Anda di halaman 1dari 98

1

GERAKAN DA’WAH ULAMA DAYAH (ANALISIS TERHADAP GERAKAN


DA’WAH TEUNGKU HASANOEL BASHRY)

PENULIS :

ZULFIKAR

2
GERAKAN DA’WAH ULAMA DAYAH (ANALISIS TERHADAP GERAKAN
DA’WAH TEUNGKU HASANOEL BASHRY)

CV. PENERBIT QIARA MEDIA


98 hlm: 15,5 x 23 cm
Copyright @2021
Zulfikar

ISBN: 978-623-555-102-9
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2019
Penulis:
Zulfikar

Editor: Tim Qiara Media


Layout: M Rasyid Dwi Akbar
Desainer Sampul: Afif Akbar
Gambar diperoleh dari www.google.com
Cetakan Pertama, 2021

Diterbitkan oleh:
CV. Penerbit Qiara Media - Pasuruan, JawaTimur
Email: qiaramediapartner@gmail.com
Web: qiaramedia.wordpress.com
Blog: qiaramediapartner.blogspot.com
Instagram: qiara_media

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak


sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis penerbit.

Dicetak Oleh CV. Penerbit Qiara Media


Isi di luar tanggung jawab percetakan

3
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

a. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (Satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh tahun dengan
atau denda paling banyakRp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
b. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, hidayah, dan
karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik.

Penulis berharap buku ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi para
pembacanya serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Terimakasih disampaikan
kepada orang tua dan kerabat penulis, serta semua pihak yang telah ikut membantu dalam
penyelesaian buku ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan buku baik itu dalam hal
ejaan dan tata bahasa, materi, maupun tata letak. Untuk itu, sudilah kiranya para pembaca
dapat memaklumi dan memberikan kritik serta saran yang membangun agar penulis dapat
menjadi lebih baik dalam penyusunan buku berikutnya. Semoga buku ini dapat memberi
manfaat bagi bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis

Zulfikar

5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 15
BAB II ULAMA DAN GERAKAN DA’WAH ................................................................... 25
2.1. Konsep Ulama Menurut Al-Qur’an ........................................................................... 28
2.1.1. Pengertian Ulama Menurut Al-Qur’an ............................................................... 28
2.2. Pengertian Gerakan Da’wah ..................................................................................... 33
2.2.1. Gerakan atau Harakah Da’wah .......................................................................... 33
2.2.2. Gerakan Da’wah Abul A’la Al-Maududi ........................................................... 37
2.3. Pengertian Da’wah ................................................................................................... 40
2.3.1. Da’wah .............................................................................................................. 40
BAB III GERAKAN DA’WAH TÊNGKÛ HASANOEL BASHRY ..................................... 47
3.1. Biografi Têungkū Hasanoel Bashry ....................................................................... 47
3.1.1. Latar Belakang Keluarga ................................................................................ 47
3.1.2. Riwayat Pendidikan ....................................................................................... 48
3.2. Gerakan Da’wah Têungkū Hasanoel Bashry .......................................................... 51
3.2.1. Gerakan Da’wah ............................................................................................ 51
3.2.2. Media Da’wah ............................................................................................... 54
3.2.3. Metode Da’wah ............................................................................................. 59
3.2.4. Lokasi Da’wah .............................................................................................. 62
3.2.5. Materi Da’wah................................................................................................... 62
BAB IV LANDASAN GERAKAN DA’WAH TEUNGKU HASANOEL BASHRY ............ 86
BAB V PENUTUP.............................................................................................................. 96
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... 98

6
PEDOMAN TRANSLITERASI BAHASA ARAB

1. Konsonan
Huruf Nama Huruf Nama
Arab Latin

‫ا‬ Alif - Tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba’ B Be

‫ت‬ Ta’ T Te

‫ث‬ Sa’ TH Te dan Ha

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ Ha’ H Ha (dengan titik di


bawahnya)

‫خ‬ Kha’ Kha Ka dan Ha

‫د‬ Dal D De

‫ذ‬ Zal DH Zet dan Ha

‫ر‬ Ra’ R Er

‫ز‬ Zai Z Zet

‫س‬ Sin S Es

‫ش‬ Syin SH Es da Ha

‫ص‬ Sad S Es (dengan titik di


bawahnya)

‫ض‬ Dad D D (dengan titik di


bawahnya)

‫ط‬ Ta’ T Te (dengan titik di


bawahnya)

7
‫ظ‬ Za Z Zet (dengan titik di
bawahnya)

‫ع‬ ‘Ayn ‘- Koma terbaik di atasnya

‫غ‬ Ghayn GH Ge dan Ha

‫ف‬ Fa’ F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ك‬ Kaf K Ka

‫ل‬ Lam L El

‫م‬ Mim M Em

‫ن‬ Nun N El

‫و‬ Waw W We

‫ه‬/‫ة‬ Ha’ H Ha

‫ء‬ Hamzah ’- Apostrof

‫ي‬ Ya’ Y Ye

2. Konsonan yang dilambangkan dengan W dan Y


Wad’ ‫وضع‬

‘Iwad ‫عوض‬

Dalw ‫دلو‬

Yad ‫يد‬

Hiyal ‫حيل‬

Tahī ‫طهي‬

8
3. Mād dilambangkan dengan ā, ī, ū. contoh:
Ūlȃ ‫أولى‬

Sūrah ‫صورة‬

Dhū ‫ذو‬

Imān ‫إيمان‬

Fī ‫في‬

Kitāb ‫كتاب‬

Sihāb ‫سحاب‬

Jumān ‫جمان‬

4. Diftong dilambangkan dengan aw dan ay. contoh:


Awj ‫اوج‬

Nawm ‫نوم‬

Law ‫لو‬

Aysar ‫أيسر‬

Syaykh ‫شيخ‬

‘Aynay ‫عيني‬

5. Alif ( ‫ ) ا‬dan waw (‫)و‬


Ketika digunakan sebagai tanda baca tanpa fonetik yang bermakna tidak dilambangkan.
contoh:

Fa’alū ‫فعلوا‬

Ulā’ika ‫أوالئك‬

Ūqiyah ‫اوقية‬

9
6. Penulisan alif maqsurah (‫ )ى‬yang diawali dengan baris fathah (¯) ditulis dengan ā.
contoh:
Hattā ‫حتى‬

Madā ‫مضى‬

Kubrā ‫كبرى‬

Mustafā ‫مصطفى‬

7. Penulisan alif maqsurah (‫ )ى‬yang diawali dengan baris kasrah (_) ditulis dengan ī bukan
īy. contoh:
Radī al-Dīn ‫رضي الدين‬

Al-Misrī ‫المصري‬

8. Penulisan ‫( ة‬tā’ marbūtah)


Bentuk penulisan ‫( ة‬tā’ marbūtah) terdapat dalam tiga bentuk, yaitu:

Apabila ‫( ة‬tā’ marbūtah) terdapat dalam satu kata, dilambanngkan dengan ‫( ه‬hā). contoh:

Salāh ‫صالة‬

Apabila ‫( ة‬tā’ marbūtah) terdapat dalam dua kata, yaitu sifat dan yang disifati (sifat
mawsūf), dilambangkan ‫( ه‬hā). contoh:

Al-risalah al ‫الرسالة البهية‬


bahiyah

Apabila ta’ marbutah (‫ (ة‬ditulis sebagai mudaf dan mudaf ilayh, maka mudaf
dilambangkan dengan “t”. contohnya:

Wizarat al- ‫وزارة التربية‬


Tarbiyah

10
9. Penulisan ‫( ء‬hamzah)
Penulisan ‫( ء‬hamzah) terdapat dalam bentuk, yaitu: apabila terdapat di awal kalimat
dengan “a”. contoh:

Asad ‫اسد‬

Apabila terdapat di di tengah kata dilambangkan dengan “ ’ ”. contoh:

Mas’alah ‫مسئلة‬

10. Penulisan ‫( ء‬hamzah) wasal dilambangkan dengan “a”


contoh:

Rihlat Ibn Jabir ‫رحلة ابن جبير‬

Al-istidrāk ‫االستدراك‬

Kutub iqtanat’hā ‫كتب اقتنتها‬

11. Penulisan Syaddah atau tasdid terhadap


Penulisan syaddah bagi konsonan waw (‫ )و‬dilambangkan dengan “ww” (dua huruf w).
Adapun bagi konsonan yā’ (‫ )ي‬dilambangkan dengan “yy” (dua huruf y).contoh:

Quwwah ‫قوة‬
ّ

‘Aduww ‫عدو‬

Shawal ‫شووال‬
ّ

Jaw ‫جو‬
ّ

Al-misriyyah ‫المصريّة‬

Ayyām ‫اياّم‬

11
Qusay ‫قصئ‬

Al-kashshaf ‫الكشاّف‬

12. Penulisan alif lam (‫)ال‬


Penulisan al (‫ )ال‬dilambangkan dengan “al-” baik pada al (‫ )ال‬Syamsiyyah maupun al
(‫ )ال‬Qamariyah. contoh:

Al-kitab al- thāni ‫الكتاب الثاني‬

Al-ittihād ‫اإلتحاد‬

Al-alsl ‫االصل‬

Al-āthār ‫االثار‬

Abū al-wafā ‫ابو الوفاء‬

Maktabah al-nahdah al- ‫مكتبة النهضة المصرية‬


misriyyah

Bi al-tamām wa al-kamāl ‫بالتمام والكمال‬

Abu al-Layth al-samakandī ‫ابو الليث السمر قندي‬

13. Kecuali: ketika huruf lam (‫ )ل‬berjumpa dengan huruf lam (‫ )ل‬didepannya, tanpa huruf
alif (‫)ا‬, maka ditulis “lil”. contoh:
Lil-Syarbayni ‫للشربيني‬

14. Penggunaan “’” untuk membedakan antara ‫( د‬dal) dan ‫( ت‬ta) yang beriringan dengan
huruf ‫( ه‬ha), dengan huruf ‫( ذ‬dh) dan ‫( ت‬th). contoh:
Ad’dham ‫اَدهم‬

Akramat’hā ‫اَكر متها‬

12
15. Tulisan Allah dan beberapa dan beberapa kombinasinya
Allah ‫هللاا‬

Billāh ‫باهللاا‬

Lillāh ‫هلل‬

Bismillāh ‫بسم هللاا‬

13
BAB I
PENDAHULUAN

14
BAB I PENDAHULUAN
Islam adalah agama da’wah, artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk
senantiasa aktif melakukan kegiatan da’wah, sehingga dalam Islam, aktivitas da’wah
merupakan aktivitas prioritas yang mulia dan menempati posisi yang tinggi.1 Sejarah
mencatat bahwa berkembangnya Islam sampai saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa itu
semua karena adanya aktivitas da’wah yang dilakukan oleh para juru da’wah dan para ulama,
yang dengan semangat dan keikhlasannya mengembangkan agama Islam kepada mereka
yang belum memeluk agama Islam,2 sehingga dapat dikatakan bahwa Islam dan da’wah
merupakan sebuah realitas historis, yang masih berlanjut sampai sekarang.

Da’wah merupakan sesuatu yang urgent bagi keberlangsungan agama Islam. Sebab
da’wah telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw dan setelah Nabi wafat diteruskan oleh
para sahabat, khalifah, dan akhirnya diikuti oleh para ulama yang notabenenya sebagai
pewaris Nabi. Mereka terus mensyiarkan Islam dengan ber-da’wah, sehingga Islam tersebar
ke seluruh penjuru dunia.

Maju mundurnya umat Islam bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan da’wah
yang dilakukan oleh para umat Islam itu sendiri. Artinya ketika aktivitas da’wah terus
dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, maka Islam akan menjadi kuat. Sebaliknya Islam
akan menjadi lemah ketika para umatnya tidak lagi melaksanakan aktivitas da’wah. Tidak
dapat dibayangkan apabila kegiatan da’wah mengalami kelumpuhan yang disebabkan oleh
berbagai faktor terlebih pada era globalisasi sekarang ini, di mana berbagai informasi masuk
begitu cepat dan instan yang tidak dapat dibendung lagi. Umat Islam harus dapat memilah
dan menyaring beragam informasi yang berkembang sehingga tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.

Dalam masyarakat Islam ulama merupakan kelompok masyarakat yang terhormat.


Penghormatan terhadap ulama ada kaintannya dengan ketulusan dan kemuliaan hati, karena
mereka bersedia mengajak umat untuk berbuat kebajikan. Kemuliaan itu juga karena
pekerjaannya mengajar agama kepada umat yang mengerti tentang tujuan hidupnya di dunia
dan di akhirat nanti. Dengan ilmu inilah biasanya umat mampu memuliakan arti hidupnya,
memuliakan akhlaknya dan saling menghormati serta saling memberi penghargaan terhadap

1M. Munir, Metode Dakwah, Edisi Revisi, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 5.
2Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 55.

15
orang-orang berjasa dalam hidupnya. Karena ulamalah mereka mengenal dan kemudian tahu
menyembah Allah sebagai penciptanya.3

Dalam masyarakat Islam ulama memiliki kedudukan tersendiri, karena ulama oleh
masyarakat Islam biasanya dijadikan tempat rujukan. Berbagai persoalan dalam masyarakat
ini yang dirujuk kepada ulama, tergantung kondisi masyarakat tersebut, baik tingkat
pendidikan maupun tingkat ketaatan pada agamanya.

Di Aceh dan juga di negeri-negeri muslim lainnya, ulama selalu menjadi kelompok
masyarakat yang lebih dihormati. Memang ada masa-masa menurun dan meningkat, tetapi itu
hanya karena dipengaruhi oleh situasi dan keadaan tertentu saja. Misalnya ulama itu ada
kalanya berfungsi sebagai pengajar dan pemberi nasihat tetapi juga pemberi keputusan dan
pelaksana keputusan tersebut. Ketika posisinya sebagai pelaksana keputusan, maka ulama
akan terlihat lebih berwibawa lagi, karena ulama dapat melaksanakan sesuai dengan apa yang
dikatakannya. Jika ulama melihat sesuatu maksiat maka ia sendiri yang akan
memberantasnya karena kewenangan ada pada tangan dia sendiri.4

Salah satu tugas ulama adalah menyampaikan pesan da’wah kepada seluruh
masyarakat, karena ulama adalah “waratsatul ambiyā” penyambung pesan dari Nabi
Muhammad saw. Dalam beraktivitas da’wah, tentunya terdapat perbedaan penyampaian
antara satu ulama dayah dengan ulama dayah lainnya, karena tergantung pada kualitas ilmu,
latar belakang ilmu yang dimiliki, dan metode yang dipakai dalam menyampaikan da’wah-
nya. Sebagaimana diketahui bahwa efektifitas da’wah tidak hanya dilihat dari materi dan
media yang digunakan, pemilihan metode da’wah yang tepat juga mempengaruhi
keberhasilan aktivitas da’wah ulama dayah. Metode merupakan hal yang penting dalam ber-
da’wah, karena dengan menggunakan metode yang tepat, maka da’wah akan tercapai sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh seorang da’i.

Selama ini da’wah yang disampaikan oleh ulama dayah masih sangat terbatas sekali
ruang lingkupnya, hanya kepada masyarakat tertentu saja dan belum mampu menjawab
berbagai persoalan-persoalan dalam masyarakat luas. Maka perlu dilakukan sebuah gerakan
da’wah yang bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga da’wah itu tidak
hanya bersifat khusus lagi tetapi sudah bersifat umum.

3Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Yogyakarta: Polydoor, 2009), hlm. 125.
4Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah …, hlm. 126.

16
Salah satu ulama dayah di Aceh yang masih pro-aktif dalam menjalankan gerakan
da’wah adalah Têungkū Hasanoel Bashry. Hal ini terlihat dari perbuatan dan gerakan da’wah
yang dilakukannya menjadi salah satu bukti bahwa Têungkū Hasanoel Bashry serius dalam
mengembangkan da’wah di masa sekarang dan juga masa mendatang. Gerakan da’wah yang
dilakukannya tidak hanya terfokus pada satu gerakan saja, melainkan beragam bentuk
gerakan yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan mad’u. Dari sekian banyak gerakan
da’wah tersebut, yang paling sering digunakan oleh Têungkū Hasanoel Bashry adalah
gerakan da’wah dalam bentuk pengajian, diskusi dan tanya jawab. Di samping itu, gerakan
da’wah-nya juga dengan menggunakan bermacam-macam media da’wah, baik media cetak
maupun media eletronik. Adapun sasaran da’wah-nya juga mencakup semua lini dan
kalangan masyarakat, sehingga dapat dikatakan untuk sekarang ini, Têungkū Hasanoel
Bashry merupakan salah satu ulama dayah Aceh yang berkomitmen tinggi dalam
mengembangkan aktivitas da’wah.

Mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (IAIA) yang sekarang sudah menjadi
Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah di tengah-tengah lingkungan Dayah MUDI Mesjid
Raya Samalanga yang terus berkembang dari tahun ke tahun, dapat dikatakan sebagai bukti
konkrit dari proaktif dan keseriusan Têungkū Hasanoel Bashry dalam melangsungkan
gerakan da’wah di zaman sekarang ini, sehingga alumni yang dihasilkan oleh lembaga
pendidikan tersebut bisa masuk ke dalam berbagai instansi pemerintahan dan bisa
menjalankan da’wah kepada pemerintah secara terbuka.

Di samping itu, mengagas lahirnya Majelis Pengajian dan Zikir TASTAFI (Tasawuf,
Tauhid, dan Fiqih) yang diprakarsai pembentukannya oleh Têungkū Hasanoel Bashry,
merupakan sebagai salah satu bukti lain dari gerakan da’wah yang dikembangkannya.
Terlebih lagi bahwa majelis TASTAFI sudah berbadan hukum dan sudah berkembang cepat
diaklangan masyarakat Aceh, bahkan sampai ke luar Aceh seperti Medan dan Malaysia.

Media da’wah yang digunakan oleh Têungkū Hasanoel Bashry tidak hanya sebatas
mimbar khutbah sebagaimana lazimnya, tetapi gerakan da’wah-nya sudah mulai mengikuti
perkembangan zaman memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Sekarang ini, Têungkū
Hasanoel Bashry sudah ber-da’wah melalui Media Massa seperti melalui Media Cetak,
Media Online, dan Media Elektronik. Tabloid Umdah (terbitan LBM MUDI) menjadi salah
satu sarana Têungkū Hasanoel Bashry ber-da’wah melalui media cetak. Kemudian di media
online, dapat dilihat dari keaktifannya dalam ber-da’wah melalui Facebook dengan akun Abu

17
Mudi, dan penyebaran da’wah yang di upload di Youtube. Di samping itu, Têungkū Hasanoel
Bashry juga aktif mengisi beberapa program da’wah di beberapa radio lokal, yang
notabenenya sebagai Media Elektronik.5

Pemanfaatan media-media dimaksud sebagai bukti keseriusan gerakan da’wah yang


dikembangkan Têungkū Hasanoel Bashry dalam upaya mensyiarkan ajaran Islam. Di
samping itu, penggunaan Teknologi Informasi sebagai Media da’wah dapat dikatakan
sebagai sebuah langkah maju dalam pengembangan aktivitas da’wah di masa sekarang ini.

Organisme behavioral adalah sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan
menyesuaikan diri dan mengubah dunia luar. Sistem kepribadian menjalankan pencapaian
tujuan dengan mendefinisikan tujuan sistem dan mobilisasi sumber daya yang digunakan
untuk mencapainya. Sistem sosial menangani fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-
bagian yang menjadi komponennya. Akhirnya, sistem kultural menjalankan fungsi latensi
dengan membekali para da’i dengan norma dan nilai-nilai budaya yang memotivasi mereka
untuk menjalankan gerakan da’wah dalam masyarakat di Aceh.

Robert K.Merton seorang pentolan teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi
adalah fakta sosial, seperti peranan sosial, pola-pola instutional, proses sosial, organisasi
kelompok, pengendalian sosial, dan sebagainya. Hampir semua penganut ini
berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi suatu fakta sosial terhadap
fakta sosial lainnya. Hanya saja Merton pula, sering terjadi pencampuradukan antara motif-
motif subjektif dengan pengertian fungsi. Padahal perhatian struktural fungsional harus harus
lebih banyak di tujukan kepada fungsi-fungsi di bandingkan motif-motif. Teori ini
menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi
manifest dan keseimbangan (eguilibrium).6

Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.

5Media massa dapat diartikan sebagai segala bentuk media atau sarana komunikasi untuk
menyalurkan atau mempublikasikan berita kepada publik atau masyarakat. Dalam konteks jurnalistik,
media massa pada dasarnya terbagi kepada tiga jenis, yaitu: media cetak, yang terdiri atas surat kabar,
tabloid, majalah, buletin, dan lain sebagainya; media elektronik, yang terdiri atas radio dan televisi; media
online, yaitu media internet seperti website, blog, portal berita, dan media sosial (facebook, twitter,
instagram, dan lain sebagainya).
6Goerge Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2012), hlm. 21-22.

18
Perubahan yang terjadi dalam satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
perubahan lainnya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial,
fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau ada fungsional maka struktur itu tidak aka
nada atau hilang dengan sendirinya.

Ada beberapa hal yang mencakup tentang gerakan da’wah ulama dayah dalam konsep
Merton, yaitu:

1. Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati oleh seorang da’i untuk
beradaptasi atau menyesuaiankan diri dalam sebuah sistem. Seperti agama atau
da’wah yang berfungsi untuk memelihara diri dan menjaga masyarakat dari
pengaruh yang tidak baik.
2. Disfungsi terjadi ketika kesabaran itu muncul sehingga seseorang yang
mempunyai ilmu agama tidak mengaplikasinnya terhadap kebutuhan orang
banyak akan menjadi sebuah kesalahan atau dausa.
3. Fungsi manifest ketika suatu itu di kehendaki penuh dengan segala rancangan
yang memang sudah direncanakan sehingga hasilnya pun sesuai dengan
keinginan, misalnya ada permasalahan yang meyangkut dengan harga diri dan
kelompok maka akan diselesaikan dengan baik, dan secara kekeluargaan dengan
pikiran yang jernih saling menghargai satu sama lain, sehingga menghasilkan
kondisi yang damai dan saling menghargai antar sesama muslim.
4. Fungsi laten ini terjadi pada saat keadaan yang tidak diinginkan secara tidak
sengaja, tidak diinginkan itu terjadi dan menyinggung harga diri atau kelompok
dengan mendatangi ke rumah atau mencari seorang yang menjadi provokator
timbulnya permasalahan dengan adanya emosi yang besar pada hal hanya ingin
menyampaikan saja, maka terjadilah percekcokan atau perkelahian antar
kelompok.
5. Keseimbangan (eguilibrium) dengan melihat keadaan yang terjadi dapat
menyeimbangkan bagaimana pola-pola atau tahapan-tahapan gerakan da’wah
dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga dapat menemukan jalan keluar
atau solusi yang baik.

Teori ini seperti pisau analisis berkaitan dengan judul gerakan da’wah ulama dayah,
karena adanya fungsi tersendiri bagi ulama dayah dikalangan masyarakat, baik secara
individual ulama dayah itu sendiri maupun dari berbagai kelompok-kelompok yang dibentuk

19
oleh para ulama itu sendiri. Selain itu ulama dayah juga memiliki peran yang sangat penting
bagi masyarakat, sehingga ulama dayah menjadi sekolompok orang yang dihormati dan
dimuliakan.

Secara umum, peran dan fungsi ulama biasa disebut dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Rincian tugas ulama adalah:

1. Mendidik umat di bidang agama dan bidang lainnya.


2. Melakukan kontrol terhadap masyarakat.
3. Menyelesiakan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
4. Menjadi agen perubahan social bagi masyarakat.

Semua tugas ini melekat pada diri tiap-tiap ulama dan dijalankan sepanjang hidupnya,
meski jalur yang ditempuh berbeda.7

Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan atau sistem yang
lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem dapat
beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim
penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional
bagi seluruh masyarakat.

Gerakan da’wah atau lebih sering dikenal dengan da’wah harakah mengandung
pengertian adalah kegiatan da’wah melalui sistem pergerakan. Sesuai dengan namanya, aliran
da’wah yang satu ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) dibandingkan aspek
wacana (teoritisasi).8

Dalam perkembangannya da’wah harakah dilihat dari segi substansi dan cakupannya,
da’wah harakah memiliki ruang yang lebih komprehensif dari pada da’wah pengembangan
masyarakat. Jika dalam perkembangannya da’wah harakah dalam melihat keterlibatan dan
independensi dari unsur politik dan membatasi gerakannya lebih pada ruang lingkup
Pendidikan dan pembangunan ekonomi. Namun da’wah harakah lebih menilai politik
sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem Islam, karena da’wah tidak bisa

7Masykuri Abdillah, Demokrasi di persimpangan makna: respons intelektual muslim Indonesia


terhadap konsep demokrasi (1966-1993), (Jakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 23.
8Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah : Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban

Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 233.

20
lepas dilepaskan dari politik. Dalam pandangan paradigma harakah, Islam itu disimbolkan
dengan 3D, din (agama), daulah (negara) dan dunya (dunia).9

Menurut Hasan al-Qattany, yang dimaksud da’wah harakah adalah da’wah yang
berorientasi pada pengembangan masyarakat Islam, dengan melakukan reformasi total (islah)
terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, mulai dari tingkat individu (islah al-fard), keluarga
(islah al-usrah), masyarakat (islah al-mujtama’), hingga Negara (islah al-daulah).10

Ibrahim al-Ja’bari, da’wah harakah sebagai paradigma yang memadukan dimensi


pemikiran (konsepsional) dan pergerakan (praktikal), mulai eksis bermunculan di negeri-
negeri Islam sejak permulaan abad ke-20 silam dan karenanya model-model da’wah ini
banyak diadopsi, misalnya, pergerakan Islam kontemporer Ikhwanul Muslimin di Mesir, Nur
Khuluq di Turki, Revolusi Islam di Iran, dan Jama’ati Islam di anak benua India-Pakistan.11

Sayyid qutub, seorang aktifis dan arsitek da’wah harakah di Mesir ada tiga ciri da’wah
harakah, yaitu:

(1) Lebih menekankan pada aksi ketimbang teori, wacana (la yuqim falsafatan) tetapi
membangun ummat (lakin yubni ummah),
(2) Da’wah harakah membolehkan penggunaan kekuatan fisik dalam membentuk jihad
fisabilillah jika keadaan memaksakan. Jihad diperlukan untuk mengawal da’wah dan
membela diri dari gerakan fisik yang menghalangi da’wah,
(3) Da’wah harakah sangat meniscayakan organisasi dan jaringan (networking), dalam
skala nasional, regional maupun international.

Menurut Sayyid Qutub, da’wah bukan saja tugas individual, tetapi tugas dan kewajiban
kolektif seluruh muslim. Organisasi da’wah harakah haruslah bersifat terbuka yang dibangun
di atas platform akidah tauhid dan ukhuwwah Islam tanpa mengenal perbedaan suku, ras, dan
warna kulit.12

9Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah, hlm. 233.


10Hasan Ibn Falah al-Qattany, al-Tariq ila al-Nahdah al-Islamiyyah, (Riyad: Dar al- Hamidi,
1993), hlm. 1-10.
11Ibrahim Muhammad al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, alih Bahasa Abu Ayyub al-Ansary,

(solo: Duta Rohman, 1996), hlm. 67-70.


12Faizah & Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), Edisi Pertama cet Ke-2,

hlm. xvi.

21
Suatu pergerakan pasti memerlukan dukungan kader. Kader da’wah harakah adalah
da’i dalam paradigma gerakan, yaitu pejuang da’wah (mujahid ad-da’wah). Di sini, da’i
adalah seorang pejuang dan aktifis pergerakan Islam, yang sudah membekali diri dengan
ilmu, wawasan dan ghirah dinniyah sehingga tabah menghadapi ejekan, siksaan fisik dan
bahkan siap menjadi syahid. Semboyan mujahid da’wah adalah Allāhū muqshadunā (Allah
tujuan kita), Al-Qur’an imāmunā (Al-Qur’an imam kita), wa Sunnah sabilana (sunnah nabi
jalan kita), dan al-mautu fī sabîlillah amanunā (mati syahid harapan kita).13

Strategi gerakan da’wah seorang da’i harus berpikir secara konseptual dan bertindak
secara sistematik. Sebab komunikasi tersebut bersifat paradigmatik. Paradigma adalah pola
yang mencakup sejumlah komponen yang terkorelasikan secara fungsional untuk mencapai
suatu tujuan. Suatu paradigma mengandung tujuan dan tujuan pada paradigma tersebut yaitu
merubah sikap, opini atau pandangan dan perilaku, (to change the attitude, opinion and
behavior), sehingga timbul pada diri mad’u efek afektif, efek kognitif, dan efek konatif atau
behavioral, yang di antaranya:14

1. Proses da’wah
Dalam menyusun strategi gerakan da’wah harus menghayati proses komunikasi
yang akan dilancarkan. Proses da’wah harus berlangsung secara “berputar”
(circular), tidak “melurus” (linier). Maksudnya, pesan yang sampai kepada
mad’u efeknya dalam bentuk tanggapan mengarus menjadi umpan balik.
Mengevaluasi efek dari umpan balik tersebut negative atau positif.
2. Da’ī
Mendalami pengetahuan Al-Qur’an dan Hadits, pengetahuan hukum Islam
lainnya. Sejarah Nabi Muhammad saw, ibadah, muamalah, akhlak dan
pengetahuan Islam lainnya. Menggabungkan pengetahuan lama dan modern.
Menguasai Bahasa setempat, mengetahui cara ber-da’wah, sistem Pendidikan dan
pengajaran, mengawasi dan mengarahkan dan berakhlak mulia. Para da’i harus
bijaksana, dan berpenampilan yang baik. Para da’i harus pandai memilih judul,
dan menjauhkan yang membawa kepada keraguan karena da’I adalah imam dan
pemimpin.

13Faizah & Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah,.. hlm. xvii.


14Husin Ismail, http;//unchinfamiliar.blogspot.co.id/2009/04/strategi-dakwah-melaksanakan-
instruksi.html, diakses pada tanggal 18 Pebruari 2016.

22
3. Pesan Da’wah
Sistematis dan objektif, bahasanya ringan sesuai dengan situasi dan kondisi, tidak
harus panjang lebar, pesan da’wah sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Menyakinkan tidak meragukan, isinya menggambarkan tema pesan secara
menyeluruh.
4. Media da’wah
Radio, Mimbar, Televisi dan Publikasi lainnya, Film Teater, Majalah, Reklame
dan Surat Kabar.
5. Mad’ū
Komponen yang paling banyak menerima perhatian, sifatnya heterogen dan
kompleks, selektif dan kritis memperhatikan suatu pesan da’wah, khususnya jika
berkaitan dengan kepentingannya.

Konteks strategi gerakan da’wah yang dulu berbeda dengan sekarang karena memang
situasi dan tantangannya berbeda pula, namun tujuan dan sasaran da’wah haruslah tetap sama
yaitu tauhidillah. Dulu Rasulullah saw ber-da’wah dalam situasi dan kondisi di mana
kebanyakan manusia benar-benar tidak mengenal Allah swt, dan sama sekali tidak tahu
tentang norma-norma akhlak yang terpuji, seperti merampas hak-hak orang lain, mengubur
hidup-hidup anak perempuan dan mabuk-mabukan menjadi suatu kebiasaan.

Semua itu bukanlah hal yang asing bagi masyarakat da’wah Rasulullah saw saat itu,
caci maki dan penyiksaan bahkan pengucilan dilancarkan dengan gencarnya oleh kaum kafir
Quraisy terhadap pengikut Nabi Muhammad saw. Mereka melakukan hal itu semua agak
gerakan da’wah Islamiyah menjadi sempit sekaligus agar bisa menjadi propanganda kepada
orang-orang bahwa siapa yang memilih beriman berarti ia memilih penderitaan. Perubahan
zaman tentu diiringi dengan datangnya tantangan dan problematika yang lebih banyak, sulit
menghadapinya, baik masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

23
BAB II
ULAMA DAN GERAKAN DA’WAH

24
BAB II ULAMA DAN GERAKAN DA’WAH
A. Penjelasan Istilah
1. Gerakan atau Harakah Da’wah

Kata Harakah itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan. Harakah
merupakan lawan dari diam (al-Harakah Didl al-Sukun). Dikatakan bergerak, bila seorang
berpindah atau mengambil posisi baru. Kemudian makna harakah secara harfiah ini dapat
dipahami menjadi dua makna penting, yaitu: Pertama; harakah menunjuk pada suatu gerakan
yang timbul setelah masa atau kondisi vakum. Kedua; harakah menunjuk pada suatu usaha
pembaruan untuk membawa masyarakat kepada kehidupan baru yang lebih baik.15

Harakah bukanlah sekedar pandangan atau penafsiran, tapi lebih dari itu, harakah
adalah watak dasar bagi suatu gerakan dan akan selalu menjadi gerakan.16 Di sisi lain, Islam
tidak dibatasi hanya sebagai agama semata (din), tetapi juga harus diyakini sebagai aturan
hidup bermasyarakat (dunya) dan aturan menjalankan pemerintahan (daulah). Paradigma
dakwah harakah menegaskan perlunya meyakini Islam sebagai sistem hidup yang
komprehensif (manhaj hayah).17

Dari penjelasan kebahasaan di atas, sesuatu yang bergerak itu ditandai jika terdapat
perpindahan dari suatu tempat atau suatu kondisi ke tempat atau kondisi lainnya. Jika
dikaitkan dengan da’wah, maka da’wah menghendaki pergerakan dari kondisi stagnan
sebelumnya, atau menghendaki suatu usaha pembaharuaan untuk membawa masyarakat
kepada kehidupan baru yang lebih baik.

Dari segi kebahasaan, kata harakah dapat diartikan sebagai gerak atau gerakan; arti
ini dapat dikontraskan dengan kata al-sukun yang berarti diam (din al-sukun). Dari
pemahaman kebahasaan ini, sesuatu yang bergerak itu ditandai jika terdapat perpindahan
darri suatu tempat atau itu kondisi ke tempat atau kondisi lainnya. Jika dikaitkan dengan
da’wah, maka da’wah ynag menghendaki pergerakan dari kondisi vakum sebelumnya, atau

15Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, (Beirut Libanon: Dar al-Ma’rifah, tt.),
hlm. 114. Lihat pula, Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Cet. Ke-1, (Beirut: Dar Shadir, 1990), hlm. 410-411.
16A. Ilyaz Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah,

(Jakarta: Penamadani, 2006), hlm. 12.


17Muhammad al-Ghazali, Fi Maukib al-Da‟wah, (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misr, 2005), hlm.

163.

25
menghendaki suatu usaha pembaharuan untuk membawa masyarakat kepada kehidupan baru
yang lebih baik.18

Da’wah harakah saat ini perlu dihadirkan demi merekontruksi masyarakat jahiliah
masa sekarang (jahiliyyat al-Irsyin) dan megulangi kesuksesan da’wah seperti masa Nabi
Muhammad saw. 19 Dari sudut pandang metode da’wah, pendekatan yang diterapkan
mengikuti cara berpikir pendapat da’wah harakah yang sebetulnya dalam beberapa hal ada
kesamaan itu misalnya dapat ditelaah dari usulan da’wah harakah tentang sosialisasi tauhid
sebagai asas pembangunan masyarakat, kebangkitan intelektual dan ekonomi atau kritik
keduanya terhadap pendapat da’wah tabligh. Namun demikian pendapat da’wah harakah
berangkat lebih jauh ketika mengusulkan da’wah yang harus mencakup perbakan negara atau
pemerintahan. Untuk tujuan itu, da’wah harakah mengambil jalur pendekatan da’wah massif.
Pendekatan da’wah itu misalnya terlihat dari konsep da’wah jihad atau perang suci untuk
mewujdukan pemerintahan Islam.20

Da’wah harakah patut mendapat apresiasi terutama ide-idenya yang berhasil


mengangkat derajat dan martabat da’wah Islam dari anggapan bahwa da’wah sekedar
tabligh. Pendapat da’wah harakah juga layak mendapat apresiasi terutama karena idenya
menghadirkan pandangan da’wah yang lebih holistis dan komprehenshif. Hadirnya pendapat
da’wah harakah mampu menjadi inspirasi bagi banyak gerakan da’wah lainnya, yang
menyandarkan bahwa da’wah sejatinya mesti lebih banyak aspek praktikal melebihi
terorientasi. Karena bagaimanapun juga kehadiran da’wah ditujukan untuk melakukan
perubahan, sedangkan perubahan ini memerlukan lebih banyak tindakan (lisan al-Hal)
melampui ucapan (lisan al-maqaal).

Aktivitas atau gerakan da’wah adalah suatu proses mengajak manusia dalam bentuk
lisan, tulisan, tingkah-laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam
usaha mempengaruhi orang lain secara individu maupun secara kelompok agar timbul dalam
dirinya sebuah pengertian, kesadaran, sikap penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran
agama sebagai pesan yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan
sedikit pun. Dengan demikian, yang dimaksud dengan gerakan da’wah di sini adalah aktivitas
da’wah Têungkū Hasanoel Bahsry secara keseluruhan dan landasannya.

18Abu Mufdal al-Raghib al-Ashifany, al-Mufardat fi Gharib Al-Qur’an, (Damaskus: Dar Qalam, tt),
Juz 1, hlm. 226
19Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zilal Al-Qur’an, (Mauqi al-Tafsir), Juz 4, hlm. 25.

20A. Ilyaz Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,.. hlm. 176.

26
2. Ulama Dayah
Ulama Dayah merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka
adalah alumni dari dayah. Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan
dengan orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, seperti lulusan
madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat kecuali dayah dan mampu
menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern”, walaupun
perbedaannya tidak begitu jelas.21
Di samping pengajaran di Dayah, Meunasah juga dipakai sebagai tempat mengajarkan
ilmu-ilmu agama oleh masyarakat Aceh. Namun perbedaan antara kedua istilah ini; dayah
adalah tempat belajar agama bagi orang-orang yang telah dewasa. Sementara pendidikan
agama untuk anak-anak diberikan di Meunasah atau di rumah-rumah guru (Têungkū).22
Secara etimologi kata dayah diambil dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah
artinya buju rumah atau buju mesjid.23 Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini adalah
sudut atau pojok rumah. Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah
saw., pengajaran dan penerangan tentang ilmu-ilmu agama kepada sahabat dan kaum
muslimin sering dilakukan oleh Nabi Saw., di sudut rumah atau di sudut mesjidnya.
Setelah zaman Rasulullah saw., kata zawiyah telah berkembang luas ke seluruh
pelosok dunia Islam sampai ke Asia Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata
zawiyah telah mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas daerah masing-masing.
Di Aceh, kata zawiyah diucapkan dengan sebutan dayah yang berarti tempat
mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dulu, orang Aceh sering menggunakan sudut, pojok atau
serambi rumah dan mesjid untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat
dari persamaan makna dengan daerah lain di Pulau Jawa, dayah dapat disetarakan dengan
pesantren. Kendatipun demikian ada beberapa perbedaan yang penting, di antaranya adalah
pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama,
sejak dari tingkat rendah sampai ke tingkat belajar lebih lanjut.

Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok. Istilah
zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali
digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw ber-da’wah pada masa awal
Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan

21M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya
Foundation, 2003), hlm. 119.
22A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 192.

23Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), h. 272.

27
mistik dari penganut ilmu tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang
telah dibawa ke tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi
sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari
kehidupan spiritual. Ini mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pen-
da’wah tradisional Arab dan sufi ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan
di Aceh.24 Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi
dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.

3. Têungkū H. Hasanoel Bahsry


Têungkū H. Hasanoel Bahsry dilahirkan di Krueng Geukueh pada Tanggal 21 Juni
Tahun 1949, sebelum melanjutkan pendidikan agama di pesantren Ma’hadal Ulum Diniyyah
Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Samalanga, Têungkū Hasanoel Bashry terlebih dahulu
pernah mengenyam pendidikan Sekolah Rendah Islam (SRI) dengan lulus pada tahun 1962,
dilanjutkan dengan Sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) dengan lulus pada
tahun 1962 sampai dengan tahun 1964. selanjutnya baru melanjutkan pendidikan ke dayah
MUDI Mesjid Raya pada tahun 1964 hingga lulus pada tahun 1970. Setelah itu Têungkū
Hasanoel Bashry aktif mengabdi menjadi tenaga pengajar di Dayah MUDI Mesjid Raya.
Kemudian sejak tahun 1989 sampai dengan sekarang, Têungkū Hasanoel Bashry menjabat
sebagai pimpinan Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya
Samalanga. Sekarang ini juga dipercayakan sebagai ketua HUDA (Himpunan Ulama Dayah
Aceh) tahun 2015-2018.
Pentingnya sebuah pemikiran dan gerakan atau aktivitas da’wah dalam menyelesaikan
permasalahan kemanusiaan atau persoalan da’wah itu sendiri. Dengan adanya aktivitas
da’wah yang terus menerus dari para ulama dayah dan pemikir da’wah diharapkan dapat
menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dan dihadapi oleh pegiat da’i dalam
masyarakat Aceh selama ini, yang menyangkut dengan sosial kemanusiaan maupun tentang
ibadah dengan Allah SWT.

2.1. Konsep Ulama Menurut Al-Qur’an

2.1.1. Pengertian Ulama Menurut Al-Qur’an


Melihat dari sejarah maka setelah wafat Rasulullah saw dan para sahabat-nya maka
tugas menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar dilanjutkan oleh ulama-ulama yang hidup

24M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah,… hlm. 33.

28
setelahnya. Namun sebelum itu seperti apakah orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai
ulama berdasarkan hadist Nabi Muhammad saw “ulama adalah pewaris para nabi”.

Ulama secara terminologi berasal dari akar kata ‫ يعلم‬,‫ علم‬yang berarti mengetahui,
Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim ‫عالم‬. ‘Alim adalah isim fail dari
kata dasar ‫‘( علم‬ilmu) . Jadi ‫‘ عالم‬alim adalah orang yang berilmu. Dan ‫‘علماء‬ulama adalah
orang-orang yang punya ilmu.25 kata ‘alim bermakna suatu pengaruh atau kemuliaan yang
membedakannya dengan yang lain adapun kata ulama, dipahami sebagai orang yg
memadukan pengetahuannya dengan pengamalannya.26

Apresiasi al-quran tidak hanya tergambar dari penyebutan kata ‘alim dan derivasinya
yang mencapai 823 kali, tetapi terdapat sekian uangkapan yang bermuara kesamaan makna
seperti al-aql, al-fikr, al-nazhr, al-basyar, al-tadabbur, al-‘itibar dan al-dzikr. Kata ‫عالم‬
‘alim yang juga merupakan akar kata dari ulama menurut pakar ahli al-Qur’an Raghib al-
ashfahani bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu.27

1. Ciri-ciri Ulama Menurut Al-Qur’an

Sebagian dari ciri-ciri ulama menurut al-Qur’an adalah orang-orang yang berpendapat
bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah. Allah
swt berfirman dalam surat As-Shaba ayat 6:

.ِ‫يز ا ْل َحمِيد‬ ِ ‫َويَ َرى الذِي َن أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم الذِي أ ُ ْن ِز َل إِلَيْكَ م ِْن َربِّكَ ه َُو ا ْل َحق َويَ ْهدِي إِلَى‬
ِ ‫ص َرا ِط ا ْلعَ ِز‬

Artinya: Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing
kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.28

Ulama adalah orang yang paling memahami segala bentuk perumpamaan yang dibuat
Allah swt di dalam Al-Qur’an, bahkan apa yang diinginkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
Sebagigama Allah swt berfirman surat al-Angkabut ayat 43:

25Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, (Bairut: Dar al-Fikr, t.
th.), Jilid 5, hlm. 88.
26Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, (Cet. I; Bairut: Dar Sadir, t. th.).

Jilid 12, hlm. 416.


27Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis,… hlm. 72.

28Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 1426

H./2005 M.), hlm. 322.

29
.‫اس َو َما َي ْع ِقلُ َها ِإال ا ْل َعا ِل ُمو َن‬
ِ ‫َوتِ ْلكَ ْاْل َ ْمثَا ُل نَض ِْربُ َها لِلن‬

Artinya: Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak
ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.29

Ulama merupakan orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath


(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 83:

‫َوإِذَا َجا َءهُ ْم أَ ْم ٌر ِم َن ْاْل َ ْم ِن أَ ِو ا ْلخ َْوفِ أَذَاعُوا بِ ِه َولَ ْو َردُّوهُ ِإلَى الرسُو ِل َوإِلَى أُولِي ْاْل َ ْم ِر ِم ْن ُه ْم لَعَ ِل َمهُ الذِي َن يَ ْستَ ْنبِطُونَهُ ِم ْن ُه ْم‬
‫طا َن إِال َقل ا‬
.‫ِيال‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم َو َرحْ َمتُهُ َالتبَ ْعت ُ ُم الش ْي‬ ْ َ‫َولَ ْو َال ف‬
َ ِ‫ض ُل َّللا‬

Artinya: Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan
karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan
kecuali sedikit saja.30

Ulama juga masuk dalam kelompok orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam
merealisasikan perintah-perintah Allah swt. Allah swt berfirman dalam surat al-Isra’ ayat
106-108:

ْ ‫ ُقلْ آَ ِمنُوا ِب ِه أَ ْو َال تُؤْ ِمنُوا ِإن الذِينَ أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم‬.‫يال‬


‫مِن قَ ْب ِل ِه ِإذَا يُتْلَى‬ ‫ث َونَز ْلنَاهُ تَ ْن ِز ا‬
ٍ ‫علَى ُم ْك‬ َ ‫اس‬ َ ُ‫َوقُرْ آَناا فَ َر ْقنَاهُ ِلتَ ْق َرأَه‬
ِ ‫علَى الن‬
.‫ان َي ْبكُو َن َو َي ِزيدُهُ ْم ُخشُوعاا‬ ِ َ‫ َويَخِ ُّرو َن ل ِْْلَذْق‬. ‫وال‬
‫ َو َيقُولُو َن سُ ْب َحانَ َر ِبّنَا ِإ ْن كَا َن َو ْعدُ َر ِبّنَا لَ َم ْف ُع ا‬. ‫ان سُجداا‬
ِ َ‫علَ ْي ِه ْم يَخِ ُّرو َن ل ِْْلَذْق‬ َ

Artinya: Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi
Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-
Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil
bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan
kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis
dan mereka bertambah khusyu.31

Ulama menurut al-Qur’an mempunyai ciri-ciri sebagai orang yang mendapat petunjuk
atau hidayah dari Allah swt, sehingga mereka masuk dalam kelompok-kelompok yang benar,
ulama juga merupakan orang-orang yang paling memahami contoh-contoh dan tamsilan yang

29Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 288.


30Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 241.
31Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 264.

30
dibuat oleh Allah swt dalam al-Qur’an untuk dipahami dan dijelaskan kepada masyarakat
umum, ulama juga merupakan orang-orang yang telah mampu untuk melakukan pemahaman
hokum dari al-Qur’an dan Hadits-hadits yang telah disampaikan kepada mereka melalui lisan
para sahabat dan ulama sebelumnya, ulama juga masuk dalam kelompok yang tunduk dan
patuh atas segala perintah Allah swt sebagaimana telah digariskan dalam amar ma’ruf nahi
munkar.

2. Kedudukan Ulama Menurut Al-Qur’an

Tidak diperdapatkan dalam kitab manapun kecuali al- Qur’an, yang memuliakan
kedudukan ulama sebagaimana mestinya. Hal itu menunjukkan adanya perintah Allah swt
bagi para ulama untuk mengkaji berbagai ilmu sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Fathir ayat 28:

ٌ ُ‫غف‬
.‫ور‬ َ َ‫إِن َما يَ ْخشَى َّللاَ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ا ْلعُلَ َما ُء إِن َّللا‬
ٌ ‫ع ِز‬
َ ‫يز‬

Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah


ulama.32

Di sini dapat kita pahami bahwa tidak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa
sejak awal Agama Islam telah mempunyai ciri-ciri yang sangat ilmiah dan rasional.33 Ciri-ciri
tersebut sejalan dengan subtansi ajaran Agama Islam yang menuntut seseorang yang
mengimaninya untuk terlebih dahulu memiliki ilmu pengetahuan. Karena itu tidak berlebihan
jika Abbas Mahmud al- Aqqad seorang cendekiawan terkemuka di Mesir mengatakan,
“berpikir dalam rangka mencari kebenaran merupakan bagian dari kewajiban dalam Agama
Islam”.34

Allah swt juga menjadikan mereka (para ulama) sebagai makhluk yang
berkedudukan tinggi setelah malaikat, dalam masalah kesaksian keesaan Allah swt. Lihat
dan perhatikan dalam surat ali-Imran ayat 18:

ُ ‫ش ِهدَ َّللاُ أَنهُ َال ِإلَهَ ِإال ه َُو َو ْال َم َالئِ َكةُ َوأُولُو ْالع ِْل ِم قَائِ اما بِ ْال ِق ْس ِط َال ِإلَهَ ِإال ه َُو ْالعَ ِز‬
.‫يز ْال َحكِيم‬ َ

32Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 298.


33Abdul halim Mahmud, al-Islam Wal al-Aql, (Cairo : Dar al-Ma’arif, t.th), hlm. 212.
34Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Tafkir Faridah Islamiyyah, (Cairo : al- Hay’ah al-Mishriyyah al-

Ammah lil kitab, 1998), hlm. 20.

31
Artinya: Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan
keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian itu).
Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.35

Al-Qur’an dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 dan Ali Imran ayat 3 juga
menyebutkan janji Allah tentang akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu
pengetahuan pada derajat lebih tinggi.

ٌ ‫َّللا ِب َما تَ ْع َملُو َن خَ ِب‬


.‫ير‬ ُ ‫ت َو‬ٍ ‫َّللا الذِي َن آَ َمنُوا مِ ْنكُ ْم َوالذِي َن أُوتُوا ا ْل ِع ْل َم د ََر َجا‬
ُ ‫يَرْ فَ ِع‬

Artinya: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.36

َ‫خَر ُمتَشَا ِب َهاتٌ فَأَما الذِي َن فِي قُلُو ِب ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَت ِبعُونَ َما تَشَابَه‬ ُ ُ ‫ب َوأ‬ ِ ‫َاب ِم ْنهُ آَيَاتٌ ُمحْ َك َماتٌ هُن أ ُ ُّم ْال ِكتَا‬ َ ‫علَيْكَ ْال ِكت‬ َ ‫ه َُو الذِي أَ ْنزَ َل‬
‫مِ ْنهُ ا ْبتِغَا َء ا ْل ِفتْنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِوي ِل ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ ِإال َّللاُ َوالرا ِس ُخو َن فِي ا ْل ِع ْل ِم يَقُو ُلونَ آَ َمنا ِب ِه ُك ٌّل م ِْن ِع ْن ِد َر ِبّنَا َو َما يَذك ُر ِإال‬
.‫ب‬ ِ ‫أُو ُلو ْاْل َ ْل َبا‬
Artinya: Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil
pelajaran daripadanya melainkan orang-orang yang berakal.37

Maka tidaklah merupakan sesuatu yang mustahil jika ulama adalah orang yang sangat
tinggi ilmunya utamanya ilmu agama karena ulama adalah pewaris nabi. Dengan ilmu
manusia menjadi berbeda dengan makhluk lainnya. Al-ghazali berkata “ilmulah yang
membedakan manusia dari binatang, dengan ilmu ia menjadi mulia bukan dengan kekuatan
fisiknya sebab dari sisi ini unta jauh lebih kuat, dan bukan kebesaran tubuhnya sebab gajah
pasti melebihinya, juga bukan dengan keberaniannya sebab serigala lebih berani darinya.
Manusia diciptakan hanya untuk ilmu.

35Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 142.


36Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 221.
37Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,… hlm. 180.

32
3. Tugas-tugas Ulama Menurut Al-Qur’an

Setelah mengetahui ciri-ciri dan kedudukan ulama maka ulama pun memiliki
beberapa tugas karena itulah ulama sering dikatakan bahwa ulama adalah ahli waris para nabi
sebelumnya karena itu ulama mempunyai tugas sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad saw. Tugas-tugas tersebut di antaranya:38

a. Menyampaikan ajaran kitab suci itu secara baik dan bijaksana dengan tidak
mengenal takut dan siap menanggung resiko.
b. Menjelaskan kandungan kitab suci al-Qur’an.
c. Memberikan putusan atas problem yang terjadi di kalangan masyarakat.

Inilah beberapa sifat ulama yang sebenarnya dan tugas yang diinginkan oleh Allah
swt di dalam al-Qur’an dan Rasulullah saw di dalam Sunnahnya. Dengan beberapa tugas ini,
jelaslah ulama bukan hanya dilihat dari penampilan dan baju saja tetapi dari ilmu
pengetahuan yang mereka miliki.

2.2. Pengertian Gerakan Da’wah

2.2.1. Gerakan atau Harakah Da’wah


Kata Harakah itu sendiri secara harfiah berarti gerak atau gerakan. Harakah
merupakan lawan dari diam (al-Harakah Didl al-Sukun). Dikatakan bergerak, bila seorang
berpindah atau mengambil posisi baru. Kemudian makna harakah secara harfiah ini dapat
dipahami menjadi dua makna penting, yaitu:

1. Harakah menunjuk pada suatu gerakan yang timbul setelah masa atau kondisi vakum.
2. Harakah menunjuk pada suatu usaha pembaruan untuk membawa masyarakat kepada
kehidupan baru yang lebih baik.39

Harakah bukanlah sekedar pandangan atau penafsiran, tapi lebih dari itu, harakah
adalah watak dasar bagi suatu gerakan dan akan selalu menjadi gerakan.40 Di sisi lain, Islam
tidak dibatasi hanya sebagai agama semata (din), tetapi juga harus diyakini sebagai aturan

38Waryono Abdul Gafur, Hidup Bersama Al-quran : Jawaban Al-quran Terhadap Problematika
Sosial, (Bandung: Pustaka Rihlah, 2007), cetakan 1. hlm. 46.
39Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, (Beirut Libanon: Dar al-Ma’rifah, tt.),

hlm. 114. Lihat pula, Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Cet. Ke-1, (Beirut: Dar Shadir, 1990), hlm. 410-411.
40A. Ilyaz Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah,

(Jakarta: Penamadani, 2006), hlm. 12.

33
hidup bermasyarakat (dunya) dan aturan menjalankan pemerintahan (daulah). Paradigma
da’wah harakah menegaskan perlunya meyakini Islam sebagai sistem hidup yang
komprehensif (manhaj hayah).41

Gerakan da’wah atau lebih sering dikenal dengan da’wah harakah mengandung
pengertian adalah kegiatan da’wah melalui sistem pergerakan. Sesuai dengan namanya, aliran
da’wah yang satu ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) dibandingkan aspek
wacana (teoritisasi).42 Menurut Hasan al-Qattany, yang dimaksud da’wah harakah adalah
da’wah yang berorientasi pada pengembangan masyarakat Islam, dengan melakukan
reformasi total (islah) terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, mulai dari tingkat individu
(islah al-fard), keluarga (islah al-usrah), masyarakat (islah al-mujtama’), hingga Negara
(islah al-daulah).43

Adapun pengertian dari penggerakan da’wah adalah seluruh proses pemberian


motivasi kepada para kader atau simpatisan dengan sedemikian rupa, sehingga mereka
mampu bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan
ekonomis.44 Pergerakan da’wah akan berlansung secara optimal apabila dilakukan dengan
menggunakan teknik-teknik tertentu, yaitu:

a. Memberikan penjelasan secara komprehensif kepada seluruh elemen da’wah yang


ada dalam organisasi da’wah.
b. Mengupayakan agar setiap pelaku da’wah menyadari, memahami, dan menerima
dengan baik tujuan yang telah diterapkan.45

Dari potensi dan kemampuan ini, maka kegiatan-kegiatan da’wah akan terakomodir
sampai kepada sasaran yang telah ditetapkan. Terkait dengan ini, Abdul Rosyad mengatakan
bahwa terdapat beberapa poin dalam proses pergerakan da’wah yang menjadi kunci dari
kegiatan da’wah, yaitu:

41Muhammad al-Ghazali, Fi Maukib al-Da‟wah, (Kairo: Maktabah Nahdah al-Misr, 2005), hlm.
163.
42Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban
Islam, Cet. Ke-1,(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 233.
43Hasan Ibn Falah al-Qattany, al-Tariq ila al-Nahdah al-Islamiyyah, (Riyad: Dar al- Hamidi,

1993), hlm. 1-10


44M. Munir & Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet. Ke-2, h. 139.

45M. Munir & Wahyu Ilaihi..., h. 139.

34
a. Pemberian motivasi
b. Bimbingan
c. Penyelenggaraan komunikasi
d. Pengembangan dan peningkatan pelaksana.46

Menurut Fathi Yakan, Islam merupakan sebuah sistem hidup yang komprehensif
(manhaj hayah). Maka dari itu Islam tidak boleh dianggap hanya sebagai sistem keyakinan
transedental, melainkan suatu sistem yang mengatur seluruh segi kehidupan dari mulai sistem
sosial, ekonomi, hingga politik.47 Khusus aspek politik, Fathi Yakan membandingkan
karakter harakah Islam dari sistem keyakinan lain. Islam kata Yakan, berbeda dengan agama
Kristen misalnya yang menghendaki pemisahan agama dari Negara. Dalam keyakinan
Kristen, agama tidak mencampuri urusan-urusan keagamaan. Kaidah yang amat terkenal
terkait dengan pemisahan agama dari Negara ini adalah pernyataan “…berikanlah kaisar
milik kaisar dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah…”.48 Fatih Yakan
memaparkan, bahwa kaidah demikian ini tidak dikenal dalam Islam. Kekuasaan Negara,
demikian Fatih Yakan menjelaskan, sejatinya ditujukan untuk melindungi agama dan
menghadirkan keadilan dalam masyarakat.49

Melalui cara pandang ini, aliran da’wah harakah bermaksud untuk menjadikan Islam
(hukum Islam) sebagai satu-satunya undang-undang dalam kehidupan, bukan saja kehidupan
pribadi (al-ahwal al-syakhsyîyyah), tetapi juga kehidupan bermasyarakat (al-ahwal al-
ijtîma‟iyyah), dan kehidupan bernegara (al-ahwal ad-dauliyyâh).50 Untuk tujuan itu, secara
teoritis paradigma da’wah harakah membuat dikotomi antara sistem Islam dan sistem
jahiliyyah. Sistem Islam adalah suatu sistem masyarakat yang dibangun di atas undang-
undang Ilahiah, yakni syariat Islam. Masyarakat yang dibangun dengan sistem ini disebut
masyarakat Islam (al-mujtamâ’ alIslamŷ) dan merupakan cita-cita atau tujuan dari
diturunkannya Al-Qur`an. Lawannya adalah sistem jahiliah, yakni sistem hidup
bermasyarakat yang dibangun atas undang-undang buatan manusia (hukum sekuler) atau (al-

46Abdul Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), Cet. Ke-3, h.
112.
47FathiYakan, Kaifa Nad’u ila al-Islam, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1991), hlm. 89.
48FathiYakan, Kaifa Nad’u ila al-Islam..., hlm. 97.
49Fathi Yakan, Kaifa Nad’u ila al-Islam..., hlm. 88.

50Yusuf Qardawy, Syari‟at al-Islam as-Salihat li al-Tatbiq fi kulli zaman wa Makan,(Kairo: Dar al-

Sahwah, 1993), hlm. 89.

35
qanun al-wadh’iyyâh al-ardhiyyâh), dan masyarakat yang hidup di dalamnya disebut
masyarakat jahiliyyah (al-mujtamâ’ al-jahily).51

Menurut Mustafa Masyhur – dalam Faizah dan Lalu Muchsin – da’wah harakah
mendasarkan diri pada tiga kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan aqidah dan iman, kekuatan
persatuan dan ikatan kaum muslimin (quwwat at-waddah wa at-tarabbuth), dan kekuatan
jihad (quwwat al jihad).52 Sedangkan menurut Fathi Yakan – dalam Faizah dan Lalu Muchsin
– ada empat ciri yang menonjol dari da’wah harakah, yaitu:

(1) Murni dan autentik (dzatiyyah), yakni autentik sebagai panggilan Tuhan,
(2) Mendorong kemajuan (taqaddumiyah), yakni kemajuan yang tetap menjunjung tinggi nilai-
nilai moralitas,
(3) Universal (syamilah) mencakup semua aspek kehidupan, memadukan tiga sistem hidup
(manhaj al hayat) yang terdiri dari tiga “D”, yaitu Din (agama), Dunya (dunia), dan Daulah
(pemerintahan negara),
(4) Menekankan prinsip-prinsip agama yang luhur dan menjauhkan diri dari perbedaan mazhab.53

Menurut Sayyid Qutub – seorang aktifis dan arsitek gerakan da’wah di Mesir –
menyebutkan bahwa ada tiga ciri da’wah gerakan, yaitu:

(1) Lebih menekankan pada aksi ketimbang teori, wacana dan retorika, sebagaimana da’wah
Nabi Muhammad saw yang tidak membangun wacana (la yuqim falsafatan) tetapi
membangun ummat (lakin yubni ummah),
(2) Da’wah gerakan membolehkan penggunaan kekuatan fisik dalam membentuk jihad
fisabilillah jika keadaan memaksakan. Jihad diperlukan untuk mengawal da’wah dan
membela diri dari gerakan fisik yang menghalangi da’wah,
(3) Da’wah gerakan sangat meniscayakan organisasi dan jaringan (networking), dalam skala
nasional, regional, maupun internasional. Lebih lanjut, Sayyid Qutub mengutarakan bahwa
da’wah bukan saja tugas individual, tetapi tugas dan kewajiban kolektif seluruh muslim.
Organisasi da’wah gerakan haruslah bersifat terbuka yang dibangun di atas platform akidah
tauhid dan ukhuwah Islam tanpa mengenal perbedaan suku, ras, dan warna kulit.54

Pada perkembangannya, da’wah harakah dianggap cenderung massif dan eksklusif


(terutama karena konsep ‘uzlah dan mufassalah), karena dinilai banyak kalangan

51Sayyid Quthub, Nahwa Mujtama‟ Islamy, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993), hlm. 64
52Faizah & Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah, Ed. I, Cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. xvi.
53Faizah & Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah..., hlm. xvi.

54Faizah & Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah..., hlm. xvii.

36
berseberangan dengan nilai-nilai kebijakan lokal (Sophia perennis) dan cenderung idealis.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya, praktik da’wah harakah lebih sering mengalami
benturan-benturan dengan budaya lokal dan kebijakan penguasa setempat. Dalam konteks
keindonesiaan misalnya, da’wah harakah dianggap bersebrangan dengan nilai-nilai
nasionalisme dan kebhinnekaan. Segi kekurangan inilah (bersebrangan dengan nilai-nilai
lokal) yang nantinya menjadi kritikan dan disempurnakan oleh konsep da’wah cultural, yaitu
konsep da’wah yang lebih indigenous dengan pendekatan kebudayaan dan peradabannya.55

Suatu pergerakan pasti memerlukan dukungan kader atau simpatisan. Dalam hal
gerakan da’wah, yang menjadi kadernya adalah para da’i. Dalam paradigma gerakan, da’i
yaitu pejuang da’wah (mujahid ad-da‟wah). Di sini, da‟i adalah seorang pejuang dan aktifis
pergerakan Islam, yang sudah membekali diri dengan ilmu, wawasan dan ghirah dinnîyah
sehingga tabah menghadapi ejekan, siksaan fisik dan bahkan siap menjadi syahid. Semboyan
mujahid da’wah adalah Allâhû muqshadunâ (Allah tujuan kita), Al-Qur‟an imâmunâ (Al-
Qur’an imam kita), wa Sunnah sabîlinâ (sunnah nabi jalan kita), dan al-mautu fî sabîlillâh
amanunâ (mati syahid harapan kita).56

2.2.2. Gerakan Da’wah Abul A’la Al-Maududi


Al-Maududi merupakan salah seorang tokoh pergerakan Islam kontemporer di
Pakistan, lahir pada tanggal 25 september 1903 di India. Pendidikan awal Al-Maududi
diperoleh dari ayahnya, kemudian dilanjutkan ke Madrasah Fauqaniyah, yakni suatu sekolah
yang menggabungkan pendidikan modern Barat dengan pendidikan Islam tradisional. Ketika
al-Maududi belajar diperguruan tinggi Darul ‘Ulum Hydrabat, ayahnya meninggal yang
menyebabkan pendidikan al-Maududi berhenti secara formal. Akan tetapi dengan metode
otodidak, ia tetap menekuni pelajarannya pada lembaga non-formal, sehingga pada umur 17
tahun al-Maududi telah menguasai bahasa Arab, persia dan Inggris, di samping bahasa Urdu
sebagai bahasa ibunya.57

Al-Maududi, di samping memiliki keuletan dalam menuntut Ilmu, juga memiliki


keistimewaan dan kelebihan seperti jenius sejak dini, kepribadian dengan multi bakat,
kedalaman pemahamanya tentang Islam dan mempunyai interaksi dengan pergerakan secara
sempurna, berani dan tegar menghadapi kesulitan, serta teliti dalam memberi batasan pada

55Ilyas
Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah..., hlm. 243.
56Faizah &
Lalu Muchsin, Psikologi Dakwah..., hlm. xvii.
57Muhammad Al-Baqir, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1996), h. 7.

37
hal-hal subtansial dan perspektif konsep Islam yang shahih, serta didukung oleh bimbingan
para sarjana yang tangguh pada waktu itu dalam lingkungannya. Al-Maududi termasuk dalam
golongan multitalent, ia seorang generalis yang mempuyai kekuatan dibidang tafsir, hadis,
hukum, filsafat dan sejarah yang tidak mengurangi produktifitas karyanya dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sosiologi dan karya terbesarnya adalah tafkhim al-qur’an.58

Dalam menghadapi problematika ummat yang sangat kompleks, al-Maududi


mendirikan badan da’wah Jama’ati Islami pada tanggal 26 agustus 1941. Sekalipun pada
hakikatnya, lembaga tersebut hanya merupakan gerakan kader Islam dan tidak pernah
menjadi gerakan massa, tetapi eksistensi lembaga ini cukup disegani. Hal ini disebabkan
karena para pimpinan dan anggotanya penuh integritas dan dedikasi terhadap Islam, serta
dalam kenyataannya sebagian besar mereka mencapai predikat muhsin dalam menjalankan
ajaran Islam. Selain itu, lingkungan, kondisi sosial politik, dan latar belakang budaya yang
ada memberi pengaruh langsung terhadap metode da’wah serta strateginya. Cara ber-da’wah
Rasulullah di Mekkah berbeda dengan cara yang ditempuh di Madinah. Sepak terjang para
da’i disatu tempat berbedaditempat lain. Begitu pula masalah dakwah menuntut adanya
strategi sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad saw.

Da’wah lewat gerakan Jama’ati Islami terkait dengan dua kondisi masyarakat yang
berbeda sebagai sasaran da’wah yakni India dan Pakistan. Al-Maududi memperhatikan
kondisi mad’u yang akan dijadikan sebagai obyek da’wah. Lingkungan serta jumlah kaum
muslimin di Negeri yang ia jadikan tempat untuk menerapkan strateginya. Oleh karena itu,
pada saat Al-Maududi menuntut penerapan syari’at Islam di pakistan dan mengubahnya
menjadi sebuah negara Islam. Al-Maududi melihat kondisi yang berbeda dengan di India.
Sehingga langkah Jama’ati Islami di India dan Pakistan berbeda sesuai dengan pertimbangan
kondisi. Maka Al-Maududi mengambil dan menerapkan langkah-langkah dalam gerakan
da’wah-nya, yaitu:59

a. Memikirkan pertikaian kelas yang bermuara dari kebhinekaan perbedaan yang ada.
b. Memperbaiki masyarakat Islam sesuai dengan dasar Islam dan menyiarkan ilmu
agama dikalangan masyarakat.

58Musthafa Muhammad Thahhah, Model kepemimpinan Dalam Amal Islami, (Jakarta: Rabbani
Press, 1997), h.170.
59Musthafa Muhammad Thahhah..., h. 72-73.

38
c. Melakukan seleksi kaum terpelajar dalam rangka meningkatkan SDM terutama yang
berbakat pada bidang da’wah, untuk melakukan kegiatan pembaharuan dan
mengahadapi paham sekularisme, komunisme dan paham lainnya.
d. Upaya meningkatkan keahlian individu dalam bidang tulis menulis, berpidato dengan
menggunakan bahasa India dan bahasa dialeg lainnya, agar lebih mudah
menyampaikan da’wah Islam dengan bahasa yang berbeda-beda.

Jama’ati Islami, gerakannya bersifat fundamentalis dengan tujuan untuk


membangkitkan kembali cara hidup yang Islami. Inti penekanannya pada adanya persamaan
disiplin diri, tanggung jawab perseorangan, pendidikan dan perubahan. Orientasi idiologinya
secara paradoksal melahirkan tiga kubu dalam satu negara. yakni kelompok Jama’ati Islami
yang dipimpin oleh ulama, kelompok penguasaan serta kelompok kyai tradisional. Kaum
ulama yang mewakili tradisi Islam secara murni menyimpulkan bahwa Islam populer yang
dipimpin oleh kyai tradisional dianggap menyesatkan karena pengalaman keagamaannya
penuh dengan penyakit TBC (takhul, bid’ah dan khurafat) yang harus digantikan oleh Islam
kaffah sebagai gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jama’ati Islami. Sayangnya
keinginan Jama’ati ini hanya bersifat teori saja, hal ini disebabkan karena Islam populerlah
yang dominan pada kehidupan masyarakat. Evolusi negara Islam di Pakistan telah
dipengaruhi secara mendalam oleh kedudukan Islam populer. Selain itu mereka tidak tahu
bagaimana caranya mendirikan kembali masyarakat Islam, serta tidak mengetahui apa yang
harus mereka kerjakan untuk mendirikan negara impian itu, dan ini merupakan salah satu
kelemahan jama’ati Islami.

Melihat peluang bagi kaum Jama’ati Islami yang menganggap bahwa mereka
mempunyai fungsi yang tepat untuk membangkitkan kesadaran massa supaya mereka bisa
membangun negara impian. Lebih dari 30 tahun Jama’ati Islami telah memasuki hampir
semua bidang sosial kehidupan masyarakat, terhadap birokrasi negara, polisi, organisasi
pelajar, serikat buruh dan pers. Ini berarti bahwa peluang bagi mereka ada sekalipun kecil dan
sangat berpengaruh melalui simpatisan mereka, hampir berhasil mengambil alih departemen
kunci.

Keberhasilan yang hampir ditembus dalam segala bidang sosial kehidupan masyarakat
yang sangat sulit, disebabkan karena al-Maududi menghadapi tantangan bukan hanya dari
kalangan keluarganya akan tetapi juga tantangan dari segi kondisi materi untuk melanjutkan
perjuangannya. Apalagi Al-Maududi menyadari kelemahan anggotanya dari segi Sumber

39
Daya Manusia (SDM) yang tidak siap meng-hadapi kesulitan dalam berbagai dimensi
kehidupan. Akan tetapi dengan ketabahan dan komitmen bahwa Allah tidak akan menyia-
nyiakan perjuangan hamba-Nya, hal inilah merupakan kekuatan moral untuk melanjutkan
perjuangannya.

Di samping itu, al-Maududi juga menghadapi tantangan dari teman seperjuangannya,


bahkan banyak yang keluar dari barisan Jama’ati Islami karena tidak tahan lagi menghadapi
cobaan secara terus-menerus, dan pada tahun 1957 terjadi pergolakan dalam barisan Jama’ati
Islami disebabkan kerena tidak adanya kesatuan visi dalam memandang da’wah dan politik.
Sementara menurut Al- Maududi sebagaimana yang diungkapkan oleh Amin Rais yang
sangat menyayangkan orang yang mendikotomikan antara da’wah dan politik. Justru
menurutnya antara da’wah dan politik tidak hanya memiliki hubungan fungsional, tetapi juga
memiliki hub ungan organik, dan semestinya politik dijadikan sebagai alat da’wah.60
Penjelasan di atas memberikan suatu gambaran bahwa gerakan da’wah yang dilakukan oleh
Al-Maududi merupakan sebagai suatu revolusi.

2.3. Pengertian Da’wah

2.3.1. Da’wah
Kata-kata “da’wah” berasal dari bahasa Arab, yaitu: ‫ دَع َْوةا‬- ‫ يَدْعُو‬- ‫عا‬
َ َ‫“ د‬Seruan,
panggilan, ajakan, jamuan”.61 Dalam KBBI, kata da’wah berarti penyiaran. Lebih lengkapnya
adalah penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk
memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.62

Pengertian da’wah secara etimologi masih luas ruang pemakaiannya. Namun, dalam
konteks kemasyarakatan, penggunaan kata da’wah lebih banyak diartikan kepada seruan atau
ajakan untuk kebajikan dan jalan yang benar. Perkembangan Islam dari waktu ke waktu juga
tidak luput dari kegiatan da’wah yang dilakukan oleh pemeluknya. Jadi dapat disimpulkan,
bahwa da’wah tersebut merupakan suatu kegiatan untuk memaparkan atau mengajari ajaran
agama kepada umat manusia, yang seterusnya mengajak mereka untuk mengamalkannya
dalam kehidupaan sehari-hari.

Adapun pengertian da’wah secara terminologi terdapat beragam pengertian yang

60Afrian Husaini, Soeharto¸(Jakarta: Gema Insani Press), h. 23.


61Daryanto, S.S, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo, 1998), hlm. 384.
62Tim Penyusun Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka,

2007), hlm. 232.

40
diberikan oleh para ahli dalam bidang da’wah Islam. Antara lain adalah sebagai berikut:

a. Samsul Munir dalam kitab Hidayatul Mursyidin karangan Ali Mahfudh


mengatakan; dakwah adalah upaya untuk mendorong umat manusia melakukan
kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintahkan mereka berbuat baik
(ma‘ruf) dan mencegah dari perbuatan mungkar agar mereka memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.63
b. Al-Bayanuni; dakwah adalah penyampaian informasi Islam dan pengajaran Islam
kepada manusia serta penerapannya dalam kehidupan yang nyata.64
c. Abu Bakar Zarkasyi; dakwah adalah usaha para ulama yang bertujuan untuk
memberi pengajaran kepada masyarakat tentang urusan keagamaannya dan
keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.65
d. Quraish Shihab; dakwah adalah seruan dan ajakan kepada keinsafan atau usaha
mengubah situasi kepada situasi yang lebih baik, mulai dari tingkat pribadi
hingga masyarakat.66
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas atau usaha
yang harus dikerjakan oleh sekelompok atau keseluruhan umat Islam sesuai dengan
fasilitas dan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Hal ini setidaknya berdasarkan tuntunan
dalam al-Qur’an surat Ali-‘Imran [3] ayat 104, yaitu:

.‫ع ِن ا ْل ُم ْنك َِر ۚ َوأُو َٰلَئِكَ هُ ُم ا ْل ُم ْف ِل ُحو َن‬


َ ‫َو ْلتَكُ ْن مِ ْنكُ ْم أُمةٌ يَدْعُو َن إِلَى ا ْل َخي ِْر َويَأْ ُم ُرو َن بِا ْل َم ْع ُروفِ َويَ ْن َه ْو َن‬

Artinya: Dan hendaklah ada sebahagian di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar;67 dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali-
‘Imran [3]: 104)68

63Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Cet. I, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 3.
64Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, Al-Madkhal ila ‘Ilm al-Dakwah, (Bairut: Muassah al-
Risalah, 1991), hlm. 17.
65Abu Bakar Zarkasyi, al-Dakwah ila al- Islam, (Mesir: t.p, t.t.), hlm. 8.

66M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu Dalam Kehidupan,

(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 55.


67Ma’ruf adalah segala sesuatu perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan

Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.


68Kementerian Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya…, hlm. 79.

