Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH GEOGRAFI SEJARAH

PENELUSURAN SEJARAH: KOMODITAS (MENTOK WHITE PEPPER) LADA


PUTIH MENTOK KHAS PROVINSI KEP. BANGKA-BELITUNG

DISUSUN OLEH :
Razan Tenaya Athallah

Dosen Pengajar :
Dr. Didik Pradjoko, S.S., M.Hum

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Program Studi Ilmu Sejarah

Universitas Indonesia

Depok

2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Penelusuran Sejarah: Komoditas (Mentok White
Pepper) Lada Putih Mentok Khas Provinsi Kep. Bangka-Belitung sebagai bagian dari Ujian
Akhir Semester Gasal. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Dr.
Didik Pradjoko S.S, M. Hum yang telah memberikan banyak sumbangsih dalam penyusunan
dan penyelesaian makalah ini.

Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung seperti yang kita sudah ketahui merupakan salah satu
daerah penghasil timah yang ulung di dunia, dan tak lupa ada satu komoditas perkebunan yang
juga mendapat predikat serupa dengan timah yakni, lada putih Mentok. Berawal dari
keterpaksaan dan dorongan situasi serta kondisi berbagai pihak, lambat laun dapat menjadi
komoditas lada putih yang terspesialisasi hingga sekarang dengan nama yang dikenal dunia
ialah Mentok White Pepper. Dengan ini lada putih Mentok bukanlah sekadar komoditas
perdagangan, melainkan sudah menjadi bagian identitas Kepulauan Bangka-Belitung karena
didalamnya tersimpan rentetan peristiwa yang dapat dijelaskan melalui sisi historis, dimana
dinamika inilah yang juga turut membangun masyarakat Bangka-Belitung ke depan.

Makalah ini disusun melalui sumber – sumber sekunder seperti buku, artikel, dam jurnal
dengan harapan dapat memberikan gambaran yang utuh kepada pembaca akan pentingnya
sejarah dalam menjelaskan perkembangan komoditas lada putih Mentok sampai bisa menjadi
produk Bangka-Belitung yang mendunia dengan karakteristiknya sendiri. Penulis tau bahwa
masih banyak kekurangan yang ada dalam makalah ini sehingga saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan dalam perbaikan dan pembaharuan studi literatur dimasa
yang akan datang.

Jakarta, 1 Januari 2020

Penulis

Razan Tenaya Athallah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
Pendahuluan .......................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2 Ruang Lingkup Permasalahan ...................................................................................................... 5
1.3 Ruang Lingkup Waktu .................................................................................................................. 5
1.4 Ruang Lingkup Spasial ................................................................................................................. 6
1.5 Rujukan atau Sumber .................................................................................................................... 6
1.6 Tujuan Pembahasan ...................................................................................................................... 6
BAB II .................................................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 8
2.1 Geo-Sejarah Kep. Bangka Belitung Dalam Catatan Sejarah Dunia ...................................... 8
2.1.1 Cikal-Bakal Perkebunan Lada Putih Kepulauan Bangka-Belitung...................................... 11
2.2 Mentok White Pepper (Lada putih Muntok Khas Bangka-Belitung) ................................... 13
2.2.1 Mentok White Pepper Dalam Perspektif Kekinian .............................................................. 14
2.3 Mentok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan Dalam Sejarah Hingga Masa Kini
.......................................................................................................................................................... 15
2.3.1 Problematika Mentok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan ............................... 16
2.3.2 Solusi Pendukung Mentok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan ....................... 18
2.4 Mentok White Pepper Sebagai Identitas ................................................................................ 19
BAB III ................................................................................................................................................. 20
PENUTUP ............................................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................................ 20
3.2 Saran .......................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 21

3
BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia tidak dipungkiri masih menjadi salah satu sektor tangguh
pemberi devisa negara dan sumber mata pencahariaan rakyat Indonesia sebagai negara yang
bertabur pulau-pulau secara geografis. Salah satu sub-sektornya yakni, perkebunan yang tentu
memiliki komoditas utama unggulan-unggulan Indonesia, demi memenuhi permintaan baik
pangan, industri dan lain sebagainya. Sebagai bukti dalam angka di tengah-tengah keadaan
terkini pandemi Covid-19 sektor pertanian menjadi solusi pasti terjaga dan perbaikannya
ekonomi, melalui pertanian pada periode Januari-Agustus 2020 mencapai $US15,92 miliar
atau meningkat 5,4 persen dibanding periode yang sama tahun 2019 yang hanya $US15,09
miliar1 Belum lagi indeks statistik lain yang menyertainya. Ditelusuri lebih lanjut dari indeks
TNP didapati data bobot subsektor Menunjukkan benar bahwasannya sektor pertanian
memberikan signifikansi pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi dan terkhususnya hasil
perkebunan menempati posisi dua dalam angka statistik. NTP meliputi Tanaman Pangan 47,37
persen, Tanaman Perkebunan 25,39 persen, Peternakan 13,71 persen, Hortikultura 10 persen,
dan Perikanan 3,53 persen, dengan analisis kenaikan 0.50% di kuartal tengah tahun 20202.

Komoditas perkebunan Indonesia yang didapati laku dalam konteks perdagangan antara
lain, kelapa sawit, kelapa, karet, dan kopi yang menempati posisi teratas, dan yang menarik
ialah dalam dunia komoditas rempah, lada kembali sebagai potensi di perdagangan dunia,
dimana secara kumulatif Indonesia menempati posisi kedua produsen lada dunia dengan angka
produksi yang terus meningkat.3 Untuk itu kita perlu mengetahui sekiranya provinsi mana di
Indonesia yang memiliki komoditas utama sub-sektor perkebunan lada, kiranya agar lingkup
bedah pembahasan memiliki batasan tema spasial (keruangan) yang mendetail. Perlu dipahami,
untuk komoditas lada itu sendiri terbagi menjadi dua kategori yang biasa diperjualbelikan di
berbagai belahan dunia, ada lada putih dan lada hitam. Yang dalam kesempatan ini terfokus
pada produksi komoditas hasil perkebunan rempah lada putih. Provinsi Kepulauan Bangka-
Belitung menjadi nama pertama yang muncul dalam data statistik perdagangan rempah lada

1
Achmad Musyafak. “Ekspor Pertanian Periode Agustus 2020” Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Kementerian Pertanian, 2020
2
BPS, “Nilai Tukar Petani per 2020”, 2020.
3
Dalam tren naik statistik produksi lada putih 5 tahun terakhir dari 34 provinsi rata-rata mencapai angka 0.28-
0.30%., “Statistik Produksi Lada Menurut Provinsi di Indonesia 2016-2020”, Direktorat Jenderal Perkebunan
Kementrian Pertanian, 2020.

4
putih sebagai produsen terbesar dunia sejak 2014, mengontrol hingga 37-40% pasar global
(Erzaldi, 2020).

