Anda di halaman 1dari 297

1

2
STRATEGI KERJA SAMA
ANTARDAERAH SELINGKAR
WILIS PROVINSI JAWA TIMUR

ARDHANA JANUAR MAHARDHANI

i
STRATEGI KERJA SAMA
ANTARDAERAH SELINGKAR WILIS
PROVINSI JAWA TIMUR
CV. PENERBIT QIARA MEDIA
296 hlm: 15,5 x 23 cm
Copyright @2022
Ardhana Januar Mahardhani

ISBN: 978-623-555-179-1
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2021

Penulis:
Ardhana Januar Mahardhani

Editor: Tim Qiara Media


Layout: M Rasyid Dwi Akbar
Desainer Sampul: M Nauval Saputra
Gambar diperoleh dari www.google.com
Cetakan Pertama, 2022

Diterbitkan oleh:
CV. Penerbit Qiara Media - Pasuruan, Jawa Timur
Email: qiaramediapartner@gmail.com
Web: qiaramedia.wordpress.com
Blog: qiaramediapartner.blogspot.com
Instagram: qiara_media

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip


dan/atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin
tertulis penerbit.
Dicetak Oleh CV. Penerbit Qiara Media
Isi di luar tanggung jawab percetakan

ii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

a. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (Satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh tahun dengan atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima miliar
rupiah).
b. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas rahmat, hidayah, dan karunia Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik.
Penulis berharap buku Strategi Kerja Sama
Antardaerah Selingkar Wilis Provinsi Jawa Timur ini dapat
menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembacanya
serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Terimakasih
disampaikan kepada orang tua dan kerabat penulis, serta semua
pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penyusunan buku baik itu dalam hal ejaan dan tata bahasa,
materi, maupun tata letak. Untuk itu, sudilah kiranya para
pembaca dapat memaklumi dan memberikan kritik serta saran
yang membangun agar penulis dapat menjadi lebih baik dalam
penyusunan buku berikutnya. Semoga buku ini dapat memberi
manfaat bagi bagi semua pihak yang membutuhkan.

November, 2021
Penulis

Ardhana Januar Mahardhani

iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................... iv
BAB I POLA SISTEM PEMERINTAHAN .................................... 1
1.1. Otonomi Daerah ..................................................................... 1
1.2. Pembangunan Makro .............................................................. 3
1.3. Kerja Sama Antardaerah ......................................................... 5
1.4. Pembahasan Kerja Sama Antarpemerintah ............................. 7
1.5. Proses Kerja Sama Antardaerah ............................................ 11
1.6. Kerja Sama Antardaerah di Provinsi Jawa Timur ................. 15
1.7. Mengenal Provinsi Jawa Timur ............................................ 17
BAB II ADMINISTRASI PUBLIK DALAM PROSES KERJA
SAMA ............................................................................................... 32
2.1. Pengertian Administrasi Publik ............................................ 33
2.2. Paradigma New Public Service ............................................. 42
BAB III KERJA SAMA ANTARDAERAH .................................. 49
3.1. Konsep Kerja sama Antardaerah........................................... 49
3.2. Urgensi Kerja sama Antardaerah .......................................... 51
3.3. Prinsip Kerja sama Antardaerah ........................................... 55
3.4. Model Kerja sama Antardaerah ............................................ 61
3.5. Pengertian Intergovernmental Management ......................... 67
3.6. Strategi Kerja sama Antardaerah .......................................... 74
BAB IV KERJA SAMA DALAM PERSPEKTIF ORGANISASI
.......................................................................................................... 81
4.1. Definisi Organisasi ............................................................... 81
4.2. Susunan Organisasi ............................................................... 84
BAB V PELAKSAAN DAN KESEPAKATAN ANTARDAERAH
DI SELINGKAR JAWA TIMUR .................................................. 93
BAB VI KAWASAN SELINGKAR WILIS PROVINSI JAWA
TIMUR ........................................................................................... 103
6.1. Kawasan Pegunungan Wilis ............................................... 103

v
6.2. Kabupaten Tulungagung ..................................................... 104
6.3. Kabupaten Trenggalek ........................................................ 107
6.4. Kabupaten Ponorogo .......................................................... 109
6.5. Kabupaten Madiun ............................................................. 112
6.6. Kabupaten Nganjuk ............................................................ 114
6.7. Kabupaten Kediri ................................................................ 117
BAB VII KERJA SAMA ANTARDAERAH DI SELINGKAR
WILIS............................................................................................. 120
7.1. Kerja sama Antardaerah di Selingkar Wilis ........................ 120
7.1.1. Kesekapatan Bersama tentang Kerja sama Pembangunan di
Wilayah Selingkar Gunung Wilis–Tunggal Rogo Mandiri
....................................................................................... 120
7.1.2. Perjanjian Kerja sama tentang Kerja sama Pembangunan
Infrastruktur Jalan di Wilayah Selingkar Gunung Wilis 166
7.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerja sama Antardaerah
di Selingkar Wilis ............................................................... 181
7.2.1. Egoisme Daerah............................................................. 181
7.2.2. Partisipasi Daerah .......................................................... 184
7.2.3. Koordinasi Antardaerah ................................................. 186
7.2.4. Keberlanjutan Kerja sama .............................................. 190
7.3. Eksisting Strategi Kerja sama Antardaerah Selingkar Wilis 193
BAB VIII FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
KERJA SAMA .............................................................................. 204
8.1. Pelaksanaan Kerja sama Antardaerah di Selingkar Wilis.... 204
8.1.1. Kesepakatan Bersama tentang Kerja sama Pembangunan di
Wilayah Selingkar Gunung Wilis–Tunggal Rogo Mandiri
....................................................................................... 205
8.1.2. Perjanjian Kerja sama tentang Kerja sama Pembangunan
Infrastruktur Jalan di Wilayah Selingkar Gunung Wilis 215
8.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerja sama Antardaerah di
Selingkar Wilis ................................................................... 225

vi
8.2.1. Egoisme Daerah............................................................. 225
8.2.2. Partisipasi Daerah .......................................................... 227
8.2.3. Koordinasi Antardaerah ................................................. 229
8.2.4. Keberlanjutan Kerja sama .............................................. 230
8.3. Konsep dan Penerapan Kerja Sama Antardaerah................. 233
8.4. Strategi Kerja sama Antardaerah Selingkar Wilis ............... 239
8.5. Proposisi Minor dan Mayor Strategi Kerja sama Antardaerah
Selingkar Wilis ................................................................... 249
BAB IX STRATEGI PELAKSAAN KERJA SAMA, SERTA
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT ...................... 250
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 253

vii
BAB I
POLA SISTEM PEMERINTAHAN

Pola lama dalam sistem pemerintahan dan pembangunan


di daerah yang sangat sentralistis dan mayoritas didominasi oleh
pemerintah pusat mulai ditinggalkan sejak disahkan Ketetapan
MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. Pemberian
otonomi daerah ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas,
efisiensi, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia.
Keberadaan otonomi menuntut daerah untuk secara
berkelanjutan mencari sumber alternatif pembiayaan baik dalam
pembangunan ataupun dalam aktivitas daerah lainnya (Christia
& Ispriyarso, 2019).
1.1. Otonomi Daerah
Tentang otonomi daerah yang dimaksud, Smith
berpendapat bahwa local government is better able than central
government to respond to change in demand, to experiment and
to anticipate future changes. It provides a form of government in
which people form non producer groups can more easily
participate (Weiher & Smith, 1987). Dalam pendapatnya,
Weiher & Smith memaknai pemerintahan daerah sebagai daerah
otonom yang mampu merespon tuntutan dari masyarakatnya,

1
melakukan kegiatan pembangunan dan program kesejahteraan,
serta selalu mengantisipasi setiap perubahan di masa mendatang.
Desentralisasi juga mempunyai added value karena dapat
mengembangkan nilai-nilai demokrasi, menciptakan distribusi
keadilan, dan dapat memanifestasikan stabilitas politik pada
semua level pemerintahan (Haeruddin, 2015).
Meskipun desentralisasi dirasa baik dalam mengakomodir
berbagai masukan ataupun saran yang muncul di masyarakat,
tetapi konflik dan pertentangan pasti ada dan tidak bisa
dihindari, baik antar masyarakat ataupun antar aktor politik, baik
yang terjadi antara elite politik di daerah ataupun antara elite
politik daerah dengan pemerintah pusat, termasuk di dalamnya
pada saat penyediaan public goods, seperti pendidikan,
kesehatan, dan penyediaan air bersih (Johnston et al., 1987).
Keberadaan public gooods sebagai bentuk layanan pemerintah
daerah yang harus ada kepada masyarakat nantinya juga akan
menjadikan indikator sebuah daerah dalam kegiatan
pembangunan, baik pembangunan fisik maupun manusia.
Menurut dimensi pendekatan dan koordinasi yang disebutkan
oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
pada dasarnya terdapat empat pendekatan dalam melaksanaan
kegiatan pembangunan. Empat pendekatan yang dimaksud
adalah makro, sektoral, regional, dan mikro.

2
1.2. Pembangunan Makro
Perencanaan pembangunan dengan pendekatan makro
adalah perencanaan pembangunan nasional yang dilakukan
secara menyeluruh, di dalamnya terkait dengan pertumbuhan
ekonomi dan perencanaan pembangunan. Perencanaan makro
sangat terkait dengan perencanaan sektoral dan regional,
sehingga keduanya juga harus diperhitungkan dengan cermat.
Perencanaan sektoral dilakukan berdasar pada pendekatan
sektor, hal ini dimulai dari pertanyaan bahwa sektor apa yang
dikembangkan untuk mencapai tujuan pembangunan daerah atau
dengan kata lain pendekatan sektor yang dimaksud adalah
kumpulan kegiatan yang memiliki persamaan karakteristik dan
tujuan tertentu (Eliza, 2017). Perencanaan regional
memfokuskan pada lokasi dimana pembangunan tersebut akan
dilaksanakan. Selanjutnya, perencanaan mikro yaitu
perencanaan yang dilakukan secara rinci meiputi rencana
tahunan yang merupakan penjabaran dari rencana makro,
sectoral, dan regional kedalam aktivitas-aktivitas pembangunan
lengkap dengan dokumen perencanaan dan pengenggarannya.
Dalam proses pembangunan unsur perencanaan sangat
dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan program dan aktivitas
yang telah disusun.
Dalam buku yang berjudul Dialogical Values in Public
Goods Provision (Sager, 2007) dijelaskan bahwa perencanaan

3
pembangunan dalam skala regional sangat mementingkan aspek
lokasi kegiatan tersebut akan dilakukan. Perencanaan
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah harus
memaksimalkan pemanfaatan ruang yang ada di daerahnya,
ruang tersebut harus diisi dengan bermacam kegiatan yang dapat
menghasilkan model-model pilihan pembangunan yang sesuai
dengan daerah tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu dan
perkembangan zaman mengakibatkan pembangunan dalam skala
regional tidak bisa berjalan secara sendiri. Keterbatasan
anggaran, infrastruktur, dan layanan publik lainnya, serta
minimnya sumberdaya dapat membuka peluang daerah tersebut
untuk bekerja sama dengan daerah yang bersebelahan.
Kourliouros dalam penelitiannya Local Development and
Collaborative Planning: A Theoretical Framework of Analysis
(Kourliouros, 2013), juga menguraikan akan pentingnya sebuah
kerja sama antardaerah, karena menurutnya perencanaan
pembangunan dengan pola terpusat tidak akan memberikan
solusi terbaik dalam kegiatan pembangunan. Justru kegiatan
kolaboratif yang menjadikan pembangunan semakin
berkembang.
Keberadaan kerja sama antardaerah yang berbasis keadaan
lokal tersebut akan bisa lebih dikembangkan jika masing-masing
kabupaten/kota memiliki kondisi kewilayahan yang sama,
kondisi sosial ekonomi, serta prospek ke depan yang hampir

4
sama pula. Kerja sama antardaerah saat ini sudah banyak
terlaksana antar dua wilayah administratif yang berbeda, baik
antarkabupaten/kota atau antar dua provinsi. Kegiatan ini secara
langsung akan dapat membantu pengembangan daerah dalam
rangka untuk kemajuan yang diharapkan, terutama untuk daerah
yang mempunyai karakter wilayah dan kondisi geografis,
kondisi daya beli masyarakat, serta kondisi sosial yang sama.
Dalam pelaksanaannya kerja sama antardaerah juga digunakan
sebagai usaha dalam memantapkan hubungan dan keterkaitan
daerah yang saling bertetangga untuk menyerasikan
pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah
dan/atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran
pengetahuan, teknologi, dan kapasitas fiskal (Silfiana, 2018).
1.3. Kerja Sama Antardaerah
Kerja sama antardaerah menjadi isu yang harus
diperhatikan karena banyaknya aktivitas masyarakat dalam
rangka memenuhi kebutuhannya sudah melewati batas
administratif. Seperti halnya permasalahan terkait dengan
penanganan sumber daya air yang dilakukan di Sungai Ciliwung
(Alfian & Vitaloka, 2018) atau tentang pengembangan obyek
pariwisata di Gunung Tambora, Pulau Moyo, dan Teluk Saleh
(Muhaidin, 2015). Atas permasalahan tersebut terdapat beberapa
bagian yang harus dilakukan, yaitu urgensi dari kepentingan
mengadakan kerja sama dengan basis lokalitas. Identifikasi

5
masalah strategis, pemilihan bentuk atau model kerja sama yang
tepat, dan pelaksanaan prinsip pemerintah sangat penting untuk
keberhasilan dari pelaksanaan kerja sama tersebut. Dalam
kegiatan kerja sama ini peran strategis provinsi sangat
diandalkan. Maka dari itu peningkatan peran provinsi dalam
memberikan payung hukum, stimulus anggaran, penyesuaian
fungsi dan struktur kelembagaan kerja sama merupakan hal
penting yang harus ada dalam agenda pelaksanaan kerja sama.
Hubungan antara pemerintah seperti dibahas dalam
paragraf sebelumnya, lazim disebut dengan intergovernmental
relations yaitu “an important body of activities or interarctions
occurring betwen governmental units of all types and levels”
(Anderson, 2003). Anderson menyampaikan bahwasanya
pelaksanaan segala aktivitas dalam kerja sama akan dipastikan
melibatkan seluruh unit pemerintahan yang ada pada semua
jenis tingkatan dan bentuk. Intergovernmental relations harus
dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk dan
mengembangkan segala aktivitas secara bersama-sama antara
pemerintah daerah. Pelaksanaan segala aktivitas kerja sama
secara bersama-sama tersebut dinamakan dengan
intergovernmental cooperation. Intergovernmental cooperation
harus menghilangkan adanya fragmentasi dalam manajerial
yang ada dalam pemerintahan di daerah, hal ini dimaksudkan

6
untuk memenuhi segala kepentingan masyarakat agar lebih
efisien dan efektif.
Dalam kaitan dengan hubungan antarpemerintah daerah
terdapat tiga pendekatan (Weiher & Smith, 1987), yaitu:
1. Law and administration approach, yang berfokus pada
perbedaan hubungan formal pada kekuasaan dan
pengaruh antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
yang dijelaskan pada berbagai bentuk pengawasan pusat
melalui legislative, judicial, and administrative.
2. Community politics approach, yang merupakan
pendekatan alternatif dalam membangun kerja sama
antarpemerintah. Ketiga, interorganizational politics
approach, yang didasarkan pada analisis
interorganizational yang menjelaskan hubungan antara
pusat dan wilayah sebagai sebuah sistem yang kompleks
dan saling ketergantungan.
1.4. Pembahasan Kerja Sama Antarpemerintah
Pembahasan tentang kerja sama antarpemerintah sudah
banyak dilakukan. Meskipun demikian luaran kerja sama yang
lebih ditonjolkan bagaimana proses kerja sama tersebut
dibangun, bentuk negosiasi yang sudah terbangun, nilai dan
kepentingan yang ditonjolkan, serta pengorganisasian masing-
masing daerah dalam rangka pengembangan pada daerahnya
masing-masing. Pelaksanaan kerja sama antardaerah juga

7
terbangun karena adanya kesadaran di antara daerah yang
terlibat kerja sama untuk melakukan: sharing of experience,
ruang bagi daerah untuk saling berbagi pengalaman dalam
pengelolaan urusan pemerintah daerah. Terbangunnya kerja
sama juga memungkinkan daerah untuk berbagi keuntungan
(sharing of benefits) dari arena kerja sama yang dibangun. Kerja
sama juga memungkinkan daerah untuk saling berbagi beban
(sharing of burdens) (Sadat, 2019). Kesadaran atas masing-
masing daerah untuk bekerja sama dalam rangka pencapaian
tujuan menjadikan kerja sama memang harus dilakukan. Oleh
karenanya, adanya inisiasi kerja sama antardaerah akan dapat
berjalan secara efektif apabila terdapat kesamaan isu, masalah,
dan kebutuhan.
Pemerintah daerah diberi kebebasan jika menghendaki
untuk melakukan kerja sama dengan daerah lainnya ataupun
dengan pihak ketiga. Kerja sama antardaerah ini merupakan
media yang dapat dilakukan oleh daerah dalam rangka
memantapkan hubungan dan keterikatan antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain, serta mensinergikan dan menyerasikan
pelaksanaan pembangunan di daerah yang didasarkan dengan
keragaman potensi. Dengan memperhatikan urgensi
terselenggaranya kerja sama, maka adanya peraturan kerja sama
pada masing-masing daerah diarahkan pada peningkatan kerja
sama untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan

8
antardaerah provinsi, kabupaten dan kota, baik hubungan
antardaerah tersebut dilakukan secara regional atau bilateral
yang disesuaikan dengan arah kebijakan dalam pembangunan
kewilayahan.
Pemerintah Republik Indonesia juga telah mengatur
masalah kerja sama antardaerah. Dalam Undang-undang nomor
23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan pada
pasal 363 (1) yaitu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat, daerah dapat mengadakan kerja sama yang didasarkan
pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik
serta saling menguntungkan, selanjutnya pada pasal 2
disebutkan bahwa kerja sama dapat dilakukan oleh daerah
dengan daerah lain, pihak ketiga, dan/atau lembaga atau
pemerintah daerah di luar negeri sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Antardaerah yang saling bersandingan sadar ataupun tidak
pasti saling terkait dan mempunyai banyak hubungan. Alasan
tersebut yang menjadikan munculnya inisiatif untuk menangkap
peluang dengan saling bekerja sama. Pelaksanaan kerja sama
antar dua daerah juga harus memperhitungkan manfaat yang
akan diambil dalam pelaksanaan kerja sama. Tidak akan
mungkin jika dalam pelaksanaan kerja sama tersebut terdapat
satu pihak yang ingin dan bersedia untuk merugi dalam kerja
sama yang telah dilakukan. Antardaerah yang melakukan kerja

9
sama harus dipastikan untuk terpenuhinya segala kepentingan
daerahnya pada saat pelaksanaan kerja sama. Peran provinsi
dalam hal ini juga sangat penting sebagai fasilitator jika dalam
pelaksanaannya terdapat daerah yang egois. Selain itu
pemerintah provinsi juga dapat bertindak sebagai inovator dan
motivator dalam membangun kerja sama antardaerah di
wilayahnya, tidak perlu untuk menunggu adanya prakarsa dari
daerah-daerah tersebut untuk memulai.
Kerja sama daerah ini dilakukan sebagai upaya dalam
meminimalisir beban pembiayaan yang ditanggung oleh daerah
jika hendak menggembangkan daerahnya. Dengan adanya kerja
sama maka beban yang dimiliki masing-masing daerah akan
diakomodir dan bersama-sama mencarikan solusi agar masalah
yang ada di daerah dapat teratasi dan potensi tetap dapat
dikembangkan. Selain itu adanya kerja sama segala pembiayaan
yang timbul dan resiko yang muncul dalam pelaksanaan kerja
sama dapat ditanggung oleh daerah secara bersama-sama
sehingga masalah tersebut dapat menjadi ringan. Meskipun
demikian sampai dengan saat ini masih banyak daerah yang
belum dapat mengoptimalkan pelaksanaan kerja sama daerah
dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut (Silfiana, 2018).
Hal penting yang perlu ada dalam pelaksanaan kerja sama
adalah adanya komitmen dari daerah yang bekerja sama.

10
Komitmen ini adalah dalam hal pelaksanaan kerja sama sebagai
bentuk penanganan isu yang telah disepakati sebelumnya, serta
adanya komitmen untuk mendahulukan penanganan masalah
bersama daripada masalah daerahnya sendiri. Banyak unsur
yang harus mempunyai komitmen kuat dalam pelaksanaan kerja
sama yaitu pimpinan di daerah, pejabat tingkat provinsi, serta
pada level pelaksana teknis. Adanya komitmen yang kuat dalam
pelaksanaan kerja sama dapat berakibat dari adanya
pemangkasan birokrasi dalam pelaksanaan kerja sama
mengingat efektifitas dan efisiensi gerak sangat penting. Adanya
komitmen dari berbagai pihak tentunya akan mempermudah
adanya koordinasi antardaerah serta bagian-bagian yang ada di
dalamnya, selain itu fokus penanganan masalah yang lebih
dispesifikkan menjadikan pelaksanaan kerja sama juga akan
lebih terarah karena lebih terfokus (Tarigan, 2009).
1.5. Proses Kerja Sama Antardaerah
Dalam banyak hal yang terjadi pada proses kerja sama
antardaerah ini akan terdapat waktu yang sangat lama
dikarenakan ada banyak proses yang harus dilewati seperti
proses politik dan administratif, bahkan proses sosial yang
relatif rumit. Walaupun kerja sama antarpemerintah daerah telah
diatur melalui peraturan pemerintah, tetapi pada kenyataannya
kerja sama tersebut sangat rapuh dan dibatasi oleh kepentingan
politik lokal dan latar belakang politik para kepala daerah

11
(Firman, 2009). Selain itu adanya faktor lain yang dapat
mempengaruhi pelaksanaan kerja sama antarpemerintah daerah
adalah faktor kemampuan keuangan daerah, struktur, dan kultur
birokrasi pemerintah daerah.
Beberapa kajian yang telah menjelaskan kerja sama
antardaerah memulai konsepnya dari menemukan model dalam
sebuah kelembagaan kerjasmaa, apakah kerja sama yang
dilakukan pada daerah yang saling berdekatan ini mengarah
pada intergovernmental relational atau intergovernmental
management. Agranoff menjelaskan bahwa manajemen terpadu
yang terbentuk yaitu intergovernmental management harus
dikendalikan secara bersama. Dalam intergovernmental
management ditekankan kembali pada proses pencapaian tujuan
yang dimulai sejak awal proses manajemen dan dilakukan
tindakan secara bersama-sama demi tercapainya tujuan bersama
(Rocheleau & Agranoff, 1986).
Beberapa instrumen yang dapat berpengaruh terhadap
kerja sama antarpemerintah antara lain: intergovernmental
regulation, governmental structure, political forces, and
bureaucratic actions and intergovermental communications
(Rocheleau & Agranoff, 1986). Pada bidang administrasi publik
penyelenggaraan urusan kewenangan tertentu saat ini telah
menjadi trend, di antaranya adalah tentang keterkaitan
(interconnection) dan ketergantungan (interdependence)

12
antarpemerintah. Bentuk keterkaitan antardaerah ini dalam
pelaksanaannya akan menjadikan embrio baru dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah, tentunya kerja sama
antardaerah ini adalah sebuah keharusan untuk dapat
dilaksanakan. Oleh karenanya dalam menjawab hal tersebut
perlu adanya kajian yang komprehensif dan mendalam tentang
berbagai permasalahan yang ada hubungan dengan pelaksanaan
kerja sama antardaerah dalam suatu wilayah yang sama.
Munculnya paradigma pembangunan kewilayahan di
Indonesia diawali dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Lingkungan Hidup,
selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebelum berkembang
menjadi Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berbagai undang-undang
tersebut sama-sama mengharapkan untuk dapat terjadi
perubahan paradigma pembangunan, yaitu sebelumnya
bertumpu pada pertumbuhan dan berfokus pada ketimpangan
ekonomi, menjadi bertumpu pada pembangunan berkelanjutan
(Purnaweni, 2014). Tentunya perubahan paradigma ini akan
menuntut kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah yang
lebih baik, salah satunya adalah dengan menyelenggarakan
kerja sama antardaerah untuk jaminan keberlanjutan
pembangunan.

13
Di Indonesia banyak terdapat kerja sama antardaerah, di
antaranya adalah kerja sama Kunci Bersama (Kuningan,
Cirebon, Ciamis, Cilacap, Banjar, Brebes, dan Majalengka),
Yuwanto menjelaskan tentang kerja sama oleh tujuh kabupaten
yang saling berbatasan dengan koordinasi kerja sama dilakukan
oleh lembaga baru yaitu BKAD, dalam pelaksanaannya Kunci
Bersama memprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur
sebelum pengembangan bidang lainnya seperti sosial, ekonomi,
budaya, administratif, dan kesehatan (Yuwanto, 2016). Kerja
sama Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga,
Semarang, dan Purwodadi) tentang bidang pariwisata, dalam
pelaksanaan kerja sama tersebut masih perlu adanya kajian
yang mendalam mengenai strategi yang tepat untuk promosi
dan pemsaran wisata, selain itu pada ranah administratif belum
adanya pemahaman bersama tentang kerja sama antardaerah
bidang pariwisata se-Kedungsepur pada pihak yang terlibat
yaitu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, komitmen masing-
masing daerah juga masih kurang dan perlu dilibatkannya
pemerintah provinsi dalam pelaksanaan kerja sama ini
(Uriawan & Lituhayu. M, 2017). Selanjutnya adalah kerja sama
Pekansikawan (Pekanbaru, Kampar, Siak, dan Pelalawan).
Pekansikawan ini juga menjadikan potensi pariwisata yang ada
pada setiap daerah menjadi pariwisata unggulan dan terkoneksi
di antara keempat daerah tersebut. Dalam pelaksanaan kerja

14
sama daerah bersama dengan organisasi perangkat daerah telah
menyusun masterplan pengembangan wisata serta dengan
perencanaan pengembangan infrastruktur pendukung yang
harus disiapkan untuk mendukung terlaksananya kerja sama
antardaerah tersebut (Bappeda Kabupaten Siak, 2019)
1.6. Kerja Sama Antardaerah di Provinsi Jawa Timur
Trend kerja sama antardaerah juga terjadi di Provinsi
Jawa Timur sebagai salah satu bentuk interconnection dan
interdependence adalah terbentuknya kawasan terpadu dengan
pengembangan wilayah berbasis pada lokalitas daerah. Provinsi
Jawa Timur merupakan provinsi yang strategis di Indonesia
karena merupakan pintu gerbang perekonomian di Indonesia
bagian timur. Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Provinsi
Jawa Tengah disebelah barat, Samudera Indonesia disebelah
selatan, Laut Jawa disebelah utara, dan Selat Bali disebelah
timur, memiliki luas wilayah 47.799,75 km², dan jumlah
penduduk menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Jawa Timur tahun 2020 adalah 39,699 juta jiwa (BPS Provinsi
Jawa Timur, 2020). Dengan kondisi yang strategis tersebut,
kondisi ekonomi wilayah Provinsi Jawa Timur pada triwulan II
tahun 2019 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.
Peningkatan pertumbuhan dikontribusi oleh konsumsi
pemerintah, investasi, serta peningkatan ekspor luar negeri
yang disertai penurunan impor luar negeri. Dari sisi yang lain

15
peningkatan kinerja sektor pertanian, penyediaan akomodasi
dan makanan minuman, serta konstruksi menjadi pendorong
kinerja positif pertumbuhan ekonomi Jawa Timur (Kanwil BI
Provinsi Jawa Timur, 2019).
Soekarwo menjelaskan bahwa meningkatnya daya saing
Jawa Timur ini karena adanya empat strategi pokok, yaitu:
Pertama, stabilitas ekonomi pada skala makro. Kedua,
pemerintahan dan formasi kelembagaan. Ketiga, bisnis,
keuangan, dan kondisi tenaga kerja. Keempat, pengembangan
infrastruktur dan kualitas hidup masyarakat. Soekarwo
mengatakan, peningkatan daya saing akan mengakibatkan pada
optimalisasi dalam memanfaatkan berbagai peluang yang ada.
Provinsi Jawa Timur juga termasuk kawasan penting dalam
bidang perekonomian di Indonesia karena posisi Provinsi Jawa
Timur yang merupakan center of gravity di Indonesia
(Soekarwo, 2018). Pemerintah Provinsi Jawa Timur
memfokuskan tiga sektor utama yang menyangga
perekonomian, yaitu sektor industri pengolahan, perdagangan
dan jasa, dan sektor pertanian. Sektor industri diarahkan untuk
menjalankan hilirisasi industri untuk menghasilkan produk
bernilai tambah tinggi, memperkuat struktur industri,
menyediakan lapangan kerja serta peluang usaha (Junari et al.,
2020).

16
1.7. Mengenal Provinsi Jawa Timur
Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah kabupaten dan kota
sebanyak 38 dengan kondisi geografis yang sangat beragam.
Masing-masing kabupaten dan kota memiliki karakteristik,
keunggulan, dan kelemahan, sehingga dapat saling melengkapi
jika dapat dilaksanakan kerja sama antardaerah. Secara umum
Provinsi Jawa Timur dibagi menjadi lima daerah
pengembangan, yaitu wilayah Gerbangkertasusila, Madura dan
Kepulauan, Bromo Tengger Semeru, Ijen Baluran, dan
Selingkar Wilis. Seperti dapat dilihat dalam gambar 1.1.
Gambar 1.1. Peta Pengembangan Provinsi Jawa Timur

Pada tahun 2018 Provinsi Jawa Timur mendapat


Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) dari Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) dikarenakan
Rencana Kerja Pemerintah Derah (RKPD) Provinsi Jawa Timur

17
sangat terukur mulai dari perencanaan dan target pencapaian
dalam pembangunan. Selain itu prinsip konsisten, komprehensif,
terukur, dan dapat dilaksanakan, menjadi acuan Provinsi Jawa
Timur dalam merencanakan segala kegiatan, termasuk dalam
kegiatan kerja sama yang dilakukan. Pola keberhasilan Provinsi
Jawa Timur ditunjukkan oleh gambar 1.2.

18
Gambar 1.2. Keberhasilan Perencanaan dan Pelaksanaaan
Pembangunan Provinsi Jawa Timur

Pemimpin mempunyai Pemimpin dapat


gagasan yang relevan, menjual gagasan kepada
merakyat, dan stakeholders (DPRD)&
manage-able stakeholdes (komunitas)

Tim perencana dapat


merumuskan menjadi
seperangkat pekerjaan
yang do-able

Pelibatan publik di
Pengendalian manajerial dan
tingkat lokal, dekresi di
politik terhadap pelaksanaan
nasional, dan Inovasi dan
seperangkat pekerjaan
internasional lapangan
tersebut

Sumber: (R. Nugroho, 2017)

Kerja sama antardaerah di Provinsi Jawa Timur mutlak


harus dilakukan karena kabupaten/kota tidak akan bisa berjalan

19
sendiri dalam mengembangkan potensi yang ada. Banyak yang
sudah terlaksana terutama dengan pihak ketiga, salah satunya
adalah melalui dorongan dari Bank Indonesia. Kerja sama di
Provinsi Jawa Timur telah terselenggara khususnya dalam
bidang ekonomi pada kabupaten yang berada di Kawasan
Sekarkijang (Se Karisidenan Besuki dan Lumajang), meliputi
Kabupaten Jember, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, dan
Banyuwangi. Kerja sama ini untuk pengembangan ekonomi,
pengendalian inflasi, dan pengembangan produk unggulan
daerah, sehingga daerah yang memiliki bahan pangan yang
surplus bisa menyulpai daerah yang kekurangan, agar terjadi
harga yang stabil (Solichah, 2018).
Selain itu, terdapat juga kesepakatan bersama yang
dilakukan oleh Kabupaten Sampang dengan Badan
Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS) tentang
bentuk fasilitasi dan pemberian stimulasi percepatan
pertumbuhan ekonomi di Wilayah Kabupaten Sampang,
keberadaan nota kesepahaman ini juga sangat membantu
keberlangsungan kegiatan ekonomi di Kabupaten Sampang.
Selain dari stakeholder yang telah terjalin, di Provinsi
Jawa Timur juga terdapat kesepahaman berupa kesekapatan-
kesepakatan antar kabupaten yang bersebelahan. Berikut adalah
kesepakatan yang terjalin di Provinsi Jawa Timur:

20
1. Germakertasusila (GKS) Plus (Kabupaten Gresik, Pulau
Madura, Kabupaten dan Kota Mojokerto, Kota Surabaya,
Kabupaten Sidoarjo dan Lamongan, plus Tuban,
Bojonegoro, Jombang, dan Kabupaten serta Kota
Pasuruan),
2. Ratubangnegoro (Kabupaten Blora, Tuban, Rembang, dan
Bojonegoro),
3. Karismapawirogo (Kabupaten Karanganyar, Wonogiri,
Sragen, Magetan, Pacitan, Ngawi, Ponorogo),
4. Golekpawon (Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Pacitan
dan Wonogiri),
5. Ngadipono (Kabupaten Nganjuk, Madiun, dan Ponorogo),
6. Pawitandirogo (Kabupaten Pacitan, Ngawi, Magetan, Kota
serta Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Ponorogo),
7. Pawonsari (Kabupaten Pacitan, Wonogiri, dan Gunung
Kidul).
Pada Provinsi Jawa Timur sendiri terdapat dua model
kelembagaan yang digunakan yaitu model Badan Kerja sama
Antardaerah (BKAD) dan model Sekretariat Bersama (Sekber).
Tentunya dari keduanya memiliki dua konsep yang berbeda
meskipun sama-sama mengedepankan networking dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah, yaitu intergovernmental
relation dan intergovernmental management. Intergovernmental
relation merupakan sebuah pola organisasi antardaerah yang

21
hanya memungkinkan koordinasi pada aspek umum di seluruh
wilayah, sedangkan intergovernmental management merupakan
sebuah pola organisasi antardaerah yang memberikan
kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali
penuh dengan sektor kerja sama yang jelas (Warsono, 2009a).

Dalam pengertian lain pada peraturan yang ada, model


BKAD sesuai dengan pasal 24 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerja sama Antardaerah yang menyebutkan bahwa BKAD
diperlukan dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah,
kepala daerah dapat saling bekerja sama dengan daerah lainnya.
BKAD ini tidak termasuk dalam struktur perangkat daerah,
namun pengelolaannya berasal dari Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) terkait di masing-masing daerah anggota.
Dalam model kelembagaan BKAD masing-masing pengelolaan
dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab telah disepakati
bersama, sehingga masing-masing daerah anggota memiliki
peran dan tanggungjawab yang berbeda, sumber pendanaan
BKAD berasal dari APBD daerah anggota dan swasta serta
keuntungan dari proyek yang dikerjakan secara bersama.
Selanjutnya adalah model Sekretariat Bersama (Sekber)
yang sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tata Cara Kerja sama

22
Dengan Daerah Lain dan Kerja sama Dengan Pihak Ketiga,
dalam pasal 50 disebutkan bahwa sekretariat kerja sama yang
dibentuk dalam rangka kerja sama daerah dengan daerah lain
bukan merupakan perangkat daerah dan bertugas memfasilitasi
perangkat daerah dalam melaksanakan kerja sama. Sekretariat
kerja sama mempunyai tugas di antaranya: (1) membantu
melakukan pengelolaan, monitoring, dan evaluasi atas
pelaksanaan kerja sama, (2) memberikan masukan dan saran
kepada kepala daerah masing-masing mengenai langkah-
langkah yang sama harus dilakukan apabila ada permasalahan,
dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada kepala daerah
masing-masing.
Pelaksanaan nota kesepahaman bersama antarkabupaten
yang berada di Provinsi Jawa Timur ini masih banyak kendala,
ego sektoral masih tinggi, sehingga banyak nota kesepahaman di
Provinsi Jawa Timur yang pelaksanaannya hanya sebatas nota
kesepahaman, tidak sampai pada sebuah kerja sama antardaerah
apalagi membentuk sebuah kelembagaan kerja sama
antardaerah. Penelitian tentang koordinasi pengelolaan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) untuk
meningkatkan pelayanan wisata (Wicaksono, 2018) menjelaskan
bahwa adanya kesepahaman tentang pengelolaan TN-BTS
sebagai nilai strategis kawasan wisata menimbulkan munculnya
kepentingan daerah untuk menarik keuntungan sebanyak

23
mungkin dari kawasan tersebut, yang hal tersebut menyebabkan
terjadinya pertentangan kepentingan antara potensi pariwisata
dengan konsep konservasi. Dari penelitian tersebut juga
diketahui bahwa belum adanya lembaga bersama yang fokus
dalam pengembangan kawasan TN-BTS mengakibatkan adanya
ego sektoral yang sangat tinggi.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nababan tentang
formulasi kebijakan kerja sama antardaerah, studi tentang
pembangunan jalan tembus Sukorejo-Batu yang meliputi kerja
sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kabupaten
Pasuruan, Malang, dan Kota Batu (Nababan, 2017)
menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan kerja sama terdapat
faktor pendukung dan penghambat kerja sama. Salah satu faktor
pendukung adalah adanya dukungan dari mnasyarakat setempat
tentang proses pembangunan infrastruktur jalan, sedangkan
untuk faktor penghambat dalam pelaksanaan kerja sama adalah
adanya ego sektoral yang tinggi yaitu tidak bersedianya ada
sharing anggaran antardaerah sehingga kerja sama tersebut tidak
bisa berjalan dengan baik.
Penelitian selanjutnya oleh Abror, M. Daimul pada tahun
2017 yang berjudul “Model Kerja sama Antarpemerintah
Daerah Dalam Pengelolaan Infrastruktur Publik (Studi tentang
Kerja sama Antarpemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo dalam Pengelolaan Terminal Purabaya)”.

24
Diketahui jika kerja sama yang dilakukan masih kurang sesuai
harapan, rekomendasi yang ditawarkan yaitu: Pertama,
Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
hendaknya melaksanakan koordinasi ulang guna merubah
regulasi kerja sama dalam pengelolaan Terminal Purabaya
sesuai dengan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 dan
prinsip-prinsip kerja sama yang menganut semangat otonomi
daerah. Kedua, dalam pelaksanaan kerja sama pengelolaan
Terminal Purabaya, hendaknya Pemerintah Kota Surabaya dan
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mampu bersinergi dalam
mewujudkan harmonisasi kerja sama dengan mempertegas
model Institutionalised Hard Cooperation dengan membentuk
Balance in Jointly-Formed Authorities berupa pembentukan
sekretariat bersama kerja sama antarpemerintah daerah yang
dapat menciptakan networking dalam rangka meningkatkan
akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan kerja sama
yang telah disepakati.
Dari ketiga penjabaran tentang kerja sama antardaerah
yang ada di Provinsi Jawa Timur dapat diketahui jika kerja sama
di Provinsi Jawa Timur belum bisa terlaksana dengan baik.
Kesepakatan-kesepakatan berupa kesepahaman dalam bekerja
sama belum bisa merepresentasikan sebuah kegiatan bersama
yang efektif dan efisien. Meskipun demikian Provinsi Jawa
Timur selalu mendukung pelaksanaan kerja sama yang sudah

25
ada baik antarkabupaten atau dengan pihak eksternal hal ini
dapat dilihat dari dibentuknya Tim Koordinasi Kerja sama
Daerah (TKKSD) berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur nomor
188/255/KPTS/013/2016 yang dipimpin oleh Sekretariat Daerah
dengan difasilitasi oleh Biro Humas dan Protokol Provinsi Jawa
Timur.
Saat ini Provinsi Jawa Timur juga sedang melakukan
pengembangan wilayah berupa pembukaan daerah strategis baru
yaitu Kawasan Selingkar Wilis. Pembukaan daerah strategis
baru ini tidak akan bisa berjalan sendiri, tetapi membutuhkan
kabupaten-kabupaten yang ada pada selingkar Gunung Wilis
untuk saling bekerja sama dan berkolaborasi. Keenam
kabupaten yang terletak di sekitar Gunung Wilis tersebut yaitu
Kabupaten Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun,
Nganjuk, dan Kediri.
Keenam kabupaten tersebut dikenal dengan akronim
Tunggal Rogo Mandiri, memiliki ciri khas yang sama yaitu
dalam geografis, demografi, kondisi perekonomian, dan dalam
dimensi sosial kemasyarakatan. Keenam daerah tersebut sudah
mengembangkan komoditasnya melalui program agropolitan
dan minapolitan, tetapi hal tersebut masih berjalan sendiri-
sendiri sehingga membutuhkan kolaborasi baik dalam hal
perencanaan, pengembangan, dan pemasaran. Dari sini rencana
pengembangan kawasan pada Selingkar Wilis diharapkan dapat

26
membantu dalam kegiatan tersebut, sehingga semakin cepatnya
kerja sama dilakukan semakin baik.
Pada tanggal 11 Juni 2014 dari hasil inisiasi dari
pemerintah Provinsi Jawa Timur, keenam kabupaten membuat
kesepakatan bersama nomor 181/08/013/2014 (Tulungagung),
130.5/660/406.003/2014 (Trenggalek), 134.4/732/405.01.1/2014
(Ponorogo), 188.65/6/402.031/2014 (Madiun),
415/11/411.010/2014 (Nganjuk), dan 074/934/418.11/2014
(Kediri) tentang Kerja sama Pembangunan Daerah di Wilayah
Selingkar Gunung Wilis – Tunggal Rogo Mandiri, dalam
kesepakatan bersama tersebut memuat objek yang disepakati,
yaitu: a) Pariwisata, b) Pekerjaan Umum, c) Penataan Ruang, d)
Perkoperasian dan UMKM, e) Industri dan Perdagangan, f)
Pertanian, g) Perkebunan, h) Peternakan, i) Kehutanan, j)
Perhubungan, k) Lingkungan Hidup, l) Kesehatan, m)
Pendidikan, n) Sosial, o) Kebudayaan, p) Penanaman modal, q)
Sanitasi, r) Pertambangan dan Energi, s) Kependudukan, t)
Ketenagakerjaan, dan u) Bidang-bidang lain sesuai kebutuhan
daerah.
Seiring berjalannya nota kesepahaman tersebut 20 objek
yang telah disepakati tidak bisa terlaksana semua, sehingga
melalui rapat koordinasi lanjutan tanggal 27 Agustus 2014 di
Tulungagung dengan agenda penyusunan prioritas kerja sama
antardaerah wilayah Selingkar Gunung Wilis, disepakati bahwa

27
fokus prioritas program adalah pembangunan infrastruktur
(yaitu jalan penghubung di wilayah-wilayah yang berbatasan
dengan kabupaten lain yang akan menghubungkan daerah-
daerah di Selingkar Wilis) dan bidang pengembangan pariwisata
(yaitu paket pariwisata) di Selingkar Gunung Wilis. Selanjutnya
sebagai sarana untuk memonitor dan memfasilitasi pelaksanaan
kerja sama di Selingkar Wilis diperlukan sekretariat, maka
dibentuklah Sekretariat Bersama (Sekber) yang pada tahun 2014
sampai dengan 2016 Sekber Selingkar Wilis berada pada
Kabupaten Tulungagung dan dikelola langsung oleh Sekretaris
Daerah Kabupaten Tulungagung. Sampai dengan masa kerja
selesai tahun 2016, Sekber yang dikelola oleh Kabupaten
Tulungagung telah menyelesaikan pekerjaan berupa penetapan
titik koordinat dan identifikasi trase jalan Selingkar Wilis.
Pada tahun 2016 Sekber Selingkar Wilis yang masih
berada di Kabupaten Tulungagung melakukan peningkatan
kesepakatan antar enam kabupaten melalui perjanjian kerja sama
antar Badan Perencana dan Pembangunan Daerah (Bappeda)
tertanggal 5 Februari 2016. Meskipun demikian Kabupaten
Kediri masih belum sepakat atas trase jalan yang sudah dibuat,
sehingga menjadikan proses penandatangan perjanjian tertunda
sampai tahun 2017 ketika Sekber sudah pindah ke Kabupaten
Trenggalek, yaitu di Sekretariat Daerah Kabupaten Trenggalek.
Salah satu staf Bagian Kerja sama di Sekretariat Daerah

28
Kabupaten Trenggalek menyebutkan jika keberlanjutan dari
Selingkar Wilis ini sudah pada tataran kerja sama daerah,
terdapat 18 bidang yang dikerja samakan. Tetapi ada kendala
yaitu adanya satu kabupaten yang masih belum mau untuk
tandatangan karena tidak setuju terhadap trase jalan yang dipilih.
Informasi trase yang ada di Selingkar Wilis adalah
235,524 km, dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 1.1. Total Panjang Trase Jalan di Selingkar Gunung
Wilis
Panjang
No Kabupaten Kecamatan Desa
Trase
1 Tulungagung Sendang Nyawangan ± 57,675 km
Kediri Mojo Petungroto
2 Kediri Grogol Kalipang ± 53,346 km
Nganjuk Loceret Bajulan
3 Nganjuk Sawahan Bendolo ± 34,855 km
Madiun Gemarang Durenan
4 Madiun Kare Kepel ± 31,300 km
Ponorogo Ngebel Pupus
5 Ponorogo Sooko Ngadirojo ± 39,400 km
Trenggalek Bendungan Masaran
6 Trenggalek Bendungan Botoputih ± 18,950 km
Tulungagung Pagerwojo Sidomulyo
Total ± 235,524 km

29
Sumber: (Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten
Tulungagung, 2016)

Panjangnya trase jalan di Kabupaten Kediri (sekitar 53


km) ternyata merupakan alasan yang menjadikan Kabupaten
Kediri sangat alot untuk tanda-tangan, Kabupaten Kediri merasa
kesulitan dalam membangun jalan sepanjang itu pada lokasi
baru di Selingkar Wilis. Adanya pengalaman yang kurang baik
dari adanya sengketa perebutan wilayah keberadaan Gunung
Kelud antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar juga
menjadikan pengalaman tersendiri dalam rangka pengelolaan
daerah secara bersama-sama (Laurens, 2013). Selain itu
kesadaran yang masih rendah dari pihak Kabupaten Kediri
tentang pentingnya bekerja sama juga menjadikan alasan
pengembangan kawasan di Selingkar Wilis belum digarap,
fasilitasi pendanaan dari provinsi dan pusat yang belum ada
menjadikan pengembangan kawasan Selingkar Wilis belum
dapat terlaksana.
Kondisi yang ada dalam kerja sama Selingkar Wilis
tersebut menunjukkan bahwa terdapat masalah tentang belum
berjalannya kerja sama yang ada di Selingkar Wilis baik dari
internal kabupaten atau karena belum adanya peran yang jelas
dari Sekretariat Bersama yang telah terbentuk di Selingkar
Wilis. Kajian dalam penelitian ini akan fokus melihat

30
pelaksanaan kerja sama dan strategi kerja sama antardaerah yang
dilaksanakan oleh Sekretariat Bersama Tunggal Rogo Mandiri
dalam rangka terlaksananya kerja sama antardaerah di Selingkar
Wilis. Dalam pelaksanaannya manajemen yang dimaksud
seperti yang dikatakan oleh Warsono dapat dipadankan dengan
pengelolaan atau tata laksana yang meliputi kegiatan
merencanakan program, memimpin dan mengendalikan kegiatan
untuk mencapi sasaran kerja sama (Warsono, 2009b) dengan
pengembangan konsep intergovernmental management.

31
BAB II
ADMINISTRASI PUBLIK DALAM PROSES KERJA
SAMA
Pelaksanaan kerja sama antardaerah sangat
menguntungkan bagi pemerintah daerah jika pemerintah daerah
tersebut mampu untuk mengelola berbagai kendala dalam
pelaksanaannya, seperti ego daerah yang tinggi (Warsono,
2009b); (Muhaidin, 2015); (Uriawan & Lituhayu. M, 2017),
konflik berkepanjangan (Abror, 2017), kekurangan anggaran
(Lestari, 2020); (Andrew et al., 2015); (Yuwanto, 2016),
ketidakjelasan regulasi (Pranata, 2015), serta mengoptimalkan
adanya lembaga yang secara formal mengurus keberlangsungan
kerja sama antardaerah tersebut (Harsanto et al., 2015);
(Silfiana, 2018).
Dalam manajemen pengelolaannya, lembaga formal
tersebut sebagai koordinator, fasilitator, dan evaluator (Putranto,
2013); (Gomez & Parigi, 2015) dari berlangsungnya kerja sama
antardaerah. Tidak sama pada setiap daerah hal ini disesuaikan
dengan kesepakatan masing-masing daerah (Wahyono &
Wahdah, 2018) dan kondisi sumberdaya manusia yang ada pada
setiap bidang kerja sama di pemerintahan daerah (Hidayah,
2017). Bahkan juga ada yang dalam pengelolaannya melibatkan
pihak ketiga sebagai lembaga mandiri non SPKD yang fokus
mengatur kerja sama antardaerah tersebut (Greenhill & Lupu,
2017); (Harsanto et al., 2015).

32
Peran lembaga ini sangat penting karena keberlangsungan
kerja sama antardaerah ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan
lembaga tersebut. Banyak juga yang terjadi jika lembaga tidak
efektif maka kerja sama antardaerah juga tidak akan bisa
terlaksana dengan baik (Prasetya, 2013). Oleh karenanya
penataan manajemen kerja sama antardaerah menjadi modal
utama dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah (Hu et al.,
2020). Pada pelaksanaan kerja sama antardaerah juga harus
melibatkan beberapa unsur yaitu pemerintah pusat, pemerintah
daerah, swasta, dan masyarakat (Alfian & Vitaloka, 2018);
(Agranoff, 2017); (Puppim de Oliveira, 2019) agar pelaksanaan
kerja sama antardaerah dapat berjalan sesuai dengan rencana.
2.1. Pengertian Administrasi Publik
Pada awal masa perkembangannya, ilmu administrasi
negara memiliki pandangan dari beberapa ahli administrasi
negara. para ahli ilmu administrasi negara menciptakan
paradigma yang menjadi ciri administrasi negara. Ada 5
paradigma dalam ilmu administrasi negara yang di ungkapkan
oleh Nicholas Henry dalam bukunya. Kelima paradigma itu
antara lain :

33
Paradigma 1: Dikotomi politik-administrasi (1900-1926).
Paradigma 2 : Prinsip – prinsip administrasi negara (1927-1937).
Paradigma 3 : Administrasi negara sebagai ilmu politik (1950-
1970)
Paradigma 4 : Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi
(1956-1970).
Paradigma 5 : Administrasi negara sebagai administrasi negara
(1970 –sekarang).
Pada paradigma 1 ditandai dengan dipublikasikannya buku
yang di tulis oleh Goodnow dan White. Di dalam buku Politics
Administration (1900), Goodnow berpendapat bahwa ada dua
fungsi yang berbeda dari pemerintah. “politik” menurut
Goodnow, harus berhubungan dengan kebijaksanaan atau
berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan negar.
Sedangkan Administrasi harus berkaitan dengan pelaksanaan
kebijaksanaan tersebut. Dengan demikian yang menjadi dasar
pembeda adalah pemisahan kekuasaan. Penekanan paradigma I
adalah pada lokus (tempat) di mana administrasi negara berada.
Goodnow dan para pengikutnya berpendapat administrasi
negara seharusnya memfokuskan diri pada birokrasi
pemerintahan.
Pada paradigma kedua administrasi mencapai puncak
kejayaannya. Para ahli administrasi negara di terima baik oleh
kalangan industri maupun kalangan pemerintah selama tahun

34
1930-an dan awal tahun 1940an, karena kemampuan
manajerialnya. Fokus bidang ini yaitu keahlian dalam bentuk
prinsip-prinsip administrasi bertambah luas. Gulick dan Urwick
mengajukan tujuh prinsip administrasi yaitu planning,
organizing, staffing, directing, coordinating, ordinating,
reporting, budgeting.
Paradigma ketiga muncul karena banyaknya kritik-kritik
konseptual dalam administrasi negara. Pada tahun 1962
administrasi negara tidak lagi termasuk dalam sub bidang ilmu
politik. Ada dua perkembangan yang terjadi selama periode ini
yang cukup mencerminkan adanya perbedaan dalam masalah
mengurangi ketegangan antara para ilmuan administrasi dan
ilmuan politik secara berangsur-angsur. Peningkatan
penggunaan studi kasus sebagai instrumen epistomologi,
perbandingan pembangunan administrasi yang mana mengalami
pasang surut sebagai sub bidang administrasi negara.
Paradigma keempat menyebutkan bahwa dalam paradigma
ilmu politik maupun ilmu administrasi merupakan suatu
kebenaran yang penting bahwa administrasi negara tidak
mempunyai identitas dan keunikannya di dalam membatasi
beberapa konsepnya untuk bisa menjangkau maksud lebih luas.
Istilah ilmu administrasi di gunakan sebagai penangkap semua
frasa bagi kajian di dalam teori organisasi dan ilmu manajemen.

35
Paradigma kelima sebagai paradigma yang masih
digunakan sampai saat ini. Para ahli administrasi negara
semakin banyak memberi perhatian pada bidang ilmu lain yang
memang tak terpisahkan dari administrasi negara seperti ilmu
politik, ekonomi politik, proses pembuatan kebijakan negara,
serta analisisnya, dan perkiraan output kebijakan. Deengan
demikian pembahasan administrasi negara dalam konteks
paradigma yang saat ini sedang berkembang adalah mempunyai
fokus adalah teori organisasi dan ilmu manajemen, sedangkan
lokusnya adalah kepentigan umum dan urusan umum (Henry,
1975).
Nicholas Henry juga menyebutkan adanya paradigma dari
ilmu administrasi negara baru yang lebih fokus pada teori
organisasi (organization theory) dan ilmu manajemen
(management science) dengan kajian utama adalah tentang
kepentingan publik (public interest) dan masalah-masalah
publik (public affairs). Hal ini adalah akibat dari adanya
pergeseran padangan dari orientasi awal adalah birokrasi
pemerintahan menjadi orientasi langsung pada masyarakat
(publik) (Suwitri, 2008).
Administrasi Publik dalam era sekarang ini menjadi
sesuatu yang sangat penting pada setiap bagian dalam
pemerintahan. Variasi makna dalam administrasi publik sebagai
administration for public dan administration by public

36
memberikan konsepsi yang saling melengkapi. Administration
for public diasumsikan bahwa pemerintah haruslah tanggap dan
responsif terhadap segala permasalahan yang ada di masyarakat,
melayani dan memberikan layanan yang baik untuk publik,
sedangkan administration by public mengandung makna dalam
memberikan kemandirian kepada masyarakat untuk lebih
mandiri dan berdikari.
Administrasi publik pun saat ini juga mempunyai
kompleksitas dan cakupan yang sangat luas tergantung dari
perkembangan kebutuhan dan dinamika permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat (Pramesti, 2018). Lebih lanjut dapat
dilihat cakupan dari pelaksanaan administrasi publik, di
antaranya berdasarkan pada Henry (Yeremias T Keban, 2014)
yang meliputi organisasi publik, manajemen publik, dan
implementasi. Shafritz dan Russell menyebutkan cakupan
administrasi publik dengan lebih detail melalui berbagai unsur-
unsur, seperti: (1) Tantangan-tantangan administrasi publik dan
bagaimana menyesuaikan diri, (2) Sistem administrasi dan
organisasi efektif, (3) Administrasi publik terkait dengan usaha
memperkuat hubungan dengan badan legislatif, badan-badan
yang diangkat dan dipilih oleh rakyat, (4) Bagaimana menyusun
kebijakan dan program sukses, (5) Administrasi perpajakan dan
anggaran yang efektif, (6) Manajemen sumber daya manusia, (7)
Bagaimana operasi pelayanan publik yang baik, (8) Bagaimana

37
praktek administrasi publik yang profesional dan etis (beretika)
(Rabin et al., 2018)
Dari cakupan yang sangat luas tersebut maka Keban
menyederhanakan cakupan dalam administrasi publik kedalam
enam dimensi strategis administrasi publik (Yeremias T Keban,
2014), yaitu:
1. Dimensi Kebijakan.
Shafritz dan Russell mendefinisikan kebijakan publik sebagai
“a government decides to do or not to do”, artinya dalam
dimensi ini dipandang kebijakan adalah representasi dari isu
politik yang sedang berkembang (Shafritz et al., 2016).
Peterson berpendapat bahwa kebijakan publik dilihat sebagai
aksi pemerintah dalam menghadapi masalah dengan
mengarahkan perhatian terhadap “siapa mendapat apa, kapan
dan bagaimana” (Somit & Peterson, 2003). Dari hal tersebut
kebijakan publik memiliki beberapa tahapan, yaitu:
penetapan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan
(Dunn, 2018). Adapun beberapa isu terkait dengan kebijakan
publik di antaranya: etika kebijakan, reformasi kebijakan
publik, partisipasi dalam kebijakan publik, kualitas,
efektivitas da kapasitas kebijakan, serta kepalsuan kebijakan.
2. Dimensi Struktur Organisasi.

38
Struktur birokrasi berkenaan dengan bagaimana aktivitas-
aktivitas organisasi distrukturkan atau dituangkan dalam
suatu bentuk struktur dengan tujuan membantu pimpinan
untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Struktur
organisasi dapat berbentuk struktur sederhana, struktur
birokrasi mesin, struktur birokrasi profesional, struktur divisi,
dan struktur inovatif. Menyusun struktur organisasi yang
efektif dan efisien tidaklah mudah karena sifat dari
lingkungan yang bervariatif. Sifat lingkungan ini mulai dari
yang paling sederhana hingga kompleks. Dari variasi sifat
lingkungan ini, muncul dua bentuk desain organisasi, yaitu
organisasi yang bersifat mekanistis dan organisasi yang
bersifat organik. Sedangkan isu penting dalam struktur
organisasi antara lain: semakin berkembangnya gejala
parkinson, kompetensi dalam pekerjaan, penentuan posisi
atau jabatan, penentuan struktur, dan sentralisasi versus
desentralisasi.
3. Dimensi manajemen.
Dimensi manajemen berkenaan dengan penerapan prinsip
manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan publik.
Manajemen publik membahas aspek umum organisasi dan
merupakan gabungan fungsi manajemen seperti planning,
organizing, dan controlling serta unsur lain seperti sumber
daya manusia, keuangan, fisik, informasi dan politik. Dalam

39
perkembangannya, manajemen harus menerapkan
akuntabilitas organisasi yang berkenaan dengan transparansi,
keberhasilan ataupun kegagalan, dan akuntabilitas individu
yaitu pada saat menjadi profesionalitas administrator publik.

4. Dimensi Etika.
Bertens (Yeremias T Keban, 2008) mendefinisikan etika
dalam tiga arti penting: (1) nilai-nilai moral dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan dalam bertingkah laku
(sistem nilai); (2) kumpulan asas atau nilai moral (kode etik);
(3) ilmu tentang baik atau buruk (filsafat moral). Etika dalam
administrasi publik lebih dikenal dengan administrative
responsibility dan di Indonesia lebih dikenal dengan kode
etik. Dasar kode etik bagi administrator publik di Indonesia
adalah Pancasila seta norma etika yang bersifat universal
sebagai penuntun segala tingkah lakunya.
5. Dimensi Lingkungan.
Lingkungan diartikan semua faktor yang berada diluar
organisasi yang mampu mempengaruhi organisasi. Faktor
diluar organisasi tersebut di antaranya; kondisi politik,
ekonomi, sosial, budaya dan hukum serta lingkungan khusus.
Lingkungan yang berbeda dalam suatu negara, akan
menbentuk administrasi publik yang berbeda. Lingkungan

40
Indonesia yang sangat bervariatif membentuk administrasi
publik yang berbeda dengan negara lain. Organisasi dapat
bertahan hidup ketika mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan melalui perubahan strategi, struktur, dan budaya
kerja. Adapun beberapa isu penting dalam lingkungan
administrasi publik di Indonesia seperti: tantangan dan
kondisi Indonesia, tantangan administrasi publik, tantangan
ide pembangunan, serta tantangan good governance.

6. Dimensi Akuntabilitas kinerja.


Perwujudan komitmen dari akuntabilitas publik ditunjukkan
dalam bentuk kinerja, baik kinerja institusi maupun kinerja
administrator publik. Penilaian kinerja dilakukan dengan
membandingkan antara pencapaian dengan standar yang ada
sehingga dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan
produktivitas. Parameter penilaian kinerja terdiri dari empat
hal, yaitu:
(1) Relevance, yaitu mengekur keterkaitan atau relevansi
antara kebutuhan dengan tujuan yang dirumuskan;
(2) Efisiensi, yaitu perbandingan antara input dengan output;
(3) Efektivitas, yaitu tingkat kesesuaian antara tujuan dengan
intermediate outcomes (result) dan final outcomes
(impacts);

41
(4) Utility and sustainability, yaitu mengukur kegunaan dan
keberlanjutan antara kebutuhan dengan final outcomes
(impacts).
Pada saat ini administrasi publik dianggap sebagai
manajemen (Wiig, 2002) yaitu melihat administrasi publik
sebagai a system of management for complex public
administration. Dalam pandangan Hughes terdapat hubungan
antara manajemen dan administrasi publik, yaitu pandangan
bahwa administrasi publik sebagai manajemen pengembangan
teknologi modern menuju modern governance (Hughes, 2012).
Gerakan ini dipengaruhi oleh pembaharuan dari administrasi
publik yaitu New Public Management (NPM) (Yeremias T
Keban, 2014).
Saat ini administrasi publik dilihat sebagai upaya
menghasilkan integrated public governance dimana semua
pihak yang terlibat dalam pemberian pelayanan publik
diintegrasikan dengan nilai legalitas, efisiensi, efektivitas,
keadilan, keterandalan, transparansi, keterlibatan dan integritas
agar dapat mencapai kehidupan yang lebih demokratis dan
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat (Goodsell, 2006).
2.2. Paradigma New Public Service
Pada perkembangannya terdapat dua pendekatan yang
diaplikasikan pada era reformasi birokrasi, yaitu pendekatan
New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS).

42
Dalam paradigma administrasi publik, periode ketiga atau
disebut dengan NPS tentunya memiliki pelaksanaan yang
berbeda dengan konsep NPM. Terdapat perpaduan beberapa
elemen yang ada. Berbeda dengan konsep model klasik dan
NPM, konsep NPS adalah konsep yang memadukan berbagai
elemen. Thoha menyebutkan bahwa NPS dibangun dari ide dan
konsep dasar yang terdiri dari empat hal, yaitu;
(1) Teori kewarganegaraan demokratis;
(2) Model komunitas dan masyarakat;
(3) Organisasi masyarakat;
(4) Postmodern ilmu administrasi publik (Thoha, 2008).
Denhard (Ningtyas, 2017) menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan dalam NPM dengan NPS seperti pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan NPM dan NPS


Aspek New Public New Public Service
Management (2003 – sekarang)
(1970 – 2003)
Dasar teoritis Teori Ekonomi Teori Demokrasi
dan fondasi
epistimologi
Rasionalitas dan Teknis dan Rasionalitas strategis
model perilaku rasionalitas atau resionalitas formal
manusia ekonomi (politik, ekonomi, dan

43
(economic man) organisasi)
Konsep Kepentingan Kepentingan publik
kepentingan publik mewakili adalah hasil dialog
publik agregasi berbagai nilai
kepentingan
individu
Responsivitas Customer Citizen‟s
birokrasi publik
Peran Steering Serving
pemerintah
Pencapaian Organisasi privat Koalisi antar organisasi
tujuan dan non profit publik, non profit, dan
privat
Akuntabilitas Bekerja sesuai Multiaspek:
dengan kehendak Akuntabilitas hukum,
pasar (keinginan nilai-nilai, komunitas,
pelanggan) norma politik, standar
profesional
Diskresi Diskresi diberikan Diskresi dibutuhkan
administrasi secara luas tetapi dibatasi dan
bertanggungjawab
Struktur Desentralisasi Struktur kolaboratif
organisasi organisasi dengan dengan kepemilikan
kontrol utama yang berbagi secara

44
berada pada para internal dan eksternal
agen
Asumsi terhadap Semangat Pelayanan publik
motivasi entrepreneur dengan keinginan
pegawai dan melayani masyarakat
administrator
Sumber: (Denhart and denhart, 2007)
Salah satu perbedaan yang menjadi bahasan dalam topik
disertasi ini adalah pada struktur organisasi yang akan terbentuk
dari paradigma NPS. Mahmudi menjelaskan bahwa organisasi
sektor publik perlu mengadopsi dari prinsip-prinsip yang
digunakan oleh swasta. Hal ini dikarenakan karena moderenisasi
yang semakin berkembang dan tuntutan masyarakat yang
semakin kompleks maka organisasi publik juga harus terus
melakukan perbaikan dan konsep dari yang sebelumnya sangat
normatif menuju yang lebih dinamis (Mahmudi, 2003).
Organisasi sektor publik dalam NPS harus sudah mulai
mengembangkan pemikiran bahwa keberadaan manusia dalam
lingkungan organisasi mempunyai peran yang cukup penting
sehingga sudah wajar jika organisasi tersebut harus
memperhatikan keberadaannya. Selain itu peran manusia
sangatlah sentral karena sebagai pelayan masyarakat dalam
suatu organisasi yang artinya mereka harus berhadapan dengan
manusia lain yang masing-masing mempunyai hak yang sama,

45
oleh karenanya unsur humanis menjadi kunci dalam
keberhasilan organisasi publik tersebut.
Pada paradigma NPS orientasi ekonomi tidak menjadi
yang pertama, sehingga bagaimana pegawai tersebut bekerja
dalam sebuah lingkungan organisasi dilihat dari komitmen dan
kesungguhan masing-masing pegawai memberikan layanan
terbaik untuk masyarakat (publik). Laing menjelaskan bahwa
terdapat tiga karakteristik yang dapat mendefinisikan pelayanan
publik, Pertama bahwa pelayanan publik bukan merupakan
sekedar usulan untuk memberikan pelayanan tetapi juga usaha
memberikan manfaat sosial yang lebih luas dengan basis
keadilan sosial. Kedua adalah pelayanan publik meletakkan
pengguna layanan lebih sebagai warga negara daripada sebagai
pengguna layanan (customer) semata. Ketiga pengguna layanan
publik lebih kompleks dan multidimensional bisa bersifat
individu, keluarga, maupun komunitas.
Munculnya NPS juga menjadikan kedudukan pemerintah
pusat berdasarkan fungsi dan peranannya menjadi lima bagian,
yaitu:
(1) Koordinasi, memiliki kelebihan pengetahuan dalam
penyelenggaraan kebijakan di semua level pemerintahan
daerah dalam melakukan koordinasi pembangunan secara
nasional.

46
(2) Alokasi, peran legitimate untuk mengalokasikan
sumberdaya dan dana yang ada demi keseimbangan dan
pemerataan antardaerah.
(3) Distribusi, sumberdaya tersebut sampai ke daerah dan
menjamin bahwa keseimbangan dan pemerataan ekonomi
daerah dapat berjalan dengan baik
(4) Stabilisasi, menjamin bahwa secara ekonomi pertumbuhan
ekonomi daerah dan kesejahteraan juga kelangsungannnya
agar tetap dapat terjaga.
(5) Evaluasi, bagian dari mekanisme kontrol dengan
pertanyaan pokok apakah semua kebijakan tentang daerah
sudah diimplementasikan dengan baik (Warsono, 2020).
Penyelenggaraan pemerintahan adalah pelaksanaan fungsi
pelayanan kepada masyarakat dengan mengalokasikan sumber
daya dan dana yang ada. Berdasarkan kerangka NPS bahwa
keberadaan lembaga kerja sama antardaerah sebagai salah satu
bahasan topik disertasi ini merupakan bentuk dari implementasi
desentralisasi. Pola kerja sama antardaerah juga mengalami
pergerakan seiring dengan pelaksanaan desentralisasi di daerah
tersebut. Oleh karenanya keberadaan kerja sama antardaerah di
daerah akan sangat dipengaruhi oleh pemerintah pusat sebagai
leader dalam proses pembangunan negara dan penyusunan
strategi yang benar dalam kelembagaan kerja sama akan

47
menjadikan berjalan atau tidaknya proses kerja sama yang
terjadi.

48
BAB III
KERJA SAMA ANTARDAERAH

3.1. Konsep Kerja sama Antardaerah


Kerja sama berasal dari istilah “cooperation”, Rosen
mendefinisikan tentang kerja sama yaitu upaya yang dilakukan
untuk mendapatkan atau sumber efisiensi dan kualitas pelayanan
(Rosen, 1993). Ramses menjelaskan bahwasannya kerja sama
adalah adanya dua pihak atau lebih yang akan berhubungan
secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan
bersama (Subianto, 2016). Terdapat tiga unsur pokok yang
terlihat pada suatu kerangka kerja sama, yaitu:
(1) Dua pihak atau lebih.
(2) Interaksi.
(3) Tujuan bersama.
Kerja sama senantiasa menempatkan pihak-pihak yang
berinteraksi pada posisi yang seimbang, serasi, dan selaras, dan
pihak yang dimaksud disini adalah pemerintah daerah sebagai
pemilik kekuasaan di daerah termasuk segala potensi
sumberdaya alamnya. Frank and Smith menyebutkan bahwa
kerja sama dapat didefinisikan sebagai suatu hubungan dua
pihak atau lebih yang mempunyai tujuan bersama, yang berjanji
untuk melakukan sesuatu bersama-sama (Frank, 2000). Clistrap
menyebutkan bahwa kerja sama merupakan suatu kegiatan
dalam berkelompok untuk mengerjakan atau menyelesaikan

49
suatu tugas secara bersama-sama sedangkan Purwadarminta
mendefinisikan kerja sama sebagai kegiatan yang di lakukan
secara bersama-sama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan
bersama (Santoso et al., 2018).
Banyak juga dalam memaparkan tentang konsep kerja
sama ini menyandingkan antara kerja sama (cooperation)
dengan kemitraan (partnership). Kamus Umum Bahasa
Indonesia dan Cambridge International Dictionary of English
memberikan batasan atas definisi tersebut dengan hampir sama
yaitu kerja sama didefinisikan sebagai kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa pihak (lembaga, pemerintah, dan
sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama (to act work
together for a particular purpose, or to help someone willingly
when help is requested) dan kemitraan didefinisikan sebagai
hubungan (jalinan kerja sama dan sebagainya) sebagai mitra
(partnership is the state for being a partner).
Kerja sama antarpemerintah daerah (integovernmental
cooperation) oleh Patterson dimaknasi sebagai “an arrangement
between two or more governments for accomplishing common
goals, providing a service or solving a mutual problem”. Dalam
definisi tersebut memberikan makna adanya kepentingan
bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah
untuk dapat memberikan pelayanan bersama atau memecahkan
masalah secara bersama dengan pengaturan bersama dan

50
sukarela dengan adanya tujuan dan target tertentu yang harus
dicapai oleh masing-masing daerah (Warsono, 2009b).
Sedangkan menurut Pamudji kerja sama antardaerah adalah
suatu kerangka hubungan kerja yang dilakukan oleh dua daerah
atau lebih dalam posisi yang setingkat dan seimbang untuk
mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan
rakyat (Pamudji, 1985).
Munculnya pergeseran paradigma dari government ke
governance menjadikan adanya paradigma baru dalam tata
kelola pemerintahan. Penekanan utama adalah dengan adanya
kesetaraan dan kesimbangan antara pemerintah, sektor swasta,
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tentunya
hal ini juga berdampak tentang pelaksanaan kerja sama
antardaerah baik pada tataran teoritis dan praktis yang
menjadikan kerja sama antardaerah dari yang semula hanya
kerja sama (cooperation) menjadi sebuah kolaborasi
(collaboration).
3.2. Urgensi Kerja sama Antardaerah
Perlunya kerja sama antardaerah sebagaimana
dikemukakan oleh Keban dilatarbelakangi oleh beberapa alasan,
di antaranya:
1. Kekuatan yang lebih besar akan dibentuk oleh pihak-pihak
yang melaksanakan kerja sama. Hal ini dikarenakan
adanya kekuatan dan sinergi bersama antardaerah yang

51
bekerja sama dalam menangani permasalahan yang ada.
Pemerintah daerah akan lebih baik menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan lingkungan yang rumit dan lintas
batas secara bersama daripada daerah tersebut harus
menangani masalahnya sendiri.
2. Daerah yang bekerja sama akan lebih berdaya, hal ini
dikarenakan setiap daerah yang bekerja sama akan
memiliki posisi untuk melakukan tawar menawar yang
baik atau mampu untuk memperjuangkan kepentingannya
kepada struktur pemerintahan yang lebih tinggi
3. Kerja sama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui
kerja sama kecenderungan ego daerah dapat dihindari dan
visi tentang kebersamaan sebagai suatu bangsa dan negara
dapat tumbuh.
4. Kemajuan yang lebih tinggi dapat dicapai oleh daerah
yang bekerja sama. Pada prosesnya daerah akan
melakukan proses transfer ketrampilan, kepandaian, dan
informasi. Dari hal tersebut daerah akan dapat belajar dari
daerah lainnya.
5. Keadilan dalam pelaksanaan kerja sama akan terjadi jika
masing-masing daerah melaksanakan prinsip transparansi
dalam proses pelaksanaan kerja sama
6. Dengan kerja sama daerah-daerah yang pada awalnya
bersaing ketat atau sudah terlibat konflik dapat bersikap

52
lebih toleransi dan berusaha mengambil manfaat atau
belajar dari konflik tersebut
7. Masing-masing pihak yang bekerja sama akan
memerlukan keberlanjutan penanganan bidang-bidang
yang dikerja samakan. Dengan kerja sama masing-masing
mempunyai komitmen untuk tidak menghianati partnernya
tetapi memelihara hubungan yng saling menguntungkan
secara berkelanjutan.
Dalam pemikiran Frank and Smith pada awalnya kerja
sama hendaknya saling menguntungkan antara kedua belah
pihak, tetapi pada kenyataannya hal tersebut juga bisa tidak
terjadi, oleh karenanya kerja sama yang dilakukan oleh
pemerintah daerah pada dasarnya tidak terbatas antar institusi
pemerintah tetapi dengan pihak swasta dengan prinsip saling
menguntungkan dan memperoleh keuantungan. Pemikiran Frank
and Smith ini menjelaskan bahwa kerja sama pada dasarnya
dapat dilakukan antara pemerintah dengan pihak swasta maupun
di antara pemerintah sendiri, baik dalam level yang sama
maupun dalam tingkat pemerintahan seperti provinsi dengan
kabupaten (Aziz, 2016). Secara konkret pendapat tersebut dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: (1) kerja sama antarpemerintahan,
yang meliputi kerja sama antarpemerintah dalam tingkat
pemerintahan yang sama/horizontal dan kerja sama

53
antarpemerintahan yang tidak sama/vertikal, (2) kerja sama
antara pemerintah dan swasta.
Pada bagian lainnya, (Obydenkova, 2008) menyebutkan
bahwa latar belakang adanya kerja sama antardaerah adalah
karena adanya perbedaan struktur sosial, pembangunan ekonomi
dan industri, dan pada pola ideologis yang ada di sebuah
wilayah. Adanya struktur sosial yang tidak sama antardaerah
yang saling berdekatan sangat berdampak dengan pelaksanaan
kerja sama antardaerah yang saling berdekatan. Daerah dengan
kondisi masyarakat struktur sosial tinggi tidak akan bersedia
untuk bekerja sama dalam setiap kegiatan yang ada, begitupun
sebaliknya. Pembangunan ekonomi dan industri dalam satu
daerah yang berbeda dengan daerah lainnya juga menjadikan
sebuah kerja sama ini dirasa sangat perlu untuk dilaksanakan,
hal ini dimaksudkan agar semua daerah dapat merasakan
dampak dari kemajuan ekonomi dan industri yang ada.
Selanjutnya pola ideologis hal ini memang sangat berpengaruh
dalam kerja sama pada tataran lebih besar yaitu antar negara.
Pembentukan basis yang kuat dalam pelaksanaan kerja
sama juga diperlukan karena sesuai dengan paradigma
membangun hubungan antar organisasi dalam bentuk network
and strategic alliances (Limerick, 1993). Pada pembahasannya
sesuai dengan paradigma, maka setiap institusi pemerintah harus
mengembangkan hubungan luar yang kuat dengan institusi lain

54
agar mampu memberikan yang terbaik kepada
masyarakat, salah satu caranya adalah melalui kerja sama
antardaerah.
3.3. Prinsip Kerja sama Antardaerah
Ada beberapa alasan kuat diadakannya kerja sama
antardaerah yang pertama adalah adanya logika pengaturan cara
lama yang didasarkan atas regulasi dan kontrol yang hierarkhis
sudah tidak memadai dikarenakan sudah tersebarnya
“kekuasaan” ke tangan banyak aktor. Kedua, peluang dan
tantangan yang dihadapi pemerintah daerah seringkali bersifat
lintas teritori. Ketiga, kerja sama antardaerah dapat memperkuat
“posisi tawar” daerah tatkala harus berhadapan dengan aktor
luar dan keempat, kerja sama antardaerah mampu mengatasi
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki (Prasetya, 2013).
Kerja sama antardaerah tidak dapat dipisahkan dalam
rangka pengembangan intergovernmental networks, pada setiap
daerah tidak bisa melaksanakan kegiatannya sendiri, dalam
pengembangannya daerah selalu membutuhkan daerah
sekitarnya yang masih dalam satu klaster (Peck, 2004). Untuk
dapat mendorong ke arah tersebut, pembangunan dan
pengelolaan kerja sama antardaerah harus diletakkan dalam
prinsip-prinsip kemitraan yang sejajar (equal partnership),
sinergis dan saling menguntungkan, berbasis kebutuhan (need-
based), mendorong partisipasi, fleksibel, legitimate, efektif-

55
efisien, akuntabel, dan berkelanjutan (sustainable). Menurut
Pratikno bahwa pengelolaan dan pengembangan kerja sama
daerah seharusnya diletakkan di atas prinsip-prinsip sebagai
berikut (Anggita et al., 2017):
1. Kemitraan sejajar (equal partnership)
Interaksi dari pihak yan terlibat harus didasarkan pada
posisi yang setara (equality), demikian pula dengan
manfaat (gain) yang diperoleh, artinya interaksi yang
terlibat tersebut harus memenuhi kepentingan semua
pihak, tidak hanya terbatas pada satu atau sebagaian pihak
saja. Kerja sama menempatkan pihak-pihak yang
berinteraksi pada posisi seimbang, selaras, dan serasi,
karena interaksi yang terjadi bertujuan demi pemenuhan
kebutuhan bersama tanpa ada yang dirugikan.
2. Sinergis dan Saling Menguntungkan
Kekuatan dari kerja sama adalah adanya komitmen untuk
membangun sinergi lintas aktor. Dalam rangka
membangun sinergi lintas aktor ini pertama harus
diupayakan terbangunnya kesadaran bersama bahwa
dengan kerja sama maka hasil kolektif yang diperoleh
akan optimal.
3. Berbasis kebutuhan (need-based)
Kerja sama yang terjalin harus berdasarkan pada
kepentingan bersama dari para pihak yang bekerja sama.

56
Hal ini berimplikasi dari kerja sama yang bersifat
partisipatif, melibatkan semua pihak secara setara yang
pada gilirannya melahirkan kesepakatan. Karena jenis
kepentingan para pihak tidak mungkin mempunyai
kepentingan yang sepenuhnya sama, maka kejelasan
transaksi atau take and give merupakan substansi
kesepatan yang harus dibuat. Take yang didapat masing-
masing daerah hampir sama, yaitu manfaat dari kegiatan
yang akan dikerja samakan. Sedangkan give yang
diberikan berupa masukan-masukan yang diberikan ketika
rapat dalam membuat suatu keputusan dalam rangka kerja
sama
4. Pelibatan dan pemilikan (engagement and ownership)
Keberlangsungan kerja sama sangat terkait dengan
seberapa aktif atau seberapa dalam tingkat keterlibatan
(engagement) anggota. Tingkat keterlibatan anggota ini
juga mencerminkan seberapa besar komitmen dan
kepemilikan (ownership) daerah terhadap forum kerja
sama. Keterlibatan disini dilihat sebagai bentuk
pendalaman partisipasi yang dimaksudkan untuk
menjamin bahwa stakeholders di daerah akan merasa turut
memiliki kehadiran bangunan kerja sama yang dibentuk.
5. Fleksibel

57
Fleksibel ini dimaksudkan adalah kerja sama tidak kaku,
kerja sama harus dapat menangkap peluang dan selalu
terbuka, namun demikian fleksibelitas ini harus tetap
mengedapankan kepatuhan kepada kesepakatan dan
keberlanjutan kerja sama. Oleh karena itu, format kerja
sama perlu dikembangkan secara bertahap, learning by
doing, sebagai bentuk daya tanggap terhadap perubahan
keadaan. Kerja sama sebaiknya bersifat fleksibel sehingga
peluang perubahan selalu terbuka dalam perjalanan kerja
sama. Namun demikian, fleksibilitas ini harus tetap
mengedepankan kepatuhan kepada kesepakatan dan
keberlanjutan kerja sama (Pratikno, 2007).
6. Legitimate
Bangunan sebuah kerja sama antardaerah harus mampu
memperoleh jaminan dukungan dari daerah sebagai
kesatuan entisitas politik. Untuk menjadi legitimate,
lembaga kerja sama antardaerah dan simpul lembaga-
lembaga kerja sama antardaerah harus mendapat dukungan
baik dari pemerintah, parlemen, maupun masyarakat.
Selain legitimasi politis, kerja sama antardaerah harus
memiliki legitimasi yuridis sebagai basis legal formal
operasional kerja sama.
7. Efektif

58
Lembaga kerja sama antardaerah dan simpul lembaga
kerja sama antardaerah akan bisa bertahan dan bahkan
berkembang jika ada pembuktian bahwa kehadirannya
memang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama
daerah, artinya kerja sama telah memberikan efek positif
dan tidak justru menjadi beban baru bagi daerah.
8. Akuntabel dan Transparan
Akuntabel dan transparan tidak hanya terkait dengan
penggunaan dana melainkan juga menjadi spirit bagi
setiap proses dan tahapan pengelolaan kerja sama,
misalnya dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kesepakatan. Kerja sama yang berkelanjutan
akan dapat tercapai ketika pengelolaan kerja sama
dilakukan secara akuntabel dan transparan.
9. Berkelanjutan
Kerja sama antardaerah harus dimaknai dalam perspektif
jangka pajang. Keberlanjutan dengan demikian harus
menjadi salah satu prinsip dasar yang penting untuk
didudukkan dalam bangunan lembaga kerja sama
antardaerah dan simpul lembaga-lembaga kerja sama
antardaerah.
Selanjutnya, Keban menjelaskan empat agenda praktis
yang dapat dilakukan pemerintah di masa mendatang dalam

59
konteks memperkuat basis kerja sama antarpemerintahan daerah
(Yeremis T. Keban, 2007). Keempat agenda tersebut adalah:
Pertama, perlunya identifikasi kebutuhan dalam bidang yang
dikerja samakan antarkabupaten/kota. Untuk itu perlu
dilakukan beberapa kegiatan utama sebagai berikut:
1. Melaksanakan pembahasan secara mendalam terhadap
masalah yang timbul dalam suatu diskusi terbuka
dalam rangka memperoleh gambaran tentang positif
atau negatifnya dalam memecahkan masalah tersebut
melalui kerja sama antardaerah
2. Mencari sumber data dan informasi yang berkaitan
langsung dengan masalah kerja sama antardaerah
3. Menetapkan atau memutuskan masalah yang harus
ditangani melalui kerja sama antardaerah
Kedua, mengukur tingkat kemampuan Propinsi dalam
menangani kerja sama antar Kabupaten/Kota dalam
wilayahnya. Untuk mendapatkan gambaran yang obyektif
tentang kemampuan suatu provinsi dalam memfasilitasi kerja
sama antarkabupaten/Kota. Maka dibutuhkan kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
1. Merekomendasikan apakah mereka memerlukan suatu
pelatihan dan fasilitasi khusus.
2. Menilai kemampuan dan pengalaman mereka dalam
menangani kerja sama atau kemitraan tersebut.

60
3. Mencari data dan informasi tentang kemampuan dan
pengalaman Propinsi dalam pengembangan kerja sama
atau kemitraan tersebut.
Ketiga, menyusun suatu bentuk desain training khusus
dalam membantu provinsi untuk memfasilitasi kerja sama
antar kabupaten/kota dalam wilayahnya. Training tersebut
secara khusus diarahkan pada peningkatan kemampuan teknis
fasilitasi kerja sama atau kemitraan dengan basis yang kuat,
di samping kemampuan-kemampuan praktis lainnya.
Keempat, struktur, fungsi, dan kemampuan unit-unit
institusi Propinsi itu sendiri harus disesuaikan dengan peran
kerja sama tersebut. Dinas-dinas Propinsi seharusnya didesain
dengan memperhitungkan peran tersebut. Dengan peningkatan
peran dan kemampuan tersebut, diharapkan hubungan
kohesif antar pemerintah daerah (kota dan kabupaten) di
setiap propinsi di tanah air menjadi semakin tinggi. Ketahanan
nasional, persatuan dan kesatuan tentu akan lebih terjamin
apabila setiap propinsi memainkan peran tersebut secara efektif.
3.4. Model Kerja sama Antardaerah
Model dalam sebuah kerja sama antardaerah menjadi
sangat penting karena menyangkut bagaimana organisasi
tersebut terselenggara, tentunya juga menyangkut masalah
pengaturan dalam menjalankan sebuah organisasi kerja sama
antardaerah. Kerja sama antardaerah dibutuhkan oleh daerah

61
karena setiap kabupaten memiliki batas wilayah secara
administratif dan ditentukan melalui perundang-undangan. Kerja
sama adalah kegiatan yang dilakukan antara dua pihak atau lebih
dan memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai serta
memiliki kesepakatan bersama untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut secara bersama-sama (Frank, 2000). Dalam
pelaksanaan kerja sama harus terdapat pembagian sumber daya,
pekerjaan, resiko, tanggungjawab, pengambilan keputusan,
kekuasaan, manfaaat, dan beban. Selain itu dalam pelaksanaan
kerja sama harus terdapat nilai tambah pada masing-masing
mitra dalam hal ini adalah daerah yang bekerja sama.
Banyak masalah dan kepentingan yang timbul dari
keberadaan batas administratif tersebut, pengaruh terbesar
adalah banyaknya kepentingan masyarakat terkait dengan sosial
ekonomi yang harus diselesaikan dengan melewati batas
administratif tersebut. Atas alasan tersebut maka kerja sama
antardaerah sangat diperlukan dalam rangka mengatasi masalah
yang timbul dari lintas wilayah administratif, adanya
perselisihan dan konflik antar masyarakat akan dapat diminalisir
dengan adanya kerja sama daerah.
Selain itu adanya potensi pada suatu daerah dapat
dimanfaatkan secara bersama dengan daerah lainnya karena
adanya perjanjian kerja sama. Kemampuan yang terbatas dalam
menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana dalam

62
mencukupi kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Sedangkan
kebutuhan dari mastarakat akan terus berjalan dan tercukupi dari
adanya aktivitas masyarakat. Oleh karenanya dalam mencukupi
kebutuhan masing-masing daerah karena adanya perbedaan
sumberdaya dan kemampuan daerah dalam menyediakan
infrastruktur maka diperlukan sebuah kerja sama daerah. Kerja
sama daerah ini juga dapat mengurangi disparitas antardaerah
sehingga semua daerah mempunyai kesetaraan (Pranata, 2015).
Kerja sama antardaerah pada umumnya terjadi karena
adanya saling ketergantungan tiap daerah dalam kegiatan
ekonomi. Adanya perbedaan potensi sumberdaya, kepemilikan,
dan kebutuhan dari spesialisasi pekerjaan akan menjadikan
sebuah daerah akan bekerja sama secara sungguh-sungguh agar
kebutuhan masyarakat daerahnya tersebut terpenuhi (Zakaria,
2015). Selain itu penyebab lain diperlukan kerja sama adalah
adanya perbedaan kondisi geografis dan karakteristik
kewilayahan pada masing-masing daerah yang berbeda.
Beberapa bentuk kerja sama yang ada mengindikasikan
berbagai dimensi pelaksanaan dari kerja sama antardaerah. Hal
tersebut juga mempengaruhi bagaimana manajemen yang
diterapkan dalam kerja sama antardaerah. Gary dalam
menyebutkan bahwa kerja sama antarpemerintah dapat
berbentuk (Taylor, 2003), antara lain:

63
1. Fee for service contracts (service agreements), kerja sama
daerah dengan bentuk ini adalah satu daerah yang
menawarkan layanan kepada daerah lain, dalam artian satu
daerah menjual dan satu daerah sebagai pembeli. Pada
pelaksanaannya bentuk kerja sama ini akan sulit dalam
menentukan kesepakatan harga antara kedua daerah.
Keunggulannya adalah daerah lain tidak perlu
mengeluarkan biaya awal dalam penyediaan layanan dan
dapat diwujudkan dalam waktu yang relative cepat.
Contoh dalam kerja sama sistem ini adalah listrik, air
bersih, dan lainnya, dengan pola harga dan jangka wakttu
yang disepakati oleh kedua daerah tersebut.
2. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas
bersama). Dalam bentuk kerja sama ini, pemerintahan
daerah bersedia untuk memberikan delegasi pelaksanaan
dan pengelolaan serta tanggungjawab kepada badan yang
telah dibentuk secara bersama dan beranggotakan
perwakilan dari pemerintah daerah yang terkait. Badan ini
juga diisi oleh anggota dari kalangan professional yang
dikontrak oleh pemerintah daerah bersangkutan. Bentuk
ini banyak dilaksanakan di Indonesia dengan sebutan
Sekretariat Bersama. Badan ini juga mempunyai
kewenangan dalam hal melaksanakan kebijakan-kebijakan
yang terkait dengan layanan publik yang diusurnya,

64
mempunyai hak otonomi yang dapat dimanfaatkan oleh
lembaga tersebut. Namun pada pelaksanannya bentuk ini
memiliki kelemahan yaitu pemerintah daerah tidak
mempunyai kontrol yang kuat terhadap bidang-bidang
yang diurus oleh badan tersebut.
3. Handshake Agreement, pelaksanaan kerja sama model ini
didasarkan pada kepercayaan dan komitmen yang kuat
antardaerah karena tidak adanya dokumen formal dalam
pelaksanaan kerja sama. Latar belakang pelaksanaan kerja
sama ini biasanya antardaerah memiliki cerita historis
yang sama, sehingga muncul rasa untuk saling membantu
antardaerah tersebut. Hal itulah yang menjadi kekuatan
dalam pelaksanaan kerja sama dengan bentuk ini. Bentuk
kerja sama ini dirasakan sangat efisien dan lebih fleksibel
dalam pelakasanaannya karena masing-masing daerah
tidak ada kewajiban yang saling mengikat antardaerah.
Kelemahan dalam bentuk ini adalah munculnya banyak
kesalahpahaman antardaerah terutama dalam masalah
teknis serta kecenderungan yang terjadi adalah tidak
adanya keberlanjutan dalam kerja sama terutama jika
daerah tersebut terjadi pergantian pemimpin daerah. Oleh
karena itu, bentuk kerja sama ini sangat jarang ditemukan
pada isu-isu strategis.

65
4. Regional Bodies, bentuk kerja samanya adalah dengan
pembentukan satu badan yang secara bersamaan
menangani isu umum yang terjadi antar beberapa daerah
secara bersamaan atau isu kewilayahan. Badan yang telah
dibentuk memiliki otoritas yang cukup dan bersikap netral
agar mampu bergerak dinamis dalam memberikan
keleluasaan pada pelaksanaan implementasi kerja sama
yang telah disepakati oleh antardaerah yang bekerja sama.
Badan ini akan dianggap kontradiktif jika terdapat satu isu
yang setelah dibahas ternyata merugikan satu daerah yang
bekerja sama. Di Indonesia, peranan badan ini sebenarnya
bisa dijalankan oleh pemerintah provinsi.
5. Joint Agreements (pengusahaan bersama), dalam
pelaksanaannya bentuk ini mensyaratkan adanya
keterlibatan langsung dan partisipasi dari masing-masing
daerah yang bekerja sama dalam penyediaan dan
pengelolaan pelayanan publik. Dalam bentuk ini
pemerintah daerah yang bekerja sama saling memiliki
kontrol dan tanggungjawab terhadap program yang
disepakati. Bentuk kerja sama ini tidak memerlukan
perubahan struktur pemerintahan daerah. Pada
pelaksananaannya bentuk ini mempunyai kelemahan
bahwa dokumen perjanjian yang dihasilkan adalah sangat
rumit dan terperinci karena harus mengakomodir dua

66
kepentingan daerah dan sistem birokrasi yang ada di
masing-masing pemerintah daerah yang bekerja sama.
3.5. Pengertian Intergovernmental Management
Beberapa kajian yang telah menjelaskan kerja sama
antardaerah memulai konsepnya dari menemukan model dalam
sebuah kelembagaan kerjasmaa, apakah kerja sama yang
dilakukan pada daerah yang saling berdekatan ini mengarah
pada intergovernmental relational atau intergovernmental
management. Agranoff menjelaskan bahwa manajemen terpadu
yang terbentuk yaitu intergovernmental management harus
dikendalikan secara bersama. Dalam intergovernmental
management ditekankan kembali pada proses pencapaian tujuan
yang dimulai sejak awal proses manajemen dan dilakukan
tindakan secara bersama-sama demi tercapainya tujuan bersama
(Rocheleau & Agranoff, 1986).
Intergovernmental Management (IGM) menjadi bahasan
dalam disertasi ini. IGM dapat diartikan sebagai hubungan
antardaerah yang terjadi dalam format kerja sama dalam
pengelolaan urusan pemerintahan tertentu yang merupakan
kebutuhan mereka bersama (Warsono, 2020). Mc Guire
menjelaskan bahwa IGM is more than just intergovernmental
relationships. O‟Toole juga mengungkapkan konsep dari IGM
yaitu: The crucial role of public management in such programs
has been recognized by specialist in intergovernmental

67
relations, who have emphasized the rise of “intergovernmental
management” as the core of intergovernmental relations more
generally.
O‟Toole (Warsono, 2020) dalam penjabaran konsep IGM
juga menekankan tentang bagaimana melakukan upaya
penyelarasan antara kerja sama struktural dengan kerja sama
manajerial. Keberadaan kerja sama antardaerah ini juga harus
menghasilkan perubahan kinerja, oleh karena itu kerja sama
yang dikembangkan adalah pertimbangan antara dua aspek yaitu
kerja sama strukural dan manajerial.
Secara khusus terdapat dua fenomena teoritis dalam
pengembangan topik IGM, yakni pertama, pentingnya
pergeseran pendekatan organisasi kerja sama antardaerah dari
konsep intra organization kearah inter organization. Kedua,
pendekatan kerja sama antardaerah yang karena struktur
hubungannya yang merupakan “relasi horisontal” dari bersifat
voluntary ke arah semangat kolaborasi yang lebih punya
kekuatan dalam collective action. IGM juga akan memberikan
adanya peluang penyelenggaraan manajemen yang terkendali
penuh dengan sektor kerja sama yang jelas dengan
mengedepankan networking (Rachmawati, 2018).
Thomson dan Gray (Warsono, 2020) mendefinisikan
kolaborasi merupakan interaksi dari pihak-pihak otonom melalui
negosiasi baik secara formal maupun informal dengan bersama

68
menyusun struktur dan aturan pengelolaan hubungan
antardaerah, merencanakan tindakan atau keputusan untuk
mengatasi isu yang ada, serta kesepakatan yang menyangkut
dengan sharing atas norma dan manfaat yang saling
menguntungkan antar masing-masing daerah. Pengembangan
kerja sama antardaerah ke depan akan menggunakan konsep dari
kolaborasi yang dipandang lebih efektif daripada hanya sekedar
cooperation. Kolaborasi memberikan pengertian bahwa
pelaksanaan kerja sama yang melibatkan pengelolaan hubungan
stakeholder dengan strategi yang eksplisit dan formal serta
berorientasi pada konsensus dalam mengambil keputusan.
Model kerja sama antardaerah ini dikembangkan melalui
hubungan awal berupa jejaring kemudian ditingkatkan menjadi
hubungan kerja sama ke arah kemitraan dan menuju pada
semangat kolaborasi. Pada pelaksanaannya kolaborasi yang
dimaksud tidak hanya antarpemerintah daerah otonomi tetapi
juga dengan aktor non government yaitu dengan semua
stakeholder, swasta/bisnis, masyarakat, NGO, perguruan tinggi
dan media massa (penthahelix model) (Yuniningsih et al., 2019).
Kerja sama antardaerah yang dimaksud adalah sebagai
proses kolaboratif adalah pelibatan aktor sektor publik yang
bertujuan untuk mencapai target layanan dan atau pembangunan
yang lebih baik (Abdurahman, 2014). Pola kolaborasi yang
berlaku bersifat saling menguntungkan dan mengikat melalui

69
kesepakatan bersama sebagai ciri khas. Salah satu faktor penting
dari regulasi kerja sama tersebut adalah kesamaan kedudukan di
antara pihak yang bekerja sama. Dalam konteks collaborative
governance, sebuah kerja sama akan tumbuh dan berkembang
bila manfaatnya terbukti besar (Mandell, 2002); (Abdurahman,
2014). Bentuk kerja sama antardaerah yang murni, dimulai dari
bentuk dasar teoritical dan berkembang menuju koordinasi
gugus tugas temporer sampai permanen dan/atau koordinasi-
koordinasi regular sampai struktur jaringan koalisi (Mandell,
2002), seperti skema pada gambar 2.1.