41
Berdasarkan ayat di atas maka dapat dipahami bahwa aktifitas da’wah Islam tidak
boleh dihentikan kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Artinya, al-Qur`an
mengimbau kepada umat Islam harus selalu ada yang melaksanakan aktivitas da’wah Islam,
walaupun itu hanya dilakukan oleh segilintir atau sekelompok umat saja. Da’wah merupakan
tanggung jawab umat yang telah menerima dan memeluk Islam, sehingga umat Islam
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan tentang ajaran Islam itu sendiri.

Adapun tujuan pokok dari da’wah itu sendiri adalah amar ma’ruf nahyi mungkar
untuk meraih keridhaan Allah SWT, dalam menjalani kehidupan di dunia ataupun di akhirat
nantinya. Da’wah bertujuan untuk terus melestarikan syiar Islam dalam kehidupan umat
manusia.

Dalam upaya mencapai tujuan da’wah sebagaimana dimaksudkan di atas, maka


dianggap perlu diterapkan strategi dalam ber-da’wah. Asmuni Syakir menyebutkan strategi
da’wah merupakan suatu metode siasat, taktik atau manuver yang digunakan dalam aktivitas
da’wah.69 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa strategi pada
hakekatnya adalah perencanaan (planning) dan management untuk mencapai suatu tujuan.
Tetapi untuk mencpai tujuan tersebut, strategi tidak hanya berfungsi sebagai peta jalan yang
hanya menunjukkan arah saja, melainkan harus menunjukkan bagaimana teknik (cara)
operasionalnya. Dengan demikian strategi da’wah merupakan perpaduan dari perencanaan
(planning) dan management da’wah untuk mencapai suatu tujuan.

Lebih lanjut Asmuni Syakir mengemukakan bahwa stretegi da’wah yang


digunakan dalam aktivitas da’wah semestinya memperhatikan beberapa hal berikut
ini, yaitu:
a. Azas filosofi, yaitu azas yang membicarakan tentang hal-hal yang erat
hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai dalam proses da’wah.
b. Azas psikologi, yaitu azas yang membahas tentang masalah yang erat
hubungannya dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i adalah manusia, begitu
juga sasaran atau objek da’wah yang memiliki karakter kejiwaan yang unik,
sehingga ketika terdapat hal-hal yang masih asing pada diri mad’u tidak
diasumsikan sebagai pemberontakan atau distorsi terhadap ajakan.
c. Azas sosiologi, yaitu azas yang membahas masalah-masalah yang berkaitan
dengan situasi dan kondisi sasaran da’wah, misalnya politik masyarakat setempat,

69Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 32-33.

42
mayoritas agama di daerah setempat, filosofi sasaran da’wah, sosio-kultur dan
lain sebagainya, yang sepenuhnya diarahkan pada persaudaraan yang kokoh,
sehingga tidak ada sekat di antara elemen da’wah, baik kepada objek (mad’u)
maupun kepada sesama subjek (pelaku da’wah).
d. Azas kemampuan dan keahlian (achievement and profesional), yaitu azas yang
lebih menekankan pada kemampuan dan profesionalisme subjek da’wah dalam
menjalankan misinya. Latar belakang subjek da’wah akan dijadikan ukuran
kepercayaan mad’u.
e. Azas efektifitas dan efisiensi, yaitu azas yang menekankan usaha melaksanakan
kegiatan dengan semaksimal mungkin sesuai dengan planning yang telah
ditetapkan sebelumnya.70

Seluruh azas yang dijelaskan di atas termuat dalam metode da’wah yang harus
dipahami oleh pelaku da’wah. Di mana Istilah metode atau methodos (Yunani) diartikan
sebagai rangkaian, sistematisasi dan rujukan tata cara yang sudah dibina berdasarkan rencana
yang matang, pasti dan logis.71
1. Dayah
Kata dayah berasal dari kata zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti sudut atau
pojok mesjid (Kamus A.W. Munawwir, 1997).72 Kata zawiyah pertamanya dikenal di Afrika
Utara pada awal perkembangan Islam, yang dimaksud dengan zawiyah pada masa itu adalah
satu pojok sebuah mesjid yang menjadi halqah para sufi, para sufi ini biasanya berkumpul,
bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam serta berbagai aktivitas lainnya di
mesjid. Pada masa Rasulullah saw sudah dikenal beberapa istilah lain dalam khazanah
pendidikan Islam antara lain; Shuffah yaitu tempat yang digunakan untuk aktivitas
pendidikan, Maktab yaitu sebuah lembaga pendidikan Islam yang paling dasar disamping
zawiyah dan shuffah, Majelis yaitu tempat berlansungnya proses belajar mengajar, Halaqah
yaitu lingkaran dimana para murid duduk melingkari gurunya dan mendengar setiap sesuatu
penjelasan dari guru, Ribath yaitu tempat para sufi mengkonsentrasikan dirinya dalam
ber’ubudiyah kepada Allah SWT, juga pada kegiatan keilmuwan yang biasanya dipimpin

70http://sutiknotaliabo.blogspot.co.id/2013/05/strategi-dakwah.html, diunduh pada tanggal 17


Desember 2017.
71
Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 56.

72
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. XIV, 1997),
hlm. 595.

43
oleh seorang Mursyid (guru besar).73
Dilihat dari definisi masing-masing istilah tersebut dan apa yang kita dapati serta yang
terjadi dalam lingkungan dayah di Aceh sekarang ini, maka istilah-istilah dimaksud
kesemuanya terdapat dalam lingkungan dayah di Aceh. Balai (shuffah) sebagai ciri khas
dayah yang dijadikan sebagai tempat aktivitas pendidikan dan proses belajar-mengajar,
Tingkatan kelas (maktab) merupakan pemisahan tingkat keilmuwan di dayah bagi para murid
(Tajzi, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan Takhasshus), Halaqah merupakan metode
pembelajaran yang diterapkan di dayah dari dulu sampai sekarang, Mushalla (ribath)
merupakan urat nadi dayah dimana selain sebagai tempat ber’ubudiyah juga digunakan untuk
kegiatan ilmuwan (mubahatsah).
Dalam lintas sejarah pendidikan Islam di Aceh, sebahagian besar dayah salafi sering
kita perdapatkan keberadaannya di pelosok desa atau kawasan pesisir pedalaman yang jauh
dari hiruk pikuk kesibukan perkotaan. Sehingga sungguh tepat apabila kita memahami makna
dayah atau zawiyah adalah sudut/pojok. Akan tetapi, kultur masyarakat Aceh menyebutnya
dengan nama dayah bukan berdasarkan pada letak geografis dayah itu sendiri yang lazimnya
di daerah pedalaman, melainkan istilah dayah merupakan hasil adopsi dari Timur Tengah
yang di bawa pulang oleh Ulama Aceh dahulu.
Sedangkan dalam konteks ke-Indonesia-an, istilah Dayah lebih dikenal dengan nama
Pesantren. Keduanya merupakan satu kesamaan makna dan nuansa secara menyeluruh. Maka
perbedaan sebutan pada dua istilah tersebut hanyalah terletak pada perbadaan tempat dan
kultur daerah. Kata pesantren lebih banyak digunakan di daerah Jawa dan sebagian besar
daerah lain di Indonesia, sedangkan kata dayah khusus digunakan oleh masyarakat Aceh dan
kata surau lazim digunakan oleh masyarakat Minangkabau.
Kesamaan makna dan nuansa secara menyeluruh ini dilihat dari definisi pesantren itu
sendiri yang diberikan oleh beberapa ahli. Di mana terdapat kesamaan makna walau
pengertiannya dalam redaksi yang berbeda. Berikut definisi pesantren menurut pendapat para
ahli, antara lain adalah sebagai berikut:
Istilah Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki pengertian
tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang diberi awalan pe
dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat santri. Kata santri itu
sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant (manusia baik) dan tra (suka

73
Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk, ”Wacana Pemikiran Santri
Aceh”, (Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007), hlm. 148-150.

44
menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan untuk membina manusia
menjadi orang baik.74
Sementara itu A.H. Johns – sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari – berpendapat
bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri berasal dari bahasa Tamil
yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan bahwa kata santri berasal dari istilah
shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau
seorang sarjana yang ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra
yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.75
Sedangkan dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah
sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral
keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat dikatakan lengkap
apabila didalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti pondok, masjid, Kyai
(pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik.76
Abdurrahman Wahid memaknai pesantren secara teknis sebagai a place where santri
(student) live.77 Abdurrahman Mas’ud menulis, the word pesantren stems from ‘santri’ which
means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where
the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.78
Dari berbagai definisi di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya keberadaan
pesantren/dayah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang dekat dengan kehidupan
masyarakat, di dalam makna maupun nuansanya secara menyeluruh. Apalagi pesantren/dayah
merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia (khususnya Aceh), dan telah
banyak memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa, terutama pembangunan moril dan
mental serta pendidikan masyarakat Indonesia.

74
Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Agama dan
Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 328.

75
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 18.
76
Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), hlm.6.

77
Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and Wolfgang
Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi
Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2007), hlm. 12.

78
Abdurrahman Mas’ud, “Why the Pesantren as Center for Islamic Studies Remains Unique and
Stronger in Indonesia”, makalah Seminar Internasional, Prince of songkla University Pattani, tanggal 25-28 Juni
1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-
Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 12.

45
BAB III
GERAKAN DA’WAH TÊNGKÛ HASANOEL
BASHRY

46
BAB III GERAKAN DA’WAH TÊNGKÛ HASANOEL
BASHRY
3.1. Biografi Têungkū Hasanoel Bashry

3.1.1. Latar Belakang Keluarga


Têungkū Hasanoel Bashry adalah seorang ulama dayah salafiyah Aceh, yang lebih
populer dengan sebutan Abu MUDI. Popularisasi nama julukan Abu MUDI ini menunjukkan
tingkat popularitas dan gambaran peran tokoh agama di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Julukan Abu MUDI bagi Têungkū Hasanoel Bashry itu diperoleh karena peran dan jasanya
sebagai pendidik, penegak dan pembangun Lembaga Pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum
Diniyah Islamiyah (MUDI). Sebutan Abu MUDI juga sebagai bentuk penghargaan atas jasa
dan perannya sebagai pemimpin dan pemegang posisi sentral pada Lembaga tersebut, pasca
wafat mertuanya, yaitu Tgk H. Abdul ‘Aziz atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abon.

Têungkū Hasanoel Bashry dilahirkan di Desa Uteun Geulinggang Kecamatan


Dewantara Kabupaten Aceh Utara pada Tanggal 21 Januri 1949 Masehi, atau bertepatan
dengan 26 Sya’ban 1368 Hijriyah. Dia merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Alm. H. Gadeng dengan Almrh. Hj. Manawiyah. aktivitas sehari-hari kedua orang
tuanya adalah sebagai petani dan mengajari anak-anak tentang Al-Qur’an, Kitab Jawi, di
perkarangan rumahnya di Desa Uteung Geulinggang Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh
Utara sampai akhir hayat mereka.79

Têungkū Hasanoel Bashry menikah dengan Shalihah yang merupakan putri sulung
dari Têungkū Abdul Aziz (Abon) pada tahun 1978 pada usia 29 tahun, dan dari hasil
perkawinannya dikarunia 6 anak, 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) anak perempuan
serta saat ini telah mempunyai 10 (sepuluh) orang cucu, 4 dari anak laki-laki dan 6 dari anak
perempuan. Saat ini Têungkū Hasanoel Bashry bertempat tinggal di komplek Lembaga
Pendidikan Islam (LPI) Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya
Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.80

Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry juga menikah lagi dengan seorang janda
pimpinan dayah Cot Bate Glungku Kecamatan Simpang Mamplam Kabupaten Bireun. Dari

79
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

80
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

47
pernikahannya yang kedua, Têungkū Hasanoel Bashry dikarunia 2 orang anak laki-laki.
Alasannya berpoligami tidak lain karena ingin menyelamatkan keberlansungan roda
pendidikan di dayah tersebut. Karena semenjak meninggalnya pimpinan pertama dayah
tersebut, roda pendidikan di dayah itu hampir dapat dikatakan tidak lagi berlansung secara
maksimal. Banyak santri dan dewan guru yang pulang kampung dan berhenti belajar di dayah
tersebut. Bahkan hampir dapat dikatakan dayah tersebut terancam tinggal nama saja dan tidak
ada lagi santri yang belajar. Atas dasar itulah, Têungkū Hasanoel Bashry menikah lagi dan
berupaya menghidupkan kembali roda pendidikan dayah Cot Batee Glungku. Alhasil, dayah
tersebut kembali beraktivitas seperti sedia kala, bahkan menjadi lebih maju dari sebelumnya.
Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry membuat suatu gebrakan baru dengan mendirikan
SLTP dan SMA dalam lingkungan dayah tersebut. Gebrakan tersebut cukup berhasil karena
santri yang belajar di dayah itu terus bertambah setiap tahunnya.81

3.1.2. Riwayat Pendidikan


Pendidikan tingkat dasar ditempuh oleh Têungkū Hasanoel Bashry di daerah
kelahirannya yaitu pada Sekolah Rendah Islam (SRI) Negeri Krueng Geukueh pada tahun
1955 sampai dengan tahun 1962. Kemudian melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama
Pertama (PGAP/setara SLTP sekarang) Krueng Geukueh pada tahun 1962 sampai dengan
tahun 1965. Selama belajar di SRI dan PGAP, keseharian Têungkū Hasanoel Bashry juga
mendalami ilmu Al-Qur`an pada ayahnya yang bernama H. Gadeng. Selain itu, Têungkū
Hasanoel Bashry juga mendalami ilmu agama lainya seperti ilmu fiqih, ilmu aqidah akhlaq,
ilmu tauhid, ilmu hahwu, ilmu saraf pada gurunya yang bernama Tgk. H. Muhammad Ali,
yang juga masih satu kampung dengannya.82

Selanjutnya pada tahun 1965 ia menempuh jalur pendidikan non-formal, yaitu


menempuh pendidikan di dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya
Samalanga, sampai selesai pada tahun 1972. Setelah selesai, Têungkū Hasanoel Bashry
memperdalam ilmunya di Dayah Bustanul Muhaqiqin di Desa Puuk Kemukiman Tanjongan
Kecamatan Samalanga hingga selesai pada tahun 1975. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Dayah Bustanul Muhaqiqin, ia kembali ke Dayah MUDI Mesjid Raya dan
mengabdikan ilmunya sebagai tenaga pengajar. Sampai akhirnya melalui kesepakatan dalam
musyawarah besar (Mubes) alumni Dayah MUDI, ia terpilih sebagai pimpinan Dayah MUDI
Mesjid Raya Samalanga pada tahun 1989 sampai dengan sekarang ini. Dayah MUDI Mesjid

81
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
82
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

48
Raya pada saat ini memiliki santri putra dan putri tetap berjumlah 7.200-an orang dan
memiliki puluhan ribu alumni yang tersebar diseluruh Indonesia dan bahkan di luar negeri.83

Faktor kedua orang tua dan keluarganya serta keinginan dalam diri yang kuat,
menjadi alasan utama Têungkū Hasanoel Bashry memilih dayah sebagai lanjutan jenjang
pendidikannya. Karena rajin mendalami ilmu agama sejak masih kecil, ditambah lagi dengan
didikan agama dari kedua orang tuanya, menjadi bekal awal yang dibawanya ke dayah MUDI
demi lebih mendalami lagi berbagai disiplin ilmu agama. Potensi bawaaan tersebut kemudian
ditempa dengan pendidikan yang memadai, luas dan mendetail lagi di dayah MUDI. Têungkū
Hasanoel Bashry belajar secara intensif dan serius kepada beberapa guru dalam berbagai
disiplin ilmu. Adapun guru utama84 yang cukup berpengaruh dalam pengembangan ilmu
agamanya dan penempaan pola pikirnya antara lain adalah sebagai berikut:85

1. Tgk. H. Abdul ’Aziz bin Muhammad Shaleh (Abon)

Abon adalah guru utama dan terlama bagi Têungkū Hasanoel Bashry dalam proses
pengembangan ilmu agama dan pengembangan pola pikirnya dalam dunia dakwah Islam.
Lamanya masa ini dianggap cukup memadai untuk suatu proses internalisasi idealisme ilmiah
antara seorang guru dengan murid. Setelah belajar berbagai disiplin ilmu dari Abon dan
menguasainya dengan baik, dirinya mendarmabaktikan diri seutuhnya di Dayah MUDI juga
sebagai tenaga pengajar. Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry diangkat sebagai asisten
sekaligus dijadikan sebagai menantu Abon. Dari sinilah Têungkū Hasanoel Bashry mulai
meniti karir ilmiah dan selanjutnya mampu menjadi pelanjut pengelola Dayah MUDI
sepeninggalan Abon, yang notabene merupakan ayah mertuanya.

2. Tgk. H. Muhammad Daud Abbas

Di samping Tgk. H. Abdul ’Aziz bin Muhammad Shaleh (Abon), Tgk. H. Muhammad
Daud Abbas juga adalah gurunya yang berperan penting dalam proses pembelajaran Têungkū
Hasanoel Bashry. Tgk. H. Muhammad Daud Abbas adalah guru privat yang paling
berpengaruh pada diri Têungkū Hasanoel Bashry. Karena selain mengajari kitab- kitab
tentang berbagai disiplin ilmu agama, juga memberikan modal usaha kepada Têungkū

83
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

84
Dalam hal ini, dengan hanya menyebutkan dua orang guru saja, penulis tidak bermaksud
mengesampingkan kontribusi guru-gurunya yang lain, yang juga berperan besar dalam pengembangan ilmu
agama Têungkū Hasanoel Bashry.
85
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

49
Hasanoel Bashry agar mandiri dan bisa meringankan beban ekonomi keluarganya yang
tergolong pas-pasan. Setelah dirinya dianggap mampu dan menguasai materi kitab Arab
klasik yang diajarkan secara intensif, maka Tgk. H. Muhammad Daud memberikan tugas
kepadanya untuk menjadi guru privat bagi beberapa orang santri pemula. Di antara murid-
murid privat Têungkū Hasanoel Bashry yang telah berhasil adalah: Prof. Dr. Hasballah Thaib,
Tgk. Muhammad Ali Ahmad Lamkawe, Tgk. Bukhari Husni Kuta Cane, Tgk. H. Muhammad
Amin Daud, dan masih banyak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

3. Karir dan Prestasi

Selain sebagai pimpinan Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, Têungkū Hasanoel
Bashry juga dipercayakan untuk mengemban beberapa jabatan sosial. Berikut ini beberapa
jabatan Têungkū Hasanoel Bashry dalam beberapa Organisasi Kemasyarakatan, yaitu sebagai
berikut:

a. Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Kabupaten Bireuen periode


tahun 2003 sampai dengan 2015.
b. Ketua Syuriyah Nahdhatul Ulama (NU) Kabupaten Bireuen periode tahun 2003
sampai dengan sekarang.
c. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI) Kecamatan Samalanga periode tahun
2003 sampai dengan sekarang.
d. Penasehat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen periode
tahun 2003 sampai dengan sekarang.
e. Anggota Majelis Syuriyah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi
Aceh periode tahun 2003 sampai dengan sekarang.
f. Ketua Himpunan Ulama Dayah (HUDA) periode tahun 2014-2019.86
4. Karya-karya

Hasil-hasil karya Têungkū Hasanoel Bashry dalam bentuk tulisan ilmiah yang
penulis temukan, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Buku berjudul “Pemikiran Ulama Dayah Aceh” yang diterbitkan oleh BRR-NAD
Nias pada tahun 2006.
b. Buku berjudul “Manazil Al-Sa’irin” yang berisi komentarnya terhadap buku/kitab
“Al-Manazil” karya Imam Al-Anshari (w.481/1089).

86
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

50
Selain karya tulis dalam bentuk buku tersebut, Têungkū Hasanoel Bashry juga
banyak menghasilkan karya tulis populer. Di mana semua tulisan-tulisannya dalam
bentuk karya tulis populer di publis di media online seperti website: www.lbm-mudi.com,
www.lpdm.mudimesra.com, www.suaraaceh.com, www.al-aziziyah.com dan media-media
online lainnya.

3.2. Gerakan Da’wah Têungkū Hasanoel Bashry

3.2.1. Gerakan Da’wah


Têungkū Hasanoel Bashry menjalankan gerakan da’wah dalam beberapa bentuk
gerakan yang diaplikasikannya dalam menjalankan da’wah-nya, antara lain :

a. Bidang Pendidikan
1) Pendidikan Formal
Pendidikan Formal yang dikembangkan oleh Têungkū Hasanoel Bashry selama ini
yaitu Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) yang ditempatkan di komplek Dayah Jamiah Al-Aziziyah Desa
Batee Iliek Kecamatan Samalanga, Dayah Jamiah merupakan salah satu cabang
dari Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga yang berdiri pada Tahun 2012.
Selanjutnya Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah dulunya adalah Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah yang didirikan pada Tahun 2003 yang
sampai dengan saat ini sudah memiliki 3 (tiga) Fakultas dan 8 Prodi serta telah
meluluskan 2000 lebih lulusan sampai dengan tahun 2017.87
2) Pendidikan Non Formal
Pendidikan Non Formal yang dikembangkan di Pesantren MUDI Mesjid Raya
adalah Paket B dan Paket C yang dibuka khusus untuk santri-santri yang belum
memiliki ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA), Pendidikan paket B dan C ini berkerjasam dengan Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Bireuen pada waktu melalui Perantaraan Kepala Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kecamatan Samalanga. Selanjutnya Madrasah
Aliyah Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga, di mana santri yang telah
menyelesaikan Pendidikan di Tingkat Aliyah akan diberikan ijazah dayah Aliyah.
Selain itu juga sudah ada Pendidikan Tinggi atau disebut Ma’had Aly, yang tahun
2017 telah diresmikan leh Menteri Agama Republik Indonesia, Dayah MUDI

87
Profil Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga Tahun 2017, hlm. 2.

51
Mesjid Raya merupakan salah satu dayah yang diberikan kepercayaan
mengembangkan Pendidikan Ma’had Aly.88
3) Majelis Taklim

Têungkū Hasanoel Bashry sampai dengan saat ini mengasuh beberapa majelis
taklim, seperti pengajian rutin kepada para guru di Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga di Komplek dayah, Pengajian kepada para Imum Mukim dan Imum
Gampong di Balai Al-Bakri Samalanga setiap Hari Rabu, pengajian kepada
Pejabat dalam Kabupaten Bireuen setiap Hari Jumat awal bulan di Mesjid Agung
Kabupaten Bireuen, pengajian Tasauf Tauhid dan Fiqih di setiap Hari Jumat awal
bulan di Mesjid Baiturrahman Banda Aceh, dan berberapa tempat yang lain.89

Sampai dengan saat ini pengajian dan zikir Tastafi sudah digemari oleh sebagian
masyarakat, karena pengajian tersebut diasuh oleh beberapa ulama besar di Aceh.
Pengurus Tastafi juga sudah terbentuk sampai di beberapa kabupaten/kota dan
selain sebagai sebuah organisasi, Tastafi juga mewajibkan pengurusnya untuk
membuat berbagai kajian tentang permasalahan yang timbul dalam masyarakat.90

b. Bidang Ekonomi
Selain gerakan dalam bidang Pendidikan, Têungkū Hasanoel Bashry juga
mengembangkan gerakan da’wah dalam bidang ekonomi yaitu dengan mendirikan
Koperasi Al-Barkah di Komplek Dayah MUDI Mesra pada Tahun 1980, sekarang
koperasi tersebut telah berkembang pesat, selain untuk memenuhi segala
keperluan santri juga telah dibuka untuk masyarakat umum, sehingga bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar Dayah MUDI tersebut. Selain koperasi
yang ada di komplek Dayah MUDI, pengembangan ekonomi juga dibuka di Kota
Samalanga dengan membuka Toko Buku dan Kitab “Bina Ilmu”, ATK dan
Fotocoy “Toko MUDI Jaya, Bengkel Kereta “Al-Barkah” bertempat di Jalan
Medan – Banda Aceh Simpang Matang Samalanga, Toko Serba ada “MUDI
Mekar” di Keude Ulee Gle, Distributor Air Mineral “Yadara” dan menyediakan
peralatan masak dan kosmos bagi santri dan dewan guru Dayah MUDI Mesjid

88
Profil Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga Tahun 2017, hlm. 2.

89
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
90
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

52
Raya dengan sistim sewa pertahun dan perbulan. Dari hasil usaha-usaha tersebut
maka pertahun akan dibagi keutungan antara pihak Dayah MUDI Mesjid Raya
dan pihak pengelola, kebanyakan dari pengelola usaha tersebut adalah dewan guru
yang masih menetap di komplek Dayah MUDI Mesjid Raya dalam rangkan
membantu ekonomi mereka.91
c. Bidang Sosial
Selain Bidang Pendidikan dan Ekonomi, gerakan da’wah Têungkū Hasanoel
Bashry juga membentuk Ikatan Alumni MUDI Mesra sejak tahun 2000, di mana
dalam setiap tahunnya akan dibuat acara Mubahasah seluruh ulama dayah di
Komplek Dayah MUDI Mesra Samalanga dengan sistim bedah kitab dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat baik yang
menyangkut dengan hukum agama maupun hukum lainnya. Ikatan alumni MUDI
Mesjid Raya sangat kuta dan sudah terbentuk dalam setiap kabupaten/kota dan
sudah ada pengurus-pengurusnya yang ditetapkan dalam setiap 5 (lima) tahun
sekali.92
d. Bidang Politik
Dalam mengembangkan gerakan da’wah selain jalur Pendidikan, ekonomi dan
sosial, dalah bidang politik juga Têungkū Hasanoel Bashry juga terlibat langsung
dalam melahirkan Partai Daulat Aceh, (sekarang Partai Daerah Aceh), dalam
melahirkan partai tersebut Têungkū Hasanoel Bashry bekerjasama dengan
beberapa ulama Aceh lainnya, sehingga dalam struktur Partai Daulat Aceh
dulunya Têungkū Hasanoel Bashry menjabat sebagai Pembina partai. Alasan
Têungkū Hasanoel Bashry terlibat dalam melahirkan partai politik adalah supaya
lulusan dayah mampu masuk dalam pemerintah atau sebagai pengambil kebijakan
dalam memajukan pendidikan dalam bidang keagamaan.93
Dalam beberapa kali pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bireuen, Gubernur dan
Wakil Gubernur Aceh, Têungkū Hasanoel Bashry juga ikut datang dalam
kampanye salah satu calon serta ikut menepungtawari juga, hal tersebut menjadi
salah satu bukti bahwa Têungkū Hasanoel Bashry memang punya pandangan

91
Wawancara dengan Têungkū Nasir Salahuudin, Ketua Koperasi MUDI Mesjid Raya Tahun 2017-2018
pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 07.30 wib.
92
Wawancara dengan Têungkū Sayed Mahyiddin, Ketua Alumni MUDI Mesjid Raya Tahun 2015-2020
pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 07.30 wib.