Adapun perlunya potensi ini terus dipertahankan dan dikembangkan guna sebagai
komoditas perdagangan unggul yang bisa berkelanjutan baik secara lingkungan maupun
ekonomis. Sehingga perlunya sebuah kajian historis pula bagaimana kepulauan Bangka-
Belitung dapat eksis menjadi daerah penghasil lada putih yang ulung, karena sejarah dapat
menjelaskan hal itu dan memberi saran kedepannya terhadap solusi-solusi apa yang bisa
dirumuskan dalam perspektif kekiniannya.

Mengenai potensi ini tentunya diikuti pula kendala-kendala atau ancaman yang menyertai,
antara lain soal areal tanam, fluktuasi harga, produktivitas lahan, dan penurunan produksi4,
walau memang tak dipungkiri kembali menguat berdasarkan data-data yang ada. Namun, bila
persoalan ini tidak diperhatikan dengan serius pastinya akan menyebabkan permasalahan laten
yang kian sulit teratasi. Maka dari itu dalam menyikapi potensi Muntok White Pepper Khas
BaBel ini sebagai komoditas tradisional juga identitas masyarakat Indonesia dalam cakupan
luas, terkhususnya rakyat BaBel untuk menanamkan kesadaran bersama. Dengan demikian,
tulisan ini bertujuan memberikan pandangan khalayak mengenai lada putih BaBel, begitu juga
dengan opsi solutif perihal keberlanjutan perkebunan lada BaBel melalui Kajian Sejarah:
Komoditas (Mentok White Pepper) Lada Putih Mentok Khas Provinsi Kep. Bangka-Belitung.

1.2 Ruang Lingkup Permasalahan


Keberadaan lada putih Mentok dalam perspektif kekinian bagi Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung menjadi sangat potensif. Dibarengi dengan kendala-kendala yang menyertainya, serta
solusi yang coba ditawarkan serta diaplikasikan, masyarakat Bangka-Belitung melalui
pemerintahan provinsi nya tetap Nampak antusias akan komoditas ini. Berdasarkan rumusan
masalah tersebut maka yang menjadi permasalahan adalah “Bagaimana awal mula komoditas
lada putih ada hingga menjadi andalan Bangka Belitung selain timah?”

1.3 Ruang Lingkup Waktu


Batas temporal yang digunakan dalam makalah ini adalah pada abad ke-17 sampai dengan abad
20-an.

4
Usmar Dawas dan Pranowo. “KONDISI KRITIS LADA PUTIH BANGKA BELITUNG DAN ALTERNATIF
PEMULIHANNYA”, Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 28 No. (1), 2009, hal. 1-2.

5
1.4 Ruang Lingkup Spasial
Batas keruangan yang difokuskan dalam makalah ini adalah kepulauan Bangka-Beltiung, dan
daerah penunjangnya seperti Palembang Sumatra Selatan.

1.5 Rujukan atau Sumber


Dalam menyusun makalah ini saya megambil sumber rujukan dari beberapa buku, jurnal, dan
artikel yang diakses melalui online maupun offline. Kesemua sumber tersebut dipastikan
merupakan sumber yang memilki kredibelitas sehingga isinya dapat dipertanggung jawabkan.

1.6 Tujuan Pembahasan


Tujuan dari pembahasan yang akan dimuat dalam makalah ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Tujuan Umum
a. Memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai dinamika sejarah komoditas lada
putih Mentok khas Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung.
b. Memberikan gambaran kepada pembaca mengenai dinamika perkebunan lada putih
Mentok sampai bisa menjadi komoditas unggulan Bangka-Belitung hingga kini.
c. Memberikan pemahaman kepada pembaca akan pentingnya wawasan tentang
kompleksitas yang menyertai komoditas lada putih Mentok, mulai dari kendala sampai
makna positifnya.

Selain itu tujuan khususnya yaitu dalam rangka memenuhi tugas akhir penilaian akhir semester
mata kuliah Geografi Sejarah semester ganjil.

1.7Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penelitian sejarah.
Menurut Kuntowijoyo, metode penelitian sejarah dimulai dengan pemilihan topik dan
pengumpulan sumber, kritik internal dan eksternal, analisis dan interpretasi, serta penyajian
dalam bentuk tulisan.
Pemilihan topik5 yaitu tentang kajian historis Mentok White Pepper yaitu komoditas
lada putih khas Bangka-Belitung. Adapun sumber-sumber dalam penelitian dilakukan
dengan datang ke Perpustakaan Nasional dan menggunakan sumber berbasis online karena
menyesuaikan kondisi saat ini sedang terjadi pandemi. Sehingga, sumber yang berhasil
didapatkan berupa sumber sekunder saja, antara lain buku utama seperti karya Mary
Somers Heidhues, “Bangka Tin And Mentok Pepper: Chinese Settlement on an Indonesian

5
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), Halaman 69

6
Island.” . Adapun jurnal ilmiah online, dan penunjang - penunjang lain seperti artikel
bersejarah online yang bersifat kredibel.
Tahap selanjutnya yaitu kritik sumber dengan verifikasi untuk uji validitas data dan
sumber, karena tidak semua sumber yang didapat dari hasil pengumpulan relevan dipakai
dalam penelitian. Proses ini menghasilkan fakta sejarah sesuai tema penelitian. Dalam
interpretasi sumber, penulis mencari keterkaitan antar sumber-sumber, disusun dengan
tujuan menghubungkan fakta yang satu dengan lainnya sehingga terjadi rekonstruksi fakta
sejarah. Tahap akhir dengan kegiatan penulisan rekonstruksi fakta agar proses ini
diharapkan menghasilkan karya tulis yang lebih objektif.

7
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Geo-Sejarah Kep. Bangka Belitung Dalam Catatan Sejarah Dunia
Penting bagi kita memahami bagaimana peran dari kedudukan geografis Bangka-Belitung
demi menunjang keberlangsungan produksi dan kegiatan perdagangan pada umumnya
terkhusus pada komoditas lada putih ini. Berbicara mengenai geografi tentulah yang terpikir
adalah soal keadaan alam, topografi dan juga hubungannya dengan manusia. Dalam kasus ini
sejak dahulu Kepulauan Bangka Belitung sudah dikenal berbagai bangsa-bangsa dunia, tidak
lain sebagai penghasil timah dan lada putih yang berkualitas. Bukti-bukti semakin kuat dengan
eksistensi Kesultanan Palembang dan campur tangan VOC sebagai yang berdaulat atas
Bangka-Belitung mengurusi manajemen produksi sampai perdagangan lada putih baik nasional
maupun internasional6, walaupun memang komoditas lada putih mentok belum menjadi
produk utama dan terspesialisasi khas Kepulauan Bangka-Belitung, namun fondasi
perkebunannya sudah terlihat sejak dini.

