Anda di halaman 1dari 67

MODUL

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


(K3)

Penyusun
Nur Andriansyah
194101074

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT atas limpahan
anugerahnya, sehingga Modul Pembelajaran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini
dapat diselesaikan. Modul ini merupakan salah satu tugas Mata Kuliah Dasar Kesehatan
dan Keselamatan Kerja (K3).

Tersusunnya modul ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
pada kesempatan ini kami sampai sampaikan ucapan terima kasih yang kepada:

1. Bapak H. Yuldan Faturahman, S.K.M, M.Kes. selaku Dosen Mata Kuliah Dasar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
2. Bapak dan Ibu beserta Keluarga saya di rumah yang selalu memberikan
dukungan baik moril maupunn materil.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang telah
mendukung kelancaran pembuatan modul ini.

Semoga Alloh SWT memberikan balasan kepada semua yang telah


memberikan bantuan demi kelancaran kegiatan ini. Kami menyadari Modul
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ini belum sempurna, oleh karenanya Kami
menunggu masukan dan saran untuk perbaikan modul ini.

Majalengka, 31 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………….


i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….………..
ii
BAB I DASAR KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA…………...………
1
BAB II PELAYANAN KESEHATAN KERJA …………………………….….……
14
BAB III REGULASI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA ………..…
19
BAB IV FAKTOR BIOLOGI DI TEMPAT KERJA ………………………………
27
BAB V FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA ……………………………..……
31
BAB VI PENCAHAYAAN …………………………………………………………..
36
BAB VII KEBISINGAN ………………………………………………………..……
43
BAB VIII PEMGANTAR EPIDEMIOLOGI K3 ………………………..…………
48
BAB IX ERGONOMI ……………………………………………………………...…
51
BAB X SURVEILANS KESEHATAN KERJA …………………………….………
56
BAB XI SOSIOSFER ……………………………………………………………...…
59
PENUTUP …………………………………………………………………………….
61
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……………
62

ii
iii
BAB I
DASAR KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

A. Sejarah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Dunia

Sejak zaman purba pada awal kehidupan manusia, untuk memenuhi


kebutuhan hidupnya manusia bekerja. Pada saat bekerja mereka mengalami
kecelakaan dalam bentuk cidera atau luka. Dengan akal pikirannya mereka
berusaha mencegah terulangnya kecelakaan serupa dan ia dapat mencegah
kecelakaan secara preventif. Selama pekerjaan masih dikerjakan secara
perseorangan atau dalam kelompok maka usaha pencegahan tidaklah terlalu sulit,
sifat demikian segera berubah, tatkala revolusi industri dimulai yakni sewaktu umat
manusia dapat memanfaatkan hukum alam dan dipelajari sehingga menjadi ilmu
pengetahuan dan dapat diterapkan secara praktis.
Penerapan ilmu pengetahuan tersebut dimulai pada abad 18 dengan
munculnya industri tenun, penemuan ketel uap untuk keperluan industri. Tenaga
uap sangat bermanfaat bagi dunia industri, namun pemanfaatannya juga
mengandung risiko terhadap peledakan karena adanya tekanan uap yang sangat
tinggi. Selama awal abad pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk efek
paparan timbal dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta kebutuhan alat
pelindung perorangan. Namun demikian, tidak ada standar atau persyaratan
keselamatan yang terorganisasi dan ditetapkan pada saat itu. Para pekerja biasanya
pengrajin independen atau bagian dari toko atau pertanian keluarga dan
bertanggung jawab sendiri untuk keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraannya.
Selanjutnya menyusul revolusi listrik, revolusi tenaga atom, dan penemuan-
penemuan baru di bidang teknik dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat
manusia. Di samping manfaat tersebut, pemanfaatan teknik dan teknologi dapat
merugikan dalam bentuk risiko terhadap kecelakaan apabila tidak diikuti dengan
pemikiran tentang upaya K3.
Sebagai gambaran tentang sejarah perkembangan keselamatan dan kesehatan
kerja dapat dijelaskan sebagai berikut. Kesadaran umat manusia terhadap
keselamatan kerja telah mulai ada sejak zaman prasejarah. Ditemukan tulisan tertua
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) berasal dari zaman manusia pra-
sejarah di zaman batu dan goa (paleolithic dan neolithic), ketika itu manusia telah
mulai membuat kapak dan tombak untuk berburu. Kemudian bangsa Babylonia
pada dinasti Summeri (Irak) membuat disain pegangan dan sarung kapak, membuat
tombak yang mudah untuk digunakan agar tidak membahayakan pemakainya serta
pembawanya menjadi aman. Selain itu mereka juga telah mulai membuat saluran
air dari batu untuk sanitasi. Sekitar tahun 1700 SM, Hamurabi, raja Babylonia,
dalam kitab Undang-undang menyatakan bahwa “Bila seorang ahli bangunan
membuat rumah untuk seseorang dan pembuatannya tidak dilaksanakan dengan

1
baik sehingga rumah itu roboh dan menimpa pemilik rumah hingga mati maka ahli
bangunan tersebut harus dibunuh.
Demikian pula pada zaman Mozai, lebih kurang lima abad setelah Hamurabi,
telah ada ketentuan bahwa ahli bangunan bertanggung jawab atas keselamatan para
pelaksana dan pekerjaannya. Pada waktu itu telah ada kewajiban untuk memasang
pagar pengaman pada setiap sisi luar atap rumah. Sekitar 80 tahun sesudah Masehi,
Plinius seorang ahli Encyclopedia bangsa Roma, mensyaratkan agar para pekerja
tambang memakai tutup hidung. Pada tahun 1450, Dominico Fontana yang diserahi
tugas membangun obelisk di tengah lapangan St. Pieter Roma, selalu menyarankan
agar para pekerja memakai topi baja.
Pemahaman atas kesehatan kerja yang paling tua ditemukan pada bangsa
Mesir, ketika Ramses II pada tahun 1500 sebelum Masehi, membangun terusan
dari mediterania ke laut merah dan juga ketika membangun Rameuseum. Saat itu
Ramses II menyediakan tabib untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
Pemahaman mengenai pentingnya kesehatan kerja secara khusus, dimulai pada
abad ke-16 oleh Paracelsus dan Agricola. Paracelsus pada zaman renaissance mulai
memperkenalkan penyakit yang menimpa para pekerja tambang. Keduanya
menguraikan mengenai pekerjaan dalam tambang, cara mengolah biji tambang dan
penyakit yang diderita oleh para pekerja. Keduanya telah mulai melakukan upaya
pencegahan terhadap penyakit akibat kerja. Agricola misalnya, telah menganjurkan
penggunaan ventilasi dan tutup muka yang longgar. Paracelus lebih banyak
menguraikan tentang bahan-bahan kimia, sehingga dia dianggap sebagai bapak
toksikologi modern.
Bernardine Ramazzini (1633-1714) dari Universitas Modena di Italia,
dianggap sebagai bapak kesehatan kerja. Beliau yang pertama menguraikan
hubungan berbagai macam penyakit dengan jenis pekerjaannya. Ramazzini
menganjurkan agar seorang dokter dalam memeriksa pasien, selain menanyakan
riwayat penyakitnya, juga harus menanyakan pekerjaan pasien dimaksud.
Ramazzini menulis mengenai kaitan antara penyakit yang diderita seorang pasien
dengan pekerjaannya. Mengamati bahwa para dokter pada waktu itu jarang
mempunyai perhatian terhadap hubungan antara pekerjaan dan penyakit. Oleh
Ramazzini mulai mengembangkan ilmu kedokteran dari sudut pandang ilmu sosial
(Socio medicine). Ia juga menemukan bahwa terdapat dua kelompok besar
penyebab penyakit akibat kerja yaitu bahaya yang terkandung di dalam bahan yang
digunakan kertika bekerja dan adanya gerakan janggal yang dilakukan oleh pekerja
ketika bekerja (ergonomi factor).
Peristiwa sejarah tersebut menggambarkan bahwa masalah keselamatan dan
kesehatan manusia pekerja menjadi perhatian para ahli pada zaman itu. Pada masa
revolusi industri, di Inggris banyak terjadi kecelakaan kerja yang membawa korban.
Pada waktu itu para pengusaha beranggapan bahwa kecelakaan yang menimbulkan
penderitaan dan kerugian bagi pekerja, merupakan bagian dari risiko pekerjaan
yang harus ditanggung sendiri oleh para pekerja. Bagi pengusaha kehilangan

2
pekerja karena kecelakaan akan akan mudah diatasi, menggantinya dengan pekerja
baru. Keadaan yang tidak adil ini telah menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa
hal itu tidak sesuai dengan asas perikemanusiaan karena kecelakaan dan
pengorbanan pekerja dalam hubungan kerja yang terus dibiarkan, pada dasarnya
adalah perbuatan yang tidak manusiawi. Kesadaran masyarakat yang berkembang
ini, membuka peluang dan mendorong pekerja untuk menuntut perlindungan,
dengan meminta agar pengusaha melakukan tindakan pencegahan dan
menanggulangi kecelakaan yang terjadi. Sejak itu, bagi pekerja yang mengalami
kecelakaan dilakukan perawatan.
Pada tahun 1911, di Amerika Serikat diberlakukan Undang-Undang Kerja
(Works Compensation Law) yang antara lain mengatur bahwa setiap kecelakaan
kerja yang terjadi, baik akibat kesalahan tenaga kerja atau tidak, yang bersangkutan
akan mendapat ganti rugi jika hal itu terjadi dalam pekerjaan. Undang-Undang ini
merupakan permulaan usaha pencegahan kecelakaan yang lebih terarah. Di Inggris
pada mulanya aturan perundangan yang serupa juga telah diberlakukan, namun
harus dibuktikan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah terjadi karena kesalahan si
korban. Jika kesalahan atau kelalaian disebabkan oleh si korban maka ganti rugi
tidak akan diberikan. Karena posisi buruh/pekerja dalam posisi yang lemah, maka
pembuktian salah tidaknya pekerja yang bersangkutan selalu merugikan korban.
Akhirnya peraturan tersebut diubah tanpa memandang kecelakaan tersebut
diakibatkan oleh si korban atau tidak. Berlakunya peraturan perundangan tersebut
dianggap sebagai permulaan dari gerakan keselamatan kerja yang membawa angin
segar dalam usaha pencegahan kecelakaan industri.
Pada tahun 1931, H. W. Heinrich dalam bukunya Industrial Accident
Prevention, menulis tentang upaya pencegahan kecelakaan di perusahaan, tulisan
itu kemudian dianggap merupakan permulaan sejarah baru bagi semua gerakan
keselamatan kerja yang terorganisir secara terarah. Prinsip-prinsip yang
dikemukakan Heinrich merupakan dasar- dasar program keselamatan kerja yang
berlaku hingga saat ini. Peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di
Indonesia sendiri sudah lama ada yakni dimulai dengan diterbitkannya UU Uap
(Stoom Ordinantiae, STBL. No. 225 Tahun 1930) yang mengatur secara khusus
tentang keselamatan kerja di bidang ketel uap, Undang-undang Petasan (STBL. No.
143 Tahun 1932) dan masih banyak lagi peraturan yang terkait dengan keselamatan
di dunia kerja.

B. Sejarah Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Indonesia

Usaha K3 di Indonesia dimulai tahun 1847 ketika mulai dipakainya mesin


uap oleh Belanda di berbagai industri khususnya industri gula. Tanggal 28 Pebruari
1852, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad No 20 yang mengatur
mengenai keselamatan dalam pemakaian pesawat uap yang pengawasannya
diserahkan kepada lembaga Dienst Van Het Stoomwezen. Selanjutnya, penggunaan

3
mesin semakin meningkat dengan berkembangnya tekonologi dan perkembangan
industri. Untuk itu, pada tahun 1905 dengan Stbl no 521 pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan perundangan keselamatan kerja yang dikenal dengan
Veiligheid Regelement disingkat VR yang kemudian disempurnakan pada tahun
1930 sehingga terkenal dengan stbl 406 tahun 1930 yang menjadi landasan
penerapan K3 di Indonesia.
Perlindungan tenaga kerja di bidang keselamatan kerja di Indonesia juga telah
mengarungi perjalanan sejarah yang panjang, telah dimulai lebih dari satu abad
yang lalu. Usaha penanganan keselamatan kerja di Indonesia dimulai sejalan
dengan pemakaian mesin uap untuk keperluan Pemerintah Hindia Belanda yang
semula pengawasannya ditujukan untuk mencegah kebakaran. Pada mulanya
pengaturan mengenai pesawat uap belum ditujukan untuk memberi perlindungan
kepada tenaga kerja, karena hal itu bukan merupakan sesuatu yang penting bagi
masyarakat Belanda. Baru pada tahun 1852 untuk melindungi tenaga kerja di
perusahaan yang memakai pesawat uap, ditetapkan peraturan perundang-undangan
tentang pesawat uap, Reglement Omtrent Veiligheids Maatregelen bij het
Aanvoeden van Stoom Werktuigen in Nederlands Indie (Stbl no. 20), yang
mengatur tentang pelaksanaan keselamatan pemakaian pesawat uap dan
perlindungan pekerja yang melayani pesawat uap. Upaya peningkatan perlindungan
dimaksud telah dilakukan dan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, sejalan
dengan semakin banyaknya dipergunakan mesin, alat pesawat baru, bahan produksi
yang diolah dan dipergunakan yang terus berkembang dan berubah. Di akhir abad
ke-19 penggunaan tenaga listrik telah dimulai pada beberapa pabrik. Sebagai akibat
penggunaan tenaga listrik tersebut banyak terjadi kecelakaan oleh karenanya maka
pada tahun 1890 ditetapkan peraturan perundangan di bidang kelistrikan yaitu
Bepalingen Omtrent de Aanlog om het Gebruik van Geleidingen voor Electriciteits
Verlichting en het Overbrengen van Kracht door Middel van Electriciteits in
Nederlands Indie.
Pada awal abad ke-20, sejalan dengan perkembangan di Eropa, Pemerintah
Hindia Belanda kemudian mengadakan berbagai langkah perlindungan tenaga kerja
dengan menerbitkan Veilegheids Reglement (Undang-undang Keselamatan) yang
ditetapkan pada tahun 1905 Stbl. No. 251, yang kemudian diperbaharui pada tahun
1910 (Stbl. No. 406). Undang-Undang yang terakhir ini, telah berlaku dalam waktu
yang sangat lama, lebih dari 60 tahun, sampai kemudian dicabut oleh Undang-
Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Selain itu, untuk mengawasi
berbagai hal khusus, telah pula diterbitkan
12 peraturan khusus Direktur Pekerjaan Umum No. 119966/Stw Tahun 1910,
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Stbl. No. 406 Tahun 1910. Setelah itu,
diterbitkan pula ketentuan tentang Pengangkutan dengan Trem Dalam Jumlah yang
Besar (Stbl. No. 599 Tahun 1914).
Pada tahun 1926 dilakukan perubahan atas beberapa pasal dari Burgerlijke
Wetbook oud (KUH Perdata Lama) ke dalam KUH Perdata Baru, ketika dalam

4
ketentuan baru dimaksud, perlindungan terhadap tenaga kerja dimuat dalam Buku
III Titel tujuh A. Isinya mulai mengatur tentang kewajiban pengusaha untuk
melindungi pekerjanya. Beberapa ketentuan itu telah mewajibkan kepada
pengusaha agar pekerja yang tinggal bersamanya diberi kesempatan menikmati
istirahat dari pekerjaannya dengan tidak dipotong upahnya (Pasal 1602u KUH
Perdata). Kewajiban untuk mengatur pekerjaan sedemikian rupa, sehingga pada
hari minggu dan hari-hari yang menurut kebiasaan setempat pekerja dibebaskan
dari pekerjaannya (Pasal 1602v KUH Perdata). Kewajiban pengusaha untuk
mengatur dan memelihara ruangan, piranti atau perkakas, menyuruh pekerja untuk
melakukan pekerjaan sedemikian rupa agar melakukan pekerjaan dengan baik dan
mengadakan aturan serta memberikan petunjuk sehingga pekerja terlindungi jiwa,
kehormatan, dan harta bendanya.

C. DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan


upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan
budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara
keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Kesehatan dan
keselamatan Kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa
maupun industri.

a. Keselamatan Kerja
Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin,
pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja
dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan Kerja
memiliki sifat sebagai berikut.
a. Sasarannya adalah lingkungan kerja.
b. Bersifat teknik.
Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja bermacam-macam, ada
yang menyebutnya Hygene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hyperkes) dan
ada yang hanya disingkat K3, dan dalam istilah asing dikenal Occupational
Safety and Health.
b. Kesehatan Kerja
Pengertian sehat senantiasa digambarkan sebagai suatu kondisi fisik,
mental dan sosial seseorang yang tidak saja bebas dari penyakit atau gangguan
kesehatan melainkan juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan pekerjaannya. Paradigma baru dalam aspek kesehatan
mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dan bukan sekadar mengobati,
merawat, atau menyembuhkan gangguan kesehatan atau penyakit. Oleh
5
karenanya, perhatian utama di bidang kesehatan lebih ditujukan ke arah
pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya penyakit serta pemeliharaan
kesehatan seoptimal mungkin. Status kesehatan seseorang menurut Blum
(1981) ditentukan oleh empat faktor sebagai berikut.
a. Lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan), kimia
(organik/anorganik, logam berat, debu), biologik (virus, bakteri,
mikroorganisme), dan sosial budaya (ekonomi, pendidikan, pekerjaan).
b. Perilaku yang meliputi sikap, kebiasaan, tingkah laku.
c. Pelayanan kesehatan: promotif, perawatan, pengobatan, pencegahan
kecacatan, rehabilitasi.
d. Genetik, yang merupakan faktor bawaan setiap manusia.
Definisi kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan agar
pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, baik fisik atau mental, maupun sosial dengan usaha-usaha
preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan
kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta
terhadap penyakit-penyakit umum. Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin
berubah, bukan sekadar “kesehatan pada sektor industri” saja melainkan juga
mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang dalam melakukan
pekerjaannya (total health of all at work).
Keselamatan kerja sama dengan hygene perusahaan. Kesehatan kerja
memiliki sifat sebagai berikut.
a. Sasarannya adalah manusia.
b. Bersifat medis.
Situasi dan kondisi suatu pekerjaan, baik tata letak tempat kerja atau
material-material yang digunakan, memiliki risiko masing-masing terhadap
kesehatan pekerja. Ridley (2008) menyatakan bahwa kita harus memahami
karakteristik material yang digunakan dan kemungkinan reaksi tubuh terhadap
material tersebut untuk meminimasi risiko material terhadap kesehatan.
Pengetahuan tentang substansi yang digunakan dalam pekerjaan serta cara
substansi tersebut masuk ke dalam tubuh merupakan pengetahuan penting bagi
pekerja. Dengan pengetahuan tersebut, pekerja dapat mengetahui reaksi tubuh
terhadap substansi kimia tersebut sehingga dapat meminimasi timbulnya
penyakit.
Ridley (2008) menjabarkan ada beberapa jalur untuk substansi berbahaya
dapat masuk ke tubuh seperti berikut.
a. Asupan makanan; yang masuk melalui mulut, kemudian menuju usus.
b. Hirupan pernafasan; yang masuk melalui organ pernafasan menuju paru-
paru.
c. Penyerapan; yang masuk melalui pori-pori kulit.
d. Masuk melalui luka dan sayatan terbuka.
6
Berdasarkan jalur masuk substansi, Ridley (2008) memberikan beberapa
contoh tindakan pencegahan sederhana untuk mencegah masuknya substansi
berbahaya ke dalam tubuh pekerja:
a. Asupan makanan
1) Dilarang makan di tempat kerja.
2) Menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan sebelum makan.
3) Dilarang merokok di tempat kerja.
b. Hirupan pernafasan
1) Menggunakan pelindung pernafasan yang sesuai untuk substansi-
substansi tertentu.
2) Menyediakan ventilasi keluar (exhaust ventilation).
3) Ekstraksi uap dan debu.
c. Penyerapan
1) Menggunakan sarung tangan.
2) Membersihkan area terkontaminasi dengan air sabun.
3) Menggunakan krim pelindung kulit.
d. Masukkan langsung
1) Mengobati seluruh luka dan sayatan.
2) Menutupi seluruh luka dan sayatan ketika bekerja.

Dalam tubuh terdapat berbagai organ tubuh seperti hati, usus, ginjal, dan
lain-lain. Setiap organ tersebut memiliki fungsinya masing-masing, dan setiap
fungsi tersebut sangat rentan apabila organ diserang oleh substansi kimia
tertentu.