93
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

53
tersendiri dalam politik.
e. Bidang Pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan Têungkū Hasanoel Bashry merupakan salah satu
ulama yang dipercayakan oleh pemerintah sebagai penasehat pemerintah dalam
bidang keagamaan, sehingga hubungan antara ulama dan umara berjalan dengan
baik. Têungkū Hasanoel Bashry juga dipercayakan oleh ulama-ulama Aceh yang
lain untuk memimpin organisasi Himpunan Ulama Daya Aceh (HUDA) sebagai
ketua masa jabatan Tahun 2015-2020. Organisasi HUDA merupakan organisasi
yang bisa berhubungan langsung dengan pemerintahan dan mengingatkan
pemerintah jika melanggar aturan dalam bidang keagamaan.94
Selain itu Têungkū Hasanoel Bashry dipercayakan sebagai penasehat Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Aceh masa jabatan 2017-2022, dengan
jabatan tersebut tentu Têungkū Hasanoel Bashry bisa memberikan masukan dan
saran yang baik bagi lembaga MPU Aceh serta mengingatkan para Ketua dan
Anggota MPU Aceh jika salah dalam mengambil kebijakan atau tidak sesuai
dengan aturan yang berlaku.95

3.2.2. Media Da’wah


Dalam menjalankan gerakan da’wah tentunya membutuhkan media sebagai
pendukung kegiatan gerakan da’wah. Têungkū Hasanoel Bashry dalam melakukan kegiatan
da’wah-nya, juga ditunjang oleh beberapa media yang mendukung kegiatannya, antara lain
adalah sebagai berikut:96
a. Perguruan Tinggi
Pada tahun 2003, Têungkū Hasanoel Bashry dengan penuh keberanian dan
tekad yang kuat, melakukan sebuah terobosan baru dalam lingkungan dayah
tradisional Aceh. Terobosan dimaksud adalah dengan mendirikan Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah dalam komplek Dayah MUDI Mesjid Raya
Samalanga, di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Al-Aziziyah (YPIA).
Walaupun pada awal berdirinya diwarnai pro dan kontra dari berbagai kalangan,
namun sekarang ini Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah – perubahan status

94
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
95
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
96
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

54
dari STAI Al-Aziziyah – merupakan salah satu Perguruan Tinggi Islam yang
digemari oleh masyarakat luas.97
Tujuan utama Têungkū Hasanoel Bashry dengan mendirikan perguruan
tinggi ini dalam lingkungan dayah tradisional adalah murni untuk mencerdaskan
anak bangsa dan mengkaloborasi antara kemampuan akedemis dengan
kemampuan ilmu agama yang diserap dalam dayah. Di samping juga membuka
kesempatan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah agar dapat
menlanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Dalam kurun waktu sejak berdirinya
tahun 2003, IAI Al-Aziziyah telah mensarjanakan 2026 orang lulusan. Artinya
lulusan IAI Al-Aziziyah memiliki kelebihan tersendiri, yakni perpaduan antara
sisi akademik dan sisi ilmu agama.98
Para lulusan-lulusan IAI Al-Aziziyah inilah yang nantinya diharapkan
Têungkū Hasanoel Bashry dapat mewarnai dalam berbagai lini dan aspek
kehidupan masyarakat. Misalnya mereka dapat mengawal dan membenahi praktik
pernikahan di KUA sesuai dengan ketentuan syari’at agama bagi yang bertugas di
KUA; dapat mentransformasikan pemahaman agama yang benar sesuai dengan
mazhab yang kita anut, bila mereka mengambil profesi sebagai guru atau dosen.99
Singkatnya, para lulusan IAI Al-Aziziyah pada khususnya dan lulusan
MUDI pada umumnya dapat menjadi agent of change dalam lingkungannya
masing-masing, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka masing-masing.
Program men-sarjana-kan santri dan men-santri-kan para sarjana, setidaknya
menjadi alasan tersendiri bagi Têungkū Hasanoel Bashry, sehingga dengan penuh
keberanian menciptakan suatu terobasan baru dengan mendirikan perguruan tinggi
dalam lingkungan dayah MUDI yang dipimpinnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perguruan tinggi yang didirikan oleh Têungkū Hasanoel Bashry
adalah sebagai salah satu media dalam menunjang kegiatan da’wah-nya.
b. Mimbar
Kegiatan da’wah Têungkū Hasanoel Bashry tak terlepas dari mimbar. Dulunya
Têungkū Hasanoel Bashry merupakan seorang pen-da’i yang turun keberbagai
daerah untuk menyampaikan da’wah. Alasan Têungkū Hasanoel Bashry memilih
mimbar sebagai media da’wah pada tahap awal aktivitas da’wah-nya adalah
97
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
98
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

99
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

55
karena mengikuti kultur dan perkembangan da’wah dalam masyarakat. Di mana
mimbar itu identik dengan aktivitas da’i dalam ber-da’wah. Namun seiring
perkembangan dan kepekaannya terhadap output dari aktivitas da’wah-nya,
mimbar tidak lagi dijadikan sebagai media da’wah-nya dalam beberapa tahun
terakhir ini. Karena anggapannya mengubah orang dengan ber-da’wah100 bersifat
sesaat. Mengubah orang lebih cepat dengan kegiatan pengajian atau majelis
taklim, karena itu lebih meresap dalam jiwa mereka. 101
c. Masjid/Mushalla
Selain mimbar yang digunakan sebagai media da’wah, Têungkū Hasanoel Bashry
juga menggunakan masjid atau mushalla sebagai media dalam ber-da’wah, karena
itu mencontohkan sebagaimana Rasulullah saw dulu dalam ber-da’wah juga
menggunakan pelataran masjid. Masjid yang digunakan sebagai media da’wah
merupakan masjid yang mendapat izin dari pengurus maupun pemerintah, serta
dilakukan bukan pada waktu shalat, sehingga hal tersebut tidak bertentangan
dengan hukum. Alasan Têungkū Hasanoel Bashry memilih Masjid/Mushalla
sebagai media da’wah, di samping mengikuti jejak Rasulullah saw,
Masjid/Mushalla adalah sebagai tempat berkumpulnya umat Islam sehingga layak
dan pantas untuk dijadikan sebagai media da’wah.102

d. Media Massa
1) Media Cetak
a) Koran
Media cetak juga menjadi salah satu media dalam melakukan kegiatan
da’wah. Apalagi di Aceh sekarang ini sudah ada beberapa media cetak
yang siap menampung berbagai pemikiran dan persoalan keagamaan.
Perkembangan tersebut menjadi peluang besar bagi para da’i dalam
mengembangkan aktivitas da’wah dengan memanfaatkan media cetak
sebagai media da’wah. Peluang itulah yang dimanfaatkan oleh Têungkū
Hasanoel Bashry dalam mengembangkan aktivitas da’wah-nya, di mana

100
Yang dimaksud dengan ber-da’wah di sini adalah kegiatan da’wah dalam kultur masyarakat Aceh.
Yakni aktivitas da’wah yang dilakukan pada moment tertentu, misalnya dalam rangka memperingati Hari-hari
Besar Islam. Di mana sekelompok masyarakat mengundang seorang da’i untuk menyampaikan da’wah
(berpidato/ceramah) dihadapan mad’u yang berjumlah ratusan orang bahkan sampai ribuan orang.

101
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
102
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

56
Têungkū Hasanoel Bashry pernah mengirim beberapa tulisan tentang
hukum pada harian Serambi Indonesia dan harian Waspada. Melihat
fenomena sekarang ini, surat kabar (koran) hampir dapat dikatakan telah
berubah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, di mana semua orang
setiap harinya mengkonsumsi berita dari koran. Maka fenomena inilah
yang menjadi alasan Têungkū Hasanoel Bashry menjadikan koran sebagai
media dalam da’wah-nya.103
b) Buletin
Selain koran, media cetak lainnya yang dipakai Têungkū Hasanoel Bashry
untuk kegiatan ber-da’wah adalah Buletin Dayah Global News yang
diterbitkan oleh Badan Dayah Kabupaten Bireuen. Di mana buletin
tersebut terbit pertiga bulan sekali (triwulan), dan memuat profil-profil
dayah dan pemikiran dari pimpinan-pimpinan dayah yang ada dalam
wilayah Kabupaten Bireuen. Badan Dayah Kabupaten Bireuen telah aktif
mengeluarkan buletin selama tiga tahun belakangan ini, yakni sejak tahun
2014 sampai dengan sekarang. Alasannya menjadikan buletin sebagai
media da’wah juga hampir sama dengan koran juga. Di samping itu,
faktor sebuah keharusan juga menjadi alasan tersendiri. Karena buletin itu
merupakan program Badan Dayah Kabupaten Bireuen, maka sebagai
bagian dari keluarga besar dayah harus ikut aktif dalam menjalankan dan
mensukseskan program dari Badan Dayah.104
c) Majalah
Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyyah Islamiyyah (MUDI) Mesjid Raya
Samalanga sejak tahun 2010 telah aktif mengelola sebuah majalah yang
diberi nama Majalah UMDAH. Majalah tersebut terbit perbulan, dan
dalam setiap edisi selalu memuat materi da’wah Têungkū Hasanoel
Bashry mengenai berbagai persoalan keagamaan yang terjadi dalam
masyarakat. Majalah itu dikelola oleh Lajnah Bahsul Masail (LBM)
Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga. Tujuan dasar dari penerbitan
Majalah UMDAH tersebut adalah untuk mentransformasikan pemikiran
dan ilmunya kepada santri-santri dayah dan masyarakat luas, yang tidak

103
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

104
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

57
sempat menyerap ilmu secara langsung (bertatap muka) dari dirinya. Di
samping itu juga untuk memudahkan masyarakat awam dalam
mengkonsumsi pemikiran para ulama-ulama terdahulu dalam redaksi yang
mudah dipahami. Itulah yang menjadi alasan Têungkū Hasanoel Bashry,
menjadikan majalah sebagai media da’wah.105
2) Media Sosial
a) Facebook
Fanpage Faceebook dengan alamat akunnya
https://www.facebook.com/abu.mudi/photos/a.278030575619122.67855.1
26044627484385/278094495612730/?type=3 adalah milik Têungkū
Hasanoel Bashry. Melalui akun fanpage ini, Têungkū Hasanoel Bashry
aktif menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh setiap orang tentang
persoalan keagamaan, dan fanpage ini telah menjadi alternatif bagi
pengguna facebook untuk bertanya lansung perihal keagamaan dan
permasalahan lainnya kepada Têungkū Hasanoel Bashry.106
b) Twitter
Selain fanpage facebook, Têungkū Hasanoel Bashry juga menggunakan
twitter dengan akun LBM LPI MUDI Mesra sebagai akun resmi dalam
menyampaikan hukum atau menjawab persoalan yang ditanyakan oleh
pengguna twitter ini. Alasan menggunakan twitter sebagai media da’wah
adalah permintaan dari peserta majelis taklim, karena ada sebagian orang
yang tidak suka menggunakan facebook atau media sosial lainnya. 107
Alasan Têungkū Hasanoel Bashry menjadikan media sosial (facebook dan Twitter)
sebagai media da’wah-nya adalah karena melihat perkembangan media sosial yang semakin
menjamur dalam masyarakat. Sehingga media sosial dianggap efektif untuk dijadikan media
da’wah karena tidak terbatas ruang dan waktu, serta dapat diserap oleh semua kalangan
masyarakat. Itulah yang menjadi alasannya aktif ber-da’wah di media sosial. Di samping juga
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam hal yang baik dan bermanfaat, yakni
mentransformasikan pemikiran da’wah-nya kepada masyarakat luas.

105
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
106
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

107
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

58
3.2.3. Metode Da’wah
Dalam gerakan atau aktivitas da’wah-nya selama ini, Têungkū Hasanoel Bashry
menerapkan beberapa metode yang hampir sama dengan yang diterapkan oleh pen-da’wah
lainnya. Adapun metode-metode da’wah Têungkū Hasanoel Bashry, antara lain adalah
sebagai berikut:108
a. Metode Ceramah
Da’wah dan ceramah adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Semua da’i
dalam melakukan aktifitas da’wah pada umumnya dengan metode ceramah, di
samping juga menggunakan metode-metode yang lain. Begitu juga halnya
Têungkū Hasanoel Bashry, metode ceramah atau sering disebut dengan tausyiah
juga sering diterapkan dalam melaksanakan aktivitas da’wah-nya. Metode ini
sering digunakan ketika ber-da’wah pada moment-moment tertentu dalam rangka
memperingati Hari-hari Besar Islam. Seperti peringatan Tahun Baru Hijriah,
Maulid dan ceramah Bulan Ramadhan, yang dilakukan dilingkungan Lembaga
Pendidikan, Pemerintah maupun lembaga lain yang mengundangnya. Dalam
beberapa tahun belakangan ini, sudah ada beberapa lembaga luar negeri yang
mengundangnya untuk memberikan Tausyiah keagamaan, seperti Brunnei
Darussalam, Malaysia dan Singapura.109
b. Metode Tanya Jawab
Akhir-akhir ini, Têungkū Hasanoel Bashry lebih memilih metode tanya jawab
sebagai salah satu metode dalam ber-da’wah di samping metode-metode yang
lain. Hal ini sebagaimana dilakukan Têungkū Hasanoel Bashry di Dayah Bustanul
Ma’arif Kota Langsa. Ketika itu karena kondisi Têungkū Hasanoel Bashry sedang
kurang sehat dan tidak sanggub berceramah, Têungkū Hasanoel Bashry
mensiasatinya dengan memberikan kesempatan kepada audien (mad’u) untuk
menanyakan apa saja yang terkait dengan permasalahan agama. Awalnya para
mad’u kurang berani untuk bertanya lansung, mungkin sungkan atau beragam
alasan lainnya. Melihat kefakuman dari para mad’u tersebut, Têungkū Hasanoel
Bashry mensiasatinya dengan membuka layanan tanya jawab via Shot Massage
Service (SMS) ke nomor handphone Têungkū Hasanoel Bashry yang langsung
diberikan kepada mad’u. Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry menjawab setiap

108
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

109
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

59
pertanyaan dari mad’u yang ditanyakan melalui SMS. Ternyata layanan tanya
jawab via SMS ini efektif dan mendapat respon yang luar biasa dari mad’u. Hal
ini ditandai dengan banyaknya SMS yang masuk, bahkan ada beberapa pertanyaan
yang tidak sempat dijawab ketika itu. Sejak saat itulah da’wah dengan metode
Tanya Jawab via SMS terus berlanjut sampai dengan saat ini. tidak hanya di Kota
Langsa, akan tetapi di semua daerah di Aceh. Sehingga akhirnya Têungkū
Hasanoel Bashry berpendapat bahwa metode da’wah seperti ini lebih bermanfaat
dan efektif dibandingkan dengan metode yang lain, bila da’wah itu sendiri
dilakukan di depan orang banyak. Karena para mad’u akan lebih leluasa dan lugas
bertanya via SMS, sekalipun pertanyaan tersebut bersifat pribadi. Apalagi
Têungkū Hasanoel Bashry tidak pernah menyebutkan identitas orang yang
menanyakan. Di samping melayani tanya jawab via SMS, Têungkū Hasanoel
Bashry juga mengembangkan metode tanya jawab ini dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi. Di mana Têungkū Hasanoel Bashry juga melayani
tanya jawab seputar masalah keagamaan via Facebook,WhatsApp dan Twitter.110
c. Metode Diskusi
Pada kesempatan-kesempatan tertentu, Têungkū Hasanoel Bashry menerapkan
metode diskusi dalam aktivitas da’wah-nya. Artinya metode diskusi ini
dikhususkan penggunaannya pada kondisi yang sifatnya lebih formal, dan
bertujuan untuk melahirkan suatu keputusan para da’i terkait permasalahan umat.
Têungkū Hasanoel Bashry menerapkan metode diskusi dalam kegiatan Muzakarah
Ulama, yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam.111
d. Metode Konsultasi
Têungkū Hasanoel Bashry sering mempraktikkan metode konsultasi ketika satu
atau dua orang mad’u ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait
permasalahan pribadi dari si mad’u. Umumnya si mad’u mendatangi lansung
Têungkū Hasanoel Bashry di kediamannya atau di kantor pribadinya untuk
mengkonsultasikan permasalahan agama yang dihadapi mad’u. Aktifitas da’wah
dengan metode konsultasi ini hampir setiap hari dilakukan oleh Têungkū Hasanoel

110
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

111
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

60
Bashry.112
e. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi yang selama ini dijadikan sebagai metode da’wah oleh
Têungkū Hasanoel Bashry lebih terkhusus kepada para jamaah haji dalam
Kabupaten Bireuen. Dalam kegiatan da’wah-nya, Têungkū Hasanoel Bashry
mengarahkan dan mempraktekkan tata cara pelaksanaan ibadah haji dan umrah.
Bahkan saat ini sudah ada beberapa travel haji dan umrah yang memakai jasa
Têungkū Hasanoel Bashry sebagai pemandu jamaah, seperti Travel El-Hanif, An-
Nawiyah dan Yadara Travel.113
f. Majelis Pendidikan dan Ajaran Agama
Têungkū Hasanoel Bashry dalam melaksanakan da’wah-nya banyak
menggunakan majelis pendidikan sebagai metode da’wah. Karena menurut
Têungkū Hasanoel Bashry, da’wah melalui pendidikan/pengajian lebih bermanfaat
dibandingkan dengan da’wah melalui ceramah. Dalam beberapa tahun ini sudah
banyak majelis pendidikan (majlis ta’lim) yang mengundang Têungkū Hasanoel
Bashry untuk memberikan pengajian yang bersifat mingguan maupun bulanan.
Sehingga kadang kala ada yang harus diwakilkan kepada muridnya yang sudah
dipercaya yaitu Têungkū H. Helmi Imran, MA dan Têungkū Tarmizi Al-Yusufi.
Sebagai catatan tambahan, Têungkū Hasanoel Bashry merupakan penggagas dan
pemrakarsa lahirnya Majelis Pengajian TASTAFI (Tasawuf, Tauhid, dan Fiqih).
Majelis Pengajian TASTAFI berkembang pesat tidak hanya di Aceh, tetapi sudah
diselenggarakan sampai ke luar Aceh.114
Secara keseluruhan, ragam metode da’wah yang djalankan oleh Têungkū
Hasanoel Bashry dalam berbagai aktivitas da’wah-nya, pastinya dilandasi alasan-
alasan tertentu. Dalam hal ini, perbedaan penerapan metode da’wah tersebut lebih
disebabkan karena faktor penyesuaian kebutuhan dan tuntutan kondisi audien
(mad’u). Artinya ketika pada satu kesempatan keadaan menuntut harus dengan
metode ceramah atau tausyiah, maka tidak tepat bila Têungkū Hasanoel Bashry
menerapkan metode diskusi atau metode lainnya. Begitu juga halnya bila aktivitas
da’wah-nya dianggap lebih tepat dengan konsultasi, maka ia akan menerapkan
metode konsultasi. Sungguh aktivitas da’wah tidak akan berlansung efektif bila tidak

112
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
113
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
114
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

61
dibarengi dengan kejelian da’i dalam memilah dan memilih metode sesuai dengan
materi da’wah serta kondisi dan kebutuhan mad’u. Di sinilah kelebihan aktivitas
da’wah Têungkū Hasanoel Bashry yang jeli dalam memilih dan memilah metode
da’wah, sehingga semua metode da’wah yang berkembang diterapkannya.
Singkatnya, alasannya menerapkan ragam metode da’wah semata-mata untuk
mengefektikan dan mengefesienkan aktivitas da’wah-nya, sehingga terserap dengan
baik oleh semua kalangan masyarakat.

3.2.4. Lokasi Da’wah


Dalam melakukan kegiatan da’wah-nya Têungkū Hasanoel Bashry sampai dengan
saat ini masih aktif dalam menjalan rutinitas da’wah di Aceh, seperti pengajian di Mushalla
Al-Bakri Kecamatan Samalanga, Masjid Darul Jamil Beureunuen, Masjid Baiturrahim
Lhoksukon Kabupaten Aceh Utara, Masjid Agung Kabupaten Bireuen, Mesjid Kembang
Tanjong Kabupaten Pidie, Masjid Bujang Salim Krueng Geukueh, Masjid Alfalah Kota Sigli,
Masjid Taqarrub di Provinsi Sumatera Utara, Mushalla Yayasan Sirajul Mudhi Provinsi DKI
Jakarta, dan juga mengisi kajian Islam di Kuala Lumpur, Johor Baru dan Kajang Negara
Malaysia yang diprakarsai oleh Dr. Husni Turbo alumni Jerman.115

3.2.5. Materi Da’wah


a. Bidang Tauhid (‘Aqidah)

1) Perkataan Keluar dari Islam

Dalam satu kesempatan, Têungkū Hasanoel Bashry dihadapkan pada satu


pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang mad’u; bagaimana ketentuannya jika
seorang suami mengucapkan “Jika benar saya memiliki istri simpanan lain maka
saya keluar dari agama Islam”, apakah ucapan suami tersebut dapat berakibat ia
(suami) keluar dari Islam (murtad). Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
Têungkū Hasanoel Bashry terlebih dahulu menanyakan kepada si mad’u
bagaimana asal usul hingga keluar kata-kata tersebut. Orang tersebut
menceritakan bahwa seorang suami terlibat perselisihan dengan istrinya, di mana
sang istri menuduh suaminya selingkuh dengan wanita lain. Suami pun
membantahnya dan menyatakan dengan sungguh-sunggah bahwa ia tidak
memiliki wanita simpanan lain, namun istrinya tetap tidak mempercayainya.

115
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

62
Akhirnya si suami pun mengucapkan “Jika benar saya memiliki istri simpanan
lain maka saya keluar dari agama Islam”. Setelah mendengar pernyataan demikian
maka istrinya pun menerima pengakuan suaminya bahwa ia memang benar tidak
memiliki istri simpanan yang lain.116

Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry menjawab bahwa permasalahan di atas


tergantung dari niat dan maksud orang yang mengucapkannya. Rinciannya adalah sebagai
berikut:

a) Bila ia mengucapkan hal tersebut sebagai kata-kata untuk menguatkan


bahwa ia benar-benar tidak melakukan perbuatan tersebut ataupun secara
ithlaq (tidak ada niat apapun), maka hal tersebut tidak menjadikannya
murtad dengan ucapan demikian, walaupun ia benar-benar melakukannya.
Namun demikian, mengucapkan kata-kata tersebut hukumnya dosa besar
dan ia wajib segera bertaubat serta disunatkan baginya mengucapkan
kalimat syahadat kembali.

b) Bila ia bermaksud mengaitkan keluar dari Islam dengan perbuatan


tersebut, atau ia bermaksud rela keluar dari agama Islam bila ia benar-
benar melakukan perbuatan tersebut maka ia menjadi murtad pada waktu
itu juga. Di samping itu perlu digaris bawahi bahwa ucapan tersebut tidak
termasuk dalam lafadh sumpah, sehingga ia tidak wajib membayar
kafarah sumpah bila ia melanggarnya.

Permasalahan di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ucapan-


ucapan keseharian masyarakat, yang kadang kala tanpa disadari oleh masyarakat
itu sendiri, bahwa ucapan-ucapan yang terlanjur diucapkan tersebut berakibat fatal
karena mengandung unsur-unsur kemusyrikan. Misalkan saja ucapan seperti
“untung ada dia yang menolong saya, kalau tidak, saya mungkin akan mati”; atau
“dokter itulah yang telah menyembuhkan anak saya”; atau lain sebagainya yang
terkesan mengesampingkan kekuasaan Allah SWT. Bila pada contoh kasus di atas
terlihat jelas redaksi “maka saya akan keluar dari agama Islam” sehingga
dikhawatirkan terjadi murtad bagi yang mengatakan demikian. Sedangkan pada
ucapan-ucapan keseharian masyarakat seperti yang disebutkan di atas, tidak

116
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

63
terdapat redaksi yang jelas yang mengarah kepada murtad, akan tetapi dapat
menjurus kepada syirik bila diyakini apa yg diucapkan tersebut.