Lalu pertanyaan muncul, bagaimana masyarakat setempat bisa beradaptasi dengan alamnya
sampai mampu memproduksi lada putih dengan baik, mengapa mesti Bangka-Belitung dan
kapan sebenarnya kepulauan bangka Belitung ini sudah dikenal secara luas ssebagai penghasil
komoditas lada putih yang unggul, untuk itu sebelum menjelaskan bagaimana keterkaitan
timbal-balik manusia dengan alamnya, ada baiknya kita paham terlebih dahulu secara eksakta
kalua kedudukan alam kepulauan Bangka Belitung memanglah cocok dengan karakteristik
budidaya perkebunan lada putih, diiringi juga teknik perkebunan yang selaras dengan
karakteristik yang dimiliki komoditas lada putih Mentok ini7.

Sedikitnya gambaran bagaimana pengetahuan alam menjelaskan kepulauan Bangka


Belitung, di sisi lain yang tak kalah penting ialah peran manusia didalamnya. Perlu

6
Kesultanan Palembang bekerja sama dengan VOC mengenai komoditas lada yang pada saat itu sedang tinggi
permintaanya di pasar Eropa sehingga mendorong pembukaan lahan perkebunan lada lebih luas lagi demi
menyanggupi pasar dan tentunya mencari keuntungan setinggi-tingginya. Nawiyanto, Eko Crys Endrayadi,
Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan Warisan Budaya, (Jember: Jember University Press, 2016),
hlm. 75.
7
Perkebunan lada putih umumnya cocok dengan keadaan tropis dengan cuaca panas dan curah hujan di bulan
kering tidak kurang dari 60 mm (curah hujan tinggi), dapat tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi.
Optimum pada ketinggian kurang dari 500 mdpl. Dan keadaan tanah gembur serta subur. Bangka-Belitung
cenderung berkarakteristik tanah secara luas kering dimana lebih cocok untuk tanaman keras, namun berkat curah
hujan, ketinggian dataran, dan rekayasa ilmu pengetahuan pertanian dalam praktiknya tepat hingga bisa membuka
lahan perkebunan lada putih yang terspesialisasi dan cukup produktif. Yudiyanto. Tanaman Lada Dalam
Perspektif Autekologi. (Bandar Lampung: AURA, 2016), hlm. 25 dan 95.

8
digarisbawahi, bahwasannya yang ikut serta dalam perkembangan kepulauan Bangka-Belitung
bisa menjadi produsen lada putih terbesar dunia bukan semata-mata masyarakat lokal saja,
tetapi juga berkat interaksi dunia luar beserta alasan-alasannya yang dapat ditemukan dalam
kajian kesejarahan, dimana sebetulnya memberikan kedinamisan sektor perkebunan lada putih
Bangka-Belitung hingga kini.

Hendaknya kita harus pahami terlebih dahulu bangsa luar yang kali pertama menapaki
Bangka-Belitung ialah bangsa India dan China, pada masa awal kurun niaga jalur sutra, dimana
Bangka-Belitung ikut berpartisipasi pula didalamnya. Sebuah karya sastra Buddha yang ditulis
pada abad ke3 Masehi (Mahaniddesa) menyebutkan sejumlah nama tempat di Asia, antara lain
tentang Swarnnabhūmi, Wangka, dan Jawa. Nama Swarnnabhūmi dapat diidentifikasikan
dengan Sumatra sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Milindapanca sedangkan Wangka
mungkin dapat diidentifikasikan dengan Bangka8.

Melalui sumber atau catatan perjalanan bangsa China ditemukan beberapa fakta yang
kiranya bisa menjadi bukti bahwa Bangka-Belitung sudah dikenal langsung sejak dari 1200an
Masehi. Mula-mula dijelaskan dalam buku 210 Sejarah Dinasti Yuan mencatat kisah pelayaran
armada Mongol yang dipimpin oleh Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing untuk menaklukan Jawa,
atas perintah kaisar Kubilai Khan pada tahun 1292. Pada bulan januari 1293, angin yang sangat
kuat mendamparkan mereka di sebuah pulau yang kemudian disebut Gou Lan/Kau-Lan
(Belitung). DI tempat ini mereka memperbaiki kapal-kapal yang rusak lalu meneruskan
perjalana ke Pulau Jawa. Sepulangnya dari Jawa, mereka singgah lagi di Kau-Lan dan
meninggalkan sekitar 100 orang tentara yang sakit, yang kemudian bermukim di pulau
ini. Lebih terperincinya lagi didapatkan dalam catatan Fei Hsin tahun 1436 M, dituliskan "Ma-
yi-tung (=Bangka) letaknya di sebelah barat Kau-lan (=Belitung) di Laut Selatan. Pulau ini
terdiri dari pegunungan yang tinggi dan dataran yang dipisahkan oleh sungaisungai kecil.
Udaranya agak hangat. Penduduk pulau tinggal di kampungkampung. Laki-laki dan wanita
rambutnya diikat, memakai kain panjang dan sarung yang berbeda warnanya. Ladangnya
sangat subur dan memproduksi lebih banyak dari negeri lain. Hasil dari pulau ini adalah
garam yang dipanen dari air laut yang diuapkan dan arak yang dibuat dari aren. Selain itu,

8
walau memang sumber sastra tidak dapat dijadikan acuan dasar setidaknya ada fakta bahwa sejak abad ke-7
disebutkan Sriwijaya sudah memiliki komoditas timah, melimpahnya timah di tanah Bangka-Belitung adalah
validasi atas sumber India dimana pada saat masa Kerajaan Sriwijaya pun Kepulauan Bangka-Belitung merupakan
wilayah kekuasaannya seperti apa yang dituliskan dalam prasasti Kota Kapur sebagai pulau yang sudah
berpenghuni. 1 Damais, L.C., 1995, “Agama Buddha di Indonesia”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara:
Pilihan karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 85

9
hasil yang diperoleh dari pulau ini adalah katun, lilin kuning, kulit penyu, buah pinang, dan
kain katun yang dihias dengan motif bunga. Barang-barang yang diimport dari tempat lain
adalah pot tembaga, besi tuangan, dan kain sutra dari berbagai warna".9

Catatan periode awal perkembangan Bangka-Belitung yang ditemukan dalam sumber-


sumber China ini bila kita interpretasikan adalah kaitannya dengan kerajaan Sriwijaya yang
terletak di sebrang pulau, melalui kajian O.W. Wolters para penjelajah mengenal pulau Bangka
layaknya patokan (Bukit Menumbing yang letaknya di sebelah Barat laut Pulau Bangka)
menuju Sriwijaya bahwa posisi mereka sudah dekat, diidentifikasikan melalui letaknya yang
berada pada mulut Sungai Musi (Sungai Upang) yang merupakan jalur lalu-lintas air dari dan
ke ibukota Śrīwijaya. Dengan berpedoman pada kenampakkan Bukit Menumbing para pelaut
sudah dapat memperkirakan berapa lama lagi mereka tiba di tempat tujuan10.

