Anda di halaman 1dari 172

1

PERAN FOODHABITS MASYARAKAT


DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

Dr. Sulaiman, SP., M . Si

2
PERAN FOODHABITS MASYARAKAT
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
CV. PENERBIT QIARA MEDIA
172 hlm: 15,5 x 23 cm
Copyright @2021
Dr. Sulaiman, SP., M . Si

ISBN: 978-623-555-182-1
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2021
Penulis:
Dr. Sulaiman, SP., M . Si

Editor: Tim Qiara Media


Layout: M Rasyid Dwi Akbar
Desainer Sampul: M Nauval Saputra
Gambar diperoleh dari www.google.com
Cetakan Pertama, 2021

Diterbitkan oleh:
CV. Penerbit Qiara Media - Pasuruan, JawaTimur
Email: qiaramediapartner@gmail.com
Web: qiaramedia.wordpress.com
Blog: qiaramediapartner.blogspot.com
Instagram: qiara_media
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
mengutip dan/atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku tanpa izin tertulis penerbit.
Dicetak Oleh CV. Penerbit Qiara Media
Isi di luar tanggung jawab percetakan

3
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

a. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa


hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh
tahun dengan atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (Lima miliar rupiah).
b. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta
rupiah).

4
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas rahmat, hidayah, dan karunia Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik.
Penulis berharap buku Peran Foodhabits
Masyarakat Dalam Mendukung Ketahanan Pangan ini
dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi para
pembacanya serta dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya. Terimakasih disampaikan kepada orang tua dan
kerabat penulis, serta semua pihak yang telah ikut membantu
dalam penyelesaian buku ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan buku baik itu dalam hal ejaan dan tata bahasa,
materi, maupun tata letak. Untuk itu, sudilah kiranya para
pembaca dapat memaklumi dan memberikan kritik serta
saran yang membangun agar penulis dapat menjadi lebih
baik dalam penyusunan buku berikutnya. Semoga buku ini
dapat memberi manfaat bagi bagi semua pihak yang
membutuhkan.
November, 2021
Penulis

Dr. Sulaiman, SP., M . Si

5
DAFTAR ISI
BAB I PENINGKATAN KEBUTUHAN BAHAN
PANGAN ................................................................ 9
1.1. Kebutuhan Pangan ................................................... 10
1.2. Latar Belakang Peningkatan Bahan Pangan .............. 12
1.3. Perundang-undangan Pangan di Indonesia................ 13
1.4. Landasan Swasembada Pangan ................................ 15
BAB II POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN 21
2.1. Pengertian Produksi dan Konsumsi Pangan .............. 22
2.2. Nilai dan Pengetahuan tentang Produksi dan Konsumsi
Pangan ............................................................................ 30
2.3. Aksesibilitas Pangan ................................................ 37
2.4. Starategi Adaptasi Produksi dan Konsumsi Pangan .. 47
2.5. Kelembagaan Produksi dan Konsumsi Pangan ......... 54
2.6. Relasi Sosial ............................................................ 61
BAB III KESEIMBANGAN KEBUTUHAN PANGAN ... 69
3.1. Konsep Foodhabits sebagai Strategi Ketahanan
Pangan ............................................................................ 77
3.2. Budaya Komsumsi Kebutuhan Pangan ..................... 80
BAB IV KABUPATEN MAMUJU ................................... 90
4.1 Kabupaten Mamuju .................................................. 91
a. Letak Geografis........................................................ 91
b. Kependudukan ......................................................... 93
c. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin ............ 93

6
d. Komposisi Penduduk menurut Usia .......................... 94
e. Komposisi Penduduk menurut Pekerjaan.................. 96
f. Komposisi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan... 97
g. Pertanian .................................................................. 98
h. Tanaman Pangan ...................................................... 98
i. Tanaman Hortikultura ............................................ 100
4.2 Gambaran Kecamatan Mamuju .............................. 101
a. Geografis ............................................................... 101
b. Iklim ...................................................................... 103
c. Karasteristik Lahan ................................................ 104
d. Keadaan Penduduk ................................................. 106
e. Tingkat Pendidikan ................................................ 107
f. Jenis Pekerjaan ....................................................... 108
g. Sarana dan Prasarana.............................................. 110
BAB V PULAU KARAMPUANG DI KABUPATEN
MAMUJU ........................................................... 118
5.1 Gambaran Pulau Karampuang ................................ 119
a. Letak Gografis ....................................................... 119
b. Luas Wilayah dan Iklim ......................................... 120
c. Penduduk ............................................................... 122
d. Pekerjaan ............................................................... 123
e. Tingkat Pendidikan ................................................ 124
f. Sarana dan Prasarana.............................................. 126
5.2 Pulau Karampuang ................................................. 129

7
5.3 Pulau-Pulau Kecil .................................................. 135
DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 139

8
BAB I
PENINGKATAN KEBUTUHAN BAHAN
PANGAN

9
Meningkatnya populasi global adalah sebuah
perubahan yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan
akan bahan makanan, di sisi lain pergeseran pola konsumsi
akan mendorong peningkatan kebutuhan makanan tersebut
(Wan 2005). Fenomena ini membawa ancaman kerentanan
bagi keberlanjutan produksi dan konsumsi. Pola produksi
dan konsumsi yang tidak berkelanjutan membawa peradaban
manusia ke jurang bencana global (Brizga, et al. 2014).
Sepanjang sejarah, populasi manusia telah mengalami
kekurangan dalam produksi pangan. Pertumbuhan di masa
lalu telah menyebabkan eksploitasi secara berlebihan
terhadap sumber daya alam dan berakibat pada kepunahan
dan runtuhnya peradaban di masa lalu (Diamond 2005).
Permintaan global terhadap kebutuhan pangan jangka
panjang sampai tahun 2050 akan meningkat dua kali lipat
(Koning et al. 2008). Di banyak negara maju, konsumen
semakin khawatir tentang kemampuan sistem industri
pangan besar untuk memasok makanan bergizi dengan cara
yang aman dan lingkungan yang berkelanjutan (Morrison, et
al. 2011).
1.1. Kebutuhan Pangan
Pangan adalah kebutuhan yang paling fundamental
bagi masyarakat suatu bangsa. Dalam mewujudkan
ketahanan pangan sangat ditentukan oleh ketersediaan

10
pangan dari aspek kuantitas dan mutu yang proporsional,
tersalurkan dengan harga yang mampu dijangkau dan aman
dikonsumsi bagi setiap masyarakat untuk menyangga
kegiatan setiap hari sepanjang waktu (Saliem 2002). Isu
penting di tingkat global adalah ketersediaan pangan global,
sedangkan ketersediaan pangan tergantung pada produksi
pangan dan stok pada suatu waktu tertentu (Carletto, et al.
2013). Pangan merupakan salah satu hak dasar manusia
mengandung makna yaitu negara memiliki kewajiban dalam
mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi
rakyatnya. tersedianya produksi menjadi penting dalam
upaya pemenuhan pangan, khususnya produksi domestik,
karena ketahanan pangan menjadi salah satu unsur pokok
dari stabilitas negara (Meskhia 2016). Hal ini agar upaya
pemenuhan kebutuhan pangan tidak menjadikan impor
sebagai prioritas utama. Dalam memenuhi kebutuhan pangan
lewat impor, akan sangat rentan secara politik dan ekonomi
bagi suatu negara (Boucekkine, et al. 2016).
Keamanan pangan menjadi penting karena telah
menjadi tantangan yang luar biasa bagi negara maju dan
berkembang selama dekade terakhir (Liu and Ma 2016).
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar, salah
satunya adalah kebutuhan pangan merupakan tujuan penting
semua bangsa (Al-Amin and Ahmed 2016). Apabila

11
produksi pangan menurun, dapat berdampak meningkatnya
kelaparan dan kemiskinan secara lebih signifikan (Asep et
al. 2006). Bahkan, sejak abad 20 kelaparan dan
kemiskinan menjadi masalah yang disebabkan oleh
kelangkaan bahan pangan (Koning et al. 2008).
1.2. Latar Belakang Peningkatan Bahan Pangan
Meningkatnya permintaan terhadap pangan adalah
dampak akumulasi dari pertambahan penduduk, peningkatan
ekonomi, meningkatnya kemampuan beli masyarakat, dan
pola makan yang berubah. Disamping itu, tekanan regulasi
pangan (swasembada beras) memiliki kecenderungan
berlaku secara general tanpa memperharikan
keanekaragaman pangan pokok yang tersedia. Sedangkan
daya tampung produksi pangan secara nasional tumbuh
lambat dan cenderung stagnan, disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu:
(a) Terjadinya persaingan dalam memanfaatkan
sumberdaya air dan lahan,
(b) Produktivitas lahan dan tenaga kerja di sektor
pertanian berkembang statis,
(c) Ancaman pemanasan global dan pertanian global,
(d) Dampak bencana alam (kekeringan, banjir dan
serangan hama).
Kesenjangan antara kenaikan permintaan dan

12
kenaikan jumlah produksi secara nasional, menyebabkan
kebutuhan pangan nasional bertunpu pada impor, dan realitas
ini dimaknai sebagai ketidakmampuan negara dalam
menyediakan pangan (Anonimous 2001; Asep et al. 2006).
Ketersediaan pangan per kapita untuk konsumsi
langsung masyarakat saat ini sekitar 18 persen di atas angka
ketersediaan pangan 30 tahun yang lalu. Mayoritas negara
berkembang berperan dalam peningkatan ketersediaan
pangan dunia. Namun demikian, peningkatan produksi
pangan tidak merata di semua negara (Bratisda and Wardana
2005).
Indonesia merupakan negara dengan laju pertambahan
penduduk yang cukup signifikan, dan menjadikan pangan
sebagai persoalan yang sangat penting. Upaya memenuhi
kebutuhan pangan dalam konsep ketahanan pangan
merupakan tonggak dalam membangun sumberdaya manusia
kompoten yang dibutuhkan guna menumbuhkan kemampuan
kompetitif bangsa Indonesia pada skala internasional
(Suryana, 2004). Ketercapaian ketahanan pangan, jika setiap
orang atau rumah tangga dapat kontinyu, Mampu mengakses
baik secara fisik maupun ekonomi, bergizi dan aman untuk
memenuhi kebutuhan pangan (Carletto et al. 2013).
1.3. Perundang-undangan Pangan di Indonesia
Kebijakan pangan di Indonesia tertuang dalam

13
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan yang
menguraikan bahwa pangan adalah kebutuhan fundamental
manusia yang paling penting dan pemenuhannya merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada
tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara
merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan
memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal
(Undang-Undang Nomor 18 2012).
Hanya saja, kebijakan pemerintah dalam menjamin
ketersediaanpangan selama ini menerapkan skema ketahanan
pangan, dimana skenario ketahanan pangan bertumpu pada
ketersediaan pangan, memiliki resistensi terhadap berbagai
kondisi global. Sehingga skema pemenuhan kebutuhan
pangan yang diterapkan selama ini oleh pemerintah penting
untuk dikaji ulang. Skema tersebut berupa regulasi ketahanan
pangan dan bukan kedaulatan atau swasembada pangan.
Secara esensial ketahanan pangan berbeda dengan
kedaulatan dan swasembada pangan (Siddig and Mubarak
2013) dan Carletto et al.,; Coates dalam Noromiarilanto,
et.al, 2016), karena aspek produksi bukan satu-satunya

14
penentu dalam memenuhi kebutuhan pangan tetapi hanya
salah satu upaya, karena ketahanan pangan merupakan upaya
menyediakan pangan tanpa mempermasalahkan sumber (titik
tumpu) baik produksi maupun impor. Sehingga skema
tersebut mesti dirubah menjadi swasembada pangan yang
artinya ketersediaan pangan dari produksi domestic (local).
Pilar penting pada swasembada pangan adalah produksi,
sehingga unsur produksi dijadikan fokus utama dari tiap
regulasi yang diterapkan (Siddig and Mubarak 2013).
1.4. Landasan Swasembada Pangan
Swasembada pangan yang berlandaskan pada aspek
produksi, tentu akan menjadi skenario yang sangat
mendukung keberlanjutan ketersediaan pangan. Mengingat
ketersediaan pangan yang berkelanjutan dihadapkan pada
beerbagai kendala dan hambatan, antara lain yaitu makin
terbatasnya jumlah produksi pangan disebabkan terjadinya
pertambahan jumlah penduduk berikut kegiatan ekonominya
yang berdampak pada alih fungsi lahan pertanian menjadi
lahan non pertanian, akibatnya rata-rata kepemilikan lahan
pertanian oleh petani menjadi makin kecil. Petani di
pedesaan adalah didominasi petani berlahan sempit dan
bahkan hanya petani penggarap yang tidak memiliki lahan
sendiri (Menike and Arachchi 2016). Masalah yang kerap
dihadapi oleh para petani dalam melakukan proses usahatani

15
yaitu karena terbatasnya modal yang dimiliki. Sehingga
berimplikasi terhadap daya produksi yang mengakibatkan
produktivitas usahatani cenderung statis (Baliwati and
Roosita 2004).
Tantangan berikutnya selain kondisi di atas yaitu
Indonesia adalah negara kepulauan, sebagian masyarakatnya
hidup di wilayah pesisir sebagai nelayan. Terdapat
perbedaan dengan petani sebagai masyarakat agraris yang
menguasai atau menyewa lahan, nelayan sebagai masyarakat
pesisir memiliki realitas tersendiri. Disparitas fundamental
antara masyarakat pesisir dan masyarakat agraris adalah pada
daya jangkau terhadap sumberdaya (Satria, et. el, 2006).
Sangat kontras dengan sumberdaya lahan pada masyarakat
agraris, laut merupakan sumberdaya alam yang bersifat akses
terbuka sehingga siapapun dapat memanfaatkannya.
Sumberdaya yang open akses ini berdampak pada terjadinya
persaingan diantara sesama nelayan makin keras. Sehingga
sangat jelas jika nelayan atau penduduk pesisir secara umum
memiliki tabiat yang keras (Satria et al., 2006). apalagi risiko
pekerjaan yang tinggi baik keselamatan jiwa maupun
ekonomi (Salman, 2012; Satria, 2001; Satria, 2009).
Availibitas pangan masyarakat pesisir sangat bergantung
pada penyaluran dan aksesibilitas pangan.
Daerah pesisir yang berada di pulau-pulau merupakan

16
wilayah yang terisolasi sehingga berdampak pada
kemiskinan, kurangnya informasi, rendahnya pendidikan dan
pengetahuan sebagai sebuah karasteristik masyarakat di
pesisir (Sulistyowati 2003). Berdasarkan kondisi tersebut,
maka karasteristik masyarakat yang berpengetahuan dan
berpendidikan rendah sangat berdampak terhadap rendahnya
kemampuan masyarakat dalam aksesibilitas pangan di
daerah pesisir. Pulau Karampuang sebagaimana uraian di
atas juga memiliki karasteristik yang sama, sehingga hal ini
berdampak pada proses aksesibilitas pangan masyarakat
yang ada. Masyarakat pulau kecil dan pesisir berdasarkan
keadaan sosial dan budaya adalah gabungan masyarakat
yang esensi budayanya pada awalnya terbangun atas
kombinasi antara budaya maritim laut, pantai dan
berorientasipasar (Satria, 2001).
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) memperlihatkan dimana penduduk Sulawesi
Barat berjumlah 1.258.090 jiwa dan tingkat kepadatan
berkisar 96 jiwa/km2 serta laju pertumbuhan sebesar 2,68 %
per tahun (BPS 2016). Tingginya laju pertumbuhan
penduduk berdampak pada terjadinya alih fungsi lahan baik
dari pertanian ke pertanian lainnya maupun dari pertanian ke
non pertanian, hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan
lain diataranya perumahan dan kebutuhan ekonomi lainnya.

17
Kabupaten Mamuju adalah satu diantara enam
kabupaten di Sulawesi Barat dan mempunyai areal tanaman
padi berdasarkan data BPS tahun 2012 seluas 31.019 ha
dengan tingkat produktivitas 4,97 ton/hektar serta total
produksi sebanyak 151.584 ton. Hasil Survei Ekonomi
Nasional tahun 2013 (Susenas, 2013) Persentase Penduduk
berdasarkan Golongan Pengeluaran Perkapita Sebulan yaitu
didominasi golongan pengeluaran Rp.100.000 - Rp.
499.000 sebesar 65,56 %. Hal ini mengindikasikan bahwa
jumlah penduduk yang kemampuan pemenuhan kebutuhan
pangannya terbatas sangat tinggi. Karena salah satu faktor
yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah alokasi
anggaran (Osman et al. 2014).
Penduduk Kabupaten Mamuju tahun 2015 dengan
jumlah berkisar 265.800 jiwa dan laju pertumbuhan per
tahun (2010 – 2015) sebesar 2,66 persen. Dari total tersebut,
48,13 persen adalah merupakan masyarakat yang bermata
pencaharian petani dan nelayan. Laju pertumbuhan
penduduk tersebut berbanding terbalik dengan tingkat
produksi pangan khususnya padi (2011-2015). komoditi
pangan merupakan komoditi terpenting bagi kehidupan
masyarakat Kabupaten Mamuju. Untuk mengetahui seberapa
besar produksi komdoiti pangan di Kabupaten Mamuju dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

18
Tabel 1 Luas Lahan tanaman Pangan di Kabupaten
Mamuju Tahun 2011-2015

No Tanaman Tahun
Pangan 2011 2012 2013 2014
1 Padi Sawah 142.390 151.584 87.520 109.67
2 Padi Ladang 8.168 10.627 5.979 3.773
3 Jagung 80.512 116.787 29.090 28.20
4 Kedelai 1.806 2.492 2.680 3.993
5 Ubi Kayu 496 18.947 7.888 6.804
6 Ubi Jalar 285 4.801 2.192 2.020
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju 2016
Data tersebut menjelaskan keadaan tanaman pangan di
Kabupaten Mamuju yang tiap tahunnya mengalami
perubahan jumlah produksi baik itu meningkat maupun
mengalami penurunan. Keberlanjutan Produksi dan
Konsumsi pangan penduduk menjadi menjadi tujuan dan
tantangan utama di masa yang akan dating (Jonkutė and
Staniškis 2016), Menjadi tujuan karena untuk peningkatan
kesejahteraan generasi yang akan datang. Sedangkan
menjadi tantangan karena akan berhadapan dengan tekanan
oleh infrastruktur, ekonomi dan lingkungan (Cohen and Mu
2015). Kondisi ini yang menjadi faktor pendorong beberapa
elemen termasuk kalangan akademisi yang berupaya

19
mengembangkan keberlanjutan produksi dan konsumsi
pangan (Dubey et al. 2016). Keberlanjutan Konsumsi dan
produksi sudah menjadi tema yang sangat urgen baik dalam
bentuk regulasi oleh kalangan intekektual dalam dasawarsa
terakhir (Geels et al. 2015).

20
BAB II
POLA PRODUKSI DAN KONSUMSI
PANGAN

21
2.1. Pengertian Produksi dan Konsumsi Pangan
Produksi adalah kata serapan dari Bahasa Inggeris,
yaitu Production. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), produksi didefenisikan sebagai suatu proses dalam
memperoleh hasil atau penghasilan. Di samping itu terdapat
dua arti lain yaitu hasil dan perbuatan (Damsar 2011; Daniel
2002).
Pada umunya produk pangan mengikuti pola produksi
musiman, sedangkan kebutuhan pangan harus dipenuhi
sepanjang tahun. Produk pertanian pada umumnya juga cepat
rusak (perishable). Sehingga dengan kondisi yang demikian
maka aspek pengolahan dan penyimpanan menjadi hal
penting dalam upaya penyediaan pangan secara
berkelanjutan. Produksi pangan di Indonesia tersebar
menurut kondisi agroekosistem dan geografinya, sedangkan
lokasi konsumen tersebar di seluruh pelosok tanah air, baik
yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dengan
demikian, aspek transportasi dan distribusi pangan menjadi
sangat penting dalam rangka penyediaan pangan yang merata
bagi masyarakat (Prabowo 2010).
Upaya mengatasi permasalahan penyediaan pangan
antarwaktu dan antartempat tersebut, teknologi pasca panen
dapat berperan dalam meningkatkan efisiensi baik pada saat
panen (mengurangi kehilangan hasil), pengolahan hasil,

22
pengemasan, transportasi, dan penyimpanan. Efisiensi yang
dimaksud dalam hal ini mencakup aspek efisiensi teknis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencakup upaya
mengurangi kehilangan hasil, mempertahankan kualitas, dan
memperlancar arus perpindahan barang. Sedangkan efisiensi
ekonomis berupa penghematan biaya untuk pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan, dan pendistribusian. Dengan
demikian selisih harga (disparitas harga) antarwilayah dan
antarwaktu diharapkan menjadi lebih kecil (Suryana 2005).
Perubahan pola-pola produksi dan konsumsi dalam
kehidupan masyarakat merupakan fenomena yang dapat
dipandang dari dua sisi, selaras atau tidak dengan hakikat
pembangunan berkelanjutan. Perubahan pola-pola produksi
dan konsumsi dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya
dipandang sebagai 'economic activities', tetapi juga non-
ekonomi. Dalam pandangan sosial politik, perubahan pola-
pola produksi dan konsumsi melingkupi berbagai aspek
kehidupan manusia, termasuk di dalamnya ada sistem
kelembagaan dan penggunaan kekuasaan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat (Nurdin 2015).
Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok
orang pada waktu tertentu (Mudanijah 2004). Konsumsi
pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran

23
kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah.
Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan
tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi
(pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi
(Hardinsyah et al. 2002). Pola makan adalah susunan jenis
dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau
kelompok orang dalam kurun waktu tertentu (Mudanijah
2004). Gizi seimbang yaitu gizi yang sesuai dengan
kebutuhan tubuh melalui makanan sehari-hari sehingga
tubuh bisa aktif, sehat optimal, tidak terganggu penyakit, dan
tubuh tetap sehat (Soenardi 2005).
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan
pemilihan jenis ataupun banyaknya pangan yang dimakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan
adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan
tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi. Apabila
jumlah pangan yang ditanam tidak cukup untuk memenuhi
konsumsi pangan penduduk, maka risiko kurang gizi dan
gangguan gizi akan meningkat (Harper, et.al. 1986).
Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor,
di antaranya:
1) Ketersediaan pangan, jenis,dan jumlah pangan

24
dalam pola makanan di suatu daerah tertentu,
biasanya berkembang dari pangan setempat atau
dari pangan yang telah ditanam. Bila pangan
tersedia secara kontinyu, maka dapat membentuk
kebiasaan makan;
2) Pola sosial budaya, pola kebudayaan
mempengaruhi seseorang dalam memilih pangan.
Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa
yang harus diproduksi, bagaimana cara
pengolahanya, penyalurannya, penyiapannya, dan
penyajiannya.
Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya
faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan
oleh seseorang atau sekelompok orang (Riyadi H 1996). Pola
pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan
pola mie (Rachman 2001) yang menunjukkan adanya
perubahan pola konsumsi pangan pokok yang cenderung
mengarah ke pola tunggal beras dari semula pola beras-
umbi-umbian, dan atau beras-jagung-umbi.
Lebih lanjut diuraikan oleh (Alkhudri et al. 2016)
bahwa pola konsumsi masyarakat terjadap suatu bahan
pangan sangat dipengaruhi oleh dua faktor, diantaranya:
tingkat pengetahuan masyarakat tersebut terhadap bahan
pangan atau makanan yang dikonsumsi dan pendapatan

25
masyarakat.
(Pingali 2007) menyatakan bahwa terjadi perubahan
pola makan di Asia termasuk Indonesia sebagai interaksi
faktor supply dan demand. Perubahan permintaan pangan
disebabkan oleh peningkatan pendapatan sehingga
menyebabkan perubahan jumlah dan jenis pangan, urbanisasi
yang berdampak pada kebutuhan pola makan yang baru dan
umumnya dari perubahan gaya hidup. Dari aspek
ketersediaan, faktor utama yang berpengaruh pada aspek
ketersediaan adalah pemusatan integrasi globalisasi
ekonomi yang merupakan keterkaitan antara produksi secara
lokal dan ketersediaan pangan, liberalisasi investasi asing
melalui peranan korporasi multinasional, serta pengurangan
biaya transportasi dan pelabuhan. Perubahan yang terjadi
ditunjukkan oleh beberapa hal, di antaranya:
(1) Peningkatan ketersediaan pangan yang berkualitas;
(2) Peningkatan pangsa dari daging, susu, dan pangan
hewani lainnya dalam pola konsumsi pangan
sehari-hari, sebaliknya konsumsi beras per kapita
menurun;
(3) Transisi pola makan di perkotaan yang ditunjukkan
dengan peningkatan konsumsi pangan “kota” yang
merupakan resultansi konsumsi dari berbagai jenis
“western-style foods”. Pada masyarakat

26
berpendapatan rendah transisi pola makan terjadi
ke arah makanan jadi sebagai akibat peningkatan
pendapatan dan aktivitas.
Melindungi dan meningkatkan tingkat konsumsi
pangan masyarakat membutuhkan pendekatan ganda.
Pertama, itu membutuhkan menghasilkan lebih banyak
pendapatan dan lapangan kerja bagi kelompok rentan.
Kerawanan pangan di tingkat rumah tangga terkait erat
dengan laba cukup. Sementara perbaikan dalam
pertumbuhan ekonomi berbasis luas memberikan satu-
satunya dasar jangka panjang untuk meningkatkan
kesempatan kerja, jangka pendek ke menengah dapat
dilakukan melaluitindakan langsung (Hubbard et al. 1992).
Dalam sebuah jaringan produksi, mata rantai antara
semua kegiatan saling berhubungan dan memberikan andil
secara keseluruhan kepada produsen makanan dan
berdampak dampak pada lingkungan. Untuk produksi
sayuran dari sebuah paket beku kacang pada tingkat dua,
misalnya, sayuran ditanam, diproses, dikemas, diangkut dan
disimpan. Proses ini memerlukan masukan dari sumber daya
alam, seperti tanah, perantara energi dan air, dan
berkontribusi pada polusi (Tilman et al. 2002).
Sepanjang sejarah, kehidupan manusia telah
mengalami kekurangan dalam produksi pangan.

