Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN

KULIAH KERJA LAPANG 3

DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA PULAU BELITONG

DEPARTEMEN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
MEI, 2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian kami dengan tema
Dinamika Sosial dan Budaya Pulau Belitung. Penulisan ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat tugas matakuliah Kuliah Kerja Lapang 3 yang dilaksanakan pada
bulan April tahun 2017 di Pulau Belitung tepatnya di Kabupaten Belitung dan Belitung
Timur.

Kami menyadari bahwa dalam menyelesaikan laporan ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan berbagai pihak sejak awal perkuliahan, survei lapang, hingga sampai laporan
ini selesai. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1) Dr. Hafid Setiadi, S.Si., M.T., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan laporan
ini.
2) Fathia Hasilah, S.Si., selaku asisten dosen yang telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk berdiskusi dengan kami dalam penyusunan laporan ini.
3) Pemerintah Kabupaten Belitung dan Belitung Timur, yang telah membantu dalam
survey lapang dan atas data-data yang diberikan.
4) Teman-teman Geografi UI 2014 atas segala doa, dukungan, semangat, dan
bantuan hingga laporan ini dapat terselesaikan.

Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Depok, 17 Mei 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........ 1

1.2 Rumusan Masalah........... 1

1.3 Pertanyaan Penelitian.. 2

1.4 Batasan Penelitian... 2

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................... 4

2.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian................................................................................. 4

2.2 Implikasi Dinamika Sosial dan Budaya dengan Pariwisata................................................ 5

2.3 Implikasi Pariwisata terhadap Perkonomian dan Perkembangan Kota............................... 6

BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................... 9

3. 1 Potensi Pariwisata Pulau Belitong...................................................................................... 9

3.2 Pusat Kota diwarnai oleh Aktivitas Pariwisata................................................................. 10

3.3 Pemanfaatan Lahan di Daerah Perkotaan.......................................................................... 11

3.4 Pariwisata dan Perubahan Sosial Budaya.......................................................................... 16

3.5 Pariwisata Berbasis Masyarakat........................................................................................ 19

3.6 Geopark sebagai Pariwisata Berkelanjutan Pulau Belitung.............................................. 23

BAB IV: KESIMPULAN..................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belitung dahulu dikenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia. John Francois
London yang merupakan orang kepercayaan Prins Hendrik menjadi penemu sekaligus
perintis penambangan timah Belanda di Belitung pada tahun 1851. Pada tanggal 23 Maret
1852, Belitung mendapat konsensi penambangan timah yang terpisah dari Bangka. Konsensi
ini menandai penambangan timah secara modern pada tingkat terorganisir di Belitung dengan
bantuan kuli-kuli tambang Tionghoa (xinke), timah pertama kali ditambang di sungai Siburik
dan Air Lesung.
Pentingnya penambangan timah bagi masyarakat Belitung digambarkan dengan jelas
dalam Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, baik dalam adaptasi filmnya pada tahun 2008
yang disutradarai oleh Riri Riza dan terutama dalam novelnya yang pertama kali dicetak pada
tahun 2005. Dengan menurunnya jumlah produksi timah dewasa ini sehingga tidak dapat lagi
dijadikan sebagai pendapatan utama bagi pemerintah daerah, Laskar Pelangi seolah-olah
menyingkap eksotika alam terutama pantai di Belitung dan menjadi pemicu bagi sektor
pariwisata untuk menjadi salah satu sektor unggulan, disamping kelautan dan perikanan, serta
perhubungan.
Berkembangnya sektor pariwisata setelah Laskar Pelangi dapat dilihat dari jumlah
wisatawan di Belitung yang melonjak dari 32.036 orang pada tahun 2007 menjadi 251.440
orang pada tahun 2015 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung). Peningkatan jumlah
wisatawan ini juga menyebabkan Peningkatan jumlah hotel di Belitung. Berdasarkan data
BPS pada tahun 2007, sebelum Laskar Pelangi diadaptasi menjadi sebuah film, hanya
terdapat 12 hotel dengan 193 kamar. Jumlah tersebut terus meningkat hingga tahun 2015
dimana terdapat 40 hotel/penginapan dengan 1.298 kamar. Hal yang sama juga terjadi dalam
jumlah pengunjung, yang pada tahun 2007 terdapat 18.305 wisatawan menjadi 251.440
wisatawan pada tahun 2015.

1.2 Rumusan Masalah


Pulau Belitung terdiri dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Belitung dan Kabupaten
Belitung Timur. Pulau ini telah menjadi destinasi pariwisata para wisatawan lokal maupun
global, pergerseran terhadap kebudayaan dan nilai nilai sosial di pulau ini tentu terjadi, begitu

1
pula dengan persepsi masyarakat yang tinggal disana, mereka akan membentuk aktivitas yang
bertujuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan mereka, dalam penelitian ini,
pergerakan dari kebudayaan dan nilai sosial tersebut akan dibahas melalui penggambaran
dengan menggunakan peta dan deskripsi mengenai dinamika sosial budaya masyarakat
Pulau Belitung, dinamika sosial budaya ini terlihat dari adanya perubahan dan keunikan
dari kebudayaan masyarakat pulau belitung, keberadaan pariwisata sebagai pemicu
dinamika, munculnya sebuah dinamika perkotaan, dan adanya kegiatan ekonomi yang
yang mendukung aktivitas pada pulau ini, sehingga tujuan dari penelitian ini untuk
menganalisis dinamika kegiatan sosial dan kebudayaan masyarakat Pulau Belitung yang
terdiri dari, dinamika perkotaan, pariwisata, kebudayaan, dan kegiatan ekonomi.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana variasi gejala sosial budaya di Pulau Belitung?
2. Bagaimana pola spasial dari gejala sosial budaya tersebut?
3. Bagaimana keterkaitan antar gejala sosial budaya tersebut?

1.4 Batasan Penelitian


1. Pulau Belitung dalam penelitian ini merujuk pada dua kabupaten yaitu kabupaten
Belitung dan Kabupaten Belitung Timur.
2. Dinamika Sosial budaya pada penelitian ini tidak hanya mencakup nilai sosial dan
budaya saja, namun juga mencakup sistem perkotaan, aktivitas ekonomi, dan juga
kegiatan pariwisata.
3. Aktivitas masyarakat adalah kegiatan dominan yang dilakukan sekelompok
masyarakat pada suatu wilayah, sifat dari kegiatan ini adalah homogen.
4. Industri adalah aktivitas masyarakat dalam menghasilkan suatu produk atau
menambah nilai dari suatu produk.
5. Perdagangan adalah aktivitas masyarakat yang mengaitkan dua subjek atau lebih,
yang menimbulkan sebuah aktivitas ekonomi pada suatu wilayah.
6. Kota dalam penelitian ini merupakan kawasan perkotaan, yang berarti kota bukan
pada batas administrasi, melainkan kota sebagai fungsi.
7. Infrastruktur pada penelitian ini adalah fasilitas umum atau pendukung yang ada
pada suatu wilayah, yang sifatnya menunjang keberlangsungan sosial ekonomi
pada wilayah tersebut.

