Anda di halaman 1dari 10

GOTONG ROYONG DI ERA GLOBALISASI

DISUSUN OLEH :
HENDRI ZALVAHMI
NPM : 1610631020403

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PRODI MANAJEMEN


TAHUN AJARAN 2016/2017
GOTONG ROYONG DI ERA GLOBALISASI

Abstrak
Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia. Selain mengusulkan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, Ir.Soekarno juga mengusulkan
‘Ekasila’ sebagai dasar negara yang berbunyi, ‘Gotong Royong’. Walau usulan
tersebut tidak ditetapkan sebagai dasar negara, namun Pancasila itu sendiri
masih memuat makna gotong royong di dalamnya Jika dilihat pada umumnya,
gotong royong hanya dimaknai dalam sila ketiga yang berbunyi Persatuan
Indonesia. Namun, jika kelima nilai sila Pancasila digali lebih dalam dan lebih
dipahami lagi, makna gotong-royong masih terdapat dalam kelima sila tersebut.
Kegiatan gotong royong merupakan salah satu nilai budaya dalam
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yang telah ada sejak zaman dahulu
kala.
Nenek moyang kita mewariskan budaya yang berharga bagi kelangsungan
hidup ibu pertiwi. Perkembangan zaman yang terus berkembang sangat cepat
mempengaruhi pula perkembangan sistem gotong royong dalam kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara, bahkan maknanya mulai terabaikan. Gotong
royong tidak hanya perlu dilestarikan guna mempertahankan nilai budaya
darinenek moyang, melainkan sangat perlu direvitalisasi dalam proses
pembangunan bangsa.
Kata Kunci: Gotong Royong, Pancasila
Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada apa yang disebut sebagai globalisasi dan
modernisasi. Sebagian orang menyambutnya dengan sangat antusias, namun
sebagiannya lagi menganggap biasa-biasa saja. Globalisasi dianggap sebagai
suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam
masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu sendiri.
Globalisasi mampu menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru
yang ada di masyarakat. Banyak orang berpendapat bahwa sebenarnya globalisasi
merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar tahun 1990-an, dan begitu populer
sebagai ideologi baru sekitar awal tahun 2000-an. Istilah globalisasi begitu mudah
diterima atau dikenal masyarakat, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di
masyarakat dunia.
Globalisasi bisa memberi berbagai kemudahan. Informasi dan teknologi
dengan sekejap mampu diperoleh, bahkan kejadian-kejadian yang muncul di
belahan dunia yang dulunya sangat lambat dan melalui proses yang sangat rumit,
baru kemudian menyebar informasinya dengan adanya teknologi canggih seperti,
televisi, handphone yang sekarang ini sangat populer sekali, dan berbagai alat
komunikasi lainnya yang begitu beragam saat ini.
Tidak semua globalisasi menguntungkan, karena pengaruh globalisasi itu
sendiri biasanya menciptakan terbentuknya manusia-manusia modern yang
mementingkan dan menciptakan terbentuknya superman dan persaingan yang
begitu ketat. Sifat-sifat individualistik terlihat pada manusia modern akan
menggeser kegotong-royongan. Sebagaimana dicontohkan dan digambarkan oleh
Prof Dr Ir Rahadi Ramlan, MSc, bahwa sebenarnya globalisasi itu, kalau tidak
hati-hati akan menggeser budaya tradisional gotong-royong dalam interaksi
sosial yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Sehingga pengaruhnya sangat besar di
era globalisasi saat ini.
Betapa tidak, dalam era modernisasi yang sedang marak terjadi, mulai
bermunculan adanya mal-mal dan supermarket di kota-kota, apalagi saat ini
sudah banyak munculnya situs jual beli online maka hubungan antara penjual dan
pembeli hampir tidak terjadi dan bahkan tidak saling mengenal. Ciri budaya
dalam transaksi jual-beli menimbulkan hubungan yang harmonis antara penjual
dan pembeli, karena terjadi apa yang disebut dengan transaksi tawar-menawar.
Tawar-menawar inilah yang membuat penjual dan pembeli saling kenal satu sama
lain, dan akhir terjadi hubungan persaudaraan yang saling menguntungkan dan
saling menghargai. Disini juga terjadi apa yang disebut oleh Stephen R Covey
sebagai trust atau kepercayaan.
Meskipun saat ini telah terjadi perubahan yang sangat dahsyat di kalangan
masyarakat, munculnya sifat-sifat individualistik karena pengaruh budaya barat,
maka perlu adanya antisipasi agar kerukunan hidup gotong-royong dan saling
menghargai sesama anak bangsa yang telah ditanamkan oleh nenek moyang
bangsa ini dan perlu dilestarikan.
