DI SUSUN OLEH :
AURELIA RAHMADITA
NIM : 213020703103
Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori budaya-relegi. Teori ini
digunakan untuk mengetahui proses budaya-relegi yang mewarnai kehidupan umat
Hindu Kaharingan, khususnya terkait dengan tradisi Wara-Nyalimbat. Kebudayaan
sebagaimana dijelaskan Wiana seperti diatas, dan Ahimsa-Putera dalam Nur Syam
(2005: 13) merupakan produk dari aktifitas nalar manusia. Melalui akal-nalarnya
manusia dapat berkarya dan menghasilkan peradaban. Sedangkan kebudayaan
diimplementasikan melalui makna-makna yang diteruskan secara historis dan terwujud
dalam simbol-simbol. Sehingga rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini
adalah bagaimana konstruksi budaya-relegi tradisi ritual Wara-Nyalimbat baik melalui
prosesi, sarana-prasarana yang digunakan, maupun makna teologi yang
tersirat, dilakukan secara turun temurun oleh umat Hindu
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulisan makalah pada
saat ini yaitu tentang “Upacara Adat Wara”. Penulis Menyadari bahwa tulisan ini tidak luput
dari kesalahan serta kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan
penulis terima dengan senang hati untuk menjadi pelajaran kedepannya. Maka pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak. Akhirnya,
semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Aurelia Rahmadita
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………….................................. i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………...…………………………. 1-2
1.2 Rumusan Masalah …………………..………..….…………..... 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………. 2-3
1.4 Manfaat ……..................………………………………….…... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tentang Adat Wara ………….………………….... 4
2.2 Tujuan dilaksanakannya Upacara Adat Wara …………....…... 4
2.3 Proses Pelaksanaan Upacara Adat Wara ………….…......... 5-10
Dari berbagai keberagaman adat istiadat yang ada, salah satu yang menarik
yaitu tentang Upacara adat/Ritual Adat. Sesuai dengan etimologisnya, Ritual adalah
suatu hal yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan spritual dengan
suatu tujuan tertentu dan adat adalah tradisi atau ciri khas dari suatu daerah.
Upacara adat adalah salah satu tradisi masyarakat tradisional yang masih
dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi kebutuhan masyarakat
pendukungnya. Selain sebagai usaha manusia untuk dapat berhubungan dengan arwah
para leluhur, juga merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan
diri secara aktif terhadap alam atau lingkungannya dalam arti luas. Hubungan antara
alam dan manusia adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena
hubungan tersebut memiliki nilai-nilai sakral yang sangat tinggi. Hal ini diungkapkan
dalam personifikasi mistik kekuatan alam, yakni kepercayaan pada makhluk gaib,
kepercayaan pada dewa pencipta, atau dengan mengkonseptualisasikan hubungan
antara berbagai kelompok sosial sebagai hubungan antara binatang-binatang, burung-
burung, atau kekuatan-kekuatan alam.
Pelaksanaan upacara adat maupun ritual keagamaan yang didasari atas adanya
kekuatan gaib masih tetap dilakukan oleh sebagian kelompok masyarakat di
Indonesia, baik berupa ritual kematian, ritual syukuran atau slametan, ritual tolak
bala, ritual ruwatan, dan lain sebagainya. Ritual-ritual ini telah menjadi tradisi dan
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat karena telah
diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka kepada generasi
berikutnya.
Pada saat ini penulis tertarik untuk menuliskan makalah tentang “ Upacara
Adat Wara “. Yang merupakan salah satu ritual adat dari daerah Provinsi Kalimantan
Tengah dengan mayoritas masyarakat Suku Dayak yang terdiri dari Suku Dayak
Taboyan, Suku Dayak Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Dusun, Suku
Dayak Dusun Bayan, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak Bakumpai, Suku Dayak
Lawangan dan Suku Dayak Bawo. Agama dan kepercayaan yang dianut pun beragam
seperti Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu/Kaharingan.
Selain agama dan kepercayaan yang dianut oleh Suku Dayak, adapula adat
yang dianut Suku Dayak Kabupaten Barito Selatan ialah Adat Wadian dan Adat
kematian Hindu/Kaharingan. Adat Wadian adalah upacara pengobatan pada Suku
Dayak Bawo, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak
Lawangan,2 sedangkan Adat Rukun Kematian Hindu/Kaharingan adalah upacara
kematian yang meliputi upacara adat Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara,
Wara Myalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu dan Marabia. 3
Rangkaian Upacara Adat ini hanya boleh dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak
Taboyan, Suku Dayak Dusun Bayan, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Ngaju yang
menganut agama Hindu/Kaharingan. Salah satu Adat Rukun Kematian
Hindu/Kaharingan yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Suku Dayak
Lawangan adalah tradisi Upacara Adat Wara yang merupakan upacara sakral bagi
masyarakat penganut AgamaHindu/Kaharingan karena bersumber dari ajaran agama
itu sendiri.