Roteiros atau Buku Panduan Laut Portugis, menyebutkan: "Berlayar dari baratlaut ke
tenggara, setelah melihat Monopim (=Menumbing) di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatra
sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran
harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut"11. Sedikit penggambaran
awal mula dikenalnya pulau Bangka-Belitung oleh bangsa Eropa sebagai petunjuk kedudukan
kapal oleh para pelaut, sama halnya dengan catatan China, dan mungkin memang sudah terjadi
tukar informasi pemetaan sederhana ini sehingga saling mengetahui satu sama lain.

Dalam melihat sejarah Nusantara tentu tak terlepas dari keadaan situasi dan kondisi
regionalnya, di era yang sudah memasuki Kesultanan Palembang diiringi juga datangnya
bangsa Eropa dengan tujuan awal mencari rempah-rempah yang kemudian berkembang seperti
yang kita kenal dengan kolonialisme. Awal Abad XV kebutuhan Eropa akan lada meningkat
tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di Nusantara,
menyebabkan Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) berlomba memonopoli, karena
harga dan permintaan terhadap komoditas lada sangat tinggi di Eropa. Selain itu, suplai lada di

9
Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta:
Bhratara, hlm. 79.

10
Pelaut-pelaut Tionghoa menggunakan Bukit Menumbing sebagai pedoman untuk memasuki daerah perairan
Musi. Dalam peta Mao K'un yang dibuat oleh Ma-huan pada sekitar awal abad ke-15, disebutkan nama Peng-chia
Shan (shan= gunung). Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s
Shore’ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes and
appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.
10
Manguin, P.Y., 1984, “Garis Pantai Sumatera di Selat Bangka: Sebuah Bukti Baru tentang Keadaan yang
Permanen pada Masa Sejarah”, dalam Amerta 8: 17-24. Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hlm. 18.

10
Eropa sering tidak lancar dan Portugis pada sekitar abad XVI yang mendominasi perdagangan
rempah–rempah dunia12. Dalam perkembangan Bangka-Belitung sebagai produsen lada putih
dunia tidak bisa dilepaskan dari komoditas tambang timah, dimana kedua komoditas ini
menjadi jantung perekonomian Kesultanan Palembang terus hingga kini.

Khususnya dalam perkembangan perkebunan lada putih itu sendiri sebetulnya merupakan
hasil dari politik Kesultanan Palembang dengan pihak kolonial Belanda melalui VOC, dimana
tingginya permintaan mendorong pemerintahan Kesultanan Palembang untuk membuka lahan
pula di Pulau Bangka-Belitung, pengetahuan sederhana geografis mengenai kesamaan
kedudukan dataran rendah antara Bangka-Belitung dengan wilayah Sumatra Selatan
menjadikan awal mula keputusan dibukanya lahan perkebunan lada putih di Bangka-Belitung
disamping pertambangan timah.

2.1.1 Cikal-Bakal Perkebunan Lada Putih Kepulauan Bangka-Belitung


Dalam menelusuri potensi lada putih Bangka-Belitung melalui Tarikh sejarah, tidaklah
dapat lepas dari Kesultanan Palembang, VOC, sampai masa kolonialisme sebagai
pemerintahan yang berdaulat di tanah Bangka-Belitung sejak abad 17-20an. Namun penting
untuk dipahami bahwa produktifnya perkebunan lada putih di Bangka-Belitung tidak terjadi
begitu saja, melainkan juga dikarenakan terdapatnya fondasi-fondasi yang menunjang
keberlangsungan perkebunan lada putih ini.

Awal mula terstrukturnya lahan perkebunan lada putih di Bangka-Belitung ialah pada masa
dimana VOC sudah mulai intervensi atau dalam kasus ini merujuk pada usaha monopoli
komoditas Kesultanan Palembang, ditegaskan bahwa tingginya harga lada dan kewajiban
menjualnya kepada Vereenigde Oost Indische Vompagnie (VOC) sesuai dengan kontrak yang
telah disetujui oleh penguasa Palembang, menyebabkan raja-raja Palembang mewajibkan
rakyatnya menanam lada di daerah uluan (terbesar di daerah Rawas), Bangka dan Belitung13.

Keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat politik menjadi lebih kuat
tatkala di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803). Selama memegang
tampuk kekuasaan, Sultan Muhammad Bahauddin I berhasil membangun armada laut untuk
mengamankan perdagangan maritim di jalur Selat Malaka dan menegakkan kekuasaan

11
Sehingga Portugis dapat memindahkan jalur distribusi lada di Eropa, tidak lagi melewati kota Antwerp di negeri
Belanda. Nawiyanto, Eko Crys Endrayadi, Op. Cit. Hlm. 75.

13
Walau masih dalam skala kecil, tetapi benih-benih perkebunan lada putih di Bangka-Belitung sudah ada sejak
era kesultanan Palembang yang pada masa itu produk lada didominasi daerah yang kini dikenal Jambi, Lampung,
Langkap (Medan). Ibid., hlm. 75.

11
Palembang atas Bangka dan Belitung. Sultan juga membangun benteng pertahanan di Muntok
(Berlokasi di Kepulauan Bangka-Belitung), serta melanjutkan pembangunan Kuto Besak yang
telah diawali oleh kakeknya, Sultan Mahmud Badaruddin I. Capaian lainnya adalah
diselesaikannya sengketa perbatasan dengan Lampung dan kerawanan-kerawanan yang sering
terjadi wilayah lalu lintas perdagangan dan penanaman lada14.

Pada masa Kesultanan Palembang, memang ada keharusan bagi penduduk untuk
membudidayakan tanaman tertentu yang diinginkan oleh penguasa kesultanan. Salah satu
tanaman penting yang diwajibkan bagi petani untuk menanam adalah lada. Hasil panen lada
yang diperoleh petani selanjutnya dijual kepada sultan dengan harga yang telah ditetapkan
sebagai ganti pajak yang harus mereka bayar (Supriyanto, 2013:58). Perlu dicatat bahwa di
Palembang berlaku pandangan tanah adalah milik sultan, sedangkan rakyat hanyalah penunggu
dan pengambil manfaat dari tanah milik sultan tersebut. Konsekuensinya, rakyat mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk membayar pajak terhadap sultan sebagai pemilik tanah
tanah yang sah15. Melalui mekanisme ini penguasa Palembang dapat mengumpulkan lada yang
sangat diminati pasar dan mendatangkan banyak keuntungan. Selain sebagai bentuk
pembayaran pajak, sebagian lada dilepas oleh petani kepada sultan melalui para pembantunya
untuk ditukar dengan barang-barang impor penting yang mereka perlukan seperti garam, bahan
pakaian, dan candu yang peredarannya dimonopoli oleh Sultan.