2
8. Fasilitas pendukung adalah fasilitas-fasilitas yang ada pada sebuah wilayah, biasa
dibuat oleh pemerintah, bersifat khusus, tidak bisa dipakai secara umum, karena
bisa bersifat internal atau hanya orang terlibat yang boleh menggunakan fasilitas
ini.
9. Fasilitas umum adalah fasilitas-fasilitas yang ada pada sebuah wilayah, biasanya
dibuat oleh pemerintah, bersifat umum atau bisa dipakai khalayak ramai untuk
menunjang kebutuhan hidup mereka.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Pulau Belitong, terbagi menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Belitung dan
Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung terdiri dari lima kecamatan yaitu, Kecamatan
Tanjungpandan, Kecamatan Membalong Kecamatan Sijuk, Kecamatan Badau, dan
Kecamatan Selat Nasik, dengan total luas daratan 229,369 Ha. Jumlah penduduk Kabupaten
Belitung pada tahun 2015 adalah 175.048. Kecamatan Tanjungpandan sebagai ibukota
kabupaten dan pusat kegiatan ekonomi membuat mayoritas penduduk Kabupaten Belitung
berada di Kecamatan Tanjungpandan dengan kepadatan penduduk yang paling tinggi di
Kabupaten Belitung.
Kabupaten lain yang berada di Pulau Belitung yaitu Kabupaten Belitung Timur. Luas
daratan Kabupaten Belitung Timur yaitu 250,6 Ha dan terbagi atas 7 wilayah kecamatan yaitu
Kecamatan Dendang, Kecamatan Simpang Pesak, Kecamatan Gantung, Kecamatan Simpang
Renggiang, Kecamatan Manggar, Kecamatan Damar dan Kecamatan Kelapa Kampit. Jumlah
penduduk di Kabupaten Belitung Timur yaitu 119.394 penduduk, dimana 30% dari jumlah
penduduk berada di Kecamatan Manggar, sebagai ibukota Kabupaten.

Gambar 2.1 Peta kepadatan penduduk Pulau Belitong


Kabupaten Belitung Timur merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Belitung pada
tahun 2003. Pemekaran daerah merupakan aspirasi masyarakat untuk kemajuan daerah

4
sendiri dan bagaimana daerah otonom baru mempunyai kewenangannya sendiri untuk
mengurus pemerintahan agar rentang kendali dapat mempercepat proses pembangunan di
daerah yang dimekarkan, secara otomatis pemekaran tersebut adalah semata-mata untuk
kesejahteraan masyarakat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan pemekaran juga
tidak terlepas dari isu politik yang ada.
Dampak dari suatu pemekaran adalah dapat menimbulkan hubungan berupa kerja
sama maupun persaingan, termasuk dalam menonjolkan pariwisata. Kabupaten Belitung
unggul dalam pariwisata alam seperti pantai Tanjung Tinggi hingga Pulau Lengkuas,
sedangkan Kabupaten Belitung Timur lebih terkenal akan pariwisata budaya, seperti tradisi
buang jong, dan juga wisata laskar pelangi. Disamping itu, interaksi antara kedua kabupaten
ini juga dapat terlihat dari penggunaan fasilitas bersama, contohnya adalah bandara. Bandara
dalam hal ini berperan sebagai gerbang pertama bagi para wisatawan berada di Kabupaten
Belitung, namun jarak antara kedua kabupaten yang tidak terlalu jauh menyebabkan peluang
dan kemudahan terjadinya interaksi.

2.2 Implikasi Dinamika Sosial dan Budaya dengan Pariwisata


Pariwisata merupakan komersialisasi nilai-nilai budaya dengan tujuan mengeruk
keuntungan yang besar. Pemikiran itu dikemukakan oleh Spillane (1994:28) yang
digolongkan dalam pendekatan Cauntionary, yaitu menganggap bahwa pariwisata
menyebabkan berbagai macam konflik. Pandangan ini tidak dapat disalahkan karena pada
dasarnya budaya dan pariwisata itu sering dianggap dua aktivitas yang penuh dengan konflik,
disatu sisi karena adanya kepercayaan bahwa budaya bersifat tradisional, sedangkan disisi
lain, pariwisata relatif dianggap lebih modern dan dinamis. Ketentuan ini muncul karena
dengan adanya kegiatan pariwisata yang menyebabkan perubahan nilai-nilai asli budaya
suatu bangsa, dengan adanya kedatangan pengaruh budaya asing yang dibawa oleh
wisatawan. Peranan masyarakat yang rendah menyebabkan mereka cenderung tidak punya
inisiatif karena lebih ditempatkan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Sebagai akibatnya,
adat-istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma menjadi semakin terkikis. Ritual-ritual suci
menjadi semakin dangkal dan pertunjukan-pertunjukan seni semakin tidak berjiwa.
Masyarakat menjadi apatis dan kesejahteraan mereka pun tidak mengalami perbaikan. Hal
tersebut memberikan gambaran bahwa pengaruh pariwisata cukup signifikan terhadap
masyarakat setempat dan yang kemudian perlu disadari adalah bahwa kebudayaan merupakan
sesuatu yang secara internal terdiferensiasi, aktif, dan selalu berubah.

5
Gambar 2.2 Tabel Orientasi Nilai Budaya (Pelly dalam Nizuar, 2013)

Dalam implementasinya, perubahan nilai-nilai budaya cenderung terjadi pada


masyarakat yang bersifat terbuka dan dalam hal ini memiliki tingkat heterogenitas yang
tinggi. Seperti dalam Tabel 1.1, maka perubahan sosial budaya cenderung terjadi pada
masyarakat yang bersifat transisi atau progresif, tidak dalam masyarakat konservatif. Hal
tersebut dikarenakan masyarakat yang bersifat konservatif memiliki orientasi ke masa lalu
dan hubungan antara sesama manusia yang bersifat vertikal, sehingga menyebabkan
masyarakat ini cenderung tertutup terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Berbeda
dengan masyarakat yang bersifat transisi atau progresif yang sudah berorientasi ke masa kini
dan masa depan dan memiliki hubungan antara sesama manusia yang bersifat horizontal,
sehingga perubahan-perubahan dapat lebih mudah terjadi dan dapat bersifat individual.

2.3 Implikasi Pariwisata terhadap Perkonomian dan Perkembangan Kota


Pariwisata memiliki beberapa definisi yang dikemukakan oleh parah ahli maupun
lembaga baik secara umum maupun khusus. Pariwisata merupakan perpindahan orang untuk
sementara (dan) dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat mereka biasanya
hidup dan bekerja, dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-tempat tujuan
tersebut (A.J. Burkart dan S. Medlik dalam Arraziyati, 2008). Menurut Mc. Intosh dan
Goldner dalam Mardanti (2011), pariwisata adalah gabungan dari berbagai fenomena dan
hubungan yang terkait dan tercipta dari interaksi antara wisatawan, penyedia bisnis,
pemerintah setempat dan penduduk lokal dalam proses menghibur dan menyambut para

