Anda di halaman 1dari 19

Kelembagaan Agribisnis : Perspective

Global, Komunitas, Pelaku Ekonomi

Ahmad Zainuddin
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah
kelembagaan pertanian yang tidak mendukung, salah satunya kelembagaan petani.
untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan petani yang dilandasi pemikiran bahwa:

(a) Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur,
peralatan, kredit, dan sebagainya;
(b) Pembangunan kelembagaan petani lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam
karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi;
(c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan input, mengubah input menjadi
produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi
berharga;
(d) Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari
pusat hingga lokal; dan
(e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai
kondisi optimal.
KELEMBAGAAN PETANI
Kelembagaan adalah keseluruhan pola- pola ideal, organisasi, dan aktivitas yang
berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara, agama
dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta tempat perlindungan.
Suatu Lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
manusia sehingga Lembaga mempunyai fungsi.
Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani yang
berada pada kawasan lokalitas (local institution), yang berupa organisasi
keanggotaan (membership organization) atau kerjasama (cooperatives) yaitu
petani-petani yang tergabung dalam kelompok kerjasama (Uphoff, 1986).
Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas, yaitu selain mencakup
pengertian organisasi petani, juga ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan
perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial
PERAN KELEMBAGAAN PETANI
 Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu:
(a) Tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara,
(b) Tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal,
material, informasi) dan pengelolaannyadalam pencapaian tujuan masyarakat,
(c) Tugas pelayanan (service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan
tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan
(d) Tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap
birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan
Uphoff dalam Garkovich, 1989).

Uphoff (1988) membuktikan bahwa koperasi pertanian, dewan petani desa, assosiasi petani, badan
pemasaran petani, perkumpulan petani pemakai air dan sebagainya telah berkontribusi penting dalam
akselerasi perubahan untuk pemanfaatan sumberdaya pertanian di pedasaan.
Pembagian Kelembagaan Petani
(Menurut Beberapa Ahli)

Mubyarto

1. Asli 2. Baru
JENIS KELEMBAGAAN PETANI (1)
 Menurut Mubyarto (1972), Kelembagaan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kelembagaan yang
bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun menurun atau kelembagaan baru yang
diciptakan baik dari dalam atau dari luar masyarakat.
 Lembaga adat yang penting dalam usahatani diantaranya; pemilikan lahan jual beli, sewa menyewa
lahan dan gotong royong.
 Sedangkan North (1990), membagi berdasarkan terbentuknya kelembagaan, dikenal dengan
kelembagaan informal dan formal.
 Lembaga informal adalah lembaga yang ada dimasyarakat umumnya tidak tertulis diantaranya ;
Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama.
 Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan
(agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain.
 Kesepakatan-kesepakatan yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun
lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.
 Terkadang kelembagaan formal merupakan hasil evolusi dari kelembagaan informal.
JENIS KELEMBAGAAN PETANI (2)
Sedangkan Kasper dan Streit (1998) membagi
kelembagaan berdasarkan awal pembentukannya yakni
internal institusions dan external institutions.
Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari
kebiasaan masyarakat sehingga menjadi budaya seperti
pada nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat.
Institusi eksternal adalah institusi yang dibuat oleh pihak
luar/ketiga yang kemudian diberlakukan pada suatu
komunitas tertentu.
JENIS KELEMBAGAAN PETANI (3)
 Veblen (1977) berpendapat bahwa teknologi merupakan bagian dari kelembagaan, karena teknologi
sangat mempengaruhi cara pandang dan perubahan system social dan ekonomi.
 Veblen membagi kelembagaan menjadi kelembagaan teknologi dan kelembagaan seremonial,
 kelembagaan teknologi lahir karena keberadaan teknologi itu seperti teknologi mesin tanam, mesin
pengolah, mesin panen dan lain-lain,
 sedangkan Kelembagaan seremonial meliputi serangkaian hak-hak kepemilikan (set of property rights),
struktur sosial dan ekonomi, kelembagaan keuangan, dan lain-lain.
 kedua kelembagaan ini saling mempengaruhi, terjadinya perubahan kelembagaan teknologi maka akan
terjadi perubahan kelembagaan seremonial.
 Dengan demikian perubahan pada kelembagaan teknologi dan budaya akan ikut mempengaruhi
perubahan lending model. Sebagai misal, masyarakat yang hanya tahu cangkul sebagai alat pertanian
maka ia akan melihat pembangunan pertanian dari sudut pandang teknologi cangkul yang dikuasainya.
 Pada saat teknologi berubah, maka pandangannya terhadap dunia pertanian akan berubah pula.
Perubahan teknologi akan merubah struktur dan pola pembiayaan (lending model).
LEVEL KELEMBAGAAN
 Williamson ( 2000) berpendapat bahwa kelembagaan terdiri beberapa tingkatan atau
level dimana tiap level saling berhubungan timbal balik, Williamson membagi
kelembagaan ke dalam empat level.
 Dimulai dengan level I yaitu teori sosial (social theory) yang merupakan aturan
informal yang telah melekat dalam masyarakat, seperti tradisi, norma, adat, dan
konvensi.
 Level II menekankan ekonomi kepemilikan (economics of property right) yang
terdiri dari aturan main (hukum), politik, lembaga hukum, dan birokrasi.
 Level III menekankan biaya transaksi (transaction cost.economics).
 Level IV menekankan efisiensi sumber daya dan struktur insentif.

Kelembagaan pertanian dan pedesaan secara hirarki tersusun mulai dari level individu
untuk orang paling bawah sampai pada level internasional yang paling tinggi (Salman,
2011)
HIRARKI KELEMBAGAAN
Internasional Level

Nasional Level

Regional Level

District Level

Subdistrict level

Regional level
PERTANIAN Community Level PEDESAAN
Group Level

Household Level

Individu Level
PELAKU KELEMBAGAAN (1)
(North, 1990) menyebutkan bahwa kelembagaan merupakan
aturan main dalam masyarakat.
Secara formal kelembagaan mengatur hubungan antar pelaku,
mengatur hal yang boleh dan tidak boleh, hak dan kewajiban.
Lebih rinci (Williamson, 1996) menjelaskan bahwa secara
hirarki terdapat aturan main yang berlaku dalam masyarakat
mulai dari kelembagaan personal yang mengatur antar
individu hingga kelembagaan yang mengatur tatanan
masyarakat dan negara.
PELAKU KELEMBAGAAN (2)
Kelembagaan agribisnis dapat definisikan sebagai aturan
main dalam proses produksi di mana suatu komoditas
diproduksi hingga aturan main dalam mendistribusikan
komoditas ke tangan lembaga selanjutnya.
Definisi tersebut secara luas membahas aturan main baik
di level pelaku utama bisnis atau pelaku penunjang.
Dalam bentuk diagram dapat dijelaskan bahwa
kelembagaan agribisnis menghubungkan seluruh pelaku
dalam agribisnis.
PELAKU KELEMBAGAAN (3)
 Lingkaran pertama dalam diagram tersebut merupakan
pelaku utama dalam sebuah agribisnis.
 Pelaku-pelaku tersebut dapat saling berinteraksi dalam
mencapai tujuan masing-masing.
 Lingkaran (level) kedua dan ketiga merupakan pelaku
pendukung dalam agribisnis.
 Sebenarnya, tanpa adanya pelaku-pelaku pada level
kedua dan ketiga usaha agribisnis akan tetap
berlangsung.
 Namun demikian, karena pelaku usaha tidak dapat
berdiri sendiri dalam menjalankan usahanya, maka
keberadaan pelaku usaha di level dua dan tiga sangat
dibutuhkan untuk menunjang keberlangsungan
agribisnis.
KOMUNITAS (1)
 Komunitas umumnya dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang paling
alamiah dan universal. Ia menjadi kelembagaan yang pertama dibentuk pada
masyarakat manapun, dan tidak akan kehilangan eksistensinya.
 Orientasi utama terbentuknya kelembagaan komunitas adalah kepada
pemenuhan kebutuhan hidup secara komunal.
 Dalam masyarakat komunitas, struktur sosial, yaitu sistem hak dan
kewajiban, digariskan dalam sistem kekerabatan. Anggota keluarga, mulai
dari keluarga batih, keluarga luas (extended family), sampai kepada
sentiment etnik menjadi sandaran socio-economic security (Syahyuti, 2002).
Gejala ini umumnya dapat diamati pada masyarakat yang memiliki akar
sejarah tradisional yang jelas.
KOMUNITAS (2)
Deskripsi yang tepat tentang karakteristik “lembaga
komunitas”, adalah sebagaimana gambaran masyarakat
prakapitalis atau masyarakat prapasar. Pada masa itu,
kehidupan sosial ditata dalam prinsip komunalitas,
egaliter, dan kesetaraan.
Salah satu ciri sistem sosial yang kehidupannya
bersandar kepada kelembagaan-kelembagaan komunitas
adalah sifat kemandiriannya.
SUBAK SEBAGAI KELEMBAGAAN
KOMUNITAS
Salah satu contoh bentuk kelembagaan pada aktivitas pertanian yang
mendasarkan diri pada bentuk kelembagaan komunitas adalah Subak.
Subak mempunyai hak otonomi secara penuh untuk membentuk
pengurus, keuangan, membuat peraturan (awig-awig), melaksanakan
sanksi, menjaga ketertiban dan kesejahteraan anggota.
Selain mengatur pengairan, ia juga mengatur waktu penyiapan lahan,
penaburan benih, penanaman, dan mengatur pergiliran tanam (Teken et
al., 1988).
Begitu besarnya sifat otonomi yang dimiliki Subak, bahkan menjadi
penentu sistem sosial masyarakat Bali.
PERMASALAHAN KELEMBAGAAN PETANI (1)
1) Kelompoktani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk
memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah.
2) Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih
relatif rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan
kelompok rendah.
3) Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu.
4) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social
capital setempat dengan prinsip kemandirian local.
5) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru
(blue print approach) yang seragam.
PERMASALAHAN KELEMBAGAAN PETANI (2)
6) Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan
pendekatan yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya
partisipasi masyarakat.
7) Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk
memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal.
8) Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang
dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus.
9) Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur
struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai