Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Gotong royong merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia khususnya,
sebagaimana yang tertuang dalam pancasila yaitu sila ke- 3 Persatuan Indonesia.
Perilaku gotong royong yang telah dimiliki Bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Gotong
royong merupakan keperibadian bangsa dan merupakan budaya yang telah berakar kuat
dalam kehidupan masyarakat. Gotong royong tumbuh dari kita sendiri, prilaku dari
masyarakat.
Sikap gotong royong memiliki nilai-nilai luhur yang positif karena dapat
memeratakan kepentingan bersama juga kepentingan individu itu sendiri. Sikap gotongroyong merupakan suatu sikap positif dalam mentalitas bangsa Indonesia, sehingga bisa
dijadikan aspek penunjang dalam pembangunan. Kenyataan menunjukkan nilai budaya
ini sudah mulai pudar dan mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia
pada umumnya sudah mengalami banyak perubahan seiring dengan kemajuan zaman.
Namun seiring dengan waktu yang berjalan, perilaku kegotong royongan mulai
memudar akibat pengaruh dari budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Seperti budaya individualisme dan materialisme yang telah merambah daerah
perkotaan.
Oleh

karena

itu

untuk

mengetahui

seberapa

besar

pengaruh

budaya

individualisme pada masyarakat, maka melalui penelitian ini kami mencari fakta
pengaruh budaya individualisme dan materialisme ini.
1.2.

Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud dengan gotong royong ?
Bagaimanakah pengaruh globalisasi terhadap budaya gotong royong ?
Bagaimana peran Pancasila sebagai filter arus globalisasi

1.3.

Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan gotong royong
Unutuk mengetahui pengaruh globalisasi terhadap budaya gotong royong
1


1.4.

Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai filter arus globalisasi


Ruang Lingkup
Gotong royong merupakan budaya Indonesia , sehingga ruang lingkup gotong

royong mencakup seluruh rakyat Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Gotong Royong


Gotong royong berasal dari kata dalam Bahasa Jawa, atau setidaknya mempunyai
nuansa Bahasa Jawa. Kata gotong dapat dipadankan dengan kata pikul atau angkat.
Sebagai contoh, ada pohon yang besar roboh menghalangi jalan di suatu desa.
Masyarakat mengangkatnya bersama-sama untuk memindahkan kayu itu ke pinggir
jalan. Orang desa menyebutnya dengan nggotong atau menggotong. Demikian juga
ketika ada seorang anak jatuh ke selokan dekat gardu desa, dan kemudian seseorang
mengangkatnya untuk mengentaskan anak itu dari selokan.
Kata royong dapat dipadankan dengan bersama-sama. Dalam bahasa Jawa kata
saiyeg saeko proyo atau satu gerak satu kesatuan usaha memiliki makna yang amat dekat
untuk melukiskan kata royong ini. Ibarat burung kuntul berwarma putih terbang
bersama-sama, dengan kepak sayapnya yang seirama, menuju satu arah bersama-sama,
dan orang kemudian menyebutnya dengan holopis kuntul baris.
Jadi, gotong royong memiliki pengertian bahwa setiap individu dalam kondisi
seperti apapun harus ada kemauan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberi nilai
tambah atau positif kepada setiap obyek, permasalahan atau kebutuhan orang banyak
disekeliling hidupnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud
materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan atau skill, sumbangan
pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan secara bergotong royong antara lain
pembangunan fasilitas umum dan membersihkan lingkungan sekitar. Sikap gotong
royong itu seharusnya dimiliki oleh seluruh elemen atau lapisan masyarakat. Karena,
dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat melakukan setiap
kegiatan dengan cara bergotong royong. Dengan demikian segala sesuatu yang akan
dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan dan pastinya pembangunan di
daerah tersebut akan semakin lancar dan maju. Bukan itu saja, tetapi dengan adanya
kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong
royong maka hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat. Dibandingkan
dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri maka akan memperlambat
pembangunan di suatu daerah. Karena individualisme itu dapat menimbulkan
keserakahan dan kesenjangan diantara masyarakat di kota tersebut. Perubahan ekonomi
Indonesia di bawah rezim Soeharto memungkinkan masuknya modal asing dan

liberalisasi. Nilai-nilai budaya mulai dengan deras masuk dan menjadi bagian dari hidup
masyarakat Indonesia. Kehidupan perekonomian masyarakat berangsur-angsur berubah
dari ekonomi agraris ke industri. Indusri berkembang maju dan pada zaman sekarang
tatanan kehidupan lebih banyak didasarkan pada pertimbangan ekonomi, sehingga
bersifat materialistik. Maka nilai kegotong royongan pada masyarakat telah memudar.
2.2. Pengaruh Globalisasi Terhadap Budaya Gotong Royong
Dalam perjalanan bangsa terjadi perubahan dalam sikap budaya bangsa Indonesia.
Sikap budaya gotong royong yang semula menjadi sikap hidup bangsa telah mengalami
banyak gempuran yang terutama bersumber pada budaya Barat yang agresif dan
dinamis, mementingkan kebebasan individu. Dengan memanfaatkan keberhasilannya di
berbagai bidang kehidupan serta kekuatannya di bidang fisik dan militer, Barat berhasil
semakin mendominasi dunia dan umat manusia. Dampak globalisasi ini telah
mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan yang ada di masyarakat, salah satunya
adalah aspek budaya gotong royong Indonesia.
Masa sekarang ini, dampak globalisasi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat
Indonesia tentang hakikat budaya gotong royong. Masyarakat lebih suka membeli
barang-barang mewah yang sarat dengan pemborosan daripada menyisihkan hartanya
untuk membantu orang fakir dan miskin. Masyarakat menjadi cenderung individualis,
konsumeris, dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan senasib
sepenanggungan antar sesama manusia mulai hilang tergerus ganasnya badai globalisasi
yang mempunyai dampak negatif serta dampak positif tanpa di-filter terlebih dahulu oleh
kebanyakan masyarakat Indonesia.
Arus globalisasi dalam bidang sosial budaya begitu cepat merasuk ke dalam
masyarakat terutama kalangan muda. Pengaruh Globalisasi tersebut telah membuat
banyak anak muda seakan kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Dari
cara berpakaian misalnya, banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis
yang cenderung ke budaya barat, berpakaian minim dan bahan yang digunakan
memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak terlihat. Dari cara berperilaku,
remaja cenderung mencoba sesuatu yang baru yang tidak memperdulikan dampaknya
dan akibat yang di timbulkan. Sikap yang terlalu setia kawan yang terkadang kawan itu
sendiri bersalah, namun tetap mendukungnya dengan setia. Dan dapat dikatakan remaja

memiliki semangat gotong royong yang tinggi namun terkadang gotong royong untuk
membela yang salah dan tidak mau tahu kebenaran.
Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan memakai
pakaian yang sopan dan berperilaku gotong royong yang baik sesuai dengan kepribadian
bangsa.
Namun untungnya setelah salah satu warisan budaya bangsa bangsa Indonesia
yaitu Batik diakui oleh UNESCO sebagai budaya asli Indonesia dan ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Dunia, pemerintah di beberapa daerah mulai bergotong royong
membuat peraturan daerah yang bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya sendiri
khususnya

batik

dengan

memerintahkan

instansi-instansi

pemerintahan

untuk

mewajibkan pegawainya memakai baju batik pada hari Jumat. Dan hal ini pun ditiru
oleh perguruan tinggi dan instansi-instansi swasta lain di berbagai bidang. Dengan
memakai batik dan bangga memakai batik berarti kita telah melestarikan budaya kita
yang sarat dengan nilai seni, gotong royong, perjuangan dan menunjukkan jati diri kita
sebagai bangsa Indonesia kepada Dunia.
2.3. Pancasila sebagai Filter Globalisasi
Pancasila dan bangsa Indonesia terkenal dengan adat ketimurannya dan
mempunyai nilai-nilai budaya yang luhur. Namun, nilai-nilai tersebut kini perlahan
mulai luntur dengan hadirnya pemikiran barat tentang individualis, liberalis dan gaya
kapitalis. Hal ini sangat terasa di lingkungan perkotaan, dimana warganya mulai
meninggalkan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya diamalkan dan dijadikan sebagai
filter arus globalisasi yang didalamnya juga mengandung efek negatif yang mengikis
nilai-nilai Pancasila. Misalnya, masyarakat di kota besar cenderung hidup individualistis
dalam kehidupan sehari-harinya, kepekaan sosial yang hilang, penuh dengan ambisi
egoistis yang memprioritaskan kepentingan sendiri dan golongan tertentu. Yang kaya
semakin egois dan yang miskin semakin menderita. Berbeda dengan masyarakat desa
yang masih cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, sepeti misalnya terlihat
pada kebiasaan atau budaya Gotong Royong yang masih dapat kita jumpai di pedesaan
seperti kerja bakti lingkungan, membangun rumah warga, dsb.
Berdasarkan berbagai kenyataan ini, maka sebaiknya bangsa Indonesia kembali
kepada sikap hidup yang mengutamakan harmoni dan toleransi, yang mengajak manusia
saling menghargai dan hidup dalam harmoni dengan alam sekitarnya. Atas dasar itu
5