Fenomena-fenomena keseharian inilah yang menjadi alasan Têungkū


Hasanoel Bashry mengembangkan aktivitas da’wah-nya tentang bidang aqidah,
atau tepatnya mengenai “Perkataan Keluar dari Islam”. Ternyata tanpa disadari
kalimat-kalimat tersebut dapat membawaki kepada kemusyrikan, karena dianggap
mengesampingkan kekuasaan Allah Swt. Apalagi akhir-akhir ini banyak terjadi
kasus upaya pendangkalan aqidah yang mulai berkembang di Aceh. Sehingga
penting aktivitas da’wah yang berkenaan dengan ketauhidan tersebut menjadi
prioritas utama dalam da’wah. Adapun dua contoh di atas yang sering didengar
dalam masyarakat, maka diharuskan ada niat tidak bermaksud mengesampingkan
kekuasaan Allah swt agar terhindar dari bahaya kemusyrikan.

2) Merayakan Hari Raya Orang Kristen

Salah satu permasalahan kontemporer umat Islam sekarang ini yang


menjadi perhatian utama Têungkū Hasanoel Bashry adalah fenomena
mengucapkan “selamat” ketika hari raya non-muslim; untuk kaum Nasrani ketika
Natal ataupun untuk umat Hindu dan Budha ketika Nyepi dan Waisak. Bahkan
ada segelintir umat Islam yang ikut menghadiri dan merayakannya, di rumah
ataupun di tempat ibadah umat agama lain. Sebagian orang menganggap ucapan
tersebut tidaklah bermasalah dan boleh-boleh saja, dengan asumsi bahwa sebagai
sikap saling menghormati dan menghargai antar umat beragama. Akan tetapi,
pengucapan tersebut justru menjadi masalah yang besar, ketika seorang muslim
mengucapkan “selamat Natal” terhadap perayaan orang-orang kafir.

Menurut Têungkū Hasanoel Bashry, mengucapkan “selamat Natal”


merupakan sikap toleransi yang berlebihan, karena dapat mengakibatkan orang
tersebut menjadi murtad. Merayakan atau memberikan ucapan selamat pada hari
raya agama lain adalah salah satu perbuatan yang muwafaqah (serupa) dengan
mereka (kaum kafir), sehingga haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk ikut
merayakan ataupun memberikan ucapan selamat hari raya non-muslim. Bahkan ia
bisa menjadi kufur bila perbuatan tersebut dilakukan dengan rasa senang (ridha),

64
sekaligus bertujuan meniru mereka (non-muslim) dalam rangka ikut mensyiarkan
kekufuran mereka.117

Akhir-akhir ini, fenomena tersebut seakan dianggap hal biasa dan bagian
dari sikap toleransi beragama. Pembenaran inilah yang menjadi alasan kuat
Têungkū Hasanoel Bashry fokus membahas permasalahan tersebut secara
mendetail dalam aktivitas da’wah-nya. Sehingga umat Islam dapat membatasi diri
dari segala sesuatu yang dapat mengancam aqidah ke-Islam-an mereka.

Terkait masalah toleransi yang dijadikan alasan segelintir orang, Têungkū


Hasanoel Bashry menjelaskan bahwa sikap tersebut merupakan toleransi yang
berlebihan karena sudah menyangkut perihal aqidah atau keyakinan. Islam
memang menganjurkan umatnya untuk bersikap toleransi, sebatas tidak terdapat
penyelisihan syari’at. Dalam hal ini, toleransi bisa berupa dengan tidak
mengganggu dan membiarkan saja mereka (orang-orang kafir) berhari raya, tanpa
turut serta dalam acara mereka, bahkan tidak perlu ada ucapan selamat. Jadi sikap
toleransi antar agama tidak bisa digeneralisasikan dalam segala aspek.

Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry kembali menegaskan bahwa dalam


ucapan selamat tersebut juga mengandung unsur memuliakan kaum kafir. Di
samping itu juga menjadi sebuah legitimasi (pembenaran) kepada khalayak umum
terhadap keyakinan mereka. Apalagi ucapan ini hanya dikhususkan oleh kaum
kafir pada hari raya agama mereka. Salah satu hal yang perlu disadari juga adalah
tidak sedikit kedustaan yang bersumber dari perayaan hari raya agama lain. Natal
misalnya, di mana kaum Nashrani memperingati dan merayakan hari tersebut
sebagai hari kelahirannya Nabi ‘Isa AS. Padahal tanggal 25 Desember tersebut
bukanlah tanggal kelahiran Nabi ‘Isa AS, bahkan tahun Masehi sendiri baru
diciptakan setelah sekian lama pasca kenabian ‘Isa AS.

b. Bidang Fiqh

1) Ketentuan memakai cincin Suasa bagi laki-laki

Legitimasi hukum cincin suasa bagi orang laki-laki merupakan permasalahan


yang dapat dikatakan sudah cukup lama berkembang dalam masyarakat, dan selalu

117
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

65
terjadi kontroversi pemahaman dalam masyarakat sampai sekarang ini. Bahkan
permasalahan ini selalu muncul (ditanyakan mad’u) dalam setiap pengajian yang saya
isi. Bukan hanya itu, tidak sedikit pula ada sebagian masyarakat yang khusus
mendatangi atau menelpon saya hanya untuk menanyakan dan mendapatkan kepastian
hukum tentang permasalahan ini. Demikian penuturan Têungkū Hasanoel Bashry
mengawali tanggapannya ketika ditanyakan permasalahan-permasalahan fiqh yang
sering berkembang dalam masyarakat ketika dirinya melakukan aktivitas da’wah.

Terkait permasalahan tersebut, Têungkū Hasanoel Bashry tetap berpegang


teguh pada ketentuan dalam Islam. Di mana emas merupakan perhiasan khusus bagi
wanita, sehingga kaum laki-laki dilarang memakai segala apapun yang terbuat dari
emas. Selain emas murni, adakalanya emas juga dicampur dengan logam yang lain
sehingga menghasilkan logam baru dengan warna yang berbeda, dan lebih dikenal
dengan nama suasa. Sebagian kalangan menganggap dibolehkan memakai suasa,
dengan argumen bahwa yang mereka pakai adalah suasa bukan emas. Di sinilah yang
menjadi kontroversi pemahaman yang terus berkembang sampai sekaran ini. Padahal
dalam syara’ jelas disebutkan bahwa hukum memakai emas bagi laki-laki adalah
haram, tanpa terkecuali sedikit atau banyaknya kandungan emas. Mengingat suasa
merupakan hasil campuran antara emas dengan bahan Tembaga, maka haram
hukumnya dipakai oleh laki-laki, karena pada suasa mengandung emas sekalipun
kandungannya sedikit. Sedangkan adanya nama baru bagi logam hasil campuran
tersebut tidaklah mengubah hukum memakainya, karena sudah ada ketentuan dari
syara’ bahwa memakai logam yang mengandung emas – walaupun sedikit – adalah
dilarang. Sehingga penamaan lain bagi logam tersebut tidak dapat mengubah
keharamannya. Demikian pemaparan dari Têungkū Hasanoel Bashry yang jelas dan
dapat dipahami dengan baik.118

2) Taubat dari Harta Haram

Permasalahan lainnya yang juga sering muncul atau ditanyakan oleh mad’u
dalam setiap aktivitas da’wah Têungkū Hasanoel Bashry adalah bagaimana taubat dari
harta yang diperoleh secara haram. Karena sekarang ini, tidak sedikit orang yang
hartanya dikumpulkan hasil dari berjudi, menjadi bandar narkoba, korupsi, dan lain

118
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

66
sebagainya. Kemudian ada dari sebagian dari mereka yang beruntung dan
mendapatkan hidayah dari Allah SWT, sehingga timbul rasa ingin bertaubat dan
menyesali perbuatannya selama ini. Namun mereka dihadapkan pada satu persoalan
besar, yaitu bagaimana caranya untuk bertaubat dari harta haram tersebut. Di samping
itu, Têungkū Hasanoel Bashry juga sering ditanyakan bagaimana hukum bersedekah
dengan harta yang haram serta bagaimana hukum bagi orang yang menerima sedekah
yang bersumber dari harta haram tersebut.119

Menanggapi permasalahan tersebut, Têungkū Hasanoel Bashry menjawabnya


dengan lansung mengutip beberapa dalil sebagai sumber hukum dari permasalahan
dimaksud, yaitu sebagai berikut:

a) Seseorang yang memiliki harta haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta
tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau
wakilnya. Apabila pemiliknya sudah meninggal dunia, maka diberikan kepada
ahli warisnya yang masih hidup. Jika tidak diketahui lagi pemiliknya, maka harta
tersebut wajib diserahkan kepada qadhi (baitul maal) yang adil untuk dibelanjakan
untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum serta yang dibolehkan
oleh syar’i, seperti membangun mesjid atau lainnya. Bila tidak ada kebutuhan
maslahah umum maka di serahkan kepada faqir miskin. Namun jika qadhi
tersebut bukan orang yang adil, maka harta tersebut diserahkan kepada seorang
alim dan adil yang ada di daerah tersebut. Apabila kedua hal tersebut juga tidak
mungkin dilakukan, maka langsung di tasharuf (dipergunakan) sendiri kepada
maslahah umum. Bila di serahkan kepada faqir miskin, maka halal bagi mereka
menggunakan harta tersebut, serta tidak dikatakan mereka telah mengkonsumsi
harta yang haram.

b) Shadaqah dan tabaru’ atau lainnya adalah harus dilakukan dengan harta milik
sendiri. Maka karena harta haram tidak menjadi miliknya yang sah, maka
shadaqah dengan harta haram juga tidak dibolehkan dan tidak sah.

c) Ketentuan bagi yang menerima shadaqah harta yang haram, menurut Têungkū
Hasanoel Bashry ada 2 (dua) ketentuan, yaitu:

119
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib

67
1. Haram menerimanya, bila diyakini bahwa harta yang diberikan
(dishadaqahkan) itu berasal dari hasil usaha haram.
2. Boleh menerimanya, bila tidak bisa di pastikan bahwa harta yang di berikan itu
berasal dari harta haram, di karenakan si pemberi juga memiliki usaha yang
halal.
3. bersikap wara’ itu lebih baik, yakni tidak menerima karena dikhawatirkan harta
tersebut berasal atau bercampur dengan hasil usaha yang haram, sekalipun si
pemberi memiliki usaha yang halal. Kemudian Têungkū Hasanoel Bashry
menegaskan bahwa dalam permasalahan ini, sikap wara’ yang harus
diprioritaskan agar kita benar-benar terhindar dari yang haram.

3) Korupsi

Korupsi adalah penyakit kronis yang sedang melanda bangsa ini, sampai hari
ini telah diupayakan berbagai cara untuk mengobatinya namun belum ada yang
menunjukkan hasil. Sebagian orang memandangnya sebagai penyakit sosial yang
bersumber moral, dan berasumsi bahwa hanya dengan sanksi hukum terberat baru
dapat disembuhkan. Ada juga yang mengaitkan dengan tinggi rendahnya semangat
keberagaman para pelakuya, lalu diperlihatkan kenyataan bahwa di Negara yang
muslimnya dominan, justru korupsinya lebih parah. Tentunya setiap orang bebas
berasumsi, namun haruslah menempatkan permasalahan secara proporsional, tidak
provokatif, tidak terlalu cepat berkesimpulan. Apalagi jika telah masuk dalam wilayah
hukum Islam, kita tidak boleh berlepas diri dari segala kaidah yang mengikat
penafsiran.120

Satu fenomena yang menarik bagi penulis adalah terbentuknya opini publik
atas konsekuensi hukum yang patut untuk tindak pidana korupsi. Opini ini terbangun
dari sudut pandang besarnya efek mudharat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
korupsi. Sehingga masyarakat awam pun berasumsi bahwa koruptor harus dipotong
tangannya. Bahkan sebagian orang menganggap hukuman matilah yang paling cocok
untuk para koruptor.

Begitu pula halnya menurut keterangan Têungkū Hasanoel Bashry bahwa


hampir dalam setiap kegiatan da’wah, pertanyaan seputar bagaimana kedudukan

120
Têungkū M. Daud Zamzami, dkk, Pemikiran Ulama Dayah,… hlm.185.

68
hukum bagi pelaku korupsi (koruptor) selalu ditanyakan oleh mad’u. Mengingat
permasalahan ini merupakan sudah menjadi penyakit kronis dalam masyarakat
bahkan dalam konteks nasional. Maka Têungkū Hasanoel Bashry menanggapi
permasalahan tersebut dengan lansung mengutip pendapat para ulama, serta
mengkorelasikan dengan berbagai aturan perundangan yang berlaku. Berikut
penjelasan Têungkū Hasanoel Bashry berkenaan dengan ketentuan korupsi dan hukum
bagi koruptor. 121
Mengapa dalam konteks korupsi ini, Têungkū Hasanoel Bashry
lansung bersandar pada pendapat ulama? Ini lebih dikarenakan praktek korupsi yang
sudah menjamur sampai pada kalangan terbawah serta konsekuensi hukum yang
berat, sehingga tidak terkesan bahwa pemikirannya itu adalah sesuatu yang di ada-
adakan. Melainkan hasil rujukan dari pendapat para ulama-ulama terdahulu. Sungguh
suatu aktivitas da’wah yang patut diteladani, bertindak sesuai dengan kebutuhan
dengan memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Mengingat besarnya dampak atau
konsekuensi dari tindakan korupsi, maka perlu kiranya membahas tentang korupsi ini
secara menyeluruh dan universal. Sehingga tidak terjadi multitafsir dalam
pembahasan korupsi.

Islam memang mementingkan kemaslahatan umatnya, sehingga hukuman


hadd diterapkan demi menjamin kelangsungan hidup dan terjaminnya kebutuhan
primer (dharūriyāt) manusia. Rasulullah SAW sebagai teladan umat manusia
menunjukkan sikap yang konsisten dan tegas. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, dari Az-Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah, dikabarkan bahwa
pada hari penaklukan Makkah kedapatan seorang wanita yang mencuri. Ternyata
wanita tersebut memiliki kedudukan terhormat di kalangan orang-orang Qurasy,
mulailah mereka mencari jalan kompromi dengan Rasulullah. Untuk tugas ini, mereka
memilih ‘Usamah ibn Zayd sebagai perantara, karena ia dianggap dekat dan disayangi
Nabi Muhammad SAW. Ketika Rasulullah datang, ‘Usamah pun menyampaikan
pesan orang-orang Qurasy itu. Wajah Rasulullah merah padam begitu mendengar
penuturan ‘Usamah, kemudian Rasululullah berkata: “Apakah kamu hendak memberi
keringanan pada ketentuan (hadd) dari ketentuan-ketentuan Allah Yang Maha Tinggi
dan Maha Megah”?, Sadar akan reaksi Rasulullah ini, ‘Usamah dengan gemetar serta
merta memohon: “Ya Rasulullah, mohonkan ampunan Allah untukku”.

121
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

69
Namun dalam hukum Islam tidaklah mudah memotong tangan atau
menerapkan hukuman mati terhadap seseorang. Pertama, ia harus melalui khithāb
taklīfī yang jelas, karena syari’at Islam tidak memberikan kebebasan interpretasi bagi
hakim dalam penerapan hukuman berat seperti ini. Al-Qur’an mengatur dengan jelas
aturan hukum untuk hadd, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk digunakan
pada selain yang telah ditentukan. Oleh karena itu, tidak serta-merta hukuman potong
tangan dapat diterapkan pada selain mencuri, karena petunjuk yang ada dalam Al-
Qur’an hanya sebagai hukuman bagi tindak pidana pencurian. Dalam hal ini, fuqaha
Syāfi’īyah bersikap tegas, salah satunya Imām al-Ghazālī. Ia mengatakan, jika tidak
didapatkan khithāb dari syara’, maka tidak ada hokum. Oleh karena itu, kami
berpendirian bahwa akal tidak dapat menetapkan kebaikan atau keburukan sesuatu,
pengetahuan akal juga tidak mewajibkan syukur kepada Mun’īm, dan tidak ada
hukum bagi perbuatan sebelum datang khithāb syār’i.122 Kedua, harus sesuai dengan
ketentuan hukum wadh’i yang telah ditetapkan. Pada bagian ini Al-Qur’an
memberikan kelonggaran, sehingga kita menemukan perbedaan pendapat ulama
dalam menetapkan syarat, rukun, dan hal-hal yang dapat mencegah diterapkannya
hukuman hadd.

a) Pengertian dan Bentuk-bentuk Korupsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Korupsi berarti perbuatan


buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang suap, dan lain sebagainya yang
menyerupai.123 Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin, yaitu corruptio, atau
corruptus yang berasal dari kata asal corrumpere yang berarti merusak.124 Dari
Bahasa Latin ini kemudian turun kebanyak Bahasa Eropa lainnya seperti Inggris,
Perancis, Belanda. Menurut Andi Hamzah, kata korupsi dalam Bahasa Indonesia
adalah turunan dari Bahasa Belanda, yaitu corruptie, (korruptie) yang berarti
kebusukan, keburukan, kebejatanm ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.125

122
Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilmil Ushūl, (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmīyah, 2000), hlm. 45.
123
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet-IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm.
524.
124
Fockema Andere, Kamus Hukum, (Bandung: Bina Cipta, 1983), hlm. 24.
125
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan International, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 4.

70
Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun
kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer
No. PRT/PM/06/1957 tentang Korupsi. Berdasarkan konsideran peraturan
tersebut, korupsi memiliki dua unsur: pertama, perbuatan yang berakibat pada
kerugian perekonomian Negara. Kedua, perbuatan yang berbentuk
penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan tertentu.126

Menurut Philip – sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh – ada tiga


pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi.
Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-
centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan
seseorang pejabat public yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk
mendapatkan keutungan pribadi, atau keutungan bagi orang-orang tertentu yang
berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian
itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronasi
lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascripive). Kedua, pengertian korupsi
yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-
centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika
seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang
melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan
imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak
kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat
pada dasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang
menggunakan teori pilihan publik sosial dan pendekatan ekonomi di dalam
kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga
ekstralegal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu
untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena
itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang
terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan
korupsi daripada pihak-pihak lain.127

126
Keswadji, Korupsi di Indoensia; Dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994), hlm. 33-35.
127
Munawar Fuad Noeh, Kiai di Republik Maling, (Jakarta: Republika, 2005), hlm. 2.

71
Gambaran praktis yang lebih formal dari tindak pidana korupsi dapat kita
temukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pada
hakikatnya merupakan gabungan rumusan dari berbagai undang-undang, yaitu:
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang diadopsi ke dalam
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan
Korupsi. Perbuatan pidana yang diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), adalah ketentuan yang dimuat dalam:

1. Pasal 5 berkenaan dengan larangan: “Memberikan atau menjanjikan


sesuatu kepada pegawai negeri”;

2. Pasal 6 tentang larangan: “Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada


hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan”;

3. Pasal 7 tentang larangan bagi: “Pemborong atau ahli bangunan untuk


melakukan perbuatan curang dalam penyerahannya yang dapat
membahayakan orang atau barang”;

4. Pasal 8 tentang larangan bagi pegawai negeri untuk: “Mengelapkan uang


atau surat berharga”;

5. Pasal 9 tentang larangan bagi pegawai negeri atau orang selain pegawai,
yang diberi tugas menjalankan jabatan umum, dengan sengaja
memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan
administrasi dan sebagainya.

Pasal-pasal lain yang penting adalah Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 13
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang larangan
melakukan atau menerima gratifikasi sebagainya.

Gratifikasi adalah pemberian atau hadiah yang diberikan kepada PNS atau
penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan padahal tidak ada
ketentuan pembayaran yang harus dilakukan oleh seorang pelanggan. Bentuk
perbuatan tersebut berupa: pemberian dalam arti luas, dalam bentuk pemberian
uang atau barang, berbagai fasilitas, seperti penginapan, wisata, pengobatan cuma-
cuma, rabat (discount) yang tidak wajar, komisi (kick-back), dan sebagainya.

72
Dari berbagai pembahasan tentang korupsi, kita menemukan banyak sekali
bentuk dan macam praktik korupsi, sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi
dan mencarikan korelasinya dengan ketentuan hukum Islam (fiqh jinayat). Namun
dari berbagai pola dan bentuk korupsi tersebut dapat kita buat klasifikasi yang
akan mengelompokkannya sesuai ciri umumnya. Munawar Fuad Noeh,
menyimpulkan bahwa sedikitnya terdapat tujuh macam korupsi, yaitu:128

1. Korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak.


Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama
mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.
2. Korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus
melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan
usaha dari pihak kedua itu.
3. Korupsi yang bersifat ontogeni, yaitu hanya melibatkan orang yang
bersangkutan. Misalnya, seorang anggota parlemen mendukung golnya
sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-undang tersebut
akan membawa keutungan baginya.
4. Korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk
membela dirinya.
5. Korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang
atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat “uang terima
kasih” atas pelayanan yang baik.
6. Korupsi yang bersifat nepotisme, yaitu penunjukkan “orang-orang saya”
untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa “keluarga”
sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.
7. Korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan
uang, jasa, atau pemberian apa pun. Misalnya, membiarkan berjalannya
sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan
dan situasi yang korup.

b) Korupsi dalam Konsepsi Hukum Islam

Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi,
namun korupsi dapat dikatagorikan sebagai tindak ma’shiyah (criminal) dalam

128
Munawar Fuad Noeh, Kiai di Republik Maling,… hlm. 5.

73
konteks risywah (suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan), dan
khiyānah (penghianatan). Dalam analisis fenomenologis, menurut Alatas, korupsi
mengandung dua unsur penting, yaitu penipuan dan pencurian. Apabila bentuknya
pemerasan, berarti pencurian melalui pemaksaan terhadap korban. Apabila
berbentuk penyuapan terhadap pejabat, berarti membantu terjadinya pencurian.
Jika terjadi dalam penetuan kontrak, korupsi ini berarti pencurian keputusan
sekaligus pencurian uang hasil keputusan itu.129

Namun dalam konsepsi hukum Islam sulit untuk mengkatagorikan tindak


pidana korupsi sebagai delik pencurian. Hal ini disebabkan oleh beragamnya
praktik korupsi itu sendiri yang umumnya tidak masuk dalam defenisi sirqah.
Akan tetapi jika dalam satu kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dengan
ketentuan hadd sirqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena hukum potong
tangan. Sayyid Sābiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, dengan lugas
mengkatagorikan bahwa jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya
secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl), maka iti dikatagorikan
sebagai pencurian, jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, maka
dinamakan merampok (muhārabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari,
dinamakan mencopet (ikhtilās), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipecayakan
padanya, dinamakan khiyānah.

1. Risywah (suap)

Dengan merujuk kepada pembagian macam-macam korupsi yang


diklasifikasikan oleh Munawar Fuad Noeh, maka yang termasuk dalam
katagori risywah adalah korupsi yang bersifat memeras (urutan kedua),
korupsi devensif (urutan keempat), dan korupsi yang berarti investasi (urutan
kelima).

2. Saraqah (pencurian)

Secara etimologis, mencuri adalah perbuatan seseorang yang


mendatangi tempat penyimpanan suatu benda, lalu ia mengambil sesuatu yang
bukan miliknya. Sedangkan secara terminologis, mencuri adalah mengambil
harta bukan haknya secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya

129
Alatas, Korupsi; sifat, Sebab, dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 129.

74
dengan syarat-syarat tertentu. Sanksi hukum atasnya adalah potong tangan
(hadd sirqah). Dasar hukum hadd sirqah merupakan ketetapan yang tidak
dapat ditawar-tawar, karena secara qath’i sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an:

ٌ ‫ع ِز‬
.‫يز َحكِي ٌم‬ َ ُ‫َّللا َوَّللا‬ َ ‫ط ُعوا أَ ْي ِد َي ُه َما َجزَ ا اء ِب َما َك‬
ِ ‫س َبا نَك اَاال مِ َن‬ َ ‫َوالس ِار ُق َوالس ِارقَةُ فَ ا ْق‬

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana, (QS. Al-Maidah {5}: 38).

Para ulama menetapkan kewajiban bagi penguasa untuk memotong tangan pencuri
setelah adanya pengaduan pemilik harta dan terbukti kasusnya. Yang dipotong adalah
pergelangan tangan kanan pencuri yang laki-laki ataupun perempuan yang mencuri dengan
kadar seperempat dinar. Jumlah ini dijadikan standar terhadap benda lain yang dicurinya,
artinya setiap pencurian yang telah sampai kadar seperempat dinar dikenakan hukum potong
tangan. Syarat lainnya adalah, benda yang dicuri berada pada tempat penyimpanan yang
semestinya. 130 Jika kita memerhatikan pendapat ulama, mereka sepakat dengan hukuman
potong tangan, hanya saja mereka berbeda dalam menetapkan kadar jumlah nisab yang
menjadi ukuran untuk potong tangan.

Pencopet atau perampok mengambil harta secara terang-terangan, hanya saja pencopet
meilih melarikan diri setelah mengambil harta orang lain, sedangkan perampok
mengandalkan kekuatan untuk memaksa untuk memaksa pemilik menyerahkan hartanya.
Berbeda dengan pencuri yang melakukan aktivitasnya dengan sembunyi-sembunyi. Menurut
Jalaluddin al-Mahalli, karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka pencurian
disyariatkan potong tangan agar orang-orang takut melakukannya.131 Dari penalaran ini,
maka perspektif hukuman potong tangan tidaklah semata-mata ditujukan untuk menghukum
pelaku pencurian, tetapi lebih berdimensi pencegahan. Di mana orang akan merasa takut
untuk mencuri harta orang lain karena terancam putusnya tangan jika mencuri.