Gambar 3.1. Skema Rangkaian Mandell: Aktivitas Kerja sama


Antardaerah

Activity of Interlocal Collabority

Low resource requirement Hight resource requirement


Informal Formal
Loose linkages Thigt linkages
Simple Complex
Shor Term Long Term

Sumber: (Mandell, 2002)

70
Bentuk kerja sama antardaerah Rangkaian Mandell
tersebut bersifat abstrak dan sebagai pola dasar menuju
koordinasi regular dalam suatu jaringan koalisi antardaerah,
dalam penyempurnaannya rangkaian Mandell ini jika dilihat
pada rangkaian Michigan Suburbs Alliance yang gambaran dan
tantangan kerja sama semakin jelas, yaitu dari mudah ke berat,
dari persetujuan-persetujuan bantuan timbal balik yang formal
ke konsolidasi yang lebih informal
Dalam rangkaian kerja sama Michigan Suburbs Alliance
tersebut berbagai bentuk kerja sama yang dimaksud adalah
sebagai berikut (Lexipol, 2013):
1. Equipment and Personnel Staging, yaitu bentuk kerja sama
yang bersifat informal dan lebih sederhana, menyangkut
kegiatan penyelamatan peralatan dan personilnya ketika
terjadi peristiwa yang mengancam sumber daya yang ada
dalam yuridiksi daerah. Bentuk kerja sama ini merupakan
bentuk murni atau pola dasar dari suatu kerja sama
antardaerah.
2. Mutual aid, adalah bentuk kerja sama yang dimaksudkan
untuk saling membantu satu sama lain, ketika suatu mitra
membutuhkan bantuan yang sifatnya temporer. Bentuk ini
umumnya tidak didokumentasikan secara formal (ussualy
not formally documented). Bentuk kerja sama ini sudah
lebih formal dibandingkan bentuk kerja sama yang

71
diuraikan sebelumnya, sekalipun belum didokumentasikan
dalam bentuk kontrak tertulis.
3. Automatic Mutual Aid, adalah bentuk kerja sama yang
dilakukan dengan memberi bantuan secara otomatis, tanpa
suatu permintaan spesifik dari daerah yang memerlukan
bantuan. Umumnya lebih formal dibanding Mutual Aid,
dapat mempertukarkan layanan dengan pembayaran yang
dikehendaki.
4. Functional Consolidation, yaitu kerja sama dalam bentuk
masing-masing daerah beroperasi dengan bebas dan tetap
terpisah secara hukum, tetapi beberapa fungsi bekerja
sebagai suatu unit yang terkoordinir. Bentuk kerja sama ini
adalah yang paling banyak ditemukan di Indonesia dalam
bentuk kerja sama yang meletakkan fungsi koordinasi pada
Badan Kerja sama Antardaerah atas aktivitas yang
dilakukan oleh masing-masing daerah.
5. Fee-for-Service Contract, yaitu suatu daerah yang menjual
layanan publik bagi daerah lain pada suatu tingkat tarif
yang telah disepakati dan untuk suatu periode waktu yang
ditetapkan.
6. Consolidation, yaitu bentuk kerja sama dimana masing-
masing daerah beroperasi terpisah secara hukum dan
melengkapi sumber pembiayaan yang berbeda, tetapi

72
mereka beroperasi sebagai satu kesatuan melalui
pembentukan suatu badan.
7. Full Consolidation, dalam bentuk kerja sama ini,
pengawasan utama terletak pada Badan-badan pemerintahan
(governing bodies), dan kepemilikan aset-aset adalah
tanggung jawab bersama badan-badang pemerintahan.
Bentuk ini mencakup bentuk kerja sama yang meletakan
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu secara
penuh kepada badan yang dibentuk, bahkan dalam bentuk
badan hukum.

Selanjutnya bentuk kerja sama antardaerah dalam


rangkaian Michigan Suburbs Alliance, disederhanakan oleh
Cigler ke dalam tiga tipe (Cigler, 1999), yaitu:
1. Cooperative partnerships, merupakan bentuk kemitraan yang
paling sederhana dan berbiaya murah, yang dapat terjadi baik
dalam bentuk formal dan informal
2. Coordinating partnerships, merupakan bentuk kemitraan
yang memerlukan banyak komitmen, pertalian-pertalian yang
lebih ketat dan lebih formal, namun terbatas pada hubungan
koordinasi
3. Collaborative partnerships, adalah bentuk yang paling kuat,
merupakan usaha-usaha kerja sama melibatkan kemauan

73
yang kuat dalam jangka panjang serta dukungan sumber daya
yang signifikan
Meksipun demikian terdapat beberapa ahli yang
mendefinisikan konsep dalam proses kolaborasi digambarkan
sebagai tahapan yang linear dan terjadi secara kontinyu serta
berkelanjutan dimulai dari pendefinisian masalah menuju setting
agenda hingga implementasi. Berlawanan dengan Ansell dan
Gash serta Thomson dan Perry, Emerson melihat dinamika
proses kolaborasi sebagai siklus interaksi yang oriteratif.
Emerson fokus pada tiga komponen interaksi dari dinamika
kolaborasi (Emerson et al., 2012). Komponen tersebut antara
lain: Penggerakan prinsip bersama (principled engagement),
motivasi bersama (shared motivation) dan kapasitas untuk
melakukan tindakan bersama (capacity for joint action).
3.6. Strategi Kerja sama Antardaerah
Kebijakan otonomi daerah sesungguhnya memberikan
tanggungjawab dan beban kerja yang jauh lebih berat kepada
daerah, dibanding pada masa-masa sebelumnya. Sementara
disisi lain, pemerintah daerah masih dihadapkan pada berbagai
permasalahan klasik berupa keterbatasan kualitas dan kuantitas
sumber daya, baik anggaran, SDM maupun sarana dan
prasarana. Hal ini mengharuskan jajaran aparat daerah untuk
berpikir secara kreatif dan inovatif untuk membangun sistem
manajemen pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Salah

74
satu strategi yang dapat ditempuh disini adalah dengan
mengembangkan pola-pola partisipasi, kerja sama, dan
kemitraan dalam penyelenggaraan suatu urusan dan/atau
kewenangan tertentu (Utomo, 2005).
Kata kunci utama dalam pengembangan kerja sama adalah
kolaborasi, sesuai dengan konsep Thomson dalam tulisannya
„collaboration processes: inside the black box‟ (Thomson &
Perry, 2006) yang selanjutnya dikembangkan oleh Ansell dan
Gash dalam membuat alternatif model pengelolaan kelembagaan
berbasis collaborative governance (Ansell & Gash, 2007). Pada
pelaksanaan kerja sama antardaerah kolaborasi menjadi tingkat
tertinggi dari kooperasi dan koordinasi. Kolaborasi merupakan
proses bersama dalam pembentukan sebuah kesatuan yang
didasari oleh hubungan saling menguntungkan dan adanya
kesamaan tujuan dari organisasi atau individu yang memiliki
sifat otonom. Berjalannya proses kolaborasi yang terjadi dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah tidak terlepas dari adanya
strategi dalam melaksanakan keberhasilan kerja sama, yang
tentunya inilah yang diharapkan oleh daerah yang bekerja sama.
Kolaborasi mempunyai delapan karakteristik (Carpenter &
Sanders, 2009), yaitu: (1) setiap pihak tidak dibatasi dan tidak
hierarkis tetapi sejajar antar satu dengan lainnya, (2) setiap
pihak memastikan tujuan yang akan dicapai dan
bertanggungjawab atas hal tersebut, (3) mempunyai tujuan yang

75
rasional, (4) terdapat batasan masalah, (5) masing-masing
daerah saling menerima masukan sehingga terdapat proses
saling belajar, (6) terdapat pengujian dan identifikasi dari
adanya pilihan alternatif pemecahan masalah, (7) alternatif
solusi yang ditawarkan dibagikan kepada asing-masing daerah
sehingga daerah dapat memberikan masukan, dan (8) setiap
daerah mengetahui perkembangan situasi yang terjadi. Untuk
mendapatkan hasil maksimaldalam proses kolaborasi maka
pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolaborasi harus
memperhatikan beberapa aspek termasuk strategi yang
digunakan dalam rangka pelaksanaan kerja sama antardaerah.
Keberhasilan pelaksanaan kerja sama antardaerah
dilakukan melalui penetapan strategi yang benar. Chandler
mendefinisikan strategi sebagai proses berurutan secara sentral
ditentukan pada saat pertama kali aktivitas dan kemudian
diimplementasikan melalui struktur organisasi yang tepat,
dijelaskan juga bahwa struktur organisasi dan strategi saling
mempengaruhi (Chandler, 1962). Banyak ahli yang
menyampaikan tentang strategi, Pearce dan Robinson
mengatakan bahwa formulasi strategi diawali melalui alisis
lingkungan internal dan analisis lingkungan secara eksternal
organisasi. Analisis lingkungan internal organisasi
dimaksudkan kegiatan untuk menilai apakah organisasi
dalam posisi yang kuat (strength) ataukah lemah

76
(weaknesses), penilaian tersebut didasarkan melalui
kemampuan internal (aset, modal, teknologi) yang dimiliki oleh
organisasi dalam upaya untuk mencapai misi yang telah
ditetapkan. Sedangkan analisis eksternal organisasi
menunjukkan kegiatan organisasi untuk menilai tantangan
(treath) yang dihadapidan peluang (opportunity) yang dimiliki
oleh organisasi dalam upaya mencapai misi organisasi berdasar
atas lingkungan ekstenalnya. Analisis lingkungan internal dan
eksternal organisasi dalam manajemen strategik disebut
dengan SWOT analysis (Robinson & Pearce, 1983).
Selanjutnya ahli yang juga menyampaikan tentang strategi
adalah Goldworthy dan Ashley, dengan mengusulkan tujuh
aturan dasar dalam merumuskan suatu strategi, yaitu:
1) Strategi dapat menginterpretasikan masa depan, bukan hanya
sekarang.
2) Arahan strategi harus bisa menentukan rencana dan
bukan sebaliknya.
3) Strategi harus memfokuskan pada keunggulan kompetitif
yang ada, tidak semata-mata pada pertimbangan keuangan.
4) Strategi harus diaplikasikan dari atas ke bawah, bukan dari
bawah ke atas.
5) Strategi harus mempunyai orientasi eksternal.
6) Strategi harus memiliki sifat yang fleksibel.

77
7) Strategi harus berpusat pada hasil jangka panjang
(Goldworthy & Ashley, 1998). Suatu strategi yang dipilih
dalam kerja sama antardaerah juga harus mampu memberi
informasi kepada daerah yang bekerja sama dan sekaligus
mudah diperbaharui oleh setiap anggotanya.
Dalam pembuatan strategi yang tepat pada pelaksanaan
kerja sama antardaerah tentu juga akan menjadikan keberhasilan
dalam pelaksanaan jalinan kerja sama. David menyebut bahwa
pembuatan strategi meliputi pengembangan misi dan tujuan
jangka panjang, mengidentifiksikan peluang dan ancaman
dari luar serta kekuatan dan kelemahan organisasi,
pengembangan alternatif-alternatif strategi dan penentuan
strategi yang sesuai untuk diadopsi. Penerapan strategi
sendiri meliputi penentuan sasaran operasional tahunan,
kebijakan organisasi, motivasi anggota dan mengalokasikan
sumber-sumber daya agar strategi yang telah ditetapkan
dapat diimplementasikan (David, 2011).
Selain itu Mintzberg juga mengatakan bahwa strategi itu
sangat luas dan besar, tidak cukup digambarkan hanya dengan
satu definisi Mintzberg mendefinisikan strategi melalui
pendekatan yang selanjutnya dapat diakomodir dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah ini melalui 5P, yaitu strategi
sebagai plan, pattern, position, ploy, dan perspective (Mintzberg
et al., 1998).

78
Plan atau rencana dapat didefinisikan bahwa dalam
perencanaan mengidentifikasi peluang dan ancaman saat ini dan
masa depan, merumuskan beberapa alternatif yang akan diambil
dan memberikan penjelasan kepada semua pihak tentang apa
yang harus mereka distribusikan. Meskipun demikian dalam
perencanaan pasti ada suatu ketidakpastian dalam suatu program
yang dijalankan, kegiatan tidak harus sesuai dengan rencana
karena ketika di lapangan dengan apa yang direncanakan
sebelumnya bisa saja berubah, oleh karenanya penting untuk
mengadakan evaluasi program untuk memfokuskan pada
tindakan selanjutnya.
Pattern atau pola adalah konsistensi strategi antara masa
sekarang dengan masa lalu, hal ini dikarenakan pola masa lalu
adalah input penting dalam merumuskan strategi baru. Position
atau strategi sebagai posisi adalah tentang bagaimana daerah
yang saling bekerja sama menempatkan dirinya di pusaran
aktivitas kerja sama, apa yang dapat diberikan atau
disumbangkan dalam pelaksanaan kerja sama tersebut sehingga
pelaksanaan kerja sama dapat terjalin dengan baik.
Ploy atau cara adalah bagaimana masing-masing daerah
yang berkerja sama tersebut mampu untuk memberikan yang
terbaik dalam pelaksanaannya, ploy dalam arti persaingan dapat
dijelaskan sebagai taktik apa yang akan digunakan daerah untuk
menunjukkan kemampuannya. Selanjutnya sebagai perspective

79
adalah merujuk pada budaya organisasi yang terbentuk dari cara
pandang daerah terhadap dirinya sendiri, bagaimana masing-
masing daerah memandang bahwa kerja sama yang dilakukan
ini sebagai kebutuhan dan keharusan untuk dilaksanakan.

80
BAB IV
KERJA SAMA DALAM PERSPEKTIF ORGANISASI

4.1. Definisi Organisasi


Dimensi struktur organisasi dalam administrasi publik
berkaitan dengan siapa yang harus mengimplementasikan atau
mengerjakan apa yang telah diputuskan. Ada tiga aspek yang
yang harus diatur dalam implementasi ini, yang pertama
adalahpembagian unit kerja termasuk tugas, fungsi, dan
tanggungjawab dalam bekerja, baik vertical maupun horizontal.
Aspek kedua adalah melihat kompetensi dari sumberdaya yang
akan mengerjakan tugas tersebut, mampu atau tidak dalam
mengerjakan tugas tersebut. Aspek ketiga adalah apakah ada
atau tidak keseimbangan antara otoritas dalam mengerjakan
tugas dengan kemampuan dalam mengerjakan tugas tersebut
(Yeremias T Keban, 2014).
Banyak definisi tentang organisasi jika dilihat dari
beberapa dimensi. Waldo yang lebih menyoroti tentang struktur
mendefinisikan organisasi sebagai struktur otoritas dengan
hubungan personal dalam suatu sistem administrasi (Yeremias T
Keban, 2014). Selznick mendefinisikan organisasi sebagai suatu
ekspresi struktural dari kegiatan rasional (Schott et al., 1987),
serta Robbins (Robbins, 1994) berpendapat bahwa organisasi
merupakan sebuah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan
secara sadar, dengan sebuah batasan relatif dapat diidentifikasi,

81
yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk
mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
Dikoordinasikan dengan sadar mengandung pengertian
tentang pelaksanaan manajemen. Kesatuan sosial berarti bahwa
unit dalam organisasi terdiri dari orang atau kelompok orang
yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang ada dalam
suatu organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah
difikirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu organisasi merupakan
kesatuan sosial yang berbagai pemikiran yang ada di dalamnya
perlu untuk diseleraskan agar terjadi sebuah kesatuan.
Dalam definisi yang diberikan oleh Robbins, sebuah
organisasi mempunyai batasan yang relatif dapat diidentifikasi
bahwa batasan dapat berubah dalam kurun waktu tertentu dan
tidak selalu jelas, namun sebuah batasan yang nyata harus ada
agar dapat membedakan antara anggota dan bukan anggota.
Orang atau kelompok yang ada dalam sebuah organisasi akan
mempunyai keterkaitan yang terus menerus. Hal ini bukan
berarti keterkaitan selamanya, tetapi sebaliknya organisasi
menghadapi perubahan yang konstan di dalam keanggotaannya.
Selanjutnya dari hal tersebut organisasi mencapai sebuah tujuan,
yang hal tersebut tidak akan dapat diperoleh secara individu
tetapi tujuan tersebut dapat terlaksana dengan lebih efektif dan
efisien melalui usaha kelompok.

82
Dalam teori organisasi terdapat beberapa pola yang
berkembang (Limerick, 1993) dimulai dari paradigma klasik,
paradigma human, paradigma sistem, dan paradigma kolaborasi.
Pada paradigma klasik dirancang suatu organisasi yang
berorientasi pada efisien tinggi dengan mengajukan system
otoritas dan kendali yang sangat hierarkis dengan rentang
kendali yang sangat sempit. Penekanan utama dalam pradigma
klasik ini adalah prinsip spesialisasi, sentralisasi, dan
formalisasi.
Pada paradigma human muncul beberapa pergeseran
pandangan tentang manusia dan organisasi. Manusia dalam
paradigma ini dilihat sebagai makhluk sosial yang dapat
membentuk sendiri kelompok-kelompok informal sesuai dengan
keinginannya, dan ingin bekerja pada kondisi kerja yang
menyenangkan. Dalam paradigm aini manusia tidak dapat
dilihat sebagai individu yang independent tetapi memiliki
kelompok atau kolekivitas dan sangat bergantung pada arah dan
tujuan organisasi tersebut.
Paradigma selanjutnya adalah sistem, dalam paradigma ini
organisasi diasumsikan terdapat unsur-unsur yaitu: (1) saling
menguntungkan (interdependency) dengan lingkungan yaitu
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan; (2)
keterbukaan (openness), artinya selalu dapat menerima apa yang
saat ini sedang terjadi; (3) keseluruhan (holism) yaitu organisasi

83
menjadi bagian dari keseluruhan lingkungan; (4) bersifat
rasionalitas dan obyektif; serta (5) kelompok kerja yang kohesif.
Dalam paradigma ini juga dikenal dengan dua sistem organisasi,
yaitu mechanistic system dan organic system. Mechanistic
system melihat struktur organisasi yang formal dan cenderung
hierarkis dengan kendali yang terpusat, mementingkan
hubungan kendali antara satu orang atasan dan bawahan, terikat
kontrak secara psikologis dengan atasan, dan penekanan yang
berlebih pada spesialisasi karena akan meningkatkan efisiensi.
Sistem organisasi ini juga dikenal dengan closed system.
Sedangkan organic system menitik beraatkan pada orang bukan
pada tugasnya. Mengurangi peranan hierarki, memiliki struktur
yang sangat fleksibel, mengutamakan nilai dan norma yang telah
disetujui bersama, dan penekanan pada kontrol diri dan saling
menyesuaikan diri. Sistem ini bersifat dinamis dan memiliki
tingkat responsiveness yang tinggi, organisasi cepat tanggap
dengan perubahan baik dalam bentuk kebijakan atau aksi yang
cepat. Organisasi ini juga memiliki tingkat adaptability yang
tinggi sehingga sistem organisasi ini biasa disebut juga dengan
open system.
4.2. Susunan Organisasi
Adanya empat paradigma organisasi merupakan wujud
dari adanya perubahan tatanan organisasional agar dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, maka perlu

84
juga adanya desain struktur organisasi. Desain struktur
organisasi adalah suatu proses yang berkenaan dengan
bagaimana aktivitas-aktivitas organisasi distrukturkan dalam
suatu bentuk struktur dengan tujuan membantu pimpinan untuk
dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Megginson,
1981).
Struktur organisasi tentunya akan menunjukkan pola
interaksi antara semua anggota dalam organisasi tersebut.
Mintzberg menyebutkan bahwa setiap organisasi harus
mempunyai lima bagian dasar (Henry Mintzberg, 1980), yaitu:
1. The operating core, yaitu para pegawai yang
melaksanakan pekerjaan dasar yang berhubungan dengan
produksi dari produk dan jasa
2. The strategic apex, yaitu manajer tingkat puncak yang
diberikan tanggungjawab dari keseluruhan organisasi
3. The middle line, yaitu para manajer yang menjadi
penghubung operating core dengan strategic apex
4. The technostructure, yaitu para analisis yang mempunyai
tanggungjawab untuk melaksanakan bentuk standarisasi
tertentu dalam organisasi
5. The support staff, yaitu orang yang mengisi unit staf dan
memberi jasa pendukung tidak langsung kepada organisasi
Lebih lanjut dari kelima bagian dalam organisasi tersebut
Mintzberg menyampaikan bahwa dari kelima bagian masing-

85
masing akan mendominasi dalam sebuah organisasi, selain itu
juga disampaikan bahwa model organisasi yang akan terbentuk
dalam organisasi juga akan tergantung pada bagian yang
dikontrol dan dibentuk. Jika kontrol berada di operating core,
maka keputusan akan desentralisasi. Hal ini menciptakan
birokrasi profesional. Jika strategic apex yang dominan, maka
kontrol desentralisasi dan organisasi tersebut merupakan
struktur yang sederhana. Jika middle management yang
mengontrol, maka akan menemukan kelompok dari unit otonom
yang bekerja dalam sebuah struktur divisional. Jika para analis
dalam techostructure yang dominan, kontrol akan dilakukan
melalui standarisasi, dan struktur yang dihasilkan adalah
birokrasi mesin. Selanjutnya dalam situasi dimana staf
pendukung yang mengatur, maka kontrol akan dilakukan
melalui penyesuaian bersama (mutual adjustment) dan timbullah
adhocracy (Henry Mintzberg, 1980).
Berikut kelima bentuk organisasi umum yang disampaikan
oleh Mintzberg (Robbins, 1994):
1. Struktur Sederhana.
Bentuk ini sangat sesuai untuk organisasi yang kecil atau
masih dalam tahap permulaan perkembangan. Struktur
sederhana mempunyai kompleksitas yang rendah, tidak rumit,
mempunyai sedikit formalisasi, dan mempunyai wewenang yang
disentralisasi pada seseorang. Kekuatan struktur sederhana

86
terletak pada kesederhanaannya, yaitu struktur yang cepat,
fleksibel, dan membutuhkan sedikit biaya untuk pemeliharaan
organisasinya. Tidak terdapat lapisan struktur yang rumit dan
memiliki pertanggungjawaban yang jelas. Struktur sederhana ini
adalah datar, pengambilan keputusan adalah informal karena
semua keputusan yang penting disentralisasi pada tangan
direktur. Pimpinan mudah sekali untuk mendapatkan informasi
yang penting dan bertindak secara cepat jika dibutuhkan
pengambilan keputusan. Meskipun demikian pada struktur
sederhana ini dimungkinkan dapat mempunyai rentang kendali
yang sangat lebar.

87
2. Birokrasi Mesin
Konsep utama dalam birokrasi mesin adalah standarisasi,
artinya dalam birokrasi mesin terdapat proses kerja yang di
standarisasi untuk dikoordinasi dan dikontrol. Birokrasi mesin
mempunyai tugas operasi yang sangat tinggi, peraturan formal,
tugas yang dikelompokkkan ke dalam bagian-bagian
(departemen) fungsional, wewenang terpusat, pengambilan
keputusan yang mengikuti rantai komando dan struktur
administrasi yang rumit dengan perbedaan yang sangat terlihat
antara lini dan staf. Kekuatan dalam birokrasi medin ini terletak
pada kemampuannya untuk melakukan aktivitas yang
terstandarisasi dengan cara yang efisien, hal ini dikarenakan
adanya kumpulan para spesialis dalam suatu bagian sehingga
menghasilkan economic of scale.
Dalam birokrasi mesin diketahui bahwa struktur ini fokus
dalam pelaksanaan departemensasi fungsional, dengan
pengelompokan keahlian pekerjaan yang sama da nada
hubungannya. Dalam birokrasi mesin ini aktivitas yang ada
dalam sebuah perusahaan secara khas dikelompokkan di bawah
eksekutif fungsional. Eksekutif-eksekutif tersebut mengawasi
spesialisasi mereka dan sebaliknya mereka bertanggungjawab
kepada pimpinan tertinggi yang bertindak sebagai koordinator
umum.
3. Birokrasi Profesional

88
Model birokrasi ini menggabungkan antara standarisasi
dengan desentralisasi. Kekuatan model ini adalah pada operating
core karena desain struktur ini mempunyai kemampuan teknis
para spesialis untuk memperoleh, mengkatalogkan, menentukan
referensi, dokumen pemerintah, dan keahlian sejenis. Artinya
dalam menduduki posisitersebut, para professional harus
mendapatkan ilmu dengan sekolah pada spesialis tertntu sampai
dengan orang tersebut mahir dan dapat dikatakan sebagai
professional.Kekuatan birokrasi professional ini adalah bahwa
dalam birokrasi ini dapat mengerjakan tugas yang terspesialisasi
dengan efisiensi yang relative sama seperti yang dilakukan oleh
birokrasi mesin.
Model organisasi birokrasi professional paling baik
digunakan untuk organisasi dengan ukuran besar, lingkungan
yang stabil dan kompleks, serta sudah mampu mengaplikasikan
teknologi sebagai pendukung tugas dan pekerjaan dalam
organisasi. Meskipun demikian, dengan kelebihan yang ada,
birokrasi professional juga mempunyai kecenderungan
berkembangnya konflik-konflik antar sub unit, hal ini
dikarenakan adanya yang tidak sepaham antar unit sehingga apa
yang dikerjakan oleh unit lain belum tentu benar menurut unit
lainnya, demikian sebaliknya.
Birokrasi profesional merupakan susunan organisasi yang
sangat kompleks, meskipun demikian karena anggota yang ada

89
dalam organisasi tersebut merupakan individu yang sudah
memiliki spesialisasi tinggi maka harapannya adalah dapat
segera menyelesaikan tuntutan yang ada di sebuah organisasi.
Hal ini dimaksudkan agar organisasi tersebut dapat berjalan
efisien.
4. Struktur Divisional
Kekuasaan dalam struktur divisional terletak pada
manajemen menengah, alasannya adalah struktur divisional
tersebut sebenarnya adalah sejumlah unit yang otonom. Struktur
divisional sebenarnya adalah gabungan dari birokrasi mesin
yang terpusat dalam pengontrolannya. Karena divisi yang
berdiri sendiri tersebut maka pimpinan memberikan kontrol
yang cukup besar kepada manajemen menengah atau para
manajer divisi. Kekuatan dalam struktur divisional ini berada
pada kebebasan yang diberikan oleh pimpinan kepada manajer
tengah sehingga para pegawai dapat mengeksplorasi kebutuhan
dalam rangka mendukung visi organisasi. Dalam organisasi
model struktur divisional ini juga dapat tercipta sebuah
spesialisasi pekerjaan yang berdiri sendiri dalam sebuah
pekerjaan yang ada.
Pada struktur divisional diketahui jika divisi-divisi yang
ada akan membuat sebuah organisasi kecil yang didesain dari
birokasi mesin. Divisi-divisi tersebut cenderung untuk
diorganisasi ke dalam kelompok fungsional dengan pembagian

90
kerja yang tinggi, formalisasi yang tinggi, dan wewenang yang
disentralisasi pada manajer divisi.
5. Adhocracy
Desain struktur organisasi adhocracy dicirikan oleh
diferesiensi horisontal yang tinggi, diferensiasi vertikal yang
rendah, formalitas yang rendah, desentralisasi, fleksibilitas, dan
daya tanggap yang tinggi. Diferensiasi horisontal tinggi karena
adhocracy pada umumnya diisi oleh profesional dengan tingkat
keahlian yang tinggi. Diferensiasi vertikal rendah karena
tingkatan administrasi yang banyak akan membatasi
kemampuan organisasi untuk melakukan penyesuaian.
Dalam organisasi adhocracy peraturan sangat sedikit, lebih
banyak pada peraturan yang tidak tertulis dan tidak mengikat.
Tujuan yang diharapkan oleh organisasi penganut adhocracy ini
adalah fleksibilitas bukan pada formalisasi. Pada pengambilan
keputusan dalam adhocracy didesentralisasikan, oleh karenanya
perlu adanya kecepatan dan fleksibilitas dalam hal ini. Pada sisi
negatifnya, dalam adhocracy terjadinya konflik merupakan hal
biasa karena tidak ada hubungan antara atasan dan bawahan
yang jelas. Terdapat ketidakjelasan pengertian mengenai
wewenang dan tanggungjawab. Selain itu adhocracy dapat
menciptakan tekanan sosial dan ketegangan psikologis bagi para
anggotanya.

91
Oleh karenanya adhocracy merupakan lawan dari
birokrasi, adhocracy merupakan desain struktur organisasi yang
tidak efisien dan rentan adanya konflik yang berkepanjangan,
hal ini tentunya akan dapat terjadi jika pimpinan tertinggi tidak
dapat menjalankan fungsinya secara fleksibel untuk menanggapi
segala perubahan yang ada.

Ketepatan pemilihan bentuk organisasi mendorong


terjadinya efektifitas dalam sebuah organisasi, baik dalam
rangka memberikan layanan prima, pengambilan keputusan,
atau ketepatan penyusunan program. Oleh karenanya dalam
menjaga efektifitas suatu organisasi tersebut maka diperlukan
adanya manajemen. Manajemen dan organisasi meruapakan dua
sisi mata uang yang tak terpisahkan. Keberadaan organisasi
merupakan wadah bagi manajemen, tetapi manajemen juga
menentukan keberlangsungan organisasi. Artinya organisasi
tidak dapat digerakkan tanpa manajemen dan sebaliknya
manajemen hanya dapat diimplementasikan dalam organisasi
(Rifa‟i, 2013).

92
BAB V
PELAKSAAN DAN KESEPAKATAN ANTARDAERAH DI
SELINGKAR JAWA TIMUR
1. Kerja sama antardaerah di Selingkar Wilis Provinsi Jawa
Timur.
Pelaksanaan kerja sama di Selingkar Wilis dimulai pada
tahun 2014 dengan adanya sebuah kesepakatan bersama
antar 6 kabupaten dan selanjutnya pada tahun 2016
keenam kabupaten tersebut mengadakan perjanjian kerja
sama yang berisi tentang kerja sama pembangunan
infrastruktur jalan di Wilayah Selingkar Wilis. Dari hal
tersebut maka yang akan dilihat lebih lanjut adalah:
a. Kesepakatan bersama antardaerah di Selingkar Wilis tahun
2014
1) Maksud dan tujuan kesepakatan bersama
2) Ruang lingkup dan obyek kesepakatan bersama
3) Bentuk forum dan pelaksanaan kesepakatan bersama
dalam bidang:
a) Pariwisata
b) Pekerjaan umum
c) Penataan ruang
d) Perkoperasian dan UMKM
e) Industri dan perdagangan
f) Pertanian
g) Perkebunan

93
h) Peternakan
i) Kehutanan
j) Perhubungan
k) Lingkungan hidup
l) Kesehatan
m) Pendidikan
n) Sosial
o) Kebudayaan
p) Penanaman modal
q) Sanitasi
r) Pertambangan dan energi
s) Kependudukan
t) Ketenagakerjaan
4) Pembiayaan kesepakatan bersama
5) Jangka waktu dan tindak lanjut kesepakatan bersama
b. Perjanjian kerja sama antardaerah di Selingkar Wilis pada
tahun 2016
1) Maksud dan tujuan perjanjian kerja sama
2) Objek perjanjian perjanjian kerja sama
3) Ruang lingkup dan pelaksanaan perjanjian kerja sama
4) Hak dan kewajiban perjanjian kerja sama
5) Pembiayaan perjanjian kerja sama
2. Faktor pendukung dan penghambat kerja sama
antardaerah, dilihat dari:

94
a. Egoisme daerah dalam bekerja sama
1) Bentuk egoisme daerah
2) Keadilan dalam kerja sama
3) Konflik yang ada dalam kerja sama
b. Partisipasi daerah yang bekerja sama
1) Bentuk partisipasi daerah dalam kerja sama
2) Pelaksanaan partisipasi daerah dalam kerja sama
c. Koordinasi yang dilaksanakan dalam kegiatan kerja sama
1) Bentuk koordinasi yang dilakukan
2) Cara koordinasi yang dilakukan
3) Pelaksanaan koordinasi yang dilakukan
d. Keberlanjutan kerja sama
1) Tanggapan daerah dalam kerja sama
2) Rencana pengembangan lebih lanjut dalam pelaksanaan
kerja sama
Enam kabupaten yang berada di Selingkar Wilis, yaitu
Kabupaten Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun,
Nganjuk, dan Kediri yang kesemuanya terletak pada Provinsi
Jawa Timur. Beberapa pertimbangan peneliti melaksanakan
penelitian di Selingkar Wilis yaitu:
1. Keberadaan Selingkar Wilis merupakan salah satu pusat
perdagangan aktif di Provinsi Jawa Timur dengan
komoditas unggulan di bidang pertanian, peternakan, dan
kehutanan.

95
2. Selingkar Wilis merupakan salah satu kawasan pariwisata
yang dikembangkan oleh Provinsi Jawa Timur dalam
bentuk Kawasan Strategis Pariwisata Provinsi (KSPP)
berdasarkan review Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional tahun 2010-2025 dan review Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Timur Nomor 5 tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Tahun 2011-2031.
3. Telah masuknya pengembangan Selingkar Wilis ke dalam
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) dan telah dibuatnya perencanaan pengembangan
melalui pendekatan Wilayah Pengembangan Strategis
(WPS) (Rasyidi, 2017).
4. Pengembangan Selingkar Wilis telah masuk ke dalam
rencana pengembangan tata ruang wilayah pada semua
kabupaten yang ada, di antaranya:
a. Kabupaten Tulungagung: Peraturan Daerah Kabupaten
Tulungagung Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Tulungagung Tahun 2012-2032
(Pasal 18, 47, 58)
b. Kabupaten Trenggalek: Peraturan Daerah Kabupaten
Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata

96
Ruang Wilayah Kabupaten Trenggalek Tahun 2012-2032
(Pasal 67)
c. Kabupaten Ponorogo: Peraturan Daerah Kabupaten
Ponorogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Ponorogo Tahun 2012-2032
(Pasal 17, 44)
d. Kabupaten Madiun: Peraturan Daerah Kabupaten Madiun
Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Madiun tahun 2009-2029 (Pasal 51, 75)
e. Kabupaten Nganjuk: Peraturan Daerah Kabupaten Nganjuk
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wiilayah Kabupaten Nganjuk tahun 2010-2030 (Pasal 12,
36)
f. Kabupaten Kediri: Peraturan Daerah Kabupaten Kediri
Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wiilayah Kabupaten Kediri tahun 2010-2030 (Pasal 35)
Di pemerintahan pada enam kabupaten di Selingkar Wilis
baik pada jajaran pemerintah daerah dan pemerintah desa,
organisasi non pemerintah, dan masyarakat, meliputi:
1. Bidang yang mengurusi kerja sama pada Sekretariat
Daerah Kabupaten Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo,
Madiun, Nganjuk, dan Kediri
2. Bidang yang mengurusi pengembangan wilayah,
infrastruktur, kerja sama, dan ekonomi daerah pada Badan

97
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) atau
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan
Pengembangan (Bappeda-Litbang) di Kabupaten
Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk,
dan Kediri
3. Pemerintah desa yang berada di kawasan Selingkar Wilis
4. Pihak non pemerintahan yaitu masyarakat, organisasi, dan
institusi lain yang berada pada kawasan di Selingkar Wilis

98
No Unsur Inisial Kode
Nama Informan
Pemerintah
1 Bagian Hukum dan Kerja sama EP PTa 1
Pemerintah Kabupaten
Tulungagung / Pengurus Sekber
Tunggal Rogo Mandiri 2014 –
2016
2 Bagian Administrasi AY PTr 1
Pemerintahan, Sekretariat Daerah
Kabupaten Trenggalek / Pengurus
Sekber Tunggal Rogo Mandiri
2016 – 2017
3 Bagian Administrasi AG PTr 2
Pemerintahan, Sekretariat Daerah
Kabupaten Trenggalek / Pengurus
Sekber Tunggal Rogo Mandiri
2018 – sekarang
4 Sub Bidang Prasarana Wilayah HY PTr 3
Bappeda Kabupaten Trenggalek
5 Sub Bidang Keciptakaryaan dan AS PTr 4
Tata Ruang Bappeda Kabupaten
Trenggalek
6 Kepala Desa Dompyong LM PTr 5

99
Kecamatan Bendungan Kabupaten
Trenggalek
7 Bagian Administrasi Pemerintahan AZ PPo 1
Kabupaten Ponorogo
8 Kepala Desa Krisik Kecamatan WN PPo 2
Pudak Kabupaten Ponorogo
9 Bidang Fisik dan Prasarana IM PKd 1
Bappeda Kabupaten Kediri
10 Sekretaris Bappeda Kabupaten MS PNg 1
Nganjuk
11 Sub Bagian Umum Bappeda SN PNg 2
Kabupaten Nganjuk
12 Bidang Infrastruktur dan DS PMd 1
Pengembangan Wilayah
Kabupaten Madiun
Organisasi Non Pemerintah
13 Petugas Pemangku Hutan KPH WD OPo 1
Madiun di Kabupaten Ponorogo
14 Staf Perusahaan Umum Damri SG OPo 2
Cabang Ponorogo

Masyarakat
15 Pengelola Kelompok Ternak CH MPo 1
Damar Wulan Desa Jurug

100
Kecamatan Sooko Kabupaten
Ponorogo
16 Warga Desa Jurug Kecamatan ST MPo 2
Sooko Kabupaten Ponorogo
17 Warga Desa Ngebel Kecamatan IR MPo 3
Ngebel Kabupaten Ponorogo
18 Ketua Kelompok Ternak Sapi KW MMd 1
Perah Nedyo Rahayu Desa Kresek
Kecamatan Wungu Kabupaten
Madiun
19 Pengurus Rukun Tetangga Desa SN MMd 2
Dagangan Kecamatan Dagangan
Kabupaten Madiun
20 Pedagang di Pasar Dolopo TL MMd 3
Kabupaten Madiun
21 Warga Desa Dagangan Kecamatan MH MMd 4
Dagangan Kabupaten Madiun
22 Ketua Kelompok Petani Bawang SM MNg 1
Merah Desa Petak Kecamatan
Bagor Kabupaten Nganjuk
23 Guru SDN Satu Atap III Geger FT MTa 1
Desa Geger Kecamatan Sendang
Kabupaten Tulungagung
Keterangan Kode Informan:

101
1) Huruf pertama P (Pemerintah), O (Organisasi), M
(Masyarakat)
2) Huruf kedua dan ketiga: Ta (Tulungagung), Tr
(Trenggalek), Md (Madiun), Po (Ponorogo), Ng
(Nganjuk), Kd (Kediri)
3) Angka menunjukkan urutan informan.

102
BAB VI
KAWASAN SELINGKAR WILIS PROVINSI JAWA
TIMUR
Kawasan Selingkar Wilis Provinsi Jawa Timur. Kawasan
Selingkar Wilis merupakan sebuah area yang berada di sekitar
Gunung Wilis Provinsi Jawa Timur dengan batas administratif
terbagi kedalam enam kabupaten. Berikut gambaran kondisi
pada keenam kabupaten yaitu Kabupaten Tulungagung,
Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan Kediri.
6.1. Kawasan Pegunungan Wilis
Gunung Wilis yang memiliki ketinggian 2.169 mdpl
merupakan salah satu gunung api yang sudah tidak aktif di
Provinsi Jawa Timur. Gunung Wilis terletak satu rangkaian
dengan Pegunungan Wilis. Pegunungan Wilis mempunyai
puncak tertinggi yaitu Puncak Liman atau yang biasa disebut
Puncak Ngliman dengan ketinggian 2.563 meter dari permukaan
laut.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2005-2025, kawasan
Pegunungan Wilis juga merupakan salah satu dari tujuh
kawasan pertanian (agropolitan) yang ada di Provinsi Jawa
Timur. Jenis tanaman yang dikembangkan dalam kawasan ini
adalah kedelai, padi, singkong, tebu, dan ternak sapi potong. Di
samping itu kawasan Pegunungan Wilis juga dikenal

103
mempunyai banyak tempat tujuan wisata, khususnya wisata
berbasis alam.
Gambar 6.1. Kawasan Selingkar Wilis di Provinsi Jawa Timur

6.2. Kabupaten Tulungagung


Kabupaten Tulungagung merupakan salah satu kabupaten
pesisir selatan Pulau Jawa yang dilalui oleh Jalur Pantai Selatan
Jawa (Pansela). Memiliki panjang garis pantai sepanjang kurang
lebih 61,470 km. Kabupaten Tulungagung mempunyai luas
1.055,63 km² dengan titik koordinat yaitu 111,43º - 112,07º BT
dan 7,51º - 8,08º LS, yang berbatasan langsung dengan:

104
Utara : Kabupaten Kediri
Selatan : Samudera Hindia
Timur : Kabupaten Blitar
Barat : Kabupaten Trenggalek
Gambar 6.2. Peta Kabupaten Tulungagung

Secara topografi, Kabupaten Tulungagung terletak pada


ketinggian 85 mdpl. Pembagian topografi Kabupaten
Tulungagung adalah bagian selatan merupakan rangkaian dari
Pegunungan Karts yang merupakan rangkaian dari Pegunungan
Selatan Pulau Jawa dan kawasan pesisir, bagian barat laut
merupakan daerah pegunungan yang merupakan bagian dari
Pegunungan Wilis, serta bagian tengah adalah dataran rendah.

