Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH GEOGRAFI SEJARAH

Kejayaan Di Laut Masyarakat Biak Numfor Pada Abad 15-19: Suatu Penelusuran

DISUSUN OLEH :

Razan Tenaya Athallah

Dosen Pengajar :
Dr. Didik Pradjoko, S.S., M.Hum

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Program Studi Ilmu Sejarah

Universitas Indonesia

Depok

2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pelayaran dan Perdagangan Masyarakat Biak
Numfor Abad 15-19: Suatu Penelusuran sebagai bagian dari Ujian Akhir Semester Gasal.
Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Dr. Didik Pradjoko S.S, M.
Hum yang telah memberikan banyak sumbangsih dalam penyusunan dan penyelesaian
makalah ini.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kehidupan maritim Indonesia timur jugalah tak kalah
hebat dengan daerah-daerah lainnya, salah satu contohnya masyarakat Biak Numfor yang
secara geografis dikelilingi perairan mendorong mereka untuk pergi berlayar disamping faktor
lainnya. Dimana kegiatan berlayar menciptakan dinamika kehidupan maritim bagi daerahnya
tersebut, bahkan mendapati predikat ‘Bajak Laut Papua’ berdasarkan sumber-sumber Belanda.

Makalah ini disusun melalui sumber – sumber sekunder seperti buku, artikel, dam jurnal
dengan harapan dapat memberikan gambaran yang utuh kepada pembaca akan pentingnya
pelayaran dan perdagangan dalam menunjang kemajuan masyarakat Biak Numfor. Penulis tau
bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini sehingga saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan dalam perbaikan dan pembaharuan studi literatur dimasa
yang akan datang.

Jakarta, 4 Januari 2021

Penulis

Razan Tenaya Athallah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3
BAB I .......................................................................................................................................... 3
Pendahuluan ............................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2 Ruang Lingkup Permasalahan ...................................................................................................... 5
1.3 Ruang Lingkup Waktu .................................................................................................................. 5
1.4 Ruang Lingkup Spasial ................................................................................................................. 5
1.5 Rujukan atau Sumber .................................................................................................................... 6
1.6 Tujuan Pembahasan ...................................................................................................................... 6
1.7 Metode Penelitian………………………………………………………………………………..7
BAB II ........................................................................................................................................ 8
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 9
2.1 Kedudukan Geografis Pulau Biak Numfor ........................................................................ 8
2.2 Masyarakat Suku Biak Numfor Abad 15-19 .................................................................... 10
2.3 Pelayaran Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19 ............................................................ 10
2.3.1 Pengetahuan Ilmu Pelayaran Dan Perahu Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19.............. 11
2.3.2 Jalur Pelayaran Dan Perdagangan Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19 .......................... 14
2.4 Perdagangan Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19 ....................................................... 16
2.4.1 Komoditas Perdagangan Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19 ......................................... 16
2.4.2 Keahlian Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19 ................................................................. 17
2.5 Kehidupan Maritim Masyarakat Biak Numfor Dalam Catatan Sejarah………………….20
PENUTUP ................................................................................................................................ 21
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 21
3.2 Saran ........................................................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………………………...22

3
BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Mengulas daerah-daerah di Indonesia, tidak akan pernah lepas dari Kawasan perairan. Begitu
juga sejarah Indonesia, sejarah maritim. A.B. Lapian (1992) memberi pandangan mengenai
pembahasan sejarah maritim bahwa Sejarah maritim Indonesia seharusnya melihat seluruh
wilayah perairan Indonesia sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau di
Indonesia. Dengan demikian, laut tidak saja dipandang sebagai salah satu sumber daya alam
bagi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga media pemersatu bangsa1. Dari barat ke timur
Indonesia yang kita kenal ini, seluruhnya terintegrasi dalam satu kawasan daratan-lautan yang
tak terkecuali, begitupun Papua, walau daratan dan pedalaman luas, melalui sumber-sumber
didapati bahwasannya mereka tak luput dari kondisi geografis dikelilingi hamparan perairan
bertaburkan pulau-pulau, khususnya masyarakat Biak Numfor yang meninggali kawasan teluk
Cendrawasih.

Biak Numfor, suatu kepulauan di timur Indonesia, dikelilingi perairan dan karakteristik daratan
berupa karang sehingga tentulah kurang subur tanahnya. Beralih pada sumber daya perairan,
dimana masyarakatnya mahir dalam menangkap ikan, dan tentulah kemampuan berlayar
mereka. Semakin intensnya pelayaran dan awal mula terbentuk kegiatan perdagangan yang
terintegrasi dengan masyarakat lain tidak lepas dari posisinya sebagai sekutu Kesultanan
Ternate. Diketahui sudah sejak abad ke-15 orang Biak Numfor sampai ke Barat (kepulauan
Maluku) dan Tidore. Hubungan dagang ini bisa terjadi tentunya karena ada pelayaran orang-
orang Biak Numfor ke Bandar-bandar Niaga yang lebih besar, sehingga terjadi kontak2.
Bagaimanapun juga masih harus terus digali kesinambungan fakta-fakta ini agar kian jelas
interaksi masyarakat Biak Numfor, namun yang pasti mereka adalah rakyat yang sangat adaptif
akan kondisi dan situasi yang dihadapkan. Berkembangnya ilmu pengetahuan berbagai bidang

1
Pandangan A.B. Lapian, diharapkan dapat mengubah pandangan kita selama ini mengenai laut. Laut tidak hanya
dipandang sebagai media penghubung antar pulau dan media sumber pangan dan mata pencaharian saja, namun
juga sebagai media integrasi yang mempersatukan ribuan pulau di Indonesia. Dengan demikian laut memiliki
peran dan arti bagi pengembangan kajian sejarah (laut ialah alat analisis). A.B. Lapian, 1992. Sejarah Nusantara
Sejarah Bahari Depok: Universitas Indonesia.
2
Diketahui memiliki hubungan emosional dengan Kesultanan Tidore, akibat perkawinan antara Gurabesi (tokoh
legendaris Biak Numfor dan Raja Ampat) yang kawin dengan Boki Taiba Adik Sultan Tidore. Di samping itu
secara politik wilayah Biak Numfor diklaim oleh Tidore sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Dessy Pola
Usmany, Dessy Pola Usmany, “PELAYARAN ORANG BIAK NUMFOR SEBELUM ABAD 19 SUATU TINJAUAN
SEJARAH MARITIM”. Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014 Hal. 200. Lihat Kamma 1981. Kamma,
Freerk Ch. Ajaib di Mata Kita. Seri Gereja, Agama dan Kebudayaan Indonesia,BPK Gunung Mulia,
diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dan dr.Th.van den End. Hlm. 60.

4
yang mendukung masa kejayaan maritimnya di abad 16-18 terbukti bahwa mereka adalah
orang-orang yang diperhatikan keberadannya.

