Anda di halaman 1dari 12

Memudarnya budaya gotong royong di era globalisasi

Rini Handayani1

Abstract

Pancasila is the identity of the Indonesian nation. Apart from


proposing Pancasila as the basis of the Indonesian state, Ir. Soekarno
also proposed 'Ekasila' as the basis of the state which reads, 'Gotong
Royong'. Even though this proposal was not determined as the basis
of the state, it was Pancasila itself still contains the meaning of
gotong royong in it. When viewed in general, mutual cooperation is
only interpreted in the third precept which reads Unity of Indonesia.
However, if the five values of the Pancasila precepts are explored
deeper and better understood, the meaning of gotong royong is still
contained in these five precepts. Gotong royong activities are one of
the cultural values in the life of the Indonesian people that have
existed since time immemorial. Our ancestors passed on precious
culture for the survival of mother earth. The development of the era
that continues to develop very quickly also affects the development
of the mutual cooperation system in life society and state, even its
meaning is starting to be neglected. Gotong royong not only needs
to be preserved in order to maintain the cultural values of the
ancestors, but also needs to be revitalized in the nation-building
process.

Keywords: Gotong Royong, Pancasila

1
Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah
A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada apa yang disebut sebagai globalisasi
dan modernisasi. Sebagian orang menyambutnya dengan sangat antusias, namun
sebagiannya lagi menganggap biasa-biasa saja. Globalisasi mampu menciptakan
berbagai tantangan dan permasalahan baru yang ada di masyarakat. Istilah
globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat, bukan hanya di
Indonesia tetapi juga di masyarakat dunia.

Globalisasi bisa memberi berbagai kemudahan. Informasi dan teknologi


dengan sekejap mampu diperoleh. Namun, tidak semua globalisasi
menguntungkan, karena pengaruh globalisasi itu sendiri biasanya menciptakan
terbentuknya manusia-manusia modern yang mementingkan dan menciptakan
terbentuknya persaingan yang begitu ketat. Sifat-sifat individualistik terlihat pada
manusia modern akan menggeser kegotong-royongan. Sebagaimana dicontohkan
dan digambarkan oleh Prof Dr Ir Rahadi Ramlan, bahwa sebenarnya globalisasi itu,
kalau tidak hati-hati akan menggeser budaya tradisional gotong-royong dalam
interaksi sosial yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Sehingga pengaruhnya sangat
besar di era globalisasi saat ini.

Betapa tidak, dalam era modernisasi yang sedang marak terjadi, mulai
bermunculan adanya mall dan supermarket di kota-kota, apalagi saat ini sudah
banyak munculnya situs jual beli online maka hubungan antara penjual dan pembeli
hampir tidak terjadi dan bahkan tidak saling mengenal. Ciri budaya dalam transaksi
jual-beli menimbulkan hubungan yang harmonis antara penjual dan pembeli,
karena terjadi apa yang disebut dengan transaksi tawar-menawar. Tawar-menawar
inilah yang membuat penjual dan pembeli saling kenal satu sama lain, dan akhirnya
terjadi hubungan persaudaraan yang saling menguntungkan dan saling menghargai.
Meskipun saat ini telah terjadi perubahan yang sangat dahsyat di kalangan
masyarakat, munculnya sifat-sifat individualistik karena pengaruh budaya barat,
maka perlu adanya antisipasi agar kerukunan hidup gotong-royong dan saling
menghargai sesama anak bangsa yang telah ditanamkan oleh nenek moyang bangsa
ini dan perlu dilestarikan. Indonesia perlu berbenah, dan perlu meninjau kembali,
apakah pengaruh globasilasi ini menguntungkan rakyat secara keseluruhan atau
hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati dan mendapatkan keuntungan
dari pengaruh tersebut. Untuk mengantisipasi berbagai pengaruh globalisasi yang
begitu dahsyat tersebut, kita harus menghidupkan kembali partisipasi masyarakat
secara luas.