105
Keberagaman potensi sumber daya alam di Kabupaten
Tulungagung menentukan sektor unggulan dan pengembangan
daya saing daerah. Saat ini sektor yang dikembangkan adalah
sektor pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan
industri. Sektor pertanian menjadi sektor utama dalam
pembangunan ekonomi di Kabupaten Tulungagung dengan
aneka tanaman pangan dan yang menjadi unggulan adalah padi,
jagung, dan kedelai. Selain itu sayur-sayuran juga tumbuh
dengan subur seperti kentang, kol, dan tomat yang tumbuh
terutama di wilayah pegunungan di sekitar Gunung Wilis yaitu
Kecamatan Sendang dan Pagerwojo.
Pengembangan ekonomi sektor perikanan juga menjadi
andalan dari Kabupaten Tulungagung. Produksi ikan terbesar
adalah lele, gurami, patin, dan hias. Berbagai upaya dilakukan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten
Tulungagung untuk menjadikan hasil perikanan yang maksimal,
di antaranya menjadikan Desa Gondosuli Kecamatan Gondang
sebagai desa minopolitan. Selain itu sektor perikanan juga
mendapatkan dukungan dari Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi Jawa Timur yaitu dengan mengadakan pelatihan pakan
alternatif dan bantuan mesin pembuat pakan ikan untuk
mengatasi kendala mahalnya biaya pakan pabrikan.
Untuk sektor peternakan terfokus pada wilayah
Kecamatan Sendang dan Kecamatan Pagerwojo. Sapi perah

106
dikembangkan pada kedua kecamatan tersebut. Hal ini
dikarenakan kedua kecamatan memiliki kondisi tanah dan
agroklimat yang sangat mendukung pertumbuhan berbagai jenis
rumput, sehingga cocok untuk pemeliharaan sapi potong, sapi
perah, dan kambing atau domba. Peningkatan perekonomian
dalam sektor peternakan di Kabupaten Tulungagung juga telah
terlihat dari adanya upaya pengembangan teknologi pakan
alternatif yakni dengan complete feed atau pakan dengan
kandungan gizi lengkap yang berfungsi agar para peternak tidak
tergantung pada pakan hijauan.
6.3. Kabupaten Trenggalek
Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu kabupaten
yang dilalui jalur Pantai Selatan Jawa (Pansela), kabupaten ini
mempunyai luas 1.261,40 km² dan terletak pada koordinat
111,24º - 112,11º BT dan 7,53º - 8,34º LS dengan batas wilayah
secara administratif adalah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Tulungagung dan Ponorogo,
Timur : Kabupaten Tulungagung
Barat : Kabupaten Ponorogo dan Pacitan
Selatan : Samudera Indonesia.
Kabupaten Trenggalek secara topografi terbagi menjadi
dua bagian, yaitu wilayah pegunungan yang terdiri dari 2/3 luas
wilayah seluruh Kabupaten Trenggalek, dan 1/3 lainnya
merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai dengan

107
690 meter di atas permukaan air laut. Lebih dari 40% wilayah
Kabupaten Trenggalek (±28.378 ha) bertopografi terjal sehingga
daerah ini merupakan daerah rawan bencana longsor
Gambar 6.3. Peta Kabupaten Trenggalek

Keadaan perekonomian di Kabupaten Trenggalek dapat


dilihat dari besarnya kontribusi masing-masing bidang usaha.
Usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan memegang peranan
terbesar dan masih sulit untuk digeser oleh bidang lainnya. Hal
ini dipengaruhi oleh kondisi geografis yang pegunungan dan
bukit. Selain itu juga aktifitas masyarakat yang sebagai besar
menggantungkan pada tiga bidang usaha tersebut. Pada tahun

108
2014-2018 ini hasil produksi sawah yang mendominasi adalah
padi dan jagung. Selain itu penggunaan tanah untuk hutan
negara di wilayah Kabupaten Trenggalek pada tahun 2018 ini
sebesar 60,95 Ha dan lahan perkebunan sebesar 2,54 Ha.
Kabupaten Trenggalek merupaan salah satu daerah yang
kaya akan obyek wisata, baik obyek wisata alami ataupun
buatan. Keberadaan obyek wisata alami seperti Pantai Prigi dan
Pantai Pasir Putih yang sudah dikenal sampai dengan luar negeri
menjadikan kedua obyek wisata tersebut selalu ramai dikunjungi
wisatawan. Salah satu keunikan Pantai Prigi adalah adanya
upacara tradisional Larung Sembonyo yang merupakan upacara
sedekah laut dengan maksud mengungkapkan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas melimpahnya hasil laut yang
didapat oleh para nelayan.
6.4. Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Ponorogo terletak pada koordinat antara
111,17‟ – 111,52‟ Bujur Timur dan 7,49‟ – 8,20‟ Lintang
Selatan. Kabupaten Ponorogo mempunyai luas wilayah
keseluruhan adalah 1.371,78 km² dengan ketinggian berada di
antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan laut
yang dibagi menjadi 2 area, yaitu area dataran tinggi dan area
dataran rendah. Kabupaten Ponorogo terletak pada kawasan
strategis karena berada pada perlintasan jalur primer dan jalan
provinsi Surabaya – Madiun – Pacitan. Jarak Kabupaten

109
Ponorogo dengan ibukota Provinsi Jawa Timur adalah 198 km.
Kabupaten Ponorogo berbatasan langsung dengan:
Utara : Kabupaten Madiun, Nganjuk, dan Magetan
Timur : Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung
Barat : Kabupaten Pacitan dan Wonogiri
Selatan : Kabupaten Pacitan

Gambar 6.4. Peta Kabupaten Ponorogo

110
Kabupaten Ponorogo menjadi salah satu daerah lumbung
pangan di Jawa Timur. Luas lahan sawah pada tahun 2018
meningkat menjadi 73.914 Ha yang terdiri dari sawah irigasi
seluas 71.994 Ha dan sawah non irigasi seluas 1.920 Ha. Luas
panen tanaman padi pada sawah irigasi terbanyak berada di
Kecamatan Sukorejo dengan luas 8.829 Ha (12,26 persen).
Sementara luas panen tanaman padi pada sawah non irigasi
paling banyak terdapat di Kecamatan Ngrayun seluas 1.052 Ha
(54,79 persen).
Komoditas buah-buahan di Kabupaten Ponorogo juga
sangat baik terutama adalah mangga, pisang, jeruk keprok,
pepaya, nangka, melon, durian dan alpukat. Produksi buah
terbesar adalah mangga yang mencapai 66,89 ribu ton pada
tahun 2018. Terbesar kedua adalah pisang yang mencapai 53,78
ribu ton. Jeruk keprok sebesar 15,92 ribu ton, pepaya sebesar
9,15 ribu ton, dan disusul buah nangka, melon, durian dan
alpukat. Produksi sayuran di Kabupaten Ponorogo pada tahun
2018 terbesar adalah bawang merah sebesar 67.274 kuintal dan
petai/sawi yang mencapai 55.595 kuintal. Terbesar ketiga adalah
kubis mencapai 47.346 kuintal. Untuk sayuran yang

111
produksinya kecil adalah tanaman kentang, kangkung dan
bayam.
Kabupaten Ponorogo mempunyai sebutan sebagai Kota
Reog. Festival Reog tahunan secara rutin diselenggarakan oleh
pemerintah Kabupaten Ponorogo sejak tahun 2004 dengan tajuk
Festival Reyog Nasional (FRN), festival ini dilaksanakan
bertepatan dengan perayaan Grebeg Suro dan hari jadi
Kabupaten Ponorogo, yang telah menjadi salah satu acara yang
masuk dalam kalender wisata Jawa Timur.
6.5. Kabupaten Madiun
Wilayah Kabupaten Madiun terletak pada koordinat 7‟12‟
– 7‟48‟ Lintang Selatan dan 111‟25‟ – 111‟51‟ Bujur Timur.
Luas wilayah Kabupaten Madiun adalah 1.010,86 km². Adapun
batas administratif wilayah Kabupaten Madiun sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Bojonegoro
Timur : Kabupaten Nganjuk
Barat : Kabupaten Magetan dan Ngawi
Selatan : Kabupaten Ponorogo

112
Gambar 6.5. Peta Kabupaten Madiun

Kabupaten Madiun merupakan salah satu kabupaten


tujuan wisata yang ada di Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2018
Kabupaten Madiun mendapat Anugerah Wisata Jawa Timur
(AWJ) dalam kategori daya tarik wisata alam yaitu objek wisata
Watu Rumpuk yang ada di lereng Gunung Wilis Kecamatan
Dagangan. Pada daerah di lereng Gunung Wilis yaitu
Kecamatan Dagangan dan Kecamatan Kare banyak ditemui
objek-objek pariwisata alam yang sangat menarik, di antaranya
Hutan Wisata Nongko Ijo, Kebun Kopi Kandangan, Wisata
Alam Grape, Air Terjun Denu, Air Terjun Seloaji, Air Terjun
Coban Kromo, dan Air Terjun Banyu Lawe. Selain itu
pengembangan wisata buatan seperti Waduk Bening Widas,

113
Taman Wisata Air Umbul juga masih menjadi idola masyarakat
untuk dikunjungi.
Kabupaten Madiun terkenal juga sebagai pusat dari
kelompok olahraga beladiri Setia Hati Teratai dan Winongo,
inisiasi dari hal tersebut pemerintah kabupaten mengadakan
pengembangan wisata budaya dengan tajuk festival, yaitu
Festival Madiun Kampung Pesilat yang dimulai tahun 2018.
Tujuan dari hal tersebut adalah menjadi ikon baru dan mampu
mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan di Kabupaten
Madiun. Festival Kabupaten Madiun Kampung Pesilat ini
merupakan tonggak awal kebersamaan berbagai perguruan
pencak silat yang ada di Kabupaten Madiun untuk bersatu dan
memajukan Kabupaten Madiun, adapun festival ini melibatkan
1.400 pesilat yang berasal dari 14 perguruan pencak silat yang
ada di Kabupaten Madiun.
6.6. Kabupaten Nganjuk
Kabupaten Nganjuk terletak antara 111‟5' sampai 112‟13'
BT dan 7‟20' sampai 7‟59' LS. Luas Kabupaten Nganjuk adalah
122.433 km2. Secara administratif Kabupaten Nganjuk memiliki
batas sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Bojonegoro
Sebelah Selatan : Kabupaten Kediri dan Tulungagung
Sebelah Timur : Kabupaten Jombang dan Kediri
Sebalah Barat : Kabupaten Madiun dan Ponorogo

114
Gambar 6.6. Peta Kabupaten Nganjuk

115
Sektor pertanian mempunyai kontribusi yang sangat
berarti pada perekonomian di wilayah Kabupaten Nganjuk. Hal
ini tercermin pada pembentukan Produksi Domestik Regional
Bruto (PDRB) yang menunjukkan bahwa sektor pertanian
sebagai penyumbang kedua setelah sektor Perdagangan.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Nganjuk
tahun 2019 diketahui jika tiga sektor ekonomi yang sangat
dominan kontribusinya di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2018,
yaitu sektor: pertanian, kehutanan, dan peternakan;
perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil; dan industri
pengolahan. Kontribusi ketiga sektor tersebut masing-masing
adalah 29,10%, 20.20%, dan 13.64%. Pada sektor pertanian,
kehutanan, dan peternakan di Kabupaten Nganjuk, pada tahun
2018 dapat dilihat dari luas lahan pertanian Kabupaten Nganjuk
yaitu 122.433 Ha yang menurut penggunaan lahannya diketahui
bahwa 42.893,0 Ha merupakan lahan pertanian sawah, 45.101,2
Ha lahan pertanian bukan sawah dan sisanya seluas 34.438,8 Ha
merupakan lahan bukan pertanian. Berbeda pada tahun
sebelumnya, pada tahun 2018 penggunaan lahan pertanian
sawah berkurang sebesar 25 Ha beralih ke lahan bukan
pertanian.
Kabupaten Nganjuk mempunyai objek wisata alam yang
diunggulkan yaitu Air Terjun Sedudo terletak di Desa Ngliman
Kecamatan Sawahan. Selain itu ada juga Air Terjun Sumber

116
Manik, Singokromo, Watu Lumbung, Jurang Gatuk, dan Goa
Margo Tresno di Kecamatan Ngluyu, taman wisata Roro Kuning
di Kecamatan Ngetos yang di dalamnya terdapat air terjun, bumi
perkemahan, dan taman bermain. Objek wisata buatan juga
dikembangkan di Kabupaten Nganjuk di antaranya Taman
Rekreasi Anjuk Ladang (TRAL), Museum Anjuk Ladang,
Monumen dr. Soetomo, dan Monumen Gerilya Jenderal
Sudirman.
6.7. Kabupaten Kediri
Kabupaten Kediri terletak di bagian Selatan Provinsi Jawa
Timur yaitu di antara 47‟05‟ - 18‟20‟ Bujur Timur dan 36‟12‟ -
0‟32‟ Lintang Selatan. Adapun batas administratif wilayah
Kabupaten Kediri adalah:
Sebelah Utara : Kabupaten Jombang dan Nganjuk
Sebelah Timur : Kabupaten Nganjuk dan Jombang
Sebelah Selatan : Kabupaten Tulungagung dan Blitar
Sebelah Barat : Kabupaten Nganjuk dan Tulungagung

117
Gambar 6.7. Peta Kabupaten Kediri

Sektor pertanian adalah sektor yang diunggulkan oleh


Kabupaten Kediri. Sektor pertanian berkontribusi terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kediri
sebesar 23,94%. Sementara itu, kontribusi subsektor tanaman
pangan menyumbang paling besar yaitu mencapai 5% terhadap
total PDRB sektor pertanian. Sementara itu, untuk tanaman
sayuran, cabe rawit masih menjadi komoditas unggulan di
Kabupaten Kediri dengan produksi sebanyak 35 ribu ton.
Selanjutnya bawang merah, terong, mentimun dan tomat
masing-masing sebesar 12 ribu ton; 9 ribu ton; 8 ribu ton; dan 6
ribu ton. Selain sektor pertanian, sektor industri merupakan
sektor pendukung utama perekonomian Kabupaten Kediri
dengan kontribusi sebesar 20,42%. Selama lima tahun terakhir,

118
PDRB sektor industri mengalami peningkatan yaitu dari 4,39
triliun rupiah pada tahun 2014 menjadi 5,63 triliun rupiah pada
tahun 2018. Rata-rata angka pertumbuhannya pun selalu berada
di atas 6%, yaitu 6,15% pada tahun 2014 dan meningkat hingga
7,46% pada tahun 2018. Meskipun, pada tahun 2016, sektor
industri pengolahan sempat mengalami perlambatan ekonomi
dari tahun sebelumnya yaitu mencapai 6,02 persen. Pada tahun
2018, pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan
mengalami lonjakan yang cukup significant, yaitu sebesar 1,36
poin hingga mencapai 7,46%. Tiga sub sektor industri
pengolahan sebagai penyumbang terbesar dalam PDRB adalah
Industri makanan dan minuman (9,80%), Industri Kertas dan
Barang dari Kertas, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
(7,74%) serta pengolahan tembakau (6,79%).
Sektor Pariwisata yang ditawarkan Kabupaten Kediri
antara lain wisata alam pegunungan, wisata air terjun dan
bendungan, wisata cagar budaya candi, dan wisata senibudaya
dserta kerajinan khas kediri. Kabupaten Kediri telah berhasil
memunculkan wisata alam Gunung Kelud sebagai obyek wisata
alam terbaik se-Jawa Timur tahun 2011, Air Terjun Dholo tahun
2014 dan kawasan wisata Simpang Lima Gumul. Pada tahun
2019 Pemerintah Kabupaten Kediri melakukan proses penataan
kawasan wisata Sumber Podang sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui sektor pariwisata.

119
BAB VII
KERJA SAMA ANTARDAERAH DI SELINGKAR WILIS

7.1. Kerja sama Antardaerah di Selingkar Wilis


7.1.1. Kesekapatan Bersama tentang Kerja sama
Pembangunan di Wilayah Selingkar Gunung Wilis–
Tunggal Rogo Mandiri
Pembangunan dalam suatu daerah sangat kompleks,
adanya obyek pembangunan berupa manusia dan alam tidak bisa
diselesaikan dengan satu cara, harus melalui banyak pendekatan
agar permasalahan yang ada bisa teratasi. Beragamnya
masyarakat dengan berbagai kepentingan pada setiap daerah
mengakibatkan kebutuhan juga sangat beragam. Hal ini akan
dapat diselesaikan memanfaatkan keadaan alam yang ada,
tentunya dalam mencukupi kebutuhan tersebut juga akan
membutuhkan tempat yang lain, sehingga diperlukanlah sebuah
kerja sama. Masyarakat mampu bekerja sama dalam bentuk
kesepakatan-kesepakatan atau perjanjian non formal dengan
masyarakat di sekelilingnya tanpa melihat letak administratif
kewilayahan. Kadang potensial terjadi konflik sehingga
pemerintah harus turun tangan. Dari hal tersebut maka
diperlukan sebuah kerja sama formal, sehingga rutinitas
masyarakat dalam menjalankan kegiatan sehari-hari bisa
terjamin.

120
Mulai tahun 2014 inisiasi tentang kerja sama Selingkar
Wilis sudah dimulai. Keenam kabupaten telah menjalin
hubungan internal antarkabupaten yang bersebalahan sebelum
adanya nota kesepahaman. Maksud dari jalinan hubungan
internal ini adalah dalam rangka mengembangkan wilayah yang
sama-sama berada di lereng Gunung Wilis.
Selanjutnya karena kepentingan tersebut keenam
kabupaten sepakat untuk mengadakan kerja sama dalam rangka
membuka wilayah terutama kecamatan-kecamatan yang berada
di lereng Gunung Wilis. Pada tanggal 11 Juni 2014 di Pendopo
Kabupaten Trenggalek, keenam kabupaten melaksanakan
penandatanganan kesepakatan bersama tentang Kerja sama
Pembangunan Daerah di Wilayah Selingkar Gunung Wilis
Kesepakatan bersama bernomor surat 181/08/013/2014
(Tulungagung), 130.5/660/406.003/2014 (Trenggalek),
134.4/732/405.01.1/2014 (Ponorogo), 188.65/6/402.031/2014
(Madiun), 415/11/411.010/2014 (Nganjuk),
074/934/418.11/2014 (Kediri) tersebut ditandatangai langsung
oleh bupati masing-masing.

121
Gambar 7.1. Penandatanganan Naskah Kesepakatan Bersama
Selingkar Wilis

Sumber: Bappeda Provinsi Jawa Timur (Bramono, 2014)


a. Maksud dan Tujuan Kesepakatan Bersama
Keberadaan Gunung Wilis yang berada di persimpangan
antara enam kabupaten, yaitu Kabupaten Tulungagung,
Trenggalek, Ponorogo, Nganjuk, dan Kediri membutuhkan
pengembangan kawasan yang sistematis dan berkelanjutan.
Pengembangan ini dimaksudkan agar kekayaan alam yang ada
di Gunung Wilis berupa pertanian, perkebunan, kehutanan dan
pariwisata dapat dimanfaatkan kepada masyarakat umum.
Pengembangan ini juga akan berakibat kepada masyarakat yang
tinggal disekitar Gunung Wilis agar dapat berkembang dan maju
sesuai perkembangan zaman.

122
Kesepakatan bersama yang telah ditandatangani pada
tanggal 11 Juni 2014 di Pendopo Kabupaten Trenggalek
memperlihatkan jika memang dibutuhkan sebuah kesepakatan
bersama, pemerintah provinsi juga sangat menyadari dengan
kebutuhan masyarakat di enam kabupaten yang berada di
selingkar Gunung Wilis. Keadaan kawasan dan masyarakat yang
masih terisolir, tertutup, dan belum banyak terekspos
mengakibatkan kawasan tersebut tidak maju, meskipun
sebenarnya tidak ada daerah yang tidak mempunyai keunggulan.
Pembangunan di Selingkar Wilis tidak dapat dikerjakan
sendiri oleh satu kabupaten. Setiap kabupaten harus saling
berhubungan, sebagai langkah awal adalah dengan terbukanya
akses jalan antarkabupaten yang akan membantu lancarnya arus
berbagai kegiatan bagi masyarakat di sekitar Gunung Wilis.
Hasil kunjungan peneliti pada Kecamatan Sendang di
Kabupaten Tulungagung, Kecamatan Bendungan di Kabupaten
Trenggalek, dan Kecamatan Mojo di Kabupaten Kediri juga
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pengembangan
kawasan Selingkar Wilis tidak akan bisa masing-masing
kabupaten menyelenggarakan kegiatan pembangunan tanpa
melibatkan daerah yang saling bertetangga, oleh karenanya
perlu adanya kesepakatan yang dilakukan bersama-sama agar
enam kabupaten terjadi sinkronisasi proses perencanaan dan
pembangunan.

123
Seperti pada informasi dari surat kabar online
https://jatimtimes.com/ (Pramono, 2020) bahwa pada tahun
2020 dan 2021 Kabupaten Tulungagung telah menganggarkan
sebesar 24 milliar melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
untuk mengembangkan sektor pariwisata yang ada di kawasan
Selingkar Wilis, yaitu pengembangan pariwisata di kawasan
jurang Senggani, Air Terjun Lawean, Pesangrahan Argowilis,
dan Gugus Wisata Sendang. Pada tahun 2020 ini pemerintah
Kabupaten Tulungagung menyelesaikan Detail Engineering
Design (DED) dan dilanjutkan pada tahun 2021 pada
pelaksanaan pembangunannya. Adapun detail pengembangan
adalah terkait pada infrastruktur jalan menuju lokasi, sarana
prasarana parkir, dan sarana umum lainnya.
Program-program pembangunan Pemerintah Kabupaten
Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan
Kediri dalam melaksanakan pembangunan daerah. Tujuan
kesepakatan bersama adalah untuk mengoptimalkan pengelolaan
potensi dan sumber daya secara efektif dan efisien guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b. Ruang Lingkup dan Obyek Kesepakatan Bersama


Kesepakatan bersama yang ditandatangi oleh enam bupati
di Selingkar Wilis dijadikan acuan dalam implementasi
kegiatan dalam proses pengembangan wilayah. Pada saat

124
penandatangan nota kesepahaman yang telah dilakukan juga
telah disepakati bidang-bidang yang akan dikembangkan.
Keduapuluh bidang yang tertulis pada lembaran
kesepakatan bersama tentu tidak akan dapat dijalankan semua
dalam waktu dua tahun, yaitu tahun 2014-2016. Pada
kesepakatan bersama tersebut terdapat kegiatan yang menjadi
prioritas untuk segera dikerjakan.
Kabupaten Kediri merupakan satu-satunya kabupaten
yang kurang antusias dalam pengembangan Selingkar Wilis.
Padahal dalam tujuan kerja sama pengembangan wilayah ini
mempunyai tujuan akhir yang jelas. Kabupaten Kediri masih
memiliki kekhawatiran, berkaca pada adanya perselisihan
tentang perebutan wilayah di kawasan Gunung Kelud antara
Kabupaten Kediri dan Blitar. Hal tersebut yang menjadikan
Kabupaten Kediri memiliki banyak pertimbangan untuk
mengadakan kerja sama antardaerah yang berbatasan langsung.
Kabupaten Kediri melalui Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kabupaten Kediri tidak melakukan
pembangunan baru infrastruktur dalam rangka mengembangkan
kawasan Selingkar Wilis, Kabupaten Kediri mengutamakan
kegiatan pengembangan pada kawasan yang memang benar
strategis seperti salah satunya adalah pembangunan jembatan
Ngadiluwih – Mojo (Ngadijo) sebagai penyeimbang kegiatan

125
ekonomi di kawasan Kecamatan Mojo dan Ngadiluwih
Kabupaten Kediri.
Adanya kesepakatan untuk membangun wilayah di
Selingkar Wilis. Untuk objek kesepakatan bersama yang
disepakati adalah 20 (dua puluh) bidang yang terdiri dari
pariwisata, pekerjaan umum, penataan ruang, perkoperasian dan
UMKM, industri dan perdagangan, pertanian, perkebunan,
peternakan, kehutanan, perhubungan, lingkungan hidup,
kesehatan, pendidikan, sosial, kebudayaan, penanaman modal,
dan sanitasi. Meskipun demikian apa yang tertulis dalam Pasal 2
ayat 1 bahwa kesepakatan bersama tersebut adalah keenam
kabupaten untuk melakukan pembangunan daerah dari berbagai
aspek, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pemeliharaan, dan evaluasi belum dapat terlaksana, masih hanya
terbatas pada perencanaan.
c. Bentuk dan Pelaksanaan Kesepakatan Bersama
Dalam pasal 3 kesepakatan bersama disebutkan bahwa
pada ayat 1 disepakati bahwa untuk pelaksanaan kerja sama
yang bersifat teknis operasional akan diatur lebih lanjut dalam
bentuk perjanjian kerja sama sesuai ketentuan yang berlaku.
Oleh karenanya dalam pelaksanaan kesepakatan bersama ini
masih bersifat umum, seperti yang disampaikan pada objek
kesepakatan bersama yang masih menyebutkan bahwa urusan
yang akan diatur bersama adalah dua puluh bidang.

126
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa untuk
melaksanakan kegiatan, keenam daerah dapat menunjuk Satuan
Kerja Perangkat Daerah masing-masing sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Dalam hal ini sebagai koordinator
pelaksana keenam daerah sepakat untuk membentuk forum
koordinasi antardaerah yang berbentuk Sekretariat Bersama
(Sekber) dan diberi sebutan Sekber Tunggal Rogo Mandiri
(sesuai akronim Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun,
Nganjuk, dan Kediri), dengan susunan keanggotaan sebagai
berikut.

Tabel 7.1. Susunan Anggota Sekretariat Bersama Tunggal


Rogo Mandiri
Ketua : Sekretariat Daerah Kabupaten selaku
Koordinator Sekretariat Bersama
Wakil Ketua : Asisten Bidang Pemerintahan Sekretaris
Daerah Kabupaten selaku Koordinator
Sekretariat Bersama
Sekretaris : Kepala Bagian yang menangani kerja sama
selaku Koordinator Sekretariat Bersama
Anggota : a. Kepala Bappeda Kabupaten (Tunggal
Tetap Rogo Mandiri)
b. Kepala BPKAD/DP2KAD Kabupaten
(Tunggal Rogo Mandiri)

127
c. Kepala Bagian Hukum Setda. Kabupaten
(Tunggal Rogo Mandiri)
d. Kepala bagian yang menangani kerja sama
Setda. Kabupaten (Tunggal Rogo Mandiri)
Anggota : Kepala SKPD Kabupaten (Tunggal Rogo
Tidak Tetap Mandiri) yang terkait dengan pelaksanaan
kegiatan kerja sama daerah
Sumber: (Sekretariat Bersama Tunggal Rogo Mandiri,
2016)

Sekber Tunggal Rogo Mandiri ini dikoordinir oleh setiap


kabupaten. Adapun tugas dari Sekretariat Bersama Tunggal
Rogo Mandiri adalah:
1. Menyelenggarakan pelayanan administrasi bagi kelancaran
tugas pelaksanaan kerja sama daerah;
2. Menghimpun dan mensinkronkan usulan kegiatan yang
dikerja samakan;
3. Merekomendasikan kegiatan yang akan dikerja samakan
sesuai skala prioritas yang telah disepakati;
4. Mengkoordinasikan penyelesaian permasalahan yang muncul
dalam pelaksanaan kegiatan;
5. Melaksanakan evaluasi terhadap kegiatan yang telah
dilaksanakan;

128
6. Melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Kepala
Daerah masing-masing;
7. Melaporkan secara berkala pelaksanaan kerja sama daerah
kepada pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dalam dua tahun pertama pelaksanaan yaitu tahun 2014 –
2016 Sekber Tunggal Rogo Mandiri yang berada di Kabupaten
Tulungagung menjalankan fungsinya dengan baik, beberapa kali
melaksanakan koordinasi baik secara formal maupun informal
yang diinisiasi oleh Sekber Tunggal Rogo Mandiri, salah
satunya adalah pada tanggal 27 Agustus 2014 di Swaloh Resort
Tulungagung yaitu tentang penyusunan program prioritas kerja
sama antardaerah wilayah Gunung Wilis.
Sekber Tunggal Rogo Mandiri di Kabupaten Tulungagung
telah memberikan dukungan kepada setiap kabupaten untuk
berupaya dalam pengembangan Selingkar Wilis. Salah satu
dukungan yang diberikan adalah fasilitasi dan pendampingan
pada saat survey trase jalan di lapangan. Hal tersebut sangat
berguna untuk menentukan titik mana yang akan dibangun jalan
baru atau dikembangkan jalan yang sudah ada pada Selingkar
Wilis.

129
Gambar 7.2. Kegiatan Seminar Pengembangan Selingkar Wilis
oleh BI Kediri

Sumber: (Humas Pemerintah Kota Kediri, 2019)

Dari apa yang disampaikan oleh pengurus Sekber Tunggal


Rogo Mandiri diketahui jika pengembangan obyek yang telah
dikerja samakan dalam nota kesepahaman tidak bisa berjalan
dengan baik. Setiap kabupaten memiliki bidang yang
diunggulkan dan masing-masing berbeda, sehingga keragaman
potensi tersebut merupakan satu alasan untuk bekerja sama.
Gambaran kondisi pada tiap obyek pengembangan dapat uraikan
sebagai berikut:

130
1. Pariwisata
Setiap kabupaten mempunyai ciri khas yang
dikembangkan. Meskipun demikian setiap kabupaten tersebut
tidak bisa untuk mengerjakan sendiri, selalu membutuhkan
daerah di sekitarnya untuk berkolaborasi. Kolaborasi tersebut
banyak diwujudkan dalam hal promosi pariwisata yaitu dengan
pemasangan baliho yang sampai di luar daerah. Pada saat ini
sektor pariwisata merupakan sektor adalan yang banyak
dikembangkan oleh daerah, termasuk keenam kabupaten yang
berada di Selingkar Wilis.
2. Pekerjaan Umum
Bidang pekerjaan umum secara umum dibagi menjadi dua
bagian yaitu cipta karya dan bina marga, yang dimaksud dalam
kesepakatan bersama ini adalah bidang bina marga yaitu
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang penyelenggaraan jalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Secara eksternal Selingkar Wilis ini memiliki letak yang
strategis yaitu berada pada Wilayah Pengembangan Strategis
(WPS) Semarang – Surabaya dan WPS Yogyakarta – Prigi –
Blitar – Malang. Kedua WPS tersebut merupakan pusat
pertumbuhan terpadu dan pusat pertumbuhan yang sedang
berkembang sehingga memiliki pengaruh yang kuat bagi

131
pertumbuhan kawasan disekitarnya termasuk di Kawasan
Selingkar Wilis.
Dari kesepakatan bersama oleh keenam kabupaten sepakat
untuk memilih pengembangan infrastruktur berupa jalan
penghubung. Jalan penghubung yang dimaksud adalah jalan
eksisting atau jalan baru yang sampai saat ini masih berupa
tapak dan harus dibangun terlebih dahulu.
Dari hasil identifikasi jaringan jalan di Selingkar Wilis
oleh konsultan yaitu PT Sarana Multi Daya KSO, PT Disiplan
Consult, dan PT Wira Widyatama dan tim dari Sekber Tunggal
Rogo Mandiri didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten
Tulungagung.
Jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten
Tulungagung dengan Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten
Kediri ini terbentang sepanjang 57,67 km, dengan mayoritas
lebar jalan 4 – 5 m. Tata guna lahan kiri dan kanan jalan di
dominasi perkebunan cengkeh, pala, dan durian. Salah satu hal
krusial pada ruas jalan ini melewati jembatan (dam) air.
Meskipun saat jalan bisa dilewati kendaraan tetapi sulit untuk
dilakukan pelebaran lagi karena kondisi tanah dan adanya tata
guna lahan (pemukiman) yang telah cukup dekat dengan jalan.
Terdapat dua jalan akses radial Selingkar Wilis yang
dijadikan jalan penghubung dengan jalan arteri yang ada di

132
Tulungagung, masing-masing panjang jalan radial 7,2 km dan
11,2 km. Kondisi masing-masing jalan radial cukup baik dengan
perkerasan aspal dengan lebar jalan antara 4,5 – 6 meter.
Gambar 7.3. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Kecamatan Sendang

Sumber: (Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah


Bappeda Tulungagung, 2019)

b. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten


Trenggalek
Panjang jalan Selingkar Wilis di wilayah Kabupaten
Trenggalek adalah 15,98 km dengan pembagian 10,08 km jalan
milik Kabupaten Trenggalek dan 5,9 km jalan milik Perum
Perhutani. Tata guna lahan sepanjang jalan didominasi
perkebunan milik Perum Perhutani selain ada beberapa milik
masyarakat setempat. Hampir 90% kondisi jalan ruas ini dalam

133
kondisi beraspal baik, hanya sekitar 1 – 2 km yang belum
perkerasan aspal. Pada ruas Selingkar Wilis di wilayah
Kabupaten Trenggalek ini, terdapat lokasi yang kurang
memenuhi persyaratan geometrik sebagai jalan arteri karena
kondisi yang cukup terjal.
Panjang jaringan jalan radial yang menghubungkan jalan
Selingkar Wilis dengan jalan arteri Trenggalek 15,4 km dengan
lebar jalan 5 – 7 m. Kondisi jalan radial ini cukup baik dengan
geometrik jalan yang cukup baik.
c. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten
Ponorogo
Panjang jalan Selingkar Wilis di wilayah Kabupaten
Ponorogo adalah 37,88 km dengan pembagian 35,08 km jalan
milik Kabupaten Ponorogo dan 2,8 km jalan milik Perum
Perhutani. Penggunaan lahan sepanjang jalan didominasi
perkebunan cengkeh dan durian. Sekitar 80% kondisi jalan ruas
ini dalam kondisi baik dan beraspal, hanya sekitar 2 – 3 km yang
tidak menggunakan aspal tetapi cor semen di titik lokasi
perbatasan dengan Kabupaten Trenggalek karena medan jalan
yang terlalu curam.
Panjang jaringan jalan radial yang menghubungkan jalan
Selingkar Wilis dengan jaringan jalan kolektor di wilayah
Kabupaten Ponorogo sepanjang 16,67 km dengan lebar jalan 5 –
7 m. Kondisi eksisting jalan radial ini cukup baik dengan

134
geometrik jalan yang cukup bagus, lebar jalan 6 – 7 meter
dengan perkerasan aspal yang cukup baik.
d. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten
Madiun
Jalan kabupaten yang menghubungkan antara Kabupaten
Madiun dengan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Nganjuk
ini terbentang sepanjang 30,95 km, dengan mayoritas lebar jalan
4 – 5 m. Tata guna lahan kiri dan jalan didominasi dengan
perkebunan cengkeh, mangga, dan durian. Dari total panjang
jalan tersebut hanya sepanjang 6 km yang masih perkerasan
makadam, selebihnya sudah aspal dengan kondisi cukup baik.
Panjang jaringan jalan radial yang menghubungkan jalan
Selingkar Wilis dengan jaringan jalan arteri Madiun 17,22 km
dengan lebar jalan 5 – 7 m. Kondisi jalan radial ini cukup baik
dengan geometrik jalan yang cukup kecuali di daerah perbatasan
antara Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Nganjuk yang
kondisi tanahnya cukup terjal.
e. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten
Nganjuk
Panjang jalan Selingkar Wilis di wilayah Kabupaten
Nganjuk ini 39,98 km dengan pembagian 33,42 km jalan milik
Kabupaten Nganjuk dan 5,95 km jalan milik Perum Perhutani.
Kegunaan lahan sepanjang jalan didominasi perkebunan milik
Perum Pehutani serta milik masyarakat steempat. Hampir 90%

135
kondisi jalan ruas ini dalam kondisi baik, hanya 1 km
diperbatasan Kabupaten Nganjuk dan Madiun serta 1,5 km di
perbatasan Kabupaten Nganjuk dan Kediri.
Panjang jaringan jalan radial yang menghubungkan jalan
Selingkar Wilis dengan jaringan jalan arteri wilayah Kabupaten
Nganjuk sepanjang 20,66 km dengan lebar jalan 5 – 7 m.
Kondisi jalan radial ini cukup baik dengan geometrik jalan yang
cukup baik. Salah satu radial di wilayah ini adalah jaringan jalan
yang menghubungkan lokasi wisata Air Terjun Sedudo di Desa
Ngliman, Kecamatan Sawahan yang telah cukup terkenal dan
banyak dikunjungi masyarakat.
f. Jaringan Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten Kediri
Panjang jalan Selingkar Wilis di wilayah Kabupaten
Kediri ini adalah 57,65 km dengan pembagian 55,44 km jalan
milik Kabupaten Kediri dan 2,21 km jalan milik Perum
Perhutani. Tataguna lahan sepanjang jalan didominasi
perkebunan milik Perum Perhutani dan perkebunan milik
masyarakat setempat. Pada trase jalan lingkar ini, terdapat
beberapa segmen jalan yang belum terhubung dan masih jalan
setapak, dikarenakan kontur tanah di Kabupaten Kediri yang
berbentuk jurang.
Terdapat tiga akses jalan radial Selingkar Wilis yang
dijadikan sebagai jalan penghubung dengan jalan arteri yang ada
di Kabupaten Kediri, yaitu di Kecamatan Mojo, Kecamatan

136
Semen, dan Kecamatan Tarokan dengan panjang masing-masing
adalah 8,3 km, 1,4 km, dan 11,16 km. Kondisi masing-masing
jalan radial cukup baik dengan perkerasan aspal yang cukup
baik.
3. Penataan Ruang
Penataan ruang merupakan aspek penting dalam
pengembangan kawasan. Selain pengembangan jalan juga
diperlukan tata ruang yang terkonsep dengan baik agar tidak
terjadi salah penggunaan lahan. Pengaturan tata ruang pada
setiap kabupaten sudah ada pada tataran kebijakan formal yaitu
peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah. Setiap
kabupaten dalam peraturan tata ruang yang dimaksud telah
mencantumkan pengembangan Selingkar Wilis. Dari hal
tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya semua kabupaten telah
mempunyai komitmen dalam pembangunan di Selingkar Wilis.
Penataan ruang diperlukan dalam rangka menata wilayah
agar tidak terjadi tumpang tindih pembangunan. Selain itu juga
bertujuan untuk menata penggunaan wilayah sesuai dengan
kondisi geografis dan lingkungan sosial masyarakat. Keseriusan
setiap kabupaten dalam pengembangan tata ruang di wilayah
Selingkar Wilis tercermin pada peraturan daerah di masing-
masing kabupaten yang dapat dilihat dalam tabel lampiran 4.
Berdasarkan data dalam lampiran 4 diketahui setiap
kabupaten sudah menyiapkan kawasan Selingkar Wilis sebagai

137
salah satu kawasan unggulan yang ada di daerahnya. Kabupaten
Tulungagung dalam peraturan daerah yang diterbitkan telah
merencanakan pembangunan jalan lingkar Wilis melalui
Kecamatan Sendang dan Pagerwojo. Selain itu berdasarkan pada
komoditas utama di kawasan Wilis juga menetapkan Kawasan
Agropolitan Wilis sebagai salah satu kawasan strategis provinsi.
Pemilihan kawasan Wilis menjadi kawasan agropolitan sudah
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten pada tahun 2004 melalui
keluarnya Keputusan Bupati Tulungagung nomor 522 Tahun
2004 tentang Penetapan Lokasi Program Pengembangan
Kawasan Agropolitan Di Kabupaten Tulungagung.
Pada Kabupaten Trenggalek melalui keluarnya Perda
Nomor 15 tahun 2012 tebtang RTRW Kabupaten Trenggalek
tahun 2012-2032 juga sudah menetapkan adanya kawasan
strategis di wilayahnya yang akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Kawasan strategis yang dimaksud adalah
kawasan strategis kerja sama regional Selingkar Wilis yang
meliputi enam kabupaten yang ada.
Kabupaten Ponorogo dalam tabel 6 juga telah
mengeluarkan peraturan daerah tentang penataan ruang yang
menyebutkan bahwa adanya rencana untuk membangun jaringan
jalan kabupaten berupa pengembangan jalan lokal primer
sebagai jalan lingkar wilayah kecamatan yang meliputi Jalan
Lingkar Wilis yaitu antar Kecamatan Babadan – Ngebel –

138
Pulung – Pudak – Sooko – Sawoo. Selain itu juga telah
menetapkan kawasan strategis ekonomi provinsi dengan
mengembangan kawasan Kecamatan Ngebel menjadi sentra
agropolitan.
Kabupaten Madiun juga telah mengeluarkan peraturan
daerah seperti yang terdapat dalam tabel 6 yaitu adanya rencana
pengembangan ruas jalan Lingkar Wilis yaitu yang meliputi ruas
Kabupaten Nganjuk – Madiun – Ponorogo (Ngadipono) dan
ruas jalan Randualas – kawasan agrowisata Gunung Wilis.
Selain itu untuk mendukung pemasaran hasil agropolitan di
kawasan Kecamatan Kare, Dagangan, dan Dolopo juga
menetapkan pengembangan terminal agrobis di wilayah
Kecamatan Dolopo. Dalam peraturan daerah tersebut juga
menetapkan icon pariwisata Kabupaten Madiun dengan
menghubungkan Monumen Kresek dengan obyek wisata lain
yang ada di Pegunungan Wilis sebagai paket wisata unggulan di
Kabupaten Madiun.
Selanjutnya Kabupaten Nganjuk dalam peraturan daerah
tentang tata ruang wilayah juga menetapkan rencana jalan
lingkar Wilis yang menghubungkan perbatasan Madiun –
Nganjuk sampai perbatasan Kediri – Nganjuk, selain itu juga
peningkatan jalan kolektor di kawasan Pegunungan Wilis yaitu
antara Kecamatan Loceret – Berbek – Sawahan. Selain itu juga
menetapkan kawasan agropolitan di Kabupaten Nganjuk sebagai

139
kawasan strategis agropolitan lingkar Wilis yang berada di
Kecamatan Sawahan, Ngetos, dan Loceret.
Kabupaten Kediri telah menyiapkan wilayahnya untuk
pengembangan kawasan Selingkar Wilis dalam peraturan daerah
tata ruang wilayahnya, yaitu pada aspek peningkatan dan
penyesuaian fungsi jaringan jalan dengan rencana pembangunan
jalan baru dari Kecamatan Mojo (Kabupaten Kediri) dan Ngebel
(Kabupaten Ponorogo). Rencana pembangunan jalan baru ini
berbeda dengan jaringan jalan yang telah ditetapkan dalam
kawasan Selingkar Wilis. Selain itu juga mengembangkan
Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) yang
meliputi KIMBUN Wilis pada wilayah Kecamatan Mojo dan
Banyakan dengan komiditi yang dikembangkan berupa kopi,
tebu, kakao, kelapa, dan cengkeh.
4. Perkoperasian dan UMKM
Perekonomian masyarakat di Selingkar Wilis sebagian
besar ditopang oleh usaha peternakan, pertanian, dan
perkebunan. Pada Kabupaten Tulungagung terdapat dua
kecamatan yang berada di Selingkar Wilis yaitu Kecamatan
Pagerwojo dan Sendang. Kedua kecamatan merupakan pusat
peternakan sapi perah yang hasil utamanya susu. Untuk
memperlancar pemasaran hasil peternakan masyarakat di kedua
kecamatan tersebut, maka diperlukan adanya koperasi. Dari
koperasi selanjutnya susu tersebut dikoordinir untuk diambil

140
oleh PT Nestle Pasuruan sebagai bahan baku pembuatan susu
kemasan.
Kondisi iklim yang dingin mengakibatkan keberadaan
peternakan sapi perah sangat cocok untuk dikembangkan. Selain
Kabupaten Tulungagung peternakan sapi perah ini juga terdapat
di Kabupaten Trenggalek yaitu di Kecamatan Bendungan dan
pada Kabupaten Ponorogo yang berada di Kecamatan Sooko
dan Pudak.
Tidak semua hasil susu tersebut disalurkan ke perusahaan
melalui koperasi. Terdapat juga olahan susu rumahan yang
dikelola oleh masyarakat melalui sentra UMKM. Pada
Kabupaten Ponorogo terdapat beberapa industri pengolahan
hasil susu rumahan dengan merk-merk lokal, selain susu
rumahan tersebut hasil dari susu juga diolah menjadi permen
susu dan keju. Meskipun demikian UMKM ini masih tergolong
kecil, bahkan juga belum memiliki izin resmi dalam hal kualitas
makanan atau izin edar dari pemerintah.
Selain peternakan, pengembangan bidang pertanian dan
perkebunan pada keenam kabupaten melalui konsep agropolitan
sudah dijalankan sejak tahun 2010. Pengelolaan hasil dari
pertanian dan perkebunan tersebut juga dilakukan oleh koperasi.
Koperasi mempunyai tugas sebagai pemasok pupuk dan
penadah hasil pertanian. Kabupaten Nganjuk sebagai penghasil
bawang merah terbesar di Provinsi Jawa Timur juga menjadikan

141
koperasi sebagai mitra rakyat. Berperan sentral ebagai pemasok
pupuk resmi dari petani bawang merah tersebut.
Dari hal tersebut koperasi sangat dibutuhkan dalam rangka
membantu untuk kelancaran kegiatan perekonomian
masyarakat. Sehingga dalam bidang kesepakatan bersama,
pengembangan koperasi dan UMKM menjadi salah satu bagian
yang harus dikembangkan dan patut mendapat perhatian lebih
5. Industri dan Perdagangan
Seperti halnya dengan bidang perkoperasian dan UMKM.
Industri yang sudah tumbuh dan berkembang di kawasan
Selingkar Wilis mayoritas adalah industri rumahan yang
melayani kebutuhan masyarakat pada satu kabupaten. Dalam hal
ini peran SKPD terkait masih perlu untuk dioptimalkan. Selain
itu juga kesungguhan dari pimpinan daerah untuk
mengembangkan industri rumahan ini harus di prioritaskan,
karena adanya kemudahan atau bantuan pemerintah akan
membantu industri rumahan tersebut berkembang. Sebagai
contoh adanya industri rumahan susu sapi, pada label kemasan
belum ada sertifikat dari BPOM, label halal, ataupun nomor
registrasi usaha, bisa dikatakan olahan yang ada masih bersifat
ilegal dan belum bisa dikatakan sesuai standar, oleh karenanya
produk yang telah dibuat tersebut belum bisa dipasarkan ke luar
kabupaten.

142
Gambar 7.4. Hasil olahan susu dari peternakan di
Selingkar Wilis

Sumber: Dokumen Pribadi, 2019

Kegiatan perdagangan berjalan setiap hari di setiap


kecamatan pada Selingkar Wilis. Sayuran menjadi komoditi
dominan yang ada di Selingkar Wilis. Program agropolitan
sangat mendukung peningkatan komoditi perdagangan pertanian
ini, banyak hal yang dilakukan oleh para petani mulai dari
sistem pertanian, pemilihan benih berkualitas, sampai pada
pemasaran hasil. Adanya pasar induk agropolitan di setiap
kabupaten juga menjadikan arus perdagangan yang ada semakin
dinamis pada setiap harinya. Bahkan induk tersebut juga
menerima sayur dari luar kabupaten.

143
Industri rumahan yang ada di kawasan Selingkar Wilis
masih membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk
pengembangannya. Banyak industry yang ada di masing-masing
daerah tetapi belum memiliki izin resmi sehingga produk yang
dihasilkan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat lokal saja.
Hal ini yang mengakibatkan keadaan ekonomi pada daerah
kawasan Selingkar Wilis masih dalam taraf ekonomi menengah.
6. Pertanian
Pertanian adalah sumber ekonomi utama masyarakat
semua kabupaten di Selingkar Wilis. Pengembangan pertanian
di masing-masing kabupaten tidak sama, karena komoditi yang
dikembangkan setiap kabupaten berbeda. Kondisi kontur tanah
juga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan dan jenis
tanamannya, sehingga dari hal tersebut memungkinkan untuk
masing-masing daerah saling bertukar hasil pertanian.
Dengan adanya kesepakatan bersama yang telah terjalin
antarkabupaten di Selingkar Wilis, tentunya sangat bermanfaat
untuk setiap daerah saling mengisi hasil pertaniannya. Sehingga
semua daerah yang ada di Selingkar Wilis dapat menerima
manfaat yang diberikan dari kegiatan perdagangan ini.
7. Perkebunan
Sama halnya dengan pertanian, perkebunan juga
menghasilkan berbagai jenis hasil perkebunan. Mayoritas
perkebunan yang ada di Selingkar Wilis dikelola oleh Perum

144
Perhutani. Meskipun demikian juga ada perkebunan yang
dikelola oleh masyarakat. Perum Perhutani memperbolehkan
masyarakat untuk mengelola lahan perkebunan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat sekitar, selain pengelolaan
dalam bentuk penanaman berbagai jenis tanaman, saat ini
banyak kawasan perkebunan yang dikelola oleh masyarakat
untuk tempat pariwisata. Contoh dalam pemanfaatan
perkebunan ini adalah perkebunan Dilem Wilis di Kecamatan
Bendungan Kabupaten Trenggalek dan perkebunan minyak
kayu putih di Kecamatan Pulung Kabupaten Ponorogo.
Perkebunan Dilem Wilis saat ini dikelola sebagai agrowisata
oleh Pemerintah Kabupaten Trenggalek, perkebunan ini berada
di area seluas 200 hektar dan di dalamnya terdapat kebun serta
bekas pabrik kopi.
Perkebunan kayu putih di Kecamatan Pulung Kabupaten
Ponorogo juga merupakan perkebunan pada masa pendudukan
Belanda pada tahun 1924. Tahun 1939 kemudian dibangun
sebuah pabrik sederhana dengan peralatanya berupa empat buah
drum besi, alat pendingin dan dapurnya terbuat dari batu kali
yang disemen dengan tanah liat. Produksi dan pengelolaan
industri minyak kayu putih terus diperbaiki hingga saat ini.
Harapan dari adanya perkebunan ini adalah peningkatan
produksi, selain itu pengelolaan perkebunan ini juga diberikan
kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa mempergunakan

145
perkebunan ini sebagai tempat wisata baru di Kabupaten
Ponorogo.
Gambar 7.5. Wisata Perkebunan Kayu Putih di Kabupaten
Ponorogo

Sumber: Dokumen pribadi, 2019

Saat ini di area perkebunan kayu putih dikembangkan


paket wisata adventure dengan alat pendukung yang lengkap
dan pengelolaan yang baik dari kelompok masyarakat desa.
Paket wisata yang ada juga sudah mulai ditawarkan kepada para
wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Ponorogo. Pengelola
melakukan kerja sama dengan hotel yang ada di Kabupaten
Ponorogo dan perusahaan jasa perjalanan wisata agar wisata
minat khusus di kawasan perkebunan kayu putih ini semakin
dikenal oleh masyarakat luas.

146
8. Peternakan
Peternakan di Selingkar Wilis didominasi oleh sapi perah.
Peternakan sapi perah umumnya berada di wilayah dataran
tinggi yang dingin dan sejuk untuk menghindari ternak stress
akibat kepanasan. Pusat peternakan sapi perah berada di
Kabupaten Tulungagung yaitu Kecamatan Sendang dan
Pagerwojo, Kabupaten Ponorogo yaitu Kecamatan Pulung,
Sooko dan Pudak. Setiap daerah bekerja sama dengan pihak
ketiga sebagai penerima hasil susu yang pengelolanya adalah
koperasi unit desa di masing-masing daerah. Salah satu desa
penghasil susu adalah Desa Jurug Kecamatan Sooko, produksi
susu sapi di desa ini mencapai 1.100 liter/hari atau 33.000
liter/bulan, susu tersebut berasal dari 30 peternak dan 250 ekor
sapi perah yang masih produktif.
Dari 1.100 liter/hari selanjutnya susu yang terkumpul
selanjutnya disimpan di tempat pendingin yang ada di koperasi
sebelum akhirnya dikirimkan ke Tulungagung. Pengelola
kelompok ternak Damar Wulan Desa Jurug, CH menjelaskan,
“Sebelum susu dikirim ke industri susu di Tulungagung, susu
harus didinginkan terlebih dahulu dengan suhu 2 derajat celsius
agar bakteri yang terkandung di dalam susu tidak bisa
berkembang biak dan susu tidak akan cepat basi.” (wawancara
di Desa Jurug Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo, 9 Januari
2020). Menurut CH, peternak di Desa Jurug setiap hari

147
menyetorkan hasil susu ke Tulungagung, hal ini dikarenakan
penerima susu PT Nestle hanya mengambil di Kabupaten
Tulungagung. Dari hal tersebut adanya kesepakatan bersama di
Selingkar Wilis akan sangat bermanfaat dalam rangka
peningkatan ekonomi masyarakat lokal.
9. Kehutanan
Terdapat dua jenis hutan di lereng Gunung Wilis, yaitu
hutan lindung dan hutan produksi. Untuk hutan produksi,
penduduk bida mendapat manfaat dengan memanfaatkan getah
pinus atau menanam sayur dengan sistem tumpang sari.
Hutan di lereng Gunung Wilis yang dikelola oleh Perum
Perhutani terbagi menjadi tiga Kesatuan Pemangku Hutan
(KPH), yaitu KPH Nganjuk, KPH Madiun, dan KPH Kediri.
Dari data yang diperoleh melalui website resmi Perhutani
(https://perhutani.co.id/) didapatkan informasi tentang keadaan
dari KPH Nganjuk, KPH Madiun, dan KPH Kediri.
KPH Nganjuk memiliki luas 21.273,10 Ha yang terbagi ke
dalam dua wilayah administrasi pemerintahan kabupaten yaitu
Kabupaten Nganjuk 20.476,10 Ha dan Kabupaten Madiun
seluas 797 Ha. KPH Nganjuk sendiri merupakan kelas
perusahaan jati dan untuk hutan produksi seluasi 20.006,5 Ha
terdiri dari kawasan perlindungan seluas 1.669,2 Ha, kawasan
untuk produksi seluas 17.798,5 Ha, dan kawasan untuk

148
penggunaan lain seluas 538,9 Ha dan hutan lindung seluas
1.266,5 Ha.
KPH Madiun memiliki luas 31.219,70 Ha yang terdiri dari
dua bagian untuk penggunaan yaitu untuk jati seluas 27,483,60
Ha dan kayu putih seluas 3.736,10 Ha. Secara administratif
wilayah KPH Madiun berada pada 3 kabupaten yaitu Kabupaten
Madiun seluas 15.953,8 Ha, Kabupaten Ponorogo seluas
13.405,8 Ha, dan Kabupaten Magetan seluas 1.860,1 Ha.
Kawasan hutan KPH Madiun dibagi menjadi 4 bagian hutan
yaitu Bagian Hutan Caruban (11.953,60 Ha – Kawasan
Perusahaan Jati), Pagotan (4.076 Ha – Kawasan Perusahaan
Jati), Ponorogo Barat (6.260,3 Ha – Kawasan Perusahaan Jati),
dan Bagian Hutan Ponorogo Timur (5.193,7 Ha –Kawasan
Perusahaan Jati dan 3.736,1 Ha – Kawasan Perusahaan Kayu
Putih).
KPH Kediri memiliki luas 117,332, 10 Ha yang meliputi
kawasan hutan yang berada di Kabupaten Kediri, Nganjuk,
Tulungagung, Trenggalek, Jombang dan Kotamadya Kediri.
Berdasarkan hasil evaluasi potensi sumber daya hutan tahun
2014, Komposisi Kawasan Hutan KPH Kediri terdiri dari Hutan
Lindung seluas 37.927,3 (32,32%) dan Hutan Produksi seluas
79.404,8 Ha (67,68%). Pengelolaan kawasan hutan di KPH
Kediri diorganisasikan kedalam 9 Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan (BKPH), Kesembilan BKPH tersebut antara lain : BKPH

149
Pare luas 9.983,0 Ha ; BKPH Kediri luas 12.648,9 Ha; BKPH
Pace luas 11.602,9 Ha ; BKPH Tulungagung luas 14.366,6 Ha;
BKPH Trenggalek luas 12.474,2 Ha; BKPH Karangan luas
9.942,3 Ha; BKPH Bandung luas 16.471,4 Ha; BKPH Kampak
15,123,8 Ha dan BKPH Dongko luas 14.719,0 Ha.
Dari luasnya hutan di wilayah kawasan lereng Gunung
Wilis ini tentu membutuhkan peran dari kabupaten lain untuk
saling menjaga keadaan hutan agar tetap lestari, hal ini
dikarenakan pada saat musim kemarau kebakaran hutan sering
terjadi di lereng Gunung Wilis.
Kawasan lereng Gunung Wilis merupakan hamparan
hutan yang memiliki resiko tinggi untuk terbakar. Pada musim
kemarau hutan lereng Gunung Wilis bisa dipastikan selalu
terjadi kebakaran. Pada 14 September 2019 juga terjadi
kebakaran hutan di Desa Ngesong Kecamatan Banyakan
Kabupaten Kediri. Selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 2019
terjadi kebakaran hutan sebesar 325 hektare di wilayah Desa
Kenyoran Kecamatan Semen Kabupaten Kediri, dari data
https://jatimnow.com/ (Kusuma, 2019) juga disebutkan bahwa
kebakaran telah sampai pada Kecamatan Pudak dan Desa Klepu
Kecamatan Sooko. Tidak hanya pada bulan September dan
Oktober 2019, pada tanggal 15 November 2019 juga terdapat
kebakaran hutan di titik Desa Blongko Kecamatan Ngetos
Kabupaten Nganjuk.

150
Dari hal tersebut diperlukan adanya sebuah kerja sama
yang terjadi antara keenam kabupaten di selingkar Wilis untuk
mempersiapkan mitigasi bencana lebih awal agar kebakaran
hutan di lereng Gunung Wilis tidak terjadi lagi.
10. Perhubungan
Kondisi infrastruktur jalan yang tersambung pada jalur
Selingkar Wilis di wilayah Kabupaten Ponorogo, Trenggalek,
dan Tulungagung menjadikan pembukaan jalur baru angkutan
umum yang dikelola oleh Perum Damri. Perum Damri membuka
jadwal perjalanan untuk angkutan penumpang pada trayek
Ponorogo – Bendungan – Tulungagung ini dengan 2 jadwal
pemberangkatan pada hari biasa dan dengan 3 jadwal
pemberangkatan pada saat akhir pekan.
Dengan adanya jalur baru yang dilalui oleh bus dari Perum
Damri ini mempermudah masyarakat untuk berpergian atau
memasarkan barang dagangan ke pusat kota. Dengan adanya bus
ini waktu tempuh juga bisa diperpendek. Sebagai contoh
masyarakat Kecamatan Sooko Kabupaten Ponorogo jika akan
berpergian ke Kediri bisa langsung naik bus Damri ini untuk
menuju ke Tulungagung, selanjutnya menyambung ke Kediri
dan hanya memakan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan.
Sedangkan jika naik bus dari Ponorogo, masyarakat Kecamatan
Sooko harus menuju ke Kota Ponorogo terlebih dahulu,
selanjutnya melanjutkan perjalanan dengan bus ke Tulungagung

151
dan baru ke Kediri, menghabiskan waktu selama 4 sampai
dengan 5 jam. Secara otomatis biaya yang dikeluarkan juga
berbeda. Dari hal tersebut bus Damri sangat membantu
masyarakat khususnya yang ada di Selingkar Wilis sebagai
pilihan moda transportasi ideal.
Gambar 7.6. Bus Damri Perintis Ponorogo – Tulungagung

Sumber: Dokumen Pribadi, 2019

Masyarakat wilayah Kecamatan Pulung, Sooko, dan


Pudak Kabupaten Ponorogo saat ini sudah banyak yang
menantikan adanya bis Damri. Masyarakat dapat mengambil
manfaat untuk berkulakan atau menjual hasil produksinya.

152
11. Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan salah satu obyek dalam
kesepakatan bersama. Lingkungan hidup berkaitan langsung
dengan obyek-obyek lain seperti pekerjaan umum, penataan
ruang, pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan.
Artinya sinergi dalam kesatuan obyek ini mempunyai tujuan
untuk membentuk lingkungan yang asri dan menjaga ekosistem
yang berhubungan langsung pada masyarakat.
Dalam rangka menjaga lingkungan hidup di Selingkar
Wilis secara kontinyu diadakan kegiatan-kegiatan dalam rangka
menjaga ekosistem seperti reboisasi serta normalisasi sungai dan
bendung air. Selain itu sebagai wujud pelestarian lingkungan
hidup di Selingkar Wilis diterbitkan peraturan desa terkait
dengan tidak menembak burung atau hewan di hutan secara liar,
juga terkait dengan pengolahan limbah sampah atau kotoran
ternak menjadi biogas.
Salah satu yang memanfaatkan kotoran ternak menjadi
biogas adalah kelompok sapi perah Nedyo Rahayu yang berada
di Desa Kresek Kecamatan Wungu Kabupaten Madiun. MMd1
sebagai ketua kelompok sapi perah Nedyo Rahayu menjelaskan
"Kelompok Nedyo Rahayu sudah mulai mandiri, mulai dari
adanya kandang yang ideal, pembuatan pakan mandiri, serta
pengolahan kotoran menjadi biogas sudah menjadi kegiatan inti
kami, selain bermanfaat untuk kita sendiri juga menghindarkan

153
penyakit yang berasal dari tumpukan kotoran hewan ternak
tersebut.” (Wawancara di Desa Kresek Kecamatan Wungu
Kabupaten Madiun, tanggal 24 Oktober 2019).
12. Kesehatan
Keberadaan fasilitas kesehatan yang masih terpusat di
ibukota kecamatan menjadikan masyarakat yang tinggal di
daerah jauh dari pusat kecamatan atau sangat terpencil enggan
untuk datang di pusat kesehatan sesuai wilayah administratif.
Masyarakat memilih berobat ke pusat kesehatan yang paling
dekat dengan tempat tinggalnya tanpa mengindahkan batas
administratif. Hal ini merupakan alasan bidang kesehatan juga
merupakan obyek yang harus dikerja samakan. Jika pusat
kesehatan jauh masyarakat akan lebih memilih dukun desa atau
orang pintar untuk mengobati penyakit atau membantu
melahirkan.
Pada saat ini pemerintah sedang banyak melakukan
pembangunan pusat kesehatan masyarakat baik berupa
puskesmas, puskesmas pembantu, atau pos pelayanan kesehatan.
Pemerintah juga berupaya untuk membangun rumah sakit umum
daerah yang dekat dengan Selingkar Wilis. Pemerintah
Kabupaten Madiun telah membangun RSUD Dolopo di
Kecamatan Dolopo yang berbatasan langsung dengan
Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo.

154
13. Pendidikan
Permasalahan pendidikan sama dengan kesehatan. Masih
banyak ditemui anak-anak di Selingkar Wilis yang hanya
menempuh pendidikan sampai dengan Sekolah Dasar (SD) atau
Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Keadaan di Kecamatan Ngebel tersebut menjadikan
banyak anak yang putus sekolah, sehingga anak-anak tersebut
langsung bekerja. Banyak juga yang berselang 2 – 3 tahun dari
lulus SMP langsung menikah, atau lulusan SMP langsung
berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Dari hal tersebut
diperlukan kesepakatan bersama dalam rangka memperkecil
jumlah anak-anak yang berpotensi putus sekolah. Dalam
kesepakatan bersama hendaknya anak-anak pada Selinggkar
Wilis dapat bersekolah tanpa memperhatikan batas administratif,
sehingga dapat dipilih yang terdekat dan terjangkau. Agar angka
putus sekolah yang ada di daerah Selingkar Wilis dapat ditekan.
14. Sosial
Kondisi sosial masyarakat di Selingkar Wilis dipengaruhi
oleh banyak faktor di antaranya adalah kondisi ekonomi, kondisi
pendidikan, kondisi kesehatan, dan adat tradisi yang ada di
masyarakat. Dalam seminar nasional tentang “Sinergi dan
Inovasi: Memacu Geliat Ekonomi Wilayah Selingkar Wilis”
yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia Kediri pada tanggal
16 Desember 2019 disampaikan analisa tentang pertumbuhan

155
ekonomi di Selingkar Wilis, yaitu bahwa Derajat Otonomi
Fiskal (DOF) di Selingkar Wilis ini di level yang rendah dan
sangat rendah, tetapi yang unik adalah indeks kebahagiaannya
memiliki ukuran yang tinggi (Humas Pemerintah Kota Kediri,
2019).
Diketahui bahwa DOF (persentase dari pendapatan asli
daerah per pendapatan daerah) tahun 2018 untuk wilayah
Selingkar Wilis berada di level 0,01-10 (sangat kurang) dan
10,01-20,00 (kurang) tetapi hal tersebut berkebalikan dengan
indeks kebahagiaan (tahun 2017) dan indeks kepuasan hidup
(tahun 2018) yang tinggi. Indeks kebahagiaan untuk masyarakat
perkotaan sebesar 72,01 dan pedesaan di angka 69,49.
Sedangkan indeks kepuasan hidup masyarakat perkotaan di level
68,64 (personal) dan 76,76 (sosial). Masyarakat pedesaan
memiliki indeks angka kepuasan hidup 74,55 (personal) dan
76,69 (sosial).
Kondisi di atas banyak ditemui pada daerah yang ada di
Selingkar Wilis. Masyarakat pedesaan yang tinggal di daerah
terpencil, prinsip nrimo ing pandum sangat dipegang teguh
dengan cara mereka bersahabat dengan alam untuk mencukupi
kebutuhan sehari-harinya.
Masyarakat Selingkar Wilis yang masih sangat memegang
erat filosofi Jawa sangat erat justru membuat mereka kuat
bertahan pada keadaan yang masih murni. Keadaan gotong

156
royong, nrimo ing pandum, kembali ke alam, justru merupakan
sebuah kearifan lokal yang membuat mereka masih bisa
bertahan dan saling menguatkan antara satu dengan yang
lainnya sehingga kondisi sosial yang terjadi di kawasan
Selingkar Wilis ini masih perlu untuk dipertahankan.
15. Kebudayaan
Pengembangan budaya di Selingkar Wilis beriringan
dengan pengembangan pariwisata yang ada di Selingkar Wilis.
Budaya yang ada akan dikembangkan oleh masyarakat dan
dijadikan pilihan obyek wisata yang dapat dinikmati oleh
masyarakat luas. Banyak tradisi yang ada di Selingkar Wilis
sebagai contoh Ruwat Sengkolo Bumi Projo yang diadakan
setiap bulan Muharram di sumber mata air belerang Umbul
Kabupaten Madiun. Di Kabupaten Nganjuk juga terdapat
Jamasan Pusaka yang diadakan pada bulan Muharam di hari
Jum‟at Legi, Jum‟at Wage, atau Senin Wage di Desa Ngliman
Kecamatan Sawahan serta Ritual Siraman Sedudo yang dalam
tradisi tersebut warga melakukan ritual mandi bersama di bawah
guyuran air terjun Sedudo yang dipercaya akan membuat awet
muda.
Selain itu keberadaan budaya lain baik dalam bentuk tari,
musik, atau drama harus tetap dilestarikan dan secara berlanjut
harus selalu dipamerkan kepada masyarakat umum dengan
memanfaatkan peran dari dinas terkait. Keberadaan kebudayaan

157
yang beragam ini tentunya akan menarik wisatawan baik tingkat
lokal, nasional serta internasional. Oleh karena itu dengan
adanya nota kesepahaman di Selingkar Wilis ini tentu sangat
membantu kelangsungan tradisi dan budaya yang ada di
Selingkar Wilis.
Kebudayaan dalam hal ini sangat berkaitan dengan
pariwisata yang dikembangkan dalam kesepakatan bersama
Selingkar Wilis. Dalam pelaksanaannya pariwisata yang ada
juga di dalamnya termasuk juga pariwisata budaya yang ada
pada setiap daerah di Selingkar Wilis. Ciri khas budaya yang
ada pada masing-masing daerah akan dikembangkan dalam
rangka mengembangkan perekonomian masyarakat sekitar
karena terlaksanakanya kegiatan budaya ini juga akan
memberikan daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas.
16. Penanaman Modal
Dalam bidang penanaman modal di Selingkar Wilis ini
membutuhkan peran pihak swasta untuk mengembangkan
berbagai sektor yang menjadi prioritas di Selingkar Wilis.
Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan juga membutuhkan
pihak swasta dalam rangka mengembangan model agropolitan.
Bidang peternakan juga membutuhkan peran pihak swasta
dalam penanaman modal untuk pengadaan bibit sapi berkualitas,
kesediaan pakan, serta pemasaran hasil ternak. Industri rumahan
seperti makanan atau pengolahan kayu menjadi barang setengah

158
juga mambutuhkan bantuan dari adanya pihak swasta sebagai
penanam modal dan bantuan teknis lainnya.
Selain industri, pengembangan pariwisata di Selingkar
Wilis seperti yang disampaikan oleh PTr5 harus segera
direalisasikan. Hal ini diperlukan agar sektor pariwisata yang
ada cepat berkembang dan semakin banyak pilihan wahana
dalam obyek tersebut.
Sebagai contoh lainnya adalah keberadaan Telaga Ngebel
di Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo, keberadaan telaga
ini memang dikelola oleh pemerintah daerah, meskipun
demikian keberadaan rumah makan, hotel, atau pusat
perbelanjaan modern diperlukan untuk mendongkrak
kedatangan wisatawan, hal tersebut tentunya memerlukan peran
swasta untuk menanamkan modal di Kabupaten Ponorogo.
17. Sanitasi
Sanitasi menjadi salah satu obyek dalam kesepahaman
bersama, karena sanitasi merupakan masalah serius yang masih
banyak ditemui pada masyarakat di Selingkar Wilis. Masyarakat
di daerah pegunungan masih banyak yang belum mempunyai
sarana untuk MCK (Mandi Cuci Kakus), kegiatan MCK
dilaksanakan di sungai sehingga masih rentan terhadap penyakit.
Dalam pelaksanaannya sanitasi ini akan menjadi masalah
serius ketika musim hujan tiba dan arus aliran sungai menjadi
sangat tinggi, sungai yang mengalir melintasi wilayah

159
administratif daerah lainnya menjadikan masalah ini harus
diselesaikan melalui kesepakatan bersama antarkabupaten,
terutama yang bersebalahan dan masih berada pada satu
kawasan yang sama. Hal ini seperti yang terjadi pada bulan Juni
dan Juli tahun 2019 tentang wabah Hepatitis A di Kabupaten
Pacitan dan Kabupaten Ponorogo.
Oleh karena itu, melihat permasalahan yang pernah terjadi
tersebut, sanitasi menjadi masalah yang penting dan menjadi
penanganan bersama antar dinas terkait di Selingkar Wilis.
18. Pertambangan dan Energi
Pertambangan yang ada di Selingkar Wilis saat ini dalam
masa pengembangan. Dari https://ekonomi.kompas.com
pertambangan tersebut adalah pengeboran energi panas bumi
yang berada di Desa Ngebel Kecamatan Ngebel Kabupaten
Ponorogo dan Desa Mendak Kecamatan Dagangan Kabupaten
Madiun. Pengeboran ini dilakukan oleh PT Bakrie Darmakarya
Energi dengan menggarap tiga lokasi sumur yang menghasilkan
gas bumi, yaitu satu sumur di Kabupaten Ponorogo dan dua
sumur di Kabupaten Madiun dengan cakupan wilayah kerja PT
Bakrie Dharmakarya Energi tersebut seluas 31.880 hektare
(Alawi, 2017).
Keberadaan pengeboran itu tentu tidak hanya berdampak
pada dua kabupaten yang akan dieksploitasi tetapi juga
berdampak pada kabupaten lainnya yang ada di sekitar Gunung

160
Wilis. Untuk mendukung pelaksanaan perusahaan pengeboran
energi panas bumi tersebut Pemerintah Kabupaten Madiun saat
ini menyiapkan lahan seluas 5 hektar untuk mendirikan fasilitas
dari proyek pengeboran.
Selain itu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP) yang berada di Kecamatan Ngebel saat ini sudah
mulai dikerjakan. Banyak alat berat yang ada di kawasan
pembangunan tersebut. Sesuai rencana pada tahun 2020 PLTP
sudah dapat menghasilkan listrik yang akan dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat di Kabupaten Ponorogo, Madiun, dan
sekitarnya.
19. Kependudukan
Bidang kependudukan adalah bidang yang berkaitan
dengan jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran,
perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan
kualitas serta ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Bidang kependudukan juga diperlukan untuk
menjadi obyek dalam nota kesepahaman antara keenam
kabupaten di Selingkar Wilis sebagai upaya untuk menjaga
kelangsungan masyarakat yang ada di Selingkar Wilis. Selain itu
karena kondisi Selingkar Wilis berupa pegunungan sehingga
memungkinkan masyarakatnya untuk berpindah dari lokasi satu
ke lokasi lainnya dalam rangka melaksanakan kegiatan
ekonomi, pendidikan, sosial, atau budaya.

161
Sebagai contoh adalah banyaknya masyarakat yang tinggal
di Desa Sidomulyo Kecamatan Pagerwojo Kabupaten
Tulungagung menjual hasil pertanian atau perkebunannya dan
mengadakan transkasi jual beli lainnya di Pasar Dompyong
Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek. Selain itu
banyak juga masyarakat di Kecamatan Ngebel yang menjual
hasil pertaniannya di Pasar Dolopo Kecamatan Dolopo
Kabupaten Madiun.
Dari hal tersebut diperlukan kesepakatan untuk menjamin
keberlangsungan segala aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat. Diperlukan juga adanya dukungan oleh pemerintah
daerah melalui pemerintah desa untuk tidak membatasi aktivitas
masyarakat dalam melaksanakan usaha dalam rangka
meningkatkan taraf hidupnya.
20. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan menjadi bidang terakhir yang dikerja
samakan dalam nota kesepahaman. Ketenagakerjaan linier
dengan masalah keendudukan yang berhubungan langsung
dengan peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Keberadaan
industri di Selingkar Wilis setidaknya tidak hanya dapat diserap
oleh masyarakat yang berasal dari daerah asal, tetapi juga dapat
diisi oleh masyarakat dari kabupaten lainnya.
Peningkatan kapasistas jalan dan pembangunan
infrastruktur jalan baru di Selingkar Wilis akan membangkitkan

162
kembali industri di wilayah pedesaan. Di Kecamatan Pudak,
Sooko, dan Pulung Kabupaten Ponorogo dengan hasil
peternakan utama adalah sapi perah juga dapat dikembangkan
menjadi industri rumahan berupa yoghurt, permen susu, atau
sabun susu yang akan menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu
keberadaan perkebunan seperti Kayu Putih juga dapat
mengambil tenaga kerja yang berasal dari luar Kabupaten
Ponorogo. Sehingga dari hal tersebut masing-masing kabupaten
di Selingkar Wilis saling melengkapi dan dapat meningkatkan
ekonomi masyarakat sekitar.
b. Pembiayaan Kesepakatan Bersama
Kesepakatan tentang pembiayaan bersama enam
kabupaten di Selingkar Wilis ini dilaksanakan dengan dua
skema pembiayaan, hal ini berdasarkan pada nota kesepahaman
yang telah disepakati oleh keenam kabupaten nomor
181/08/013/2014 (Tulungagung), 130.5/660/406.003/2014
(Trenggalek), 134.4/732/405.01.1/2014 (Ponorogo),
188.65/6/402.031/2014 (Madiun), 415/11/411.010/2014
(Nganjuk), 074/934/418.11/2014 (Kediri) tentang kesepakatan
bersama Kerja sama Pembangunan Daerah di Wilayah Selingkar
Gunung Wilis – Tunggal Rogo Mandiri. Dalam bab IV tentang
pembiayaan, pasal 4 ayat 1 berbunyi bahwa biaya yang timbul
sebagai akibat dari pelaksanaan kesepakatan bersama akan
dibebankan kepada yang pertama anggaran pendapatan dan

163
belanja daerah (APBD) masing-masing kabupaten, kedua
berasal dari sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat.
Selain itu dalam ayat 2 dijelaskan juga bahwa para pihak
sepakat bahwa apabila dalam pelaksanaan kerja sama ini
membebani daerah dan masyarakat, maka harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
kabupaten masing-masing dengan ketentuan apabila biaya
pelaksanaan kerja sama tersebut belum teranggarkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun
anggaran berjalan dan/atau menggunakan dan/atau
memanfaatkan aset daerah.
Dalam nota kesepahaman anggaran baik pembangunan
dan pengembangan di Selingkar Wilis dibebankan pada
kabupaten yang bersangkutan, meskipun demikian pemerintah
kabupaten juga diberikan kebebasan untuk menerima atau
menggunakan sumber dana lain yang tidak mengikat.
Meskipun kesepakatan bersama telah disepakati serta
perencanaan tata ruang wilayah untuk pengembangan Selingkar
Wilis sudah termaktub di peraturan daerah masing-masing tetapi
komitmen setiap kabupaten berbeda terkait dengan pagu
anggaran yang diberikan dalam pengembangan Selingkar Wilis.
Berbeda dengan Kabupaten Kediri yang masih enggan
untuk menuliskan anggaran terkait dengan perencanaan
pengembangan Selingkar Wilis, Kabupaten Nganjuk justru telah

164
berkomitmen untuk segera membuka Selingkar Wilis ini agar
segera bisa dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di lereng
Gunung Wilis.
Kabupaten Nganjuk memiliki komitmen yang kuat dalam
pengembangan Selingkar Wilis. Selain menggunakan anggaran
yang bersumber dalam APBD juga menggunakan skema lain
yaitu model kerja sama dengan pihak lain yaitu Komando
Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya yang menjalankan
kegiatan Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD). Pada
pelaksanaannya skema tersebut bukan merupakan anggaran
yang diserahkan kepada pemerintah kabupaten tetapi merupakan
perizinan tempat untuk melaksanakan TMMD yang dari hal
tersebut dapat mendapatkan manfaat untuk kegiatan
pembangunan daerah.
c. Jangka Waktu dan Tindak Lanjut Kesepakatan
Bersama
Nota kesepahaman yang telah dijalankan oleh enam
kabupaten selama dua tahun itu telah memberikan perubahan
pada daerah di Selingkar Wilis. Banyak wilayah yang sudah
mulai membuka akses. Beberapa kabupaten telah membuka
lahan baru untuk akses menuju ke lokasi wisata baru. Dari hal
tersebut artinya kemajuan dan efek dari pelaksanaan kerja sama
telah dapat dilihat.

165
Kesepakatan bersama ini dilaksanakan selama 2 (dua)
tahun yaitu mulai tahun 2014 sampai dengan tahun 2016,
selanjutnya nota kesepamahan yang dilaksanakan tersebut akan
diteruskan dengan ikatan yang lebih tinggi yaitu perjanjian kerja
sama.
Setelah 2 tahun dari pelaksanaan dari nota kesepakatan
bersama Kerja sama Pembangunan Daerah di Wilayah Selingkar
Gunung Wilis – Tunggal Rogo Mandiri. Sekber Tunggal Rogo
Mandiri di Kabupaten Tulungagung pada akhir kepengurusan
memfasilitasi untuk mengadakan kerja sama dengan agenda
penentuan prioritas pengembangan di Kawasan Selingkar Wilis.
Selain itu, selanjutnya mulai tahun 2016-2018 kepengurusan
Sekber Selingkar Wilis Tunggal Rogo Mandiri berpindah ke
Kabupaten Trenggalek.
7.1.2. Perjanjian Kerja sama tentang Kerja sama
Pembangunan Infrastruktur Jalan di Wilayah
Selingkar Gunung Wilis
Dua tahun berjalan pelaksanaan kesepakatan bersama
tentang kerja sama pembangunan daerah di Selingkar Wilis –
Tunggal Rogo Mandiri harus dilaksanakan tindak lanjut. Bentuk
dari tindak lanjut adalah dengan adanya perjanjian kerja sama
dengan penentuan obyek yang lebih fokus. Oleh karena itu pada
tanggal 5 Februari 2016 di Pendopo Kabupaten Trenggalek telah
ditandatangani perjanjian kerja sama di antara keenam

166
kabupaten tentang Kerja sama Pembangunan Infrastruktur Jalan
di Wilayah Selingkar Gunung Wilis.
a. Maksud dan Tujuan Kerja sama
Dalam pasal 1 perjanjian kerja sama tertulis bahwa
maksud dan tujuan dari kerja sama adalah: (1) Maksud
perjanjian kerja sama ini adalah untuk mensinergikan program
program pembangunan di daerah di bidang infrastruktur jalan
dan pendukungnya guna mendukung pengembangan potensi
daerah di wilayah Selingkar Gunung Wilis, dan (2) Tujuan
perjanjian kerja sama ini adalah untuk mengembangkan
pembangunan infrastruktur jalan dan pendukungnya yang
terintegrasi di perbatasan daerah di wilayah Selingkar Gunung
Wilis sebagai sarana optimalisasi pengembangan potensi daerah
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Maksud dari perjanjian kerja sama mensinergikan program
pembangunan di bidang infratruktur jalan adalah rencana
menyatukan jalan di Selingkar Wilis berdasarkan panjang trase
jalan yang akan dibangun yaitu ±235,524 km.
Tidak semua kabupaten bersedia untuk menyetujui
perjanjian kerja sama ini. Kabupaten Kediri adalah salah satu
kabupaten yang masih sangat berat mengikuti perjanjian kerja
sama yang telah disepakati. Diketahui jika tidak bersedianya
Kabupaten Kediri untuk mengikuti kegiatan pembangunan
infrastruktur jalan Selingkar Wilis pada wilayahnya ini juga

167
dilihat dari tidak adanya pos anggaran yang disiapkan untuk
pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Kecamatan Semen,
Banyakan, dan Mojo. Wilayah ketiga kecamatan yang akan
dilalui pembangunan infrastruktur jalan sesuai dengan trase
yang disepakati tersebut juga belum ada rencana tapak atau
proses pelebaran jalan. Kabupaten Kediri berdiam diri dengan
menunggu adanya biaya penuh dalam pembangunan ini yang
dikeluarkan oleh provinsi dan pemerintah pusat.
Tujuan dari perjanjian kerja sama adalah mengembangkan
infrastruktur jalan pada kawasan perbatasan. Setiap kabupaten
mempunyai kondisi geologis yang tidak sama dengan keadaan
jalan eksisting yang sangat beragam. Meskipun demikian
dengan adanya perjanjian kerja sama nantinya akan dibangun
infrastuktur jalan dan pendukungnya yang terintegrasi di
perbatasan Selingkar Wilis.
Keseriusan Kabupaten Nganjuk dalam pengembangan
infrastruktur dalam mendukung perjanjian kerja sama
ditunjukkan dengan adanya perjanjian bersama pihak ketiga,
yaitu TNI. Tetapi meskipun demikian langkah tersebut tidak
bisa terlaksana sepenuhnya karena Kediri masih belum bersedia
membuka wilayahnya untuk proses penyambungan poros jalan.
Hal ini berbeda dengan Kabupaten Madiun yang sangat
mendukung juga dalam rangka pelaksanaan perjanjian kerja
sama ini.

168
Adanya perjanjian kerja sama dimaksudkan untuk
mensinergikan program-program antarkabupaten sehingga dapat
tercipta program kolaboratif antardaerah yang hal tersebut
bertujuan untuk pengembangan kawasan Selingkar Wilis. Selain
itu untuk tujuan adanya perjanjian kerja sama ini adalah untuk
menyambungkan ruas jalan yang sudah ada serta pengembangan
infrastruktur jalan agar keenam kabupaten di Selingkar Wilis
dapat terkoneksi dengan baik.
b. Obyek Perjanjian Kerja Sama
Pemilihan obyek perjanjian kerja sama didasarkan pada
kebutuhan utama dalam pembukaan dan pengembangan
Selingkar Wilis, yaitu pembangunan infrastruktur jalan dan
pendukungnya yang berada di perbatasan di wilayah Selingkar
Wilis. Dari hasil pemetaan yang dilakukan pada saat
pelaksanaan kesepakatan bersama, diketahui jika tidak semua
kabupaten yang ada di kawasan Selingkar Wilis sudah
tersambung, ada jalan yang masih belum tersambung karena
kondisi geografis yang tidak mendukung. Oleh karena itu
dibutuhkan komitmen bersama antara kabupaten yang
bertetangga untuk bersama-sama membuka wilayahnya.
Tentunya hal ini akan memberikan dampak positif untuk
masyarakat sekitar yaitu masyarakat tidak perlu jauh untuk
memasarkan hasil pertanian, perkebunan, peternakannya atau
untuk aktivitas lainnya.

169
Pemilihan obyek perjanjian kerja sama berupa
pembangunan infrastruktur jalan ini bukan semuanya
membangun baru, tetapi ada jalan-jalan yang dikelola oleh desa
atau jalan yang masih berupa jalan setapak. Keadaan jalan yang
ada tersebut merupakan embrio dari jalan yang akan
dikembangkan dalam selingkar Wilis. Dalam prosesnya pada
penentuan jalan ini beberapa kali telah diadakan kegiatan
pertemuan baik antar dua kabupaten atau pada skala besar.
Salah satu bentuk pertemuan yang dimaksud adalah adanya
Forum Group Discussion yang dilakukan pada tanggal 28
Agustus 2019 di Kabupaten Ponorogo.
Dari hasil Forum Group Discussion yang telah dilakukan
oleh keenam daerah di Selingkar Wilis diketahui bahwasanya
kronologis jalan di Selingkar Wilis adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan jalan Selingkar Wilis didasarkan pada:
a. Prioritas pembangunan jalan Selingkar Wilis adalah
peningkatan aksesibilitas wilayah di kawasan lingkar
wilis yang mendukung distribusi komoditas unggulan
berupa padi, tebu, cengkeh, peternakan, serta pariwisata
yang tersebar luas di kawasan selingkar Wilis
b. Sebagai kawasan pariwisata dan lumbung pangan:
dukungan distribusi dan aksesibilitas wilayah
c. Perluasan demand komoditi unggulan dan mendukung
aktifitas ekonomi utama di sektor pertanian (tanaman

170
pangan, perkebunan, hortikultura, dan peternakan) serta
dukungan pada sektor pariwisata.
2. Rencana Jalan Selingkar Wilis adalah sebagai berikut:
a. Jalan Selingkar Wilis direncanakan membentuk jalan
lingkar di sekeliling Gunung Ngliman. Panjang rencana
jalan lingkar pada kesepakatan awal bersama sepanjang
211,85 km
b. Revisi trase Lingkar Wilis menghasilkan kesepakatan
penetapan trase jalan sepanjang 235,52 km ditambah
dengan jalan akses radial yang menghubungkan masing-
masing enam ibukota kabupaten
Pengembangan obyek kerja sama perjanjian kerja sama
berupa infrastruktur jalan di Selingkar Wilis dapat dilihat dalam
gambar 7.7.
Gambar 7.7. Pengembangan Infrastruktur Jalan di Selingkar
Wilis

171
Dari gambar 5.7 dapat dilihat jika jaringan jalan yang
ada di Selingkar Wilis ini adalah saling menghubungkan antara
1 kabupaten dengan kabupaten lainnya yang bersebelahan,
selain itu juga terhubung dengan jalan besar lainnya, yaitu jalan
nasional, jalan radial wilis, dan rencana jalan tol Kertosono –
Kediri. Jaringan jalan yang saling terhubung tersebut tentunya
mempunyai dampak yang positif terhadap pengembangan
kawasan Selingkar Wilis sehingga dapat terbuka dan dikenal
oleh masyarakat luas serta mampu untuk meningkatkan
ekonomi masyarakat lokal.
c. Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Kerja sama
Dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh keenam
kabupaten melalui Bappeda masing-masing kabupaten,
disepakati bahwa ruang lingkup pelaksanaan kerja sama
meliputi 5 (lima) aspek, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pemeliharaan, dan evaluasi.
Pada pelaksanaannya, aspek perencanaan berarti dalam
kerja sama terdapat rencana-rencana yang telah disetujui oleh
keenam kabupaten terkait dengan pembangunan infrastruktur
jalan di Selingkar Wilis.
Aspek pelakasanaan yang dimaksudkan dalam kerja sama
ini adalah bagaimana rencana yang sudah dibuat terkait dengan
pembangunan infrastruktur jalan di Selingkar Wilis dapat
dilaksanakan. Beberapa dinas di enam kabupaten yang terkait

172
yaitu Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Pariwisata
dengan dikoordinir oleh Sekber Tunggal Rogo Mandiri. Peranan
penting dari dinas tersebut adalah memastikan keberlangsungan
dalam pengembangan atau proses pembangunan sumberdaya
alam dan manusia di Selingkar Wilis. Seperti kegiatan yang
dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum, adalah pada kegiatan
pemeliharaan atas infrastruktur jalan atau pendukung lainnya
yang sudah ada atau yang akan dibangun.
Peran Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten
Trenggalek tidak begitu terlihat, bahkan dalam pelaksanaannya
kabupaten-kabupaten yang ada di Selingkar Wilis berjalan
sendiri-sendiri sesuai dengan rencana yang telah dibuat oleh
masing-masing daerah. Dari informasi yang ada pada perjanjian
kerja sama diperoleh data untuk panjang trase jalan Selingkar
Wilis adalah ±235,524 km. Pada kenyataan di lapangan dari
trase jalan sepanjang ±235,524 km setiap kabupaten tidak sama
dalam penyelesaian pembangunan infrastruktur jalan karena
mengingat panjang jalan tiap kabupaten juga tidak sama.
Kabupaten Trenggalek telah menyelesaikan
pengembangan jalan di Selingkar Wilis sebesar 100%.
Kabupaten Trenggalek mempunyai panjang trase hanya 18,950
km dengan kondisis eksisting yang sudah cukup baik. Oleh
karena itu Kabupaten Trenggalek hanya melaksanakan
pengembangan berupa pelebaran jalan untuk peningkatan

173
volume kendaraan. Selain itu juga dilakukan perbaikan dengan
menggunakan aspal hotmix.
Kabupaten Nganjuk dan Tulungagung juga telah
menyelesaikan pengerjaan infrastruktur jalan dan jembatan
sebesar 80%. Dengan mengikuti trase jalan yang disepakati
dapat diketahui bahwa Kabupaten Tulungagung memiliki jalan
eksisting hanya sekitar 40% selebihnya adalah pembangunan
jalan baru. Pembangunan jalan telah selesai dikerjakan
menggunakan cor semen. Sedangkan untuk Kabupaten Nganjuk
juga sama dengan Kabupaten Tulungagung. Kondisi jalan
eksisting antara Kabupaten Kediri dan Madiun juga sudah ada
dan tinggal perbaikan di beberapa titik. Meskipun demikian
Kabupaten Nganjuk juga membangun jalan baru dengan
membuka lahan hutan, proses ini tidak bias dilaksanakan dalam
jangka waktu cepat tetapi bertahap dan bekerja sama dengan
kegiatan TMMD yang diselenggarakan oleh TNI AD.
Kabupaten Madiun dan Ponorogo progress pembangunan
jalan masih 50% hal ini dikarenakan masih banyak jalan berupa
tanah sehingga harus ada proses pembangunan jalan baru.
Adanya beberapa sungai besar yang belum ada jembatan juga
menjadi kendala dalam melaksanakan pembangunan trase jalan
Kabupaten Madiun - Ponorogo. Selain kelima kabupaten
tersebut, Kabupaten Kediri masih belum memulai proses
pembangunan. Kabupaten Kediri tidak bersedia melaksanakan

174
proses pembangunan jalan dikarenakan kabupaten ini memiliki
panjang jalan 53,346 km dengan kondisi bentang alam menyirip
yang tidak memungkinkan untuk membangunan jalan. Dari hal
tersebut mengharuskan Kabupaten Kediri memerlukan
pembangunan baru berupa jalan dan jembatan yang banyak dan
akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Kabupaten Kediri
merupakan kabupaten yang sampai dengan saat ini tidak
memprioritaskan anggaran dalam APBD nya untuk
pembangunan Selingkar Wilis, sehingga masih tidak bergerak
dalam pelaksanaan perjanjian.
Dalam ranah pengawasan dilaksanakan langsung oleh
Bakorwil Madiun. Terdapat satu kabupaten yang tidak ada pada
lingkup Bakowil Madiun, yaitu Kabupaten Kediri yang
mengikuti Bakorwil Bojonegoro. Meskipun demikian Bakorwil
Madiun dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Biro
Protokoler dan Kerja sama mengadakan pengawasan terhadap
pelaksanaan kerja sama di Selingkar Wilis dengan waktu yang
dilakukan tidak secara periodik. Pengawasan yang dilakukan
oleh pemerintah provinsi dilaksanakan langsung ke kabupaten-
kabupaten yang ada di Selingkar Wilis, tidak dilaksanakan
melalui forum yang sudah dibentuk yaitu Sekber Tunggal Rogo
Mandiri.
Pada tanggal 26 Februari 2020, Pemerintah Provinsi Jawa
Timur melalui Biro Protokoler dan Kerja sama telah melakukan

175
monitoring dan evaluasi ke Kabupaten Tulungagung, dalam hal
ini adalah monitoring dan evaluasi dalam pembangunan
infrastruktur jalan yang ada di Kecamatan Pagerwojo dan
Sendang serta tentang perencanaan pengembangan pariwisata
yang ada di kedua kecamatan tersebut untuk mendukung
pengembangan Selingkar Wilis.
d. Hak dan Kewajiban dalam Kerja Sama
Dalam naskah kerja sama terdapat pasal tentang hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing
kabupaten. Hak setiap kabupaten, yakni:
(1) Mendapatkan informasi program pembangunan
infrastruktur di masing-masing kabupaten untuk
mensinergikan program pembangunan infrastruktur jalan
dan pendukungnya di perbatasan masing-masing
kabupaten.
(2) Mengusulkan dan menyepakati trase pembangunan
infrastruktur jalan di wilayah perbatasan pada masing-
masing kabupaten.
Sedangkan kewajiban pada setiap kabupaten, yaitu:
(1) Memberikan masukan dan informasi dalam rangka
sinergitas rencana pembangunan infrastruktur di wilayah
perbatasan masing-masing kabupaten.

176
(2) Melaksanakan program pembangunan dan perbaikan
infrastruktur sesuai trase jalan yang tertuang dalam
perjanjian kerja sama.
(3) Mengajukan permohonan penetapan lokasi
pembangunan jalan kepada Gubernur Jawa Timur.
(4) Mengajukan permohonan ijin pinjam pakai kawasan
hutan untuk pembangunan jalan kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
(5) Melakukan monitoring dan evaluasi kepada SKPD
terkait yang melaksanakan pembangunan infratsruktur
jalan dan pendukungnya sebagaimana tersebut dalam
perjanjian kerja sama untuk selanjutnya melaporkan
hasilnya kepada Sekretariat Bersama.
Terkait pelaksanaannya banyak hak yang seharusnya
didapatkan oleh keenam kabupaten tetapi tidak dapat terlaksana
dengan baik. Hak terkait dengan mendapatkan informasi
program pembangunan infrastruktur oleh setiap kabupaten
dalam rangka mensinergikan program pembangunan
infrastruktur jalan dan pendukungnya di perbatasan masing-
masing kabupaten, dalam pelaksanaannya Kabupaten Kediri
terlihat sangat menutup diri terkait dengan program
pembangunan yang akan dijalankan pada Kecamatan Semen,
Mojo, dan Tarokan. Proses pembangunan belum terbuka

177
sehingga daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten
Kediri sulit untuk mensinergikan pembangunan.
Kabupaten Kediri memang tidak terbuka untuk
memberikan informasi terkait dengan rencana pembangunan dan
pengembangan Selingkar Wilis. Kabupaten Tulungagung yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Kediri juga
menyampaikan hal yang sama. Meskipun demikian sesuai
dengan perjanjian kerja sama yang telah disepakati terkait
dengan hak yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten, dapat
diketahui jika sesungguhnya Kabupaten Kediri juga tidak
menyalahi kerja sama tersebut dikarenakan pada nomor dua juga
tertulis jika kabupaten memiliki hak untuk mengusulkan dan
menyepakati trase pembangunan infrastruktur jalan di wilayah
perbatasan pada masing-masing kabupaten.
Sedangkan untuk kewajiban masing-masing kabupaten
pada butir pertama adalah pemberian masukan dan informasi
dalam rangka sinergitas rencana pembangunan infrastruktur di
wilayah perbatasan masing-masing kabupaten. Sinergitas
rencana pengembangan ini belum terlaksana dengan baik, yaitu
Kabupaten Kediri yang tidak kooperatif dalam memberikan
informasi tentang rencana pembangunan infrastruktur di
wilayahnya. Tentunya hal ini berakibat pada kabupaten
disekitarnya akan kesulitan dalam menyatukan proses
pembangunan.

178
Sejalan dengan kewajiban pada butir pertama, butir kedua
yaitu pelaksanaan program pembangunan dan perbaikan
infrastruktur sesuai trase yang tertuang dalam perjanjian kerja
sama juga belum dilaksanakan oleh Kabupaten Kediri.
Kabupaten Kediri masih mempunyai pandangan tentang trase
yang disepakati tersebut bukan yang terbaik bagi Kabupaten
Kediri, sehingga Kabupaten Kediri tidak bergerak dalam proses
pembangunan di Selingkar Wilis. Untuk kabupaten lainnya,
proses pembangunan sesuai dengan trase yang disepakati telah
dilaksanakan sesuai trase jalan yang disepakati, baik dengan
membangun jalan baru atau memperbaiki jalan yang sudah ada.
Kewajiban selanjutnya tentang penetapan lokasi
pembangunan jalan kepada Gubernur Jawa Timur juga belum
dilakukan, hal ini dikarenakan tidak efektifnya peran Sekber
Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Trenggalek, sehingga untuk
melaksanakan mediasi ke pemerintah provinsi terkait dengan
penetapan lokasi pembangunan jalan masih belum terlaksana.
Terkait dengan penetapan lokasi pembangunan jalan
sangat berhubungan dengan Perhutani serta Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam kewajiban yang
tertera pada perjanjian kerja sama setiap kabupaten harus
mengurus izin terkait dengan penggunaan lahan tersebut ke
instansi yang lain.