1.3 Tujuan
2. Untuk mengetahui bagaimana dan apa saja proses yang dilakukan dalam
Upacara tersebut
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penulisan makalah ini adalah :
“Wara” bukanlah upacara adat biasa, melainkan suatu upacara ritual agama
Hindu yang mengandung nilai sakral dan bersifat religius yang khas dari suku Dayak
di Das Barito. Menurut Anti, para arwah yang diupacarai melalui “ritual wara” ini
akan diantar ke Gunung Lumut (gunung suci) yang terletak di wilayah Teweh Timur.
Bagi suku Dayak penganut Kaharingan di Das Barito Gunung Lumut adalah tempat
yang sakral dan perlu dijaga sakralitasnya.
Dalam upacara Wara tergantung pada kemampuan dari pihak keluarga yang
meninggal, bila pihak keluarga sudah melaksanakan wara satu hari satu malam maka
pihak keluarga sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada arwah
yang meninggal sebab rohnya sudah berkumpul dengan sanak saudaranya yang
terlebih dahulu sampai ke Usuk Bumut Lumut Tingkan Peyuyan. Namun, dikemudian
hari apabila dari pihak keluarga punya kemampuan untuk melaksanakan wara yang
lebih besar dari satu hari satu malam, bisa dilakukan oleh bihak keluarga yang
meninggal. Setelah pihak keluarga telah melaksanakan wara empat belas hari empat
belas malam, akan tetapi mereka masih punya kemampuan dikemudian hari maka
bukan wara lagi sebutannya akan tetapi pesta ulang tahun bagi sang arwah.
Balian wara tidak bisa mengantar arwah atau roh orang yang meninggal
langsung sampai ke negeri keluhuran sebab sangat berbahaya untuk keselamatan
jiwanya sendiri, apabila Ia memaksakan diri untuk mengantar hingga sampai ke
negeri keluhuran maka dapat dipastikan Ia akan mati karena rohnya tidak dapat
kembali ke dunia, sebab tidak ada roh yang berada di negeri keluhuran yang mau
mengantar rohnya kembali ke dunia. Balian Wara hanya bisa bisa mengantar roh
orang yang menionggal tersebut sampai ke puak katar saja dan seterusnya dipimpin
oleh Luying Buyas sehingga sampai ke negeri keluhuran. Luying Buyas sendiri
adalah jelmaan dari roh beras, Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang gagah
perkasa dan Ia selalu berjalan dibarisan terdepan dalam rombongan semenjak mulai
berangkat untuk mengantar arwah atau roh orang yang meninggal.
Usik liau suatu permainan liau (arwah) yang diatur dengan baik sesuai
ketentuan adat yang mengandung nilai-nilai ritual agama dan adat. Sedangkan
permainan judi yakni berupa profesi untuk mengadu keberuntungan melalui
mempertaruhkan uang dengan resiko kalah atau menang. Sedangkan menurut
Martoloneus (Damang Kepala Adat Kecamatan Gunung Timang) adanya kesulitan
memisahkan antara usik liau yang sebenarnya dengan permainan judi biasa
dikarenakan terkait erat dengan adat wara dan masyarakat pun menganggapnya
sebagai tradisi. Permaian usik liau tersebut merupakan permaianan tradisional yang
keberadaannya sudah ada sejak jaman dahulu kala atau sejak munculnya kepercayaa
Kaharingan (Hindu Kaharingan) itu sendiri.
Kaleker liau adalah permainan dimana pihak dari penyelenggara ritual adat
menyediakan 4 (empat) lapak yang digunakan untuk permainan dadu, kemudian
masyarakat sekitar tempat berlangsungnya upacara adat tersebut dapat ikut bermain
dengan mempertaruhkan sejumlah uang untuk menebak angka dadu yang akan keluar.
Problematika yang terjadi didalam ritual adat Kaleker Liau ini ialah adanya
permainan Dadu Gurak yang mengandung unsur perjudian. Seperti yang diketahui
pada umumnya, perjudian merupakan suatu permainan dengan memakai uang sebagai
taruhan dan menurut Pasal 303 tiap – tiap permainan dimana pada umumnya
kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka.
