorang bijak yang disegani masyarakat termasuk dan terutama cantrik.
Cantrik adalah seorang individu yang rela mengabdi kepada sang
Begawan demi untuk memperoleh pelajaran yang bernilai tinggi.
Soehardjo (2005:9) sistem pencantrikan adalah sistem pendidikan
yang serupa dengan sistem aprentisip. Nilai yang mengedepankan yang
diambil dari hubungan kedua belah pihak, pihak sang bagawan/ empu
berupa ketulusan niatnya untuk menularkan kemahirannya, sedangkan
dari pihak cantrik berupa terbentuknya citra, kalau sang empu merupakan
tokoh yang disegani, dihormati, diteladani dan dipuja. Juga terbentuknya
rasa kagum karena sang begawan/empu merupakan tokoh yang
menyandang nama besar yang dikagumi masyarakat.

Cerita dalam Wayang Topeng Malang


Cerita merupakan narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun
berdasarkan waktu. Cerita sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi
berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi
(Nurgiyantoro, 1995: 91).Cerita dalam pertunjukkan teater tradisional
sering disebut dengan lakon Cerita dalam wayang topeng mengambil dari
cerita Panji yang merupakan sastra lisan. Cerita Panji merupakan cerita
legenda. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang
mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karena
itu, legenda seringkali dianggap sebagai sejarah kolektif (folk History).
Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah
mengalami distorsi sehingga seringkali jauh berbeda dengan kisah
asilnya.
Dialog yang terdapat dalam cerita, disampaikan oleh para tokoh-
tokoh di dalamnya. Menurut Wijayanto (2007:13) dialog adalah
percakapan antar pemain. Dialog memainkan peran yang sangat penting
karena menjadi pengarah lakon drama. Artinya jalan cerita dapat
diketahui oleh penonton yang menyaksikan melalui dialog para pemain.
Agar dialog tidak hambar, pengucapan dialog aharus disajikan dengan
penjiwaan yang emosional. Selain itu pelafalannya harus jelas dan keras
sehingga dapat di dengar penonton.
Istilah lakon atau cerita merupakan naskah maupun karangan yang
disusun dalam bentuk percakapan dilengkapi dengan keterangan dan
suasana untuk kemudian di proses ke pementasan. Lakon juga berarti
karangan berbentuk drama yang ditulis dengan maksud untuk
dipentaskan. Kekhususan dari lakon-lakon yang terdapat di wayang
topeng Malang dipentaskan berdasarkan daya ingat sang dalang, sebab
dalang tidak menggunakan sumber sastra tertulis. Lakon rekaan baru
karya ki dalang tersebut di sebut lakon carangan. Dengan demikian, lakon
tersebut dapat bervariasi.
Terdapat beberapa cerita atau lakon wayang topeng yang berada
di Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun Dusun Kedungmonggo
Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang, diantaranya adalah Panji Reni,
Perkawinan Panji (Rabine Panji), Panji Laras, Sayembara Sada Lanang,
Geger Gunung Wilis, Keong Mas, Mlati Putih Edan, Walang Sumirang –
Walangwati, Badher Bang Sisik Kecana, Kayu Ampyun, Gajah Abuh atau
Kudanarawangsa, Walang Sumirang, Perkawinan Gunungsari, Gunung
Sari Kembar, Betara Kala Lahir dan Lahire Naga Tahun.
Cerita yang di pertunjukan dalam wayang topeng yang rutin
dilakukan oleh Padepokan Seni Topeng Asmara Bangun setiap bulannya
yaitu pada malam Senin Legi sudah terjadwal di awal bulan. Penentuan
cerita setiap bulannya ditentukan oleh Handoyo sebagai penerus
padepokan, terkadang cerita juga bisa berubah jika ada permintaan.
Cerita yang disajikan selama tahun 2017 adalah Adege Jenggala
(Januari), Panji Kudarawangsa (Februari), Walang Wati - Walang
Sumirang (Maret), Lahire Panji Laras (April), Rabine Bapang (Juni),
Jenggala Mbangun Candi (Juli), Gunungsari Kembar (Agustus), Umbul-
Umbul Madyapura (September), Ronggeng Roro Jiwa- Tangis (Oktober)
dan Lahire Naga Tahun (November).
Cerita-cerita tersebut menjadi dasar atau pijakan pada saat
melakukan pertunjukan wayang topeng Malang. Dari beberapa cerita
tersebut terdapat cerita yang dapat dipertunjukkan pada saat tertentu –
tertentu saja misalnya cerita Betara Kala Lahir Dan Lahire Naga Tahun.
Betara Kala Lahir di gunakan untuk upacara ruwatan, seperti yang
disampaikan Kamdani (Dalang) pada wawancara sebagai berikut:
“… Betara Kala lahir iku ditampilno pas onok acara ruwatan atau
waktu pas ada pertunjukan Dramatari Wayang Topeng, moro-moro
kebarengan mbek wong seng nglairno, dadine cerita wayang seng
pas tampil iku kudu langsung ngubah crito, diganti critane dadi cerito
Betara Kala Lahir… “ (wawancara 17 januari 2018)