Melalui fakta-fakta diatas dapat dijelaskan kalau awal mula perkebunan lada putih di
Bangka-Bleitung merupakan hasil dorongan ekonomi Kesultanan Palembang yang diiringi
kebijakan-kebijakan bernafaskan monopoli, lebih-lebih datangnya VOC semakin menguatkan
alasan ini. Bangka-Belitung sejatinya ialah pulau singgah dan salah satu benteng keamanan
zaman Kesultanan Palembang yang lambat laun juga ikut andil dalam perekonomian secara
konstan yang awalnya hanya dalam sekala kecil sedari pemerintahan Sriwijaya menjadi lebih
terstruktur. Adapun komoditas lada putih khas Bangka-Belitung yang kemudian mendunia
ialah berawal dari berkembangnya Muntok sebagai kota Pelabuhan singgah yang ramai.

Hanafiah, Djohan dan Nanag S. Soetadji, “Jipang, Tempat Asal Pendiri Kesultanan Palembang-Sebuah
14

Laporan perjalanan”, dalam Djohan Hanafiah (ed). Perang Palembang Melawan VOC. Palembang: Pemerintah
Daerah Kotamadya Palembang, 1996. Hlm. 110-111.

15
Dalam masa ini kendali penuh masih berada di tangan Kesultanan, masyarakat belum memiliki andil besar atau
hanya sebatas pekerja kasar saja yang mengikuti kebijakan Kesultanan. De Roo de Faille, F. Dari Zaman
Kesultanan Palembang. Djakarta: Bhratara, 1971. Hlm. 41-42.

12
2.2 Muntok White Pepper (Lada putih Muntok Khas Bangka-Belitung)
Lada sendiri pada awalnya merupakan komoditas yang dikenal India Barat Daya yaitu di
Malabar. Secara Geografis wilayah yang memproduksi lada yang baik didominasi pada lahan
yang kering seperti Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Selatan. Meskipun banyak wilayah lain yang juga dapat bercocok tanam lada, seperti
wilayah pasang surut. Permintaan lada pada abad ke enam belas mengalami peningkatan yang
signifikan. Hal tersebut berimbas pada penyebaran komoditas lada di kepulauan Nusantara.
Pada abad ke- 17 sendiri terjadi peningkatan harga lada di India yang menyebabkan bangsa
asing mengarahkan tujuan perdagangan ke kepulauan Nusantara seperti Banten, Jawa,
Semenanjung Malaya, dan Sumantera.

Muntok White Pepper sendiri adalah buah hasil orang-orang pekerja tambang timah dari
China dan ikut sertanya pula peranan kolonialisme Belanda, walau memang benih-benih
perkebunan lada putih itu sendiri dalam penelusuran sudah ada sejak abad 17. Tak terlepas dari
pertambangan timah Bangka yang dalam realitanya sudah menjadi primadona kepulauan ini,
khususnya pada kurun 1880-1930 dimana kolonial Belanda membawa pekerja dari China
untuk area pertambangan timah, sebelumnya pun hal a dilakukan pihak kolonial Inggris
sehingga menambah populasi lebih lagi etnis tionghoa di Bangka-Belitung. Singkatnya,
terpengaruh dengan perkembangan zaman setelah beberapa dasawarsa berjalan, dimana sistem
pertambangan menunjukkan ke arah yang lebih modern yakni, dari yang semula manual atau
sepenuhnya tenaga manusia menjadi mekanik16.

Berkat ketekunan dan sifat pekerja keras orang Tionghoa serta pihak koloni Belanda yang
tetap mengupayakan adanya pemasukan lebih, menurunkan tim ahli Botani yang dipimpin
J,H Teysmann untuk menggalakkan tanaman lada di Bangka, Dalam pengembangan tanaman
lada di kawasan bekas penambangan bijih timah itu, tim Teijsmann melakukan seleksi bibit
unggul dan berinovasi menciptakan sistem junjung.17 Bersatunya pengembangan perkebunan
lada dibekali ilmu pengetahuan dan praktik yang konsisten oleh orang-orang Tionghoa ini

16
Mulai adanya perkembangan alat-alat tambang mesin dan lain sebagainya di sisi lain juga dari sektor pasar
timah sedang depresiasi atau anjlok, sehingga menyisakan Sebagian pekerja kasar etnis Tionghoa tambang timah
tadi kehilangan pekerjaanya. Mary Somers Heidhues, “Bangka Tin And Mentok Pepper: Chinese Settlement on
an Indonesian Island.” (Singapore: ISEAS, 2008) Hlm. 147-149.

17
Junjung merupakan tonggak kayu untuk merambatnya tanaman lada. Dimeter kayu sekitar 25 centimeter dengan
tinggi 2 hingga 3 meter. Junjung tanaman lada itu dipilih dari kayu yang kuat tahan lama dari jenis mendaru dalam
jumlah banyak. Satu junjung diperlukan untuk setiap pohon lada merambat. Yudiyanto.op. cit., hlm. 24-25.

13
menghasilkan suatu komoditas lada putih yang terspesialisasi. Sahang, yaitu sebutan lokal
masyarakat setempat yang artinya adalah merica atau lada ini mendapat nama Mentok White
Pepper dan menjadi trademark yang dikenal luas dunia luar adalah nama yang disematkan
oleh para pengimpor dan konsumen dari luar negeri18.

2.2.1 Muntok White Pepper Dalam Perspektif Kekinian


Berlandaskan kajian historis, nama lada putih ini menjadi nama jual pula di pasaran dunia.
Melihat suatu komoditas dagang, khususnya rempah-rempah pasti ada yang membedakan satu
dengan lainnya. Muntok White Pepper memiliki citarasa yang lebih pedas dan unik, aroma
khas, dan hingga kini dipertahankannya budidaya lada tanpa penggunaan pestisida berlebihan
yang sudah secara turun temurun di wariskan19. Dengan adanya pembelajaran dan kajian-kajian
dari ilmu sejarah ini tak salah bila cerita yang terkandung dari sebuah komoditas yang dalam
kasus ini lada putih Bangka-Belitung menjadi nilai jual lebih lagi.

Pemerintahan Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dengan bijaknya dalam urusan


keberlanjutan perkebunan Muntok White Pepper ialah dengan membuat Lembaga khusus
Kantor Pemasaran Bersama (KPB) Lada Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sudah
berdiri sejak 2004. Dimana lembaga ini memiliki peranan untuk melestarikan kualitas produksi
lada dari hulu ke hilir dengan total produk lada putih hingga 32.811,07 ton dalam 2018 dan
33.457,64 ton di 2020 (data Perkebunan Indonesia 2020). KPB dibentuk dengan melibatkan
para pemangku kepentingan terkait seperti Dinas Pertanian Babel, Disperindag Babel serta
lembaga swadaya masyarakat lainnya yang bertanggung jawab untuk menjaga kualitas lada
mulai dari prapenanaman hingga pascapanen. dengan adanya KPB Lada Babel ini, maka bursa
akan terbentuk dengan harga yang tinggi dan kestabilan dengan segera membentuk Dewan
Pengawas Harga Lada Babel20.