27
Pertumbuhan populasi di masa lalu telah melakukan eploitasi
secara berlebihan terhadap sumber daya alam dan berakibat
pada kekepunahan dan runtuhnya peradaban di masa lalu
(Diamond 2005).
Argumen kedua mendukung secara global tantangan
produksi pangan adalah meskipun beberapa daerah
mengalami banyak masalah dibanding yang lain, masyarakat
sekarang ini makin bertambah hubungannya. Globalisasi
telah membuka pintu perdagangan internasional. Dengan
demikian kekurangan atau kelebihan pasokan komoditas
suatu daerah dapat dikirimkan dan mengurangi karena
adanya pasar dunia. selanjutnya, globalisasi juga
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Argumen ketiga
bahwa dampak kumulatif dari keputusan penggunaan lahan
lokal dapat menyebabkan dampak pada lingkungan secara
signifikan, terutama melalui perubahan iklim (Alcamo et al.
2003; Foley et al. 2005; Tilman et al. 2001).
Produksi dan Konsumsi makanan akan menyebabkan
dampak pada sumberdaya yang lain (energi, air, keaneka
ragaman hayati), kesehatan manusia dan hewan. Orang-
orang di negara barat memilih untuk mengkonsumsi daging
yang diproduksi dengan cara yang bertanggung jawab seperti
daging organik (Aiking, et al. 2006; Smil 2000). Bahkan
sekarang banyak konsumen konsumen menanggapi agak

28
skeptis terhadap isu lingkungan saat ini (Macnaghten 2003;
Peattie 2001).
Pola Produksi dan Konsumsi menurut Emile Durkheim
pada bukunya The Division of Labor in Society, menguraikan
bahwa dalam teori perubahan sosial terdapat dua corak
masyarakat yaitu masyarakat dengan landasan solidaritas
mekanik dan organik. Pada masyarakat dengan solidaritas
mekanik ciri-cirinya adalah rendahnya pembagian kerja,
rendahnya individualitas dan rendahnya saling
ketergantungan. Berbeda dengan solidaritas organik
dicirikan diantaranya dengan tingginya pembagian kerja,
tingginya individualitas dan tingginya saling ketergantungan
(Damsar 2011; Ritzer and Goodman 2010). Selanjutnya
Durkheim menjelaskan bahwa pola konsumsi pada
solidaritas mekanik mengarahkan masyarakat untuk
melakukan konsumsi yang homogen dan tidak ada
perbedaan satu sama lain, homogen dalam cara dan pola
konsumsi seperti pola makan/pangan, sandang/busana dan
papan/perumahan. Pelanggaran pada cara dan pola konsumsi
berakibat terhadap pemberian sanksi berupa hukuman
refresif dan kolektif seperti menggunjing, mengucilkan
ataupun membuang secara adat. Sedangkan solidaritas
organik pola konsumsi memberi kemungkinan untuk berbeda
baik cara maupun bentuk konsumsi seperti berbeda pada

29
bentuk rumah, cara berbusana, atau menu makanan tanpa
harus mencederai kesadaran kolektif. Divergensi pola dan
cara konsumsi dianggap akan menumbuhkan integritas
ditengah masyarakat sebab perbedaan pola dan cara
konsumsi akan melahirkan kekhasan tersendiri bagi
pekerjaan dalam menyediakan barang dan jasa bagi terhadap
konsumsi (Damsar 2011)
2.2. Nilai dan Pengetahuan tentang Produksi dan
Konsumsi Pangan
Nilai merupakan komoditas utama yang disalurkan
oleh susunan- susunan dalam setiap sistem yang meliputi
keterampilan, pendidikan, politik, keadilan. Norma
merupakan aturan, baik secara tertulis maupun tidak
bertujuan mengatur pola hubungan antara aktor pada suatu
Sistem (Anggara 2013).
Makanan (food) ialah konsep budaya, suatu ungkapan
oleh masyarakat tentang makanan ada dianggapan tentang
boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan serta anggapan
yang bukan manakan (Foster and Anderson 1986). (Suhardjo
1995) mengemukakan bahwa meskipun selera dan pilihan
konsumen berlandaskan pada nilai-nilai sosial, ekonomi,
budaya, agama dan pengetahuan, namun sepertinya prestise
menjadi unsur sangat menonjol. Berbagai faktor yang
menjadi penyebab terkendalanya diversifikasi konsumsi

30
bagi pangan.
Kajian mengenai makanan dalam kerangka budaya
berdasarkan permasalahan–permasalah praktis serta tindakan
nyata masyarakat. Umumnya orang cenderung memberikan
penilaian terhadap orang lain berdasarkan selera dan
kebiasaan makanya. Kita tidak menyadari bahwa dalam
hubungan sosial baik antar sukubangsa maupun antar bangsa
sudah tercipta sejenis stereotip etnis yang berlandaskan
perilaku makan dan bukan saja perlaku makan secara
tradisional itu juga sudah berkembang ke perilaku makan
modern seperti pekarang (Hidayah 2010).
Menurut Landis (1948), bahwa tinggi rendahnya
pengaruh lingkungan terhadap pola kebudayaan tradisional
ditentukan oleh tiga hal, yaitu sejauhmana determinasi
lingkungan, kemajuan teknologi yang diadopsi, dan kegiatan
produksi yang dilakukan.
Lebih lanjut diuraikan bahwa tanda kebudayaan
tradisional ada sembilan hal, yaitu:
1) Pasit terhadap sistem adaptasinya
2) Kemanpuaninvasi rendah
3) Tingginya rasa kebersamaan
4) Budaya hidup yang lamban
5) Kepercayaan terhadap mistik
6) Kebutuhan materil yang sederhana

31
7) Kesadaran akan waktu sangat rendah
8) Kecenderungan bersifat instan
9) Standar moral yang tidak fleksibel.
Pengetahuan manusia dalam menyajika sebuah
hidangan pangan bukan hanya berasal dari warisan dan
leluhur mereka, tapi juga diperoleh dari suatu hasil proses
belajar dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Sehingga
cara dan teknik penyajian, pengolahan, pendistribusian
makanan bagi masyarakat memiliki kemungkinan untuk
berubah baik melalui proses pelatihan mapun pendidikan.
Rumah tangga atau keluarga yang menjadi unit paling kecil
di lingkup masyarakat adalah tempat yang berperan penting
dalam proses perubahan pola konsumsi bagi masyakat.
Manusia sejak dilahirkan telah memulai rangkaian belajar
makan dengan memperoleh air susu ibu (ASI) dan tambahan
makanan yang lain. Sehingga manusia memperoleh
pengalaman, kemudian membentuk kebiasaan makan sejak
dini. Walaupun kebiasan-kebiasaan makan tersebut sudah
menjadi pola perilaku konsumsi yang menyatu, akan tetapi
kebiasaan tersebut masih dapat dirubah melalui beberapa
metode pendidikan dan pelatihan (Hubeis 1989).
Menurut Walgito (1994), bahwa pembentukan perilaku
sebagai hasil belajar dilakukan dengan tiga cara melalui
pembiasaan (conditioning), pengertian (insight), serta model

32
(model). Menurut (Basu Swasta and Handoko 1999), bahwa
perilaku konsumsi merupakan tindakan yang langsung
terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan
menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan
yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. (Gilarso 1993)
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumsi adalah faktor individual, faktor ekonomi,
faktor sosial, dan faktor kebudayaan.
Kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan
sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan, kontruksi
pengetahuan yang dibedakan ke dalam dua unsur yaitu
pengetahuan obyektif (yaitu informasi yang akurat tentang
produk yang disimpan dalam memori jangka panjang
konsumen) dan pengetahuan subjektif (yaitu persepsi orang
tentang apa atau berapa banyak yang mereka ketahui tentang
produk berdasarkan interpretasi subjektif mereka) (Said et al.
2014).
Pengetahuan tradisional nelayan suku laut terhadap
lingkungan hidupnya cukup tinggi. Hanya saja, karena
belum dibarengi dengan pengetahuan modern tentang dunia
luar, kebanyakan nelayan kurang mampu meanfaatkan
peluang-peluang yang tersedia dibandingkan masyarakat
miskin lainnya. Cukup banyak pengetahuan tradisional
nelayan suku laut yang bersifat positif dan perlu

33
dikembangkan, seperti pengetahuan tentang kondisi dan
rahasia alam yangberkaitan dengan musim ikan, tingkah laku
organisme laut, dan berbagai keterampilan tradisional (Satria
2015).
Pengetahuan sangat berperan dalam keamanan pangan,
karena salah satu komponen target yang akan dicapai dalam
penanganan pangan berkaitan dengan pengetahuan adalah
perubahan perilaku konsumsi masyarakat (Nesbitt et al.
2014). Selain pengetahuan, prioritas nilai individu juga
merupakan hal yang berpengaruh terhadap munculnya pola
konsumsi berkelanjutan (Thøgersen 2017; Thøgersen and
Ölander 2002). Berdasarkan hal itu, maka kedua elemen
tersebut memegang peran penting dalam menentukan pola
konsumsi masyarakat.
Tingkat pengetahuan gizi yang baik dapat mewujukan
perilaku atau kebiasaan makan yang baik pula. Meskipun
pada kenyataannya hubungan antara pengetahuan gizi dan
kebiasaan makan tidak sederhana (Den Hartog 1983;
Sayogyo 1990). Lebih lanjut diuraikan (Goldfarb 1985;
Johnson DW 1985; Kupka-Schutt L 1992), mengungkap
bahwa tingkat pengetahuan gizi yang baik secara konsisten
terwujud menjadi perilaku makan yang baik. Pengetahuan
pangan dan gizi orang tua terutama ibu rumah tangga (ibu)
berpengaruh kuat terhadap jenis pangan yang dikonsumsi

34
sebagai refleksi dari praktek dan perilaku berkaitan dengan
gizi (Muhilal and Hardinsyah1998).
Kerawanan pangan dapat menjadi hasil dari kurangnya
pendidikan, kesehatan atau kemampuan dasar lainnya yang
merupakan kesejahteraan rakyat. Ini, oleh karena itu,
memungkinkan peletakan studi dalam wilayah yang lebih
luas dari kesejahteraan dan pengembangan (Burchi and De
Muro 2016). Seperti halnya di china Konsumen cina
memiliki kesadaran tinggi tentang makanan yang aman
namun pengetahuannya terbatas tentang makanan yang dan
bagaimana mengenali label dan mengidentifikasi makanan
yang aman, dan umumnya hanya memahami lewat televisi
dan surat kabar (Liu, Pieniak, and Verbeke 2013).
Setiap budaya mempunyai sistem nilai-nilai. Sistem
nilai kita ditentukan oleh semua perilaku kita karena dia
menghasilkan norma-norma dan mengajarkan bahwa norma
tersebut benar. Khomsan (2004), nilai-nilai dan makna
pangan lebih banyak dimiliki oleh makanan tradisional.
Bukan saja dari segi makanannya tetapi bahkan dari
kompenen/substansinya juga mempunyai makna tersendiri.
Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival
masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap
lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk
bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah

35
rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan
untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial
(Kluckhon 1984).
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan
sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai
”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial,
serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Kessing
1989). Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan
memiliki sistem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan
masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah
atau dataran rendah maupun perkotaan (Kusnadi 2004).
Sikap orang terhadap makan dapat bersifat positif atau
negatif, dan bersumber pada nilai-nilai yang biasa langsung
dirasakan karena kesukaan seseorang akan sesuatu hal yang
berasal dari faktor eksternal yang meliputi lingkungan alam,
budaya, sosial, dan ekonomi serta faktor internal. Faktor
eksternal yang mempengaruhi pola makan dapat berupa
berbagai macam hal, di antaranya:
1) Lingkungan alam.
2) Pola makanan masyarakat.
3) Lingkungan sosial, lingkungan sosial ini
memberikan gambaran yang jelas tentang
perbedaan-perbedaan pola makan. Tiap-tiap bangsa

36
dan suku bangsa mempunyai pola makan yang
berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan yang
telah dianut turun temurun.
4) Lingkungan budaya dan agama, lingkungan budaya
yang berkaitan dengan pola makan biasanya
meliputi nilai kehidupan rohani dan kewajiban
sosial.
5) Lingkungan ekonomi, distribusi pangan banyak
ditentukan oleh kelompok masyarakat menurut taraf
ekonominya (Khumaidi, 1989).
2.3. Aksesibilitas Pangan
Pengertian terkait ketahanan pangan yaitu food security
exists when all people, at all times, have physical and
economic access to sufficient safe and nutritious food that
meets their dietary needs and food preferences for an active
and healthy life. Konsep ini menekankan aspek aksesibilitas
pada tingkatan rumah tangga mendapatkan legitimasi
dibandingkan dengan konsep-konsep sebelumnya
(Anonimous 2011).
Dua tantangan terbesar kemanusiaan adalah mencapai
ketahanan pangan global dengan mengurangi dampak
lingkungan, dan menyediakan makanan sehat untuk semua
orang (Ibarrola-Rivas and Galicia 2017). Pangan adalah
kebutuhan dasar manusia. Manusia selalu berusaha

37
memenuhi kebutuhan dasar ini dengan segala kemampuan
agar dapat bertahan hidup. Menurut (Suryana 2004) negara
atau wilayah mempunyai ketahanan pangan yang baik
apabila mampu menyelenggarakan pasokan pangan yang
stabil dan berkelanjutan bagi seluruh penduduk. Dengan
ketahanan pangan yang baik, terdapat suatu jaminan bagi
seluruh penduduk untuk memperoleh pangan dan gizi yang
cukup untuk menghasilkan generasiyang sehat dan cerdas.
Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan
konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan
ekonomi terhadap pangan yang tercermin dari jumlah dan
jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga. Hal ini
berarti bahwa data konsumsi pangan secara rill dapat
menunjukkan kemampuan rumahtangga dalam mengakses
pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan
dalam rumahtangga. Masalah kekurangan pangan pada
dasarnya disebabkan antara lain karena penduduk tidak
memiliki akses terhadap sumber-sumber produksi pangan
seperti tanah, air, input pertanian, modal dan teknologi
(Warsilah 2013).
Dalam kajian mendalam tentang ketahanan pangan
rumah tangga, dua hal yang harus diperhatikan (Maxwell
1996), yaitu : Pertama, rumah tangga adalah unit sosial logis
yang akan digunakan untuk melihat masalah akses makanan,

38
terlepas dari ketidakadilan dalam distribusi makanan antar
rumah tangga. Hal ini menuntut tidak hanya pengetahuan
tentang kebutuhan rumah tangga secara keseluruhan dan
konsumsi, tetapi juga pemahaman tentang dinamika antar
rumah tangga dalam mempengaruhi pengadaan dan
distribusi. Kedua, ketahanan pangan rumah tangga harus
dianggap sebagai penting meskipun dalam kondisi nutrisi
yang tidak mencukupi.
Secara umum ketersediaan pangan dapat dilihat
berdasarkan faktor sebagai berikut :
1. Lahan
Ketersediaan pangan bergantung pada tanah: makanan
dan pakan ternak bergizi dan berkualitas baik hanya dapat
diproduksi jika tanah kita sehat. Itulah sebabnya tanah sehat
merupakan hal yang sangat penting untuk ketahanan pangan
dan gizi.
Dalam waktu 50 tahun terakhir, kemajuan teknologi
pertanian telah membawa kita pada lompatan yang sangat
besar dalam roduksi pangan dan mendukung ketahanan
pangan dunia. Namun di banyak negara, intensifikasi hasil
panen justru menurunkan kualitas tanah dan membahayakan
kemampuan kita untuk menjaga produksi di wilayah ini di
masa yang akan datang. Dengan populasi dunia yang
diperkirakan akan mencapai lebih dari 9 milyar pada tahun

39
2050, diperparah dengan persaingan atas tanah dan sumber
daya air serta dampak perubahan iklim, ketahanan pangan
saat ini dan masa depan kita bergantung pada kemampuan
kita dalam meningkatkan hasil dan kualitas pangan dengan
menggunakan tanah yang saat ini sudah menurun
produksinya (Anonimous 2011).
Lebih Lanjut di uraikan bahwa fungsi tanah yang
sangat dikenal luas adalah mendukung produksi pangan. Ini
merupakan pondasi bagi pertanian dan media dari
tumbuhnya hampir seluruh tanaman penghasil pangan.
Faktanya, diperkirakan bahwa 95% dari makanan kita secara
langsung ataupun tidak langsung diproduksi di tanah. Tanah
yang sehat menyediakan nutrisi penting, air, oksigen dan
menunjang akar yang dibutuhkan tanaman pangan agar dapat
tumbuh dan berkembang. Tanah juga berfungsi sebagai
pelindung akar tanaman yang peka terhadap perubahan
temperatur yang drastis.
Pengertian kualitas tanah adalah gambaran tentang
kemampuan untuk mempertahankan produktivitas tanaman
dan hewan, memelihara atau meningkatkan kualitas air dan
udara, serta mempromosikan kesehatan tanaman dan hewan.
Adanya hubungan yang penting antara kualitas tanah dengan
fungsi ekosistem, termasuk konservasi keanekaragaman
hayati, produksi biomassa, konservasi tanah dan sumber

40
daya air. Kualitas tanah merupakan indikator yang
diperlukan, tetapi tidak cukup dengan pengelolaan lahan
yang berkelanjutan (Herrick 2000).

2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam
usia kerja. Menurut UU No.13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat
2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan
atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan
bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika
penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia
kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun –
64 tahun. Menurut pengertian ini, setiap orang yang mampu
bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat
mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang
menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di
atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun
karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja.
Dalam ilmu ekonomi, yang dimaksud tenaga kerja
adalah suatu alat kekuatan fisik dan otak manusia, yang tidak
dapat dipisahkan dari manusia dan ditujukan pada usaha

41
produksi (Daniel 2002). Tenaga kerja dalam suatu pabrik
tidak dapat dipisahkan dari hasil yang diperoleh dalam suatu
perusahaan tenaga kerja sangat penting atau memegang
peranan penting dalam produksi, ini disebabkan karena
setiap produksi menggunakan tenaga kerja, tenaga kerja
tersebut merupakan bagian dari beberapa faktor produksi.
Dalam usahatani sebagian besar tenaga kerja berasal
dari keluarga petani itu sendiri yang terdiri atas ayah sebagai
kepala keluarga, isteri dan anak-anak petani (Mubyarto et al.
1984). Tenaga kerja memiliki sejarah yang panjang, yang
dimulai abad ke 19. Di bidang pertanian itu telah menjadi
sumber kumpulan pekerja musiman di masa panen. Dalam
industri pakaian itu sama dengan sistem yang digunakan
dalam pabrik dan toko, kontraktor memberikan upah hasil
keringat yang berbeda antara yang diterima oleh buruh
pabrik dengan tenaga kerja sendiri (Goldstein 2006).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan adalah pelaksana pembangunan itu sendiri
yaitu para pekerja khususnya dan seluruh penduduk
Indonesia pada umumnya. Indonesia sebagai negara
berpendudukan terbesar ke 5 di dunia dengan jumlah
penduduk mencapai 241 juta lebih pada tahun 2011, berarti
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya
manusia yang besar (Basir Bartos 2001).

42
Tenaga kerja ini terbagi menjadi dua, yaitu : pertama,
angkatan kerja adalah tenaga kerja/penduduk yang telah
masuk dalam usia kerja (15-64 tahun) meliputi orang yang
bekerja, punya pekerjaan tapi sementara tidak bekerja,
menganggur dan mencari pekerjaan. Kedua, bukan angkatan
kerja yaitu penduduk yang tidak termasuk dalam angkatan
kerja yang terdiri dari anak sekolah, mengurus rumah tangga,
dan lainnya (Indayati et al. 2010; Putra 2012).
3. Iklim
Menurut Boer and Subbiah. (2005) dan Handoko et al.
(2008) peningkatan suhu udara akan menambah intensitas
dampak perubahan iklim terhadap pertanian, khususnya
produksi beras. Demikian pula peningkatan tinggi muka air
muka air laut dan semakin seringnya terjadi ENSO. Hal yang
sebaliknya terkait dengan curah hujan. Di masa mendatang
curah hujan di Jawa akan menurun penurunan curah hujan
tersebut akan meningkatkan intensitas dampak perubahan
iklim terhadap produksi pertanian, khususnya beras.
Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam
skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau
siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus
beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus,
aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara
berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.

43
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang
jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim.
Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan
(presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang
didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk
pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian
iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim
sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur
iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi
aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Hidayati
2001).
Perubahan iklim dapat mengakibatkan degradasi
kesuburan lahan yang berdampak terhadap memicu
penurunan produksi padi 4 persen per tahun, kedelai sebesar
10 persen serta produksi jagung akan mengaklami penurunan
luar biasa sampai dengan 50 persen. Menurut Skirble (2007)
bahwa perubahan cuaca dan pemanasan global dapat
menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen. Negara-
negara dengan kondisi geografis yang lebih khusus seperti
India dan Afrika akan mengalami penurunan produksi
pertanian yang lebih tinggi lagi (Subejo 2009).
a. Modal
Dalam melakukan aktivitas operasionalnya setiap
perusahaan akan membutuhkan potensi sumber daya, salah

44
satunya adalah modal, baik modal kerja seperti kas, piutang,
persediaan dan modal tetap seperti aktiva tetap. Modal
merupakan masalah utama yang akan menunjang kegiatan
operasional perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya
(Bramasto 2007).
Modal menurut (Brigham and Houston 2006) “adalah
jumlah dari utang jangka panjang, saham preferen, dan
ekuitas saham biasa, atau mungkin pos-pos tersebut plus
utang jangka pendek yang dikenakan bunga”.
Pengertian modal secara umum adalah biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan proses produksi, dan modal
merupakan masalah yang mendasar bagi industri kecil
(Indayati et al. 2010). Modal dapat diartikansebagai investasi
yaitu pembelian modal berupa barang maupun perlengkapan
produksi untuk menambah kemampuan produksi (Sukirno
1997).
Dalam pertanian modal bertujuan sebagai salah satu
bekal dalam melaksanakan suatu usaha, menyatakan modal
sebagai faktor produksi menunjuk pada sarana dan prasarana
(selain manusia dan jumlah alam) yang dihasilkan dan
digunakan sebagai masukan (input) dalam proses produksi:
bangunan dan konstruksi, alat dan mesin, serta tambahan
pada persediaan (Gilarso 1993).