D. KECELAKAAN KERJA

Menurut Sumamur (1967), bahaya adalah sesuatu yang berpotensi


menyebabkan cedera atau luka, sedangkan risiko adalah kemungkinan kecelakaan
akan terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan.
Kecelakaan merupakan sebuah kejadian tak terduga yang dapat menyebabkan
cedera atau kerusakan. Kecelakaan dapat terjadi akibat kelalaian dari perusahaan,
pekerja, maupun keduanya, dan akibat yang ditimbulkan dapat memunculkan
trauma bagi kedua pihak. Bagi pekerja, cedera akibat kecelakaan dapat berpengaruh
terhadap kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, dan kualitas hidup pekerja
tersebut. Bagi perusahaan, terjadi kerugian produksi akibat waktu yang terbuang
pada saat melakukan penyelidikan atas kecelakaan tersebut serta biaya untuk
melakukan proses hukum atas kecelakaan kerja. (Ridley, 2008)
Sumamur berpendapat bahwa kecelakaan tidak mungkin terjadi secara

7
kebetulan sehingga pasti ada sebab dibalik setiap kecelakaan. Penting sekali agar
suatu kecelakaan diteliti dan ditemukan penyebabnya sehingga dapat dilakukan
usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan tersebut terulang kembali.
Pencegahan kecelakaan bertujuan untuk mengurangi peluang terjadinya kecelakaan
hingga mutlak minimum, mengurangi bahaya, serta risiko yang dihasilkan dalam
suatu kegiatan pekerjaan.
Kecelakaan dapat dibagi menjadi 2 jenis, kecelakaan langsung dan
kecelakaan tidak langsung. Kecelakaan langsung dapat dibedakan menjadi kejadian
kecelakaan sesungguhnya dan juga kejadian nyaris celaka/hampir celaka. Nyaris
celaka adalah sebuah kejadian yang hampir menyebabkan terjadinya cedera atau
kerusakan dan hanya memiliki selang perbedaan waktu yang sangat singkat. Nyaris
celaka tidak mengakibatkan kerusakan, sedangkan kecelakaan pasti mengakibatkan
kerusakan (Ridley, 2008).
Setiap kecelakaan bukan peristiwa tunggal, namun terjadi karena penyebab
yang saling berkaitan yaitu kesalahan dari sisi perusahaan, sisi pekerja, atau
keduanya. Akibat yang ditimbulkan yakni trauma bagi keduanya, bagi pekerja yaitu
cedera yang dapat memengaruhi terhadap pribadi, keluarga, dan kualitas hidup,
sedangkan bagi perusahaan berupa kerugian produksi, waktu yang terbuang untuk
penyelidikan dan biaya untuk proses hukum. Tindakan pencegahan kecelakaan
bertujuan untuk mengurangi peluang terjadinya kecelakaan hingga mutlak
minimum.
Hal ini sesuai dengan teori domino yang menggambarkan rangkaian
penyebab kecelakaan sehingga menimbulkan cedera atau kerusakan. Teori domino
Heinrich digambarkan pada Gambar 1. 1. 1.
Teori Domino Heinrich menyebutkan suatu kecelakaan bukanlah suatu
peristiwa tunggal, melainkan merupakan hasil dari serangkaian penyebab yang
saling berkaitan (Ridley, 2008). Gambar 1. 1. 1 memberikan ilustrasi terhadap
rangkaian penyebab kejadian yang mengawali kecelakaan sehingga menimbulkan
cedera atau kerusakan.
Tindakan tidak aman
Kesalahan orang
Situasi kerja

Kecelakaan

Cedera/Kerusakan

Gambar 1.Teori Domino Heinrich

8
Jika satu domino jatuh maka domino tersebut akan menimpa domino-domino
lainnya hingga pada akhirnya akan terjadi kecelakaan pada saat domino yang
terakhir jatuh. Jika salah satu faktor penyebab kecelakaan dalam domino tersebut
dapat dihilangkan maka tidak akan terjadi kecelakaan. Domino yang pertama
adalah sistem kerja. Sistem kerja yang dikelola dengan baik seperti pengendalian
manajemen dan standar kerja yang sesuai akan membuat domino tersebut
terkendali dan tidak akan menimpa yang lainnya seperti kesalahan orang dan
seterusnya. Oleh karena domino-domino tersebut tetap terjaga maka kecelakaan
yang mengakibatkan cedera tidak akan terjadi.
Menurut Ridley (2008), contoh penyebab kecelakaan untuk masing-masing
faktor tersebut adalah:
1. Situasi kerja
a. Pengendalian manajemen yang kurang.
b. Standar kerja yang minim.
c. Tidak memenuhi standar.
d. Perlengkapan yang tidak aman.
e. Tempat kerja yang tidak mendukung keamanan seperti getaran, tekanan
udara, ventilasi, penerangan dan kebisingan yang tidak aman.
f. Peralatan/bahan baku yang tidak aman.
2. Kesalahan orang
a. Keterampilan dan pengetahuan minim.
b. Masalah fisik atau mental.
c. Motivasi yang minim atau salah penempatan.
d. Perhatian yang kurang.