Berbicara eksistensi masyarakat Biak Numfor sebagai bangsa maritim, hal ini sesuai dengan
pernyataan-pernyataan dalam catatan Eropa yakni Portugis dan Belanda. Di era jaya nya Biak
Numfor dikenal sebagai sekutu Kesultanan Tidore yang rela melakukan apapun demi nilai
prestis dan penunjukkan keperkasaannya. Sampai-sampai dalam catatan Belanda mengutip dari
A.B. Lapian orang Biak Numfor mendapat predikat Papoesche Zeerovers atau ‘Para Bajak
Laut Papua’3.

Memunculkan sebuah semangat apabila kita melihat keadaan terkini dimana kemaritiman
masyarakat Biak Numfor bak hilang ditelan, tetapi yang perlu digarisbawahi kalau masih
banyak beberapa tradisi maritim yang hingga kini terus dipertahankan. Dalam rangka
mengembalikan kejayaan di laut untuk masyarakat Biak Numfor, penulis hendak merumuskan
tulisan berjudul Kejayaan Di Laut Masyarakat Biak Numfor Pada Abad 15-19: Suatu
Penelusuran. Kiranya dapat memupuk wawasan dan motivasi untuk terus melestarikan
perairan kawasan Indonesia, special nya bagi Kepulauan Biak Numfor.

1.2 Ruang Lingkup Permasalahan


Dengan predikat bajak laut Papua yang diberikan oleh orang-orang Belanda, dan juga hegemoni nya
tercatat dalam sejarah kesultanan, begitupun beberapa tradisi yang masih lestari hingga kini akan
kemaritiman masyarakat Biak Numfor menunjukkan pelayaran dan keahlian mereka pernah jaya dan
diakui eksistensinya. Oleh karena itu muncul permasalahan ”Bagaimana masyarakat Biak Numfor
dapat berkembang dan sejauh ini kekuatan maritime nya?”

1.3 Ruang Lingkup Waktu


Batas temporal yang digunakan dalam makalah ini adalah pada abad ke-15 sampai abad 19
awal.

1.4 Ruang Lingkup Spasial


Batas keruangan yang difokuskan dalam makalah ini adalah kepulauan Biak Numfor

3
Keberadaan sejarahnya didukung oleh bukti-bukti konkret yang tidak sebatas catatan-catatan perjalanan saja,
diaspora mereka yang meninggalkan keturunan di berbagai daerah Indonesia, perahu Biak Numfor di museum
Belanda, dan komoditas seperti alat perang ditemukan dan dapat dilihat hingga kini. Lihat Dessy Pola Usmany,
Op. Cit., Hlm 203.

5
1.5 Rujukan atau Sumber
Dalam menyusun makalah ini saya megambil sumber rujukan dari beberapa buku, jurnal, dan
artikel yang diakses melalui online maupun offline. Kesemua sumber tersebut dipastikan
merupakan sumber yang memilki kredibelitas sehingga isinya dapat dipertanggung jawabkan.

1.6 Tujuan Pembahasan


Tujuan dari pembahasan yang akan dimuat dalam makalah ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Tujuan Umum
a. Memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai dinamika sejarah pelayaran dan
perdagagan masyarakat Biak Numfor
b. Memberikan wawasan akan tradisi lokal masyarakat Biak Numfor
c. Memberikan pemahaman kepada pembaca akan kejayaan masyarakat Biak Numfor
akan kehidupan bahari nya.

Selain itu tujuan khususnya yaitu dalam rangka memenuhi tugas akhir penilaian akhir semester
mata kuliah Geografi Sejarah semester ganjil.

1.7Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian sejarah.
Menurut Kuntowijoyo, metode penelitian sejarah dimulai dengan pemilihan topik dan
pengumpulan sumber, kritik internal dan eksternal, analisis dan interpretasi, serta penyajian
dalam bentuk tulisan.
Pemilihan topik4 yaitu tentang Kejayaan Di Laut Masyarakat Biak Numfor Abad 15-
19 Suatu Penelusuran. Adapun sumber-sumber dalam penelitian dilakukan dengan datang
ke Perpustakaan Nasional dan juga menggunakan sumber berbasis online karena
menyesuaikan kondisi saat ini sedang terjadi pandemi. Sehingga, sumber yang berhasil
didapatkan berupa sumber sekunder saja, antara lain buku utama seperti karya A.B. Lapian
Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Adapun
jurnal ilmiah online, dan penunjang - penunjang lain seperti artikel bersejarah online yang
bersifat kredibel.
Tahap selanjutnya yaitu kritik sumber dengan verifikasi untuk uji validitas data dan
sumber, karena tidak semua sumber yang didapat dari hasil pengumpulan relevan dipakai
dalam penelitian. Proses ini menghasilkan fakta sejarah sesuai tema penelitian. Dalam
interpretasi sumber, penulis mencari keterkaitan antar sumber-sumber, disusun dengan

4
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), Halaman 69

6
tujuan menghubungkan fakta yang satu dengan lainnya sehingga terjadi rekonstruksi fakta
sejarah. Tahap akhir dengan kegiatan penulisan rekonstruksi fakta agar proses ini
diharapkan menghasilkan karya tulis yang lebih objektif.

7
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan Geografis Pulau Biak Numfor
Dalam memahami budaya bahari suku Biak Numfor ada baiknya kita kembangkan terlebih
dahulu kerangka berpikirnya melalui apa-apa yang kiranya memengaruhi kepiawaian kegiatan
suku Biak Numfor di laut. Dorongan faktor-faktor yang melatar belakangi suku Biak Numfor
untuk pergi berlayar tentulah beragam dan kompleks, namun hal yang sifatnya fundamental
dan utuh dalam pengkajiannya ialah struktural geografis pulau ini, bagaimana suatu kedudukan
penunjang hidup manusia yang cenderung tak berubah atau semu ini khususnya bagi suku Biak
Numfor dalam konteks adaptasi nya terhadap alam dan lingkungannya sampai dapat pergi
berlayar, berdagang, hingga dapat terjadinya interaksi dengan penduduk luar pulau, hal-hal ini
tak akan pernah lepas dari dorongan kedudukan geografis.

Kepulauan Biak Numfor terletak di utara daratan Papua atau teluk Cendrawasih (Teluk
Sareri/Geelvink Bay), tepatnya pada titik 0’55” – 1’27” Lintang Selatan dan 134’47” – 136′
Bujur Timur dengan luas wilayah daratan sebesar 2.602 km2. Kabupaten ini memiliki dua
pulau besar, yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor serta sekitar 42 pulau-pulau kecil. Di Sebelah
Utara, Kabupaten Biak Numfor berbatasan dengan Kabupaten Supiori dan Samudera Pasifik.
Sebelah Selatan adalah Selat Yapen, sementara sebelah Timur berbatasan dengan Samudera
Pasifik dan sebelah Barat adalah Kabupaten Manokwari5. Agaknya letak geografis ini sudah
menunjukkan bagaimana kepulauan Biak Numfor dikelilingi Kawasan perairan, kondisi ini
dapat terlihat nantinya bagaimana kepercayaan setempat memposisikan laut sebagai suatu yang
sakral pula, meninggalkan budaya, dan masa jaya dalam sejarahnya. Dengan demikian terlihat
sudah suku Biak Numfor sebagai suku yang bernafaskan bahari.

Beranjak pada sub-faktor geografis lainnya, dimana hal ini menciptakan sebab-akibat yang
semakin jelas terlihat yakni, kondisi alam pulau Biak Numfor. Secara daratan pulau Biak
Numfor berkarakteristik karang, secara iklim pulau ini dapat dikatakan bersuhu tinggi dengan
rata-rata 32,0 derajat Celsius, walau memang bercurah hujan tinggi di angka jumlah hari hujan
mencapai 23 hari dalam sebulan, sejarah menunjukkan pulau Biak Numfor seringkali diterpa
kemarau atau bahasa lokal menyebutnya dengan wambraw6. Musim panas berkepanjangan

5
BPS. “Kabupaten Biak Numfor Dalam Angka 2015”.
6
Suatu gejala alam yang dapat dikategorikan musibah, namun berjalannya waktu masyarakat setempat pulau Biak
Numfor dapat beradaptasi atau menjawab tantangan dengan membangun budaya bahari sebagaimana letak
geografis mereka yang dikelilingi perairan. Dessy Pola Usmany, “PELAYARAN ORANG BIAK NUMFOR

8
ditambah karakter tanah yang tak subur mendorong suku di pulau Biak Numfor beralih
memaksimalkan sumber alam yang diberikan oleh laut.

2.2 Masyarakat Di Pulau Biak Numfor


Menjawab kondisi geografis di tempat mereka dilahirkan yaitu pulau Biak Numfor,
terbangunlah suatu satuan-satuan masyarakatnya. Masyarakat Biak Numfor umumnya dikenal
terbagi menjadi 9 suku. Ke-9 suku ini adalah: suku Padaido/ Anovo, suku Masen, suku Fairyo,
suku Byak, suku Samber, suku Manwor, suku Mnuwar/ Swandiwe, suku Wombonda dan suku
Poiru7. Berdasarkan pada kepercayaan lokal yang meyakini sebuah ragam suku ini berasal dari
permukaan laut, penulis menginterpretasikan bahwasannya laut ialah sakral kedudukannya,
dimana daratan mereka secara luas tidaklah begitu subur, sehingga perairan yang mengelilingi
dan menjadi sumber kehidupan seperti berlayar, dan menangkap ikan dianggap suci dalam
artian lain juga penyelamat dan pemberi keberlangsungan hidup suka-suku di kepulauan Biak
Numfor.

Sedikit mengutip generalisasi dari ilmu pengetahuan antropologis, suku-suku yang


mendiami pulau Biak Numfor ialah gabungan kelompok masyarakat Irian atau Papua dan
Melanesia (Mampioper, 1976:33 dalam Ajamseba, 1994). Kini kelompok masyarakat Biak
Numfor tersebar bahkan sampai ditemukan di Makassar, Sulawesi Selatan. Melalui kajian
cerita setempat dikutip dari jurnal kebudayaan Biak Numfor karya John Haba, setidaknya ada
empat faktor persebaran masyarakat Biak Numfor. Pertama, alasan perkawinan, dimana sedari
dahulu sudah dikenal pula tradisi farkawawin, yaitu tata cara memulai berumah tangga di
dalam adat Biak Numfor dan ini biasa terjadi bukan hanya sesama penduduk Pulau Biak
Numfor tetapi juga dengan komunitas lain di luar daerah. Kedua, kebiasaan lama berupa
peperangan antar suku, pulau dan sebagainya yang berakhir pada beberapa warga Biak Numfor
ditawan dan kemudian terus tinggal mendiami sampai menikah di Kawasan tersebut. Ketiga,
tradisi mengayau (Head Hunting Practices), yaitu tindakan menunjukkan keperkasaan
pemimpin kelompok, serta pembuktian kekuatan. Dan yang terakhir, sekaligus merupakan
faktor yang tak kalah penting yaitu, perdagangan. Dalam sejarahnya saat dimana pelayaran
suku Biak Numfor dalam masa keemasannya, mereka berkoalisi dengan Kesultanan Ternate
dan Tidore, selain perihal mobilisasi masyarakat Biak Numfor, Menurut Leeden (1980:21-22)

SEBELUM ABAD 19 SUATU TINJAUAN SEJARAH MARITIM”. Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2, Agustus
2014 Hal. 205.
7
Itulah sebabnya dalam bahasa daerah kepulauan Biak Numfor disebut Sub We Vyak Iwa atau 9 negeri yang
timbul dari permukaan laut. Ibid., Hal. 202.

9
kegiatan perdagangan yang intens juga membawa kedinamisan ke arah yang lebih maju bagi
masyarakat Biak Numfor.

Penggambaran karakteristik masyarakat Biak Numfor dalam catatan-catatan sejarah baik itu
cerita lokal, catatan Eropa sekalipun menyebutkan bahwasannya suku-suku ini berjiwa kuat,
bermentalkan berani dan tak pantang mundur dalam mengejar tujuannya. Adapun alasan faktor
geografis tanah yang tidak subur, naluri bertahan hidup, dan ketrampilan dalam membuat
perahu serta menempa besi, meyakinkan mereka untuk terus berkembang menjadi pribadi yang
kuat dan beringas8.

2.3 Pelayaran Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19


Pelayaran bukanlah semata-mata kegiatan utama masyarakat Biak Numfor, melainkan
perkembangan ini merupakan murni buah hasil adaptasi masyarakatnya dalam menyambung
hidup, dikatakan oleh Albert Rumbekwan selaku sejarawan Universitas Cendrawasih mengutip
dari artikel Historia.id kalau pada tahun 1400-an pernah terjadi kemarau berkepanjangan,
ditegaskan pula oleh A.B. Lapian dalam bukunya Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah
Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX., kalau pelayaran orang Biak dan Numfor terdorong oleh
beberapa hal, yaitu motif persaingan atau korfandi, lingkungan georafis Biak yang tandus dan
kurang menghasilkan secara ekonomis, perang antar suku, dan adat budaya. Penulis merangkai
pernyataan-pernyataan ini dengan kondisi gejala alam pada saat itu memaksa mereka untuk
segera berlayar keluar pulau, karena memang faktanya pasca kemarau panjang tahun 1400-an,
mulai banyak catatan bukti sejarah seperti misal perdagangan dengan kesultanan Ternate-
Tidore, peperangan di laut, dan perompakan, dimana hal-hal ini yang menjadi jantung
kehidupan bahari masyarakat Biak Numfor saat itu9.