Artinya:
“… Cerita Betara Kala Lahir ditampilkan pada saat upacara
ruwatan, atau Pada saat ada pertunjukan Dramatari Wayang
Topeng, tiba-tiba bersamaan dengan ada orang yang melahirkan,
maka cerita wayang yang ditampilkan harus langsung berubah,
menjadi cerita Betara Kala Lahir…”.
Gambar 5.12 Jadwal Pertunjukan tahun 2017
Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)
Sedangkan cerita Lahire Naga Tahun dipertunjukkan pada saat
bulan sura yaitu bulan hitungan jawa atau tahun baru jawa. Di Padepokan
Seni Topeng Asmara Bangun, cerita Lahire Naga Tahun dibagi menjadi 4
episode, hal ini dilakukan sebagai bentuk pengembangan sebuah cerita.
Handoyo menyampaikan, bahwa dengan waktu pertunjukan yang singkat
yaitu kurang lebih 2 jam, bagaimana cerita yang terdapat dalam Lahire
Naga Tahun tersebut dapat betul-betul ditangkap atau dipahami oleh
penonton. Sehingga dibagi 4 episode dengan judul-judul yang berbeda.
Empat episode dari pecahan cerita Lahire Naga Tahun dengan
urutan judul cerita Sekartaji Palsu, Lahire Panji Laras, Sayembara Adu
Jago dan Lahire Naga Tahun. Dengan masing-masing pembagian
adegan sebagai berikut:
1. Sekartaji Palsu
Cerita dengan judul Sekartaji Palsu terdapat beberapa tokoh utama di
dalamnya yaitu Panji Asmoro Bangun, Dewi Sekartaji, Dewi Wadal Werdi,
Bagawan Gajah Aboh dan Prabu Klana Sewandana. Terbagi ke dalam 4
adegan yaitu sebagai berikut:
a. Adegan Pertapan; pada adegan pertapan menceritakan tentang
Dewi Wadal Werdi yang bermimpi bertemu dengan Panji Asmara Bangun,
kemudian Dewi Wadal Werdi memaksa Bagawan Gajah Aboh yang
merupakan bapaknya untuk menikahkan. Tetapi Bagawan Gajah Aboh
menolak karena mereka bukan berasal dari kalangan manusia melainkan
kalangan Buto (Raksasa). Dewi Wadal Werdi memaksa terus bahkan
mengancam bunuh diri, sehingga Bagawan Gajah Aboh pun menuruti
permintaan anaknya.
b. Adegan Kerajaan Rancong Kencana; kerajaan ini merupakan
kerajaan dari Prabu Klana Sewandana. Pada adegan ini menceritakan
tentang Prabu Klana Sewandana yang sedang berbincang-bincang
dengan para patihnya tentang keadaan kerajaan. Kemudian datanglah
Dewi Wadal Werdi dan Bagawan Gajah Aboh. Bagawan Gajah Aboh
menceritakan tentang keinginan dari Dewi Wadal Werdi dan meminta
tolong kepada Prabu Klana Sewandana untuk mengawasi kepergian
mereka ke kerajaan Jenggala yaitu kerajaan Raden Asmoro Bangun.
Prabu Klana Sewandana pun bersedia membantu mereka.
c. Adegan Alun-Alun (Prajurit Jenggolo); dalam adegan ini
menampilkan tentang para prajurit dari kerajaan Jenggolo yang sedang
bersiap-siap untuk perang dengan menarikan tari Grebeg Jawa. Terjadi
perang gagal (tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah) antara
prajurit Jenggala dan prajurit Sabrang.
d. Adegan Kaputren; pada adegan ini menceritakan tentang adegan
Raden Panji Asmoro Bangun yang sedang tidur dengan Dewi Sekartaji,
kemudian Dewi Sekartaji yang dalam kondisi hamil di culik oleh Bagawan
Gajah Aboh dan menggantikannya dengan Dewi Wadal Werdi yang telah
dirubah wujudnya menyerupai Dewi Sekartaji (Dewi Sekartaji Palsu).
2. Lahire Panji Laras
Terdapat dua adegan dalam cerita Lahire Panji laras yaitu adegan
Kaputren dan Adegan Alas Lolaras. Pada adegan ini terdapat tokoh Panji
Asmara Bangun, Dewi Wadal Werdi yang telah menyamar jadi Dewi
Sekartaji palsu, Dewi Sekartaji, Narada, Panji Laras, dan Pitik Cinde
Laras. Dengan deskripsi cerita sebagai berikut:
a. Adegan Kaputren; menceritakan tentang Raden Panji Asmoro
Bangun dan Sekartaji Palsu yang berada di Kaputren. Raden Panji
Asmara Bangun merasa curiga dengan perubahan tingkah laku istrinya
yang tidak seperti biasanya. Misalnya saja pada saat tidur suka
mendengkur seperti Buto, suka loncat-loncat. Tetapi Raden Panji Asmara
Bangun tetap percaya dan sayang meskipun istrinya telah berubah
sikapnya.
b. Adegan Lolaras; menceritakan Dewi Sekartaji asli yang telah diculik
oleh Bagawan Gajah Aboh ke hutan dan telah melahirkan bayi, yang
kemudian diberi nama Panji Laras. Dewi Sekartaji sedang berkeluh kesah
dan berdoa karena merasa kasihan dengan anaknya, yang seharusnya
hidup enak di Kaputren tetapi harus hidup di hutan. Kemudian turunlah
Narada dan menyampaikan kepada Dewi Sekartaji bahwa supaya
bayinya cepat besar maka harus dimandikan dengan banyu gege.
Setelah dimandikan dengan banyu gege, Panji Laras berubah menjadi
anak-anak (bocah).
Suatu hari, Panji Laras mendapatkan telur, yang kemudian telur itu
menetas dan menjadi ayam Jago yang diberi nama Cinde Laras. Panji
Laras merasa ada yang lain dalam kehidupannya, jika dia melihat ada
hewan kijang ada anak, ibu dan bapaknya, kenapa dia tidak. Akhirnya
Panji Laras menanyakan hal ini kepada ibunya. Awalnya Dewi Sekartaji
tidak mau menceritakan hal ini, tapi akhirnya menceritakan kisah
sebenanrnya. Dan Panji Laras pun memaksa untuk mencari keberadaan
Bapaknya.