Indonesia perlu berbenah, dan perlu meninjau kembali, apakah pengaruh
globasilasi ini menguntungkan rakyat secara keseluruhan atau hanya orang-orang
tertentu saja yang bisa menikmati dan mendapatkan keuntungan dari pengaruh
tersebut. Untuk mengantisipasi berbagai pengaruh globalisasi yang begitu
dahsyat tersebut, kita harus menghidupkan kembali partisipasi masyarakat secara
luas.
Partisipasi masyarakat adalah suatu bentuk aktivitas masyarakat yang timbul
sebagai konsekuensi logis dari adanya kesadaran akan tanggung jawabnya
terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri, dan di sisi lain,
partisipasi masyarakat adalah salah satu bentuk keberhasilan penggalangan
sumber daya yang menyangkut kepentingan pelaksanaan suatu program, atau
usaha tertentu, yang proses implementasinya berhubungan dengan kepentingan
masyarakat banyak.
Program pembangunan daerah harus sudah mencakup upaya peningkatan rasa
keadilan, pengembangan partisipasi masyarakat dan suatu sistem sosial politik
yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa dalam
negara kesatuan Republik Indonesia. Kendati partisipasi masyarakat diakui
sebagai bagian yang penting dalam proses penyelenggaraan kehidupan,
seringkali peran masyarakat ini tidak bisa dirumuskan dalam posisi dan arti yang
benar, sehingga dimana partisipasi masyarakat harus ditempatkan dan sampai
dimana harus dilakukan menjadi kabur dan kurang fokus.
Partisipasi masyarakat bisa tumbuh dengan baik apabila dikaitkan dengan
proses pemberdayaan keluarga melalui pos-pos pemberdayaan keluarga atau
posdaya. Prof Dr Haryono Suyono mengatakan, bahwa pemberdayaan
dimaksudkan untuk membangkitkan, meningkatkan atau mengembangkan
potensi daya yang ada dalam diri manusia atau masyarakat yang bersangkutan
agar mampu mengembangkan sesuatu secara mandiri atau swadaya. Dalam era
globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, posdaya diyakini sebagai solusi
dan ujung tombak dalam mendorong partisipasi keluarga dan masyarakat.
Sehingga, mampu meningkatkan kebersamaan, kepedulian dan menghidupkan
kembali budaya gotong-royong.
Pembahasan
Pancasila secara keseluruhan mengandung nilai gotong royong. Gotong
royong bagaikan roh bagi dasar negara Indonesia, Pancasila. Nilai tersebut telah
lahir sejak lama, bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Gotong royong
merupakan warisan leluhur tanah air dari generasi ke generasi.
1. Makna Gotong Royong
Gotong royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena
adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi maupun
kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setia
warga sebagai satu kesatuan. Kata ‘gotong royong’ berasal dari bahasa Jawa.
Gotong berarti memikul, sedangkan royong artinya bersama. Jadi gotong
royong mempunyai arti bekerja sama. Menurut M.Nasroen, gotong royong
merupakan dasar Filsafat Indonesia.
Gotong royong sebagai filsafat berarti dijadikan pedoman dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Gotong royong adalah nilai
budaya yang diwariskan para leluhur pada generasi penerus bangsa. Sebuah
bangsa harus memiliki jati diri, agar tetap kokoh sebagai bangsa yang memiliki
ciri khas tersendiri. Berkaitan dengan Pancasila, Presiden pertama Indonesia,
Bung Karno penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan bahwa
Pancasila manakala diperas tuntas bisa berwujud Ekasila, yakni Gotong
Royong. Menurut Ir.Soekarno gotong royong adalah ide asli Indonesia. Jika
suatu bangsa telah kehilangan pegangan hidupnya, maka bangsa itu tidak pula
dapat mempertahankan diri terhadap desakan-desakan dan serangan-serangan
dari luar. Pedoman hidup ini disebut kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat,
nilai budaya merupakan suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam
alam pemikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang
harus dianggap penting dan berharga dalam hidup.
Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong kelakuan manusia
dalam hidup. Dalam kehidupan sehari-hari nilai ini terwujud dalam bentuk adat-
istiadat, norma-norma, aturan sopan santun, dan sebagainya. Berdasarkan
kedudukannya, nilai budaya ini akan mempengaruhi sikap seseorang dalam
melakukan tindakan atau perbuatannya dan semua kelakuan manusia, baik
secara langsung maupun melalui pola-pola cara berpikir. Menurut Bintarto
mengenai hubungan antara gotong royong sebagai nilai budaya, bahwa nilai itu
dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, yaitu:

a. Manusia itu tidak sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh


komunitinya, masyarakatnya dan alam sekitarnya. Di dalam sistem
makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil
saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha
besar itu.
b. Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek
kehidupannya kepada sesamanya.
c. Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa.
d. Dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat
sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama
tinggi sama rendah. Gotong-royong adalah bentuk kerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu dengan prinsip timbal balik (resiprositas) yang
menimbulkan adanya kegiatan sosial dalam masyarakat. Gotong-royong ini
dalam pelaksanaannya dapat berbentuk gotong-royong spontan, gotong-
royong yang dilandasi pamrih atau gotong-royong karena memenuhi
kewajiban sosial untuk salah satu kegiatan masyarakat. Bentuk kerja sama
ini dapat beraneka raga sesuai bidang dan kegiatan sosial itu sendiri.
Kegiatan gotong royong merupakan manifestasi solidaritas yang
berdasarkan pada prinsip moralitas. Kegiatan itu menunjukkan adanya
kesadaran manusia bahwa pada hakekatnya dalam hidupnya selalu
bergantung pada sesamanya.

2. Pudarnya Budaya Gotong Royong


Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan
Indonesia seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada
penduduk di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong
royong menjadi ‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya
masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan
untuk urusan kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan.
Sehingga gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah
perkampungan saja, sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkannya.
Salah satu sebabnya adalah adanya miskonsepsi (salah pemahaman) dari sebuah
istilah populer “modernisasi”.
Istilah modernisasi seharusnya membantu tercapainya tujuan bersama, bukan
untuk melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego sesaat
mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual dan
gengsi (baca: posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah
terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan
membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis
mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan. Manusia yang belajar
dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat
secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang kemudian akan
mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar Kayam di
majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987: Bahwa sejak manusia bergabung dalam
suatu masyarakat, sehingga keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak,
ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih
menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada
waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap
yang lain.
Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya manusia adalah mahluk yang
mendambakan keselarasan berujung perdamaian, bukan kekerasan berujung
perpecahan seperti yang sering terjadi. Berdasarkan pengalamannya, akhirnya
manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya diperlukan
upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang dibatasi oleh koridor
tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan tempatnya menetap. Namun
pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang menyerukan pesan cinta damai,
tapi yang terjadi justru “perang” semakin ramai. Mengapa terjadi hal yang
demikian? Bukankah setiap agama di dunia mengajarkan perdamaian? Tapi
kenapa pertikaian atau konflik berujung tindak kekerasan begitu mudah ditemui,
bahkan semakin ironis ketika agama justru menjadi salah satu pemicunya. Seperti
apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku, Madura, dan Aceh pada level nasional,
dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir dan Suriah pada level internasional.
Sekali lagi, kenyataan membuktikan bahwa telah terjadi kebekuan spiritual yang
menyebabkan hubungan kasih antara sesama manusia menjadi dingin.
Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan, maka budaya
kekerasan akan senantiasa mewarnai kehidupan manusia dari generasi ke
generasi. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang
menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan
cara memaksa. Sehingga perpecahan berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang
katanya “makhluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi? Bukankah
Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-
suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang
dikemukakan para pakar untuk menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar
antropologi, Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang
menjadi faktor pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan
suatu kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau
“fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai
istilah “mahkluk sosial”. Terbentuknya pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era
digital atau teknologi informasi saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan
untuk turut membidani lahirnya pola pikir tersebut.