179
Selanjutnya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah kabupaten adalah monitoring dan evaluasi kepada
SKPD pelaksana. Hal ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah
langsung karena berkaitan dengan anggaran yang digunakan
dalam proses pembangunan ini menggunakan anggaran APBD
masing-masing. Pelaporan hasil monitoring evaluasi ini belum
dilaporkan oleh Sekber Tunggal Rogo Mandiri pada setiap
tahunnya, jadi setiap kabupaten tidak mengetahui tentang
pelaksanaan pembangunan pada kabupaten lainnya.
e. Pembiayaan Kerja sama
Pembiayaan dalam kerja sama dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing
kabupaten, APBD Provinsi Jawa Timur, APBN dan dana lain
yang sah dan tidak mengikat. Pada pelaksanaannya pembiayaan
yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan dan
sarana pendukung lainnya masih menggunakan sumber dari
APBD kabupaten. Anggaran dari provinsi dan pusat belum ada
dalam skema pembiayaan pembangunan dan pengembangan
infrastruktur jalan dan sarana pendukung lainnya di Selingkar
Wilis.
Proses pembiayaan yang dianggarkan oleh setiap
kabupaten ini menjadi kendala, apalagi dengan kondisi
kabupaten yang masing-masing mempunyai karakteristik dan
kepentingan. Kabupaten Kediri yang enggan untuk membangun

180
Selingkar Wilis tentunya tidak akan memberikan slot anggaran
dalam APBD-nya.
Meskipun demikian, dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden nomor 80 tahun 2019 tentang Percepatan
Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan –
Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo
– Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas
Selatan tentunya akan menjadikan pembangunan Selingkar
Wilis ini menjadi skala prioritas pembangunan nasional dan hal
tersebut juga berkaitan dengan pembiayaan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada keenam kabupaten di Selingkar Wilis.
7.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerja sama
Antardaerah di Selingkar Wilis
Pelaksanaan kerja sama antardaerah di Selingkar Wilis
dipengaruhi oleh empat hal yang selanjutnya menjadi faktor
pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan kerja sama, di
antaranya adalah egoisme daerah, partisipasi daerah, koordinasi
antardaerah, dan keberlanjutan kerja sama. Adapun keempat hal
tersebut dibahas dalam uraian berikut.
7.2.1. Egoisme Daerah
Dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah di Selingkar
Wilis diketahui jika egoisme daerah menjadi alasan utama kerja
sama tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Harapan
dalam nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama yang telah

181
terjalin tidak dapat terlaksana dengan baik. Adanya otonomi
daerah juga berpengaruh dalam proses pembangunan di daerah.
Setiap kabupaten menerapkan skala prioritas dalam rangka
membangun daerahnya masing-masing, tentunya dengan
mengutamakan apa yang dibutuhkan oleh kabupaten tersebut.
Secara langsung otonomi daerah ini menjadikan kesepakatan
dan perjanjian yang telah disepakati tidak dapat dilaksanakan
dengan baik.
Diketahui jika di antara keenam kabupaten, Kabupaten
Kediri mempunyai egoisme daerah yang tinggi. Kabupaten
Kediri tidak menjalankan apa yang menjadi kesepakatan dalam
nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama. Bentuk egoisme
yang terjadi adalah kabupaten ini tidak kooperatif dalam
memberikan data dan informasi kepada daerah lainnya yang
saling bertetangga. Kabupaten Kediri juga belum bersedia untuk
menjalankan hasil kerja sama sehingga pengembangan kawasan
di Selingkar Wilis ini menjadi terhambat.
Pola kemitraan sejajar dalam pelaksanaan kerja sama di
antara keenam kabupaten belum dapat dilaksanakan dengan
baik. Hal ini juga diakibatkan adanya kabupaten yang belum
bersedia untuk kolaborasi dalam pembangunan dan
pengembangan kawasan di Selingkar Wilis.
Pemerintah Kabupaten Kediri melalui Bappeda Kabupaten
Kediri juga belum merencanakan untuk pembangunan jalur baru

182
yang ada di Selingkar Wilis yaitu antara Kecamatan Mojo –
Semen – Tarokan – Grogol. Dengan tidak terlaksananya
pembangunan infrastruktur jalan yang ada di Selingkar Wilis
trase Kabupaten Kediri ini maka pembangunan wilayah
perbatasan antara Kabupaten Kediri dengan Kabupaten
Tulungagung atau Kabupaten Kediri dengan Kabupaten
Nganjuk juga terkendala.
Bentuk egoisme lainnya adalah faktor kepala daerah
sebagai pengambil keputusan tertinggi. Kepala daerah
memegang peranan penting dalam segala keberlangsungan
kegiatan, meskipun sudah terdapat kejelasan dalam kerja sama
atau bahkan tertulis dalam rencana pembangunan daerah tetapi
jika kepala daerah tidak menghendaki maka kegiatan tidak
dilaksanakan. Kabupaten Ponorogo termasuk dalam hal ini,
bupati belum memprioritaskan pembangunan Selingkar Wilis
yang berada di Kecamatan Ngebel – Pudak – Sooko,
pembangunan infrastruktur pada ketiga kecamatan tersebut
belum menjadi prioritas. Pembangunan infrastruktur jalan yang
baru pada ketiga kecamatan tersebut belum dilaksanakan dan
masih sebatas perencanaan.
Adanya egoisme daerah ini pada akhirnya akan
menimbulkan konflik internal antara pemerintah dan
masyarakat. Tidak jarang karena merasa kesal dengan
pemerintah maka masyarakat swadaya melaksanakan

183
pembenahan jalan yang rusak tersebut. Selain itu keegoisan ini
juga menimbulkan konflik perasaan antarkabupaten, bukan
merupakan konflik fisik atau sampai pada keadaan kekacauan
tetapi hanya sebatas tidak ada respons antarkabupaten yang
saling bertetangga.
Kabupaten yang lain dan merasa butuh terhadap adanya
kerja sama tetap menghormati hasil kerja sama dan melakukan
pengembangan atau pembangunan infrastruktur jalan secara
mandiri, melalui anggaran daerah serta melibatkan pihak lain
yang mempunyai kepentingan dengan pengembangan di
Selingkar Wilis.
7.2.2. Partisipasi Daerah
Partisipasi daerah diperlukan karena daerah tidak bisa
melaksanakan proses pembangunan dan pengembangan
daerahnya secara mandiri. Peran kabupaten yang saling
bertetangga sangat dibutuhkan untuk kelancaran kegiatan. Selain
itu pelibatan pemerintah provinsi dengan pusat juga diperlukan
sebagai bentuk partisipasi pembangunan dalam pelaksanaan
kerja sama termasuk pada pembangunan infrastruktur jalan di
Selingkar Wilis.
Dalam pelaksanaannya partisipasi antarkabupaten tidak
dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini dikarenakan terdapat
kabupaten yang menutup diri dalam kegiatan pelaksanaan kerja
sama. Kabupaten Kediri tidak menunjukkan partisipasi aktif

184
dalam kegiatan kerja sama, akibatnya pembangunan Selingkar
Wilis juga tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan sampai
dengan masa kerja sama tersebut akan habis belum ada kegiatan
kolaborasi yang dilakukan dalam rangka pengembangan
kawasan.
Keadaan Sekber yang pasif ini juga mengakibatkan tidak
adanya koordinasi yang dilakukan oleh antarkabupaten di
Selingkar Wilis, tentunya hal tersebut juga mengakibatkan
partisipasi yang kurang antarkabupaten.
Dari hal partisipasi yang kurang satu kabupaten akan
mempengaruhi kegiatan lainnya. Tentunya juga akan
menjadikan kerja sama yang telah disepakati juga tidak bisa
berjalan dengan baik. Kurangnya keterbukaan oleh Kabupaten
Kediri tentunya menjadikan pelaksanaan kerja sama dalam
rangka pembangunan infrastruktur jalan di Selingkar Wilis tidak
dapat diselesaikan. Meskipun demikian peran Sekber Tunggal
Rogo Mandiri Kabupaten Trenggalek juga masih kurang dalam
memberikan fasilitasi daerah untuk saling berpartisipasi.
Dari hasil kunjungan pada secretariat Sekber Tunggal
Rogo Mandiri di Kabupaten Trenggalek, diketahui jika tidak ada
kegiatan sama sekali yang dimaksudkan untuk mengatasi kurang
adanya partisipasi ini. Sekber kurang tanggap dalam mengatasi
keberlangsungan kegiatan kerja sama Selingkar Wilis, sehingga
kabupaten yang ada berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan

185
kepentingan dan kondisinya, bukan pada kondisi yang
seharusnya terjadi dari implementasi kebijakan yang telah
disepakati. Kondisi ini memang diakui oleh Sekber Tunggal
Rogo Mandiri di Kabupaten Trenggalek, adanya beberapa kali
mutasi pegawai justru menimbulkan efek yang tidak baik pada
keberlanjutan kegiatan kerja sama antardaerah yang
diinisiasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur.
7.2.3. Koordinasi Antardaerah
Sama halnya dengan partisipasi dalam pelaksanaan kerja
sama. Koordinasi antardaerah juga masih ada beberapa
permasalahan, hal ini mengakibatkan kegiatan pembangunan
dan pengembangan infrastruktur yang seharusnya dilakukan
secara bersama-sama antara keenam kabupaten tidak bisa
dilaksanakan dengan baik. Kembali lagi adalah peran dari
Sekber Tunggal Rogo Mandiri yang tidak nampak terutama
pada kepengurusan Sekber putaran kedua di Kabupaten
Trenggalek yang tentunya hal ini menjadikan kegiatan tidak
dapat berjalan dengan baik.
Pada kepengurusan sekber putaran pertama ada kontrol
nyang dilakukan oleh sekber untuk menjamin keenam kabupaten
telah melaksanakan kegiatan secara kolaboratif. Peran Sekber
Tunggal Rogo Mandiri sangat penting. Pada awal terbentuk
pada tahun 2014 – 2016 Sekber Tunggal Rogo Mandiri yang
dikoordinasikan oleh Kabupaten Tulungagung melaksanakan

186
tugas dengan baik, hal ini dilihat dari kegiatan-kegiatan yang
secara rutin dilaksanakan, di antaranya koordinasi tentang
penyusunan program prioritas, koordinasi dalam rangka
pemilihan trase jalan, pelaksanaan kunjungan lapangan ke enam
kabupaten di Selingkar Wilis untuk mengidentifikasi trase yang
mungkin dikembangkan atau dibangun dan disambungkan,
berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur tentang
pelaksanaan pengembangan kawasan Selingkar Wilis, serta
persiapan pelaksanaan kerja sama antar keenam kabupaten
dalam pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Selingkar
Gunung Wilis.
Dua tahun berganti, pada tahun 2016 – 2018 Sekber
Tunggal Rogo Mandiri diserahkan kepengurusannya kepada
Kabupaten Trenggalek, dalam hal ini adalah Bagian
Administrasi Pemerintahan Daerah Sekretariat Kabupaten
Trenggalek. Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten
Trenggalek mempunyai tugas untuk melanjutkan kegiatan yang
telah dilaksanakan oleh sebelumnya, seperti tentang
implementasi hasil koordinasi dalam penyusunan trase jalan,
sekber menunjuk rekanan dalam hal ini untuk menyusun
kelayakan trase jalan yang nantinya akan dijadikan acuan untuk
pembangunan pada jalur Selingkar Wilis, meskipun demikian
ketika hasil rekanan sudah diserahkan tetapi keenam kabupaten
tidak menyepakati untuk dilaksanakan, oleh karena itu

187
pembangunan jalan tidak bisa dilaksanakan kembali karena trase
belum disepakati.
Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Trenggalek juga
mempunyai tugas untuk melanjutkan inisiasi kerja sama berupa
penandatanganan naskah kerja sama yang telah disepakati.
Naskah kerja sama dibuat berdasarkan prioritas yang disepakati,
yaitu pembangunan infrastruktur jalan dengan penandatangan
naskah melalui Bappeda masing-masing kabupaten. Fasilitasi
oleh Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Trenggalek
adalah diadakannya penandatanganan bersama naskah kerja
sama dengan disaksikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur,
yaitu pada tanggal 5 Februari 2016 di Pendopo Kabupaten
Trenggalek, tetapi pada saat itu Kabupaten Kediri tidak hadir.
Setelah adanya naskah kerja sama, masih ada
permasalahan lain yaitu masih adanya tanggungan berupa
permintaan nomor surat yang tercantum dalam naskah kerja
sama yang masih kosong, hanya Kabupaten Madiun yang telah
siap dengan nomor surat tersebut. Sekber mempunyai tugas
untuk datang dan meminta nomor surat tersebut kepada masing-
masing kabupaten, tetapi pada kenyataannya agenda ini tidak
dilaksanakan oleh Sekber dikarenakan ada pergantian pegawai
yang ada di Bagian Administrasi Pemerintahan Daerah
Kabupaten Trenggalek. Koordinasi tidak dilanjutkan akhirnya

188
mengakibatkan naskah kerja sama yang telah ditandatangi pada
tahun 2016 hingga tahun 2019 belum ada kejelasan.
Ketidakjelasan nomor surat yang belum ada dalam naskah
kerja sama antar keenam kabupaten ini memang menunjukkan
tidak berfungsinya tugas sekber. Kabupaten Madiun juga
menyampaikan hal yang serupa, meskipun Bappeda Kabupaten
Madiun telah menuliskan nomor surat pada naskah perjanjian
kerja sama, tetapi Bappeda Kabupaten Madiun juga belum
pernah sama sekali mengetahui tentang tindak lanjut kejelasan
dari naskah kerja sama tersebut.
Tentunya hal ini dapat dilihat bahwa sejak tahun 2016
sampai dengan tahun 2019 sekber belum pernah melaksanakan
koordinasi dengan kabupaten – kabupaten yang lain dalam
rangka pembangunan infrastruktur jalan di Selingkar Wilis.
Meskipun demikian masing – masing kabupaten yang
mempunyai komitmen tinggi dalam pengembangan kawasan ini
tetap melanjutkan kegiatannya tanpa ada naskah kerja sama dan
koordinasi dari sekber.
Koordinasi yang kurang baik tidak menghambat
pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur jalan di
kawasan Selingkar Wilis asalkan kabupaten memiliki komitmen
yang kuat untuk mengembangkan wilayahnya pembangunan
dapat terus dilanjutkan. Pemerintah kabupaten yang mempunyai
komitmen dalam membangun infrastruktur jalan di Selingkar

189
Wilis ini tidak mementingkan keberadaan perjanjian kerja sama
oleh karenanya banyak daerah yang telah melanjutkan kegiatan
pembangunannya.
7.2.4. Keberlanjutan Kerja sama
Kerja sama yang telah dilaksanakan oleh keenam
kabupaten belum menunjukkan hasil yang maksimal, justru
keadaan yang terjadi adalah kabupaten tidak melaksanakan isi
dari kerja sama yang telah ditandatangani. Keenam kabupaten
bergerak sendiri dalam proses pembangunan dan pengembangan
infrastruktur jalan di Selingkar Wilis. Selain itu ketidakjelasan
adanya perjanjian kerja sama yang dilakukan ini justru
menimbulkan kesepakatan-kesepakatan tersendiri di antara dua
daerah yang saling berhubungan. Seperti yang dilakukan oleh
pemerintah Kabupaten Ponorogo dengan Trenggalek, pada
tanggal 22 Desember 2019 Bupati Ponorogo, Ipong
Muchlissoni, bertemu dengan Bupati Trenggalek, Muhammad
Nur Arifin, yang keduanya membicarakan tentang pensikapan
ruas Ponorogo-Trenggalek yang menjadi salah satu proyek
strategis nasional. Selain itu dalam pertemuannya juga dibahas
tentang persiapan adanya partner kerja atau mitra yang siap
untuk dating dan bekerja sama dalam pengembangan kawasan
wisata di selingkar wilis bagian Kabupaten Ponorogo dan
Trenggalek.

190
Berbagai harapan yang diungkapkan oleh masyarakat ini
akan dapat segera diwujudkan ketika pemerintah daerah
mempunyai komitmen yang kuat untuk pengembangan daerah di
Selingkar Wilis. Pengembangan daerah ini termasuk
pembangunan infrastruktur jalan yang nantinya akan berdampak
pada sektor lainnya seperti perdagangan, sosial, budaya,
pariwisata, dan lainnya. Terbangunnya kawasan Selingkar Wilis
ini tentunya akan menjadikan sebuah pusat perkotaan baru pada
wilayah Provinsi Jawa Timur bagian barat. Adapun gambaran
sistem pusat perkotaan yang dimaksud tersampaikan pada acara
Focus Group Discussion Revitalisasi Kerja sama Selingkar
Wilis untuk Mendorong Kerja sama Bidang Pariwisata di
Kabupaten Ponorogo pada tanggal 28 Agustus 2019. Gambaran
model pengembangan dapat dilihat pada gambar 5.8.
Dengan melihat kepentingan kawasan tersebut untuk
dibuka maka pemerintah Provinsi Jawa Timur diharapkan untuk
ikut serta dalam proses pembangunan yang ada pada kawasan
Selingkar Wilis, selain itu dengan ditetapkannya kawasan
Selingkar Wilis menjadi salah satu kawasan strategis nasional
oleh pemerintah pusat melalui diterbitkannya Peraturan Presiden
nomor 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan
Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto –
Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger –
Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan maka

191
pembangunan yang ada di kawasan Selingkar Wilis akan
mendapatkan akselerasi pembangunan dalam skala nasional
sehingga pembangunan Selingkar Wilis akan dapat diikuti oleh
keenam kabupaten dengan serius.

Gambar 7.8. Pengembangan kawasan Selingkar Wilis Provinsi


Jawa Timur

192
Dari gambar 7.8 di atas dapat dijelaskan bahwasannya
kawasan Selingkar Wilis terbagi atas ring 1 dan ring 2. Area
ring 1 meliputi konservasi Sumber Daya Alam, klaster destinasi
pariwisata, serta simpul produksi perkebunan, hortikultura, dan
peternakan. Area ring 2 meliputi klaster destinasi pariwisata
unggulan di Selingkar Wilis yang meliputi bentang alam,
agrowisata, serta budaya; dan simpul produksi pertanian
tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan.
7.3. Eksisting Strategi Kerja sama Antardaerah Selingkar
Wilis
Otonomi daerah yang terselenggara dalam pelaksanaannya
mengharuskan daerah untuk bertanggungjawab besar dalam
berbagai urusan. Salah satunya adalah tanggungjawab
pemerintah daerah dalam urusan pemerintahan yang
berhubungan langsung dengan tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Untuk tercapainya kesejahteraan dimaksud maka
pemerintah baik pada tingkat kabupaten atau provinsi harus
mengembangkan mengembangkan kerja sama antardaerah
dengan berbagai pihak yang disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki pada setiap daerah.

193
Potensi yang beragam adalah sebagai aset daerah yang
harus dijaga dan terus dikembangkan. Pada pelaksanaannya
tidak bisa sendiri daerah dalam mengembangkan asset tersebut,
tetapi membutuhkan daerah lain. Banyaknya asset daerah
sepertihalnya berupa bidang pariwisata, pertanian, ekonomi,
pendidikan, investasi dan pemasaran produk-produk hasil karya
lokal. Pada pelaksanaannya, kerja sama antardaerah tidak akan
bisa berjalan dengan baik jika tidak ada pengelolaan dengan
baik juga.
Pengelolaan kerja sama antardaerah lebih banyak dikelola
oleh sebuah lembaga kerja sama. Agranoff menyebutkan jika
ada empat kewenangan yang seharusnya dijalankan oleh sebuah
lembaga kerja sama (McGuire, 2006). Pertama adalah
information networks yaitu lembaga yang berfungsi sebagai
pertukaran informasi mengenai kebijakan dan program,
teknologi dan solusi potensial atas masalah bersama. Kedua
adalah developmental networks yaitu adanya keterlibatan
anggota yang lebih tinggi, tidak hanya sekedar pertukaran
informasi tetapi dikombinasikan dengan pendidikan dan
pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas
informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing
persoalannya. Ketiga adalah outreach networks yaitu adanya
jaringan antardaerah lebih solid dengan adanya program strategi
untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan dilaksanakan di

194
daerah lain. Keempat adalah action networks dengan pengertian
bahwa daerah secara bersama-sama membuat serangkaian
program aksi bersama-sama yang dijalankan oleh masing-
masing daerah sesuai dengan proporsi dan kemampuannya
masing-masing.
Kerja sama antardaerah yang dilaksanakan di Selingkar
Wilis telah dilaksanakan sejak tahun 2014. Tetapi
kemanfaatannya masih belum banyak dirasakan. Pengelolaan
kerja sama telah diserahkan kepada Sekretariat Bersama
(Sekber) yang bernama Tunggal Rogo Mandiri. Sekber dikelola
secara bergantian dengan koordinator yang berganti setiap 2
tahun sekali dan dimulai dari Kabupaten Tulungagung, sesuai
dengan akronim dari Tunggal Rogo Mandiri yaitu Tulungagung,
Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan Kediri.
Pada tahun pertama dan kedua pelaksanaan kesepakatan
bersama yaitu tahun 2014 – 2016 peran Sekber Tunggal Rogo
Mandiri terlihat sangat efektif karena banyaknya kegiatan dan
koordinasi-koordinasi yang dilakukan. Sekber Tunggal Rogo
Mandiri Kabupaten Tulungagung juga sangat aktif
melaksanakan kunjungan dan survey-survey ke lokasi trase yang
akan digunakan sebagai jalan di Selingkar Wilis. Pada tahun
2014 – 2016 tersebut koordinator Sekber Tunggal Rogo Mandiri
adalah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Tulungagung.

195
Susunan Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten
Tulungagung dapat dilihat dalam gambar 7.9.
Gambar 7.9. Susunan Keanggotan Sekber Tunggal Rogo
Mandiri

Dari gambar 5.9 diketahui jika dalam susunan Sekretariat


Bersama Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Tulungagung
diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Tulungagung yang
merangkap sebagai penanggungjawab kegiatan. Wakil ketua
adalah Asisten Bidang Pemerintahan Kabupaten Tulungagung

196
serta sekretaris adalah Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah
Kabupaten Tulungagung yang merangkap sebagai koordinator
kegiatan. Asisten Bidang Pemerintahan Kabupaten Tulungagung
mempunyai tugas mengkoordinasikan kegiatan bersama Kepala
Bappeda, Kepala BPKAD/DP2KAD, Kepala Bagian Hukum
dan Kepala Bagian Kerja sama di enam kabupaten yang
merupakan anggota tetap Sekber untuk bersama-sama
mengadakan kegiatan sesuai dengan yang telah disepakati.
Selain itu SKPD yang terkait pada masing-masing kabupaten
juga dilibatkan dalam hal pelaksanaan kerja sama antardaerah.
Keberadaan SKPD pada setiap kabupaten merupakan anggota
tidak tetap dari Sekber Tunggal Rogo Mandiri.
Pada tahun 2016 Sekber Tunggal Rogo Mandiri bergeser
ke Kabupaten Trenggalek, dalam pelaksanaannya Sekber
Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Trenggalek tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai koordinator pelaksanaan kerja
sama, salah satu faktor yang mengakibatkan hal tersebut adalah
adanya mutasi aparatur pada bagian kerja sama di Sekretariat
Daerah Kabupaten Trenggalek, karena itu juga pelaksanaan
kerja sama di kawasan Selingkar Wilis berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan keadaan dan kemampuan daerahnya.
Sepertihalnya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Nganjuk yang menganggarkan sebanyak Rp. 2,5 miliar untuk
tahun 2020 dalam rangka pembangunan infrastruktur jalan

197
rintisan di Selingkar Wilis. Selain itu adanya panjajakan kerja
sama bilateral antara Kabupaten Ponorogo dan Trenggalek yang
telah dilakukan oleh Bupati Ipong Muchlissoni dan Bupati Nur
Arifin juga mengindikasikan jika kedua kabupaten bersama
untuk mengembangkan kawasan Selingkar Wilis yaitu
penyusunan paket wisata. Kabupaten Tulungagung dan Madiun
juga melaksanakan kegiatan pembangunan secara mandiri
dengan mengalokasikan anggaran untuk tahun 2019 dan tahun
2020.
Adapun kondisi kerja sama yang ada saat ini dapat
digambarkan dalam gambar 7.10.

198
Gambar 7.10. Kondisi Pelaksanaan Kerja sama Antardaerah di
Selingkar Wilis

Gambar 7.10 menunjukkan kondisi bahwa Sekber Tunggal


Rogo Mandiri ini mengawal kegiatan nota kesepahaman dan
perjanjian kerja sama yang ada, diawali dari kegiatan penentuan
objek, penyusunan rencana kegiatan, dan pelaksanaan kegiatan.
Pihak ketiga dalam pelaksanaan kerja sama ini adalah PT Sarana

199
Multi Daya KSO, PT Disiplan Consult, dan PT Wira Widyatama
yang membantu dalam pengerjaan kelayakan trase jalan di
Selingkar Wilis. Dalam gambar 7.10 juga diketahui bahwa
kelima kabupaten melaksanakan kerja sama secara mandiri
karena peran Sekber yang tidak efektif, hanya ada satu
kabupaten yang masih belum melakukan pembangunan secara
mandiri.
Dalam perspektif Mintzberg, bisa dilihat bahwa kondisi
eksisting yang telah dilaksanakan pada kerja sama di Selingkar
Wilis sesungguhnya telah melakukan strategi dalam
pelaksanaannya, tetapi masih belum terarah dan terkonsep
dengan baik. Adapun strategi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Plan.
Adanya perencanaan yang dilakukan dalam kerja sama
antardaerah ini berupa nota kesepahaman dan perjanjian kerja
sama telah disepakati oleh keenam kabupaten. Pimpinan
Sekber Tunggal Rogo Mandiri pada saat di Kabupaten
Tulungagung, bahwa inisiasi tentang kerja sama ini sudah
dilaksanakan sejak lama, tapi untuk eksekusi masih sangat a
lot sehingga pelaksanaan kerja sama antardaerah yang ada
masih belum dapat dilaksanakan dengan baik, hal ini bisa
dilihat dari pasca penandatanganan perjanjian kerja sama
antardaerah yang berupa kosongnya nomor surat dalam

200
perjanjian kerja sama sampai dengan tahun pelaksanaan kerja
sama habis.
2. Pattern. Dari kondisi yang ada (dilihat dalam gambar 7.9)
susunan sekretariat bersama yang berada di Kabupaten
Tulungagung masih tersentral sehingga koordinasi akan sulit
dilakukan, meskipun demikian Sekber Tunggal Rogo Mandiri
di Kabupaten Tulungagung memainkan perannya dengan
baik. Dua tahun setelah itu ketika sekber pindah ke
Kabupaten Trenggalek, sekber tidak berjalan sehingga bisa
dikatakan bahwa sekber tidak hidup. Adanya dua kali mutasi
jabatan menjadikan posisi ketua pelaksana sekber menjadikan
sekber tidak menjalankan fungsinya.
3. Position. Pada pelaksanaannya kerja sama antardaerah yang
terjadi masih belum bisa menampatkan diri secara sejajar
pada setiap daerah, diketahui bahwa Kabupaten Kediri masih
enggan untuk bergerak dalam proses pembangunan kawasan
Selingkar Wilis dan menyetujui trase yang telah disepakati
oleh lima kabupaten lainnya yang mendukung dan hal
tersebut dibenarkan oleh anggota sekber yang kesemuanya
berharap bahwa Kabupaten Kediri bersedia untuk membuka
diri dan lebih kooperatif untuk mendukung terbukanya
jaringan jalan di Kawasan Selingkar Wilis.
4. Ploy. Pada kondisi yang terjadi koordinasi terkait dinergitas
program telah 3 kali dilakukan dengan fasilitasi dengan

201
sekretariat bersama di Swaloh Resort Kabupaten
Tulungagung, sudah ada kesepakatan dalam kegiatan tersebut
meskipun demikian tidak ada tindak lanjut yang dilakukan
oleh masing-maisng daerah. Setiap kabupaten berjalan
sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan yang akan
dikembangkan di daerahnya. Pembangunan infratstruktur
jalan dilakukan melalui dua mekanisme yaitu pembangunan
jalan baru dan pengembangan jalan yang sudah ada.
Pemerintah provinsi juga sudah melakukan monitoring
terhadap pelaksanaan kerja sama antardaerah ini pada saat
Sekber masih berada di Kabupaten Tulungagung, tetapi
belum ada tindak lanjut, hal ini juga dikarenakan strategi
pelaksanaan kerja sama yang belum tepat (sesuai pada
gambar 7.10 yang pada kenyataannnya masing-masing
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri dan tidak ada
pelibatan provinsi dan pusat lebih lanjut.
5. Perspective. Adanya pandangan yang tidak sama antara satu
daerah dengan kelima daerah lainnya menjadikan
pelaksanaan kerja sama antardaerah ini terasa sangat berat
untuk berhasil. Belum adanya peran dari provinsi dan pusat
terkait dengan kerja sama antardaerah menjadikan
pelaksanaan kerja sama masih belum menemui kepastian.
Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 80 Tahun 2019
tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan

202
Gresik - Bangkalan - Mojokerto - Surabaya - Sidoarjo -
Lamongan, Kawasan Bromo - Tengger - Semeru, serta
Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan diharapkan
menjadi warna baru dalam pengembangan Kawasan
Selingkar Wilis.

203
BAB VIII
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT KERJA
SAMA
8.1. Pelaksanaan Kerja sama Antardaerah di Selingkar
Wilis
Setiap daerah pada dasarnya mempunyai potensi dan
keterbatasan masing-masing. Pemerintah daerah tidak
mempunyai keleluasaan dalam proses pembangunan dan
pemberian pelayanan publik. Berbagai keterbatasan terdapat di
daerah baik dalam bentuk finansial, sumber daya manusia, atau
sumberdaya lainnya. Sehingga dari hal tersebut proses
pembangunan dan pemberian layanan publik tidak dapat
menjangkau seluruh masyarakat dan akhirnya berpotensi
menyebabkan ketimpangan serta ketidakmerataan hasil
pembangunan dan pelayanan publik.
Sering ditemui masyarakat pada satu daerah tidak
melaksanakan kegiatan sehari-harinya pada daerahnya sendiri,
tetapi justru pada daerah tetangga. Tidak jarang pula kebutuhan
masyarakat tersebut dicukupi oleh daerah tetangganya (Eliza,
2017); (Wibhawani et al., 2016); (Anggita et al., 2017);
(Nababan, 2017); (Simonov & Egidarev, 2018). Peningkatan
ekonomi daerah tidak terlepas dari kondisi daerah yang
berdekatan, selain itu adanya perluasan daerah perkotaan juga
menjadikan daerah yang saling berbatasan untuk saling
mendukung dan melengkapi. Selanjutnya kerja sama

204
antardaerah pada umumnya terjadi karena adanya saling
ketergantungan tiap daerah dalam kegiatan ekonomi yang
berasal dari adanya perbedaan potensi sumberdaya,
kepemilikan, dan kebutuhan dari spesialisasi pekerjaan (Zakaria,
2015). Oleh karenanya dalam pengembangan kawasan seperti
yang dilakukan pada Selingkar Wilis ini masing-masing daerah
yang saling berdekatan harus melaksanakan kerja sama
antardaerah (Lestari, 2020); (Mahardhani, 2017). Hal ini
menjadi suatu kebutuhan untuk menutup keterbatasan yang
dimiliki dalam rangka pemerataan hasil pembangunan dan
meningkatkan pelayanan publik.
8.1.1. Kesepakatan Bersama tentang Kerja sama
Pembangunan di Wilayah Selingkar Gunung Wilis–
Tunggal Rogo Mandiri
Menurut Frank and Smith kesepakatan bersama harus
dimiliki oleh dua pihak atau lebih yang akan bekerja sama harus
mempunyai tujuan yang jelas (Frank, 2000). Oleh karena itu
untuk mengatur rencana dalam pengembangan Selingkar Wilis
perlu adanya sebuah kesepakatan bersama dengan enam
kabupaten yang saling bertetangga, yaitu Kabupaten
Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan
Kediri.

205
a. Maksud dan Tujuan Kesepakatan Bersama
Kesepakatan bersama yang ditandatangani pada tanggal 11
Juni 2014 di Pendopo Kabupaten Trenggalek oleh keenam
kabupaten merupakan sebuah kesepakatan tertulis yang
mempunyai tujuan untuk membuka kawasan yang ada di
selingkar Gunung Wilis. Keberadaan Gunung Wilis yang
dimiliki bersama oleh enam kabupaten, masing-masing
mempunyai karakteristik yang berbeda. Selain itu keberadaan
pariwisata baik alam, budaya, dan seni yang ada di wilayah
tersebut juga belum banyak diketahui oleh masyarakat luar
daerah. Oleh karena itu pada saat wacana pembukaan daerah
Selingkar Wilis, pemerintah provinsi menyambut dengan
senang.
Pratikno menjelaskan bahwa kesepakatan yang dilakukan
antardaerah hendaknya adalah sinergis dan saling
menguntungkan serta berbasis dengan kebutuhan (Pratikno,
2007). Tentunya apa yang disampaikan olek Pratikno adalah
harapan dari keenam daerah untuk saling bersinergis.
Sinergis dan saling menguntungkan disini adalah adanya
kekuataan dari kerja sama dan dimiliki. Adanya komitmen untuk
saling membangun, bersinergi lintas aktor antardaerah seperti
dalam penelitian yang dilakukan (Uriawan & Lituhayu. M,
2017); (Warsono, 2009b); (Nababan, 2017). Hal ini juga akan
bisa terlaksana dengan baik jika keenam daerah yang bersepakat

206
terdapat kesadaran bersama jika dengan kerja sama maka hasil
kolektif yang diperoleh akan dapat maksimal.
Selanjutnya adalah berbasis kebutuhan, pelaksanaan
penandatanganan kesepakatan bersama Tunggal Rogo Mandiri
ini juga didasari pada kepentingan bersama dari para pihak yang
bekerja sama. Sikap partisipatif, pelibatan semua pihak dalam
pelaksanaan kesepakatan bersama juga harus tetap menjadi
acuan agar ada kejelasan take and give antar enam kabupaten di
Selingkar Wilis.
b. Ruang Lingkup dan Obyek Kesepakatan Bersama
Sebuah kerja sama tentunya memiliki sebuah obyek yang
akan dikerja samakan. Secara lebih luas obyek kerja sama
adalah termasuk pada ruang lingkup dari apa yang akan dikerja
samakan. Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerja
sama Antardaerah (LEKAD) menekankan tentang pentingnya
membahas isu – isu strategis yang perlu dikerja samakan
sebelum memulai kerja sama. Hal ini dikarenakan subyek dalam
kerja sama adalah benda yang bergerak dan dinamis yaitu
masyarakat, swasta, pemerintah, media dan akademisi sehingga
diperlukan sebuah kejelasan dalam melaksanakan sebuah kerja
sama. Selain itu obyek dalam kerja sama juga perlu dituangkan
dalam bentuk peraturan yang akan sangat membantu dalam
mengidentifikasi suatu objek kerja sama

207
Penentuan obyek kesepakatan bersama tentu didasarkan
pada kebutuhan keenam kabupaten sehingga pelaksanaan kerja
sama akan lebih efektif. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan
oleh Pratikno, bahwa kerja sama yang terjalin ini harus
berdasarkan pada kepentingan bersama dari pihak yang bekerja
sama (need-based). Tentunya terdapat implikasi yang
ditimbulkan dari need-based ini adalah adanya banyak sekali
obyek yang timbul dalam sebuah kesepakatan, hal ini
dikarenakan setiap daerah pastinya mempunyai kebutuhan yang
berbeda-beda.
Dalam kesepakatan bersama Selingkar Wilis ini terdapat
20 bidang yang kemudian disepakati akan menjadi fokus
pengembangan, yaitu pariwisata, pekerjaan umum, penataan
ruang, perkoperasian dan UKM, industri dan perdagangan,
pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan, perhubungan,
lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, sosial, kebudayaan,
penanaman modal, dan sanitasi.
c. Bentuk dan Pelaksanaan Kesepakatan Bersama
Sangat penting untuk menentukan bentuk kelembagaan
atau model dalam sebuah kerja sama yang dilakukan oleh
beberapa daerah, Simonov dalam penelitiannya mengemukakan
bahwasanya manajemen sangat diperlukan oleh beberapa negara
dalam rangka mengefektifkan kerja sama (Simonov & Egidarev,
2018). Selain itu Muhaidin juga dalam penelitiannya yang

208
dilakukan dalam rangka pengembangan pariwisata Teluk Saleh,
Pulau Moyo dan Gunung Tambora juga menjelaskan bahwa
adanya model kelembagaan dalam kerja sama sangat penting
(Muhaidin, 2015).
Bentuk dalam pelaksanaan kesepakatan bersama Selingkar
Wilis ini adalah Sekretariat Bersama atau menurut Gary adalah
jointly-formed authorities (pembentukan otoritas bersama)
bahwasannya bentuk kerja sama jointly-formed authorities ini
adalah pemerintah daerah bersedia untuk mendelegasikan
kendali, pengelolaan dan tanggungjawab terhadap suatu badan
yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan
pemerintah daerah yang terkait atau bahkan diisi juga oleh
professional yang dikontrak bersama-sama oleh daerah (Taylor,
2003).
Dalam implementasinya Sekretariat Bersama Tunggal
Rogo Mandiri hanya diisi oleh perwakilan pemerintah daerah
yang bekerja sama. Adapun susunan anggota Sekretariat
Bersama Tunggal Rogo Mandiri telah digambarkan dalam tabel
5 yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota tetap,
dan anggota tidak tetap. Sekretariat Bersama Tunggal Rogo
Mandiri tidak melibatkan pihak professional di dalam susunan
anggota tersebut.
Pada pelaksanaan tahun pertama kedua pasca
penandatanganan kesepakatan bersama berjalan dengan lancar,

209
keberadaan Sekretariat Bersama tahun 2014 – 2016 berada di
Kabupaten Tulungagung. Sebagai fasilitator Sekber Tunggal
Rogo Mandiri Kabupaten Tulungagung sangat membantu dan
berperan aktif sebagai fasilitator dalam perencanaan
pembangunan dan pengembangan di Selingkar Wilis. Terdapat
dua puluh bidang yang disepakati untuk dikembangkan dan
tertulis dalam naskah kesepakatan bersama.
Dari penjabaran di atas dapat diketahui jika duapuluh
bidang tersebut dilaksanakan oleh masing-masing daerah
dengan koordinasi oleh Sekber Tunggal Rogo Mandiri
Kabupaten Tulungagung. Duapuluh bidang yang disepakati
semua dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten masing-masing
melalui instansi yang ditunjuk oleh daerah. Pelaksanaan
pembangunan duapuluh bidang tersebut didasarkan pada
kebutuhan daerah yang terangkum dalam rencana pembangunan
kabupaten dengan anggaran APBD masing-masing daerah.
Dalam pelaksanaan pembangunan kedua puluh bidang tersebut
diketahui jika masing-masing bidang dikerjakan, berkembang,
dan tidak sama antardaerah.
Sebagai contoh adalah bidang pariwisata yang setiap
kabupaten mempunyai obyek andalan dan dikembangkan sesuai
dengan karakteristik daerah. Pengembangan pariwisata tersebut
juga linier dengan penataan ruang masing-masing daerah
terhadap rencana pengembangan Selingkar Wilis. Seperti

210
misalnya Kabupaten Tulungagung yang telah membangun jalan
baru dalam rangka menyiapkan pengembangan Selingkar Wilis,
selain itu di Kecamatan Sendang dan Pagerwojo juga sudah
mulai dikembangkan oleh pihak desa menjadi tempat wisata
seperti Taman Kahyangan, Cowindo, Jurang Senggani, Telaga
Aqua, dan lainnya. Dengan kata lain desa-desa yang berada di
Selingkar Wilis sudah siap jika pembukaan Selingkar Wilis
secara besar-besaran segera terjadi.
Dalam bidang Perkoperasian dan UKM keenam daerah
mempunyai unit koperasi yang membawahi komoditas yang
dikembangkan, seperti Kabupaten Tulungagung, Trenggalek,
Ponorogo, dan Madiun yang sama-sama mengembangkan
komoditas pertanian berbasis agropolitan serta peternakan sapi
perah. Kabupaten Nganjuk yang mengembangkan tanaman
bawang merah, atau Kabupaten Kediri dengan tanaman buah-
buahan.
Oleh karena itu, sesuai dengan hasil evaluasi bersama oleh
keenam kabupaten bersama dengan Sekber Tunggal Rogo
Mandiri maka bidang yang akan dikerjakan lebih dahulu akan
dipersempit menjadi satu bidang yaitu infrastruktur jalan, yang
pada pelaksanaannya berupa pengembangan dan pembangunan
baru jalan penghubung yang akan menyatukan keenam
kabupaten di Selingkar Wilis.

211
d. Pembiayaan Kesepakatan Bersama
Dalam kesepakatan bersama yang dilaksanakan pada
Selingkar Wilis pembiayaan terdiri dari dua cara, pertama
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) masing-masing kabupaten dan kedua berasal dari
sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat. Selain itu
dalam nota kesepahaman yang telah ditandatangani oleh enam
kabupaten disebutkan bahwa jika dalam pelaksanaan kerja sama
ini dirasakan membebani daerah dan masyarakat maka dalam
mengeluarkan pembiayaan harus mendapatkan persetujuan dari
DPRD kabupaten masing-masing dengan ketentuan apabila
biaya pelaksanaan kerja sama tersebut belum teranggarkan
dalam APBD tahun anggaran berjalan dan/atau menggunakan
dan/atau memanfaatkan asset daerah. Hegele dalam judul
Explaining Bureaucratic Power in Intergovernmental Relations:
A Network Approach yang diketahui bahwa faktor
terselenggaranya sebuah agenda kegiatan seperti kerja sama
antardaerah sangat dipengaruhi oleh para politisi yang mereka
mempengaruhi keluarnya kebijakan pemerintah (Hegele, 2018).
Adanya daerah yang sudah merencanakan pelaksanaan
pembangunan Selingkar Wilis, bahkan sudah sampai pada tahap
pembangunan. Kabupaten Trenggalek tidak membangun jalan
baru di Selingkar Wilis, tetapi memperbaiki dan memperlebar
jalan yang masuk pada trase ruas jalan Selingkar Wilis. Dalam

212
pembangunan di Kabupaten Trenggalek menggunakan anggaran
sendiri yang sudah ada dalam APBD tahun berjalan. Kabupaten
Tulungagung juga membangun jalan di Selingkar Wilis
menggunakan anggaran APBD. Sedangkan Kabupaten Nganjuk
dalam pembiayaan untuk pelebaran jalan di Selingkar Wilis ini
bekerja sama dengan pihak lain yaitu Komando Daerah Militer
(Kodam) V Brawijaya melalui program Tentara Manunggal
Masuk Desa (TMMD).
Dalam pelaksanaannya Kabupaten Kediri tidak
menganggarkan untuk pembangunan jalan di trase Selingkar
Wilis. Dari hasil wawancara diketahui jika Kabupaten Kediri
masih belum bersedia untuk melaksanakan pembangunan di
trase jalan yang sudah disepakati pada Selingkar Wilis.
Kabupaten Kediri menilai jika pembangunan jalan pada trase
tersebut tidak akan menguntungkan daerah, oleh karenanya
pembiayaan melalui anggaran APBD Kabupaten Kediri lebih
difokuskan pada wilayah Simpang Lima Gumul yang akan
digunakan sebagai center of gravity Kabupaten Kediri yaitu
menjadi ibukota Kabupaten Kediri (Haryanto, 2019).
Pembiayaan merupakan aspek utama dalam keberhasilan
program yang termasuk dalam pembangunan dan
pengembangan Selingkar Wilis. Keseriusan daerah dalam
pelaksanaan program ini ditandai dengan adanya anggaran yang
diberikan dalam proses pembangunan Selingkar Wilis. Belum

213
adanya anggaran dari pemerintah provinsi atau pusat terkait
dengan pembangunan Selingkar Wilis ini juga menjadikan
pembangunan yang ada di kawasan ini terhambat.
e. Jangka Waktu dan Tindak Lanjut Kesepakatan
Bersama
Pratikno menyebutkan bahwa keberlanjutan dalam hal ini
dimaknai dengan perspektif jangka panjang (Pratikno, 2007).
Oleh karenanya keberlanjutan harus menjadi salah satu prinsip
dasar dan penting untuk diletakkan sebagai pondasi kerja sama.
Selain itu adanya alasan bahwa setiap daerah tidak bisa
menjalankan kehidupannya sendiri juga merupakan salah satu
faktor dalam keberlanjutan kerja sama. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan oleh Peck (2004) bahwa kerja sama daerah
tidak bisa dipisahkan dalam rangka mengembangkan
intergovernmental networks, dalam perkembangannya daerah
selalu membutuhkan daerah sekitarnya yang masih satu klaster.
Adanya harapan agar kesepakatan bersama ini dapat
berlangsung dan berkelanjutan tentunya sangat diharapkan oleh
keenam pemerintah daerah dan oleh masyarakat yang
berdampak di Selingkar Wilis. Hal ini dikarenakan tidak sedikit
kerja sama antardaerah yang berakhir dengan stagnan dan tidak
mempunyai kelanjutan aktivitas (Warsono, 2009b); (Harsanto et
al., 2015).