3. Sayembara Adu Jago


Cerita Sayembara Adu Jago terdapat dua adegan yaitu adegan di
Karang Pradesan dan Adegan di Alun-Alun. Tokoh – tokoh yang ada
dalam cerita ini diantaranya Panji laras, Cinde Laras, Panji Gurawangsa,
Panji Asmoro Bangun, Dewi Sekartaji Palsu. Dengan deskripsi masing-
masing adegan sebagai berikut:
a. Adegan Karang Pradesan; menceritakan kisah perjalanan Panji
Laras dengan ayamnya Cinde Laras. Selama dalam perjalanan mencari
bapaknya, di setiap desa ada pertarungan ayam, Panji laras selalu
mengikutkan Cinde Laras dalam pertarungan tersebut, sampai-sampai
nama Panji Laras terdengar ke kerajaan Jenggolo.
b. Adegan Alun-Alun; menceritakan kisah Panji Gurowangsa (Putra
dari Panji Asmara Bangun dengan Dewi Wadal Werdi) yang mengadakan
Sayembara Pertarungan Ayam (Sayembara Adu Jago) dengan
hadiahnya adalah Sigar Semangka (Setengah dari Kerajaan Jenggala).
Mendengar ada sayembara tersebut, Panji Laras berminat mengikuti
sayembara tersebut. Saat Panji Gurawangsa bertanya tentang taruhan
apa yang akan diberikan Panji Laras, Panji Laras menjawab bahwa
taruhannya adalah kepala sendiri yang siap di pasung dan di gantung di
tengah alun-alun. Panji Gurawangsa pun setuju dan pertarungan ayam
jago pun dimulai. Panji Gurawangsa kalah, tetapi dia tidak terima dan
kemudian menantang Panji Laras untuk bertarung. Tetapi tidak ada yang
kalah maupun menang.

4. Lahire Naga Tahun


Lahire Naga Tahun merupakan episode terakhir dari cerita induk.
Tokoh yang ada dalam cerita ini diantaranya Panji Asmoro Bangun, Dewi
Sekartaji, Dewi Wadal Werdi, Bagawan Gajah Aboh, Panji Laras, Panji
Gurawangsa, Prabu KLana Sewandana, Jarodeh (Semar). Dalam
episode ini terbagi dalam 2 adegan ayaitu adegan di Alun-Alun dan di
Alas. Dengan deskripsi cerita sebagai berikut.
Pada adegan pertama dinamakan adegan Alun-Alun. Pada adegan
Alun-Alun menceritakan saat terjadinya perang antara Panji Laras dan
Panji Gurawangsa, keluarlah Jarodeh (Semar) memisahkan keduanya.
Jarodeh membuat sayembara untuk keduanya, barang siapa bisa masuk
dalam kendi ini maka dia adalah anak Panji Asmoro Bangun. Sebenarnya
Jarodeh sudah mengetahui hal yang sebenarnya, bahwa yang bisa
masuk ke dalam kendi hanyalah bangsa dari siluman bukan bangsa dari
manusia. Panji Laras mencoba pertama, tetapi dia tidak bisa karena
berasal dari bangsa manusia. Kedua, Panji Gurawangsa langsung bisa
masuk ke dalam kendi tersebut karena dia berasal dari bangsa Siluman.
Kendi tersebut langsung ditutup oleh Jarodeh dan dipecah, saat dipecah
Panji Gurawangsa telah berubah wujud menjadi siluman dan diberi nama
Naga. Naga tersebut bertanya kepada Jarodeh, apa makanannya jika dia
sudah berubah jadi siluman, Jarodeh menjawab bahwa makanannya
adalah orang-orang yang salah arah, dan tempatnya berpindah-pindah
setiap 3 bulan sekali. Dimulai dari arah Timur (Bulan Sura, Bulan Sapar
dan Bulan Mulud), Selatan (Ba’da Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir),
Barat (Bulan Rajab, Bulan Ruwah, Bulan Pasa), dan berpindah utara
(Bulan Sawal, Bulan Sela, Bulan Besar), demikian seterusnya berpindah-
pindah.
Datanglah Klana Sewandana dan Bagawan Gajah Aboh beserta
para prajurit sabrang yang tidak terima dengan kejadian ini, maka
terjadilah perang dan prajurit sabrang kalah. Dewi Wadal Werdi dan
Bagawan Gajah Aboh juga melarikan diri. Panji Asmara Bangun bertanya
kepada Panji Laras, tentang asal Panji Laras dan anak dari siapa. Panji
Laras pun menceritakan dengan dirinya dan mengajak Panji Asmoro
Bangun untuk ikut menjemput ibunya ke Alas.
Adegan kedua dinamakan adegan Alas yang menceritakan tentang
kisah pertemuan antara Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji di Alas
yang merupakan akhir dari cerita Lahirnya Naga Tahun.

