Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH DAYAKOLOGI

UPACARA ADAT WARA

DOSEN PENGAMPU : Dr. SONTOE, BJ.H.D ,S.Pd. M.Si

DI SUSUN OLEH :
AURELIA RAHMADITA
NIM : 213020703103

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
2021/2022
ABSTRAK

Dalam cakupan budaya-relegi, pelaksanaan ritual Wara-Nyalimbat, merupakan


warisan budaya-tradisi leluhur yang memilik makna teologi ‘sebagai sebuah keyakinan
terhadap tujuan akhir kehidupan’ melalui sebuah prosesi yang sangat simbolik dengan
ritus mengantarkan roh arwah (Dia/Liau) ke suatu tempat yang dinamakan Tuluyon
Sangkir Langit Antai Kalalungan Tatau/Kolong Bulau (alam Kalalungan [Bhatara-
Bhatari]), dalam keyakinan bahwa roh arwah telah dalam keadaan suci, sehingga
‘martabatnya’ telah meningkat menjadi Kalalungan/Dewa-Dewi (manifestasi Tuhan).
Oleh karena itu roh arwah tersebut diberi nama dengan istilah Dewa Kalalungan Aning
Kalalio. Selanjutnya Dewa Kalalungan Aning Kalalio secara otomatis memiliki
hakekat mulia Ju’us Tuha Allahtalla (Tuhan), sehingga kemudian diyakini sebagai
‘penyelamat’ yang akan diminta pertolongan/kehadirannya ketika keturunannya
mengalami kesulitan hidup. Keberadaaan ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk
penghayatan terhadap keberadaan Ju’us Tuhaalahtala (Tuhan). Hal ini senada dengan
pendapat Wiana (1993) dalam buku yang berjudul “Bagaimana Umat Hindu
Menghayati Tuhan” bahwa salah satu jalan menghayati Tuhan melalui Budaya Agama.
Budaya agama adalah bagaimana upaya penghayatan terhadap Sang Hyang Widhi
Wasa dalam bentuk kegiatan budaya. Pelaksanaan ritual Wara-Nyalimbat ini dapat
pahami sebagai sebuah bentuk kegiatan budaya-relegi.

Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori budaya-relegi. Teori ini
digunakan untuk mengetahui proses budaya-relegi yang mewarnai kehidupan umat
Hindu Kaharingan, khususnya terkait dengan tradisi Wara-Nyalimbat. Kebudayaan
sebagaimana dijelaskan Wiana seperti diatas, dan Ahimsa-Putera dalam Nur Syam
(2005: 13) merupakan produk dari aktifitas nalar manusia. Melalui akal-nalarnya
manusia dapat berkarya dan menghasilkan peradaban. Sedangkan kebudayaan
diimplementasikan melalui makna-makna yang diteruskan secara historis dan terwujud
dalam simbol-simbol. Sehingga rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini
adalah bagaimana konstruksi budaya-relegi tradisi ritual Wara-Nyalimbat baik melalui
prosesi, sarana-prasarana yang digunakan, maupun makna teologi yang
tersirat, dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah pada
saat ini yaitu tentang “Upacara Adat Wara”. Penulis Menyadari bahwa tulisan ini tidak luput
dari kesalahan serta kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan
penulis terima dengan senang hati untuk menjadi pelajaran kedepannya. Maka pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak. Akhirnya,
semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Palangkara Raya, 28 September 2021

Aurelia Rahmadita
DAFTAR ISI

ABSTRAK ……………………………….................................. i

KATA PENGANTAR ………………………………………….... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………...... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………...…………………………. 1-2
1.2 Rumusan Masalah …………………..………..….…………..... 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………. 2-3
1.4 Manfaat ……..................………………………………….…... 3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tentang Adat Wara ………….………………….... 4
2.2 Tujuan dilaksanakannya Upacara Adat Wara …………....…... 4
2.3 Proses Pelaksanaan Upacara Adat Wara ………….…......... 5-10

BAB III PENUTUP ………….…………………………………... 11

DAFTAR PUSTAKA ………….……………………………........ 12


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari


berbagai suku bangsa yang hidup dan tinggal di daerah-daerah tertentu di Indonesia.
Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa, agama dan sebagainya
yang berbeda satu sama lain. Masing-masing suku bangsa ini memiliki berbagai ciri
khas unik yang menggambarkan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia.