18
Pemberian nama merujuk pada kali pertama perkebunan Tionghoa ini berada dan dimana lada putih ini keluar
untuk di distribusikan dan dipasarkan yang adalah kota Pelabuhan Mentok, Bangka Barat. Mary Somers Heidhues,
op. cit., Hlm. 149

19
Dinas Pertanian Provinsi Bangka-Belitung, “Terbaik di Dunia, Lada Putih Bangka Dua Kali Lebih Pedas dari
Standar Internasional”. Diakses dari http://distan.babelprov.go.id/content/terbaik-di-dunia-lada-putih-bangka-
dua-kali-lebih-pedas-dari-standar-internasional pada 28 Desember 2020 Pukul 12.36.
20
Bahkan di akhir September mendatang, Pemprov Babel sudah bisa melakukan tes lab sebagai parameter
spesifikasi 'muntok white pepper' sendiri di laboratorium milik pemprov, dan yang lebih menarik ialah
pengembangan sistem Pasar Fisik PT JFX sebagai salah satu eksportir dan Demo Sistem Informasi Managemen
KPB Lada Babel. Ini menjadi pasar lelang komoditas lada berbasis IT pertama di Indonesia. Nona D.P.,
“Gubernur Erzaldi Lepas Ekspor 45.000 Kg Muntok White Pepper Ke Jepang”. Diakses Dari
https://babelprov.go.id/content/gubernur-erzaldi-lepas-ekspor-45000-kg-muntok-white-pepper-ke-jepang pada
28 Desember 2020 pukul 12.48.

14
Melihat sikap Pemprov Bangka-Belitung akan Muntok White Pepper dalam perspektif
kekinian sebagai komoditas unggulan sudahlah sangat bijak, bagaimana sebuah komoditas jual
yang spesifik dijadikan dasar dibentuknya suatu Lembaga dengan praktik yang sebetulnya juga
dikaitkan dengan tuntutan zaman yakni berbasis teknologi. Di sisi lain sifatnya memang
berlandaskan niatan ekonomi tetapi juga memberi angin segar dan harapan masyarakat,
utamanya petani lada putih Bangka-Belitung akan mata pencahariannya yang dimana layaknya
komoditas dagang lain pastilah memiliki kendala tertentu dan fluktuasi pasar yang dapat
menurunkan semangat aktor-aktor utama Muntok White Pepper ini.

2.3 Muntok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan Dalam Sejarah Hingga
Masa Kini
Lada putih Mentok sebagai komoditas yang terspesialisasi hingga sampai yang kita kenal
sekarang ini dalam perkembangannya mula-mula hanyalah lada putih biasa komoditas dagang
Kesultanan Palembang. Sebagai gambaran saja Menurut laporan De Sturler dalam kajiaannya
De Roo de Fail, sultan membeli lada dari rakyat seharga satu ringgit 83 Spanyol dan
menjualnya kepada VOC tujuh ringgit Spanyol. Kontrak Belanda dengan Sultan Palembang
pada tahun 1662 mengharuskan pihak kesultanan menyetorkan lada sebanyak 2.000 karung ke
VOC di Batavia21. Pada tahun 1661 Belanda menjual sebanyak 116 ribu karung lada di pasar
Eropa, yang dikumpulkan dari berbagai tempat di Hindia Belanda termasuk Banten, Aceh,
Jambi dan beberapa lokasi lainnya (Van Leur, 1960:170-171). Pada tahun 1773 Kesultanan
Palembang menjual lada sebanyak 6.721 pikul kepada pihak VOC. Volume penjualan lada
turun menjadi 4.141 pikul pada tahun 1774, namun meningkat kembali menjadi 6.105 pikul
pada tahun 177522.

Selanjutnya terkhusus pada komoditas lada putih Mentok yang diupayakan dan
dikembangkan abad 19-20 ini mencapai puncak keemasannya pada tahun 1920-an, tepatnya
1926 jumlah pohon lada mencapai 7 juta pohon, dengan lonjakan sampai 20 juta pohon di tahun
1931, sehingga menjadi titik awal salah satu komoditas Bangka-Belitung selain hasil tambang
timah23.

21
Hanafiah, Djohan. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995. Hlm. 65.
22
Hanafiah, Djohan. Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji
Masagung, 1989. Hlm. 112.
23
Eskpor lada Bangka-Belitung pada 1931 tercatat mencapai 12.000 ton, sedangkan total keseluruhan ekspor lada
Bangka-Belitung saat itu 14.000 ton, dan terulang Kembali pada tahun 1985 mencapai 11.000 ton dengan
pertimbangan kurs harga lada pasaran dunia senilai Rp 12.000 per kilogram disintyalir senilai mendekati angka
40 juta Dollar AS. Mary Somers Heidhues, Op. Cit., Hlm. 214.

15
Melalui data ini kiranya dapat diintepretasikan bahwasannya komoditas lada memanglah
produk yang fluktuatifnya berlangsung singkat dalam kurun waktunya, dalam artian
margin/selisih tinggi naik-turun nya permintaan dan tentunya harga terjadi di waktu yang
singkat, dapat dikatakan khususnya komoditas lada putih ini, menurut Mary Sommers dalam
karyanya Bangka Tin and Muntok Pepper ialah komoditas yang spekulatif.

2.3.1 Problematika Muntok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan


Pisau bedah dalam sub-bab ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, pertama melalui bedah
kendala yang berdasarkan teknis perkebunan lada putih Bangka-Belitung, dan selanjutnya
mengenai dinamika perdagangan atau ekonomis komoditas lada putih Bangka-Belitung.
Memang dalam realitanya kedua hal ini saling berkaitan dalam mewujudkan komoditas Muntok
White Pepper yang sekarang tersedia di pasaran.

Utamanya bila berbicara mengenai produktivitas suatu komoditas perkebunan tentulah


megenai areal tanam, Sampai tahun 2005, luas areal pertanaman lada Indonesia mencapai
211.364 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Dari luasan tersebut, 60.747 ha (+ 35%)
terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dengan lada putih sebagai produk
andalannya. Provinsi ini merupakan daerah penghasil lada putih terbesar Indonesia. Namun,
dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi Babel dalam produksi maupun areal tanam lada terus
menurun. Pada tahun 2001, luas areal pertanaman lada di Babel tercatat 64.572 ha, namun areal
tanam tersebut turun menjadi 45.834 ha pada tahun 2004, dan turun lagi menjadi 40.720 ha
pada tahun 2006 (Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi Bangka Belitung 2007). Dengan
demikian, selama 6 tahun terakhir luas areal pertanaman lada di Babel mengalami penurunan
rata-rata 7,40%/tahun, selanjutnya yang terpengaruh utama dalam berkurangnya areal tanam
ialah produksi lada, menurut data BPS Provinsi Bangka-Belitung tahun 2018, produktivitas
lada putih Bangka-Belitung pada tahun 2001 pada angka 63.694 Ton sedangkan pada tahun
2015 di angka 31. 408 dengan fluktuasi di tahun-tahun tersebut cenderung turun.