Cara permainan Dadu Gurak itu sendiri menggukan 2 (dua) mata dadu dan
diletakan dalam sebuah wadah tertutup kemudian diguncang oleh seseorang yang
bertindak sebagai Bandar. Sebelum wadah yang berisikan 2 (dua) mata dadu dibuka,
pemain yang merupakan masyarakat sekitar lokasi upacara adat berlangsung dan
mengikuti permainan Dadu Gurak dengan ikut serta mempertaruhkan uang kemudian
meletakkan sejumlah uang dengan jumlah yang tidak ada batasnya diatas lapak sesuai
dengan gambar mata dadu yang ditebak akan keluar. Kemudian Bandar akan
membuka wadah mata dadu setelah diguncang untuk melihat angka mata dadu yang
keluar. Apabila pemain mempertaruhkan uang diatas gambar mata dadu yang keluar,
maka pemain dianggap menang dan uang taruhan dikembalikan 2 (dua) kali lipat
kepada pemain, sedangkan apabila permain mempertaruhkan uang diatas gambar
mata dadu yang tidak sesuai dengan mata dadu yang keluar maka uang taruhan
kemudian diambil oleh Bandar. Dilihat dari pemaparan definisi perjudian biasa pada
umumnya dan kemudian dibandingkan dengan cara permainan Dadu Gurak, maka
mengakibatkan adanya kesulitan memisahkan antara permainan Dadu Gurak dalam
ritual Adat sebenarnya dengan permainan judi biasa dikarenakan terkait erat dengan
Upacara Adat Wara dan masyarakat pun menganggapnya sebagai tradisi.
Mengacu kepada Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303 bis KUHP Jo. Pasal 2
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian maka Ritual
Kaleker Diau telah memenuhi rumusan delik didalam Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2
Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Pasal 303
bis KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian sehingga ritual ini dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum secara
formil. Terkait dengan melawan hukum secara formil, Andi Hamzah mengatakan
bahwa melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan Undang –
Undang yang mana suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik maka dikatakan
telah melawan hukum secara formil.7 Dengan tepenuhinya unsur rumusan delik
didalam Pasal 303 KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian dan Pasal 303 bis KUHP Jo. Pasal 2 Undang – Undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, maka pada dasarnya ketentuan pidana
dapat diterapkan didalam Ritual Kaleker Liau ini. Hal tersebut sesuai dengan
diberlakukannya asas Teritorial dalam Pasal 2 KUHP yang menyakan bahwa
ketentuan pidana dalam perundang – undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia. Namun pada kenyataanya dalam
penegakan hukumnya terdapat kendala yang menjadi dilema didalam penegakan
hukum positif terhadap rangkaian upacara adat ini. Perbedaan persepsi terhadap suatu
pandangan antara budaya lokal yang telah menjadi suatu adat sakral dan disertai
dengan pemahaman Suku Dayak penganut Agama Hindu/Kaharingan yang sangat
berpegang teguh kepada kepercayaan agama dan adat yang dianut, maka apabila ritual
Adat Usik Liau tidak dilaksanakan atau dihapuskan maka pihak keluarga yang
melaksanakan upacara Adat Wara menganggap bahwa tidak terpenuhinya syarat ritual
adat dari upacara adat tersebut. Akibat dari tidak terpenuhinya syarat tersebut akan
ada musibah yang ditanggung oleh pihak keluarga yang mengadakan upacara adat.
Karena ketika ritual adat ini tidak dilaksanakan maka dianggap sebagai utang
terhadap arwah yang diupacarai. Dengan adanya kepercayaan yang diyakini oleh
masyarakat adat Suku Dayak terkait dengan pelaksanaan adat Agama
Hindu/Kaharingan, maka tidak ada pihak yang berani untuk bertanggungjawab atas
musibah yang diperoleh apabila Ritual Adat Kaleker Liau ditiadakan atau dihapuskan.
Berikut beberapa gambar Upacara Adat Wara :
BAB III
PENUTUP
Tradisi adalah adat atau kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan dalam masyarakatnya. Upacara Adat Wara ini mempunyai arti
penting dan terkandung nilai-nilai tersendiri yang dipahami oleh masyarakat itu
sendiri, yang dimana ritual ini adalah hal yang wajib dilakukan dan masih
dipertahankan.
Adat ini merupakan salah satu bentuk aktifitas dan adat yang tidak terlepas
dari ketentuan nilai-nilai, aturan-aturan, dan norma yang berlaku yang dilaksanakan
oleh semua lapisan masyarakat. Didalam pelaksanaannya Upacara Wara ini dilakukan
dengan tahapan atau proses dan cara-cara adat maupun agama yang diwariskan sejak
dahulunya yang telah ada sampai sekarang masih bertahan serta dilestarikan nilai-nilai
budaya tersebut sebagai bentuk identitas kebudayaan lokal masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA