Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN EKONOMI SDA DAN LINGKUNGAN

“KELANGKAAN SUMBER DAYA ALAM BERAS DI INDONESIA PADA


ORDE LAMA”

PENULIS :
Putu Ayu Swandira Meylinda Putri (202031121024)

PRODI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS WARMADEWA
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatnya maka penulis
dapat menyelesaikan kajian yang berjudul “KELANGKAAN SUMBER DAYA ALAM BERAS
DI INDONESIA PADA ORDE LAMA” tepat pada waktunya.

Dalam penulisan analisis ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki kami. Untuk itu
kritik dan saran semua pihak sangat-sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
analisis ini. Dalam penulisan analisis ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan
kerjasama yang diberikan oleh semua pihak. Khususnya dosen dan teman-teman yang memberikan
ide dan masukan sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Sudah tentu kekurangan-kekurangan akan terdapat dalam analisis ini. Karena itu saran dan
kritik yang sifatnya membangun dari setiap pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
analisis ini.

Denpasar, 19 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH ..........................................................................................1
1.3 TUJUAN ...................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................3
2.1 SUMBER DAYA ALAM BERAS DI INDONESIA .............................................3
2.2 PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM BERAS DI INDONESIA .............4
2.3 PENGELOLAAN SDM TERHADAP SUMBER DAYA ALAM BERAS .........5
2.4 KELANGKAN BERAS PADA ORDE LAMA .....................................................7
BAB III PENUTUP ..............................................................................................................11
3.1 KESIMPULAN ........................................................................................................11
3.2 SARAN ......................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya alam merupakan sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
dan memenuhi kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera. Sumber daya alam terdapat
di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, udara, dan lain sebagainya, dimana
sumberdaya alam ada yang dapat di perbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Indonesia
merupakan negara dengan keragaman sumberdaya alam yang melimpah dengan dilewati oleh garis
katulistiwa yang menjadikan wilayah Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga berdampak pada
luasnya hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, selain itu Negara
Indonesia memilik banyak gunung api yang masih aktif berdampak pada kesuburan tanah,
Indonesia juga dihimpit oleh dua samudera menambah keragamannya sumber hayati yang tersedia.
Melimpahnya sumber daya alam yang tersedia belum banyak dimanfaatkan secara menyeluruh
oleh berbagai pihak. Dimana pembangunana yang semakin meningkat, dan diiringi dengan
bertambahnya jumlah penduduk yang berdapak pada peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap
sumber daya yang semakin meningkat. Kebutuhan manusia yang semakin beragam dan
meningkatnya jumlah penduduk menjadikan meningkatnya kebutuhan dan semakin beragamnya
kebutuhan hidup, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan beberapa peluang
usaha oleh mereka yang peka terhadap perubahan dan dalam pengolahan hasil bumi yang ada di
sekitar lingkungan dengan munculnya industri- 2 industri, mulai dari industri pangan, industri
pengolahhan, sampai industri pemenuhan kebutuhan lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sumber daya alam beras di Indonesia?
2. Bagaimana pemanfaatan sumber daya alam beras di Indonesia?
3. Bagaimana SDM mengelola sumber daya alam beras di Indonesia?
4. Bagaimana kelangkaan beras pada orde lama?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kondisi sumber daya alam beras di Indonesia
2. Untuk mengetahui pemanfaatan sumber daya alam beras di Indonesia
1
3. Untuk mengetahui pengelolaan sumber daya alam beras di Indonesia
4. Untuk mengetahui bagaimana kelangkaan beras pada orde lama

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sumber Daya Alam Beras di Indonesia