3. Bentuk-bentuk Kegiatan Gotong Royong


Gotong royong terimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan.
Sejak zaman dahulu kala gotong royong senantiasa mencampuri kegiatan
keagamaan, kemanusiaan, persatuan, kemusyaratan, dan sosial, sehingga
terciptalah masyarakat yang solid dan loyal. Sistem gotong royong ini sudah
melembaga dalam masyarakat di Indonesia sejak jaman kejayaaan kerajaan
Hindu di Jawa seperti kerajaan Mataram Kuno dan juga Kerajaan Majapahit.
Sistem kerja yang disebut gotong royong lebih melembaga di dalam
masyaraat pedesaan di Jawa dan di Indonesia pada umumnya. Akan tetapi
masuknya pengaruh dari luar yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing
melalui akulturasi, sistem gotong royong yang sudah lama melembaga itu
sedikit banyak telah meninggalkan unsur-unsur keasliannya, bahkan di
beberapa tempat di Indonesia, seperti di daerah perkotaan pengertian yang
terkandung dalam gotong-royong itu mulai ditinggalkan orang. Disini orang
tidak lagi menghayati arti dan makna gotong royong yang sebenarnya.
Kegiatan gotong royong tolong menolong yang biasanya disebut dengan
istilah sambatan atau sambat-sinambat. Sambat berarti mengeluh.
Hubungannya dengan gotong royong mempunyai pengertian kiasnya yaitu
tolong. Hal itu merupakan suatu sistem penambahan tenaga kerja sebagai
bantuan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu keluarga
misalnya kegiatan dalam bidang pertanian, membuat rumah, dalam
kesusahan, perkawinan, dan lain sebagainya. Kegiatan gotong-royong di atas
mencerminkan Pancasila sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta
sila kedua yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kegiatan
tersebut berarti mengamalkan nilai saling tolong-menolong antar sesama manusia
dan itu bagian dari ibadah. Kegiatan gotong royong kerja bakti dalam bidang
kemasyarakatan ini merupakan kegiatan sosial yang menggunakan
pengerahan tenaga kerja rakyat; yang di dalamnya bentuknya disebut gugur
gunung atau kerig desa.
Dalam kegiatan kerja bakti seringkali diadakan pula musyawarah, jika
ada masalah yang dihadapi dalam suatu pembangunan proyek. Hal itu
mencerminkan penerapan sila ketiga dan keempat. Kerja bakti membutuhkan
kerja sama yang mempersatukan setiap warga yang karakternya pasti berbeda,
namun mereka memiliki tujuan yang sama yang mempersatukannya hingga
membentuk satu kesatuan yang fungsional. Hal ini sesuai dengan nilai sila
ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ketika ada masalah yang dihadapi,
musyawarah dijadikan sebagai jalan untuk memecahkannya sesuai dengan
nilai sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Gotong royong adalah bentuk integrasi
yang banyak dipengaruhi rasa kebersamaan. Untuk menciptakan masyarakat
yang adil sesuai dengan sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, nilai gotong royong pun masih berlaku. Keadilan harus ditegakkan
secara bersama-sama ,tidak bisa hanya seorang yang menegakannya tanpa
kesepakatan orang-orang lainnya, karena gotong royong adalah nilai budaya yang
artinya harus disepakati bersama.
Selain menjadi nilai yang mendasari kehidupan bermasyarakat, gotong
royong pun menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara. Dalam
prakteknya di lingkungan pemerintahan, gotong royong pun sangat
dibutuhkan. Sebagai contoh Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri
membentuk Kabinet Gotong Royong. Menurut Supomo, pimpinan masyarakat
harus mengusahakan untuk menjaga jiwa gotong royong agar tidak lenyap,
bahkan semangat kolektif di dalam masyarakat tradisional hendaknya dijadikan
semangat koperatif yang sadar akan persatuan nusa dan bangsa.
4. Realitas Nilai Budaya Masyarakat Masa Kini
Era globalisasi ialah sebuah era dimana tak ada lagi batas-batas negara
maupun budaya di dunia, sehingga nilai budaya dapat saling memasuki ruang
sebuah bangsa, bahkan mempengaruhinya hingga kehilangan jati diri.
Indonesia adalah sebuah bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur, salah
satu nilai luhur yang terwariskan adalah nilai gotong royong. Namun, dalam
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari saat ini, nilai tersebut mulai
diselingkuhi oleh pemegang warisan itu sendiri dengan nilai budaya baru
yang datang dari luar sebagai dampak era globalisasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi nilai
budaya dan gaya hidup masyarakat. Teknologi modern merupakan suatu
faktor yang bebas nilai. Artinya, dapat digunakan untuk apa saja. Teknologi
dapat digunakan untuk kebaikan ataukah keperluan yang merugikan
masyarakat sangat tergantung pada siapa yang menggunakannya atau bagaimana
karakter yang dimiliki si penggunanya. Adanya proses berkembangnya pengaruh
nilai uang dan komersialisasi akan disertai pula oleh timbulnya individualisme.
Peningkatan peranan moralitas dapat mengurangi perluasan pengaruh
individualisme dan komersialisme. Moralitas tampak sebagai sikap dan tingkah
laku, serta tindakan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya dan semua
aspek kehidupan yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Sikap dan tindakan
tersebut tampak dalam sistem gotong royong. Namun, apabila nilai
komersialisme dan individualisme lebih kuat dari kekuatan moral yang
dimiliki masyarakat, maka nilai budaya baru tersebut lebih mendominasi tata
kehidupan masyarakat.
Adanya variasi-variasi yang disebabkan oleh perkembangan sistem
gotong royong mempengaruhi pula bentuk pelaksanaannya di masa kini dan
mendatang. Misalnya, sejak dikenalnya nilai uang dan komersialisme, dalam
kegiatan sambatan diimbangi dengan sistem upah, tidak lagi dilakukan
secara bulat dan penuh. Pada kegiatan kerja bakti, misalnya dalam
membangun jembatan diserahkan kepada sekelompok orang tertentu, lalu
diberi sumbangan atau upah berupa uang. Kegiatan tersebut tidak lagi
dibangun oleh para warga yang sukarela bekerja sama tanpa pamrih.
Nilai gotong royong akan memudar, apabila rasa kebersamaan menurun
dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan dinilai
dengan materi atau uang.
Nilai kebersamaan yang seharusnya dijunjung tinggi mulai tidak ada artinya
lagi. Berlakunya sistem upah atau kompensasi sebagai imbalan jasa para pelaku
gotong royong mengurangi berlakunya sistem sambatan maupun kerja bakti
dalam bentuk aslinya. Hal ini pun melahirkan nilai budaya baru, yaitu sikap
materialistis. Akhirnya gaya hidup masyarakat pun mulai bergeser menjauhi
kepribadian bangsa.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa gotong royong adalah nilai
budaya yang berharga bagi kelangsungan hidup yang diwariskan nenek moyang
kita. Sehingga kita perlu menerapkan dan menjaganya agar budaya gotong
royong ini tidak hilang atau jangan sampai ada, yang tidak menerapkannya
budaya gotong royong, di era sekarang yang serba modern ini. Maka dari itu jika
kita mampu melestarikan kegiatan gotong royong yang didasarkan pada nilai-
nilai Pancasila, maka dapat dipastikan bangsa ini akan kokoh dan sejahtera sesuai
dengan tujuan apa yang ingin dicita-citakan oleh segenap rakyat bangsa
Indonesia.

Daftar Pustaka
http://www.kompasiana.com/swara-mahardhika/memahami-makna-gotong-
royong_54f8470fa333112a608b51c7
http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/41518-gotong-royong-di-era-
globalisasi.html
Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rukiyati, dkk. (2013). Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Yogyakarta :
UNY Press.
Gurniwan Kamil. Gotong Royong dalam Kehidupan Masyarakat.
(http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/gotongroyong.pdf).
Sandro Marganda. (2013). Pancasila Landasan Pembangunan Nasional.
(http://hankam.kompasiana.com/2013/04/15/pancasila-landasan-pembanguna
n-nasional-546291.html).
Soedjito. (1986). Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta
: Tiara Wacana Yogya.
Tusti. (2013). Pendidikan Populis Berbasis Budaya.
(http://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-zamroni-phd.html).

Anda mungkin juga menyukai