45
b. Teknologi
Teknologi adalah salah satu ciri yang mendefinisikan
hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi
keseluruhan sejarah. Tekhnologi berkaitan erat dengan sains
(science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain,
teknologi mengandung dua dimensi yaitu science dan
engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains
mengacu pada kehidupan dunia nyata, artinya mengenai ciri-
ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi
dalam interaksinya satu terhadap lainnya
(http://ajidedim.wordpress.com). Sifat dan karakter teknologi
berkembang tergantung pada presepsi seseorang tentang
teknologi. Teknologi dapat dipandang sebagai benda,
sebagai proses, sebagai ilmu pengetahuan, dan sebagai
control. Tekhnologi mempunyai tiga domain, yaitu: teknologi
desain (perancangan), tekhnologi produksi (pembuatan), dan
teknologi pemasaran. Inovasi teknologi merupakan proses
kreativitas yang bersumber dari keahlian atau ketrampilan,
yang erat hubungannya dengan menghasilkan suatu produk
baru atau memodifikasi produk supaya memilki kegunaan
lebih, dan memenuhi selera pasar (Ajedim 2008).
Mesin merupakan salah satu teknologi yang berguna
sebagai alat bantu untuk melakukan proses tranformasi atau
proses pengolahan dari masukan (input) menjadi keluaran

46
(output). Mesin sangat memegang peranan penting dalam
proses pengolahan, karena tanpa adanya mesin proses
produksi tidak akan efisien, dan hasil yang didapat juga tidak
optimal. Kapasitas mesin terdiri dari kapasitas terpasang dan
kapasitas terpakai. Kapasitas terpasang merupakan jumlah
maksimum dari bahan baku yang dapat diolah oleh mesin
tersebut. Sedangkan kapsitas terpakai merupakan jumlah
minimum dari bahan baku yang dapat diolah oleh mesin
(Ajedim 2008).
c. Pengelolaan
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani
menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasi faktor-
faktor produksi yang dikuasai dan mampu memberikan
produksi pertanian sebagaimana diharapkan. Ukuran dari
keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap
faktor maupun produktivitas usahataninya (Hernanto 1996).
Faktor produksi manajemen menjadi semakin penting
kalau dikaitkan dengan kata efisiensi. Artinya walaupun
faktor produksi Lahan, modal dan tenaga kerja dirasa cukup,
tetapi tidak dikelola dengan baik. Maka produksi tinggi yang
diharapkan tidak akan tercapai (Soekartawi 2002).
2.4. Starategi Adaptasi Produksi dan Konsumsi Pangan
Dalam rangka mempertahankan kehidupannya manusia
dituntut untuk melakukan adaptasi. Dalam hal ini adaptasi

47
menunjuk pada suatu proses timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya (Hardesty 1977).
Adaptasi merupakan suatu keharusan bagi sistem-
sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Ia harus
beradaptasi dengan lingkungan tersebut dan menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya Parson dalam
(Ritzer and Goodman 2010).
Adaptasi secara umum dimaksudkan sebagai
kemampuan suatu masyarakat atau sistem untuk
menyesuaikan pada perubahan iklim beserta variabilitasnya
guna mengurangi/melunakkan potensi kerusakan,
mendapatkan keuntungan dari atau menanggulangi dampak
dari perubahan iklim (Frankel-Reed et al. 2011). Fungsi
adaptasi termasuk ke dalam kerangka hubungan antar
masyarakat sebagai sistem sosial, dengan organisme perilaku
warga-warganya. Hal ini mencakup pengarahan dan
penysesuaian antara kebutuhan-kebutuhan pokok manusia,
dengan keadaan sekelilingnya yang mencakup ekonomi dan
teknologi (Soerjono and Taneko 1983).
Bennet (1976) menguraikan bahwa adaptasi sebagai
suatu prilaku responsif manusia terhadap perubahan-
perubahan lingkungan yang terjadi. Prilaku responsif
tersebut memungkinkan mereka dapat menata sistem- sistem
tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat

48
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada.
Lebih lanjut diuraikan bahwa adaptasi terhadap lingkungan
dibentuk dari tindakan yang diulang-ulang dan merupakan
bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tindakan yang
diulang-ulang tersebut akan membentuk dua
kemungkinan, yaitu tindakan penyesuaian yang berhasil
sebagaimana diharapkan, atau sebaliknya tindakan yang
tidak memenuhi harapan. Adaptasi merupakan suatu strategi
yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna
mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun
sosial (Alland 1975).
Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah
memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-
anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan
dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau
desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja
secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku
pada masyarakat setempat. Sedangkan strategi adaptasi yang
dilakukan para nelayan adalah diversifikasi pekerjaan untuk
memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi
adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang
berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini
pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor
telah membatasi akses mereka. Oleh karena itu,

49
dengan keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan
mengembangkan sistem “jaringan sosial“ yang merupakan
pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat
mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan
sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan
khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok
orang (Kusnadi 2000).
Tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan
iklim berbeda dari satu daerah ke daerah lain meski dalam
satu negara (Liverman 2007). Tingkat kerentanan tersebut
dipengaruhi oleh kondisi dan keterpaparan iklim (climate
exposure), sensitivitas masyarakat dan kemampuan mereka
untuk beradaptasi (Intergovernmental Panel on Climate
Change 2007; Mettzger et al. 2006).
Dari sudut pandang evolusi biologi, adaptasi dapat
dipandang sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan
kemungkinan makhluk hidup bisa bertahan hidup dari satu
generasi ke generasi berikutnya pada kondisi lingkungan
tertentu. Dengan demikian adaptasi adalah produk dari
seleksi alam. Makin besar kemampuan adaptasi suatu
makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan
kelangsungan hidup makhluk tersebut. Dengan demikian,
adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu
berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins

50
1968).
Aspek kebudayaan yang memiliki keterkaitan secara
langsung dengan adaptasi manusia terhadap lingkungan
adalah aspek-aspek kebudayaan yang berupa sistem
teknologi matapencaharian dan pola pemukiman. Keduanya
dapat memperlihatkan usaha-usaha manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Pengaruh lingkungan
terhadap sistem kebudayaan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu
secara fungsional dan secara prosesual (Steward 1968).
Adaptasi sumberdaya pesisir adalah bentuk strategi
ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk
menghasilkan berbagai komoditas bernilai ekonomi tanpa
mengharuskan nelayan pergi ke laut lepas (Diposaptono
2009).
Secara umum, ada tiga teori tentang pola adaptasi
ekologi, yaitu :
1. Determinasi Lingkungan
Menurut Churchill (1911), bahwa seluruh kebudayaan
dan perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi langsung
oleh faktor- faktor lingkungan yaitu iklim, topografi, sumber
daya alam,dangeografi.
2. Posibilisme Lingkungan
Teori ini muncul sekitar tahun 1930an sebagai kritik
atas pendekatan deterministik. Teori ini memandang bahwa

51
pada dasarnya lingkungan bukanlah faktor penentu
sebagaimana pada paham deterministik, melainkan hanya
sebagai penapis, penyaring atau screen bagi terbentuknya
unsur budaya tertentu (cultural traits). Menurut Toynbee
(1946), respon masyarakat terhadap lingkungan alam
menjadi penentu berkembang tidaknya peradaban di
masyarakat bersangkutan. Contoh, masyarakat eskimo vs
masyarakat tropis.
3. Ekologi Budaya
Menurut Steward (1968), ekologi budaya adalah studi
yang mempelajari bagaimana suatu masyarakat beradaptasi
dengan lingkungannya. Adaptasi lingkungan hanya
berlangsung di unsur budaya tertentu, yakni teknologi
eksploitasi sumber daya alam, populasi penduduk, ekonomi
dan organisasi sosial. Unsur-unsur budaya ini merupakan inti
kebudayaan (cultural core). Lebih lanjutSteward berpendapat
bahwa hubungan antara kebudayaan dengan alam sekitar
juga dapat dijelaskan melalui aspek-aspek tertentu dalam
suatu kebudayaan sekalipun alam sekitarnya belum tentu
akan berpengaruh terhadap kebudayaan dari suatu bangsa-
bangsa.
Adaptasi adalah proses mengatasi halangan dari
lingkungan, memanfaatkan sumberdaya terbatas untuk
kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian dari

52
kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan dan proses
untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah (Mawardi
2003). Lebih lanjut diuraikan oleh (Soerjono 1983) bahwa
adaptasi sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari
lingkungan, memanfaatkan sumber- sumber terbatas untuk
kepentingan lingkungan dan sistem, penyesuaian dari
kelompok-kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan
dan proses untuk menyesuaikan dengan situasi yang
berubah. Adaptasi sebagai suatu proses sosial dapat diamati
dari kegiatan-kegiatan yang sifatnya asosiatif dan disosiatif.
Kegiatan yang asosiatif dapat berbentuk kerjasama,
akomodasi, dan asimilasi; sedangkan yang disosiatif dapat
berbentuk konflik, kontravensi,dan persaingan.
Fungsi dasar makanan adalah untuk menyediakan
energi dan nutrisi yang cukup untuk fungsi-fungsi tubuh dan
aktivitas fisik, sehingga berbagai macam menu yang
memenuhi kecukupan gizi (Gerbens-Leenes and Nonhebel
2002). Namun, produksi dari berbagi jenis pangan tidak
dapatdihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat di hasilkan
pada saat dibutuhkan, dengan demikian upaya
penganekaragaman konsumsi pangan untuk mengantisipasi
keterbatasan akses pangan dan daya beli masyarakat
(Rachman and Ariani 2008).

53
2.5. Kelembagaan Produksi dan Konsumsi Pangan
Pembangunan pertanian melibatkan tiga unsur yaitu
teknologi, sumberdaya, dan institusi/lembaga.
Pengembangan kelembagaan adalah hambatan yang sangat
dominan dalam program pembangunan pertanian, namun
demikian, keberadaannya sama pentingnya dengan unsur
teknologi maupun sumber daya. Upaya pengembangan
kelembagaan sebagian besar dikhususkan untuk membangun
atau memperkuat lembaga-lembaga nasional (Uphoff
1986).
Lembaga (institution) mencakup aturan atau prosedur
yang membentuk bagaimana orang bertindak, dan peran atau
organisasi yang telah mencapai status atau legitimasi khusus
(Goldsmith and Brinkerhoff 1990). Lebih lanjut diuraikan
bahwa tujuan dari pengembangan kelembagaan pun adalah
lebih penting dibandingkan di sektor pedesaan dan pertanian,
itu terus menjadi sumber dari kebanyakan pekerjaan di
negara-negara berkembang. Kelembagaan menurut
(Rutherford 1984) dimaknai sebagai regulasi perilaku yang
secara umum diterima oleh anggota kelompok sosial, untuk
perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang bisa
diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar (external
authority).
Kelembagaan adalah keseluruhan pola-pola ideal,

54
organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling
kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara, agama
dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta
tempat perlindungan. Suatu lembaga dibentuk selalu
bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia
sehingga lembaga mempunyai fungsi. Selain itu, lembaga
merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya
tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial
untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola
organisasi untuk melaksanakannya (Roucek 1984).
Beberapa jenis kekuatan yang dimiliki masyarakat dan
digunakan untuk memberdayakan mereka yang salah satunya
adalah kekuatan kelembagaan. pemberdayaan dilakukan
dengan meningkatkan aksebilitas masyarakat terhadap
kelembagaan pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan,
sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media
dan sebagainya (Jim Ife 2002).
Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah
lembaga petani yang berada pada kawasan lokalitas (local
institution), yang berupa organisasi keanggotaan
(membership organization) atau kerjasama (cooperatives)
yaitu petani-petani yang tergabung dalam kelompok
kerjasama (Uphoff 1986). Kelembagaan ini meliputi
pengertian yang luas, yaitu selain mencakup pengertian

55
organisasi petani, juga ‘aturan main’ (role of the game) atau
aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan
hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan
sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu.
Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal,
organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling
kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian dibentuk
selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani
sehingga lembaga mempunyai fungsi. kelembagaan
merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya
tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial
untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola
organisasi untuk melaksanakannya (Anantanyu 2011).
Menurut Goldsmith and Brinkerhoff (1990) Yustika (2010)
bahwa perkembangan kelembagaan merupakan kemampuan
sebuah lembaga merespon kreatif dinamika lingkungan
strategis dalam lingkungan strategisnya yang dapat
mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi
manusia melalui penciptaan pola perilaku.
Kelembagaan merupakan norma/kaidah peraturan atau
organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk
harapan masing-masing yang mungkin dapat dicapai dengan
saling bekerjasama (Riuntuh and Miar 2005). Kelembagaan
juga mencakup penataan institusi (institutional arrangement)

56
untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi
adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi
yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama
dan atau berkompetisi (Ostrom 2009; Williamson 1985).
Kelembagaan adalah badan, organisasi, kaidah, dana
tau norma- norma, baik formal maupun informal sebagai
pedoman untuk mengatur perilaku segenap anggota
masyarakat, baik dalam kegiatan sehari-sehari maupun dalam
mencapai suatu tujuan tertentu. Lebih lanjut diuraikan bahwa
kelembagaan dapat dibagi dua, yaitu kelembagaan primer
dan kelembagaan sekunder (Hanafie 2010).
Kelembagaan petani memiliki titik strategis (entry
point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan.
Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu
diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan
profesionalisme dan posisi tawar petani. Saat ini potret
petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih
belum sebagaimana yang diharapkan. Menurut (Dimyati
2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani
dan kelembagaan petani di Indonesia adalah masih
minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap
masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran,
elum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan
agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan

57
produksi (on farm), dan Peran dan fungsi kelembagaan
petani sebagaiwadah organisasi petani belum berjalan secara
optimal.
Tiga komponen kelembagaan menurut (Yustika 2010),
yaitu:
1) Aturan formal (formal institutions), meliputi
konstitusi, statuta, hukum, dan seluruh regulasi
pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk
sistem politik (struktur pemerintah, hak-hak
individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam
kondisi kelangkaan sumber daya, kontrak), dan
sistem keamanan (peradilan,polisi);
2) Aturan informal (informal institutions), meliputi
pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan
seluruh faktor yang memengaruhi bentuk persepsi
subyektif individu tentang dunia mereka hidup;
3) Penegakan, bahwa semua kelembagaan tersebut
tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan
mekanisme penegakan.
Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya
mempunyai beberapa peran, yaitu:
(a) Tugas dalam organisasi (interorganizational task)
untuk memediasi masyarakat dan negara,
(b) Tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup

58
mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal,
material, informasi) dan pengelolaannya dalam
pencapaian tujuan masyarakat,
(c) Tugas pelayanan (service tasks) mungkin
mencakup permintaan pelayanan yang
menggambarkan tujuan pembangunan atau
koordinasi permintaan masyarakat lokal,
(d) Tugas antarorganisasi (extra-organizational task)
memerlukan adanya permintaan lokal terhadap
birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap
campur tangan oleh agen-agen luar (Uphoff 1984).
Wrihatnolo et al (2007) menyatakan bahwa dalam
mekanisme manajemen pembangunan modern, peran
organisasi kemasyarakatan lokal harus diorganisasikan
secara hierarkis agar informasi tentang situasi terkini dapat
dijalin secara multiarah, baik vertikal maupun horisontal.
Peran organisasi kemasyarakatan dalam mendampingi rakyat
miskin sangat bervariatif, mulai sebagai inisiator, katalisator
dan fasilitator.
Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani
dianggap penting karena beberapa alasan. Pertama, banyak
masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu
lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan
kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk

59
menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau
pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk
menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur
ekonomi yang terbuka (Bunch 1991).
Kegiatan bersama (group action atau cooperation)
oleh para petani diyakini oleh (Mosher 1991) sebagai faktor
pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat
diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih
efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama.
Membangun kelembagaan pertanian yang kokoh
adalah juga membangun pertanian industrial. Dengan
pendekatan ini, maka kelemahan- kelemahan dalam sistem
pertanian tradisional dapat dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga dapat lebih efisien. Produktifitas dapat
ditingkatkan, demikian pula harkat dan martabat petani
sebagai pelakunya (Husodo 2005). (Syahyuti 2003)
mengemukakan lima indikator kapasitas kelembagaan
(institutional capacity), yaitu:
(1) Strategi kepemimpinan (strategic leadership)
(2) Perencanaan program (program planning)
(3) Manajeman dan pelaksanaannya (management
execution)
(4) Alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation)
(5) Hubungan dengan pihak luar.

60
Lembaga-lembaga yang ada dalam sektor pertanian
dan pedesaan sudah mengalami berbagai zaman sehingga
banyak lembaga-lembaga yang sudah lenyap tetapi timbul
juga lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan iklim
pembangunan pertanian dan pedesaan (Mubyarto. et. el
1984). Secara konseptual, (Syahyuti 2006) menyebutkan
bahwa tiap kelembagaan petani yang dibentuk dapat
memainkan peran tunggal atau ganda. Peran-peran yang
dapat dilakukan oleh kelembagaan petani yaitu sebagai
lembaga pengelolaan sumberdaya alam, sebagai penggiat
aktivitas kolektif, sebagai unit usaha, sebagai penyedia
kebutuhan informasi dan sebagai wadah yang
merepresentatifkan kegiatan politik.
2.6. Relasi Sosial
Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal
balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya
pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik
dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya.
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan
sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada
kehidupan bersama. Interaksi sosial sebagai faktor utama
dalam kehidupan sosial (Soerjono 2002).
Keterikatan individu dalam hubungan sosial
merupakan pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam

61
kehidupan bermasyarakat, hubungan sosialyang dilakukan
individu merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan
keberadaannya. Setiap individu memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam hal kuantitas dan kualitas, juga
intensitas hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun
terbuka luas peluang individu untuk melakukan hubungan
sosial secara maksimal. Hubungan tersebut bukan hanya
melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu.
Hubungan antar individu tersebut akan membentuk
hubungan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya
pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian hubungan sosial mengacu pada hubungan
sosialyang teratur, konsisten, dan berlangsung lama (Kusnadi
2000).
Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan
hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik
antara dua orang atau lebih. Dengan demikian, penulis
menyimpulkan bahwa relasi sosial merupakan hubungan
timbal balik antar organisasi dengan individu yang lain atau
masyarakat dan saling mempengaruhi. Hal ini sangat
berhubungan dengan kegiatan Public Relations bahwa
pada hakikatnya Public Relations memiliki ciri-ciri yaitu
two way communications atau komunikasi timbal balik
(Astuti 2012).

62
Hubungan dalam relasi sosial merupakan hubungan
yang sifatnya timbal balik antar individu yang satu dengan
individu yang lain dan saling mempengaruhi. Beberapa
tahapan terjadinya relasi sosial, yaitu:
(a) Zero contact yaitu kondisi tidak terjadi hubungan
antara dua orang;
(b) Awarness yaitu seseorang sudah mulai menyadari
kehadiran orang lain;
(c) Surface contact yaitu orang pertama menyadari
adanya aktivitas yang sama oleh seseorang di
sekitarnya;
(d) Mutuality yaitu sudah mulai terjalin relasi sosial
antara 2 orang yang tadinya saling asing” (Hidayati
2014).
Spradley and McCurdy (2011) menyatakan bahwa
relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara
individu yang berlangsung dalam waktu yang relative lama
akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini disebut
sebagai pola relasi sosial yang terdiri dari dua macam, yaitu:
(a) Relasi sosial assosiatif yaitu proses yang terbentuk
kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi
yang terjalin cendrung menyatu;
(b) Relasi sosial dissosiatif yaitu proses yang terbentuk
oposisi misalnya persaingan.

63
Struktur sosial yang terbentuk dalam kehidupan
nelayan dibangun oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-
faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim
ikan, keterbatasan sumberdaya manusia, keterbatasan modal,
serta jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif, tetapi
termasuk juga dampak negatif modernisasi perikanan (Saleha
2013).
Masyarakat nelayan secara umum memiliki pola
interaksi yang sangat mendalam, pola interaksi yang
dimaksud dapat dilihat dari hubungan kerjasama dalam
melaksanakan aktifitas, melaksanakan kontak secara
bersama baik antara nelayan dengan nelayan maupun dengan
masyarakat lainnya, mereka memiliki tujuan yang jelas
dalam melaksanakan usahanya serta dilakukan dengan
sistem yang permanen, sesuai dengan kebudayaan pada
masyarakat nelayan (Satria 2015) .
Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya
masyarakat nelayan adalah sebagai berikut: memiliki
struktur relasi patron-klien yang sangat kuat, etos kerja
tinggi, memanfaatkan kemampuan diri dan adaptasi optimal,
kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap
keahlian, kekayaan dan kesuksesan hidup, terbuka dan
ekspresif, solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja
berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah

64
ranah kaum perempuan), dan berperilaku “konsumtif”
(Kusnadi 2004). Struktur sosial dalam masyarakat nelayan
umumnya berciri ikantan patron- klien yang kuat. Kuatnya
ikatan tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan
penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan
ketidakpastian. Bagi nelayan, menjalin ikatan dengan patron
merupakan langkah yang penting untuk menjaga
kelangsungan kegiatannya karena pola ini merupakan
institusi jaminan sosial ekonomi (Satria 2009a). Dijelaskan
lebih lanjut bahwa sampai sekarang belum ada institusi yang
mampu menjamin kehidupan nelayan selain institusi patron-
klien.

65
Istilah “patron” berasal dari ungkapan bahasa Spanyol
yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki
kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh.
Sedangkan klien berarti “bawahan” atau orang yang
diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya pola hubungan
patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok
komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi
status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga
menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah
(inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi
(Satria 2015).
Relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu
masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan
kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks. Di daerah
pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis pertanian,
seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak
buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor
pertanian, mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau
meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien
menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”,
menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron
dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka miliki. Pola-
pola relasi sosial yang demikian dapat dilihat pada hubungan
antara pemilik lahan pertanian luas (petani kaya) dengan para

66
buruh taninya dan orang orang di sekitarnya yang
kemampuan ekonominya terbatas (Jay 1969; Eisenstadt
1984).
Hubungan patron-klien berkenaan dengan: (a)
hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku
yang menguasai sumber daya yang tidak sama; (b)
hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan
pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan
(affectivity); (c) hubungan yang berdasarkan asas saling
menguntungkan dan saling memberi dan menerima (Legg
1983).
Sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan
patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari
masing-masing pihak. Kategori- kategori pertukaran dari
patron ke klien mencakup pemberian: bantuan penghidupan
subsistensi dasar, jaminan krisis subsistensi, perlindungan
dari ancaman luar terhadap klien, dan memberikan
sumbangan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, arus
barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan
menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan
patron, apa pun bentuknya (Scott 1993).
Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron
adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan
pemilik (perahu) (orenga, Madura), juru mudi (juragan laut

67
atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya.
Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh
(pandhiga, Madura) dan warga pesisir yang kurang mampu
sumberdayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini
terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan
sosial di kampung. Para patron ini memiliki status dan
peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat
nelayan (Kusnadi 2000).
Pada setting ikatan patron-klien itulah sistem bagi
hasil tidak bergeser ke sistem upah. Sistem bagi hasil ini
sangat timpang, akan tetapi masih tetap terlegitimasi oleh
mekanisme hutang budi dalam pertukaran sosial (Salman
2012). Hutang budi lahir dari hutang uang pada pertukaran
ekonomi klien kepada patron. Lebih lanjut diuraikan bahwa
ikatan patron-klien mengontruksi pendapatan rendah
sekaligus melindungi dari efek lebih buruk atas pendapatan
rendah tersebut.