Produksi beras di wilayah Indonesia tersebar pada berbagai wilayah, terdapat beberapa sentra
produksi beras yang memiliki tingkat produksi cukup tinggi, misalnya: Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Beberapa wilayah sentra
produksi beras memiliki populasi penduduk yang cukup tinggi pula sehingga sejalan dengan
produksi beras yang dihasilkannya. Beberapa wilayah yang memiliki populasi penduduk yang
cukup tinggi diantaranya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Populasi penduduk Indonesia yang cukup tinggi (240 juta) menuntut terpenuhinya kebutuhan
pangan sehingga produksi beras pun diupayakan untuk mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Produksi beras yang cukup tinggi tidak secara langsung dapat menunjukkan ketersediaan beras
pada pasar, produksi beras sebagian dikonsumsi oleh rumah tangga petani dan sisanya dijadikan
cadangan. Tingginya konsumsi masyarakat Indonesia terhadap beras menjadikan komoditas
tersebut memiliki dampak yang sangat tinggi (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap
kondisi perekonomian, sosial, keamanan dan politik, budaya, dll. Terjadinya ketidakstabilan beras
baik dari sisi harga maupun stok lambat laun akan mempengaruhi ketidakstabilan perekonomian,
sosial hingga keamanan dan politik.
Tersedianya stok beras yang disuplai pada pasar ditentukan oleh sisi produksi beras. Tingginya
produksi beras nasional merupakan penjumlahan dari hasil produksi beras yang terdapat secara
nasional. Produksi beras nasional dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya: kondisi musim,
ketersediaan lahan, tenaga penggarap lahan, bibit dan pupuk unggul, pestisida, dll. Ketika berbagai
faktor yang mempengaruhi produksi beras tersebut mampu untuk mendukung kapasitas
produksinya maka hasil panen akan mencapai prakiraan petani pada musim tanam sebelumnya
sedangkan faktor lainnya dapat dianggap ceteris paribus. Ketika kapasitas produksi mencapai
kondisi optimum maka terbentuklah sebuah pola produksi sesuai dengan periode waktunya
(bulanan).
Kontribusi antar pulau terhadap produksi beras secara nasional, masingmasing yaitu: Jawa
sebesar 53 persen, Sumatera sebesar 23 persen, Sulawesi 11 persen, dll. Beberapa wilayah sentra
produksi tersebut selanjutnya mendistribusikan surplus berasnya terhadap daerah-daerah lain yang
mengalami defisit. Propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar dengan porsi 17,67%

3
diikuti Jawa Barat sebesar 16,33%, Jawa Tengah 14,82%, Sulawesi Selatan 7,25%, Sumatera
Utara 5,38%, dan Sumatera Selatan 4,77%. Distribusi beras antar wilayah akan sangat berperan
penting dalam mencegah lonjakan harga yang selanjutnya dapat mempengaruhi harga-harga
komoditias lainnya. Peran distribusi beras nasional selama ini terdapat pada Bulog yang memiliki
kebijakan stabilisasi harga komoditas bahan pangan. Selain itu, lisensi impor beras yang
didatangkan dari negara lain merupakan tanggungjawab Bulog.

2.2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Beras di Indonesia


Konsumen beras secara nasional mencakup keseluruhan penduduk Indonesia yang berada pada
33 provinsi nasional. Beras dikonsumsi cukup merata oleh keseluruhan masayarakat sehingga
menjadikannya sebagai bahan pokok yang paling utama karena berpengaruh langsung terhadap
masyarakat luas. Konsumsi beras tidak terpengaruh oleh tingkat pendapatan konsumen, artinya
pada tingkat pendapatan berapa pun masyarakat masih mempertahankan pola konsumsi beras.
Beras merupakan komoditas yang belum dapat disubtitusikan terhadap komoditas bahan pokok
lainnya sehingga peran pemerintah sangat vital dalam mendorong keseimbangan pola konsumsi.

Konsumsi beras tidak terpengaruh oleh faktor lokasi dan sosial budaya yang berlaku pada
masyarakat Indonesia yang heterogen, Konsumsinya yang seragam mengakibatkan tanaman padi
merupakan tanaman pangan utama yang ditanam oleh keseluruhan petani di berbagai wilayah
secara nasional. Permintaan terhadap beras yang sangat tinggi mendorong para petani untuk
memenuhinya dengan membudidayakan padi sesuai dengan kondisi lahannya. Misalnya di Jawa
dengan sistem sawah yang tergenang, di kalimantan dengan sistem sawah rawa dan beberapa
wilayah lainnya dengan sawah tadah hujan dimana hasilnya berupa padi gogo.