Dari berbagai keberagaman adat istiadat yang ada, salah satu yang menarik
yaitu tentang Upacara adat/Ritual Adat. Sesuai dengan etimologisnya, Ritual adalah
suatu hal yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan
suatu tujuan tertentu dan adat adalah tradisi atau ciri khas dari suatu daerah.

Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih
dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat
pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan arwah
para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan
diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya dalam arti luas. Hubungan antara
alam dan manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena
hubungan tersebut memiliki nilai-nilai sakral yang sangat tinggi. Hal ini diungkapkan
dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada makhluk gaib,
kepercayaan pada dewa pencipta, atau dengan mengkonseptualisasikan hubungan
antara berbagai kelompok sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-
burung, atau kekuatan-kekuatan alam.

Ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kepercayaan


yang dianut oleh masyarakatnya, kepercayaan seperti inilah yang mendorong manusia
untuk melakukan berbagai perbuatan atau tindakan yang bertujuan mencari hubungan
dengan dunia gaib penguasa alam melalui ritual-ritual, baik ritual keagamaan
(religious ceremonies) maupun ritualritual adat lainnya yang dirasakan oleh
masyarakat sebagai saat-saat genting, yang bisa membawa bahaya gaib, kesengsaraan
dan penyakit kepada manusia maupun tanaman.

Pelaksanaan upacara adat maupun ritual keagamaan yang didasari atas adanya
kekuatan gaib masih tetap dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat di
Indonesia, baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau slametan, ritual tolak
bala, ritual ruwatan, dan lain sebagainya. Ritual-ritual ini telah menjadi tradisi dan
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat karena telah
diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi
berikutnya.

Pada saat ini penulis tertarik untuk menuliskan makalah tentang “ Upacara
Adat Wara “. Yang merupakan salah satu ritual adat dari daerah Provinsi Kalimantan
Tengah dengan mayoritas masyarakat Suku Dayak yang terdiri dari Suku Dayak
Taboyan, Suku Dayak Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Dusun, Suku
Dayak Dusun Bayan, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak
Lawangan dan Suku Dayak Bawo. Agama dan kepercayaan yang dianut pun beragam
seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu/Kaharingan.

Selain agama dan kepercayaan yang dianut oleh Suku Dayak, adapula adat
yang dianut Suku Dayak Kabupaten Barito Selatan ialah Adat Wadian dan Adat
kematian Hindu/Kaharingan. Adat Wadian adalah upacara pengobatan pada Suku
Dayak Bawo, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak
Lawangan,2 sedangkan Adat Rukun Kematian Hindu/Kaharingan adalah upacara
kematian yang meliputi upacara adat Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara,
Wara Myalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu dan Marabia. 3
Rangkaian Upacara Adat ini hanya boleh dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak
Taboyan, Suku Dayak Dusun Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Ngaju yang
menganut agama Hindu/Kaharingan. Salah satu Adat Rukun Kematian
Hindu/Kaharingan yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak
Lawangan adalah tradisi Upacara Adat Wara yang merupakan upacara sakral bagi
masyarakat penganut AgamaHindu/Kaharingan karena bersumber dari ajaran agama
itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka Penulis menguraikan rumusan


masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Upacara Adat Wara?

2. Apa tujuan melaksanakan ritual adat tersebut?

3. Bagaimana proses pelaksanaan Upacara Adat Wara?

1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah tentang Upacara Adat Wara yaitu :


1. Untuk mengetahui serta mempelajari isi dan tujuan dari dilaksanakannya
Upacara tersebut

2. Untuk mengetahui bagaimana dan apa saja proses yang dilakukan dalam
Upacara tersebut

3. Menyelesaikan Tugas Dayakologi yang sudah diberikan oleh Dosen

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penulisan makalah ini adalah :

1. kedepannya bisa memperkenalkan ke luar tentang keberagaman adat istiadat,


seni dan budaya yang ada di Kalimantan.

2. Bersama-sama mempelajari, memperluas pengetahuan tentang adat istiadat


yang ada di kalimantan, dan selalu melestarikan adat budaya.

3. menambah wawasan pengetahuan tentang kekhasan dan kekayaan budaya


yang dimiliki Kalimantan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian tentang Upacara Adat Wara


Upacara Adat Wara ini adalah upacara adat kematian yang dilakukan oleh
masyarakat penganut Agama Hindu/Kaharingan untuk menghantarkan arwah leluhur
ketempat paling akhir yang disebut Lewu Tatau (surga).

