Anda di halaman 1dari 152

i

UPAYA MEMPERKUAT KEMANDIRIAN


PANGAN PULAU-PULAU KECIL

Dr. Sulaiman, SP., M.SI

i
UPAYA MEMPERKUAT KEMANDIRIAN PANGAN
PULAU-PULAU KECIL
CV. PENERBIT QIARA MEDIA
152 hlm: 15,5 x 23 cm
Copyright @2022
Dr. Sulaiman, SP., M.SI

ISBN: 978-623-555-180-7
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2022
Penulis:
Dr. Sulaiman, SP., M.SI

Editor: Tim Qiara Media


Layout: M Feri Fadeli
Desainer Sampul: M.Nauval Saputra
Gambar diperoleh dari www.google.com

Cetakan Pertama, 2022


Diterbitkan oleh:
CV. Penerbit Qiara Media - Pasuruan, JawaTimur
Email: qiaramediapartner@gmail.com
Web: qiaramedia.wordpress.com
Blog: qiaramediapartner.blogspot.com
Instagram: qiara_media

Hak cipta dilindungi oleh undang -undang. Dilarang mengutip


dan/atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa
izin tertulis penerbit.
Dicetak Oleh CV. Penerbit Qiara Media
Isi diluar tanggung jawab percetakan

ii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

a. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (Satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh tahun dengan
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (Lima miliar
rupiah).
b. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa atas rahmat, hidayah, dan karunia Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik.

Penulis berharap buku ini dapat menambah wawasan serta


pengetahuan bagi para pembacanya serta dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya. Terimakasih disampaikan kepada orang
tua dan kerabat penulis, serta semua pihak yang telah ikut
membantu dalam penyelesaian buku ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam


penyusunan buku baik itu dalam hal ejaan dan tata bahasa, materi,
maupun tata letak. Untuk itu, sudilah kiranya para pembaca dapat
memaklumi dan memberikan kritik serta saran yang membangun
agar penulis dapat menjadi lebih baik dalam penyusunan buku
berikutnya. Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi bagi
semua pihak yang membutuhkan.

November, 2021

Penulis

Dr. Sulaiman, SP.,


M.SI

iv
DAFTAR ISI
BAB I KEBUTUHAN PRIMER MANUSIA .............................. 1
1.1. Kebutuhan Pangan ............................................................. 2
1.2. Produksi dan Komsumsi Bahan Pangan ............................. 7
1.3. Jenis Bahan Pangan .......................................................... 11
1.3.1. Beras ........................................................................ 11
1.3.2. Jagung ...................................................................... 13
1.3.3. Kedelai ..................................................................... 15
1.4. Strategi Swambada Pangan .............................................. 18
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN STABILITAS HARGA
PANGAN ................................................................................. 25
2.1. Perundang-undangan Pangan ........................................... 26
2.2. Pulau Kecil ...................................................................... 29
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN KETAHANAN
PANGAN PULAU-PULAU KECIL ......................................... 31
3.1. Pengembangan Wilayah Pulau-pulau Kecil ...................... 32
3.1.1. Pengembangan Bahan Pangan dan Pembangunan
Ekonomi ............................................................................ 33
3.1.2. Pengembangan Bahan Pangan dan Kebijakan
Pemerintah ......................................................................... 35
3.1.3. Petani Daerah ........................................................... 36
3.2. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kemandirian
Pangan Pulau-Pulau Kecil Dan Wilayah Perbatasan ................ 39
3.2.1. Konsepsi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil . 39
3.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan 46
3.3. Manajemen Pengelolaan .................................................. 53
BAB IV STRATEGI ADAPTASI KONSUMSI DAN
PRODUKSI PANGAN ............................................................. 55
4.1. Strategi Adaptasi Produksi Pangan ................................... 57
4.2. Strategi Adaptasi Konsumsi Pangan ................................. 67
4.3. Review Pola Adaptasi Konsumsi Dan Produksi Pangan.... 75

v
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN KONSUMSI
PANGAN ................................................................................. 78
5.1. Kelembagaan Produksi Pangan ........................................ 80
5.1 Kelembagaan Konsumsi Pangan ....................................... 88
5.3. Relasi Sosial Patron Klien Masyarakat Pulau Kecil .......... 91
5.4. Kepentingan (Interest) dan Kuasa (Power) dalam
Kelembagaan Produksi dan Konsumsi Pangan Di Pulau Kecil 99
5.5. Review Kelembagaan Produksi Dan Konsumsi Pangan .. 106

vi
BAB I KEBUTUHAN PRIMER
MANUSIA

1
BAB I KEBUTUHAN PRIMER MANUSIA

1.1. Kebutuhan Pangan


Pangan telah menjadi kebutuhan primer manusia yang harus
dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan hidup lainnya seperti
sandang, papan dan pendidikan. Pengadaan pangan merupakan
persoalan yang serius dengan melihat perkembangan jumlah
penduduk Indonesia. Data Badan Pusat Statistika (2017)
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia terus meningkat
dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2 persen per tahun. Pada
tahun 2013 jumlah penduduk telah mencapai lebih dari 250 juta
jiwa. Kondisi ini berdampak pada semakin tingginya konsumsi
pangan, yang harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan pangan
agar ketahanan pangan nasional dapat berkelanjutan.
Komoditas pangan seperti beras, jagung, dan kedelai
merupakan komoditas yang mempunyai ktriteria komoditas
paling strategis dari kelima komoditas strategis. Komoditas
pangan strategis tergolong ke dalam lapangan usaha tanaman
bahan pangan. Kriteria pertama yaitu komoditas memiliki peran
besar dalam perekonomian nasional. Kontribusi lapangan usaha
tanaman bahan makanan adalah hampir mencapai 50 persen
terhadap lapangan usaha pertanian, perkebunan, peternakan,
kehutanan, dan perikanan (BPS, 2017). Hal ini membuktikan bahwa
lapangan usaha tanaman bahan makanan yang mencakup pertanian
tanaman padi, jagung, dan kedelai memiliki peran besar dalam

2
perekonomian Indonesia. Kriteria kedua yaitu ditunjukkan dari
fluktuasi harga dan pasokan yang secara cepat memengaruhi harga-
harga komoditas lainnya. Hal ini menjadikan komoditas pangan
strategis termasuk dalam komoditas yang menyumbang inflasi. Jika
dilihat dari inflasi umum secara bulanan tahun 2000 sampai dengan
2016 (Gambar 2), dimana rata-rata inflasi umum 4,05 persen per
bulan, maka inflasi pangan yaitu 1,35 persen per bulan sementara
pakaian sebesar 0,47 persen, perumahan 0,44 persen, pendidikan
0,59 persen, dan transportasi 0,63 persen.
Pengeluaran negara dapat dilihat dari nilai impor komoditas.
Beberapa subsektor tanaman pangan memiliki nilai neraca defisit
terbesar dibandingkan sub sektor lain. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai impor tanaman pangan lebih besar dari nilai ekspor,
sehingga pemerintah harus mengeluarkan devisa lebih besar pada
subsektor tanaman pangan.
Pada dasarnya, permasalahan dalam pengadaan pangan
nasional dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi produksi yang
berkaitan dengan pengadaan pangan nasional akan semakin
kompleks dan sulit. Permasalahan produksi pangan nasional
dipilah menjadi permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, sumberdaya kapital, sarana dan
prasarana, teknologi, serta system insentif. Sementara itu dari sisi
konsumsi beras dan bahan pangan lainnya diproyeksikan akan
terus meningkat dari tahun ke tahun, peningatan konsumsi bahan

3
pangan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk
Indonesia (Sholahuddin, 2009).
Pemenuhan kebutuhan akan pangan bisa dipenuhi lewat dua
cara, yakni melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak
di dalam negeri berharap pangan bisa dipenuhi lewat produksi
domestik (swasembada), dan impor hanya dilakukan jika produksi
dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
Pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi komoditas strategis
yaitu padi, jagung, dan kedelai domestik, dewasa ini menemui
banyak tantangan. Tantangan utama adalah produktivitas secara
nasional telah mengalami penurunan. Selain itu, tingginya tingkat
konversi lahan mengurangi secara signifikan lahan potensial
untuk produksi ketiga komoditas tersebut dan merupakan
tantangan yang masih belum bisa dikendalikan oleh pemerintah. Hal
lain yang menjadi tantangan bagi peningkatan produksi komoditas
pangan strategis, yaitu berbagai macam subsidi yang tadinya
diberikan oleh pemerintah saat ini telah dicabut sebagian. Di
samping itu, adanya tantangan yang berasal dari globalisasi seperti
liberalisasi perdagangan yang mengharuskan pemerintah untuk lebih
membuka keran impor dan mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan internasional. Target swasembada pangan sulit
tercapai. Sepanjang tahun 2012 impor beras sudah mencapai 1,95
juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1,9 juta ton,
gula sebanyak 3,06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar.

4
Keadaan ini memperlihatkan bahwa Indonesia masih mengalami
kekurangan pangan karena masih mengimpor komoditas pangan
strategis. Jika dilihat dari target RPJM (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah) 2010-2014, dari tiga komoditas strategis (padi,
jagung, kedelai), maka hanya padi yang mencapai target sementara
jagung dan kedelai tidak mencapai target. Produksi jagung masih
terpengaruh oleh anomali cuaca. Terlebih kedelai realisasinya
hanya tumbuh 0.04 persen yang artinya kinerja kedelai di
Indonesia sangat buruk. Ketercapaian target produksi padi pun
ternyata tidak sustain karena pada tahun 2013 dengan target
produksi 72,064 juta ton GKG hanya tercapai 69,271 juta ton GKG.
Untuk mencapai target swasembada, maka diperlukan upaya
peningkatan produksi dengan berbagai strategi. Hal yang lebih
penting adalah bahwa ketergantungan impor yang terus menerus
kepada negara- negara pengekspor utama beras, jagung, dan kedelai
akan merugikan posisi ekonomi Indonesia sendiri. Impor diduga
akan menurunkan harga sehingga dikhawatirkan pada akhirnya
akan membuat petani merugi dan menghentikan produksi karena
tidak ada insentif harga serta mengalihkan sumber daya yang
dimilikinya untuk produksi komoditas lain.
Tabel 2. Sasaran RPJM 2010-2014 dan Realisasi 2012 untuk
Beberapa Aspek Pembangunan

5
No Pembangunan Sasaran RPJM 2010-2014 Realisasi 2012

1 PDB Pertanian Tumbuh 3.7-3.9 %/tahun 3.97%

Padi Tumbuh 3.6%/tahun 5.00%

Jagung Tumbuh 10.02%/tahun 9.80%

2 Kedelai Tumbuh 20.05%/tahun 0.04%

Gula Tumbuh 12.55%/tahun 16.75%

Daging sapi Tumbuh 7.3%/tahun 4.20%

Perikanan Tumbuh 21.09%/tahun 11.80%

3 Nilai Tukar Petani 115-120 (tahun dasar 1993) 113.6

105-110 (tahun dasar 2007) 105.2

Sumber : Bappenas, 2013

Produsen mengalokasikan dananya untuk penggunaan faktor


produksi. Proses alokasi faktor produksi dibagi menjadi barang
modal dan tenaga kerja. Produksi merupakan hubungan antara faktor
produksi yang digunakan sebagai input dalam proses produksi untuk
menghasilkan output maksimum pada suatu waktu dan tingkat
teknologi tertentu (Lipsey et al, 1986; Rahardja, 2008). Tidak
semua faktor produksi yang dipakai dianalisis, tergantung dari
pengaruh faktor produksi terhadap produksi. Keputusan

6
penggunaan faktor produksi baik dalam kuantitas maupun
kombinasi yang dibutuhkan dalam suatu tingkat produksi ditentukan
oleh produsen. Faktor produksi variabel yang digunakan dalam
proses produksi biasanya melibatkan lebih dari dua macam faktor
produksi.
1.2. Produksi dan Komsumsi Bahan Pangan
Produksi dan konsumsi dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang berbeda-beda. Konsumsi komoditas pangan strategis
dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga komoditas tersebut,
produksi dunia, dan Gross Domestic Product (GDP). Sedangkan
produksi dipengaruhi oleh luas lahan, curah hujan, anggaran litbang,
dan jumlah varietas unggul.
Dalam konteks konsumsi, penentuan pengeluaran atau
belanja konsumen sangat penting dalam analisis tingkat output
perekonomian suatu negara. Pengeluaran atau belanja konsumen
sebagian besar ditentukan oleh penghasilan pribadi, perkiraan
konsumen terhadap pendapatan masa depan, kekayaan, dan tingkat
harga. Konsumsi tidak mungkin dilakukan oleh kebanyakan
individu yang tidak mempunyai penghasilan dari pekerjaan atau
melalui transfer dari pemerintah atau dunia bisnis, maka
penghasilan pribadi menjadi hal penting dari variabel-variabel
konsumsi (Salvatore, 2009). Perubahan pendapatan disposabel
berhubungan erat dengan perubahan konsumsi per kapita.
Konsumsi tidak terlalu bereaksi terhadap gejolak pendapatan

7
jangka pendek, sebaliknya gejolak pendapatan jangka panjang
mempengaruhi perubahan konsumsi (Hill, 2008).
Konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga memiliki porsi
terbesar dalam total pengeluaran agregat (Hill, 2008; Rahardja,
2008). Konsumsi merupakan sejumlah barang yang digunakan
langsung oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan sempurna
dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.
Teori konsumsi modern memprediksi bahwa kenaikan pajak
kontemporer, yang kemudian akan menurunkan pendapatan
disposabel, akan memiliki sedikit dampak pada konsumsi dan oleh
karenanya sedikit dampak pula pada permintaan agregat.
Konsumsi pendapatan sekarang bergerak dalam pola yang
sama tanpa berusaha memisahkan antara perubahan pendapatan
sementara dengan perubahan tetap. Keynes membuat dugaan-
dugaan tentang fungsi konsumsi berdasarkan introspeksi dan
observasi kausal. Dalam Mankiw (2003), tiga dugaan- dugaan
Keynes tersebut antara lain:
1. Kecenderungan menkonsumsi marjinal (MPC), yaitu
jumlah yang dikonsumsi dari setiap dolar tambahan adalah
antara nol dan satu.
2. Rasio konsumsi terhadap pendapatan disebut kecenderungan
mengkonsumsi (MPC) rata-rata turun ketika pendapatan
naik.

8
3. Pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan
tingkat bunga tidak memiliki peran penting.
Dari beberapa lapangan usaha dalam sektor pertanian,
tanaman bahan makanan merupakan sub sektor pertanian yang
berperan penting dengan kontribusi lebih dari 40 persen. Untuk tahun
2004-2012 kontribusitersebut rata-rata 49,1 persen.

Tabel 3. Kontribusi Lapangan Usaha (Sub Sektor Pertanian)


Terhadap Sektor Pertanian Tahun 2004-2012 (dalam persen)

Lapangan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Usaha

Tanaman bahan 50,30 49,79 49,48 48,92 48,81 48,90 48,95 48,56 48,25

makanan

Tanaman 15,08 15,50 14,63 15,07 14,79 12,99 13,81 14,08 13,42
perkebunan

Peternakan 12,35 12,14 11,79 11,32 11,62 12,24 12,11 11,85 12,27

Kehutanan 6,16 6,20 6,94 6,67 5,63 5,26 4,90 4,74 4,61

Perikanan 16,11 16,38 17,16 18,03 19,15 20,60 20,23 20,77 21,45

Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : Bappenas, 2013

9
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang masih relatif
tinggi, dibanding negara-negara yang sudah maju, menjadikan
tekanan terhadap peningkatan kebutuhan pangan tetap terjadi.
Beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia di bidang pangan
antara lain adalah: peningkatan konsumsi padi jagung kedelai,
peningkatan kebutuhan industri pangan baik produk akhir maupun
intermediate seperti mie instant, bakso, pakan dan lain-lain yang
menekan konsumsi bahan baku, alih fungsi lahan terutama sawah
terus terjadi, pola produksi skala produksi rumahtangga tidak dapat
mengimbangi dinamika pasar dan pertumbuhan konsumsi,
perubahan pola konsumsi dalam kepraktisan bentuk olahan,
kualitas dan merek terutama trend konsumsi pangan olahan
hewani yang seiring dengan peningkatan pedapatan masyarakat, dan
karakteristik konsumsi tidak dapat secara fleksibel direspon
produsen yang mayoritas berupa industrirumah tangga.
Pola pengeluaran masyarakat untuk makanan masih memegang
porsi yang tinggi yang artinya nilai MPC (Marginal Propensity to
Consume) Indonesia masih tinggi walaupun dengan arah yang
menurun (dari 0,5017 menjadi 0,4771) (Tabel 5). Namun dapat
dilihat bahwa konsumsi padi- padian tetap tinggi dengan share
16.56 persen dari pengeluaran. Berbarengan dengan itu, konsumsi
makanan dan minuman jadi juga tinggi.

10
1.3. Jenis Bahan Pangan
1.3.1. Beras
Hingga kini padi masih dianggap sebagai komoditas
strategis dan mendapat prioritas yang tinggi dalam program
pembangunan nasional. Hal ini disebabkan beras merupakan
kebutuhan pangan pokok bagi lebih dari 90 persen penduduk
Indonesia. Selain itu, beras juga merupakan sumber
pendapatan dan kesempatan kerja bagi sebagian besar
penduduk Indonesia. Sehingga seringkali beras dianggap sebagai
komoditas yang bersifat strategis dan politis. Oleh karena itu,
keberadaan dan kecukupannya senantiasa diperhatikan oleh
pemerintah. Salah satu upaya pemerintah adalah kebijakan
pembangunan tanaman pangan.
Walaupun realisasi produksi telah melebihi target produksi
roadmap yaitu, surplus beras 10 juta ton, namun pertumbuhan
produktivitas padi nasional stagnan pada 1,52 persen per
tahun. Demikian pula luas panen stagnan yang dikarenakan
kondisi irigasi dan alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan tahun
1998-2003 seluas 42,5 ribu hektar dan dari tahun 2010 hingga
2015 mengalami kenaikan yang diperkirakan mencapai lebih
dari 100 ribu hektar. Hal ini berdampak surplus tersebut masih
belum cukup untuk mengatasi fluktuasi harga. Surplus ini pun
sulit dipertahankan karena sulit terpenuhinya kebutuhan input
yang semakin meningkat.

11
Keragaan produksi beras di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2013 dengan trend cenderung
terus meningkat (Gambar 7). Produksi beras rata-rata tahun 1970-
2013 mencapai 24.187 ribu ton per tahun dengan pertumbuhan
rata-rata 2,53 persen per tahun. Namun konsumsi rata-rata per
tahun mencapai 26.299 ribu ton sehingga terlihat bahwa
konsumsi cenderung selalu lebih tinggi dari produksi kecuali
pada tahun 1980 sampai 1984, produksi lebih tinggi dari
konsumsi (swasembada). Kondisi baik ini mulai terulang setelah
tahun 2010 dimana produksi lebih tinggi dari konsumsi
walaupun sangat tipis.
Secara umum rata-rata pertumbuhan produksi beras
(2.53%) lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi
(2.23%). Besarnya laju peningkatan produksi diduga karena
peningkatan produksi yang cukup signifikan pada periode
2008-2013 baik di wilayah Pulau Jawa maupun di luar Pulau
Jawa. Krisis ekonomi diduga menjadi penyebab turunnya
konsumsi beras karena terjadinya peningkatan harga berbagai
barang dan terjadinya penurunannya daya beli masyarakat.
Konsumsi kalori yang bersumber dari padi-padian
(1167 kkal/kap/hari) melebihi kebutuhan ideal yaitu 1000
kkal/kap/hari namun total dan komposisi dari bahan lainnya
masih di bawah kebutuhan ideal. Target PPH (Pola Pangan
Harapan) yaitu 100 sedangkan capaian skor PPH tahun 2012

12
sebesar 75.4 (Tabel 7).Pemenuhan masih besar dari
karbohidrat,bukan protein dan bahan lain seperti buah dan sayur.
Dengan pertambahan penduduk, hal ini menekan konsumsi
padi jagung dan kedelai yang semakin banyak sehingga
merupakan tantangan untuk terus meningkatkan produksi dan
pencapaian swasembada.
Tingginya konsumsi berdampak pada kenaikan harga yang
cenderung membentuk harga keseimbangan yang baru karena
kenaikan harga ini tidak mampu direspon oleh arus pasokan. Pada
akhirnya harga pangan strategis menjadi tidak stabil. Tantangan
lain yaitu distribusi yang tidak lancar yang disebabkan oleh
lemahnya infrastruktur, tingginya biaya transportasi, dan
lemahnya transaksi dalam rantai pemasaran dri produsen
hingga konsumen. Produsen yang sebagian besar adalah petani
berskala kecil (rumah tangga) tidak mampu merespon terhadap
dinamika pasar (perkembangan harga, selera konsumen dan
persaingan). Lemahnya distribusi berdampak pada stok
komoditas berada di tangan pedagang pengumpul.
1.3.2. Jagung
Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan baik luas panen maupun produktivitas jagung
secara nasional. Upaya tersebut sepertinya mulai berhasil
dengan meningkatnya produksi jagung mulai tahun 2007.
Sebelumnya konsumsi jagung masih lebih tinggi

13
dibandingkan produksi jagung secara nasional. Mulai pada
tahun 2007 antara konsumsi dan produksi tidak bersenjang
terlalu besar.
Keragaan produksi jagung pada tahun 1972 adalah
terendah yaitu 1.998 ribu ton. Rata-rata pertumbuhan produksi
jagung tertinggi terjadi pada tahun 1973 sebesar 63,71 persen,
sedangkan rata-rata pertumbuhan produksi jagung terendah
terjadi pada tahun 1982 sebesar -28,25 persen. Pada tahun
1990-2012 rata-rata pertumbuhan produksi jagung Indonesia
sebesar 5,58 persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih
pendek antara tahun 2008-2012, rata-rata pertumbuhan
produksi jagung hanya sebesar 7,40 persen. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan produksi jagung pada 5 tahun
terakhir berkisar 7,71 persen. Produksi jagung tertinggi
terjadi pada tahun 2012 sebesar 16.810 ribu ton.
Keragaan konsumsi jagung di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2012 berfluktuasi dengan
trend cenderung terus meningkat. Konsumsi jagung rata-rata
tahun 1970-2012 mencapai 7.948 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 6,50 persen. Pada tahun 1972 mengalami rata-rata
konsumsi jagung terendah 2.591 ribu ton. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi jagung tertinggi terjadi pada tahun
1973 sebesar 97,19 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhan
konsumsi jagung terendah terjadi pada tahun 1982 sebesar -

14
34,57 persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek
antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan konsumsi
jagung Indonesia hanya berkisar 5,51 persen. Sementara
keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung pada
dekade terakhir meningkat sebesar 6,90 persen. Konsumsi
jagung tertinggi mencapai 16.928 ribu ton pada tahun 2007.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung antara tahun 2008
hingga 2012 turun menjadi -0,15 persen.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa rata-rata
pertumbuhan produksi jagung dari tahun 1970-2012 (6,5%)
lebih besar daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi (6.23%).
Rata-rata pertumbuhan konsumsi jagung 5 tahun terakhir
menurun diduga karena konversi penggunaan jagung sebagai
bahan pangan menjadi biodiesel.
Adapun harga jagung dari tahun 1980 sampai 2013
memiliki trend yang terus meningkat. Namun harga jagung
masih di bawah harga beras. Trend harga yang meningkat ini
disebabkan pula oleh kebutuhan akan jagung yang semakin
tinggi terutama jagung sebagai pakan.Sementara dari sisi
produksi sangat sulit mengimbangi permintaan tersebut.

1.3.3. Kedelai
Keragaan kedelai di Indonesia jauh dari target
pencapaian swasembada. Dengan target yang semakin
meningkat, realisasi dari tahun ke tahun malah semakin menurun

15
sehingga gap antara target dan realiasi semakin lebar.
Komoditas kedelai adalah komoditas setelah padi dan
jagung. Konsumen kedelai 14,7 persen adalah industri kecap
skala menengah dan besar, 83,7 persen adalah industri tahu
tempe, 1.2 persen untuk benih, dan sekitar 0.4 persen untuk
pakan ternak. Masalah umum yang dihadapi komoditas
kedelai yaitu harga kedele yang fluktuatif, karena diatur oleh
importir kedelai dan tidak dapat dihadapi oleh industri tahu
tempe.
Sumber protein nabati paling populer bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya adalah kedelai. Sebanyak 50 persen
dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk
tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10 persen dalam
bentuk produk lain seperti tauco, kecap, dan lain-lain (BPS,
2017). Hal tersebut yang menyebabkan kebutuhan Indonesia
terhadap kedelai menjadi tinggi. Tingginya konsumsi kedelai
ini tidak disertai dengan produksi yang seimbang, sehingga
Indonesia masih harus mengimpor. Peningkatan produksi
kedelai baik dari kuantitas maupun kualitas terus diupayakan
oleh pemerintah. Pengembangan komoditas kedelai untuk
menjadi unggulan subsektor tanaman pangan perlu mendapat
dukungan dari semua pihak terkait.
Keragaan produksi kedelai di Indonesia secara umum
antara tahun 1970 hingga tahun 2012 dengan trend cenderung

16
terus meningkat. Produksi kedelai rata-rata tahun 1970-2012
mencapai 938 ribu ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,25
persen. Produksi rata-rata kedelai paling rendah terjadi pada
tahun 1970 sebesar 497 ribu ton. Tahun 1984 terjadi rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai tertinggi yaitu sebesar 43,47
persen. Jika dilihat pada kurun waktu yang lebih pendek
antara tahun 1990-2012, rata-rata pertumbuhan produksi
kedelai Indonesia hanya berkisar -1,13 persen. Produksi kedelai
tertinggi mencapai 1.869 ribu ton pada tahun 1992. Rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai terendah pada tahun 2000
sebesar -26,41 persen. Sementara keragaan rata-rata
pertumbuhan produksi kedelai pada dekade terakhir
meningkat sebesar 3,21 persen. Rata-rata pertumbuhan
produksi kedelai antara tahun 2008 hingga 2012 meningkat
menjadi 7,11 persen.
Keragaan konsumsi kedelai di Indonesia antara tahun
1970-2012 menunjukkan pola yang berfluktuasi dengan
kecenderungan meningkat. Konsumsi kedelai rata-rata tahun
1970-2012 mencapai 1.394 ribu ton dengan pertumbuhan
rata-rata 2,78 persen. Rata-rata konsumsi kedelai terendah
terjadi pada tahun 1970 sebesar 627 ribu ton. Pada tahun 1990-
2012 rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai Indonesia
sebesar 1,05 persen. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai
tertinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 19,08 persen, dan rata-

17
rata konsumsi kedelai tertinggi sebesar 2.096 ribu ton pada tahun
1998. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai terendah pada
tahun 1999 sebesar -29,78 persen. Jika dilihat pada kurun
waktu yang lebih pendek antara tahun 2008-2012, rata-
rata pertumbuhan konsumsi kedelai hanya sebesar 0,31
persen. Sementara keragaan rata-rata pertumbuhan konsumsi
kedelai pada 5 tahun terakhir berkisar -1,85 persen.
Secara umum dapat disimpulkan rata-rata pertumbuhan
produksi kedelai dari tahun 1970-2012 (2,25%) lebih rendah
daripada rata-rata pertumbuhan konsumsi kedelai (2,78%).
Penurunan tertinggi pada 5 tahun terakhir terjadi pada tahun
2008 yang merupakan salah satu masa krisis. Hal ini
menunjukkan bahwa kedelai masih terimbas krisis dibandingkan
komoditas pertanian lainnya, karena penyediaan kedelai masih
tergantung dengan kedelai impor, sehingga swasembada kedelai
merupakan tantangan pada masa mendatang. Adapun harga
kedelai di Indonesia cenderung mengalami peningkatan.
Harga inilah yang membuat pengrajin tempe sebagai industri
kecil kesulitan mempertahankan usahanya.

1.4. Strategi Swambada Pangan


Pencapaian realisasi produktivitas telah mencapai target,
sedangkan realisasi pencapaian target luas panen cenderung tidak
mencapai target. Produksi beras hingga tahun 2014 belum mencapai
target dan ada trend penurunan pencapaian target yaitu mencapai

18
98,08 persen di tahun 2013 dan 95,38 persen di tahun 2014.
Meskipun belum mencapai target sasaran, proyeksi produksi dan
konsumsi beras menunjukkan bahwa tahun 2014.
Indonesia telah mampu berswasembada beras. Namun
kisaran capaian swasembada yang tidak terlalu besar, sehingga
belum dapat menggambarkan ketercapaian swasembada beras
yang berkelanjutan. Kebijakan penetapan surplus 10 juta ton beras di
tahun 2014 belum dapat tercapai karena membutuhkan strategi
program perluasan areal tanam melalui optimalisasi pemanfaatan
lahan, cetak sawah baru, pembangunan atau perbaikan Jaringan
Irigasi Teknis Usahatani (JITUT), Jaringan Irigasi Desa (JIDES) dan
Tata Air Makro (TAM), pembangunan atau perbaikan sumur, serta
rehabilitasi dan konservasi lahan pertanian agar petani dapat
meningkatkan indeks pertanaman sehingga peningkatan areal tanam
akan tercapai. Berikut ini adalah upaya yang dapat dilakukan
dalam meningkatkan produksi beras di Indonesia dengan
perluasan areal dan pengelolaan lahan:
1. Mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konversi lahan.
Konversi lahan lahan sawah terus berlangsung dengan laju
konversi sekitar 100 ribu hektar per tahun. Oleh karena itu,
pemerintah saat ini berusaha melakukan perluasan areal
dengan melakukan pembukaan lahan atau pencetakan sawah
baru. Bahkan pemerintah saat ini dalam revitalisasi pertanian,
perikanan dan kehutanan mencanangkan lahan pertanian

19
abadi, lahan sawah 15 juta hektar dan lahan kering 15 juta
hektar. Selain itu penegakan peraturan dan undang-undang yang
sudah dibuat jangan bersifat himbauan tanpa sanksi.
Himbauan Kementrian pertanian untuk pembukaan lahan
pertanian yang baru harus segera dilaksanakan.

2. Pencetakan lahan sawah baru. Lahan panen padi sekitar 13 juta


hektar dan untuk mencapai swasembada harus ada tambahan
2000 hektar lagi. Pencetakan sawah baru difokuskan di luar
Pulau Jawa, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan
Sumatera Selatan yang menjadi sentra produksi beras.
Diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar lahan tidur yang
mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan
pertanaman padi.

3. Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks pertanaman.


Peningkatan indeks pertanaman dapat dilakukan melalui
peningkatan ketersediaan air irigasi, penyediaan paket sarana
produksi lengkap, pompanisasi, penggunaan alsintan
prapanen, peningkatan tenaga kerja, dan perbaikan teknologi
yang disesuaikan dengan kondisi petani setempat.

4. Menambah dan memperbaiki pengelolaan infrastruktur irigasi


untuk budidaya padi. Lebih dari 20 persen fasilitas irigasi rusak
dan sekitar 80 persen areal irigasi di daerah sentra produksi
nasional rentan terhadap kekeringan sehingga perlu diperbaiki

20
atau bahkan ditambah. Kegiatan pengelolaan air meliputi
perbaikan jaringan irigasi, perbaikan dan pembangunan dam
parit, pemanfaatan air irigasi permukaan dengan pompa air,
dan Pengembangan Irigasi Perdesaan (PIP).

Melihat persentase capaian produksi jagung terhadap


sasaran komoditas selama lima tahun terakhir menunjukkan
pencapaian realisasi yang masih jauh dari target yang ditetapkan.
Produksi jagung diperkirakan tidak akan mencapai target dan ada
trend penurunan pencapaian target. Meskipun belum mencapai
terget sasaran, proyeksi produksi dan konsumsi jagung
menunjukkan Indonesia telah mampu berswasembada jagung.
Capaian swasembada jagung yang tidak terlalu besar belum dapat
menggambarkan ketercapaian swasembada yang berkelanjutan.
Solusinya adalah perluasan areal ke luar Jawa (Lampung, Sulawesi
Selatan, dan Sumatera Utara) pada lahan sawah dengan irigasi baik
yang tidak ditanami padi pada musim kemarau dan lahan kering.
Bagi lahan kering, perlu pewilayahan komoditas agar tidak terjadi
tumpang tindih dengan rencana penggunaan lahan bagi komoditas
lain.
Sifat tanaman jagung yang cenderung tidak menyukai air
sehingga perlu adanya sistem kalender tanam yang tepat. Varietas
jagung unggul yang ditanam ternyata berdampak pada penurunan
produksi. Hal ini karena adanya degenerasi (kemerosotan atau
kemunduran) varietas serta kurang baiknya sistem penyebaran

21
benih unggul kepada para petani, sehingga petani memakai benih
lebih dari 3 kali masa tanam. Solusinya adalah menghilangkan
kebiasaan menanam jagung lebih dari 1 varietas, memberikan
pengetahuan mengenai sifat-sifat dari varietas unggul sehingga
perawatan yang diberikan bisa tepat sesuai dengan kebutuhan, dan
membantu memeriksa penanaman benih, kotakan sawah dari
benih sebelumnya, serta penanaman biakan di setiap dapuran yang
tidak boleh lebih dari 1 batang bibit, memeriksa jarak tanam, dan
mengamati penanaman biakan. Peningkatan produksi jagung secara
umum tegantung pada keadaan dan luas lahan, kondisi lingkungan
(iklim), penggunaan benih varietas unggul, keterampilan teknis
dalam menghadapi serangan hama dan penyakit, konservasi lahan,
dukungan infrastruktur (jalan, transportasi), kelembagaan sarana
produksi, alat dan sarana pertanian, serta permodalan.
Capaian produksi kedelai adalah paling buruk yaitu di
bawah 50 persen dan diperkirakan produksi akan turun. Hal ini
menandakan Indonesia belum mampu berswasembada kedelai. Saat
ini lahan kedelai sekitar 3,5 juta ha karena berkurang 600 ribu ha.
Permasalahannya adalah perluasan lahan masih sulit karena adanya
konversi lahan terutama perubahan peruntukan menjadi
perumahan, kepemilikan lahan yang sempit, sulitnya akses petani
ke lahan terlantar, masih menggunakan alat atau teknologi
tradisional, jumlah petani kedelai yang semakin berkurang, industri
yang belum berkembang, lemahnya kelembagaan petani,

22
permodalan terbatas, dan tidak ada jaminan harga dari
pemerintah. Perluasan lahan untuk kedele difokuskan ke Nusa
Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Upaya lain yaitu
peningkatan kegiatan Litbang untuk penerapan kepemerintahan yang
baik, pengembangan agribisnis melalui teknologi dan kelembagaan,
peningkatan ketahanan pangan; dan kesejahteraan petani. Dana
pemerintah untuk litbang di Indonesia hanya 0,025 persen dari Gross
Domestic Product (GDP) setiap tahunnya, yang jauh lebih kecil dari
Jepang dan Malaysia dengan dana litbang mencapai 2,5 persen dari
GDP.
Alternatif strategi pengembangan agribisnis kedelai lokal di
Indonesia perlu ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap
penawaran kedelai dunia dan permintaan impor kedelai serta
kebijakan perkedelaian di Indonesia. Peningkatan produksi kedelai
lokal di Indonesia dapat melalui peningkatan produktivitas, perluasan
areal tanam kedelai, pembagian benih unggul, penguatan
kelembagaan, dukungan pembiayaan dan penyuluhan teknis. Selain
itu diperlukan pembatasan volume impor dengan penetapan tarif
impor kedelai yang tepat atau minimal 10%, sehingga harga kedelai
impor naik dan harga kedelai lokal dapat bersaing. Selain itu juga
perlu kebijakan stabilisasi harga kedelai untuk memberikan
jaminan kepada petani kedelai di Indonesia sehingga para petani
tidak perlu khawatir harga jual anjlok di saat panen raya terjadi.

23
Peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan membentuk
sentra produksi kedelai untuk mempermudah konsumen dalam
mendapatkan kedelai secara langsung, perlunya perbaikan tataniaga
kedelai dari produsen ke konsumen agar arus produk lebih lancar,
serta tataniaga kedelai lebih efektif dan efisien serta harga kedelai di
tingkat konsumen dapat dijangkau. Peningkatan produksi kedele
memerlukan dukungan dan peran dari industri berbasis kedelai
secara bertahap dan kontinu dalam mengurangi ketergantungan
terhadap kedelai impor, dan mulai menggunakan kedelai lokal
dengan melakukan kerjasama dengan petani setempat sebagai
pemasok. Hal ini dapat meningkatkan motivasi petani untuk
menanam kedelai.

24
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN
STABILITAS HARGA PANGAN

25
BAB II KEBUTUHAN PANGAN DAN STABILITAS
HARGA PANGAN
2.1. Perundang-undangan Pangan
Pemenuhan kebutuhan dan stabilitas harga pangan
merupakan isu yang penting baik ini dan kedepan. Dengan jumlah
penduduk yang lebih dari 250 juta dan terus bertambah, serta
tersebar di ribuan pulau, menjadikan dimensi permasalahan bukan
hanya pada produksi, jumlah ketersediaan, dan harga saja, namun
lebih kompleks lagi menyangkut sistem logistik nasional.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang aman bagi seluruh
masyarakat merupakan amanah konstitusi. Dalam UU No 18
tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa pangan merupakan
kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.
Menurut Lassa, (2000), Kebijakan pengembangan
ketahanan pangan akan dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
strategis, termasuk didalamnya aspek globalisasi dan perdagangan
bebas. Menurut Johnson (2009), bahwa kedepan sistem pangan
global akan semakin terbuka, terintegrasi, dan dengan teknologi
yang makin baik.
Menurut Johnson, 2009 ketahanan pangan merupakan suatu
kondisi tercapainya kecukupan, keterjangkauan, kualitas yang
baik terkait pasokan pangan untuk mengatasi krisis pangan dan
keterbelakangan pembangunan. Dimensi penyelenggaraan pangan

26
oleh negara bukan hanya menyangkut aspek ketersediaan di pasar,
tetapi juga meliputi beberapa hal, yaitu:
(1) Kemampuan memproduksi
(2) Diversivikasi, keamanan, kualitas dan kandungan gizi
(3) Aspek kecukupan pangan, terutama pangan pokok dan
harga yang wajar
(4) Akses pangan terutama bagi masyarakat yang rawan
pangan
(5) Peningkatan nilai tambah dan daya saing
(6) Peningkatan kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi
Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan
(7) Perlindungan dan pengembangan kekayaan sumber daya
Pangan nasional.
Kebijakan pembangunan ketahanan pangan, dilakukan agar
mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat,
paling tidak meliputi beberapa aspek secara komprehensif, yaitu:
(1) Aspek ketersediaan (availability)
(2) Keterjangkauan (accessibility)
(3) Aspek stabilitas (stability)
(4) Aspek kualitas dan keamanan pangan.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Zamroni, (2010),
bahwa ketahanan pangan bukan hanya terkonsentrasi pada
pemenuhan permintaan pangan di pasar domestik, tetapi juga
menyangkut keterjangkauan dan kemampuan daya beli
masyarakat, nutrisi, dan kesehatan pangan. Kebijakan ketahanan

27
pangan nasional yang dinilai telah memperhatikan aksesibilitas
terhadap pangan terutama pada kelompok masyarakat miskin
misalnya adalah bantuan tunai langsung dan program pangan
(beras) untuk masyarakat miskin.
Kondisi geografis yang berupa kepulauan, merupakan salah
satu tantangan yang besar untuk dapat memenuhi kebutuhan
pangan dengan memenuhi keempat aspek tersebut di atas,
khususnya pada wilayah pulau-pulau kecil dan perbatasan yang
relatif sulit dijangkau. Kondisi yang unik pulau-pulau kecil,
memerlukan strategi khusus agar mampu mencukupi kebutuhan
pangan secara berkesinambungan.
Menurut Zamroni, (2010) faktor kurang memadahinya
infrastruktur, terutama transportasi pada wilayah terpencil
menjadi kedala pendistribusian bahan pangan. Salah satunya
adalah membangun kemampuan sendiri untuk memenuhi
kebutuhan pangannya. Membangun kemandirian pangan di
wilayah pulau-pulau kecil menjadi lebih sulit, karena kondisi
sumber daya pertanian umumnya terbatas, baik lahan subur
maupun sumber daya air. Disamping faktor kerentangan yang
lebih besar terhadap dampak perubahan iklim. Meskipun potensi
pengembangan pangan di pulau-pulau kecil dengan
memanfaatkan sumber daya lokal bukan sesuatu yang mustahil.

Kondisi saat ini, sebagian besar kebutuhan pangan untuk


wilayah pulau-pulau kecil di penuhi dari pulau induknya atau

28
bergantung pada wilayah lain. Kondisi ini yang menyebabkan
kerentanan ketahanan pangan, karena kendala infrastruktur
transportasi yang sangat terbatas dan faktor cuaca yang sangat
berpengaruh terhadap kelancaran distribusi bahan makanan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
meningkatkan kemampuan penyediaan pangan secara mandiri
dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber-sumber
pangan lokal, seperti ubi, singkong, sagu, dan sebagainya sesuai
dengan potensi masing-masing daerah.
Kartasasmita, 2005 mengatakan bahwa dalam konteks
desentralisasi dan otonomi daerah, membuka peluang
keberlangsungan ketahanan pangan nasional dengan berbagai
keunikan dan keanekaragam hayati dan budaya lokalnya. Dengan
demikian, ketahanan pangan nasional sangat ditentukan oleh
ketahanan pangan di daerah, termasuk pengembangan pangan di
pulau-pulau kecil ini.
2.2. Pulau Kecil
Pengertian pulau kecil menurut Undang-Undang 27 Tahun
2007 adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan
2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya. Ekosistem pulau-pulau kecil terdiri atas ekosistem
daratan, pantai, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang
yang ada pada pesisir pulau. Di samping kriteria utama tersebut,
beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis
terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas

29
fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga
bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan
keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu
mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air
(catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air
permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang
besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek
ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem khas
tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang
(coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau
(mangrove). Ketiga ekosistem tersebut saling berinteraksi baik
secara fisik, maupun dalam bentuk bahan organik terlarut, bahan
organik partikel, migrasi fauna, dan aktivitas manusia. Selain
potensi terbarukan pulau-pulau kecil juga memiliki potensi yang
tak terbarukan seperti pertambangan dan energi kelautan serta
jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yaitu sebagai
kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media
komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan
lainnya.

30
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN
KETAHANAN PANGAN PULAU-
PULAU KECIL

31
BAB III POTENSI PENGEMBANGAN KETAHANAN
PANGAN PULAU-PULAU KECIL

3.1. Pengembangan Wilayah Pulau-pulau Kecil


Pengembangan wilayah pulau-pulau kecil mendapatkan
momentum yang baik saat ini dengan keberpihakan pemerintah
yang cukup besar terhadap pembangunan pulau-pulau kecil dan
wilayah perbatasan. Perubahan paradigma yang semula
menempatkan pulau-pulau kecil dan wilayah perbatasan sebagai
bagian belakang wilayah Indonesia secara bertahap telah bergeser
dengan memposisikan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil
terluar sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia. Taryoto, 2013
mengemukakan bahwa pulau-pulau kecil terluar merupakan
kawasan strategis, dilihat dari aspek potensi sumber daya alam
dan jasa lingkungan, disamping dalam menjaga kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI).
Kebijakan pemerintah yang secara khusus diarahkan untuk
medorong pembangunan wilayah perbatasan dan pulau-pulau
kecil juga telah dikeluarkan, antara lain Peraturan Pemerintah No
62 tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(PPKT) Indonesia. Pengelolaan pembangunan di wilayah ini perlu
dikelola dengan baik dan mendapat perhatian khusus karena
umumnya wilayah ini merupakan wilayah tertinggal.

32
3.1.1. Pengembangan Bahan Pangan dan Pembangunan
Ekonomi
Pembangunan ekonomi termasuk didalamnya pertanian
dan pangan pada wilayah pulau-pulau kecil dan wilayah
perbatasan (terluar) memerlukan keberpihakan dan strategi
khusus yang berbeda dengan pembangunan di wilayah pulau
besar lainnya. Hal ini karena karakteristik yang unik baik
dilihat dari ekologi, fisik (geografi), maupun dari aspek sosial
ekonomi.
Nikijuluw, 2013 mengemukakan secara garis besar, ciri
ekologis pulau-pulau kecil adalah memiliki ekosistem yang
spesifik, memiliki risiko lingkungan yang tinggi dan rentan
terhadap pencemaran dan kerusakan akibat bencana alam
atau perubahan lingkungan serta keterbatasan daya dukung
pulau terutama luas daratan dan air tawar. Secara fisik
(geografis) pulau kecil terpisah dari pulau besar (mainland)
dan cenderung terisolasi, ukuran yang kecil sehingga
keberadaanya tidak dapat mempengaruhi hidroklimat namun
justru sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan iklim laut,
kondisi biofisik rentan berubah karena aktivitas
di mainlandnya, maupun karena perubahan kondisi alam,
maupun kegiatan manusia di pulau kecil tersebut. Secara
sosial dan ekonomi, kehidupan di pulau kecil juga memiliki
ciri tertentu, seperti budaya yang khas, mata pecaharian,
sumber daya alam yang relatif terbatas, aksesibilitas yang

33
rendah, dan fasilitas layanan dasar yang terbatas.
Pengembangan ketahanan pangan dipulau-pulau kecil
dan wilayah perbatasan secara umum dapat dilakukan dengan
meningkatan kemampuan produksi pangan di wilayah
tersebut dan atau meningkatkan aksesibilitas pangan.
Peningkatan aksesibilitas pangan dapat dilakukan dengan
peningkatan daya beli masyarakat melalui pengembangan
kemampuan ekonomi secara umum dan menjamin
ketersediaan pangan dengan mendatangkan dari luar wilayah.
Model sistem ketahanan pangan yang bertumpu dari pasokan
luar pulau akan rentan terhadap perubahan cuaca, iklim, dan
musim, serta hubungan antara pulau-pulau kecil
dengan mainlandnya. Aksesibilitas yang rendah dan
ketergantungan ketersediaan bahan pangan terhadap wilayah
luar akan sangat berisiko, karena pada saat-saat tertentu suatu
wilayah pulau kecil dapat terisolasi dari wilayah luar karena
kondisi cuaca dan laut yang tidak memungkinkan untuk
pelayaran selama berminggu-minggu bahkan bulanan.
Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan
kapasitas produksi pangan sendiri di wilayah pulau-pulau
kecil dan perbatasan. Hal ini untuk mengurangi bahkan bila
memungkinkan menghilangkan ketergantungan pemenuhan
kebutuhan pangan dari luar wilayah. Peningkatan kapasitas
produksi pangan dilakukan dengan berbasis pada potensi
sumber daya pertanian dan komoditas pangan masing-masing

34
pulau, baik berbasis komoditas darat maupun air.
Pengembangan produksi pangan tidak didasarkan pada
pendekatan komoditas tertentu, namun justru berbasis
komoditas yang potensial di masing-masing pulau yang dapat
dikembangkan menjadi sumber pangan lokal dengan
peningkatan produksi maupun pengolahan produk.
Komoditas sukun, sagu, ubi-ubian jagung atau bahkan
pisang, rumput laut dan hasil laut atau terumbu karang
lainnya dapat dikembangkan sebagai produk bahan pangan
lokal di pulau-pulau kecil. Dengan potensi sumber daya
pertanian yang umumnya relatif terbatas, pengembangan
berbagai komoditas untuk bahan pangan akan semakin
meningkatkan tingkat ketahanan pangan dibandingkan
dengan hanya bergantung pada satu komoditas tertentu.
3.1.2. Pengembangan Bahan Pangan dan Kebijakan
Pemerintah
Kebijakan pangan pemerintah yang terlalu bertumpu
pada satu komoditas (beras) telah membawa dampak negatif
terhadap pengembangan kemampuan penyediaan pangan
lokal di pulau-pulau kecil. Program bantuan pangan untuk
rakyat miskin yang diberikan dalam bentuk beras, serta upaya
pemenuhan kebutuhan pangan beras pada setiap wilayah
secara bertahap telah mendorong preferensi pangan
masyarakat pulau kecil beralih ke beras dan meninggalkan
komoditas pangan lokal. Kondisi ini menyebabkan tingkat

35
kerentanan terhadap kerawanan umumnya terjadi pada
wilayah-wilayah kepulauan atau perbatasan.

Potensi produksi pangan di wilayah pulau-pulau kecil


sebenarnya cukup besar dan memiliki prospek untuk
dikembangkan. Namun jenis komoditas yang beragam,
potensi pengembangan berbasis sumber daya untuk suatu
komoditas relatif terbatas menjadikan masalah tersendiri
dalam pengembangan komoditas pangan di pulau-pulau kecil.

Kajian Taulu, L.A, 2013 mengemukakan bahwa


terdapat sumber pangan karbohidrat yang memiliki prospek
mendukung diversifikasi pangan diwilayah tersebut, yaitu
komoditas umbi-umbian misalnya umbi “galuga/laluga” dan
umbi “bentul” yang sangat banyak dan masih tumbuh liar di
lahan rawa. Introduksi teknologi pengolahan akan sangat
mambantu pengembangan sumber pangan lokal ini, karena
saat ini masyarakat hanya mengolahnya secara sederhana,
yaitu direbus saja dan dikonsumsi saat bulan-bulan tertentu
(Desember-Maret) dimana masyarakat tidak bisa melaut
karena cuaca. Disamping pengembangan komoditas padi dan
jagung, ubi kayu dan ubi jalar serta talas pada pulau-pulau
tertentu yang memiliki potensi seperti Kepulauan Sangihe.

3.1.3. Petani Daerah


Di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat misalnya,
petani masih mengusahakan pertanian secara berpidah

36
(ladang berbindah) dengan komoditas utamanya adalah umbi-
umbian seperti ubi kayu (kasbi) atau ubi jalar (patatas), talas,
keladi, jagung, dan lain-lain (Sianipar, 2013).

Di samping itu juga dibudidayakan sayuran dan buah


seperti sawi, bayam, pepaya dan pisang. Pengembangan
usaha pertanian ini hanya dapat dikembangkan pada sebagian
pulau sementara pulau yang lain tidak memungkinkan karena
kondisi tanah yang berpasir dan tidak cocok untuk budidaya.
Masyarakat yang tinggal dipulau yang tidak cocok untuk
pertanian memiliki kegiatan utama sebagai nelayan.
Komoditas-komoditas tersebut sebagai sumber pangan
pokok, disamping sagu yang umumnya masih diperoleh dari
hutan. Beras masih menjadi makanan pelengkap hanya pada
kondisi tersedia. Komoditas beras sebagian dapat dihasilkan
dari wilayah Kepulauan Raja Ampat, terutama dari Pulau
Salawati disamping dari program pemerintah dari program
Raskin. Komoditas padi dapat berkembang di pulau ini
terutama padi darat dan diusahakan oleh petani transmigran.

Sementara itu, untuk kasus wilayah perbatasan di NTT,


sumber makanan utama adalah jagung namun sebagian telah
beralih ke komoditas beras. Selain jagung, sumber pangan
lokal yang berpotensi dikembangkan adalah umbi-umbian
seperti ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan. Pada kondisi
ketersediaan bahan pangan yang dibudidayakan mengalami

37
defisit, masyarakat umumnya mencari umbi-umbian liar
sebagai bahan pangan cadangan (Yusuf, 2013). Sementara
itu, di wilayah perbatasan Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat menunjukkan bahwa potensi pangan yang dapat
dikembangkan adalah padi, baik padi sawah maupun padi
ladang. Selain itu beberapa komoditas pangan alternatif juga
dapat diusahakan seperti jagung, ubi kayu dan ubi jalar
(Burhansyah, 2013). Kasus di pulau-pulau kecil Sulawesi
Tenggara menunjukkan kondisi yang mirip dengan
Kabupaten Sambas. Meskipun di wilayah pulau-pulau kecil,
potensi pengembangan pangan yang dapat dilakukan meliputi
komoditas padi sawah, padi gogo, jagung, ubikayu, ubijalar,
uwi, dan jewawut. Secara lebih spesifik, padi sawah hanya
dapat dikembangkan di Pulau Buton, Muna, Kabaena, dan
Wowoni. Meskipun kemampuan produksi masih jauh
dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat (Abidin, dkk.,
2013).

Potensi sumber bahan pangan di pulau-pulau kecil


bukan hanya berupa hasil usaha pertanian yang siap
dikonsumsi sebagai bahan makanan, namun dapat berupah
hasil olahan dari produk tertentu yang dapat digunakan
sebagai sumber bahan pangan. Dalam hal ini diperlukan
teknologi pengolahan bahan makanan. Rivaei, 2013 misalnya
mengangkat potensi tepung aren yang berasal dari batang

38
pohon aren sebagai sumber karbohidrat di Maluku,
disamping produk lainnya yang dapat dihasilkan dari
komoditas aren. Untuk dapat mengembangkan komoditas
aren secara optimal diperlukan konsep pengembangan yang
utuh, misalnya agroindustri berbasis aren. Untuk Maluku
Utara misalnya, potensi sagu cukup besar sebagai penyedia
pangan lokal, disamping komoditas padi di beberapa wilayah
(Assagaf, dkk. 2013).

Pengembangan kegiatan ekonomi lainnya yang tidak


langsung berhubungan dengan penyediaan pangan di wilayah
tersebut juga perlu dilakukan dalam kerangka peningkatan
pendapatan masyarakat yang akan meningkatan aksesibilitas
terhadap pangan, sehingga dapat mendukung ketahanan
pangan di wilayah pulau-pulau kecil. Sebagai contoh
komoditas lada di Bangka Belitung, kakao di Kalimantan
Utara Pengembangan potensi perikanan, dan hasil laut
lainnya, seperti padang lamun dan rumput lain,
pengembangan pariwisata, maupun pertambangan harus
dalam kerangka kelestarian sumber daya.

3.2. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kemandirian


Pangan Pulau-Pulau Kecil Dan Wilayah Perbatasan
3.2.1. Konsepsi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Pendekatan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dari
Kementerian Kelautan dan perikanan menerapkan konsep

39
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan pada pulau-pulau
yang berpenghuni dan konservasi dan keamanan pada pulau
yang tidak berpenghuni (Subandono, 2013). Berdasarkan
Perpres nomor 78 tahun 2005, telah dibentuk tim koordinasi
pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT), dengan ketua
Menkopolhutkam dan wakil ketua merangkap koordinator
harian Menteri Kelautan dan Perikanan. Salah satu fokus
adalah pengembangan sarana dan prasarana, yang meliputi
energi, air bersih, penunjang produksi, dan penunjang
minawisata. Selain itu, untuk menunjang pengembangan
ekonomi dibangun konektivitas antar wilayah pulau-pulau
kecil. Upaya membuka aksesibilitas juga dilakukan dengan
pengembangan sarana komunikasi. Dengan demikian,
diharapkan pengembangan ekonomi dapat dilaksanakan
dengan lebih baik.

Terlebih bila direncanakan dengan baik dalam suatu


kesatuan pengembangan dan mendapatkan dukungan dari
pemerintah dan stakeholder pembangunan pertanian lainnya.
Namun demikian berbagai masalah dan kendala yang
komplek juga harus dihadapi dalam upaya mewujudkan hal
tersesbut. Kajian Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003
misalnya memaparkan berbagai kendala tersebut. Meskipun
kajian ini dikeluarkan lebih dari 10 tahun yang lalu, namun
eksistensi kendala dan masalahnya belum banyak

40
terselesaikan sampai saat ini. Permasalahan tersebut adalah:

1. Belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil;


definisi tentang pulau-pulau kecil saat ini sudah lebih
jelas, karena secara hukum sudah disebutkan dengan
kriteria dan indikator yang lebih jelas tentang luasan
pulau-pulau kecil tersebut. Namun demikian secara
operasional batasan wilayah dan tata ruang pulau-pulau
kecil belum didefinisikan dengan baik untuk menunjang
kebutuhan perencanaan pembangunan ekonomi secara
umum dan khususnya terkait ketahanan pangan.
2. Kurangnya data dan informasi tentang pulau-pulau kecil;
informasi tentang potensi sumber daya, kapasitas daya
dukung lestarinya, kondisi biofisik, sosial dan ekonomi
masyarakatnya belum banyak dipetakan. Padahal
informasi ini sangat penting untuk menyusun program
pengembangan. Pentinnya database sumber daya pertanian
ini sebagaimana dikemukakan oleh Susanto, dkk. 2013.
3. Kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap
pengelolaan pulau-pulau kecil; fokus pembangunan
pemerintah lebih diarahkan pada pulau-pulau besar seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa
Tenggaran, dan Papua. Hal ini cukup masuk akal, karena
dari aspek jumlah penduduk, konsentrasi penduduk ada di
pulau-pulau besar ini.

41
4. Pertahanan dan keamanan; aspek pertahanan dan
keamanan sering menjadi issu yang mengemuka terutama
di wilayah pulau terluar. Potensi konflik kepentingan
dengan negara-negara yang berbatasan langsung akan
mempengaruhi pengelolaan sumber daya yang ada.
5. Disparitas perkembangan sosial ekonomi; kondisi
infrastruktur yang terbatas, tempatnya yang relatif
terpencil menjadikan kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya secara umum masih di bawah wilayah
pulau-pulau besar. Kondisi ini menyebabkan
kecenderungan migrasi keluar dari pulau tersebut yang
menyebabkan semakin terbatasnya sumbedaya manusia
untuk mendorong pembangunan.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana dasar; sarana dan
prasarana, terutama komunikasi, energi, transportasi dan
layanan dasar pada bidang kesehatan dan pendidikan yang
masih relatif terbatas menjadikan kendala tersendiri dalam
pembangunan wilayah pulau-pulau kecil.
7. Konflik kepentingan; antara pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya baik
antar negara, pemerintah pusat dan daerah, atau sesama
pemerintah daerah dan pihak swasta sering terjadi dan
menjadi kendala dalam pembangunan wilayah tersebut.
8. Degradasi lingkungan hidup, yang terjadi akibat
pengelolaan sumber daya yang tidak mengedepankan

42
aspek kelestarian lingkungan menyebabkan degradasi
sumber daya baik pertanian, perikanan maupun sumber
daya alam lainnya.
Dalam pembangunan ekonomi pulau-pulau kecil, perlu
mengikuti etika dan protokol pembangunan pulau kecil,
termasuk pembangunan produksi pangan. Bias atau
pelanggaran dapat berdampak terhadap kerusakan lingkungan
dan keberlanjutan ekosistem serta akan berdampak negatif
terhadap masyarakat setempat. Nikijuluw, 2013
menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga tujuan yang harus
dicapai dalam membangun pulau kecil, yaitu:

(1) Menjaga dan memelihara fungsi ekologi.


(2) Menjaga keseimbangan dan stabilitas ekosistem serta
sustainabilitas.
(3) Membangun pulau kecil sebagai suatu gugusan pulau yang
saling bergantung dan berhubungan.
Rivai dan Anugrah, (2011) menyatakan bahwa
pendekatan pembangunan berkelanjutan pada hekekatnya
adalah kegiatan pembangunan yang memadukan aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan. Memanfaatkan dengan tetap
menjaga keseimbangan dan stabilitas lingkungan
mengandung arti bahwa aktivitas pembangunan sejauh
mungkin jangan sampai berdampak pada keseimbangan dan

43
stabilitas lingkungan, meskipun harus mengubah fungsi
ekologi.
Dengan demikian perubhaan radikal secara masif dan
besar-besaran sebaiknya tidak dilakukan. Implementasi
pendekatan ekoregion dalam pembangunan pulau-pulau kecil
dapat dijadikan pendekatan untuk mencapai pembangunan
ekonomi, termasuk pertanian dengan tetap menjaga
kelestarian ekologi dan sumber daya alam. Pendekatan
ekoregion menurut Institute for Environmental Studies,
(2011) merupakan pendekatan yang bertujuan untuk
mengintegrasikan pembangunan ekonomi dan konservasi
biodivesity dalam suatu area geografi tertentu.

Pengembangan ekonomi pulau-pulau kecil dan wilayah


perbatasan perlu didudukan dalam kerangka pembangunan
nasional secara keseluruhan. Pertimbangan efisiensi dan
ekonomis terhadap alokasi investasi tidak dapat digunakan
secara kaku, namun perlu dilihat dalam perspektif jangka
panjang dan dalam kerangka kedaulatan NKRI. Paradima
wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar sebagai pintu
gerbang wilayah, sehingga analisis efisiensi dan ekonomi
suatu investasi di pulau kecil dan perbatasan perlu dipandang
dalam kerangka pembangunan nasional, bukan return of
investment dari investasi di lokasi tersebut saja.

44
Sesuai dengan kondisi dan ciri wilayah pulau-pulau
kecil, pembangunan memerlukan keterpaduan perencanaan
dan program lintas sektor dan antar tingkat pemerintahan.
Kondisi ekologi yang rentan, menjadikan aktivitas
pembangunan sektor ekonomi tertentu dapat berdampak luas,
sehingga perlu keterpaduan. Demikian halnya antar
pemerintah pusat dan daerah.

Otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan


memberikan ruang gerak yang luas bagi pemerintah daerah
untuk mengelola sumber daya alam di wilayahnya. Namun
demikian keterpaduan dengan program pemerintah pusat
perlu tetap di pegang. Hal lainnya yang perlu dipegang
adalah bahwa pembangunan harus berpihak kepada
masyarakat dan ekonomi lokal dengan basis pemberdayaan
masyarakat. Pembangunan diarahkan untuk pemberdayaan
masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan. Hal ini berarti
bahwa pembangunan yang ekploitatif tidak diharapkan.
Apalagi bila manfaatnya di bawa keluar wilayah sementara
dampak negatifnya justru harus ditanggung masyarakat
setempat. Pengelolaan sumber daya dilakukan dengan
mengedepankan aspek kelestarian sumber daya. Pendekatan
ekoregion dapat digunakan dalam pelaksanaan pembangunan
kawasan pulau-pulau kecil, dengan memperhatikan dan
melestarikan hubungan ekologi yang saling terkait. Salah satu

45
hal yang mendasar untuk pelaksanaan konsep ini adalah perlu
meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan
penegakan hukum.

Nikijuluw, 2013 mengemukakan bahwa pembangunan


pulau-pulau kecil harus dilakukan atas dasar beberapa hal, di
antaranya:

1) Pengetahuan atas seluruh potensi pulau kecil, komoditas


dan kegunaannya, perencanaan ruang, potensi sumber
daya lahan dan air, serta spesies tanaman dan hewan,
2) perhitungan daya dukung sumber daya alam berdasarkan
pada ekosistem yang adan,
3) didasarkan pada analisis dampak lingkungan,
4) pembangunan pertanian didasarkan tata ruang dan zona
peruntukan, dan
5) melakukan pemantauan atas perubahan yang mungkin
terjadi akibat aktivitas pembangunan.
3.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Ketahanan
Pangan
Konsepsi umum pengelolaan sumber daya pulau-pulau
kecil di atas harus dituangkan dalam strategi umum
pengelolaan pulau-pulau kecil. Secara garis besar untuk dapat
mengelola sumber daya pulau-pulau kecil secara optimal dan
lestari diperlukan kebijakan srategis sebagai berikut:

46
1. Melakukan penyusunan basis data (database) dan penataan
ruang (laut, pesisir dan pulau-pulau kecil); penyusunan
data base sangat penting dan strategis dalam perencanaan
pembangunan dan tata ruang wilayah pulau-pulau kecil.
Menurut Susanto, dkk., (2013) data dasar pembangunan
pertanian dan perikanan meliputi data sumber daya (tanah,
iklim, pantai, laut, terumbu karang, padang lamun),
sumber daya tanaman dan hasil perikanan, sumber daya
manusia dan kelembagaan yang ada, dan data infrastruktur
pertanian.
2. Penataan dan penguatan kelembagaan Pemerintah,
Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha;
penataan pengelolaan pembangunan wilayah pulau-pulau
kecil perlu dilakukan dengan baik sehingga tidak terdapat
tumpang tindih atau bahkan pengabaian karena tidak ada
yang menangani. Untuk itu diperlukan penataan dan
penguatan kelembagaan pemerintah yang menangani
pembangunan wilayah pulau-pulau kecil, baik pemerintah
pusat, misalnya Kementeria Kelautan dan Perikanan dan
Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan, Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Disamping itu juga perlu
penguatan kelembagaan masyarakat terutama dalam
melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber
daya secara lestari serta dunia usaha agar tidak terjadi
gesekan dan ketidak harmonisan diantara stakeholder yang

47
terlibat.
3. Pengembangan dan penataan sarana dan prasarana dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan; pengembangan
dan penataan sarana dan prasarana terutama transportasi
dan komunikasi merupakan hal yang paling penting dalam
mendukung pembangunan pulau-pulau kecil.
Keterisolasian dan rendahnya kualitas sarana menjadi
kendala paling besar. Menurut Oktarina, (2008)
menyatakan bahwa pengembangan sistem informasi yang
baik juga merupakan hal yang penting dalam
pengembangan ketahanan pangan.
4. Pengembangan suplai chain manajemen komoditas pangan
yang terintegrasi dengan suplai chain pangan nasional.
Dengan demikian pengembangan suplai chain manajemen
pangan nasional yang mengarah pada efisiensi dan
efektivitas pengelolaan pangan dapat tercapai sampai pada
wilayah kepulauan. Mulyadi, (2011); Kemenko
Perekonomian, (2014) merekomendasikan bahwa
kebijakan sistem logistik yang efisien bertujuan
meningkatkan keterjangkauan dan aksesibilitas pangan
secara kontinue dengan mensinergikan sistem distribusi
pangan dengan biaya yang lebih efisien. Wass, (2014)
menyatakan bahwa sistem logistik yang efisien dan efektif
akan dapat membantu mengendalikan fluktuasi harga dan
inflasi. Agristina, (2012) menyatakan bahwa sistem

48
logistik pangan ini juga memiliki kontribusi signifikan
terhadap ketahanan pangan. Hal ini sangat strategis pada
wilayah pulau-pulau kecil dan perbatasan.
5. Rencana pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis
masyarakat dan sumber daya lokal dengan memperhatikan
hukum adat/ kearifan lokal; pengelolaan sumber daya
pulau- pulau kecil harus diarahkan untuk mensejahteraan
masyarakat lokal, sehingga pendekatan pembangunan
yang diterakpakan harus mampu mengakomodasikan
kepentingan dan peran serta masyarakat lokal serta budaya
dan kearifan lokal yang telah berlangsung sekian lama.
6. Merancang dan menetapkan tata ruang Kawasan
Pengembangan Ekonomi berwawasan ekoregion
berdasarkan analisis potensi sumber daya dan gugus
kepulauan; Latuconsina, (2015) mengemukakan bahwa
Tantangan terbesar pembangunan dengan kondisi wilayah
kepulauan yang tersebar adalah membangun keterkaitan
atau konektivitas (connectivity) antar wilayah pulau yang
efisien dalam satu kesatuan yang saling berhubungan,
sehingga konsep kebijakan pembangunan bisa tepat
sasaran dan terpadu sesuai potensi yang dimiliki serta
berbagai hambatan yang dihadapi. Pembangunan wilayah
berbasis Gugus Pulau (GP) dengan pendekatan ekoregion.
Dalam pendekatan gugus pulau, Gugusan pulau yang
diperlakukan sebagai wilayah perencanaan homogen,

49
dimana setiap perubahan kebijakan pada suatu bagian
dalam gugus pulau akan mempengaruhi keseluruhan
gugus pulau. Berdasarkan konsepsi ini, suatu gugus pulau
dapat diancang konsep pengembangannya berdasarkan
potensi sumber daya yang tersedia dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat, misalnya menjadi wilayah
pengembangan pertanian, peternakan dan perikanan,
pengelolaan potensi kehutanan berwawasan lingkungan,
pengelolaan potensi pariwisata, pengembangan industri
dan perdagangan, perhubungan dan telekomunikasi, untuk
mengatasi keterisolasian wilayah pulau-pulau kecil, dan
pengelolaan energi dan sumber daya mineral (ESDM).
Secara khusus, upaya pengembangan kemandirian
pangan di wilayah pulau-pulau kecil juga perlu dilakukan
berdasarkan konsepsi pengembangan gugus kepulauan.
Dalam hal ini gugus kepulauan untuk kemandirian pangan
ditetapkan berdasarkan kedekatan hubungan, sistem produksi
pertanian, ketergantungan ekonomi antar pulau, dan
aksesibilitas wilayah, termasuk dengan mainlandnya. Melalui
pendekatan gugus kepulauan, dapat ditetapkan kawasan
produksi pangan berikut komoditas yang dikembangkan serta
kapasitas produksi yang dapat dihasilkan secara lestari
berikut coverage wilayah yang disuplai. Untuk itu diperlukan
perencanaan tata ruang dan rencana pengembangan gugus
kepulauan pulau-pulau kecil. Dengan demikian dapat

50
dipetakan sistem logistik pangan pada wilayah pulau-pulau
kecil. Pemetaan sistem logistik pangan pulau-pulau kecil ini
menggambarkan lokasi-lokasi pengembangan komoditas
pangan dan juga rantai pasoknya pada pulau-pulau yang tidak
memiliki atau kurang memiliki potensi produksi pangan atau
saat saat terjadi kekurangan produksi sehingga dapat
digambarkan dari mana pasokan kebutuhan pangan diperoleh.

Pengembangan sistem logistik pangan pulau-pulau


kecil juga termasuk didalamnya pengembangan sistem
distribusi dan sistem penyimpanan cadangan pangan. Sistem
logistik pangan pulau-pulau kecil ini menjadi bagian integral
dari sistem logistik pangan nasional. Karena karakteristiknya
yang spesifik pada wilayah pulau-pulau kecil ini, maka
diperlukan subsistem logistik pangan tersendiri yang
mengitegrasikan pengembangan produksi pangan sendiri
berdasarkan gugus kepulauan dan sistem suplai chain pangan
antar wilayah dan nasional.

Terkait upaya peningkatan kapasitas produksi pangan


pada pulau-pulau yang dijadikan sentra pengembangan
pangan di suatu gugus kepulauan, perlu juga dirumuskan
konsepsi program peningkatan produksi pangan agar dapat
terwujud pengelolaan secara lestari, yaitu:

1. Pengembangan ketahanan pangan menjadi bagian


terintegrasi dengan desain pengembangan secara umum;

51
pengembangan kapasitas produksi pangan di suatu pulau
yang telah ditetapkan sebagai sentra pengembangan
pangan, harus dirancang menjadi satu kesatuan dengan
desain pengelolaan sumber daya secara umum di pulau
tersebut, berbasis sumber daya dan pendekatan ekoregion
dengan mengoptimalkan peran masyarakat setempat dan
kearifan lokal.
2. Optimalisasi Produksi dilakukan dengan pengelolaan
sumber daya pertanian secara bijak, diantaranya
mengoptimalkan potensi produksi pangan lokal yang
didukung oleh kebijakan peningkatan produksi, distribusi,
dan mendorong pola konsumsi masyarakat yang lebih
beragam.
3. Pengembangan kawasan produksi pangan; untuk itu
diperlukan pembangunan infrastruktur pertanian dan
perikanan untuk meningkatkan akses wilayah kepulauan,
intensifikasi produksi pangan dan hasil laut, ekstensifikasi
lahan pertanian, diversifikasi produksi dan konsumsi
pangan dan perbaikan tata kelola pembangunan pertanian
kawasan kepulauan.
4. Penangan panen dan pengolahan pangan untuk
menghasilkan keragaman pangan olahan, peningkatan
keamanan dan kualitas pangan berbasis bahan pangan
lokal. Penanganan panen dan pasca panen ini akan
meningkatkan nilai tambah produk pangan dan yang

52
penting adalah meningkatkan daya simpan dan kualitas
pangan, sehingga pangan dapat tersedia dalam waktu lebih
lama.
5. Penganekaragaman pola konsumsi masyarakat;
keberhasilan pengembangan kemandirian pangan di
wilayah pulau-pulau kecil harus didukung dengan upaya
diversifikasi konsumsi pangan masyarakat. Hal ini karena
potensi sumber pangan yang tersedia sangat beragam.
Menggantungkan pasokan pangan kepada salah satu
komoditas akan memiliki risiko lebih besar. Demikian
juga sebaliknya pengembangan produksi pangan yang
beragam tanpa diikuti dengan pola konsumsi pangan
masyarakat akan kurang berhasil.
3.3. Manajemen Pengelolaan
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan
saat ini, peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber
daya, termasuk didalamnya sumber daya pada pulau-pulau kecil
akan semakin besar. Dengan demikian konsepsi pengembangan
kemandirian pangan di wilayah pulau kecil ini memerlukan
kesepahaman antar tingkat pemerintahan, termasuk dalam
penyusunan tata ruang pengembangan produksi pangan dan
sistem logistiknya. Untuk itu perlunya delineasi peran antara
Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Konsepsi umum dan
kebijakan nasional secara nasional ditetapkan oleh pemerintah

53
Pusat, sementara pada tataran operasional dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Kenyataan saat ini, peraturan dan kebijakan yang secara


khusus diarahkan pada penguatan kemandirian pangan, dipandang
belum memadahi. Konsep pengembangan pulau-pulau kecil lebih
dikaitkan dengan konsep pengembangan dan pengelolaan wilayah
pesisir, baik perikanan, terumbu karang, rumput laut, pariwisata,
dan sebagainya. Sehingga lebih fokus pada pengelolaan sumber
daya pesisir. Orientasi pengembangan pangan terutama yang
berbasis lahan nampaknya masih terbatas.

Peraturan Daerah (Perda) yang ada masih lebih fokus pada


pengaturan kewenangan perijinan belum pada program
pengembangan dan fasilitasi. Hal ini menimbulkan kesan
peraturan daerah lebih pada bagaimana mendapatkan pendapatan
daerah dari pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil, belum
pada bagaimana mengembangkan masyarakat di wilayah tersebut.
Peratuan daerah yang secara khusus terkait program ketahanan
pangan belum memiliki landasan peraturan yang memadahi.

54
BAB IV STRATEGI ADAPTASI
KONSUMSI DAN PRODUKSI
PANGAN

55
BAB IV STRATEGI ADAPTASI KONSUMSI DAN
PRODUKSI PANGAN

Peningkatan teknologi yang terjadi dalam kehidupan


nelayan di Pulau Karampuang telah menjadi pemicu berbagai
beberapa perubahan yang sangat mendasar bagi nelayan
khususnya pada aspek pemakaian beberapa alat tangkap modern
yang dioperasikan nelayan. Perubahan ini juga membawa
pengaruh pada keadaan kehidupan nelayan disektor lain.
Meskipun demikian keluarga nelayan belum mampu
menggantungkan hidup secara keseluruhan dari sektor perikanan
tangkap. Ketidakjelasan pendapatan harian menjadi salah satu
aspek yang menyebabkan nelayan sulit dalam menetapkan
sumber kehidupan hanya dari sektor perikanan tangkap saja.
Instabilitas pendapatan bagi nelayan, menjadi penyebab utama
nelayan memilih strategi alternative lain dalam mencukupi
kebutuhan keluarga demi mempertahankan keberlanjutan hidup
dimasa mendatang.

Kehidupan sosial nelayan kerapkali berhadapan dengan


kompleksitas permasalahan yang mampu menjadi gangguan daya
tahan nafkah keluarga, realitas ini akan memberikan pengaruh
yang signifikan bagi pendapatan yang tujuannya demi pemenuhan
keperluan ekonomi rumahtangga. Disamping itu, berbagai
ancaman lain bagi kehidupan sosial masyarakat nelayan di Pulau
Karampuang menuntut perlunya daya dan usaha yang efektif

56
dalam menanggulangi ancaman khususnya berkaitan dengan
ancaman ekologi. Tindakan ini merupakan suatu bentuk upaya
penyesuaian diri gunamempertahankan hidup.

Selama dekade terakhir, konsep adaptasi telah muncul


kembali dalam literatur ilmiah dalam konteks perubahan iklim,
sebagian besar dengan fokus untuk meneliti bagaimana petani
kecil dipengaruhi oleh dan menyesuaikan dengan perubahan iklim
(Burnham and Ma 2017). Dewasa ini, adaptasi secara luas
digunakan untuk menggambarkan proses penyesuaian pertanian
dan mata pencaharian pertanian terhadap dampak yang diprediksi
muncul dari perubahan iklim (Orlove 2009). Kemampuan
bertahan hidup masyarakat yang terjadi disuatu wilayah akan
memberikan gambaran bahwa terdapat pola adaptasi yang
dimiliki masyarakat tersebut. Menurut (Kusnadi 2008),
memaparkan bahwa dimana komunitas yang paling resistan dan
tinggi daya adaptasinya dalam menghadapi kemiskinan adalah
masyarakat nelayan. Determinasi lingkungan lingkungan
menjadikan masyarakat pulau kecil (nelayan) berwatak mandiri
dan partikelir dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan hidupnya diselaraskan dengan ketersediaan sumberdaya.

4.1. Strategi Adaptasi Produksi Pangan


Persaingan nelayan dalam menguasai sumberdaya akan
meningkatkan beban pekerjaan yang harus ditanggung. Nelayan
merupakan mata pencaharian yang sangat berat, meskipun

57
demikian, nelayan tidak memiliki pilihan mata pencaharian lain
yang cocok dan selaras dengan pengetahuannya. Pengetahuan
dan keahlian yang dimiliki nelayan berciri konvensional dan
semua diperoleh melalui proses sosialisasi. Nelayan melakukan
sosialisasi dini kepada anak melalui proses enkulturasi sehingga
diharapkan terjadi pengembangan diri bagi si anak yang pada
akhirnya mampu mencari pekerjaan yang lebih baik dari nelayan.
Akan tetapi, sebagian besar nelayan tidak dapat melepaskan diri
dari pekerjan sebagai nelayan, meskipun demikian masih ada
kumpulan-kumpulan nelayan yang tetap kokoh bertahan
walaupun berhadapan dengan kondisi yang sulit, terutama saat-
saat sulit (panceklik) (Sastrawidjaja and Manadiyanto 2002).

Pulau Karampuang seperti halnya yang digambarkan di


atas, memiliki faktor pembatas dalam produksi memungkinkan
terjadinya ketidakmampuan memproduksi pangan secara mandiri,
sehingga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sangat
rentan. Kondisi ini disebabkan oleh wilayah tangkapan yang
semakin jauh dari pulau, karena rusaknya lingkungan akibat
eksploitasi secara terus menerus oleh nelayan yang berasal dari
luar pulau dengan menggunakan alat tangkap modern. Selain itu
proyek reklamasi pantai di Kota Mamuju yang berdampak buruk
terhadap kehidupan semua biota laut di sekitarnya.

Keadaan alam Pulau Karampuang yang hampir semua


wilayah dipenuhi batu karang merupakan lahan dengan dua

58
kategori yaitu kawasan terbangun dan lahan dengan kawasan
tidak terbangun. Kawasan terbangun di didominasi oleh
pemukiman dengan sebaran mengikuti garis pantai, sedangkan
kawasan tidak terbangun adalah dominan lahan kosong dan hutan.
Keadaan alam ini menjadi faktor yang membatasi masyarakat
untuk melakukan usaha di bidang pertanian, karena tidak semua
tanaman dapat tumbuh di atas karang. Realitas inilah yang
menjadi faktor yang mendorong kesadaran masyarakat Pulau
Karampuang melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan
hidup dalam upaya memenuhi kebutuhannya khususnya pangan.

Strategi Adaptasi produksi yang dilakukan oleh masyarakat


Pulau Karampuang adalah terjadi pembagian kerja antara bapak
sebagai kepala keluarga dan ibu dalam upaya dalam
mempertahankan keberlangsungan hidup dan meningkatkan taraf
hidup. Kepala keluarga dalam melakukan upaya produksi baik
dalam bentuk bercocok tanam maupun menangkap ikan.
Sedangkan ibu rumah tangga melakukan tugas pada kegiatan
pascapanen yaitu mengolah ubi kayu untuk menjadi makan dan
mengolah ikan kemudian menjualnya ke kota Mamuju. Upaya di
atas adalah merupakan kegiatan produksi di sektor pertanian.
Selain itu kegiatan produksi yang dilakukan juga di sektor non
pertanian yaitu menjadi buruh baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini selaras dengan yang diuraikan Alkhudri et al. (2016)
bahwa bagi keluarga miskin, starategi nafkah ganda merupakan

59
langkah antisipasi dalam bertahan hidup dengan mencari
penghasilan pada sektor non pertanian sebagai basis nafkah guna
menutupi deficit sector pertanian.

Keterbatasan sumberdaya untuk kegiatan produksi yang


dimiliki oleh masyarakat di Pulau Karampuang, mengharuskan
seluruh anggota keluarga yang ada memaksimalkan potensi
tenaga dalam mendapatkan sumber- sumber pendapatan untuk
mencukupi kebutuhan harian rumahtangga. fenomena ini selaras
dengan pendapat (Sajogyo 1983; White and David M. Klein
2007) yang menguraikan bahwa anggota keluarga usia kerja
terlibat mencari nafkah rumah tangga diberbagai sumber yaitu
pertanian dan non pertanian, baik kegiatan usaha sendiri atau
menjadi buruh.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan dimana pola


adaptasi produksi pangan yang dilakukan oleh masyarakat
Pulau Karampuang ada dua yaitu pertama strategi ekonomi dan
strategi sosial. Strategi ekonomi antara lain strategi nafkah ganda,
Pemanfaatan tenaga kerja dalam kelaurga dan migrasi. Sementara
strategi sosial yaitu pemanfaatan lembaga lokal dan jejaring sosial
seperti komunitas, pertetanggaan dan persaudaraan.

Masyarakat Pulau Karampuang seperti halnya komunitas


nelayan lainnya, Aktifitas penangkapan ikan sangat sulit menjadi
mata pencaharian istimewa. aktifitas tersebut kerap di padukan
dengan aktifitas-aktifitsa lainnya yang memiliki sumbangsih bagi

60
peningkatan penghasilan keluarga. Memutuskan untuk memilih
aktifitas sampingan bagi komunitas nelayan adalah usaha dan
kesadaran logis serta erat kaitannya dengan usaha
mempertahankan berberlangsungan kehidupan keluarga (Popkin
1989). Walaupun begitu, hambatan-hambatan sosiokultural
kerapkali ditemui nelayan, hal ini menjadikan beberapa nelayan
tetap konsisten melaut sebagai mata pencaharian demi menunjang
kehidupan rumahtangganya.

Pola nafkah ganda yang dilakukan dimana dalam pola ini


masyarakat Pulau Karampuang memanfaatkan hasil kebun yang
dimiliki seperti bambu yang banyak tumbuh di pekarangan dan
kebun. Bambu bukan merupakan komoditi yang diusahakan
masyarakat Pulau Karampuang, akan tetapi bambu tumbuh
secara liar. Dengan demikian tidak ada pemeliharaan yang
dilakukan seperti layaknya komoditi lain. Karena tumbuhnya
banyak di Pulau Karampuang, maka masyarakat Pulau
Karampuang memanfaatkan untuk keperluan sendiri seperti untuk
bahan pelengkap perahu (palantong), anyaman dinding rumah
(gamacca), tempat pengeringan ikan (para-para), juga digunakan
untuk kegiatan pesta (sarapo). Selain pemanfaatan di atas, bambu
juga di jual ke kota Mamuju untuk mendapatkan tambahan
pendapatan rumah tangga. Masyarakat Kota Mamuju biasanya
membeli bambu dari Pulau Karampuang untuk di buat pagar dan
penyangga pada saat melakukan pengecoran. Kebutuhan bambu

61
yang banyak dari kota menyebabkan sebagian masyarakat Pulau
Karampuang menjadikan penjualan bambu sebagai pekerjaan
sampingan.

Jasa angkutan juga menjadi aktifitas rutin karena


banyaknya masyarakat Pulau Karampuang bekerja di Kota
Mamuju. Perahu merupakan transportasi satu-satunya yang
menghubungkan Pulau Karampuang dengan daerah-daerah lain.
Mobilisasi yang tinggi dari Pulau Karampuang ke Kota dan
sebaliknya, menjadikan aktifitas angkutan perahu menjadi
pekerjaan yang juga digeluti masyarakat Pulau Karampuang
selain nelayan. Selain masyarakat Pulau Karampuang yang
melakukan aktifitas di Mamuju, dan banyak masyarakat Mamuju
yang berkunjung ke Pulau Karampung untuk tujuan wisata. pantai
Ujung Bulo dan sumur jodoh (sumur tiga rasa) merupakan
destinasi wisata yang banyak diminati oleh orang luar Pulau
Karampuang.

Usaha yang lain adalah memberikan jasa perbaikan perahu


dan jaring (alat tangkap). Perbaikan perahu yang dilakukan
biasanya hanya perbaikan ringan yaitu berupa penambalan dan
pengecatan perahu. Perahu yang diperbaiki biasanya berasal dari
nelayan yang ada di Pulau Karampuang, Tambi, Sumare, Rangas
dan Tadui. Sedangkan untuk perbaikan alat tangkap biasanya
banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Aktifitas tersebut
dilakukan pada malam hari setelah ibu-ibu kembali dari kota. Jasa

62
perbaikan alat tangkap ini menjadi usaha sampingan, akan tetapi
memberi kontribusi terhadap pendapatan masyarakat Pulau
Karampuang. Namun usaha tersebut hanya dilakukan oleh
sebagian kecil Ibu-ibu di Pulau Karampuang. Hal ini karena
pekerjaan tersebut membutuhkan keterampilan, selain itu
pengguna jasa perbaikan alat tangkap sudah menurun karena
banyaknya inovasi alat tangkap. Berkaitan dengan hal tersebut
penelitian yang dilakukan oleh (Hayati et al. 2012), menguraikan
bahwa walaupun kapabilitas secara teknis wanita tani unggul
dibandingkan dengan kapasitas manajerial dan social, akan tetapi
umumnya kapabilitas wanita tani masih masuk kategori kurang
mampu dalam mendukung tercapainya ketahanan pangan
rumahtangga.

Pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga merupakan


strategi adaptasi ekonomi oleh keluarga miskin. Pelibatan aktif
semua keluarga guna menambah pendapatan rumahtangga. Semua
anggota rumahtangga yang berusia produktif, dilibatkan dalam
aktifitas menangkap ikan. Adapun anggota keluarga yang masih
muda (anak-anak), hanya pada saat melakukan pemilihan ikan,
menyandarkan perahu dan perbaikan jaring serta membantu
berkebun ubikayu. Pelibatan anggota rumahtangga yang wanita
adalah pada aktifitas menjual ikan dan mengolah ubi kayu
menjadi olahan tradisional dan menjual ke pasar-pasar tradisional.

63
Migrasi adalah strategi adaptasi ekonomi yang umum
dilakukan, dimana dalam rangka mencukupi kebutuhan
rumahtangganya, hamplr semua masyarakat Pulau Karampuang
bermigrasi ke Mamuju. Pria yang bermigrasi beraktifitas di sector
informal yaitu menjadi kuli bangunan dan tukang ojek.
Sedangkan pelaku migrasi perempuan, aktifitas yang dilakukan
biasanya sebagai buruh cuci, tukang jaga toko, tukang jaga anak,
tukang masak. Realitas ini menunjukkan bahwa para pelaku
migrasi umumnya bekerja di sektor informal. Uraian ini selaras
dengan Carner (1984) menguraikan tiga strategi adaptasi yang
bisa dilakukan bagi keluarga miskin yang ada di desa, dimana
salah satunya yaitu bermigrasi ke tempat lain sebagai pilihan
terakhir jika sumber penghidupan di desa tersebut sudah tidak ada
lagi.

Strategi adaptasi sosial antara lain melalui pemanfaatan


intitusi lokal sering ditemui pada saat ada hajatan atau acara
keluarga, seperti perkawinan, aqiqah dan sunatan yang
memerlukan anggaran yang banyak. Meskipun tidak menggelar
pesta, akan tetapi perayaan tersebut memerlukan anggaran yang
banyak. Sama seperti hajatan yang lain sebelum menggelar pesta
selalu didahului dengan acara selamatan dengan melibatkan
tetangga dan keluarga terdekat. Kendatipun pengeluaran dalam
jumlah besar, tetapi ini menjadi masalah rumahtangga yang yang
berarti. Pengeluaran tersebut bakan kembali bahkan kadang ada

64
sisa, karena partisipasi urungan dari undangan dalam bentuk
sumbangan. Kondisi ini dapat terwujud disebabkan oleh nilai-
nilai luhur yang telah melembaga agar saling bahu membahu
menyumbang dalam tiap hajatan. Masyarakat diikat oleh
“kewajiban” untuk membantu dalam bentuk sumbangan dalam
bentuk uang, barang dan tenaga. Adapun yang berhajat juga
memiliki “kewajiban” dalam melunasi hutangnya bila suatu saat
yang menyumbang juga melaksanakan acara. Besar kecilnya
partisipasi sangat ditentukan oleh kelas sosial seseorang.

Menurut Scott (1989) dalam kajiannya berasumsi bahwa


petani dalam mempertahankan hidupnya memiliki praktek hidup
gotong-royong, saling tolong menolong dan melihat persoalan
sebagai persoalan Bersama (kolektif) karena berangkat dari azas
pemerataan, selain itu diuraikan bahwa petani memiliki hak moral
untuk dapat hidup secara berkecukupan. Sedangkan Popkin
(1989) memiliki pandangan yang berbeda bahwa petani
sesungguhnya memiliki keinginan secara individu untuk kaya
bahkan mengambil resiko, hanya saja tidak memiliki peluang
untuk mendapatkan akses pasar.

Pertalian kekeluargaan yang kuat menjadikan kehidupan


suatu keluarga mampu bertahan. Di Pulau Karampuang berhutang
merupakan salah satu penggunaan modal sosial. Kepercayaan
yang terbangunan antar masyarakat dalam relasi social sangat
tinggi, hal ini menjadikan aktifitas berhutang berjalan baik. Akan

65
tetapi kepercayaan akan hilang jika ada yang tidak menepati
(ingkar). Setiap keluarga akan memegang teguh kepercayaan
sebagai wujud membina relasi social, karena inti dari semua
adalah kepercayaan. Pengingkaran terhadap kepercayaan akan
mendapatkan sanksi social bagi siapa saja seumur hidup. Dalam
upaya pemenuhan memenuhi kebutuhan hidup, biasanya pada
saat menurunnya pendapatan, ibu-ibu akan meminjam di kios
pengecer di kios-kios penjualan bahan kebutuhan sehari-hari.

Fakta tersebut didukung oleh penelitian Hendrawati et al.


(2015) yang menguraikan tentang kehidupan masyarakat, dimana
berhutang menjadi suatu implementasi dari social kapital, bahwa
dalam relasi sosial rasa saling percaya antara masyarakat itu
sangat tinggi sehingga kegiatan hutang piutang yang terjalin
antar masyarakat berlangsung dengan baik. Rumah tangga miskin
sangat menjaga kepercayaan dalam hubungan social tersebut.
Karena kepercayaan dalam hubungan sangat fatal akibatnya jika
diingkari, karena berimbas sampai seumur hidup.

Strategi adaptasi sosial lainnya yaitu jaringan sosial yaitu


saling membagi informasi tentang pekerjaan, saling
menyampaikan informasi mengenai pekerjaan merupakan suatu
strategi adaptasi social. Karena kadang penyampaian ataupun
ajakan bekerja berasal dari teman, tetangga dan kerabat.
Masyarakat Pulau Karampuang memiliki solidaritas tinggi, rasa
senasib sepenanggungan menjadikan solidaritas masyarakat Pulau

66
Karampuang sangat tinggi. Ketika salah satunya mendapatkan
pekerjaan maka akan disampaikan ke kerabat dan tetangga. Begitu
pula kalau ada lowongan pekerjaan yang diperoleh maka
informasi tersebut disampaikan kepada yang lain, sehingga
informasi ini menyebar sangat efektif.

Modal sosial dalam bentuk jaringan sosial yang dibangun


antar mereka telah memperkuat hubungan patron-klien secara
kekeluargaan. Hal ini merupakan sesuatu yang baik karena dalam
relasi tersebut tidak didasari aturan yang mengikat seperti relasi
patron dan klien pada umumnya sehingga klien lebih leluasa
untuk melakukan mobilitas vertikal. Komunitas nelayan memiliki
kemampuan untuk membangun institusi sosial ekonomi secara
mandiri. Jaringan sosial tersebut menjadi kekuatan bagi nelayan
dalam upaya mengatasi kemiskinannya (Tanzil 2019).

4.2. Strategi Adaptasi Konsumsi Pangan


Perilaku konsumtif muncul karena adanya unsur teknologi,
seperti iklan yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia akan
makanan. Melalui tayangan iklan baik pada media cetak maupun
elektronik, orang menjadi tertarik untuk membeli. Kesadaran
manusia seakan terstruktur oleh keinginan, impian, imajinasi
terhadap pesan yang disampaikan oleh “tanda” (sign) pada
makanan (label makanan, tayangan iklan, penyajian di tempat
mewah dan sebagainya) (Widodo 2011).

67
Perilaku konsumsi masyarakat di Pulau Karampuang
berbeda berdasarkan beberapa faktor, yaitu :

a. Faktor Usia

Adanya fase perubahan pada pola konsumsi pangan


masyarakat di Pulau Karampuang. Perubahan perilaku
konsumsi pangan masyarakat disebabkan karena
pembangunan sosial ekonomi serta perkembangan kultur
selanjutnya. Hal ini selaras dengan penelitian Kearney
(2010), menguraikan bahwa umumnya perubahan pola
konsumsi pangan yang terjadi adalah dari pangan pokok ke
arah pangan yang lebih beraneka ragam. Selanjutnya,
diuraikan bahwa perubahan konsumsi pangan pada tingkat
global dan regional akan membawa konsekuensi pada
pertimbangan kesehatan. Perkembangan urbanisasi,
pemasaran pangan hasil industri, dan kebijakan liberalisasi
perdagangan berimplikasi pada kesehatan, ditunjukkan
dengan adanya masa “transisi gizi”, yaitu adanya
peningkatan obesitas dan penyakit kronis seperti jantung
dan kanker.

Perkembangan budaya yang terjadi karena masyarakat


Pulau Karampuang sudah mengenal budaya dari Kota
Mamuju. pengenalan tersebut disebabkan oleh aktifitas
yang dilakukan di Kota Mamuju. Seperti telah diuraikan

68
bahwa perubahan bahan pangan dari ubi kayu ke beras
dilatar belakangi oleh adanya migrasi sikuler ibu-ibu ke
kota untuk bekerja. Hartog et al. (2006), mengemukakan
bahwa Kebiasaan makan adalah unsur yang urgen pada
tahapan awal dalam menerima suatu produk. Suatu produk
akan lebih cepat diterima apabila dianggap relevan dengan
budaya makan dan mampu di implementasikan diwilayah
tersebut.
b. Faktor Pendapatan

Komposisi bahan makanan yang hendak dibeli lebih


ditentukan oleh jumlah pendapatan masyarakat. Masyarakat
pulau Karampuang biasanya membeli bahan makanan
setiap minggu di pasar Mamuju, jumlah yang dibeli
berdasarkan jumlah pendapatan dalam seminggu.
berlandaskan uraian tersebut, maka dijabarkan dalam tiga
tipologi, yaitu:
1) Makanan yang dikonsumsi selama seminggu adalah
beras,
2) Makanan yang dikonsumsi selama seminggu dipadukan
antara beras dan Ubi Kayu (singkong), dan
3) Makanan yang dikonsumsi selama seminggu hanya ubi
kayu (singkong). Pembagian kategori tersebut
disebabkan oleh kemampuan dan daya beli terhadap
makanan pokok. Sehingga anggota keluarga

69
mengkonsumsi apa yang tersedia/dihidangkan pada saat
itu.

Mengacu pada pernyataan tersebut, maka perlu


dijelaskan tentang perbedaan konsumsi pangan antara
rumah tangga, perbedaan tersebut sangat ditentukan oleh
tingkat pendapatan. Makin tinggi pendapatan keluarga akan
mendorong untuk upaya dalam memperbaiki mutu pangan
yang akan dimakan agar gizi keluarga dapat meningkat,
bahkan dengan pendapatan yang tinggi akan
memungkinkan masyarakat untuk membeli makan siap saji
sebagai pengganti pangan pokok.

(Fadilah et al. 2014), bahwa derajat kesejahteraan dan


biaya untuk konsumsi sangat ditentukan oleh pendapatan
keluarga. Dimana rerata penghasilan masyarakat Pulau
Karampuang yang bekerja sebagai nelayan yaitu sejumlah
Rp. 30.187.572,00 pertahun. Sekitar 60,09 % dari
penghasilan tersebut diperuntukkan di sector konsumsi
pangan dan 39,91% di peruntukkan bagi sektor non pangan.

c. Faktor Pendidikan

Pendikan berperan sangat penting dalam menentukan


perilaku konsumsi, hal ini sesuai dengan uraian (Syam et al.
1996) Menjelaskan dimana perilaku konsumsi pangan
keluarga sangat pengaruhi oleh derajat pendidikan bapal

70
sebagai kepala keluarga. Selanjutnya Kemampuan
menerima informasi bagi seseorang akan sangat apabila
memiliki derajat Pendidikan yang lebih tinggi, demikian
pula pada aspek implementasi dalam tingkah laku dan cara
hidup khususnya yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan
(Atmarita and Fallah 2004). Aksesibilitas pangan yang
terjadi lebih cenderung berdasarkan pemahaman terhadap
kandungan gizi yang ada padamakanan.

Ibu rumah tangga sangat menentukan akses terhadap


pangan, karena yang melakukan pembelian bahan pangan
adalah ibu rumah tangga. Dengan demikian keputusan
untuk membeli jenis dan jumlah pangan bagi masyarakat di
Pulau Karampuang lebih banyak diputuskan oleh ibu-ibu.
Pendidikan ibu-ibu akan menjadi pertimbangan utama
dalam mengakses pangan. Pengetahuan ibu rumah tangga
tentang kandungan gizi pada bahan pangan mempengaruhi
kecenderungannya memilih pangan untuk keluarga.

Uraian di atas diperkuat oleh Hayati et al. (2012),


yang menyimpulkan bahwa meskipun perempuan dalam hal
ini ibu rumh tangga memiliki pendapatan rendah akan tetapi
lebihdominan dalam pengambilan keputusan rumah tangga.

Berdasarkan uraian beberapa faktor yang


menyebabkan perbedaan perilaku konsumsi masyarakat
Pulau Karampuang di atas, memungkinkan kecenderungan

71
akan kebutuhan pangan sangat tinggi. Kondisi ini
kontradiksi dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki
oleh masyarakat Pulau Karampuang. Sehingga upaya yang
paling efektif yang dilaksanakan sebagai wujud
mengadaptasikan diri ialah melalui pelaksanaan
diversifikasi konsumsi pangan. Dengan
menganekaragamkan jenis makanan, sehingga pengurangan
ketergantungan terhadap makanan yang sulit diperoleh
dapat di wujudkan. Menurut Penelitian Suyastiri (2008),
bahwa pola diversifikasi konsumsi pangan antara beras
dengan makanan penggantinya yaitu jagung, ketela pohon,
meski beras tetap dominan akan tapi minimal dapat
menekan tingkat dependensi beras bagi masyarakat. Namun
konsumsi pangan berbeda masing-masing rumah tangga,
perbedaan ini di sebabkan perbedaan tingkat pendapatan.
Diversifikasi pangan bukan untuk mengganti beras
sebagai makanan pokok bagi keluarga akan tetapi
merubah perilaku konsumsi keluarga dari pangan tunggal
ke beberapa pangan lain yang tersedia di Pulau
Karampuang, seperti ubi kayu dan pisang. Kondisi ini
menjadikan beras bukan satu-satunya makanan sehari-hari
tapi ada ubi kayu di olah menjadi kalumpang/jepa dan
pisang diolah menjadi lokaro’do.

72
Kalupang/jepa adalah merupakan makan khas olahan
masyarakat Pulau Karampuang yang merupakan warisan
secara turun temurun sebagai makanan pokok masyarakat.
Meskipun hampir punah karena perubahan pola konsumsi
tapi masih banyak masyarakat Pulau Karampuang yang
mengkonsumsi.

Lokaro’do adalah makanan olahan dari pisang kepo


dicampur santan kelapa yang merupakan makanan pokok
suku asli Mamuju dulu sebelum adanya beras. Makanan ini
dikonsumsi oleh orang Mamuju yang berada di dataran
tinggi. Karena sulitnya dulu menanam padi sehingga orang
Mamuju mengkonsumsi lokaro’do sebagai makanan pokok.
Tapi seiring perkembangan lokaro’do sudah mulai hilang,
dan beralih ke beras sebagai makanan pokok. Lokaro’do
hanya menjadi makanan pendamping saja, hanya di
konsumsi pada saat ada acara-acara kumpul keluarga.

Lokaro’do adalah makanan yang diolah dengan teknik


pengolahannya masih sederhana dan menggunakan alat
seadanya, akan tetapi keberadaannya menjadi arti tersendiri
sebagai kearifan local yang mampu menjadi makanan utama
pada jaman dahulu sehingga keberlangsungan hidup
masyarakat dapat terus berlanjut.

Lokaro’do di Sulawesi Barat memiliki berbagai


sebutan seperti loka sattai (majene), loka anjoroi (Polewali

73
Mandar). Penamaan tersebut disesuaikan dengan kultur dan
bahasa masing-masing daerah. Lokaro’do adalah makanan
yang sangat familiar bagi masyarakat Sulawesi Barat
khususnya Mamuju. Keberadaannya sebagai salah satu
kearifan lokal akan menjadi entitas bagi budaya masyarakat
Mandar, khususnya pada tiap hajatan yang dilaksanakan
seperti syukuran, pernikahan dan sebagainya.

Perilaku konsumsi masyarakat baik perorangan


ataupun kelompok terbangun oleh aspek lingkungan yang
menjadi tempat tinggal masyarakat bersangkutan. Kondisi
geografis dan cuaca manjadi penentu tersedianya pangan.
Hal ini selaras dengan pendapat (Jerome, Kandel, and Pelto
1980), mengemukakan bahwa lingkungan yang mencakup
ekologi, sosial, teknologi dan budaya adalah merupakan
unsur yang memberi pengaruh pada terbentuknya prilaku
konsumsi.

Kultur dan tersedianya pangan secara fisik akan


menentukan perilaku makan suatu masyarakat, karena
masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi
makanan yang bahannya tersedia dan mudah diperoleh
disekitarnya. Sedangkan dari sisi budaya makanan akan di
konsumsi apabila nilai yang dimiliki mampu diterima oleh
masyarakat. Nilai tersebut meliputi rasa suka, rasa enak,
berbahaya, berharga(Suhardjo 1989; Wenkam 1979).

74
4.3. Review Pola Adaptasi Konsumsi Dan Produksi Pangan

Kondisi ini disebabkan oleh wilayah tangkapan yang


semakin jauh dari pulau, karena rusaknya lingkungan akibat
eksploitasi secara terus menerus oleh nelayan yang berasal dari
luar pulau dengan menggunakan alat tangkap modern. Di lain sisi,
keadaan alam menjadi faktor yang membatasi masyarakat untuk
melakukan usaha di bidang pertanian, karena tidak semua
tanaman dapat tumbuh di atas karang. Realitas inilah yang
menjadi faktor yang mendorong kesadaran masyarakat Pulau
Karampuang melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan
hidup (adapatasi) dalam upaya memenuhi kebutuhannya
khususnya pangan.

Strategi adaptasi produksi masyarakat sebagai bentuk upaya


dalam memenuhi kebutuhan hidup khususnya pangan meliputi
strategi adaptasi ekonomi yang mencakup pola nafkah ganda,
Kusnadi (2000), mengatakan bahwa diversifikasi mata
pencaharian merupakan tindakan rasional secara ekonomi yang
diambil nelayan sebagai langkah antisipatif terhadap keadaan
dimana terjadinya praktek ekploitatif besar-besaran dan
pemasaran hasil tangkapan yang dianggap masih senjang.
Selanjutnya pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga
dimana anggota keluarga usia kerja terlibat mencari nafkah rumah
tangga diberbagai sumber yaitu pertanian dan non pertanian, baik
kegiatan usaha sendiri atau menjadi buruh (Sajogyo 1983; White

75
and David M. Klein 2007). Migrasi adalah strategi adaptasi
ekonomi yang ketiga, (Carner 1984) menguraikan tiga
pendekatan yang yang mampu di laksanakan keluarga miskin
di desa, dimana salah satunya yaitu melakukan jika tidak ada
lagi sumber pendapatan ditempatnya, maka alternative yang
dilakukan adalah dengan bermigrasi ke tempat lain umumnya
berpindah dari desa ke kota.

Adaptasi produksi berikutnya ialah strategi adaptasi social


berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal, menurut Scott
(1989) dalam kajiannya berasumsi bahwa petani dalam
mempertahankan hidupnya memiliki praktek hidup gotong-
royong, saling tolong menolong dan melihat persoalan sebagai
persoalan Bersama (kolektif) karena berangkat dari azas
pemerataan, selain itu diuraikan bahwa petani memiliki hak
moral untuk dapat hidup secara berkecukupan. Selain itu
pemanfaatan jejaring sosial di masyarakat adalah strategi adaptasi
social masyarakat kedua, komunitasnelayan memiliki kemampuan
untuk membangun institusi sosial ekonomi secara mandiri.
Jaringan sosial tersebut menjadi kekuatan bagi nelayan dalam
upaya mengatasi kemiskinannya (Tanzil 2019).

Strategi adaptasi konsumsi masyarakat pulau kecil adalah


diversifikasi pangan, sebuah upaya yang dilakukan dengan
menganekaragamkan (diversifikasi) jenis makanan, sehingga
dapat mengurangi ketergantungan terhadap makanan yang sulit

76
diakses. Menurut (Suyastiri 2008), pola diversifikasi konsumsi
pangan antara beras dengan makanan penggantinya yaitu jagung,
ketela pohon, meski beras tetap dominan akan tapi minimal dapat
menekan tingkat dependensi beras bagi masyarakat. Namun
konsumsi pangan berbeda masing-masing rumah tangga,
perbedaan ini di sebabkanperbedaan tingkat pendapatan.

77
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI
DAN KONSUMSI PANGAN

78
BAB V KELEMBAGAAN PRODUKSI DAN KONSUMSI
PANGAN

Berdasarkan berbagai penjelasan, maka yang menjadi hal


yang dasar dari sebuah kelembagaan masyarakat adalah adanya
norma dan nilai sebagai hasil konsensus yang berfungsi sebagai
perekat dan pengendali, sehingga dapat tercapai suatu ketertiban
hidup bermasyarakat. Jika diumpamakan dengan tubuh manusia,
maka kelembagaan dalam masyarakat bagaikan jiwa dalam
tubuh. Atau dengan kata lain, kelembagaan adalah hakikat atau
substansi dasar sebuah komunitas serta kulturnya. Sehingga
konsekuensinya adalah bahwa setiap upaya dengan maksud
memahami serta mengkaji sebuah permasalahan internal suatu
komunitas, maka harus mempelajari dan memahami kelembagaan
yang ada dan berjalan di dalam masyarakat tersebut.

Selaras dengan uraian di atas masyarakat Pulau


Karampuang juga memiliki kelembagaan yang mengatur sendi-
sendi kehidupan masyarakat yang ada. Dalam kehidupannya
masyarakat juga memiliki aturan atau nilai dan struktur yang
menjadikan keteraturan dalam sendi-sendi kehidupan.
Kelembagaan mereflesikan setiap aturan sosial yang berlaku dan
dipatuhi oleh masyarakat Pulau Karampuang dalam melakukan
interaksi sosial, agar proses-proses sosial yang terjadi dapat
berjalan baik.

79
5.1. Kelembagaan Produksi Pangan

Masyarakat Pulau Karampuang dalam menjalankan aktifitas


produksi berupa usaha penangkapan ikan memiliki norma dan
nilai yang harus dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap
kesepakatan yang di buat sejak dulu. Pranata masyarakat Pulau
Karampuang dalam aktifitas melaut disebut Mole’bo’. Sebagai
norma yang telah menjadi konsensus sejak dulu, mole’bo menjadi
suatu hukum bagi masyarakat Pulau Karampuang dalam
pengelolaan sumberdaya alam khususnya laut.
Tabel 30 Adat dan Norma Mole’bo Masyarakat Pulau
Karampuang Kabupaten Mamuju

NO NORMA DAN NILAI PEMAKNAAN MASYARAKATPULAU


KARAMPUANG
1 Melakukan tradisi makkuliwa Dipercaya mampu mendatangkan
dan mappandesasi berkah dan mempermudah dalam
menjalani profesi mole’bo
2 Tidak boleh menggunakan Masyarakat meyakini bahwa laut
racun dan bahan peledak serta adalah merupakan tempat mengais
pukat harimau (Trawl) rejeki tidak boleh di rusak karena
akan mendatangkan bala bencana
3 Tidak Boleh Menangkap ikan Diyakini ikan hiu dianggap sebagai
hiu berkah dan rejeki
4 Pemberlakuan batas wilayah sebagai bentuk kesadaran dalam

80
Penangkapan dan menjaga kelangsungan dan
pemberlakuan waktu melaut kelestarian lingkungan.
5 Tidak boleh membuang Nelayan di pulau karampung
Sampah dan limbah rumah percaya bahwa perilaku tersebut
tangga di laut akan mendatangkan bencana
Sumber: Data dari primer setelah, 2018

1. Melakukan tradisi makkuliwa dan mappandesasi

Masyarakat Pulau Karampuang memiliki kehidupan


yang menarik karena setiap langkah yang akan dimulai
sehubungan dengan melaut mempunyai nilai-nilai sakral
dan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Meskipun hasil
dari melaut itu tidak seberapa, apalagi bagi nelayan-
nelayan biasa yang sehari-harinya hanya menangkap ikan
dengan lepa- lepa (sampan) lalu dibawa pulang untuk
konsumsi, jika ada lebihnya baru akan dijual, bahkan
sampai anak-anaknya pun ikut melaut dantidak tanggung
diusianya yang masih anak-anak.

Masyarakat Pulau Karampuang sebagai masyarakat


yang telah berakulturasi dengan budaya mandar juga
melakukan ritual-ritual tertentu. Ritual dilaksanakan sebagai
suatu keharusan dalam mengawali setiap aktifitas agar
memperoleh berkah dan hasil yang melimpah dalam usaha
penangkapan ikan. Makkuliwa adalah tradisi yang mutlak
harus dilakukan oleh seorang pole’bo, karena masyarakat

81
Pulau Karampuang meyakini bahwa tradisi tersebut mampu
mendatangkan berkah dan mempermudah dalam menjalani
profesi mole’bo. Karena kesadaran akan manfaatnya inilah
masyarakat Pulau Karampuang selalu memelihara secara
terus menerus tradisimakkuliwa.

Tradisi makkuliwa ini merupakan tradisi nelayan


Pulau Karampuang yang mengadakan syukuran atau
ma’baca (dalam istilah Mamuju) ketika sebuah lopi
(perahu) baru atau telah jadi dan siap pakai, sebelum
diturunkan ke laut, dipanjatkan doa guna memperoleh
assalamakang (keselamatan) dalam setiap perjalanannya di
laut, baik keselamatan bagi pole’bo (istilah bagi pelaut
Pulau Karampuang atau dapat pula diartikan sebagai
nelayan) maupun bagi perahu itu sendiri. Tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk jamuan perkenalan antara perahu
dan pengguna perahu dengan laut sebagai tempat mencari
rezeki agar dapat menghindarkan dari berbagai jenis bara’
(angin) dan bombang (ombak).

Pelaksanaan ritual makkuliwa berlangsung pada 2


lokasi yang berbeda (di rumah serta di perahu). Pelaksanaan
di rumah dimulai dengan barzanji dilanjutkan dengan doa
dan diakhiri dengan makan bersama. Setiap undangan yang
akan pulang ke rumah akan diberikan bungkusan dari yang
punya hajatan berupa sokkol lame ayu, pisang dan kue

82
putu-putu atau yang lain didasarkan pada kemampuan
pemilik hajatan. Sedangkan pelaksanaan ritual di perahu
memiliki prosesi tersendiri, dimana sando lopi (dukun
perahu) memimpin pelaksanaan ritual. Di bagian tengah
perahu disiapkan satu baki yang berisi sokkol (ketan/ubi
kayu), loka (pisang), kue (putu-putu) dan minuman. Ritual
di awali dengan pemotongan jengger ayam jantan dan
darahnya diteteskan pada sebilah kayu yang menjadi
penutup (posi lopi) kemudian kayu tersebut di letakkan di
bagian tengah/pusat perahu (posi lopi). Selanjutnya
sandolopi membaca barzanji dan doa, kemudian di akhir
acara makanan di dalam perahu dibagikan kepada semua
undangan yang hadir.

Tradisi mappandesasi adalah merupakan ritual yang


dilaksanakan secara insidentil, umumnya masyarakat Pulau
Karampuang melaksanakan ritual tersebut hanya pada pada
kondisi tertentu, yaitu saat akan terjadi bencana laut
sehingga melakukan upacara mappandesasi sebagai ritual
toda’ bala dan pada saat ada pole’bo yang hilang. Dan
apabila ritual tersebut telah dilakukan maka masyarakat
meyakini bahwa pole’bo akan terhindar dari bala dan tidak
di ganggu atau di sembunyikan oleh makhluk halus. Karena
masyakat Pulau Karampuang meyakini bahwa kehadiran
makhluk halus di tengah laut dapat menjadi pertanda akan

83
ada bencana ataupun sebaliknya. Ritual mappandesasi
dilakukan dengan menggunakan dupa atau kemenyan yang
dibakar kemudian disertai dengan doa-doa keselamatan
oleh imam atau annangguru.
2. Tidak boleh menggunakan racun dan bahan peledak
serta pukat harimau (Trawl)

Masyarakat Pulau Karampuang yang merupakan


nelayan tradisional memiliki pamali atau larangan yang
dianggap tabu, larangan tersebut merupakan warisan yang
dituturkan secara turun temurun sebagai norma pantang
larang bagi nelayan yang akan mole’bo. Didalam
melakukan penangkapan, nelayan pamali menggunakan
racun tuwa (racun dari akar pohon tuwa), bahan peledak
dan pukat yang harimau. Masyarakat meyakini bahwa laut
adalah merupakan tempat mengais rejeki tidak boleh di
rusak karena akan mendatangkan bala bencana. Bala
bencana tersebut terjadi karena murkanya pangambi le’bo
(penjaga laut).
3. Tidak Boleh Menangkap ikan hiu

Masyarakat Pulau Karampuang menganggap ikan hiu


adalah induk dari omber (ikan kecil dengan bentuk tubuh
bulat memanjang dan berwarna belang), sehingga
kemunculan ikan hiu dianggap sebagai berkah bagi
masyarakat Pulau Karampuang khususnya ibu-ibu. Karena

84
kemunculan ikan hiu selalu bersamaan dengan munculnya
omber. Pada saat tersebut ibu-ibu akan beramai ke pantai
menangkap omber, selain untuk dimakan juga dijual ke
Kota Mamuju. Karena kehadiran ikan hiu beserta omber
dianggap sebagai rejeki, maka masyarakat Pulau
Karampuang melarang untuk menangkap ikan hiu arena
masyarakat meyakini bahwa ikan hiu mendatangkan rejeki.
4. Pemberlakuan batas wilayah penangkapan dan
pemberlakuan waktu melaut

Masyarakat Pulau Karampuang menggunakan


beberapa jenis perahu untuk melaut, yaitu lepa-lepa,
katinting dan jolloro. Sejak dulu aturan batas wilayah
tangkapan atau hak ulayat. Hasil tuturan lisan
disampaikan pada setiap orang yang baru belajar melaut
salah satu yang harus dipahami adalah tentang
pengoperasian ketiga armada perahu tersebut berbeda
wilayah tangkapannya. Aturan ini sebagai bentuk kesadaran
dalam menjaga kelangsungan dan kelestarianlingkungan.

Lepa-lepa umumnya beroperasi di perairan pantai


dengan teknik penangkapan mammekang (memancing).
Biasanya nelayan yang menggunakan lepa-lepa memiliki
waktu penangkapan 5-10 jam (pergi tengah malam dan
pulang pagi). Katinting adalah merupakan armada perahu
yang memiliki palantong (sayap penyeimbang), umumya

85
wilayah tangkapannya lebih jauh dari lepa-lepa. Dimana
katinting biasanya menggunakan alat tangkap pukat, dengan
waktu menangkap berkisar 3- 4 hari di laut. Sedangkan
jolloro adalah merupakan perahu besar yang menggunakan
mesin yang berkapasitas 10 GT ke atas dengan kekuatan 10
PK. Jolloro biasanya hanya dimiliki oleh nelayan dari luar
pulau. Dengan batas wilayah tangkapan lebih jauh dari
katinting, pemilik perahu jolloro biasanya memiliki rumpon
yang ada di laut. Sampai sekarang masyarakat Pulau
Karampuang masih menaati aturan tersebut. Tetapi aturan
itu sudah mulai hilang karena selain sudah diatur oleh
peraturan pemerintah yang menentukan atas-batas jalur
penangkapan ikan juga karena ketidak patuhan nelayan dari
luar pulau yang sudah mulai masuk ke wilayah lepa-lepa
dan katinting.

5. Tidak boleh membuang sampah dan limbah rumah


tangga di laut Pantangan membuang sampah di laut
merupakan norma yang melembaga sejak dulu pada
masyarakat Pulau Karampuang. Hal ini diyakini
sebagai norma yang lahir dari konsepsi bahwa ”dako
ingkamia mantibe sarupu di engeammu kumande”
(janganlah kalian membuang “sampah” kotor di
tempat makanmu). Pemali ini sangat di taati oleh
masyarakat Pulau Karampuang, karena percaya

86
bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan bencana
terutama ombak yang besar.

Berdasarkan uraian di atas, kelembagaan sebagai nilai


dan norma dapat dimaknai dalam wujud refleksi atas dasar
konsensus, dengan kata lain desain perilaku dan aturan
rujukan atas dasar kesepakatan bersama. Aturan dan kaidah
secara umum lebih bebas, diimplementasikan oleh keluarga,
komunitas, kelompok dan sebagainya. Sebagian besar
kegiatan manusia membutuhkan aturan atau kaidah yang
dapat mengakomodasi semua proses sosial, demikian halnya
bagi pengaturan-pengaturan dalam komunitas dibutuhkan
satu aturan-aturan perilaku yang berfungsi mengatur
perilaku- perilaku yang diharuskan. Apabila kaidah ditaati,
maka system social akan beroperasi dengan sempurna.
Namun jika diabaikan akan menimbulkan ketidakteraturan
dalam komunitas atau kelompok social.

Value adalah aspek yang mendasar sebagai pedoman


dalam relasi antara produsen dan lingkungan. Karakter
produksi merupakan impresi yang diberikan oleh individu
berdasarkan value yang dipatuhi. Impresi ini membangun
kognisi tentang faedah yang didapat pasca menghasilkan
barang. Value merupakan keyakinan ataupun dogma yang
tafsir urgen oleh individu atau komunitas. Value dapat
bermakna suatu keyakinan terhadap sesuatu, akan tetapi

87
value bukan semata-mata keyakinan saja. Tingkah laku
setiap orang diorientasikan oleh value yang berdasarkan
pada kulturnya sendiri (Wijaya 2014).
5.1 Kelembagaan Konsumsi Pangan

Masyarakat Pulau Karampuang dalam mengelola konsumsi


pangannya secara optimal juga diperlukan nilai dan norma yang
menjadi acuan dalam mengatur kecukupan dan keseimbangan
gizi, ataupun untuk menerima pengaruh dari perubahan pola
konsumsi yang bersumber dari luar Pulau Karampuang.

Pranata sosial yang berkembang pada masyarakat Pulau


Karampuang yang bersangkutan dengan perilaku konsumsi
pangan adalah merupakan warisan dari leluhur yang diturunkan
secara turun temurun melalui tutur lisan orang tua. Baik pranata
sosial yang berlaku di internal keluarga maupun pada domain
masyarakat di Pulau Karampuang secara umum.
1. Larangan bagi anak kecil dan Ibu Hamil makan
menggunakan piring kecil

Masyarakat Pulau Karampuang menganggap anak


kecil dan ibu hamil adalah manusia yang paling rentan
terhadap gangguan baik dari makhluk halus maupun dari
penyakit, dengan demikian, perlu usaha preventif dalam
menghidarkan diri dari berbagai macam gangguan yang
berasal dari luar. Salah satu upaya preventif tersebut adalah

88
larangan untuk mengerjakan sesuatu yang di larang pada
tiap aktifitas masyarakat. Makan menggunakan piring kecil
bagi anak-anak mengandung makna bahwa nanti kalau
sudah besar, si anak tidak memiliki cita-cita dan dan
harapan yang besar untuk berkembang. Sehingga kehidupan
sosialnya tidak dapat membangun kehidupan keluarga yang
kokoh, atau secara sederhana tidak mampu meningkatkan
taraf hidup keluarganya. Begitu juga dengan ibu hamil,
dimana jika makan dengan piring kecil, diyakini bahwa
anak yang di lahirkan kelak tidak akan memiliki keinginan
dan semangat yang kuat. menjadi anak yang lemah dan
tidak mampu mengarungi kehidupanyang keras.
2. Larangan makan didepan pintu dan makan saat magrib

Masyarakat Pulau Karampuang percaya bahwa pada


saat magrib adalah waktunya pangambi (penjaga/penghuni)
untuk melakukan aktifitasnya. Pangambi yang dimaksud
adalah makhluk halus yang menghuni setiap tempat yang
dianggap angker. Sehingga setiap waktu magrib tiba
masyarakat Pulau Karampuang menutup pintu, agar
pangambi tidak masuk di rumah dan mengganggu penghuni
rumah. Larangan makan saat magrib bagi masyarakat Pulau
Karampuang dimaksudkan untuk menghindari gangguan
makhluk halus pada saat makan.

89
3. Larangan mengobrol atau berbicara saat menyantap
makanan.

Larangan mengobrol pada saat makan merupakan


aturan yang dituturkan secara lisan dan menjadi pedoman
bagi masyarakat Pulau Karampuang. Aktifitas makan bagi
masyarakat merupakan kegiatan yang sakral untuk
menghormati makanan sebagai upaya menjaga
kelangsungan hidup. Mengobrol atau berbicara akan
mengganggu dan mengurangi nilai sakralnya makanan yang
disantap, sehingga akan mengurangi penghormatan
terhadap makanan.
4. Larangan membuang dan meninggalkan sisa makanan
di piring

Larangan membuang atau menyisakan makan saat


makan juga merupakan tradisi yang mengakar lama pada
masyarakat Pulau Karampuang. Kepercayaan bahwa
makanan adalah salah satu sumber kehidupan, sehingga
perlu di hormati dan menjadikan larangan ini sebagai
sebuah norma yang penting dalam masyarakat Pulau
Karampuang. Selain itu, terbatasnya bahan makanan
menjadikan pantangan ini sebagai sebuah tindakan yang
rasional bagi masyarakat karena merupakan sikap
menghindari pemborosan. Susahnya memperoleh bahan
makanan pokok bagi masyarakat Pulau Karampuang

90
sehingga perlu sikap hemat dalam mengkonsumsi makanan.
Karena jika ini dilakukan suatu saat tidak punya makanan
untuk dimakan lagi.
5. Larangan meninggalkan rumah pada saat orang lain
sedang makan.
Meninggalkan rumah untuk bepergian bagi
masyarakat Pulau Karampuang harus dilakukan dengan
awal yang baik. Sesuai tutur lisan dari nenek moyang
masyarakat Pulau Karampuang “Punna melo lumampa,
tanda’pa tau ampe meangka” (kalau akan bepergian,
nanti sampai di tujuan baru berangkat). Pesan ini
mengindikasikan bahwa meninggalkan rumah atau
bepergian harus di awali dengan niat untuk sampai di tujuan
dengan selamat kemudian berangkat. Masyarakat Pulau
Karampuang percaya bahwa meninggalkan rumah pada saat
orang lain sedang makan akan mendatangkan musibah atau
hambatan di tengah perjalanan.

5.3. Relasi Sosial Patron Klien Masyarakat Pulau Kecil


Masyarakat Pulau Karampuang sebagai masyarakat yang
hidup dari kegiatan penangkapan ikan secara tradisional baik
usaha penangkapan secara individu maupun secara kolektif atau
berkelompok, konsekuensi yang harus dihadapi adalah ketidak
pastian pendapatan. Secara umum kegiatan masyarakat Pulau

91
Karampuang di sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap
melibat berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut membangun relasi
dan saling berkontribusi dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan.
Adapun pihak yang terlibat dalam usaha penangkapan secara
kolektif atau berkelompok antara lain :

1. Pemilik Perahu/juragan

Pemilik perahu merupakan pemilik alat penangkapan


sekaligus pemilik rompon. Dalam kelompok penangkapan
peran pemilik perahu dan alat tangkap sangat strategis
dalam penyediaan biaya operasional.
Pemilik perahu secara umum terbagi 2 kelompok, yaitu:
1) Pemilik perahu yang hanya menyediakan alat tangkap dan
modal operasional dan tinggal menunggu dan menerima
setoran dari kapal miliknya.
2) Pemilik perahu yang menyediakan alat tangkap dan modal
operasional dan juga ikut terlibat dalam aktifitas
menangkap ikan.

Pemilik perahu dalam hal ini berfungsi rangkap


sekaligus menjadi nahkoda (juru kemudi) yang
menjalankan perahunya sendiri, untuk menjadi nahkoda
harus memiliki keterampilan dan pengetahuan berkaitan
dengan mengemudikan kapal dan ilmu navigasi.

92
2. Awak Perahu atau Buruh nelayan

Awak perahu atau buruh nelayan adalah nelayan yang


hanya memiliki modal tenaga, namun tidak memiliki unsur
yang lain. Sebagai buruh nelayan, tugas yang dilakukan
adalah membantu pemilik kapal dalam menangkap ikan di
laut. Karakter khas nelayan seperti ini adalah
mendedikasikan diri dalam melayani yang empunya perahu.

Pengabdian ini merupakan konsekuensi logis dari


posisinya sebagai awak perahu atau anak buah kapal
(ABK), sehingga awak perahu bukanlah orang yang bebas
dari melakukan pekerjaannya. Akan tetapi bekerja
berdasarkan instruksi dari pemilik perahu.

3. Pedagang perantara

Pedagang perantara merupakan pedagang yang


melakukan pembelian hasil tangkapan dan berada di Pusat
Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
kota Mamuju. Keterlibatan pedagang perantara secara
langsung sangat menentukan dalam proses penjualan ikan,
khususnya berkaitan dengan penentuan harga ikan.

Relasi kerja yang terbangun dari usaha penangkapan


secara kolektif atau berkelompok di Pulau Karampuang
adalah pemilik perahu dan awak perahu/buruh nelayan
memainkan peran penting dalam organisasi penangkapan.

93
Secara organisatoris kedua belah pihak terikat dalam
pekerjaan melaut. Hubungan antara pemilik kapal dan
buruh nelayan didasarkan pada norma yang disepakati dan
dipatuhi bersama.

Mekanisme yang digunakan dalam menerima anggota


anak buah kapal (ABK) dilaksanakan dengan secara bebas.
Dimana penerimaan terhadap seorang nelayan menjadi
anggota ABK dengan prinsip keterbukaan, artinya siapun
boleh menjadi anggota sepanjang memiliki keinginan dan
kemampuan menjadi nelayan. Keterbukaan juga
mengandung arti tidak ada unsur tekanan atau intimidasi
dari manapun. Begitu juga apabila ada yang memutuskan
berhenti menjadi anggota, bebas kapan saja karena tidak ada
perjanjian dan aturan yang mengikat. Nelayan buruh dapat
meninggalkan kelompok sesuai keinginan dan kemauannya
walaupun belum cukup satu trip.

Pola rekruitmen awak perahu/buruh nelayan yang


sukarela dan terbuka, menyebabkan pola ikatan
keorganisasian dan hubungan kerjasama sangat longgar.
Awak perahu/buruh nelayan dapat pindah ke kelompok
penangkapan lain apabila dianggap tidak ada kecocokan
dengan pola bagi hasil yang diterapkan di kelompok
tersebut. Meskipun demikian tidak semua awak
perahu/buruh nelayan dapat dengan bebas pindah ke

94
kelompok lain, hal ini karena beberapa awak perahu/buruh
nelayan sudah terikat secara informal dengan pinjaman dari
pemilik perahu. Kebanyakan Awak perahu yang berasal
dari Pulau Karampuang, biasanya di awal bergabung di
kelompok penangkapan sudah meminjam duluan ke pemilik
perahu. Kondisi ini disebabkan karena desakan kebutuhan
rumah tangga.

Pola kerja yang terbangun dimana biaya operasional


kegiatan penangkapan seperti untuk membeli solar, minyak
tanah, peralatan lampu dan konsumsi selama melakukan
penangkapan merupakan tanggung jawab pemilik perahu.
Awak perahu/buruh nelayan hanya menyumbangkan jasa
tenaga. Beban tanggung jawab yang dimiliki oleh pemilik
kapal yang berat, apalagi dengan pasang surut hasil
tangkapan, sehingga menyebabkan pemilik kapal kadang
meminjam ke pedagang perantara untuk biaya operasional
atau biaya perbaikan mesin yang rusak.

Implikasi dari tanggung jawab yang berbeda akan


menyebabkan pola pembagian hasil yang diperoleh masing-
masing itu sangat berbeda. Para pemilik perahu
menentukan sendiri cara – cara pembagian hasil
menurut ukuran pemilikan modal, meskipun cara
memperoleh bagi hasil telah melibatkan para anggota
Nelayan di dalam rapat musyawarah. Mekanisme bagi

95
hasil tersebut menyebabkan buruh nelayan memperoleh
hasil yang sedikit. Apalagi jika terjadi kerusakan baik
mesin, perahu maupun alat tangkap, pemiliki perahu akan
memasukan dalam biaya operasional sebagai maintenance
(perbaikan) sehingga biaya keluar sebelum diadakan bagi
hasil. Mekanisme bagi hasil yang dilakukan kelompok
penangkapan di Pulau Karampuang umumnya adalah 3
bagian yaitu untuk pemilik mendapatkan 1bagian atau 33,3
% dari hasil penjualan, setengah bagian atau 16,65 % biaya
operasional, setengah bagian atau 16,65 % untuk juru
kemudi (nahkoda) dan 1 bagian atau 33, 3 % diperoleh
buruh nelayan dan dibagi secara merata. Pada awalnya
masyarakat bagian hasil yang diperoleh berupa uang,
akan tetapi karena tuntutan buruh nelayan menginginkan
bagi hasil dalam bentuk ikan.

Berdasarkan uraian di atas, (Satria 2009a),


menguraikan bahwa memang antara buruh nelayan sebagai
klien dengan pemilik kapal sebagai patron memiliki
perbedaan tingkat penguasaan sumberdaya. Dimana pemilik
kapal (patron) memiliki faktor produksi (modal, alat dan
armada tangkap) lebih banyak dibandingkan dengan buruh.
Keadaan ini menjadikan buruh nelayan memiliki posisi
tawar yang sangat lemah. Perbedaan ini itu menyebabkan
ikatan patron-klien terjalin.

96
Masyhuri (1999), Mendeskripsikan dimana nelayan
biasanya mengalami kesulitan keuangan pada waktu tertentu
karena sedikitnya diperoleh dari penangkapan, kondisi ini
menyebabkan nelayan menjual atau menggadaikan berbagai
jenis barang berharga dengan nilai murah. Bahkan nelayan
biasanya mengutang kepada pemilik kapal dengan jaminan
pekerjaan atau bagian yang diperoleh pada hasil
penangkapan akan dijual kepada pemilik kapal sekalipun
dengan harga murah disbanding harga pasar.
Sedangkan pihak yang terlibat dalam kegiatan penangkapan
secaraindividu, antara lain :
1. Nelayan

Nelayan dalam konteks ini adalah orang yang


independen dan otonom dalam melaksanakan aktifitas
melaut. Aktifitas melaut dilakukan secara individu dengan
alat tangkap dan armada yang dipakai masih bersifat
tradisional. Sehingga masyarakat yang menangkap ikan
secara individu biasa disebut sebagai nelayan tradisional.
Nelayan tradisional yaitu suatu aktifitas menangkap ikan
yang dilaksanakan sebagai bentuk usaha defensive dalam
bertahan hidup dengan orietasi usaha lebih pada memenuhi
kebutuhan keluarga. Alat tangkap yang digunakan juga
merupakan alat tangkap sederhana, sehingga kapasitas
tangkapan jugasangat sedikit.

97
2. Penyedia modal Informal

Penyedia modal informal adalah orang yang biasa


memberikan pinjaman kepada nelayan yang untuk menutupi
kebutuhan operasional penangkapan dan bahkan kebutuhan
konsumsi rumah tangga nelayan. Penyedia modal informal
dalam memberikan pinjaman modal kepada nelayan
tradisional hanya mengandalkan kotrak informal dengan
jaminan kepercayaan saja. Penyedia modal informal ini
terdiri dari pedagang perantara, pedagang pengumpul, usaha
individu dan bahkan toko-toko penjual alat dan mesin
kebutuhan nelayan yang berada di pantai Kota Mamuju.
Jumlah nelayan tradisional yang ada di Pulau
Karampuang, yang hanya melakukan penangkapan secara
individu lebih banyak dibandingkan dengan nelayan yang
terlibat dalam kelompok penangkapan. Terbatasnya
keterampilan menggunakan alat tangkap yang dioperasikan
secara kolektif seperti payang menyebabkan nelayan lebih
memilih menggunakan armada dan alat tangkap sederhana.
Armada yang dimiliki hanya berupa lepa-lepa dan katinting,
dipadukan dengan alat tangkap bubu, pancing dan jala.

Nelayan tradisional yang ada di Pulau Karampuang


umumnya lebih memilih meminjam di usaha individu
(rentenir) yang biasanya banyak di TPI menawarkan
pinjaman tanpa angunan. Dengan mekanisme pengembalian

98
bervariasi ada yang mekanisme pembayaranya tiap hari, ada
yang tiap minggu atau bulanan. Keterlibatan ibu-ibu di
Pulau Karampuang dalam usaha mencari pinjaman sangat
dominan. Sistem pembagian tugas tersebut karena
umumnya bapak-bapak hanya bertugas melakukan
penangkapan ikan, sedangkan tentang pemasaran dan
pemenuhan kebutuhan modal merupakan tanggung jawab
ibu-ibu rumah tangga.

Praktek utang-piutang ini sudah berlangsung lama,


dan menjadi sumber modal yang dominan bagi nelayan
tradisional. Seyogyanya system utang- piutang tersebut
cukup membebani nelayan hal ini karena disamping
besarnya bunga yang harus dibayar, durasi tempo
pengembalian yang singkat (harian dan mingguan). Pilihan
ini selalu menjadi solusi terbaik bagi nelayan tradisional
karena persyaratannya mudah, efektif, praktis dan
jaminannya hanyalah kepercayaan.

5.4. Kepentingan (Interest) dan Kuasa (Power) dalam


Kelembagaan Produksi dan Konsumsi Pangan Di Pulau Kecil

Kelembagaan yang terlibat dalam produksi dan konsumsi


pangan di Pulau Karampuang memiliki kepentingan dan pengaruh
baik secara positif maupun negatif. Analisis stakeholder
digunakan untuk mengidentifikasi agar memperoleh Deskripsi

99
tentang keseluruhan institusi, kumpulan serta individu yang
bertalian atau bersangkutan dengan produksi dan konsumsi
pangan. Menurut (Gray 2001) berpendapat stakeholders
merupakan unsur atau pihak yang memiliki kepentingan pada
suatu hal dan dapat memberi pengaruh atau mendapat pengaruh
oleh kegiatan usaha tersebut. Urgensi dalam menguji derajat
partisipasi atau peran serta setiap komponen, maka yang harus
dikaji adalah tingkat pengaruh setiap stakeholder pada proses
tersebut.

Stakeholder dicakup dalam tiga komponen, yaitu:


1. Stakeholder kunci: Dinas Tanaman pangan, Hortikultura
dan Peternakan Kabupaten Mamuju, Dinas Ketahanan
Pangan Kabupaten Mamuju, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Mamuju, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Mamuju, Dewan
Ketahanan Pangan Kabupaten Mamuju dan Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Mamuju. Stakeholder
kunci merupakan merupakan instansi di Kabupaten
Mamuju yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan
dalam menentukan kebijakan terkait dengan produksi dan
konsumsi pangan di Pulau Karampuang.
2. Stakeholder Utama: Penyuluh, Kelompok Usaha
Penangkapan, Kelompoktani/nelayan, Kelompok
Wanitatani, Gabungan Kelompok tani, Koperasi Serba

100
Usaha, Kios/pengecer dan Penyedia Modal Informal.
Stakeholder Utama merupakan unsur atau elemen yang
terkait secara langsung dalam produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang, sebagai stakeholder utama,
maka unsur ini harus ditempatkan sebagai penentu utama
dalam prosen penentuan kebijakan dan keputusan tentang
dinamika produksi dan konsumsi pangan.
3. Stakeholer pendukung: Kepala Desa, Peneliti dan
Lembaga Swadaya Masyarakat. Stakeholder pendukung,
meski tidak memiliki hubungan dantanggung jawab secara
langsung dengan produksi dan konsumsi pangan, akan
tetapi kepedulian dan keprihatinan sehingga stakeholder
pendukung turut memberi andil khususnya dalam proses
pengambilan keputusan- keputusan yang dilakukan oleh
stakeholder kunci terkait dengan produksi dan konsumsi
pangan masyarakat Pulau Karampuang.
Keputusan stakeholder untuk terlibat dalam negosiasi
dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya kepentingan pribadi.
Pruitt and Carnevale (1993), mengemukakan bahwa, diluar
kepentingan pribadi, preferensi untuk prosedur manajemen konflik
yang berbeda adalah fungsi dari Minat lain diluar diri,
image/kesan norma, image/kesan hubungan, proses kelompok,
jaringan, image/kesan koalisi, image/kesan kekuatan untuk
negosiasi, image/kesan mediasi, image/kesan dinamika organisasi

101
internal.

Berdasarkan hasil di atas, maka perlu dilakukan pengukuran


derajat kepentingan dan kuasa secara kualitatif masing-masing
stakeholder dalam dinamika produksi dan konsumsi pangan di
Pulau Karampuang. Pengukuran tersebut dilakukan dengan
menggunakan kriteria yang dikutip dari (ODA 1995) dan (Grimle
1998). Adapun pemetaan tingkat kepentingan masing- masing.
1. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) tinggi dan
kepentingan (Interest) Tinggi

Stakeholder dengan derajat pengaruh/kekuasaan tinggi dan


derajat kepentingan tinggi terhadap dinamika produksi dan
konsumsi pangan di Pulau Karampuang antara lain: Kelompok
Usaha Penangkapan, Kelompoktani/nelayan, Kelompok Wanita
Tani, Gabungan Kelompok Tani, Pedagang pengumpul dan
Kios/pengecer. Kelompok Tani/nelayan, Kelompok Wanita Tani,
dan Gabungan Kelompok Tani adalah institusi yang secara
langsung menjadi pelaku utama dalam kegiatan produksi dan
konsumsi pangan. Kehadiran kelembagaan tersebut sangat
berperan dalam proses adopsi teknologi, pengembangan
kemampuan masyarakat dibidang produksi, dan menjadi garda
terdepan dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah terkait pangan di Pulau
Karampuang.

102
Sementara Kelompok Usaha Penangkapan sebagai
kelembagaan yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
produksi pangan khususnya penangkapan ikan sangat menentukan
dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat Pulau
Karampuang.
Sedangkan pedagang pengumpul dan kios/pengecer sebagai
kelembagaan ekonomi masyarakat sangat berperan sehingga
memiliki kepentingan tinggi dan kekuasaan tinggi karena sistem
produksi pangan masyarakat Pulau Karampuang umumnya adalah
dengan cara membeli beras dari luar Pulau Karampuang. Begitu
juga dengan hasil tangkapan (produksi) ikan, meskipun di Kota
Mamuju tersedia PPI dan TPI, akan tetapi kelembagaan pedagang
pengumpul masih dominan berperan dalam pemasaran hasil
tangkapan masyarakat Pulau Karampuang.
2. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) sedang
dan kepentingan (Interest) Tinggi.

Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan sedang dan


kepentingan tinggi antara lain: Dinas Tanaman pangan,
Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Mamuju, Dinas
Ketahanan Pangan Kabupaten Mamuju, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Mamuju, Dewan Ketahanan Pangan
Kabupaten Mamuju dan Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan
Mamuju. Kelembagaan-kelembagaan ini hanya mampu
memberikan kebijakan melalui kelompoktani, gapoktan dan

103
kelompok wanita tani. Distribusi program tersebut berhubungan
secara langsung ke masyarakat tapi melalui perantara
kelembagaan lain. Selain itu munculnya “ego sektoral” masing-
masing Lembaga yang menyebabkan lemahnya kolaborasi dalam
menerapkan setiap kebijakan yang terkait dengan produksi dan
konsumsi pangan. Hal lain adalah karena pelaksanaan dari
Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan
daerah bidang urusan pangan. Dimana kelembagaan di tingkat
kabupaten hanya menjadi pelaksana teknis. Sehingga semua
kewenangan ditentukan oleh pusat dan propinsi, sedangkan
Kelembagaan pemerintah di tingkat Kabupaten hanya bersifat
koordinasi saja.
Sedangkan koperasi dan Penyedia modal informal
merupakan kelembagaan yang memiliki kekuasaan/pengaruh
yang sedang dan kepentingan tinggi dalam dinamika produksi dan
konsumsi pangan di Pulau Karampuang. Hal ini karena
kelembagaan ini menerima keuntungan yang dinikmati secara
langsung dari dinamika yang terjadi, akan tetapi tidak memiliki
kuasa/pengaruh yang kuat dalam menentukan kebijakan dalam
dinamika produksi dan konsumsi pangan. Pengaruh yang dimiliki
hanya pada kemampuan menyiapkan faktor produksi seperti
modal untuk kegiatan produksi pangan.
3. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) Tinggi
dan kepentingan (Interest) Sedang

104
Stakeholder yang memiliki pengaruh/kekuasaan tinggi dan
kepentingan sedang dalam dinamika produksi dan konsumsi
masyarakat di Pulau Karampuang Pemerintah Desa/kelurahan.
Pemerintah Desa/Kelurahan memiliki kewenangan tinggi dalam
mengatur dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pangan di
Pulau Karampuang, seperti menetukan masyarakat yang layak
mendapatkan bantuan. Kemampuan Pemerintah desa/kelurahan
dalam membangun koneksitas dengan unsur luar sangat
membantu dalam peningkatan peluang usaha, peluang bantuan-
bantuan dari luar. Kewenangan pemerintah desa/kelurahan juga
adalah membentuk dan menetapkan kelembagaan masyarakat
yang ada di wilayahnya. Meskipun demikian kepentingan hanya
sebagai pendukung dalam dinamika produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang.
4. Stakeholder dengan pengaruh/kekuasaan (Power) sedang
dan kepentingan (Interest) Sedang

Peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah


merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan
sedang dalam dinamika produksi dan konsumsi pangan di Pulau
Karampuang. Peneliti dalam hal ini hanya menganalisis dan
menyusun rekomendasi berkaitan tentang produksi serta
konsumsi pangan di Pulau Karampuang, namun tidak memiliki
kekuatan dan kemampuan untuk mengatur sistem produksi dan
konsumsi pangan masyarakat.

105
Sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO)
hanya menjalankan fungsi pemberdayaan dan pendampingan saja,
keberdayaan masyarakat hanya melalui peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia saja, peningkatan partisipasi masyarakat
khususnya dalam produksi dan konsumsi masyarakat di Pulau
Karampuang. Tetapi disisi lain tidak memiliki kuasa dalam hal
mengatur pola produksi dan konsumsi pangan masyarakat di
Pulau Karampuang.
5.5. Review Kelembagaan Produksi Dan Konsumsi Pangan
Aktifitas produksi berupa usaha penangkapan ikan memiliki
norma dan nilai yang harus dilaksanakan sebagai bentuk
kepatuhan terhadap kesepakatan yang di buat sejak dulu, nilai dan
norma tersebut melembaga di masyarakat sebagai sebuah pranata
yang menjamin keteraturan.
Kelembagaan produksi masyarakat Pulau Karampuang
dalam melaut sebagai aktifitas disebut Mole’bo’. Sebagai norma
yang telah menjadi konsensus sejak dulu, mole’bo menjadi suatu
norma dan nilai bagi masyarakat Pulau Karampuang dalam
pengelolaan sumberdaya alam khususnya laut. Dalam Mole’bo
masyarakat Pulau Karampuang sebagai Pole’bo, memiliki batasan
dan aturan yang harus dipatuhi dalam aktifitas melaut, yaitu:
melakukan tradisi makkuliwa dan mappandesasi dengan
pemaknaan masyarakat bahwa dipercaya mampu mendatangkan
berkah dan mempermudah dalam menjalani profesi mole’bo,

106
larangan menggunakan racun dan bahan peledak serta pukat
harimau (Trawl) dengan pemaknaan bahwa laut adalah
merupakan tempat mengais rejeki tidak boleh di rusak karena
akan mendatangkan bala bencana, Tidak Boleh Menangkap ikan
hiu dengan pemaknaan bahwa ikan hiu dianggap sebagai berkah
dan rejeki, pemberlakuan batas wilayah penangkapan dan
pemberlakuan waktu melaut sebagai bentuk kesadaran dalam
menjaga kelangsungan dan kelestarian lingkungan, larangan
membuang sampah dan limbah rumah tangga di laut dimaknai
bahwa perilaku tersebut akan mendatangkan bencana terutama
ombak yang besar. Value merupakan keyakinan ataupun dogma
yang tafsir urgen oleh individu atau komunitas. Value dapat
bermakna suatu keyakinan terhadap sesuatu, akan tetapi value
bukan semata-mata keyakinan saja. Tingkah laku setiap orang
diorientasikan oleh value yang berdasarkan pada kulturnya sendiri
(Wijaya 2014)
Nilai yang diyakini oleh setiap orang akan menjadi faktor
penentu konsumsi, sebab nilai adalah bentuk ekspresi kesadaran
terhadap kehendak umum manusia seperti kehidupan alamiah
(biologis), korelasi social, serta desakan intitusi sosial pada
individu (Schwartz and Bilsky 1987). Secara umum nilai dan
norma yang ada antara lain: larangan bagi anak kecil dan Ibu
Hamil makan menggunakan piring kecil dimaknai bahwa anak
yang lahir dan tumbuh tidak memiliki kemampuan dan semangat

107
yang kuat, larangan makan didepan pintu dan makan saat magrib
ini bermakna untuk menghindari gangguan makhluk halus pada
saat makan, larangan mengobrol atau berbicara saat menyantap
makanan pemaknaan masyarakat tentang ini adalah akan
mengurangi nilai sakralnya makanan yang disantap sehingga akan
mengurangi penghormatan terhadap makanan, Larangan
membuang dan meninggalkan sisa makanan di piring lebih
dimaknai sebagai upaya menghindari pemborosan, larangan
meninggalkan rumah pada saat orang lain sedang makan
pemaknaannya adalah keyakinan bahwa meninggalkan rumah
pada saat orang lain sedang makan akan mendatangkan musibah
atau hambatan di tengah perjalanan.
Relasi sosial yang terbangun dalam kegiatan produksi
pangan bagi masyarakat di Pulau Karampuang baik usaha
penangkapan secara kelompok maupun secara individu adalah
patron-klien. Dimana pada penangkapan kelompok yang menjadi
patron adalah pemilik perahu sedangkan pada penangkapan
individu yang menjadi patron adalah penyedia jasa informal.
Relasi ini terbentuk karena ketidaksamaan dalam hal penguasaan
sumberdaya (Satria 2009a).
Kelembagaan yang terlibat dalam produksi dan konsumsi
pangan di Pulau Karampuang memiliki kepentingan dan pengaruh
baik secara positif maupun negatif. Analisis stakeholder
digunakan untuk mengidentifikasi agar memperoleh deskripsi

108
tentang semua institusi, kelompok dan unit yang bertalian dan
bersangkutan dengan produksi dan konsumsi pangan. Menurut
(Gray 2001) berpendapat stakeholders merupakan unsur atau
pihak yang memiliki kepentingan pada suatu hal dan dapat
memberi pengaruh atau mendapat pengaruh oleh kegiatan usaha
tersebut. Makin tinggi dominasi oleh pemangku kepentingan
(stakeholders) makin urgen pula untuk diperhatikan tingkat
partisipasinya pada system itu.

Stakeholder dengan derajat pengaruh/kekuasaan tinggi dan


derajat kepentingan tinggi terhadap dinamika produksi dan
konsumsi pangan di Pulau Karampuang antara lain: Kelompok
Usaha Penangkapan, Kelompoktani/nelayan, Kelompok Wanita
Tani, Gapoktan, Pedagang pengumpul dan Kios/pengecer.
Kelompok Tani/nelayan, Kelompok Wanita Tani, dan Gabungan
Kelompok Tani adalah institusional yang secara langsung
menjadi pelaku utama dalam kegiatan produksi dan konsumsi
pangan.

109
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, Dorothy L., Kelly M. Craft, and Steven D. Townsend.


2016. “Infant Food Applications of Complex Carbohydrates:
Structure, Synthesis, and Function.” Carbohydrate Research.

Adam, Felecia P. 2017. “Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di


Wilayah Pulau Kecil ; Kontribusi Faktor Yang Mempengaruhinya.”
Jurnal Pengembangan Pulau Kecil (September).

Ahmad, Ahfandi, Rahmadanih, and Muhammad Saleh S. Ali. 2017.


“Patterns of Food Consumption and Production of Mountainous
Community in Sinjai District, South Sulawesi Province,
Indonesia.” International Journal of Agriculture System (IJAS)
Patterns 5(1):90–100.

Aiking, H., de Boer, J., & Vereijken, J. M. 2006. “Sustainable Protein


Production and Consumption: Pigs or Peas.” Journal of Chemical
Information and Modeling 53:1689–1699.

Ajedim. 2008. Pengertian Tekhnologi.

Al-Amin, Abul Quasem and Ferdous Ahmed. 2016. “Food Security


Challenge of Climate Change: An Analysis for Policy Selection.”
Futures (2015).

Alcamo, Joseph M., Petra Döll, Thomas Henrichs, Frank Kaspar,


Bernhard Lehner, Thomas Rösch, and Stefan Siebert. 2003.

110
“Development and Testing of the WaterGAP 2 Global Model of
Water Use and Availability.” Hydrological Sciences 48(3):317–
37.

Ali, M. Saleh S., A. Amrullah Majjka, and Darmawan Salman. 2017.


“Food Consumption and Production in Tempe Lake, South
Sulawesi, Indonesia.” Asian Ruarl Study 1(1):43–52.

Alkhudri and Ahmad Tarmiji. 2011. Pemikiran Pendidikan Ibnu


Khaldun : Menggapai Transformasi Sosial-Edukatif Dan
Kesadaran Humanis. Bogor: Edukati Press.

Alkhudri, Ahmad Tarmiji, and Muhammad Zid. 2016. Sosiologi


Pedesaan, Teoritisasi Dan Perkembangan Kajian Pedesaan Di
Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Alland, Alexander. 1975. “Adaptation.” Annual Review of


Anthropology 4:59– 73.

Allison, FH and F. Ellis. 2001. “The Livelihoods Approach and


Managementof Small-Scale Fishers.” Marine Policy 25:377–88.

Amaliah and Handayani. 2011. “Analisis Hubungan Proporsi


Pengeluaran Dan Konsumsi Pangan Dengan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga Petani Padi Di Kabupaten Klaten.” SEPA, ISSN :
1829-9946 7(2):110 – 118.

Anantanyu, Sapja. 2011. “Kelembagaan Petani : Peran Dan


Strategi Pengembangan Kapasitasnya.” Sepa 7(2):102–9.

111
Anderson, T. 2008. Agrofuels and the Myth of the Marginal
Lands.

Aneftasari, Ica Rizki, Bustanul Arifin, and Yaktiworo Indriani. 2016.


“Determinan Pola Pangan Harapan Pada Rumah Tangga Buruh
Pengasin Ikan Di Pulau Pasaran.” JIIA 4(3):301–8.

Anggara, Sahya. 2013. Pengantar Sistem Politik Indonesia. Bandung:


Pustaka Setia.

Anonimous. 2001. Program Kerja Pengembangan


Kewaspadaan Pangan.

Pusat Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Jakarta.

Anonimous. 2011. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah


Badan Ketahanan Pangan. Jakarta.

Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok


Mendukung Swasembada Beras Prosiding Pekan Serealia
Nasional. Banten: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten.

Arlin, Nadia Ariandika, Bustanul Arifin, and Ani Suryani. 2017. “Pola
Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Di Desa Ruguk
Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan.” J IIA
5(2):206–10.

112
Asep, Suryadi, Daniel Suryadarma, Sudarno Sumarto, and Jack
Molyneaux. 2006. Agricultural Demand Linkages and Growth
Multiplier in Rural Indonesia. SMERU Research Institute.

Atmarita and YS Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi Dan Kesehatan.


Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Baliwati, YF. and K. Roosita. 2004. Sistem Pangan Dan Gizi Dalam
Pengantar Pangan Dan Gizi. edited by C. D. (eds) YF Baliwati,
A Khom- san. Jakarta: Penebar Swadaya.

Barigozzi, Matteo, Lucia Alessi, Marco Capasso, and Giorgio Fagiolo.


2012. “The Distribution of Household Consumption-Expenditure
Budget Shares.” Structural Change and Economic Dynamics
23(1):69–91.

Basir Bartos. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu


Pendekatan Makro. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Basu Swasta and T. Hani Handoko. 1999. Manajemen


Pemasaran Modern.

Yogyakarta: Liberty.

Beller, W., P., D’ Ayala, and P. Hein. 1990. “Observations and


Recomendations of the Interoceanic Workshop.” Pp. 365–95 in
Sustainable development and environmental management of small
islands, edited by W. P. Beller, D’Ayala, and P. Hein. Paris: Man

113
and the Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon
Publishing Group.

Bengen, B. G. 2003. “Definisi, Batasan Dan Realitas Pulau-Pulau


Kecil.” in Validasi jumlah Pulau-pulau dan Panjang Garis
Pantai di Indonesia. Jakarta.

Bennet, JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural Anthro Pology


and Human Action. New York: PergamonPress Inc.

Boer, R. and and A. R. Subbiah. 2005. Agriculture Drought in


Indonesia. p. 330–344.In V. S. Boken, A.P. Cracknell, and R.L.
Heathcote (Eds.). Monitoring and Predicting Agricultural
Drought: A global study. Oxford Univ. Press.

Boucekkine, Raouf, Fabien Prieur, and Klarizze Puzon. 2016. “On the
Timing of Political Regime Changes in Resource-Dependent
Economies.” European Economic Review 85:188–207.

BPS. 2016. Kabupaten Mamuju Dalam Angka. Badan Pusat Statistik


Kabupaten Mamuju.

Bramasto, Ari. 2007. “Analisis Perputaran Aktiva Tetap Dan


Perputaran Piutang. Kaitannya Terhadap Return On Assets Pada
PT. POS Indonesia (PERSERO). Bandung.” Jurnal Ekonomi
Unikom 9(2):215–30.

114
Bratisda, Liana and B. Satyawan Wardana. 2005. “Tantangan Peluang
Pertanian DanKetahanan Pangan Menghadapi Globalisasi Dan
Permasalah Lingkungan.” Pp. 71–95 in Prospek dan tantangan
Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Pt. Agriculture
Construction Company Limited.

Brigham, Eugene F. and Joul F. Houston. 2006. Fundamental of


Financial Management, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan.
Sepuluh. edited by Ali Akbar Yulianto. Jakarta: PT Salemba
Empat.

Brizga, Janis, Zoriana Mishchuk, and Anna Golubovska-Onisimova.


2014. “Sustainable Consumption and Production Governance in
Countries in Transition.” Journal of Cleaner Production 63:45–
53.

Brookfield H and J. N. .. Jeffers. 1990. “An Approach to Islands.” Pp.


23–33 in Sustainable development and environmental
management of small islands, edited by W. P. Beller, D’Ayala,
and P. Hein. Paris: Man and the Biosphere Series, Vol. 5.
UNESCO and The Parthenon Publishing Group.

Bryson. 2013. What to Do When Stakeholder Matter : A Guide to


Stakeholder Identification and Techniques. Washington, D.C :
USA: oergetown University Public Policy Institute.

115
Budi, S. 2008. Kemiskinan Dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang:
Laksbang Mediatama.

Budianto, Irmayanti Meliono. 2004. Ideologi Budaya. Jakarta:


Yayasan Kota Kita.

Bunch, Roland. 1991. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan


Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. edited by I. Moeliono.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Burchi, Francesco and Pasquale De Muro. 2016. “From Food


Availability to Nutritional Capabilities: Advancing Food Security
Analysis.” Food Policy 60:10–19.

Burnham, Morey and Zhao Ma. 2017. “Multi-Scalar Pathways to


Smallholder Adaptation.” World Development.

Carletto, Calogero, Alberto Zezza, and Raka Banerjee. 2013. “Towards


Better Measurement of Household Food Security : Harmonizing
Indicators and the Role of Household Surveys.” Global Food
Security 2(1):30–40.

Carner. 1984. Survival, Interdependence and Competition among the


Philippine Rural Poor in Peoplecentered Development.
Connecticut: Kumarian Press library of management for
developmen.

Chambers, Robert. 2006. “Vulnerability, Coping and Policy (Editorial

116
Introduction).” IDS Bulletin 37(4):33–40.

Churchill, Ellen. 1911. Influences of Geographic Environment: On the


Basis of Ratzel’s System of Anthropo-Geography. New York: H.
Holt and Co. Collection cdl; americana.

Cohen, Boyd and Pablo Mu. 2015. “Sharing Cities and Sustainable
Consumption and Production : Towards an Integrated
Framework.” Journal of Cleaner Production 1–11.

Colter, JM. 1984. “Masalah Perkreditan Dalam Pembangunan


Pertanian.” in
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, edited by
Faisal

Karsyno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Creswell, John W. 2014. Research Design_ Qualitative, Quantitative,


and Mixed Methods Approaches. 4th ed. California: SAGE
Publications, Inc.

Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif Dan Desain Riset,


Memilih Diantara Lima Pendekatan. edited by S. Z. Qudsy.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Dahuri, Rokhmin. 1998. “Pendekatan Ekonomi-Ekologis


Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan.” Pp. 832–42 in
Prosiding Seminar dan Lokakarya Pulau-pulau Kecil Di

117
Indonesia. Jakarta: DirektoratPengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Kawasan, TPSA BPPT, CRMPUSAID.

Dahuri, Rokhmin. 2003. “Paradigma Baru Pembangunan Indonesia


Berbasis Kelautan, Orasi Llmiah Guru Besar Tetap Bidang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan.” Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kedua. Jakarta:


Kencana Pradana Media Group.

Daniel, Mohar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT


Bumi aksara.

Daryanto. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:


Apollo.

David M, Johnson, and Frank P. Johnson. 2012. Dinamika Kelompok:


Teori Dan Keterangpilan. Jakarta: PT. Indeks.

Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980. Economics and


ConsumerBehavior. England: Cambridge University Press.

DFID. 2000. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets. London.


Diamond, Jared. 2005. Collapse. Vol. 53. New York: Viking
Penguin. Dimyati, A. 2007. Pembinaan Petani Dan Kelembagaan
Petani. Malang.

118
Diposaptono, Subandono. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di
WilayahPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Penerbit Buku
Ilmiah Populer.

Dubey, Rameshwar, Angappa Gunasekaran, Stephen J. Childe, Thanos


Papadopoulos, Samuel Fosso Wamba, and Malin Song. 2016.
“Towards a Theory of Sustainable Consumption and Production:
Constructs and Measurement.” Resources, Conservation and
Recycling 106:78–89.

Durkheim, Emile. 1960. The Division of Labor in Society. edited by


G.Simpson. Illionis, USA: Noble Offset Printer.

Elizabeth, Roosganda. 2015. “Peran Ganda Wanita Dalam Mencapai


Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Pedesaan.” Iptek Tanaman
Pangan 3:59–68.

Ello, N. P. and P. Subandi. 1998. “Penghitungan Pulau-Pulau


Indonesia Suatu Upaya Menuju Pengklasifikasian Pulau-Pulau
Indoensia.” Pp. 12– 18 in Prosiding Seminar dan Lokakarya
Pulau-pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP USAID.

Fadilah, Zainal Abidin, and Umi Kalsum. 2014. “Pendapatan Dan


Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan Obor Di Kota Bandar
Lampung.” Jurnal Ilmu Ilmu Agribisnis 2(No. 1 Januari):71–76.

119
Fariyanti, Anzul Rifin, Siti Zahroh, and Bayu Krisnamurthi. 2012.
Pangan Ikani, Pangan Rakyat Negara Kepulauan. Jakarta:
Departemen Agribisnis, FEM - IPB dan PERHEPI, Safa Printing.

Faso, Burkina, Hugo R. Melgar-quinonez, Ana C. Zubieta, Barbara


Mknelly, Anastase Nteziyaremye, Maria Filipinas D. Gerardo,
and Christopher Dunford. 2006. “Advances in Developing
Country Food Insecurity Measurement Household Food
Insecurity and Food Expenditure in Bolivia ,.” American Society
for Nutrition (3):1431–37.

Fathiya, Ujang Sumarwan, and Ikeu Tanziha. 2005. “Analisis


Pengetahuan Gizi Dan Produk Minuman Sari Buah Kemasan
Dihubungkan Dengan Merek Yang Dikonsumsi Pada Mahasiswa
IPB.” Media Gizi Dan Keluarga 29(2):75–87.

Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil,


Makalab Disampaikan Pada Seminar Peluang Lnvestasi Pulau-
Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta.

Firmansyah, Dede. 2018. “Analisis Pengeluaran Konsumsi Rumah


Tangga Di Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau Tahun 2013-2017.”
Pp. 28–37 in Peran Matematika, Sains dan Teknologi dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan (SDGs). Tangerang:
Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam.

120
Foster and Anderson. 1986. Antropologi
Kesehatan (Terjemahan).

Universitas Indonesia Press.

Frankel-Reed, J., Ilona Barbara, F.T., and S. P., Alfred, E., & Mark.
2011. Integrating Climate Change Adaptation into Development
Planning. Eschborn: Deutsche Geselischaft fur Internationale
Zusammenarbeit (GIZ).

Ganesan, Vedavinayagam. 2007. “An Analysis Of Working Capital


Management Efficiency In Telecommunication Equipment.”
3(2):1–10.

Gilarso. 1993. Pengantar Ilmu Ekonomi : Bagian Makro. Yogyakarta:


Kanisius.

Goldfarb. 1985. “Nutrition Knowledge, Attitudes and Practices of


Runners.” nstitute of Health Professions USA, 2,S11-S35.

Goldsmith, Arthur A. and Derick W. Brinkerhoff. 1990. Institutional


Sustainability in Agriculture and Rural Development: A Global
Perspective. New York: Praeger Publishers.

Goldstein, Michael. 2006. “Subjective Bayesian Analysis :


Principles and Practice Applied Subjectivism.” Bayesian Analysis
1(3):403–20.

121
Grimle. 1998. Stakeholder Methodologies in Natural Resources
Managemen.

UK: Natural Resources Institute.

Guba, Egung G. 1990. “The Paradigm Dialog.” edited by E. G. Guba.


London:SAGE Publications, Inc.
Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. I.
Yogyakarta: Andi. Handoko, Sugiarto, and Syaukat. 2008.
Keterkaitan Perubahan Iklim Dan

Produksi Pangan Strategis. Telaah Kebijakan Independen Bidang


Perdagangan Dan Pembangunan Oleh Kemitraan/Partnership
Indonesia.Bogor: SEAMEO BIOTROP.

Hardesty. 1977. Ecological Anthropology. New York: Mc Graw-


Hill. Hardinsyah, Briawan D, Retnaningsing, and Wijaya R.
Herawati T. 2002.
Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor. Bogor: Pusat studi
Kebijakan Pangan (PSKPG) IPB dan Pusat Pengembangan
Konsumsi Pangan, Badan Dinas Ketahanan Pangan.

Hardono, GS. 2012. “Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani


Di Beberapa Provinsi.” Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harper, Laura J., Brady J. Deaton, and Judy A. 1986. Food, Nutrition
and Agriculture. edited by Suhardjo. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.

122
Hartog, A. P. den, W. A. van Staveren, and Brouwer I. D. 2006. Food
Habits and Consumption in Developing Countries: Manual for
Field Studies. edited by A. P. den Hartog, W. A. van Staveren,
and B. I. D. Wageningen, Nederlands: Wageningen Academic
Publishers.

Den Hartog. 1983. “Evaluation of Nutrition Education:


Assessment of the

Social Context. In: Schuch B, Ed. Evaluation of Nutrition


Education in Third World Communities.” Hans Huber Publishers
Bern, Vienna Nestle Found- Ation Publication Series 3:44–55.

Hayati, Siti Amanah, Aida Vitayala Hubeis, and Prabowo


Tjitropanoto. 2012. “Kemampuan Perempuan Tani Dalam
Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga.” Sosiohumaniora
18(3):230–36.

Hehanusa, P. E. and G. S. Haryani. 1998. “Ketersediaan Air Sebagai


Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet Di Pulau Biak, Lrian
Jaya.” Pp. 87– 89 in Prosiding Seminar dan Lokakarya Pulau-
pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP USAID.

Hein, P. .. 1990. “Economic Problems and Prospects of Small Islands.”


Pp. 35–42 in Sustainable development and environmental
management of small islands, edited by W. P. Beller, D’Ayala,

123
and P. Hein. Paris: Man and the Biosphere Series, Vol. 5.
UNESCO and The Parthenon Publishing Group.

Heldi. 2016. “Pola Konsumsi Masyarakat Postmodern (Suatu Telaah


Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat Postmodern).” Al-
Iqtishad: Journal of Islamic Economics 1(1).

Helmi, Alfian and Arif Satria. 2012. “Strategi Adaptasi Nelayan


Terhadap Perubahan Ekologis.” MAKARA, SOSIAL
HUMANIORA 16(1):68–78.

Hendrawati, Lucky Zamzani, Sri Meiyenti, and Yunarti. 2015.


“Keseharian Isteri Nelayan: Studi Antropologi Tentang Pola
Nafkah Pada Komunitas Nelayan Di Nagari Tiku Selatan,
Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam.” Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya 16(2):116.
Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar
Swadaya. Herrick, Jeffrey E. 2000. “Soil Quality: An Indicator of
Sustainable Land
Management?” Applied Soil Ecology 15(1):75–83.

Hidayah, Zulyani. 2010. “Rasa Dan Keanekaragaman Citra Rasa


Nusantara.” in Rejinvensi Antropologi Indonesia. Makalah dalam
Sarasehan NasionalAntropologi 2010.

Hidayati, D. S. 2014. “Peningkatan Relasi Sosial Melalui Social Skill


Therapy Pada Penderita Schizophrenia Katatonik.” Jurnal Online

124
Psikologi 2(17– 28).

Hidayati, R. 2001. Masalah Perubahan Iklim Di Indonesia Beberapa


Contoh Kasus. Bogor.

Howard, D. Leathers and Phillips Foster. 2004. The World Food


Problem: Tackling the Causes of Undernutrition in the Third
World. THIRD. Lynne Rienner Publisher.

Hubbard, Michael, Nicoletta Merlo, Simon Maxwell, and Enzo


Caputo. 1992. “Regional Food Security Strategies.” Food Policy
17(1):7–22.

Hubeis, Aida Vitayala S. 1989. Peranan Sosial Ekonomi Kaum Wanita


Di DuaArea Pengembangan Wilayah Sulawesi, Sanrego Dan Gu-
Mawasangka : Laporan Akhir. Bogor: Kerjasama Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor
(IPB) dengan University of Guelph, Canada dan Ditjen Bangda,
Depdagri, Jakarta.

Husodo, Siswono Yodo. 2005. “Penguatan Organisasi Dalam


Mengantisipasi Globalisiasi Pertanian.” Pp. 151–65 in Prospek
dan tantangan Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta:
Pt. Agriculture Construction Company Limited.

Ibarrola-Rivas, M. J. &. and L. Galicia. 2017. “Re-Thinking Food


Security in Mexico: Discussing the Need for Sustainable
Transversal Policies Linking Food Production and Food

125
Consumption.” Investigaciones Geográficas 94(52):1–16.

Idrus. 1996. Kamus Umum Baku Bahasa Indonesia. Surabaya: Bintang


Usaha.

IFPRI. 2000. The Life Cycle of Malnutrition Eradicating


Malnutrition : Income Growth Or Nutrition Programs.

Inounu, Ismeth, E. Martindah, R. A. Saptati, and Dan A. Priyanti.


2007. “Potensi Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Dan Terluar Untuk
Pengembangan Usaha Sapi Potong.” Wartazoa 17(4):156–64.

Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. “Summary for


Policy Makers. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and
Vulnerability.” Pp. 7–22 in Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC, edited by C.
. M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J., &
Hanson. Cambridge: Cambridge University Press.

Jay, Robert R. 1969. Javanese Villagers: Social Relation in


Rural Modjokuto.

Cambridge: The MIT Press.

Jerome, Norge W., Randy F. Kandel, and Gretel H. Pelto. 1980.


Nutritional Anthropology. edited by N. W. Jerome, R. F. Kandel,
and G. H. Pelto. United States of America: edgrave Publishing
Company.

126
Jim Ife. 2002. Community Development, Commuity – Base Alternatives
in an Age of Globalisation. 2nd ed. Melbourne: Pearson Eucation
Australia Pty Limited.

Johnson DW, Johnson RT. 1985. “A Meta Analysis and Synthesis of


Nutrition Education Research.” Journal of Nutrition Education 1–
67.

Jonkutė, Gintė and Jurgis K. Staniškis. 2016. “Realising Sustainable


Consumption and Production in Companies: The SURESCOM
Model.” Journal of Cleaner Production (Jonkutė, G., Staniškis, J.
K. (2016). AC SC. Journal of Cleaner Production.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.03.176).

Joseph S. Roucek, Roland L. Warren. 1984. Pengantar


Sosiologi. edited by

S. Simamora. Solo: Bina Aksara.

Kamsono. 2002. Sosiologi Pendidikan. Serang: Universitas Sultan


AgengTirtayasa Press.

Kementerian Perdagangan. 2013. Analisis Dinamika Konsumsi Pangan


Masyarakat Indonesia.

Kessing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif


Kontemporer.

Jakarta: Erlangga.

127
Khomsan, Ali. 2004. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: PT
Raja Grafindo. Persada.

Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor. Bogor: Pusat Antar


Universitas Pangan dan. Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Kluckhon, Clyde. 1984. “Cermin Bagi Manusia.” Pp. 69–109 in


Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali
Pers.

Koblinsky, Y. M, Timyan, and Jill G. 1997. Kesehatan Wanita Sebuah


Perspektif Global. edited by Utarini A (Alih Bahasa).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropolngi. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi Dan Jaringan Sosial.


Bandung: Humaniora Utama Press.

Kusnadi. 2004. Keberdayaan Nelayan Dan Dinamika


Ekonomi Pesisir.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Kusnadi. 2008. Akar Kemiskinan Nelayan. Kedua. edited by


Retno Suffatni.

128
Yogyakarta: LKIS.

Landis, Paul H. 1948. Pengantar Sosiosiologi Pedesaan Dan


Pertanian.

Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.

Lasabuda, Ridwan. 2013. “Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan


Dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia.” Jurnal
Ilmiah Platax 1(2):92–101.

Legg, Keith R. 1983. Tuan, Hamba, Dan Politisi. Jakarta: Sinar


Harapan.

Liu, Peng and Liang Ma. 2016. “Food Scandals, Media Exposure, and
Citizens’ Safety Concerns: A Multilevel Analysis across Chinese
Cities.” Food Policy 63:102–11.

Mao, Rui and Jianwei Xu. 2014. “Population Aging, Consumption


Budget Allocation and Sectoral Growth.” China Economic
Review 30:44–65.

Masyhuri M. 1999. “Usaha Penangkapan Ikan Di Jawa Dan Madura:


Produktivitas Dan Pendapatan Buruh Nelayan, Masyarakat
Indonesia.” XXIV(1).

Mawardi. 2003. “Pola Adaptasi Masyarakat Petani Terhadap


Perubahan Peruntukan Lahan Di Desa Karangrejo Sungkai
Selatan Lampung Utara.” Institut Pertanian Bogor.

129
Maxwell, Daniel G. 1996. “Measuring Food Insecurity: The Frequency
and Severity of ‘Coping Strategies.’” Food Policy 21(3):291–303.

Maxwell, Simon and Timothy R. Frankenberger. 1992. Household


Food Security : Concepts, Indicators, Measurements ; a
Technical Review. New York: International Fund for Agricultural
Development.

Menike, L. M. C. S. and K. A. G. P. Keeragala Arachchi. 2016.


“Adaptation to Climate Change by Smallholder Farmers in Rural
Communities: Evidence from Sri Lanka.” Procedia Food Science
6(Icsusl 2015):288– 92.

Meskhia, I. E. 2016. “Food Security Problems in Post Soviet Georgia.”


Annalsof Agrarian Science 14(2):46–51.

Mettzger, M. J., M. D. A. Rounsevell, L. Acosta Michlik, R. Leemans,


and D. Schroter. 2006. “The Vulnerability of Ecosystem Services
to Land Use Change.” Agriculture Ecosystem and Environment
114(1):68–85.

Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Kedua.


edited by T. Surjaman. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

130
Morrison, Kathryn T., Trisalyn A. Nelson, and Aleck S. Ostry. 2011.
“Methods for Mapping Local Food Production Capacity from
Agricultural Statistics.” Agricultural Systems 104(6):491–99.

Mosher, Arthur T. 1991. Getting Agriculture Moving. New York:


Frederick A. Praeger, Inc. Publishers.

Mubyarto. et. el. 1984. Nelayan Dan Kemiskinan; Studi Antropologi


Di DuaDesa Pantai. Jakarta: Rajawali Press.

Mudanijah, Siti. 2004. "Pola Konsumsi Pangan” Dalam Pengantar


PanganDan Gizi. Penebar Swadaya.

Muflikhati, I. 2010. “Kondisi Sosial Ekonomi Dan Tingkat


Kesejahteraan Keluarga: Kasus Di Wilayah Pasisir Jawa Barat.”
Jurnal Keluarga 2–10.

Muhilal, F. Jala. and Hardinsyah. 1998. “Angka Kecukupan Gizi Yang


Dianjurkan.” in Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Nesbitt, Andrea, M. Kate Thomas, Barbara Marshall, Kate Snedeker,


Kathryn Meleta, Brenda Watson, and Monica Bienefeld. 2014.
“Baseline for Consumer Food Safety Knowledge and Behaviour
in Canada.” FoodControl 38(1):157–73.

Noromiarilanto, Fanambinantsoa, Katja Brinkmann, Miadana H.


Faramalala, and Andreas Buerkert. 2016. “Assessment of Food

131
Self-Sufficiency in Smallholder Farming Systems of South-
Western Madagascar Using Survey and Remote Sensing Data.”
Agricultural Systems 149:139–49.

Nurdin, M. Fadhil. 2015. Perubahan Pola-Pola Produksi Dan


Konsumsi YangBerkelanjutan: Dimensi Sosial Politik. Jatinangor.

ODA. 1995. Guidance Note on How to Do Stakeholder Analysis of Aid


Projectand Programmes. Bonn: Oversease Development
Administration.

Ongkosongo, 0. S. R. 1998. “Permasalahan Dalam Pengelolaan Pulau-


Pulau Kecil.” Pp. H34–37 in Prosiding Seminar dan Lokakarya
Pulau-pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan.

Orlove, B. 2009. “The Past, the Present and Some Possible Futures of
Adaptation.” Pp. 131–63 in Adapting to climate change:
Thresholds, values, governance, edited by I. W. N. Adger,
Lorenzoni, and K. O’Brien. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Osman, Ismah, Suriati Osman, Imani Mokhtar, and Fatimah Setapa.


2014. “Family Food Consumption : Desire towards Convenient
Food Products.”

132
Procedia - Social and Behavioral Sciences 121(September
2012):223–31.

Ostrom, Elinor. 2009. Institutional Analysis And Development:


Elements Of The Framework In Historical Perspective. Vol. II.

Prabowo, Rossi. 2010. “Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan


Ketahanan Pangan Di Indonesia.” Media Agro 6(2):62–73.

Pruitt, D. and P. Carnevale. 1993. Negotiation in Social Conflict.


California: Brooks/Cole Publishing.

Rachman, H. P. .. 2001. Kajian Pola Konsumsi Dan Permintaan


Pangan Di Kawasan Timur Indonesia. Bogor.

Rachman, Handewi P. S. and Mewa Ariani. 2008. “Penganekaragaman


Konsumsi Pangan Di Indonesia : Permasalahan Dan Implikasi
Untuk Kebijakan Dan Program.” Analisis Kebijakan Pertanian
6(2):140–54.

Ritzer, George and Dauglass J. Goodman. 2010. Teori


Sosiologi Modern.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Riuntuh, Cornelis and Miar. 2005. Kelembagaan Dan Ekonomi


Rakyat. Pertama. Yogyakarta: Badan Penerbitan Fakultas
Ekonomi & Bisnis,UGM.

133
Riyadi H. 1996. Gizi Dan Kesehatan Dalam Pembangunan Pertanian.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Rodriguez-Illera, Marta, Costas V. Nikiforidis, Atze Jan van der Goot,


and Remko M. Boom. 2016. “Exergy Efficiency from Staple
Food Ingredients to Body Metabolism: The Case of
Carbohydrates.” Submitted for Publication.

Rusyantia, Anggun, Dwi Haryono, and Eka Kasymir. 2010. “Kajian


Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan Dalam Upaya
Peningkatan Status Gizi Masyarakat Di Kabupaten Lampung
Selatan.” Pertanian Terapan 10(3):171–84.

Rutherford, Malcolm. 1984. “Thorstein Veblen and the Processes of


Institutional Change.” History of Political Economy 16(3):331–
48.

S. Astuti. 2012. Pola Relasi Sosial Dengan Buruh Tani Dalam


Produksi Pertanian. Medan.

S. N. Eisenstadt, Luis Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends:


Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society.
Cambridge:Cambridge University Press.

134
Safitri, A., D. Pangestuti, and R. Aruben. 2017. “Hubungan Ketahanan
Pangan Keluarga Dan Pola Konsumsi Dengan Status Gizi Balita
Keluarga Petani.” E-Journal Kesehatan Masyarakat 5:120–28.

Said, Mahiah, Faridah Hassan, Rosidah Musa, and N. A. Rahman.


2014. “Assessing Consumers’ Perception, Knowledge and
Religiosity on Malaysia’s Halal Food Products.” Procedia -
Social and Behavioral Sciences 130:120–28.

Sakuntaladewi, Niken; Sylviani. 2014. “Kerentanan Dan Upaya


Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap Perubahan Iklim
(Vulnerability and Adaptation of Community at the Coastal Area
to Climate Change ).” Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi
Kehutanan 11(4):281–93.

Saleha, Qoriah. 2005. “Kajian Pola Dan Kebiasaan Makan Masyarakat


Cireundeu Di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi,
Kabupaten Bandung.” Epp 2(1):22–29.

Saleha, Qoriah. 2013. “PESISIR KOTA BALIKPAPAN ( Social


Structure of Fishermen Communities in Balikpapan Coastal Zone
).” 21(1):67–75.

Saliem, Handewi Purwati. 2002. Analisis Kerawanan Pangan Wilayah


Dalam Perspektif Desentralisasi Pembangunan. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

135
Salman, Darmawan. 2012. Sosiologi Desa : Revolusi Senyap Dan
Tarian Kompleksitas,. Makassar: Penerbit Ininnawa.

Santoso, Slamet. 2009. Dinamika Kelompok. Ketiga. Jakarta:


Bumi Aksara. Saptanto, Subhechanis, LIndawati, and Armen
Zllham. 2011. “Analisis Pola
Migrasi Dan Konsumsi Rumah Tangga Di Daerah Asal Migrasi
Terkait Kemiskinan Dan Kerentanan Pangan (Studi Kasus
Indramayu).” Jurnal Organisasi Dan Manajemen 7(1):21–37.

Sastrawidjaja and Manadiyanto. 2002. “Nelayan Nusantara.” Jakarta:


Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan.

Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan : Formasi Sosial


Dan Mobilitas Nelayan. 1st ed. Bandung: Humaniora Utama
Press.

Satria, Arif. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. 1st ed. edited


by A. Solihin.

Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang.

Satria, Arif. 2009b. Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat. Bogor: Institut
Pertanian Bogoro.

136
Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir.
Jakarta: OborBuku.

Satria, Yoshiaki Matsuda, and Masaaki Sano. 2006. “Contractual


Solution to the Tragedy of Property Right in Coastal Fisheries.”
Marine Policy 30(3):226–36.

Scooness, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihoods: A Framework


forAnalysis. 72. Sussex, UK.

Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani Tani : Pergolakan Dan


Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta: Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kamu Tani. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia.

Sen, Amartya. 1981. Overty and. Famines. An Essay on


Entitlement andDeprivation. New York: Oxford University
Press.

Siregar, Chairil N. 2008. “Analisis Potensi Daerah Pulau-Pulau


Terpencil Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan, Keamanan
Nasional, Dan Keutuhan Wilayah NKRI Di Nunukan Kalimantan
Timur.” Sosioteknologi 13(April):345–68.

Skirble, Rosanne. 2007. Climate Change Threatens World Food


Production ,Says New Study. Washington, DC.

137
Smil, V. 2000. Feeding the World: A Challenge for the
21st Century.

Cambridge: The MIT Press.

Soehardjo. 2006. Pangan Gizi Dan Pertanian. Jakarta: Universitas


IndonesiaPress.

Soekartawi. 2002. Ilmu Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia


Press. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya :
Untuk Keluarga Dan

Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.


Dediknas.

Soenardi, Tuti. 2005. Variasi Makanan Balita. Ketujuh. Jakarta: Pt


GramediaPustaka Utama.

Soerjono, Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:


UniversitasIndonesia Press.

Soerjono, Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas.


Jakarta: CVRajawali.

Spradley, James and David W. McCurdy. 2011. Conformity


and Conflict

Readings in Cultural Anthropology 14th Edition. Vol. 53.

Stake, Rober E. 2005. “Studi Kasus.” Pp. 299–315 in Handbook Of

138
Qualitative Research, edited by Norman K Denzim; and Y. S.
Lincoln. California: SAGE Publications, Inc.

Subejo. 2009. “Adaptasi Pertanian Dalam Pema-Nasan Global.”


Retrieved March 9, 2018 (http://subejo.staff.ugm.ac.id/?p=108).

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kebijakan : Pendekatan


Kuantitati, Kualitatif,Kombinasi R & D Dan Penelitian Evaluasi.
Jakarta: Alfabeta.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. edited by Suhardjo. Bogor:


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Suhardjo. 1995. “Mewaspadai Pergeseran Pola Konsumsi Pangan


PendudukPerkotaan.” Majalah Pangan, Bulog No. 22 Vol. VI.

Sukirno, Sadono. 1997. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. kedua.


Jakarta:RajaGrafiindo Perkasa.

Sukiyono, Ketut, Indra Cahyadinata, and Sriyoto. 2016. “Status Wanita


Dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan Dan Petani Padi
Di Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu.” Jurnal
Agroekonomi 26(2):191–207.

Sunarti, Euis, Nia Nuryani, and Neti Hernawati. 2009. “Hubungan


Antara Fungsi Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, Dan
Pemeliharaan Sistem Dengan Kesejahteraan Keluarga.” Jurnal

139
Imu Kelautan Dan Konstruksi 2(1):1–10.

Suryana, Ahmad. 2004. Ketahanan Pangan Di Indonesia. 7th ed.


Jakarta: Pusat Studi Industri Dan UKM, Universitas Trisakti.

Suryana, Ahmad. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional.


Bogor. Tanzil. 2019. “Peranan Jaringan Sosial Dalam
Penanganan Kemiskinan

Nelayan Di Baubau.” SOSIO KONSEPSIA 8(2):61–71.

Tashakkori, A., C. Teddlie, and (ed.). 2003. Handbook of Mixed


Methods in Social & Behavioral Research. California: Thousand
Oaks, SAGE Publications, Inc.

Tilman, D., K. G. Cassman, P. A. Matson, R. Naylor, and R. Polasky.


2002. “No Title.” Nature 418:671–677.

Tridakusumah, Ahmad Choibar, Mira Elfina, Dyah Ita


Mardiyaningsih, Jepri

Pioke, and Sahrain Bumulo. 2015. “Pola Adaptasi Ekologi Dan


Strategi Nafkah Rumahtangga Di Desa Pangumbahan.” Jurnal
Sosiologi Pedesaan 03(03):85–90.

Undang-Undang Nomor 18. 2012. Tentang Pangan. Pemerintah


Republik Indonesia.

140
Uphoff, Milton J. Esman and Norman T. 1984. Local Organisations.
Intermediaries in Rural Development. New York: Cornell
University Press.

Uphoff, Norman Thomas. 1986. Local Institutions Development. New


York: Kumarian Press library of management for developmen.

Wahyono A. dkk. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.


Yogyakarta: Media Pressindo.

Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta:


Fakultas. Psikologi UGM.

Wan, Guang Hua. 2005. “Convergence in Food Consumption in Rural


China: Evidence from Household Survey Data.” China Economic
Review 16(1):90–102.

Warsilah, Henny. 2011. Penerapan Kebijakan Ketahanan Pangan


Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan. Jakarta.

Warsilah, Henny. 2013. “The Rural-Coastal Communities Foodhabits


In Supporting Food Security: The Case Of Bahoi And Bulutui
Villages At North Minahasa.” Masyarakat & Budaya 15(1):97–
130.

Watts, Michael J. and Hans G. Bohle. 1993. “Famine and the Space of
Vulnerability1 Hunger ,.” GeoJournal 30(2):117–25.

141
Wenkam. 1979. “Nutritional Aspects Of Some Tropical Plant Foods.”
Tropical Food: Chemistry and Nutrition 341–50.

White, James M. and David M. Klein. 2007. Family Theories, An


Introduction.

3rd Editio. New Delhi: Saga Publication, Inc.

Widodo. 2006. “Migrasi Internasional Tenaga Kerja Pertanian Di


Kabupaten Bangkalan.” Pamator 3(2):65–78.
Widodo. 2011. “Strategies of Sustainable Livelihood for Poor
Household in Coastal Area.” MAKARA, SOSIAL HUMANIORA
15(1):10–20.

142
NAMA LENGKAP PENULIS : Dr. Sulaiman Teddu, SP., M.Si

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Desa Attang


Salo, Kecamatan Marioriawa Kabupaten
Soppeng Propinsi Sulawesi Selatan pada
tanggal 6 oktober 1977. sebagai anak
kedua dari dua bersaudara pasangan
Teddu (almarhum) dan Hj. Nadirah.
Pendidikan formal yang pernah
ditempuh Penulis antara lain Sekolah Dasar Inpres Tarailu selesai
tahun 1989, Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri I Batu-
Batu selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian
Yayasan Pendidikan Beringin Indonesia (SMK. P – YAPBI)
kabupaten Polmas selesai tahun 1997. Strata satu (S1) Program
Studi Sosial ekonomi Pertanian STIP Tanratupattanabali Mamuju
Lulus tahun 2003, Strata dua (S2) Jurusan Agrbisnis pada
Program Pasca sarjana Universitas Islam Makassar lulus tahu
2013 dan Strata tiga (S3) program studi Ilmu-ilmu pertanian pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus
tahu 2019.
Selama menempuh pendidikan, penulis aktif mengikuti
kegiatan kemahasiswaan baik ditingkat perguruan Tinggi maupun

143
tingkat regional. Penyusun juga aktif di organisasi
kemahasiswaan yaitu : Pengurus Senat Mahasiswa STIP-TPB
Mamuju periode 1998/1999, 1999/2000 dan 2000/2001 serta
anggota Badan Perwakilan Mahasiswa 2001/2002. Selain itu
Penyusun juga aktif pada kegiatan organisasi external kampus
seperti PMII sebagai Sekretaris I Pengurus Cabang Mamuju
periode 2001/2002, IMDI sebagai ketua umum Pengurus
Komisariat STIP – TPB Mamuju, Sebagai Sekretaris Umum
Pengurus Wilayah IMDI Provinsi Sulawesi Barat sampai 2005,
Ketua Umum Komunitas Pemuda Sampaga periode 2006 – 2010,
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi
Sulawesi Barat Periode 2011 –2014, Sekretaris Umum Pengurus
Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Propinsi
Sulawesi Barat Masa Khidmat 2012-2017, dan Wakil Ketua
Bidang OKK DPD I KNPI Provinsi Sulawesi Barat periode 2014-
2017, Wakil KetuaPengurus Wilayah Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU) Propinsi Sulawesi Barat Masa Khidmat 2018-
sekarang.
Tahun 2005 diangkat sebagai Dosen Kopertis Wilayah IX
Sulawesi yang dipekerjakan di Sekolah Tinggi Ilmu-ilmu
Pertanian Tanratupattanabali Mamuju. Hingga sampai perubahan
bentuk dari STIP Tanratupattanabali menjadi Universitas
Tomakaka, penulis masih aktif sebagai dosen DPK.

144
Karya Ilmiah Penulis : Mahasiswa dan Tanggung jawab Sosial
(2002), Margin Pemasaran Kakao pada UD Mario Marennu
(2003), Buku Ajar Metode Statistika (2004), Buku Ajar Metode
Penulisan Karya Ilmiah (2004), Buku Ajar Metode Penelitian
Ilmiah, Riset dan Operasional (2005).Pengantar Ilmu Pertanian
(Alauddin Press, 2015), Buku Ajar SosiologiPertanian (2019).

145

Anda mungkin juga menyukai