Tata Busana dalam Wayang Topeng Malang


Busana yang digunakan dalam sebuah pertunjukan tari ataupun
dramatari merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung karakter
dari masing-masing tokoh. Fungsi busana tari sebagai pendukung tema
dalam tari tersebut, namun terkadang busana tari diciptakan hanya
berdasarkan unsur keindahan saja. Tata busana yang sering muncul
mencerminkan identitas (ciri khas) suatu daerah yang sekaligus
menunjuk pada tari itu berasal. Busana tari yang baik bukan hanya
sekedar untuk menutup tubuh semata, melainkan juga harus dapat
mendukung desain ruang pada saat penari sedang menari (Jazuli,
2008:20). Busana tari memiliki pengaruh pada suatu pertunjukan yaitu
sebagai pendukung dari tema yang ingin disampaikan dan menarik
perhatian penonton (Astini, 2013).
Busana yang digunakan oleh para tokoh pada pertunjukan wayang
topeng Malang umumnya memiliki pola yang sama. Hidajat (2011: 124)
menjelaskan bahwa celana yang digunakan oleh pemain wayang topeng
umumnya disebut dengan celana Panjen, artinya pola celana semacam
itu umumnya dipakai oleh pemain pada tokoh-tokoh yang bersumber dari
cerita gedhog atau lakon Panji.
Berikut ini tata busana yang digunakan oleh beberapa tokoh utama
dalam Wayang Topeng.
Busana Tokoh Dewi Sekartaji
Dewi Galuh Candrakirana (Sekartaji) diartikan bahwa nama depan
Galuh adalah menunjukkan sifat keputrian (wanita) seperti nama depam
Siti, Sri, Parwati, Dyah, atau Ratna. Adapun Candrakirana itu merupakan
paduan dua kata yang terdiri atas kata “Candra“ berarti sinar, dan “Kirana”
berarti bulan. Candrakirana adalah sinar bulan pada saat purnama penuh.
Ini merupakan salah satu penggambaran bahwa Galuh Candrakirana itu
adalah putri yang sangat cantik, wajahnya bersinar seperti sinar bulan
purnama. Dewi Galuh Candrakirana diangkat dari prototype salah satu
istri Arjuna, yaitu Dewi Rara Sumbadra (Dewi Rara Ireng), adik sepupu
dari Prabu Kresna. Diangkatnya prototype wanita dalam pewayangan ini
adalah dimaksud untuk membangun sebuah jalinan, bahwa perjodohan
Arjuna dengan Sumbodro itu adalah pasangan yang harmonis.
Identitas fisik Dewi Galuh Candrakirana meliputi, warna topeng
putih, kemben/mekak (kain penutup dada) warna hitam, kain panjang
(jarit) warna terang, mengenakan topeng. Hal ini terlihat dari busana yang
ditarikan pada tari Sekarsari. Warna putih pada topeng Dewi Galuh
Candrakirana adalah warna emosional tentang keduniawian, yaitu
menimbulkan berbagai macam sifat manusia yang selalu didorong oleh
pamrih. Manusia akan selalu dalam kondisi “nggrangsang” atau “kadaya-
daya” mengejar materi keduniawiannya. Sifat ambisius sebenarnya
sedapat mungkin dihindari karena kesibukan duniawi itu pada akhirnya
akann ditinggalkan (dalam Robby, 2011: 88).
Deskripsi busana tari Topeng Sekarsari adalah sebagai, (1) Bagian
atas (hiasan kepala) pada tari topeng Sekarsari menggunakan jamang
gelung. (2) Hiasan leher menggunakan kalung berwarna kuning yang
terbuat dari tembaga. (3) Selendang atau sampur yang dikalungkan pada
lehernya. (4) Hiasan tangan, di bagian bahu menggunakan gelang warna
kuning yang terbuat dari tembaga. (6) Bagian bawah mengenakan jarit
yang berwarna terang. (7) Hiasan penutup bagian depan dan belakang,
dinamakan rapek (ada yang menamai sembong). Rapek tari Sekarsari
lebih kacil dibandingkan rapek tari topeng putra.
Gambar 5.13 Visualisasi Tokoh Dewi Sekartaji dalam Gebyak Meninggalnya Karimun(Alm.) (30 April
2017)
Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Busana Tokoh Raden Gunung Sari


Gunungsari disamakan dengan tokoh Samba, yaitu putra pabru
Kresna yang memiliki pembawaan feminim (Bencong/wandu). Kondisi ini
sebenarnya seperti kondisi Lesmana setelah sumpah wadat di depan
Sinta dengan memotong kemaluannya. Watak feminim, kewanitaan-
wanitaan adalah sebuah kenyataan yang bersifat abadi. Hal ini dapat
dipahami dari nama Gunungsari itu sendiri diartikan sebagai “Gunung”
adalah raga atau tubuh, “sari” adalah isi dan juga dapat diartikan dengan
sifat kewanitaan. Gunungsari diartikan sebagai tubuh atau raga yang
berisikan sifat kewanitaan.
Identitas fisik Gunungsari adalah sebagai berikut topeng berwarna
putih, kostum hitam, jamang gelung, sampur putih, menggunakan
gongseng. Topeng Gunungsari yang putih itu melambangkan sifat yang
suci, memikirkan segala sesuatu yang baik. Hal ini seperti sifatnya yang
kewanitaan, yaitu tidak mempunyai emosi birahi (seksualitas) terhadap
perempuan. Dalam diri tokoh Gunungsari sudah sekaligus tumbuh sifat
maskulin dan feminim. Dengan demikian putih dianggap sebagai lambing
keabadian / kekekalan.
Deskripsi busana Tari Topeng Gunungsari adalah pada bagian
hiasan kepala menggunakan jamang gelung yang tidak dihiasi kancing
gelung, menunjukkan berkarakter halus. Dibagian sisi kiri dan kanan
diikatkan roncen koncer, yaitu bunga tiruan yang terbuat dari benang siet
yang berwarna-warni dan disusun sedemikian rupa dan membentuk
untaian (roncen) bunga yang berwarna-warni sebagai aksesoris yang
sekaligus digunakan properti tari. Pada hiasan leher menggunakan
kalung kace panjang berwarna hitam. Terbuat dari bahan kain beludru
hitam yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. kace pada
busana wayang topeng ada simbar bordirnya. Pada bagian leher juga
menggunakan properti sampur yang dikalungkan. Disamping
dikalungkan, sampur terkadang ditambahkan dengan diikatkan di bagian
sabuk sebagai hiasan.
Hiasan tangan pada tokoh Gunungsari menggunakan gelang bahu,
lazim dinamakan klat bahu. Sedangkan di pergelangan tangan dihiasi
pols decker (gelang dari kain yang sewarna dengan rapek maupun
celananya, berwarna hitam. Bagian bawah mengenakan celana bordir
hitam, dengan panjang sedikit di bawah lutut. Celana ini terbuat dari kain
beldru yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. Secara
tradisional, manik-manik ini dinamakan monte dan burci. Hiasan penutup
bagian depan dan belakang, dinamakan rapek (ada yang menamai
sembong). Ada rapek ngarep (depan) dan rapek mburi(belakang) yang
pertemuan di kanan dan kiri dilengkapi dengan pedangan sebagai hiasan
sekaligus penutup bagian samping. Rapek ini juga terbuat dari kain
beludru yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. Stagen atau
centing yaitu kain pengikat yang lebar kira-kira 20 cm dan panjang 2,5 –
3 meter digunakan untuk mengikat rapek, celana dan pedangan agar rapi
digunakan.
Gambar 5.14 Visualisasi Tokoh Raden Gunungsari yang Berdiri
dalam Pertunjukan Senin Legi
Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Gambar 5.15 Visualisasi Tokoh Raden Gunungsari dan Patrajaya