Konsumsi rata-rata beras per kapita rakyat Indonesia adalah 139 kg perkapita selama setahun,
nilai ini jauh lebih tinggi daripada konsumsi ideal menurut standar negara lebih maju yaitu sebesar
80-90 kg perkapita selama setahun. Faktor utama yang mendorong tingginya konsumsi adalah
jumlah penduduk yang besar diikuti pula oleh semakin meluasnya wilayah pengkonsumsi beras.
Selain itu, gagalnya diversifikasi pangan menambah persoalan tersendiri dipicu oleh pola budaya
makan masyarakat yang mengalami ketergantungan yang sangat tinggi. Tingginya tingkat
konsumsi ini membuat ketergantungan Indonesia akan beras impor masih sangat tinggi sementara
produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan domestiknya.

4
2.3 Pengelolaan SDM Terhadap Sumber Daya Alam Beras di Indonesia
Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara produsen padi
terbesar di dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat
konsumsi beras nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai sehingga
membuat Indonesia menjadi salah satu net importer beras terbesar di dunia sejak tahun 1998.
Rendahnya pertumbuhan produksi beras dipengaruhi oleh berbagai faktor utama, misalnya: tingkat
rendemen padi yang rendah, modal petani minim serta lahan produktif yang berangsur-angsur
berkurang. Dari sisi rendemen padi menjadi beras atau dikenal dengan konversi Gabah Kering
Giling (GKG) menjadi beras dapat menunjukkan gambaran mengenai besarnya produktifitas hasil
panen. Rendahnya tingkat rendemen padi nasional yang diperkirakan mencapai rata-rata 63,2
persen pada tahun 2004 (BPS). Rendahnya rendemen tersebut sebagai akibat penerapan teknologi
yang tidak sesuai anjuran dan penggunaan Rice Milling Unit (RMU) yang sudah tua. Dalam kurun
waktu 50 tahun telah terjadi penurunan rendemen padi sebesar 7,5 persen dimana pada tahun 1950-
an tingkat rendemen pernah padi mencapai 70 persen.

Petani pun mengalami keterbatasan modal maupun kredit dalam pengembangan usahanya,
berupa pembelian bibit unggul, pestisida, pupuk dan sewa lahan. Minimnya modal yang dimiliki
petani berdampak secara langsung terhadap penurunan produktifitas lahan pertanian dan
produktifitas petani. Berkurangnya lahan produktif pun turut berpengaruh terhadap penurunan
produktifitas pertanian terutama di Pulau Jawa yang memiliki tingkat kesuburan lahan yang paling
baik diantara pulau besar lainnya, telah berada pada tahap pelandaian (levelling off).
Meningkatnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian sebagai akibat pertumbuhan penduduk
dan industrialisasi secara masif. Berkurangnya lahan produktif pun selanjutnya menghambat
upaya pemenuhan kebutuhan beras dari produksi dalam negeri.

Pemenuhan kebutuhan dalam negeri memerlukan sumber lain berupa impor beras. Kebijakan
impor beras sebenarnya sangat membantu jika jumlah dan waktunya tepat. Mengingat dari sisi
ekonomi, harga beras impor jauh lebih murah dibanding harga beras domestik. Namun pada
tingkatan berlebih tentunya akan mengganggu kemandirian pangan sehingga dalam jangka
panjang sangat diperlukan kebijakan untuk mengurangi dampak negatif impor. Pengenaan tarif
spesifik dan hambatan nontarif pada komoditi pertanian merupakan salah satu upaya yang dapat
ditempuh. Pemerintah secara intensif terus berupaya mendorong peningkatan kapasitas produksi

5
padi melalui kebijakan: (i) ekstensifikasi dengan pembukaan lahan baru; (ii) intensifikasi yang
meliputi penggunaan teknologi varietas unggul dan sistem produksi yang efisien; dan (iii)
rehabilitasi atas jaringan irigasi dan lahan yang rusak.

Terkait dengan impor, salah satu masalah penting adalah adanya penyelundupan beras ke
dalam negeri sebagai dampak dari tingginya disparitas harga yang terjadi karena harga beras di
pasar dunia jauh lebih rendah daripada harga beras domestik karena sarat akan subsidi. Bila jumlah
beras impor yang masuk terlalu besar berdekatan dengan panen akan dapat merusak keseimbangan
harga beras domestik yang berpengaruh terhadap kesejahteraan petani. Tingginya volume impor
juga akan berpengaruh secara langsung terhadap harga beras domestik sesuai dengan konsep
permintaan, semakin banyak jumlah impor maka semakin jatuh harga beras domestik.