Bila dikaji setidaknya terdapat beberapa alasan teknis perkebunan lada putih Bangka-
Belitung surut produksi, pertama, hama dan penyakit, hama utama lada seperti penggerek
batang (Lophobaris piperis), pengisap bunga (Diconocoris hewitti), dan pengisap buah
(Dasynus piperis) ditemukan di Babel (Soetopo dan Suprapto 1996). Penyakit utama yang
menyerang pertanaman lada di Babel adalah penyakit kuning, dengan faktor penyebab yang
kompleks yakni asosiasi serangan nematoda (Radopholus similis dan Meloidogyne incognita),
Phytophthora capsica (Anandaraj 2005), Fusarium oxysporum (Duarte dan Chu 2005), dan

16
faktor tanah (Waard 1979). Tanaman lada yang terserang penyakit kuning memperlihatkan
pertumbuhan terhambat, daun menguning dan kaku namun tidak layu, selanjutnya, daun, buah,
dan cabang gugur sehingga tanaman menjadi gundul24. Kedua, yaitu efek samping
penambangan timah illegal, Sejak reformasi bergulir pada tahun 1997/1998, Pemerintah Pusat
dan Daerah agak melonggarkan peraturan atau ketentuan tentang penambangan timah. Kondisi
ini mendorong masyarakat Babel dan sekitarnya melakukan penambangan timah secara
tradisional karena kegiatan ini mampu memberikan pendapatan secara cepat. Akibatnya,
sebagian petani lada beralih ke usaha penambangan timah25.

Selanjutnya secara kajian ekonomi adalah fluktuasi harga Lada merupakan komoditas ekspor
sehingga fluktuasi harga di pasar internasional berpengaruh langsung terhadap harga lada di
dalam negeri. Ketika harga lada di tingkat petani rendah, banyak petani lada tidak mampu
merawat tanaman secara baik sehingga produktivitasnya menurun. Bahkan, sebagian petani
tidak lagi menanam lada atau mengurangi luas areal lada dengan beralih ke usaha tani
komoditas lain.26 Fluktuasi harga lada biasanya terjadi berselang 8−10 tahun sekali (Wahid
1996). Pada tahun 1998, harga lada putih mencapai angka tertinggi Rp56.000/kg, kemudian
turun hingga harga terendah Rp22.000/kg pada tahun 2006. Namun, sejak tahun 2007 harga
lada mulai meningkat menjadi sekitar Rp40.000/kg. Peningkatan harga lada pada tahun 2007
berkaitan erat dengan produksi lada dunia yang menurun sejak tahun 2004 (Vietnam Pepper
Association 2006). Nguyen (2006) melaporkan bahwa pada tahun 2003, total produksi lada
dunia mencapai angka tertinggi, yakni 364.000 ton. Namun, produksi tersebut turun menjadi
267.000 ton pada tahun 2004, dan turun lagi menjadi 263.000 ton pada tahun 2005. Pada tahun
2006, produksi lada dunia turun tajam menjadi hanya sekitar 220.000 ton. Indonesia mengalami
penurunan ekspor terbesar, dari 60.896 ton (2003) menjadi 46.260 ton (2004), dan turun lagi
menjadi 37.568 ton pada tahun 2005. Dan pengembangan komoditas lain, dimana provinsi
Bangka-Belitung juga hadir sebagai produsen kelapa, kelapa sawit, karet, dan lainnya.

24
Penyakit tanaman yang terus menjadi kendala lada putih Bangka sedari awal tanaman ini dikembangkan oleh
para pekerja Tionghoa dan masyarakat lokal sejak 1950-an, untuk itu masyarakat mensiasatinya dengan rotasi
lahan dengan komoditas lain berupa pohon karet secara berkala. Mary Somers Heidhues, Op. Cit., Hlm. 148.,
Lihat Pula Yudiyanto.op. cit., hlm. 40.
25
Sehingga usaha tani lada hanya sebagai usaha sampingan. Kondisi ini menyebabkan produksi dan produktivitas
lada makin menurun. Meski kebijakan tersebut telah dicabut, dampak yang ditimbulkan masih dirasakan sampai
sekarang. Kerusakan lingkungan akibat penambangan timah yang tidak terkendali. Usman Daras dan Pranowo,
Op. Cit. Hlm. 3.
26
Ibid., Hlm. 4.

17
2.3.2 Solusi Pendukung Potensi Mentok White Pepper Sebagai Komoditas Perdagangan
Menanggapi permasalahan atau kendala dalam keberlangsungan budidaya perkebunan lada
putih Bangka-Belitung, lebih-lebih terbuktinya terdapat masalah laten sejak berabad-abad lalu
seperti fluktuasi harga dan persaingan tidak sehat dengan pertambangan timah, mendorong
berbagai pihak untuk berupaya meminimalisir bahkan menyelesaikan kendala yang ada melalui
solusi-solusi dari latar belakang berbeda, yang kiranya mampu saling melengkapi satu dengan
lainnya sampai mendekati keadaan ideal.

Untuk membahas solusi-solusi yang kiranya dapat ditawarkan, perlu kita kesampingkan
dahulu terkait program kerja apa yang telah dilaksanakan dan bagaimana praktiknya, agar
pemaparan dapat lebih lugas tersampaikan tanpa adanya interupsi. Kendala yang ada nyatanya
adalah masalah laten yang sudah ada sejak dari masa-masa sebelumnya bahkan dari awal
dikembang biakannya lada putih di Bangka-Belitung.

Untuk itu perlu adanya upaya pembagian perwilayahan komoditas, agar tidak saling
menekan satu sama lain, tujuan lainnya tentu keberlanjutan lingkungan diperlukan demi
menunjang kegiatan perkebunan atau pertambangan serta sektor lainnya dalam jangka waktu
yang Panjang, tidak berotasi lahan, tidak menggunakan bekas lahan yang sudah tidak subur,
dan tentu memudahkan upaya konservasi nya. Upaya selanjutnya adalah peningkatan ragam
usaha tani yang bisa dilakukan, lain daripada penanaman komoditas lain oleh petani sebagai
opsi pilihan selain lada yang merupakan komoditas spekulatif, tentu perlu adanya ragam usaha
tani berupa hasil produk olahan berbasis lada putih ini. Untuk itu Kelola tata niaga perlu
ditingkatkan lagi, khususnya pasar domestik Menurut Vietnam Pepper Association (2006),
tingkat konsumsi lada Indonesia hanya sekitar 23,80%, jauh lebih rendah dibanding India
(55%) dan Cina yang mencapai 79,80%. Oleh karena itu, dengan jumlah penduduk sekitar 230
juta orang dan berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan yang makin berkembang,
Indonesia merupakan pasar lada yang potensial yang selama ini kurang diperhatikan. Yang
terakhir dalam menunjang praktiknya ialah mengoptimalkan fasilitas modal dan kelembagaan
perkebunan lada putih Mentok.