Demi bertahan hidup mereka memiliki tradisi Fadaduren10. Pelayaran ini guna mencari
bahan pangan ke daerah lain yang dalam sejarahnya melalui sistem barter. Di samping

8
Kepiawaian suku Biak Numfor dalam mengarungi lautan yang sudah dijajaki nya sangatlah luar biasa,
pengetahuan akan gejala alam, navigasi, tradisi menangkap ikan snap mor, dan kebiasaan merompak kapal yang
melewati teluk Cendrawasih, ini merupakan beberapa contoh bukti kalau suku ini sempat ditakuti keberadannya
sampai banyak artikel yang mendeskribsikannya sebagai bangsa Viking dari Papua. Lihat Ibiroma Wamla. “Suku
Biak, Suku Vikingnya Papua” diakses dari https://historia.id/kultur/articles/suku-biak-suku-vikingnya-papua-
PMLzX/page/1 Pada 2 Januari 2021.
9
Secara politik, dalam kehidupan orang Biak berkembang sikap korfandi/fanindi” (saling bersaing/persaingan),
atau dikenal dengan istilah “au kada, aya kada” (sikap kebanggaan terhadap diri sendiri). Dessy Pola Usmany,
Op. Cit., Hlm. 214
10
Seperti yang dilakukan antara orang Korido dan orang Sowek di mana orang Sowek membarterkan ikan yang
ditangkapnya dengan sagu, ubi, keladi dan hasil kebun lain milik orang Korido Orang-orang Biak bahkan pergi

10
fadaduren, pada musim kemarau panjang, juga diakukan pelayarn untuk mencari tahu
kemungkinan adanya sumber bahan pangan disuatu daerah. Aktivitas ini disebut Wadwai.
Wadwai seringkali dilakukan hingga jauh dari kepulauan Biak-Numfor. Karena di sebelah
Timur dan Barat banyak pulau yakni Yapen, Waropen, Kumamba sampai ke daratan besar,
maka mereka cenderung selalu kesana untuk mencari ikan dan berkebun. Banyak diantara
mereka memilih menetap disana hingga sekarang (Chris Faotngil, 2002:9). Merekapun pergi
ke Amberbaken untuk mencari dan menukarkan barang bawaan mereka dengan bahan
makanan.

Kegiatan pelayaran masyarakat Biak Numfor tidak akan bertahan bila hanya berlatar
belakang paksaan geografis dan naluriah bertahan hidup, di samping pelayaran itu sendiri
sudah memberikan tradisi-tradisi tertentu yang masih eksis hingga sekarang, juga ada tradisi
dalam budaya mereka yang terlihat sebagai faktor penunjang posisi masyarakat Biak Numfor
dalam menjalankan kegiatan nya ini. Tak kalah menarik bagaimana mereka memiliki
kemampuan spesial missal dalam navigasi, tradisi pembuatan perahu dimana hal-hal ini cukup
fundamental sebagai seorang pelaut yang mungkin cukup memiliki beberapa khas pembeda
dengan masyarakat bahari lainnya.

2.3.1 Pengetahuan Ilmu Pelayaran Dan Perahu Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19
Sudah disinggung sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan berperan penting dalam
keberlangsungan kegiatan pelayaran dan perdagangan masyarakat Biak Numfor, sejauh ini
penulis belum menemukan bagaimana masyarakat setempat memahami asal-usul ilmu-ilmu ini
dapat eksis dan dipahami masyarakatnya pada abad sekian dengan baik namun, yang pasti
pelajaran dan pengaplikasiannya dalam sejarah tercatat dan bisa diinterpretasikan. Nyatanya
dalam catatan setidaknya ditemukan tiga kerangka ilmu pengetahuan yang ditonjolkan
masyarakat Biak Numfor, Pertama, pengetahuan navigasi, kedua tentang kepandaian membuat
perahu, dan ketiga menyoal mata pencehariaan kaitannya dengan menangkap ikan dan
kepandaian menempa besi dalam rangka ekonomis.

Ilmu pengetahuan rasi bintang atau astronomi sederhana masyarakat Biak Numfor terbagi
menjadi dua, ada sebagai sistem kalenderisasi perhitungan musim dan satunya lagi adalah
navigasi penunjuk arah mata angin. Perhitungan musim orang Biak Numfor, dilihat
berdasarkan konstalasi bintang yaitu Sawakoi dan Romangguandi. Orion/Sawakoi biasa juga

ke Yapen untuk mendapatkan sagu, atau ke pulau Numfor untuk mendapatkan bahan makanan lainnya. Ibid., Hlm
205.

11
disebut bintang Robiserendi atau Dewi malam merupakan 15 buah bintang yang membentuk
satu gugusan bintang berbentuk mata panah atau pohon kecil, sedangkan
Scorpio/Romangguandi merupakan rangkaian bintang–bintang berbentuk naga berekor11.
Berdasarkan konstalasi bintang ini, orang Biak Numfor membagi musim dalam dua kategori
besar yaitu Wampasi dan Wambraw. Wampasi adalah musim dimana laut tidak berombak
besar pada bulan April-September, karena pada saat itu kecepatan angin Selatan dan Timur
yang bertiup melemah. Memasuki bulan September, mulai terjadi pancaroba, namun bulan ini
masih dapat dikategorikan sebagai masa wampasi. Selanjutnya musim Wambraw yaitu musim
angin barat (Wambraw). Musim ini ditandai dengan bertiupnya angin barat, angin barat daya
dan angin barat laut yang membawa udara panas dan menyebabkan laut bergelora berombak
besar dan terjadi perubahan iklim menjadi musim kemarau. Musim ini terjadi sejak bulan
Oktober hingga minggu ketiga bulan Maret. Gelombang laut yang besar mulai terjadi pada
bulan November dan mencapai puncaknya pada bulan Januari hingga Pebruari, dimana laut
bergelora disertai badai. Pada minggu ketiga bulan Pebruari hingga minggu kedua bulan Maret,
terjadinya musim pancaroba. Perlahan-lahan gelombang laut menurun akibat bertiupnya angin
Timur menggantikan angin Barat. Masa ini merupakan masa dimana orang Biak Numfor, mulai
mempersiapkan segala sesuatunya untuk berlayar pada bulan April12.

Sedangkan tanda lain yang menjadi penunjuk arah mata angin adalah bintang pagi (Kumeser
wamurem) sebagai tanda arah Timur dan bintang sore (Makmandira) sebagai tanda arah
Selatan. Bintang pagi, akan terlihat pada saat fajar merekah. Bintang ini akan terlihat tepat pada
sinar terbitnya matahari pagi. Sementara Makmandira, akan terlihat di sebelah selatan ketika
matahari akan terbenam. Bila malam tiba, akan muncul empat bintang sebagai petunjuk arah
yaitu Makberowamurem (bintang dari Timur), Makberowambraw (bintang dari Barat),
Makberowamires (bintang dari Selatan) dan Makberowamrur (bintang dari Utara)13.