Berdasarkan kondisi yang dijelaskan sebelumnya, diperlukan kebijakan pengendalian harga


untuk melindungi petani dan konsumen secara adil. Oleh karena itu, pemerintah menggunakan
kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diganti menjadi Harga Pembelian
Pemerintah (procurement price). Disamping itu kebijakan harga beras murah tidak dianjurkan
karena dapat menyengsarakan petani padi dan tidak mampu mendorong sektor industri untuk
mampu bersaing di pasar dunia. Kebijakan stabilitas harga beras di pasar domestik yang
berorientasi pada peningkatan pendapatan petani, merupakan paket kebijakan yang sangat
diperlukan petani padi saat ini.

Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesejahteraan petani adalah Nilai
Tukar Petani (NTP), memperbandingkan antara Indeks harga yang diterima oleh petani (it) dengan
Indeks harga yg dibayar petani (ib). Beberapa nilai NTP terdapat pada jenis usaha Holtikultura,
Perkebunan, Peternakan dan Nelayan. NTP yang digunakan adalah tanaman pangan guna
menunjukkan kondisi petani beras.Penggunaan nilai indeks akan mengacu pada tahun dasarnya
yaitu tahun 2008 sehingga dapat terlihat pergerakan indeks harganya. Nilai pada NTP dapat
menunjukkan kondisi petani, misalnya nilai NTP > 100 berarti petani mengalami surplus, NTP =
100 berarti petani mengalami titik impas dan NTP< 100 berarti petani mengalami defisit. Pada
kondisi surplus, harga produksi naik lebih besar daripada kenaikan harga konsumsinya sehingga
pendapatan 17 petani naik lebih besar dari pengeluarannya. Pada kondisi impas,
kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang
konsumsi sehingga pendapatan petani sama dengan pengeluarannya. Sedangkan pada kondisi

6
defisit, kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang
konsumsinya serta pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.

Nilai NTP mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar produk yang dijual petani
dengan produk yang dibutuhkan petani dalam produksi dan konsumsi rumah tangga. Penggunaan
NTP dapat menunjukkan tingkat daya saing produk pertanian dibandingkan dengan produk lain.
Atas dasar ini upaya produk spesialisasi dan peningkatan kualitas produk pertanian dapat
dilakukan. Dari Indeks Harga Yang Diterima Petani (IT), dapat dilihat fluktuasi harga barang-
barang yang dihasilkan petani. Indeks ini digunakan juga sebagai data penunjang dalam
penghitungan pendapatan sektor pertanian. Sedangkan Indeks Harga Yang Dibayar Petani (IB),
dapat dilihat fluktuasi harga barangbarang yang dikonsumsi oleh petani yang merupakan bagian
terbesar dari masyarakat di pedesaan, serta fluktuasi harga barang yang diperlukan untuk
memproduksi hasil pertanian. Perkembangan IB juga dapat menggambarkan perkembangan inflasi
di pedesaan.

Konsep NTP merupakan pengembangan dari nilai tukar subsisten dimana petani merupakan
produsen dan konsumen, NTP pun berkaitan dengan hubungan antara hasil pertanian yang
dihasilkan petani dengan barang dan jasa yang dikonsumsi dan dibeli oleh para petani. Disamping
berkaitan dengan permasalahan kekuatan relatif daya beli komoditas (konsep barter), fenomena
NTP pun akan terkait dengan perilaku ekonomi rumah tangga. Proses pengambilan keputusan
rumah tangga dalam melakukan produksi, belanja dan konsumsi suatu komoditas merupakan
bagian penting dari perilaku ekonomi rumah tangga. Model ekonomi rumah tangga berkaitan
dengan upaya rumah tangga dalam memaksimumkan utilitasnya dengan didasarkan kepada
kendala yang dikuasai, yaitu kendala anggaran, fungsi produksi dan waktu. Upaya optimasi
rumahtangga akan terkait dengan proses produksi yang dihasilkan petani, alokasi hasil produksi
tersebut untuk konsumsi sendiri dan dijual, belanja rumah tangga dan alokasi penggunaan tenaga
kerja.

