Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan industri telah mengangkat standar hidup manusia dan

mengurangi sumber kecelakaan, cidera, penyakit akibat kerja. Namun demikian,

disisi lain kemajuan teknologi juga mengakibatkan berbagai dampak yang

merugikan yaitu berupa terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan,

kecelakan kerja, dan timbulnya berbagai penyakit akibat kerja. Di samping itu

faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan

kerja (K3), proses kerja tidak aman, dan sistim kerja yang modern dapat menjadi

ancaman bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja (Tarwaka, 2004).

Faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat K3 seperti pemakaian

waktu kerja yang berlebih ataupun beban kerja yang berlebih akan menimbulkan

kelelahan kerja. Ergonomi merupakan ilmu Ergonomi atau ergonomics berasal

dari bahasa Yunani, yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti

hukum. Ergonomi adalah disiplin ilmu yang mempelajari manusia dalam

kaitannya dengan pekerjaannya, atau ergonomi juga dapat diartikan sebagai

suatu ilmu tentang manusia dalam usahanya untuk meningkatkan kenyamanan di

lingkungan kerjanya, yaitu dengan memperhatikan sifat, kemampuan serta

keterbatasan manusia untuk merancang sistem kerja. Istilah ergonomi lebih

populer digunakan oleh beberapa negara Eropa Barat. Di Amerika istilah ini
lebih dikenal sebagai Human Factors Engineering atau Human Engineering.

(Sritomo Wignjosoebroto, 2000). Dengan diterapkannya ergonomi, sistem kerja

dapat menjadi lebih produktif dan efisien. Penerapan ergonomi pada umumnya

merupakan akitivitas rancang ulang (re-desain) ataupun rancang bangun(desain).

Hal ini dapat meliputi perangkat keras (hadware) maupun perangkat lunak

(software). Perangkat keras berkaitan dengan mesin (perkakas kerja/tools, alat

peraga/display, conveyer, dan lain-lain) sedangkan perangkat lunak lebih

berkaitan dengan sistem kerjanya seperti penentuan jumlah istirahat, pemilihan

jadwal pergantian shift kerja, rotasi pekerjaan, prosedur kerja dan lain-lain.

Pada dasarnya ergonomi dapat menciptakan lingkunga kerja yang dapat :

· Mengurangi angka cedera dalam pekerjaannya

· Menurunkan biaya kecelakaan kerja

· Menurunkan kunjungan berobat

· Mengurangi ketidakhadiran pekerja

· Meningkakan produktivitas, kualitas, dan keselamatan kerja

· Meningkatkan tingkat kenyamanan pekerja dalam bekerja

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita banyak temui berbagai pekerjaan

yang bisa menimbulkan permasalahan seperti penyakit yang berhubungan

dengan otot dan rangka atau yang dikenal sebutan musculoskeletal

disorders(MSDs) dan salah satunya adalah pekerjaan tukang jahit. MSDs dapat

terjadi karena kurang/tidak diterapkannya prinsip-prinsip ergonomi dalam


kegiatan yang dilakukan. Permasalahan egonomi terutama MSDs merupakan

salah satu faktor yang dapat menyebabkan turunnya hasil produksi, hilangnya

jam kerja, tingginya biaya pengobatan dan material, meningkatnya absensi,

rendahnya kualitas kerja, injuri dan ketegangan otot, meningkatnya

kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan error, meningkatkan biaya

pergantian tenaga kerja, dan berkurangnya cadangan yang berhubungan dengan

kondisi darurat(Pulat& Alexander, 1991). Berdasarkan data dari Bureau of Labor

Statistics (BLS) dalam U.S. Departement of Labor (DOL) (2003) terdapat

867,766 kasus MSDs yang berhubungan dengan pekerjaan dan berdasarkan

survey Occupational Injures and Illnes(2000) BLS dilaporkan 257.900 jam kerja

yang hilang berhubungan dengan permasalahan ergonomi(Wood, 2005).

Menjahit adalah salah satu pekerjaan manual, yang jika dilakukan secara terus-

menerus dengan waktu yang relatif lama maka akan menibulkan kelelahan atau

bisa disebut penyakit akibat kerja. Pekerjaan menjahit yang berulang-ulang dan

dalam waktu yang relatif lama dapat menyebabkan kelelahan secara fisiologis,

disebabkan karena aktivitas kerja dan mempertahankan tubuh ketika

bekerja(Anita, dkk).

Di Indonesia pola penyebab kematian bergeser dari penyakit menular ke

penyakit tidak menular. Pada tahun 1980, 69,49% kematian disebabkan penyakit

menular PM dan tahun 2001 menurun menjadi 44,57, sedangkan kematian

karena penyakit tak menular meningkat dari 25,41% menjadi 46,1% dan 48,53%

pada tahun 2000. Penyebab utama kematian berdasarkan survei tersebut adalah
penyakit sirkulasi (26,4%), infeksi (22,9%), pernafasan (12,7%), neoplasma

(6,0%) dan kecelakaan (5,6%) (Riyadina, 2008). Menurut International Labor

Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh

penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari

250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja

dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru

setiap tahunnya. Penyakit akibat pekerjaan tersebut yang paling banyak adalah

keluhan muskuloskeletal (Buchari, 2007). WHO tahun 2003 melaporkan

gangguan otot rangka (musculoskeletal disorder) adalah penyakit akibat kerja

yang paling banyak terjadi dan diperkirakan 2 xv mencapai 60% dari semua

penyakit akibat kerja. Menurut Depkes RI tahun 2005, 40,5%pekerja di

Indonesia mempunyai keluhan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan

pekerjaannya dan diantaranya adalah gangguan otot rangka sebanyak 16%

(Lusianawaty, 2009).

Setiap individu meluangkan banyak waktu untuk bekerja. Hal ini karena

bekerja merupakan salah satu kegiatan utama bagi setiap orang atau masyarakat

untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Berada dalam rasa harga diri

tertentu, menciptakan dan berkreasi untuk mendapatkan penghasilan. Peran serta

manusia sebagai tenaga kerja merupakan unsur dominan dalam proses industry

perlu mendapat perhatian khusus guna menghasilkan suatu produk yang

bermanfaat bagi masyarakat. Secanggih apapun peralatan atau teknologi yang

digunakan tanpa adanya tenaga kerja yang didukung lingkungan yang baik, maka
program-program dalam perusahaan tidak berjalan secara optimal (Depkes RI,

2003: MI 2-3)

Pemeliharaan dan peningkatan kondisi kesehatan tenaga kerja mutlak

diperlukan agar tenaga kerja dapat terlindungi dari dampak negatif dalam

melaksanakan pekerjaan. Kesehatan merupakan hak dasar (asasi) manusia dan

merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya

Manusia (SDM). Kesehatan dan keselamatan bagi masyarakat pekerja memiliki

korelasi terhadap produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Oleh karena itu

perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya sehingga pada akhirnya dapat

memberikan sumbangan nyata dalam meningkatkan daya saing bangsa (Depkes

RI, 2003: MD-2).

Menurut Depnakertrans (2004) data mengenai kecelakaan kerja pada tahun

2004, di Indonesia setiap hari rata-rata terjadi 414 kecelakaan kerja, 27,8%

disebabkan kelelahan yang cukup tinggi, lebih kurang 9,5% atau 39 orang

mengalami cacat. Data kecelakaan dari sumber yang dikeluarkan oleh Dewan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional di sector listrik (PLN) mencatat

terjadi 1.458 kasus kecelakaan dan salah satu penyebabnya adalah faktor

kurangnya konsentrasi pekerja karena kelelahan. (Putri, 2008).

Industri Garment dewasa ini berkembang cukup pesat, dapat dibuktikan

dengan banyaknya perusahaan – perusahaan garment mulai dari garment sebagai

industri rumah tangga (home industry), industri garment skala kecil (small scale

industry) dan bahkan garment dengan investasi skala besar dengan ratusan
bahkan ribuan tenaga kerja. Industri garment telah memberikan kontribusi

kepada kemajuan pembangunan nasional yang sangat besar. Disamping mampu

menyerap jumlah tenaga kerja yang tidak sedikit, penyebaran industri yang

merata sampai ke desa – desa tentunya juga mengurangi masalah kerawanan

sosial di perkotaan. (Tarwaka,2004: 27).

Pekerja di industri garmen merupakan salah satu pekerja yang berisiko

mengalami kelelahan, karena pekerjaan di industri garmen umumnya adalah

peralatan kerja yang tidak ergonomis, pekerjaan yang monoton, membutuhkan

ketelitian cukup tinggi, tingkat pengulangan kerja tinggi pada satu jenis otot,

berinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting dan pisau potong, terjadi

paparan panas dari penyetrikaan, banyaknya debu-debu serat dan aroma khas

kain, terpapar kebisingan, getaran, panas dari mesin jahit dan lainnya (Amalia,

2007).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana identifikasi lingkungan kerja yang tidak ergonomis terhadap

pekerja tukang jahit?

