i
UPAYA MEMPERKUAT KEMANDIRIAN PANGAN
PULAU-PULAU KECIL
CV. PENERBIT QIARA MEDIA
152 hlm: 15,5 x 23 cm
Copyright @2022
Dr. Sulaiman, SP., M.SI
ISBN: 978-623-555-180-7
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2022
Penulis:
Dr. Sulaiman, SP., M.SI
ii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA
PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN
iii
KATA PENGANTAR
November, 2021
Penulis
iv
DAFTAR ISI
BAB I KEBUTUHAN PRIMER MANUSIA .............................. 1
1.1. Kebutuhan Pangan ............................................................. 2
1.2. Produksi dan Komsumsi Bahan Pangan ............................. 7
1.3. Jenis Bahan Pangan .......................................................... 11
1.3.1. Beras ........................................................................ 11
1.3.2. Jagung ...................................................................... 13
1.3.3. Kedelai ..................................................................... 15
1.4. Strategi Swambada Pangan .............................................. 18
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN STABILITAS HARGA
PANGAN ................................................................................. 25
2.1. Perundang-undangan Pangan ........................................... 26
2.2. Pulau Kecil ...................................................................... 29
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN KETAHANAN
PANGAN PULAU-PULAU KECIL ......................................... 31
3.1. Pengembangan Wilayah Pulau-pulau Kecil ...................... 32
3.1.1. Pengembangan Bahan Pangan dan Pembangunan
Ekonomi ............................................................................ 33
3.1.2. Pengembangan Bahan Pangan dan Kebijakan
Pemerintah ......................................................................... 35
3.1.3. Petani Daerah ........................................................... 36
3.2. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kemandirian
Pangan Pulau-Pulau Kecil Dan Wilayah Perbatasan ................ 39
3.2.1. Konsepsi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil . 39
3.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan 46
3.3. Manajemen Pengelolaan .................................................. 53
BAB IV STRATEGI ADAPTASI KONSUMSI DAN
PRODUKSI PANGAN ............................................................. 55
4.1. Strategi Adaptasi Produksi Pangan ................................... 57
4.2. Strategi Adaptasi Konsumsi Pangan ................................. 67
4.3. Review Pola Adaptasi Konsumsi Dan Produksi Pangan.... 75
v
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN KONSUMSI
PANGAN ................................................................................. 78
5.1. Kelembagaan Produksi Pangan ........................................ 80
5.1 Kelembagaan Konsumsi Pangan ....................................... 88
5.3. Relasi Sosial Patron Klien Masyarakat Pulau Kecil .......... 91
5.4. Kepentingan (Interest) dan Kuasa (Power) dalam
Kelembagaan Produksi dan Konsumsi Pangan Di Pulau Kecil 99
5.5. Review Kelembagaan Produksi Dan Konsumsi Pangan .. 106
vi
BAB I KEBUTUHAN PRIMER
MANUSIA
1
BAB I KEBUTUHAN PRIMER MANUSIA
2
perekonomian Indonesia. Kriteria kedua yaitu ditunjukkan dari
fluktuasi harga dan pasokan yang secara cepat memengaruhi harga-
harga komoditas lainnya. Hal ini menjadikan komoditas pangan
strategis termasuk dalam komoditas yang menyumbang inflasi. Jika
dilihat dari inflasi umum secara bulanan tahun 2000 sampai dengan
2016 (Gambar 2), dimana rata-rata inflasi umum 4,05 persen per
bulan, maka inflasi pangan yaitu 1,35 persen per bulan sementara
pakaian sebesar 0,47 persen, perumahan 0,44 persen, pendidikan
0,59 persen, dan transportasi 0,63 persen.
Pengeluaran negara dapat dilihat dari nilai impor komoditas.
Beberapa subsektor tanaman pangan memiliki nilai neraca defisit
terbesar dibandingkan sub sektor lain. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai impor tanaman pangan lebih besar dari nilai ekspor,
sehingga pemerintah harus mengeluarkan devisa lebih besar pada
subsektor tanaman pangan.
Pada dasarnya, permasalahan dalam pengadaan pangan
nasional dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi produksi yang
berkaitan dengan pengadaan pangan nasional akan semakin
kompleks dan sulit. Permasalahan produksi pangan nasional
dipilah menjadi permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, sumberdaya kapital, sarana dan
prasarana, teknologi, serta system insentif. Sementara itu dari sisi
konsumsi beras dan bahan pangan lainnya diproyeksikan akan
terus meningkat dari tahun ke tahun, peningatan konsumsi bahan
3
pangan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk
Indonesia (Sholahuddin, 2009).
Pemenuhan kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi lewat dua
cara, yakni melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak
di dalam negeri berharap pangan bisa dipenuhi lewat produksi
domestik (swasembada), dan impor hanya dilakukan jika produksi
dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi komoditas strategis
yaitu padi, jagung, dan kedelai domestik, dewasa ini menemui
banyak tantangan. Tantangan utama adalah produktivitas secara
nasional telah mengalami penurunan. Selain itu, tingginya tingkat
konversi lahan mengurangi secara signifikan lahan potensial
untuk produksi ketiga komoditas tersebut dan merupakan
tantangan yang masih belum bisa dikendalikan oleh pemerintah. Hal
lain yang menjadi tantangan bagi peningkatan produksi komoditas
pangan strategis, yaitu berbagai macam subsidi yang tadinya
diberikan oleh pemerintah saat ini telah dicabut sebagian. Di
samping itu, adanya tantangan yang berasal dari globalisasi seperti
liberalisasi perdagangan yang mengharuskan pemerintah untuk lebih
membuka keran impor dan mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan internasional. Target swasembada pangan sulit
tercapai. Sepanjang tahun 2012 impor beras sudah mencapai 1,95
juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1,9 juta ton,
gula sebanyak 3,06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar.
4
Keadaan ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih mengalami
kekurangan pangan karena masih mengimpor komoditas pangan
strategis. Jika dilihat dari target RPJM (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah) 2010-2014, dari tiga komoditas strategis (padi,
jagung, kedelai), maka hanya padi yang mencapai target sementara
jagung dan kedelai tidak mencapai target. Produksi jagung masih
terpengaruh oleh anomali cuaca. Terlebih kedelai realisasinya
hanya tumbuh 0.04 persen yang artinya kinerja kedelai di
Indonesia sangat buruk. Ketercapaian target produksi padi pun
ternyata tidak sustain karena pada tahun 2013 dengan target
produksi 72,064 juta ton GKG hanya tercapai 69,271 juta ton GKG.
Untuk mencapai target swasembada, maka diperlukan upaya
peningkatan produksi dengan berbagai strategi. Hal yang lebih
penting adalah bahwa ketergantungan impor yang terus menerus
kepada negara- negara pengekspor utama beras, jagung, dan kedelai
akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Impor diduga
akan menurunkan harga sehingga dikhawatirkan pada akhirnya
akan membuat petani merugi dan menghentikan produksi karena
tidak ada insentif harga serta mengalihkan sumber daya yang
dimilikinya untuk produksi komoditas lain.
Tabel 2. Sasaran RPJM 2010-2014 dan Realisasi 2012 untuk
Beberapa Aspek Pembangunan
5
No Pembangunan Sasaran RPJM 2010-2014 Realisasi 2012
6
penggunaan faktor produksi baik dalam kuantitas maupun
kombinasi yang dibutuhkan dalam suatu tingkat produksi ditentukan
oleh produsen. Faktor produksi variabel yang digunakan dalam
proses produksi biasanya melibatkan lebih dari dua macam faktor
produksi.
1.2. Produksi dan Komsumsi Bahan Pangan
Produksi dan konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang berbeda-beda. Konsumsi komoditas pangan strategis
dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga komoditas tersebut,
produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). Sedangkan
produksi dipengaruhi oleh luas lahan, curah hujan, anggaran litbang,
dan jumlah varietas unggul.
Dalam konteks konsumsi, penentuan pengeluaran atau
belanja konsumen sangat penting dalam analisis tingkat output
perekonomian suatu negara. Pengeluaran atau belanja konsumen
sebagian besar ditentukan oleh penghasilan pribadi, perkiraan
konsumen terhadap pendapatan masa depan, kekayaan, dan tingkat
harga. Konsumsi tidak mungkin dilakukan oleh kebanyakan
individu yang tidak mempunyai penghasilan dari pekerjaan atau
melalui transfer dari pemerintah atau dunia bisnis, maka
penghasilan pribadi menjadi hal penting dari variabel-variabel
konsumsi (Salvatore, 2009). Perubahan pendapatan disposabel
berhubungan erat dengan perubahan konsumsi per kapita.
Konsumsi tidak terlalu bereaksi terhadap gejolak pendapatan
7
jangka pendek, sebaliknya gejolak pendapatan jangka panjang
mempengaruhi perubahan konsumsi (Hill, 2008).
Konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga memiliki porsi
terbesar dalam total pengeluaran agregat (Hill, 2008; Rahardja,
2008). Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan
langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan sempurna
dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.
Teori konsumsi modern memprediksi bahwa kenaikan pajak
kontemporer, yang kemudian akan menurunkan pendapatan
disposabel, akan memiliki sedikit dampak pada konsumsi dan oleh
karenanya sedikit dampak pula pada permintaan agregat.
Konsumsi pendapatan sekarang bergerak dalam pola yang
sama tanpa berusaha memisahkan antara perubahan pendapatan
sementara dengan perubahan tetap. Keynes membuat dugaan-
dugaan tentang fungsi konsumsi berdasarkan introspeksi dan
observasi kausal. Dalam Mankiw (2003), tiga dugaan- dugaan
Keynes tersebut antara lain:
1. Kecenderungan menkonsumsi marjinal (MPC), yaitu
jumlah yang dikonsumsi dari setiap dolar tambahan adalah
antara nol dan satu.
2. Rasio konsumsi terhadap pendapatan disebut kecenderungan
mengkonsumsi (MPC) rata-rata turun ketika pendapatan
naik.
8
3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan
tingkat bunga tidak memiliki peran penting.
Dari beberapa lapangan usaha dalam sektor pertanian,
tanaman bahan makanan merupakan sub sektor pertanian yang
berperan penting dengan kontribusi lebih dari 40 persen. Untuk tahun
2004-2012 kontribusitersebut rata-rata 49,1 persen.
Lapangan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Usaha
Tanaman bahan 50,30 49,79 49,48 48,92 48,81 48,90 48,95 48,56 48,25
makanan
Tanaman 15,08 15,50 14,63 15,07 14,79 12,99 13,81 14,08 13,42
perkebunan
Peternakan 12,35 12,14 11,79 11,32 11,62 12,24 12,11 11,85 12,27
Kehutanan 6,16 6,20 6,94 6,67 5,63 5,26 4,90 4,74 4,61
Perikanan 16,11 16,38 17,16 18,03 19,15 20,60 20,23 20,77 21,45
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
9
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang masih relatif
tinggi, dibanding negara-negara yang sudah maju, menjadikan
tekanan terhadap peningkatan kebutuhan pangan tetap terjadi.
Beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia di bidang pangan
antara lain adalah: peningkatan konsumsi padi jagung kedelai,
peningkatan kebutuhan industri pangan baik produk akhir maupun
intermediate seperti mie instant, bakso, pakan dan lain-lain yang
menekan konsumsi bahan baku, alih fungsi lahan terutama sawah
terus terjadi, pola produksi skala produksi rumahtangga tidak dapat
mengimbangi dinamika pasar dan pertumbuhan konsumsi,
perubahan pola konsumsi dalam kepraktisan bentuk olahan,
kualitas dan merek terutama trend konsumsi pangan olahan
hewani yang seiring dengan peningkatan pedapatan masyarakat, dan
karakteristik konsumsi tidak dapat secara fleksibel direspon
produsen yang mayoritas berupa industrirumah tangga.
Pola pengeluaran masyarakat untuk makanan masih memegang
porsi yang tinggi yang artinya nilai MPC (Marginal Propensity to
Consume) Indonesia masih tinggi walaupun dengan arah yang
menurun (dari 0,5017 menjadi 0,4771) (Tabel 5). Namun dapat
dilihat bahwa konsumsi padi- padian tetap tinggi dengan share
16.56 persen dari pengeluaran. Berbarengan dengan itu, konsumsi
makanan dan minuman jadi juga tinggi.
10
1.3. Jenis Bahan Pangan
1.3.1. Beras
Hingga kini padi masih dianggap sebagai komoditas
strategis dan mendapat prioritas yang tinggi dalam program
pembangunan nasional. Hal ini disebabkan beras merupakan
kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90 persen penduduk
Indonesia. Selain itu, beras juga merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Sehingga seringkali beras dianggap sebagai
komoditas yang bersifat strategis dan politis. Oleh karena itu,
keberadaan dan kecukupannya senantiasa diperhatikan oleh
pemerintah. Salah satu upaya pemerintah adalah kebijakan
pembangunan tanaman pangan.
Walaupun realisasi produksi telah melebihi target produksi
roadmap yaitu, surplus beras 10 juta ton, namun pertumbuhan
produktivitas padi nasional stagnan pada 1,52 persen per
tahun. Demikian pula luas panen stagnan yang dikarenakan
kondisi irigasi dan alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan tahun
1998-2003 seluas 42,5 ribu hektar dan dari tahun 2010 hingga
2015 mengalami kenaikan yang diperkirakan mencapai lebih
dari 100 ribu hektar. Hal ini berdampak surplus tersebut masih
belum cukup untuk mengatasi fluktuasi harga. Surplus ini pun
sulit dipertahankan karena sulit terpenuhinya kebutuhan input
yang semakin meningkat.
11
Keragaan produksi beras di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2013 dengan trend cenderung
terus meningkat (Gambar 7). Produksi beras rata-rata tahun 1970-
2013 mencapai 24.187 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan
rata-rata 2,53 persen per tahun. Namun konsumsi rata-rata per
tahun mencapai 26.299 ribu ton sehingga terlihat bahwa
konsumsi cenderung selalu lebih tinggi dari produksi kecuali
pada tahun 1980 sampai 1984, produksi lebih tinggi dari
konsumsi (swasembada). Kondisi baik ini mulai terulang setelah
tahun 2010 dimana produksi lebih tinggi dari konsumsi
walaupun sangat tipis.
Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi beras
(2.53%) lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi
(2.23%). Besarnya laju peningkatan produksi diduga karena
peningkatan produksi yang cukup signifikan pada periode
2008-2013 baik di wilayah Pulau Jawa maupun di luar Pulau
Jawa. Krisis ekonomi diduga menjadi penyebab turunnya
konsumsi beras karena terjadinya peningkatan harga berbagai
barang dan terjadinya penurunannya daya beli masyarakat.
Konsumsi kalori yang bersumber dari padi-padian
(1167 kkal/kap/hari) melebihi kebutuhan ideal yaitu 1000
kkal/kap/hari namun total dan komposisi dari bahan lainnya
masih di bawah kebutuhan ideal. Target PPH (Pola Pangan
Harapan) yaitu 100 sedangkan capaian skor PPH tahun 2012
12
sebesar 75.4 (Tabel 7).Pemenuhan masih besar dari
karbohidrat,bukan protein dan bahan lain seperti buah dan sayur.
Dengan pertambahan penduduk, hal ini menekan konsumsi
padi jagung dan kedelai yang semakin banyak sehingga
merupakan tantangan untuk terus meningkatkan produksi dan
pencapaian swasembada.
Tingginya konsumsi berdampak pada kenaikan harga yang
cenderung membentuk harga keseimbangan yang baru karena
kenaikan harga ini tidak mampu direspon oleh arus pasokan. Pada
akhirnya harga pangan strategis menjadi tidak stabil. Tantangan
lain yaitu distribusi yang tidak lancar yang disebabkan oleh
lemahnya infrastruktur, tingginya biaya transportasi, dan
lemahnya transaksi dalam rantai pemasaran dri produsen
hingga konsumen. Produsen yang sebagian besar adalah petani
berskala kecil (rumah tangga) tidak mampu merespon terhadap
dinamika pasar (perkembangan harga, selera konsumen dan
persaingan). Lemahnya distribusi berdampak pada stok
komoditas berada di tangan pedagang pengumpul.
1.3.2. Jagung
Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan baik luas panen maupun produktivitas jagung
secara nasional. Upaya tersebut sepertinya mulai berhasil
dengan meningkatnya produksi jagung mulai tahun 2007.
Sebelumnya konsumsi jagung masih lebih tinggi
13
dibandingkan produksi jagung secara nasional. Mulai pada
tahun 2007 antara konsumsi dan produksi tidak bersenjang
terlalu besar.
Keragaan produksi jagung pada tahun 1972 adalah
terendah yaitu 1.998 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan produksi
jagung tertinggi terjadi pada tahun 1973 sebesar 63,71 persen,
sedangkan rata-rata pertumbuhan produksi jagung terendah
terjadi pada tahun 1982 sebesar -28,25 persen. Pada tahun
1990-2012 rata-rata pertumbuhan produksi jagung Indonesia
sebesar 5,58 persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih
pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan
produksi jagung hanya sebesar 7,40 persen. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan produksi jagung pada 5 tahun
terakhir berkisar 7,71 persen. Produksi jagung tertinggi
terjadi pada tahun 2012 sebesar 16.810 ribu ton.
Keragaan konsumsi jagung di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2012 berfluktuasi dengan
trend cenderung terus meningkat. Konsumsi jagung rata-rata
tahun 1970-2012 mencapai 7.948 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 6,50 persen. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata
konsumsi jagung terendah 2.591 ribu ton. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi jagung tertinggi terjadi pada tahun
1973 sebesar 97,19 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhan
konsumsi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -
14
34,57 persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek
antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan konsumsi
jagung Indonesia hanya berkisar 5,51 persen. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung pada
dekade terakhir meningkat sebesar 6,90 persen. Konsumsi
jagung tertinggi mencapai 16.928 ribu ton pada tahun 2007.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung antara tahun 2008
hingga 2012 turun menjadi -0,15 persen.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa rata-rata
pertumbuhan produksi jagung dari tahun 1970-2012 (6,5%)
lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi (6.23%).
Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung 5 tahun terakhir
menurun diduga karena konversi penggunaan jagung sebagai
bahan pangan menjadi biodiesel.
Adapun harga jagung dari tahun 1980 sampai 2013
memiliki trend yang terus meningkat. Namun harga jagung
masih di bawah harga beras. Trend harga yang meningkat ini
disebabkan pula oleh kebutuhan akan jagung yang semakin
tinggi terutama jagung sebagai pakan.Sementara dari sisi
produksi sangat sulit mengimbangi permintaan tersebut.
1.3.3. Kedelai
Keragaan kedelai di Indonesia jauh dari target
pencapaian swasembada. Dengan target yang semakin
meningkat, realisasi dari tahun ke tahun malah semakin menurun
15
sehingga gap antara target dan realiasi semakin lebar.
Komoditas kedelai adalah komoditas setelah padi dan
jagung. Konsumen kedelai 14,7 persen adalah industri kecap
skala menengah dan besar, 83,7 persen adalah industri tahu
tempe, 1.2 persen untuk benih, dan sekitar 0.4 persen untuk
pakan ternak. Masalah umum yang dihadapi komoditas
kedelai yaitu harga kedele yang fluktuatif, karena diatur oleh
importir kedelai dan tidak dapat dihadapi oleh industri tahu
tempe.
Sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya adalah kedelai. Sebanyak 50 persen
dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk
tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10 persen dalam
bentuk produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain (BPS,
2017). Hal tersebut yang menyebabkan kebutuhan Indonesia
terhadap kedelai menjadi tinggi. Tingginya konsumsi kedelai
ini tidak disertai dengan produksi yang seimbang, sehingga
Indonesia masih harus mengimpor. Peningkatan produksi
kedelai baik dari kuantitas maupun kualitas terus diupayakan
oleh pemerintah. Pengembangan komoditas kedelai untuk
menjadi unggulan subsektor tanaman pangan perlu mendapat
dukungan dari semua pihak terkait.
Keragaan produksi kedelai di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2012 dengan trend cenderung
16
terus meningkat. Produksi kedelai rata-rata tahun 1970-2012
mencapai 938 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,25
persen. Produksi rata-rata kedelai paling rendah terjadi pada
tahun 1970 sebesar 497 ribu ton. Tahun 1984 terjadi rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai tertinggi yaitu sebesar 43,47
persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek
antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi
kedelai Indonesia hanya berkisar -1,13 persen. Produksi kedelai
tertinggi mencapai 1.869 ribu ton pada tahun 1992. Rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai terendah pada tahun 2000
sebesar -26,41 persen. Sementara keragaan rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai pada dekade terakhir
meningkat sebesar 3,21 persen. Rata-rata pertumbuhan
produksi kedelai antara tahun 2008 hingga 2012 meningkat
menjadi 7,11 persen.
Keragaan konsumsi kedelai di Indonesia antara tahun
1970-2012 menunjukkan pola yang berfluktuasi dengan
kecenderungan meningkat. Konsumsi kedelai rata-rata tahun
1970-2012 mencapai 1.394 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 2,78 persen. Rata-rata konsumsi kedelai terendah
terjadi pada tahun 1970 sebesar 627 ribu ton. Pada tahun 1990-
2012 rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia
sebesar 1,05 persen. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai
tertinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 19,08 persen, dan rata-
17
rata konsumsi kedelai tertinggi sebesar 2.096 ribu ton pada tahun
1998. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai terendah pada
tahun 1999 sebesar -29,78 persen. Jika dilihat pada kurun
waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-
rata pertumbuhan konsumsi kedelai hanya sebesar 0,31
persen. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi
kedelai pada 5 tahun terakhir berkisar -1,85 persen.
Secara umum dapat disimpulkan rata-rata pertumbuhan
produksi kedelai dari tahun 1970-2012 (2,25%) lebih rendah
daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai (2,78%).
Penurunan tertinggi pada 5 tahun terakhir terjadi pada tahun
2008 yang merupakan salah satu masa krisis. Hal ini
menunjukkan bahwa kedelai masih terimbas krisis dibandingkan
komoditas pertanian lainnya, karena penyediaan kedelai masih
tergantung dengan kedelai impor, sehingga swasembada kedelai
merupakan tantangan pada masa mendatang. Adapun harga
kedelai di Indonesia cenderung mengalami peningkatan.
Harga inilah yang membuat pengrajin tempe sebagai industri
kecil kesulitan mempertahankan usahanya.
18
98,08 persen di tahun 2013 dan 95,38 persen di tahun 2014.
Meskipun belum mencapai target sasaran, proyeksi produksi dan
konsumsi beras menunjukkan bahwa tahun 2014.
Indonesia telah mampu berswasembada beras. Namun
kisaran capaian swasembada yang tidak terlalu besar, sehingga
belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada beras
yang berkelanjutan. Kebijakan penetapan surplus 10 juta ton beras di
tahun 2014 belum dapat tercapai karena membutuhkan strategi
program perluasan areal tanam melalui optimalisasi pemanfaatan
lahan, cetak sawah baru, pembangunan atau perbaikan Jaringan
Irigasi Teknis Usahatani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan
Tata Air Makro (TAM), pembangunan atau perbaikan sumur, serta
rehabilitasi dan konservasi lahan pertanian agar petani dapat
meningkatkan indeks pertanaman sehingga peningkatan areal tanam
akan tercapai. Berikut ini adalah upaya yang dapat dilakukan
dalam meningkatkan produksi beras di Indonesia dengan
perluasan areal dan pengelolaan lahan:
1. Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan.
Konversi lahan lahan sawah terus berlangsung dengan laju
konversi sekitar 100 ribu hektar per tahun. Oleh karena itu,
pemerintah saat ini berusaha melakukan perluasan areal
dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah
baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam revitalisasi pertanian,
perikanan dan kehutanan mencanangkan lahan pertanian
19
abadi, lahan sawah 15 juta hektar dan lahan kering 15 juta
hektar. Selain itu penegakan peraturan dan undang-undang yang
sudah dibuat jangan bersifat himbauan tanpa sanksi.
Himbauan Kementrian pertanian untuk pembukaan lahan
pertanian yang baru harus segera dilaksanakan.
20
atau bahkan ditambah. Kegiatan pengelolaan air meliputi
perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan pembangunan dam
parit, pemanfaatan air irigasi permukaan dengan pompa air,
dan Pengembangan Irigasi Perdesaan (PIP).
21
benih unggul kepada para petani, sehingga petani memakai benih
lebih dari 3 kali masa tanam. Solusinya adalah menghilangkan
kebiasaan menanam jagung lebih dari 1 varietas, memberikan
pengetahuan mengenai sifat-sifat dari varietas unggul sehingga
perawatan yang diberikan bisa tepat sesuai dengan kebutuhan, dan
membantu memeriksa penanaman benih, kotakan sawah dari
benih sebelumnya, serta penanaman biakan di setiap dapuran yang
tidak boleh lebih dari 1 batang bibit, memeriksa jarak tanam, dan
mengamati penanaman biakan. Peningkatan produksi jagung secara
umum tegantung pada keadaan dan luas lahan, kondisi lingkungan
(iklim), penggunaan benih varietas unggul, keterampilan teknis
dalam menghadapi serangan hama dan penyakit, konservasi lahan,
dukungan infrastruktur (jalan, transportasi), kelembagaan sarana
produksi, alat dan sarana pertanian, serta permodalan.
Capaian produksi kedelai adalah paling buruk yaitu di
bawah 50 persen dan diperkirakan produksi akan turun. Hal ini
menandakan Indonesia belum mampu berswasembada kedelai. Saat
ini lahan kedelai sekitar 3,5 juta ha karena berkurang 600 ribu ha.
Permasalahannya adalah perluasan lahan masih sulit karena adanya
konversi lahan terutama perubahan peruntukan menjadi
perumahan, kepemilikan lahan yang sempit, sulitnya akses petani
ke lahan terlantar, masih menggunakan alat atau teknologi
tradisional, jumlah petani kedelai yang semakin berkurang, industri
yang belum berkembang, lemahnya kelembagaan petani,
22
permodalan terbatas, dan tidak ada jaminan harga dari
pemerintah. Perluasan lahan untuk kedele difokuskan ke Nusa
Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Upaya lain yaitu
peningkatan kegiatan Litbang untuk penerapan kepemerintahan yang
baik, pengembangan agribisnis melalui teknologi dan kelembagaan,
peningkatan ketahanan pangan; dan kesejahteraan petani. Dana
pemerintah untuk litbang di Indonesia hanya 0,025 persen dari Gross
Domestic Product (GDP) setiap tahunnya, yang jauh lebih kecil dari
Jepang dan Malaysia dengan dana litbang mencapai 2,5 persen dari
GDP.
Alternatif strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia perlu ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap
penawaran kedelai dunia dan permintaan impor kedelai serta
kebijakan perkedelaian di Indonesia. Peningkatan produksi kedelai
lokal di Indonesia dapat melalui peningkatan produktivitas, perluasan
areal tanam kedelai, pembagian benih unggul, penguatan
kelembagaan, dukungan pembiayaan dan penyuluhan teknis. Selain
itu diperlukan pembatasan volume impor dengan penetapan tarif
impor kedelai yang tepat atau minimal 10%, sehingga harga kedelai
impor naik dan harga kedelai lokal dapat bersaing. Selain itu juga
perlu kebijakan stabilisasi harga kedelai untuk memberikan
jaminan kepada petani kedelai di Indonesia sehingga para petani
tidak perlu khawatir harga jual anjlok di saat panen raya terjadi.
23
Peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan membentuk
sentra produksi kedelai untuk mempermudah konsumen dalam
mendapatkan kedelai secara langsung, perlunya perbaikan tataniaga
kedelai dari produsen ke konsumen agar arus produk lebih lancar,
serta tataniaga kedelai lebih efektif dan efisien serta harga kedelai di
tingkat konsumen dapat dijangkau. Peningkatan produksi kedele
memerlukan dukungan dan peran dari industri berbasis kedelai
secara bertahap dan kontinu dalam mengurangi ketergantungan
terhadap kedelai impor, dan mulai menggunakan kedelai lokal
dengan melakukan kerjasama dengan petani setempat sebagai
pemasok. Hal ini dapat meningkatkan motivasi petani untuk
menanam kedelai.
24
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN
STABILITAS HARGA PANGAN
25
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN STABILITAS
HARGA PANGAN
2.1. Perundang-undangan Pangan
Pemenuhan kebutuhan dan stabilitas harga pangan
merupakan isu yang penting baik ini dan kedepan. Dengan jumlah
penduduk yang lebih dari 250 juta dan terus bertambah, serta
tersebar di ribuan pulau, menjadikan dimensi permasalahan bukan
hanya pada produksi, jumlah ketersediaan, dan harga saja, namun
lebih kompleks lagi menyangkut sistem logistik nasional.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang aman bagi seluruh
masyarakat merupakan amanah konstitusi. Dalam UU No 18
tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Menurut Lassa, (2000), Kebijakan pengembangan
ketahanan pangan akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
strategis, termasuk didalamnya aspek globalisasi dan perdagangan
bebas. Menurut Johnson (2009), bahwa kedepan sistem pangan
global akan semakin terbuka, terintegrasi, dan dengan teknologi
yang makin baik.
Menurut Johnson, 2009 ketahanan pangan merupakan suatu
kondisi tercapainya kecukupan, keterjangkauan, kualitas yang
baik terkait pasokan pangan untuk mengatasi krisis pangan dan
keterbelakangan pembangunan. Dimensi penyelenggaraan pangan
26
oleh negara bukan hanya menyangkut aspek ketersediaan di pasar,
tetapi juga meliputi beberapa hal, yaitu:
(1) Kemampuan memproduksi
(2) Diversivikasi, keamanan, kualitas dan kandungan gizi
(3) Aspek kecukupan pangan, terutama pangan pokok dan
harga yang wajar
(4) Akses pangan terutama bagi masyarakat yang rawan
pangan
(5) Peningkatan nilai tambah dan daya saing
(6) Peningkatan kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan
(7) Perlindungan dan pengembangan kekayaan sumber daya
Pangan nasional.
Kebijakan pembangunan ketahanan pangan, dilakukan agar
mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat,
paling tidak meliputi beberapa aspek secara komprehensif, yaitu:
(1) Aspek ketersediaan (availability)
(2) Keterjangkauan (accessibility)
(3) Aspek stabilitas (stability)
(4) Aspek kualitas dan keamanan pangan.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Zamroni, (2010),
bahwa ketahanan pangan bukan hanya terkonsentrasi pada
pemenuhan permintaan pangan di pasar domestik, tetapi juga
menyangkut keterjangkauan dan kemampuan daya beli
masyarakat, nutrisi, dan kesehatan pangan. Kebijakan ketahanan
27
pangan nasional yang dinilai telah memperhatikan aksesibilitas
terhadap pangan terutama pada kelompok masyarakat miskin
misalnya adalah bantuan tunai langsung dan program pangan
(beras) untuk masyarakat miskin.
Kondisi geografis yang berupa kepulauan, merupakan salah
satu tantangan yang besar untuk dapat memenuhi kebutuhan
pangan dengan memenuhi keempat aspek tersebut di atas,
khususnya pada wilayah pulau-pulau kecil dan perbatasan yang
relatif sulit dijangkau. Kondisi yang unik pulau-pulau kecil,
memerlukan strategi khusus agar mampu mencukupi kebutuhan
pangan secara berkesinambungan.
Menurut Zamroni, (2010) faktor kurang memadahinya
infrastruktur, terutama transportasi pada wilayah terpencil
menjadi kedala pendistribusian bahan pangan. Salah satunya
adalah membangun kemampuan sendiri untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Membangun kemandirian pangan di
wilayah pulau-pulau kecil menjadi lebih sulit, karena kondisi
sumber daya pertanian umumnya terbatas, baik lahan subur
maupun sumber daya air. Disamping faktor kerentangan yang
lebih besar terhadap dampak perubahan iklim. Meskipun potensi
pengembangan pangan di pulau-pulau kecil dengan
memanfaatkan sumber daya lokal bukan sesuatu yang mustahil.
28
bergantung pada wilayah lain. Kondisi ini yang menyebabkan
kerentanan ketahanan pangan, karena kendala infrastruktur
transportasi yang sangat terbatas dan faktor cuaca yang sangat
berpengaruh terhadap kelancaran distribusi bahan makanan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan kemampuan penyediaan pangan secara mandiri
dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber-sumber
pangan lokal, seperti ubi, singkong, sagu, dan sebagainya sesuai
dengan potensi masing-masing daerah.
Kartasasmita, 2005 mengatakan bahwa dalam konteks
desentralisasi dan otonomi daerah, membuka peluang
keberlangsungan ketahanan pangan nasional dengan berbagai
keunikan dan keanekaragam hayati dan budaya lokalnya. Dengan
demikian, ketahanan pangan nasional sangat ditentukan oleh
ketahanan pangan di daerah, termasuk pengembangan pangan di
pulau-pulau kecil ini.
2.2. Pulau Kecil
Pengertian pulau kecil menurut Undang-Undang 27 Tahun
2007 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya. Ekosistem pulau-pulau kecil terdiri atas ekosistem
daratan, pantai, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang
yang ada pada pesisir pulau. Di samping kriteria utama tersebut,
beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis
terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas
29
fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga
bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan
keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu
mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air
(catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air
permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang
besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek
ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas
tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang
(coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau
(mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik
secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik terlarut, bahan
organik partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia. Selain
potensi terbarukan pulau-pulau kecil juga memiliki potensi yang
tak terbarukan seperti pertambangan dan energi kelautan serta
jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yaitu sebagai
kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media
komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan
lainnya.
30
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN
KETAHANAN PANGAN PULAU-
PULAU KECIL
31
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN KETAHANAN
PANGAN PULAU-PULAU KECIL
32
3.1.1. Pengembangan Bahan Pangan dan Pembangunan
Ekonomi
Pembangunan ekonomi termasuk didalamnya pertanian
dan pangan pada wilayah pulau-pulau kecil dan wilayah
perbatasan (terluar) memerlukan keberpihakan dan strategi
khusus yang berbeda dengan pembangunan di wilayah pulau
besar lainnya. Hal ini karena karakteristik yang unik baik
dilihat dari ekologi, fisik (geografi), maupun dari aspek sosial
ekonomi.
Nikijuluw, 2013 mengemukakan secara garis besar, ciri
ekologis pulau-pulau kecil adalah memiliki ekosistem yang
spesifik, memiliki risiko lingkungan yang tinggi dan rentan
terhadap pencemaran dan kerusakan akibat bencana alam
atau perubahan lingkungan serta keterbatasan daya dukung
pulau terutama luas daratan dan air tawar. Secara fisik
(geografis) pulau kecil terpisah dari pulau besar (mainland)
dan cenderung terisolasi, ukuran yang kecil sehingga
keberadaanya tidak dapat mempengaruhi hidroklimat namun
justru sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan iklim laut,
kondisi biofisik rentan berubah karena aktivitas
di mainlandnya, maupun karena perubahan kondisi alam,
maupun kegiatan manusia di pulau kecil tersebut. Secara
sosial dan ekonomi, kehidupan di pulau kecil juga memiliki
ciri tertentu, seperti budaya yang khas, mata pecaharian,
sumber daya alam yang relatif terbatas, aksesibilitas yang
33
rendah, dan fasilitas layanan dasar yang terbatas.
Pengembangan ketahanan pangan dipulau-pulau kecil
dan wilayah perbatasan secara umum dapat dilakukan dengan
meningkatan kemampuan produksi pangan di wilayah
tersebut dan atau meningkatkan aksesibilitas pangan.
Peningkatan aksesibilitas pangan dapat dilakukan dengan
peningkatan daya beli masyarakat melalui pengembangan
kemampuan ekonomi secara umum dan menjamin
ketersediaan pangan dengan mendatangkan dari luar wilayah.
Model sistem ketahanan pangan yang bertumpu dari pasokan
luar pulau akan rentan terhadap perubahan cuaca, iklim, dan
musim, serta hubungan antara pulau-pulau kecil
dengan mainlandnya. Aksesibilitas yang rendah dan
ketergantungan ketersediaan bahan pangan terhadap wilayah
luar akan sangat berisiko, karena pada saat-saat tertentu suatu
wilayah pulau kecil dapat terisolasi dari wilayah luar karena
kondisi cuaca dan laut yang tidak memungkinkan untuk
pelayaran selama berminggu-minggu bahkan bulanan.
Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan
kapasitas produksi pangan sendiri di wilayah pulau-pulau
kecil dan perbatasan. Hal ini untuk mengurangi bahkan bila
memungkinkan menghilangkan ketergantungan pemenuhan
kebutuhan pangan dari luar wilayah. Peningkatan kapasitas
produksi pangan dilakukan dengan berbasis pada potensi
sumber daya pertanian dan komoditas pangan masing-masing
34
pulau, baik berbasis komoditas darat maupun air.
Pengembangan produksi pangan tidak didasarkan pada
pendekatan komoditas tertentu, namun justru berbasis
komoditas yang potensial di masing-masing pulau yang dapat
dikembangkan menjadi sumber pangan lokal dengan
peningkatan produksi maupun pengolahan produk.
Komoditas sukun, sagu, ubi-ubian jagung atau bahkan
pisang, rumput laut dan hasil laut atau terumbu karang
lainnya dapat dikembangkan sebagai produk bahan pangan
lokal di pulau-pulau kecil. Dengan potensi sumber daya
pertanian yang umumnya relatif terbatas, pengembangan
berbagai komoditas untuk bahan pangan akan semakin
meningkatkan tingkat ketahanan pangan dibandingkan
dengan hanya bergantung pada satu komoditas tertentu.
3.1.2. Pengembangan Bahan Pangan dan Kebijakan
Pemerintah
Kebijakan pangan pemerintah yang terlalu bertumpu
pada satu komoditas (beras) telah membawa dampak negatif
terhadap pengembangan kemampuan penyediaan pangan
lokal di pulau-pulau kecil. Program bantuan pangan untuk
rakyat miskin yang diberikan dalam bentuk beras, serta upaya
pemenuhan kebutuhan pangan beras pada setiap wilayah
secara bertahap telah mendorong preferensi pangan
masyarakat pulau kecil beralih ke beras dan meninggalkan
komoditas pangan lokal. Kondisi ini menyebabkan tingkat
35
kerentanan terhadap kerawanan umumnya terjadi pada
wilayah-wilayah kepulauan atau perbatasan.
36
(ladang berbindah) dengan komoditas utamanya adalah umbi-
umbian seperti ubi kayu (kasbi) atau ubi jalar (patatas), talas,
keladi, jagung, dan lain-lain (Sianipar, 2013).
37
defisit, masyarakat umumnya mencari umbi-umbian liar
sebagai bahan pangan cadangan (Yusuf, 2013). Sementara
itu, di wilayah perbatasan Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat menunjukkan bahwa potensi pangan yang dapat
dikembangkan adalah padi, baik padi sawah maupun padi
ladang. Selain itu beberapa komoditas pangan alternatif juga
dapat diusahakan seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar
(Burhansyah, 2013). Kasus di pulau-pulau kecil Sulawesi
Tenggara menunjukkan kondisi yang mirip dengan
Kabupaten Sambas. Meskipun di wilayah pulau-pulau kecil,
potensi pengembangan pangan yang dapat dilakukan meliputi
komoditas padi sawah, padi gogo, jagung, ubikayu, ubijalar,
uwi, dan jewawut. Secara lebih spesifik, padi sawah hanya
dapat dikembangkan di Pulau Buton, Muna, Kabaena, dan
Wowoni. Meskipun kemampuan produksi masih jauh
dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat (Abidin, dkk.,
2013).
38
pohon aren sebagai sumber karbohidrat di Maluku,
disamping produk lainnya yang dapat dihasilkan dari
komoditas aren. Untuk dapat mengembangkan komoditas
aren secara optimal diperlukan konsep pengembangan yang
utuh, misalnya agroindustri berbasis aren. Untuk Maluku
Utara misalnya, potensi sagu cukup besar sebagai penyedia
pangan lokal, disamping komoditas padi di beberapa wilayah
(Assagaf, dkk. 2013).
39
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan pada pulau-pulau
yang berpenghuni dan konservasi dan keamanan pada pulau
yang tidak berpenghuni (Subandono, 2013). Berdasarkan
Perpres nomor 78 tahun 2005, telah dibentuk tim koordinasi
pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT), dengan ketua
Menkopolhutkam dan wakil ketua merangkap koordinator
harian Menteri Kelautan dan Perikanan. Salah satu fokus
adalah pengembangan sarana dan prasarana, yang meliputi
energi, air bersih, penunjang produksi, dan penunjang
minawisata. Selain itu, untuk menunjang pengembangan
ekonomi dibangun konektivitas antar wilayah pulau-pulau
kecil. Upaya membuka aksesibilitas juga dilakukan dengan
pengembangan sarana komunikasi. Dengan demikian,
diharapkan pengembangan ekonomi dapat dilaksanakan
dengan lebih baik.
40
terselesaikan sampai saat ini. Permasalahan tersebut adalah:
41
4. Pertahanan dan keamanan; aspek pertahanan dan
keamanan sering menjadi issu yang mengemuka terutama
di wilayah pulau terluar. Potensi konflik kepentingan
dengan negara-negara yang berbatasan langsung akan
mempengaruhi pengelolaan sumber daya yang ada.
5. Disparitas perkembangan sosial ekonomi; kondisi
infrastruktur yang terbatas, tempatnya yang relatif
terpencil menjadikan kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya secara umum masih di bawah wilayah
pulau-pulau besar. Kondisi ini menyebabkan
kecenderungan migrasi keluar dari pulau tersebut yang
menyebabkan semakin terbatasnya sumbedaya manusia
untuk mendorong pembangunan.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana dasar; sarana dan
prasarana, terutama komunikasi, energi, transportasi dan
layanan dasar pada bidang kesehatan dan pendidikan yang
masih relatif terbatas menjadikan kendala tersendiri dalam
pembangunan wilayah pulau-pulau kecil.
7. Konflik kepentingan; antara pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya baik
antar negara, pemerintah pusat dan daerah, atau sesama
pemerintah daerah dan pihak swasta sering terjadi dan
menjadi kendala dalam pembangunan wilayah tersebut.
8. Degradasi lingkungan hidup, yang terjadi akibat
pengelolaan sumber daya yang tidak mengedepankan
42
aspek kelestarian lingkungan menyebabkan degradasi
sumber daya baik pertanian, perikanan maupun sumber
daya alam lainnya.
Dalam pembangunan ekonomi pulau-pulau kecil, perlu
mengikuti etika dan protokol pembangunan pulau kecil,
termasuk pembangunan produksi pangan. Bias atau
pelanggaran dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan
dan keberlanjutan ekosistem serta akan berdampak negatif
terhadap masyarakat setempat. Nikijuluw, 2013
menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga tujuan yang harus
dicapai dalam membangun pulau kecil, yaitu:
43
stabilitas lingkungan, meskipun harus mengubah fungsi
ekologi.
Dengan demikian perubhaan radikal secara masif dan
besar-besaran sebaiknya tidak dilakukan. Implementasi
pendekatan ekoregion dalam pembangunan pulau-pulau kecil
dapat dijadikan pendekatan untuk mencapai pembangunan
ekonomi, termasuk pertanian dengan tetap menjaga
kelestarian ekologi dan sumber daya alam. Pendekatan
ekoregion menurut Institute for Environmental Studies,
(2011) merupakan pendekatan yang bertujuan untuk
mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan konservasi
biodivesity dalam suatu area geografi tertentu.
44
Sesuai dengan kondisi dan ciri wilayah pulau-pulau
kecil, pembangunan memerlukan keterpaduan perencanaan
dan program lintas sektor dan antar tingkat pemerintahan.
Kondisi ekologi yang rentan, menjadikan aktivitas
pembangunan sektor ekonomi tertentu dapat berdampak luas,
sehingga perlu keterpaduan. Demikian halnya antar
pemerintah pusat dan daerah.
45
hal yang mendasar untuk pelaksanaan konsep ini adalah perlu
meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan
penegakan hukum.
46
1. Melakukan penyusunan basis data (database) dan penataan
ruang (laut, pesisir dan pulau-pulau kecil); penyusunan
data base sangat penting dan strategis dalam perencanaan
pembangunan dan tata ruang wilayah pulau-pulau kecil.
Menurut Susanto, dkk., (2013) data dasar pembangunan
pertanian dan perikanan meliputi data sumber daya (tanah,
iklim, pantai, laut, terumbu karang, padang lamun),
sumber daya tanaman dan hasil perikanan, sumber daya
manusia dan kelembagaan yang ada, dan data infrastruktur
pertanian.
2. Penataan dan penguatan kelembagaan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha;
penataan pengelolaan pembangunan wilayah pulau-pulau
kecil perlu dilakukan dengan baik sehingga tidak terdapat
tumpang tindih atau bahkan pengabaian karena tidak ada
yang menangani. Untuk itu diperlukan penataan dan
penguatan kelembagaan pemerintah yang menangani
pembangunan wilayah pulau-pulau kecil, baik pemerintah
pusat, misalnya Kementeria Kelautan dan Perikanan dan
Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan, Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Disamping itu juga perlu
penguatan kelembagaan masyarakat terutama dalam
melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya secara lestari serta dunia usaha agar tidak terjadi
gesekan dan ketidak harmonisan diantara stakeholder yang
47
terlibat.
3. Pengembangan dan penataan sarana dan prasarana dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan; pengembangan
dan penataan sarana dan prasarana terutama transportasi
dan komunikasi merupakan hal yang paling penting dalam
mendukung pembangunan pulau-pulau kecil.
Keterisolasian dan rendahnya kualitas sarana menjadi
kendala paling besar. Menurut Oktarina, (2008)
menyatakan bahwa pengembangan sistem informasi yang
baik juga merupakan hal yang penting dalam
pengembangan ketahanan pangan.
4. Pengembangan suplai chain manajemen komoditas pangan
yang terintegrasi dengan suplai chain pangan nasional.
Dengan demikian pengembangan suplai chain manajemen
pangan nasional yang mengarah pada efisiensi dan
efektivitas pengelolaan pangan dapat tercapai sampai pada
wilayah kepulauan. Mulyadi, (2011); Kemenko
Perekonomian, (2014) merekomendasikan bahwa
kebijakan sistem logistik yang efisien bertujuan
meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas pangan
secara kontinue dengan mensinergikan sistem distribusi
pangan dengan biaya yang lebih efisien. Wass, (2014)
menyatakan bahwa sistem logistik yang efisien dan efektif
akan dapat membantu mengendalikan fluktuasi harga dan
inflasi. Agristina, (2012) menyatakan bahwa sistem
48
logistik pangan ini juga memiliki kontribusi signifikan
terhadap ketahanan pangan. Hal ini sangat strategis pada
wilayah pulau-pulau kecil dan perbatasan.
5. Rencana pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis
masyarakat dan sumber daya lokal dengan memperhatikan
hukum adat/ kearifan lokal; pengelolaan sumber daya
pulau- pulau kecil harus diarahkan untuk mensejahteraan
masyarakat lokal, sehingga pendekatan pembangunan
yang diterakpakan harus mampu mengakomodasikan
kepentingan dan peran serta masyarakat lokal serta budaya
dan kearifan lokal yang telah berlangsung sekian lama.
6. Merancang dan menetapkan tata ruang Kawasan
Pengembangan Ekonomi berwawasan ekoregion
berdasarkan analisis potensi sumber daya dan gugus
kepulauan; Latuconsina, (2015) mengemukakan bahwa
Tantangan terbesar pembangunan dengan kondisi wilayah
kepulauan yang tersebar adalah membangun keterkaitan
atau konektivitas (connectivity) antar wilayah pulau yang
efisien dalam satu kesatuan yang saling berhubungan,
sehingga konsep kebijakan pembangunan bisa tepat
sasaran dan terpadu sesuai potensi yang dimiliki serta
berbagai hambatan yang dihadapi. Pembangunan wilayah
berbasis Gugus Pulau (GP) dengan pendekatan ekoregion.
Dalam pendekatan gugus pulau, Gugusan pulau yang
diperlakukan sebagai wilayah perencanaan homogen,
49
dimana setiap perubahan kebijakan pada suatu bagian
dalam gugus pulau akan mempengaruhi keseluruhan
gugus pulau. Berdasarkan konsepsi ini, suatu gugus pulau
dapat diancang konsep pengembangannya berdasarkan
potensi sumber daya yang tersedia dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat, misalnya menjadi wilayah
pengembangan pertanian, peternakan dan perikanan,
pengelolaan potensi kehutanan berwawasan lingkungan,
pengelolaan potensi pariwisata, pengembangan industri
dan perdagangan, perhubungan dan telekomunikasi, untuk
mengatasi keterisolasian wilayah pulau-pulau kecil, dan
pengelolaan energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Secara khusus, upaya pengembangan kemandirian
pangan di wilayah pulau-pulau kecil juga perlu dilakukan
berdasarkan konsepsi pengembangan gugus kepulauan.
Dalam hal ini gugus kepulauan untuk kemandirian pangan
ditetapkan berdasarkan kedekatan hubungan, sistem produksi
pertanian, ketergantungan ekonomi antar pulau, dan
aksesibilitas wilayah, termasuk dengan mainlandnya. Melalui
pendekatan gugus kepulauan, dapat ditetapkan kawasan
produksi pangan berikut komoditas yang dikembangkan serta
kapasitas produksi yang dapat dihasilkan secara lestari
berikut coverage wilayah yang disuplai. Untuk itu diperlukan
perencanaan tata ruang dan rencana pengembangan gugus
kepulauan pulau-pulau kecil. Dengan demikian dapat
50
dipetakan sistem logistik pangan pada wilayah pulau-pulau
kecil. Pemetaan sistem logistik pangan pulau-pulau kecil ini
menggambarkan lokasi-lokasi pengembangan komoditas
pangan dan juga rantai pasoknya pada pulau-pulau yang tidak
memiliki atau kurang memiliki potensi produksi pangan atau
saat saat terjadi kekurangan produksi sehingga dapat
digambarkan dari mana pasokan kebutuhan pangan diperoleh.
51
pengembangan kapasitas produksi pangan di suatu pulau
yang telah ditetapkan sebagai sentra pengembangan
pangan, harus dirancang menjadi satu kesatuan dengan
desain pengelolaan sumber daya secara umum di pulau
tersebut, berbasis sumber daya dan pendekatan ekoregion
dengan mengoptimalkan peran masyarakat setempat dan
kearifan lokal.
2. Optimalisasi Produksi dilakukan dengan pengelolaan
sumber daya pertanian secara bijak, diantaranya
mengoptimalkan potensi produksi pangan lokal yang
didukung oleh kebijakan peningkatan produksi, distribusi,
dan mendorong pola konsumsi masyarakat yang lebih
beragam.
3. Pengembangan kawasan produksi pangan; untuk itu
diperlukan pembangunan infrastruktur pertanian dan
perikanan untuk meningkatkan akses wilayah kepulauan,
intensifikasi produksi pangan dan hasil laut, ekstensifikasi
lahan pertanian, diversifikasi produksi dan konsumsi
pangan dan perbaikan tata kelola pembangunan pertanian
kawasan kepulauan.
4. Penangan panen dan pengolahan pangan untuk
menghasilkan keragaman pangan olahan, peningkatan
keamanan dan kualitas pangan berbasis bahan pangan
lokal. Penanganan panen dan pasca panen ini akan
meningkatkan nilai tambah produk pangan dan yang
52
penting adalah meningkatkan daya simpan dan kualitas
pangan, sehingga pangan dapat tersedia dalam waktu lebih
lama.
5. Penganekaragaman pola konsumsi masyarakat;
keberhasilan pengembangan kemandirian pangan di
wilayah pulau-pulau kecil harus didukung dengan upaya
diversifikasi konsumsi pangan masyarakat. Hal ini karena
potensi sumber pangan yang tersedia sangat beragam.
Menggantungkan pasokan pangan kepada salah satu
komoditas akan memiliki risiko lebih besar. Demikian
juga sebaliknya pengembangan produksi pangan yang
beragam tanpa diikuti dengan pola konsumsi pangan
masyarakat akan kurang berhasil.
3.3. Manajemen Pengelolaan
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan
saat ini, peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber
daya, termasuk didalamnya sumber daya pada pulau-pulau kecil
akan semakin besar. Dengan demikian konsepsi pengembangan
kemandirian pangan di wilayah pulau kecil ini memerlukan
kesepahaman antar tingkat pemerintahan, termasuk dalam
penyusunan tata ruang pengembangan produksi pangan dan
sistem logistiknya. Untuk itu perlunya delineasi peran antara
Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Konsepsi umum dan
kebijakan nasional secara nasional ditetapkan oleh pemerintah
53
Pusat, sementara pada tataran operasional dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
54
BAB IV STRATEGI ADAPTASI
KONSUMSI DAN PRODUKSI
PANGAN
55
BAB IV STRATEGI ADAPTASI KONSUMSI DAN
PRODUKSI PANGAN
56
dalam menanggulangi ancaman khususnya berkaitan dengan
ancaman ekologi. Tindakan ini merupakan suatu bentuk upaya
penyesuaian diri gunamempertahankan hidup.
57
demikian, nelayan tidak memiliki pilihan mata pencaharian lain
yang cocok dan selaras dengan pengetahuannya. Pengetahuan
dan keahlian yang dimiliki nelayan berciri konvensional dan
semua diperoleh melalui proses sosialisasi. Nelayan melakukan
sosialisasi dini kepada anak melalui proses enkulturasi sehingga
diharapkan terjadi pengembangan diri bagi si anak yang pada
akhirnya mampu mencari pekerjaan yang lebih baik dari nelayan.
Akan tetapi, sebagian besar nelayan tidak dapat melepaskan diri
dari pekerjan sebagai nelayan, meskipun demikian masih ada
kumpulan-kumpulan nelayan yang tetap kokoh bertahan
walaupun berhadapan dengan kondisi yang sulit, terutama saat-
saat sulit (panceklik) (Sastrawidjaja and Manadiyanto 2002).
58
kategori yaitu kawasan terbangun dan lahan dengan kawasan
tidak terbangun. Kawasan terbangun di didominasi oleh
pemukiman dengan sebaran mengikuti garis pantai, sedangkan
kawasan tidak terbangun adalah dominan lahan kosong dan hutan.
Keadaan alam ini menjadi faktor yang membatasi masyarakat
untuk melakukan usaha di bidang pertanian, karena tidak semua
tanaman dapat tumbuh di atas karang. Realitas inilah yang
menjadi faktor yang mendorong kesadaran masyarakat Pulau
Karampuang melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan
hidup dalam upaya memenuhi kebutuhannya khususnya pangan.
59
langkah antisipasi dalam bertahan hidup dengan mencari
penghasilan pada sektor non pertanian sebagai basis nafkah guna
menutupi deficit sector pertanian.
60
peningkatan penghasilan keluarga. Memutuskan untuk memilih
aktifitas sampingan bagi komunitas nelayan adalah usaha dan
kesadaran logis serta erat kaitannya dengan usaha
mempertahankan berberlangsungan kehidupan keluarga (Popkin
1989). Walaupun begitu, hambatan-hambatan sosiokultural
kerapkali ditemui nelayan, hal ini menjadikan beberapa nelayan
tetap konsisten melaut sebagai mata pencaharian demi menunjang
kehidupan rumahtangganya.
61
yang banyak dari kota menyebabkan sebagian masyarakat Pulau
Karampuang menjadikan penjualan bambu sebagai pekerjaan
sampingan.
62
perbaikan alat tangkap ini menjadi usaha sampingan, akan tetapi
memberi kontribusi terhadap pendapatan masyarakat Pulau
Karampuang. Namun usaha tersebut hanya dilakukan oleh
sebagian kecil Ibu-ibu di Pulau Karampuang. Hal ini karena
pekerjaan tersebut membutuhkan keterampilan, selain itu
pengguna jasa perbaikan alat tangkap sudah menurun karena
banyaknya inovasi alat tangkap. Berkaitan dengan hal tersebut
penelitian yang dilakukan oleh (Hayati et al. 2012), menguraikan
bahwa walaupun kapabilitas secara teknis wanita tani unggul
dibandingkan dengan kapasitas manajerial dan social, akan tetapi
umumnya kapabilitas wanita tani masih masuk kategori kurang
mampu dalam mendukung tercapainya ketahanan pangan
rumahtangga.
63
Migrasi adalah strategi adaptasi ekonomi yang umum
dilakukan, dimana dalam rangka mencukupi kebutuhan
rumahtangganya, hamplr semua masyarakat Pulau Karampuang
bermigrasi ke Mamuju. Pria yang bermigrasi beraktifitas di sector
informal yaitu menjadi kuli bangunan dan tukang ojek.
Sedangkan pelaku migrasi perempuan, aktifitas yang dilakukan
biasanya sebagai buruh cuci, tukang jaga toko, tukang jaga anak,
tukang masak. Realitas ini menunjukkan bahwa para pelaku
migrasi umumnya bekerja di sektor informal. Uraian ini selaras
dengan Carner (1984) menguraikan tiga strategi adaptasi yang
bisa dilakukan bagi keluarga miskin yang ada di desa, dimana
salah satunya yaitu bermigrasi ke tempat lain sebagai pilihan
terakhir jika sumber penghidupan di desa tersebut sudah tidak ada
lagi.
64
sisa, karena partisipasi urungan dari undangan dalam bentuk
sumbangan. Kondisi ini dapat terwujud disebabkan oleh nilai-
nilai luhur yang telah melembaga agar saling bahu membahu
menyumbang dalam tiap hajatan. Masyarakat diikat oleh
“kewajiban” untuk membantu dalam bentuk sumbangan dalam
bentuk uang, barang dan tenaga. Adapun yang berhajat juga
memiliki “kewajiban” dalam melunasi hutangnya bila suatu saat
yang menyumbang juga melaksanakan acara. Besar kecilnya
partisipasi sangat ditentukan oleh kelas sosial seseorang.
65
tetapi kepercayaan akan hilang jika ada yang tidak menepati
(ingkar). Setiap keluarga akan memegang teguh kepercayaan
sebagai wujud membina relasi social, karena inti dari semua
adalah kepercayaan. Pengingkaran terhadap kepercayaan akan
mendapatkan sanksi social bagi siapa saja seumur hidup. Dalam
upaya pemenuhan memenuhi kebutuhan hidup, biasanya pada
saat menurunnya pendapatan, ibu-ibu akan meminjam di kios
pengecer di kios-kios penjualan bahan kebutuhan sehari-hari.
66
Karampuang sangat tinggi. Ketika salah satunya mendapatkan
pekerjaan maka akan disampaikan ke kerabat dan tetangga. Begitu
pula kalau ada lowongan pekerjaan yang diperoleh maka
informasi tersebut disampaikan kepada yang lain, sehingga
informasi ini menyebar sangat efektif.
67
Perilaku konsumsi masyarakat di Pulau Karampuang
berbeda berdasarkan beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor Usia
68
bahwa perubahan bahan pangan dari ubi kayu ke beras
dilatar belakangi oleh adanya migrasi sikuler ibu-ibu ke
kota untuk bekerja. Hartog et al. (2006), mengemukakan
bahwa Kebiasaan makan adalah unsur yang urgen pada
tahapan awal dalam menerima suatu produk. Suatu produk
akan lebih cepat diterima apabila dianggap relevan dengan
budaya makan dan mampu di implementasikan diwilayah
tersebut.
b. Faktor Pendapatan
69
mengkonsumsi apa yang tersedia/dihidangkan pada saat
itu.
c. Faktor Pendidikan
70
sebagai kepala keluarga. Selanjutnya Kemampuan
menerima informasi bagi seseorang akan sangat apabila
memiliki derajat Pendidikan yang lebih tinggi, demikian
pula pada aspek implementasi dalam tingkah laku dan cara
hidup khususnya yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan
(Atmarita and Fallah 2004). Aksesibilitas pangan yang
terjadi lebih cenderung berdasarkan pemahaman terhadap
kandungan gizi yang ada padamakanan.
71
akan kebutuhan pangan sangat tinggi. Kondisi ini
kontradiksi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
oleh masyarakat Pulau Karampuang. Sehingga upaya yang
paling efektif yang dilaksanakan sebagai wujud
mengadaptasikan diri ialah melalui pelaksanaan
diversifikasi konsumsi pangan. Dengan
menganekaragamkan jenis makanan, sehingga pengurangan
ketergantungan terhadap makanan yang sulit diperoleh
dapat di wujudkan. Menurut Penelitian Suyastiri (2008),
bahwa pola diversifikasi konsumsi pangan antara beras
dengan makanan penggantinya yaitu jagung, ketela pohon,
meski beras tetap dominan akan tapi minimal dapat
menekan tingkat dependensi beras bagi masyarakat. Namun
konsumsi pangan berbeda masing-masing rumah tangga,
perbedaan ini di sebabkan perbedaan tingkat pendapatan.
Diversifikasi pangan bukan untuk mengganti beras
sebagai makanan pokok bagi keluarga akan tetapi
merubah perilaku konsumsi keluarga dari pangan tunggal
ke beberapa pangan lain yang tersedia di Pulau
Karampuang, seperti ubi kayu dan pisang. Kondisi ini
menjadikan beras bukan satu-satunya makanan sehari-hari
tapi ada ubi kayu di olah menjadi kalumpang/jepa dan
pisang diolah menjadi lokaro’do.
72
Kalupang/jepa adalah merupakan makan khas olahan
masyarakat Pulau Karampuang yang merupakan warisan
secara turun temurun sebagai makanan pokok masyarakat.
Meskipun hampir punah karena perubahan pola konsumsi
tapi masih banyak masyarakat Pulau Karampuang yang
mengkonsumsi.
73
Mandar). Penamaan tersebut disesuaikan dengan kultur dan
bahasa masing-masing daerah. Lokaro’do adalah makanan
yang sangat familiar bagi masyarakat Sulawesi Barat
khususnya Mamuju. Keberadaannya sebagai salah satu
kearifan lokal akan menjadi entitas bagi budaya masyarakat
Mandar, khususnya pada tiap hajatan yang dilaksanakan
seperti syukuran, pernikahan dan sebagainya.
74
4.3. Review Pola Adaptasi Konsumsi Dan Produksi Pangan
75
and David M. Klein 2007). Migrasi adalah strategi adaptasi
ekonomi yang ketiga, (Carner 1984) menguraikan tiga
pendekatan yang yang mampu di laksanakan keluarga miskin
di desa, dimana salah satunya yaitu melakukan jika tidak ada
lagi sumber pendapatan ditempatnya, maka alternative yang
dilakukan adalah dengan bermigrasi ke tempat lain umumnya
berpindah dari desa ke kota.
76
diakses. Menurut (Suyastiri 2008), pola diversifikasi konsumsi
pangan antara beras dengan makanan penggantinya yaitu jagung,
ketela pohon, meski beras tetap dominan akan tapi minimal dapat
menekan tingkat dependensi beras bagi masyarakat. Namun
konsumsi pangan berbeda masing-masing rumah tangga,
perbedaan ini di sebabkanperbedaan tingkat pendapatan.
77
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI
DAN KONSUMSI PANGAN
78
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN KONSUMSI
PANGAN
79
5.1. Kelembagaan Produksi Pangan
80
Penangkapan dan menjaga kelangsungan dan
pemberlakuan waktu melaut kelestarian lingkungan.
5 Tidak boleh membuang Nelayan di pulau karampung
Sampah dan limbah rumah percaya bahwa perilaku tersebut
tangga di laut akan mendatangkan bencana
Sumber: Data dari primer setelah, 2018
81
Pulau Karampuang meyakini bahwa tradisi tersebut mampu
mendatangkan berkah dan mempermudah dalam menjalani
profesi mole’bo. Karena kesadaran akan manfaatnya inilah
masyarakat Pulau Karampuang selalu memelihara secara
terus menerus tradisimakkuliwa.
82
putu-putu atau yang lain didasarkan pada kemampuan
pemilik hajatan. Sedangkan pelaksanaan ritual di perahu
memiliki prosesi tersendiri, dimana sando lopi (dukun
perahu) memimpin pelaksanaan ritual. Di bagian tengah
perahu disiapkan satu baki yang berisi sokkol (ketan/ubi
kayu), loka (pisang), kue (putu-putu) dan minuman. Ritual
di awali dengan pemotongan jengger ayam jantan dan
darahnya diteteskan pada sebilah kayu yang menjadi
penutup (posi lopi) kemudian kayu tersebut di letakkan di
bagian tengah/pusat perahu (posi lopi). Selanjutnya
sandolopi membaca barzanji dan doa, kemudian di akhir
acara makanan di dalam perahu dibagikan kepada semua
undangan yang hadir.
83
ada bencana ataupun sebaliknya. Ritual mappandesasi
dilakukan dengan menggunakan dupa atau kemenyan yang
dibakar kemudian disertai dengan doa-doa keselamatan
oleh imam atau annangguru.
2. Tidak boleh menggunakan racun dan bahan peledak
serta pukat harimau (Trawl)
84
kemunculan ikan hiu selalu bersamaan dengan munculnya
omber. Pada saat tersebut ibu-ibu akan beramai ke pantai
menangkap omber, selain untuk dimakan juga dijual ke
Kota Mamuju. Karena kehadiran ikan hiu beserta omber
dianggap sebagai rejeki, maka masyarakat Pulau
Karampuang melarang untuk menangkap ikan hiu arena
masyarakat meyakini bahwa ikan hiu mendatangkan rejeki.
4. Pemberlakuan batas wilayah penangkapan dan
pemberlakuan waktu melaut
85
wilayah tangkapannya lebih jauh dari lepa-lepa. Dimana
katinting biasanya menggunakan alat tangkap pukat, dengan
waktu menangkap berkisar 3- 4 hari di laut. Sedangkan
jolloro adalah merupakan perahu besar yang menggunakan
mesin yang berkapasitas 10 GT ke atas dengan kekuatan 10
PK. Jolloro biasanya hanya dimiliki oleh nelayan dari luar
pulau. Dengan batas wilayah tangkapan lebih jauh dari
katinting, pemilik perahu jolloro biasanya memiliki rumpon
yang ada di laut. Sampai sekarang masyarakat Pulau
Karampuang masih menaati aturan tersebut. Tetapi aturan
itu sudah mulai hilang karena selain sudah diatur oleh
peraturan pemerintah yang menentukan atas-batas jalur
penangkapan ikan juga karena ketidak patuhan nelayan dari
luar pulau yang sudah mulai masuk ke wilayah lepa-lepa
dan katinting.
86
bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan bencana
terutama ombak yang besar.
87
value bukan semata-mata keyakinan saja. Tingkah laku
setiap orang diorientasikan oleh value yang berdasarkan
pada kulturnya sendiri (Wijaya 2014).
5.1 Kelembagaan Konsumsi Pangan
88
larangan untuk mengerjakan sesuatu yang di larang pada
tiap aktifitas masyarakat. Makan menggunakan piring kecil
bagi anak-anak mengandung makna bahwa nanti kalau
sudah besar, si anak tidak memiliki cita-cita dan dan
harapan yang besar untuk berkembang. Sehingga kehidupan
sosialnya tidak dapat membangun kehidupan keluarga yang
kokoh, atau secara sederhana tidak mampu meningkatkan
taraf hidup keluarganya. Begitu juga dengan ibu hamil,
dimana jika makan dengan piring kecil, diyakini bahwa
anak yang di lahirkan kelak tidak akan memiliki keinginan
dan semangat yang kuat. menjadi anak yang lemah dan
tidak mampu mengarungi kehidupanyang keras.
2. Larangan makan didepan pintu dan makan saat magrib
89
3. Larangan mengobrol atau berbicara saat menyantap
makanan.
90
sehingga perlu sikap hemat dalam mengkonsumsi makanan.
Karena jika ini dilakukan suatu saat tidak punya makanan
untuk dimakan lagi.
5. Larangan meninggalkan rumah pada saat orang lain
sedang makan.
Meninggalkan rumah untuk bepergian bagi
masyarakat Pulau Karampuang harus dilakukan dengan
awal yang baik. Sesuai tutur lisan dari nenek moyang
masyarakat Pulau Karampuang “Punna melo lumampa,
tanda’pa tau ampe meangka” (kalau akan bepergian,
nanti sampai di tujuan baru berangkat). Pesan ini
mengindikasikan bahwa meninggalkan rumah atau
bepergian harus di awali dengan niat untuk sampai di tujuan
dengan selamat kemudian berangkat. Masyarakat Pulau
Karampuang percaya bahwa meninggalkan rumah pada saat
orang lain sedang makan akan mendatangkan musibah atau
hambatan di tengah perjalanan.
91
Karampuang di sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap
melibat berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut membangun relasi
dan saling berkontribusi dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan.
Adapun pihak yang terlibat dalam usaha penangkapan secara
kolektif atau berkelompok antara lain :
1. Pemilik Perahu/juragan
92
2. Awak Perahu atau Buruh nelayan
3. Pedagang perantara
93
Secara organisatoris kedua belah pihak terikat dalam
pekerjaan melaut. Hubungan antara pemilik kapal dan
buruh nelayan didasarkan pada norma yang disepakati dan
dipatuhi bersama.
94
kelompok lain, hal ini karena beberapa awak perahu/buruh
nelayan sudah terikat secara informal dengan pinjaman dari
pemilik perahu. Kebanyakan Awak perahu yang berasal
dari Pulau Karampuang, biasanya di awal bergabung di
kelompok penangkapan sudah meminjam duluan ke pemilik
perahu. Kondisi ini disebabkan karena desakan kebutuhan
rumah tangga.
95
hasil tersebut menyebabkan buruh nelayan memperoleh
hasil yang sedikit. Apalagi jika terjadi kerusakan baik
mesin, perahu maupun alat tangkap, pemiliki perahu akan
memasukan dalam biaya operasional sebagai maintenance
(perbaikan) sehingga biaya keluar sebelum diadakan bagi
hasil. Mekanisme bagi hasil yang dilakukan kelompok
penangkapan di Pulau Karampuang umumnya adalah 3
bagian yaitu untuk pemilik mendapatkan 1bagian atau 33,3
% dari hasil penjualan, setengah bagian atau 16,65 % biaya
operasional, setengah bagian atau 16,65 % untuk juru
kemudi (nahkoda) dan 1 bagian atau 33, 3 % diperoleh
buruh nelayan dan dibagi secara merata. Pada awalnya
masyarakat bagian hasil yang diperoleh berupa uang,
akan tetapi karena tuntutan buruh nelayan menginginkan
bagi hasil dalam bentuk ikan.
96
Masyhuri (1999), Mendeskripsikan dimana nelayan
biasanya mengalami kesulitan keuangan pada waktu tertentu
karena sedikitnya diperoleh dari penangkapan, kondisi ini
menyebabkan nelayan menjual atau menggadaikan berbagai
jenis barang berharga dengan nilai murah. Bahkan nelayan
biasanya mengutang kepada pemilik kapal dengan jaminan
pekerjaan atau bagian yang diperoleh pada hasil
penangkapan akan dijual kepada pemilik kapal sekalipun
dengan harga murah disbanding harga pasar.
Sedangkan pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan
secaraindividu, antara lain :
1. Nelayan
97
2. Penyedia modal Informal
98
bervariasi ada yang mekanisme pembayaranya tiap hari, ada
yang tiap minggu atau bulanan. Keterlibatan ibu-ibu di
Pulau Karampuang dalam usaha mencari pinjaman sangat
dominan. Sistem pembagian tugas tersebut karena
umumnya bapak-bapak hanya bertugas melakukan
penangkapan ikan, sedangkan tentang pemasaran dan
pemenuhan kebutuhan modal merupakan tanggung jawab
ibu-ibu rumah tangga.
99
tentang keseluruhan institusi, kumpulan serta individu yang
bertalian atau bersangkutan dengan produksi dan konsumsi
pangan. Menurut (Gray 2001) berpendapat stakeholders
merupakan unsur atau pihak yang memiliki kepentingan pada
suatu hal dan dapat memberi pengaruh atau mendapat pengaruh
oleh kegiatan usaha tersebut. Urgensi dalam menguji derajat
partisipasi atau peran serta setiap komponen, maka yang harus
dikaji adalah tingkat pengaruh setiap stakeholder pada proses
tersebut.
100
Usaha, Kios/pengecer dan Penyedia Modal Informal.
Stakeholder Utama merupakan unsur atau elemen yang
terkait secara langsung dalam produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang, sebagai stakeholder utama,
maka unsur ini harus ditempatkan sebagai penentu utama
dalam prosen penentuan kebijakan dan keputusan tentang
dinamika produksi dan konsumsi pangan.
3. Stakeholer pendukung: Kepala Desa, Peneliti dan
Lembaga Swadaya Masyarakat. Stakeholder pendukung,
meski tidak memiliki hubungan dantanggung jawab secara
langsung dengan produksi dan konsumsi pangan, akan
tetapi kepedulian dan keprihatinan sehingga stakeholder
pendukung turut memberi andil khususnya dalam proses
pengambilan keputusan- keputusan yang dilakukan oleh
stakeholder kunci terkait dengan produksi dan konsumsi
pangan masyarakat Pulau Karampuang.
Keputusan stakeholder untuk terlibat dalam negosiasi
dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya kepentingan pribadi.
Pruitt and Carnevale (1993), mengemukakan bahwa, diluar
kepentingan pribadi, preferensi untuk prosedur manajemen konflik
yang berbeda adalah fungsi dari Minat lain diluar diri,
image/kesan norma, image/kesan hubungan, proses kelompok,
jaringan, image/kesan koalisi, image/kesan kekuatan untuk
negosiasi, image/kesan mediasi, image/kesan dinamika organisasi
101
internal.
102
Sementara Kelompok Usaha Penangkapan sebagai
kelembagaan yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
produksi pangan khususnya penangkapan ikan sangat menentukan
dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat Pulau
Karampuang.
Sedangkan pedagang pengumpul dan kios/pengecer sebagai
kelembagaan ekonomi masyarakat sangat berperan sehingga
memiliki kepentingan tinggi dan kekuasaan tinggi karena sistem
produksi pangan masyarakat Pulau Karampuang umumnya adalah
dengan cara membeli beras dari luar Pulau Karampuang. Begitu
juga dengan hasil tangkapan (produksi) ikan, meskipun di Kota
Mamuju tersedia PPI dan TPI, akan tetapi kelembagaan pedagang
pengumpul masih dominan berperan dalam pemasaran hasil
tangkapan masyarakat Pulau Karampuang.
2. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) sedang
dan kepentingan (Interest) Tinggi.
103
kelompok wanita tani. Distribusi program tersebut berhubungan
secara langsung ke masyarakat tapi melalui perantara
kelembagaan lain. Selain itu munculnya “ego sektoral” masing-
masing Lembaga yang menyebabkan lemahnya kolaborasi dalam
menerapkan setiap kebijakan yang terkait dengan produksi dan
konsumsi pangan. Hal lain adalah karena pelaksanaan dari
Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan
daerah bidang urusan pangan. Dimana kelembagaan di tingkat
kabupaten hanya menjadi pelaksana teknis. Sehingga semua
kewenangan ditentukan oleh pusat dan propinsi, sedangkan
Kelembagaan pemerintah di tingkat Kabupaten hanya bersifat
koordinasi saja.
Sedangkan koperasi dan Penyedia modal informal
merupakan kelembagaan yang memiliki kekuasaan/pengaruh
yang sedang dan kepentingan tinggi dalam dinamika produksi dan
konsumsi pangan di Pulau Karampuang. Hal ini karena
kelembagaan ini menerima keuntungan yang dinikmati secara
langsung dari dinamika yang terjadi, akan tetapi tidak memiliki
kuasa/pengaruh yang kuat dalam menentukan kebijakan dalam
dinamika produksi dan konsumsi pangan. Pengaruh yang dimiliki
hanya pada kemampuan menyiapkan faktor produksi seperti
modal untuk kegiatan produksi pangan.
3. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) Tinggi
dan kepentingan (Interest) Sedang
104
Stakeholder yang memiliki pengaruh/kekuasaan tinggi dan
kepentingan sedang dalam dinamika produksi dan konsumsi
masyarakat di Pulau Karampuang Pemerintah Desa/kelurahan.
Pemerintah Desa/Kelurahan memiliki kewenangan tinggi dalam
mengatur dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pangan di
Pulau Karampuang, seperti menetukan masyarakat yang layak
mendapatkan bantuan. Kemampuan Pemerintah desa/kelurahan
dalam membangun koneksitas dengan unsur luar sangat
membantu dalam peningkatan peluang usaha, peluang bantuan-
bantuan dari luar. Kewenangan pemerintah desa/kelurahan juga
adalah membentuk dan menetapkan kelembagaan masyarakat
yang ada di wilayahnya. Meskipun demikian kepentingan hanya
sebagai pendukung dalam dinamika produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang.
4. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) sedang
dan kepentingan (Interest) Sedang
105
Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO)
hanya menjalankan fungsi pemberdayaan dan pendampingan saja,
keberdayaan masyarakat hanya melalui peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia saja, peningkatan partisipasi masyarakat
khususnya dalam produksi dan konsumsi masyarakat di Pulau
Karampuang. Tetapi disisi lain tidak memiliki kuasa dalam hal
mengatur pola produksi dan konsumsi pangan masyarakat di
Pulau Karampuang.
5.5. Review Kelembagaan Produksi Dan Konsumsi Pangan
Aktifitas produksi berupa usaha penangkapan ikan memiliki
norma dan nilai yang harus dilaksanakan sebagai bentuk
kepatuhan terhadap kesepakatan yang di buat sejak dulu, nilai dan
norma tersebut melembaga di masyarakat sebagai sebuah pranata
yang menjamin keteraturan.
Kelembagaan produksi masyarakat Pulau Karampuang
dalam melaut sebagai aktifitas disebut Mole’bo’. Sebagai norma
yang telah menjadi konsensus sejak dulu, mole’bo menjadi suatu
norma dan nilai bagi masyarakat Pulau Karampuang dalam
pengelolaan sumberdaya alam khususnya laut. Dalam Mole’bo
masyarakat Pulau Karampuang sebagai Pole’bo, memiliki batasan
dan aturan yang harus dipatuhi dalam aktifitas melaut, yaitu:
melakukan tradisi makkuliwa dan mappandesasi dengan
pemaknaan masyarakat bahwa dipercaya mampu mendatangkan
berkah dan mempermudah dalam menjalani profesi mole’bo,
106
larangan menggunakan racun dan bahan peledak serta pukat
harimau (Trawl) dengan pemaknaan bahwa laut adalah
merupakan tempat mengais rejeki tidak boleh di rusak karena
akan mendatangkan bala bencana, Tidak Boleh Menangkap ikan
hiu dengan pemaknaan bahwa ikan hiu dianggap sebagai berkah
dan rejeki, pemberlakuan batas wilayah penangkapan dan
pemberlakuan waktu melaut sebagai bentuk kesadaran dalam
menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan, larangan
membuang sampah dan limbah rumah tangga di laut dimaknai
bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan bencana terutama
ombak yang besar. Value merupakan keyakinan ataupun dogma
yang tafsir urgen oleh individu atau komunitas. Value dapat
bermakna suatu keyakinan terhadap sesuatu, akan tetapi value
bukan semata-mata keyakinan saja. Tingkah laku setiap orang
diorientasikan oleh value yang berdasarkan pada kulturnya sendiri
(Wijaya 2014)
Nilai yang diyakini oleh setiap orang akan menjadi faktor
penentu konsumsi, sebab nilai adalah bentuk ekspresi kesadaran
terhadap kehendak umum manusia seperti kehidupan alamiah
(biologis), korelasi social, serta desakan intitusi sosial pada
individu (Schwartz and Bilsky 1987). Secara umum nilai dan
norma yang ada antara lain: larangan bagi anak kecil dan Ibu
Hamil makan menggunakan piring kecil dimaknai bahwa anak
yang lahir dan tumbuh tidak memiliki kemampuan dan semangat
107
yang kuat, larangan makan didepan pintu dan makan saat magrib
ini bermakna untuk menghindari gangguan makhluk halus pada
saat makan, larangan mengobrol atau berbicara saat menyantap
makanan pemaknaan masyarakat tentang ini adalah akan
mengurangi nilai sakralnya makanan yang disantap sehingga akan
mengurangi penghormatan terhadap makanan, Larangan
membuang dan meninggalkan sisa makanan di piring lebih
dimaknai sebagai upaya menghindari pemborosan, larangan
meninggalkan rumah pada saat orang lain sedang makan
pemaknaannya adalah keyakinan bahwa meninggalkan rumah
pada saat orang lain sedang makan akan mendatangkan musibah
atau hambatan di tengah perjalanan.
Relasi sosial yang terbangun dalam kegiatan produksi
pangan bagi masyarakat di Pulau Karampuang baik usaha
penangkapan secara kelompok maupun secara individu adalah
patron-klien. Dimana pada penangkapan kelompok yang menjadi
patron adalah pemilik perahu sedangkan pada penangkapan
individu yang menjadi patron adalah penyedia jasa informal.
Relasi ini terbentuk karena ketidaksamaan dalam hal penguasaan
sumberdaya (Satria 2009a).
Kelembagaan yang terlibat dalam produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang memiliki kepentingan dan pengaruh
baik secara positif maupun negatif. Analisis stakeholder
digunakan untuk mengidentifikasi agar memperoleh deskripsi
108
tentang semua institusi, kelompok dan unit yang bertalian dan
bersangkutan dengan produksi dan konsumsi pangan. Menurut
(Gray 2001) berpendapat stakeholders merupakan unsur atau
pihak yang memiliki kepentingan pada suatu hal dan dapat
memberi pengaruh atau mendapat pengaruh oleh kegiatan usaha
tersebut. Makin tinggi dominasi oleh pemangku kepentingan
(stakeholders) makin urgen pula untuk diperhatikan tingkat
partisipasinya pada system itu.
109
DAFTAR PUSTAKA
110
“Development and Testing of the WaterGAP 2 Global Model of
Water Use and Availability.” Hydrological Sciences 48(3):317–
37.
111
Anderson, T. 2008. Agrofuels and the Myth of the Marginal
Lands.
Arlin, Nadia Ariandika, Bustanul Arifin, and Ani Suryani. 2017. “Pola
Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Di Desa Ruguk
Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.” J IIA
5(2):206–10.
112
Asep, Suryadi, Daniel Suryadarma, Sudarno Sumarto, and Jack
Molyneaux. 2006. Agricultural Demand Linkages and Growth
Multiplier in Rural Indonesia. SMERU Research Institute.
Baliwati, YF. and K. Roosita. 2004. Sistem Pangan Dan Gizi Dalam
Pengantar Pangan Dan Gizi. edited by C. D. (eds) YF Baliwati,
A Khom- san. Jakarta: Penebar Swadaya.
Yogyakarta: Liberty.
113
and the Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon
Publishing Group.
Boucekkine, Raouf, Fabien Prieur, and Klarizze Puzon. 2016. “On the
Timing of Political Regime Changes in Resource-Dependent
Economies.” European Economic Review 85:188–207.
114
Bratisda, Liana and B. Satyawan Wardana. 2005. “Tantangan Peluang
Pertanian DanKetahanan Pangan Menghadapi Globalisasi Dan
Permasalah Lingkungan.” Pp. 71–95 in Prospek dan tantangan
Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Pt. Agriculture
Construction Company Limited.
115
Budi, S. 2008. Kemiskinan Dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang:
Laksbang Mediatama.
116
Introduction).” IDS Bulletin 37(4):33–40.
Cohen, Boyd and Pablo Mu. 2015. “Sharing Cities and Sustainable
Consumption and Production : Towards an Integrated
Framework.” Journal of Cleaner Production 1–11.
117
Indonesia. Jakarta: DirektoratPengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Kawasan, TPSA BPPT, CRMPUSAID.
118
Diposaptono, Subandono. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di
WilayahPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Penerbit Buku
Ilmiah Populer.
119
Fariyanti, Anzul Rifin, Siti Zahroh, and Bayu Krisnamurthi. 2012.
Pangan Ikani, Pangan Rakyat Negara Kepulauan. Jakarta:
Departemen Agribisnis, FEM - IPB dan PERHEPI, Safa Printing.
120
Foster and Anderson. 1986. Antropologi
Kesehatan (Terjemahan).
Frankel-Reed, J., Ilona Barbara, F.T., and S. P., Alfred, E., & Mark.
2011. Integrating Climate Change Adaptation into Development
Planning. Eschborn: Deutsche Geselischaft fur Internationale
Zusammenarbeit (GIZ).
121
Grimle. 1998. Stakeholder Methodologies in Natural Resources
Managemen.
Harper, Laura J., Brady J. Deaton, and Judy A. 1986. Food, Nutrition
and Agriculture. edited by Suhardjo. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
122
Hartog, A. P. den, W. A. van Staveren, and Brouwer I. D. 2006. Food
Habits and Consumption in Developing Countries: Manual for
Field Studies. edited by A. P. den Hartog, W. A. van Staveren,
and B. I. D. Wageningen, Nederlands: Wageningen Academic
Publishers.
123
and P. Hein. Paris: Man and the Biosphere Series, Vol. 5.
UNESCO and The Parthenon Publishing Group.
124
Psikologi 2(17– 28).
125
Consumption.” Investigaciones Geográficas 94(52):1–16.
126
Jim Ife. 2002. Community Development, Commuity – Base Alternatives
in an Age of Globalisation. 2nd ed. Melbourne: Pearson Eucation
Australia Pty Limited.
Jakarta: Erlangga.
127
Khomsan, Ali. 2004. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: PT
Raja Grafindo. Persada.
128
Yogyakarta: LKIS.
Liu, Peng and Liang Ma. 2016. “Food Scandals, Media Exposure, and
Citizens’ Safety Concerns: A Multilevel Analysis across Chinese
Cities.” Food Policy 63:102–11.
129
Maxwell, Daniel G. 1996. “Measuring Food Insecurity: The Frequency
and Severity of ‘Coping Strategies.’” Food Policy 21(3):291–303.
130
Morrison, Kathryn T., Trisalyn A. Nelson, and Aleck S. Ostry. 2011.
“Methods for Mapping Local Food Production Capacity from
Agricultural Statistics.” Agricultural Systems 104(6):491–99.
131
Self-Sufficiency in Smallholder Farming Systems of South-
Western Madagascar Using Survey and Remote Sensing Data.”
Agricultural Systems 149:139–49.
Orlove, B. 2009. “The Past, the Present and Some Possible Futures of
Adaptation.” Pp. 131–63 in Adapting to climate change:
Thresholds, values, governance, edited by I. W. N. Adger,
Lorenzoni, and K. O’Brien. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
132
Procedia - Social and Behavioral Sciences 121(September
2012):223–31.
133
Riyadi H. 1996. Gizi Dan Kesehatan Dalam Pembangunan Pertanian.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
134
Safitri, A., D. Pangestuti, and R. Aruben. 2017. “Hubungan Ketahanan
Pangan Keluarga Dan Pola Konsumsi Dengan Status Gizi Balita
Keluarga Petani.” E-Journal Kesehatan Masyarakat 5:120–28.
135
Salman, Darmawan. 2012. Sosiologi Desa : Revolusi Senyap Dan
Tarian Kompleksitas,. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Satria, Arif. 2009b. Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: Institut
Pertanian Bogoro.
136
Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir.
Jakarta: OborBuku.
137
Smil, V. 2000. Feeding the World: A Challenge for the
21st Century.
138
Qualitative Research, edited by Norman K Denzim; and Y. S.
Lincoln. California: SAGE Publications, Inc.
139
Imu Kelautan Dan Konstruksi 2(1):1–10.
140
Uphoff, Milton J. Esman and Norman T. 1984. Local Organisations.
Intermediaries in Rural Development. New York: Cornell
University Press.
Watts, Michael J. and Hans G. Bohle. 1993. “Famine and the Space of
Vulnerability1 Hunger ,.” GeoJournal 30(2):117–25.
141
Wenkam. 1979. “Nutritional Aspects Of Some Tropical Plant Foods.”
Tropical Food: Chemistry and Nutrition 341–50.
142
NAMA LENGKAP PENULIS : Dr. Sulaiman Teddu, SP., M.Si
143
tingkat regional. Penyusun juga aktif di organisasi
kemahasiswaan yaitu : Pengurus Senat Mahasiswa STIP-TPB
Mamuju periode 1998/1999, 1999/2000 dan 2000/2001 serta
anggota Badan Perwakilan Mahasiswa 2001/2002. Selain itu
Penyusun juga aktif pada kegiatan organisasi external kampus
seperti PMII sebagai Sekretaris I Pengurus Cabang Mamuju
periode 2001/2002, IMDI sebagai ketua umum Pengurus
Komisariat STIP – TPB Mamuju, Sebagai Sekretaris Umum
Pengurus Wilayah IMDI Provinsi Sulawesi Barat sampai 2005,
Ketua Umum Komunitas Pemuda Sampaga periode 2006 – 2010,
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi
Sulawesi Barat Periode 2011 –2014, Sekretaris Umum Pengurus
Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Propinsi
Sulawesi Barat Masa Khidmat 2012-2017, dan Wakil Ketua
Bidang OKK DPD I KNPI Provinsi Sulawesi Barat periode 2014-
2017, Wakil KetuaPengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU) Propinsi Sulawesi Barat Masa Khidmat 2018-
sekarang.
Tahun 2005 diangkat sebagai Dosen Kopertis Wilayah IX
Sulawesi yang dipekerjakan di Sekolah Tinggi Ilmu-ilmu
Pertanian Tanratupattanabali Mamuju. Hingga sampai perubahan
bentuk dari STIP Tanratupattanabali menjadi Universitas
Tomakaka, penulis masih aktif sebagai dosen DPK.
144
Karya Ilmiah Penulis : Mahasiswa dan Tanggung jawab Sosial
(2002), Margin Pemasaran Kakao pada UD Mario Marennu
(2003), Buku Ajar Metode Statistika (2004), Buku Ajar Metode
Penulisan Karya Ilmiah (2004), Buku Ajar Metode Penelitian
Ilmiah, Riset dan Operasional (2005).Pengantar Ilmu Pertanian
(Alauddin Press, 2015), Buku Ajar SosiologiPertanian (2019).
145