As-Syyyid Abū Bakr mengatakan,bahwa pencuri mengambil harta secara sembunyi-


sembunyi sehingga tidak mungkin mencegahnya dengan kekuatan secara langsung.
Sementara pencopet dan perampok mengambil harta secara nyata dan terang-terangan,

130
Al-Malībārī, Fathul Mu’īn, Juz-IV, (Beirut: Dārul Fikr, tt), hlm. 158.
131
Al-Mahallī, Jalāluddīn, Syarh Minhājuth Thālibīn, (Beirut: Dārul Fikr, tt), Jld. 4, hlm. 194.

75
sehingga memungkinkan untuk dicegah atau ditindak langsung ketika beraksi. Sedangkan
pada kasus pengkhianat, harta memang telah diserahkan kepadanya oleh pemilik harta itu
sendiri. Sehingga dapat dituntut kembali melalui hakim dengan menghadirkan saksi jika ia
mengkhianati (mengambil) harta yang diamanahkan padanya.132

Dari pembahasan ini, ditemukan bahwa hikmah kalau tidak dapat disebut sebagai ‘illat
dari penetapan hukum potong tangan untuk pencuri adalah karena perbuatan mencuri tidak
dapat dicegah langsung, sebab dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yaitu saat pemilik
barang tidak berada di tempatnya, atau barang itu tidak bersama pemiliknya. Berbeda dengan
kasus copet, rampok, dan khianat yang memungkinkan untuk dicegah, dilawan, ditindak
langsung dan ditelusuri kembali. Untuk kasus yang mungkin dilakukan perlawanan, para
ulama menambahkan satu bab khusus, yaitu daf’us sāil (melawan untuk penyelamatan).
Memerhatikan hikmah hokum ini, penulis merasakan adanya perbedaan mendasar antar
pencurian dengan tindak pidana korupsi, sehingga tidak mungkin menyamakan hukuman
bagi koruptor dengan pencuri. Koruptor tetap dapat ditelusuri dan dimintai
pertanggungjawabannya serta mengembalikan harta itu, sedangkan pencuri sulit dilacak.
Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengatagorikan korupsi sebagai tindak
pengkhianatan.

Selain itu, jika merujuk kepada ketentuan syarat dan rukun yang ditetapkan ulama
untuk dapat diterapkan hukum potong tangan, maka hukuman itu baru dapat diterapkan jika
tidak ada percampuran (syubhat) milik. Artinya, jika ia mempunyai bagian dalam harta yang
dicurinya, maka tidak dapat diterapkan hukuman harta itu. Nah, kalau pada suatu kasus
korupsi, si koruptor dianggap memiliki bagian (hak) dalam harta yang didistribusikannya,
maka ia juga tidak boleh dikenakan hukuman potong tangan.

Dari sudut pandang yang lain, harta yang diambil oleh koruptor adalah harta yang
belum jelas siapa pemiliknya. Ia ditugaskan untuk mendistribusikan harta tersebut. Jadi
belum jelas siapa individu yang menerima harta itu, jadi belum jelas siapa invidu yang
dirugikan. Pada dasarnya hikmah pensyari’atan hadd sirqah adalah untuk pemeliharaan harta,
yaitu harta yang dimiliki oleh individu tertentu. Yang dimaksud dengan memiliki adalah
harta milik seseorang dan sudah diterimanya serta disimpan pada tempat yang layak (hirz
mitsl). Jadi, hikmah yang ingin dicapai pada pemeliharaan harta (hifzhul māl) adalah
mencegah idza’ (menyakiti) terhadap pemilik harta. Sedangkan pada korupsi, izda’-nya

132
Abū Bakr as-Sayyid, I’ānatuth Thālibīn,… hlm. 160.

76
belum pasti atau tidak langsung disbanding pencurian harta milik seseorang.

Kembali kepada logika yang dikemukakan oleh Alatas, jika kita melihat bahwa korupsi
menimbulkan efek mudharat yang lebih besar dari pencurian, sehingga layak dihukum lebih
berat daripada pencuri. Logika ini akan bertolak belakang dengan kenyataan adanya satu
tindak pidana lain yang hampir sama dengan mencuri, tetapi tidak masuk dalam definisi as-
Sirqah, yaitu penyamun (Qāthi’uth Thāriq). Perbuatan penyamun lebih buruk daripada
pencuri, selain mengambil harta, penyamun juga melakukan pembunuhan, oleh karenanya,
ketentuan hokum bagi penyamun lebih berat, sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an:

ْ ‫صلبُوا أَ ْو تُقَط َع أَ ْيدِي ِه ْم َوأَرْ ُجلُ ُه ْم‬


ٍ‫مِن خِ َالف‬ َ ُ‫ساداا أَ ْن يُقَتلُوا أَ ْو ي‬َ َ‫ض ف‬ِ ْ‫إِن َما َجزَ ا ُء الذِي َن يُ َح ِاربُو َن َّللاَ َو َرسُولَهُ َويَ ْسعَ ْو َن فِي ْاْلَر‬
َ ٌ‫عذَاب‬
.‫ع ِظي ٌم‬ ٌ ‫ض َٰذَلِكَ لَ ُه ْم خِ ْز‬
َ ِ‫ي فِي الدُّ ْنيَا ۖ َولَ ُه ْم فِي ْاْلخِ َرة‬ ِ ْ‫أَ ْو يُ ْنف َْوا ِم َن ْاْلَر‬

Artinya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia,
dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-Maidah {5}: 33).133

Dari esensi ayat ini, penulis berasumsi bahwa setiap hukuman hadd, ketetapan
hukumnya tetap digariskan oleh nash. Pada ayat 33 surat al-Ma’idah ditetapkan hukuman
terhadap penyamun, yang ketetapan itu lebih berat daripada hukuman terhadap pencuri,
karena tindakan penyamun lebih parah daripada tindakan pencuri. Demikian pula idealnya
dengan korupsi, seandainya korupsi dipandang lebih berat daripada mencuri, tentunya aka
nada ayat atau hadis yang menetapkan hukuman hadd atasnya, sebagaimana pada qāthi’uth
thāriq. Karena logikanya, tidak mungkin pada suatu pelanggaran yang efek kerusakannya
lebih besar dari mencuri atau bahkan lebih besar dari qāthi’uth thāriq tidak ditetapkan
hukuman yang sesuai atasnya. Padahal Rasulullah saw sudah melihat indikasi ini, tidak
mungkin Rasulullah tidak mengetahui bahwa nanti sepeninggalnya akan merebak kasus
korupsi.

Dari pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam perspektif fuqaha
Syafi’iyah, tindak pidana korupsi tidak dapat dikatagorikan sebagai pencurian. Karena tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam sirqah. Korupsi hanya dapat dikatagorikan
sebagai tindakan pengkhiatan.

133
Al-Fakhrurrāzī, At-Tafsīr al-Kabīr, Juz-XI, (Teheran: Dārul Kutub al-‘Ilmiyah, tt), hlm. 214.

77
3. Khiyānah (pengkhianatan)

Khiyānah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang


menjadi jahat (syarr). Dalam sebuah Hadis Rasulullah menyampaikan:
“Kesaksian Khā’in dan Khā’inah (laki-laki dan perempuan yang berbuat
khianat) ditolak.134 Seseorang yang dipercayakan sesuatu padanya tentu
karena dapat dipercaya, jika kemudian dia mengkhianati kepercayaan itu,
berarti dia berubah menjadi jahat. Sedangkan secara terminologis bermakna,
perbuatan seseorang yang mengambil sesuatu yang dipercayakan (dititipkan)
padanya.135 Dilihat dari penggunaannya, kalimat ini dapat bermakna
pengkhianatan seseorang terhdap rahasia Negara atau materi tertentu yang
dipercayakan padanya.

a. Pengkhianatan terhadap rahasia Negara

Perlu diingat, bahwa Islam menjaga darah kaum muslimim, Imam


Syafi’ī pernah ditanyakan tentang seorang muslim yang membeberkan
rahasia kaum muslimin kepada kaum musyrikin melalui sepucuk surat.
Asy-Syafi’ī menjawab: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah
diharamkan darahnya dengan keislaman, kecuali jika ia membunuh atau
berzina setelah menikah. Atau ia jelas-jelas menjadi kufur setelah beriman,
lalu tetap dalam kekufuran”.136

b. Pengkhianatan terhadap harta (al-Ghulūl)

Sekarang sampai pada pembahasan yang menurut penulis secara


kasuistik lebih dekat dengan tindak pidana korupsi. Imam Asy-Syafi’ī
pernah ditanyai tentang kasus seseorang yang mengambil harta rampasan
perang (ghanīmah) sebelum dibagikan. Asy-Syafi’ī menjawab, bahwa
orang tersebut tidak dipotong tangannya, tetapi harga barang itu (al-qimah)
menjadi utang baginya jika barangnya telah dihabiskan atau rusak sebelum
dikembalikan. Jika orang yang mengambil itu jahil (tidak tahu
keharamannya), maka harus diberitahukan dan tidak boleh disiksa, kecuali
134
Ibn Manzhur, Lisānul ‘Arab,… hlm. 144.

135
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,… hlm. 164.
136
Asy-Syāfi’i, al-Um, Juz-IV, (Beirut: Dārul Kutub al-‘Ilmīyah, tt), hlm. 356.

78
baru disiksa jika ia mengulangi kembali perbuatannya.137

Dasar hukum yang digunakan Asy-Syafi’ī adalah suatu riwayat


ketika ‘Umar ibn al-Khaththab mencurigai salah seorang sahabat. Ketika
itu salah seorang dari kelompok musyrikin yang sedang diperangi
(dikepung) bernama Hurmuzan turun menemui ‘Umar. Dalam dialognya
dengan ‘Umar, kata-kata Hurmuzan menyebabkan kemarahan ‘Umar
sehingga hendak dibunuh, lalu sahabat yang mendampingi Hurmuzan
turun membela Hurmuzan agar tidak dibunuh. Pada saat itu ‘Umar
mengancam akan menghukum siksa (al-‘uqūbah) sahabat tersebut kalau ia
tidak sanggup menghadirkan saksi . kemudian ia mencari orang yang akan
bersaksi bahwa tidak menerima sesuatu pun dari Hurmuzan, akhirnya ia
mendapatkan Zubayr ibn al-Awām yang bersedia menjadi saksinya.138

Dari ‘illat hukum di atas, maka penalaran yang digunakan adalah


sulitnya dilakukan penelusuran kembali. Karena pencurian dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, maka sulit untuk ditelusuri, oleh karena itu
perlu ditetapkan hukum yang dapat mencegah orang untuk melakukannya.
Berbeda dengan copet, rampok dan khianat, pelakunya dapat dikenali dan
mudah ditelusuri kembali, di samping itu juga dilakukan secara terang-
terangan sehingga cenderung lebih mudah ditumpas saat mereka
melakukan aksinya.

c. Al-Ghasysy (penipuan)

Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadd-nya,


oleh karena itu penentuan sanksi hukumannya kembali kepada ta’zir.
Untuk masalah ini, kami tidak memberikan usulan lagi, karena sudah jelas
permasalahannya, hanya saja membutuhkan ijtihad hakim dalam
memutuskan hukuman terhadap pelakunya.139 Dalam tindak pidana
korupsi, penipuan, merupakan bagian yang tidak terpisah darinya,
manipulasi data, buku, daftar, dan sebagainya termasuk tindak penipuan.

137
Asy-Syāfi’i, al-Um,… hlm. 358.

138
Têungkū H. M. Daud Zamzami, dkk, Pemikiran Ulama,… hlm. 209.

139
Têungkū H. M. Daud Zamzami, dkk, Pemikiran Ulama,… hlm. 209.

79
d. Konsekuensi Hukum Pelaku Korupsi

Untuk menegakkan nilai-nilai keadilan sebagai bentuk atau


manifestasi dari proses peradilan, maka sudah selayaknya sanksi tertentu
diterapkan dengan tegas. Tidak ada perbedaan antara satu oknum dengan
oknum yang lain, tidak berpihak pada golongan tertentu dan hanya
menguntungkan oknum pejabat, jika demikian maka hukum akan
kehilangan legitimasinya. Untuk itu hukum harus dikembalikan ke posisi
awalnya sebagai penjaga masyarakat dari setiap bentuk kejahatan
termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.140

Dalam pembahasan di atas, terlihat konsekuensi sanksi ta’zir sebagai


sesuatu yang dominan, setelah syarat dan rukun sirqah tidak dapat
diidentifikasi dalam tindak pidana korupsi. Sebelumnya marilah kita meninjau
sekilas pengertian at-ta’zir secara etimologis dan terminologis. Dalam kamus
al-Shihah dikatakan bahwa kalimat at-ta’zir sepadan maknanya dengan at-
ta’zhīm, dan al-tawqīr ia juga bermakna at-ta’dib. Ia juga dinamakan al-
dharb, yaitu memukul yang bukan hadd. Ibn Hajar mengkritik penggunaan
kalimat at-ta’zir untuk bermakna pukulan selain hadd, karena menurutnya
penggunaannya untuk makna ini adalah penggunaan syar’ī, bukan dari sisi
penggunaan syara’. Menurut Ibn Hajar, penggunaan kalimat ini dalam kamus
al-Shihāh dengan makna pukulan selain hadd, secara implisit menunjukkan
kepada perpindahan hakikat syar’iyah kepada hakikat lughāwiyah, artinya
pada mulanya ia digunakan dalam konteks syara’ tetapi lambat laun menjadi
istilah kebahasaan. 141

Dengan berpijak pada pandangan Ibn Hajar, maka makna at-ta’zir


dalam terminologi fikih, adalah sanksi hukum selain hadd dan kifārat.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Jalāluddīn al-Mahallī, yaitu
memberikan pelajaran bagi pelaku maksiat/dosa yang padanya tidak
ditetapkan sanksi hadd dan kifārat oleh syara’, yang menyangkut dengan hak
Allah swt atau hak Anak Adam. Hanya saja tindak pelanggaran yang
meyangkut dengan hak Anak Adam menurut Jalāluddīn al-Mahallī merupakan

140
Têungkū H. M. Daud Zamzami, dkk, Pemikiran Ulama,… hlm. 210.
141
Ibn Hajar, Tuhfatul Muhtaj,… hlm. 175.

80
delik pengaduan, yang diterapkan proses hukumnya setelah adanya tuntutan.
Dan hakim wajib menerima pengaduan tersebut, tidak boleh menolak
kasusnya, kecuali jika ditemukan tujuan maksiat di baliknya.142

Para ulama menetapkan hukum ta’zir bagi setiap perbuatan maksiat


yang tidak ada ketentuan hadd dan kifārat. Baik yang menyangkut dengan hak
Allah atau hak anak Adam seperti melakukan pelanggaran seksual terhadap
ajnabiyah pada selain alat kelamin.143 Demikian juga hukuman ta’zir berlaku
bagi seorang pengkhianat yang membocorkan rahasia Negara kepada musuh,
menurut Imam Asy-Syafi’ī, tindakan pengkhianat tidak dapat dikatagorikan
sebagai orang yang melanggar perjanjian sehingga dapat menghalalkan darah
dan harta mereka. Jika yang melakukan itu adalah para rahib, maka mereka
dihukum siksa dan dipindahkan dari shaum’a mereka. Termasuk dalam
hukum siksa juga, mengeluarkan mereka dari bumi Islam. Lalu mereka
disuruh pilih antara; memberi jizyah dan boleh menetap di negeri Islam atau
dibiarkan mereka kembali. Kalau mereka kembali, maka mereka ditempatkan
dalam penjara. Mereka dihukum dengan siksa serta dipenjarakan. 144 Ketentuan
hukum ta’zir ditetapkan oleh hakim jenis dan kadarnya menurut ijtihad hakim,
sesuai dengan tingkatan manusia dan pelanggaran yang dilakukan.145

Mengenai hukuman bagi pelaku al-ghulūl (berkhianat dengan


mengambil harta ghanīmah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syāfi’ī pernah
ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki,
dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. Asy-Syāfi’ī menjawab:
“Tidak dihukum (‘iqab) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya.
Sesungguhnya Allah menjadikan al-hudūd pada badan, demikian pula al-
‘Uqubat, adapun atas harta, maka tidak ada ‘uqubah atasnya.146

142
Jalaluddin al-Mahalli, Minhajuth Thalibin,… hlm. 205.

143
Qulyubī, Hāsyiyatānī,… hlm. 205.

144
Asy-Syāfi’i, al-Um,… hlm. 358

145
Ibn Hajar, Tuhfatul Muhtaj,… hlm. 179.

146
Asy-Syāfi’i, al-Um,… hlm. 358.

81
Jenis-jenis hukuman ta’zir yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi
adalah: penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar,
dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya),
diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk
hukuman penjara, Qulyūbi berpendapat bahwa, tidak boleh menerapkan
hukuman penjara terhadap pelaku maksiat dengan penjara sampai mati
(seumur hidup).147

4) Thalaq via SMS

Perkembangan teknologi informasi sekarang ini juga berdampak pada


munculnya permasalahan kontemporer dalam agama. Hal ini terlihat dalam satu
kesempatan, seorang mad’u melontarkan pertanyaan yang bersifat kontekstual kepada
Têungkū Hasanoel Bashry. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana ketentuan
hukumnya seorang suami yang menuliskan lafadh thalaq kepada istrinya yang jauh,
misalnya ia menuliskan via surat, Shot Massage Service (SMS), surat elektronik
(email), ataupun melalui surat dengan bunyi “saya thalaq kamu”; apakah itu dapat
menjatuhkan thalaq bagi istrinya atau tidak? 148

Mengingat persoalan ini merupakan permasalahan yang kontemporer, dan


juga berimplikasi terhadap ketentuan-ketentuan lainnya yang saling berkaitan.149
Maka dalam menanggapi pertanyaan tersebut, Têungkū Hasanoel Bashry
menjawabnya dengan menyertakan kutipan beberapa pendapat ‘Ulama Fuqaha, terkait
kedudukan hukum lafadh thalaq melalui surat atau media lainnya. Berikut paparan
dari Têungkū Hasanoel Bashry:

a) Bila ketika menuliskannya, seorang suami tidak ikut me-lafadh-kannya, maka:

1. Jatuh thalaq-nya, bila ia meniatkan untuk thalaq karena semata-mata


menulis lafadh thalaq adalah kinayah thalaq yang memerlukan niat.
2. Bila tidak diniatkan apapun maka tidak jatuh thalaq-nya.150

147
Qulyubī, Hāsyiyatānī,… hlm. 205.

148
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

149
Thalak berimplikasi pada ketentuan iddah, hak asuh anak, harta bersama, dan juga nafkah.

150Al’Umairah, Hasyiah al-‘Umairah, Juz-III, (Beirut: Haraimain, tt), hlm. 329.

82
b) Bila ketika menulisnya ia juga ikut me-lafadh-kannya maka:

1. Jatuh thalaq bila tidak ada niat apapun atau berniat melakukan (insya’)
menjatuhkan thalaq.

2. Tidak jatuh bila ia bermaksud sekedar membaca tulian tersebut tanpa niat
untuk men-thalaq istrinya. 151

c. Bidang Ekonomi

1) Usaha Sarang Walet

Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah muncul satu bidang usaha yang dapat
dikatakan menggiurkan bagi masyarakat Aceh, yaitu usaha sarang burung walet.
Walaupun akhir-akhir ini harga sarang burung walet tersebut mengalami penurunan
yang drastis. Namun demikian, dalam beberapa kesempatan pengajian yang di isi oleh
Têungkū Hasanoel Bashry, ada sebagian mad’u yang menanyakan tentang wajib atau
tidaknya mengeluarkan zakat dari usaha sarang burung walet. Bahkan menurut
keterangan dari Têungkū Hasanoel Bashry, ada juga sebagian masyarakat yang
lansung mendatangi saya atau menghubungi via telpon, hanya sekedar untuk
menanyakan perihal zakat sarang burung walet.152

Menanggapi pertanyaan tersebut, Têungkū Hasanoel Bashry mengawali


jawabannya dengan melihat konteks historis. Têungkū Hasanoel Bashry mengatakan
bahwa pada masa Rasulullah saw memang belum di temukan pemanfaatan sarang
burung walet, sehingga belum ada hadits atau atsar shahabat yang menerangkan
kewajiban zakat pada sarang burung walet ataupun menafikannya. Maka untuk
mengetahui wajib atau tidaknya zakat sarang burung wallet, kita harus melihat
beberapa komoditi lain yang juga dari hasil hewan yang telah ada pada masa
Rasulullah saw di jazirah Arab, misalnya wol, madu dan susu yang banyak
diperdapatkan pada masa Nabi Muhammad saw. Setelah ditelusuri, ternyata tidak di
temukan satu riwayatpun, berupa perbuatan maupun perkataan Nabi Muhammad saw
yang mengisyaratkan kepada wajibnya zakat pada susu dan telur. Kalau seandainya

151Ar-Rasyidi, Hasyiah ar-Rasyidi ‘ala Nihayatul Muhtaj, Juz-VI, (Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, tt),

hlm. 436. Lihat juga Al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubadi ‘ala Tuhfatul Muhtaj, Juz-VIII, (Beirut: Darul Fikr,tt), hlm.
22.
152
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

83
wajib, pasti akan ada riwayat yang menyebutkannya sebagaimana ada riwayat Nabi
Muhammad saw yang menerangkan kewajiban zakat pada tanaman Kurma dan
Anggur. Sehingga kewajiban zakat hanya berlaku pada komoditi yang telah ada
nashnya dari Rasulullah saw secara sharih atau secara isyarah. Maka kewajiban zakat
tidak dapat diberlakukan secara umum kepada seluruh komoditi yang memiliki nilai
produktif. Begitulah aktivitas da’wah Têungkū Hasanoel Bashry dalam menyikapi
setiap permasalahan umat, terlebih permasalahan-permasalahan yang sifatnya
kontemporer. Sungguh suatu aktivitas da’wah yang tidak memaksakan kehendak, dan
tetap berpegang teguh pada petunjuk dari Nash Al-Qur`an dan Hadis Rasulullah saw.

Itulah uraian Metode, Media, Lokasi dan Materi da’wah yang selama ini digunakan
oleh Têungkū Hasanoel Bashry dalam kegiatan da’wah dan keseriusan perhatiannya terhadap
keberlansungan aktivitas da’wah kepada seluruh masyarakat Aceh pada khususnya, dan
masyarkat luas pada umumnya yang membutuhkan pencerahan dan penjelasan dalam
masalah keagamaan. Gerakan ini tentunya menjadi sebuah hal positif yang perlu terus
dikembangkan dan dilestarikan supaya tidak putus di tengah jalan.

Gerakan da’wah yang telah dikembangkan oleh Têungkū Hasanoel Bashry menjadi
sebuah penyemangat bagi kita semua untuk terus berusaha dan konsisten dalam
mengembangkan da’wah untuk masa yang akan datang. Da’wah itu menjadi sebuah
kewajiban yang menjadi tanggung jawab bersama dalam kehidupan sehari-hari, karena
da’wah merupakan sebuah kewajiban yang harus tetap kita jalankan.

Dalam menjalankan kegiatan da’wah, banyaknya terjadi rintangan dan halangan


merupakan sebuah konsekuensi. Namun, itu bukanlah sebuah alasan untuk meninggalkan
kegiatan da’wah. Apalagi sekarang ini banyak pen-da’wah yang melakukan kegiatan da’wah
hanya bermodalkan suara yang bagus, kemampuan menyanyi atau ahli dalam membuat
lelucon saja. Kita jangan kalah dengan mereka dan harus mampu menunjukkan mana da’wah
yang benar kepada masyarakat supaya generasi kita tidak salah dalam mengartikan aktivitas
da’wah yang sebenarnya.

84
BAB IV
LANDASAN GERAKAN DA’WAH TEUNGKU
HASANOEL BASHRY

85
BAB IV LANDASAN GERAKAN DA’WAH TEUNGKU
HASANOEL BASHRY
Têungkū Hasanoel Bashry dalam melakukan aktivitas da’wah selalu berpegang teguh
pada dalil-dalil yang telah disepakati oleh ulama tentang keabsahannya, seperti menggunakan
ayat Al-Qur’an, Hadist dan pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. Adapun yang menjadi
landasan utama Têungkū Hasanoel Bashry dalam menjalankan aktivitas da’wah antara lain
adalah sebagai berikut:153

A. Gerakan Da’wah

Dalam konteks historis Islam, da’wah memiliki kedudukan yang penting. Keberhasilan
Nabi Muhammad saw dalam merubah pola pikir dan memperbaiki moralitas manusia, tidak
dapat dipisahkan dari da’wah yang dilakukannya. Sebagai umat Nabi Muhammad saw, kita
dituntut untuk melanjutkan perjuangannya, sehingga da’wah Islam menjadi suatu kewajiban
bagi kita umat Islam. Hal ini sebagaimana tersurat dalam ayat al-Qur’an, yaitu Surat Ali-
Imran ayat 104, sebagai berikut:

.‫ع ِن ا ْل ُم ْنك َِر ۚ َوأُو َٰ َلئِكَ هُ ُم ا ْل ُم ْف ِل ُحو َن‬


َ ‫َو ْلتَكُ ْن ِم ْنكُ ْم أُمةٌ َيدْعُو َن ِإلَى ا ْل َخي ِْر َو َيأْ ُم ُرو َن ِبا ْل َم ْع ُروفِ َو َي ْن َه ْو َن‬

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.154

Surat at-Thaha ayat 132, sebagai berikut:

.‫علَ ْي َها ۖ َال نَسْأَلُكَ ِر ْزقاا ۖ نَحْ ُن نَرْ ُزقُكَ َو ْالعَاقِبَةُ لِلت ْق َو َٰى‬ ْ ‫َوأْ ُمرْ أَ ْهلَكَ بِالص َالةِ َوا‬
َ ‫ص‬
َ ْ‫طبِر‬

Artinya: Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu
dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa.155

153
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

154
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kasir, Juz-IV, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hlm. 55.