Setelah pengetahuan rasi bintang, selanjutnya tentang pembuatan perahu. Dimana


masyarakat Biak Numfor sudah mengenali pembagian spesialisasi perahu-perahu yang akan
mereka gunakan sesuai kegiatannya. Jenis-jenis perahu tradisional yang biasa digunakan orang
Biak dalam berlayar dan berdagang, antara lain: Wai Mansusu (Perahu Dagang), Waisik atau

11
Ditemukan fakta bahwa ada korelasinya dengan pengetahuan bintang ilmu pengetahuan alam modern dengan
ilmu tradisional yang berkembang di wilayah Biak Numfor, hanya nama saja yang berbeda. Dessy Pola Usmany,
Op. Cit., Hlm. 202-203.
12
Ibid.,
12
Ibid.,

12
Wairon (Perahu Perang) dan Wai Karures (Waipapan)14. Adapun karakteristik perahu-perahu
suku Biak tidaklah murni, dalam artian secara tata teknis sampai desain merupakan hasil
percampuran bentuk-bentuk perahu yang dapat ditemui di Ternate, Tidore, dan Maluku.
Mengingat pelayaran mereka sudah setidaknya dari abad 15, sehingga memungkinkan
terdapatnya pengaruh komunitas-komunitas lain.

Panjang perahu, 12-15 meter dan lebar badan perahu disesuaikan dengan besarnya diameter
kayu yang diperoleh, karena tidak merata, maka perahu itu berbentuk lesung. Panjang semang
atau najung, dapat mencapai 4-5 meter lebar cadiknya dan dilengkapi dengan dua atau tiga
semang (manjau), ukurannya disesuaikan dengan panjang perahu. Bahan baku yang umum
digunakan dalam proses pembuatan perahu, berasal dari beberapa jenis pohon. Untuk bodi
perahu digunakan batang pohon Moref, Marem,Sandere atau Abiyai karena kayunya keras dan
tidak banyak menyerap air, sehingga kuat dan tahan lama. Untuk pelayaran jauh perahu ini
dilengkapi dengan layar dari anyaman daun tikar (pandanus sp), yang diskors pada tiang,
berbentuk kaki tiga (tripod), dengan dua kaki tetap ke samping kiri dan kanan dengan pen,
bekerja seperti engsel, ketiga tiang ini tersangkut di tumpuan atas dan diikat, tiang tripod ini
biasanya terbuat dari bambu dan dari kayu15. Kecepatan berlayar sebuah kano orang Biak di
Teluk Geelvink dengan layar kano besar, dapat mencapai 5 sampai 7 knot di angin yang baik,
dan bisa pergi sejauh 100 mil, hingga tidak nampak pulau-pulau atau perkampungan mereka.
Perahu tersebut tersedia pula tempat duduk Er atau Suprimanggun, (pemimpin pelayaran), di
dalam rumah perahu, dan terdapat pula perapian atau dapur (pafen) yang terbuat dari tanah liat.
Kapasitas angkut sebuah perahu bisa mencapai 1000- 1600 kg atau 1600-2500 kg, dengan
jumlah pendayung untuk perahu kapasitas besar, berjumlah 30-40 orang, ditambah dengan tuan
perahu (er) dan keluarga (er), jurumudi, seorang ahli nujum (peramal)16.

14
F.Ch. Kamma,“Dit Wonderlijke Werk” disadur dan diterjemahkan oleh Th. Van den End dan Koesalah
Soebagiyo Toer, dengan judul; Ajaib Di Mata Kita, Masalah komunikasi antara Timur dan Barat, Dilihat Dari
Sudut Pandang Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid 1, BPK. Gunung Mulia, Jakarta,
1981, Hal. 44.

15
Haddon, A.C and James Hornell, Canoes Of Melanesian, Quenzland, and New Guinea, Bishop Museum Press,
Honolulu, Hawai, Volume II, 1937, Hlm. 331-332.
16
Ahli nujum (peramal) yang biasa melakukan ramalan menggunakan sebuah korwar untuk meminta petunjuk
arah ekspedisi, dapat dikatakan perannya sebagai penasihat jurumudi dan membantu menjaga perahu agar tetap
pada rute-nya. Albert Rumbekwan dan Ester Yambeyapdi, “PELAYARAN DAN PERDAGANGAN ORANG BIAK
DI TELUK CENDERAWASIH ABAD XIX”. PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN EDISI III 2017
“PENGEMBANGAN IPTEKS DAN SENI”. Hlm. 43.

13
Dengan demikian lengkaplah pegangan masyarakat Biak Numfor dalam memulai dan siap
berkegiatan berlayarnya. Merupakan bukti kalau pada saat itu mereka dapat dikategorikan
bangsa yang maju dan adaptif dengan situasi serta kondisinya, dimana berkembangnya ilmu
rasi bintang dalam suku Biak Numfor yang semula paksaan geografis.

2.3.2 Jalur Pelayaran Masyarakat Biak Numfor Abad 15-19


Hal yang perlu dipahami kembali ialah sistem tata politik ekonomis tradisional masyarakat
Biak Numfor, dimana kaitannya dalam aplikasi pelayaran beserta perdagangannya. Ditegaskan
bahwa Orang Biak Numfor juga telah membangun kontak dengan para pelaut yang berasal dari
Nusantara, Cina dan Eropa ketika melakukan pelayaran keliling hingga ke wilayah Maluku.
Sepanjang pelayaran itu, orang Biak membentuk sistem politik dagang yang disebut;
“Manibobi“ (sahabat dagang)17.

Sedangkan sistem manibob adalah suatu sistem dimana dua individu yang berasal dari dua
kampung atau dua tempat yang berbeda lokasi saling bertemu melalui hubungan dagang.
Pertemuan tersebut dapat membawa dua individu berbeda tersebut pada hubungan yang lebih
erat dan lama (Mansoben, 1995: 277). Manibob juga dikenal sebagai rekanan dagang.
Perdagangan yang dimaksud disini adalah dalam bentuk pertukaran antar kedua pihak dengan
barang-barang yang dibutuhkan pada saat itu.

Hubungan manibob merupakan hubungan jangka panjang dan bersifat erat sehingga
pasangan manibob akan saling mengenalkan kaum kerabatnya dan kadangkala diikat dengan
suatu perkawinan. Dengan memiliki manibob di tempat lain maka kaum kerabat akan saling
bertukar barang dengan lancar dan aman, sebab sistem ini berdasar pada saling pengertian dan
kepercayaan18.

Adapun budaya politik ekonomis ini secara garis besar merangkai jalur pelayaran orang
Biak Numfor, sebagaimana Dalam mite Koreri dikisahkan beberapan daerah yang menjadi rute
pelayaran orang Biak-Numfor di pesisir pantai Utara Papua, yakni dari kepulauan Biak-
Numfor, YapenWaropen, ke pantai Timur, Sarmi dan Mamberamo-Tabi (daerah Jayapura
sekarang), Teluk Wondama, Manokwari hingga wilayah Kepala Burung dan Kepulauan Raja

17
Windy Hapsari, “Fungsi Sistem Manibob Dalam Kehidupan Orang Biak”. Papua TH. Vol. III NO. 2 /
November 2011 Hlm. 130.
18
Ibid., Hlm 130.

