Sindrom nefrotik adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan kadar protein di dalam urine meningkat. Tingginya kadar protein tersebut disebabkan oleh kebocoran pada bagian ginjal yang berfungsi menyaring darah (glomerulus). Sindrom nefrotik merupakan salah satu jenis penyakit ginjal pada anak-anak dan orang dewasa. Kondisi yang menyerang sistem urinaria ini dapat diobati dengan mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter. 1) Penyebab Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik terjadi akibat kerusakan pada glomerulus, yaitu bagian ginjal yang berfungsi menyaring darah dan menghasilkan urine. Akibatnya, protein yang seharusnya tetap di dalam darah malah bocor ke urine. Dalam kondisi normal, urine tidak mengandung protein. Sindrom nefrotik terbagi dalam dua jenis, yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik sekunder. 1) sindrom nefrotik primer, glomerulus mengalami perubahan berupa penebalan atau pembentukan jaringan parut sehingga tidak dapat berfungsi normal. Namun, belum diketahui secara pasti mengapa perubahan tersebut terjadi. 2) sindrom nefrotik sekunder terjadi akibat adanya penyakit lain yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik sekunder adalah: Diabetes Lupus Penyakit infeksi, seperti kusta, sifilis, HIV, malaria, atau penyakit hepatitis B dan hepatitis C Henoch-Schonlein purpura Rheumatoid artritis Amiloidosis Kanker, seperti leukemia atau limfoma Sindrom Sjogren Erythema multiforme 2) Gejala Sindrom Nefrotik Gejala utama sindrom nefrotik adalah penumpukan cairan dalam tubuh atau edema. Edema terjadi akibat rendahnya protein dalam darah. Salah satu fungsi protein dalam darah adalah untuk menahan cairan di dalam darah. Jika kadar protein kurang, cairan dari dalam pembuluh darah akan bocor keluar dan menumpuk di jaringan tubuh. Pada anak-anak, edema yang disebabkan oleh sindrom nefrotik dapat diamati dari pembengkakan di wajah. Sedangkan pada orang dewasa, edema bisa terlihat dari pembengkakan di tumit yang diikuti pembengkakan di betis dan paha. Gejala sindrom nefrotik lain yang dapat muncul adalah: Urine yang berbusa akibat adanya protein dalam urine Diare Mual Letih, lesu, dan hilang nafsu makan Berat badan bertambah akibat penumpukan cairan tubuh Sindrom nefrotik yang disebabkan oleh penyakit lain juga akan menimbulkan gejala di atas dan gejala khusus dari penyakit penyebabnya. Contohnya, sindrom nefrotik yang disebabkan oleh rheumatoid arthritis akan disertai dengan gejala nyeri sendi. 3) Pengobatan Sindrom Nefrotik Penanganan sindrom nefrotik oleh dokter ginjal tergantung pada penyebabnya. Ada beberapa obat yang dapat diberikan kepada penderita sindrom nefrotik, antara lain: a. Obat kortikosteroid Obat ini berfungsi untuk menangani peradangan pada ginjal atau mengobati penyakit peradangan penyebab sindrom nefrotik, seperti lupus atau amioloidosis. Contoh obat ini adalah methylprednisolone. b. Obat antihipertensi Obat ini berfungsi untuk menurunkan tekanan darah yang bisa meningkat saat terjadi kerusakan ginjal. Obat darah tinggi juga dapat mengurangi jumlah protein yang terbuang melalui urine. Contoh obat ini adalah obat ACE inhibitor, seperti enalapril atau catropril. c. Obat diuretik Fungsi obat diuretik adalah untuk membuang cairan yang berlebihan dari dalam tubuh sehingga dapat mengurangi gejala edema. Contoh obat diuretik adalah furosemide. d. Obat pengencer darah Fungsi obat ini adalah untuk menurunkan risiko penggumpalan darah yang merupakan komplikasi dari sindrom nefrotik. Contoh obat ini adalah heparin. e. Obat penisilin Penisilin adalah obat antibiotik yang digunakan untuk mencegah infeksi yang merupakan komplikasi dari sindrom nefrotik.