155
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kasir, Juz XVI… hlm. 429.

86
Surat al-Fhusilat ayat 33, sebagai berikut:

.‫صال اِحا َوقَا َل إِننِي ِم َن ا ْل ُم ْس ِلمِي َن‬ َ ‫عا إِلَى َّللاِ َو‬
َ ‫ع ِم َل‬ َ ْ‫َو َم ْن أَح‬
َ َ‫سنُ قَ ْو اال مِم ْن د‬

Artinya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-
orang yang menyerah diri”.156

Surat an-Nisa’ Ayat 114, sebagai berikut:

‫ف‬ َ َ‫َّللا ف‬
َ ‫س ْو‬ ِ ‫ت‬ َ ْ‫اس ۚ َو َم ْن َي ْف َعلْ َٰذَلِكَ ا ْبتِغَا َء َمر‬
ِ ‫ضا‬ ٍ ‫صدَقَ ٍة أَ ْو َم ْع ُروفٍ أَ ْو ِإص َْال‬
ِ ‫ح َب ْي َن الن‬ َ ‫ِير م ِْن نَجْ َواهُ ْم ِإال َم ْن أَ َم َر ِب‬
ٍ ‫َال خَ ي َْر فِي َكث‬
.‫عظِي اما‬ ‫نُؤْ تِي ِه أَ ا‬
َ ‫جْرا‬

Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-
bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf,
atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat
demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya
pahala yang besar.157

Surat al-Maidah Ayat 67, sebagai berikut:

‫َّللا َال َي ْهدِي ا ْلقَ ْو َم‬


َ ‫اس ِإن‬ ِ ‫سالَتَهُ ۚ َوَّللاُ َي ْع‬
ِ ‫ص ُمكَ ِم َن الن‬ ْ َ‫َيا أَيُّ َها الرسُو ُل َب ِلّ ْغ َما أ ُ ْن ِز َل ِإ َليْك‬
َ ‫مِن َر ِبّكَ ۖ َو ِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلْ فَ َما َبل ْغتَ ِر‬
.‫ا ْلكَاف ِِري َن‬

Artinya: Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.158

Dari beberapa ayat dia atas, jelas memerintahkan kepada setiap orang Islam untuk
melakukan gerakan, kewajiban, ber-da’wah kewajiban umum (fardhu kifayah), yaitu
kewajiban dibebankan kepada seluruh manusia bukan kewajiban kepada individu manusia
(fardhu a’in). Dalam melakukan kewajiban ber-da’wah ini, jika da’wah sudah dilakukan oleh
satu orang pada satu tempat maka akan gugur dosa bagi orang lain yang tidak melakukan
da’wah.

156
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kasir, Juz XXIV… hlm. 214.

157
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kasir, Juz VI,… hlm. 406.
158
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Kasir, Juz VI,… hlm. 123.

87
Kewajiban ber-da’wah merupakan fardhu kifayah, namun demikian aktifitas da’wah
Islam tidak boleh dihentikan kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Artinya, al-Qur’an
mengimbau kepada umat Islam harus selalu ada yang melaksanakan aktivitas da’wah Islam,
walaupun itu hanya dilakukan oleh segilintir atau sekelompok umat saja. Da’wah merupakan
tanggung jawab umat yang telah menerima dan memeluk Agama Islam, sehingga umat Islam
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan tentang ajaran Islam itu sendiri.

Selain beberapa ayat al-Qur’an di atas, juga ada hadits yang dapat dipahami sebagai
bentuk kewajiban beraktivitas da’wah, yaitu:

َ ‫بَ ِلّغُوا‬
.‫عنِّى َولَ ْو آيَةا‬

Artinya: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (H.R. Bukhari).159

ٍ َ‫علَى خَ ي ٍْر فَلَهُ مِثْ ُل أ‬


.)‫جْر فَ ا ِع ِل ِه (رواه مسلم‬ َ ‫َم ْن دَل‬

Artinya: “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala
seperti orang yang melaksanakannya”.160

.)‫ان (وراه صحيح مسلم‬ ِْ ‫ف‬


ِ ‫اإلي َم‬ ْ َ‫سانِ ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَطِ ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َوذَلِكَ أ‬
ُ َ‫ضع‬ َ ‫َم ْن َرأَى ِم ْنكُ ْم ُم ْنك اَرا فَ ْليُغَيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِ ِل‬

Artinya: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila
belum bisa, maka cegahlah dengan mulutmu, apabila belum bisa, cegahlah dengan
hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemah
iman”.161

َ ‫ق هللااِ فِ ْي ِه فَ َوهللااِ ِْل َ ْن يَ ْهد‬


َ‫ِي هللااُ ِبك‬ َ ُ‫سا َحتِ ِه ْم ثُم اُدْعُ ُه ْم إِلَى ا ِإل ْسالَ ِم َوأَ ْخبِرْ هُ ْم بـِ َما يَ ِجب‬
ِ ّ ‫علَ ْي ِه ْم م ِْن َح‬ َ ْ‫اَ ْن ِفذ‬
َ ِ‫علَى َرسُلِكَ َحتى تَ ْن ِز َل ب‬
.)‫َر ُجالا َواحِ داا خَ ي ٌْر لَكَ م ِْن أَ ْن يَكُ ْونَ لَكَ ُح ْم ُر النعَ ِم (رواه البخارى‬

Artinya: “Ajaklah mereka memeluk Islam dan beritahu mereka apa-apa yang diwajibkan atas
mereka yang berupa hak Allah di dalamnya. Demi Allah, Allah memberi petunjuk

159
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Ringkasan Shahih Bukhari, Juz-IV, (Penerbit: Pustaka As-Sunnah,
2005), hlm. 145.

160
Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), hlm.
173.

161
Jalaludin Abdurahman Ibn Abi Bakr Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shagir fi Ahadits al-Basyir al-Nadzir, Juz II,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 526

88
kepada seseorang lantaran engkau, adalah lebih baik bagimu daripada engkau
memiliki unta merah”.162

Bebera Hadits di atas menjadi beberapa landasan bagi manusia untuk melakukan
kegiatan gerakan da’wah. Karena perintah yang terkandung dalam hadits ini adalah amar lil
wujub (perintah wajib), di mana tidak ada dalil lain yang bertentangan dengan perintah yang
ada dalam hadits tersebut. Artinya melakukan kegiatan da’wah merupakan sebuah kewajiban
yang telah diwajibkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Sebaliknya meninggalkan kewajiban
ber-da’wah (jika tidak ada yang ber-da’wah), maka akan berakibat dosa bagi seluruh umat
Islam.

Di sampaing itu, hakikat dari gerakan da’wah Islam adalah untuk mengajak umat
manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar
untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan kata lain, esensi da’wah
memiliki peran yang penting dalam kehidupan umat manusia, guna melestarikan ajaran Islam
dan menyiarkan kebenaran ajaran Islam serta mengajak umat untuk mengamalkan ajaran
Islam.

Adapun gerakan da’wah yang harus disampaikan seorang da’i secara umum dalam
kegiatan gerakan da’wah adalah tentang amar ma’ruf dan nahi munkar. Yakni
memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan segala perbuatan yang baik sesuai
dengan perintah Allah swt dan melarang manusia dari perbuatan yang bertentangan dengan
perintah-Nya.

B. Materi Da’wah

Al-Qur’an merupakan sebagai sumber utama rujukan umat manusia dalam menjalani
kehidupan, sedangkan Hadis merupakan sebagai hikmah petunjuk kepada kebenaran yang
sebenarnya. Dengan demikian, apa saja yang disampaikan (materi) dalam aktivitas da’wah
Islam haruslah berdasarkan dari al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. Dalam hal ini, A.
Hasjimy mengatakan bahwa materi da’wah merupakan isi pesan atau segala sesuatu yang
harus disampaikan seorang da‘i kepada mad‘u yang meliputi semua ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.163

Ajaran Islam itu sendiri terdapat pengelompokan yang berbeda berdasarkan

162
Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Ringkasan Shahih Bukhari, Juz-I, hlm. 607.
163
A. Hasjimy, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 210.

89
pandangan beberapa ahli. Muhammad Syaltut – sebagaimana dikutib Abdullah – mengatakan
bahwa ajaran Islam terdiri atas dua bagian, yaitu aqidah dan syari‘ah. Sedangkan Sayyid
Kutub – dalam Abdullah – mengklasifikasikannya kepada tiga bagian, yaitu, aqidah, syari‘ah
dan nizam (sistem). Kemudian dalam pembagian yang lain terdapat materi dari ajaran Islam
adalah aqidah, ibadah, akhlak, syari‘ah dan mu’amalah.164

Secara keseluruhan, ajaran Islam dilandasi pada 3 (tiga) prinsip utama, yaitu aqidah,
syari’ah, dan akhlak. Ketiga prinsip itulah yang pada perkembangannya juga menjadi ruang
lingkup atau materi da’wah Islam. Artinya, segala sesuatu yang disampaikan dalam aktivitas
da’wah meliputi ketiga prinsip di atas. Adakalanya disampaikan secara bersamaan, atau juga
disampaikan secara terpisah-terpisah berdasarkan kebutuhan dan keadaan dari mad’u.

Uraian singkat dari ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Aqidah; yaitu berkenaan dengan keimanan atau kepercayaan terhadap Allah SWT.
Artinya, aqidah menjadi landasan yang fundamental dalam keseluruhan aktivitas
seorang muslim, yang bersifat mentalitas ataupun tingkah lakunya serta sifat-sifat
yang dimilikinya. Seseorang yang beraqidah kuat maka dapat tercermin dari
ketiga hal tersebut, begitu juga sebaliknya.

b. Syari’ah; yaitu serangkaian ajaran Islam yang menyangkut dengan aktivitas


manusia muslim di dalam semua aspek kehidupan, apa yang boleh dikerjakan dan
yang tidak boleh dikerjakan, apa yang haram dan dan yang halal, dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, syari’ah berkenaan dengan hukum-hukum atau
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam.

c. Akhlak; yaitu meliputi tentang tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan
Allah swt (habluminallah) dan secara horizontal dengan sesama manusia
(habluminannas) serta berhubungan dengan seluruh makhluk Allah swt.165

Ketiga prinsip di atas merupakan pembahasan utama dalam penyampaian da’wah


terhadap umat Islam pada umumnya. Di mana pembahasan tersebut tetap berlandaskan pada

164
Abdullah, Wawasan Dakwah, Cet. II, (Medan: IAIN Press, 2002), hlm. 57.

165
Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah: Pedoman Untuk Mujahid Dakwah (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1993), hlm. 146.

90
al-Qur’an dan Hadis sebagai pijakan utama seorang da’i. Di samping itu, dalam melakukan
aktivitas da’wah Islam, seorang da’i juga diharapkan memperhatikan keadaan dan kebutuhan
para mad’u agar pesan/materi da’wah yang disampaikan tepat sasaran, serta menjunjung
tinggi etika kemanusiaan sebagai bahagian esensialnya.

C. Transformasi Ilmu

Seorang manusia yang sudah mempunyai ilmu pengetahuan agama, maka wajib
baginya untuk menyebarluaskan (mentransformasi) ilmunya kepada orang lain. Salah satu
bentuk tranformasi ilmu yang bisa dilakukan adalah dengan ber-da’wah. Hal ini karena
da’wah menjadi salah satu sarana untuk menyebarluaskan ilmu, sehingga dapat menjelaskan
berbagai persoalan hukum agama yang sedang dialami oleh masyarakat pada saat ini.166

Selain manfaat menjelaskan berbagai persoalan hukum agama kepada orang lain, bagi
pen-da’wah sendiri akan mendapatkan pahala dari setiap perbuatan kebaikan yang dia
sampaikan kepada orang lain, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw:

ٍ َ‫علَى َخي ٍْر فَلَهُ ِمثْ ُل أ‬


.ِ‫جْر فَا ِع ِله‬ َ ‫َم ْن دَل‬

Artinya: “Barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala
seperti orang yang melaksanakannya” (HR. Muslim).167

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa salah satu kelebihan bagi orang yang melakukan
kegiatan gerakan da’wah adalah mendapatkan pahala atas segala perbuatan baik yang
dikerjakan oleh orang yang mendengarkan dan mengamalkan dari da’wah-nya, berupa
perbuatan kebaikan yang kecil maupun kebaikan yang besar.

Jika melihat banyaknya pahala yang diperoleh oleh orang yang menyebarluaskan ilmu
agamanya, maka sudah sepatutnya bagi kita untuk terus melakukan gerakan da’wah, baik
dalam ruang lingkup yang kecil maupun dalam ruang lingkup yang besar. Kegiatan gerakan
da’wah juga tidak mesti harus diartikan dengan adanya panggung yang megah dan tempat
yang mewah, tetapi da’wah itu bisa dilakukan dalam ruang terbuka dan di mana saja.

166
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

167
Syaikh Salim bin ’Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shalihin,… hlm. 173.

91
D. Menjawab Persoalan Agama dan Akidah168

Dengan melakukan kegiatan da’wah selama ini, maka Têungkū Hasanoel Bashry telah
mengetahui bahwa banyak persoalan agama yang masih belum dipahami dengan benar oleh
masyarakat, hal itu terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat
ketika Têungkū Hasanoel Bashry melakukan pengajian dan diskusi dengan masyarakat
selama ini. Selain pertanyaan yang secara langsung dijawab ole Têungkū Hasanoel Bashry
pada saat pengajian, juga banyak permasalahan yang ditanyakan melalui Shoot Massage
Service (SMS), Facebook dan Twitternya yang dijawab setelah selesainya pengajian.169

Dalam masalah agama Têungkū Hasanoel Bashry berpegang kepada salah satu kaidah
yaitu “Kun fil Fiqhi Mukaqqaqa, Wa fil fununi musyarika” (jadilah kamu dalam masalah
fikih itu mengetahui secara pasti dan mendetil, sedangkan disiplin ilmu yang lain boleh
sekedarnya saja). Ilmu fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan amalan sehari-hari, yang
berkaitan dengan masalah bersuci, shalat, puasa dan lain sebagainya, karena dalam
melakukan setiap amal ibadah perlu mengetahui dasar hukumnya terlebih dahulu sebelum
mengerjakannya.

Selama ini di Aceh telah ada beberapa aliran yang dianggap bertentangan dengan
faham ahlusunnah waljamaah, seperti Komunitas Millata Abraham (Komar) dan Têungkū
Aiyub Syakubat di Kabupaten Bireuen, Aliran Salek Buta yang dikembangkan oleh Têungkū
Zarkasyi Pimpinan Dayah Baitul Mu’arif Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara,
Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang ada di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie, Aliran
Laduni di Kabupaten Aceh Barat dan yang terakhir adalah Acociation Uruguaya de
Education Catolica (UADEC) yang pernah mengemparkan beberapa kabupaten di Aceh.

Têungkū Hasanoel Bashry dalam hal ini bertindak sebagai penasehat Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan sebagai ketua Himpunan Ulama Dayah (HUDA)
Propinsi Aceh, karena dalam beberapa tahun belakangan ini banyak sekali persoalan aliran
sesat yang dihadapi oleh MPU dan HUDA Aceh. Dengan adanya penindakan dan hukuman
yang diberikan kepada pelaku aliran sesat, maka hal ini sedikit banyaknya telah mengurangi
atau menghambat pengembangan aliran sesat yang dilakukan oleh orang-rang yang tak

168
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

169
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

92
bertanggungjawab di Aceh.170

E. Menjalin Hubungan baik Ulama dan Umara

Selain untuk menjawab menyelesaikan persoalan keagamaan dan akidah, alasan lain
Têungkū Hasanoel Bashry dalam menjalankan da’wah-nya adalah, menjaga hubungan baik
antara Ulama dan Umara dalam menjalankan roda pemerintahan. Majelis taklim yang di asuh
oleh Têungkū Hasanoel Bashry selalu mengajak para pejabat pemerintah untuk
memerintahkan bawahannya serta turut hadir dalam majelis taklim, baik itu pengajian
ditingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi.171

Dengan terjalinnya hubungan yang baik antara Ulama dan Umara dalam menjalankan
pemerintahan, maka pemerintah yang dijalankan akan semakin baik dan terarah. Ulama dan
Umara tidak boleh dikotak-kotakan atau ada ruang pemisah antara mereka, karena Ulama
tanpa dukungan Umara akan sulit dan Umara tanpa didukung oleh Ulama akan salah kaprah
dalam menjalankan roda pemerintahan.172

Dari pembahasan di atas, maka dapat dipahami beberapa alasan mendasar yang
dijadikan oleh Têungkū Hasanoel Bashry dalam menjalankan da’wah-nya selama ini,
sehingga gerakan da’wah yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan oleh
masyarakat. Gerakan da’wah yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan
menghasilkan sebuah aktivitas yang lebih objektif dan inovatif, sehingga lebih jelas hasil
yang diharapkan dan maksud yang ingin dicapai.

F. Pengembangan Da’wah

Selain mengembangkan gerakan da’wah dalam negeri, maka Têungkū Hasanoel Bashry
juga telah menjalani beberapa kerjasama dengan beberapa negara dalam mengembangkan
gerakan da’wah yang dikembangkannya. Seperti menjalin kerjasama dengan Universitas Al-
Azhar Cairo Mesir dalam hal mengirim santri-santri lulusan Dayah MUDI Mesjid Raya
kesana, sehingga lulusan Dayah MUDI Mesjdi Raya diterima untuk Jurusan Syari’ah tanpa
proses seleksi atau tes. Juga telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Brunnei

170
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

171
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

172
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

93
Darusaalam dalam hal mengirimkan Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah untuk
melanjutkan kuliah dengan bantuan pemerintah Brunnei Darussalam, serta membantu
pemerintah Brunnei Darussalam untuk menterjemahkan bebera manuskrip kuno yang ada
dalam perpustakaan pemerintah Brunnei Darussalam.173

Selain itu juga telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Australia melalui tokoh
Aceh yang sudah lama menetap disana yaitu Teungkū Khalidin Yakop, bentuk kerjasama
yang dilakukan dengan mengirim beberapa lulusan Dayah MUDI Mesjid Raya untuk menjadi
imam dibeberapa mesjid di Australia dengan biaya ditanggung oleh pemerintah Australia.174

Selama ini itulah beberapa gerakan da’wah yang telah dilakukan oleh Têungkū
Hasanoel Bashry dalam rangka mengembangkan da’wah secara luas dan menyeluruh,
sehingga da’wah mampu dijangkau oleh segala lapisan masyarakat. Tanpa adanya
kemampuan dalam mengembangkan gerakan da’wah, maka da’wah hanya diapat dijangkau
oleh sebahagian masyarakat saja dan da’wah hanya bagi orang-orang itu saja.

173
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.
174
Wawancara dengan Têungkū Hasanoel Bashry, pada tanggal 20 Agustus 2015 Jam 08 wib.

94
BAB V
PENUTUP

95
BAB V PENUTUP
Persoalan da’wah merupakan salah satu persoalan selurug ummat Islam yang perlu
mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, sebab persoalan da’wah merupakan persoalan
masa depan ummat Islam. Hal ini bisa kita lihat dalam catatan sejarah bahwa perkembangan
agama Islam ke seluruh penjuru dunia adalah dibawa dan disampaikan oleh para juru da’wah
sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yang ada pada saat itu.

Penyampaian da’wah pada masa dahulu tentu akan berbeda dengan da’wah pada masa
sekarang ini, sebab kondisi dan situasi yang dihadapi oleh manusia pada masa lalu berbeda
dengan situasi yang dihadapi pada masa sekarang. Untuk itu perlu dilakukan semacam
evaluasi kritis dan mendasar terhadap penyampaian gerakan, metode dan materi da’wah
sehingga dapat tercapai tujuan dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam
saat ini.

A. Kesimpulan

Gerakan da’wah yang disampaikan oleh Têungkū Hasanoel Bashry merupakan sebuah
gerakan yang perlu diberikan apresiasi dengan baik, karena sampai dengan sekarang ini
Têungkū Hasanoel Bashry masih aktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul
dalam masyarakat pada saat ini. Adapun yang menjadi kesimpulan dalam pembahasan ini
antara lain adalah:

1. Têungkū Hasanoel Bashry dalam gerakan da’wah-nya telah mengambarkan berbagai


gerakan da’wah yang dilakukannya, mulai dari mendirikan lembaga pendidikan,
pengembangan ekonomi, membentuk organisasi-organisasi sosial, menjalani
kerjasama dengan pemerintah, bahkan masuk dalam dunia politik. Gerakan da’wah
Têungkū Hasanoel Bashry ini telah mampu menjawab berbagai persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat pada saat ini, mulai dari persoalan bidang Aqidah, Syari’ah,
dan permasalahan-permasalahan yang sifatnya kontemporer. Sehingga gerakan
da’wah-nya mampu menjawab berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat
pada saat ini, dengan paparan dalil-dalil yang mampu dijangkau oleh pemikiran
mereka, serta lengkap dengan dalil al-Qur’an, Hadits dan Nash kitab yang
muktabarah. Gerakan da’wah Teungku Hasanoel Bashry telah mampu menggugah
masyarakat untuk mengikuti berbagai kegiatan da’wah yang disampaikannya baik
melalui media diskusi, tanya jawab, media cetak, media elektronik dan media sosial.

96
Sehingga da’wah yang disampaikannya disukai oleh berbagai kalangan masyarakat,
pria maupun wanita, orang tua dan juga kalangan pemuda.

2. Landasan gerakan da’wah yang dipakai oleh Teungku Hasanoel Bashry dalam
melakukan kegiatan da’wah selalu menggunakan dalil ayat al-Qur’an, Hadits, dan
nash-nash kitab-kitab karangan ulama yang telah mendapat pengakuan dari para
ulama sebelumnya. Dengan menggunakan dalil-dalil yang relevan dengan tuntutan
zaman semakin menguatkan bahwa gerakan da’wah Teungku Hasanoel Bashry selalu
berpegang kepada dalil yang telah diakui keabsahannya, sehingga menjadikan gerakan
da’wah-nya yang dikembangkannya semakin digemari oleh masyarakat luas.

B. Saran

1. Gerakan da’wah Teungku Hasanoel Bashry saat ini sudah mampu menjawab sebagian
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Islam pada saat ini, sehingga hal tersebut
perlu dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan. Kegiatan da’wah ini perlu
difasilitasi dengan baik oleh Pemerintah ditingkat kabupaten/kota, Pemerintah
Provinsi Aceh atau Organisasi Masyarakat lainnya supaya kegiatan ini dapat
dilakukan secara terus menerus dan tidak berhenti ditengah jalan.

2. Hasil dari gerakan da’wah Teungku Hasanoel Bashry ini sebaiknya dapat dibukukan,
sehingga bisa dijadikan sebagai bahan referensi bagi pen-da’wah yang lain atau
orang-orang yang membutuhkan. Hasil dari gerakan da’wah-nya merupakan inisiatif
untuk menjalankan da’wah dalam menjawab persoalan-persoalan yang sedang
dihadapi oleh masyarakat pada saat ini, tentu hal ini sangat penting untuk disimpan
atau diarsipkan.

3. Gerakan da’wah yang telah dikembangkan oleh Teungku Hasanoel Bahsry masih
sangat terbatas dan belum mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, sehingga
perlu terus didukung dengan berbagai fasilitas yang memadai, seperti tempat yang
nyaman, kondisi yang jauh dari keributan dan lain sebagainya.

97
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
1. Nama Lengkap : Zulfikar
2. NIM : 24121554-2
3. Tempat/Tanggal Lahir : Lhoksagoeweng/ 15 Januari 1978
4. Jenis Kelamin : Laki-Laki
5. Agama : Islam
6. Kebangsaan : Indonesia
7. Status Perkawinan : Kawin
8. Pekerjaan : Mahasiswa
9. Alamat Sekarang : Desa Gampong Baro, Samalanga
10. Email : fikarz80@yahoo.com
11. Latar Belakang Pendidikan;
a. SD Negeri Kuta Makmur : Lulus Tahun 1991
b. MTsN Peusangan : Lulus Tahun 1994
c. Madrasah ‘Aliyah MUDI Samalanga : Lulus Tahun 2001
d. STAI Al-Aziziyyah Samalanga : Lulus Tahun 2009
e. Program Pascasarjana, Konsentrasi Ilmu Dakwah UIN Ar-Raniry.
12. Orang Tua.
a. Nama : Abdurrahman
- Pekerjaan : Tani
b. Nama : Cut Maimunah
- Pekerjaan : IRT
c. Orang Tu : Desa Sidomulyo Kec. Kuta Makmur

Demikianlah Daftar Riwayat Hidup ini saya perbuat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan seperlunya.

Darussalam, 28 September 2017


Penulis,

Zulfikar

98

Anda mungkin juga menyukai