2. Bagaimana identifikasi postur kerja yang tidak ergonomis terhadap pekerja

tukang jahit

3. Bagaimana identifikasi alat/fasilitas yang tidak ergonomis terhadap pekerja

tukang jahit

4. Bagaimana identifikasi keluhan MsDs terhadap pekerja tukang jahit?

5. Bagaimana alur proses kerja terhadap pekerja tukang jahit?


6. Bagaimana redesign apa yang ergonomis terhadap pekerja tukang jahit?

7. Bagaimana rekomendasi yang dapat disampaikan kepada pemilik tukang

jahit tersebut?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui identifikasi lingkungan kerja yang tidak ergonomis

terhadap pekerja tukang jahit.

2. Untuk mengetahui identifikasi postur kerja yang tidak ergonomis terhadap

pekerja tukang jahit.

3. Untuk mengetahui identifikasi alat/fasilitas yang tidak ergonomis terhadap

pekerja tukang jahit.

4. Untuk mengetahui identifikasi keluhan MsDs terhadap pekerja tukang jahit.

5. Untuk mengetahui alur proses kerja terhadap pekerja tukang jahit.

6. Untuk mengetahui redesign seperti apa yang ergonomis terhadap pekerja

tukang jahit.

7. Untuk mengetahui rekomendasi apa yang dapat disampaikan kepada pemilik

tukang jahit tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan ilmu dan seni dalam pengelolaan

hazzard (bahaya) dan risiko agar tercipta kondisi tempat kerja yang aman dan sehat.

ILO telah menetapkan bahwa penerapan K3 sangat penting guna memberikan

perlindungan bagi para pekerja dari bahaya penyakit dan kecelakaan yang dapat

ditimbulkan dari tempat kerja (Hanggraeni, 2012). Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3) sebagai suatu program pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah dan

memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan

kecelakaan, maupun kerugian – kerugian yang mungkin terjadi. Jadi dikatakan

bahwa K3 merupakan suatu pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi yang

mungkin terjadi. Dengan kata lain hakekat K3 adalah tidak berbeda dengan

pengertian bagaimana kita mengendalikan resiko (risk management) agar tidak

terjadi hal yang tidak diinginkan (Satriawan, 2009).

Secara hukum, K3 merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Melalui peraturan

yang jelas dan sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan untuk itu

diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Dewasa ini,

ditingkat internasional telah disepakati adanya kovensi-konvensi yang mengatur K3

secara universal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik
yang dikeluarkan oleh organisasi dunia seperti ILO, WHO maupun tingkat regional

(Hanggraeni,2012).

Gangguan kesehatan dapat menyebabkan kecelakaan yang selanjutnya dapat

menyebabkan kemungkinan (absensi) pekerja. Hal yang sama juga pada

keselamatan kerja dapat mempengaruhi produktivitas melalui kecelakaan atau

kesehatan yang akhirnya menyebabkan absensi kerja. Terjadinya kecelakaan kerja

dan gangguan kesehatan disebabkan berbagai factor antara lain lingkungan kerja

dan sikap kerja (Chandra, 2008 dalam Suci 2014).

B. Tinjauan Umum tentang Ergonomi

Terlihat bahwa postur kerja sangatlah erat kaitannya dengan keilmuan

ergonomi dimana pada keilmuan ergonomi dipelajari bagaimana untuk

meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera

akibat postur kerja yang salah dan penyakit akibat kerja serta menurunkan beban

kerja fisik dan mental, oleh karena itu perlu dipelajari tentang bagaimana suatu

postur kerja dikatakan efektif dan efisien, tentu saja untuk mendapatkan postur kerja

yang baik kita harus melakukan penelitian-penelitian serta memiliki pengetahuan

dibidang keilmuan ergonomi itu sendiri dengan tujuan agar kita dapat menganalisis

dan mengevaluasi postur kerja yang salah dan kemudian mampu memberikan postur

kerja usulan yang lebih baik sebab masalah postur kerja sangatlah penting untuk

diperhatikan karena langsung berhubungan ke proses operasi itu sendiri, dengan

postur kerja yang salah serta dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat

mengakibatkan operator akan mengalami beberapa gangguan-gangguan otot skeletal


dan gangguan-gangguan lainnya sehingga dapat mengakibatkan jalannya proses

produksi tidak optimal.

Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan

informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk

merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem

itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu

dengan efektif, aman, dan nyaman. Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu

diperhatikan performansi pekerjanya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya

adalah postur dan sikap tubuh pada saat melakukan aktivitas tersebut. Hal tersebut

sangat penting untuk diperhatikan karena hasil produksi sangat dipengaruhi oleh apa

yang dilakukan pekerja. Bila postur kerja yang digunakan pekerja salah atau tidak

ergonomis, pekerja akan cepat lelah sehingga konsentrasi dan tingkat ketelitiannya

menurun. Pekerja menjadi lambat, akibatnya kualitas dan kuantitas hasil produksi

menurun yang pada akhirnya menyebabkan turunnya produktivitas (Gempur

Santosa, 2004). Menurut Mira (2009) ada beberapa aspek dalam penerapan

ergonomi yang perlu diperhatikan, antara lain : 1. Faktor manusia Penataan dalam

sistem kerja menuntut faktor manusia sebagai pelaku/pengguna menjadi titik

sentralnya. Pada bidang rancang bangun dikenal istilah Human Centered Design

(HCD) atau perancangan berpusat pada manusia. Perancangan dengan prinsip HCD,

berdasarkan pada karakter-karakter manusia yang akan berinteraksi dengan

produknya. Sebagai titik sentral maka unsur keterbatasan manusia haruslah menjadi

patokan dalam penataan suatu produk yang ergonomis. Ada beberapa faktor
pembatas yang tidak boleh dilampaui agar dapat bekerja dengan aman, nyaman dan

sehat, yaitu : faktor dari dalam (internal factors) dan faktor dari luar (external

factor). Tergolong dalam faktor dari dalam (internal factors) ini adalah yang berasal

dari dalam diri manusia seperti : umur, jenis kelamin, kekuatan otot, bentuk dan

ukuran tubuh, dll. Sedangkan faktor dari luar (external factor) yang dapat

mempengaruhi kerja atau berasal dari luar manusia, seperti : penyakit, gizi,

lingkungan kerja, sosial ekonomi dan adat istiadat, dll. 2. Faktor Anthropometri

Anthropometri yaitu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia, terutama

seluk beluk baik dimensional ukuran dan bentuk tubuh manusia. Antropometri yang

merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu

sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh penggunanya. Ukuran alat kerja

menentukan sikap, gerak dan posisi tenaga kerja, dengan demikian penerapan

antropometri mutlak diperlukan guna menjamin adanya sistem kerja yang baik.

Ukuran alat-alat kerja erat kaitannya dengan tubuh penggunanya. Jika alat-alat

tersebut tidak sesuai, maka tenaga kerja akan merasa tidak nyaman dan akan lebih

lamban dalam bekerja yang dapat menimbulkan kelelahan kerja atau gejala penyakit

otot yang lain akibat melakukan pekerjaan dengan cara yang tidak alamiah. 3.

Faktor Sikap Tubuh dalam Bekerja Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan

interaksinya terhadap sarana kerja akan menentukan efisiensi, efektivitas dan

produktivitas kerja, selain SOP (Standard Operating Procedures) yang terdapat pada

setiap jenis pekerjaan. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah dalam bekerja,

misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangannya harus


dihindarkan. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang

memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit

banyak akan berpengaruh terhadap hasil kerjanya. 4. Faktor Manusia dan Mesin

Penggunaan teknologi dalam pelaksanaan produksi akan menimbulkan suatu

hubungan timbal balik antara manusia sebagai pelaku dan mesin sebagai sarana

kerjanya. Dalam proses produksi, hubungan ini menjadi sangat erat sehingga

merupakan satu kesatuan. Secara ergonomis, hubungan antara manusia dengan

mesin haruslah merupakan suatu hubungan yang selaras, serasi dan sesuai. 5. Faktor

Pengorganisasian Kerja Pengorganisasian kerja terutama menyangkut waktu kerja,

waktu istirahat, kerja lembur dan lainnya yang dapat menentukan tingkat kesehatan

dan efisiensi tenaga kerja. Diperlukan pola pengaturan waktu xxii kerja dan waktu

istirahat yang baik, terut kerja dan waktu istirahat yang baik, terutama untuk kerja

fisik yang berat. Jam kerja selama 8 (delapan) jam/hari diusahakan sedapat mungkin

tidak terlampaui, apabila tidak dapat dihindarkan, perlu diusahakan group kerja baru

atau perbanyakkan kerja shift. Untuk pekerjaan lembur sebaiknya ditiadakan, karena

dapat menurunkan efisiensi dan produktivitas kerja serta meningkatnya angka

kecelakaan kerja dan sakit. 6. Faktor Pengendalian Lingkungan Kerja Lingkungan

kerja yang manusiawi merupakan faktor pendorong bagi kegairahan dan efisiensi

kerja. Sedangkan lingkungan kerja yang buruk (melampaui nilai ambang batas yang

telah ditetapkan), yang melebihi toleransi manusia untuk menghadapinya, tidak

hanya akan menurunkan produktivitas kerja tetapi juga akan menyebabkan penyakit

akibat kerja, kecelakaan kerja, pencemaran lingkungan sehingga tenaga kerja dalam
melaksanakan pekerjaannya tidak mendapat rasa aman, nyaman, sehat dan selamat.

Terdapat berbagai faktor lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap kesehatan,

keselamatan dan efisiensi serta produktivitas kerja, yaitu faktor fisik seperti :

pengaruh kebisingan, penerangan, iklim kerja, getaran, faktor kimia : seperti

pengaruh bahan kimia, gas, uap, debu, faktor fisiologis : seperti sikap dan cara

kerja, penentuan jam kerja dan istirahat, kerja gilir, kerja lembur, faktor psikologis

seperti : suasana tempat kerja, hubungan antar pekerja dan faktor biologis, seperti :

infeksi karena bakteri, jamur, virus, cacing, dsb.

Untuk pengendalian lingkungan kerja dapat dilakukan melalui beberapa

tahapan/cara yaitu pengendalian secara teknik, pengendalian secara administratif

dan pengendalian dengan pemberian alat pelindung diri (APD).


BAB III

PEMBAHASAN

A. Identifikasi lingkungan kerja yang tidak ergonomis terhadap pekerja

tukang jahit.

Berdasarkan, hasil observasi kami, lingkungan kerja di tempat yang kami

kunjungi itu suhunya panas, dikarenakan kurangnya kipas angin tau pendingin

ruangan yang disediakan serta banyaknya kain yang berserakan dimanamana

sehingga dapa mempengaruhi juga kondisi fisik ruangan kerja tersebut seperti

debu atau serbuk kain yang beterbangan yang bias menyebabkan sakit dada atau

batuk terhadap pekerjanya. Untuk pengendalian lingkungan kerja dapat

dilakukan melalui beberapa tahapan/cara yaitu pengendalian secara teknik,

pengendalian secara administratif dan pengendalian dengan pemberian alat

pelindung diri (APD) dan Panas, suhu panas mengurangi kelincahan,

memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu

kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris.

B. Identifikasi postur kerja yang tidak ergonomis terhadap pekerja tukang

jahit.

Berdasarkan hasil observasi kami, postur kerja ditempat yang kami kunjungi

itu masih ada beberapa yang menerapkan posisi kerja yang tidak ergonomis

seperti, membungkuk pada saat menjahit, menyetrika bahkan menggunting pun

masih ada pekerja yang duduk. Menurut Gempur Santosa (2004) “kondisi tubuh
menjadi kurang optimal, tidak efesien, kualitas rendah, dan seseorang dapat

mengalami gangguan kesehatan seperti pusing (motion), nyeri pinggang (low

back pain), gangguan otot rangka (skeletal muscel), dan penurunan daya dengar

yang tidak bisa dihindari. Walau tenaga kerja tersebut belum sampai sakit parah

(celaka) dan masih dapat masuk kerja, suatu pertimbangan yang tepat, cerdas dan

dapat mencapai kesuksesan seharusnya mempertimbangkan kaidah ergonomis,

agar terjadi keserasian yang baik antara kemampuan dan batasan manusia dengan

mesin dan lingkungannya. Terlihat bahwa postur kerja sangatlah erat kaitannya

dengan keilmuan ergonomi dimana pada keilmuan ergonomi dipelajari

bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya

pencegahan cedera akibat postur kerja yang salah dan penyakit akibat kerja serta

menurunkan beban kerja fisik dan mental, oleh karena itu perlu dipelajari tentang

bagaimana suatu postur kerja dikatakan efektif dan efisien, tentu saja untuk

mendapatkan postur kerja yang baik kita harus melakukan penelitian-penelitian

serta memiliki pengetahuan dibidang keilmuan ergonomi itu sendiri dengan

tujuan agar kita dapat menganalisis dan mengevaluasi postur kerja yang salah

dan kemudian mampu memberikan postur kerja usulan yang lebih baik sebab

masalah postur kerja sangatlah penting untuk diperhatikan karena langsung

berhubungan ke proses operasi itu sendiri, dengan postur kerja yang salah serta

dilakukan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan operator akan

mengalami beberapa gangguan-gangguan otot skeletal dan gangguan-gangguan

lainnya sehingga dapat mengakibatkan jalannya proses produksi tidak optimal


C. Identifikasi alat / fasilitas yang tidak ergonomis terhadap terhadap pekerja

tukang jahit.

Berdasarkan hasil observasi kami, alat/fasilitas ditempat yang kami kunjungi,

Bantalan tempat duduk terlalu besar sehingga bagian depan terlalu kedepan

sehingga pekerja akan memajukan posisi duduknya dan menyebabkan bagian

punggung tidak dapat bersandar, Kursi yang terlalu dan tidak dilengkapi dengan

sandaran pinggang tidak dapat dimanfaatkan oleh karena mereka harus duduk

maju ke depan agar dapat melakukan pekerjaannya, Ruang antara alas duduk dan

tepi bawah meja terlalu sempit sehingga menyebabkan paha pekerja tertekan,

Sandaran pinggang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan gerakan bahu dan

tangan terbatas dan posisi kerja yang tidak nyaman. Untuk mendesain peralatan

secara ergonomis yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau mendesain

peralatan yang ada pada lingkungan seharusnya disesuaikan dengan manusia

lingkungan tersebut. Apabila tidak ergonomis akan dapat menimbulkan berbagai

dampak negatif pada manusia tersebut. Dampak negatif bagi manusia tersebut

akan terjadi baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. Bekerja

pada kondisi yang tidak ergonomis dapat menimbulkan berbagai masalah antara

lain: nyeri, kelelahan, bahkan kecelakaan kerja.

Perancangan tempat kerja untuk pekerjaan duduk lebih sulit, karena dalam

perancangan ini selain harus memperhitungkan tinggi bangku (meja) kerja juga

interaksinya dengan tinggi tempat duduk. Misalnya jika kita merancang dengan

kriteria agar permukaan tempat kerja tetap dibawah siku, maka sering kali
rancangan tersebut tidak nyaman pada ruang untuk lutut. Untuk menjamin

cukupnya ruang bagi lutut orang dewasa, maka direkomendasikan mengambil

presentil 95 dari ukuran-ukuran telapak kaki sampai puncak lutut dan

menambahkan dengan kelonggaran-kelonggarannya.

D. Identifikasi keluhan MsDs terhadap pekerja tukang jahit.

Berdasarkan dari observasi Kamii, didapatkan keluhan muskuloskeletal yang

paling sering dialami oleh para penjahit adalah sakit atau kaku pada pada leher

bawah, punggung, dan pinggang. Hal ini dapat disebabkan oleh sikap kerja yang

tidak alamiah yakni posisi duduk yang statis dan dalam waktu cukup yang lama

serta adanya ketidaksesuaian antara peralatan kerja dengan pekerjanya. Kondisi

penjahit yang dominan berada dalam kondisi duduk, kepala menunduk,

punggung membungkuk serta leher menekuk dapat mengakibatkan keluhan nyeri

di leher, punggung, maupun pinggang.

Terkait dengan hal tersebut, MSDs merupakan penyakit kronis yang

membutuhkan waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin

lana waktu bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko MSDs ini

maka semakin besar pula risiko untuk mengalami MSDs. Merupakan faktor

risiko dari suatu pekerja yang terkait dengan lama bekerja. Dapat berupa masa

kerja dalam suatu perusahaan dan masa kerja dalam suatu profesi tertentu. Masa

kerja merupakan faktor risiko yang sangat mempengaruhi seorang pekerja untuk

meningkatkan risiko terjadinya musculoskeletal disorders, terutama untuk jenis

pekerjaan yang menggunakan kekuatan kerja yang tinggi.. Gangguan pada sistem
muskuloskeletal ini hampir tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi lebih

merupakan suatu akumulasi dari benturan- benturan kecil maupun besar yang

terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang relatif lama. Hal ini bisa

terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, tergantung dari berat ringannya

trauma, sehingga akan terbentuk cidera yang cukup besar yang diekspresikan

sebagai rasa sakit atau kesemutan, nyeri tekan, pembengkakan dan gerakan yang

terhambat atau kelemahan pada jaringan anggota tubuh yang terkena trauma.

Trauma jaringan timbul karena kronisitas atau berulang-ulangnya proses

penyebabnya.
E. Alur proses kerja terhadap pekerja tukang jahit.

POTENSI HAZARD PROSES KERJA PENGENDALIAN

Debu, Serbuk kain, Bahan baku Menggunakan masker atau


Mata perih. kacamata.

Pencahayaan kurang, Pengukuran Adanya pencahayaan buatan


suhu ruangan panas, misalnya adanya ventilasi.

Membungkuk pada Menggunting dengan


Pengguntingan pola
saat menggunting. menggunakan kursi dan alat
yang sudah tersedia

Kursi yang tidak Adanya perancangan kursi


ergonomis Penjahitan yang ergonomis terhadap
pekerja

Posisi kabel Posisi colokan panjang dan


menggantung Disetrika kabel setrika harus sesuai,
tidak menggantung.

Tidak sesuai dengan Hasil pakaian yang sudah


keinginan pelanggan, Finishing jadi di ukur kembali
pernak pernik kurang. terhadap pelanggan dan di
perbaiki sesuai keinginan
pelanggan, menambahkan
persediaan pernak pernik
lebih untuk kepuasan
pelanggan.
Proses Produksi

a. Bahan baku
Bahan baku yang di gunakan tergantung model baju atau celana yang akan di
jahit. Bahan baku sudah tersedia di Gaya baru Tailor ataupun pemesan bisa
membawanya sendiri tergantung keinginan pemesan.

b. Pengukuran badan
Dimulai dari mengukur lingkar dada atau badan, mengukur lebar bahu,
mengukur tinggi dada, mengukur lebar dada, mengukur, panjang dan lebar
punggung, mengukur lingkar pinggang dan tinggi panggul untuk pembuatan baju
sedangkan untuk pembuatan celana dimulai dari mengukur lingkar pinggang,
lingkar paha, lingkar betis lingkar pergelangan kaki kemudian panjang kaki.

c. Membuat pola
Setiap potongan pakaian ada polanya tertentu. Untuk membuat pola sendiri di
butuhkan pengetahuan khusus. Bagi yang tidak dapat membuat polanya sendiri,
beberapa majalah menyediakan pola untuk beberapa halaman modenya.

d. Pemotongan bahan
Kain tadi dipotong sesuai pola. Memotong kainpun tidak sembarangan, pola
diusahakan di atur sedemikian rupa sehingga kain terpakai secara optimal dan tidak
banyak yang terbuang. Hal ini akan sangat terasa jika membuat pakaian dalam
jumlah yang banyak.

e. Proses penjahitan
Kain yang telah dipotong sesuai pola tadi kemudian disambung-sambungkan
sehingga membentuk pakaian yang diinginkan. Dalam proses ini diterapkan
berbagai teknik menjahit misalnya bagaimana memasang saku dll.

f. Finishing
Mungkin ada pakaian-pakaian yang masih perlu di olah lagi setelah dijahit.
Misalnya dipasang kancingnya atau ditambahkan sulaman atau dekorasi lainya.
F. Redesign yang ergonomis terhadap pekerja tukang jahit.

Desain kursi yang ergonomis:

Kursi Ergonomis Penerapan ergonomi dalam pembuatan kursi dimaksudkan

untuk mendapatkan sikap tubuh yang ergonomis dalam bekerja. Sikap ergonomi

ini diharapkan efesiensi kerja dan mengurangi keluhan otot-otot skeletal. Tempat

duduk harus dibuat sedemikian rupa sehingga memberikan relaksasi pada otot-

otot yang sedang dipakai untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada

bagian tubuh yang dapat mengganggu sirkulasi darah dan sensibilitas bagian-

bagian tersebut. Dalam mendesain kursi kerja yang ergonomis harus memenuhi

kriteria-kriteria atau aturan baku tentang tempat duduk dan meja kerja dengan

berpedoman pada ukuran-ukuran antropometri orang Indonesia. Kriteria tersebut

sebagai berikut : Pekerja dengan sikap duduk mendapatkan kedudukan yang

mantap dan memberikan relaksasi otot-otot yang tidak dipakai untuk bekerja dan

tidak mengalami penekanan-penekanan pada bagian tubuh yang mengganggu

sirkulasi darah dan sensitifitas bagian tersebut.

 Tinggi Tempat Duduk Dari lantai sampai dengan permukaan atas bagian

depan alas duduk. Tinggi tempat duduk harus lebih pendek dari panjang tekuk

lutut sampai dengan telapak kaki.

 Panjang Alas Duduk Pertemuan garis proyek permukaan depan sandaran

duduk sampai dengan permukaan alas duduk. Panjang alas duduk harus lebih

pendek dari lekuk lutut sampai dengan garis punggung.


 Lebar Tempat Duduk Diukur pada garis tengah alas duduk melintang. Lebar

alas duduk harus lebih besar dari lebar pinggul.

 Sandaran punggung Diukur panjang dan lebar. Bagian atas dari sandaran

punggung tidak melebihi tepi bawah ujung tulang belikat dan bagian

bawahnya setinggi garis pinggul.

 Sandaran Tangan Diukur panjang, lebar dan tinggi. Jarak tepi dalam dua

sandaran tangan lebih besar dari lebar pinggul dan tidak melebihi lebar bahu.

Tinggi sandaran tangan adalah setinggi siku. Panjang sandaran tangan adalah

sepanjang lengan bawah. f) Sudut Alas Duduk Sudut alas duduk harus

sedemikian rupa sehingga memberikan kemudahan bagi pekerja untuk

menentukan pemilihan gerakan dan posisi. Sudut alas duduk hendaknya

dibuat horisontal. Untuk pekerjaanpekerjaan yang tidak memerlukan sikap

sedikit membungkuk ke depan, alas duduk dapat dibuat ke belakang (3-5

derajat). Bila keadaan memungkinkan, dianjurkan penyediaan tempat duduk

yang dapat diatur.

G. Rekomendasi yang dapat disampaikan kepada pemilik tukang jahit

tersebut.

Melalui pendekatan Nordic Body Map dapat diketahui bahwa, rekomendasi

ini dapat disampaikan kepada pihak tukang jahit/konveksi dan kepada pihak

pemilik dari tukang jahit tersebut;


Bagi Perusahaan : Perlu dilakukan promosi ergonomi dan kesehatan kerja berupa

penyuluhan maupun poster bergambar kepada penjahit, baik yang dilakukan oleh

perusahaan atau pimpinan serta karyawan yang perduli terhadap kesehatan kerja.

Bagi Penjahit : Selama bekerja dengan posisi duduk sebaiknya posisi tubuh

tegak, punggung tertopang pada sandaran kursi, kepala tidak menunduk, bahu

santai, tangan sejajar lengan bawah, kaki terletak pada bantalan dan melakukan

peregangan otot setelah 30-60 menit bekerja untuk mengurangi nyeri pinggang,

dengan cara istirahat yang cukup/tidur sejenak.


BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dari observasi kami, kami dapat menyimpulkan

bahwa masih ada pegawai yang belum ergomis daam posisi kerjanya

contohnya lingkungan kerja di tempat yang kami kunjungi itu suhunya panas,

dikarenakan kurangnya kipas angin tau pendingin ruangan yang disediakan

serta banyaknya kain yang berserakan dimanamana sehingga dapat

mempengaruhi juga kondisi fisik ruangan kerja tersebut seperti debu atau

serbuk kain yang beterbangan yang bias menyebabkan sakit dada atau batuk

terhadap pekerjanya, Bantalan tempat duduk terlalu besar sehingga bagian

depan terlalu kedepan sehingga pekerja akan memajukan posisi duduknya dan

menyebabkan bagian punggung tidak dapat bersandar, Kursi yang terlalu dan

tidak dilengkapi dengan sandaran pinggang tidak dapat dimanfaatkan oleh

karena mereka harus duduk maju ke depan agar dapat melakukan

pekerjaannya, Ruang antara alas duduk dan tepi bawah meja terlalu sempit

sehingga menyebabkan paha pekerja tertekan, Sandaran pinggang yang

terlalu tinggi dapat menyebabkan gerakan bahu dan tangan terbatas dan posisi

kerja yang tidak nyaman dan masih ada beberapa yang menerapkan posisi

kerja yang tidak ergonomis seperti, membungkuk pada saat menjahit,

menyetrika bahkan menggunting pun masih ada pekerja yang duduk dan juga

didapatkan keluhan muskuloskeletal yang paling sering dialami oleh para


penjahit adalah sakit atau kaku pada pada leher bawah, punggung, dan

pinggang.

B. Saran

Penyakit Akibat Kerja (PAK) yang paling banyak terjadi pada usaha

jahitan adalah Musculoskeletal disorders (MSDs). Hal ini disebabkan karena

aktivitas dalam usaha ini mengandung faktor risiko MSDs yaitu postur

janggal, gerakan yang berulang-ulang, durasi kerja (pekerjaan monoton),

sebaiknya pekerja tidak terlalu memaksakan dalam bekerja. Jika tubuh sudah

merasa lelah segera beristrahat sejenak.

Anda mungkin juga menyukai