Kematian sebagai transisi menuju keabadian. Perlu untuk diketahui bahwa


upacara wara adalah merupakan suatu rukun kematian tingkat akhir bagi umat Hindu
Kaharingan dari suku Dayak (Bawo,Lawangan,Taboyan, Dusun,Bentian) di wilayah
Das Barito. Wara mengandung makna yang sama dengan tiwah (Dayak Ngaju),
Marabia (Dayak Maanyan Kampung Sepuluh), Ijambe (Dayak Maanyan Paju Epat)
Dan mambuntang Dayak Dusun Deah atau Nganjan Dayak Pesaguan.

“Wara” bukanlah upacara adat biasa, melainkan suatu upacara ritual agama
Hindu yang mengandung nilai sakral dan bersifat religius yang khas dari suku Dayak
di Das Barito. Menurut Anti, para arwah yang diupacarai melalui “ritual wara” ini
akan diantar ke Gunung Lumut (gunung suci) yang terletak di wilayah Teweh Timur.
Bagi suku Dayak penganut Kaharingan di Das Barito Gunung Lumut adalah tempat
yang sakral dan perlu dijaga sakralitasnya.

Suku dayak Lawangan sangat menghargai kepercayaan para leluhur mereka,


antara lain dengan melaksanakan ritus kematian. Orang dayak Ngaju memahami
kematian sebagai pintu gerbang masuk ke negeri arwah yang sangat luhur, yaitu
negeri dan kediaman asal para leluhur mereka. Pemahaman ini sejajar dengan
pemahaman suku Dayak Lawangan khususnya pada acara ritus kematian. Sehingga
ritus kematian yang dilakukan oleh keluarga yang meninggal sangatlah menentukan
keadaannya di alam baka, apakah Ia tinggal di negeri yang penuh dengan
kemakmuran, kekayaan, keindahan serta terbebas dari penderitaan hidup dan bertemu
kembali dengan para leluhur, ataukah rohnya akan menjadi arwah gentayangan yang
mengganggu kehidupan.

2.2 Tujuan dilaksanakannya Upacara Adat Wara


Tujuannya dilaksanakannya Upacara Adat Wara yaitu untuk membagikan
“harta benda” kepada arwah kakek, nenek atau orang tua atau saudara dari keluarga
yang menyelenggarakan upacara adat ini.
2.3 Proses Pelaksanaan Upacara Adat Wara

Pembagian harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk sesajen (sejenis


persembahan) berupa makanan dan minuman, sesuai dengan makanan dan minuman
kebiasaan arwah orang yang diupacarai. Selain makanan dan minuman, ada pula
hewan yang dikorbankan dalam upacara adat ini sesuai dengan petunjuk
Kandong/Wadian Wara. Kandong/Wadian Wara merupakan rohaniawan Agama
Hindu/Kaharingan yang berperan sebagai pemandu upacara adat dan penghantar doa
kepada Tuhan untuk menghantarkan arwah orang yang diupacarai. Upacara adat
dilakukan hanya satu kali oleh pihak keluarga yang menyelengarakan dengan
rangkaian ritual adat yang berlangsung selama 7 (tujuh) hari/malam. Upacara wara
terbagi atas 6 tingkatan, yakni:

 Wara satu malam satu hari.


 Wara tiga hari tiga malam.
 Wara lima hari lima malam.
 Wara tujuh haru tujuh malam.
 Wara sembilan hari sembilan malam.
 Wara empatbelas hari empatbelas malam.

Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak keluarga yang
meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari satu malam maka
pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada arwah
yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya yang
terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Namun, dikemudian
hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk melaksanakan wara yang
lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan oleh bihak keluarga yang
meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan wara empat belas hari empat
belas malam, akan tetapi mereka masih punya kemampuan dikemudian hari maka
bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang tahun bagi sang arwah.

Pada umumnya dikalangan Dayak Lawangan yang masih beragama Kaharingan,


begitu ada salah satu dari anggota keluarganya yang meninggal, mereka langsung
melaksanakan wara satu hari satu malam karena biayanya tidak terlalu besar. Upacara
wara biasanya biasanya berpusat di rumah atau bisa juga di Balai oleh sebab itu
keluarga yang meninggal sangat sibuk bekerja demi kelancaran upacara Wara yang
dilakukan.

