Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem, yaitu lingkungan tempat


berlangsungnya reaksi timbal balik antara makhluk hidup dengan faktor-faktor
alam. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam pada hakekatnya
melakukan perubahan-perubahan di dalam ekosistem, sehingga perencanaan
penggunaan sumberdaya alam dalam rangka proses pembangunan tidak dapat
ditinjau secara terpisah, melainkan senantiasa dilakukan dalam hubungannya
dengan ekosistem yang mendukungnya. Sumberdaya alam selain menghasilkan
barang dan jasa yang dapat dikonsumsi, juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan
yang memberikan manfaat lain, misalnya manfaat keindahan, rekreasi. Mengingat
pentingnya manfaat dari sumberdaya alam tersebut, maka manfaat tersebut perlu
dinilai. Misalnya nilai lahan sawah sebagai sumber air tanah yang dibutuhkan oleh
petani dan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu menurut Fauzi (2004) output
yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berupa barang
dan jasa, perlu diberi nilai/harga (price tag).

Menurut ONeill dan Kahn (2000, dalam Hussein, 2004), menurut paradigma
ekonomi saat ini 'Ekosistem dipandang sebagai faktor eksternal bagi masyarakat,
yang dapat menyediakan barang dan jasa dan kapasitas asimilasi guna mereduksi
sisa/buangan. Ekonomi berusaha mengintegrasikan lingkungan eksternal ini ke
dalam paradigmanya sendiri melalui konsep 'valuasi.' Masyarakat harus mengukur
barang dan jasa yang terdapat di lingkungan dengan nilai moneter dan juga pada
dampak aktivitas manusia terhadap kemampuan ekosistem untuk menyediakan
barang dan jasa. Nilai dari 'eksternalitas' akibat suatu aktivitas ekonomi ini
kemudian dapat dimasukkan ke dalam model ekonomi.

Konsep dasar valuasi merujuk pada kontribusi suatu komoditas untuk


mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ekologi, sebuah gen bernilai tinggi apabila
mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang memiliki gen
tersebut. Dalam pandangan ecological economics, nilai (value) tidak hanya untuk
maksimalisasi kesejahteraan individu tetapi juga terkait dengan keberlanjutan
ekologi dan keadilan distribusi.

1
Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas
dasar nilai pasar ( marketvalue) maupun nilai non-pasar (non marketvalue). Valuasi
ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang
menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang
dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Pemahaman
tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil kebijakan dapat
menentukan penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang efektif dan
efisien. Hal ini disebabkan aplikasi valuasi ekonomi menunjukkan hubungan antara
konservasi SDA dengan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, valuasi ekonomi
dapat dijadikan alat yang penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Menurut panduan valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan (KNLH,


2007) adalah pengenaan nilai moneter terhadap sebagian atau seluruh potensi
sumberdaya alam sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Valuasi ekonomi
sumberdaya alam dan lingkungan yang dimaksud adalah nilai ekonomi total (total
net value), nilai pemulihan kerusakan/pencemaran serta pencegahan
pencemaran/kerusakan. Bermacam-macam teknik yang dapat digunakan untuk
mengkuantifikasi konsep nilai. Namun konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang
mendasari semua teknik adalah kesediaan untuk membayar dari individu untuk
jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya.

Pada umumnya, kerusakan yang timbul pada lingkungan merupakan adanya


eksternalitas, sehingga diperlukan tindakan perbaikan lingkungan. Tidak selamanya
eksternalitas dapat dihitung dengan nilai moneter atau harga pasar, sehingga
diperlukan alat pengukuran secara pendekatan non pasar dalam valuasi ekonomi
guna menghindari kerusakan yang mungkin akan terjadi jika tidak dilakukan
perbaikan lingkungan. Dengan demikian, valuasi ekonomi terhadap lingkungan
adalah sangat penting dilakukan, karena tujuan utama dari valuasi ekonomi adalah
untuk menyelidiki berbagai metode yang digunakan para ekonom untuk mengukur
manfaat perbaikan lingkungan atau pelestarian jasa lingkungan alam. Umumnya,
perbaikan lingkungan muncul dari kerusakan yang dapat dihindari dengan
melakukan tindakan tertentu.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara melakukan valuasi terhadap lingkungan?

2. Bagaimana metode pendekatan yang digunakan untuk mengukur manfaat


perbaikan lingkungan?

3. Bagaimana kritikan terhadap metode valuasi ekonomi?

4. Bagaimana pandangan Islam mengenai valuasi ekonomi?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui cara melakukan valuasi terhadap lingkungan.

2. Untuk mengetahui metode pendekatan yang digunakan untuk mengukur


manfaat perbaikan lingkungan.

3. Untuk mengetahui kritikan terhadap metode valuasi ekonomi.

4. Untuk mengetahui pandangan Islam mengenai valuasi ekonomi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Valuasi Manfaat, Isu Metodologis

Para ekonom sudah sejak lama menggunakan kesediaan untuk membayar


(Willingness to Pay) sebagai alat standard pengukur manfaat
masyarakat/konsumen. Kesediaan untuk membayar dapat diukur dengan harga
permintaan pada margin tersebut. Misalnya, pada gambar kurva Willingness to Pay
dibawah, P1 mewakili berapa jumlah yang konsumen bersedia membayar untuk 10
unit barang atau jasa, yakni Q. Begitu juga dengan Pe yang merupakan ukuran
kesediaan konsumen untuk membayar pada unit Q ke 25. Pada pilihan-pilihan
produk yang tersedia di pasar, individu dapat menggunakan pilihannya dengan cara
membandingkan kemauan mereka untuk membayar dengan harga produk yang
sesuai dengan kemuaannya. Masyarakat akan membeli barang atau jasa bila
kesediaan mereka untuk membayar sama atau melebihi harga pasar. Namun tidak
sebaliknya ketika kesediaan untuk membayar dibawah harga yang ada. Misalnya,
pada gambar kurva willingness to pay di bawah, jika Pe sebagai harga ekuilibrium
pasar, kemudian konsumen yang bersedia membayar pada harga tersebut diwakili
oleh P1 dimana mereka dapat memutuskan untuk bersedia membayar pada harga
ekuilibrium.

Willingness to pay dapat digunakan untuk mengukur manfaat sosial dari suatu
proyek perbaikan lingkungan. Misalnya, pada kebijakan pemerintah untuk
mengurangi emisi sulfur dari pembangkit listrik yang berada di wilayah tertentu.
Dalam kasus ini, mbenefit yang didapat adalah akibat langsung dari peningkatan
kualitas udara atau kerusakan lingkungan yang dapat dihindari sebagai akibat
berkurangnya emisi sulfur. Manfaat tersebut dapat diukur dengan menggunakan
kurva permintaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dimana kurva biaya
kerusakan marjinal (MDC) mewakili kurva permintaan untuk perbaikan kualitas
lingkungan.

Misalkan titik A pada kurva permintaan merupakan kondisi ketika sebelum


dimulainya kebijakan pemerintah dalam rangka mengurangi emisis sulfur. Jadi,
sebelum adanya kebijakan, individu bersedia membayar harga pada t1 untuk
menghindari unit terakhir emisi sulfur, Q1. Kemudian, karena adanya inisiatif

4
pemerintah untuk mengurangi emisi sulfur, Q bergeser dari Q1 sampai ke Q2.
Artinya, dengan pengendalian pencemaran belerang yang lebih ditingkatkan,
masyarakat dapat berpindah dari titik A ke B di sepanjang kurva permintaan untuk
kualitas lingkungan yang ingin dicapai. Pada posisi baru, titik B, individu bersedia
membayar harga t2 untuk menghindari unit emisi terakhir, yaitu Q2. Manfaat total
dari kebijakan pengurangan emisi sulfur ditunjukkan oleh area di bawah area kurva
permintaan Q1ABQ2, yang mewakili jumlah kesediaan masyarakat untuk
membayar dimana titik kurva permintaan bergerak dari titik A ke posisi baru titik B.

Manfaat total yang diperoleh dapat digunakan untuk melihat jumlah uang/nilai
moneter maksimum masyarakat yang bersedia dibayarkan untuk mengurangi
emisi sulfur dari Q1 menjadi Q2 atau disebut sebagai kemauan untuk membayar
(WTP/willingness to pay), atau dapat diartikan sebagai kompensasi nilai moneter
minimum yang dibutuhkan masyarakat tertentu agar secara sukarela menerima
bahwa kebijakan pemerintah yang diusulkan (pengurangan emisi sulfur dari Q1
sampai Q2) tidak jadi dilaksanakan, atau dengan kata lain adalah ukuran kemauan
untuk menerima (WTA/Willingness to Accept).

Gambar 1: Konsep Willingness to Pay

5
Gambar 2: Kurva Permintaan Kualitas Lingkungan

Lebih jauh lagi, penting untuk dicatat bahwa karena valuasi manfaat ekonomi
didasarkan pada konsep kemauan untuk membayar, area yang diarsir akan
mengukur preferensi per individu guna tercapainya perubahan keadaan lingkungan
mereka (Pearce 1993, dalam Hussen, 2004). Jadi, ketika manfaat dari peningkatan
kualitas lingkungan diukur melalui pendekatan nilai moneter, yang diukur bukan
nilai lingkungannya secara pendekatan harga pasar (barang dan jasa), tetapi
preferensi orang untuk mau membayar terhadap lingkungan yang lebih baik,
misalnya dengan adanya perbaikan kualitas udara, maka tingkat kesehatan
masyarakat naik, sehingga anggka harapan hidup juga naik sesuai dengan
keinginan atau dari masyarakat sendiri untuk mau membayar demi terciptanya
perbaikan lingkungan.

Problem dari menghitung manfaat dari menghindari kerusakan lingkungan


adalah ketika manfaat tersebut tidak dapat didekati dengan nilai pasar, sehingga
untuk perlu dicari metode-metode yang tepat dimana fungsinya untuk mencari
willingness to pay dari individu dimana informasi harga kesediaan membayar
umumnya sulit untuk diperoleh dan mencerminkan kemauan membayar yang
sebenarnya. Namun, seiring berjalnnya, waktu telah ditemukan banyak metode
pendekatan penilaian jasa-jasa lingkungan yang lebih realitistis dapat lebih bisa
dipertanggungjawabkan.

6
2.2 Metode Praktis untuk Mengukur Manfaat Perbaikan Lingkungan

Pada bagian ini akan membahas diskusi tentang teknik yang paling umum
digunakan oleh para ekonom untuk tujuan meningkatkan kesediaan orang untuk
membayar perubahan kualitas lingkungan atau aset lingkungan. Pilihan teknik
khusus yang digunakan untuk tujuan memperoleh kemauan membayar (willingness
to pay) tergantung pada sifat spesifik dari jenis kerusakan lingkungan yang
dihindari untuk mencapai kualitas lingkungan yang diinginkan. Kerusakan yang
dihindari dapat mencakup penurunan kesehatan manusia (risiko kematian dan
morbiditas/penyakit yang lebih tinggi), hilangnya hasil ekonomi (perubahan
produktifitas), seperti panen ikan dan ekstraksi mineral tertentu, meningkatnya
risiko terhadap paparan dari gangguan lingkungan (seperti kebisingan, bau dan
kotoran), kemudahan dan kerugian estetika, dan kerusakan ireversibel terhadap
ekosistem.

Banyaknya teknik atau pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui


kemauan membayar (willingness to pay) per individu dimana adanya permintaan
untuk menghindari jenis kerusakan lingkungan tertentu (misalnya kebisingan) dapat
dikurangi, para ekonom masih belum mengembangkan satu teknik pun yang dapat
digunakan secara efektif dalam segala situasi (umumnya satu pendekatan tidak
bisa digunakan untuk semua kasus perbaikan lingkungan, kecuali ada beberapa
sub pembahasan dalam penelitian yang ingin dilihat). Begitu juga dalam situasi
tertentu, beberapa teknik cenderung lebih baik daripada teknik/pendekatan yang
lain. Jadi, dalam banyak kasus pilihan teknik bisa menjadi isu penting dalam
melihat permasalahan apa yang ingin dilihat oleh peneliti. Jadi, dalam buku dari
Hussen (2007) ini, pendekatan yang dibahas merupakan teknik/pendekatan yang
paling banyak digunakan untuk tujuan memperoleh kemauan (willingness to pay)
untuk membayar perbaikan aset lingkungan. Namun, yang perlu diketahui bahwa
masih ada banyak pendekatan yang bisa dipilih untuk melihat willingness to pay
indvidu namun pendekatan tersebut umumnya jarang dipakai oleh peneliti karena
setiap pendekatan memiliki tujuan khusus tersendiri.

Dengan demikian, perlu diketahui bahwa para ekonom memandang lingkungan


sebagai aset yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi manusia. Mialnya pada
area lahan tertentu dapat memberikan manfaat seperti estetika, ekologis, rekreasi,
industri, dan kehidupan. Oleh karena itu, pada sub bahasan di buku dari Husen
(2007) ini akan lebih melihat bagaimana mengukur manfaat dari aset lingkungan

7
yang memerlukan penggunaan beberapa teknik yang berbeda untuk tujuan
menghasilkan total kemauan untuk membayar (refleksi dari keuntungan total) dari
khsusnya sebuah proyek/kebijakan pemerintah, seperti upaya pelestarian lahan
basah tertentu. Berikut ini adalah beberapa teknik/pendekatan yang dipilih menurut
Hussen (2007).

2.2.1 Pendekatan Penetapan Harga Pasar

Pendekatan penetapan harga pasar digunakan ketika adanya upaya perbaikan


lingkungan yang sedang dipertimbangkan sehingga menyebabkan kenaikan atau
penurunan output dan/atau input riil. Misalnya ketika adanya penurunan panen
kayu sebagai akibat adanya peraturan perundang-undangan yang mengharuskan
memperluas daerah hutan belantara supaya ekosistem hutan tetap terjaga. Contoh
selanjutnya adalah kenaikan panen ikan karena penerapan teknologi pengendalian
pencemaran air, atau peningkatan hasil panen yang timbul akibat dari peraturan leg
pemerintah mengenai peningkatan standar kualitas udara.

Berdasarkan contoh di atas, manfaat dari adanya perbaikan lingkungan


(menghindari kerusakan) diidentifikasi dalam bentuk perubahan output atau input,
seperti kayu, mineral, ikan, dan tanaman. Output atau input ini diharapkan memiliki
harga pasar yang mencerminkan secara akurat nilai suatu barang atau harga
bayangan (nilai barang yang dihitung berdasarkan nilai pasarnya) sehingga dapat
lebih mudah diperhitungkan dan dianalisis. Dengan demikian, perbaikan lingkungan
berhubungan langsung dengan perubahan kuantitas atau harga output atau input
yang dipasarkan dan manfaat yang secara langsung terkait dengan perbaikan
lingkungan tersebut dapat diukur dengan melihat perubahan surplus konsumen dan
produsen.

Surplus konsumen mengacu pada keuntungan yang diterima konsumen saat


membeli barang dan jasa sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Tentunya,
konsumen akan lebih banyak memperoleh keuntungan bila harga pasar lebih
rendah daripada yang bersedia mereka bayar. Di sisi lain, surplus produsen
mengacu pada setiap keuntungan yang diterima produsen ketika menjual barang
dan jasa yang mereka hasilkan sesuai dengan harga pasar. Berdasarkan pada
gambar dibawah mengenai surplus konsumen dan produsen menunjukkan bahwa
produsen lebih banyak memperoleh keuntungan karena biaya produksi menurun
dibandingkan dengan harga pasarnya.

8
Untuk mengetahui bagaimana surplus konsumen dan produsen dapat
diaplikasikan dalam pertimbangan kebijakan mengenai perbaikan lingkungan,
contoh yang digunakan menurut Hussein (2004) adalah ketika adanya dampak dari
penerapan standar kualitas udara yang lebih tinggi dengan harapan dapat
memengaruhi hasil panen petani. Seperti ditunjukkan pada Gambar Surplus
Konsumen dan Produsen dibawah, efek aktual dari adanya penetapan peningkatan
standar pencemaran adalah pergeseran kurva penawaran dari S0 ke S1, yang
dapat mengindikasikan peningkatan hasil panen. Dengan kata lain, karena
peningkatan kualitas udara maka hasil panen meningkat pula, dengan asumsi
bahwa faktor-faktor lainnya adalah tetap (cateris paribus), pada setiap tingkat
output, petani sekarang bersedia menjual hasil panen mereka dengan harga lebih
rendah daripada sebelum adanya penetapan regulasi standard pencemaran udara
dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan.

Sebagai hasil dari pergeseran kurva penawaran, harga pasar untuk komoditas
pertanian akan turun dari P0 ke P1. Akibatnya, menyebabkan peningkatan jumlah
konsumen karena harga yang ditawarkan lebih murah. Selanjutnya, jika pergeseran
pasokan dikaitkan dengan penghematan biaya yang signifikan, surplus produsen
juga akan meningkat. Seperti ditunjukkan pada Gambar Surplus Konsumen dan
Produsen dibawah, keuntungan yang didapat tersebut (bagi konsumen dan
produsen) sevagai aibat dari peningkatan kualitas udara diukur dengan perbedaan
surplus konsumen dan produsen sebelum dan sesudah adanya perubahan regulasi
standar kualitas udara yang dapat ditunjukkan pada ABCE (perbedaan dari
perubahan dalam manfaat sosial bersih adalah diantara (awalnya pada) segitiga
ABPm, dan posisi baru yakni area ECPm).

Salah satu masalah utama saat melakukan analisis seperti ini adalah adanya
kebutuhan dan kemampuan untuk dapat memperhitungkan secara akurat semua
faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan barang dan jasa yang
sedang dipertimbangkan tersebut. Misalnya, seperti dalam contoh di atas adalah
penting untuk membeda-bedakan secara teliti mengenai adanya pengaruh faktor
lain pada kurva penawaran, seperti faktor perubahan teknologi. Jadi analisis ini,
dapat dilakukan dengan menggunakan analisis statistik yang memerlukan data
deret waktu (time series) dengan menggunakan beberapa variabel kunci yang
mempengaruhi permintaan dan penawaran. Berikut ini adalah gambar surplus
konsumen dan produsen.

9
Gambar: Surplus Konsumen dan Produsen

Sumber: Hussen (2004).

Berdasarkan pada gambar diatas menunjukkan adanya perubahan surplus


konsumen sebagai ukuran manfaat sosial. Awalnya pada Q0, surplus sosial diukur
berdasarkan luas segitiga ABPm (jumlah surplus konsumen dan produsen). Ketika
output meningkat dari Q0 menjadi Q1, surplus sosial diperluas ke area ECPm. Oleh
karena itu, area yang diarsir mewakili keuntungan bersih dalam surplus sosial.

Contoh studi kasus yang menggunakan pendekatan penetapan harga pasar


menurut Dixon dan Hufschmidt (1986) (dalam, Hussen (2004) yakni penelitian
mengenai estimasi nilai pada hilangnya sumber daya yang disebabkan oleh
pengembangan pantai pesisir di Teluk Tokyo dengan menggunakan nilai pasar hasil
perikanan laut dan udang, rumput laut dan ikan yang hilang. Variasi penelitan
terdahulu lain dari pendekatan harga pasar adalah penggunaan pendekatan biaya
peluang (opportunity cost). Misalnya, dalam sebuah studi kasus yang membahas
program konservasi dan pengembangan hutan di Madagaskar yang merupakan
hasil penelitian dari Kremen dkk. (2000). Para peneliti tersebut menggunakan
metode opportunity cost. Studi kasus yang diangkat adalah mengenai penanganan
pelestarian kawasan hutan tropis seluas 33.000 ha (Taman Nasional Masoala dan
zona penyangga sekitarnya). Pendekatan biaya peluang hanya melihat
penggunaan lahan yang menghasilkan return alternatif tertinggi. Pada tingkat
nasional, diperkirakan bahwa hasil tertinggi akan dihasilkan dari konsesi
penebangan industri skala besar, yang menyiratkan bahwa Semenanjung Masoala
harus menjadi konsesi kehutanan dan bukan taman nasional.

10
Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Menurut KNLH (2007), Pada pendekatan ini, valuasi yang dilakukan untuk
memberikan harga SDA dan lingkungan sedapat mungkin menggunakan harga
pasar sesungguhnya. Hal ini terutama sekali dapat dilakukan bagi SDA yang
diperjualbelikan di pasar. Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut ini:

1. Menyiapkan data dan informasi mengenai kuantitas SDA.

2. Melakukan survei sederhana untuk membantu mendapatkan informasi


yang diperlukan mengenai kuantitas dan harga SDA yang belum tersedia.

3. Mengalikan jumlah kuantitas SDA dengan harga pasarnya.

Persamaannya ialah:

Nilai SDA = (SDA x harga)

Nilai Total SDA :

Nilai SDA = (SDA1 x harga1 ) + (SDA2 x harga2) +... + (SDAn x hargan)

Terdapat beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pendekatan


produktivitas ini, yaitu (a) Perubahan produktivitas, (b) Biaya Pengganti, dan (e)
Biaya Pencegahan. Namun, pada contoh jurnal pada tabel studi terdahulu dibawah
ini merupakan pendekatan penetapan harga pasar dengan teknik perubahan
produktivitas.

Teknik Perubahan Produktivitas

Teknik ini menggunakan nilai pasar yang ada dari suatu SDA. Dengan
mengetahui harga pasar dan kuantitas SDA, maka dapat diketahui nilai total dari
sumber daya alam tersebut. Kuantitas SDA dipandang sebagai faktor produksi.
Perubahan dalam kualitas lingkungan merubah produktivitas dan biaya produksi
yang kemudian mengubah harga dan tingkat hasil yang dapat diamati dan diukur.

Tahapan pelaksanaannya, yaitu:

1. Menggunakan pendekatan langsung dan menuju sasaran.

2. Menentukan perubahan kuantitas SDA yang dihasilkan untuk jangka waktu


tertentu.

11
3. Memastikan bahwa perubahan merupakan hal yang berkaitan dengan
perubahan lingkungan yang terjadi.

4. Mengalikan perubahan kuantitas dengan harga pasar.

Contoh Jurnal yang berkaitan dengan Pendekatan Penetapan Harga Pasar


(Biaya Perubahan Produksi) Studi Kasus di Indonesia

Tabel Studi Terdahulu


No Nama, Tahun, dan Tujuan dan Metode Temuan
Judul

1 Deni Kusumawardani. Untuk mengestimasi Estimasi hasil biaya ekonomi


(2012). Estimasi Biaya biaya pencemaran air sebenarnya dari pencemaran air
Pencemaran pada Kali sungai dengan studi Sungai Surabaya adalah sekitar
Surabaya sebagai Air kasus pada Kali Surabaya Rp 15,9 miliar pada tahun 2005
Baku untuk Produksi Air sebagai air baku untuk dan meningkat menjadi Rp 21
Minum. produksi air minum, miliar di tahun 2009. Hasil
dengan metode valuasi penelitian menunjukkan bahwa
ekonomi perubahan tren biaya polusi meningkat setiap
produktivitas dan biaya tahunnya yang menunjukkan
penggantian dengan peningkatan tingkat pencemaran
metode analisis dekkriptif air.
kualitatif.

2 Ade Eka Putra. (2016). Untuk mengestimasi nilai Nilai ekonomi kerusakan
Penilaian Ekonomi ekonomi kerusakan ekosistem lamun dengan luas
Kerusakan Ekosistem ekosistrm lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara
Lamun di Perairan Perairan Kecamatan 1.950 ha yakni sebagai kawasan
Teluk Banten. Bojonegara dan Perairan penangkapan ikan seperti udang,
Teluk Banten, dengan kerapu, belanak, kepiting, kakap
metode valuasi ekonomi dan kerang sebesar Rp
perubahan produktivitas 5.185.154,50/ha/tahun. Nilai
dan biaya penggantian, ekonomi kerusakan ekosistem
dengan metode analisis lamun sebagai tempat pemijahan
analisis deskriptif ikan (kerapu) sebesar Rp
kualitatif. 880.000,00/ha/tahun. Nilai
ekonomi kerusakan ekosistem
lamun sebagai pencegah abrasi
sebesar Rp
2.366.666,67/ha/tahun

3 Suzana et. al. (2011). Penelitian ini bertujuan Nilai ekonomi total hutan
Valuasi Ekonomi untuk melakukan mangrove di Desa PAlaes
Sumberdaya Hutan penilaian ekonomi sebesar Rp 10.888.218.123 per
Mangrove di Desa terhadap ekosistem hutan tahun. Jika potensi kayu
Palaes Kecamatan mangrove, serta diekspolitasi didapatkan
Likupang Barat kontribusinya terhadap keuntungan sebsar Rp
Kabupaten Minahasa Masyarakat di wilayah 273.617.273 per tahun. Dapat
Utara. lokasi penelitian disimpulkan bahwa jika hutan
mangrove di Desa mangrove dipertahankan, maka
Palaes, Kecamatan keuntungan akan 39,8 kali lebih

12
Likupang Barat besar dibandingkan
Kabupaten Minahasa mengeksploitasi sumberdaya
Utara, dengan alam hutan mangrove Desa
pendekatan nilai pasar Palaes.
dan Contingent Value
Method (CVM).