14
Ampat, Pulau Nieuw Guinea25. Pelayaran orang Baik-Numfor itu dipimpin oleh “mananwir
keret” atau “mananwir mnu”19.

Dengan demikian dirumuskan jalur pelayaran Biak Numfor dengan 4 arah mata angin:

• Pelayaran ke Maluku Utara: Biak NumforManokwari-Sorong-Raja Ampat-MisolSeram


Utara-Bacan-Tidore-Ternate. Bisa juga dari Raja Ampat ke Halmahera- BacanTidore-Ternate.

• Pelayaran ke Maluku Tengah : Biak NumforManokwari-Sorong-Raja Ampat-MisolSeram


Utara. Dapat juga dari Raja AmpatGorom-Geser-Seram Selatan –Ambonpulau-pulau Lease-
Buru-Ambalau dan Banda. Dari Raja Ampat dapat juga langsung ke Banda melewati Fak-fak-
Gorom-Banda.

• Pelayaran ke Maluku Tenggara hingga pulau Jawa: Biak Numfor-Manokwari – Sorong - Raja
Ampat - Kepulauan Kei – Tanimbar - Pulau Babar – Moa – NTT – NTB – Bali - Banyuwangi
(pulau Jawa).

• Pelayaran ke Timur: Biak NumforRuni-Woda-Kerudung Kadpuri-BonoiMambramo –


Komamba – Armo – Sarmi - Teluk Humbold-Denta depaprie-SentaniBismark-Pasifik.

Selanjutnya tentang Keberhasilan suatu pelayaran dan pengayauan yang dilangsungkan


orang Biak, tidak terlepas dari dukungan syair-syair atau nyanyian adat orang Biak, yang
disebut; “Wor” seperti; nyanyian perang (dow mamun), nyanyian mendayung serta wor-wor
yang diperuntukan khusus dalam perdagangan seperti wor Manibobi dan wor som atau upacara
pembayaran upeti kepada Sultan, ketika orang Biak berhasil berlayar sampai ke Maluku untuk
memberi upeti, dan menerima gelar prestise dari kesultanan Ternate-Tidore20. Masyarakat Biak
Numfor juga memiliki hubungan baik dengan kesultanan Ternate-Tidore, selain menguatkan
kemaritiman mereka, hal ini juga menunjang kemajuan dalam ilmu pengetahuan ekonomi, dan
politik setempat.

19
Johzsua R. Mansoben, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Penerbit, Lipi-Rul, Jakarta, 1995. Hal. 289.
20
Sam Kapisa, Eksistensi Wor Biak dan Usaha Pelestariannya, Makalah Antropologi, Uncen, 1994, Hal. 37.

15
2.4 Perdagangan Masyarakat Biak-Numfor Abad 15-19

Suatu sistem perdagangan orang Biak yang terkenal pada masa lampau yakni farobek21.
Perdagangan ini melampaui wilayah tempat mereka tinggal hingga ke pulau-pulau yang jauh.
Farobek atau sistem barter dilakukan hingga ke daerah yang jauh di sekitar pesisir Teluk
Cenderawasih, Kepala Burung, Raja Ampat bahkan sampai ke Maluku, Seram dan Ternate.
Berbeda dengan suku bangsa lain yang menjadikan sesuatu benda sebagai mata uang, misalnya
kerang atau manik-manik, dalam sistem farobek tidak dikenal adanya alat tukar tersebut.

Fungsi Sistem Manibob dalam Kehidupan Orang Biak Papua Pada saat melakukan
perjalanan dagang ke kampung lain atau daerah lain yang jauh dari tempat asalnya, seseorang
pasti akan bertemu dengan orang lain dari kampung atau daerah tersebut. Mereka kemudian
saling menukarkan sesuatu yang dibutuhkan oleh masing-masing partner dagang itu, dan
hubungan ini akan berlanjut terus berkali-kali hingga menimbulkan suatu ikatan pertemanan
yang akrab. Dari hubungan dagang yang berkembang menjadi pertemanan itulah yang disebut
manibob yang berarti sahabat. Maka seseorang akan mempunyai seorang relasi dagang
(manibob) yang tetap dan berlangsung lama di tempat tersebut.

Dari farobek kemudian berkembang sampai menjadi suatu budaya politik hegemoni
manibob, merupakan fondasi utama keberlangsungan perdagangan masyarakat Biak Numfor
disamping kemahiran berlaut, pandai besi, dan menangkap ikan.

Adapun sebuah tata cara pelayaran perdagangan yang dilakukan masyarakat Biak Numfor
pada masanya, mengutip penelitian ilmiah dari Albert Rumbekwan dan Ester Yambeyapadi
kalau Untuk kebutuhan pelayaran dagang, berbagai komoditi dagang diperoleh atau
dikumpulkan dari para penduduknya, atau keluarga, akan menyumbang harta bendanya; berupa
hasil laut, parang, tombak, dan kerajinan tangan, dan budaknya, untuk dibawa oleh mananwir
mnu dan mambrimambri mereka untuk diperdagangkan di daerah YapenWaropen, Wondama
dan Teluk Doreh-Manokwari. Berbagai harta benda yang disumbangkan itu menjadi tanggung
jawab mereka yang melakukan pelayaran, dan ketika kembali dari pelayaran dagang, hasilnya
dibagikan kembali kepada para penduduk yang telah menyumbang, berdasarkan jumlah barang

21
farobek yaitu cara tukar-menukar barang tanpa menggunakan mata uang, atau yang biasa dikenal dengan barter.
Windy Hapsari, “Fungsi Sistem Manibob Dalam Kehidupan Orang Biak”. Papua TH. Vol. III NO. 2 / November
2011 Hlm. 130.

16
yang diberikan dahulu. Jika ada kelebihan, barulah disumbangkan dan diatur oleh seorang
Mananwir guna kebutuhan bersama dalam menunjang pesta adat yang dilakukan nantinya”22.

2.4.1 Komoditas Perdagangan Masyarakat Biak-Numfor Abad 15-19

Yang menarik dalam komoditas perdagangan Biak Numfor adalah tidak ditemukannya
komoditas yang banyak bisa ditawarkan oleh masyarakat ini, sudah disampaikan dalam bab
sebelumnya barang-barang perdagangan mereka ialah hasil kongsi dagang dari system
manibob, namun ada satu komoditas yang menjadi primadona Biak Numfor, ketidakmampuan
membudidayakan rempah atau bahan pangan yang berkualitas baik dan banyak dikarenakan
tidak suburnya karakteristik tanah kepulauan ini, mendorong mereka untuk mengembangkan
keahlian lain, dan keahlian tersebut adalah pandai besi contohnya dengan memproduksi
peralatan perang, dan menangkap ikan.