68
BAB III
KESEIMBANGAN KEBUTUHAN
PANGAN

69
Tingginya permintaan pangan merupakan imbas dari
peningkatan jumlah penduduk, padahal produksi pangan
nasional cenderung stagnan. Permasalahan utama yang
dihadapi untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia
adalah pertumbuhan permintaan pangan jauh lebih cepat dari
pada pertumbuhan dan penyediaan pangan. Permintaan
pangan yang meningkat merupakan resultante dari
peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi,
peningkatan daya beli masyarakat, dan perubahan food
habits. Selain itu, intervensi kebijakan pangan beras
(swasembada beras) cenderung diberlakukan secara umum
tanpa melihat keanekaragaman pangan pokok yang ada.
Sementara itu, pertumbuhan kapasitas produksi pangan
nasional lambat dan stagnan yang disebabkan beberapa hal,
di antaranya:
(a) Adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya
lahan dan air
(b) Stagnansi pertumbuhan produktivitas lahan dan
tenaga kerja pertanian
(c) Ancaman global warming dan global farming
(d) Akibat bencana alam (kekeringan, banjir dan
serangan hama).
Ketidakseimbangan antara pertumbuhan permintaan
dan pertumbuhan kapasitas produksi nasional,

70
mengakibatkan kecenderungan pangan nasional tergantung
pada pangan beras impor, dan kondisi ini diterjemahkan
sebagai ketidakmandirian penyediaan pangan nasional
(Anonymous: 2001 dan Suryadi: 2006).
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Indonesia, konsumsi pangan pokok beras terus mengalami
kenaikan dan kondisi ini telah memaksa pemerintah untuk
melakukan impor beras dari pelbagai negara tetangga.
Sebagian besar impor beras tersebut hanya diperuntukkan
bagi memenuhi subsidi pangan. Beruntung pemerintahan di
bawah presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sejak tahun
2004 mulai
mencanangkan kebijakan diversifikasi pangan pokok secara
nasional dan kebijakan ini ditindaklanjuti hingga ke daerah
tingkat II dengan cara membentuk Badan Ketahanan Pangan
dan Dewan Ketahanan Pangan Daerah.
Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami
oleh Indonesia. Seperti disinyalir oleh Food Agriculture
Organisation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di
dunia yang dikonsumsi oleh sekitar 3 miliar orang setiap
harinya. Sedangkan di Asia, beras merupakan makanan
pokok untuk sekitar 600 juta penduduk (Ahmad
Taufiqurrakhman-Okezone, 10 Agustus 2010). Lebih dari
60% penduduk dunia atau satu milyar orang yang tinggal di

71
Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan
hidup dalam kemiskinan serta kekurangan gizi (Oleh karena
itu, jika terjadi penurunan produksi padi, berarti akan lebih
banyak orang tergelincir ke dalam jurang kemiskinan dan
kelaparan (Anonymous: 2001 dan Suryadi: 2006).
Selama ini, konsumsi beras di Indonesia rata-rata
mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Thailand
memiliki produksi beras sebanyak 20 juta ton, namun
konsumsi beras penduduknya hanya 70 kilogram per kapita
per tahun. Begitu pula Vietnam produksi berasnya sebanyak
17 ton, dan kebutuhan konsumsi hanya 90 kg per kapita per
tahun. Konsumsi beras di Indonesia pada tahun 2007, masih
sekitar 139,15 kg/kapita/tahun dan selama tiga tahun
konsumsi beras per kapita per tahun mengalami kenaikan
sebesar 8 kg. Nilai kecukupan pangan beras untuk setiap
negara memang berbeda, Indonesia hingga saat ini nilai
kecukupan pangannya sebanyak 139 per kapita per tahun,
nilai ini seharusnya dapat diturunkan menjadi 90 sampai 100
kilogram per kapita per tahun. Dibandingkan dengan negara
tetangga, negara Indonesia memiliki ketergantungan tinggi
terhadap pangan pokok beras, padahal berdasarkan prediksi
data tingkat kebutuhan lahan dan beras untuk tahun 2007-
2030 menurut Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air
mengalami penurunan. Arinya, Indonesia dalam memenuhi

72
kebutuhan pangan pokok tergantung kepada pasokan beras
impor.
Konsumsi pangan secara umum merupakan
pengeluaran terbesar dari rumah tangga di wilayah perdesaan
yang rata-rata mencapai 58,57% dari total pengeluaran
rumah tangga. Khususnya untuk konsumsi padi-padian,
rumah tangga di perdesaan harus menyediakan 13,25% dari
total pendapatannya untuk membeli komoditi pangan.
Kondisi demikian, menunjukkan terjadinya ketergantungan
yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian dan telah
menyebabkan besarnya alokasi pendapatan rumah tangga
untuk ini. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia sangat
tergantung kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras
dan gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan dengan
upaya melakukan impor pangan karbohidrat beras secara
berkesinambungan yang melebihi kuota yang ditetapkan
pemerintah, yakni lebih dari 62%. Ketergantungan negara
akan pangan beras ini, merupakan cerminan pola konsumsi
pangan masyarakat (foodhabits) yang cenderung ke beras,
padahal sumber pangan non beras masih melimpah ruah,
seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele dan umbi-umbi
lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya
mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi beban

73
konsumsi pangan beras kepada komoditi pangan lain yang
lebih murah dan terjangkau (Warsilah, 2011).
Dari sisi biologis, pangan merupakan bundel energi
dan nutrisi, dan dari segi ekonomi pangan dipandang sebagai
suatu bahan komoditi. Sementara itu, dari segi sosio budaya
pangan merupakan simbol yang memiliki makna yang
berkenaan dengan hal-hal lain yang berfungsi bagi
kehidupan manusia (Jerome et al.: 1986). Maka upaya
pemetaan keanekaragaman pangan lokal di tingkat
masyarakat di pelbagai daerah akan membantu untuk
memahami sistem pangan lokal dengan tujuan mendorong
terjadinya diversifikasi pangan. Masyarakat akan memiliki
berbagai pilihan pangan yang beragam.
Dalam undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996
tentang pangan disebutkan bahwa ketahanan pangan
merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Pengembangan ketahanan pangan mempunyai
perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena
disebabkan berbagai hal, di antaranya:
(1) Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi
segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling
azasi bagi manusia.

74
(2) Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber
daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan
pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi.
(3) Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama
dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan
nasional yang berkelanjutan (Anonymous, 2001).
Masalah kekurangan pangan pada dasarnya
disebabkan antara lain karena penduduk tidak memiliki akses
terhadap sumber-sumber produksi pangan seperti tanah, air,
input pertanian, modal dan teknologi.
Kondisi kerawanan pangan cenderung dipengaruhi
oleh berbagai faktor, terutama tingkat daya beli masyarakat
untuk membeli konsumsi pangan yang rendah, tidak
tersedianya produksi pangan lokal, ketahanan pangan
penduduk yang rendah. Selain itu, tidak adanya perhatian
dari semua pihak untuk mempertahankan sumber pangan
lokal (jagung, umbi-umbian: singkong dan ketela rambat,
pisang dan talas) yang semakin hari semakin hilang karena
produksi pangan lokal semakin berkurang. Hal ini terjadi
karena petani beralih pada tanaman komoditas, misal
tanaman komoditas jagung hibrida. Padahal, tanaman pangan
yang berasal dari bibit unggul (jagung hibrida) tidak dapat
menjadi sumber pangan masyarakat karena alasan rasa dan
adanya pandangan bahwa jagung hibrida diperuntukan

75
sebagai pakan ternak. Selain itu, infrastruktur untuk
menunjang produksi pangan lokal juga tidak tersedia
(Warsilah, 2011).
Walau menghadapi permasalahan yang cukup rumit,
konsumsi pangan lokal dalam bentuk pangan campuran.
Pangan campur sebenarnya sebuah proses penyesuaian pola
konsumsi pangan di daerah yang bukan penghasil beras.
Persoalannya adalah terjadi ketidakmampuan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan sumber pangan lokal sebagai
bahan campuran nasi beras. Oleh karena itu, diperlukan
upaya pengaturan pola bercocok tanam yang dapat
memenuhi kecukupan pangan di tingkat rumahtangga. Misal
dengan pola bercocok tanam tumpangsari karena pola tanam
ini merupakan bentuk adaptasi petani memenuhi kebutuhan
pangan lokal. Dengan menanam secara tumpangsari petani
akan cepat mendapatkan uang tunai karena mereka menanam
tanaman cash corp di sela-sela kebun kelapa atau menanam
pangan umbi-umbian dan talas.
Selain, lahan kebun sebetulnya masyarakat pesisir
rata-rata memiliki lahan pekarangan yang cukup luas tetapi
kurang dimanfaatkan untuk tanaman pangan non beras.
Padahal tanah pekarangan ini dapat difungsikan sebagai
lahan cadangan pangan lokal (Warsilah, 2011). Membangun
ketahanan, kemandirian pangan non-beras dan

76
penganekaragaman pangan menjadi sangat penting dan
strategis dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No.
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
Kedua peraturan pemerintah ini menegaskan bahwa
upaya penyediaan pangan dapat dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada
sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
Merujuk kepada kedua peraturan pemerintah tersebut,
diperlukan kebijakan yang mampu melindungi kebiasaan
pangan dan diversifikasi pangan atau keanekaragaman
pangan lokal.
Kondisi kerawanan pangan cenderung dipengaruhi
oleh berbagai faktor, terutama tingkat daya beli masyarakat
untuk membeli konsumsi pangan yang rendah, tidak
tersedianya produksi pangan lokal, ketahanan pangan
penduduk yang rendah. Kondisi demikian menggambarkan
bahwa di perdesaan pesisir diversifikasi pangan atau
keanekaragaman pangannya masih rendah.

3.1. Konsep Foodhabits sebagai Strategi Ketahanan


Pangan
Pangan melekat dengan pengalaman hidup manusia,
sekaligus menjadi mata rantai utama hubungan bio-kultural

77
manusia dan alam. Posisi pangan sebagai penentu terpenting
kelangsungan hidup dapat menjadi landasan bertolak, untuk
menelusuri berbagai motivasi yang melatarbelakangi
perilaku dan pemikiran individu dan kelembangan sosial
yang terbentuk. Proses memperoleh atau mengadakan bahan
makanan, sangat ditentukan oleh teknik memproduksi
makanan dari lingkungan (Jerome, et al, 1980:2). Oleh sebab
itu, sebuah komunitas petani/nelayan yang memproduksi
pangan terlihat dari pola adaptasi makanan yang diterapkan
terhadap lingkungan alam yang memiliki banyak corak dan
bentuk organisasi sosial yang dapat diasosiasikan menjadi
kategori upaya memperoleh makanan.
Dari ketergantungan terhadap alam dalam memperoleh
pangan, manusia harus mengembangkan strategi adaptasi
seperti adaptasi biokultural terhadap lingkungan yang
berdampak langsung pada ciri perilaku (cara dan kebiasaan)
makan mereka. Jerome (1980), mengatakan bahwa teknik
produksi pangan sangat tergantung pada alam. Pola
pemanfaatan lahan, distribusi makanan dalam masyarakat,
tradisi dapur keluarga, cita rasa pribadi, dan bahkan
dukungan finansial secara keseluruhan menentukan apa yang
dimakan dan seberapa bernilai nutrisi yang mereka peroleh.
Oleh sebab itu, aktivitas memproduksi bahan pangan
berhubungan dengan pola konsumsi pangannya.

78
Kecenderungan seperti ini terutama terjadi pada masyarakat
yang masih subsisten, jaringan pasar belum berkembang.
Aktivitas memproduksi pangan non-beras, seperti umbi-
umbian, dan jagung untuk masyarakat subsisten jelas
menggambarkan pola konsumsinya, yang dicirikan oleh
beberapa hal, yaitu:
1. Teknologinya masih sederhana
2. Produksi pangan untuk konsumsi rumah tangga dari
pada komersial
3. Unit produksinya adalah pemenuhan kebutuhan sendiri
produsen mengontrol sendiri hasil yang diiinginkan
(Wolf, 1966).
Pola makan (dietary patterns) menurut Harper (1986),
adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang
untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai
reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan
sosial. (Harper, Deaton & Driskel, 1986, p. 251). Pendapat
lain tentang pola pangan, yaitu bahwa pola makan adalah
tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam
memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap,
kepercayaan dan pemilihan makanan. Menurut Khumaidi
(1989:27), pola pangan dapat menumbuhkan suatu kebiasaan
pangan dalam suatu masyarakat, hal itu dikarenakan
kebiasaan pangan (foodhabits) merupakan tingkah laku

79
manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang
meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan.
3.2. Budaya Komsumsi Kebutuhan Pangan
Pengertian kebiasaan pangan dapat diartikan sebagai
cara makan yang sudah membudaya dari seseorang atau
masyarakat, dan kebiasaan pangan yang ada pada suatu
masyarakat pada satu daerah tertentu dengan daerah lain bisa
saja berbeda. Artinya, pangan pokok yang dikonsumsi oleh
suatu masyarakat di daerah tertentu belum tentu dikonsumsi
juga oleh masyarakat di daerah lain karena setiap masyarakat
memiliki budaya berbeda satu sama lain dan pemaknaan
terhadap pangan pokok juga memiliki perbedaan. Hal itu
dipertegas oleh Suhardjo (1989:20), kebiasaan pangan adalah
sesuatu gejala budaya dan sekaligus gejala sosial yang dapat
memberi gambaran perilaku dari nilai yang sudah dianut oleh
seseorang atau sekelompok masyarakat. Dan kebiasaan
pangan ini merupakan cara seseorang, atau sekelompok
masyarakat memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi
terhadap fisiologik, psikologi, budaya dan sosial. Dengan
demikian, terbentuknya kebiasaan pangan itu bukan hanya
merupakan bentuk penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan
fisik saja, tetapi sekaligus memenuhi kebutuhan sosial dan
budaya. Sebagai gejala budaya dan sosial, menurut Suhardjo
(1989:140) kebiasaan pangan dari seseorang atau

80
sekelompok masyarakat dapat memberikan gambaran
perilaku dari nilai-nilai yang dianut.
Berdasarkan hal itu, Koentjaraningrat (1984:34)
mengembangkan model untuk mempelajari faktor sosial dan
budaya yang mempengaruhi pola makan dan pola konsumsi
makanan keluarga.
Menurutnya, pola makan individu, keluarga dan
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor budaya, termasuk faktor ini adalah cara
seseorang berpikir atau berpengetahuan (what people
think), berperasaan (what people feel) dan
berpandangan (what people percieve) tentang
makanan. Apa yang ada dalam pikiran, perasaan dan
pandangan (persepsi) itu kemudian dinyatakan dalam
bentuk tindakan (what people do, practice) makan dan
memilih makanan. Jika mekanisme ini berulang-ulang,
maka tindakan (perilaku konsumsi) itu menjadi
kebiasan makan, yang dapat diukur.
2. Faktor ‘pola konsumsi’ pangan yang dapat diamati dan
diukur.
3. Faktor lingkungan sosial (segi kependudukan dengan
susunan, strata dan sifat-sifatnya), Lingkungan ekologi
(kondisi tanah dan iklim) dan lingkungan
biologi/ekonomi (sistem usaha tani dan sistem pasar)

81
dsb.
4. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh
kondisi yang bersifat hasil karya manusia (man-made)
seperti sistem pertanian dan peternakan (misalnya
perladangan dan penggembalaan ternak), prasarana dan
sarana (jalan raya, jembatan-jembatan dsb), perundang-
undangan dan pelayanan pemerintah.
5. Faktor perkembangan teknologi, banyak sekali faktor
teknologi yang berpengaruh pada pola makan, misal
bioteknologi dapat menghasilkan jenis-jenis bahan
makanan yang lebih praktis atau lebih bergizi
(misalnya durian tak berduri, semangka tak berbiji,
ayam berdaging lunak); teknologi pasca panen dapat
menghasilkan berbagai jenis pangan olahan yang
praktis, murah dan menarik (misalnya jenis mie dan
sosis). Dan keenam, faktor lingkungan ekonomi, daya
beli, ketersediaan uang kontan.
Menurut Khumaidi (1989), sikap orang terhadap
makan dapat bersifat positif atau negatif, dan bersumber
pada nilai-nilai yang bisa langsung dirasakan karena
kesukaan seseorang akan sesuatu hal yang berasal dari faktor
eksternal yang meliputi lingkungan alam, budaya, sosial, dan
ekonomi serta faktor internal.

82
Lima faktor eksternal yang mempengaruhi pola
makan, yaitu:
1. Lingkungan alam.
2. Pola makanan masyarakat.
3. Lingkungan sosial. Lingkungan sosial ini memberikan
gambaran yang jelas tentang perbedaan-perbedaan pola
makan. Tiap-tiap bangsa dan suku bangsa mempunyai
pola makan yang berbeda-beda sesuai dengan
kebudayaan yang telah dianut turun temurun.
4. Lingkungan budaya dan agama, lingkungan budaya
yang berkaitan dengan pola makan biasanya meliputi
nilai kehidupan rohani dan kewajiban sosial.
5. Lingkungan ekonomi, distribusi pangan banyak
ditentukan oleh kelompok masyarakat menurut taraf
ekonominya.
Maka, menjadi jelas bahwa kebiasaan makan
sebetulnya merupakan nilai sosial budaya yang diturunkan
dari generasi ke gegerasi sesudahnya dan kebiasaan pangan
berimplikasi terhadap pembentukan perilaku, sikap dan
kepercayaan seseorang atau sekelompok masyarakat yang
mengacu kepada referensi nilai budaya lokal. Kebiasaan
pangan pada setiap kelompok masyarakat di suatu daerah
akan berbeda dengan kelompok masyarakat di daerah lain,
begitupun kebutuhan pangan dan pola konsumsinya. Namun

83
demikian, jika ada faktor eksternal yang bersifat memaksa
seperti faktor kebijakan (swasembada beras), faktor ekonomi
(daya beli dan distribusi pangan), faktor lingkungan
(perubahan lingkungan), dan faktor teknologi panen dan
pasca panen yang menyebabkan ketersediaan pangan tidak
mencukupi akan berpengaruh terhadap terjadinya pergeseran
dan perubahan kebiasaan pangan pokok masyarakat. Kondisi
demikain akan berimplikasi pada ketahanan pangan
penduduk.
Ketahanan pangan yang dimiliki oleh sebuah
komunitas, merupakan hasil (resultante) interaksi berbagai
faktor yang ada dalam komunitas tersebut. Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketahanan pangan secara sederhana bisa
dibedakan antara yang bersifat fisik, atau hard wares dan
non-fisik atau soft wares. Faktor-faktor fisik merupakan aset
yang memiliki nilai ekonomis, misalnya tanah, rumah, dan
ternak.
Sementara faktor-faktor yang bersifat non-fisik, bisa
berupa nilai sosial maupun kultural yang dimiliki oleh
komunitas yang bersangkutan. Salah satu aspek yang bersifat
non-fisik yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan
pangan sebuah komunitas adalah sistem atau bentuk
kelembagaan sosialnya. Dan keberfungsian kelembagaan

84
sosial, pada umumnya dipengaruhi oleh modal sosial yang
dimiliki masyarakat (Krisnamurthi, 2003).
Konsep keanekaragaman pangan pada dasarnya
bertujuan untuk memperluas pilihan masyarakat dalam
kegiatan konsumsi sesuai dengan cita rasa yang diinginkan
dan menghindari kebosanan untuk mendapatkan pangan dan
gizi agar dapat hidup sehat dan aktif. Keanekaragaman
pangan bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan konsep terpadu dengan berbagai perangkat
kebijakan yang sekaligus memadukan berbagai perangkat
kebijakan tersebut. Implementasi konsep dan operasional
diversifikasi pangan dan berbagai perangkat kebijakan yang
terkait dengannya menimbulkan dilema bagi pembuat
kebijakan tingkat nasional. Sampai kini diversifikasi pangan
belum terlaksana secara efektif (Harper I, Deaton BJ, dan
Driskel JA, 1986).
Hal demikian juga dipertegas oleh departemen
pertanian yang menyatakan diversifikasi pangan mencakup
dimensi yang luas baik secara horisontal maupun vertikal
pada setiap kelompok pangan maupun antar kelompok
pangan dalam suatu sistem pangan. Diversifikasi atau
penganekaragaman pangan, adalah proses pemilihan pangan
yang tidak tergantung kepada satu jenis saja, tetapi terhadap
macam-macam bahan pangan mulai dari aspek produksi,

85
aspek pengolahan, aspek distribusi hingga aspek konsumsi
pangan di tingkat rumah tangga.
Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan
telah dilaksanakan sejak tahun 60an. Saat itu pemerintah
mulai menganjurkan konsumsi bahan pangan pokok selain
beras. Diversifikasi pangan telah lama dicanangkan sejak
tahun 1970 jauh sebelum swasembada beras diraih. Pada
waktu Pelita IV pemerintah memberikan perhatian yang
lebih besar terhadap diversifikasi pertanian dan produk
dengan menempatkan diversifikasi di tangga atas diikuti oleh
intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi (Manwan, 1994).
Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit
pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi
pangan melalui Inpres No.14 Tahun 1974 tentang Perbaikan
Menu Makanan Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan
melalui Inpres No. 20 Tahun 1979. Maksud dari instruksi
tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis
pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik
secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk
meningkatkan sumber daya manusia.
Diversifikasi pangan pada dasarnya memperluas
pilihan masyarakat dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan
cita rasa yang diinginkan dan menghindari kebosanan untuk
mendapatkan pangan dan gizi agar dapat hidup sehat dan

86
aktif. Hal ini memang sangat dipengaruhi oleh daya beli
masyarakat, pengetahuan, ketersediaan, dukungan kebijakan
dan faktor sosial budaya. Namun dalam perjalanannya,
tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan
sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras.
Karena memang salah satu aspek yang strategis secara
politik, teknologi, ekonomi dan ekologi adalah diversifikasi
pangan pokok non-beras, di antaranya jagung, ubi kayu dan
ubi jalar.
Upaya untuk menekan konsumsi beras melalui
diversifikasi pangan tampaknya belum memberikan hasil
yang signifikan sehingga kebutuhan beras per kapita per
tahun tidak banyak berubah, bahkan pada akhir-akhir ini
cenderung meningkat (Puslitbangtan, 2001). Hal ini
tampaknya terkait dengan kondisi perekonomian yang belum
membaik sehingga sebagian besar masyarakat lebih banyak
mengandalkan beras sebagai sumber utama pangan keluarga.
Ketahanan pangan secara historis disebut pasokan
makanan keseluruhan baik secara regional, nasional atau
bahkan global dan kekurangan pasokan dibandingkan
dengan keperluan (Maxwell 1996), dalam perkembangannya
kemudian diterapkan istilah baru seperti rumah tangga atau
individu (Howard and Foster 2004), kemudian diperluas
melampaui pengertian tentang pasokan makanan untuk

87
memasukkan unsur akses (Sen 1981), kerentanan (Watts and
Bohle 1993) dan keberlanjutan (Chambers 2006).
Pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari berbagai
indikator. Indikator ketahanan pangan terdiri dari dua
kelompok yaitu indikator proses yang menggambarkan
situasi pangan (ketersediaan dan akses pangan) dan indikator
dampak yang terdiri dari dampak secara langsung (konsumsi
dan frekuensi pangan) dan dampak secara tidak langsung
(penyimpanan pangan dan status gizi) (Maxwell and
Frankenberger 1992) Selanjutnya (Soetrisno 1995),
menyatakan bahwa dua komponen penting dalam ketahanan
pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan.
Tingkat ketahanan pangan suatu wilayah dapat bersumber
dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk
menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat
kesulitan dan hambatan untuk akses pangan.
Pada Pulau Kecil khususnya di daerah, kemampuan
produksi yang sangat rendah, jauhnya jarak dengan sentra
produksi serta rendahnya kemampuan ekonomi untuk
menyediakan pangan menyebabkan keterbatasan akses
bahan pangan bagi masyarakat. Sehingga menyebabkan
masalah kerentanan ekologi dan keberlanjutan produksi dan
konsumsi pangan. Kondisi geografis wilayah yang terbatas
(lahan marginal) menjadi penyebab terbatasnya kemampuan

88
produksi, bahan pangan lokal menjadi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan. Di sisi lain kendala yang muncul
adalah pergeseran pola konsumsi masyarakat karena tekanan
pekerjaan.
Untuk mewujudkan produksi dan konsumsi pangan
yang berkelanjutan, maka keberadaan kelembagaan sangat
penting. Karena ketersediaan pangan pada umumnya
bersumber dari hasil pembelian. Kemampuan akses pangan
masyarakat dipengaruhi oleh pendapatan dan bekerjanya
kelembagaan yang ada. Sedangkan pemanfaatan pangan oleh
masyarakat ditentukan oleh tingkat nilai dan pengetahuan
masyarakat.

89
BAB IV
KABUPATEN MAMUJU

90
4.1 Kabupaten Mamuju
a. Letak Geografis
Wilayah Kabupaten Mamuju adalah kabupaten yang
memiliki wilayah paling luas di Provinsi Sulawesi Barat.
Secara geografis Kabupaten Mamuju terletak di posisi 10
38’ 110’’ - 20 54’ 552’’ Lintang Selatan dan 110 54’ 47’’ –
130 5’ 35’’ Bujur Timur dari Jakarta; (00 0 ’ 0’’ Jakarta =
1600 48’ 28’’ Bujur Timur Green Wich). Kabupaten
Mamuju Merupakan salah satu dari 6 kabupaten yang
terletak di provinsi Sulawesi barat. Kabupaten Mamuju
memiliki luas 506.419 Ha Secara administrasi, Pemerintahan
Kabupaten Mamuju terbagi atas 11 Kecamatan, 88 Desa dan
11 Kelurahan. Kabupaten Mamuju berbatasan dengan
Kabupaten Mamuju Tengah di sebelah utara dan Kabupaten
Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) di sebelah timur,
Kabupaten Majene, Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Tana
Toraja (Provinsi Sulawesi Selatan) di sebelah selatan serta
Selat Makasar di sebelah barat.
Kabupaten Mamuju memiliki 11 Kecamatan, yaitu
Kecamatan Tapalang, Tapalang Barat, Mamuju, Simboro,
Balabalakang, Kalukku, Papalang, Sampaga, Tommo,
Kalumpang, dan Bonehau. Luas Wilayah masing-masing
Kecamatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

91
Tabel 3 Persentase Luas Wilayah berdasarkan Kecamatan Di
Kabupaten Mamuju
No Kecamatan Luas (Ha) Persentase
(%)
1 Tapalang 28.331 5.59
2 Tapalang Barat 13.172 2.60

3 Mamuju 20.664 4.08

4 Simboro 11.194 2.21

5 Balabalakang 2.186 0.43

6 Kalukku 47.026 9.29

7 Papalang 19.760 3.90

8 Sampaga 11.940 2.36

9 Tommo 82.735 16.34

10 Kalumpang 173.199 34.20

11 Bonehau 96.212 19.00


Jumlah 506.419 100
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa Kalumpang


adalah merupakan kecamatan terluas yaitu kurang lebih
173.199 ha atau 34,20 persen dari luas wilayah Kabupaten

92
Mamuju. Adapun kecamatan yang paling sempit adalah
Kecamatan Balabalakang yaitu hanya seluas 2.186 ha atau
hanya 0,43 persen dari luas Kabupaten Mamuju.
b. Kependudukan
Jumlah Penduduk Kabupaten Mamuju pada tahun
2015, berjumlah 265.800 jiwa, dengan laju pertumbuhan
penduduk per tahun (2010 – 2015) sebesar 2,66 persen. Dari
jumlah tersebut jumlah penduduk laki- laki sebanyak
135.294 dan perempuan sebanyak 130.506. Dengan luas
wilayah sekitar 5.064,19 km2 maka kepadatan penduduk
Kabupaten Mamuju pada tahun yang sama sekitar 51 jiwa
per Km2, artinya terdapat sekitar 51 jiwa setiap 1 Km2.
Rasio jenis kelamin tertinggi ada di Kecamatan
Balabalakang dan terendah di Kecamatan Tapalang Barat.
c. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin digunakan
untuk mengetahui nisbah antara penduduk pria dengan
penduduk wanita. Angka nisbah tersebut sebagai Sex Ratio
(SR) yang dinyatakan dalam persen. Untuk mengetahui SR
dari penduduk Kabupaten Mamuju dapat dihitung
berdasarkan data jumlah penduduk menurut jenis kelamin
pada Tabel berikut.

93
Tabel 4 Jumlah Penduduk Kabupaten Mamuju Menurut Jenis
Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase
(%)
1 Pria 135.294 50,9
2 Wanita 130.506 49,1
Jumlah 265.800 100
Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan data jumlah penduduk menurut jenis


kelamin di Tabel 4, dapat diketahui bahwa penduduk pria
sebesar 135.294 orang dan penduduk wanita sebesar 130.506
orang. Selisih antara jumlah pria dan wanita hanya sebesar
1,8%. Hal tersebut menunjukkan Sex Ratio berdasarkan tabel
di atas, sebesar 103,69 persen atau dibulatkan sebesar 104
persen yang artinya setiap setiap 100 wanita terdapat 104
pria.
d. Komposisi Penduduk menurut Usia
Komposisi penduduk menurut umur menunjukkan
jumlah penduduk usia produktif dan usia non produktif.
Jumlah penduduk tersebut erat kaitanya dengan ketersediaan
tenaga kerja. Berdasarkan usia, keadaan penduduk di
Kabupaten Mamuju. Adapun komposisi penduduk menurut
Usia di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Tabel berikut.

94
Tabel 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan
Usia di Kabupaten Mamuju
Kabupaten Mamuju
No Golongan Usia(Tahun) Jumlah Persentase(%)
(jiwa)
1 0 – 14 88,479 33.3
2 15 - 59 164,615 61.9

3 > 60 12,706 4.8

Jumlah 265.800 100


Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa pada


tahun 2018 jumlah penduduk dibagi menjadi dua golongan,
yaitu golongan penduduk berusia produktif dan penduduk
berusia non produktif. Pada tabel tersebut dapat diketahui
bahwa penduduk usia non produktif yang berusia 0 sampai
14 tahun sebanyak 88.479 jiwa atau sebesar 33,3 persen dan
usia di atas 60 tahun yaitu sebanyak 12.706 jiwa atau sebesar
4,78 persen. Penduduk yaang berusia produktif yaitu
penduduk yang berumur 15-59 tahun sebanyak 164.615
orang atau sebesar 61,93 persen, sehingga usia produktif
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk usia
non produktif.

95
e. Komposisi Penduduk menurut Pekerjaan
Jenis pekerjaan penduduk Kabupaten Mamuju
bervariasi, namun sektor pertanian yang merupakan
pekerjaan pokok bagi penduduk. Untuk lebih jelasnya
mengenai pekerjaan Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada
Tabel berikut.
Tabel 6 Jenis Pekerjaan Penduduk Kabupaten Mamuju
No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Pertanian 122.325 65,9
2 Manufaktur 14.490 7,8
3 Layanan 48.722 26,3

Jumlah 185.537 100


Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan tabel di atas bahwa sebagian besar


penduduk di Kabupaten Mamuju bermata pencaharian petani
dengan jumlah sebanyak 122.325 jiwa atau 65,9 persen dari
total angkatan kerja. Sementara sektor manufaktur yang
terdiri dari pertambangan dan penggalian, industry
pengolahan, listrik, gas dan air, serta konstruksi hanya
sebanyak 14.490 jiwa atau 7,8 persen dari total angkatan
kerja yang ada.

96
f. Komposisi Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk Mamuju bervariasi, dari
tidak atau belum tamat, SD, SLTP, SLTA sampai perguruan
tinggi. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat pendidikan
penduduk Kabupaten mamuju dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini.
Tabel 7 Tingkat Pendidikan Penduduk di Kabupaten
Mamuju
No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase
(%)
1 Tidak Sekolah 120.244 45.2
2 SD 77.278 29.1
3 SLTP 29.677 11.2
4 SLTA 30.364 11.4
5 DI-DIII 2.694 1.0
6 DIV/S1-S3 5.543 2.1

Jumlah 265.800 100


Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan


penduduk Kabupaten Mamuju mayoritas tidak sekolah
yaitu 120.244 jiwa atau 45,2 persen sedangkan pendidikan
perguruan tinggi sangat rendah jumlahnya yaitu 8.237 jiwa
atau 3,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata

97
penduduk di Kabupaten Mamuju memiliki tingkat
pendidikan rendah.
g. Pertanian
Upaya dalam mendukung kelancaran pembangunan di
Kabupaten Mamuju diperlukan adanya sektor pertanian.
Sektor pertanian suatu daerah sangat penting untuk diketahui
mengingat perannya dalam mendukung kelancaran
pembangunan di daerah tersebut. Untuk menunjang
perkembangan pertanian dibutuhkan beberapa informasi
mengenai keadaan pertanian di Kabupaten Mamuju. Adapun
keadaan pertanian yang dimaksud meliputi keadaan tanaman
pangan dan keadaan tanaman Hortikultura.
h. Tanaman Pangan
Makanan pokok masyarakat kabupaten Mamuju adalah
nasi, meskipun dibeberapa tempat terdapat produksi sagu
namun sagu belum dapat meggantikan nasi dalam hal
pemenuhan karbohidrat. Tanaman pangan merupakan
tanaman yang penting bagi kehidupan masyarakat. Untuk
mengetahui seberapa besar tingkat produksi tanaman pangan
di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Tabel di bawah
ini
Tabel 8 Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Mamuju
No Tanaman Tahun
Pangan 2011 2012 2013 2014 2015

98
1 Padi Sawah 142.390151.58487.520109.673 71.776
2 Padi Ladang 8.168 10.627 5.979 3.773 2.699
3 Jagung 80.512 116.78729.090 28.202 30.196
4 Kedelai 1.806 2.492 2.680 3.993 630
5 KacangTanah 27.678 675 203,30 139 142

6 KacangHijau 3.941 283 120,77 10,55 50

7 Ubi Kayu 496 18.947 7.888 6.804 6.091


8 Ubi Jalar 285 4.801 2.192 2.020 5.370
Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

Berdasarkan Tabel 15, diketahui bahwa tanaman


pangan di Kabupaten Mamuju didominasi oleh tanaman padi
sawah yaitu sebesar 109.673 ton pada tahun 2014 dan
menurun pada tahun 2015 yaitu sebesar 71.776 ton dengan
luas areal sawah di Kabupaten Mamuju sekitar 15.395 Ha.
Untuk tanaman pangan yang produksinya terkecil adalah
tanaman kacang hijau yaitu sebesar 10,55 ton pada tahun
2014 dan 50 ton pada tahun 2015. Data tersebut menjelaskan
keadaan tanaman pangan di Kabupaten Mamuju yang tiap
tahunnya mengalami perubahan jumlah produksi baik itu
meningkat maupun mengalami penurunan. Tanaman
pangan yang mengalami peningkatan terbesar pada tahun
2015 adalah tanaman jagung yaitu sebesar 30.196 ton

99
meningkat 1.994 ton dari tahun 2014 selanjutnya ada
tanaman ubi jalar yaitu sebesar 5.370 meningkat 3.350 ton
dari tahun 2014.
i. Tanaman Hortikultura
Sub sektor hortikultura terdiri dari tanaman sayur-
sayuran dan buah-buahan, tanaman biofarmaka dan tanaman
hias. Terdapat berbagai macam buah-buah di Kabupaten
Mamuju salah satunya pepaya tapi yang paling banyak
digemari adalah buah durian dan langsat. Untuk mengetahui
kisaran besar produksi buah-buah di Kabupaten Mamuju
dapat dilihat pada Tabel di bawah ini.
Tabel 9 Produksi Buah-buahan di Kabupaten Mamuju
Buah- buahan
Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
1. Mangga 9.775 6.916 1.445 - 4.964
2. Durian 50.390 14.357 16.930 41.507 25.948
3. Jeruk 67.224 2.734 1.004 2.731 2.498
4. Pisang 64.910 57.935 5.960 18.193 14.395
5. Pepaya 3.823 4.272 2.055 5.856 3.676
6. Langsat 36.534 11.905 22.045 25.978 29.690
Sumber : Data Badan Pusat Statistik, 2018

100
Produksi buah-buahan yang paling sedikit dihasilkan
adalah komoditi jeruk yaitu 2.731 ton. Produksi jeruk
menurun drastis setelah adanya pemekaran wilayah pada
tahun 2012 yang sebelumnya mencapai 67.224 ton pada
tahun 2011 dan menjadi buah yang paling mendominasi.
Akibat pemekaran wilayah juga banyak mempengaruhi
produksi buah yang lain yaitu buah nenas yang sempat tidak
mempunyai hasil sama sekali pada tahun 2014. Produksi
buah terbesar didominasi oleh buah langsat pada tahun 2015
yaitu sebesar 29.960 ton.
Produksi tanaman hortikultura dalam bagian sayur-
sayuran terdiri dari bawang merah, cabai dan petai. Produksi
tanaman sayur-sayuran menunjukkan bahwa yang
mendominasi adalah tanaman cabai yaitu sebesar 436,10 ton
pada tahun 2015 sedangkan yang paling sedikit adalah
bawang merah. Untuk sayur-sayuran lain yang tidak tertera
pada tabel 10 adalah tanaman yang tidak diketahui jumlah
produksinya yang terdiri dari kentang, kubis, dan sayur-
sayur lainnya.

4.2 Gambaran Kecamatan Mamuju


a. Geografis
Kecamatan Mamuju adalah merupakan kecamatan
yang terletak di Kabupaten Mamuju sekaligus ibukota,

101
memiliki wilayah seluas 206,64 Km2 yang secara
administratif terbagi ke dalam 8 desa/kelurahan.
Desa/kelurahan yang memiliki wilayah paling luas wilayah
adalah Kelurahan Karema dengan luas wilayah 52,53 Km2
atau 25,42 persen dari luas Kecamatan Mamuju. Sementara
desa/kelurahan dengan wilayah paling sempit adalah Desa
Karampuang dengan luas wilayah 6,37 km2 atau 3,08 persen
dari luas wilayah Kecamatan Mamuju.

Gambar 3 Peta Kecamatan Mamuju

Kecamatan Mamuju terdiri dari 8 desa, yaitu:


Kelurahan Binanga, Kelurahan Mamunyu, Desa Tadui, Desa

102
Bambu, Desa Karampuang, Kelurahan Rimuku, Kelurahan
Karema, dan Desa Batupannu. Ibukota Kecamatan Mamuju
berada di Kelurahan Binanga. Desa/kelurahan yang terletak
paling jauh dari ibukota Kecamatan Mamuju adalah Desa
Tadui, yaitu 17 km. Berdasarkan posisi geografisnya,
Kecamatan Mamuju memiliki batas-batas: yaitu sebelah
Utara berbatasan dengan Selat Makassar, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Tapalang, sebelah Barat
berbatasan dengan Kecamatan Simboro, dan sebelah timur
Timur berbatasan dengan Kecamatan Kalukku.
b. Iklim
Tingkat curah hujan di suatu tempat dipengaruhi oleh
keadaan iklim. Oleh karena itu, curah hujan beragam
menurut bulan. Selama 2016 di Kecamatan Mamuju, tingkat
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober, yaitu
sebanyak 449 mm3. Adapun Jumlah curah hujan dan hari
hujan menurut bulan di Kecamatan Mamuju dapat dilihat
pada Tabel berikut.
Tabel 11 Curah hujan dan hari hujan menurut bulan di
KecamatanMamuju
Bulan Curah Hujan (mm3) Hari Hujan

Januari 295 20
Februari 399 14
Maret 197 13

103
April 254 14
Mei 223 20
Juni 417 20
Juli 218 11
Agustus 90 7
September 213 14
Oktober 449 19
Nopember 293 19
Desember 248 15

Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa bulan yang


memiliki curah hujan tertinggi adalah pada bulan oktober
yaitu sebesar 449 mm3, sedangkan curah hujan paling rendah
adalah pada bulan Agustus yaitu hanya 90 mm3. Meskipun
demikian jumlah hari hujan paling banyak adalah pada bulan
Januari, Mei dan Juni yaitu 20 hari, sedangkan jumlah hari
hujan paling sedikit adalah pada bulan Agustus yaitu hanya
9 hari saja.
c. Karasteristik Lahan
Kecamatan Mamuju memiliki topografi datar sampai
datarang tinggi dan bergelombang dengan tingkat
kemiringan antara 5 – 30 persen. Ketinggian tempat berada
antara 0 – 500 meter dari permukaan laut. Dengan jenis tanah

104
yang ada sebagian besar memiliki klasifikasi jenis tanah
hitam dengan warna kering dan berpasir. Adapun
penggunaan lahan di Kecamatan Mamuju dapat dilihat pada
Tabel berikut.

Tabel 12 Karasteristik Lahan di Kecamatan Mamuju


Karasteristik Luas Persen
Lahan Kering 1437 69.54
Lahan Pekarangan 1.6 0.08

Tambak 25 1.21

Hutan 2.9 0.14

Lahan Lainnya 600 29.04

Jumlah 2.066,4 100


Sumber : Programa P3K Kecamatan Mamuju, 2018

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa umum


karasteristik tanah di Kecamatan Mamuju adalah lahan
kering, yaitu luas 1.437 ha atau 69,54 persen dari total luas
lahan yang ada. Sedangkan lhan yang paling sempit adalah
lahan pekarangan yaitu hanya 1,6 ha atau 0,08 persen saja.

105
d. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Mamuju pada tahun
2016 adalah 68.021 jiwa yang terdiri atas 34.388 jiwa
penduduk laki-laki dan 33.633 jiwa penduduk perempuan.
Sementara itu, besarnya angka rasio jenis kelamin penduduk
laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 102,24.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Mamuju mencapai 329
jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah
tangga 4,79 orang. Kepadatan penduduk di 8 desa/kelurahan
cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terjadi
di Kelurahan Rimuku dengan kepadatan sebesar 1.205
jiwa/km2 dan terendah terjadi di Kelurahan Batupannu
sebesar 130 jiwa/Km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel berikut.
Tabel 13 Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan
rumah tangga Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan
Mamuju
Jenis Kelamin Jumlah
Desa/Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Rumah
Tangga
Binanga 11.814 11.680 23.494 4.787
Mamunyu 3.212 3.170 6.382 1.271
Tadui 1.956 1.863 3.819 744
Bambu 2.171 2.144 4.315 776

106
Karampuang 1.506 1.431 2.937 650
Rimuku 6.561 6.249 12.810 2.980
Karema 6.101 6.076 12.177 2.692
Batupannu 727 672 1.399 295

Jumlah 34.048 33.285 67.333 14.195


Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa penduduk


tertinggi adalah di Kelurahan Binanga yaitu sebesar 23.494
jiwa dengan jumlah rumah tangga sebesar4.787 rumah
tangga, hal ini karena Binanga adalah merupakan ibukota.
Sedangkan terendah adalah Desa Batupannu yaitu sebesar
1.399 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 295
rumah tangga, hal ini karena Batupannu adalah merupaka
desa yang baru mekar tahun 2014.
e. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Mamuju
bervariasi dari SD, SLTP, SLTA sampai Perguruan tinggi.
Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat pendidikan penduduk
di Kecamatan Mamuju dapat dilihat pada Tabel berikut
Tabel 14 Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Mamuju
Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Prosentase (%)
Belum Sekolah 8.878 13.05

107
Tamat SD/sederajat 16.895 24.84

Tamat SLTP/sederajat 9.373 13.78

Tamat SMU/sederajat 18,673 27.45

Sarjana 3,294 4.84

Buta Aksara 10,907 16.04

Jumlah 68.021 100,0


Sumber : Kantor Camat Mamuju, 2018

Dari tabel 14 terlihat bahwa tingkat pendidikan yang


tertinggi jumlahnya adalah tamat SMA atau sederajat yaitu
sebanyak 18.673 jiwa atau 27,45 % sedangkan jumlah
terendah adalah sarjana yaitu sebanyak 3.294 atau 4,84 %
dari jumlah penduduk di Kecamatan Mamuju. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di Kecamatan
Mamuju sudah memadai.
f. Jenis Pekerjaan
Penduduk di Kecamatan Mamuju mempunyai mata
pencaharian bervariasi, hal ini karena di kecamatan Mamuju
terletak ibukota Kabupaten Mamuju. untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel berikut :

108
Tabel 15 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan
Mamuju
Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
Petani/nelayan 14.285 35.0
PNS 12.448 30.5

Pertambangan 204 0.5

Industri 4.081 10.0

Pedagang 7.754 19.0

Angkutan 816 2.0

Keuangan 816 2.0

Pertukangan 408 1.0


Jumlah 13.241 100
Sumber: Data Kantor Camat Mamuju, 2018

Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa jumlah


tertinggi adalah petani yaitu sebanyak 14.285 jiwa atau 35.0
%, kemudain disusul oleh PNS dan jumlah paling rendah
adalah penduduk yang bermata pencaharian di bidang
pertambangan. Hal ini menunjukan bahwa penduduk
Kecamatan Mamuju didominasi oleh petani dan pegawai
negeri sipil.

109
g. Sarana dan Prasarana
1. Sarana Ekonomi
Sarana perekonomian adalah merupakan sarana yang
sangat penting artinya dalam memperlancar kegiatan
pemasaran baik bidang pertanian maupun bidang lain.
Adapun sarana perekonomian di Kecamatan Mamuju dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 16 Jenis Sarana Perekonomian di Kecamatan Mamuju
Sarana Perekonomian Jumlah (Unit)
Hotel 36
Warung/Restoran/Rumah Makan 186

Pasar 4

Koperasi 2

Unit Usaha 1.280


Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

Dari Tabel di atas menunjukkan bahwa ketersediaan


sarana perekonomian di Kecamatan Mamuju sudah sangat
memadai. Hal ini terlihat dengan tersedianya pasar, hotel,
koperasi dan sarana perekonomian lain. Hal ini sangat
relevan karena Kecamatan Mamuju adalah ibukota
Kabupaten Mamuju.

110
2. Sarana Sosial dan Budaya
Sarana sosial dan budaya yang dimiliki oleh
Kecamatan Mamuju sudah sangat memadai dan penting
artinya bagi masyarakat dalam melakukan aktifitas baik
sosial maupun budaya yang merupakan aset daerah. Sarana
sosial budaya di Kecamatan Mamuju disajikan pada Tabel di
bawah ini.
Tabel 17 Jenis Sarana Sosial dan Budaya di Kecamatan
Mamuju
Sarana Sosial Budaya Jumlah (Unit)
Sekolah TK 16
Sekolah SD 38
Sekolah SLTP 14
SMA 15
Perguruan Tinggi 5
Rumah Sakit 3
Puskesmas 2
Puskesmas Pembantu 5
Puskesdes 4
Posyandu 34
Lapangan Olah Raga 16
Sarana Ibadah 127
PLN 1
Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

111
Tabel di atas menunjukkan bahwa sarana Pendidikan,
kesehatan dan ibadah sudah sangat memadai. Keberadaan
sarana Pendidikan sangat membantu dalam peningkatan
Pendidikan penduduk Kecamatan Mamuju. Sarana kesehatan
sangat penting keberadaannya dalam memberi layanan
kesehata bagi penduduk Kecamatan Mamuju. Sedangkan
sarana ibadah adalah merupakan sarana yang dibutuhkan
pendudukn dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Sarana olah
raga juga membantu masyarakat dalam mengembangkan
bakat serta menjagakesehatan tubuh.
3. Kondisi Pertanian di Kecamatan Mamuju
a) Tanaman Pangan
Komoditi sub sektor tanaman pangan mencakup
tanamanpadi (padi sawah dan padi ladang), jagung, ubi kayu,
ubi jalar, dan kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau.
Tanaman pangan untuk Kecamatan Mamuju hanya meliputi
Jagung, Ubi Jalar, Ubi Kayu dan Kedelai. Hal ini karena
keadaan topografi wilayah di Kecamatan Mamuju, selain
juga karena merupakan ibukotasehingga sebagian besar areal
adalah perumahan dan perkantoran. Adapun luas lahan,
produksi dan produktifitas komoditi pangan di Kecamatan
Mamuju dapat dilihat pada Tabel berikut.