6
wisatawan dan para pendatang lainnya. Pariwisata juga didefinisikan sebagai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan pengusahaan objek dan daya tarik wisata,
usaha sarana wisata, usaha jasa pariwisata, serta usaha-usaha lain yang terkait (Undang-
Undang No. 9 Tahun 1990 dalam Arraziyati, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan, dapat diambil kesimpulan
pariwisata merupakan aktivitas perpindahan orang menuju suatu destinasi di luar kegiatan
rutin yang menyebabkan terjadinya interaksi antar orang tersebut atau wisatawan dengan
wilayah tujuan mereka baik secara fisik maupun sosial. Dampak fisik maupun sosial dari
pariwasata dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan suatu wilayah yaitu perekonomian,
sosial, serta budaya (Tashadi dalam Surwiyanta, 2003). Dampak-dampak dari pariwisata ini
dapat ditinjau dari dua sisi yaitu positif dan negatif.
Pariwisata yang menimbulkan dampak positif dilihat dari sudut pandang
perekonomian yaitu tumbuhnya lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat di Pulau Belitung,
dengan tingginya wisatawan yang datang maka semakin banyak masyarakat yang dapat
memanfaatkan kedatangan wisatawan dengan cara menjadi tour guide, penyewa perahu
untuk menyeberang ke pulau-pulau yang ada di sekitar Pulau Belitung, berdagang makanan
dan minuman, serta menyewakan kendaraan pribadi untuk wisatawan contohnya adalah
motor dan mobil, karena di Pulau Belitung kurang memadai dalam hal transportasi. Disisi
lain, pariwisata juga menimbulkan dampak negatif jika dilihat dari sudut pandang sosial
contohnya yaitu lunturnya budaya-budaya yang ada pada masyarakat lokal (bahasa,
kebiasaan, dan lain-lain). Dampak negatif juga sangat terlihat pada bentang alam karena
semakin banyak wisatawan datang dan tidak adanya aturan yang jelas serta pengelolaan
mengenai pemeliharaan alam maka semakin tinggi kerentanan lingkungan wisata, karena
sebagian besar di Pulau Belitung wisatanya adalah pantai yang merupakan wisata alam.
Selain berdampak pada perekonomian, pariwisata juga berpengaruh pada
perkembangan kota. Terdapat beberapa pengertian dari kota tergantung atas sudut pandang
dan pendekatan yang digunakan dalam mendefinisikannya. Menurut Irawan dalam Kabupung
(2012), kota merupakan suatu areal dimana terdapat atau menjadi pemusatan penduduk
dengan kegiatannya dan merupakan tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktivitas
perekonomian (seperti industri, perdagangan dan jasa). Kota pada hakekatnya merupakan
pemukiman dimana perbedaan jenis pemukiman kota dengan pemukiman desa terlihat dari
ukuran dari pemukiman tersebut (Sandy dalam Ardityo, 2009). Kota juga didefinisikan
sebagai suatu pemusatan penduduk di suatu daerah yang memiliki gaya hidup dan pola
tenaga kerja yang beragam (Hartshorn dalam Ardityo, 2009).

7
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, secara umum kota dapat
didefinisikan sebagai suatu wilayah di mana terjadi pemusatan penduduk dan membentuk
berbagai kegiatan termasuk di dalamnya pemukiman, perekonomian, serta adanya gaya hidup
atau sosial budaya yang beragam. Menurut Ardityo (2009), kota dapat berkembang dan
tumbuh seiring berjalannya waktu dengan dipengaruhi pertambahan jumlah penduduk,
perkembangan kegiatan, serta perubahan sosial budaya. Faktor inilah yang kemudian akan
membentuk struktur kota yang unik pada masing-masing kota.

8
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3. 1 Potensi Pariwisata Pulau Belitong


Pulau Belitong memiliki daya tarik dan potensi pariwisata yang melimpah. Baik
Kabupaten Belitung dan Belitung timur memiliki atraksi pariwisata masing-masing yang
menarik untuk dikunjungi. Kabupaten Belitung Timur lebih dikenal akan pariwisata sejarah
dan budaya, seperti masyarakat Suku Sawang dan tradisi Buang Jong, wisata laskar pelangi,
rumah Ahok, dan beberapa klenteng yang menjadi objek wisata. Sedangkan Kabupaten
Belitung dianugerahi bentang alam yang indah seperti pantai berpasir putih nan cantik dengan
terumbu karang yang masih asli, pulau-pulau kecil yang menawarkan pelepas penat dari
rutinitas sehari-hari, serta beragam keunikan budaya lokal yang menghiasinya.
Daya tarik pantai di Kabupaten Belitung rata-rata dihiasi oleh berbagai formasi
bebatuan besar dan kecil yang beranekaragam. Pemandangan seperti ini membuat decak
kagum bagi wisatawan yang mengunjunginya. Jenis wisata yang ditawarkan pun beragam,
dari wisata alam yang menghadirkan pemandangan bawah laut, wisata sejarah, seperti Tugu
Batu Satam, Museum Tanjung Pandan, dan Rumah Adat Belitung.
Belitung memiliki sebuah rumah adat yang berbentuk rumah panggung. Rumah yang
merupakan rekonstruksi dari rumah gede ini sebagian besar ornamennya terbuat dari kayu.
Rumah asri yang menjadi kebanggaan masyarakat Negeri Laskar Pelangi dibangun di atas
tanah seluas kurang lebih 500 meter persegi. Rumah adat Belitung ini terletak di Kota
Tanjung Pandan. Tepatnya di Jalan Ahmad Yani, persis di samping Kantor Bupati Belitung.
Museum Tanjung pandan ini semula bernama Museum Geologi Museum Tanjung Pandan ini
menempati bangunan tua bekas kantor NV Billiton Maatschappij, yang juga pernah dijadikan
tempat tinggal oleh Kepala Penambangan Timah Belitung pada jaman Belanda. Di Museum
tanjung pandan ini menyimpan koleksi berbagai jenis keramik tua dari Cina.

Gambar 3.2: Foto pariwisata sejarah yang berada di Kabupaten Tanjung Pandan (sumber: Nuritayani, 2017)
Geliat pertumbuhan pariwisata di Kabupaten Belitung semakin meningkat seiring
dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan. Dikenal

9
sebagai daerah penghasil timah, Pemerintah Kabupaten Belitung menjadikan pengembangan
sektor pariwisata yang berwawasan lingkungan sebagai salah satu ujung tombak
pembangunan pasca menurunnya kontribusi timah dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya fasilitas yang sangat menunjang wisatawannya,
dimana sebagai contoh di Kota Tanjung Pandan terdapat 428 industri pangan, lalu terdapat 18
industri kerajinan dan terdapat 36 hotel/losmen dengan diantaranya 9 merupakan hotel
berbintang, 26 hotel non bintang dan 1 villa dengan jumlah kamar 1.244.
Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa Kota Tanjung Pandan merupakan
pusat fasilitas sekunder yang ada di Belitung karena pola yang terlihat pada malam hari di
Kecamatan Tanjung Pandan akan ramai dengan wisatawan yang mencari makanan ataupun
kembali ke penginapan mereka karena siang harinya wisatawan mengunjungi objek wisata
selain di Tanjung Pandan. Sehingga fasilitas sekunder yang ada di Kecamatan Tanjung
Pandan sangat berpengaruh terhadap perekonomian dan pariwisata yang ada di Kabupaten
Belitung khususnya Kecamatan Tanjung Pandan.

3.2 Pusat Kota diwarnai oleh Aktivitas Pariwisata


Kota Tanjung Pandan merupakan tujuan populer untuk berwisata ada banyak hal yang
dapat dilihat maupun dilakukan. Di sekitar Tanjung Pandan ada beberapa objek wisata
terkenal seperti pantai Tanjungpendam, Danau Keramik dan Danau Kaolin. Pusat Kota
dianggap identik dengan promosi sebuah tempat. Komersialisasi tempat terfokus pada
kombinasi yang cocok antara sebuah fitur dan jasa dimana dapat menarik para konsumen
untuk membeli produk dan jasa yang secara efisien dapat diakses, dan merupakan ajang
dalam mempromosikan atribut dan citra dari sebuah lokasi.
Kabupaten Belitung, terutama dalam pembahasan ini adalah Kota Tanjungpandan
memiliki banyak potensi pertambangan sejak zaman dahulu. Namun saat ini sudah tidak
dikembangkan. Dengan semakin santernya isu mengenai kerusakan lingkungan sebagai
dampak aktivitas pertambangan, izin penambangan juga semakin diperketat. Beberapa
regulasi yang berhubungan dengan kegiatan penambangan yang ada semakin membatasi
ruang gerak penambang inkonvensional maupun penambang berskala besar. Hal ini
berdampak pada turunnya produksi hasil tambang baik pada pertambangan berskala besar
maupun pertambangan oleh rakyat lagi. Maka, pertambangan tidak dapat lagi dijadikan
sebagai pendapatan utama bagi pemerintah daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung
terus bekerja keras untuk menggali potensi potensi Belitung guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakatnya. Salah satunya adalah potensi pariwisatanya.