Dalam urut-urutan pelaksanaan upacara Wara yang dilakukanoleh suku Dayak


Lawangan, dimulai dari kematian sampai pada upacara mengantar arwah atau roh
orang yang sudah meninggal ke negeri keluhuran, maka akan telihat adanya dua tokoh
yang sangat penting, yakni Balian Wara dan Luying Buyas.

Balian Wara sebagai penunjung jalan menuju swarga loka


Wara mempunyai kedudukan sebagai pemimpin puncak adalah sangat penting untuk
menentukan kelancaran tugas untuk mengantar arwah atau roh orang yang sudah
meninggal karena kedudukannya sebagai pendeta atau imam, yaitu perantara antara
hubungan manusia dengan Yus Allatala ( sosok pencipta/Tuhan istilah Lawangan),
tidak semua orang bisa menjadi Balian Wara serta mengerti tentang tata cara
memanggil roh orang mati maupun mengantar roh si arwah ke negeri keluhuran.
Seseorang yang mendai Balian Wara merupakan keturunan langsung dari Balian
Wara sebelumnya, biasanya Ia mengalami kemasukkan roh dari nenek moyangnya
yang sebelumnya menjadi Balian Wara, setelah Ia mengalami kemasukkan Roh nenek
moyang itulah Ia menjadi seorang Balian Wara.

Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang yang meninggal
langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangat berbahaya untuk keselamatan
jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar hingga sampai ke
negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena rohnya tidak dapat
kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri keluhuran yang mau
mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa bisa mengantar roh
orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin
oleh Luying Buyas sehingga sampai ke negeri keluhuran. Luying Buyas sendiri
adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang gagah
perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan semenjak mulai
berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.

Luying Buyas melanjutkan perjalanan bersama roh orang yang meninggal


tersebut di mulai dari Puak Katar, untuk melanjutkan perjalanan sang arwah sehingga
sampai ke negeri keluhuran dan menyerahkannya kepada pikah keluarga yang telah
mendahuluinya serta kepada seluruh masyarakat roh yang berada di negeri keluhuran.
Dalam acara penyerahan roh sang arwah digambarkan seolah-olah ada pertemuan
antara yang meninggal dengan arwah-arwah yang meninggal terlebih dahulu,
disamping pertemuan tersebut, Luying Buyas secara resmi menyerahklan arwah yang
diantarnya supaya dapat diterima keberadaannya di negeri keluhuran, setelah
penyerahan selesai maka Luying Buyas pun berpamitan kepada mereka untuk kembali
ke Puak Katar dimana Balian Wara menunggunya. Menurut mereka apabila seseorang
tidak dapat berkumpul dengan kelurganya yang terlebih dahulu meninggal setelah Ia
meninggal dunia maka Ia telah melakukan suatu kesalahan yang tidak dapat
terampuni.

Upacara Wara dalam kepercayaan Kaharingan juga berarti pembebasan baik


bagi yang masih hidup ataupun bagi yang sudah meninggal. Bagi yang meninggal
pembebasan dari penderitaan dan kesengsaraan sedangkan bagi yang masih hidup
pembebasan dari malapetaka, penyakit, terhindar dari bencana, kemiskinan dan lain-
lain. Didalam Upacara Adat ini juga terdapat ritual usik liau yaitu bentuk permainan
tradisional yang dilakukan berupa saung liau (mengadu ayam antara pihak keluarga
dengan wakil dari arwah), gasing liau (permainan gasing antara pihak keluarga
dengan wakil dari arwah ), saramin liau (bercermin di atas air dalam baskom), tumuk
liau (saling lempar-lemparan dengan nasi bekas/ kerak nasi), tota liau (saling siram-
siraman dengan air kepada peserta), tarian liau/karang alu (keluarga
mempersembahkan tari-tarian) dan sebagainya. Dalam upacara wara sebenarnya tidak
dikenal istilah judi atau perjudian yang ada hanya jenis permainan usik liau. Kalau
saja ada judi/perjudian itu hanya disisipkan saja dengan maksud agar lebih semarak
dan menarik minat orang datang ketempat acara wara, sehingga oleh masyarakat
dianggap menjadi tradisi. Permainan usik liau seperti itu sudah berlangsung lama
sejak jaman dulu kala hingga sekarang ini tetap ada dalam pelaksanaan upacara wara.
Kemungkinan terkait ada taruhan uang dalam permainan usik liau sehingga dianggap
permainan itu identik dengan judi, akan tetapi tidak dilakukan secara bebas
sebebasnya (terbatas) diatur oleh hukum adat. Usik liau merupakan simbolisasi
bentuk suka cita kegembiraan para arwah (liau) disambut pihak keluarga sebagaimana
layaknya manusia yang masih hidup. Membedakan usik liau yang lajim dengan
permainan judi umumnya.