2.4 Kelangkaan Beras Pada Orde Lama

Di tengah himpitan beban ekonomi yang semakin berat terutama sejak Pemerintahan SBY
berkuasa 2004, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih merasakan mahalnya harga
komoditas pangan pokok seperti beras, daging sapi, daging ayam ras, cabai merah, gula pasir, dan
kedelai, yang sering terjadi menjelang harihari besar keagamaan. Pada Bulan Ramadhan 2016,

7
misalnya, hanya harga beras yang tidak mengalami lonjakan yang signifikan. Namun anehnya
harga sebagian besar pangan pokok seperti daging sapi paska Ramadhan dan Idul Fitri 2016 belum
juga turun sesuai dengan kebijakan Presiden Jokowi yaitu di bawah Rp80.000 per Kg. Padahal
kebijakan impor daging sapi sudah diberlakukan walaupun relatif terbatas. Pertanyaannya adalah
apakah mahalnya harga pangan pokok seperti daging sapi merupakan permainan mafia pangan
atau memang supply yang sangat sedikit di pasar? Gejolak atau permainan harga daging sapi di
pasar tersebut telah berdampak pada diberhentikannya Dirjen Peternakan oleh Menteri Pertanian
RI. Pada masa pemerintahan Orde Baru relatif hampir tak terdengar tentang kelangkaan ataupun
mahalnya harga sembilan bahan pokok. Karena pada zaman Orde Baru, Badan Urusan Logistik—
selanjutnya disebut Bulog merupakan satu-satunya lembaga pemerintah non-departemen (LPND)
yang ditugasi sebagai badan penyangga kebutuhan pokok termasuk beras. Tugas pokoknya adalah
menstabilisasi harga 7 (tujuh) bahan pokok, antara lain: beras, gula, daging sapi, daging ayam,
terigu, telur ayam, dan kedelai. Penugasan Bulog tersebut tertuang dalam Keppres RI Nomor 50
Tahun 1995. Hasilnya terbukti efektivitas pengendalian harga produsen dan stabilitas harga di
konsumen hingga 1998 sangat baik dan terjaga, sebelum krisis moneter terjadi Mei 1998.
Masyarakat merasa tenang dengan stabilnya harga kebutuhan pokok di pasar. Keberhasilan Bulog
di era Orde Baru tersebut juga tidak lepas dari tata kelola dan manajemen institusi Bulog. Pada
masa Orde Baru Bulog—walaupun secara garis koordinasi di bawah Kementerian Sekretariat
Negara, tetapi tugas dan tanggungjawabnya langsung kepada Presiden. Hal ini mendorong
program swasembada beras sempat terwujud pada masa Presiden Suharto tahun 1980-an karena
perhatian langsung dari Presiden terhadap Bulog. Peran Bulog diakui telah bergeser pada saat
setelah terjadi krisis moneter tahun 1998. Perubahan peran dan wewenang Bulog sejalan dengan
perubahan politik sebagian besar BUMN yang merupakan implikasi politik dari kesepakatan
perjanjian Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund
(IMF). Di samping itu juga sebagai implikasi dari lahirnya UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Artinya, Bulog yang semula berperan sebagai badan penyangga pangan pokok dengan
penitikberatan stabilisasi harga pangan, 170 Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan Volume 17,
Nomor 2, Oktober 2016: 168-192 berubah menjadi hampir semuanya bertujuan pada orientasi
profit semata walaupun Bulog sudah merupakan badan usaha milik negara berbentuk perusahaan
umum (perum). Padahal walaupun BUMN berbentuk perusahaan umum tidak hanya mengejar
keuntungan saja, tetapi juga sebagai agent of development dalam menyediakan barang publik yang