usaha kesejahteraan akan tertuju kepada kepentingan rakyat banyak, khususnya rakyat
yang masih dalam kemiskinan. Kepentingan daerah dan etnik akan dapat diperhatikan
tanpa mengabaikan dan mengorbankan kepentingan negara dan bangsa secara
keseluruhan.
Itu berarti sikap hidup gotong royong makin tumbuh kembali dalam masyarakat
Indonesia. Mungkin ada orang berpendapat, khususnya kalangan yang terobsesi dengan
kehebatan dunia Barat, bahwa keinginan demikian adalah kemustahilan dan hanya
merupakan nostalgia orang tua yang hidup dalam pikiran dan perasaan masa lampau
yang sudah jauh terlewati. Mereka mungkin berpikir bahwa orang tua tidak berhak
bicara lagi, karena telah menunjukkan masa lampau serba pengekangan kebebasan dan
kurang bukti kemajuan. Memang setiap generasi mempunyai hak menentukan apa yang
hendak diperbuat, tetapi kalau ada rasa tanggung jawab juga harus menerima kewajiban
untuk membawa bangsa kepada tujuan perjuangannya. Juga harus diakui kenyataan
bahwa masa lampau yang mungkin kurang kebebasan, terwujud kesejahteraan yang jauh
lebih merata sekalipun pada tingkat yang masih rendah. Dan ada perasaan bahwa bangsa
Indonesia, sekalipun belum maju dan sejahtera, mempunyai harga diri dan dihargai
banyak bangsa di dunia, sekalipun ada yang disertai rasa kebencian karena tidak dapat
menguasainya.
Gotong Royong merupakan salah satu bentuk pengamalan Pancasila, terutama
Sila Persatuan Indonesia. Dan kita seharusnya melestarikan budaya Gotong Royong
tersebut sebagai wujud pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Itulah fungsi
Pancasila sebagai filter arus globalisasi yang memiliki dampak positif dan negatif di
dalamnya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Gotong royong adalah unsur budaya yang membuat bangsa menjadi bangsa yang besar
dan kuat.
2. Jika Pancasila diperas maka yang diperoleh adalah nilai gotong royong
3. Dengan semangat gotong royong, mudah bagi bangsa untuk mengatasi suatu masalah
karena semua bekerja untuk menyelesaikannya bersama.
6

4. Globalisasi masuk ke dalam aspek budaya suatu masyarakat atau negara yang akan

berdampak pada perubahan budaya tersebut karena globalisasi adalah hal yang pasti
terjadi di semua aspek kehidupan.
5. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat menjadi filter

dalam menghadapi arus globalisasi.


3.2. Saran
1. Kita semua sebagai bangsa Indonesia harus dengan penuh kesadaran memahami
bahwa gotong royong dapat membawa kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan
bangsa.
2. Memilah atau menyeleksi dampak globalisasi adalah cara yang paling tepat dewasa
ini agar tidak terjerumus kepada pengaruh negatifnya sehingga budaya daerah dan
ideologi bangsa bisa dipertahankan.
3. Mempelajari dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Karena
Pancasila adalah pedoman utama bagi seluruh manusia Indonesia untuk menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejak dahulu menjadi cita-cita para pejuang
dan pahlawan bangsa.
4. Dengan semangat gotong royong, dapat memeratakan program pembangunan
nasional, dan tidak membuat jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin
karena semua manusia Indonesia bersatu untuk mencapai tujuan mulia bersama.
5. Sebab itu ada harapan kuat kepada setiap orang Indonesia, muda dan tua, untuk sadar
kembali bahwa tidak mungkin mahluk hidup meninggalkan asalnya jika ingin
ketenteraman dan kesejahteraan. Dan tidak benar bahwa dengan sikap hidup gotong
royong tidak mungkin dicapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk menciptakan kesejahteraan makin tinggi. Telah dibuktikan bangsa lain seperti
Jepang, bahwa tanpa individualisme dan liberalisme dapat dicapai kemajuan itu.

DAFTAR PUSTAKA

Indriyani, Titiek, dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Cilacap: MGMP

Prastowo, Tammi. 2007. Ilmu Pengetahuan Sosial. Klaten: Saka Mitra Kompetensi

Rukiyati, dkk. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: UNY Press

Kropotkin, Peter. 2006. Gotong Royong: Kunci Kesejahteraan Sosial. Depok: Piramedia

Anda mungkin juga menyukai