dalam Pertunjukan
Dokumentasi: Handoyo (1982)
Busana Tokoh Prajurit Sabrang
Grebeg atau Garebeg adalah kata bahasa jawa yang artinya diiringi
bala akeh (diirringi oleh prajurit yang banyak) (Djumadi dalam J. J. Ras,
1985: (335). Pada wayang topeng adegan Grebeg menggambarkan
barisan prajurit yang berangkat menunaikan titah sang raja, mereka
keluar dari paseban menuju alun-alun untuk menyiapkan pasukan. Titah
ini dimaksudkan sebagai “mandate”, raja memberikan mandate kepada
seorang patih atau panglima untuk menyampaikan sesuatu yang berisi
keinginan tertentu. Titah terbagi dua, yaitu titah yang baik dan titah yang
jelek. Kedua titah ini dibawa oleh masing-masing utusan.
Grebeg dalam wayang topeng ada dua jenis yaitu Grebeg Sabrang
dan Grebeg Jawa. Grebeg Jawa adalah menggambarkan barisan
kerajaan Kediri atau Jenggala. Grebeg Sabrang adalah menggambarkan
barisan prajurit kerajaan Sabrang. Grebeg umumnya terdiri dari empat
penari, jika lebih (5 orang) diikuti oleh sang raja.
Deskripsi busana yang dikenakan dalam tari topeng Grebeg
Sabrang adalah pada bagian atas (hiasan kepala) pada tari Grebeg
Sabrang menggunakan jamang yang dihiasi kancing gelung,
menunjukkan karakter gagah, bagian sisi kiri dan kanan diikatkan roncen
koncer, yaitu bunga tiruan yang terbuat dari benang siet yang berwarna-
warni dan disusun sedemikian rupa dan membentuk untaian (roncen)
bunga yang berwarna-warni sebagai aksesoris yang sekaligus digunakan
properti tari. Bagian belakang kepala menggunakan rambut palsu, bisa
menggunakan wig atau udalan. Rambut palsu ini memberikan kesan
proporsi yang seimbang, sebab jika tidak menggunakan rambut palsu,
maka kepala kesannya memanjang, karena jamang hanya sedikit
menumpang di atas kepala.
Hiasan leher pada tokoh Grebeg Sabrang menggunakan kalung
kace panjang berwarna merah. Terbuat dari bahan kain beludru merah
yang disulam dengan manik-manik berwarna emas. kace pada busana
wayang topeng ada simbar bordirnya. Sampur dikalungkan pada leher
sebagai properti tari. Disamping dikalungkan, sampur terkadang
ditambahkan dengan diikatkan di bagian sabuk sebagai hiasan, tetapi ini
tidak mutlak.
Hiasan tangan, di bagian bahu menggunakan gelang bahu, lazim
dinamakan klat bahu. Sedangkan di pergelangan tangan dihiasi pols
decker (gelang dari kain yang sewarna dengan rapek maupun celananya.
Bagian bawah mengenakan celana bordir hitam, dengan panjang sedikit
di bawah lutut. Celana ini terbuat dari kain beldru yang disulam dengan
manik-manik berwarna emas. Secara tradisional, manik-manik ini
dinamakan monte dan burci. Hiasan penutup bagian depan dan
belakang, dinamakan rapek (ada yang menamai sembong). Ada rapek
ngarep (depan) dan rapek mburi(belakang) yang pertemuan di kanan dan
kiri dilengkapi dengan pedangan sebagai hiasan sekaligus penutup
bagian samping. Rapek ini juga terbuat dari kain beludru yang disulam
dengan manik-manik berwarna emas.
(8) Stagen atau centing, yaitu kain pengikat yang lebar kira-kira 20
cm dan panjang 2,5 – 3 meter digunakan untuk mengikat rapek, celana
dan pedangan agar rapi digunakan.
Pada bagian punggung penari Grebeg Sabrang dihiasi, badong
(semacam sayap, Surakarta menamakan praba), sebagai simbol
kebesaran/prestice. Kelengkapan aksesoris manusia Jawa adalah
pusaka yang berwujut keris dan dipasang di pinggang sebelah kanan.
Pada pergelangan kaki kanan dipasang gongseng/krincing, sebagai
penguat daya hidup tarian. Gongseng merupakan salah satu ciri khas tari-
tarian tradisional Jawa Timur, khususnya tari tradisional Malang.