8
dibutuhkan masyarakat banyak, seperti beras. Unsur agen pembangunan dan agen perubahan
sebagai intervensi pemerintah secara langsung dalam menyeimbangkan dan menstabilkan harga
pangan di pasar dalam kasus Bulog, menjadi sirna atau hilang. Peran Bulog tak ubahnya dengan
perusahaan lain yang penekanan utamanya pada botom line atau keuntungan yang menjadi
indikator keberhasilan kinerja usaha. Jika masyarakat pernah mengalami stabilitas harga dan
tersedianya bahan pokok karena peran Bulog pada masa Orde Baru, mengapa pemerintah tidak
mengembalikan peran Bulog seperti semula, yang tentu dengan penyempurnaan atau revitalisasi
tugas dan fungsinya. Penguatan peran dan fungsi Bulog diprediksi akan mampu menjaga stabilitas
harga pangan dan menjaga minat petani untuk tetap menanam padi dan berbagai komoditas pangan
lain. Indonesia perlu belajar dari Thailand dalam pengelolaan beras. Semua beras yang diproduksi
petani di Thailand dibeli Pemerintah dengan harga yang memungkinkan petani meraih
keuntungan, kemudian disalurkan kepada rakyat dengan harga yang terjangkau oleh daya beli
masyarakat Thailand. Mengembalikan fungsi Bulog sebagai penyangga berarti memberi
keleluasaan untuk membeli seluruh hasil produksi pangan petani dan menyalurkannya ke daerah
yang bukan sentra produksi beras seperti Indonesia Bagian Timur dan daerah kepulauan lainnya.
Hal ini juga dapat diterapkan misalnya untuk komoditas lain. Dengan demikian Bulog diharapkan
mampu memenuhi semua unsur, baik produsen maupun konsumen. Bulog perlu menetapkan harga
pembelian pemerintah (HPP) sebagai upaya memberi insentif kepada petani dalam meningkatkan
produksi pangan, khususnya beras. Adapun upaya untuk melindungi konsumen terutama yang
berpenghasilan rendah dan masyarakat miskin, maka perlu ditetapkan harga maksimum beberapa
komoditas pangan pokok seperti beras. Pemerintah dinilai perlu memberi keleluasaan kepada
Bulog untuk membeli semua beras yang dihasilkan petani dengan beragam kualitas dan harga.
Untuk itu harus ada patokan dalam membeli gabah pada tingkat harga dan kualitas tertentu. Hal
ini disebut dengan harga pembelian pemerintah (HP). Hasil pembelian beras oleh Bulog dengan
harga ditetapkan pemerintah, maka dapat digunakan pemerintah untuk berbagai keperluan
khususnya untuk menyejahterakan rakyat dengan harga beras terjangkau. Selain itu agar turbulensi
harga pangan di pasar dunia tidak langsung berimbas pada harga pangan domestik, perlu
diupayakan relasi harga terhadap pasar dunia dengan fluktuasi yang lebar. Bulog juga seharusnya
memiliki stok penyangga dalam jumlah yang cukup. Karena tanpa stok penyangga dalam jumlah
yang cukup, mustahil pemerintah dapat mengintervensi pasar untuk stabilisasi harga saat terjadi
gejolak harga pangan di pasar. Melalui stabilisasi harga pangan yang langsung di bawah Presiden,

9
Bulog seharusnya mampu mengelola pangan dengan manajemen yang lebih modern dengan tetap
memegang teguh prinsip tata kelola good governance.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai, peranan Bulog dalam menjaga stabilitas
harga beras masih sangat dibutuhkan. Sayangnya, Bulog saat ini dinilai tak memiliki kekuatan
layaknya masa Orde Baru dulu. Bulog sekarang tidak punya power untuk melakukan stabilisasi
harga dan meningkatkan stok beberapa komoditas pangan pokok, karena Bulog dituntut sebagai
perusahaan (entitas Kelembagaan Urusan Pangan Dari Masa Ke Masa… (Juli Panglima Saragih)
171 bisnis), dan statusnya bukan sebagai lembaga penyangga pangan tetapi pelaku pasar biasa.
Persoalan ketahanan pangan merupakan masalah yang komprehensif yang mesti dilihat dari sisi
multidimensi. Salah satunya adalah masalah kelembagaan yang mengurusi pangan seperti Bulog.
Kelembagaan pangan sudah dibentuk pemerintah sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno
sampai saat ini. Tetapi persoalan pangan seperti lonjakan harga komoditas pangan pokok, belum
juga berkurang dan belum terselesaikan. Masih sulitnya upaya untuk menstabilkan harga pangan
pokok di masyarakat, salah satu penyebabnya adalah masalah kelembagaan Bulog yang di sisi hilir
yang perlu direformasi, direvitalisasi, dan diberikan tugas dan kewenangan lebih untuk menjaga
ketahanan pangan. Bulog hanya mampu menjaga stabilitas harga beras dengan strategi
peningkatan stok beras, tetapi belum mampu menstabilkan harga pangan pokok lainnya.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Produksi beras di wilayah Indonesia tersebar pada berbagai wilayah, terdapat beberapa sentra
produksi beras yang memiliki tingkat produksi cukup tinggi, misalnya: Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Beberapa wilayah sentra
produksi beras memiliki populasi penduduk yang cukup tinggi pula sehingga sejalan dengan
produksi beras yang dihasilkannya. Tersedianya stok beras yang disuplai pada pasar ditentukan
oleh sisi produksi beras. Tingginya produksi beras nasional merupakan penjumlahan dari hasil
produksi beras yang terdapat secara nasional. Konsumen beras secara nasional mencakup
keseluruhan penduduk Indonesia yang berada pada 33 provinsi nasional. Beras dikonsumsi cukup
merata oleh keseluruhan masayarakat sehingga menjadikannya sebagai bahan pokok yang paling
utama karena berpengaruh langsung terhadap masyarakat luas. Konsumsi rata-rata beras per kapita
rakyat Indonesia adalah 139 kg perkapita selama setahun, nilai ini jauh lebih tinggi daripada
konsumsi ideal menurut standar negara lebih maju yaitu sebesar 80-90 kg perkapita selama
setahun. Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara produsen padi
terbesar di dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat
konsumsi beras nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai sehingga
membuat Indonesia menjadi salah satu net importer beras terbesar di dunia sejak tahun 1998.
Dilihat dari jumlah produksinya, Indonesia merupakan salah satu negara produsen padi terbesar di
dunia dengan produksi beras mencapai 34 juta ton per tahun. Namun tingginya tingkat konsumsi
beras nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai sehingga membuat
Indonesia menjadi salah satu net importer beras terbesar di dunia sejak tahun 1998. Peran Bulog
diakui telah bergeser pada saat setelah terjadi krisis moneter tahun 1998. Perubahan peran dan
wewenang Bulog sejalan dengan perubahan politik sebagian besar BUMN yang merupakan
implikasi politik dari kesepakatan perjanjian Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia
dengan International Monetary Fund (IMF). Artinya, Bulog yang semula berperan sebagai badan
penyangga pangan pokok dengan penitikberatan stabilisasi harga pangan, 170 Jurnal Ekonomi &
Studi Pembangunan Volume 17, Nomor 2, Oktober 2016: 168-192 berubah menjadi hampir

11
semuanya bertujuan pada orientasi profit semata walaupun Bulog sudah merupakan badan usaha
milik negara berbentuk perusahaan umum (perum).

3.2 Saran

Pemerintah harus lebih memperhatikan produksi dan pengelolaan sumber daya alam beras di
Indonesia dengan dengan mengawasi nya secara teratur agar terus berkembang sehingga taka da
kelangkaan lagi dan Indonesia pun tidak perlu mengimpor beras lagi. Karena, sejatinya jika sumber
daya alam beras di Indonesia lebih diperhatikan lagi pengelolaannya, maka sumber daya alam bers
di Indonesia akan berkembang pesat peluang akan kelangkaan beras pun mengecil sehingga kita
tak perlu lagi mengimpor beras dari negara lain.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2012. “Manajemen dan Distribusi Beras Bulog”. Workshop Pemantauan Stok
Gabah/Beras di Tingkat Penggilingan.

Firdaus, Muhammad. dkk. 2007. Swasembada Beras Dari Masa Ke Masa. Bogor: IPB Press.

Jamal, Erizal. Dkk. 2007. “Beras dan Jebakan Kepentingan Jangka Pendek”. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. http://pse.litbang.deptan.go.id

Departemen Pertanian. “Roadmap Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) Menuju Surplus
Beras 10 Juta Ton pada Tahun 2014”

Panglima, Juli. 2016. “Kelembagaan Urusan Pangan Dari Masa Ke Masa dan Kebijakan
Ketahanan Pangan”. https://media.neliti.com/media/publications/270509-kelembagaan-urusan-
pangan-dari-masa-ke-m-2c576201.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai