Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

“SEJARAH MELAYU RIAU”

Disusun oleh :
Faldi Dwi Permana (210634699)
Happy Natalia Bintang (2106113623)
Jasmin Khaidira Nurfatihah (2106125775)

Teknologi Hasil Pertanian


Fakultas Pertanian
Universitas Riau
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, karunia serta
kasih sayang-Nya kami mahasiswa dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Melayu Riau” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Budaya Melayu. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah melayu Riau bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ayub Natuna selaku dosen
pengampu mata kuliah Budaya Melayu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tg. Balai Karimun, 5 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG .............................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .......................................................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
2.1 PROTO-DEUTRO MELAYU................................................................................... 3
2.2 KERAJAAN-KERAJAAN MELAYU KUNO ........................................................ 4
2.3 SEJARAH MELAYU ISLAM DAN KOLONIAL EROPA .................................... 7
2.3.1 Kedaulatan Melayu Islam di Riau ................................................................. 7
2.3.2 Riau Menentang Penjajah ............................................................................. 10
2.4 PERJUANGAN RAKYAT RIAU MASA KEMERDEKAAN ............................... 11
2.4.1 Pengibaran Awal Merah Putih ...................................................................... 11
2.4.2 Agresi Belanda I ........................................................................................... 14
2.4.3 Agresi Belanda II .......................................................................................... 16
2.4.4 Provinsi Sendiri ............................................................................................. 19
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 23
3.1 KESIMPULAN ......................................................................................................... 23
3.2 SARAN ..................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistemagama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis (Liliweri 2013:107 dalam Skripsi Wahyudi 2015).
Budaya adalah suatu hal yang penting karena budaya merupakan jati diri suatu individu
atau kelompok yang merupakan warisan tradisi yang perlu dilestarikan. Budaya juga
merupakan gambaran karakter individu maupun kelompok yang membentuk kepribadian itu
sendiri.
Riau sejak dahulu dikenal sebagai negeri Melayu yang memiliki kekhasan dalam budaya
dan adat masyarakatnya. Budaya Melayu menjadi identitas kuat dalam tradisi masayarakat di
Provinsi Riau. Kuatnya tradisi ini, menjadikan budaya Melayu sebagai salah satu visi dan
misi pemerintah Provinsi Riau dalam membangun wilayahnya. Maka tujuan pembangunan
adalah menjadikan Riau melestarikan budaya Melayu, bahkan dengan tujuan lebih besar lagi
menjadikan Riau sebagai pusatnya di Asia Tenggara. Dengan demikian, budaya Melayu
menjadi semangat dan ruh dalam setiap langkah pembangunan di daerah bumi Lancang
Kuning ini.
Namun dalam kenyataannya, era digital yang semakin modern ini mengubah pola hidup
masyarakat Riau. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang abai atau tidak paham akan sejarah
melayu Riau karena ketidaktahuannya akan identitas budaya Melayu yang beragam dan unik.
Maka dari itu, melalui makalah ini penulis ingin menyampaikan sejarah melayu Riau untuk
mengedukasi penulis serta pembaca.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini
yaitu:
1. Bagaimana sejarah kedatangan bangsa Proto-Deutro Melayu?
2. Apa saja kerajaan-kerajaan Melayu Kuno di Riau?
3. Bagaimana sejarah Melayu Islam dan era kolonial?
4. Bagaimana perjuangan rakyat Riau masa kemerdekaan?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui sejarah kedatangan bangsa Proto-Deutro Melayu.
2. Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan Melayu Kuno di Riau.
3. Untuk mengetahui sejarah Melayu Islam dan era kolonial.
4. Untuk mengetahui perjuangan rakyat Riau masa kemerdekaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PROTO-DEUTRO MELAYU


Jejak Riau dapat ditelusuri sejak jaman purba, sekaligus memperlihatkan terjadinya
pergulatan hidup manusia untuk senantiasa memperbaiki hidupnya. Hal ini tentu saja berawal
dari kedatangan manusia ke kawasan apa yang sekarang disebut Riau. Dalam buku “Sejarah
Riau” (Muchtar Lutfi, dkk., 1977), banyak disingkap asal-usul kedatangan manusia di
kawasan ini.
Dapat dipastikan bahwa gelombang kedatangan pertama manusia di Riau sama dengan
gelombang kedatangan awal manusia di Indonesia yang berasal dari daratan Asia yang salah
satu wilayah lintasan pertamanya adalah Selat Melaka sebelum mencapai Sumatera.
Sementara di sisi lain, Provinsi Riau terletak di Selat Melaka dan Pantai Timur Sumatera atau
pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka.
Mereka selalu disebut dengan suku bangsa Weddoide yang mengembara, hidup
berpindah-pindah karena sumber mata pencaharian mereka tergantung pada hasil buruan. Di
Riau sekarang, mereka kemudian diindetifikasikan sebagai orang asli Sakai dan Hutan. Dalam
kehidupan sehari-hari pada masa yang lampau tersebut, mereka menggunakan kapak batu
sebagaimana layaknya masyarakat zaman mesolithicum. Mereka kemudian mengembangkan
diri untuk menetap di suatu kawasan dan mulai mengenal bercocok tanam.
Mulai tahun 2500 SM sampai tahun 300 SM terjadi dua gelombang kedatangan manusia
yang disebut proto-Melayu dan deutro-Melayu. Baik proto maupun deutro-Melayu masing-
masing memiliki kelebihan dibandingkan Weddoide. Proto-Melayu sudah memiliki
kemampuan yang jauh lebih tinggi dalam bercocok tanam. Kecendrungan proto-Melayu tidak
berpindah-pindah, menyebabkan muncul pemukiman-pemukiman baru. Hal ini dapat dikesani
dalam kehidupan Suku Talangmamak, Laut, dan Akit. Seperti Suku Sakai di atas, mereka
masih disebut sebagai orang asli.
Di sisi lain deutro-Melayu sudah dapat mengembangkan dirinya pada tahap yang belum
tercapai oleh proto-Melayu. Kecendrungan proto-Melayu yang mulai menetap dalam suatu
kawasan adalah juga kecenderungan utama deutro-Melayu, memungkinkan terjadinya
perkongsian hidup di antara mereka, meskipun tidak sedikit manusia dari kalangan proto-
Melayu, harus mengasingkan diri. Deutro-Melayu berkomunikasi dengan luar, sehingga
tatanan hidup mereka lebih bervariasi. Jejak deutro-Melayu ini antara lain dapat ditemui di

3
Bangkinang, Kuantanmudik, dan Rokan melalui penemuan arca serta perhiasan dari bahan
perunggu. Kenyataan di atas memperlihatkan, deutro Melayu yang sudah berbaur dengan
penduduk sebelumnya dan melakukan kontak dengan kawasan di sekitarnya, sudah pasti
memunculkan pemukiman-pemukiman. Sekilas dapat dibayangkan, perhiasan dan arca yang
ditemukan di sejumlah tempat sebagaimana disebutkan di atas, merupakan bagian dari sikap
individu dalam berinteraksi sesamanya.

2.2 KERAJAAN-KERAJAAN MELAYU KUNO


2.2.1 Kandis dan Koto Alang
Catatan tentang kerajaan Kandis ditemukan dalam kitab Negara Kertagama yang
menyebutkan bahwa Kandis merupakan salah satu kerajaan yang berada dalam taklukan
Majapahit. Daerah kekuasaan kerajaan Kandis diperkirakan meliputi daerah Kuantan
sekarang ini yaitu mulai dari hulu Batang Kuantan Negeri Lubuk Ambacang sampai ke
Cerenti. Ibukota kerajaan Kandis adalah Padang Candi, yaitu suatu tempat di pinggir
Batang Kuantan. Dinamakan Padang Candi karena di situ terdapat gugusan candi. Kandis
pada waktu itu merupakan suatu kerajaan yang telah sanggup berdiri sendiri dan makmur.
Tanah Kandis yang subur menghasilkan berbagai bentuk hasil bumi antara lain rempah
rempah.
Dalam kawasan yang sama, ditemui pula beberapa kerajaan. Di antara kerajaan yang
dimaksud adalah Koto Alang. Kerajaan ini diperkirakan berdiri sebelum masehi sampai
abad ke-2.

2.2.2 Katangka
Dekat Muara Takus, Kabupaten Kampar sekarang, besar kemungkinan pernah berdiri
sebuah kerajaan bernama Katangka. "katangka" itu sendiri dapat bermakna sebagai
bangunan yang berbentuk stupa, berasal dari kata "katanko" atau "kelangko". Dari kata
"kelangko” dapat juga bermakna tempat suci. Katangka di suatu tempat yang tinggi
dibandingkan dengan sekitarnya. Dari tempat ini, jelas terlihat tempat-tempat lain seperti
Batu Bersurat, Tanjung Alai, Muara Mahat, Koto Dalam, Shindu, dan Kota Tengah.
Selain itu nama Koto Tuo dan Muara Takus. Paling menyeramkan, di samping Katangka,
terdapat banyak gundukan tanah yang disebut sebagai kuburan jin.

4
2.2.3 Sriwijaya
Pusat Kerajaan Sriwijaya sebenarnya masih diperdebatkan banyak sarjana. Ada yang
menyebutkan di Thailand, Jawa, Palembang, dan Muara Takus yang kini termasuk dalam
administratif Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Salah seorang pakar yakni J.L. Moens,
menyebutkan semula Sriwijaya berada di pantai timur Semenanjung Melayu (Malaysia
sekarang), kemudian pindah ke Muara Takus (ibid). ). Dua faktor utama yang
memperkuat Muara Takus sebagai pusat Sriwijaya. Pertama, adalah posisinya yang
terletak di pinggir sungai yakni Sungai Kampar yang pada waktu dahulu dapat dilayari
kapal sampai ke hulu, dengan muaranya di Selat Melaka. Kedua adalah banyak ditemui
bangunan besar dan peninggalan-peninggalan lain.

2.2.4 Sintong dan Siarang-arang


Selain Muara Takus, penemuan-penemuan benda yang tergolong kuno di Riau,
sekaligus menunjukkan suatu kedaulatan, adalah di Sintong dan Siarang-arang, sekarang
masuk ke dalam administratif Kabupaten Rokan Hilir. Cuma sayangnya, dua tempat ini
belum "seberuntung" Muara Takus, karena kajian terhadapnya masih amat terbatas
padahal penelitian di Muara Takus sendiri pun amatlah kurang. Di sisi lain banyak benda-
benda peninggalannya sudah beralih fungsi bahkan dilaporkan sempat menjadi tiang
panggung rumah penduduk. Cuma saja, dari peninggalan yang sempat ditemui,
memperlihatkan bahwa dua wilayah ini pernah terdapat suatu sistem pengaturan
masyarakat secara terpadu.

2.2.5 Kuantan
Kerajaan Kuantan pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kerajaan Kandis itu
sendiri. Pada masa kerajaan Kuantan, ibu kota dipindahkan dari Padang Candi ke Sintuo,
yaitu suatu tempat di seberang kota Teluk Kuantan sekarang. Suatu ketika Kuantan tidak
memiliki raja. Maka kebetulan pada waktu itu datang rombongan raja dari Bintan yang
bernama Sang Sapurba. Kedatangan Sang Sapurba sangat dielu-elukan oleh rakyat
Kuantan. Sang Sapurba kemudian diangkat menjadi Raja Kuantan, dengan gelar Tri
Murti Buana.

5
2.2.6 Keritang
Kerajaan Keritang terpusat di pinggir Sungai Gangsal. Kata Keritang diperkirakan
berasal dari kata "itang". Itang adalah sejenis tumbuh tumbuhan yang banyak terdapat di
sekitar sungai Gangsal. Seperti Kandis, nama kerajaan Keritang juga termaktub dalam
kitab Negara Kertagama. Keritang, pada waktu itu merupakan sebuah kerajaan yang
cukup besar, sehingga Majapahit sangat menganggap penting kerajaan tersebut. Menurut
petunjuk yang ada, berakhirnya kerajaan Keritang disebabkan oleh karena rajanya yang
bernama Raja Merlang, ditawan oleh Melaka. Raja Merlang ini kemudian menikah
dengan anak raja Melaka, Sultan Mansyur Syah, dan memiliki seorang anak yang
bernama Nara Singa. Nara Singa inilah yang nantinya menjadi Raja di Indragiri.

2.2.7 Gasib
Kerajaan Gasib atau Siak Gasib, diperkirakan telah berdiri pada abad ke-14 atau 15
Masehi. Pusat kerajaan Gasib terletak di tepi sebuah anak sungai yang bernama Gasib.
Tempat ini berada di Hulu Kuala Mandau sekarang ini. Kerajaan Gasib menguasai
wilayah sepanjang sungai Siak, mulai dari paling hulu, yaitu di Bukit Seligi Tapung
sampai Bukit Langa, Tapung Kanan.

2.2.8 Segati
Kerajaan ini terletak di Hulu Sungai Segati, di tepi sungai Kampar. Kerajaan Segati
didirikan oleh Tuk Jayo Sati, keturunan Maharaja Olang. Pusat kerajaan pertama kali
terletak di Tanjung Bungo, tapi kemudian atas prakarsa putranya yang bernama Tuk Jayo
Tunggal, pusat kerajaan dipindahkan ke Ranah Gunung Setawar, di hulu Sungai Segati.
Setelah Tuk Jayo Tunggal meninggal dunia, diangkatlah Tuk Jayo Alam, puteranya,
sebagai raja.

2.2.9 Pekantua
Kerajaan ini berlokasi di hulu sungai Pekantua, Pelalawan. Kerajaan ini didirikan
oleh Maharaja Indera dari Kerajaan Tumasik (Singapura). Di Pekantua, Maharaja Indera
membangun istananya di Pematang Tua. Dibangunnya pula sebuah candi, sebagai
ungkapan rasa syukur atas selamatnya beliau ketika Singosari - menyerang Tumasik
sekitar tahun 1380. Diperkirakan, kerajaan Pekantua didirikan - pada penghujung abat ke-
14 M, lebih kurang sezaman dengan kerajaan Melaka.

6
2.3 SEJARAH MELAYU ISLAM DAN KOLONIAL EROPA
Menurut buku "Sejarah Riau" (Muchtar Lutfi, Ed., dkk., 1977), Islam masuk ke tanah
Melayu Riau beriringan dengan adanya hubungan niaga Timur Tengah dengan kawasan ini
terutama Kampar pada abad ke-7. Namun pada abad awal keislaman yang dibawa Nabi
Muhammad SAW belum leluasa bergerak di kawasan ini karena pengaruh kuat Budha dan
dihadang Dinasti Tang di Cina berkaitan dengan dominasi perdagangan. Meskipun demikian,
Islam makin merasuk ke tanah Melayu ini dengan berbagai kelebihannya sehingga menjadi
dasar bagi pengembangan peradaban Melayu. Hasbullah menulis (2012; 50), kehadiran Islam
di dunia Melayu merupakan petanda dimulainya babak baru, karena agama ini di samping
menjadi sumber bagi adat Melayu, juga dijadikan sebagai pelurus berbagai segi kebudyaan
Melayu yang dianggap bersalahan dengan ajaran Islam.

2.3.1 Kedaulatan Melayu Islam di Riau


1. Rantau Nan Oso Kurang Duapuluh. Pada suatu masa kemudian, pengaturan kehidupan
masyarakat di Kuantan dan Sengingi dikendalikan oleh konfederasi negeri (koto) yang
dinamakan Rantau Nan Oso Kurang Duapuluh (rantau kurang satu duapuluh). Meskipun
masing masing negeri (koto) memiliki otonomi tersendiri, permasalahan antarkoto
dilaksanakan melalui musyawarah orang gedang di Teluk Kuantan yang dipimpin Datuk
Bisai.
2. Pemerintahan Andiko 44, meliputi negeri negeri yang terdapat di Kampar Kiri, Kampar
Kanan, Tapung Kanan, serta Rokan, yang semuanya berjumlah 44 negeri. Pemerintahan
Andiko Nan 44 diperkirakan berdiri pada tahun 1347. Pusat pemerintahan Andiko Nan 44,
berada di Muara Takus. Pucuk pemerintahan pertama dipegang oleh Datuk Simarajo
Dibalai dari suku Domo. Dalam melaksanakan pemerintahan, ia dibantu oleh satu
lembaga kerapatan yang merupakan utusan dari empat suku yaitu: 1) Datuk Rajo Ampuni
dari suku Peliangtahan, 2) Datuk Mojolelo dari suku Domo, 3) Datuk Malingtang dari
suku Caniago, 4) Datuk Paduko Rajo dari suku Melayu. Untuk kepala pemerintahan di
tiap tiap negeri, ditunjuk seorang Penghulu Pucuk sebagai kepala kerapatan. Penghulu
inilah yang meneruskan setiap perintah. Penghulu Pucuk dalam menjalankan tugasnya,
dibantu oleh seorang Monti dan Pendito.
3. Kerajaan Gunung Sahilan, diperkirakan berdiri pada abad ke-16. Wilayahnya dibagi
menjadi tiga rantau. Pertama Rantau Daulat, yaitu dari Muara Langgai sampai ke Muara
Singingi dengan kampung-kampungnya: Mentulik, Sungai Pagar, Jawi-Jawi, Gunung

7
Sahilan, Subarak, Koto Tuo Lipat Kain. Kedua, Rantau Indo Ajo, mulai dari Muara
Singingi sampai ke Muara Sawa disebut Indo Ajo dengan nama negerinya adalah Lubuk
Cimpur. Ketiga, Rantau Andiko, yaitu dari Muara Sawa sampai Kepangkalan yang dua
laras dengan negeri-negeri Kuntu, Padang Sawah, Domo, Pulau Pencong, Pasir Amo
(Gema), Tanjung Belit, Batu Sanggan, Miring, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan,
Pangkalan Serai, Ludai, Koto Lamo dan Pangkalan Kapas. Secara garis besar, Kerajaan
Gunung Sahilan terbagi dalam dua wilayah besar, yaitu Rantau Daulat dan Rantau
Andiko. Rantau Daulat adalah daerah pusat kerajaan. Rantau daulat berpusat di
Kenegerian Gunung Sahilan. Sedangkan Rantau Andiko adalah daerah kekuasaan
Khalifah yang berempat di Mudik.
4. Kerajaan Tambusai. Merupakan salah satu kerajaan yang tua di tanah Rokan. Ibu
negerinya terletak di Dalu-Dalu. Tidak diketahui secara pasti tahun berdirinya, namun
diperkirakan setelah masuknya Islam di daerah ini. Raja pertama kerajaan Tambusai
adalah Sultan Mahyudin. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh orang besar kerajaan
yang terdiri dari Datuk Srimaharajo, Datuk Paduko Tuan, Datuk Temenggung dan Datuk
Paduko Rajo. Setelah Sultan Mahyuddin wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama
Jena, kemudian bergelar Sultan Zainal.
5. Indragiri. Kerajaan Indragiri dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari kerajaan
Karitang,karena Raja Pertama Naga Singa merupakan anak dari Raja Meralang yang
merupakan Raja Kerajaan Karitang.Indragiri terletak di tepi sungai diwilayah pekantau.
Banyak pendapat mengenai asal nama Indragiri,ada yangmengarakan Indragiri berasal
dari nama Sungai Pangandalandiri yang berada didekar kerajaan, dan ada yang
berpendapat Indragiri berasal dari kata sansaskerta yang berarti kerajaan negri mahlagai.
Kerajaan ini sendiri pernah dipimpin 25 raja,yang dimulai dari Raja Iskandar atau Naga
Singa I(1337-1400 M) sampai Sultan Mahmudyah yang akhirnya menyarakan bersatu
dengan bangasa Indonesia.
6. Rambah. Kerajaan Rambah terletak di daerah Pasir Pangarayan di negri Rambah.
Kerajaan ini sendiri masih termasuk dalam daerah kekuasaan kerajan Tambuasai,karena
raja pertamanya adalah saudara Sultan Tambusai.Kerajaan Rambah memakai sistem Raja
empat selo yaitu tiga anak raja, yaitu anak anak raja. Antara kedua kerajaan dibentuk
sebuah ikrar untuk kepentingan masa depan.
7. Kunto Darussalam. Kerajaan Kunto Darusallam merupakan satu dari lima yang berdiri
di sepanjang aliran sungai Rokan bagian hulu. Kerajaan ini memang telah tiada namun

8
masih dapat di ketahui bahwa kerajaan ini berpusat di kota lama. Kerajaan ini merupakan
salah satu pusat penyebaran islam di daerah Rokan yang disebarluaskan ulama bernama
Syekh Barhaniddin pada abat ke-14.
8. Kepenuhan. Kerajaan Kepenuhan didirikan setelah perkembangan Kerajaan Tambusai
tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Abdullah.Kerajaan Kepenuhan berdiri pada
akhir abad ke-19. Menurut silsilah kerajaan terdapar lima orang raja yang pernah
memimpin yaitu Sultan Sulaiman Yang Dipertuakan Muda,Yang Dipertuakan Besar,
Datuk Maruhum Merah Dada, Tengku Muda Sahak, Montou Muda, dan Tengku Sultan
Sulaiman.
9. Rokan IV Koto. Kerajaan Rokan berkembang pada sekitar abat ke-14 yang berpusat
dikota lama. Beberapa pendapat mengatakan Rokan berasal dari kata”Rokana”yang
berarti rukun dan damai,hal ini juga dikarenakan kerajaan rokan berkembang dengan
kerukunan masyarakatnya. Kerajaan Rokan merupakan kerajaan yang makmurdan
melimpah sumbe daya alamnya. Kerajaan ini membangun kerjasama dengan kerajaan
Melaka, hinga kemudian mengalami kemunduran pada abad ke-16 yang dipicu
peperangan dengan Portugis dan Aceh.
10. Siak Sri Indrapura. Kerajaan Siak Sri Indrapura terletak di sungai jantan/sungai siak.
Kerajaan ini didirikan oleh Raja Kecik pada tahun 1723, sebelum memimpin kerajaan
Siak, Raja Kecak semapat menjadi raja Johor pada tahun 1717-1722. Kerajaan siak
adalah awal mula perkembangan Pekanbaru, perkembanganya diikuti oleh Raja terakhir
siak yaitu Sultan Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jail Syarifuddin atau dikenal sebagai
Sultan Syarif Kasin II pada tahun 1908-1945
11. Pelalawan. Kerajaan Pekantau merupakan kelanjuran dari kerajaan Pekantau.
Nama”pelalawan” diambil dari kata “lalau” yang artinya tempat cadangan. Pada tahun
1725 kerajaan Pekantau dipindahkan dari Tanjung Negri ke Sungai Rasau dan resmi
berganti nama menjadi Pekantau Kampar. Kerajaan ini semakin berkembang pesat pada
masa pemerintahan Maharaja Lela Bungsu yang menggantikan ayahnya Maharaja Dinda
Perkasa atau Maharaja Lela Dipati.
12. Batu Hampar, Pekaitan, dan Cecenti. Selain kerajaan-kerajaan maupun kelompok
masyarakat,ada beberapa yang disebut sebagai daerah yang memiliki kedaulatanya sendiri
yang sampai sekarang belum dapar diidentifikasi kebenaranya.

9
2.3.2 Riau Menentang Penjajah
1. Melawan Portugis. Pada mulanya nusantara terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura,
dan Brunei Darusallam. Pada tahun 1511 bangsa portugis merebut Kerajaan Meleka yang
hampir mencakup wilayah Riau yang sekarang. Masyarakat yang dipimpin Sultsan
Mahmud atau sultan Melaka terakhir bersatu untuk mengusir Portugis. Menyusun
kekuatan dari Bintan para pejuanng melancarkan serangan yang dipimpin panglima Hang
Nadim. Raja Indragiri Naga Singa II bergabung dengan laskar melayu di Bintan
sesangkan Sultan Husain bergabung dengan pasukan du Gasib,Siak. Sultan Mahmud
mengirim Hang Nadim ke Gasib, Bukut Batu, dan Bengkalis pada tahun 1512. Setelah
kejatuhan kerajaan Melaka ketangan Portugis untuk menyusun serangan terhadap
penjajah. Daerah Gasib menyiapkan pasukan yang dipimmpin Khoja Ahmad
Syah ,sedangkan didaerah Bukit Batu pasukannya dipimmpin Tun Megat dan di Bengkalis
pasukan dipimin Laksemana Batin Hitam yang kemudian ketiganya bergabung menjadi
satu di Kuala Muar, Johor. Tetapi pasukan tersebut dapat dipukul mundur Portugis yang
di pimmpin Ferneo Peres de Andreade. Pada tahun 1520 Nara Singa II memimpin
pasukan untuk menyerng pasukan Portugis di Melaka.Dikatakan bahwa peperangan ini
adalah perang yang sengit dan memakan banyak korban jiwa, namun Nara Singa kembali
ke Bintan karena pengepungan yang dilakukan di daerah Melaka berdampak buruk bagi
masyarakat melayu. Kemudian pada tahun 1527 Nara Singa dan pasukanya kembali
menyusun penyerangan terhadap Portugis namun kemudian dibatalkan karena kabar
portugis telah berhasil menduduki Bintan. Hingga pada akhirnya Portugis mengambil
tindakan pembersihan di daerah Selat Rupah dan Bengkalis yang mengakibatkan
kelumpuhan perlawanan. Kemudian pada tahun 1547 Portugis menyerang Aceh, Siak dan
daerah lainnya bergabung dengan pasukan aceh untuk mempertahankan haknya.
2. Melawan Belanda. Raja Siak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah memimpin pasukan untuk
melawan Belanda.Setelah berhasil merebut Johor ia membangun benteng di daerah Bintan
dan mengirim pasukan dibawah komando Raja Lela untuk menyerang belanda didaerah
Melaka. Pada tahun 1746-1760 Muhammat Abdul Jalil Muzafer Syah memimpin pasukan
mengantikan ayahnya Abdul Jalil Rahmar Syah dengan komando perang Raja Indra
Pahlawan. Kemudian pada tahun 1751 Belanda berusaha memutus jalur perdangangan
Siak dengan cara membangun benteng pertahanan disepanjang jalur penghubung sungai
indragiri, kampar sampai pulau Guntung.Untuk dapat mengalahkan belanda siak
menyusun kekuatan baru yang besar untuk mengusir Belanda.Puncak terjadi saat pasukan

10
dipimmpin Raja Indra dan panglima besar Tengku Muhammat Ali. Dalam derangan ini
diperkuat dengan kapal perang “harimau buas” yang dilengkapi dengan lancang serta
perlengkapan perang secukupnya.maka pada tahun 1752-1753 terjadi pertempuran sengit
di daerah Pulau Guntung. Ternyata benteng belanda dilengkapi meriam-meriam besar
sehingga mengakibatkan pasukan Siak sulit menembus pertahananan Belanda, namun
demikian Belanda mengalami banyak korban sehingga mendatangkan bantuan dan orang-
orang Cina, pertempuran yang berlangsung sekitar satu bulan tersebut membuat Siak
harus menarik pasukannya karena pasukan Belanda yang terus bertamabah banyak. Sultan
siak dan pasukannya mengatur siasat untuk berpura-pura tunduk terhadap Belanda,
kemudian Belanda menyetujui hal tersebut dan mengajukan perundingan di Loji di Pulau
Guntung, saat awal pertundingan sultan Siak disuruh tunduk terhadap Belanda dan sultan
segera memberi kode pada pasukanya untuk menyerang dan membawa kemenangan,
setelahnya Loji dibakar dan pasukan membawa kemenangan meski belum mengalahkan
semua belanda. Atas jasanya sultan Siak diberi gelar “panglima perang raja indra
pahlawan datuk lima puluh”.
3. Melawan Inggris dan Jepang. Perlawanan masyarakar melayu riau juga tampak terjadi,
tercatat pertempuran di Rokan, Bengkalos, Bukit Batu, dan Siak. Sedangkan perlawanan
terhadap jepang terjadi di enok, indragiri hilir, dan labuhan tangga/rokan hilir.
Pertempuran di Enok terjadi karena masyarakat tidak bersedia menyerahkan hasil
panennya kepada Jepang, sementara di daerah labuhan tangga,dipicu karena Jepang
melarang pelaksanaan takbir dan sholat idul fitri tahun 1944. Pemicu selanjutnya adalah
ketika masyarakat melakukan mogok kerja dan Jepang yang menyikksa masyarakat.
Orang sakai melakukan perlawanan terhadap Jepang dan memukul mundur Jepang.

2.4 PERJUANGAN RAKYAR RIAU MASA KEMERDEKAAN


2.4.1 Pengibaran Awal Merah Putih
Pada tahun 2004, Pemerintah Provinsi Riau menerbitkan dua jilid buku yang
dinamakan "Sejarah Perjuangan Rakyat Riau (1942-2002)". Isi pada jilid pertama yang
disusun oleh Drs. Ahmad Yusuf, dkk., menceritakan kedatangan Jepang sampai pada
terbentuknya Provinsi Riau. Sedangkan jilid kedua yang disusun Prof. Drs. Suwardi MS,
dkk., mengisahkan awal berdirinya Provinsi Riau sampai pasca reformasi.
Pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, disambut antusias
masyarakat Melayu Riau yang secara otomatis bergabung dengan negara baru ini. Pasalnya,

11
hanya kawasan yang berada dalam pengaruh Belanda yang dinamakan Hindia Belanda yang
disebut menjadi kawasan negara baru merdeka itu. Sementara sejak Traktat London 1824,
kawasan Melayu yang berada di bawah pengaruh Belanda di kawasan Selat Melaka,
hanyalah Riau baik di kepulauan maupun di daratan.
Tak hanya gembira, pada bulan September 1946, Sultan Syarif Kasim II, bahkan
meninggalkan Siak untuk menyerahkan Siak ke pangkuan NKRI melalui tangan Presiden
Soekarno di Yogyakarta. Tidak saja wilayah dengan kekayaan alamnya waktu itu minyak
sudah ditambang di Kerajaan Siak-Syarif Kasim juga menyerahkan harta pribadi senilai 13
juta gulden. Atas pengabdiannya pula, pemerintah Indonesia telah mengangkat Sultan Syarif
Kasim II sebagai pahlawan nasional.
Syahdan, salah satu lambang penyambutan negara baru itu melalui pengibaran
bendera. Tergolong awal adalah apa yang terjadi di Rengat, ketika berita itu diterima
operator kantor berita Jepang, Humala Simanjuntak, yang segera nenyampaikannya kepada
Satu Ikatan Anak Rengat (Sinar) melalui ketuanya, Wasmad Rads, 18 Agustus 1945.
Pertemuan besar menyikapi kemerdekaan Indonesia itu terlaksana di Bengkalis, 14
Oktober 1945, dihadiri ribuan orang. Tokoh Bengkalis Datuk Ahmad, memberi arahan agar
pemuda berjuang mempertahankan kemerdekaan, dengan hasil menempatkan M. Nurdin
Yusuf sebagai ketua pengurus Badan Perjuangan. Ia didampingi wakil, Ahmad Maulana.
Sedangkan para anggotanya adalah M, Syafrief Harun, Wan Abdurrahman, Syamsir Badrun,
Mr. Syarief Harahap, Yusman, Haruhaya, dan M. Tasrief. Kelak, nadan ini bernama
Angkatan Pemberontak Indonesia (API). Di antara kegiatan mereka yang paling terkenal
adalah menggerakkan perjuangan rakyat dari kota sampai ke kampung-kampung dengan
dukungan ulama.
Pada peristiwa bendera di Mountbatten Hotel, Pekanbaru, di hotel ini, tentara Inggeris
atas nama Sekutu, menginap. Tetapi senantiasa pula terlihat bagaimana tentara-tentara
Belanda tahanan Jepang berkeliaran seperti penguasa. Di bawah komando Kolonel Hasan
Basri, 18 November 1945, sekitar 1.000 orang pemuda mengepung hotel tersebut,
bersenjatakan antara lain tombak dan bambu runcing. Semangat pemuda-pemuda ini
mengecutkan hati bangsa asing, sehingga baik Sekutu maupun Jepang tidak memberi
perlawanan. Bendera Belanda diturunkan dari atas hotel, kemudian warna birunya disobek,
sehingga menjadi merah putih yang kemudian dikibarkan lagi dengan iringan teriakan,
"Merdeka!". Setelah itu, pemuda merampas perlengkapan militer bangsa asing tersebut untuk
digunakan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

12
Penghadangan terhadap pemboncengan Sekutu ini juga dilakukan terhadap aktivitas
pemuda-pemuda Cina di Bengkalis dan Bagansiapi api. Di Bengkalis, pemuda Cina
membentuk apa yang disebut Pasukan Angkun pada pertengahan September 1945 yang tidak
saja berdatangan dari daerah sekitar seperti Bandul dan Sungai Pakning, tetapi juga dari
Semenanjung Malaya, di bawah pimpinan Oei Tan Sia. Menghukum semena mena sejumlah
tentara Jepang, tindakan mereka memunculkan amarah besar, setelah mereka menemui
Bupati Bengkalis, Datuk Ahmad, agar menyerahkan pemerintahan ke tangan mereka. Di
bawah pimpinan M. Nurdin Yusuf yang dibantu M. Syarif Harun, Ahmad Maulana, Kosen,
dan Rasimin, pemuda Bengkalis menyerbu Markas Angkun sekaligus melumpuhkan mereka,
17 Oktober 1945.
Di Bagansiapi-api, perseteruan antara masyarakat setempat dengan Cina diawali oleh
tindakan kelompok Cina tidak menaikkan bendera merah putih di samping kanan bendera
Cina (Kuo Min Tang) sebagaimana perjanjian sebelumnya. Setelah peringatan tidak
diindahkan, pemuda merobek-robek bendera Kuo Min Tang. Suasana makin tidak terkendali
setelah beberapa hari kemudian, Kapitan Cina terbunuh di markas BKR akibat pedang
seorang pemuda bernama Rifa'i Abidin. Tetapi bentrok baru menyeruak besar besaran pada
tanggal 12 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa "Bagansiapi-api I". Selain di
Bagansiapi-api, pertempuran sosah terjadi di Parit Tangko dan Simpang Tukang.
Terlihat reda sementara, ternyata Cina memperkuat barisan yang tidak saja
menghubungi orang-orang Cina di sekitar Bagansiapi-api Pulau Lalang dan Sinaboi, tetapi
juga ke Asahan, Medan, dan Singapura. Bahkan mereka menghubungi komplotan gengster di
Tanjung Kurai, Semenanjung Malaya. Di sisi lain pemerintah terutama pemrintah Kabupaten
Bengkalis yang didukung Angkatan Laut (ALRI), berusaha menentramkan keadaan,
sampailah suatu saat, mereka mendatangani Bagansiapi-api melalui laut, 18 September 1946.
Tenyata, kedatangan Bupati Bengkalis Datuk Ahmad yang didampingi sejumlah
pejabat dan pemuka masyarakat, disambut dengan tembakan dari orang-orang Cina. ALRI
tak tinggal diam, membalas tembakan tersebut. Hal ini sangat mengherankan, sehingga
terjadi saling tuduh, siapa yang menembak lebih dahulu, padahal kedatangan pejabat RI
tersebut membawa misi perdamaian. Namun yang pasti saat itu adalah bahwa rombongan
formal tersebut disusupi oknum-oknum yang dinamakan Tentara Jambang. Mereka adalah
tentara yang kecewa dengan kondisi internal tentara termasuk berkaitan dengan masalah
jabatan. Mereka tetap menjalankan fungsinya sehari-hari di tengah masyarakat tanpa
menerima arahan dari atasan.

13
Cuma apa hendak dikata, peristiwa tersebut menyebabkan ketegangan antarpihak,
sementara Tentara Jambang terus melaksanakan aksi mereka termasuk menjarah. Dalam
waktu bersamaan, persisnya tanggal 19 September 1946, kelompok Cina melakukan
serangan besar-besaran dengan metode unik terhadap apa dan siapa saja yang menghalangi
mereka, sedangkan pemerintah tidak siap menghadapi mereka. Namun seiring perjalanan
waktu, masyarakat setempat juga tidak bisa menerima tindakan Cina tersebut, sehingga
berkoordinasi sesama mereka. Apalagi di berbagai kampung, masih terdapat sejumlah orang
Cina yang tidak tahu menahu dengan kejadian di Bagansiapi-api. Belum lagi keberadaan
Tentara Jambang yang memilih menyerang orang-orang Cina. Tak pelak lagi, korban jiwa
pun berjatuhan, melebihi 1.000 orang dari semua pihak. Rentetan peristiwa ini dikenal
dengan sebutan peristiwa "Bagansiapi-api II", baru pulih pada awal Oktober 1946.

2.4.2 Agresi Belanda I


Menurut buku "Sejarah Riau" (Mukhtar Lutfi, Ed., 1977), pada agresi Belanda I di
Riau yakni suatu usaha Belanda untuk tetap menjajah Indonesia, terjadi tembak-menembak
antara Indonesia dengan Belanda di perairan Inderagiri Hilir, Bengkalis, dan daerah pantai
lainnya. Di antara pertempuran yang terkenal adalah penyerangan ke Tanjung Kilang Pulau
Durai. Tempat ini merupakan pos motor-motor patroli Belanda, berkekuatan tentara satu
peleton yang bila-bila masa bisa menambah kekuatannya dari Tanjung Batu, Kepulauan Riau.
Dari pulau ini pula mereka senantiasa berpatroli yang menghambat pelayaran di Inderagiri
khususnya dari dan ke Singapura.
Penyerangan dilakukan pada 20 Juli 1946 dari lima regu. Dengan semangat yang
tinggi, pasukan yang dipimpin Kapten Muchtar tersebut, pada sebelah paginya sudah dapat
menguasai Tanjung Kilang. Tapi beberapa jam kemudian, musuh mampu menyerang pasukan
merah putih secara bertubu-tubi dengan kekuatan tantara dua peleton. Kapten Muchtar dan
empat prajuritnya gugur. Sekitar pukul 14.00, pasukan Letnan M. Boya dan Letnan Sunipahar
mampu mengusir musuh.
Berbagai perlawanan diperlihatkan rakyat Riau, apalagi setelah 27 Juli 1947, Belanda
memblokade muara-muara sungai penting seperti Siak dan Inderagiri, di samping
memperkuat patroli di perairan sepanjang pantai Timur terutama antara Panipahan sampai
Kuala Enok. Tercatat pertempuran di Tanjung Datuk, selain konfrontasi di Tanjung Layang,
Perigi Raja, Sungai Belah, dan Kuala Mandah. Begitu pula tembak menembak di pantai

14
Bengkalis, Selatpanjang, Tanjung Samak, Tanjung Labu, dan Ketam Putih. Alhasil, Riau
tidak dapat dikuasai Belanda pada agresi I tersebut.
Di sisi lain, dalam rentang waktu awal kemerdekaan dan agresi Belanda I, berbagai
kekuatan militer di Riau sudah terbentuk. Pada bulan November 1945, berbagai elemen
kekuatan militer Riau sudah bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagaimana
terbentuk secara nasional. Untuk Riau, BKR dipimpin ole' Letnan II Hasan Basri, terdiri atas
tiga batalyon. Di Pekanbaru, batalyon BKR dipimpin oleh D.I. Panjaitan, sedangkan batalyon
Bengkalis dipimpin Arifin Achmad dan Thoha Hanafi memimpin batlalyon Inderagiri.
Salah satu gambaran mengharukan dari pembentukan BKR ini adalah apa yang terjadi
di Siak Sri Inderapura. Pasalnya, BKR diresmikan oleh Sultan Siak Syaruf Kasim II
didampingi permaisuri Tengku Maharatu. Malahan, Sultan pulalah yang menyematkan tanda
pangkat anggota BKR secara simbolis. Di depan Sultan pula mereka bersumpah setia
mempertahankan kemerdekaan RI. Semula, mereka berasal dari sejumlah barisan kelasykaran
seperti Kucing Hitam, Hantu Kubur, Singa Belukar, Hantu Rimba, dan Tinjau Belukar.
Sejalan dengan dinamika bernegara yang amat tinggi, BKR tidak berusia panjang karena
berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang untuk Riau dinamakan TKR
Resimen IV, di bawah pimpinan Letkol Hasan Basri. Resimen ini memiliki lima batalyon
yang dikenal sebagai Batalyon I di Pekanbaru dipimpin Mayor D.I. Panjaitan, Batalyon II di
Bengkalis dipimpin Mayor Arifin Ahmad, Batalyon III di Rengat dipimpin Mayor Yusuf Nur,
Batalyon IV di Pekanbaru dipimpin Mayor Usman Pohan, dan Batalyon (Alteleri) V di
Pekanbaru dipimpin Mayor Ali Rasyid. Di bawah batalyon dibentuk beberapa kompi.
Tentu saja TKR senantiasa mengalami penyempurnaan, malahan sampai pada nama.
Tanggal 7 Januari 1946, TKR merupakan singkatan dari Tentara Kesalamatan Rakyat. Tapi
dua pekan kemudian, diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Berkaitan
dengan itu pula komposisi pemimpinnya pun berubah. Misalnya, semula Arifin Achmad
menjadi komandan batalyon di Bengkalis, dipindahkan sebagai Komandan Batalyon IV
ekanbaru, bersama D.I. Panjaitan sebagai Komandan Batalyon I Pekanbaru. Batalyon
Bengkalis kemudian dikomandani oleh Mayor Marah Halim. Komandan Batalyon III Rengat
tetap dijabat oleh Yusuf Nur. Berikutnya, TKR dengan berbagai penyempurnaan termasuk
komposisinya, berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