Sumber: Hasil olah data sekunder, 2017

1. Penelitian Deni Kusumawardani (2012)

Pencemaran air sungai adalah salah satu kerusakan lingkungan yang paling
serius di Indonesia. Hal ini menyebabkan beban ekonomi tinggi karena sungai
menyediakan lingkungan bagi barang dan jasa untuk manusia, salah satunya
adalah air baku untuk memproduksi air domestik. Penelitian bertujuan adalah untuk
memperkirakan beban ekonomi pencemaran air Kali Surabaya sebagai air baku
untuk produksi air domestik. Metode yang dilakukan adalah dengan dua
pendekatan, dua diantaranya yang relevan adalah metode Change in Productivity
(CIP) dan metode Replacement Cost (RC). Metode pertama berbasis manfaat
sedangkan metode kedua berbasis biaya.

Hasil estimasi menggunakan metode replacement cost menunjukkan bahwa


pada tahun 2005 biaya pencemaran (atas dasar harga berlaku) senilai Rp 15,9
milyar telah meningkat menjadi Rp 21 milyar pada tahun 2009 atau mengalami
kenaikan rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun. Jika dinilai dari harga tahun
2005 sebagai tahun dasar, maka biaya tersebut senilai Rp 16,5 milyar atau
mengalami kenaikan rata-rata 3,9 persen pada periode waktu yang sama. Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa tingkat pencemaran Kali Surabaya semakin
meningkat setiap tahunnya dan pada akhirnya menimbulkan biaya sosial yang
tinggi yang harus ditanggung oleh Masyarakat
2. Peneliitan Ade Eka Putra (2016)
Ekosistem lamun (seagrass) memiliki fungsi ekologi dan ekonomi bagi
masyarakat di Kecamatan Bojonegara. Perkembangan dan peningkatan aktivitas
industri, pembangunan dermaga, dan penggunaan alat tangkap nelayan yang tidak
ramah lingkungan menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem lamun di Perairan
Kecamatan Bojonegara. Dampak kerusakan ekosistem lamun adalah berkurangnya
jumlah dan jenis ikan, serta berdampak pada jarak yang ditempuh nelayan ke
daerah penangkapan ikan semakin jauh sehingga menyebabkan biaya operasi
penangkapan meningkat. Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui persepsi
masyarakat dan nelayan tentang fungsi serta kondisi ekosistem lamun di Perairan

13
Kecamatan Bojonegara; (2) mengestimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem
lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara dan Perairan Teluk Banten; dan (3)
mengkaji alternatif-alternatif pengelolaan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan
Bojonegara. Metode penelitian yang digunakan yaitu skala likert, Change on
Producvity (CoP), Replacement cost, dan Weighted Sum Model (WSM).

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) sebagian besar masyarakat tidak
mendapatkan informasi dengan baik tentang fungsi ekonomi, ekologi, dan
pengelolaan ekosistem lamun karena kurangnya informasi dan sosialisasi dari
pemerintah dan pihak terkait lainnya. Akan tetapi, mereka mengetahui bahwa
ekosistem lamun telah mengalami kerusakan di Perairan Kecamatan Bojonegara;
(2) estimasi nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun yang terdiri dari 3 aspek
yaitu ekosistem lamun sebagai kawasan penangkapan ikan, tempat pemijahan
ikan, dan pencegah abrasi. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun dengan luas
Perairan Kecamatan Bojonegara 1.950 ha yakni sebagai kawasan penangkapan
ikan seperti udang, kerapu, belanak, kepiting, kakap dan kerang sebesar Rp
5.185.154,50/ha/tahun. Nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun sebagai tempat
pemijahan ikan (kerapu) sebesar Rp 880.000,00/ha/tahun. Nilai ekonomi kerusakan
ekosistem lamun sebagai pencegah abrasi sebesar Rp 2.366.666,67/ha/tahun.
Total nilai ekonomi kerusakan ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara
sebesar Rp 8.431.821,17/ha/tahun dan di Perairan Teluk Banten dengan luas
ekosistem lamun yang hilang seluas 255,7 ha sebesar Rp 2.156.016.672,19/tahun;
(3) alternatif pengelolaan yang tepat untuk ekosistem lamun adalah rehabilitasi
ekosistem lamun di Perairan Kecamatan Bojonegara.

2.2.2 Pendekatan Biaya Penggantian/Ganti Rugi (Replacement Cost


Approach)

Pendekan dengan biaya penggantian merupakan pendekatan yang dapat


didekati dengan nilai pasar ini digunakan sebagai ukuran manfaat apabila
kerusakan yang telah dihindari akibat kondisi lingkungan yang membaik. Valuasi
ekonomi dengan metode ini berdasarkan biaya ganti rugi asset produktif yang
rusak, karena penurunan kualitas lingkungan atau kesalahan pengelolaan sehingga
masyarakat harus menerima kerugian atau masyarakat harus membayar sejumlah
tertentu untuk mendapatka kembali barang atau jasa yang telah hilang (KNLH,
2010). Misalnya, akibat dari hujan asam dapat menyebabkan mempercepat umur

14
infrastruktur suatu negara, seperti jalan raya, jembatan dan monumen bersejarah.
Misalkan sebuah negara diberi sebuah undang-undang yang mengurangi emisi
precursor asam (belerang dan nitrat) sebesar 50 persen. Salah satu dampak nyata
dari undang-undang tersebut adalah berimbas pada umur infrastruktur yang
semakin panjang. Jika pendekatan biaya pengganti digunakan untuk mengukur
manfaat dari kerusakan lingkungan yang ingin dihindari, hal ini akan dinilai
berdasarkan pengurangan biaya untuk memperbaiki, memulihkan dan mengganti
infrastruktur negara.

Dengan adanya pendekatan ini juga dapat diketahui seberapa besar


willingness to pay per individu dalam melihat sejauh mana kesediaan orang untuk
membayar sebagai interpretasi dari keinginannya terhindar dari suatu kerusakan
yang bisa saja terjadi apabila biaya untuk perbaikan lingkungan tidak dilakukan.
Namun, dalam beberapa kasus, kerusakan lingkungan ada yang tidak dapat
diperbaiki atau direplikasi sepenuhnya seperti sebelum terjadi kerusakan.
Sekalipun bisa, namun hasilnya tetap saja telah berbeda dengan awalnya.

Sebagai contoh, dalam satu studi kasus (Dixon dan Hufschmidt 1986)
pendekatan ini digunakan untuk memperkirakan biaya pemulihan dan penggantian
lahan yang terkikis dari proyek pertanian di Korea. Dalam hal ini studi aset produktif
yang telah rusak adalah tanah di daerah dataran tinggi. Biaya penggantian fisik
kehilangan tanah dan nutrisi digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur biaya
penggantian. Biaya penggantian ini kemudian dilihat sebagai ukuran manfaat
minimum yang harus direalisasikan dari langkah-langkah pencegahan (teknik
pengelolaan tanah baru) yang dapat dilakukan untuk mengembalikan dan
mempertahankan produktivitas asli dari tanah yang rusak.

Menurut KNLH (2007), Teknik ini seeara umum mengidentifikasi biaya


pengeluaran untuk perbaikan lingkungan hingga meneapailmendekati keadaan
semula. Biaya yang diperhitungkan untuk mengganti SDA yang rusak dan kualitas
lingkungan yang menurun atau karena praktek pengelolaan SDA yang kurang
sesuai dapat menjadi dasar penaksiran manfaat yang diperkirakan dari suatu
perubahan.

Syarat-syarat untuk memenuhi teknik biaya penggantian yaitu:

Suatu fungsi SDAL sedapat mungkin diganti sama atau hampir sama.
Penggantian yang dilakukan harus dapat mengganti manfaat yang hilang sebagai

15
akibat dari SDAL yang terganggu, bukan manfaat yang hilang karena penggunaan
yang dilakukan secara normal. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa manfaat dari
pengganti nilainya melampaui biaya yang dikeluarkan,kalau tidakdemikian biaya
tersebut dianggap tidakdikeluarkan.Dengan demikian biaya pengganti hanya
menunjukkan pendugaan nilai minimum dari manfaat SDAL.

Tahapan pelaksanaannya:

1. Mengidentifikasi fungsi SDA yang hilang karena perubahan kualitas


lingkungan.

2. Menentukan pengganti fungsi SDA yang hilangl terganggu.

3. Menyiapkan data fisik termasuk harga pasar untuk masing-masing


komponen yang dibutuhkan sehubungan dengan fungsi pengganti.

4. Menghitung jumlah nilai moneter untuk menciptakan semua fungsi dan


manfaat yang diganti.

Contoh Aplikasi

Contoh 1:

Lahan sawah memiliki fungsi sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Alih fungsi
lahan sawah ke penggunaan lain menyebabkan petani kehilangan sumber mata
pencaharian. Misalkan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap pada usahatani
lahan sawah adalah 317,7 hari kerja pria (HKP/ha/tahun) dengan tingkat upah Rp
28.000/HKP, maka nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja yang
hilang adalah (Irawan, 2007)

NFTK = ( Ti x Wi x IPi x Li )

i=1

Ti = Kebutuhan tenaga kerja usahatani (HOK/ha)

Wi = Upah kerja (Rp/HOK)

IPi = Indeks pertanaman (%/tahun)

Li = Luas lahan sawah pada unit lahan-i (ha)

Sehingga nilai fungsi lahan sawah sebagai penyedia lapangan kerja yang hilang
akibat konversi lahan sawah ke penggunaan selain pertanian adalah

NFTK = (317,7) x (28.000) = Rp 8.895.600/ha/MT

16
Contoh 2:

Perhitungan degradasi sebagai akibat adanya abrasi pantai yang disebabkan oleh
hilangnya hutan mangrove dapat dilakukan pendekatan dengan menghitung nilai
hutan mangrove sebagai pelindung abrasi yang dapat didekati dengan biaya
pembangunan tembok dengan tinggi 2 meter. Biaya yang diperlukan adalah Rp
35.000/m2 (data harga pasar). Bila diketahui panjang pantai yang tidak ada hutan
mangrovenya adalah sepanjang 38 km. Manfaat ekonomi hutan mangrove sebagai
pelindung abrasi adalah (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2004)

Rumus: V PA = Pt x Tt x x Bt

Dimana:

V PA = nilai pelindung abrasi

Pt = panjang pantai

Tt = tinggi tembok pelindung pantai

= koefisien kapasitas hutan mangrove sebagai pelindung abrasi

Bt = biaya pembuatan tembok pelindung abrasi (Rp/m2)

Sehingga manfaat ekonomi hutan mangrove sebagai pelindung abrasi sama


dengan:

V PA = 38.000 x 2 x Rp 35.000 = Rp 2.660.000.000

Jadi nilai degradasi abrasi pantai yang diakibatkan oleh hilangnya hutan mangrove
adalah sebesar Rp. 2,66 miliar. Nilai tersebut dapat ditambah lagi dengan nilai
tempat pemijahan dan pengasuhan ikan, udang dan kepiting. Tempat pemijahan
dan pengasuhan ikan dapat diperkirakan dengan biaya pembuatan rumpon per m2.

(Aristin, KNLH, 2009).

Contoh Jurnal yang berkaitan dengan Biaya Ganti Rugi

Studi Kasus di Indonesia

Tabel Studi Terdahulu


No Nama, Tahun, dan Tujuan dan Metode Temuan
Judul

1 Farida Afrianti Astuti. Untuk mengatahui nilai Hasil penelitian menunjukkan


(2016). Valuasi valuasi ekonomi limbah cair bahwa nilai limbah cair sebagai
Ekonomi Limbah Cair yang dihasilkan oleh pencemar airtanah adalah
Industri Gula dan industri gula dan spiritus sebesar Rp 253.608.240 serta
Spiritus di Kecamatan yang ada di Kecamatan nilai limbah cair sebagai
Kasihan, Kabupaten Kasihan Kabupaten Bantul. peningkat produksi pertanian

17
Bantul, Provinsi DIY. dan pengurang penggunaan
pupuk masing-masing bernilai
Rp 37.215.360.000 dan Rp
662.256.000.

Sumber: Hasil olah data sekunder, 2017.

1. Penelitian Farida Afrianti Astuti. (2016).

Limbah kegiatan industri dapat menjadi masalah bagi lingkungan jika limbah
tersebut dibuang tanpa ada proses pengolahan sebelumnya. Salah satu limbah
yang dihasilkan oleh industri gula dan spiritus yang ada di Kecamatan Kasihan
adalah limbah cair. Pengaruh limbah cair terhadap kondisi lingkungan dapat dilihat
dari kualitas airtanah dan air irigasi di sekitar lokasi industri. Tujuan dari penelitian
ini adalah menghitung valuasi ekonomi limbah cair yang dihasilkan oleh industri
gula dan spiritus yang ada di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah perhitungan valuasi


ekonomi limbah cair. Perhitungan valuasi ekonomi limbah cair merupakan upaya
untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap limbah cair yang dihasilkan oleh industri
gula dan spiritus baik atas dasar nilai pasar maupun nilai non pasar. Dengan kata
lain, valuasi ekonomi limbah cair merupakan upaya mengestimasikan nilai uang
(Rupiah) dari limbah cair yang dihasilkan oleh industri Gula dan Spiritus. Limbah
cair dinilai menggunakan Pendekatan Harga Pasar yang Sebenarnya dengan
teknik perhitungan berupa Teknik Perubahan Produktivitas dan Teknik Biaya
Pengganti.

Keberadaan limbah cair industri gula dan spiritus mempengaruhi kualitas


airtanah dan air irigasi yang ada disekitarnya. Pengaruh keduanya dapat dihitung
secara ekonomi menggunakan Teknik Biaya Pengganti dan Teknik Perubahan
Produktivitas dalam periode satu tahun. Teknik Biaya Pengganti digunakan untuk
menghitung nilai limbah cair sebagai pencemar airtanah dan diperoleh hasil
sebesar Rp 253.608.240. Sedangkan Teknik Perubahan Produktivitas digunakan
untuk menghitung nilai limbah cair sebagai peningkat produksi pertanian dan
pengurang penggunaan pupuk yang masing-masing bernilai Rp 37.215.360.000
dan Rp 662.256.000.

2.2.3 Pendekatan Harga Hedonik

18
Metode Harga Hedonik digunakan untuk mengevaluasi jasa/servis lingkungan,
dimana kehadiran jasa lingkungan secara langsung mempengaruhi harga pasar
tertentu. Metode Harga Hedonik menilai harga faktor yang tidak bisa langsung
terlihat datanya di pasar, misalnya harga kualitas lingkungan, harga keindahan
taman, juga harga lokasi/jarak ke pusat kota (Turner, Pearce, dan Betemen, 1994,
dalam Rahmawati, 2017). Pada pendekatan ini dibagi menjadi dua sub
pembahasan, yakni metode harga hedonik terkait hubungan antara fasilitas
lingkungan dengan nilai properti dan metode harga hedonik dengan penilaian risiko
kesehatan yang berasal dari paparan bahaya lingkungan kerja.

1. Fasilitas lingkungan yang terkait dengan nilai properti

Kualitas lingkungan dapat meningkatkan nilai tanah dan rumah jika dipandang
menarik atau diinginkan, atau dapat mengurangi nilai jika dipandang sebagai
gangguan atau bahaya sehingga menjadi tidak diinginkan. Ganggunan atau bahaya
tersebut misalnya karena bau, kebisingan, puing, dan risiko kesehatan yang terkait.
Orang-orang yang mencari lokasi perumahan cenderung menyamakan lokasi lahan
dengan kedekatannya terhadap kualitas lingkungan yang semakin berkurang.
Ketika calon pembeli rumah dihadapkan penawaran antara dua rumah dengan
harga yang sama dan identik, kecuali yang satu lebih dekat ke lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA), pembeli rumah akan memilih rumah yang jauh dari sana.
Hanya bila rumah yang lebih dekat dengan TPA tersebut ditawarkan dengan harga
yang lebih murah, calon pembeli rumah akan menganggapnya sebagai alternatif
pembelian rumah yang sesuai (dikompensasi dengan harga yang lebih murah).

Pada harga rumah yang lebih rendah yakni yang lebih dekat dengan TPA,
pembeli rumah akan terkesan tidak memperdulikan persoalan harga, karena yang
terpenting adalah jauh dari TPA. Dengan begitu, calon pembeli secara implisit
mengungkapkan kesediaan mereka untuk membayar supaya terhindar dari
gangguan dengan cara membayar harga rumah yang lebih tinggi yang berada jauh
dari tempat semacam itu. Inilah tipikal harga hedonis dimana nilai atau harga dari
kualitas lingkungan (fasilitas lingkungan, udara bersih, air bersih, ketenangan, dll.)
diperhitungkan dengan melihat efek yang dimilikinya terhadap barang-barang pasar
yang mahal (seperti nilai properti). Contoh lain dimana harga hedonik dapat
digunakan secara efektif termasuk polusi suara dari sumber titik (misalnya,
bandara), yang dapat mengurangi nilai properti residensial di dekatnya, dampak
pembangunan pabrik nuklir terhadap nilai properti kawasan pemukiman terdekat,

19
dan pembangunan perumahan perkotaan dan pengaruhnya terhadap nilai lahan
pertanian terdekatnya.

Penilaian harga hedonik dapat menggunakan metode statistik untuk


memperkirakan berapa harga keseluruhan (misalnya perumahan) yang disebabkan
oleh atribut lingkungan. Analisis dimulai dengan melihat hubungan fungsional
antara seperangkat variabel independen dan dependen. Dalam kasus perumahan,
atribut yang merupakan variabel independen dapat mencakup lokasi, ukuran lot,
pemandangan, jumlah kamar, ruang lantai, sistem mekanis, usia, distrik sekolah,
dan tingkat pajak properti, dll.Variabel dependen yang digunakan adalah harga
pasar untuk perumahan. Data ini diambil secara statistik untuk menghasilkan
koefisien perkiraan untuk persamaan yang disebut fungsi harga hedonik. Koefisien
fungsi harga mengekspresikan nilai satuan dolar (harga marjinal) yang terkait
dengan unit pengukuran setiap atribut.

Cotoh penelitian yang menggunakan metode harga hedonik, misalnya pada


penelitian Nelson dkk. (1992) yang melakukan studi empiris untuk memperkirakan
efek harga dari lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pada nilai rumah. Dengan
menggunakan sampel 708 rumah keluarga tunggal di daerah Ramsey, Minnesota,
yang terletak di dekat lokasi lahan, mereka menemukan bahwa lokasi TPA
berpengaruh negatif pada nilai rumah. Secara khusus, menurut hasil empiris
penelitian ini, 'nilai rumah meningkat hampir $ 5.000 untuk setiap mil yang semakin
menjauhi lokasi TPA. Berdasarkan persentase, nilai rumah meningkat sekitar 6,2
persen per mil dari persediaan lahan.

Berdasarkan temuan di atas menunjukkan bahwa peneliti mengasumsikan


bahwa nilai satuan dolar yang digunakan dalam fungsi harga hedonik akan tetap
konstan terlepas dari tingkat kualitas lingkungan. Pada contoh di atas, diasumsikan
$ 5.000 untuk setiap mil jauhnya dari lokasi TPA. Namun, dalam banyak kasus,
orang akan mengharapkan nilai unit lebih tinggi untuk rumah yang dekat dengan
lokasi TPA. Para ekonom mendekati masalah ini dengan menerapkan teknik
statistik yang dikenal sebagai metode dua tahap penilaian. Metode penilaian harga
hedonik dua tahap menghasilkan nilai untuk perubahan satu unit dan perubahan
multi unit dan dari nilai rata-rata sampel (Songhen, 2001).

Pendekatan harga hedonik dapat sangat berguna karena didasarkan pada


perilaku aktual orang. Dengan kata lain, nilai-nilai yang diperoleh mencerminkan

20
komitmen nyata dari sumber daya konsumen untuk mencapai peningkatan kualitas
lingkungan yang spesifik. Penilaian harga hedonis terhadap nilai rumah maupun
tanah juga penting karena transaksi pembelian rumah merupakan bagian besar
dari sebagian besar pendapatan konsumen (kesejahteraan). Dengan demikian nilai
yang melekat pada lingkungan perumahan harus mewakili sebagian besar nilai
keseluruhan yang melekat pada kualitas lingkungan.

Namun, kelemahan utamanya juga berasal dari kenyataan bahwa pendekatan


tersebut sepenuhnya bergantung pada nilai properti dan karena itu memiliki aplikasi
terbatas. Misalnya, tidak akan berlaku untuk mengukur manfaat yang berkaitan
dengan taman nasional, spesies yang terancam punah, penipisan ozon, dan
sebagainya.

Contoh Jurnal yang berkaitan dengan harga hedonik (Nilai Properti)

Studi Kasus di Indonesia

Tabel Studi Terdahulu


No Nama, Tahun, dan Tujuan dan Metode Temuan
Judul

1 Endah Saptutyningsih Studi ini bertujuan untuk Hasil metode hedonic price
dan Ahmad Maruf. menilai kualitas udara menyimpulkan bahwa dengan
(2015). Measuring the ditinjau dari pasar properti
Impact of Urban Air di Kota Yogyakarta mengadopsi prosedur estimasi
Pollution Hedonic Price dua tahap untuk mengestimasi
Analysis and Health , dengan metode analisis hubungan antara kualitas udara
Production Fuction kuantitatif survey regresi dan nilai properti dimana
(Case Study: linier berganda. peningkatan level O3 sebesar
Yogyakarta City). satu persen akan menurunkan
harga properti sebesar 0,063
persen.

2 M. Syarif Hidayatullah Untuk menganalisis Kebisingan Bandar Udara Sultan


Ritonga dan Wahyu pengaruh kebisingan lalu Syarif Kasim II Pekanbaru yang
Hidayati. (2011). lintas udara dan faktor- dicerminkan variabel dummy
Analisis Dampak faktor lainnya pada daerah secara statistik memiliki
Kebisingan Lalu Lintas sekitar Bandar Udara pengaruh yang signifikan
Udara terhadap Nilai Sultan Syarif Kasim II terhadap nilai rumah. Hal ini
Rumah. (Studi Pada Pekanbaru terhadap nilai karena kebisingan dapat
Kawasan di Sekitar rumah tinggal, dengan mengganggu kesehatan, dan
Bandar Udara Sultan metode kuantitatif survey mengurangi kenyamanan yang
Syarif Kasim II regresi linier berganda. berarti mengurangi manfaat
Pekanbaru) yang diterima penghuninya,
dengan demikian maka akan
mengurangi nilai rumah.

3 Endah Saptutyningsih Penelitian ini bertujuan Sebanyak enam kecamatan di

21
dan Agus Tri Basuki. mengidentifikasi daerah Kota Yogyakarta dan satu
(2012). Hedonic polusi udara tertinggi dan kecamatan di Gunungkidul
Valuation of Marginal untuk memperkirakan memiliki konsentrasi tertinggi
Willingness to Pay for kesediaan marginal rumah partikel polusi PM10).
Air Quality tangga untuk membayar Sementara itu, dengan metode
Improvement. untuk perbaikan kualitas harga hedonik yang mengadopsi
udara, dengan regresi linier prosedur dua tahap, paper ini
berganda. menyimpulkan bahwa setiap
peningkatan PM10 sebesar 1%
akan menurunkan harga properti
di

daerah penelitian sebesar 0.32


persen. Harga implisit marjinal
untuk mengurangi PM10 adalah
Rp 957,900. Rumah tangga
bersedia membayar tambahan
1,34 persen untuk pengurangan
PM10 sebesar 1%.

Sumber: Berbagai sumber, data diolah, 2017.

Berdasarkan pada tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat tiga contoh


penelitian terdahulu mengenai metode analisis harga hedonik untuk melihat nilai
properti. Mengenai ringkasan hasil dan pembahasan pada penelitian tersebut dapat
ditunjukkan sebagai berikut:

a. Penelitian Endah Saptutyningsih dan Ahmad Maruf (2015)

Pada penelitian pertama yang berjudul Measuring the Impact of Urban Air
Pollution Hedonic Price Analysis and Health Production Fuction (Case Study:
Yogyakarta City), Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya
hubungan antara kualitas udara dan nilai properti di provinsi Yogyakarta. Dengan
memetakan daerah yang memiliki konsentrasi O3 tertinggi, maka diperkirakan nilai
hedonis dari properti di wilayah tersebut, sehingga dapat ditunjukkan kaitan antara
kualitas udara dan nilai properti.

Dalam spesifikasi model, disertakan beberapa variasi variabel seperti struktur


rumah, karakteristik lingkungan, faktor lingkungan dan sosioekonomi sebagai faktor
penentu kesediaan konsumen untuk membayar peningkatan kualitas udara. Pada
penelitian ini menghipotesiskan bahwa variabel lingkungan, tingkat polusi O3
berhubungan negatif dengan nilai properti. Sedangkan ukuran tanah dan
bangunan, dan jarak dari jalan utama secara positif terkait dengan nilai properti.
Sementara jarak dari pusat kota berhubungan negatif dengan nilai properti. Dengan
menerapkan prosedur estimasi dua tahap untuk memperkirakan hubungan, maka

22
dapat disimpulkan bahwa rata-rata peningkatan konsentrasi polusi O3 mengurangi
harga rumah di lokasi studi sebesar 0,063 persen. Sementara kenaikan rata-rata
konsentrasi CO menurunkan harga rumah di lokasi studi sebesar 1.071 persen.

Hasil penelitian mengestimasi bahwa harga marjinal implisit untuk mengurangi


konsentrasi O3 adalah sebesar Rp 9 juta. Kemudian, pada hasil estimasi
selanjutnya menunjukkan bahwa rumah tangga bersedia membayar tambahan 1,07
persen untuk pengurangan konsentrasi O3. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan positif antara kualitas udara dan harga properti di Yogyakarta
(terutama di daerah dengan tingkat tertinggi konsentrasi O3).

Pemerintah daerah dapat menggunakan valuasi ekonomi sebagai acuan dalam


mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang terkait dengan lingkungan.
Dukungan pemerintah dan sektor swasta diperlukan untuk memperbaiki kualitas
lingkungan. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menghitung surplus konsumen
berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh. Penelitian ini juga diharapkan
dapat mendorong peneliti lain untuk melakukan studi serupa di daerah perkotaan
lain yang mengalami masalah polusi udara.

b. Penelitian M. Syarif Hidayatullah Ritonga dan Wahyu Hidayati (2011)

Pada penelitian kedua ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebisingan


lalu lintas udara di sekitar bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru terhadap nilai
hunian, dan untuk menganalisis variabel lain diluar kebisingan yang mempengaruhi
nilai rumah di daerah sekitar bandara. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah luas bangunan, luas lahan, jumlah kamar tidur, jumlah kamar mandi, jarak
dari rumah ke CBD, dari rumah ke bandara, struktur bangunan dan kebisingan.

Khsusnya, pada variabel dummy kebisingan berpengaruh negatif dan


signifikan secara statistik terhadap nilai rumah. Artinya, kebisingan mengurangi
kenyamanan yang berarti mengurangi manfaat yang dapat diterima penghuninya,
maka nilai rumah akan berkurang. Secara statistik signifikan, dengan kata lain
bahwa rumah yang berada pada lokasi kebisingan akan turun nilainya sebesar
-0,288004 atau 28,80 persen jika dibandingkan dengan rumah yang berada pada
kawasan tidak bising pada kondisi yang sebanding (hal lain dianggap relatif sama).
Jika dilihat dari segi antar kawasan kebisingan, yaitu antara kebisingan 1, 2 dan 3
maka akan terlihat jelas bahwa kawasan kebisingan sangat mempengaruhi nilai
rumah.

23
Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa rumah A yang berada pada kawasan
kebisingan tingkat 1 dan rumah B yang berada pada kawasan kebisingan tingkat 2
(hal lain dianggap relatif sama) terdapat perbedaan sebesar 13,69 persen. Adapun
rumah A yang terletak pada kawasan kebisingan tingkat 2 dan rumah B terletak
pada kawasan kebisingan tingkat 3 terdepat perbedaan sebesar 18,95 persen
dalam kondisi sebanding (hal lain dianggap relatif sama). Sementara itu rumah A
yang terletak pada kawasan kebisingan tingkat 1 dan rumah B terletak pada
kawasan kebisingan tingkat 3 memiliki perbedaan sebesar 28,41 persen dalam
kondisi sebanding (hal lain dianggap relatif sama). Dari hasil wawancara dengan
beberapa pemilik rumah di kawasan kebisingan, diperoleh informasi bahwa tidak
mudah untuk menjual rumah di kawasan kebisingan tersebut. Hasil penelitian ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Cohen dan Coughlin pada tahun 2006
yang meneliti tentang hubungan spatial, kebisingan serta jarak dan harga rumah di
Atalanta dan lima kota lain (College Park, Conley, East Point, Forest Park, dan
Hapeville) didapatkan hasil penelitian bahwa apa bila dua properti memiliki
karekteristik yang relatif sama, namun terletak di kawasan yang berbeda memiliki
perbedaan nilai sekitar 10 persen hingga 20 persen. Penelitian ini juga mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Nelson pada tahun 2004 di 23 bandara di Canada
dan Amerika Serikat.
Adapun variabel bebas lain yang digunakan merupakan variabel kontrol, pada
taraf nyata 5 persen, mempengaruhi nilai rumah secara signifikan.
a) Luas bangunan berpengaruh positif terhadap nilai rumah. Semakin luas
bangunan (rumah), maka nilai rumah semakin tinggi (ceteris paribus).
b) Luas tanah berpengaruh positif terhadap nilai rumah. Semakin luas tanah
digunakan, maka nilai nya semakin tinggi pula (ceteris paribus).
c) Jumlah kamar mandi berpengaruh positif terhadap nilai rumah. Semakin
banyak jumlah kamar mandi maka nilai nya semakin tinggi (ceteris
paribus).
d) Jarak rumah terhadap CBD berpengaruh negatif terhadap nilai rumah.
Semakin dekat jarak rumah terhadap CBD, nilai rumah akan semakin tinggi
(ceteris paribus).
e) Struktur bangunan yang merupakan variabel dummy berpengaruh positif
terhadap nilai rumah. Hal ini terkait dengan perbedaan biaya yang
dikeluarkan untuk membangun bangunan bertingkat dan tidak bertingkat
(ceteris paribus).

24
c. Penelitian Endah Saptutyningsih dan Agus Tri Basuki (2012)

Pada penelitian yang ketiga ini bertujuan untuk menjalin hubungan antara
kualitas udara dan nilai residensial di Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan memetakan daerah yang memiliki konsentrasi PM10 lebih tinggi lebih awal
dan memperkirakan nilai properti hedonis di daerah tersebut, maka dapat diketahui
bagaimana hubungan antara kualitas udara dan nilai properti hunian.

Pada penelitian ini menggabungkan sejumlah variabel struktural, lingkungan,


lingkungan dan sosioekonomi sebagai penentu kesediaan konsumen untuk
membayar penurunan kualitas udara. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa
variabel lingkungan utama yakni, PM10 berbanding terbalik dengan nilai properti
residensial. Kemudian, pada variabel independen lain yakni, adanya taman, jarak
dari mainstreet (jalan utama), jarak dari supermarket, area plot, dan luas bangunan
berhubungan positif dengan harga properti, namun pada variabel jarak dari rumah
sakit dan jarak dari restoran berhubungan negatif.

Sementara itu, dengan metode harga hedonik yang mengadopsi prosedur dua
tahap, paper ini menyimpulkan bahwa setiap peningkatan PM10 sebesar 1% akan
menurunkan harga properti di daerah penelitian sebesar 0.32 persen. Harga implisit
marjinal untuk mengurangi PM10 adalah Rp 957,900. Rumah tangga bersedia
membayar tambahan 1,34 persen untuk pengurangan PM10 sebesar 1%.

2. Penilaian Risiko Kesehatan yang Berasal dari Paparan Bahaya Lingkungan


Kerja (Metode Harga Hedonik Perbedaan Upah dengan Pendugaan Risiko)

Cara lain selain dengan melihat nilai harga tanah dan properti, metode harga
hedonik juga dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi terhadap
perubahan kondisi kesehatan manusia, seperti angka kematian (kematian dini) dan
morbiditas (penyakit) dimana terutama terkait dengan pilihan pekerjaan. Pada
bagian ini, kemauan untuk membayar (Willingness to Pay) didapat dari data yang
tersedia mengenai pengeluaran medis dan pendapatan atau upah.

Polusi sering dianggap sebagai faktor lingkungan yang menghadapkan


manusia pada beberapa tingkat risiko kesehatan. Misalnya, pencemaran air tanah
yang disebabkan oleh pembuangan limbah beracun di tempat sampah yang tidak
diolah dengan benar terlebih dahulu, sehingga dapat menjadi bahaya yang serius
bagi kesehatan manusia. Bahaya kesehatan ini, dari waktu ke waktu dapat

25
menyebabkan penyakit dan dapat pula berujung pada kematian. Hasil serupa juga
dapat terjadi pada paparan terhadap bahan kimia beracun, karsinogen, atau
bahaya lingkungan lainnya di tempat kerja. Penting untuk diketahui bahwa dalam
bahasan ini dampak lingkungan yang berakibat pada peningkatan angka kematian
dan penyakit akan diukur secara moneter atau secara statistik. Secara tidak
langsung pengukuran ini akan melihat seberapa besar nilai kehidupan manusia
(penyakit, penurunan angka harapan hidup) sehingga ada anggapan bahwa pada
hakikatya hidup manusia itu tak ternilai harganya. Maka dari itu, penilaian secara
moneter tetap saja berujung pada pengurangan kesejahteraan manusia walaupun
penurunan angka harapan hidupnya terbilang relatif kecil.

Pada bahasan ini lebih mengedepankan pengukuran manfaat dan


menghindari kerusakan lingkungan dengan melihat willingness to pay individu.
Dengan demikian, yang diukur bukan mengenai nilai kehidupan dan nilai dari
penyakit yang diderita, melainkan preferensi masyarakat akan risiko kesehatan
terkait berapa banyak kerusakan yang ingin mereka hindari. Karena, pada
umumnya setiap kegiatan sehari-hari manusia tidak luput dari risiko kesehatan.

a) Harga Hedonik dari Risiko Penyakit (Morbiditas)

Penerapan pendekatan harga hedonik pada risiko morbiditas (risioko terserang


penyakit) yang terkait dengan bahaya lingkungan kerja, dapat diasumsikan
diperhitungkan dalam upah yang dibayar oleh pekerjaan yang berbeda. Artinya,
pekerjaan yang dikaitkan dengan risiko kesehatan lebih tinggi dari rata-rata, seperti
perkerjaan pada perusahaan pertambangan yang cenderung membayar premi
risiko dalam bentuk upah lebih tinggi. Perbedaan risiko upah semacam itu dapat
digunakan untuk mengukur perubahan morbiditas akibat pencemaran lingkungan.
Sebagai contoh, diasumsikan bahwa tingkat upah rata-rata penambang batubara
adalah $ 15 per jam, sedangkan upah rata-rata pekerja kerah biru di sektor
manufaktur hanya $ 10 per jam. Premi upah $ 5 yang ditawarkan di industri
pertambangan dapat digunakan sebagai ukuran risiko kesehatan yang relatif lebih
tinggi daripada bekerja di perkantoran. Dengan kata lain, perbedaan upah sebagai
kompensasi dari perusahaan, yakni sebesar $ 5, diperkirakan cukup untuk menarik
perhatian pekerja untuk menerima pekerjaan yang kurang diinginkan atau lebih
berbahaya misalnya seperti pekerja penambangan daripada pekerja di perkantoran
yang memiliki risiko lebih kecil dari risiko kecelakaan kerja.

26
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pekerja memiliki kebebasan memilih di
antara pekerjaan alternatif yang ada. Masalah yang dipertaruhkan adalah seberapa
baik perbedaan upah kompensasi dapat digunakan sebagai ukuran preferensi
untuk mengurangi risiko kematian dan penyakit. Seperti halnya metode harga
hedonik dalam melihat hubungan antara nilai perumahan dengan, aspek kualitas
lingkungan, terdapat pula metode statistik yang digunakan untuk membangun
hubungan fungsional antara tingkat kompensasi pekerja dan risiko lingkungan.
Pada bagian ini, variabel dependen adalah tingkat upah untuk kategori pekerjaan
sejenis dan variabel independennya adalah atribut risiko, seperti tingkat paparan
risiko kesehatan yang berbeda dari adanya bahaya/gangguan dari lingkungan. Hal
utama di sini adalah melihat secara statistik dari semua perbedaan antara katagori
pekerjaan dalam hal perbedaan tingkat upah dan perbedaan tingkat keselamatan
kerja. Jadi, fungsi harga upah hedonik yang secara statistik diolah sehingga dapat
menunjukkan berapa banyak kompensasi dan kebutuhan pekerja dalam menerima
lebih banyak risiko lingkungan.

b) Harga Hedonik Premature Mortality (Kematian Dini)

Selain mengenai melihat harga hedonik dari segi risiko paparan penyakit dari
lingkungan, ada pula cara lain dalam melakukan penilaian harga hedonik yang
dapat dianalisis dengan melihat evaluasi ekonomi premature mortality (kematian
dini). Di sini, nilai ekonomis secara pendiskontoan nlai sekarang (terkait dengan
bunga) dapat dilihat dari hilangnya produktivitas tenaga kerja masyarakat
(kehilangan pendapatan riil) sebagai akibat kematian dini seseorang yang
disebabkan oleh hubungan yang berkaitan dengan polusi. Pendekatan penilaian
khusus yang digunakan dalam kasus ini bergantung pada perhitungan nilai
diskonto mengenai pendapatan masa depan yang hilang karena angka kematian
dini.

Contoh mengenai cara ini, seperti halnya pada studi empiris yang dilakukan
oleh Peterson (1977). Studi ini membahas perkiraan biaya sosial dari pembuangan
limbah tailing (limbah batuan nonmagnetik/limbah tanah sisa pertambangan) oleh
perusahaan Reserve Mining Corporation ke Danau Superior (danau air tawar di
Amerika Utara yang terbesar di dunia). Tailing tersebut mengontaminasi air danau
yang mengandung serat-serat bahan asbes (asbestos), yang diketahui sebagai zat
karsinogen (zat penyebab kanker). Peristiwa inilah yang menyebabkan warga di
North Shore (Amerika Utara) berpotensi terkena risiko kesehatan yang serius

27
karena masyarakat tersebut mengambil dan menggunkan air dari danau tersebut.
Diestimasi bahwa kontaminasi air danau akan meningkatkan jumlah kematian
tahunan rata-rata di wilayah North Shore sebesar 274 jiwa per tahun selama hingga
25 tahun kedepan yang berasal dari pabrik tersebut. Selain itu juga ditemukan
bahwa usia rata-rata kematian korban di North Shore akan berusia 54 tahun, atau
12,8 tahun lebih rendah dari rata-rata harapan hidup seorang pria di Amerika
Serikat, yaitu 66,8 tahun.

Selain itu, biaya sosial yang disebabkan oleh masing-masing kematian dini
individu yang dihitung dengan memperkirakan nilai sekarang dari produktivitas
masyarakat yang hilang dari setiap korban yang terdampak. Hasil kerugiannya
diperkirakan sebesar $ 38.849 (berdasarkan harga tahun 1975) per korban.
Kemudian, mengingat adanya proyeksi sebanyak 274 kematian per tahun, total
biaya sosial yang dikenakan ke masyarakat North Shore oleh pencemaran yang
terjadi diperkirakan mencapai $ 10.644.626.

Dengan demikian, penting untuk diketahui bahwa perkiraan $ 38.849 tidak


cukup mengkompensasi nilai dari tambahan waktu hidup sebesar 12,8 tahun
kepada individu. Hal tersebut dikarenakan bahwa bagi setiap individu, kehidupan
atau umur manusia, walaupun betapapun pendeknya tambahan umur untuk hidup,
tentunya tambahan umur tersebut tak ternilai harganya. Oleh karena itu, ukuran
perkiraan di atas adalah nilai ekonomi dari kehidupan secara statistik semata
selama 12,8 tahun dan tidak ada yang lain. Dengan demikian, dari perspektif
masyarakat pada umumnya, individu yang mana dalam hal ini, tidak lebih dari
entitas yang distatistikkan.

Metode penilaian di atas telah digunakan sebagai dasar kompensasi aktual


untuk korban kecelakaan kerja. Sebenarnya, peristiwa yang terjadi di Amerika
Utara tersebut adalah salah satu isu utama yang pernah diperdebatkan dalam
diskusi antara pemerintah Amerika Serikat dan para pengacara yang mewakili
keluarga korban tewas 11 September di New York City. Namun pada kenyataannya,
ada banyak ketidaksesuaian/ketidaknyamanan dalam menggunakan pendekatan
harga hedonik ini, terutama karena pertimbangan ekuitas.

Mengukur nilai ekonomi dari perubahan morbiditas dan mortalitas jauh lebih
banyak terlibat. Sebelum memulai proses valuasi ekonomi, perlu dibuat
pemahaman yang jelas tentang berbagai cara di mana polutan tertentu yang dapat

28
mengganggu kesehatan manusia. Secara formalnya, hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan teknik yang dikenal dengan pendekatan dosis respons.
Secara umum, langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan analisis dosis
respons dengan cara mengukur emisi dan menentukan tingkat kualitas lingkungan
memperkirakan paparan manusia dan mengukur dampak terhadap kesehatan
manusia. Hal tersebut merupakan hubungan antara biologi dan ekologi yang perlu
dilihat dan dikaji secara matang sebelum memperkirakan nilai ekonomi dari
perubahan mortalitas dan morbiditas yang timbul dari pencemaran lingkungan.
Dalam beberapa situasi, analisis dosis-respons bisa dilakukan namun
membutuhkan biaya yang relatif mahal. Dengan demikian, penilaian ekonomi
terhadap angka kematian dan morbiditas dengan menggunakan pendekatan harga
hedonik bisa menjadi proses yang mahal dan cukup memakan waktu serta tenaga.

Menurut KNLH (2007), Pendekatan Harga Hedonik dikenal juga sebagai


pendekatan nilai properti (Property Value Method). Pendekatan ini merupakan
suatu teknik penilaian lingkungan berdasarkan atas perbedaan harga sewa lahan
atau harga sewa rumah. Dengan asumsi bahwa perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan kualitas lingkungan. Untuk mendapatkan harga didasarkan atas
kesanggupan orang untuk membayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan
sebagai cara untuk menduga secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya
sehlngga nllal perubahan kualitas lingkungan tersebut dapat ditentukan.

Tahapan Pelaksanaanya:

1. Responden mengetahui dengan baik tentang karakteristik properti yang


ditawarkan dan mempunyai kebebasan untuk memilih alternatif lain tanpa
ada kekuatan lain yang mernpengaruhi.

2. Responden harus merasakan kepuasan maksimum atas properti yang


dibelinya dengan kemampuan keuangan yang dimiliki (transaksi terjadi
pada kondisi equilibrium).

3. Menanyakan Willingness to Pay (WTP) responden sebagai kesatuan atas


pengaruh varia bel harga struktural (bentuk, ukuran, luas,dll) dan variabel
kualitas lingkungannya.

Contoh jurnal yang berkaitan dengan harga hedonik bahaya lingkungan kerja
(pada Risiko Premature Mortality (Kematian Dini)) Studi Kasus di Indonesia

29
Tabel Studi Terdahulu
No Nama, Tahun, dan Tujuan dan Metode Temuan
Judul

1 Paisal et. al. (2017). Untuk mengetahui Hasil analisis dekomposisi


Income Disparity disparitas pendapatan Blinder-Oaxaca bahwa terdapat
among High-Risk Job diantara katagori pekerjaan perbedaan pendapatan antara
Workers of Accross- yang berisiko tinggi pada pengemudi bus yang
Cities Across-Provinces driver bis antar kota dan disebabkan oleh tiga
Autobus Drivers in antar provinsi, dengan endowmen, yaitu fasilitas,
South Sumatera, metode analisis skala likert lingkungan, dan kompensasi.
Indonesia. 1-4 yang kemudian Ada dua faktor yang membagi
dianalisis dengan Regresi perbedaan pendapatan menjadi
Blinder-Oaxaca dua kategori, yakni nilai faktor
Decomposition. yang menyebabkan disparitas
pada 38.993 dan faktor yang
tidak dapat dijelaskan pada
2.728. Total perbedaan
pendapatan adalah - 41.159

Sumber: Hasil olah data sekunder, 2017.

1. Peneltian Paisal et. al. (2017)

Studi ini menganalisis perbedaan pendapatan diantara katagori pekerjaan yang


berisiko tinggi pada driver bis antar kota dan antar provinsi. Tingginya angka
kecelakaan lalu lintas menunjukkan bahwa pekerjaan pengemudi bus antar kota
merupakan pekerjaan berisiko tinggi. Maka, pekerjaan berisiko tinggi harus diberi
kompensasi dengan gaji tinggi pula. Dalam penelitian ini menggunakan data primer
dan data sekunder. Teknik sampling jenuh (saturated) digunakan dengan
melibatkan 71 responden, yakni supir bus antar kota di Sumatera dan 125 sopir bus
antar provinsi Sumetera dan Jawa dengan melibatkan satu variabel dependen,
yakni Pendapatan Sopir Bus (Y) dan tujuh variabel independen, yakni Kemampuan
(X1), Pengalaman (X2), Durasi Kerja (X3), Jarak (X4), Kualitas Kendaraan (X5),
Lingkungan (X6), dan Kompensasi (X7). Untuk menganalisis disparitas pendapatan
digunakan alat analisis Blinder-Oaxaca Decomposition (1973).

Hasil pengukuran dengan menggunakan metode dekomposisi Blinder-Oaxaca


menunjukkan bahwa variabel keterampilan memiliki pengaruh endowment negatif
-0,4540. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keterampilan pengemudi hanya
memberi pengaruh kecil terhadap perbedaan pendapatan. Untuk variabel
pengalaman pengemudi, ada pengaruh endowment negatif sebesar -0.1337 yang
juga menunjukkan bahwa pengalaman tersebut memberi pengaruh yang tidak
signifikan terhadap disparitas pendapatan. Variabel durasi kerja menunjukkan nilai
endowmen negatif -2.1284 yang juga menunjukkan bahwa durasi kerja

30
memberikan pengaruh kecil terhadap disparitas pendapatan. Jarak tempuh
menunjukkan pengaruh endowmen negatif sebesar -0,2112 yang menunjukkan
bahwa jarak tempuh perjalanan memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap
disparitas pendapatan.

Sedangkan kualitas kendaraan menunjukkan pengaruh endowmen positif


sebesar 0,3944 yang berarti kualitas kendaraan mempengaruhi perbedaan
pendapatan karena biaya perawatan ditanggung oleh perusahaan. Kualitas
kendaraan harus dijaga dengan baik agar penumpang bisa nyaman dan aman.
Variabel lingkungan menunjukkan pengaruh endowmen positif sebesar 0,0903
yang berarti bahwa lingkungan mempengaruhi disparitas pendapatan. Tingkat risiko
kematian yang berasal dari faktor lingkungan lingkungan juga turut menentukan
perbedaan pendapatan, karena semakin tinggi risikonya, semakin tinggi gaji yang
seharusnya diterima pengemudi. Variabel kompensasi juga menunjukkan anugerah
positif Pengaruh sebesar 0,2770 yang menunjukkan bahwa kompensasi tersebut
mempengaruhi pendapatan. Bentuk kompensasi harus dipertimbangkan dalam
menentukan gaji pengemudi.

Berdasarkan hasil metode dekomposisi Blinder-Oaxaca, faktor sub total yang


menyebabkan disparitas (endowmen) menunjukkan nilai -2.1656 dengan nilai
koefisien kausalitas sebesar - 36.2652 dan variabel yang tidak dapat dijelaskan
sebanyak -2.728. Sementara itu, disparitas penghasilannya ditemukan pada level
-38.993. Hasil pengujian juga menunjukkan adanya perbedaan pendapatan
sebesar 41.159 yang berarti bahwa persentase kesenjangan pendapatan antara
sopir bis rute Sumatera dan rute Jawa adalah 94,74%.

Berdasarkan hasil analisis data dari jurnal ini, variabel durasi kerja adalah
variabel yang memiliki pengaruh negatif lebih kuat atau dominan berpengaruh
terhadap pendapatan pengemudi untuk rute Sumatera. Sementara untuk rute
Jawa, kualitas kendaraan nampaknya merupakan variabel yang memiliki pengaruh
negatif lebih kuat atau dominan berpengaruh terhadap pendapatan lintas kota antar
kota. Analisis dekomposisi Blinder-Oaxaca secara teoritis membagi pendapatan
menjadi dua jenis, yang pertama adalah perbedaan pendapatan yang disebabkan
oleh perbedaan endowment dan yang kedua adalah perbedaan pendapatan yang
disebabkan oleh faktor atau variabel lain yang tidak dapat dijelaskan yang tidak
dibahas dalam penelitian ini. Dari tujuh variabel tersebut, ada tiga variabel yang
menunjukkan efek endowment positif yaitu kualitas kendaraan, lingkungan, dan

31
kompensasi yang berarti bahwa pengemudi bus rute Sumatera cenderung memiliki
endowment yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute di Jawa. Dengan demikian,
ketiga variabel tersebut menentukan kesenjangan perbedaan pendapatan sopir
bus.

2.3 Kritikan pada Metode Valuasi Ekonomi terhadap Valuasi Lingkungan

Pada bagian sebelumnya, telah dibahas mengenai beberapa kelemahan pada


masing-masing metode yang digunakan ekonom untuk menilai manfaat proyek
perbaikan kualitas lingkungan. Bagian ini akan membahas empat kritikan utama
mengenai pendekatan neoklasik dalam menilai lingkungan. Hal tersebut dapat
ditunjukkan sebagai berikut ini:

1. Nilai dari manfaat perbaikan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan dan
dilihat dari sisi nilai moneter saja, karena kita seharusnya tidak menyangkal
adanya nilai tak berwujud tertentu dari lingkungan alam yang berada di luar
aspek ekonomi (moneter). Aspek tak berwujud tersebut tidak terukur dan hanya
bersifat non ekonomi. Aspek tersebut seperti peningkatan kualitas hidup,
perlindungan spesies dan ekosistem yang terancam punah, pelestarian situs
bersejarah atau bersejarah,dan sifat estetika

2. Adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi sehingga membuat pengukuran nilai


total valuasi ekonomi melenceng dari yang dimaksudkan.

3. Adanya ketidaksinkronan antara kemauan untuk membayar (willingness to pay)


dengan nilai ekonomi sebenarnya. Hal ini dikarenakan karena preferensi orang
terhadap jenis sumber daya cenderung mencakup aspek perasaan manusia
yang tidak murni dari aspek ekonomi/pasar. Perasaan yang timbul ini mungkin
didasarkan pada pertimbangan estetika, budaya, etis, moral, dan politis.

4. Adanya kemungkinan aspek ekologis dan lingkungan yang tidak dapat


dijangkau di dalam suatu pendekatan valuasi ekonomi, sehingga terdapat
potensi kegagalan dalam memperhitungkan faktor ekologis tertentu.

2.4 Pandangan Islam Mengenai Valuasi Ekonomi

Sumber daya alam dan lingkungan apabila dipelihara dengan baik akan
memberikan aliran manfaat yang bernilai sepanjang waktu. Rusaknya sumber daya

32
alam dan lingkungan karena kerusakan/pencemaran akan mengurangi aliran
manfaat yang dapat diberikan lingkungan itu sendiri. Kurangnya nilai sumber daya
alam dan lingkungan adalah karena kemampuannya untuk memberikan jasa
kepada manusia maupun kepada lingkungan itu sendiri juga berkurang atau
mengalami degradasi.

Penghitungan biaya kerusakan melalui valuasi ekonomi menggunakan


anggapan bahwa sumber daya alam dan lingkungan memberikan pelayanan atau
jasa yang secara langsung maupun tidak langsung diberi nilai oleh manusia.
Sedangkan valuasi kerusakan melalui biaya rehabilitasi juga melibatkan manusia
dan ditentukan oleh cara rehabilitasi itu yang dipilih untuk dilaksanakan. Tentulah
dapat diperkirakan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membuat
masyarakat tidak lebih buruk keadaannya dibanding dengan keadaan sebelum
terjadi kerusakan atau pencemaran.Tetapi dapat juga sumber daya alam yang
rusak dikembalikan seperti keadaan semula walaupun tidak dimanfaatkan langsung
oleh manusia. Dalam hal ini sumber daya alam dan lingkungan memiliki nilai
intrinsik.

Walaupun metode valuasi ekonomi yang telah dikembangkan oleh kaum


neoklasik ini hanya melihat beragam fenomena alam dari segi moneter saja, namun
sampai dengan saat inilah satu-satunya cara dalam melihat seberapa besar tingkat
perbaikan lingkungan yang telah dilakukan dan sudah terbukti akan keberhasilanya
dalam mengantisipasi kemungkinan adanya kerusakan lingkungan, sehingga
manusia bisa lebih berhati-hati dengan memerhatikan rambu-rambu kebolehan
dalam memanfaatkan alam. Dari sini menjadi penting bahwa valuasi ekonomi akan
memberikan penilaian terhadap lingkungan alam terkait sejauh mana lingkungan
dapat memberikan manfaat kepada manusia dan sejauhmana lingkungan justru
dapat menjadi sumber kerusakan akibat ulah manusia yang semena-mena
terhadap alam. Maka dari itu, dengan adanya pendekatan maupun teknik valuasi
ekonomi akan lebih mudah memperkirakan sebesar apakah kerusakan yang telah
ditimbulkan oleh manusia dan sebesara besarkan nilai moneter yang dibitihkan
untuk melakukan perbaikan lingkungan serta berapa besarkah biaya untuk
menghindari segala risiko/gangguan dari lingkungan. Disinilah peran manusia
menjadi dominan dan sebagai penentu arah kelestarian dan keberlanjutan
lingkungan alam.

33
Jika melihat beragam fenomena bencana alam seperti halnya yang sering
terjadi Indoenesia, yakni bencana banjir dan longsor seperti sudah menjadi rutinitas
tiap tahun ketika musim hujan tiba maka sering terjadi bencana alam yang melanda
di sebagian besar wilayah negara ini. Hal tersebut menimbulkan keresahan dan
kepanikan yang luar biasa. Begitu pentingnya masalah ini, sampai-sampai
pemerintah kita membentuk lembaga khusus beserta menterinya untuk mengurusi
maaslah lingkungan ini. Namun sampai sekarang pemerintah daerah maupun
pusat belum mampu memberikan solusi yang dapat mengatasi bencana tersebut.
Sementara ini yang dilakukan pemerintah hanya menghimbau masyarakat agar
waspada terhadap bencana banjir dan longsong yang sewaktu-waktu dapat
menimpa mereka dan memberikan bantuan yang sifatnya sementara bagi korban
bencana alam tersebut.

Pada klimaksnya ketika alam sudah marah, siapakah yang salah? alamkah
atau manusia yang terlalu serakah? Sebagian masyarakat menyalahkan alam yang
dianggap sudah tidak lagi bersahabat. Padahal kalau kita pikir jernih, kejadian itu
tidak lepas dari ulah tangan manusia yang tidak peduli lagi dengan keserasian alam
yang diciptakan oleh Tuhan. Untuk memenuhi ambisinya, manusia dengan
serakahnya menggunduli hutan, mengganti areal pertanian dengan areal
pemukiman dan lain lain sehingga alam tidak dapat lagi kita saksikan seperti
sediakala.

Dari sinilah pentingnya mengkaji permasalahan lingkungan dari berbagai


aspeknya. Salah satu aspek yang dapat dijadikan dasar untuk melihat
permasalahan lingkungan adalah aspek agama. Aspek agama menjadi penting,
mengingat agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Islam
sebagai agama yang bersumber dari wahyu Allah memberikan beberapa petunjuk
penting tentang berbagai peristiwa alam termasuk dalam hal ini adalah bencana
alam dan masalah lingkungan. Allah menciptakan alam semesta ini dengan rapi
dan sistematik dan manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan
memakmurkannya. Tiga konsep dasar islam (aqidah, syariah, ahlak) memberikan
petunjuk jelas tentang pemeliharaan lingkungan.

Menurut Qardhawi (1997, dalam Masruri, 2014), pendidikan lingkungan juga


telah diajarkan oleh Rosulullah kepada para sahabatnya. Abu Darda ra pernah
menjelaskan bahwa ditempat belajar yang diasuh oleh Rosulullah telah diajarkan
tentang pentingnya bercocok tanam dan menanam pepohonan serta pentingnya

34
mengubah tanah tandus menjadi kebun yang subur. Perbuatan tersebut akan
mendatangkan pahala yang besar disisi Allah SWT dan bekerja untuk
memakmurkan bumi adalah termasuk ibadah kepada Allah SWT. Pendidikan
lingkungan yang diajarkan oleh Rosulallah berdasarkan wahyu, sehingga banyak
kita temui ayat-ayat Al-Quran dan As-Sunnah yang membahas tentang lingkungan.

Pesan-pesan Al-Quran mengenai lingkungan sangat jelas dan juga pada As-
Sunnah yakni Hadist Rasulullah SAW. Disini fungsi Al-Quran adalah meletakkan
dasar dan prinsipnya secara global, sedangkan As-Sunnah berfungsi menerangkan
dan menjelaskan dalam bentuk hukum-hukum, pengarahan pada hal-hal tertentu
dan berbagai penjelasan yang lebih rinci, sehingga peran dari kedua sumber
hukum ini akan saling melengkapi.

1. Pentingnya Valuasi Ekonomi Berdasarkan Ayat dalam al- Quran

Dalam melaksanakan fungsi perintah dan larangan dalam al-Quran, faktor


sumber daya manusia menjadi memiliki peran yang vital dalam menjalankan segala
aktivitas terutama yang bersangkutan dengan lingkungan alam. Manusia diangkat
Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan yang menuntut manusia untuk memelihara,
membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan
penciptaannya. Dengan kedudukannya itu manusia diberi tanggung jawab, yaitu
diserahi bumi dengan segala isinya dan tidak boleh diabaikan pula usaha untuk
melestarikannya, artinya hendaklah dijaga keseimbangan ekologi dan hindari
pencemaran serta diupayakan agar digunakan sehemat mungkin. Sebagai khalifah
di muka bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan diperintah
berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan, bahwasanya Allah SWT
berfirman dalam QS. Al- Qashash ayat 77:

35
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Oleh karena itulah, manusia memiliki peranan yang sangat penting dalam
rangka pemeliharaan lingkungan. Sebagai konsekuensi ditundukkannya segala
elemen lingkungan kepada manusia, maka selanjutnya manusia dituntut untuk
berinteraksi dengan lingkungan secara baik sesuai dengan hukum-hukum yang
sudah digariskan oleh Allah Swt., melaksanakan serta memelihara pemberlakuan
hukum-hukum tersebut dalam aplikasi nyata. Peranan manusa ini dikategorikan
sebagai tujuan-tujuan yang sangat mulia di tengah-tengah kehidupan manusia,
yang dalam bahasa al-Raghib al-Asfahani (dalam al-Qardlawi, 2002) merupakan
hikmah Allah kepada para mukallafin (para Muslim dewasa) yang pada akhirnya
dibagi menjadi tiga tujuan, yaitu: 1) untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah Swt.
(QS. al-Dzariyat (51): 56), 2) sebagai wakil Allah di muka bumi (QS. Shad (38): 26),
dan 3) membangun peradaban di muka bumi (QS. Hud (11): 61).

Akhlak Islam (sikap dan perilaku mulia) juga berhubungan erat dengan
lingkungan dan pemeliharaannya, sebab akhlak terhadap lingkungan merupakan
bagian dari ruang lingkup akhlak yang harus dipenuhi untuk kesempurnaan akhlak
manusia. Akhlak merupakan bagian pokok dari agama Islam di samping akidah dan
syariah. Karena itu, pemeliharaan terhadap lingkungan juga merupakan bagian
penting dari ajaran Islam. Salah satu haditsnya, Nabi SAW bersabda bahwa Allah
telah mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu (HR. Muslim).

Menurut Marzuki (2012), Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik


terhadap lingkungan dengan menumbuhkan rasa cinta kepada sekeliling kita yang
terdiri dari makhluk hidup dan makhluk mati. Makhluk hidup, mulai dari hewan-
hewan melata sampai burung-burung harus dilihat sebagai layaknya makhluk hidup
seperti kita (QS. al-Anam (6): 38). Makhluk mati pun harus dilihat bahwa mereka
sebenarnya dalam keadaan bersujud kepada Allah Swt. (QS. al-Hajj (22): 18 dan
QS. al-Isra (17): 44). Karena itulah, berbuat baik kepada lingkungan merupakan
bagian dari perbuatan baik kita. Kita memberi kesempatan semua makhluk
(lingkungan) untuk melaksanakan tugas bersujud kepada Allah sebagaimana kita.
Kita tidak boleh merusak lingkungan, karena Allah tidak menyukai orang-orang

36
yang berbuat kerusakan. Seorang Muslim juga harus melihat alam sekitar ini
sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah.
Menurut Tulaeka (2011), Islam mengajarkan bahwa masalah lingkungan timbul
disebabkan karena tidak adanya keseimbangan antara manusia dan sumber-
sumber daya alam ekosistem tempat hidup manusia merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari unsur-unsur sumber daya yang lain. Karena itu kelangsungan
hidup manusia tergantung dari kelestarian ekosistemnya. Apabila keseimbangan
lingkungan tersebut terganggu dan tidak diantisipasi serta dikembalikan sedini
mungkin, maka lingkungan hidup manusia akan bertambah rusak dan binasa.
Kelebihan dan keistimewaan manusia itu menempatkannya sebagai makhluk yang
terhormat dan memperoleh martabat yang tinggi. Dengan martabat yang demikian
tinggi itu, maka manusia dijadikan khalifah atau wakil Tuhan di bumi. Firman Allah
SWT dalamm QS. Al-Anam ayat 165:

Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.

Menurut tafsir Quraish Shihab bahwasanya Allahlah yang menjadikan kalian


sebagai pengganti umat-umat yang lalu dalam mengembangkan alam. Dia
meninggikan derajat kesempurnaan materi dan maknawi sebagian kalian di atas
yang lain, karena menempuh sebab-sebabnya? Itu semua agar Dia menguji kalian
atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, apakah kalian bersyukur atau tidak. Juga
atas hukum-hukum syariat, apakah kalian laksanakan atau tidak. Allah Mahacepat
hukumannya terhadap orang-orang yang melanggar. Sebab, hukuman-Nya pasti
akan datang. Segala yang akan datang adalah dekat. Sesungguhnya ampunan-
Nya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang bertobat dan
berbuat baik sangat besar. Kasih sayang-Nya kepada mereka amat luas.

Konsep valuasi ekonomi sejatinya adalah bertujuan untuk mengukur nilai suatu
lingkungan agar dapat dipertimbangkan mengenai langkah-langkah perbaikan

37
lingkungan dan menghindari kerusakan. Hal tersebut sebagaimana dalam QS.
Huud ayat 61 bahwasanya Allah Swt. berfirman:

Artinya: Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain
Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-
Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya)".

Selain itu, urgensi dari menghindari adanya kerusakan di muka bumi juga telah
diperingatkan oleh Allah Swt dalam al-Quran. Dalam memanfaatkan dan
memakmurkan bumi ini, Allah melarang manusia berbuat kerusuhan, karena
kerusakan alam itu akan mengakibatkan kerusakan pula bagi manusia. Allah
menjelaskan dalam firman-Nya dalam QS. Ar-Rum ayat 41:

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Menurut Masruri (2014), ayat diatas menjelaskan bahwa kerusakan yang kitaa
rasakan saat ini baik di darat maupun di laut merupakan akibat dari kegiatan,
aktivitas atau kebijakan manusia yang tidak mengindahkan pada keberlangsungan
kehidupan. Zuhdi (2012) menambahkan bahwa sesuai dengan teks ayat,
kerusakan lingkungan hidup di bumi akan terjadi akibat ulah manusia sendiri.
Bencana ini merupakan siksaan dan peringatan Allah agar manusia kembali
kepada perintah-Nya. Artinya, secara ekologis manusia harus kembali pada metode
al-Quran dalam mengeksploitasi kekayaan alamnya. Jika ayat diatas dihubungkan
dengan QS al-Qashash ayat 77, menurut Tulaeka (2011) dalam konteks nikmat
Allah atas segala sesuatu di alam untuk manusia, memelihara kelestarian alam ini
untuk manusia, memelihara kelestarian alam merupakan upaya untuk menjaga

38
limpahan nikmat Allah secara berkesinambungan. Sebaliknya membuat kerusakan
di muka bumi, akan mengakibatkan timbulnya bencana terhadap manusia.

2. Pentingnya Valuasi Ekonomi Perspektif Hadits

Dari perspektif hadits sendiri juga menekankan pentingnya menjaga etika


terhadap lingkungan. Jika etika lingkungan ini diterapkan pada diri setiap muslim,
bukan tidak mungkin lingkungan akan terjaga keberlanjutannya hingga generasi
mendatang. Konsep yang paling cocok dengan valuasi ekonomi mengenai
perspektif hadits, penulis mengambil bahasan mengenai pentingnya konservasi
alam. Prinsip konservasi ini sesuai jika dikaitkan dengan pendekatan dalam valuasi
ekonomi misalnya pada pendekatan harga pasar untuk menghindari adanya
kerusakan dimana kerusakan lingkungan hidup bisa saja terjadi jika perbaikan
lingkungan dipilih untuk tidak dilakukan. Dengan demikian, penting sekali bagi
pemerintah untuk membuat regulasi mengenai kelestarian alam secara
keberlanjutan sehingga sumber daya alam dan lingkungan tidak cepat mengalami
kerusakan ataupun ekspoitasi berlebihan.

Menurut Masruri (2014), Dalam hazanah islam dan lingkungan dikenal suatu
kawasan atau areal konservasi yang diberi nama al-harim. Harim ini merupakan
areal konservasi mata air, tanaman dan hewan yang dilindungi dan tidak boleh
diganggu oleh siapapun. Pada masa Rosulullah masih hidup, Beliau pernah
mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima guna melindungi lembah,
padang pasir rumput dan tumbuhan yang ada didalamnya. Lahan yang beliau
lindungi luasnya sekitar enam mil atau lebih di 2049 hektar.

Artinya: dari Ibn Abbas berkata: sesungguhnya Rosulullah telah menetapkan Naqi
sebagai daerah konservasi, begitu juga Umar telah menetapkan Saraf dan
Rabadah sebagai daerah konservasi. ( HR. Bukhori ).

Dalam hadis lain, Beliau juga menekankan pentingnya konservasi melalui


sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

39
Artinya: Dari Jabir berkata, Nabi bersabda: sesungguhnya Ibrahim memeklumkan
Mekkah sebagai sebagai tempat suci dan sekarang aku memaklumkan Madinah
yang terletak diantara dua lava mengalir (lembah) sebagai tempat suci. Pohon
pohonnya tidak tidak boleh dipotong dan binatang-binatangnya tidak boleh diburu
( HR. Muslim).

Bahkan Nabi juga melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena


lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestarian. Kebijakan
tersebut tidak berhenti ketika Beliau wafat namun tetap berlanjut. Ketika roda
pemerintahan islam dipimpin oleh Khulafaur Rosyidin juga melakukan hal yang
sama dengan menentukan beberapa areal tertentu yang dinyatakan sebagai areal
perlindungan dan konversi (harim) dan diumumkan kepada semua masyarakat
islam ketika itu. Oleh karena itu, hima sebagai upaya konservasi alam dalam ajaran
islam telah berumur lebih dari 1.400 tahun.

Dalam hal lainnya, pentingnya pula reboisasi akibat penggundulan hutan


secara misalnya, juga merupakan suatu bentuk meciptakan kemaslahatan yang
dilakukan oleh manusia. Ada banyak manfaat yang bisa didapat dengan adanya
reboisasi, seperti kapasitas oksigen yang semakin banyak, menjaga kestabilan
tanah, menyerap panas, sebagai habitat hewan, dan lain-lain. Hal tersebut juga
diperintahkan oleh Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim bahwasanya:

Rasulullah saw bersabda, Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau


sebuah tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang
melainkan ia akan mendapat pahala sedekah. (HR. Bukhori Muslim)

Demikian juga dalam hadits yang lain, Rasulullah saw pernah bersabda:

Artinya : Dari Anas bin Malik berkata, Rosulullah bersabda:Apabila kiamat tiba
terhadap salah seorang diantara kamu dan di tangannya ada benih tumbuhan,
makan tanamlah. (HR. Imam Ahmad)

40
Akan tetapi, di Indonesia ironisnya tingkat penebangan hutan sangat tinggi
untuk diekspor ke luar negeri. Hal ini terjadi terjadi tanpa dibarengi dengan upaya
peremajaan yang memadai. Di samping itu perluasan kota terus terjadi dengan
mencaplok tanah-tanah subur pedesaan.

Penebangan hutan tanpa dibarengi peremajaan dapat menyebabkan rusaknya


tanah perbukitan sehingga menyebabkan besarnya kemungkinan terjadi longsor.
Ditambah dengan kebakaran hutan semakin menambah tinggi tingkat kerusakan
ekologi hutan di Indonesia. Padahal keberadaan hutan sangat berguna bagi
keseimbangan hidrologik dan klimatologik termasuk sebagai tempat berlindungnya
binatang.

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat dipahami dan diyakini, bahwa
hubungan manusia dengan alam sekitarnya adalah hubungan yang terkait satu
sama lain. Alam semesta ciptaan Allah dan lingkungan tempat manusia hidup
merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia secara
keseluruhan.

BAB III

PENUTUP

41
3.1 Kesimpulan

Valuasi ekonomi manfaat lingkungan dan sumberdaya alam sangat diperlukan


bagi pengambilan kebijakan dan analisis ekonomi suatu aktivitas proyek. Dalam
valuasi dampak faktor yang perlu diperhatikan adalah determinasi dampak fisik dan
valuasi dampak dalam aspek moneter. Penilaian dampak secara moneter
didasarkan pada penilaian ahli akan dampak fisik dan keterkaitannya, karena
dampak dapat menyebabkan perubahan produktivitas maupun perubahan kualitas
lingkungan. Para ahli ekonomi telah mengembangkan metode valuasi untuk
mengukur keuntungan dari pengelolaan lingkungan terutama yang tidak
mempunyai nilai pasar, misalnya penilaian ini bisa menggunakan nilai dari pasar
pengganti.

Dalam praktek valuasi ekonomi tidak begitu mudah memisahkan antara


berbagai komponen nilai yang berbeda-beda. Dalam banyak hal akan sangat
berguna untuk menghitung nilai ekonomi total. Namun karena berbagai
keterbatasan (cukup menghitung nilai dari beberapa komponen penggunaan
sumber daya alam dan lingkungan yang dominan. Penetapan nilai ekonomi total
maupun nilai ekonomi kerusakan lingkungan digunakan pendekatan harga pasar
dan pendekatan non pasar. Pendekatan harga pasar dapat dilakukan melalui harga
pasar yang sebenarnya atau pendekatan perubahan produktivitas, pendekatan nilai
yang hilang (Foregone Earning), dan pendekatan biaya kesempatan (Opportunity
Cost). Sedangkan pendekatan harga non pasar dapat digunakan melalui
pendekatan preferensi masyarakat (non-Market method). Beberapa pendekatan
non pasar yang dapat digunakan antara lain adalah metode nilai hedonis (Hedonic
Pricing), metode biaya perjalanan (Travel Cost), dan metode kesediaan membayar
atau kesediaan menerima ganti rugi (Contingent Valuation).

Disamping tujuan dari valuasi ekonomi untuk mengukur nilai moneter dari
suatu perbaikan lingkungan, ternyata ilmu ekonomi lingkungan dari neo klasik
tersebut tak lepas dari beragam kritikan. Terdapat 4 pokok kritikan terhadap valuasi
ekonomi, yakni:

5. Nilai dari lingkungan tidak boleh hanya dilihat dari sisi moneter saja karena kita
seharusnya tidak menyangkal adanya nilai tak berwujud tertentu dari
lingkungan alam yang berada di luar aspek ekonomi (moneter). Aspek tak

42
berwujud tersebut tidak terukur dan hanya bersifat non ekonomi. Aspek
tersebut seperti peningkatan kualitas hidup, perlindungan spesies dan
ekosistem yang terancam punah, pelestarian situs bersejarah atau
bersejarah,dan sifat estetika

6. Adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi sehingga membuat pengukuran nilai


total valuasi ekonomi melenceng dari yang dimaksudkan.

7. Adanya ketidaksinkronan antara kemauan untuk membayar (willingness to pay)


dengan nilai ekonomi sebenarnya. Hal ini dikarenakan karena preferensi orang
terhadap jenis sumber daya cenderung mencakup aspek perasaan manusia
yang tidak murni dari aspek ekonomi/pasar. Perasaan yang timbul ini mungkin
didasarkan pada pertimbangan estetika, budaya, etis, moral, dan politis.

8. Adanya kemungkinan aspek ekologis dan lingkungan yang tidak dapat


dijangkau di dalam suatu pendekatan valuasi ekonomi, sehingga terdapat
potensi kegagalan dalam memperhitungkan faktor ekologis tertentu.

Valuasi ekonomi dari perspektif Islam sebenarnya lebih mengacu pada


bagaimana manusia dapat menjaga keseimbangan alam. Salah satu konsep Islam
dalam masalah pemanfaatan alam adalah hadd al-Kifayah (standar kebutuhan
yang layak) yang menjelaskan pola konsumsi manusia yang tidak boleh melebihi
satndar kebutuhan yang layak. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam, manusia
tidak boleh melebihi standar kebutuhan yang layak karena harus
mempertimbangkan aspek keberlanjutan kehidupan, kelestarian alam, dan
keseimbangan ekosistem. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan hutan dan berbagai
kandungan alam lainnya tidak dieksplorasi dan dieksploitasi secara besar-besaran
melebihi kebutuhan yang semestinya.

3.2 Saran

Berdasarkan uraian dari makalah ini, saran penulis adalah sebagai berikut ini:

1. Bagi pemerintah, sebaiknya penilaian terhadap lingkungan dengan metode


valuasi ekonomi lebih mempertimbangkan aspek lainnya terutama aspek-aspek
non ekonomi, seperti faktor keindahan dan yang terpenting adalah faktor
keberlanjutan. Karena jika memanfaatkan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
yang hanya mengacu pada nilai moneter saja, dikhawatirkan bahwa
perhitungan-perhitungan tersebut berpotensi meleset dan ada banyak faktor

43
yang tidak diperhitungkan. Pemerintah seharusnya lebih memerhatikan aspek
keberlangsungan alam daripada hanya mementingkan faktor nilai materi
semata. Karena pada hakikatnya manusia dan alam merupakan relasi yang
saling mempengaruhi, jika sampai alam menjadi rusak, maka manusia lah yang
juga terkena dampaknya.

2. Bagi masyarakat, sebaiknya masyarakat lebih meng-upgrade tingkat kesadaran


terhadap kelestarian lingkungan hidupnya. Sudah sepatutnya masyarakat ikut
berkontribusi dengan tidak melakukan kerusakan dan ikut mendukung program
pemerintah dalam rangka menjaga kestabilan alam. Hal ini dikarenakanSebagai
makhluk sosial, manuisa sudah semestinya bertindak sesuai tatanan moral
yang baik. Tanpa adanya tatanan moral, sudah dapat dibayangkan bagaimana
hubungan-hubungan tersebut akan mengalami kekacauan dan hanya akan
memberikan ketidaknyamanan dalam kehidupan umat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

44
Masruri, Ulin Niam. 2014. Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Sunnah. Jurnal
At-Taqaddum, Vol 6, No. 2, hlm 411-428.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Gramedia.

Al-Qardlawi, Yusuf. 2002. Islam Agama Ramah Lingkungan. Terj. oleh Abdullah
Hakam Shah dkk. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Tulaeka, Muhammad Wahid Nur. 2011. Teologi Lingkungan Hidup dalam Perspektif
Islam. Jurnal Progresiva, Vol. 5, No. 1, hlm 131-140.

Zuhdi, Ahmad Cholil. 2012. Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif al-Quran.
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Vol. 2, No. 2, hlm 140-162.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH). 2007. Panduan Valuasi Ekonomi


Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: KNLH.

Hussen, Ahmed M. 2004. Principles of Environmental Economics, 2nd Edition. USA:


Taylor & Francis Group.

45

Anda mungkin juga menyukai