Gambar 5.16 Visualisasi Tokoh Prajurit Sabrang dalam Pertunjukan Senin Legi
Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)
Busana Tokoh Patih
Istilah “Patih” disini berasal dari warna topeng yang dikenakan
penarinya. Masyarakat menyebutnya tari Bangtih. Lama kelamaan istilah
‘bangtih’ ini lentur menjadi patih karena dianggap lebih mudah
pengucapannya dan enak didengar serta diasumsikan memiliki prestise
karena patih adalah wakil raja. Dengan demikian sampai sekarang istilah
Bangtih menjadi Patih (Wido 1994: 71). Bentuk topeng yang digunakan
pada tari topeng patih adalah topeng yang berkarakter gagah, serupa tapi
berbeda warna.
Secara prinsip tata busana tokoh Patih tidak terlalu berbeda dengan
busana beberapa tokoh prajurit dalam wayang topeng. Tata busana yang
dikenakan oleh dua penari Patih ini sama dan sebangun, kecuali warna
topengnya saja yang berbeda, satu menggunakan topeng warna putih
dan yang lain menggunakan warna merah, namun demikian karakter
wajahnya sama. Adapun busana yang dikenakan oleh tokoh ini adalah
pada bagian atas (hiasan kepala) pada tari Patih perkumpulan wayang
topeng Kedungmonggo menggunakan jamang gelung yang dihiasi
kancing gelung, menunjukkan karakter gagah, sedangkan jamang gelung
yang digunakan oleh tokoh Panji dan Gunungsari yang berkarakter halus,
tidak menggunakan kancing gelung. Dibagian sisi kiri dan kanan diikatkan
roncen koncer, yaitu bunga tiruan yang terbuat dari benang siet yang
berwarna-warni dan disusun sedemikian rupa. Sehingga membentuk
untaian (roncen) bunga yang berwarna-warni sebagai aksesoris yang
sekaligus digunakan properti tari. Sedangkan tari Patih yang dilakukan
oleh perkumpulan wayang topeng Jambuwer, hiasan kepalanya tidak
menggunakan jamang gelung, tetapi menggunakan jamang bledekan.
Bagian belakang kepala menggunakan rambut palsu, bisa menggunakan
wig atau udalan. Rambut palsu ini memberikan kesan proporsi yang
seimbang, sebab jika tidak menggunakan rambut palsu, maka kepala
kesannya memanjang, karena jamang hanya sedikit menumpang di atas
kepala, tidak seperti jika menggunakan songkok, udeng atau ikat kepala.
Hiasan leher menggunakan kalung kace panjang. Terbuat dari
bahan kain beludru hitam yang disulam dengan manik-manik berwarna
emas. kace pada busana wayang topeng ada simbar bordirnya. Sampur
sebagai properti tari yang dikalungkan pada leher. Disamping
dikalungkan, sampur terkadang ditambahkan dengan diikatkan di bagian
sabuk sebagai hiasan, tetapi ini tidak mutlak.
Hiasan tangan, di bagian bahu menggunakan gelang bahu, lazim
dinamakan klat bahu. Sedangkan di pergelangan tangan dihiasi pols
decker (gelang dari kain yang sewarna dengan rapek maupun celananya.
Bagian bawah mengenakan celana bordir hitam, dengan panjang sedikit
di bawah lutut. Celana ini terbuat dari kain beldru yang disulam dengan
manik-manik berwarna emas. Secara tradisional, manik-manik ini
dinamakan monte dan burci. Hiasan penutup bagian depan dan belakang,
dinamakan rapek (ada yang menamai sembong). Ada rapek ngarep
(depan) dan rapek mburi(belakang) yang pertemuan di kanan dan kiri
dilengkapi dengan pedangan sebagai hiasan sekaligus penutup bagian
samping. Rapek ini juga terbuat dari kain beludru yang disulam dengan
manik-manik berwarna emas.
Stagen atau centing digunakan untuk mengikat rapek, celana dan
pedangan agar rapi digunakan. Stagen atau centing yaitu kain pengikat
yang lebar kira-kira 20 cm dan panjang 2,5 – 3 meter. Pada bagian
punggung penari dihiasi, badong (semacam sayap, Surakarta
menamakan praba), sebagai simbol kebesaran/prestice. Kelengkapan
aksesoris manusia Jawa adalah pusaka yang berwujut keris dan dipasang
di pinggang sebelah kanan. Sedangkan pada pergelangan kaki kanan
dipasang gongseng/krincing, sebagai penguat daya hidup tarian.
Gongseng merupakan salah satu ciri khas tari-tarian tradisional Jawa
Timur, khususnya tari tradisional Malang.
Gambar 5.17 Visualisasi Tokoh Patih
Dokumentasi: Wida Rahayu (2012)

Busana untuk tokoh raja seperti Prabu Klana Sewandana sama


dengan busana prajurit Sabrang, yang membedakan adalah hiasan
kepala yang disebut dengan topongan. Menurut Hidajat (2012:132)
bahwa jamang topongan telah digunakan untuk menunjukkan tokoh
Rahwana, yaitu salah satu tokoh pada epos Ramayana. Busana untuk
Punakawan Patrajaya menggunakan udheng (ikat kepala), untuk
Demang Mones dan para emban menggunakan penutup kepala kain.
Hiasan rambut lainnya yang digunakan adalah rambut palsu, kalau untuk
para Panji dan Putri menggunakan rambut lurus panjang, sedangkan
untuk para prajurit baik prajurit Sabrang maupun prajurit Jenggolo
menggunakan rambut panjang yang tidak rapi bentuknya.
Gambar 5.18 Visualisasi Tokoh Klana Sewandana
Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)
Gambar 5.19 Tokoh Klana Sewandana dalam Pertunjukan
(Penari Alm. Karimoen)
Dokumentasi: Handoyo (1980-an)