112
Tabel 18 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman
Pangan Menurut Jenis Tanaman Pangan di Kecamatan
Mamuju
Komoditi Luas Panen Produksi Produktifitas
(ha) (ton) (ton/ha)
Jagung 217 1.060,05 4,885
Ubi Jalar 10 85,28 8,528

Ubi Kayu 57 1.131,22 19,846

Kedelai 284 562,32 1,980


Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa komoditi


kedelai memiliki luas panen tertinggi yaitu seluas 284 ha.
Sedangkan komoditi ubi jalar memiliki luas panen terendah
yaitu hanya 10 ha. Produksi dan produktifitas tertinggi
adalah komoditi ubi kayu yaitu 1.131,22 ton dan 19,846
ton/ha. Hal ini karena ada desa yang masih menjadikan ubi
kayu sebagai makanan pokok selain nasi.
b) Hortikultura
Tanaman Hortikultura meliputi tanaman sayuran,
buah- buahan, bio farmaka, dan tanaman hias. Sayuran yang
paling banyak diproduksi di Kecamatan Mamuju adalah
kangkung dengan produksi mencapai 108,4 ton. Sedangkan,
komoditi buah paling banyak diproduksi adalah durian

113
dengan produksi mencapai 722 ton. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat Tabel berikut.
Tabel 19 Luas Panen dan Produksi Tanaman Hortikultura
DiKecamatan Mamuju
No Komoditi Luas Panen (ha) Produksi (ton)

Sayur-Sayuran
1 Bayam 39 25,4
2 Cabai Besar 1 0,4
3 Cabai Rawit 33 62,8
4 Kacang Panjang 35 29,2
5 Kangkung 32 108,4
6 Ketimun 35 81,6
7 Terung 27 41,2
8 Tomat 19 43,5
9 Sawi 26 104,1
10 Alpukat - 3,7
11 Belimbing - 10,3
12 Duku/Langsat - 431,8
13 Durian - 722,0
14 Jeruk - 16,6
15 Mangga - 130,9
16 Nangka - 55,9
17 Nenas - 25,8
18 Pepaya - 59,7

114
19 Pisang - 285,7

20 Rambutan - 96,2
Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018
Tanaman hortikultura khususnya sayur-sayuran di
budidayakan oleh masyarakat Kecamatan Mamuju dengan
memanfaatkan pekarangan yang ada. Sedangkan untuk buah-
buahan umumnya masyarakat menanam di pinggir kebun
masing- masing, hal ini dimaksudkan sebagai batas kebun.
c) Perkebunan
Tanaman pekebunan yang diusahakan rumah tangga di
Kecamatan Mamuju antara lain kelapa dalam, kakao, kemiri,
kopi, dan cengkeh. Pada tahun 2016, produksi kakao di
Kecamatan Mamuju mencapai 4.781 ton. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 20 Luas Area dan Produksi Perkebunan Rakyat
MenurutJenis Tanaman di Kecamatan Mamuju
Komoditi Luas Panen (ha) Produksi (ton)
Cengkeh 119 83
Kakao 4.153 4.781
Kelapa Dalam 57 68
Kemiri 130 545
Kopi Arabika 13 12

Sumber : Kecamatan Mamuju dalam Angka, 2018

115
Berdasarkan data di atas komoditi perkebunan yang
dominan di budidayakan di Kecamatan Mamuju adalah
kakao dan cengkeh. Hal ini karena selain wilayah pesisir,
wilayah Kecamatan Mamuju juga sebagian besar adalah
topografi bukit.
4. Peternakan
Ternak yang dipelihara atau diternakkan penduduk di
Kecamatan Mamuju terdiri sapi, Kambing, ayam buras,
ayam ras dan itik serta kerbau. Adapaun populasi ternak
yang ada di Kecamatan Mamuju dapat dilihat pada Tabel
berikut.

Tabel 21 Populasi ternak yang dipelihara masyarakat


Kecamatan Mamuju
Jenis Ternak Jumlah (Ekor)
Sapi 391
Kambing 996

Ayam Ras 3,521

Ayam Buras 10,014

Itik 111
Sumber : Programa P3K Kecamatan Mamuju, 2018

116
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa ternak yang
dipelihara oleh penduduk Kecamatan Mamuju sudah cukup
memadai. Ternak besar didominasi oleh kambing, sedangkan
ternak unggas didominasi oleh ayam buras (ayam kampung).
Sedangkan untuk ternak itik hanya dipelihara di Kecamatan
Rimuku dan Karema sebanyak 111 ekor.

117
BAB V
PULAU KARAMPUANG DI
KABUPATEN MAMUJU

118
5.1 Gambaran Pulau Karampuang
a. Letak Gografis
Pulau Karampuang adalah satu dari delapan desa yang
berada di wilayah Kecamatan Mamuju. Secara geografis

Pulau Karampuang terletak pada koordinat 118o 52’00” -

118o 54’00” Bujur Timur dan 2o 36’30” - 2o 40’00” Lintang


Selatan. Pulau Karampuang merupakan pulau kecil yang
berjarak sekitar 5 km dari Ibu Kota Mamuju dan hanya
ditempuh dengan menggunakan transportasi laut dengan
waktu tempuhkira-kira 20 -25 menit.
Batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Selat
Makassar, sebelah selatan dengan Kota Mamuju, sebelah
barat dengan Kelurahan Rangas, dan sebelah timur dengan
Desa Bambu. Kondisi fisik pulau Karampuang berupa batu
karang, meskipun demikian sebagai pelindung pantai masih
dapat tumbuh pohon mangrove. Adapun panjang garis
pantai kurang lebih 9 km. Topografi pulau merupakan
daratan yang bergelombang dimana ketinggiannya mencapai
23 Meter dari atas permukaan air laut, luas tubir yang
mengelilingi pulau selebar 200 meter. Tekstur tanah
penyusun pantai berupa pasir dengan struktur kasar yang
terdiri dari pecahan-pecahan cangkang kerang dan koral
acropora yang telah mati (Adibrata 2007). secara
administrasi Pulau Karampuang yang merupakan desa

119
memiliki 11 (sebelas) dusun, yaitu Karampuang I,
Karampuang II, Baja, Karaeng, Ujung Bulo, Sepang,Batu
Bira, Sepang Utara, Gunung Gembira, Joli, dan Nangka.

Gambar 4 Pulau Karampuang Kecamatan Mamuju


Kabupaten Mamuju

b. Luas Wilayah dan Iklim


Pulau Karampuang merupakan pulau yang banyak
terdapat batu karang, sahingga banyak orang menganggap
sebagai pulau karang, karena hampir semua sudut pulau
dipenuhi karang, bahkan sebagian masyarakat mengandalkan
kehidupannya di atas karang. Pulau Karampuang terletak

120
persis di tengah Teluk Mamuju, dengan cerukan dalam
hasil bentukan teluk. Keberadaan pulau Karampuang dengan
orbitasi sekitar 5 km arah barat dari kota mamuju, menjadi
benteng penghalang dan pelindung Kota Mamuju terhadap
hempasan gelombang yang berasal dari laut lepas yang
kadang mencapai 3-5 meter. Sehingga Pantai Manakarra
memiliki keadaan perairan yangtenang.
Luas Pulau Karampuang kurang lebih 6,37 Km2,
dengan topografi berbukit dan berbatu karena berasal dari
pulau vulkanik. Secara lebih detail penggunaan lahan di
Pulau Karampuang meliputi tegalan 149 hektar, pekarangan
seluas 33 hektar, perkebunan seluas 62 hektar dan hutan
lindung seluas 6 hektar.
Berkaitan dengan kondisi alam Pulau Karampuang,
pemanfaatan lahan dibagi menjadi dua (2) bagian, antara
lain; bagian kawasan yang terbangun serta kawasan yang tak
terbangun. Dimana kawasan yang terbangun adalah
permukiman masyarakat yang tersebar di sepanjang
pinggiran pulau searah garis pantai. Sedangkan Kawasan
yang tidak terbangun didominasi dengan hutan, lahan
berbatu dan semak belukar. Lahan-lahan kering dan kosong
dipenuhi dengan batuan karang-karang mati dan hanya
disela-sela batu yang dapat ditanami ubi kayu. Namun secara
lebih rinci dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

121
Gambar 5 Persentase Penggunaan lahan di Pulau
KarampuangSumber : Data Primer setelah diolah, 2018

Pulau Karampuang memiliki iklim sedang dengan


temperature udara berkisar antara 20℃ – 34 ℃. Curah
hujan berkisar antara 93 –1.093 mm/tahun dengan jumlah
hari hujan 11 – 17 hari/bulan. Musim hujan biasanya terjadi
pada bulan Oktober sampai Januari, musim peralihan
(pancaroba) terjadi pada bulan Pebruari sampai Juni dan
Musim Kemarau terjadi pada bulan Juli sampai September.
c. Penduduk
Jumlah penduduk Pulau Karampuang yaitu sebanyak
2.937 jiwa dengan perincian untuk perempuan sebanyak
1.431 jiwa sedangkan laki-laki sejumlah 1.506 jiwa,
banyaknya rumah tangga sebanyak 650 kepala keluarga,

122
dengan tingkat kepadatan penduduk sejumlah 46 jiwa/km2
(BPS, 2015).
Berdasarkan data di atas, kemudian diuraikan jumlah
penduduk Pulau Karampuang berdasarkan usia. Usia
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap cara berfikir
serta kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan
bekerja dan pengambilan keputusan-keputusan. Faktor
tersebut erat kaitannya dengan kemampuan dalam
menyediakan pangan, tingkat aksesibiltas terhadap serta
utilitas pangan bagi rumah tangga.
Sekitar 57 persen penduduk Pulau Karampuang berada
pada usia produktif yaitu sekitar 16 – 45 tahun. Hal ini
mengindikasikan bahwa Pulau Karampuang memiliki
angkatan kerja yang potensial.
d. Pekerjaan
Pekerjaan penduduk di Pulau Karampuang umumnya
adalah nelayan sekaligus petani, akan tetapi seiring
terjadinya keterbatasan areal tangkap, mengakibatkan
sebagian besar nelayan yang beralihpekerjaan menjadi buruh
di Kota Mamuju. Selain hal tersebut penduduk yang masih
berusia muda sebagian besar merantau ke Kalimantan Timur,
Kalimantan Utara dan Pulau Bala Balakang. Untuk
kejelasannya tersaji pada Tabel 23.
Tabel 23 Jenis Pekerjaan Penduduk Di Pulau Karampuang

123
No Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Nelayan/petani 541 35.0


2 Buruh 533 34.5

3 PNS 23 1.50

4 Pedagang 294 19.0

5 Angkutan 155 10.0

Jumlah 1.546 100


Sumber : Data Potensi Desa Karampuang, 2018

Berdasarkan data tersebut bahwa nelayan/petani dan


buruh adalah merupakan pekerjaan penduduk yang dominan
di Pulau Karampuang. Sebanyak 533 jiwa atau sekitar 34,5
persen penduduk yang bermata pencaharian sebagai buruh
inilah yang melakukan migrasi setiap hari ke kota baik
laki-laki maupun perempuan. Sedangkan yang jadi
nelayan/petani sebanyak 541 jiwa atau 35,0 persen adalah
yang masih bertahan menjadi nelayan.

e. Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan masyarakat sangat berkaitan erat
dengan tingkat pengetahuan, kemampuan dan keterampilan
pada proses pengambilan keputusan, mencari pekerjaan

124
untuk mencukupi nafkah sehari-hari khususnya laki-laki.
Sedangkan bagi perempuan tingkat pendidikan lebih banyak
mempengaruhi kemampuannya dalam menyediakan,
mengolah, menyajikan dan mendisribusi bahan pangan yang
akan dikonsumsi oleh keluarga. Tingkat Pendidikan
masyarakat Pulau Karampuang disajika pada Tabel di
berikut.
Tabel 24 Tingkat Pendidikan Masyarakat Pulau Karampuang
No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
(Jiwa)
1 Belum/tidak sekolah 1570 53.5
2 Taman Kanak- 672 22.9
kanank
3 Sekolah Dasar 330 11.2

4 SLTP 244 8.3

5 SLTA 110 3.7

6 Perguruan Tinggi 11 0.4

Jumlah 2.937 100


Sumber : Data Potensi Desa Karampuang, 2018

125
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa jumlah
tertinggi adalah masyarakat yang tidak dan belum sekolah
yaitu sebanyak 1.570 jiwa atau 53,5 persen dari total
penduduk, sedangkan jumlah terendah adalah penduduk
dengan tingkat Pendidikan perguruan tinggi yaitu hanya
sebanyak 11 jiwa atau 0,4 persen dari jumlah penduduk
Pulau Karampuang. Berdasarkan fakta empiris tersebut dapat
diuraikan bahwa tingkat Pendidikan di Pulau Karampuang
masih sangat rendah. Faktor yang dominan menjadi
penyebabnya yaitu keterbatasan biaya dan sarana Pendidikan
yang masih terbatas di Pulau Karampuang, sedangkan akses
Pendidikan terdekat yaitu di Kota Mamuju. Namun harus
menggunakan perahu dan motor (ojek), yang membutuhkan
biayatransportasi.
f. Sarana dan Prasarana
Keberadaan infrastruktur merupakan suatu daya
dukung dalam kemajuan pembangunan tiap wilayah. Dalam
hal ini Pulau Karampuang yang terpisah dengan daratan
Mamuju, sarana dan prasarana berupa dermaga sangat
dibutuhkan bagi masyarakatnya karena memiliki banyak
fungsi, di antaranya sebagai sarana untuk menurunkan dan
menaikkan barang-barang perdagangan, juga untuk
penumpang yang akan bepergian. Pulau Karampuang
memiliki 3 buah dermaga yang masih terbuat dari kayu,

126
antara lain: dermaga yang terdapat di Dusun Karampuang I,
Dusun Bajak, dan Dusun Ujung Bulo. Ketiga dermaga
tersebut berfungsi untuk mobilitas masyarakat Pulau
Karampuang setiap hari, baik masyarakat yang akan
berangkat ke kota maupun yang akan kembali ke Pulau
Karampuang, termasuk siswa-siswa Sekolah Menengah Atas
(SMA) yang bersekolah di Kota Mamuju mereka langsung
kembali ke Pulau Karampuang setelah pelajaran sudah
selesai. Jumlah perahu transportasi sebanyak 13 unit yang
digunakan penduduk untuk transportasi umum.
Sarana pendukung lainnya adalah jalan dusun yang
hanya dapat dilalui roda dua dan berjalan kaki, sedangkan
untuk kendaraan roda empat akses tidak tersedia. Jalan-jalan
antar dusun hanya memiliki lebar 1-1,5 meter dengan
kondisi jalan masih bentuk pengerasan, jalan disemen,
paving blok, ada pula yang masih jalan tanah dan tidak rata.
Sisi kiri-kanan jalan tanah dan masih ditumbuhi pepohonan.
Prasarana penerangan (listrik) masyarakat Pulau
Karampuang masih menggunakan mesin genset yang
berjumlah 3 buah mesin genset yang berkekuatan 150 KW
dan merupakan bantuan dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri Pedesaan (PNPM-MP)
pada tahun 2012. Namun batas waktu menyala terbatas yaitu
dari jam 18.00 - 22.00. Pada Saat lampu padam sudah

127
banyak rumah tangga menyiapkan lampu cas (sebagai lampu
cadangan). Disamping itu masih ada sebagian yang masih
menggunakan lampu tempel atau lampu semprong minyak
tanah. Walaupun waktu menyalanya terbatas namun tetap
dibebankan biaya perbulannya sebesar Rp 75.000 – Rp.
100.000 tiap rumah tangga untuk pembeli bahan bakar.
Penggunan air bersih oleh masyarakat Pulau
Karampuang awalnya hanya berasal dari sumber-sumber
mata air dari sumur. Di pulau Karampuang terdapat 3 buah
sumur untuk kebutuhan rumah tangga, antara lain: sumur
jodoh, sumur kapal (bujung kappal), sumur goa lidah. Sumur
jodoh (Sumur Kayyang) memiliki tiga rasa yaitu tawar,
payau dan asin. Disamping digunakan sebagai sumber air
bersih bagi masyarakat juga digunakan sebagai obat dan
objek wisata. Pelayanan kesehatan masyarakat di pulau
Karampuang tersedia tiga sarana dan prasarana berupa
puskesmas pembantu untuk pelayanan kesehatan warga
Karampuang. Pustu terletak di Dusun Karampuang, Dusun
Baja, dan Ujung Bulo dan sebanyak 7 posyandu. Sedangkan
tenaga medis berjumlah 8 orang, yaitu 5 orang perawat dan 3
orang bidan. Selain itu, ada pula 3 orang dukun terlatih.
Sarana dan prasarana Pendidikan yang tersedia di
Pulau Karampuang adalah PAUD, Sekolah dasar, dan SLTP.
Pendidikan PAUD I buah, sekolah dasar 3 buah, antara lain

128
SDN Sepang, SDN Karaeang, dan SD Inpres Karampuang,
serta tingkat SMPN 2 buah yaitu SMPN Karampuang dan
MTs Al-Chairyah, keduanya satu atap bangunannya. Untuk
sarana ibadah sebanyak 9 (Sembilan)buah masjid dan 1
(satu) musallah, semuanya tersebar ke dusun-dusun.
5.2 Pulau Karampuang
Pulau Karampuang yang merupakan salah satu Pulau
kecil di Kabupaten Mamuju, dengan tingkat pendapatan
masyarakat yang mengandalkan hidup dari sektor perikanan
tangkap (nelayan) dan perkebunan (petani), memiliki
kemampuan pemenuhan kebutuhan khususnya pangan yang
sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
pendapatan yang diperoleh petani sehingga mengalami
ketidakpastian ekonomi. Kehidupan masyarakat di Pulau
Karampuang yang mengandalkan hidup sebagai nelayan
dengan alat tangkap yang sederhana, guna mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Faktor lainnya adalah karena
teknologi yang yang dimiliki sangat terbatas. teknologi
penangkapan merupakan hal terpenting bagi kehidupan
nelayan, baik teknologi berupa alat tangkap maupun berupa
armada. Keberadaan teknologi penangkapan bagi nelayan
adalah merupakan suatu yang penting sebagai prasyarat
utama, hal ini disebabkan keadaan sumberdaya perikanan
yang bergerak (mobile), lokasi penangkapan yang selalu

129
berpindah-pindah, juga untuk melakukan penangkapan,
nelayan perlu sarana seperti perahu dengan kapasitas
memadai. Kondisi ini disebabkan oleh wilayah tangkapan
yang semakin jauh dari pulau, karena seringnya dilakukan
pengeboman ikan dan penggunaan alat tangkap yang modern
oleh nelayan dari wilayah lain.
Rendahnya Pendidikan masyarakat di Pulau
Karampuang juga menjadi hambatan selain keterbatasan
terhadap pengetahuan tentang kandungan gizi, juga
berakibat terhadap Keterbatasan kesempatan kerja
masyarakat, pilihan pekerjaan masyarakat Pulau
Karampuang baik di bidang pertanian maupun diluar
pertanian umumnya berpenghasilan rendah. pilihan
pekerjaan tersebut antara lain sebagai buruh cuci, buruh
masak untuk ibu rumah tangga dan sebagai buruh bangunan
untuk kepala rumah tangga.
Aktivitas masyarakat Pulau Karampuang yang setiap
hari bekerja di Kota Mamuju sebagai upaya memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Aktivitas tersebut umumnya di
lakoni oleh ibu-ibu. Upaya ini dilakukan sebagai strategai
nafkah masyarakat Pulau Karampuang untuk meningkatkan
pendapatan keluarga. Karena pendapatan yang diperoleh
oleh kepala rumah tangga masih belum cukup untuk
melengkapi kebutuhan rumah tangga. Sehingga ibu-ibu ke

130
Kota Mamuju untuk mencari pekerjaan seperti menjadi
buruh cuci pakaian, penjaga toko, pengasuh anak. Akibat
sering mengkonsumsi nasi (beras) di tempat kerjanya, maka
ibu-ibu rumah tangga perlahan sudah mengenal nasi,
selanjutnya diperkenalkan kepada seluruh keluarganya.
Berbagai hal yang terkait menunjukkan bahwa pola
produksi dan konsumsi pangan masyarakat ditentukan oleh
Nilai, pengetahuan, pendapatan dan jumlah anggota rumah
tangga (Aneftasari, et. al, 2016; Arlin,st. al, 2017; Rusyantia,
et. al, 2010; Safitri, et. al, 2017). Kebiasaan konsumsi
masyarakat di latar belakangi oleh kepercayaan dan hasil
penyesuaian terhadap lingkungan (Saleha 2005).
Sedangkan orientasi alamiah dan pengetahuan manusia
berpengaruh signifikan terhadap perilaku beli makanan
(Wijaya 2014, 2017).
Kerentanan kehidupan masyarakat khususnya pesisir
banyak dipengaruhi oleh keterbukaan berupa kondisi iklim,
sensitivitas, dan kapasitas adapatasi (Haryono 2005;
Sakuntaladewi 2014). Perubahan lingkungan tersebut
ditentukan oleh pemanfaatan sumberdaya yang cenderung
eksploratif (Helmi and Satria 2012). Akibat hal tersebut
masyarakat memiliki keterbatasan dalam menopang
kehidupan rumah tangga (Tridakusumah et al. 2015).
Sehingga diperlukan peningkatan lapangan kerja sebagai

131
bentuk adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan
(Sunarti et al. 2009).
Ketahanan pangan rumah tangga pulau kecil dan
pesisir sebagian besar berada pada kategori kurang tahan
pangan (Adam 2017). Hal ini karena keterbatasan
lingkungan dan rendahnya akses finansial masyarakat
(Sukiyono et al. 2016; Widodo 2011). Salah satu upaya
untuk meningkatkan akses finansial adalah melakukan
migrasi dan meningkatkan peran ganda wanita dalam rumah
tangga (Elizabeth 2015; Saptanto, et. al. 2011).
Pulau Karampuang merupakan pulau kecil yang
memiliki kompleksitas permasalahan didalamnya. Selain
dihadapkan pada permasalahan keterbatasan sarana produksi
dalam kegiatan penangkapan juga oleh kerusakan
lingkungan laut yang disebabkan oleh maraknya perilaku
pengemboman dan penggunaan peralatan tangkap modern
yang destruktif terhadap lingkungan seperti pukat harimau
dan payang. Sebagai nelayan kecil masyarakat Pulau
Karampuang sangat merasakan dampaknya, karena
kelangsungan hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh
daya dukung lingkungan yang ada. Di sisi lain kebutuhan
hidup yang semakin meningkat khususnya kebutuhan
pangan. Selain itu, taraf kehidupan masyarakat yang rendah
dan daya jangkau yang terbatas terhadap modal baik berupa

132
fisik maupun finansial menjadi persoalan yang menyebabkan
sangat rawan dan sensitif terhadap himpitan para kapitalis.
Karakteristik masyarakat Pulau Karampuang
berbanding terbalik dengan masyarakat petani atau agraris
yang ada di daratan. Dari aspek pendapatan, petani memiliki
daya otorisasi terhadap penghasilan pola panen dapat
dikendalikan sehingga produksi pangan ataupun ternak yang
dipelihara dapat dimaksimalkan guna memperoleh produksi
yang maksimal sesuai keinginan petani. Berbeda halnya
dengan masyarakat Pulau Karampuang yang mata
pencahariannya didominasi dengan nelayan. Sebaliknya
masyarakat Pulau Karampuang yang umumnya adalah
sebagai nelayan tangkap kesehariannya melaut untuk
memperoleh pendapatan, dengan tingkat resiko tinggi
wilayah tangkapan yang akses terbuka sehingga penghasilan
sangat fluktuatif dan cenderung tidak dapat di tentukan
sesuai keinginan.
Partikularitas masyarakat pulau kecil dan pesisir
ditinjau dari berbagai segi antara lain kepercayaan (teologis),
pengetahuan (Knowledges), dan status sosial nelayan.
Ditinjau dari segi pengetahuan (knowledges), masyarakat
pulau Karampuang memperoleh pengetahuan dari tutur lisan
yang merupakan warisan secara turun temurun, seperti
kemampuan membaca tanda-tanda alam untuk penanggalan

133
dan petunjuk arah dalam melaut. Sedangkan dari segi
teologis (kepercayaan), anggapan tentang kehidupan laut
yang mengandung unsur mistik dan penuh magis masih
menjadi kepercayaan bagi masyarakat Pulau Karampuang,
sehingga ritual- ritual dan sesajen masih kerap dilakukan di
laut sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan laut.
Akan tetapi, seiring perkembangan jaman ritual-ritual berupa
pesta di laut sudah mulai tergerus dari kepercayaan
masyarakat, adapun pelaksanaannya hanya sebagai bentuk
seremoni belaka yang dilakukan hanya orang tertentu saja.
Sementara status sosial nelayan, secara umum dengan
kondisi ekonomi yang rendah, maka nelayan juga termasuk
golongan rendah.
Keterbatasan faktor produksi seperti lahan dan area
penangkapan memungkinkan terjadinya ketidakmampuan
memproduksi pangan secara mandiri, sehingga dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sangat rentan. Selain
itu, suplai pangan dari desa produsen juga memungkinkan
adanya keterputusan karena infrastruktur yang sangat
terbatas dan jarak tempuh yang jauh. Salah satu alternative
yang menjadi pilihan dalam upaya pemenuhan adalah
dengan pemanfaatan kelembagaan pangan yang berada di
Pulau. Kelembagaan berperan sangat penting, terutama
kelembagaan pangan yang berada di pulau Karampuang

134
sehingga aksesibilitas pangan masyarakat dapat
berkelanjutan secara kuantitas dan kualitas.
5.3 Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan United Nations Convestion of the Law of
the Sea kemudian di sadur ke dalam Undang-Undang nomor
17 tahun 1985 pulau adalah daratan yang terbentuk secara
alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/di atas air
pasang (Bengen 2003; Ello and Subandi 1998).
Pulau-Pulau Kecil (PPK) didefinisikan berdasarkan
dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk
yang menghuninya. Definisi PPK yang dianut secara
nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 41/2000 jo. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang
2
atau sama dengan 10.000 km , dengan jumlah penduduk
kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Disamping kriteria
utama tersebut, beberapa karakteristik PPK adalah secara
ekologis terpisah dari pulau induknya, memiliki batas fisik
yang jelas dan mempunyai keanekaragaman yang tipikal dan
bernilai tinggi. Berdasarkan tipenya, PPK dibedakan menjadi
pulau benua, pulau vulkanik dan pulau karang, masing-
masing tipe mempunyai kondisi lingkungan yang khas,
sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan
penetuan pengelolaannya agar berkelanjutan (Inounu et al.