10
Kegiatan tambang hampir semuanya meninggalkan lahan-lahan terbuka berupa
kolong, yaitu lahan bekas pertambangan yang berbentuk cekungan danau. Seiring dengan
perkembangan dan kondisi lingkungan serta arah pembangunan maka sekarang pemerintah
daerah beserta lembaga dan instansi terkait berusaha untuk melakukan pengamanan dan
perlindungan terhadap kawasan tersebut. Beberapa dari kolong-kolong bekas tambang di
Kota Tanjungpandan ini sudah ada beberapa yang dijadikan lokasi pariwisata, yaitu Danau
Kaolin, Kolong Keramik, dan Jevanya Taman Wisata dan Resto.

Gambar 3.3. Objek-objek wisata bekas tambang di Kota Tanjung Pandan (Auliani, 2017)

Walaupun masih banyak juga kolong-kolong bekas tambang yang dibiarkan begitu
saja. Objek-objek wisata ini sudah tidak lagi berbentuk cekungan danau bekas kerukan tanah
yang terbengkalai. Mereka sudah bertransformasi menjadi suatu objek wisata yang
menjanjikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kolong memiliki potensi pariwisata
untuk dikembangkan. Berbeda dengan tambang timah, pada kolong bekas tambang kaolin
yaitu Danau Kaolin, aktivitas pertambangan masih berjalan seperti biasa. Namun hal itu tidak
menghalangi para wisatawan yang datang untuk sekedar berfoto ria. Objek-objek wisata
bekas tambang ini berada di pusat kota dan pinggiran kota.
Aktivitas Pariwisata yang mewarnai kota ini mendukung adanya penjualan berupa
produk-produk lokal yang dijual sebagai oleh-oleh wisatawan. Seperti contoh tempat
penginapan berupa hotel yang menyediakan akomodasi bagi para wisatawan, galeri UMKM
yang terletak di pusat kota menawarkan aneka kerajinan tangan khas Belitung mulai dari tas
anyaman, baju-baju bertuliskan Belitung, hingga makanan dan minuman khas Belitung yaitu
kerupuk/kemplang serta kopi Kong Djie yang merupakan warung kopi tertua di Pulau
Belitung. Sebagai jalur yang dilalui wisatawan, Kota Tanjung Pandan menjadi lokasi yang
strategis sebagai pusat oleh-oleh.

3.3 Pemanfaatan Lahan di Daerah Perkotaan


Pada wilayah pusat kota tepatnya di Tanjung Pandan, pemanfaatan lahan lebih
bervariasi dibandingkan dengan daerah pedesaan karena secara umum kehidupan masyarakat

11
kota sudah lebih kompleks. Berdasarkan ciri fisik maupun sosialnya, pola penggunaan lahan
di kota sangat berbeda dengan pemanfaatan lahan di desa. Dalam pemanfaatannya di
Kabupaten Belitung, selain harus memperhatikan unsur fisik lahan, perlu juga untuk
memperhatikan fungsi kota yang bersangkutan. Contohnya, sebagai pusat industri, pusat
pendidikan, atau mungkin pusat pemerintahan.
Salah satu pembentuk utama dari fungsi kota di Pulau Belitong khusunya Tanjung
Pandan adalah kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata di Pulau Belitong menciptakan
aktivitas ekonomi. Timbulnya permintaan akan konsumsi menimbulkan kegiatan produksi
barang dan jasa. Selama berwisata, wisatawan berbelanja, sehingga secara langsung
menimbulkan permintaan pasar barang dan jasa. Menopang sektor pariwisata melalui
kegiatan ekonomi rakyat menjadi strategi yang diandalkan. Sektor usaha kecil dan menengah
(UMKM) khususnya penggiat usaha khas daerah otomatis dapat mendukung sektor
pariwisata daerahnya. Hasil usaha masyarakat lokal belitung baik souvenir, maupun berupa
makanan dan minuman khas dijadikan sebagai buah tangan atau oleh-oleh.
Sektor wisata berperan penting di dalam penggerak aktivitas ekonomi di Tanjung
Pandan. sebagai Kota yang berada di wilayah yang terhubung dengan laut menjadikan
pelabuhan merupakan akses terpenting dari kegiatan ekonomi (berupa barang), Tanjung
Pandan tentu akan terlibat dalam kegiatan tersebut karena mempunyai Pelabuhan Tanjung
Pandan yang memberi dampak bagi wilayah sekitarnya sehingga terjadi perputaran ekonomi
yang terpusat.

Gambar 3.4 Peta persebaran kegiatan ekonomi di Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung

12
Pada peta Persebaran Kegiatan Ekonomi tersebut dapat dilihat pemusatan kegiatan
ekonomi terpengaruh oleh adanya Pelabuhan. Pada wilayah Tanjung Pandan juga terjadi
aglomerasi ekonomi. Dalam konteks ekonomi geografi, konsep aglomerasi berkaitan dengan
konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi (Malmberg dan Maskell,
2001). Aglomerasi ekonomi di Tanjung Pandan dipengaruhi oleh persebaran Hotel-Hotel di
Wilayah Tanjung Pandan. Selain itu aglomerasi juga terjadi karena pemerintah Belitung
mendorong sektor pariwisata agar menjadi pendapatan tetap daerah nomor satu,
menggantikan sektor pertambangan. Hal inilah yang mendorong dan mempercepat
pertumbuhan ekonomi di Pulau Belitung.
Salah satu sektor perokonomian yang mengalami pertumbuhan sangat pesat adalah
sektor penginapan atau akomodasi berupa hotel. Jumlah hotel di Pulau Belitung khususnya di
Kecamatan Tanjung Pandan sebagai pusat kota semakin meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah wisatawan sejak adanya film Laskar Pelangi. Menurut Badan Pusat
Statistik Kabupaten Belitung, pada tahun 2007 jumlah hotel di Kabupaten Belitung berjumlah
12 meningkat menjadi 40 hotel pada tahun 2015. Peningkatan ini juga terjadi pada
keberadaan hotel berbintang 3 maupun 4 yang mulai bermunculan sejak semakin
meningkatnya jumlah pariwisata di Kabupaten Belitung (Tabel 1).
Tabel 1. Daftar hotel bintang 3 dan 4 di Kecamatan Tanjung Pandan

Tingkat Hunian Kamar (tamu/kamar)


No Nama Hotel Tahun Berdiri
Hari Kerja Hari Libur
1 Bahamas Resort 2010 20% 80%
2 Grand Hatika Hotel 2011 30% 70%
3 BW Suite Hotel 2013 80% 100%
4 Green Tropical Hotel 2013 50% 35%
5 MaxOne Belstar Hotel 2014 50% 100%
6 Golden Tulip 2015 40% 80%

Hotel-hotel berbintang yang berada di Kecamatan Tanjung Pandan sebagian besar


memiliki pola berkelompok yaitu pada kawasan pusat kota serta pusat pariwisata. Hotel
berbintang ini lebih berorientasi terhadap kegiatan pariwisata jika dibandingkan dengan
kegiatan bisnis. Hal ni tercermin dari tingkat hunian kamar yang memiliki kecenderungan
lebih tinggi saat hari libur dibandingkan hari kerja kecuali pada Green Tropical Hotel. Selain
itu hotel yang terletak lebih dekat dekat pusat pendukung lain pusat kota memiliki daya tarik
yang lebih tinggi dibandingkan yang minim fasilitas pendukung.