Usik liau suatu permainan liau (arwah) yang diatur dengan baik sesuai
ketentuan adat yang mengandung nilai-nilai ritual agama dan adat. Sedangkan
permainan judi yakni berupa profesi untuk mengadu keberuntungan melalui
mempertaruhkan uang dengan resiko kalah atau menang. Sedangkan menurut
Martoloneus (Damang Kepala Adat Kecamatan Gunung Timang) adanya kesulitan
memisahkan antara usik liau yang sebenarnya dengan permainan judi biasa
dikarenakan terkait erat dengan adat wara dan masyarakat pun menganggapnya
sebagai tradisi. Permaian usik liau tersebut merupakan permaianan tradisional yang
keberadaannya sudah ada sejak jaman dahulu kala atau sejak munculnya kepercayaa
Kaharingan (Hindu Kaharingan) itu sendiri.

Kaleker liau adalah permainan dimana pihak dari penyelenggara ritual adat
menyediakan 4 (empat) lapak yang digunakan untuk permainan dadu, kemudian
masyarakat sekitar tempat berlangsungnya upacara adat tersebut dapat ikut bermain
dengan mempertaruhkan sejumlah uang untuk menebak angka dadu yang akan keluar.

Problematika yang terjadi didalam ritual adat Kaleker Liau ini ialah adanya
permainan Dadu Gurak yang mengandung unsur perjudian. Seperti yang diketahui
pada umumnya, perjudian merupakan suatu permainan dengan memakai uang sebagai
taruhan dan menurut Pasal 303 tiap – tiap permainan dimana pada umumnya
kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka.

Cara permainan Dadu Gurak itu sendiri menggukan 2 (dua) mata dadu dan
diletakan dalam sebuah wadah tertutup kemudian diguncang oleh seseorang yang
bertindak sebagai Bandar. Sebelum wadah yang berisikan 2 (dua) mata dadu dibuka,
pemain yang merupakan masyarakat sekitar lokasi upacara adat berlangsung dan
mengikuti permainan Dadu Gurak dengan ikut serta mempertaruhkan uang kemudian
meletakkan sejumlah uang dengan jumlah yang tidak ada batasnya diatas lapak sesuai
dengan gambar mata dadu yang ditebak akan keluar. Kemudian Bandar akan
membuka wadah mata dadu setelah diguncang untuk melihat angka mata dadu yang
keluar. Apabila pemain mempertaruhkan uang diatas gambar mata dadu yang keluar,
maka pemain dianggap menang dan uang taruhan dikembalikan 2 (dua) kali lipat
kepada pemain, sedangkan apabila permain mempertaruhkan uang diatas gambar
mata dadu yang tidak sesuai dengan mata dadu yang keluar maka uang taruhan
kemudian diambil oleh Bandar. Dilihat dari pemaparan definisi perjudian biasa pada
umumnya dan kemudian dibandingkan dengan cara permainan Dadu Gurak, maka
mengakibatkan adanya kesulitan memisahkan antara permainan Dadu Gurak dalam
ritual Adat sebenarnya dengan permainan judi biasa dikarenakan terkait erat dengan
Upacara Adat Wara dan masyarakat pun menganggapnya sebagai tradisi.

Hal tersebut kemudian akan memunculkan pandangan berbeda antara budaya


lokal yang sudah menjadi tradisi dengan hukum modern berupa hukum positif yang
berlaku saat ini. Ketika ditinjau dari kepercayaan, adat istiadat dan keagamaan,
khususnya penganut Agama Hindu/Kaharingan bahwa rangkaian kegiatan ini ialah
tidak dapat terpisahkan atau dihapuskan dari ritual adat sedangkan dipandang dari
hukum positif rangkaian kegiatan ini mengandung unsur perjudian.