135
2007).
Menurut Ongkosongo (1998) bahwa Batasan pulau
kecil telah berubah- ubah dari waktu ke waktu. Pulau kecil
awalnya dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari
10.000 km2, kemudian menjadi kurang dari 5.000 km2,
kemudian berkurang lagi menjadi 2.000 km2 dan bahkan
mencapai 100 km2, bahkan ada yang membatasi berdasarkan
lebarnya yaitu kurang dari 3 km (Brookfield and Jeffers
1990; Dahuri 1998; Hehanusa and Haryani 1998; Nakajima
and Machida 1990).
Pulau-pulau Kecil berdasarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 adalah kumpulan pulau
yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis,
ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun
secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari
pengelolaan sumber dayanya (Satria 2009b). Wilayah
kepulauan dengan beberapa pulau-pulau kecil pada
hakekatnya merupakan wilayah pesisir mengingat kondisi
ekologis serta sosial budaya masyarakatnya hampir sama
dengan wilayah pesisir pulau besar. Walaupun begitu, pulau
kecil sebagaimana telah dikemukakan di atas mempunyai
sifat-sifat yang khas pengelolaannya memerlukan
penanganan yang khas pula.

136
Pembangunan pulau-kecil juga menghadapi kendala
ekologis berupa kerentanan ekologis akibat gangguan
pembangunan (Hein 1990). Menurut Fauzi (2002), terdapat
empat kendala khas pulau-pulau kecil yang harus
dipertimbangkan didalam penilaian ekonomi sumberdaya
pulau-pulau kecil, yaitu ukuran luasnya yang kecil
(smallness), isolasi, ketergantungan (dependence), dan
kerentanannya (vulnerability). Karena sifat khas dari pulau
kecil tersebut maka pengelolaan pulau-pulau kecil harus
menggunakan pendekatan yang khas pula (Bengen 2003;
Dahuri 2003). Beller et al. (1990) mengemukakan bahwa
pernbangunan berkelanjutan di pulau kecil bergantung
kepada seberapa besar penduduknya dapat mempertahankan
kondisi sumberdaya alam, termasuk energi dan air, dan
lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.
(Brookfield and Jeffers 1990; Hein 1990),
mengungkapkan bahwa kesukaran atau ketidak mampuan
untuk mencapai skala ekonomi (Economic of scala) yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha
produksi, dan transportasi, sebagai faktor yang turut
menghambat pembangunan hampir di semua pulau-pulau
kecil di dunia.
Pengembangan pulau-pulau kecil memiliki
karakteristik khusus karena pulau-pulau ini pada umunya

137
memiliki sumberdaya alam, aspek lingkungan, dan budaya
yang khas. Beberapa karakteristik ekosistem pulau-pulau
kecil yang dapat merupakan kendala bagi pembangunan
adalah ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan
sarana dan prasarana menjadi sangat mahal, dan sumber daya
manusia yang andal menjadi langka (Siregar 2008). Lebih
lanjut diuraikan bahwa Luas pulau yang kecil itu sendiri
bukanlah suatu kelemahan jika barang dan jasa yang
diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya hanya
terdapat dipulau tersebut. Akan tetapi begitu jumlah
penduduk meningkat secara drastis maka diperlukan barang
jasa serta besar yang berbeda jauh dari pulau tersebut.
Mengingat karakteristiknya yang unik maka
pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan pendekatan
tersendiri dan berbeda dengan pulau besar. Di masa lalu,
perhatian untuk membangun pulau-pulau kecil sangat minim
bahkan hampir tidak tersentuh oleh kegiatan pembangunan.
Untuk itu dalam membangun pulau-pulau kecil disamping
pengembangan untuk investasi, juga perlu diupayakan
program pemberdayaan masyarakat yang ada di sana, seperti
fasilitasi dan peningkatan sarana pendidikan, kesehatan,
pengadaan listrik (tenaga surya), pengadaan alat desaltinasi,
alternative livehood, bantuan sarana informasi dan
telekomunikasi (Lasabuda 2013).

138
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Dorothy L., Kelly M. Craft, and Steven D.
Townsend. 2016. “Infant Food Applications of
Complex Carbohydrates: Structure, Synthesis, and
Function.” Carbohydrate Research.
Adam, Felecia P. 2017. “Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Di Wilayah Pulau Kecil ; Kontribusi Faktor
Yang Mempengaruhinya.” Jurnal Pengembangan
Pulau Kecil (September).
Ahmad, Ahfandi, Rahmadanih, and Muhammad Saleh S.
Ali. 2017. “Patterns of Food Consumption and
Production of Mountainous Community in Sinjai
District , South Sulawesi Province , Indonesia.”
International Journal of Agriculture System (IJAS)
Patterns 5(1):90–100.
Aiking, H., de Boer, J., & Vereijken, J. M. 2006.
“Sustainable Protein Production and Consumption:
Pigs or Peas.” Journal of Chemical Information and
Modeling 53:1689–1699.
Ajedim. 2008. Pengertian Tekhnologi.
Al-Amin, Abul Quasem and Ferdous Ahmed. 2016. “Food
Security Challenge of Climate Change: An Analysis
for Policy Selection.” Futures (2015).
Alcamo, Joseph M., Petra Döll, Thomas Henrichs, Frank

139
Kaspar, Bernhard Lehner, Thomas Rösch, and Stefan
Siebert. 2003. “Development and Testing of the
WaterGAP 2 Global Model of Water Use and
Availability.” Hydrological Sciences 48(3):317–37.
Ali, M. Saleh S., A. Amrullah Majjka, and Darmawan
Salman. 2017. “Food Consumption and Production in
Tempe Lake, South Sulawesi, Indonesia.” Asian Ruarl
Study 1(1):43–52.
Alkhudri and Ahmad Tarmiji. 2011. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Khaldun : Menggapai Transformasi Sosial-
Edukatif Dan Kesadaran Humanis. Bogor: Edukati
Press.
Alkhudri, Ahmad Tarmiji, and Muhammad Zid. 2016.
Sosiologi Pedesaan, Teoritisasi Dan Perkembangan
Kajian Pedesaan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Alland, Alexander. 1975. “Adaptation.” Annual Review of
Anthropology 4:59– 73.
Allison, FH and F. Ellis. 2001. “The Livelihoods Approach
and Management of Small-Scale Fishers.” Marine
Policy 25:377–88.
Amaliah and Handayani. 2011. “Analisis Hubungan Proporsi
Pengeluaran Dan Konsumsi Pangan Dengan
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi Di

140
Kabupaten Klaten.” SEPA, ISSN : 1829-9946 7(2):110
– 118.
Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor. Bogor: Pusat
studi Kebijakan Pangan (PSKPG) IPB dan Pusat
Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Dinas
Ketahanan Pangan.
Anantanyu, Sapja. 2011. “Kelembagaan Petani : Peran
Dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya.” Sepa
7(2):102–9.
Anderson, T. 2008. Agrofuels and the Myth of the Marginal
Lands.
Aneftasari, Ica Rizki, Bustanul Arifin, and Yaktiworo
Indriani. 2016. “Determinan Pola Pangan Harapan
Pada Rumah Tangga Buruh Pengasin Ikan Di Pulau
Pasaran.” JIIA 4(3):301–8.
Anggara, Sahya. 2013. Pengantar Sistem Politik Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Anonimous. 2001. Program Kerja Pengembangan
Kewaspadaan Pangan.
Anonimous. 2011. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Badan Ketahanan Pangan. Jakarta.
Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok
Mendukung Swasembada Beras Prosiding Pekan
Serealia Nasional. Banten: Balai Pengkajian Teknologi

141
Pertanian Banten.
Arlin, Nadia Ariandika, Bustanul Arifin, and Ani Suryani.
2017. “Pola Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga
Petani Di Desa Ruguk Kecamatan Ketapang
Kabupaten Lampung Selatan.” J IIA 5(2):206–10.
Asep, Suryadi, Daniel Suryadarma, Sudarno Sumarto, and
Jack Molyneaux. 2006. Agricultural Demand Linkages
and Growth Multiplier in Rural Indonesia. SMERU
Research Institute.
Atmarita and YS Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi Dan
Kesehatan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Baliwati, YF. and K. Roosita. 2004. Sistem Pangan Dan Gizi
Dalam Pengantar Pangan Dan Gizi. edited by C. D.
(eds) YF Baliwati, A Khom- san. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Barigozzi, Matteo, Lucia Alessi, Marco Capasso, and
Giorgio Fagiolo. 2012. “The Distribution of Household
Consumption-Expenditure Budget Shares.” Structural
Change and Economic Dynamics 23(1):69–91.
Basir Bartos. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia
Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Basu Swasta and T. Hani Handoko. 1999. Manajemen

142
Pemasaran Modern.
Beller, W., P., D’ Ayala, and P. Hein. 1990. “Observations
and Recomendations of the Interoceanic Workshop.”
Pp. 365–95 in Sustainable development and
environmental management of small islands, edited by
W. P. Beller, D’Ayala, and P. Hein. Paris: Man and the
Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon
Publishing Group.
Bengen, B. G. 2003. “Definisi, Batasan Dan Realitas Pulau-
Pulau Kecil.” in Validasi jumlah Pulau-pulau dan
Panjang Garis Pantai di Indonesia. Jakarta.
Bennet, JW. 1976. The Ecological Transition: Cultural
Anthro Pology and Human Action. New York:
PergamonPress Inc.
Boer, R. and and A. R. Subbiah. 2005. Agriculture Drought
in Indonesia. p. 330–344.In V. S. Boken, A.P.
Cracknell, and R.L. Heathcote (Eds.). Monitoring and
Predicting Agricultural Drought: A global study.
Oxford Univ. Press.
Boucekkine, Raouf, Fabien Prieur, and Klarizze Puzon.
2016. “On the Timing of Political Regime Changes in
Resource-Dependent Economies.” European Economic
Review 85:188–207.
BPS. 2016. Kabupaten Mamuju Dalam Angka. Badan Pusat

143
Statistik Kabupaten Mamuju.
Bramasto, Ari. 2007. “Analisis Perputaran Aktiva Tetap Dan
Perputaran Piutang. Kaitannya Terhadap Return On
Assets Pada PT. POS Indonesia (PERSERO).
Bandung.” Jurnal Ekonomi Unikom 9(2):215–30.
Bratisda, Liana and B. Satyawan Wardana. 2005.
“Tantangan Peluang Pertanian DanKetahanan Pangan
Menghadapi Globalisasi Dan Permasalah
Lingkungan.” Pp. 71–95 in Prospek dan tantangan
Pertanian Indonesia di Era Globalisasi. Jakarta: Pt.
Agriculture Construction Company Limited.
Brigham, Eugene F. and Joul F. Houston. 2006. Fundamental
of Financial Management, Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan. Sepuluh. edited by Ali Akbar Yulianto.
Jakarta: PT Salemba Empat.
Brizga, Janis, Zoriana Mishchuk, and Anna Golubovska-
Onisimova. 2014. “Sustainable Consumption and
Production Governance in Countries in Transition.”
Journal of Cleaner Production 63:45–53.
Brookfield H and J. N. .. Jeffers. 1990. “An Approach to
Islands.” Pp. 23–33 in Sustainable development and
environmental management of small islands, edited by
W. P. Beller, D’Ayala, and P. Hein. Paris: Man and the
Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon

144
Publishing Group.
Bryson. 2013. What to Do When Stakeholder Matter : A
Guide to Stakeholder Identification and Techniques.
Washington, D.C : USA: oergetown University
Public Policy Institute.
Budi, S. 2008. Kemiskinan Dan Perlawanan Kaum Nelayan.
Malang: Laksbang Mediatama.
Budianto, Irmayanti Meliono. 2004. Ideologi Budaya.
Jakarta: Yayasan Kota Kita.
Bunch, Roland. 1991. Dua Tongkol Jagung: Pedoman
Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat.
edited by I. Moeliono. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Burchi, Francesco and Pasquale De Muro. 2016. “From Food
Availability to Nutritional Capabilities: Advancing
Food Security Analysis.” Food Policy 60:10–19.
Burnham, Morey and Zhao Ma. 2017. “Multi-Scalar
Pathways to Smallholder Adaptation.” World
Development.
Cambridge: The MIT Press.
Cambridge: The MIT Press.
Carletto, Calogero, Alberto Zezza, and Raka Banerjee. 2013.
“Towards Better Measurement of Household Food
Security : Harmonizing Indicators and the Role of

145
Household Surveys.” Global Food Security 2(1):30–
40.
Carner. 1984. Survival, Interdependence and Competition
among the Philippine Rural Poor in Peoplecentered
Development. Connecticut: Kumarian Press library of
management for developmen.
Chambers, Robert. 2006. “Vulnerability, Coping and Policy
(Editorial Introduction).” IDS Bulletin 37(4):33–40.
Churchill, Ellen. 1911. Influences of Geographic
Environment: On the Basis of Ratzel’s System of
Anthropo-Geography. New York: H. Holt and Co.
Collection cdl; americana.
Cohen, Boyd and Pablo Mu. 2015. “Sharing Cities and
Sustainable Consumption and Production :
Towards an Integrated Framework.” Journal of
Cleaner Production 1–11.
Colter, JM. 1984. “Masalah Perkreditan Dalam
Pembangunan Pertanian.” in
Creswell, John W. 2014. Research Design_ Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 4th ed.
California: SAGE Publications, Inc.
Dahuri, Rokhmin. 1998. “Pendekatan Ekonomi-Ekologis
Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan.” Pp.
832–42 in Prosiding Seminar dan Lokakarya Pulau-

146
pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta: Direktorat
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA
BPPT, CRMP USAID.
Dahuri, Rokhmin. 2003. “Paradigma Baru Pembangunan
Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Llmiah Guru Besar
Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan.” Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Kedua.
Jakarta: Kencana Pradana Media Group.
Daniel, Mohar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta:
PT Bumi aksara.
Daryanto. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Apollo.
David M, Johnson, and Frank P. Johnson. 2012. Dinamika
Kelompok: Teori Dan Keterangpilan. Jakarta: PT.
Indeks.
Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980. Economics and
Consumer Behavior. England: Cambridge University
Press.
Den Hartog. 1983. “Evaluation of Nutrition Education:
Assessment of the Social Context. In: Schuch B, Ed.
Evaluation of Nutrition Education in Third World
Communities.” Hans Huber Publishers Bern, Vienna
Nestle Found- Ation Publication Series 3:44–55.

147
DFID. 2000. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets.
London. Diamond, Jared. 2005. Collapse. Vol. 53.
New York: Viking Penguin. Dimyati, A. 2007.
Pembinaan Petani Dan Kelembagaan Petani. Malang.
Diposaptono, Subandono. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim
Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Bogor:
Penerbit Buku Ilmiah Populer.
Dubey, Rameshwar, Angappa Gunasekaran, Stephen J.
Childe, Thanos Papadopoulos, Samuel Fosso Wamba,
and Malin Song. 2016. “Towards a Theory of
Sustainable Consumption and Production: Constructs
and Measurement.” Resources, Conservation and
Recycling 106:78–89.
Durkheim, Emile. 1960. The Division of Labor in Society.
edited by G. Simpson. Illionis, USA: Noble Offset
Printer.
Elizabeth, Roosganda. 2015. “Peran Ganda Wanita Dalam
Mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di
Pedesaan.” Iptek Tanaman Pangan 3:59–68.
Ello, N. P. and P. Subandi. 1998. “Penghitungan Pulau-Pulau
Indonesia Suatu Upaya Menuju Pengklasifikasian
Pulau-Pulau Indoensia.” Pp. 12– 18 in Prosiding
Seminar dan Lokakarya Pulau-pulau Kecil Di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan

148
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP
USAID.
Fadilah, Zainal Abidin, and Umi Kalsum. 2014. “Pendapatan
Dan Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan Obor Di
Kota Bandar Lampung.” Jurnal Ilmu Ilmu Agribisnis
2(No. 1 Januari):71–76.
Fariyanti, Anzul Rifin, Siti Zahroh, and Bayu Krisnamurthi.
2012. Pangan Ikani, Pangan Rakyat Negara
Kepulauan. Jakarta: Departemen Agribisnis, FEM -
IPB dan PERHEPI, Safa Printing.
Faso, Burkina, Hugo R. Melgar-quinonez, Ana C. Zubieta,
Barbara Mknelly, Anastase Nteziyaremye, Maria
Filipinas D. Gerardo, and Christopher Dunford. 2006.
“Advances in Developing Country Food Insecurity
Measurement Household Food Insecurity and Food
Expenditure in Bolivia ,.” American Society for
Nutrition (3):1431–37.
Fathiya, Ujang Sumarwan, and Ikeu Tanziha. 2005.
“Analisis Pengetahuan Gizi Dan Produk Minuman Sari
Buah Kemasan Dihubungkan Dengan Merek Yang
Dikonsumsi Pada Mahasiswa IPB.” Media Gizi Dan
Keluarga 29(2):75–87.
Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau
Kecil, Makalab Disampaikan Pada Seminar Peluang

149
Lnvestasi Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia. Jakarta.
Firmansyah, Dede. 2018. “Analisis Pengeluaran Konsumsi
Rumah Tangga Di Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau
Tahun 2013-2017.” Pp. 28–37 in Peran Matematika,
Sains dan Teknologi dalam mencapai pembangunan
berkelanjutan (SDGs). Tangerang: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Foster and Anderson. 1986. Antropologi
Kesehatan (Terjemahan).
Frankel-Reed, J., Ilona Barbara, F.T., and S. P., Alfred, E., &
Mark. 2011. Integrating Climate Change Adaptation
into Development Planning. Eschborn: Deutsche
Geselischaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ).
Ganesan, Vedavinayagam. 2007. “An Analysis Of Working
Capital Management Efficiency In Telecommunication
Equipment.” 3(2):1–10.
Gilarso. 1993. Pengantar Ilmu Ekonomi : Bagian Makro.
Yogyakarta: Kanisius.
Goldfarb. 1985. “Nutrition Knowledge, Attitudes and
Practices of Runners.” nstitute of Health Professions
USA, 2,S11-S35.
Goldsmith, Arthur A. and Derick W. Brinkerhoff. 1990.
Institutional Sustainability in Agriculture and Rural
Development: A Global Perspective. New York:

150
Praeger Publishers.
Goldstein, Michael. 2006. “Subjective Bayesian Analysis :
Principles and Practice Applied Subjectivism.”
Bayesian Analysis 1(3):403–20.
Grimle. 1998. Stakeholder Methodologies in Natural
Resources Managemen.
Guba, Egung G. 1990. “The Paradigm Dialog.” edited by E.
G. Guba. London: SAGE Publications, Inc.
Hanafie, Rita. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. I.
Yogyakarta: Andi. Handoko, Sugiarto, and Syaukat.
2008. Keterkaitan Perubahan Iklim Dan
Hardesty. 1977. Ecological Anthropology. New York: Mc
Graw-Hill. Hardinsyah, Briawan D, Retnaningsing,
and Wijaya R. Herawati T. 2002.
Hardono, GS. 2012. “Analisis Ketahanan Pangan
Rumahtangga Petani Di Beberapa Provinsi.” Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Harper, Laura J., Brady J. Deaton, and Judy A. 1986. Food,
Nutrition and Agriculture. edited by Suhardjo. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Hartog, A. P. den, W. A. van Staveren, and Brouwer I. D.
2006. Food Habits and Consumption in Developing
Countries: Manual for Field Studies. edited by A. P.
den Hartog, W. A. van Staveren, and B. I. D.