Karawitan dalam Wayang Topeng Malang


Seni pertunjukan musik diklasifikasikan ke dalam dua kelompok
yaitu musik daerah dan musik diatonis. Musik daerah meliputi musik
gamelan (karawitan) dan musik non gamelan, sedangkan musik diatonis
meliputi musik daerah diatonis, musik Indonesia dan musik Barat
(Soedarsono, 2001:1). Dari klasifikasi tersebut, dapat dipahami bahwa
musik yang digunakan dalam pertunjukan wayang topeng adalah musik
daerah (musik gamelan/karawitan). Karawitan di Jawa mengenal dua
sistem laras untuk menentukan tinggi rendahnya suara, yaitu laras
slendro dan laras pelog. Laras slendro dengan lima nada dan laras pelog
dengan tujuh nada. Setiap sistem laras, pengambilan suara nada
besarnya terdiri atas tiga bagian, masing-masing bagian disebut pathet.
Laras slendro terdiri atas pathet nem, slendro pathet songo, dan slendro
pathet manyuro. Laras pelog terdiri dari pelog pathet lima, pelog pathet
nem dan pelog pathet barang.
Karawitan pada wayang topeng di Padepokan Seni Topeng Asmoro
Bangun menggunakan seperangkat gamelan ber-laras pelog, yang terdiri
dari gong, saron, demung, bonang barung, bonang penerus, kendang,
kenong, dan peking. Gending atau musik sebagai musik pengikat gerak
dan juga menciptakan karakteristik penokohannya. Setiap tokoh ataupun
setiap pergantian adegan memiliki gending yang berbeda. Menurut
Hidajat (2012: 113), gending dalam sajian wayang topeng dapat
dibedakan menjadi dua yaitu gending sebagai musik tari dan gending
sebagai pembentuk suasana atau berfungsi sebagai ilustrasi. Musik
merupakan media untuk menyampaikan sesuatu hal.
Gending sebagai musik tari dalam wayang topeng terdapat pada
masing-masing tokoh saat muncul di stage. Setiap gerak dari tokohnya
selalu diiringi dengan gending. Seperti gending yang mengiringi keluarnya
tokoh Sekartaji, tokoh Gunungsari, prajurit Sabrang dan patih memiliki
pola iringan dan karakter yang berbeda:

Gending yang digunakan untuk mengiringi tokoh Dewi Sekartaji


menari disebut gending Lambang Malang Sl 8, dengan notasi sebagai
berikut.
Pembukaan (Bonang Barung) : 5616 .2.1 .6. 5

A : 2126 1532 . 6. 3 . 6. 5
. 2. 3 . 2. 15676 216 5

Cakepan:
/ . . . ./2 1 5 6 /1 6 2 1 / 5 6 1 2 /
Wis wa ya he pa dang sre nge nge nyu na ri
Terjemahan: sudah waktunya matahari terbit menyinari
/ . .12 / 1 6 5 6 / 1 . . .
/ 2 1 6 5 /
Se kar sa ri gon do ne am rik wa ngi
Terjemahan: Baunya sari bunga yang sangat harum
/ . 3 5 6 / . 5 3 2 / 36 5 ./3 5 6 1 /
Ing ta man wis ti no to asri mon co war ni
Terjemahan: ditaman sudah tertata rapid an berwarna warni
/ .
5 .
5. /2 3 5 6 / 23 1 / 2 1 6 5/
Nyo to da di ton dho me ka re bu dho yo
Terjemahan: Nyata jadi tanda munculnya budaya

Cara memainkan notasi untuk gending Lambang Malangan Sl.8


yaitu pembukaan dengan alat musik bonang barung dimainkan satu kali,
dilanjutkan dengan notasi A sebanyak delapan kali. Cakepan dilagukan
diiringi notasi A setelah gong pertama, gong kedua dan gong ketiga.
Gambar lingkaran pada angka lima pada notasi A merupakan tanda gong.
Kenong ditandai dengan ( ), sedangkan Kempul ditandai dengan ( ).
Gending untuk mengiringi tokoh Gunungsari menari disebut dengan
gending Pedat Pelog Barang. Gending ini mempunyai watak tenang,
halus dan mengarah pada suasana santai. Berikut notasi gending.

Pembukaan (Bonang Barung) 5253 . 5. 7 . 5 . 6

A . 527 . 5. 6. 527 .5.3


. 532 . 5.3 . 527 327 6

B 2327 3276 2327 5653

7672 7653 2327 327 6

C 72 .. 72 53 72 .. 72 76 72 .. 72 53 72 65 36 53

7672 7653 2327 327 6

Cakepan:
Manunggolo, sedyo tekat lan sak jiwo
Ayo njunjung, drajate nuso lan bongso
Mugi –mugi, sederek kulo sedoyo
Kakung putri, ugi sepah miwah anom
Terjemahan:
Bersatu, menyiapkan tekad dan satu jiwa
Mari menjunjung derajat nusa dan bangsa
Semoga, saudaraku semuanya
Putra putri , baik tua maupun muda
/7 2 . . /7 2 4 3 / 7 2 . ./7 2 7 6 /
A yo po ro kon co po dho su ko su ko
Terjemahan: ayo teman-teman bergembira
/7 2 . . / 7 2 4 3 / 7 2 6 5 / 3 6 5 3/
Ka beh nge ma ta ke jo ge ta ne gu nung sa ri
Terjemahan: semuanya memperhatikan tarinya Gunung Sari
/ . .
5 67/ 6 5 3 2 / 3 2 7 /6 7 2 3/
Mem bat mem bat men tul i ku so lah i ro
Terjemahan: lemah gemulai gerakannya
. .
/ 5 5 / 3 5 .
6 7/ 6 5 3 2 / 3 7 6 /
Je neng me rak ngi gel kang da di o ra me
Terjemahan: Namanya merak ngigel yang menjadi ramai

Cara memainkan notasi gending untuk tokoh Gunung Sari adalah

notasi pembukaan dimainkan satu kali, dilanjutkan notasi gending A

sebanyak 7 kali, notasi gending B satu kali, notasi gending C sebanyak

dua kali dan sebagai gending akhir dimainkan lagi notasi gending B

sebanyak satu kali. Jika dibuat rumus memainkan yaitu A (7x) – B (1x) –

C (2x) – B (1x). Cakepan dilagukan pada notasi gending C.

Gending untuk mengiringi prajurit sabrang dinamakan gending

Grebeg Pelog Bem (Pengasih). Mengandung makna yaitu semangat

(dinamis), bahkan ada kesan magis. Notasi gending sebagai berikut.

Pembukaan (Kendang) bbpd

A 6564 2456 5421 424 5

B 2121 2456 5421 424 5

C 212 . 565 . 212 . 21 23 21 32

1
3123 2132 3123 532

D .612 1621 .612 3216

5
.. 56 54 56 .. 56 54 56 .5 5. 65 42 .4 56 54 6

Cara memainkan notasi gending untuk mengiringi prajurit sabrang

adalah notasi gending A dimainkan dua kali dilanjutkan notasi gending B

dua kali, hal ini diulangi sampai tiga kali. Setelah itu dilanjutkan notasi

gending C dan notasi gending B sebanyak satu kali diulangi sampai dua

kali. Jika dibuat rumus yaitu

A (2x) → B (2x) ----- 3x

C (1x) → D (1x) ----- 2x

Gending untuk mengiringi tokoh Patih dinamakan gending Beskalan Pelog Bem ( pengasih).

Notasi gending sebagai berikut.

Pembukaan 5612 1615 .2. 1

A .2.1 .2.6 .2 .1 .6 . 5

. 6.5 . 3.2 .6.5 .2. 1

B 6561 5216 2456 216 5

1615 1612 6265 262 1


Cakepan:
Niat ingsun miwiti tembang lan kidung
Iku ngono, minongko bukane gendhing
Gending jowo, brang wetan sing adi luhung
Mugo langgeng, lestari nglawan ngremboko
Iku kidung, parikan minongko srono
Dadi luwes, angrakit tembung sing ono
Pancen iku, tinggalan wit kuno mulo
Sing olehe, budine doyo lan cipto
Golek ngilmu, kudu sampek kepethuk

Gawe sangu, urip lek wes tuwo mbesuk

Terjemahan:
Niat saya untuk mengawali syair dan nyanyian
Itu sebenarnya musik pembukaan
Lagu Jawa wilayah timur yang adi luhung
Semoga bertahan, lestari dan berkembang
Nyanyian itu, puisi sebagai alat
Jadi luwes merangkai kalimat yang ada
Memang itu, peninggalan dari jaman dahulu
Yang didapatkan hasil merasakan dan mencipta
Mencari ilmu harus sampai ketemu
Untuk bekal hidup kalau sudah tua nanti

Cara memainkan notasi gending untuk mengiringi tokoh patih


adalah diawali dengan notasi gending pembukaan, dilajutkan notasi
gending A sebanyak 8 kali kemudian notasi gending B sebanyak 9x.
Cakepan dilagukan pada notasi gending A setelah gong pertama.
Pada pertunjukan wayang topeng Malang, posisi pengrawit berada
di sebelah kiri pendopo seperti pada gambar 5.20. Pengrawit berjumlah 8
orang.

Gambar 5.20 Posisi pengrawit di sebelah kiri pendopo


Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Tata Panggung pada Pertunjukan Wayang Topeng Malang


Panggung di padepokan seni topeng Asmara Bangun berbentuk
arena. Jenis panggung berbentuk arena banyak dipergunakan untuk
pemanggungan tontonan pertunjukan tradisional. Jarak penonton yang
lebih dekat bahkan hampir tidak ada batas antara penyaji dan penonton
dapat menghadirkan suasana yang lebih akrab. Padepokan seni topeng
Asmara Bangun memiliki panggung untuk tempat latihan rutin dan pentas
dengan ukuran 15 x 15 m yang dibangun diatas tanah seluas 25 x 40
meter. Bentuk panggung di padepokan seni topeng Asmara Bangun
seperti gambar 6.21 sebagai berikut.

Gambar 5.21 Bentuk Panggung di Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun


Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Penataan gerak yang cenderung ditujukan ke satu arah yaitu depan


saja, tanpa memperdulikan sudut pandang penonton yang lain
sebagaimana hal nya dalam pentas prosenium. Di atas pentas arah gerak
penari memiliki derajat kekuatan yang berbeda. Arah yang paling kuat
adalah arah lurus ke depan (ke arah penonton) disusul dengan arah
menyudut diagonal, kesamping dan yang terakhir adalah melingkar.
Sebuah gerak yang dilakukan lebih dekat dengan penonton memberikan
kesan yang akrab dan lebih mudah dikenali, sebaliknya lebih jauh dari
penonton. Seperti pada gambar 5.22 dan gambar 5.23 dibawah berikut
yang memperlihatkan penonton dari samping panggung.

Gambar 5.22 Penonton di samping panggung


Dokumentasi: Wida Rahayu (2017)

Penonton

Gambar 5.23 Penonton melihat dari samping panggung


Dokumentasi: Handoyo (1980-an)

Anda mungkin juga menyukai