Disamping barang-barang kerajinan dan ikan, ada satu hal juga yang diperdagangkan
masyarakat Biak Numfor dan dalam konteks jiwa zaman abad 16-18 masih sering ditemui
yakni, perdagangan budak. Ditegaskan kalau Setelah abad ke-15, muncul faktor baru penyebab
pelayaran orang Biak Numfor yaitu budak. Faktor ini disebabkan tuntutan upeti Tidore dan
keuntungan yang didapat dari hasil perdagangan budak. orang Biak-Numfor mengenal
perdagangan budak setelah terjadinya kontak mereka dengan suku-suku lain di luar
wilayahnya, terutama di Raja-Ampat yang pada saat itu sudah memiliki hubungan pelayaran
dan perdagangan dengan Maluku. Pada akhir abad 1400 sampai awal tahun 1500 orang-orang
Papua, dari pantai Barat dan Pelayaran Orang Biak Numfor Sebelum Abad 19 Suatu Tinjauan
Sejarah Maritim sebagian pantai Utara kehilangan kemerdekaan mereka. Sultan Tidore
mengangkat kepala-kepala suku, sebagai penguasa dan mengharuskan mereka membayar upeti
tahunan berupa kulit penyu, burung Cendrawasih dan budak. (Kamma, 1981: 61; Muller,
2008:86) Akibat penaklukan dan keharusan membayar upeti itu, orang Biak-Numfor mulai
berlayar untuk menyerang kampung-kampung guna mendapatkan budak23.

22
Wawancara Denis Koibur, 27 Agustus 2012, di Jayapura. Dikutip dari Albert Rumbekwan dan Ester
Yambeyapdi, “PELAYARAN DAN PERDAGANGAN ORANG BIAK DI TELUK CENDERAWASIH ABAD XIX”.
PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN EDISI III 2017 “PENGEMBANGAN IPTEKS DAN SENI”.
Hlm. 44.
23
Faktor ekonomi juga menjadi salah satu sebab begitu dekatnya orang Tidore dan Biak Numfor. Budak-budak
ternyata memiliki harga jual. Jadi selain membawa budak sebagai upeti, orang Biak Numfor juga membawa budak
untuk diperjual belikan. Harga seorang budak pada tahun 1654 berkisar antara 25-30 real per orang (Masinambow,
1984:30). Faktor ini yang kemudian lebih membuat orang Biak Numfor berani mengarungi lautan dan menyerang
kampung-kampung lain demi mendapatkan budak. Lihat juga Dessy Pola Usmany, Op. Cit., Hlm. 206-209.

17
2.4.2 Keahlian Masyarakat Biak Numfor Dalam Perdagangan Abad 15-19
Setidaknya terdapat dua keahlian masyarakat Biak Numfor yang diketahui kaitannya dengan
mata pencahariaan dan komoditas perdagangan Biak Numfor. Pertama, pandai besi.
Ditemukan beberapa kampung di daerah Biak Numfor yang memiliki pengetahuan menempa
besi yaitu: Sowek, Bosnik, Ware, Samber dan beberapa kampung lainnya di Biak, yang
terkenal sebagai penempa besi. Dengan keahliannya itu, mereka mengolah alat besi dalam
bentuk (peralatan perang) seperti parang, pisau, tombak, kapak, dan lainnya. Kemudian muncul
pertanyaan bagaimana bijih besi didapat, lalu yang lebih fundamental ialah bagaimana
masyarakat Biak Numfor memahami ilmu menempa besi ini. Untuk itu kita jajaki terlebih
dahulu kerangka berpikirnya.

Masyarakat Biak Numfor yang senantiasa berlayar ini tentulah berinteraksi dengan
komunitas atau bahkan kerajaan dan kesultanan, para pelaut Biak Numfor pada hakikatnya
ialah kawan yang royal bagi sesama kongsi dagang nya atau manibob, terutama Hubungan
dengan Tidore sangat menolong orang Papua (termasuk juga Biak) untuk mendapatkan
perkakas-perkakas dari besi. Asal-usul alat besi berasal dari beberapa pulau di Sulawesi. yang
sejak dahulu adalah penghasil besi, salah satunya adalah Daerah Luwu dan Kepulauan
Banggai.24, interaksi ini pun juga menjadi media mereka mempelajari ilmu menempa besi, lalu
kemudian membawa bijih besi dan rampasan bongkah besi, setelah itu pulang dan mulai
dikembangkan sampai menghasilkan untuk diperjualbelikan.

Kedua yaitu, keahlian penangkapan ikan yang dikenal dengan snap mor. “Snap Mor” terdiri
dari dua suku kata yang berbeda namun mengandung makna sama. “Snap” adalah “Koral atau

Batu ( Bhs Indonesia ) yaitu sejenis hamparan bebatuan yaitu jenis batu kecil yang biasanya
terhampar di muara sungai,kali,dan canal. Juga koral bentuk kecil terhampar dekat batas pantai.
Sedangkan kata“Mor” adalah tumpukan koral yang sengaja dikumpul berbentuk ,(Batu
berbijibiji=bulat-bulat) dikumpul jadi satu. Jenis koral atau bebatuan ini bervariasi dari yang
kecil.sedang,dan besar. Selain itu terdapat juga pengertian lain dari kata Snap Mor yaitu “Mor”
artinya besar atau yang utama “Nyan ( Bhs Biak ) atau Jalan ( Bhs Indo ) artinya Utama atau
jalan besar-butiranbulat menumpuk besar jadi satu. Namun dalam perkembangannya. “ Snap
Moor “ adalah cikal bakal dari apa yang dikenal dengan” Aker” yaitu salah satu pola dan tradisi

24
Melalui ragam jenis hasil tempa besi yang ditawarkan masyarakat Biak Numfor dapat dikatakan bahwa mereka
mahir secara keahlian, mengetahui perbedaan-perbedaan fungsi hasil kerajinannya, dimana ini pula semakin
menguntungkan baik ekonomi maupun hegemoni mereka dengan masyarakat lain. Sonya M. Kawer,
“Perdagangan Besi Pada Masyarakat Biak Numfor” Jurnal Papua Vol. 2 No. 1 / Juni 2010 Hlm. 38-39.

18
penangkapan ikan masyarakat Biak dengan mengurai tumpukan koral membentuk pagar
sekaligus sangkar. Proses “Snap Mor” Snap Mor bagi orang Biak biasanya dilakukan dengan
suatu persiapan terlebih dahulu yaitu: menyangkut lokasi, waktu pelaksanaan snap mor, jalur
air pasang surut, memilih lokasi yang terlingkung dari gelombang saat air surut. Selain itu
mempersiapkan pula batu karang, jaring, perahu, menentukan banyaknya orang yang ikut
dalam kegiatan snap mor25. Tradisi ini bahkan sampai sekarang pun masih dilestarikan, dalam
kajian historisnya, menangkap ikan memanglah sudah menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat
Biak Numfor, dimana yang membutuhkan keahlian sangat khusus condong pada ke jenis hasil
tangkapannya, untuk semisal kasem (ikan hiu).