15
2.4.3 Agresi Belanda II
a. PDRI Berpusat di Bangkinang. Secara nasional, agresi Belanda II ditandai dengan
penyerangan kota Yogyakarta 19 Desember 1948 yang menjadi salah satu dasar
Panglima Besar Sudirman mengeluarkan perintah harian. Persoalannya, Yogyakarta
yang waktu itu sebagai ibu kota Negara RI telah dikuasai Belanda, bahkan Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohd. Hatta ditangkap oleh agresor tersebut. Seiringan
dengan hal itu pula, Menteri Kemakmuran Mr Syafruddin Prawiranegara yang sedang
berada di Bukittinggi berinisiatif membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI)-kemudian diketahui sejalkan dengan perintah Presiden Sukarno. Ia
menyingkir dari kota itu menuju Riau. Setibanya di Bangkinang, ia mengirimkan
utusan Mr Lukman Hakim menemui Residen Riau R.M. Oetoyo untuk mencari tempat
yang sesuai sebagai pusat PDRI. Oleh karena waktu itu Pekanbaru sendiri mulai
dibom Belanda, disepakati PDRI diumumkan di Bangkinang sekaligus menjadi Pusat
PDRI. Tapi Bangkinang pun tidak dapat dipertahankan sebagai pusat PDRI, sehingga
dipindahkan ke Sumbar melalui perjalanan Bangkinang - Teratak Buluh - Teluk
Kuantan, Lubuk Jambi, terus ke Suliki. (Mukhtar Lutfi, 1977:518-519). Secara umum
disebutkan bahwa Riau diserang dari dua jurusan. Jurusan pertama datang dari
Tanjungpinang sebanyak dua batalyon yang dipimpin oleh Kolonel Trebel. Dilindungi
pesawat pesawat tempur Mustang, kota-kota yang menjadi sasaran mereka antara lain
adalah Bengkalis, Selatpanjang, Bagansiapi-api, Siak Sri Inderapura, Tembilahan,
Rengat, dan Airmolek. Arah darat, Riau diserang dari Sumatera Barat oleh Brigade V
Erp, meliputi Bangkinang dan Pekanbaru.
b. Menyelamatkan PDRI: Bangkinang dan Pekanbaru. Di luar dugaan karena semula
yakin bahwa mereka tidak dapat menembusi pertahanan RI di Sumatera Barat,
pasukan agresosr ini telah masuk ke Riau tanggal 26 Desember 1948, tepatnya di
Bangkinang. Kota ini diserang dari darat dan udara. Meskipun tidak menimbulkan
korban jiwa, telah cukup memberi sinyal bahwa PDRI dalam keadaan genting, sebab
Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai ketuanya, masih berada di Bangkinang. PDRI
akhirnya meninggalkan Bangkinang, 30 Desember 1948, setelah memperoleh
informasi bahwa Belanda yang baru saja menguasai Payakumbuh, bergerak ke Riau,
khususnya Bangkinang pada 29 Desember 1948. Benar saja, puncak serangan ke
Bangkinang dilakukan hari Jumat, 31 Desember 1948, saat orang sedang melakukan
sholat Jum'at, dengan kekuatan 21 truk ditambah dua pesawat tempur yang senantiasa

16
mondar-mandir di udara. Pada hari itu juga, mereka malah mulai menyerbu
Pekanbaru. Penghadangan yang dilakukan Residen Riau R.M. Oetoyo, tidak
membuahkan hasil. Tak ada pilihan lain, pada malamnya, tentara Indonesia
membumihanguskan markas, kantor kantor, dan bangunan penting lainnya agar tidak
dapat dimanfaatkan musuh. Didukung tentara terjun payung, Belanda memasuki
Pekanbaru 1 Januari 1949. Selain berhari-hari menyebarkan pamflet tentang
tertangkapnya pemimpin Indonesia di Yogyakarta melalui udara, mereka terus-
menerus menambahkan kekuatan. Tanggal 4 Januari 1949 misalnya, kapal-kapal
Belanda tiba di Pekanbaru, membawa dua kompi pasukan KNIL. Kekuatan Belanda di
Pekabaru menjadi dua kompi lebih terkonsentrasi di Rintis dan Tanah Merah. Selain
itu 1 peleton marinir di pelabuhan, 1 detasemen Inlichting Dienst di tengah kota, 1
detasemen MRD di tengah kota, 1 detasemen polisi di Kampung Bukit dan 1
detasemen angkatan udara di Simpangtiga. Pasukan-pasukan Indonesia melakukan
perlawanan walaupun tetap sifatnya sporadis, sedangkan Belanda senantiasa berpatroli
dengan melakukan pembersihan-pembersihan di sekitar kota. Pasukan-pasukan
Indonesia mengepung. Pekanbaru dari pinggir kota, sehingga hubungan tentara
Belanda dengan induknya di Sumbar terputus. Jalan menuju Sumbar dari Pekanbaru
dikuasai oleh pasukan Indonesia.
c. Serangan Balas ke Bangkalis. Dua hari sebelum menyerbu Pekanbaru, tepatnya 29
Desember 1948, Angkatan Laut Belanda, telah menyerang Riau pesisir terutama
Bengkalis dan Selatpanjang. Tak hanya sekali, serbuan agresor juga dilakukan tanggal
30 Desember 1948. Bengkalis dipertahankan satu kompi di bawah pimpinan Letnan
Masnur, satu kompi markas di bawah pimpinan Endut Gani, serta satu detasemen
polisi. Gempuran berjam jam dari Belanda dengan kekuatan dua kapal perang Fregat,
tiga kapal pendarat dan satu kapal barang, dibantu pesawat udara, menyebabkan
pasukan Indonesia terpaksa menghindar. Mereka bertahan di kampung-kampung,
sedangkan kota telah dikuasai musuh. Tentara Indonesia memperoleh tambahan
kekuatan, ketika Letnan II Soebrantas dengan 87 anggotanya dari Rupat, mendarat di
Meskom. Konsolidasi segera dilaksanakan antara lain melalui pertemuan pimpinan
pasukan yang bertahan di Bengkalis dengan Soebrantas, yakni Letnan Masnur dan
Letnan I Iskandar. Hasil dari pertemuan inilah, dengan berbagai variasi pertempuran,
sebagian besar Bengkalis kecuali di daerah pantai, dapat direbut Indonesia. Kenyataan
ini tidak diterima musuh, sehingga mereka memperkuat pasukan seperti

17
mendatangkan pesawat tempur. Tak ayal lagi, TNI kembali terpukul ke pedalaman,
tetapi terkonsentrasi di Pedekik. Pertempuran tidak terhindarkan di desa ini karena
unsur-unsur pasukan Indonesia berada dalam satu tempat. Belanda sempat kucar-kacir
sampai meninggalkan Pedekik dan kembali ke masrkas. Tujuh orang TNI syahid
dalam pertempuran ini yakni Kyai Darman, Khasim, Aryomyo, Egol, H.Tazali,
Muniran, dan Taib. Sejak ini pula, Belanda makin memperkatat patroli mereka atas
Bengkalis yang menyebabkan TNI harus bergerilya dari kampung ke kampung.
d. Diawali Serangan Udara di Tembilahan. Serangan Belanda ke Tembilahan tiba-tiba.
Pasalnya, digambarkan sebagai hal yang pada tanggal 30 Desember 1948, persis pada
saat Pekanbaru diserang dari Bangkinang, langit kota ini dibelah oleh sebuah pesawat
udara musuh, malah menjatuhkan dua bom, setelah memutari kota berkali-kali.
Pimpinan tentara setempat Letnan Sunipahar memerintahkan rakyar untuk bersiap-
siap mengosongkan Tembilahan, bahkan bila perlu membungihanguskannya. Baru
beberapa hari kemudian, 4 Januari 1949, Tembilahan diserang dari sungai, seiringan
dengan munculnya empat kapal perang musuh, beriringan dengan kemunculan dua
pesawat tempur yang melakukan penebakan ke seluruh penjuru. Setelah berhasil
menguasai Tembilahan melalui pertepuran sengit, musuh melakukan penyerbuan ke
Perigi Raja, Kuala Enok, dan Pulau Kijang. Kedua nama tempat yang disebut terakhir
ini dipertahankan habis-habisan oleh tentara Indonesia di bawah pimpinan Letnan II
M. Boya. Malahan sosok pimpinan ini gugur sebagai bunga bangsa sewaktu
mempertahankan Kuala Enok.
e. Sekitar 2.000 Jiwa Korban di Rengat. Penyerbuan besar-besaran Belanda terhadap
Riau terjadi di Rengat dengan kekuatan lebih dari satu kompi, dibantu 2-7 pesawat
udara. Hal ini disebabkan asumsi musuh yang senantiasa dilayani pertempuran terbuka
sejak 1946 dan ditemuinya beberapa kapal pribumi yang membawa senjata di Sungai
Inderagiri. Selama tiga hari, langit Rengat sampai Air Molek dan Telukkuantan,
seolah-olah dikoyak oleh pesawat musuh. Puncaknya tanggal 5 Januari 1949, ketika
pagi sekitar pukul 07.00, dua pesawat mustang Belanda muncul dari tenggara kota.
Pesawat-pesawat tersebut menembak dan melempar granat ke kota. Selain Rengat, Air
Molek, dan Telukkuantan, juga diperlukan serupa oleh Belanda. Penyerangan udara
diiringi dengan penerjunan pasukan melalui tujuh pesawat Dakota. Meskipun
menggunakan senjata seadanya, tentara, polisi, dan rakyat terlihat tidak gentar
menghadapi serbuan Belanda itu. Pasukan TNI yang mempertahankan kota antara lain

18
kompi di bawah pimpinan Letnan Darmawel Achmad, bahu-membahu dengan semua
elemen bangsa mempertahankan Rengat. Tak sedikit korban jiwa dari pihak musuh,
tetapi dari pihak Indonesia sekitar 2.000 orang termasuk Bupati Inderagiri, Tulus.
Banyaknya korban terutama disebabkan, Belanda memang menembak secara
membabi buta tanpa memandang sasaran kawasan militer atau sipil.
f. Sungai Apit dan Siak. Sehari setelah Yogyakarta sebagai ibu kota negara RI diserang,
19 Desember 1949, berbagai peningkatan aktivitas Belanda di kuala Sungai Siak,
sudah kelihatan. Biasanya hanya satu kapal yang menjaga kawasan tersebut, tetapi
sejak saat itu, kapal patroli ditambah dengan dua kapal patroli sungai. Pos di Tanjung
Layang diserang, malahan mengalami puncaknya pada 29 Desember 1949. Tembak-
menembak acapkali terjadi antara Belanda dengan tentara Indonesia di Sungai Apit d
bawah pimpinan Letnan Nasrun. Gerakan musuh memasuki Siak, dihadang tembakan
TNI di bawah pimpinan Letnan Abbas Djamil. Tak lengah lagi, hanya berselang sehari
kemudian, kota ini diserang dari udara. Malahan sepekan kemudian, Belanda
memperkuat militernya dengan mendatangkan dua kapal.

Serangan Belanda diringi dengan pendaratan dan pendudukan di Sungai Apit, terjadi
pada Maret 1949. Berkekuatan satu kompi, mereka mendarat yang didahului tembakan
senapan mesin dan mortir dari kapal. Mampu menimbulkan kapanikan masyarakat,
mereka tidak mengejar tentara Indonesia yang berusaha bertahan di pinggir kota
setelah bertempur sebelumnya. Sebaliknya, Belanda membuka pos pos di dalam kota
untuk berjaga-jaga dari serangan balasan TNI.

2.4.4 Provinsi Sendiri.


Melihat rentetan peristiwa melawan penjajah di atas, bukankah kita dapat
menyimpulkan bahwa Melayu Riau tidak pernah berhenti melawan penjajah asing, malahan
dalam rentang waktu 430 tahun, bermula dari upaya mengusir Portugis dari Melaka 1512
sampai agresi Belanda II. Dari sisi ini saja, tentu dapat disimpulkan bahwa sumbangan Riau
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR), tentulah tidak kecil. Apalagi ditambah
dengan kekayaan alam dan budayanya yang kini menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Pada awal merdeka, Riau dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatra yang berpusat di
Medan. Ketika terjadi pemekaran provinsi, Riau dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatra

19
Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Dalam provinsi ini terdapat tiga keresidenan yakni Riau,
Jambi, dan Sumatra Barat.
Dapat disebutkan bahwa ide pembentukan Provinsi Riau berangkat dari kesadaran
bahwa keresidenan ini memiliki kemampuan tersendiri dipandang dari berbagai sudut baik
ekonomi, apalagi sejarah. Dalam bidang ekonomi misalnya, terlihat dari luas kebun kelapa di
Riau pada tahun 1951 adalah 291.331, sedangkan di Sumatera Barat hanya 28.000 hektar dan
Jambi 188.600 hektar. Begitu kebun karet di Riau yang pada tahun serupa adalah 182.572
hektar, sedangkan di Sumbar 25.000 hektar. Tanaman pinang di Riau sekitar 10.000 hektar
yang tidak dijumpai di Sumatera Barat dan hanya sedikit di Jambi sekitar 300 hektar. Apalagi
produksi laut Riau tahun 1952 yang dari Bengkalis saja telah mencapai 15 juta ton. Begitu
pula minyak bumi Riau yang pada tahun 1954 telah mencapai 43.000 barrel per hari (Taufik
Ikram Jamil, dkk., 2003: 34).
Sebaliknya, pembangunan di Riau amat sedikit. Sebagai contoh adalah pendidikan.
Pada tahun 1950-an, di Provinsi Sumatera Tengah, terdapat 27 SMP Negeri (SMPN), tetapi
hanya empat SMPN saja yang berada di Keresidenan Riau, selebihnya yakni 21 SMPN berada
di Sumatera Barat, dan dua SMPN lagi di Jambi. Begitu juga Sekolah Teknik (ST) dan
Sekolah Teknik Menengah (STM) yang se-Sumatera Tengah berjumlah 14 sekolah, hanya
satu sekolah berada di Riau dan Jambi, sedangkan selebihnya di Sumatera Barat (ibid).
Begitulah diskusi-diskusi terutama berkaitan dengan kebudayaan kerap dilaksanakan
di Tanjungpinang. Sampai kemudian tanggal 16 Maret 1953, terbentuk Panitia Kongres
Rakyat Kepulauan Riau. Cuma saja, kongres yang dimaksud tidak sampai terjadi. Pasalnya,
berbagai kabupaten lain di Keresidenan Riau seperti Inderagiri, Bengkalis, dan Kampar, juga
ingin ikut serta dalam kongres tersebut, karena meski menyebut hanya Kepulauan Riau,
konres tentu saja membicarakan rakyat se-Keresidenan Riau. Belum lagi tempat pelaksanaan
yang seharusnya melibatkan semua elemen Keresidenan Riau dengan memakai mata uang
yang dipakai sebagian besar masyarakat Riau yakni rupiah, tidak hanya dollar sebagaimana
hanya dipakai masyarakat Kepulauan Riau.
Sebaliknya patut diakui, ide dan gumpalan pemikiran dari Kepulauan Riau itulah yang
membahanakan nama Provinsi Riau yang terlepas dari Sumatera Tengah. Konferensi Partai
Nasional Indonesia (PNI) Riau yang dilaksanakan di Rengat pada bulan Maret 1953 misalnya,
sudah menyebutkan nama pemerintahan tersebut. Suara ini semakin lantang dilaungkan
melalui Kongres Pemuda Riau di Pekanbaru, 17 Oktober 1954, sampai kongres mengirimkan

20
utusannya ke pemerintah pusat yakni Yahya Qahar, Atan bin Mat, Ali Asral Jamal, H.
Muhamad, dan Ahmad Yusuf.
Hal ini mulai mengeristal melalui sidang pleno DPRDS Bengkalis 25 Februari 1955
yang menyatakan perlunya Keresidenan Riau menjadi provinsi tersendiri. Hal ini disambut
baik oleh semua DPRDS Kabupaten se-Kresidenan Riau yakni Kepulauan Riau, Kampar, dan
Inderagiri. Mereka pula secara bersama-sama menyuarakan hal tersebut melalui Konferensi
DPRDS se Indonesia di Bandung, 10-14 Maret 1955.
Langkah parlemen semakin nyata melalui Konferensi DPRDS se-Keresidenan Riau di
Bengkalis, 7 Agustus 1955. Dari pertemuan ini pulalah yang menyebabkan delegasi DPRDS
se-Keresidenan Riau mendatangani Menteri Dalam Negeri Soenarjo menyampaikan hasrat
Riau sebagai provinsi tersendiri. Delegasi ini dipimpin oleh T. Makhmud Anzam, didampingi
T. Ibrahim, Mohd. Yacob, Ahmad Yusuf, dan M. Amin. Tiba di Jakarta, 1 September 1955,
selain bertemu Mendagri, mereka juga bertemu dengan sejumlah tokoh Riau di Jakarta. Selain
itu, mereka membentuk Badan Penghubung Persiapan Provinsi Riau yang diketuai oleh Wan
Ghalib dan A.Djalil Madjid sebagai sekretaris. Anggota badan penghubung ini adalah Moh.
Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, Hasan Ahmad, Umar Amin Husin, T. Arief, Dt, Bandaro
Sati, Nahar Efendi, dan Kamaruddin R.
Berbagai rapat dan pertemuan dilaksanakan setelah itu di Riau maupun di luar Riau,
baik oleh pelaku politik praktis sampai mahasiswa. Di antaranya yang paling fenomenal
adalah Kongres Rakyat Riau yang diprakarsai Panitia Persiapan Provinsi Riau di bawah
pimpinan Abdul Hamid Yahya (ketua), H. Muhamad Amin (wakil ketua), dan T.
Kamarulzaman (sekretaris). Kongres Rakyat Riau dilaksanakan di Pekannbaru, 31 Januari
sampai 2 Februari 1956, diikuti berbagai kalangan dari seluruh kabupaten Keresidenan Riau,
dengan satu-satunya keputusan yakni menuntut berdirinya Provinsi Riau.
Tentu saja, usaha menuju terwujudnya sebagaimana proses yang mendahuluinya, tidak
semudah telapak tangan. Tantangan misalnya muncul dari petinggi pemerintah Provinsi
Sumtera Tengah yang tidak ingin melepaskan Riau. Pada gilirannya, menyadari berbagai
hambatan misalnya, Panitia Persiapan Provinsi Riau (P3R), mempersilakan Badan
Penghubung di Jakarta mengambil tindakan-tindakan untuk memperlancar jalan bagi
berdirinya Provinsi Riau. Di sisi lain, perjuangan di parlemen pusat diperkuatkan seperti
melalui pandangan satu-satunya putra Riau di lembaga tinggi negara itu yakni Ma'rifat
Mardjani. Tak ketinggalan pula perjuangan melalui pers.