13
Gambar 3.5 Peta persebaran hotel berbintang di Kecamatan Tanjung Pandan, Belitung

Selain itu, kegiatan pariwisata juga kerap menciptakan permintaan, baik konsumsi
maupun investasi yang pada gilirannya akan menimbulkan kegiatan produksi barang dan jasa.
Selama berwisata, wisatawan membutuhkan makanan sehari-hari dan oleh-oleh, sehingga
secara langsung menimbulkan permintaan pasar barang dan jasa. Hal ini dapat terlihat dari
masyarakat sekitar yang membangun toko oleh-oleh untuk memenuhi pasar barang dan jasa
dalam kegiatan ekonomi. Sebagai contoh terdapat Toko Kelapa di Jl. Air Saga yang menjual
Kerupuk kemplang dan jajanan khas Belitung lainnya.

Gambar 3.6 Foto Toko oleh-oleh Khas belitung & Galeri KUMKN (sumber: Bonata dan Bamba, 2017)
Selain membeli oleh-oleh saat berwisata di Pulau Belitung, terdapat hal penting
lainnya yang dilakukan oleh wisatawan yaitu mencicipi kuliner khas Belitung. Dalam hal ini
kuliner tidak hanya makanan seperti mie belitong namun minuman seperti kopi juga menjadi

14
hal utama dari Belitung. Belitung terkenal dengan kebiasaan atau tradisi minum kopi
sehingga wisatawan dapat mengetahui salah satu kehidupan masyarakat yang ada di Belitung.
Tradisi tersebut sangat terlihat dari banyaknya warung kopi yang ada di Belitung. Persebaran
warung kopi terbanyak berada di pusat kota karena fasilitas seperti hotel lebih banyak
tumbuh di pusat kota. Terdapat beberapa warung kopi yang merupakan pelopor, artinya
warung kopi tersebut sudah berdiri sebelum tahun 2000. Warung kopi tersebut adalah Kong
Djie Siburik dan Warung Kopi Ake.

Gambar 3.7 Persebaran kedai kopi di Tanjung Pandan, Belitung

Warung kopi Ake dan Kong Djie Siburik sudah turun temurun dijalankan dari zaman
Belanda, penambang timah Cina hingga saat ini. Warung kopi ini memiliki pengunjung yang
sangat banyak tiap harinya. Sebagian besar pelanggan tetap menentukan tempat minum kopi
dari sekian banyak warung kopi yaitu karena suasananya, suasana tersebut tidak dapat

15
muncul ketika mereka minum kopi di tempat lain. Walaupun sudah banyak warung kopi
Kong Djie di Belitung namun terdapat ikatan antara pelanggan setia dengan warung kopi
tersebut. Tingginya jumlah pembeli setiap harinya dan lamanya didirikan membuat kedua
warung kopi ini terkenal, sehingga banyak wisatawan mampir mencicipi kopi khas Belitung
dengan suasana yang berbeda dari tempat asal wisatawan. Tidak jarang juga wisatawan yang
membeli kopi dari warung kopi tersebut untuk diracik di rumah, hal tersebut membuktikan
bahwa warung kopi juga meningkatkan perekonomian di Belitung.

Gambar 3.8. Foto Waroeng Kopi Ake dan Kedai Kong Djie (sumber: Karita Putri, 2017)

Selanjutnya Pariwisata secara tidak langsung menimbulkan permintaan akan barang


modal dan bahan untuk berproduksi memenuhi permintaan wisatawan akan barang dan jasa
tersebut. Dalam usaha memenuhi permintaan wisatawan diperlukan perputaran roda produksi
yang cepat, Kong Djie CoffIe menerapkan sistem waralaba untuk memenuhi permintaan
wisatawan tersebut. Kedai Kong Djie disebar dalam memenuhi segmentasi yang mengacu
pada wisatawan, Kong Djie Coffie menempatkan kedai-kedainya dengan mengacu pada
place yang diminati wisatawan. Hal ini dibuktikan dari persebaran kedai-kedai kopi yang ada.

Gambar 3.9 Foto beberapa kedai Kong Djie yang berada di pinggir pantai (sumber: Bayu Aji, 2017)

Kong Djie Coffie juga merubah segmentasi pasar dari masyarakat pekerja tambang
menjadi mengikuti wisatawan. Penempatan kedai Kong Djie pada awal mula berdiri di
sepanjang Jl. Siburik mengikuti garis jalan PT. Timah. Namun pada era sekarang Kong Djie

16
berlokasi di wilayah-wilayah yang menjadi daya tarik wisata sehingga wisatawan dapat
mencicipi Kong Djie Coffe dimana saja.

3.4 Pariwisata dan Perubahan Sosial Budaya


Pulau Belitung memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang beberapa diantaranya sampai
saat ini masih terjaga, seperti tradisi Buang Jong yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku
Sawang dan tradisi Nirok Nanggok. Selain budaya lokal, terdapat juga budaya yang
dipengaruhi oleh daerah sekitar, yaitu budaya melayu yang bernama Dul Mulok, sebuah
bentuk seni pertunjukan atau teater yang berasal dari Sumatera Selatan namun kerap
ditampilkan di Pulau Belitung.
Tradisi Buang Jong merupakan tradisi yang hingga kini masih dipertahankan
masyarakat Suku Sawang. Suku Sawang merupakan salah satu suku laut yang tinggal di
sekitar perairan Melayu. Suku ini hidup nomaden diatas rumah perahu dari lokasi pantai satu
ke pantai lain. Saat ini Suku Sawang sudah tinggal di darat dan mendiami Kepulauan
Belitung, yaitu di Desa Selingsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur dan Desa
Juru Sebrang, Kecamatan Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung. Tradisi Buang Jong sendiri
sering kali diadakan di Desa Selingsing, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur,
dimana di desa tersebut terdapat perkampungan masyarakat Suku Sawang. Hal tersebut
berbeda dengan Desa Juru Sebrang dimana masyarakatnya sudah lebih menyatu terhadap
masyarakat lingkungan sekitar yang bukan merupakan masyarakat suku sawang. Seiring
perkembangan zaman tradisi Buang Jong tidak mengalami perubahan secara ritual. Ritual
seperti Berasik, Tarian Ancak, Tari Sambang Bali, Numbak Duyung, Jual Beli Jong,
Beluncong, dan yang terakhir melepas miniatur perahu (Jong) ke laut, masih dilaksanakan
sama dan tidak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi justru terhadap para pelaku
tradisi, yaitu masyarakat Suku Sawang, dimana kini hanya masyarakat generasi tua yang
memahami dan mengetahui segala bentuk dari tradisi tersebut, seperti nyanyian, ketukan alat
musik, dsb., sedangkan generasi muda tidak ada yang mempelajari apa yang hingga kini
dilakoni generasi tua. Hal tersebut terjadi karena pudarnya budaya masyarakat Suku Sawang
itu sendiri yang diakibatkan karena perkembangan zaman dan perubahan kondisi sosial yang
dialami. Salah satunya adalah semenjak adanya perpindahan lokasi tempat tinggal
masyarakat Suku Sawang yang sebelumnya masyarakat laut dan pesisir menjadi masyarakat
pedalaman. Perpindahan tersebut mengakibatkan juga perubahan mata pencaharian dimana
kini hanya ada tiga orang generasi tua yang masih melaut, sedangkan sisanya sudah bekerja
di darat dan mayoritas sebagai buruh.

17
Selain tradisi Buang Jong, Pulau Belitung juga memiliki potensi budaya lokal lain
yaitu Tradisi Nirok Nanggok dan Teater Dul Mulok. Nirok Nanggok merupakan tradisi
penangkapan ikan secara massal dengan menggunakan alat tradisional berupa Tirok (sejenis
tombak runcing) dan Tanggok (sejenis jala kecil dengan gagang dari kayu). Alat-alat
tradisional tersebut biasanya dibuat sendiri oleh masyarakat asli Belitung dengan bahan yang
berasal dari hutan. Selain itu jalanya sendiri didapatkan dipasar wilayah Kecamatan Tanjung
Pandan. Tradisi Nirok Nanggok yang dilakukan setahun sekali saat musim kemarau ini
termasuk acara sakral dengan tahap prosesi yang cukup panjang. Wilayah yang saat ini masih
melaksanakan Tradisi Nirok Nanggok sesuai dengan prosesi adat-istiadat hanya terdapat di
Desa Kembiri, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Beberapa wilayah masih ada
yang ikut melaksanakan tetapi ada prosesi yang dilewatkan. Hal tersebut karena peran
masyarakat yang rendah mengakibatkan adat-istiadat menjadi mulai berubah dan mungkin
akan mulai hilang. Biasanya masyarakat Belitung berkumpul di Desa Kembiri untuk
melaksanakan Tradisi Nirok Nanggok. Tidak hanya masyarakat Belitung, namun wisatawan
lokal maupun mancanegara dapat juga bergabung dan mengikuti Tradisi Nirok Nanggok.
Dalam Tradisi Nirok Nanggok terbentuk juga suatu kapital sosial. Para masyarakat Belitung
maupun wisatawan yang mengikuti tradisi ini akan memberikan 1 ekor ikan hasil tangkapan
yang nantinya ikan tersebut dimasak untuk acara makan bersama bagi setiap masyarakat
Belitung dan wisatawan yang mengikuti Tradisi Nirok Nanggok. Pemberian ikan yang
diperuntukkan untuk disantap bersama ini termasuk dalam kapital sosial karena terjadi
kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang bersumber pada jaringan sosial suatu
kelompok. Bila ikan tersebut hanya diperuntukkan untuk beberapa orang saja maka hal
tersebut tidak termasuk dalam kapital sosial. Namun dalam tradisi ini, ikan tersebut
diperuntukkan kepada semua masyarakat yang mengikuti Tradisi Nirok Nanggok.

Gambar 3.10. Foto alat tradisional Tradisi Nirok Nanggok berupa Tirok dan Tanggok (sumber: Cintantya, 2017)

Kesenian Teater Dul Mulok yang berkembang di Desa Kembiri, Kecamatan


Membalong merupakan hasil dari syair Abdul Muluk, Siti Zubaidah dan beberapa syair dan
cerita yang di buat oleh Tok Sarie. Teater ini merupakan cerita tentang pelajaran hidup dan

18
juga lokalitas Belitung, teater ini hadir untuk meramaikan syukuran di kampung khususnya di
Desa Kembiri dan daerah sekitar desa tersebut. Teater ini menghadirkan beberapa orang
menggunakan kostum khusus dan juga riasan yang membuat teater ini berbeda, dengan musik
teater ini memisahkan tiap babaknya. Lokalitas Belitong sangat di angkat dalam teater ini,
karena akan terdengar ucapan yang asing karena sesuai dengan sepemahaman pemain nya,
muncul sejarah dan beragam unsur kehidupan masyarakat Desa Kembiri untuk membuat
teater ini akan selalu bertumpu pada sejarah yang di tuliskan dalam cerita teater ini.
Budaya lokal, seperti tradisi Buang Jong, Dul Mulok dan Nirok Nanggok, memiliki
potensi yang cukup besar dalam pariwisata sejarah dan budaya. Tradisi Buang Jong dalam hal
ini merupakan bagian dari sejarah masyarakat Pulau Belitung, dimana tradisi ini dilakukan
oleh masyarakat Suku Sawang yang merupakan masyarakat asli Pulau Belitung. Begitupun
dengan tradisi Nirok Nanggok yang merupakan budaya yang memiliki nilai kearifan lokal
didalamnya. Nilai-nilai yang bersifat lokal juga menjadikan budaya ini menjadi pembeda dari
daerah lain dan menjadikan pariwisata budaya menjadi salah satu yang dapat menarik
wisatawan.
Selain dari tradisi lokal masyarakat setempat, terdapat juga pemukiman transmigran
dan pendatang lainnya diantaranya adalah adanya kampung Bali di Desa Pelepak Pute dan
juga kumpulan etnis Tionghoa yang kebanyakan terdapat di Kabupaten Belitung Timur.
Budaya pada penduduk transmigran di Kampung Bali ini masih sangat kental adatnya
layaknya di tanah kelahirannya di Bali. Dan juga patut disyukuri adanya perbedaan budaya
dengan budaya lokal masyarakat Belitong tidak membuat mereka merasa terasingkan dan
terjadi konflik antar masyarakat, justru mereka bersatu dengan masyarakat setempat dan
hubungan mereka sangat baik sekali dengan masyarakat setempat. Kampung Bali ini tidak
menjadi tujuan destinasi pariwisata utama para wisatawan dari luar Pulau Belitong, namun
masyarakat Belitong sendiri banyak yang tertarik untuk berwisata di Kampung Bali ini
dengan alasan ingin melihat Bali di Pulau Belitong.

3.5 Pariwisata Berbasis Masyarakat


Salah satu konsep pelaksanaan aktivitas kepariwisataan adalah konsep pariwisata
berbasis masyarakat (PBM). Pariwisata berbasis masyarakat (PBM) merupakan pendekatan
pengembangan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal baik yang terlibat
langsung maupun yang tidak terlibat langsung pada industri pariwisata (Hausler).
Environmentally and Socially Responsible Tourism Capacity Development Programme and
WWF Vietnam (2013: 5), menjelaskan empat prinsip kunci pelaksanaan PBM sebagai

19
berikut: The key principles of CBT include social equity; respecting local culture and
natural heritage; benerfit sharing; and local ownership and participation. Hal ini dapat
diartikan bahwa prinsip kunci dari pariwisata berbasis masyarakat terdiri dari keadilan sosial;
menghormati budaya dan warisan alam lokal; pembagian keuntungan; dan kepemilikan dan
partisipasi lokal.
Arnstein (1969: 216-224), mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat
menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution
of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat
tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat
dilihat dalam proses pengambilan keputusan.

Desa Terong adalah sebuah desa di Kecamatan Sijuk yang terletak di koridor jalan
penghubung antara Kecamatan Tanjung Pandan dan Kecamatan Sijuk, yang merupakan jalan
utama untuk mencapai objek-objek pariwisata yang tersebar di utara Kecamatan Sijuk,
diantaranya Bukit Berahu, Pantai Tanjung Tinggi dan Pantai Tanjung Kelayang. Desa Terong
memiliki potensi pariwisata berupa lahan pertanian, lahan eks tambang, bukit, hutan
mangrove, pantai dan batu-batu granit. Melihat potensi pariwisata yang ada di Desa Terong,
masyarakat lalu beinisiatif untuk mengembangkan potensi pariwisata tersebut sehingga Desa
Terong dapat menjadi tujuan wisatawan dan meningkatkan perekonomian masyarakatnya.