151
Wageningen, Nederlands: Wageningen Academic
Publishers.
Hayati, Siti Amanah, Aida Vitayala Hubeis, and Prabowo
Tjitropanoto. 2012. “Kemampuan Perempuan Tani
Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Rumah
Tangga.” Sosiohumaniora 18(3):230–36.
Hehanusa, P. E. and G. S. Haryani. 1998. “Ketersediaan Air
Sebagai Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet Di
Pulau Biak, Lrian Jaya.” Pp. 87– 89 in Prosiding
Seminar dan Lokakarya Pulau-pulau Kecil Di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA BPPT, CRMP
USAID.
Hein, P. .. 1990. “Economic Problems and Prospects of
Small Islands.” Pp. 35–42 in Sustainable development
and environmental management of small islands,
edited by W. P. Beller, D’Ayala, and P. Hein. Paris:
Man and the Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and
The Parthenon Publishing Group.
Heldi. 2016. “Pola Konsumsi Masyarakat Postmodern (Suatu
Telaah Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat
Postmodern).” Al-Iqtishad: Journal of Islamic
Economics 1(1).
Helmi, Alfian and Arif Satria. 2012. “Strategi Adaptasi

152
Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis.” MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA 16(1):68–78.
Hendrawati, Lucky Zamzani, Sri Meiyenti, and Yunarti.
2015. “Keseharian Isteri Nelayan: Studi Antropologi
Tentang Pola Nafkah Pada Komunitas Nelayan Di
Nagari Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara,
Kabupaten Agam.” Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial
Budaya 16(2):116.
Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar
Swadaya. Herrick, Jeffrey E. 2000. “Soil Quality: An
Indicator of Sustainable Land
Hidayah, Zulyani. 2010. “Rasa Dan Keanekaragaman Citra
Rasa Nusantara.” in Rejinvensi Antropologi Indonesia.
Makalah dalam Sarasehan Nasional Antropologi 2010.
Hidayati, D. S. 2014. “Peningkatan Relasi Sosial Melalui
Social Skill Therapy Pada Penderita Schizophrenia
Katatonik.” Jurnal Online Psikologi 2(17– 28).
Hidayati, R. 2001. Masalah Perubahan Iklim Di Indonesia
Beberapa Contoh Kasus. Bogor.
Howard, D. Leathers and Phillips Foster. 2004. The World
Food Problem: Tackling the Causes of Undernutrition
in the Third World. THIRD. Lynne Rienner Publisher.
Hubbard, Michael, Nicoletta Merlo, Simon Maxwell, and
Enzo Caputo. 1992. “Regional Food Security

153
Strategies.” Food Policy 17(1):7–22.
Hubeis, Aida Vitayala S. 1989. Peranan Sosial Ekonomi
Kaum Wanita Di Dua Area Pengembangan Wilayah
Sulawesi, Sanrego Dan Gu-Mawasangka : Laporan
Akhir. Bogor: Kerjasama Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat (LPPM), Institut Pertanian Bogor (IPB)
dengan University of Guelph, Canada dan Ditjen
Bangda, Depdagri, Jakarta.
Husodo, Siswono Yodo. 2005. “Penguatan Organisasi Dalam
Mengantisipasi Globalisiasi Pertanian.” Pp. 151–65 in
Prospek dan tantangan Pertanian Indonesia di Era
Globalisasi. Jakarta: Pt. Agriculture Construction
Company Limited.
Ibarrola-Rivas, M. J. &. and L. Galicia. 2017. “Re-Thinking
Food Security in Mexico: Discussing the Need for
Sustainable Transversal Policies Linking Food
Production and Food Consumption.” Investigaciones
Geográficas 94(52):1–16.
Idrus. 1996. Kamus Umum Baku Bahasa Indonesia.
Surabaya: Bintang Usaha.
IFPRI. 2000. The Life Cycle of Malnutrition Eradicating
Malnutrition : Income Growth Or Nutrition Programs.
Inounu, Ismeth, E. Martindah, R. A. Saptati, and Dan A.
Priyanti. 2007. “Potensi Ekosistem Pulau-Pulau Kecil

154
Dan Terluar Untuk Pengembangan Usaha Sapi
Potong.” Wartazoa 17(4):156–64.
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007.
“Summary for Policy Makers. Climate Change 2007:
Impacts, Adaptation and Vulnerability.” Pp. 7–22 in
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel for Climate Change (IPCC, edited by C. M.L.,
Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J., &
Hanson. Cambridge: Cambridge University Press.
Jakarta: Erlangga.
Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
Jay, Robert R. 1969. Javanese Villagers: Social Relation in
Rural Modjokuto.
Jerome, Norge W., Randy F. Kandel, and Gretel H. Pelto.
1980. Nutritional Anthropology. edited by N. W.
Jerome, R. F. Kandel, and G. H. Pelto. United States of
America: edgrave Publishing Company.
Jim Ife. 2002. Community Development, Commuity – Base
Alternatives in an Age of Globalisation. 2nd ed.
Melbourne: Pearson Eucation Australia Pty Limited.
Johnson DW, Johnson RT. 1985. “A Meta Analysis and
Synthesis of Nutrition Education Research.” Journal of
Nutrition Education 1–67.
Jonkutė, Gintė and Jurgis K. Staniškis. 2016. “Realising

155
Sustainable Consumption and Production in
Companies: The SURESCOM Model.” Journal of
Cleaner Production (Jonkutė, G., Staniškis, J. K.
(2016). AC SC. Journal of Cleaner
Production.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2016.03.176).
Joseph S. Roucek, Roland L. Warren. 1984. Pengantar
Sosiologi. edited by
Kamsono. 2002. Sosiologi Pendidikan. Serang: Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa Press.
Karsyno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kementerian Perdagangan. 2013. Analisis Dinamika
Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia.
Kessing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu
Perspektif Kontemporer.
Khomsan, Ali. 2004. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehatan.
Jakarta: PT Raja Grafindo. Persada.
Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor. Bogor: Pusat
Antar Universitas Pangan dan. Gizi, Institut Pertanian
Bogor.
Kluckhon, Clyde. 1984. “Cermin Bagi Manusia.” Pp. 69–
109 in Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya.
Jakarta: Rajawali Pers.
Koblinsky, Y. M, Timyan, and Jill G. 1997. Kesehatan

156
Wanita Sebuah Perspektif Global. edited by Utarini A
(Alih Bahasa). Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropolngi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi Dan Jaringan
Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.
Kusnadi. 2004. Keberdayaan Nelayan Dan Dinamika
Ekonomi Pesisir.
Kusnadi. 2008. Akar Kemiskinan Nelayan. Kedua. edited by
Retno Suffatni.
Landis, Paul H. 1948. Pengantar Sosiosiologi Pedesaan Dan
Pertanian.
Lasabuda, Ridwan. 2013. “Pembangunan Wilayah Pesisir
Dan Lautan Dalam Perspektif Negara Kepulauan
Republik Indonesia.” Jurnal Ilmiah Platax 1(2):92–
101.
Legg, Keith R. 1983. Tuan, Hamba, Dan Politisi. Jakarta:
Sinar Harapan.
Liu, Peng and Liang Ma. 2016. “Food Scandals, Media
Exposure, and Citizens’ Safety Concerns: A Multilevel
Analysis across Chinese Cities.” Food Policy 63:102–
11.
Management?” Applied Soil Ecology 15(1):75–83.

157
Mao, Rui and Jianwei Xu. 2014. “Population Aging,
Consumption Budget Allocation and Sectoral Growth.”
China Economic Review 30:44–65.
Masyhuri M. 1999. “Usaha Penangkapan Ikan Di Jawa Dan
Madura: Produktivitas Dan Pendapatan Buruh
Nelayan, Masyarakat Indonesia.” XXIV(1).
Mawardi. 2003. “Pola Adaptasi Masyarakat Petani Terhadap
Perubahan Peruntukan Lahan Di Desa Karangrejo
Sungkai Selatan Lampung Utara.” Institut Pertanian
Bogor.
Maxwell, Daniel G. 1996. “Measuring Food Insecurity: The
Frequency and Severity of ‘Coping Strategies.’” Food
Policy 21(3):291–303.
Maxwell, Simon and Timothy R. Frankenberger. 1992.
Household Food Security : Concepts, Indicators,
Measurements ; a Technical Review. New York:
International Fund for Agricultural Development.
Menike, L. M. C. S. and K. A. G. P. Keeragala Arachchi.
2016. “Adaptation to Climate Change by Smallholder
Farmers in Rural Communities: Evidence from Sri
Lanka.” Procedia Food Science 6(Icsusl 2015):288–
92.
Meskhia, I. E. 2016. “Food Security Problems in Post Soviet
Georgia.” Annals of Agrarian Science 14(2):46–51.

158
Mettzger, M. J., M. D. A. Rounsevell, L. Acosta Michlik, R.
Leemans, and D. Schroter. 2006. “The Vulnerability of
Ecosystem Services to Land Use Change.” Agriculture
Ecosystem and Environment 114(1):68–85.
Migrasi Dan Konsumsi Rumah Tangga Di Daerah Asal
Migrasi Terkait Kemiskinan Dan Kerentanan Pangan
(Studi Kasus Indramayu).” Jurnal Organisasi Dan
Manajemen 7(1):21–37.
Morrison, Kathryn T., Trisalyn A. Nelson, and Aleck S.
Ostry. 2011. “Methods for Mapping Local Food
Production Capacity from Agricultural Statistics.”
Agricultural Systems 104(6):491–99.
Mosher, Arthur T. 1991. Getting Agriculture Moving. New
York: Frederick A. Praeger, Inc. Publishers.
Mubyarto. et. el. 1984. Nelayan Dan Kemiskinan; Studi
Antropologi Di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali
Press.
Mudanijah, Siti. 2004. "Pola Konsumsi Pangan” Dalam
Pengantar Pangan Dan Gizi. Penebar Swadaya.
Muflikhati, I. 2010. “Kondisi Sosial Ekonomi Dan Tingkat
Kesejahteraan Keluarga: Kasus Di Wilayah Pasisir
Jawa Barat.” Jurnal Keluarga 2–10.
Muhilal, F. Jala. and Hardinsyah. 1998. “Angka Kecukupan
Gizi Yang Dianjurkan.” in Widyakarya Nasional

159
Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Nelayan Di Baubau.” SOSIO KONSEPSIA 8(2):61–71.
Nesbitt, Andrea, M. Kate Thomas, Barbara Marshall, Kate
Snedeker, Kathryn Meleta, Brenda Watson, and
Monica Bienefeld. 2014. “Baseline for Consumer Food
Safety Knowledge and Behaviour in Canada.” Food
Control 38(1):157–73.
Noromiarilanto, Fanambinantsoa, Katja Brinkmann,
Miadana H. Faramalala, and Andreas Buerkert. 2016.
“Assessment of Food Self-Sufficiency in Smallholder
Farming Systems of South-Western Madagascar Using
Survey and Remote Sensing Data.” Agricultural
Systems 149:139–49.
Nurdin, M. Fadhil. 2015. Perubahan Pola-Pola Produksi Dan
Konsumsi Yang Berkelanjutan: Dimensi Sosial Politik.
Jatinangor.
ODA. 1995. Guidance Note on How to Do Stakeholder
Analysis of Aid Project and Programmes. Bonn:
Oversease Development Administration.
oekartawi. 2002. Ilmu Usahatani. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan
Aplikasinya: Untuk Keluarga Dan Masyarakat.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

160
Dediknas.
Ongkosongo, 0. S. R. 1998. “Permasalahan Dalam
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.” Pp. H34–37 in
Prosiding Seminar dan Lokakarya Pulau-pulau Kecil
Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan.
Orlove, B. 2009. “The Past, the Present and Some Possible
Futures of Adaptation.” Pp. 131–63 in Adapting to
climate change: Thresholds, values, governance, edited
by I. W. N. Adger, Lorenzoni, and K. O’Brien.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Osman, Ismah, Suriati Osman, Imani Mokhtar, and Fatimah
Setapa. 2014. “Family Food Consumption : Desire
towards Convenient Food Products.”
Ostrom, Elinor. 2009. Institutional Analysis And
Development: Elements Of The Framework In
Historical Perspective. Vol. II.
Pioke, and Sahrain Bumulo. 2015. “Pola Adaptasi Ekologi
Dan Strategi Nafkah Rumahtangga Di Desa
Pangumbahan.” Jurnal Sosiologi Pedesaan 03(03):85–
90.
Prabowo, Rossi. 2010. “Kebijakan Pemerintah Dalam
Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Indonesia.” Media
Agro 6(2):62–73.

161
Procedia - Social and Behavioral Sciences 121(September
2012):223– 31.
Produksi Pangan Strategis. Telaah Kebijakan Independen
Bidang Perdagangan Dan Pembangunan Oleh
Kemitraan/Partnership Indonesia. Bogor: SEAMEO
BIOTROP.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, edited
by Faisal
Pruitt, D. and P. Carnevale. 1993. Negotiation in Social
Conflict. California: Brooks/Cole Publishing.
Pusat Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Jakarta.
Rachman, H. P. .. 2001. Kajian Pola Konsumsi Dan
Permintaan Pangan Di Kawasan Timur Indonesia.
Bogor.
Rachman, Handewi P. S. and Mewa Ariani. 2008.
“Penganekaragaman Konsumsi Pangan Di Indonesia :
Permasalahan Dan Implikasi Untuk Kebijakan Dan
Program.” Analisis Kebijakan Pertanian 6(2):140–54.
Readings in Cultural Anthropology 14th Edition. Vol. 53.
Ritzer, George and Dauglass J. Goodman. 2010. Teori
Sosiologi Modern.
Riuntuh, Cornelis and Miar. 2005. Kelembagaan Dan
Ekonomi Rakyat. Pertama. Yogyakarta: Badan
Penerbitan Fakultas Ekonomi & Bisnis, UGM.

162
Riyadi H. 1996. Gizi Dan Kesehatan Dalam Pembangunan
Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rodriguez-Illera, Marta, Costas V. Nikiforidis, Atze Jan van
der Goot, and Remko M. Boom. 2016. “Exergy
Efficiency from Staple Food Ingredients to Body
Metabolism: The Case of Carbohydrates.” Submitted
for Publication.
Rusyantia, Anggun, Dwi Haryono, and Eka Kasymir. 2010.
“Kajian Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan
Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi Masyarakat Di
Kabupaten Lampung Selatan.” Pertanian Terapan
10(3):171–84.
Rutherford, Malcolm. 1984. “Thorstein Veblen and the
Processes of Institutional Change.” History of Political
Economy 16(3):331–48.
S. Astuti. 2012. Pola Relasi Sosial Dengan Buruh Tani
Dalam Produksi Pertanian. Medan.
S. N. Eisenstadt, Luis Roniger. 1984. Patrons, Clients and
Friends: Interpersonal Relations and the Structure of
Trust in Society. Cambridge: Cambridge University
Press.
S. Simamora. Solo: Bina Aksara.
Safitri, A., D. Pangestuti, and R. Aruben. 2017. “Hubungan
Ketahanan Pangan Keluarga Dan Pola Konsumsi

163
Dengan Status Gizi Balita Keluarga Petani.” E-Journal
Kesehatan Masyarakat 5:120–28.
Said, Mahiah, Faridah Hassan, Rosidah Musa, and N. A.
Rahman. 2014. “Assessing Consumers’ Perception,
Knowledge and Religiosity on Malaysia’s Halal Food
Products.” Procedia - Social and Behavioral Sciences
130:120–28.
Sakuntaladewi, Niken; Sylviani. 2014. “Kerentanan Dan
Upaya Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap
Perubahan Iklim (Vulnerability and Adaptation of
Community at the Coastal Area to (Climate Change).”
Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan
11(4):281–93.
Saleha, Qoriah. 2005. “Kajian Pola Dan Kebiasaan Makan
Masyarakat Cireundeu Di Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi, Kabupaten Bandung.” Epp
2(1):22–29.
Saleha, Qoriah. 2013. “PESISIR KOTA BALIKPAPAN
(Social Structure of Fishermen Communities in
Balikpapan Coastal Zone).” 21(1):67–75.
Saliem, Handewi Purwati. 2002. Analisis Kerawanan Pangan
Wilayah Dalam Perspektif Desentralisasi
Pembangunan. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan

164
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian.
Salman, Darmawan. 2012. Sosiologi Desa : Revolusi Senyap
Dan Tarian Kompleksitas,. Makassar: Penerbit
Ininnawa.
Santoso, Slamet. 2009. Dinamika Kelompok. Ketiga.
Jakarta: Bumi Aksara. Saptanto, Subhechanis,
LIndawati, and Armen Zllham. 2011. “Analisis Pola
Sastrawidjaja and Manadiyanto. 2002. “Nelayan Nusantara.”
Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Satria, Arif. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan :
Formasi Sosial Dan Mobilitas Nelayan. 1st ed.
Bandung: Humaniora Utama Press.
Satria, Arif. 2009a. Ekologi Politik Nelayan. 1st ed. edited
by A. Solihin.
Satria, Arif. 2009b. Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat. Bogor:
Institut Pertanian Bogoro.
Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir.
Jakarta: Obor Buku.
Satria, Yoshiaki Matsuda, and Masaaki Sano. 2006.
“Contractual Solution to the Tragedy of Property Right
in Coastal Fisheries.” Marine Policy 30(3):226–36.
Scooness, Ian. 1998. Sustainable Rural Livelihoods: A

165
Framework for Analysis. 72. Sussex, UK.
Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani Tani :
Pergolakan Dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kamu Tani. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Sen, Amartya. 1981. Overty and. Famines. An Essay on
Entitlement and Deprivation. New York: Oxford
University Press.
Siregar, Chairil N. 2008. “Analisis Potensi Daerah Pulau-
Pulau Terpencil Dalam Rangka Meningkatkan
Ketahanan, Keamanan Nasional, Dan Keutuhan
Wilayah NKRI Di Nunukan Kalimantan Timur.”
Sosioteknologi 13(April):345–68.
Skirble, Rosanne. 2007. Climate Change Threatens World
Food Production , Says New Study. Washington, DC.
Smil, V. 2000. Feeding the World: A Challenge for the 21st
Century.
Soehardjo. 2006. Pangan Gizi Dan Pertanian. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Soenardi, Tuti. 2005. Variasi Makanan Balita. Ketujuh.
Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama.
Soerjono, Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum.

166
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soerjono, Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar
Ringkas. Jakarta: CV Rajawali.
Spradley, James and David W. McCurdy. 2011. Conformity
and Conflict
Stake, Rober E. 2005. “Studi Kasus.” Pp. 299–315 in
Handbook Of Qualitative Research, edited by Norman
K Denzim; and Y. S. Lincoln. California: SAGE
Publications, Inc.
Subejo. 2009. “Adaptasi Pertanian Dalam Pema-Nasan
Global.” Retrieved March 9, 2018
(http://subejo.staff.ugm.ac.id/?p=108).
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. edited by Suhardjo.
Bogor: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Suhardjo. 1995. “Mewaspadai Pergeseran Pola Konsumsi
Pangan Penduduk Perkotaan.” Majalah Pangan, Bulog
No. 22 Vol. VI.
Sukirno, Sadono. 1997. Pengantar Teori Mikro Ekonomi.
kedua. Jakarta: RajaGrafiindo Perkasa.
Sukiyono, Ketut, Indra Cahyadinata, and Sriyoto. 2016.
“Status Wanita Dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Nelayan Dan Petani Padi Di Kabupaten Muko-Muko
Provinsi Bengkulu.” Jurnal Agroekonomi 26(2):191–

167
207.
Sunarti, Euis, Nia Nuryani, and Neti Hernawati. 2009.
“Hubungan Antara Fungsi Adaptasi, Pencapaian
Tujuan, Integrasi, Dan Pemeliharaan Sistem Dengan
Kesejahteraan Keluarga.” Jurnal Imu Kelautan Dan
Konstruksi 2(1):1–10.
Suryana, Ahmad. 2004. Ketahanan Pangan Di Indonesia. 7th
ed. Jakarta: Pusat Studi Industri Dan UKM,
Universitas Trisakti.
Suryana, Ahmad. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan
Nasional. Bogor. Tanzil. 2019. “Peranan Jaringan
Sosial Dalam Penanganan Kemiskinan
Tashakkori, A., C. Teddlie, and (ed.). 2003. Handbook of
Mixed Methods in Social & Behavioral Research.
California: Thousand Oaks, SAGE Publications, Inc.
Tilman, D., K. G. Cassman, P. A. Matson, R. Naylor, and R.
Polasky. 2002. “No Title.” Nature 418:671–677.
Tridakusumah, Ahmad Choibar, Mira Elfina, Dyah Ita
Mardiyaningsih, Jepri
UK: Natural Resources Institute.
Undang-Undang Nomor 18. 2012. Tentang Pangan.
Pemerintah Republik Indonesia.
Universitas Indonesia Press.
Uphoff, Milton J. Esman and Norman T. 1984. Local

168
Organisations. Intermediaries in Rural Development.
New York: Cornell University Press.
Uphoff, Norman Thomas. 1986. Local Institutions
Development. New York: Kumarian Press library of
management for developmen.
Wahyono A. dkk. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Walgito, Bimo. 1994. Psikologi Sosial Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Fakultas. Psikologi UGM.
Wan, Guang Hua. 2005. “Convergence in Food
Consumption in Rural China: Evidence from
Household Survey Data.” China Economic Review
16(1):90–102.
Warsilah, Henny. 2011. Penerapan Kebijakan Ketahanan
Pangan Bagi Pencapaian Kedaulatan Pangan. Jakarta.
Warsilah, Henny. 2013. “The Rural-Coastal Communities
Foodhabits In Supporting Food Security: The Case Of
Bahoi And Bulutui Villages At North Minahasa.”
Masyarakat & Budaya 15(1):97–130.
Watts, Michael J. and Hans G. Bohle. 1993. “Famine and the
Space of Vulnerability1 Hunger ,.” GeoJournal
30(2):117–25.
Wenkam. 1979. “Nutritional Aspects Of Some Tropical
Plant Foods.” Tropical Food: Chemistry and Nutrition

169
341–50.
White, James M. and David M. Klein. 2007. Family
Theories, An Introduction. 3rd Editio. New Delhi:
Saga Publication, Inc.
Widodo. 2006. “Migrasi Internasional Tenaga Kerja
Pertanian Di Kabupaten Bangkalan.” Pamator 3(2):65–
78.
Widodo. 2011. “Strategies of Sustainable Livelihood for
Poor Household in Coastal Area.” MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA 15(1):10–20.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Yogyakarta: Liberty.
Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang.
Yogyakarta: LKIS.

170
NAMA LENGKAP PENULIS : Dr. Sulaiman Teddu, SP.,
M.Si

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Desa


Attang Salo, Kecamatan Marioriawa
Kabupaten Soppeng Propinsi
Sulawesi Selatan pada tanggal 6
oktober 1977. sebagai anak kedua
dari dua bersaudara pasangan Teddu
(almarhum) dan Hj. Nadirah.
Pendidikan formal yang pernah
ditempuh Penulis antara lain
Sekolah Dasar Inpres Tarailu selesai
tahun 1989, Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri I
Batu-Batu selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Kejuruan
Pertanian Yayasan Pendidikan Beringin Indonesia (SMK. P
– YAPBI) kabupaten Polmas selesai tahun 1997. Strata satu
(S1) Program Studi Sosial ekonomi Pertanian STIP
Tanratupattanabali Mamuju Lulus tahun 2003, Strata dua
(S2) Jurusan Agrbisnis pada Program Pascasarjana
Universitas Islam Makassar lulus tahu 2013 dan Strata tiga
(S3) program studi Ilmu-ilmu pertanian pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus
tahu 2019.
Selama menempuh pendidikan, penulis aktif mengikuti
kegiatan kemahasiswaan baik ditingkat perguruan Tinggi
maupun tingkat regional. Penyusun juga aktif di organisasi
kemahasiswaan yaitu : Pengurus Senat Mahasiswa STIP-
TPB Mamuju periode 1998/1999, 1999/2000 dan 2000/2001
serta anggota Badan Perwakilan Mahasiswa 2001/2002.
Selain itu Penyusun juga aktif pada kegiatan organisasi
external kampus seperti PMII sebagai Sekretaris I Pengurus
Cabang Mamuju periode 2001/2002, IMDI sebagai ketua
umum Pengurus Komisariat STIP – TPB Mamuju, Sebagai

171
Sekretaris Umum Pengurus Wilayah IMDI Provinsi Sulawesi
Barat sampai 2005, Ketua Umum Komunitas Pemuda
Sampaga periode 2006 – 2010, Wakil Ketua Pengurus
Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Provinsi Sulawesi Barat
Periode 2011 –2014, Sekretaris Umum Pengurus Wilayah
Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Propinsi Sulawesi
Barat Masa Khidmat 2012-2017, dan Wakil Ketua Bidang
OKK DPD I KNPI Provinsi Sulawesi Barat periode 2014-
2017, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Sarjana
Nahdlatul Ulama (ISNU) Propinsi Sulawesi Barat Masa
Khidmat 2018-sekarang.
Tahun 2005 diangkat sebagai Dosen Kopertis Wilayah
IX Sulawesi yang dipekerjakan di Sekolah Tinggi Ilmu-ilmu
Pertanian Tanratupattanabali Mamuju. Hingga sampai
perubahan bentuk dari STIP Tanratupattanabali menjadi
Universitas Tomakaka, penulis masih aktif sebagai dosen
DPK.
Karya Ilmiah Penulis : Mahasiswa dan Tanggung jawab
Sosial (2002), Margin Pemasaran Kakao pada UD Mario
Marennu (2003), Buku Ajar Metode Statistika (2004), Buku
Ajar Metode Penulisan Karya Ilmiah (2004), Buku Ajar
Metode Penelitian Ilmiah, Riset dan Operasional (2005).
Pengantar Ilmu Pertanian (Alauddin Press, 2015), Buku
Ajar Sosiologi Pertanian (2019).

172

Anda mungkin juga menyukai