Walaupun perjudian dilarang dan diancam dengan hukuman pidana, masih


saja dalam Upacara Adat Wara ini diadakannya ritual adat yang mengandung unsur
perjudian. Hal ini dikarenakan masyarakat adat menganggap bahwa permainan dadu
dalam ritual Kaleker Liau bukanlah suatu permainan judi melainkan salah satu syarat
ritual adat yang harus dilaksanakan agar Upacara Adat Wara sempurna sesuai dengan
tradisi yang sudah ada sejak jaman dahulu kala atau sejak munculnya kepercayaan
Agama Hindu/Kaharingan.

Mengacu kepada Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303 bis KUHP Jo. Pasal 2
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian maka Ritual
Kaleker Diau telah memenuhi rumusan delik didalam Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303
bis KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian sehingga ritual ini dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara
formil. Terkait dengan melawan hukum secara formil, Andi Hamzah mengatakan
bahwa melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan Undang –
Undang yang mana suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik maka dikatakan
telah melawan hukum secara formil.7 Dengan tepenuhinya unsur rumusan delik
didalam Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian dan Pasal 303 bis KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, maka pada dasarnya ketentuan pidana
dapat diterapkan didalam Ritual Kaleker Liau ini. Hal tersebut sesuai dengan
diberlakukannya asas Teritorial dalam Pasal 2 KUHP yang menyakan bahwa
ketentuan pidana dalam perundang – undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia. Namun pada kenyataanya dalam
penegakan hukumnya terdapat kendala yang menjadi dilema didalam penegakan
hukum positif terhadap rangkaian upacara adat ini. Perbedaan persepsi terhadap suatu
pandangan antara budaya lokal yang telah menjadi suatu adat sakral dan disertai
dengan pemahaman Suku Dayak penganut Agama Hindu/Kaharingan yang sangat
berpegang teguh kepada kepercayaan agama dan adat yang dianut, maka apabila ritual
Adat Usik Liau tidak dilaksanakan atau dihapuskan maka pihak keluarga yang
melaksanakan upacara Adat Wara menganggap bahwa tidak terpenuhinya syarat ritual
adat dari upacara adat tersebut. Akibat dari tidak terpenuhinya syarat tersebut akan
ada musibah yang ditanggung oleh pihak keluarga yang mengadakan upacara adat.
Karena ketika ritual adat ini tidak dilaksanakan maka dianggap sebagai utang
terhadap arwah yang diupacarai. Dengan adanya kepercayaan yang diyakini oleh
masyarakat adat Suku Dayak terkait dengan pelaksanaan adat Agama
Hindu/Kaharingan, maka tidak ada pihak yang berani untuk bertanggungjawab atas
musibah yang diperoleh apabila Ritual Adat Kaleker Liau ditiadakan atau dihapuskan.
Berikut beberapa gambar Upacara Adat Wara :
BAB III
PENUTUP

Tradisi adalah adat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan dalam masyarakatnya. Upacara Adat Wara ini mempunyai arti
penting dan terkandung nilai-nilai tersendiri yang dipahami oleh masyarakat itu
sendiri, yang dimana ritual ini adalah hal yang wajib dilakukan dan masih
dipertahankan.

Adat ini merupakan salah satu bentuk aktifitas dan adat yang tidak terlepas
dari ketentuan nilai-nilai, aturan-aturan, dan norma yang berlaku yang dilaksanakan
oleh semua lapisan masyarakat. Didalam pelaksanaannya Upacara Wara ini dilakukan
dengan tahapan atau proses dan cara-cara adat maupun agama yang diwariskan sejak
dahulunya yang telah ada sampai sekarang masih bertahan serta dilestarikan nilai-nilai
budaya tersebut sebagai bentuk identitas kebudayaan lokal masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. Penerbit LkiS Yogyakarta


MB-AHK Pusat Palangka Raya. 2009. Panaturan. Penerbit Widya Dharma. Denpasar
Pendit Nyoman S. 1995. Bhagawadgita. Jakarta. Hanuman sakti
Sarwoto Kartodipoero. 1963. Kaharingan Relegi dan Penghidupan di Pelabuhan Kalimantan.
Penerbit Sumur Bandung
Tim Penelitian. 1982/1983. Sejarah dan Kebudayaan Indonesia.-Laporan Penelitian. TP.
Wiana. I Ketut, 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta. Manikgeni

Anda mungkin juga menyukai