2.4 Mentok White Pepper (Lada Putih Muntok Bangka-Belitung) Sebagai Identitas
Melalui penelusuran sejarah ini kiranya dapat dimaknai satu hal, bahwa kebelangsungan
Kepulauan Bangka-Belitung dapat berdiri hingga saat ini, bahkan telah menjadi provinsi yang
bediri sendiri adalah berkat integrasi berbagai suku, agama, ras, dan golongan dan juga tak lupa
rentetan peristiwa yang membawa dan mengisi scenario Bangka-Belitung dapat menjadi pionir

18
produsen timah dan lada putih terbesar dunia. Di dalamnya terdapatlah komoditas unggulan
Mentok White Pepper ini.

Tanaman lada putih yang mulanya tidak pernah menjadi komoditas utama Bangka-Belitung,
lalu kemudian menjadi komoditas paksaan, sampai titik dimana menjadi salah satu ikon
Provinsi Bangka-Beltung adalah sebuah dinamika yang mengikutsertakan berbagai kalangan
dan cerita didalamnya. Tak dipungkiri juga komoditas ini membantu masyarakat asli untuk
berkulturasi dengan masyarakat Tionghoa. Sehingga dapat dikatakan komoditas Mentok White
Pepper adalah wajah baru atau salah satu identitas Bangka-Belitung selain timah.

Komoditas ini telah memberikan warna dalam perkembangan ekonomi masyarakat Bangka-
Belitung, bahkan lebih dalam daripada itu, mengandung nilai budaya, nilai eksakta akan cara
budidaya dan hasilnya, dan tak kalah penting nilai historis sebagai pengingat perjuangan keras
serta kejayaan Kepulauan Bangka-Belitung guna motivasi untuk terus mempertahankan dan
mengembangkannya kelak.

19
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yang kuat antara
sejarahnya dengan keadaan terkini komoditas Mentok White Pepper, mulai dari kendala teknis,
tata niaga atau perdagangannya, sampai pada nilai-nilai positifnya hingga kini seperti salah
satu komoditas yang menyatukan etnis Tionghoa dengan asli lokal selain timah. Agar
terciptanya perkebunan lada putih Bangka-Belitung yang berkelanjutan dalam kasus ini
menanggapi problematika yang sifatnya sudah laten, antara lain dengan pembagian wilayah
komoditas, ragam usaha tani, optimalisasi tata Kelola niaga, dan optimalisasi permodalan dan
kelembagaan khusus komoditas lada putih Mentok. Adapun lada putih Mentok dalam
penelusuran sejarah memaknai bahwasannya seburuk apapun situasi dan kondisi, selama kita
sebagai manusia yang berakal dan berhati nurani untuk tetap menanggapinya dengan pikiran
positif dan sungguh-sungguh akan harapan pasti selalu ada dan kelak membuahkan hasil yang
sepadan. Layaknya perkebunan lada putih ini, dari sebuah komoditas paksaan terus
berkembang menjadi komoditas kebanggaan, lada putih Mentok sudah sewajarnya terus
dilestarikan.

3.2 Saran
Terkait dengan pemaparan materi lada putih Mentok diatas, kendala lain yang cukup kompleks
dan berkelanjutan ialah mengenai penyakit kuning tanaman yang sudah mewabah sejak lama
di komoditas lada putih Mentok, untuk itu perlunya studi kasus lebih lanjut akan hal ini yang
terspesialisasi dalam kerangka hama dan penyakit tanaman, agar solusi tepat sasaran sehingga
lebih efektif dan efisien. Dengan ini pula penulis mengharapkan sejarah mengenai
perkembangan lada putih Mentok serta segala dinamikanya hingga dapat menjadi salah satu
pemasok lada putih dunia, kiranya dapat memupuk kesadaran dan kebanggaan komoditas lada
putih Mentok khas Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung sebagai suatu upaya integrasi juga
didalamnya berasaskan kesamaan identitas ini.

20
DAFTAR PUSTAKA
Amerta. 1984. Berkala Arkeologi: Sumatra. Jakarta:Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

BPS, 2020. “Nilai Tukar Petani per 2020”.

C.L., Damais., 1995, “Agama Buddha di Indonesia”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara:
Pilihan karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

D.P., Nona. 2020. “Gubernur Erzaldi Lepas Ekspor 45.000 Kg Muntok White Pepper Ke
Jepang”. Diakses Dari https://babelprov.go.id/content/gubernur-erzaldi-lepas-ekspor-45000-
kg-muntok-white-pepper-ke-jepang pada 28 Desember 2020 pukul 12.48.

De Roo de Faille, F. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Djakarta: Bhratara, 1971.

Dinas Pertanian Provinsi Bangka-Belitung. 2020. “Terbaik di Dunia, Lada Putih Bangka Dua
Kali Lebih Pedas dari Standar Internasional”. Diakses dari
http://distan.babelprov.go.id/content/terbaik-di-dunia-lada-putih-bangka-dua-kali-lebih-
pedas-dari-standar-internasional pada 28 Desember 2020 Pukul 12.36.

Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese
Sources. Djakarta: Bhratara.

Hanafiah, Djohan dan Nanag S. Soetadji. 1996. “Jipang, Tempat Asal Pendiri Kesultanan
Palembang-Sebuah Laporan perjalanan”, dalam Djohan Hanafiah (ed). Perang Palembang
Melawan VOC. Palembang: Pemerintah Daerah Kotamadya Palembang.

Hanafiah, Djohan. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Hanafiah, Djohan. 1989. Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan


Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.

Heidhues, Mary Somers. 2008. “Bangka Tin And Mentok Pepper: Chinese Settlement on an
Indonesian Island.”. Singapore: ISEAS.

Nawiyanto, Endrayadi, Eco Kris. 2016. Kesultanan Palembang Darussalam: Sejarah dan
Warisan Budaya, Jember: Jember University Press.

Mansyur Syahruddin. 2011. Jejak Tata Niaga Rempah – Rempah Dalam Jaringan
Perdagangan Masa Kolonial Di Maluku, volume 7, Nomor 13. Ambon : Balai Arkeologi.

21
Marihandono Djoko dan Kanumoyoso Bondan. 2015. Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika
Masyarakat Kepulauan Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jendral
Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shore’
(1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes
and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.

Musyafak, Achmad. 2020. “Ekspor Pertanian Periode Agustus 2020” Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.

Usmar, Dawas dan Pranowo. 2009. “KONDISI KRITIS LADA PUTIH BANGKA BELITUNG
DAN ALTERNATIF PEMULIHANNYA”, Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 28 No. (1), Hal. 1-6.

Utomo, Bambang Budi. 2014. “Bangka Belitung Dalam Lintas Niaga”. Jakarta: Kemdikbud.

Yudiyanto. 2016. Tanaman Lada Dalam Perspektif Autekologi. Bandar Lampung: AURA.

22

Anda mungkin juga menyukai