Masyarakat Desa Terong lalu mulai mengembangkan potensi pariwisata di desanya


secara mandiri pada tahun 2013. Pada awalnya, masyarakat Desa Terong mengembangkan
potensi pariwisata dengan bergotong royong bersama-sama membangun pariwisata selama
dua tahun. Setelah dua tahun, pada tahun 2015 Pemerintah desa mulai melihat usaha
masyarakat yang ternyata menghasilkan. Pemerintah desa lalu membantu masyarakat
mengembangkan pariwisata dengan menyumbangkan APBD desa sebesar Rp.
500.000.000,00. Setelah itu pemerintah desa akan menyerahkan semua kegiatan
kepariwisataan kepada masyarakat, mulai dari mengatur, mengelola, mempromosikan sampai
menerima hasil yang didapatkan. Masyarakat Desa Terong pelan-pelan merambah mata
pencaharian lain yaitu menjadi penyedia pariwisata, akan tetapi tetap menjalankan mata
pencaharian utamanya sebagai petani, nelayan, ataupun penambang.
Saat ini Desa Terong disebut sebagai Desa Wisata Kreatif Terong. Peluncuran Desa
Wisata Kreatif Terong ini dapat terealisasi karena ada jalinan kerjasama antara Local Work
Group Destination Management Organization (LWG-DMO) bersama kelompok masyarakat
dan Pemerintah Desa Terong. LWG-DMO sendiri merupakan lembaga independen bentukan

20
Kementerian Pariwisata untuk tata kelola destinasi pariwisata. Desa Terong kemudian
menjadi desa pelopor pariwisata berbasis masyarakat di Kabupaten Belitung. Kesuksesan ini
memicu desa-desa di sekitar Desa Terong untuk melakukan hal serupa. Sebagai contoh Desa
Keciput dan Desa Tanjung Tinggi yang terletak di sebelah utara Desa Terong.
Objek pariwisata di Desa Terong terdiri dari ARB (Air Rusa Beregun), merupakan
kawasan eks tambang timah yang dimanfaatkan sebagai objek wisata multi attraction yang
terdapat di Desa Wisata Terong, Agrowisata, Bukit Tebalu Simpor Laki (BTSL) dan Wisata
Mangrove dan Pantai. Produk wisata yang ditawarkan masyarakat berupa paket-paket wisata.
Wisatawan yang ingin berkunjung harus memesan paket wisata yang ingin mereka datangi
karena Desa Terong tidak ramai setiap hari, hanya ketika ada pesanan paket wisata dari
wisatawan. Pada hari-hari biasa, masyarakat Desa Terong tidak bekerja di bidang pariwisata,
akan tetapi menjalankan mata pencaharian utamanya sebagai petani, nelayan dan penambang.

Gambar 3.12. Atas: Komplek Air Rusa Beregun (Ayuningtyas, 2017), Bawah: Pertunjukan tari
tradisional di ARB (sumber: Dokumentasi pemerintah desa)

Gambar 3.13. Atas: Agrowisata Desa Terong dan bawah: Puncak bukit Tebalu Simpor Laki dan Batu
Granit (sumber: Dokumentasi Pemerintah Desa)

21
Kegiatan promosi Desa Wisata Kreatif Terong telah dilakukan dengan cara modern,
yaitu melalui website www.belitungisland.com, bergabung dengan website resmi Pulau
Belitong. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah telah ikut campur tangan dalam
mengembangkan pariwisata. Di website tersebut wisatawan dapat melihat informasi, foto dan
video mengenai objek-objek pariwisata yang terdapat di Desa Terong.

Gambar 3.15. Tampilan website Desa Wisata Kreatif Terong (Sumber www.belitungisland.com)

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas kepariwisataan di Desa


Terong menunjukkan derajat partisipasi yang beragam. Hal ini dianalisis melalui temuan-
temuan dan observasi terkait dengan pelaksanaan empat prinsip Pariwisata Berbasis
Masyarakat di Desa Terong. Secara umum, aktivitas kepariwisataan di Desa Terong
menunjukkan derajat partisipasi yang paling rendah berada pada anak tangga keenam, yaitu
derajat partisipasi partnership (kemitraan). Hal ini diindikasikan karena terdapatnya
kesetaraan antar pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah desa dan Local Work
Group Destination Management Organization (LWG-DMO)). Masyarakat Desa Keciput
telah mampu memposisikan dirinya setara dengan pemangku kepentingan lain melalui
kemampuan memainkan peran politik dan komunikasi.
Kemudian terdapat aktivitas kepariwisataan yang menunjukkan derajat partisipasi
masyarakat terdapat pada anak tangga ketujuh yaitu, derajat partisipasi delegated powers
(kekuasaan yang didelegasikan). Hal ini terjadi di mana masyarakat Desa Terong mampu
berperan secara dominan dibandingkan dengan pemangku kepentingan lainnya dalam
menyusun konsep, pengambilan keputusan, dan pelaksanaannya. Sedangkan derajat
partisipasi yang paling tinggi adalah pada posisi anak tangga kedelapan, yaitu derajat

22
partisipasi citizen control (kendali masyarakat). Pada sejumlah aktivitas kepariwisataan,
masyarakat Desa Terong berperan secara mandiri baik dalam perencanaan, pengambilan
keputusan, pelaksanaan dan pengeleolaan tanpa ada campur tangan dari pemangku
kepentingan lain.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa aktivitas kepariwisataan yang
terjadi di Desa Terong mengindikasikan terlaksananya pariwisata berbasis masyarakat
(PBM). Hal ini terlihat dari terlaksananya empat prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang
terdiri dari: (1) Social Equity (prinsip keadilan sosial), (2) Respect Local Cultural dan
Natural Heritages (prinsip menghormati kebudayaan dan warisan alam lokal), (3) Benefit
Sharing (prinsip pembagian menfaat), dan (4) Local Ownership and Participation (prinsip
kepemilikan dan partisipasi lokal) yang tersirat dari berbagai jenis aktivitas kepariwisataan di
Desa Terong.