Partisipasi masyarakat bisa tumbuh dengan baik apabila dikaitkan dengan


proses pemberdayaan keluarga melalui pos-pos pemberdayaan keluarga atau
posdaya. Prof Dr Haryono Suyono mengatakan, bahwa pemberdayaan
dimaksudkan untuk membangkitkan, meningkatkan atau mengembangkan potensi
daya yang ada dalam diri manusia atau masyarakat yang bersangkutan agar mampu
mengembangkan sesuatu secara mandiri atau swadaya. Dalam era globalisasi dan
modernisasi seperti sekarang ini, posdaya diyakini sebagai solusi dan ujung tombak
dalam mendorong partisipasi keluarga dan masyarakat. Sehingga, mampu
meningkatkan kebersamaan, kepedulian dan menghidupkan kembali budaya
gotong-royong.

B. Metode

Dalam penelitian ini menggunakan analisis atau metode kualitatif yaitu


kajian yang teori atau pembahasannya berasal dari banyak sumber seperti ,buku,
Majalah, Artikel dan banyak lagi. Jadi, dari adanya definisi definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa sumber teori diambil dari hasil studi literatur yang terdapat pada
beberapa sumber..

C. Pembahasan

Pancasila secara keseluruhan mengandung nilai gotong royong. Gotong


royong bagaikan roh bagi dasar negara Indonesia, Pancasila. Nilai tersebut telah
lahir sejak lama, bahkan sebelum bangsa Indonesia merdeka. Gotong royong
merupakan warisan leluhur tanah air dari generasi ke generasi.

1. Makna Gotong Royong

Gotong royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya


bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok,
sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setia warga sebagai satu kesatuan.
Kata ‘gotong royong’ berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti memikul, sedangkan
royong artinya bersama. Jadi gotong royong mempunyai arti bekerja sama. Menurut
M.Nasroen, gotong royong merupakan dasar Filsafat Indonesia. Gotong royong
sebagai filsafat berarti dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara. Gotong royong adalah nilai budaya yang
diwariskan para leluhur pada generasi penerus bangsa. Sebuah bangsa harus
memiliki jati diri, agar tetap kokoh sebagai bangsa yang memiliki ciri khas
tersendiri. Berkaitan dengan Pancasila, Presiden pertama Indonesia, Bung Karno
penggali Pancasila suatu ketika pernah menyatakan bahwa Pancasila manakala
diperas tuntas bisa berwujud Ekasila, yakni Gotong Royong. Menurut Ir.Soekarno
gotong royong adalah ide asli Indonesia. Jika suatu bangsa telah kehilangan
pegangan hidupnya, maka bangsa itu tidak pula dapat mempertahankan diri
terhadap desakan-desakan dan serangan- serangan dari luar. Pedoman hidup ini
disebut kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya merupakan suatu
rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pemikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan
berharga dalam hidup.

Nilai budaya berfungsi sebagai pedoman dan pendorong kelakuan manusia


dalam hidup. Dalam kehidupan sehari-hari nilai ini terwujud dalam bentuk adat-
istiadat, norma-norma, aturan sopan santun, dan sebagainya. Berdasarkan
kedudukannya, nilai budaya ini akan mempengaruhi sikap seseorang dalam
melakukan tindakan atau perbuatannya dan semua kelakuan manusia, baik secara
langsung maupun melalui pola-pola cara berpikir. Menurut Bintarto mengenai
hubungan antara gotong royong sebagai nilai budaya, bahwa nilai itu dalam sistem
budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, yaitu:

a. Manusia itu tidak sendiri di dunia ini, tetapi dilingkungi oleh komunitinya,
masyarakatnya dan alam sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut
ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh
proses peredaran alam semesta yang maha besar itu.
b. Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek
kehidupannya kepada sesamanya.
c. Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata samarasa.
d. Dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama
dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama
rendah.

Gotong-royong adalah bentuk kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu


dengan prinsip timbal balik (resiprositas) yang menimbulkan adanya kegiatan sosial
dalam masyarakat. Gotong-royong ini dalam pelaksanaannya dapat berbentuk
gotong-royong spontan, gotong-royong yang dilandasi pamrih atau gotong-royong
karena memenuhi kewajiban sosial untuk salah satu kegiatan masyarakat. Bentuk
kerja sama ini dapat beraneka raga sesuai bidang dan kegiatan sosial itu sendiri.
Kegiatan gotong royong merupakan manifestasi solidaritas yang berdasarkan pada
prinsip moralitas. Kegiatan itu menunjukkan adanya kesadaran manusia bahwa
pada hakekatnya dalam hidupnya selalu bergantung pada sesamanya.