2.5 Kehidupan Maritim Masyarakat Biak Numfor Dalam Catatan Sejarah

Melihat dinamika kemaritiman dengan segala kompleksitas yang sudah dipaparkan dalam
pembahasan diatas mengenai masyarakat Biak Numfor merupakan kajian yang mata pisau
bedahnya dalam badan masa kejayaan dan sifatnya cenderung dari perspektif Biak Numfor,
dalam catatan sejarah khususnya catatan Eropa, memiliki pandangan lain yang juga merupakan
bagian dari dinamika yang ada, kiranya agar penulisan tidak berpihak pada salah satu sisi dan
memperkaya khazanah pengetahuan.

Dalam catatan-catatan perjalanan Eropa khususnya Belanda, mengutip A.B. Lapian


“Sumber-sumber Belanda menyebut mereka sebagai Papoesche Zeerovers yang berarti para
bajak laut Papua”. Pada masa perdagangan budak, banyak orang Biak Numfor yang turut
menjadi perompak laut. Ada yang berlayar hanya dengan keretnya saja, namun ada juga yang
bergabung dengan para perompak dari Raja Ampat. Mereka dikenal sebagai perompak Papua.
Armada perompak ini kebanyakan dipimpin oleh orang Tidore. Peran mereka sebagai
perompak yang sangat ditakuti, berakhir pada abad-18, dengan munculnya perompak Tobelo
pada abad-19.

Apabila melihat penjelasan sebelumnya, penulis menemukan satu faktor yang menjadi
alasan masyarakat Biak Numfor ialah juga sebagai perompak dalam sejarahnya, tidak lain tidak
bukan menyangkut ekonomi. Memang beberapa tradisi yang kaitannya dengan kepribadian
individu Biak Numfor menjadi alasan, namun jika dilihat lebih lanjut, dorongan ekonomi lah
yang memaksa mereka berupaya keras demi mendapatkan keuntungan. Mulai dari
ketidaksuburan tanah, perdagangan yang sangat tradisional, kemudian simpatisan Kesultanan

25
Alfasis Romarak, “Snap Mor: Tradisi Penangkapan Ikan Masyarakat Biak”. JURNAL ILMU BUDAYA
Volume 6, Nomor 2 Desember 2018 . Hlm. 203.

19
Tidore, kewajiban pemberian upeti, dan lain sebagainya. Dimana hal yang sifatnya budaya jadi
lebih kepada praktik-praktik yang dibuat layaknya struktur dan kontrol sosial masyarakat Biak
Numfor agar tetap bisa terus eksis.

20
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masyarakat Biak Numfor ialah masyarakat asli penduduk kepulauan teluk Cendrawasih,
secara geografis mendorong mereka untuk hendak pergi berlayar, yang semula sebatas
mencukupi kebutuhan hidup dalam perkembangannya kian bergeser ke arah politik dan
ekonomi. Pelayaran dan perdagangan mereka menunjang pula terjadinya diaspora masyarakat
Biak Numfor. Interaksi-interaksi yang terjadi selama masa kejayaan maritime Biak Numfor
telah memberikan sumbangsih besar dalam kancah kemajuan Biak Numfor, berbekal
pengetahuan tradisional akan rasi bintang mereka mampu berlayar kemudian mendapati
beragam ilmu seperti menempa besi, berdagang, sampai tahap dimana mempraktikan
perompakan. Kiranya penelusuran ini yang bersubstansikan dinamika dapat dimaknai
masyarakat khususnya masyarakat Biak Numfor dengan adaptasi lah pada situasi serta kondisi
sebaik mungkin dan jangan pernah menyerah pada suatu kekurangan, karena berusaha
melewati prosesnya pasti kelak ada hasilnya.

3.2 Saran
Sudah semestinya kini masyarakat Biak Numfor menunjukkan lagi kemaritimannya,
disesuaikan dengan konteks zaman sekarang, membuang yang negatif, lalu senantiasa
melesetarikan yang baik untuk terus dikembangkan, seperti snap mor, manibob, dan lainnya.
Melihat posisi geografis yang berada di Kawasan pasifik kiranya hal ini tepat sasaran sebagai
salah satu poros maritim.

21
DAFTAR PUSTAKA
Ajamisaba. 1994. Kebinekaan Bahasa Di Irian Jaya. Jakarta: Djambatan.

BPS. 2016. Biak Numfor Dalam Angka 2015. Irian Jaya

Haddon, A.C and James Hornell. 1937. Canoes Of Melanesian, Quenzland, and New Guinea,
Bishop Museum Press, Honolulu, Hawai, Volume II.

Hapsari, Windy. 2011. Fungsi Sistem Manibob Dalam Kehidupan Orang Biak”. Papua TH.
Vol. III NO. 2 Hlm. 129-139.

Kamma, Freerk Ch. 1981. Ajaib di Mata Kita. Seri Gereja, Agama dan Kebudayaan
Indonesia,BPK Gunung Mulia, diterjemahkan oleh Koesalah Soebagyo Toer dan dr.Th.van den
End.

Kapisa, Sam. 1994, Eksistensi Wor Biak dan Usaha Pelestariannya, Makalah Antropologi,
Univ. Cendrawasih.

Kawwer, Sonya M.. 2010. “Perdagangan Besi Pada Masyarakat Biak Numfor” Jurnal
Papua Vol. 2 No. 1 Hlm. 35-43.

Leeden, AC Van Der. 1980. The RajaAmpat Islands: A Mythological Interpretation, Dalam
Masinambouw. Halmahera dan RajaAmpat: Konsep Dan Strategi Penelitian. Jakarta: LIPI.

Lapian, A.B. (1992). Sejarah Nusantara Sejarah Bahari. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak
Tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Lapian A.B.. 2008. Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut. Jakarta: Komunitas Bambu,

Mansoben, 1995. Sistem politik Tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI

Romarak, Alfasis. 2018. “Snap Mor: Tradisi Penangkapan Ikan Masyarakat Biak”.
JURNAL ILMU BUDAYA Volume 6, Nomor 2 . Hlm. 196-206.

Rumbekwan, A. Dan Ester Yambeyapdi, 2017. “PELAYARAN DAN PERDAGANGAN


ORANG BIAK DI TELUK CENDERAWASIH ABAD XIX”. PROSIDING SEMINAR HASIL
PENELITIAN EDISI III 2017 “PENGEMBANGAN IPTEKS DAN SENI”.

Usmany, Dessy Pola. 2014. PELAYARAN ORANG BIAK NUMFOR SEBELUM ABAD 19
SUATU TINJAUAN SEJARAH MARITIM”. Jnana Budaya Volume 19, Nomor 2. Hal. 199-
216.

22
Wamla, Ibirohima. 2016. “Suku Biak, Suku Vikingnya Papua” diakses dari
https://historia.id/kultur/articles/suku-biak-suku-vikingnya-papua-PMLzX/page/1 Pada 2
Januari 2021.

23

Anda mungkin juga menyukai