21
Akhirnya, melalui Undang-undang Darurat No.19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus tahun
1957 yang ditandatangani Presiden Soekarno di Bali, Provinsi Riau didirikan. Tetapi karena
berbagai pertimbangan keamanan dan pembangunan waktu itu, seiringan dengan
pembrontakan Perlawanan Revolusionir Rakyat Indonesia (PRRI) yang digerakkan dari
Padang, Tanjungpinang ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Riau. Gubernur pertama adalah
Mr S.M. Amin, dilantik tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang. Provinsi ini pertama
meliputi empat kabupaten yakni Kepulauan Riau, Kampar, Indragiri, dan Bengkalis, dengan
wilayah yang luas sampai sampai ke Laut Cina Selatan, memiliki sekitar 3.000 pulau. Ibu
kota Provinsi Riau, baru dipindahkan ke Pekanbaru pada tahun 1960. Provinsi Riau terus
berkembang. Kini Riau memiliki 12 kabupaten/ kota. Cuma sekarang, Riau awal sudah tidak
utuh lagi, menyusul dikembangkannya Kabupaten Kepulauan Riau menjadi provinsi
tersendiri tahun 2004. Adapun mereka yang menjadi Gubernur Riau adalah sebagai berikut: 1.
S.M. Amin (1958-1960), 2. Kaharudin Nasution (1960- 1966), 3. Arifin Achmad (1966-
1978), 4. R. Subrantas Siswanto (1978-1980), 5. Prapto Prayitno (1980), 6. Imam Munandar
(1988), 7. Baharudin Yusuf (1988), 8. Atar Sibero (1988), 9. Soeripto (1988-1998), 10. Saleh
Djasit (1998-2003), 11. Rusli Zainal (2003 2008), 12. Wan Abu Bakar (2008), 13. Rusli
Zainal (2008 2013), Anas Maamun (2014-2016), dan Arsyadjualiandi Rachman (2016-2018).
Diiringi dengan berbagai kekurangan, jelaslah Riau hari ini lebih maju dibandingkan
saat masih berstatus sebagai keresidenan dalam Provinsi Sumatera Tengah. Jumlah SMP di
Riau tahun 1950-an hanya empat unit, pada tahun 2013 sudah berjumlah 934 unit (Badan
Pusat Statistik Provinsi Riau, 2013: 102). Luas perkebunan kelapa 521.792 hektar, kebun
karet 500.851 hektar. Kebun sawit sekitar 2,3 juta hektar yang dikembangkan tahun 1980-an
atau setelah sekitar satu generasi berdirinya Provinsi Riau (ibid, 196), merupakan perkebunan
sawit terluas di Indonesia.
Ketika Gubernur Riau dijabat Saleh Djasit (1998-2003), semua komponen Riau
bersatu untuk menjadikan Riau sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan Melayu dalam
masyarakat yang agamis di Asia Tenggara tahun 2020, dituangkan dalam Peraturan daerah
(Perda) No.36 tahun 1999. Semangat ini pada hakikatnya mengaktualkan landasan awal
berdirinya Provinsi Riau, bahkan merupakan jawaban atas tantangan perkembangan
kesejagatan. Menurut pakar futuristik, manusia kini memang berusaha mencari jati dirinya
yang hanya bisa diperlihatkan oleh agama dan tradisi. Melayu sendiri mengidentikkan dirinya
sebagai Islam, terkenal melalui ungkapan adat. "adat bersendikan syarak, syarak bersendikan
kitabullah."

22
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Jejak Riau dapat ditelusuri sejak jaman purba, sekaligus memperlihatkan terjadinya
pergulatan hidup manusia untuk senantiasa memperbaiki hidupnya. Hal ini tentu saja berawal
dari kedatangan manusia ke kawasan apa yang sekarang disebut Riau. Dalam buku “Sejarah
Riau” (Muchtar Lutfi, dkk., 1977), banyak disingkap asal-usul kedatangan manusia di
kawasan ini. Mulai tahun 2500 SM sampai tahun 300 SM terjadi dua gelombang kedatangan
manusia yang disebut proto-Melayu dan deutro-Melayu.
Kerajaan-kerajaan Melayu Kuno yang pernah berdiri di Riau yaitu Kerajaan Kandis dan
Koto Alang, Kerajaan Katangka, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Sintong dan Siarang-arang,
Kerajaan Kuantan, Kerajaan Keritang, Kerajaan Gasib, Kerajaan Segati, dan Kerajaan
Pekantua. Keberadaan kerajaan-kerajaan ini dapat diketahui dari bekas peninggalannya
seperti candi, bangunan-bangunan peninggalan lain, dan catatan-catatan petunjuk lain.
Menurut buku "Sejarah Riau" (Muchtar Lutfi, Ed., dkk., 1977), Islam masuk ke tanah
Melayu Riau beriringan dengan adanya hubungan niaga Timur Tengah dengan kawasan ini
terutama Kampar pada abad ke-7. Meskipun demikian, Islam makin merasuk ke tanah Melayu
ini dengan berbagai kelebihannya sehingga menjadi dasar bagi pengembangan peradaban dan
kedaulatan melayu di Riau.
Masyarakat Riau juga turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada
peristiwa bendera di Mountbatten Hotel, Pekanbaru, di bawah komando Kolonel Hasan Basri,
18 November 1945, sekitar 1.000 orang pemuda mampu mengepung hotel tersebut,
bersenjatakan antara lain tombak dan bambu runcing. Semangat pemuda-pemuda ini
mengecutkan hati tentara Inggris. Riau juga masih terus berusaha melawan penjajah pada
agresi militer I & II dengan semangatnya yang membara demi kemerdekaan Indonesia.
Kemudian akhirnya setelah kemerdekaan Indonesia, melalui Undang-undang Darurat No.19
tahun 1957 tanggal 9 Agustus tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Soekarno di Bali,
Provinsi Riau didirikan.

23
3.2 SARAN
1. Masyarakat Riau diharapkan untuk memperdalam pemahaman tentang sejarah melayu
Riau agar kita sebagai masyarakat Riau lebih mengenali identitas budaya lokal.
2. Dengan memperdalam sejarah melayu Riau, pembaca diharapkan akan lebih menghargai
perjuangan-perjuangan masyarakat Riau terdahulu hingga sekarang terbentuklah Riau
yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang masyarakatnya makmur sejahtera.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Dewi, Norma. 1999. Selintas Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Peninggalannya.
Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Depdikbud Provinsi Riau
Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Riau.

Depdikbud. 1982. Sejarah Daerah Riau. Riau: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Riau.

Franz Rosental, The Muqaddimah: An Introduction to History, Pantheon Books, New York,
1958.

Hashim bin Musa, Siri Karya Agung; Bustaan al Kaatibiin Karangan Raja Ali Haji, Yayasan
Karyawan, Kuala Lumpur, 2005.

Hashim bin Musa, Siri Karya Agung; Kitab Pengetahuan Bahasa Karangan Raja Ali Haji,
Yayasan Karyawan, Kuala Lumpur, 2010.

Jan van der Putten, Al Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahataban; in Everlasting Friendship:
Letters from Raja Ali Haji to Von de Wall, Departement of Languages and Culture of
South-East Asia and Oceania, Univercity of Leiden, 1995.

OK Nizami Jamil, Bab al-Qawa'id; Transliterasi dan Analisis, Badan Pembangunan Daerah
(BPD) Kabupaten Siak, Siak Sri Indrapura, 2002.

Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, al-Rahiiqu al-Makhtuum; Bahtsun fi al-Sirah al


Nabawiyah 'ala Shahibiha Afdhal al- Shalati wa al-Salam, Daar el-Salam, Riyadh, 1414
H.

Hamidy, UU. 1991. Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI. Pekanbaru:
Zamrud UIR

iii
Yoesoef, Noerbahrij. 1992. Masyarakat Terasing dan Kebudayaannya di Propinsi Riau.
Pekanbaru: UP. Telaga Karya

2. Jurnal
Tambak, Syahraini, dan Desi Sukenti. 2017. Implementasi Budaya Melayu dalam kurikulum
Pendidikan Madrasah Ibtiyaidah di Riau. Jurnal MIQOT. 41(2): 361-383.

iv

Anda mungkin juga menyukai