2. Pudarnya Budaya Gotong Royong

Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan


Indonesia seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk
di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong
menjadi ‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota.
Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan
kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Sehingga
gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan saja,
sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkannya. Salah satu sebabnya
adalah adanya miskonsepsi (salah pemahaman) dari sebuah istilah populer
“modernisasi”. Istilah modernisasi seharusnya membantu tercapainya tujuan
bersama, bukan untuk melahirkan para individualis yang hanya selalu
mengedepankan ego sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar
kepuasan materi, seksual dan gengsi, pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah
terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan
membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis mengejar
tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.

Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan


bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu
kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip
pendapat Umar Kayam di majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987: Bahwa sejak
manusia bergabung dalam suatu masyarakat, sehingga keselarasan menjadi suatu
kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup
bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup
soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan
bersikap toleran terhadap yang lain. Hal tersebut menjelaskan bahwa sejatinya
manusia adalah mahluk yang mendambakan keselarasan berujung perdamaian,
bukan kekerasan berujung perpecahan seperti yang sering terjadi. Berdasarkan
pengalamannya, akhirnya manusia memahami bahwa untuk menjaga kelangsungan
hidupnya diperlukan upaya bekerja bersama orang lain, atau upaya interaksi yang
dibatasi oleh koridor tatanan yang berlaku pada masyarakat di lingkungan
tempatnya menetap. Namun pada kenyataannya, sudah begitu banyak yang
menyerukan pesan cinta damai, tapi yang terjadi justru “perang” semakin ramai.

Mengapa terjadi hal yang demikian? Bukankah setiap agama di dunia


mengajarkan perdamaian? Tapi kenapa pertikaian atau konflik berujung tindak
kekerasan begitu mudah ditemui, bahkan semakin ironis ketika agama justru
menjadi salah satu pemicunya. Seperti apa yang pernah terjadi di Poso, Maluku,
Madura, dan Aceh pada level nasional, dan di Palestina, Afghanistan, Irak, Mesir
dan Suriah pada level internasional. Sekali lagi, kenyataan membuktikan bahwa
telah terjadi kebekuan spiritual yang menyebabkan hubungan kasih antara sesama
manusia menjadi dingin. Apabila kebekuan spiritual tersebut tidak segera dicairkan,
maka budaya kekerasan akan senantiasa mewarnai kehidupan manusia dari generasi
ke generasi. Hal itu akan terus terjadi selama masih ada sekumpulan manusia yang
menyampaikan kebenaran versi golongannya masing-masing, terlebih dengan cara
memaksa. Sehingga perpecahan berujung konflik pasti akan terus terjadi.
Jika hal yang demikian terus terjadi, lantas kemanakah fitrah manusia yang
katanya “makhluk sosial” dan menjunjung tinggi nilai -nilai toleransi? Bukankah
Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda, berbangsa-bangsa, bersuku-
suku untuk saling mengenal? Perihal ini, ada beberapa pendapat yang dikemukakan
para pakar untuk menjawab persoalan ini, diantaranya adalah pakar antropologi,
Koentjaraningrat. Beliau menjelaskan bahwa seringkali yang menjadi faktor
pemicu konflik adalah adanya unsur pemaksaan paham/keyakinan suatu kelompok
masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat lainnya.

Biasanya, unsur pemaksaan ini terjadi karena adanya pola pikir sempit atau
“fanatisme buta” para penganutnya yang menjadikan mereka lupa memaknai istilah
“mahkluk sosial”. Terbentuknya pola pikir tersebut bukan tanpa sebab. Era digital
atau teknologi informasi saat ini adalah salah satu yang saat ini relevan untuk turut
membidani lahirnya pola pikir tersebut.

3. Bentuk-bentuk Kegiatan Gotong Royong

Gotong royong terimplementasikan dalam berbagai bentuk kegiatan. Sejak


zaman dahulu kala gotong royong senantiasa mencampuri kegiatan keagamaan,
kemanusiaan, persatuan, kemusyaratan, dan sosial, sehingga terciptalah masyarakat
yang solid dan loyal. Sistem gotong royong ini sudah melembaga dalam masyarakat
di Indonesia sejak jaman kejayaaan kerajaan Hindu di Jawa seperti kerajaan
Mataram Kuno dan juga Kerajaan Majapahit. Sistem kerja yang disebut gotong
royong lebih melembaga di dalam masyaraat pedesaan di Jawa dan di Indonesia
pada umumnya. Akan tetapi masuknya pengaruh dari luar yang membawa unsur-
unsur kebudayaan asing melalui akulturasi, sistem gotong royong yang sudah lama
melembaga itu sedikit banyak telah meninggalkan unsur-unsur keasliannya, bahkan
di beberapa tempat di Indonesia, seperti di daerah perkotaan pengertian yang
terkandung dalam gotong-royong itu mulai ditinggalkan orang. Disini orang tidak
lagi menghayati arti dan makna gotong royong yang sebenarnya. Kegiatan gotong
royong tolong menolong yang biasanya disebut dengan istilah sambatan atau
sambat-sinambat. Sambat berarti mengeluh. Hubungannya dengan gotong royong
mempunyai pengertian kiasnya yaitu tolong.
Hal itu merupakan suatu sistem penambahan tenaga kerja sebagai bantuan
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu keluarga misalnya kegiatan
dalam bidang pertanian, membuat rumah, dalam kesusahan, perkawinan, dan lain
sebagainya. Kegiatan gotong-royong di atas mencerminkan Pancasila sila pertama,
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta sila kedua yang berbunyi, “Kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Kegiatan tersebut berarti mengamalkan nilai saling tolong-
menolong antar sesama manusia dan itu bagian dari ibadah. Kegiatan gotong
royong kerja bakti dalam bidang kemasyarakatan ini merupakan kegiatan sosial
yang menggunakan pengerahan tenaga kerja rakyat; yang di dalamnya bentuknya
disebut gugur gunung atau kering desa. Dalam kegiatan kerja bakti seringkali
diadakan pula musyawarah, jika ada masalah yang dihadapi dalam suatu
pembangunan proyek. Hal itu mencerminkan penerapan sila ketiga dan keempat.

Kerja bakti membutuhkan kerja sama yang mempersatukan setiap warga


yang karakternya pasti berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang sama yang
mempersatukannya hingga membentuk satu kesatuan yang fungsional. Hal ini
sesuai dengan nilai sila ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ketika ada masalah
yang dihadapi, musyawarah dijadikan sebagai jalan untuk memecahkannya sesuai
dengan nilai sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan”. Gotong royong adalah bentuk integrasi yang
banyak dipengaruhi rasa kebersamaan. Untuk menciptakan masyarakat yang adil
sesuai dengan sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, nilai
gotong royongpun masih berlaku. Keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama
,tidak bisa hanya seorang yang menegakannya tanpa kesepakatan orang-orang
lainnya, karena gotong royong adalah nilai budaya yang artinya harus disepakati
bersama.

Selain menjadi nilai yang mendasari kehidupan bermasyarakat, gotong


royong pun menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara. Dalam prakteknya di
lingkungan pemerintahan, gotong royong pun sangat dibutuhkan. Sebagai contoh
Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri membentuk Kabinet Gotong Royong.
Menurut Supomo, pimpinan masyarakat harus mengusahakan untuk menjaga jiwa
gotong royong agar tidak lenyap, bahkan semangat kolektif di dalam masyarakat
tradisional hendaknya dijadikan semangat koperatif yang sadar akan persatuan nusa
dan bangsa.

4. Realitas Nilai Budaya Masyarakat Masa Kini

Era globalisasi ialah sebuah era dimana tak ada lagi batas-batas negara
maupun budaya di dunia, sehingga nilai budaya dapat saling memasuki ruang
sebuah bangsa, bahkan mempengaruhinya hingga kehilangan jati diri. Indonesia
adalah sebuah bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur, salah satu nilai luhur
yang terwariskan adalah nilai gotong royong. Namun, dalam implementasinya
dalam kehidupan sehari-hari saat ini, nilai tersebut mulai diselingkuhi oleh
pemegang warisan itu sendiri dengan nilai budaya baru yang datang dari luar
sebagai dampak era globalisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mempengaruhi nilai budaya dan gaya hidup masyarakat. Teknologi modern
merupakan suatu faktor yang bebas nilai. Artinya, dapat digunakan untuk apa saja.
Teknologi dapat digunakan untuk kebaikan ataukah keperluan yang merugikan
masyarakat sangat tergantung pada siapa yang menggunakannya atau bagaimana
karakter yang dimiliki si penggunanya. Adanya proses berkembangnya pengaruh
nilai uang dan komersialisasi akan disertai pula oleh timbulnya individualisme.

Peningkatan peranan moralitas dapat mengurangi perluasan pengaruh


individualisme dan komersialisme. Moralitas tampak sebagai sikap dan tingkah
laku, serta tindakan manusia untuk berhubungan dengan sesamanya dan semua
aspek kehidupan yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Sikap dan tindakan
tersebut tampak dalam sistem gotong royong. Namun, apabila nilai komersialisme
dan individualisme lebih kuat dari kekuatan moral yang dimiliki masyarakat, maka
nilai budaya baru tersebut lebih mendominasi tata kehidupan masyarakat. Adanya
variasi-variasi yang disebabkan oleh perkembangan sistem gotong royong
mempengaruhi pula bentuk pelaksanaannya di masa kini dan mendatang. Misalnya,
sejak dikenalnya nilai uang dan komersialisme, dalam kegiatan sambatan diimbangi
dengan sistem upah, tidak lagi dilakukan secara bulat dan penuh. Pada kegiatan
kerja bakti, misalnya dalam membangun jembatan diserahkan kepada sekelompok
orang tertentu, lalu diberi sumbangan atau upah berupa uang. Kegiatan tersebut
tidak lagi dibangun oleh para warga yang sukarela bekerja sama tanpa pamrih. Nilai
gotong royong akan memudar, apabila rasa kebersamaan menurun dan setiap
pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan dinilai dengan materi atau
uang.

Nilai kebersamaan yang seharusnya dijunjung tinggi mulai tidak ada artinya
lagi. Berlakunya sistem upah atau kompensasi sebagai imbalan jasa para pelaku
gotong royong mengurangi berlakunya sistem sambatan maupun kerja bakti dalam
bentuk aslinya. Hal ini pun melahirkan nilai budaya baru, yaitu sikap materialistis.
Akhirnya gaya hidup masyarakat pun mulai bergeser menjauhi kepribadian bangsa.
D. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa gotong royong adalah


nilai budaya yang berharga bagi kelangsungan hidup yang diwariskan nenek
moyang kita. Sehingga kita perlu menerapkan dan menjaganya agar budaya gotong
royong ini tidak hilang atau jangan sampai ada, yang tidak menerapkannya budaya
gotong royong, di era sekarang yang serba modern ini. Maka dari itu jika kita
mampu melestarikan kegiatan gotong royong yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila, maka dapat dipastikan bangsa ini akan kokoh dan sejahtera sesuai
dengan tujuan apa yang ingin dicita-citakan oleh segenap rakyat bangsa Indonesia.

E. Saran

Demikianlah pembahasan dalam artikel saya, saya berharap artikel ini dapat
bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena saya dengan penuh kesadaran dan
mengakui bahwa artikel ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak
kekurangan dan kelemahan pada artikel ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar nantinya dapat menciptakan artikel yang lebih
baik lagi dan kesalahan pada artikel ini tidak terulang kembali.
Daftar Pustaka

http://www.kompasiana.com/swara-mahardhika/memahami-makna-gotong-
royong_54f8470fa333112a608b51c7

http://www.haluankepri.com/rubrik/opini/41518-gotong-royong-di-era-
globalisasi.html

Sistim Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta.


Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rukiyati, dkk. (2013).

Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.

Yogyakarta : UNY Press.

Gurniwan Kamil. Gotong Royong dalam Kehidupan Masyarakat.

(http://sosiologi.upi.edu/artikelpdf/gotongroyong.pdf).

Sandro Marganda. (2013). Pancasila Landasan Pembangunan


Nasional.(http:hankam.kompasiana.com/2013/04/15/pancasila-landasan-
pembangunan-nasional-546291.html).Soedjito. (1986).

Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: Tiara Wacana


Yogya. Tusti. (2013). Pendidikan Populis Berbasis Budaya.
(http://www.uny.ac.id/rubrik-tokoh/prof-zamroni-phd.html)

Anda mungkin juga menyukai