2. Virus hepatitis beserta kriterianya
Hepatitis berasal dari kata Latin “hepar” yang berarti hati atau lever dan “-itis” yang bermakna peradangan atau inflamasi. Dari kombinasi kedua kata itu, hepatitis adalah istilah medis untuk penyakit peradangan hati. Penyebab utama hepatitis adalah virus yang dibedakan menjadi virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Namun hati juga bisa mengalami peradangan karena penyebab lain, seperti konsumsi alkohol atau obat-obatan, penyakit autoimun, dan paparan racun. Peradangan hati yang terjadi bukan karena infeksi virus juga dapat disebut sebagai hepatitis. 1) Jenis – Jenis Hepatitis dan Perbedaanya Virus hepatitis A, B, C, D, dan E sangatlah berbeda satu sama lain. Misalnya, secara genetik, hepatitis A lebih dekat dengan virus yang menyebabkan demam biasa dibanding hepatitis B. Sedangkan hepatitis C lebih dekat dengan virus penyebab demam dengue. Namun semua virus ini punya satu kesamaan, yakni dapat menyebabkan kerusakan ringan hingga sangat parah pada hati. Adapun berdasarkan waktu kemunculannya, terdapat dua macam hepatitis, yakni akut dan kronis. Hepatitis akut terjadi ketika seseorang baru pertama kali terkena penyakit tersebut. Ketika peradangan hati tak kunjung dapat diatasi dan gejalanya terus ada dalam jangka waktu lama, orang itu disebut mengalami hepatitis kronis. Hepatitis A dan E umumnya bersifat akut, sementara hepatitis B dan C bisa berubah menjadi kronis. Peradangan dan infeksi kronis dalam waktu lama bisa menyebabkan luka dan pengerasan hati. Dalam kasus terburuk, hepatitis bisa berkembang menjadi kanker hati. a. Hepatitis Autoimun Hepatitis autoimun adalah penyakit hepatitis kronis yang tak menular. Penyakit ini terjadi ketika sistem imun diri sendiri menyerang sel hati yang sehat dan normal. Penyebab penyakit ini belum diketahui pasti, tapi diduga terkait dengan ketidakseimbangan sel sistem imun. Ada dua macam hepatitis autoimun, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Hepatitis autoimun tipe 1 atau tipe klasik biasanya terdiagnosis pada masa dewasa, sedangkan tipe 2 saat kanak-kanak. Penanganan kedua tipe hepatitis autoimun ini sama, tapi tipe 2 bisa lebih parah dan lebih sulit dikendalikan. b. Hepatitis A Ini salah satu jenis hepatitis yang umum terjadi. Penyebaran virus hepatitis A biasanya lewat makanan dan air yang sudah tercemar. Penularan kerap terjadi di lingkungan rumah. Misalnya ada satu orang rumah yang terinfeksi hepatitis A, orang lain yang serumah bisa tertular ketika makan bersama atau menggunakan alat makan yang sama, terutama jika belum tercuci bersih. Biasanya orang yang terinfeksi virus hepatitis A bisa pulih sendiri tanpa perawatan dan akan kebal terhadap infeksi virus yang sama di masa mendatang. Namun jenis hepatitis ini juga bisa menyebabkan sakit parah. Untuk mencegah penularan, ada vaksin hepatitis A terutama bagi anak-anak. c. Hepatitis B Hepatitis B adalah jenis hepatitis yang paling banyak dijumpai di seluruh dunia dan paling sering memicu kanker hati. Penularan hepatitis B terjadi lewat hubungan seksual atau kontak darah. Namun kebanyakan pasien hepatitis B kronis tertular dari ibunya saat lahir. Hepatitis B akut lebih banyak dialami orang dewasa dan bisa sembuh sendiri tanpa penanganan khusus. Tapi, saat anak-anak terinfeksi, peluang hepatitis B yang diderita menjadi penyakit kronis yang serius mencapai 90 persen. Karena itu, vaksinasi hepatitis B penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini sejak dini. d. Hepatitis C Hepatitis C juga salah satu jenis hepatitis yang lazim. Pasien hepatitis C rentan mengalami kanker hati saat penyakit yang diderita menjadi kronis. Sebanyak 80 persen orang yang terinfeksi virus hepatitis C menderita gejala yang kronis. Bahkan ada yang sampai membutuhkan transplantasi karena kerusakan hati sudah terlalu parah. Penularan virus hepatitis C umumnya lewat penggunaan jarum suntik secara tidak aman, terutama di kalangan pengguna narkoba. Penularan juga bisa terjadi lewat prosedur tato dan tindik yang tidak steril, hubungan seksual, dan berbagi barang pribadi yang rentan terkontaminasi darah seperti pisau cukur dan gunting. Saat ini belum tersedia vaksin hepatitis C. e. Hepatitis D Jenis hepatitis ini tidak umum karena hanya dapat menginfeksi orang yang telah terkena hepatitis B. Karena itu, pasien hepatitis B bisa terkena infeksi virus hepatitis ganda. Penyebaran hepatitis D sama dengan hepatitis B, yakni lewat darah dan cairan yang telah terkontaminasi. Hepatitis D bisa bersifat akut, kronis, ataupun keduanya. Orang yang terinfeksi hepatitis B dan D kronis lebih berisiko mengalami komplikasi. Hepatitis D bisa dicegah lewat vaksinasi. f. Hepatitis E Seperti hepatitis A, jenis hepatitis ini menyebar lewat air dan makanan yang tercemar virus. Gejala hepatitis E relatif ringan, tapi bisa menyebabkan penyakit serius bagi ibu hamil. Ada peningkatan risiko kematian hingga 20 persen pada ibu hamil yang terinfeksi virus hepatitis E pada trimester ketiga masa kehamilan. Umumnya pasien hepatitis E bisa sembuh sendiri tanpa perawatan spesifik, kecuali penyakitnya sudah berkembang menjadi kronis. Saat ini belum ada vaksin hepatitis E yang tersedia secara luas. g. Hepatitis Neonatal Jenis hepatitis ini merupakan sebutan untuk kasus peradangan hati yang terjadi pada usia awal bayi, biasanya 1-2 bulan. Bayi yang baru lahir bisa menderita hepatitis karena tertular oleh ibunya. Transmisi virus umumnya terjadi pada masa kehamilan atau sesaat setelah kelahiran bayi. Seorang ibu mungkin tidak sadar bahwa dia membawa virus hepatitis saat hamil sehingga bayinya tertular secara tak sengaja. Bayi yang menderita hepatitis neonatal bisa mengalami komplikasi seperti kulit gatal-gatal, mudah memar, dan kerusakan otak. Pemeriksaan kehamilan secara rutin bisa menjadi cara untuk mencegah terjadinya hepatitis neonatal.