214
Kesepakatan bersama ini dilaksanakan selama 2 tahun,
meskipun pada pelaksanaannya tidak semua kabupaten terbuka
terhadap pelaksanaan kesepakatan, tetapi secara umum
Selingkar Wilis sudah mulai terbuka dan menunjukkan
peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Dalam dua tahun
pelaksanaan kesepakatan bersama tentunya terdapat evaluasi
dari Sekretariat Bersama Tunggal Rogo Mandiri, dari hasil
evaluasi dapat dilihat jika peningkatan sosial ekonomi
masyarakat tersebut merupakan salah satu indikator kesuksesan
pelaksanaan nota kesepahaman.
Oleh karenanya pada tahun 2016 dilaksanakan
penandatanganan perjanjian kerja sama sebagai bentuk tindak
lanjut dari kesepakatan bersama yang disaksikan langsung oleh
Pemerintah Provinsi Jawa timur dan Bakorwil Madiun maka
keberadaan sekretariat bersama Tunggal Rogo Mandiri yang
berada di Kabupaten Tulungagung pada tahun 2014 – 2016 juga
bergeser ke Kabupaten Trenggalek mulai tahun 2016 sampai
dengan tahun 2019.
8.1.2. Perjanjian Kerja sama tentang Kerja sama
Pembangunan Infrastruktur Jalan di Wilayah
Selingkar Gunung Wilis
Dalam administrasi publik pelaksanaan kerja sama
antardaerah dapat dilihat melalui dimensi kebijakan yang
dikeluarkan serta manajemen yang digunakan. Dalam dua

215
dimensi tersebut mempunyai perspektif yang berbeda sehingga
kajian yang digunakan juga berbeda. Dalam pelaksanaan kerja
sama antardaerah di Selingkar Wilis ini dilihat dari dimensi
manajemen publik yaitu melihat aspek umum organisasi, fungsi
manajemen, dan aspek sumberdaya manusia, keuangan, fisik,
informasi, dan politik (Yeremias T Keban, 2014).
a. Maksud dan Tujuan Kerja sama
Sebuah kerja sama yang dilakukan antarkabupaten saling
berdekatan pasti mempunyai maksud dan tujuan. Frank and
Smith menyatakan bahwa kerja sama dapat didefinisikan
sebagai suatu hubungan dua pihak atau lebih yang mempunyai
tujuan bersama, yang berjanji untuk melakukan sesuatu
bersama-sama (Frank, 2000). Pada kerja sama antardaerah di
Selingkar Wilis dimaksudkan untuk membuka akses lebih besar
terhadap keenam kabupaten yang bekerja sama yaitu Kabupaten
Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan
Kediri, tentunya dengan terbukanya akses yang lebih luas dapat
menjadikan keenam kabupaten yang bekerja sama bisa saling
mengambil manfaat yang ditimbulkan.
Adanya saling ketergantungan antardaerah juga
merupakan alasan tujuan diadakannya kerja sama antardaerah
(Agranoff, 2017). Bermula dari keberadaan kesepakatan
bersama dan dilanjutkan dengan perjanjian kerja sama
menjadikan kerja sama ini sangat penting dan telah disepakati.

216
Banyaknya masalah yang timbul pada daerah perbatasan sudah
tepat jika sudah menggunakan sebuah kerja sama, adanya kerja
sama tersebut akan dapat menyelesaikan masalah dengan
bersama-sama. Meskipun demikian kerja sama tersebut
mempunyai maksud dan tujuan yang sama sehingga sebuah
sinkronisasi perencanaan (Meidiani et al., 2018) .
Yudhoyono (Sadat, 2019) menyebutkan jika sharing of
experience merupakan salah satu tujuan dari adanya kerja sama,
dalam pelaksanaannya sharing of experience di sini adalah
adanya ruang bagi daerah untuk saling berbagi pengalaman
dalam pengelolaan urusan pemerintahan daerah. Selain itu juga
sharing of benefits yaitu membangun kerja sama daerah untuk
saling berbagi keuntungan dari arena kerja sama yang dibangun.
Hal tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan
kerja sama di Selingkar Wilis yaitu adanya proses berbagi
pengalaman dan keuntungan.
Keenam kabupaten di Selingkar Wilis mempunyai
pengalaman yang berbeda-beda, oleh karenanya kerja sama yang
dilaksanakan ini akan mendapatkan kekuatan positif, meskipun
demikian pengalaman kurang baik juga akan menjadikan
kekuatan untuk keberlangsungan pelaksanaan kerja sama
antardaerah. Selain itu wujud berbagi keuntungan juga
ditunjukkan dari pelaksanaan kerja sama antardaerah, meskipun
keuntungan tidak berupa finansial tetapi juga kemudahan akses

217
masyarakat, akses informasi, juga kemudahan masyarakat untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi. Karena dari kondisi
kewilayahan di Selingkar Wilis akan banyak masyarakat yang
mengadakan aktivitas lintas daerah.
b. Obyek Perjanjian Kerja sama
Sesuai dengan naskah perjanjian kerja sama yang telah
disepakati, dalam kerja sama yang dilaksanakan ini mempunyai
obyek perjanjian adalah pembangunan infrastruktur jalan.
Obyek perjanjian dalam kerja sama ini merupakan salah satu
unsur dari tiga unsur pokok dalam sebuah kerja sama (Sadat,
2019). Unsur pokok dalam kerja sama adalah mempunyai
tujuan, dalam kerja sama yang telah terjalin pembangunan jalan
di Selingkar Wilis ini menjadi tujuan utama dalam pelaksanaan
kerja sama. Dengan adanya tujuan yang dikehendaki oleh
keenam daerah maka perjanjian kerja sama ini akan dapat
dilaksanakan dengan langkah yang jelas.
Selain itu penentuan obyek dalam kerja sama merupakan
sebuah particular purpose yang dilakukan secara bersama sama
oleh beberapa pihak (Mayasari, 2017); (Eliza, 2017). Alasan lain
dalam penentuan obyek perjanjian kerja sama adalah tujuan dari
kerja sama yang hendak diraih yaitu „kekuatan yang lebih besar‟
sehingga jalan-jalan yang berada di Selingkar Wilis pada
awalnya terpisah-pisah menjadi sebuah kesatuan jalan yang
melingkari Gunung Wilis.

218
c. Ruang Lingkup dan Pelaksanaan Kerja sama
Setiap daerah mempunyai kekuatan sumberdaya yang
tidak sama, termasuk enam kabupaten di Selingkar Wilis. Oleh
karenanya dalam penentuan bidang apa saja yang dikerja
samakan perlu ada sebuah kesepakatan di antara keenam
kabupaten tersebut. Dalam pelaksanaannya keenam kabupaten
membentuk sebuah kesepakatan, yang pertama adalah pada
tahun 2014 berbentuk kesepakatan bersama dengan judul
Kesepakatan Bersama tentang Kerja sama Pembangunan di
Wilayah Selingkar Wilis – Tunggal Rogo Mandiri, sedangkan
yang kedua adalah pada tahun 2016 yaitu berbentuk perjanjian
kerja sama yang berjudul Kerja sama Pembangunan
Infrastruktur Jalan di Wilayah Selingkar Gunung Wilis.
Pembangunan infrastruktur jalan yang telah disepakati
dalam perjanjian kerja sama dalam pelaksanaannya juga tidak
berjalan mulus sesuai dengan rencana. Sekber Tunggal Rogo
Mandiri menggandeng tiga konsultan yaitu PT Sarana Multi
Daya KSO, PT Disiplan Consult, dan PT Wira Widyatama
untuk melaksanakan studi kelayakan pembangunan jalan di
Selingkar Wilis Provinsi Jawa Timur. Laporan ini dapat
diselesaikan pada tahun 2016, tetapi hasil yang telah diserahkan
oleh konsultan kepada pihak Sekber Tunggal Rogo Mandiri ini
dinilai tidak sesuai dengan harapan keenam daerah, sehingga
hasil studi kelayakan tersebut tidak digunakan.

219
Dari hal tersebut, Sekber Tunggal Rogo Mandiri juga
tidak begitu dapat memainkan perannya, pada saat Sekber masih
berada di Kabupaten Tulungagung masih sering mengadakan
pembahasan dan juga survey bersama ke jalur penghubung
antarkabupaten yang akan digunakan jalan, dan setelah itu pada
saat Sekber berada di Kabupaten Trenggalek, kegiatan
koordinasi menjadi vakum karena 2 kali terjadi mutasi pegawai
pada bagian administrasi pemerintahan. Oleh karenanya
pelaksanaan dalam implementasi kerja sama ini menjadi tidak
jelas dan berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan
daerah masing-masing.
d. Hak dan Kewajiban dalam Kerja sama
Frank and Smith menjelaskan bahwa kerja sama adalah
suatu hubungan antara dua pihak atau lebih yang mempunyai
tujuan bersama, yang berjanji untuk melakukan sesuatu
bersama-sama (Frank, 2000). Dalam pelaksanaannya melakukan
sesuatu bersama-sama dimaknai dengan adanya hak dan
kewajiban yang harus ditaati oleh masing-masing daerah. Pada
sebuah kerja sama harus terdapat pembagian sumberdaya,
pekerjaan, resiko, tanggungjawab, pengambilan keputusan,
kekuasaan, manfaat, dan beban (Sager, 2007); (Hegele, 2018).
Sesuai dengan isi dalam perjanjian kerja sama
antardaerah di Selingkar Wilis, tertulis bahwa hak masing-
masing kabupaten, yaitu:

220
(1) Mendapatkan informasi program pembangunan
infrastruktur di masing-masing kabupaten untuk
mensinergikan program pembangunan infrastruktur jalan
dan pendukungnya di perbatasan masing-masing
kabupaten.
(2) Mengusulkan dan menyepakati trase pembangunan
infrastruktur jalan di wilayah perbatasan pada masing-
masing kabupaten.
Sedangkan kewajiban pada setiap kabupaten sebagai berikut:
(1) Memberikan masukan dan informasi dalam rangka
sinergitas rencana pembangunan infrastruktur di wilayah
perbatasan masing-masing kabupaten.
(2) Melaksanakan program pembangunan dan perbaikan
infrastruktur sesuai trase jalan yang tertuang dalam
perjanjian kerja sama.
(3) Mengajukan permohonan penetapan lokasi
pembangunan jalan kepada Gubernur Jawa Timur.
(4) Mengajukan permohonan ijin pinjam pakai kawasan
hutan untuk pembangunan jalan kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
(5) Melakukan monitoring dan evaluasi kepada SKPD
terkait yang melaksanakan pembangunan infratsruktur
jalan dan pendukungnya sebagaimana tersebut dalam

221
perjanjian kerja sama untuk selanjutnya melaporkan
hasilnya kepada Sekretariat Bersama.
Dalam pelaksanaannya masih terdapat hak yang belum
diterima oleh daerah yang satu dengan daerah lainnya, sebagai
contoh yang dilakukan bahwa masih terdapat kabupaten yang
tidak bersikap kooperatif dan terkesan menutupi informasi
terkait dengan rencana program pembangunan yang ada di
daerahnya. Kabupaten Kediri dalam hal ini tidak terbuka atas
apa yang akan dikembangkan oleh daerah tersebut pada
kawasan yang termasuk dalam Selingkar Wilis, sehingga
kabupaten yang bertetangga dengan Kabupaten Kediri akan sulit
untuk menyatukan program pembangunan.
Sikap kooperatif terhadap rencana pembangunan daerah
pada pelaksanaan kerja sama ini akan menguntungkan daerah
lain hal ini dikarenakan pembangunan Selingkar Wilis tidak
akan bisa dilakukan jika setiap daerah berjalan sendiri-sendiri.
Keban menyebutkan bahwa salah satu perlunya kerja sama
antardaerah adalah pihak-pihak yang berkerja sama dapat
membentuk kekuatan yang lebih besar, maksudnya adalah
dengan adanya kerja sama antarpemerintah daerah, kekuatan
masing-masing daerah dapat disinergikan untuk menghadapi
ancaman atau permasalahan yang rumit, dari hal tersebut sikap
kooperatif dari daerah yang bekerja sama sangat dibutuhkan
(Yeremis T. Keban, 2007).

222
Kewajiban dalam kerja sama sesuai dengan yang tertulis
pada perjanjian kerja sama juga belum bisa dilaksanakan dengan
baik, pada butir pertama dan kedua tentang pemberian masukan
dan informasi dalam rangka sinergitas program serta
melaksanakan program pembangunan dan perbaikan
infrastruktur sesuai trase yang tertuang dalam perjanjian kerja
sama belum dapat dilaksanakan, ada satu daerah yaitu
Kabupaten Kediri yang belum sama sekali menjalankan kedua
kewajiban tersebut, ada juga seperti Kabupaten Nganjuk dan
Madiun yang belum membangun jalan sesuai trase yang
disepakati, hanya masih sampai memilihkan jalur yang akan
digunakan. Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung keduanya
sudah sangat siap dalam membuka Selingkar Wilis karena telah
menyiapkan jalur sesuai dengan trase.
Proses pengajuan permohonan penetapan lokasi
pengunan jalan kepada Gubernur Jawa Timur sesuai dengan
kewajiban yang ketiga juga masih belum dapat terlaksana
dengan baik, hal ini dikarenakan keberadaan Sekber Tunggal
Rogo Mandiri yang belum shuttle dan efektif. Keberadaan
Sekber yang masih menjadi satu bagian dengan tugas
administratif di pemerintahan, menjadikan Sekber tidak efektif
bahkan tidak ada kegiatan sama sekali.
Kewajiban selanjutnya adalah adanya monitoring dan
evaluasi kepada SKPD pelaksana pembangunan infrastruktur

223
jalan dan pendukungnya dan selanjutnya diharuskan SKPD
tersebut melaporkan hasilnya kepada Sekber. Hal ini tentunya
juga tidak dapat terlaksana sampai pada pelaporan pada Sekber,
artinya implementasi dari pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor
50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama
Daerah yang menjelaskan bahwa badan kerja sama mempunyai
tugas membantu melakukan pengelolaan, monitoring, dan
evaluasi atas pelaksanaan kerja sama belum dapat terlaksana.
Hanya yang terjadi adalah SKPD tetap melaporkan sebagai
bentuk dari pertanggungjawaban pelaksanaan program kepada
pimpinan daerah. Pada pelaksanaannya juga kegiatan yang
dilakukan SKPD terkait dengan pembangunan infrastruktur di
Selingkar Wilis merupakan program kerja dari SKPD yang
terangkum pada RPJP masing-masing daerah, bukan merupakan
program bersama dari pelaksanaan perjanjian kerja sama.
e. Pembiayaan Kerja sama
Sesuai dengan perjanjian kerja sama di antara keenam
kabupaten, pembiayaan dalam pelaksanaan kerja sama
disepakati dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) masing-masing kabupaten, APBD Provinsi
Jawa Timur, APBN, dan dana lain yang sah dan tidak mengikat.
Dalam hal ini artinya biaya yang dibutuhkan untuk proses
pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan pada daerahnya
akan dicukupkan oleh daerahnya masing-masing. Hal tersebut

224
tentunya juga menjadikan tidak semua daerah akan
melaksanakannya, karena anggaran daerah yang diberikan untuk
pembangunan Selingkar Wilis juga terbatas, yang ada adalah
anggaran yang disiapkan untuk memperbaiki infrastruktur jalan
menuju ke desa-desa atau tempat pariwisata di Selingkar Wilis.
Selanjutnya dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden
nomor 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan
Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto –
Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger –
Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan maka
akan menjadikan pembiayaan dalam pembangunan Selingkar
Wilis ini menjadi skala prioritas pembangunan nasional
sehingga pusat juga harus menganggarkan pembangunan untuk
Selingkar Wilis.
8.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerja sama
Antardaerah di Selingkar Wilis
8.2.1. Egoisme Daerah
Adanya otonomi daerah menjadikan daerah memiliki
kewenangan mutlak untuk mengatur dan mengurus daerahnya
sendiri. Keberadaan otonomi daerah ini akan memperbesar
egoisme daerah dalam mengurus rumah tangga daerahnya dan
merasa paling benar sendiri. Tidak jarang adanya egoisme
daerah ini menutup pintu untuk daerah lainnya masuk ke

225
daerahnya, enggan untuk diajak berkolaborasi dan enggan
berpartisipasi.
Banyak yang menyebutkan jika hambatan belum
optimalnya dilaksanakan kerja sama antardaerah adalah
timbulnya egoisme kedaerahan (Wahyono & Wahdah, 2018);
(Wicaksono, 2018); (Muhaidin, 2015). Egoisme kedaerahan ini
sangat mendominasi dan merasa sebagai daerah yang lebih
superior sehingga beranggapan tidak perlu adanya kerja sama
dengan daerah lain. Anggapan lainnya adalah bahwa adanya
permasalahan dalam daerah akan dapat diselesaikan secara
internal, sehingga tidak membutuhkan daerah lain apalagi
dengan melaksanakan kerja sama antardaerah.
Keban menjelaskan bahwa seharusnya dengan adanya
kerja sama antardaerah akan dapat menghilangkan egoisme
daerah (Warsono, 2009a), hal ini dikarenakan adanya visi dan
tujuan kerja sama yang ditujukan untuk kebersamaan. Selain
dari itu dengan adanya kerja sama ini seharusnya akan dapat
memperkecil atau mencegah konflik yang terjadi, daerah yang
berdekatan sebelumnya melakukan kompetisi dan bersaing
secara ketat akan bersikap toleransi dan berusaha mengambil
manfaat dari adanya konflik. Mekskipun demikian kedua alasan
tersebut belum dapat digunakan untuk menjadikan kerja sama
yang telah disepakati oleh keenam kabupaten bisa berjalan
dengan lancar. Diketahui jika egoisme daerah masih dijunjung

226
oleh Kabupaten Kediri. Dengan egoisme yang tinggi
menjadikan pelaksanaan kerja sama yaitu pembangunan
infrastruktur jalan belum bisa dilaksanakan, hal ini ditambah
dengan tidak efektifnya keberadaan sekretariat bersama Tunggal
Rogo Mandiri yang menjadikan egoisme daerah ini menjadi
sebuah konflik yang menghambat pelaksanaan kerja sama.
8.2.2. Partisipasi Daerah
Alasan utama diperlukannya kerja sama antara pemerintah
daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif
dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi
yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama (Zakaria, 2015). Pewujudan prinsip good governance
senada dengan pedoman dalam melakukan kerja sama
antardaerah. Prinsip partisipatif dalam pelaksanaan kerja sama
antardaerah seharusnya dilakukan dalam bentuk konsultasi,
dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang akan
dicapai dalam pelaksanaan kerja sama.
Dengan adanya partisipasi daerah seharusnya daerah yang
bekerja sama akan dapat membentuk kekuatan yang lebih besar
(Taylor, 2003); (Mandell, 2002), kekuatan yang ada di daerah
dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman lingkungan atau
permasalahan yang rumit akan dapat segera terselesaikan.
Daerah mempunyai keterbatasan dalam sumberdaya baik
manusia dan finansial, oleh karenanya adanya kerja sama dan

227
semua daerah saling berpartisipasi akan menjadikan kerja sama
yang terjalin semakin membentuk kekuatan di daerah sehingga
hambatan dalam segala aktivitas di daerah tidak menjadi sebuah
permasalahan (Hegele, 2018).
Keterbatasan sumberdaya aparatur yang berada di
Selingkar Wilis juga mempengaruhi kemampuan kawasan
tersebut dalam berkembang, apalagi dengan ditambah stimulus
anggaran yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap
pembangunan dan pengembangan di Selingkar Wilis terbatas,
tentunya akan menjadikan daerah tersebut stagnan.
Dalam kegiatan yang dilakukan oleh Sekber Tunggal
Rogo Mandiri pada tahun 2014 – 2016 lima daerah yang
melakukan aktifitas secara aktif, hanya Kabupaten Kediri yang
tidak terbuka atas rencana daerahnya terhadap pengembangan
kawasan di Selingkar Wilis Kabupaten Kediri, yaitu pada
Kecamatan Mojo dan Kecamatan Semen. Oleh karenanya
kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Tulungagung dan
Kabupaten Kediri juga berdampak terhadap pembangunannya.
Selanjutnya dengan bergantinya Sekber Tunggal Rogo Mandiri
pada tahun 2016 – 2018 dan sampai sekarang di Kabupaten
Trenggalek juga menjadikan tingkat partisipasi daerah-daerah
yang bekerja sama semakin rendah, hal ini dikarenakan Sekber
Tunggal Rogo Mandiri di Kabupaten Trenggalek tidak aktif dan
mengalami beberapa kali mutasi dan pelimpahan tugas

228
wewenang atas hal tersebut tidak ada. Hal tersebut juga
menjadikan rendahnya tingkat partisipasi antarkabupaten dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah.
8.2.3. Koordinasi Antardaerah
Peran Sekber Tunggal Rogo Mandiri adalah sangat vital
dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah di Selingkar Wilis.
Tugas koordinasi yang dilakukan oleh Sekber Tunggal Rogo
Mandiri akan bisa berjalan dengan efektif jika sekretariat
bersama memainkan tugas-tugasnya, salah satunya adalah
mengkoordinasikan penyelesaian permasalahan yang muncul
dalam pelaksanaan kegiatan. Meskipun demikian adanya
political will akan mempengaruhi bagaimana sekretariat
bersama itu berjalan.
Pemerintah daerah mempunyai peran dalam menata
aparatur dalam posisi – posisi tertentu, mutasi aparatur yang
dilakukan oleh sebuah daerah juga sangat mempengaruhi
efektifitas jalannya sebuah pemerintahan, apalagi keberadaan
Sekber Tunggal Rogo Mandiri ini tidak berdiri secara
independent tetapi menempel pada bagian yang ada di
sekretariat daerah. Dari hal tersebut menjadikan peran
sekretariat bersama menjadi tidak efektif, termasuk Sekber
Tunggal Rogo Mandiri ini.
Lemahnya peran yang diberikan oleh Sekber Tunggal
Rogo Mandiri di Kabupaten Trenggalek menjadikan koordinasi

229
yang seharusnya dilakukan oleh keenam daerah secara
berkelanjutan tidak dapat dilakukan. Diketahui jika kabupaten-
kabupaten yang berkerja sama ini mengembangkan daerah
masing-masing tidak secara terstruktur tetapi bergerak sendiri-
sendiri sesuai dengan kemauan dan kemampuan daerah.
Hal tersebut juga dipengaruhi karena tidak jalannya
implementasi dari perjanjian kerja sama yang telah ditandatangi
oleh keenam kabupaten di Selingkar Wilis tahun 2016.
Perjanjian kerja sama yang telah disepakati tersebut sampai
dengan tahun 2019 belum ada nomor surat. Tentunya hal
tersebut juga menjadikan naskah perjanjian kerja sama tersebut
menjadi bukan naskah yang vital dalam pelaksanaan kerja sama
Selingkar Wilis. Dari hal ini peran Sekber Tunggal Rogo
Mandiri sangat lemah.
8.2.4. Keberlanjutan Kerja sama
Prinsip keberlanjutan menjadi keharusan dalam
pelaksanaan kerja sama karena banyak memberikan manfaat
kepada masing-masing daerah yang bekerja sama (Frank, 2000).
Keban menyebutkan jika masing-masing pihak yang bekerja
sama ini sudah bisa dipastikan akan memerlukan sebuah
keberlanjutan terutama dalam penanganan bidang-bidang yang
difokuskan (Yeremis T. Keban, 2007). Senada dengan itu,
Pratikno juga menyebutkan bahwa prinsip utama dalam bekerja
sama adalah berkelanjutan yang mempunyai makna bahwa kerja

230
sama antardaerah tersebut merupakan jangka panjang dan
penting dalam kerja sama tersebut membentuk bangunan
lembaga kerja sama antardaerah sebagai pelaksana (Pratikno,
2007).
Sekber Tunggal Rogo Mandiri sebagai fasilitator dalam
pelaksanaan pengembangan Selingkar Wilis ini belum dapat
menjalankan tugasnya dengan baik. Di antaranya belum dapat
mengimplementasikan naskah kerja sama dalam pembangunan
infrastruktur jalan, tidak ada koordinasi yang pernah dilakukan,
partisipasi daerah yang rendah dalam pelaksanaan
pembangunan, kurangnya koordinasi antardaerah, serta belum
dapatnya sekber menyelesaikan konflik yang terjadi
antarkabupaten. Dari hal tersebut kerja sama yang terjadi belum
dapat maksimal.
Selain permasalahan kurang aktifnya Sekber Tunggal
Rogo Mandiri juga dengan melihat peran provinsi dan pusat
yang masih belum maksimal terutama masalah pendanaan. Oleh
karenanya dengan diditetapkannya Selingkar Wilis menjadi
salah satu kawasan strategis nasional oleh pemerintah pusat
melalui diterbitkannya Peraturan Presiden nomor 80 tahun 2019
tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik
– Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan,
Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar
Wilis dan Lintas Selatan maka pembangunan yang ada di

231
Selingkar Wilis diharapkan akan mendapatkan akselerasi
pembangunan dalam skala nasional sehingga pembangunan
Selingkar Wilis akan dapat dipercepat dalam mendukung
peningkatan perekonomian masyarakat.
Empat bulan pasca ditandatanginya Peraturan Presiden
nomor 80 tahun 2019, tepatnya pada bulan Maret tahun 2020
sampai dengan saat ini (Mei 2021) terjadi bencana kesehatan
dunia yaitu adanya virus Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) yang menyebabkan penyakit
Coronavirus Disease (Covid-19). Penyakit Covid-19 ini menjadi
pandemi karena penyakit ini ada di seluruh negara termasuk
Indonesia juga menerima dampak dari adanya pandemi Covid-
19. Banyak kebijakan pemerintah yang ditangguhkan karena
terdampak Pandemi Covid-19, salah satunya adalah bidang
keuangan.
Implementasi Peraturan Presiden nomor 80 tahun 2019
tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik
– Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan,
Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar
Wilis dan Lintas Selatan juga belum bisa dilaksanakan karena
terdampak dari adanya refocusing anggaran ke dalam
penanganan Pandemi Covid-19 (Alph, 2021; A. Nugroho, 2020;
Sujarwoko, 2021), oleh karenanya sampai dengan saat ini belum
ada pembahasan kembali terhadap perencanaan pembangunan

232
kawasan Selingkar Wilis meskipun daerah telah banyak
berharap dari pembukaan dan pembangunan jalan ini. Meskipun
demikian keberlanjutan dari pembangunan kawasan ini terus
akan dibangun pada sarana pendukung sebelum sampai pada
pembangunan trase jalan utama, yaitu dengan pembangunan
jalan tol trans Jawa untuk kluster Kertosono-Kediri-
Tulungagung dan pembangunan Bandar Udara Dhoho yang
sudah 35% rampung (Soenarso, 2020; VOI, 2021). Bandar
Udara Dhoho ini berada di Kecamatan Banyakan, Tarokan, dan
Grogol yang semua masuk dalam gugusan Kawasan Selingkar
Wilis di Kabupaten Kediri.
8.3. Konsep dan Penerapan Kerja Sama Antardaerah
Konsep kerja sama antardaerah dan penerapannya telah
lama dikembangkan di sejumlah negara di Benua Eropa seperti
Jerman, Austria, Belanda, Swiss dan sebagainya sejak 30 tahun
yang lalu. Kerja sama antardaerah di negara-negara Eropa
tersebut telah menjadi instrument dalam pembangunan
kewilayahan yang berhasil melahirkan pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi, penciptaan pelayanan publik yang
berkualitas kepada masyarakat, dan menciptakan proses
integrasi sosial, budaya dan politik yang kuat (Kementerian
PPN/Bappenas, 2020).
Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia telah
terjadi proses regionalisasi. Proses regionalisasi yang terjadi ini

233
bisa disebabkan oleh berbagai latar belakang seperti sejarah,
sosial kemasyarakatan, adanya masalah yang sama, atau atas
tradisi budaya yang sama. Kesatuan daerah yang saling
berbatasan tersebut adalah stau bentuk aliansi pembangunan
daerah perbatasan yang pada akhirnya membentuk suatu
kawasan baru. Kondisi ini bisa dipahami sebagai tumbuhnya
kesadaran daerah untuk memanfaatkan kerja sama antardaerah
sebagai salah satu pendekatan strategis dalam pembangunan.
Adanya pemahaman bahwa kerja sama antardaerah dapat
mendorong percepatan pembangunan pada akhirnya kegiatan
kerja sama antardaerah ini juga bisa menekan disparitas
pembangunan antardaerah yang saling bertetangga.
Sejak maraknya kerja sama antardaerah, riset tentang kerja
sama antardaerah banyak dilakukan baik secara nasional
maupun internasional. Berbagai dimensi dalam pelaksanaan
kerja sama antardaerah dilihat sehingga dapat diketahui bahwa
pelaksanaan kerja sama antardaerah di wilayah tersebut efektif
atau tidak. Meskipun demikian pelaksanaan kerja sama
antardaerah antara satu dengan daerah lainnya tidak selalu dapat
disamakan, meskipun dalam satu provinsi atau dengan model
manajemen kerja sama antardaerah yang sama.
Kerja sama antardaerah Selingkar Wilis adalah salah satu
kerja sama antardaerah yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur,
terdiri dari enam kabupaten yaitu Tulungagung, Trenggalek,

234
Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan Kediri yang kesemuanya
berada melingkar di Gunung Wilis. Keenam daerah yang
bekerja sama tersebut membentuk sebuah otoritas bersama
(jointly-formed authorities) atau di Indonesia populer dengan
sebutan Sekretariat Bersama.
Tidak semua kabupaten dan kota yang ada di Provinsi
Jawa Timur melaksanakan kerja sama antardaerah atau
perjanjian antarkabupaten yang saling bertetangga, meskipun
saling bekerja sama banyak juga yang dalam pelaksanaannya
adalah stagnan. Kerja sama Ratubangnegoro yang dilakukan
lintas provinsi yaitu antara Provinsi Jawa Timur dan Jawa
Tengah diwujudkan dengan membentuk Badan Kerja sama
Antardaerah (BKAD) meskipun demikian pada pelaksanaannya
efektivitas kerja sama masih rendah, karena kendala sinergitas
dan sinkronisasi perencanaan antardaerah sehingga
berperngaruh dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah ketika
sudah menyentuh level teknis operasional di masing-masing
sektor (Wahyono & Wahdah, 2018). Sama halnya dengan
sebelumnya Handayani melihat penyelenggaraan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin di Kabupaten Sidoarjo dan
Kabupaten Pasuruan berjalan kurang efektif, hal ini terjadi
karena tidak sinkronnya data antara dua kabupaten yang telah
bekerja sama tersebut. Selain itu juga diketahui tidak adanya
lembaga yang dibentuk untuk mengatasi kerja sama antardaerah

235
ini sehingga dalam penelitian memberikan rekomendasi untuk
membentuk Badan Kerja sama Antardaerah (BKAD) dalam
memudahkan koordinasi dan penyelenggaraan kebijakan kerja
sama antardaerah (Handayani, 2015).
Dari kedua penjabaran di atas diketahui jika dalam
pelaksanaannya kerja sama antardaerah mempunyai masalah
sendiri-sendiri yang tidak sama antara satu daerah dengan
daerah lainnya, dari hal tersebut setiap daerah melihat
permasalahan yang ada tidak selalu sama penyelesaiannya
dengan yang lain. Wahyono dan Handayani, permasalahan di
kerja sama antardaerah Selingkar Wilis juga terletak pada
ketidakefektifan penyelenggaraan Sekber Tunggal Rogo
Mandiri. Meskipun sudah dibentuk Sekber Tunggal Rogo
Mandiri tetapi juga belum ada tugas yang jelas dilakukan
sehingga belum dapat menyelesaikan permasalahan terkait
dengan pembangunan infrastruktur jalan yang sudah dituliskan
dalam perjanjian kerja sama.
Masalah yang ada tentang ketidakefektifan lembaga yang
dibentuk untuk mengurusi pelaksanana kerja sama ini
sebenarnya bukan hal yang baru, banyak penelitian yang
menyebutkan jika dalam sebuah kerja sama bagaimanapun
pembentukan badan kerja sama baik dalam bentuk lembaga
apapun tetap perlu untuk dilakukan (Hawkins, 2010); (Putranto,
2013); (Kurniadi, 2019); (Yuwanto, 2016). Hal ini selain untuk

236
memperlancar pelaksanaan dari kebijakan kerja sama yang telah
disepakati serta menjaga hubungan baik yang ada pada setiap
kabupaten yang bekerja sama.
Meskipun demikian tidak sedikit juga lembaga kerja sama
yang telah dibentuk tersebut juga tidak efektif dan stagnan
seperti halnya yang disampaikan Hardi bahwa pelaksanaan
regionalisasi yang terjadi di delapan kawasan pada Provinsi
Jawa Tengah juga sebagai besar berakhir stagnan. Banyak yang
menjadikan sebuah kerja sama berakhir dengan stagnan atau
berakhir dengan diam-diam. Lanjut menjelaskan, Hardi
menyampaikan bahwa berakhirnya regionalisasi di Provinsi
Jawa Tengah ini berakhir karena keterbatasan kemampuan dan
adanya disparitas wilayah, komitmen daerah yang rendah serta
kurangnya pendanaan (Warsono, 2009b).
Dalam kerja sama antardaerah sangat penting adanya
sebuah komitmen, motivasi, dan kualitas sumberdaya karena
kesemuanya merupakan unsur dalam keberlangsungan dan
keberlanjutan kegiatan kerja sama (Uriawan & Lituhayu. M,
2017). Hal tersebut sama halnya dengan keadaan dalam kerja
sama di Selingkar Wilis. Adanya komitmen sangat membantu
dalam kelancaran kegiatan kerja sama. Komitmen yang kuat dari
daerah untuk melakukan proses pembangunan membuat daerah
bisa mencari-cari alternatif dalam pendanaan. Kabupaten
Nganjuk merupakan kabupaten yang terus berupaya untuk

237
melaksanakan pembangunan kawasan Selingkar Wilis, dalam
keterbatasan anggarannya daerah mempunyai kerja sama dengan
Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya.
Selanjutnya dalam pelaksanaannya peran pemerintah di
atasnya juga sangat berpengaruh, dalam kerja sama yang
dilakukan pada Selingkar Wilis peran pemerintah provinsi dan
pusat sangat berpengaruh dalam proses penganggaran,
perencanaan, serta monitoring dan evaluasi. Sekber Tunggal
Rogo Mandiri tidak efektif maka seharusnya peran pemerintah
provinsi dapat menjadi fasilitator lanjutan dalam pelaksanaan
kerja sama yang telah disepakati. Selain itu dalam pelaksanaan
kerja sama juga harus melibatkan pihak ketiga untuk
mendukung kegiatan (Andrew et al., 2015); (Greenhill & Lupu,
2017); (Silfiana, 2018); (Alfian & Vitaloka, 2018); (Solichah,
2018), seperti melalui kegiatan coorporate social responsibility
(CSR) atau organisasi non pemerintahan lainnya baik dalam
pelaksanaan kerja sama antardaerah atau bahkan perlu dilibatkan
pada proses pembuatan kerja sama.
Berdasarkan penjabaran di atas, baik secara nasional dan
internasional dapat dilihat bahwa pelaksanaan kerja sama
antardaerah tidak ada yang sempurna dalam prosesnya baik pada
awal rencana pelaksanaan kerja sama, implementasi, bahkan
sampai dengan proses evaluasi. Dalam pelaksanaan kerja sama
juga perlu melibatkan semua pihak seperti pemerintah,

238
masyarakat, organisasi non pemerintah, sampai dengan pihak
swasta yang dapat memberikan bantuan dalam proses
implementasi kegiatan.
8.4. Strategi Kerja sama Antardaerah Selingkar Wilis
Strategi pelaksanaan kerja sama antardaerah terbagi
menjadi dua bagian yaitu strategi dalam manajemen
kelembagaan dan strategi dalam pelaksanaan kerja sama
antardaerah yang sesuai dengan karakteristik di Kawasan
Selingkar Wilis. Konsep pengembangan Selingkar Wilis berupa
integrasi enam kabupaten kedalam satu kesatuan wilayah
ekonomi. Pengembangan Selingkar Wilis juga dilakukan untuk
mengurangi disparitas yang ada. Disparitas pada bagian tengah
Selingkar Wilis yakni pada Koridor Semarang-Surabaya,
dimana Semarang-Surakarta dan Surabaya-Jombang mulai
berkembang sebagai arus utama perdagangan dan distribusi
logistik melalui jalur darat, laut, dan udara.
diketahui bahwa dalam proses pelaksanaan kerja sama
antardaerah di Selingkar Wilis Provinsi Jawa Timur dibentuknya
pengelola kerja sama tidak berjalan sebagaimana perannya.
Bentuk pengelolaan yang dipilih dalam menjalankan
pelaksanaan kerja sama di Selingkar Wilis adalah Sekretariat
Bersama (Sekber). Sekber Tunggal Rogo Mandiri ini telah
disepakati oleh keenam kabupaten. Sekretariat Sekber Tunggal
Rogo Mandiri ini bertempat pada kabupaten yang bekerja sama,

239
dilaksanakan secara bergilir selama dua tahunan. Meskipun
demikian pada tahun kedua pelaksanaannya Sekber Tunggal
Rogo Mandiri yang berada di Kabupaten Trenggalek tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan sejak tahun 2016
sampai dengan 2019 Sekber Tunggal Rogo Mandiri masih
berada di Kabupaten Trenggalek.
Keberadaan Sekber Tunggal Rogo Mandiri diketahui jika
tidak semua bagian dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Terdapat juga ketimpangan tugas antar bagian di sekretariat
daerah dan SKPD pelaksana. Selain itu Sekber Tunggal Rogo
Mandiri yang dibentuk dalam rangka memfasilitasi kerja sama
Selingkar Wilis meskipun secara kesepakatan akan bergantian
setiap 2 tahun sekali di setiap kabupaten yang bekerja sama,
setidaknya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 28 Tahun 2018 tentang Kerja sama Daerah
maka keberadaan Sekber ini akan bersifat menerus, artinya
kegiatan pelaksanaan kerja sama antardaerah ini akan selalu
terjadi dengan berjalannya pemerintahan.
Adapun struktur kelembagaan Sekber dalam Selingkar
Wilis hendaknya adalah pada gambar 6.1 berikut.

240
Gambar 8.1. Rekomendasi susunan keanggotan Sekber Tunggal
Rogo Mandiri

Diadaptasi dari: (Henry Mintzberg, 1980), (Robbins, 1994)

230
Dari rekomendasi susunan Sekber Tunggal Rogo Mandiri
seperti dalam gambar 8.1 tersebut harapannya adalah
pelaksanaan kerja sama antardaerah Selingkar Wilis dapat
berjalan dengan baik karena adanya posisi yang tepat dari orang-
orang yang berada pada Sekber. Model kelembagaan yang
direkomendasikan oleh peneliti berdasarkan gambar 23 adalah
dengan bentuk struktur divisional yang mempunyai lima unsur
(Henry Mintzberg, 1980), yaitu, strategic apec, middle line,
operating core, technostructure, dan support staff. Strategic
appec mempunyai kedudukan tertinggi yaitu manajer puncak
yang mempunyai tanggungjawab untuk keseluruhan organisasi,
dalam sekber manajer puncak adalah sekretariat daerah yang
merupakan penanggungjawab berjalannya organisasi sekber.
Operating core merupkan pegawai yang melaksanaan pekerjaan
dasar yang berhubungan dengan pengaturan jalannya kegiatan
organisasi. Dalam sekber operating core adalah kepala sub
bagian kerja sama dan otonomi daerah yang bertindak sebagai
penanggung jawab dan pengurus harian sekber.
Middle line dalam organisasi sekber tersebut adalah kepala
bagian tata pemerintahan, yang merupakan penghubung antara
strategic appec dengan operating core, atau sekretaris daerah
dengan kepala sub bagian kerja sama dan otonomi daerah yang
bertindak sebagai penanggung jawab dan pengurus harian
sekber. Technostructure dalam organisasi kerja sama

231
antardaerah ini merupakan pelaksana harian dari sekber yaitu
kepala divisi-divisi yang dibentuk dalam rangka mempercepat
pelaksanaan tugas sekber. Selanjutnya pada bagian paling
bawah adalah support staff yang merupakan pendukung
pelaksana dari sekber dengan koordinasi dari kepala divisi. Pada
bagian Technostructure dan support staff dapat diisi oleh pihak
ketiga yaitu dari lembaga non pemerintahan atau dari pihak
swasta yang mempunyai peran dalam pengembangan Selingkar
Wilis.
Keanggotaan Sekber Tunggal Rogo Mandiri sama dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerja sama Daerah. Penanggungjawab Sekber
adalah Sekretaris Daerah yang dibantu oleh Kepala Bagian Tata
Pemerintahan Sekretariat Daerah sebagai Pimpinan Sekber dan
Kepala Sub Bagian Kerja sama dan Otonomi Daerah Sekretariat
Daerah sebagai Pengurus Harian Sekber KAD.
Dalam rangka keefektifan Sekber terdapat tiga bagian
yang membantu jalannya kegiatan harian dari Sekber, yaitu
Kepala Divisi Kerja sama, Kepala Divisi Hukum, dan Kepala
Divisi Monitoring dan Evaluasi sebagai pelaksana harian Sekber
KAD dan para kepala divisi tersebut dibantu oleh staf yang
berisi dari unsur SKPD, pihak ketiga, dan akademisi. Pada
kondisi eksisting yang ada saat ini ketiga bagian dalam Sekber
ini yang tidak jelas dalam pelaksanaannya atas segala peran dan

232
aktivitasnya, sehingga tidak ada pembagian kerja yang efektif.
Selain itu para bagian tersebut juga secara langsung sebagai
pengkoordinir jalannya kegiatan harian pelaksanaan kerja sama
melalui kelompok tenaga ahli yang berasal dari SKPD terkait,
bahkan dalam usulan rekomendasinya perlu adanya tim khusus
yang melibatkan pihak swasta yang dibentuk dalam rangka
mengawal jalannya kegiatan pembangunan dalam kerja sama
antardaerah.
Rekomendasi selanjutnya adalah dalam pelaksanaan kerja
sama antardaerah di Selingkar Wilis. Pada kondisi eksisting
bahwa pelaksanaan kerja sama yang terjadi di Selingkar Wilis
tidak dapat terlaksana dengan baik karena ketidakefektifan
Sekber Tunggal Rogo Mandiri. Pelaksanaan kerja sama tidak
mempunyai pola yang baik, karena setiap kabupaten berjalan
sendiri-sendiri. Rekomendasi yang diberikan adalah
mengusulkan bahwa dalam kerja sama antardaerah harus
mempunyai draft perjanjian yang jelas dan formal. Pada tahap
sebelumnya perlu adanya penentuan bentuk kerja sama
antardaerah yang akan digunakan. Setelah itu naskah kerja sama
harus disusun dengan substansi mulai dari maksud dan tujuan,
obyek kerja sama, ruang lingkup, hak dan kewajiban,
pembiayaan, dan keberlanjutan yang kesemuanya harus ditulis
dengan terperinci.

233
Ruang lingkup pelaksanaan kerja sama juga perlu
dijabarkan lagi dalam hal perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pemeliharaan, dan evaluasi. Hal ini dikarenakan
dalam naskah kerja sama yang sudah ada tidak dijelaskan
tentang pelaksanaan tahap-tahap ini. Kelima tahap dalam
pelaksanaan kerja sama perlu disusun indikator dalam
pelaksanaannya dengan memperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh, di antaranya egoisme daerah, partisipasi daerah,
koordinasi antardaerah, dan keberlanjutan kerja sama.
Penyusunan naskah kerja sama yang telah disepakati dan
diformalkan oleh masing-masing kabupaten akan menjadikan
kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah, tentunya
selanjutnya adalah implementasi pelaksanaan kerja sama,
evaluasi kerja sama, dan perlu adanya umpan balik dalam
pelaksanaan. Umpan balik yang ada disini dapat dilihat kembali
dalam proses penentuan bentuk atau penyusunan naskah kerja
sama yang perlu untuk digantikan.
Secara prinsip strategi dalam pelaksanaan kerja sama di
kawasan Selingkar Wilis ini dilihat dari paradigma perencanaan
yang disampaikan oleh Mintzberg yaitu dengan 5P (Mintzberg
et al., 1998) dan selanjutnya akan dapat diketahui bahwa model
mana yang pas akan direkomendasikan dalam pelaksanaan kerja
sama antardaerah di kawasan Selingkar Wilis. Strategi
pelaksanaan kerja sama antardaerah ini akan dianalisis

234
menggunakan pendekatan Mintzberg dengan membagi strategi
dalam 5P yaitu plan, pattern, position, ploy, dan perspective,
berdasarkan kelima prinsip ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Plan. Perwujudan dari kerja sama diawali dari
kesepakatan enam kabupaten yang ada di kawasan
Selingkar Wilis yaitu Kabupaten Tulungagung,
Trenggalek, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, dan Kediri yang
mereka bersepakat untuk melaksanakan kerja sama
pembangunan daerah meliputi aspek perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan, dan evaluasi
dengan dua puluh objek dari kesepakatan bersama yaitu:
pariwisata, pekerjaan umum, penataan ruang,
perkoperasian dan UMKM, industri dan perdagangan,
pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan,
perhubungan, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan,
sosial, kebudayaan, penanaman modal, sanitasi,
pertambangan dan energi, kependudukan, dan
ketenagakerjaan. Selanjutnya setelah dua tahun
pelaksanaan kesepekatan bersama, pada tahun ketiga
melaksanakan perjanjian kerja sama antardaerah dengan
objek yang lebih spesifik yaitu pengembangan
infrastruktur jalan di kawasan Selingkar Gunung Wilis,
trase yang ditetapkan oleh keenam kabupaten bersama
dengan hasil kajian-kajian yang diberikan oleh konsultan

235
telah memberikan gambaran umum bahwa recana
pembukaan jalan baru di kawasan Selingkar Wilis dapat
dilaksanakan.
2. Pattern. Pola dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah
Selingkar Wilis diwujudkan dalam penguatan dua
dimensi, yaitu kelembagaan dan penganggaran.
Kelembagaan yang terbentuk dalam kerja sama
antardaerah di Kawasan Selingkar Wilis adalah dengan
dibentuknya Sekretariat Bersama (Jointly-formed
authorities) dalam hal ini pemerintahan daerah bersedia
untuk memberikan delegasi pelaksanaan dan pengelolaan
serta tanggungjawab kepada badan yang telah dibentuk
secara bersama dan beranggotakan perwakilan dari
pemerintah daerah yang terkait. Badan ini juga diisi oleh
anggota dari kalangan professional yang dikontrak oleh
pemerintah daerah bersangkutan yaitu keberadaan unsur
non pemerintah yaitu pihak swasta, akademisi, komunitas,
dan media yang kesemuanya saling berkolaborasi.
Selanjutnya untuk penganggaran dalam nota kesepahaman
bersama disampaikan bahwa pembiayaan dibebankan kepada
APBD masing-masing kabupaten dan sumber daya lain yang sah
dan tidak mengikat. Sedangkan pada pelaksanaan kerja sama
antardaerah dengan fokus pada pembangunan infratsruktur jalan
proses pembiayaan dibebankan pada APBD masing-masing

236
kabupaten, APBD Provinsi Jawa Timur, APBN, serta dana lain
yang sah dan tidak mengikat. Diketahui bahwa dalam
pelaksanaannya pemerintah pusat dan provinsi belum ikut
berperan serta, meskipun pembangunan kawasan Selingkar
Wilis merupakan program strategis nasional melalui
dikeluarkannya Perpres No. 80 Tahun 2019 tentang Percepatan
Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik-Bangkalan –
Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo
– Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas
Selatan serta muncul dalam perencanaan Wilayah
Pengembangan Strategis (WPS) dimana Kawasan Selingkar
Wilis ini terletak di antara 2 WPS yaitu WPS 11 Semarang-
Surabaya dan WPS 12 Yogyakarta-Prigi-Bilitar-Malang dari
Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
tetapi penganggaran yang terlaksana masih sebatas dilaksanakan
oleh APBD masing-masing kabupaten.
3. Position. Bahwa dalam hal ini adalah penempatan diri
masing-masing kabupaten pada aktivitas kerja sama
adalah secara sejajar dan tidak ada yang dominan
antardaerah. Sesuai dengan prinsip kerja sama yaitu
kemitraan sejajar (equal partnership) (Pratikno, 2007)
bahwa adanya interaksi dan manfaat dari pihak yang
terlibat harus didasarkan pada posisi yang setara

237
(equality), kerja sama menempatkan pihak-pihak yang
berinteraksi pada posisi seimbang, selaras, dan serasi,
karena interaksi yang terjadi bertujuan demi pemenuhan
kebutuhan bersama tanpa ada yang dirugikan. Pada
pelaksanannya prinsip equal partnership belum dapat
terlaksana karena masih ada kabupaten yang memiliki
egoisme daerah tinggi yaitu Kabupaten Kediri.
4. Ploy. Pembangunan infrastruktur jalan di kawasan
Selingkar Wilis diatur spesifik dalam perjanjian kerja
sama yang telah ditandatangani oleh masing-masing
Bappeda, di antaranya:
a. Melakukan koordinasi terkait sinergitas program.
b. Melakukan pembangunan infrastruktur jalan.
c. Melakukan perbaikan infrastruktur jalan.
d. Monitoring dan evaluasi bersama atas pelaksanaan kerja
sama
e. Melakukan kegiatan lain yang mendukung keberhasilan
dan keberlanjutan perjanjian kerja sama.
5. Perspective. Pada awalnya tujuan diadakannya nota
kesepahaman bersama di antara keenam kabupaten dalam
pengembangan kawasan Selingkar Wilis adalah untuk
memaduserasikan program-program pembangunan antar
enam kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan daerah
selain itu juga sebagai optimalisasi pengelolaan potensi

238
dan sumberdaya secara efektif dan efisien guna
kesejahteraan masyarakat. Dalam perkembangannya ke
dua puluh program yang disampaikan dalam nota
kesepamahan tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal,
selanjutnya keenam kabupaten sepakat dalam
pengembangan satu bidang yaitu infrastruktur dengan
bentuk pembangunan jalan yang diwujudkan dalam bentuk
perjanjian kerja sama. Meskipun demikian pelaksanaan
perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan karena
belum ada kesamaan pemahaman tentang pemilihan trase
jalan dan manfaat yang ditimbulkan dari pelaksanaan kerja
sama antardaerah ini sehingga dalam pelaksanaannya
terdapat daerah yang semangat untuk melaksanakan proses
pembangunan dan belum melaksanakan pembangunan
sama sekali.
Pelaksanaan kerja sama antardaerah yang dilihat dengan
pendekatan Mintzberg yaitu 5P yaitu plan, pattern, position,
ploy, dan perspective, selanjutnya dapat disusun matriks strategi
yang akan diberikan oleh peneliti terhadap pelaksanaan kerja
sama antardaerah di Selingkar Wilis yang dapat dilihat dalam
tabel 8.1.