3.6 Geopark sebagai Pariwisata Berkelanjutan Pulau Belitung


Didominasi oleh jenis batuan granit, lava bantal dan batuan metasedimen, pulau
Belitung memiliki beragam pantai maupun lokasi wisata dengan keunikan geologi masing
masing. Dimana hal tersebut menjadi sebuah daya tarik tersendiri, dan terdapat berbagai
keindahan maupun tantangan tersendiri. Salah satu tantangan terbesar dalam pulau Belitung,
ialah masyarakat nya. Dimana pulau Belitung sangat dikenal dengan pertambangan timah, hal
tersebut memacu warga Pulau Belitung untuk menjadikan kegiatan pertambangan kegiatan
perekonomian sehari - hari.
Sejak kemunculan Laskar Pelangi, sebuah kebiasaan pun mulai berubah, dimana
kegiatan pertambangan pun mulai berkurang dan mulai bergerak di bidang pariwisata. Lokasi
lokasi wisata di Belitung seperti; Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Pulau Lengkuas, dll
mulai dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Beberapa akomodasi serta
infrastruktur pun mulai terbangun, seperti hotel / tempat penginapan, akses jalan aspal,
atraksi rekreasi, dll. Mulai dari hal itu, sebuah kegiatan perekonomian pun berubah, dari
tambang menjadi pariwisata.
Hal ini mendorong pemerintah pulau Belitung serta berbagai komunitas masyarakat
untuk tetap memastikan, bahwa pariwisata lah yang menjadi daya dorong perekonomian
masyarakat pulau Belitung. Disitulah, gagasan untuk menjadikan pulau Belitung sebagai
salah satu Geopark di dunia muncul. Menurut UNESCO, Geopark adalah sebuah daerah
dengan batasan yang sudah ditetapkan dengan jelas dan memiliki kawasan permukaan yang
cukup luas untuk pembangunan ekonomi lokal. Geopark terdiri dari sejumlah tapak geologi

23
yang memiliki kepentingan ilmiah khusus, kelangkaan atau keindahan; Geopark tidak hanya
berhubungan dengan geologi tetapi juga arkeologi, ekologi, nilai sejarah atau budaya.
Beragam aktivitas pariwisata dalam kegiatan geowisata di suatu Geopark yang dilakukan
oleh masyarakat adalah faktor yang penting dalam keberhasilan pengelolaan Geopark.
Untuk menjadi sebuah Geopark pun tidak mudah, perlu beragam proses dan tahap
untuk menjadikan pulau Belitung sebagai Geopark. Diawasi dan dinilai oleh UNESCO, agar
sebuah daerah resmi menjadi Geopark, perlu beberapa faktor yang harus terpenuhi. Dalam
pedoman resmi yang diberikan oleh UNESCO yang berisikan panduan dan kriteria kriteria
pembangunan Geopark yang berjudul Guidelines and Criteria for National Geoparks
seeking UNESCO's assistance to join the Global Geoparks Network (GGN); menyebutkan
bahwa pembangunan Geopark harus memilki 6 Kriteria Dasar. Kriteria pertama yakni,
Ukuran dan Tempat, dimana kawasan yang nantinya diajukan sebagai kawasan Geopark
harus memiliki batas batas administrasi yang jelas, serta lokasi tersebut menyediakan
berbagai kreatifitas dan budaya lokal, dan memilki situs - situs Geologi. Kriteria kedua ialah,
Manajemen dan Peran Masyarakat, dimana pada lokasi tersebut terdapat beberapa fasilitas
dan infastruktur yang mendukung, serta memiliki dukungan dari pihak dalam maupun luar,
serta dukungan yang baik dari Pemerintahan Pusat.
Kriteria dasar ketiga ialah, Pengembangan Ekonomi, dimana masyarakat pada tiap
region telah dilatih dan memanfaatkan Geo-Tourism sebagai kebutuhan Ekonomi tanpa
merusak lingkungan sekitar. Kriteria keempat ialah, Edukasi, hal ini sangat penting Karena
jika telah resmi dinobatkan sebagai Geopark, daerah tersebut harus berdampak pada
pertumbuhan edukasi daerah tersebut; hal tersebut dapat didukung dengan membangun
fasilitas sekolah, museum, dan bahkan penelitian ilmiah yang bermanfaat. Kriteria kelima,
Konservasi, dimana lokasi yang diajukan sebagai kawasan Geopark sudah menjadi lokasi
yang dilindungi. Dimana pemerintah maupun warga sekitar telah membuat peraturan maupun
regulasi kegiatan pada lokasi tersebut. Dan kawasan Geopark pun tidak boleh dijadikan
sebagai kawasan eksploitasi yang berlebih maupun berbagai macam perdagangan materi
Geologi yang ilegal. Dan yang terakhir ialah, Networking, dimana nantinya Geopark tersebut
akan bekerjasama dengan Geopark lain dalam hal pertukaran ilmu dan keahlian masing -
masing Geopark di Dunia.

24
Tabel 3.16 Tabel Operasionalisasi Variabel Geopark
Dari penjelasan di atas, pengajuan pulau Belitung sebagai Geopark merupakan sebuah
solusi agar perekonomian masyarakat pulau Belitung tetap dalam kondisi meningkat tanpa
harus merusak sebuah lingkungan. Sampai penelitian ini dilakukan (bulan April tahun 2017),
pemerintah serta komunitas sedang melakukan yang terbaik agar pulau Belitung resmi
menjadi Geopark Nasional, selanjutnya agar menjadi Geopark Global. Beberapa kunjungan
telah dilakukan oleh pihak UNESCO serta badan pengurus Geopark lainnya di dunia.
Masyarakat pulau Belitung kini berharap yang terbaik agar status Geopark pulau Belitung
segera menjadi resmi, dan slogan pulau Belitung Negeri Laskar Pelangi terus dikenang
oleh negeri ini.

25
BAB IV
KESIMPULAN
Pariwisata adalah gabungan dari berbagai fenomena dan hubungan yang terkait dan
tercipta dari interaksi antara wisatawan, penyedia bisnis, pemerintah setempat dan penduduk
lokal dalam proses menghibur dan menyambut para wisatawan dan para pendatang lainnya.
Pulau Belitung yang kaya akan sumberdaya alam menjadikannya sebagai destinasi wisata.
Pulau Belitong memiliki daya tarik dan potensi pariwisata yang melimpah, baik Kabupaten
Belitung dan Belitung timur memiliki atraksi pariwisata masing-masing yang menarik untuk
dikunjungi. Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai
salah satu sumber pendapatan daerah. Adanya Film Laskar Pelangi membuat sektor
Pariwisata di Pulau Belitung menjadi meningkat. Dengan meningkatnya sektor Pariwisata
membuat perekonomian masyarakat Belitung ikut terangkat karena adanya KUMKN dan
fasilitas seperti hotel dan rumah makan. Adanya pariwisata juga memicu munculnya
dinamika perkotaan serta membuat perubahan dan keunikan dari kebudayaan masyarakat
Belitung.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ardityo. 2009. Perkembangan Teori Struktur Kota & Penerapannya di Departemen Geografi
Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder of Citizen Participation. JAIP.
Arraziyati, Puspita. 2008. Tourism Business District (TBD) di DKI Jakarta bagian Utara.
Depok: Universitas Indonesia.
Darsiharjo, Upi Supriatna, Ilham Mochammad Saputra. Pengembangan GeoPark Ciletuh
Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Kawasan Geowisata di Kabupaten
Sukabumi. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas Pendidikan
Indonesia. 2016
Environmentally and Socially Responsible Tourism & WWF Vietnam. 2013. Vietnam
Community Based Tourism Handbook. Hanoi: Vietnam.
Hausler, Nicole dan Strasdas, Wolfgang. 2003. Training Manual For Community Based
Tourism. InWEnt, Zschoutau
Kabupung, Sonny F. 2012. Studi Citra Kota Maumere di Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Mardianti, Lokita. 2011. Perkembangan Fasilitas Pariwisata Sekunder di Kabupaten
Samosir, Tahun 2004 dan 2010. Depok: Universitas Indonesia
Purnamasari, Andi Maya. Pengembangan Masyarakat Untuk Pariwisata Di Kampung Wisata
Toddabojo Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementrian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 1, April
2011, hlm.49 64.
Surwiyanta, Ardi. 2003. Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial
Budaya dan Ekonomi. Media Wisata Vol. 2 No. 1, November 2003
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. Guidelines and Criteria for
National Geoparks Seeking UNESCO's Assistance to Join The Global GeoParks
Network (GGN). 2014

27

Anda mungkin juga menyukai