239
Tabel 8.1. Strategi Kerja sama Selingkar Wilis dengan
Pendekatan Mintzberg
Strategi Kondisi Sekarang Strategi ke Depan
Plan Perencanaan telah Pembangunan
(Identifikasi diawali dengan merupakan proses
peluang dan adanya nota yang berkelanjutan.
ancaman, kesepahaman Perjanjian kerja
merumuskan bersama dengan sama yang telah
beberapa alternatif duapuluh bidang ditandatangi oleh
yang akan diambil yang akan keenam kabupaten
dan memberikan dikembangkan dan belum dapat
penjelasan kepada setelah dua tahun terlaksana, sehingga
semua pihak berjalan dilanjutkan perlu adanya
tentang apa yang dengan perjanjian perpanjangan
harus mereka kerja sama dengan perjanjian kerja
distribusikan) bidang yang lebih sama kembali.
spesifik yaitu Selain itu perlu
infrastruktur jalan, ditambah dengan
meskipun demikian perjanjian kerja
sampai dengan sama dengan pihak
masa perjanjian lain (privat,
pelaksanaan habis akademisi,
apa yang menjadi komunitas, media)
tujuan kerja sama sehingga apa yang

240
belum dapat dilaksanakan oleh
terlaksana pihak lain tersebut
merupakan bentuk
kegiatan yang legal
dan tidak hanya
pelibatan terbatas.
Pattern Pola kelembagaan Sekretariat bersama
(Pola dalam dan penganggaraan harus dapat
melaksanakan dalam pelaksanaan menjalankan
strategi antara kerja sama saat ini fungsinya dengan
masa sekarang sudah. baik, peneliti telah
dengan masa lalu) Kelembagaan kerja memberikan
sama disepakati alternatif bentuk
oleh keenam daerah kelembagaan Sekber
dengan bentuk sesuai dengan
sekretariat bersama, Pendekatan
tetapi belum dapat Mintzberg dan
menjalankan Peraturan
fungsinya. Pemerintah Nomor
Penganggaran 50 Tahun 2007
dalam pelaksanaan tentang Tata Cara
kerja sama Pelaksanaan Kerja
meskipun terdapat sama Daerah.
dalam naskah kerja Dalam hal

241
sama tetapi daerah penganggaran perlu
masih enggan adanya penegasan
untuk kembali tentang pola
melaksanakan kerja sharing anggaran
sama karena antarkabupaten,
anggapan bahwa provinsi, dan pusat
pelaksanaan dalam petunjuk
pengembangan pelaksanaan kerja
kawasan ini sama sebagai
menjadi tugas turunan dari Perpres
pemerintah pusat No. 80 Tahun 2019
tentang Percepatan
Pembangunan
Ekonomi di
Kawasan Gresik-
Bangkalan –
Mojokerto –
Surabaya – Sidoarjo
– Lamongan,
Kawasan Bromo –
Tengger – Semeru,
serta Kawasan
Selingkar Wilis dan
Lintas Selatan

242
Position Pada Pada pelaksanaan
(Posisi masing- pelaksanannya kerja sama sudah
masing daerah prinsip kemitraan seharusnya
dalam kerja sama sejajar (equal menempatkan pihak-
agar pelaksanaan partnership) belum pihak yang
kerja sama dapat dapat terlaksana berinteraksi pada
terjalin baik) karena masih ada posisi seimbang,
kabupaten yang selaras, dan serasi,
memiliki egoisme karena interaksi
daerah tinggi yaitu yang terjadi
Kabupaten Kediri. bertujuan demi
pemenuhan
kebutuhan bersama
tanpa ada yang
dirugikan.
Penegasan
kesejajaran dalam
pelaksanaan kerja
sama perlu
disampaikan dalam
perjanjian kerja
sama, selain itu
peran Sekber
sebagai kemudi

243
pelaksanaan kerja
sama juga harus
dikuatkan, hal ini
perlu dipahamkan
bahwa pada
pelaksanaannya
kerja sama yang
dimaksud adalah
sebuah kolaborasi
Ploy Pembangunan Dalam proses kerja
(Cara daerah infrastruktur jalan sama ke depan perlu
dalam bekerja di kawasan adanya pembagian
sama sehingga Selingkar Wilis tugas yang jelas
masing-masing diatur spesifik dalam pelaksanaan
daerah dapat dalam perjanjian teknis kerja sama,
saling kerja sama yang hal ini untuk
menunjukkan telah memaksimalkan
kemampuannya) ditandatangani oleh hasil dan
masing-masing meminimalisir
Bappeda, di adanya benturan
antaranya adalah: kegiatan dan
(1) Melakukan kepentingan di
koordinasi terkait antara keenam
sinergitas program, daerah. Dari hal

244
(2) Melakukan tersebut peran
pembangunan Sekber juga harus
infrastruktur jalan, dimaksimalkan,
(3) Melakukan harapan dari
perbaikan alternatif strategi
infrastruktur jalan, penyusunan Sekber
(4) Monitoring dan adalah untuk
evaluasi bersama memaksimalkan
atas pelaksanaan tujuan yang akan
kerja sama, (5) dicapai dalam proses
Melakukan kerja sama.
kegiatan lain yang
mendukung
keberhasilan dan
keberlanjutan
perjanjian kerja
sama.
Perspective Pelaksanaan dari Peran pemerintah
(Budaya organisasi nota kesepahaman provinsi dan pusat
yang terbentuk dan perjanjian kerja diharapkan menjadi
dalam kerja sama sama tidak dapat pemicu proses
sehingga masing- tercapai secara pembangunan di
masing daerah kolaborasi, yang kawasan Selingkar
memandang kerja ada hanya daerah Wilis, sehingga apa

245
sama ini sebagai masing-masing yang sudah
kebutuhan) dengan sumberdaya direncanakan dalam
yang ada perjanjian kerja
melaksanakan sama dapat
proses dilaksanakan dan
pembangunan mempunyai manfaat
sesuai dengan isi untuk kesejahteraan
dalam pelaksanaan masyarakat.
kerja sama.
Berdasarkan uraian dari pendekatan strategi Mintzberg
tentang pelaksanan kerja sama antardaerah di kawasan Selingkar
Wilis, dapat dilihat bahwa prinsip kolaborasi yang ditawarkan
dalam intergovernmental management (IGM) menjadi sangat
penting untuk diterapkan. Mc Guire menjelaskan bahwa IGM is
more than just intergovernmental relationships. Penjabaran
konsep IGM juga menekankan tentang bagaimana melakukan
upaya penyelarasan antara kerja sama struktural dengan kerja
sama manajerial dengan pendekatan organisasi kerja sama
antardaerah adalah interorganization yang dalam pemikirannya
bahwa interorganization akan menekankan pada prinsip
kolaborasi akan dilakukan dalam satu daerah tidak akan bisa
berjalan sendiri dan dalam rangka saling melengkapi kebutuhan
antardaerah, bahkan lebih dari antarpemerintah daerah dalam
interorganization juga akan melibatkan interaksi berbagai pihak

246
(Prihadyanti & Laksani, 2016) yang akhirnya menciptakan
network atau jejaring dengan berbagai pihak yang akhirnya
menciptakan nilai tinggi yaitu kelangsungan pelaksanaan kerja
sama antar enam kabupaten.
Model kerja sama antardaerah ini dikembangkan melalui
hubungan awal berupa jejaring kemudian ditingkatkan menjadi
hubungan kerja sama ke arah kemitraan dan menuju pada
semangat kolaborasi. Pada pelaksanaannya kolaborasi yang
dimaksud dilaksanakan dengan model penthahelix yang
melibatkan lima unsur, yaitu:
(1) Pemerintah enam kabupaten.
(2) Pihak privat yaitu konsultan (PT Sarana Multi Daya KSO,
PT Disiplan Consult, dan PT Wira Widyatama) dan KPH
dan Damri.
(3) Komunitas yaitu Komunitas Peternak Susu, Komunitas
Peduli Hutan Lindung, Pegiat Lingkungan.
(4) Akademisi yaitu unsur institusi pendidikan yang ada di
enam kabupaten.
(5) Media yaitu conten creator, wartawan, reporter yang
meliput perkembangan pembangunan di kawasan
Selingkar Wilis.
Dari rekomendasi organisasi sekber selanjutnya dapat
direkomendasikan strategi pelaksanaan kerja sama di Selingkar
Wilis agar lebih banyak mendapatkan manfaat untuk

247
masyarakat. Rekomendasi strategi pelaksanaan kerja sama dapat
dilihat dalam gambar 8.2 di bawah ini.
Gambar 8.2. Strategi pelaksanaan kerja sama antardaerah di
Selingkar Wilis

Diadaptasi dari: (Chandler, 1962; Henry; Mintzberg et al., 1998;


Prihadyanti & Laksani, 2016; Warsono, 2020; Yuniningsih et
al., 2019)

248
8.5. Proposisi Minor dan Mayor Strategi Kerja sama
Antardaerah Selingkar Wilis
Pelaksanaan kerja sama antardaerah tidak akan dapat
berjalan dengan baik jika tidak ada dukungan positif dari
berbagai pihak, peran masing-masing daerah yang bekerja sama,
pemerintah provinsi dan pusat, serta adanya pihak ketiga juga
sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pelaksanaan kerja
sama di Selingkar Wilis.

249
BAB IX
STRATEGI PELAKSAAN KERJA SAMA, SERTA
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT
Pelaksanaan kerja sama antardaerah di Selingkar Wilis
dimulai dari kesepakatan bersama di antara keenam kabupaten
yaitu Kabupaten Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun,
Nganjuk, dan Kediri (Tunggal Rogo Mandiri). Kesepakatan
bersama berlangsung selama 2 tahun yaitu 2014 sampai 2016
dengan obyek yang disepakati yaitu 20 bidang. Selanjutnya pada
tahun 2016 keenam kabupaten mengadakan penandatangan
perjanjian kerja sama tentang pembangunan infrastruktur jalan
di Selingkar Wilis.
Ada empat hal yang menjadi faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan kerja sama antardaerah di Selingkar
Wilis, yaitu egoisme daerah, partisipasi daerah, koordinasi
antardaerah, dan keberlanjutan kerja sama. Pertama, egoisme
daerah dapat dilihat dari ketidakmauan satu daerah untuk
bersifat terbuka dengan daerah lainnya serta sifat egoisme ini
ditunjukkan oleh kepala daerah yang kurang terbuka dan tidak
bersedia menerima masukan dari masyarakat. Kedua, partisipasi
daerah yang masih belum terlaksana dengan baik karena adanya
daerah yang tidak bersedia bergabung dengan kelima daerah
yaitu Kabupaten Kediri, akibatnya pelaksanaan pembangunan
infrastruktur juga belum terlaksana sesuai rencana. Ketiga,
koordinasi antardaerah yang pada pelaksanaanya juga hanya

250
berjalan pada daerah yang bersebelahan, tidak di antara keenam
daerah terdapat satu kesepakatan. Akibatnya kerja sama
antardaerah juga tidak bisa berjalan dengan efektif. Keempat,
dari adanya embiro perjanjian kerja sama menjadi dasar dalam
pelaksanaan keberlanjutan kerja sama yang ada di Selingkar
Wilis. Selain itu peran dari pemerintah provinsi dan pusat dapat
ditunjukkan dalam proses keberlanjutan ini.
Strategi dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah di
Selingkar Wilis dilihat melalui lima prinsip, yaitu
(1) Plan perwujudan kerja sama yang diawali dari nota
kesepahaman dan perjanjian kerja sama.
(2) Pattern yaitu pola dalam pelaksanaan kerja sama yang
diwujudkan dalam penguatan dua dimensi kerja sama
yaitu kelembagaan dan penganggaran.
(3) Ploy yaitu melihat pembangunan infrastruktur jalan yang
diatur spesifik dalam perjanjian kerja sama.
(4) Position yang menunjukkan masing-masing daerah
sejajar kedu.
(5) Perspective yaitu memaduserasikan pandangan setiap
daerah yang dimulai dari kesepakatan bersama dua puluh
bidang menjadi perjanjian kerja sama dengan spesifikasi
satu bidang yaitu infrastruktur jalan.
Strategi dalam pelaksanaan kerja sama antardaerah
menggunakan konsep pendekatan organisasi inter organization

251
yang dilihat melalui adanya relasi horizontal dan bersifat
voluntary ke arah kolaborasi. Penguatan strategi juga dilakukan
melalui adanya pembenahan stuktur organisasi dengan model
organic system yang bersifat dinamis dan memiliki tingkat
responsiveness yang tinggi, adaptability, serta bersifat open
system melalui keberadaan lima bagian dasar yaitu the
operating core, the strategic apex, the middle line, the
technostructure, the support staff.

252
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, B. (2014). Kelemahan Regulasi dan Kebijakan
Tumpulkan Inovasi Pembangunan Daerah. Jurnal
Pembangunan Daerah.
Abror, M. D. (2017). Model Kerja sama Antarpemerintah
Daerah Dalam Pengelolaan Infrastruktur Publik (Studi
Tentang Kerja sama Antara Pemerintah Kota Surabaya
Dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo Dalam Pengelolaan
Terminal Purabaya) [Universitas Brawijaya Malang].
http://repository.ub.ac.id/1447/
Agranoff, R. C. N.-J. . A. 2017. (2017). Crossing boundaries for
intergovernmental management. In Public management
and change series.
Alawi, M. Al. (2017, August 25). Bakrie Eksplorasi Tiga Sumur
Geothermal Ponorogo-Madiun.
Https://Ekonomi.Kompas.Com.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/25/075043626/
bakrie-eksplorasi-tiga-sumur-geothermal-ponorogo-madiun
Alfiah. (2017). Kemitraan Pemerintah, Bisnis, dan Komunitas
Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan Sebagai
Upaya Meningkatkan Ekonomi Lokal (Studi Pada
Budidaya Ikan Lele di Desa Gondosuli, Kecamatan
Gondang, Kabupaten Tulungagung) [Universitas
Brawijaya]. http://repository.ub.ac.id/7518/1/Alfiah.pdf

253
Alfian, F., & Vitaloka, D. (2018). Strategi Kerja sama
Antardaerah Dalam Penanganan Sumber Daya Air (Studi
Kasus Sungai Ciliwung). Jurnal Ilmu Pemerintahan :
Kajian Ilmu Pemerintahan Dan Politik Daerah.
https://doi.org/10.24905/jip.v3i1.898
Alph. (2021, February 5). Kemenko Marvest Tinjau Empat
Wilayah Usulan Pembangunan Infrastruktur Kabupaten
Nganjuk . https://www.nganjukkab.go.id/home/detail-
kabar/kemenko-marvest-tinjau-empat-wilayah-usulan-
pembangunan-infrastruktur-kabupaten-nganjuk
Anderson, J. E. (2003). Public policymaking : an introduction.
In Public policymaking : an introduction.
Andrew, S. A., Short, J. E., Jung, K., & Arlikatti, S. (2015).
Intergovernmental cooperation in the provision of public
safety: Monitoring mechanisms embedded in interlocal
agreements. Public Administration Review.
https://doi.org/10.1111/puar.12312
Anggita, O. :, Pradany, H., Santoso, R. S., Djumiarti, T.,
Profesor, J., & Soedarto, H. (2017). STUDI KERJA SAMA
ANTARDAERAH : KERJA SAMA ANTARA PEMERINTAH
KABUPATEN PURBALINGGA DAN PEMERINTAH
KABUPATEN BANYUMAS DALAM PEMBANGUNAN
JEMBATAN LINGGAMAS.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative Governance in

254
Theory and Practice Downloaded from. Journal of Public
Administration Research and Theory, 18.
https://doi.org/10.1093/jopart/mum032
Aziz, L. L. (2016, November 30). Hubungan Kerja sama
Pemerintah dengan Pihak Swasta dalam Pembangunan
Infrastruktur di Indonesia.
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-
lokal/1107-hubungan-kerja sama-pemerintah-dengan-
pihak-swasta-dalam-pembangunan-infrastruktur-di-
indonesia
Bappeda Kabupaten Siak. (2019, July). Gubernur Riau dan
Empat Kepala Daerah Teken MoU Kerja sama
Pekansikawan – Kerja sama Pembangunan Kabupaten
Siak. Https://Bappeda.Siakkab.Go.Id/Kerja
sama/2019/07/17/Gubernur-Riau-Dan-Empat-Kepala-
Daerah-Teken-Mou-Kerja sama-Pekansikawan/.
https://bappeda.siakkab.go.id/kerja
sama/2019/07/17/gubernur-riau-dan-empat-kepala-daerah-
teken-mou-kerja sama-pekansikawan/
Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bappeda
Tulungagung. (2019, August 26). Monitoring Kesiapan
Jalan Selingkar Wilis Wilayah Kabupaten Tulungagung -
Pemerintah Kab. Tulungagung.
Http://Bappeda.Tulungagung.Go.Id.

255
http://bappeda.tulungagung.go.id/detailpost/monitoring-
kesiapan-jalan-selingkar-wilis-wilayah-kabupaten-
tulungagung
Bogdan, R., & Biklen, S. K. (2007). Foundations of Qualitative
Research for Education. Qualitative Research for
Education.
BPS Provinsi Jawa Timur. (2020). Provinsi Jawa Timur Dalam
Angka 2020.
Bramono, D. A. (2014, June 12). Potensi Gunung Wilis Dikelola
Bersama Enam Daerah.
Http://Bappeda.Jatimprov.Go.Id/2014/06/12/Potensi-
Gunung-Wilis-Dikelola-Bersama-Enam-Daerah/.
http://bappeda.jatimprov.go.id/2014/06/12/potensi-gunung-
wilis-dikelola-bersama-enam-daerah/
Budiono, H. (2012). Penyusunan Model Kerja Sama
Ciayumajakuning. Jurnal FISIP: KYBERNAN.
Cahyono, A. S. (2020). Implementasi Model Collaborative
Governance Dalam Penyelesaian Pandemi Covid-19.
Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.
Carpenter, M., & Sanders, G. (2009). Strategic Management: A
Dynamic Perspective (2nd ed.). Person Printice Hall.
Chandler. (1962). Strategy and Structure. MIT Press.
Christia, A. M., & Ispriyarso, B. (2019). DESENTRALISASI
FISKAL DAN OTONOMI DAERAH Di INDONESIA.

256
LAW REFORM. https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23360
Cigler, B. A. (1999). Pre-conditions for the emergence of
multicommunity collaborative organizations. Review of
Policy Research, 16(1), 86–102.
https://doi.org/10.1111/j.1541-1338.1999.tb00842.x
David, F. R. (2011). Strategic Management: Concepts and
Cases (13th ed.). Pearson Prentice Hall.
Denhart and denhart. (2007). The New Public Service. Expanded
adition. Serving not stering. ME. Sharpe Inc.
Downey, D. C., & Myers, W. M. (2020). Federalism,
Intergovernmental Relationships, and Emergency
Response: A Comparison of Australia and the United
States. American Review of Public Administration, 50(6–7).
https://doi.org/10.1177/0275074020941696
Dunn, W. N. (2018). The Process of Policy Analysis. In Public
Policy Analysis. https://doi.org/10.4324/9781315181226-1
Eliza. (2017). Kontribusi Sektor Transportasi Terhadap
Perekonomian Daerahdi Provinsi Sumatera Barat. Jurnal
Plano Madani, 6(2), 177–184.
Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, S. (2012). An integrative
framework for collaborative governance. Journal of Public
Administration Research and Theory, 22(1), 1–29.
https://doi.org/10.1093/jopart/mur011
Firman, T. (2009). Decentralization reform and local-

257
government proliferation in indonesia: Towards a
fragmentation of regional development. Review of Urban
and Regional Development Studies.
https://doi.org/10.1111/j.1467-940X.2010.00165.x
Frank, F. A. S. (2000). The Partnership Handbook. Ministry of
Public and Government Services.
Goldworthy, & Ashley. (1998). Australian Public Affairs
Information Service.
Gomez, C. J., & Parigi, P. (2015). The regionalization of
intergovernmental organization networks: A non-linear
process. Social Networks.
https://doi.org/10.1016/j.socnet.2015.03.007
Goodsell, C. T. (2006). A new vision for public administration.
In Public Administration Review.
https://doi.org/10.1111/j.1540-6210.2006.00622.x
Greenhill, B., & Lupu, Y. (2017). Clubs of clubs: Fragmentation
in the network of intergovernmental organizations.
International Studies Quarterly.
https://doi.org/10.1093/isq/sqx001
Guba, E. G., & Lincoln, Y. S. (1994). Competing paradigms in
qualitative research. In Handbook of qualitative research.
Haeruddin. (2015). Model Kerja sama Antarpemerintah Daerah
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Era Otonomi
Daerah (Studi di Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten

258
Malang) (Disertasi).
http://fia.ub.ac.id/katalog/index.php?p=show_detail&id=11
11
Handayani, F. A. (2015). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KERJA SAMA ANTARDAERAH (STUDI TENTANG
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN
BAGI MASYARAKAT …. In Jurnal Kebijakan dan
Manajemen Publik.
Harsanto, B. T., Rosyadi, S., & Simin, S. (2015). Format
Kelembagaan Kerja Sama Antardaerah Untuk
Pembangunan Ekonomi Kawasan Berkelanjutan. MIMBAR,
Jurnal Sosial Dan Pembangunan.
https://doi.org/10.29313/mimbar.v31i1.1317
Haryanto, H. (2019). FAKTOR PENDUKUNG DAN
PENGHAMBAT KEBIJAKAN JANGKA PANJANG
PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI DALAM
PEMBANGUNAN CENTRAL BUSINESS DISTRICT.
Jurnal Mediasosian : Jurnal Ilmu Sosial Dan Administrasi
Negara. https://doi.org/10.30737/mediasosian.v1i2.197
Hawkins, C. V. (2010). Competition and cooperation: Local
government joint ventures for economic development.
Journal of Urban Affairs. https://doi.org/10.1111/j.1467-
9906.2009.00492.x
Hegele, Y. (2018). Explaining bureaucratic power in

259
intergovernmental relations: A network approach. Public
Administration. https://doi.org/10.1111/padm.12537
Henry, N. (1975). Paradigms of Public Administration. Public
Administration Review , 35(4), 378–386.
http://www.jstor.org/stable/974540
Hidayah, W. (2017). Implementasi Kebijakan Kerja sama
Antardaerah Dalam Mewujudkan Pemerataan
Pembangunan Bidang Infrastruktur Tahap I Kawasan
Perbatasan Provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah [Universitas
Pasundan Bandung]. http://repository.unpas.ac.id/31813/
Hu, Q., Zhang, H., Kapucu, N., & Chen, W. (2020). Hybrid
Coordination for Coping with the Medical Surge from the
COVID-19 Pandemic: Paired Assistance Programs in
China. Public Administration Review.
https://doi.org/10.1111/puar.13253
Huberman, A., & Miles, M. (2012). Understanding and Validity
in Qualitative Research. In The Qualitative Researcher‟s
Companion. https://doi.org/10.4135/9781412986274.n2
Hughes, O. E. (2012). Public Management and Administration:
an Introduction. In Public Management and
Administration.
Humas Pemerintah Kota Kediri. (2019, December 16). Kota
Kediri Jadi Tempat Seminar Nasional Geliat Ekonomi
Wilayah Selingkar Wilis.

260
Https://Www.Kedirikota.Go.Id/p/Berita/1019321/Kota-
Kediri-Jadi-Tempat-Seminar-Nasional-Geliat-Ekonomi-
Wilayah-Selingkar-Wilis.
https://www.kedirikota.go.id/p/berita/1019321/kota-kediri-
jadi-tempat-seminar-nasional-geliat-ekonomi-wilayah-
selingkar-wilis
Jandhyala, S., & Phene, A. (2015). The Role of
Intergovernmental Organizations in Cross-border
Knowledge Transfer and Innovation*. Administrative
Science Quarterly.
https://doi.org/10.1177/0001839215590153
Johnston, M. W., Rajan Varadarajan, P., Futrell, C. M., & Sager,
J. (1987). The relationship between organizational
commitment, job satisfaction, and turnover among new
salespeople. Journal of Personal Selling and Sales
Management.
https://doi.org/10.1080/08853134.1987.10754466
Junari, T., Rustiadi, E., & Mulatsih, S. (2020). Identifikasi
Sektor Industri Pengolahan Unggulan Propinsi Jawa Timur
(Analisis Input Output). TATALOKA, 22(3), 308–320.
https://doi.org/10.14710/tataloka.22.3.308-320
Kanwil BI Provinsi Jawa Timur. (2019). Laporan Perekonomian
Provinsi Jawa Timur.
Keban, Yeremias T. (2008). Enam Dimensi Strategis

261
Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu. Gava Media.
Keban, Yeremias T. (2014). Enam Dimensi Strategis
Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu (Edisi Ketiga).
Gava Media.
Keban, Yeremis T. (2007). Kerja sama Antarpemerintah Daerah
Dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk, dan Prinsip.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Indonesia.
Kementerian PPN/Bappenas. (2020). RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL
2020-2024.
Kourliouros, E. (2013). Local Development and Collaborative
Planning: A Theoretical Framework of Analysis. Journal of
Regional Socio-Economic Issues, 3(1), 1–26.
Kurniadi, T. (2019). Badan Kerja sama Pembangunan
Jabodetabekjur.
Kusuma, M. (2019, October 25). Kebakaran di Gunung Wilis
Nganjuk Meluas hingga Ponorogo. Https://Jatimnow.Com.
https://jatimnow.com/baca-20716-kebakaran-di-gunung-
wilis-nganjuk-meluas-hingga-ponorogo
Laurens, A. (2013). Sengketa Wilayah Perbatasan Gunung
Kelud Antara Pemerintah Kabupaten Blitar Dengan
Kabupaten Kediri Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah. Calyptra: Jurnal Ilmiah

262
Mahasiswa Universitas Surabaya, 2(1), 1–13.
Lee, Y. (2016). From Competition to Collaboration:
Intergovernmental Economic Development Policy
Networks. Local Government Studies.
https://doi.org/10.1080/03003930.2015.1096267
Lestari, W. A. B. M. W. W. H. (2020). Review of Interregional
Cooperation of the Regions Around Mount Wilis in the
Perspective of Statutory Regulations. DIA: Jurnal
Administrasi Publik, 18(1), 39–58.
Lexipol. (2013, March 11). Personnel Sharing Among Fire
Departments.
https://www.gov1.com/consolidation/articles/personnel-
sharing-among-fire-departments-o8WSlWVSWwGRSjjX/
Lexy J. Moleong, D. M. A. (2019). Metodologi Penelitian
Kualitatif (Edisi Revisi). PT. Remaja Rosda Karya.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.02.055
Li, X. Z. (2011). A reserach on restraint mechanism innovation
of intergovernmental agreement. In PQDT - Global.
Limerick, D. and B. C. (1993). Managing the New
Organization: A Blueprint for Networks and Strategic
Alliances. Business & Professional Publishing.
Mahardhani, A. J. (2017). Peran Pemerintah Kabupaten
Ponorogo dalam Pengembangan Kawasan Selingkar Wilis.
Jurnal Ilmiah Manajemen Publik Dan Kebijakan Sosial.

263
https://doi.org/10.25139/jmnegara.v1i1.284
Mahmudi. (2003). New Public Management (NPM): Pendekatan
Baru Manajemen Sektor Publik. Sinergi: Kajian Bisnis
Dan Manajemen, 6(1), 69–76.
Mandell, M. P. (2002). Types of Collaborations and Why the
Differences Really Matter. (Partnerships and Networks).
The Public Manager, 31(4), 36.
https://www.questia.com/read/1G1-99410549/types-of-
collaborations-and-why-the-differences-really
Mayasari, I. (2017). Model Kemitraan. In Bunga Rampai
Kemitraan. Universitas Paramadina.
McGuire, M. (2006). Collaborative public management:
Assessing what we know and how we know it. In Public
Administration Review. https://doi.org/10.1111/j.1540-
6210.2006.00664.x
McMillan, J. H., & Schumacher, S. (2001). Research in
Education. A Conceptual Introduction. Research Design
and Methodology.
Megawati, N., & Fajarwati, A. (2013). Persepsi Stakeholder
Terhadap Pelaksanaan Kerja sama Antardaerah
Kartamantul (YOGYAKARTA, Sleman, Bantul). Jurnal
Bumi Indonesia.
Megginson, L. C. K. H. C. (1981). Organizational Behavior:
Developing Managerial Skills. Harper & Row Publishers.

264
Meidiani, A., Malkhamah, S., & Muthohar, I. (2018).
Penanganan Permasalahan Transportasi Perkotaan di
Perbatasan Kota Yogyakarta-Kabupaten Sleman-
Kabupaten Bantul: Sekretariat Bersama Kartamantul.
Jurnal Riset Daerah.
Mintzberg, Henry;, Ahlstrand, B., & Lampel, J. (1998). Strategy
Safari: A Guided Tour Through The Wilds of Strategic
Management . Prentice-Hall.
Mintzberg, Henry. (1980). Structure in 5‟s: A Synthesis of the
Research on Organization Design. Management Science.
https://doi.org/10.1287/mnsc.26.3.322
Muhaidin. (2015). Kerja sama Antardaerah Dalam
Pengembangan Pariwisata Teluk Saleh, Pulau Moyo Dan
Gunung Tambora (SAMOTA) Tahun 2015. Konferensi
Nasional Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan
Tinggi Muhammadiyah „Aisyiah, 100–111.
http://www.appptma.org/proceedings/proceedings-kn-
appptma-ke-3/
Nababan, C. (2017). Formulasi Kebijakan Kerja sama
Antardaerah (Studi Tentang Pembangunan Jalan Tembus
Sukorejo-Batu: Kerja sama Antara Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang,
dan Kota Batu. Universitas Brawijaya Malang.
Ningtyas, T. (2017). NEW PUBLIC SERVICE : PELAYAN

265
PUBLIK BERBASIS HUMANISTIK UNTUK
KESUKSESAN REFORMASI BIROKRASI. Jurnal
Ilmiah Manajemen Publik Dan Kebijakan Sosial, 1(1), 13–
22. https://doi.org/10.25139/jmnegara.v1i1.283
Nugroho, A. (2020, November 23). Selingkar Wilis,
Pengintegrasian Daerah yang Terhambat Anggaran.
https://radarkediri.jawapos.com/read/2020/11/23/226266/se
lingkar-wilis-pengintegrasian-daerah-yang-terhambat-
anggaran
Nugroho, R. (2017, April). Facebook.
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=1021544713999
9221&set=pb.1459485188.-2207520000..&type=3
Obydenkova, A. (2008). Reintegration vs. Regional
Cooperation? Some Puzzles in Post-Soviet Eurasia,in the
context of Comparative Regionalism.
Pamudji, S. (1985). Kerja sama Antardaerah Dalam Rangka
Pembinaan Wilayah: Suatu Tinjauan dari segi
Administrasi Negara. Bina Aksara.
Pasolong, H. (2012). Metode Penelitian Administrasi Publik.
Alfabeta.
Peck, J. (2004). Geography and public policy: Constructions of
neoliberalism. Progress in Human Geography.
https://doi.org/10.1191/0309132504ph492pr
Pramesti, M. W. (2018). Dimensi - Dimensi Strategis

266
Administrasi Publik dalam Islam. POLITEA.
https://doi.org/10.21043/politea.v1i1.4312
Pramono, J. (2020, January 31). Bangun Wisata di Sekitar Wilis,
Pemkab Dapatkan Anggaran Rp 24 Miliar | Jatim TIMES.
Https://Jatimtimes.Com/Baca/208496/20200131/180500/B
angun-Wisata-Di-Sekitar-Wilis-Pemkab-Dapatkan-
Anggaran-Rp-24-Miliar.
https://jatimtimes.com/baca/208496/20200131/180500/ban
gun-wisata-di-sekitar-wilis-pemkab-dapatkan-anggaran-rp-
24-miliar
Pranata, A. M. S. S. I. H. (2015). Kerja sama Antarpemerintah
Daerah Dalam pengelolaan Sumberdaya Air (Studi Pada
Kerja sama Kota Malang dengan Kota Batu dan Kota
Malang dengan Kabupaten Malang Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air). Jurnal Administrasi Publik, 3(10).
Prasetya, T. B. (2013). Potret Kerja sama Antardaerah dalam
Pembangunan Infrastruktur Daerah. Jurnal Maksipreneur:
Manajemen, Koperasi, Dan Entrepreneurship.
https://doi.org/10.30588/jmp.v2i2.272
Prastiti, D. V. H. B. W. (2012). Kerja sama Antardaerah Dalam
Pelayanan Air Bersih Kota Surakarta Dengan Kabupaten
Karanganyar. Jurnal Teknik PWK, 1(1).
Pratikno. (2007). Kerja sama Antardaerah, Kompleksitas dan
Tawaran Kelembagaan. UGM Press.

267
Prihadyanti, D., & Laksani, C. S. (2016). Pengaruh
Interorganizational Relationships terhadap Kapabilitas
Inovasi: Studi Kasus Perusahaan Komponen Otomotif di
Indonesia. Jurnal Manajemen Teknologi, 15(2), 154–171.
https://doi.org/10.12695/jmt.2016.15.2.4
Puppim de Oliveira, J. A. (2019). Intergovernmental relations
for environmental governance: Cases of solid waste
management and climate change in two Malaysian States.
Journal of Environmental Management.
https://doi.org/10.1016/j.jenvman.2018.11.097
Purnaweni, H. (2014). Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di
Kawasan Kendeng. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Putranto, A. E. (2013). Peran BKAD Subosukawonosraten
dalam Kerja sama Antardaerah. JURNAL
PEMBANGUNAN WILAYAH & KOTA.
https://doi.org/10.14710/pwk.v9i2.6515
Rabin, J., Hildreth, W. B., & Miller, G. J. (2018). Handbook of
public administration, third edition. In Handbook of Public
Administration, Third Edition.
https://doi.org/10.4324/9781315093215
Rachmawati, M. I. (2018). INTERGOVERNMENTAL
NETWORK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
BERBASIS SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN
DAERAH (SIPD) (STUDI PADA BADAN PERENCANAAN

268
PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR)
[Universitas Muhammadiyah Malang].
http://eprints.umm.ac.id/43251/
Rasyidi, M. S. M. T. H. S. E. A. W. H. M. E. (2017).
Memadukan Pembangunan Infrastruktur PUPR di
Selingkar Wilis. Badan Pengembangan Infrastruktur
Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR, 4–9.
https://bpiw.pu.go.id/uploads/publication/attachment/Edisi
21 - 2017 Sinergi.pdf
Rifa‟i, M. M. F. (2013). Manajemen Organisasi. CitaPustaka
Media Perintis.
Robbins, S. P. (1994). Teori Organisasi: struktur, Desain dan
Aplikasi. In Jakarta: Arcan.
Robinson, R. B., & Pearce, J. A. (1983). The impact of
formalized strategic planning on financial performance in
small organizations. Strategic Management Journal, 4(3),
197–207. https://doi.org/10.1002/smj.4250040302
Rocheleau, B., & Agranoff, R. J. (1986). Intergovernmental
Management: Human Services Problem-Solving in Six
Metropolitan Areas. Public Productivity Review.
https://doi.org/10.2307/3380455
Rosen, E. D. (1993). Improving Public Sector Productivity:
Concepts and Practice . Sage Publications, International
Educational and Professional Publisher.

269
Sadat, A. (2019). Intergovernmental Dalam Penanganan
Bencana Alam Di Pemerintahan Daerah. Kybernan: Jurnal
Studi Kepemerintahan.
https://doi.org/10.35326/kybernan.v4i1.312
Sager, T. (2007). Dialogical values in public goods provision.
Journal of Planning Education and Research.
https://doi.org/10.1177/0739456X07299949
Santoso, M. B., Rachim, H. A., & Syauqina, D. A. (2018).
KOMUNIKASI KELOMPOK SEBAGAI FAKTOR
PENDORONG TERBENTUKNYA KERJA SAMA
DALAM MENYELESAIKAN PEKERJAAN K3L DI
LINGKUNGAN UNIVERSITAS PADJADJARAN.
Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada
Masyarakat. https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18371
Sarwono, J., & Narimawati, U. (2020). Membuat Skripsi, Tesis,
dan Disertasi dengan Partial Least Square SEM (PLS-
SEM). In CV ANDI OFFSET (Penerbit Andi).
Schott, R. L., Harmon, M. M., & Mayer, R. T. (1987).
Organization TheoryOrganization Theory for Public
Administration. Public Administration Review.
https://doi.org/10.2307/975908
Sekber Tunggal Rogo Mandiri Kabupaten Tulungagung. (2016).
Laporan Sekretariat Bersama Tunggal Rogo Mandiri tahun
2014-2016.

270
Sekretariat Bersama Tunggal Rogo Mandiri. (2016). Laporan
Sekretariat Bersama Selingkar Wilis Kabupaten
Tulungagung Masa Jabatan 2014-2016.
Shafritz, J. M., Russell, E. W., & Borick, C. P. (2016). Chapter
2: The Political and Cultural Environment of Public Policy
and its Administration. In Introducing Public
Administration.
Silfiana, S. (2018). OPTIMALISASI FUNGSI BADAN KERJA
SAMA PEMBANGUNAN (BKSP) DALAM RANGKA
PEMBANGUNAN DAERAH KAWASAN
JABODETABEKJUR. Jurnal Ekonomi-Qu.
https://doi.org/10.35448/jequ.v8i2.4451
Simonov, E., & Egidarev, E. (2018). Intergovernmental
cooperation on the Amur River basin management in the
twenty-first century. International Journal of Water
Resources Development.
https://doi.org/10.1080/07900627.2017.1344122
Soekarwo. (2018). JATIMNOMICs: A Model of Indonesia
Incorporated for Free Trade and Inclusive Economic
Growth. https://doi.org/10.1142/9789813226913_0002
Soenarso, S. A. (2020, February 3). PP Presisi (PPRE)
optimistis rampungkan pembangunan Bandara Dhoho
sesuai target. https://industri.kontan.co.id/news/pp-presisi-
ppre-optimistis-rampungkan-pembangunan-bandara-

271
dhoho-sesuai-target
Solichah, Z. (2018, March). Kerja Sama Antardaerah Dapat
Kendalikan Inflasi dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi di
Sekarkijang - ANTARA News Jawa Timur.
Https://Jatim.Antaranews.Com/Berita/252013/Kerja-Sama-
Antardaerah-Dapat-Kendalikan-Inflasi-Dan-Dorong-
Pertumbuhan-Ekonomi-Di-Sekarkijang.
https://jatim.antaranews.com/berita/252013/kerja-sama-
antardaerah-dapat-kendalikan-inflasi-dan-dorong-
pertumbuhan-ekonomi-di-sekarkijang
Somit, A., & Peterson, S. A. (2003). Human nature and public
policy: An evolutionary approach. In Human Nature and
Public Policy: An Evolutionary Approach.
https://doi.org/10.1057/9781403982094
Subianto, A. H. H. S. (2016). Tata Kelola Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Laut Berbasis Masyarakat (Agus
Subianto (ed.)). Brilliant.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kualitatif (S. Y.
Suryandari (ed.); 3rd ed.). Alfabeta.
Suharto, D. G., Muktiyo, W., & Setyowati, K. (2016). Public
Service Quality of Village Government In
Intergovernmental Relations Perspective.
https://doi.org/10.2991/icpm-16.2016.111
Sujarwoko, D. H. (2021, March 22). Pemkab Ponorogo

272
realokasi anggaran infrastruktur tangani COVID-19 .
https://m.antaranews.com/amp/berita/2055554/pemkab-
ponorogo-realokasi-anggaran-infrastruktur-tangani-covid-
19
Suwitri, S. (2008). Konsep Dasar Kebijakan Publik. Badan
Penerbit Universitas Dipenogoro Semarang.
Suwitri, S. (2011). Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan
Kebijakan Publik (Suatu Kajian Tentang Perumusan
Kebijakan Penanggulangan Banjir dan Rob Pemerintah
Kota Semarang). Universitas Diponegoro.
Tarigan, A. (2009, March). .:: Direktorat Jenderal Tata Ruang -
Kementerian ATR/BPN ::. Buletin Tata Ruang.
https://tataruang.atrbpn.go.id/Bulletins/Detail/41#book2/5
Taylor, G. D. (2003). Intergovernmental Cooperation in the 21st
Century. Michigan State University: Extension Specialist,
State & Local Government.
Thoha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer (edisi
Pertama). In Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Thomson, A. M., & Perry, J. L. (2006). Collaboration processes:
Inside the black box. Public Administration Review,
66(SUPPL. 1), 20–32. https://doi.org/10.1111/j.1540-
6210.2006.00663.x
Ulibarri, N., & Scott, T. A. (2017). Linking network structure to
collaborative governance. Journal of Public Administration

273
Research and Theory.
https://doi.org/10.1093/jopart/muw041
Uriawan, F. R., & Lituhayu. M, D. (2017). Analisis Pelaksanaan
Kebijakan Kerja sama Antardaerah Wilayah Kedungsepur
Bidang Pariwisata. Indonesian Journal of Public Policy
and Management Review.
Utomo, T. W. (2005). PROSPEK PENGEMBANGAN KERJA
SAMA ANTARDAERAH KABUPATEN/KOTA DI
KALIMANTAN TIMUR DALAM PENYELENGGARAAN
URUSAN PEMBANGUNAN DAN PELAYANAN
MASYARAKAT.
VOI. (2021, March 5). Pembangunan Bandara Dhoho Kediri
dapat Gelontoran Dana Rp1 Triliun dari Gudang Garam.
https://sulsel.voi.id/aktual/37404/pembangunan-bandara-
dhoho-kediri-dapat-gelontoran-dana-rp1-triliun-dari-
gudang-garam
Wahyono, H., & Wahdah, L. (2018). Spatial Collaboration
Model among Local Governments in Ratubangnegoro
Region in the Boundary Area of Central Java and East Java
Provinces, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. https://doi.org/10.1088/1755-
1315/123/1/012036
Warsono, H. (2009a). Networking Dalam Intergovernmental
Management. Dialogue, Jurnal Ilmu Administrasi Dan

274
Kebijakan Publik, 6(1), 78–91.
Warsono, H. (2009b). Regionalisasi dan Manajemen Kerja
sama Antardaerah. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Warsono, H. (2020). Ironi Otonomi dan Kerja sama Daerah
(2nd ed.). Doktor Administrasi Publik - UNDIP.
Weiher, G. R., & Smith, B. C. (1987). Decentralization: The
Territorial Dimension of the State. CrossRef Listing of
Deleted DOIs. https://doi.org/10.2307/3330033
Welch, J. K., & Patton, M. Q. (1992). Qualitative Evaluation
and Research Methods. The Modern Language Journal.
https://doi.org/10.2307/330063
Wibhawani, R., Zauhar, S., & Saleh, C. (2016). Prioritas dan
Strategi Perencanaan Kerja sama Antardaerah Dalam
Pengembangan Sarana dan Prasarana Wilayah (Studi di
Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu). Wacana,
Jurnal Sosial Dan Humaniora.
https://doi.org/10.21776/ub.wacana.2016.019.02.2
Wicaksono, E. (2018). Koordinasi Pengelolaan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) Untuk Meningkatkan
Pelayanan Wisata. Jurnal Administrasi Negara Dan Niaga
(JIANNIA), 1(1), 17–21.
Wiig, K. M. (2002). Knowledge management in public
administration. Journal of Knowledge Management.
https://doi.org/10.1108/13673270210434331

275
Woods, N. D., & Bowman, A. O. M. (2018). Collective Action
and the Evolution of Intergovernmental Cooperation.
Policy Studies Journal. https://doi.org/10.1111/psj.12241
Yodo, S. (2013). Aspek Hukum Ekonomi Dalam Kerja sama
Daerah. Genta Publishing.
Yuniningsih, T., Darmi, T., & Sulandari, S. (2019). MODEL
PENTAHELIK DALAM PENGEMBANGAN
PARIWISATA DI KOTA SEMARANG. JPSI (Journal of
Public Sector Innovations), 3(2), 84.
https://doi.org/10.26740/jpsi.v3n2.p84-93
Yuwanto. (2016). Implementasi Kerja sama Daerah Kunci
Bersama (Kuningan, Cirebon, Ciamis, Cilacap, Banjar,
Brebes, Majalengka). Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan,
1(1), 83–92. https://doi.org/10.14710/jiip.v1i1.793
Zakaria, F. (2015). Pola Kemitraan Agribisnis. Ideas Publishing.

276
BIODATA PENULIS

Dr. Ardhana Januar


Mahardhani, S,AP., M.KP, lahir di
Tulungagung pada tanggal 23 Januari
1987. Merupakan dosen tetap di
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
pada Program Studi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn). Menempuh pendidikan formal
S1 Administrasi Publik Universitas
Brawijaya Malang, S2 Magister Kebijakan Publik Universitas
Airlangga Surabaya, dan S3 Administrasi Publik di Universitas
Diponegoro Semarang. Penulis juga merupakan sekretaris
Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(AP3KnI) Provinsi Jawa Timur.
Penulis juga telah menerbitkan beberapa buku
diantaranya: Strategi Pembangunan Desa, Studi Masyarakat
Indonesia, dan Advokasi Kebijakan Publik.
Saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan
dalam proses kesempurnaan tulisan dari penulis. Pembaca dapat
menghubungi penulis melalui email: ardhana@umpo.ac.id

277

Anda mungkin juga menyukai