3. Tindakan tidak aman


a. Tidak mengikuti metode kerja yang telah disetujui.
b. Mengambil jalan pintas.
c. Tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja selama bekerja.
d. Bekerja dengan kecepatan berbahaya.
Berikut ini adalah penyebab tindakan tidak aman.

4. Kecelakaan
a. Kejadian yang tidak terduga.
b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya.
c. Terjatuh.
d. Terhantam mesin atau material yang jatuh dan sebagainya.

5. Cedera atau kerusakan


a. Sakit dan penderitaan (pada pekerja).

9
b. Kehilangan pendapatan (pada pekerja).
c. Kehilangan kualitas hidup (pada pekerja).
d. Pabrik (pada perusahaan).
e. Pembayaran kompensasi (pada perusahaan).
f. Kerugian produksi (pada perusahaan).
g. Kemungkinan proses pengadilan (pada perusahaan).

Teknik-teknik praktis pencegahan kecelakaan


a. Nyaris
 Membudayakan pelaporan kecelakaan yang nyaris terjadi.
 Menyelidikinya untuk mencegah kecelakaan serius.
 Menumbuhkan budaya ‘tidak saling menyalahkan.
b. Identifikasi Bahaya
 Melakukan inspeksi keselamatan kerja dan patroli.
 laporan dari operator.
 laporan dari jurnal-jurnal teknis.
c. Pengeliminasian bahaya
 Adanya sarana-sarana teknis.
 Mengubah material.
 Mengubah proses.
 Mengubah pabrik baik dari segi tata letak mesin maupun kondisi kerja
di pabrik.

d. Pengurangan bahaya
 Memodifikasi perlengkapan sarana teknis.
 Alat Pelindung Diri (PPE).
e. Melakukan penilaian risiko
f. Pengendalian risiko residual
 Dengan sarana teknis-alarm, pemutusan aliran (trips).
 Sistem kerja yang aman.
 Pelatihan para pekerja.

E. TUJUAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan


untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi dan produktivitas
nasional.
2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja tersebut.
3. Memelihara sumber produksi agar dapat digunakan secara aman dan efisien.

10
F. FUNGSI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

1. Fungsi dari kesehatan kerja sebagai berikut.


a. Identifikasi dan melakukan penilaian terhadap risiko dari bahaya kesehatan
di tempat kerja.
b. Memberikan saran terhadap perencanaan dan pengorganisasian dan praktik
kerja termasuk desain tempat kerja.
c. Memberikan saran, informasi, pelatihan, dan edukasi tentang kesehatan
kerja dan APD.
d. Melaksanakan survei terhadap kesehatan kerja.
e. Terlibat dalam proses rehabilitasi.
f. Mengelola P3K dan tindakan darurat.

2. Fungsi dari keselamatan kerja seperti berikut.


a. Antisipasi, identifikasi, dan evaluasi kondisi serta praktik berbahaya.
b. Buat desain pengendalian bahaya, metode, prosedur, dan program.
c. Terapkan, dokumentasikan, dan informasikan rekan lainnya
dalam hal pengendalian bahaya dan program pengendalian bahaya.
d. Ukur, periksa kembali keefektifan pengendalian bahaya dan
program pengendalian bahaya.

3. Peran Kesehatan dan keselamatan kerja dalam ilmu K3


Peran kesehatan dan keselamatan kerja dalam ilmu kesehatan kerja
berkontribusi dalam upaya perlindungan kesehatan para pekerja dengan upaya
promosi kesehatan, pemantauan, dan survailan kesehatan serta upaya
peningkatan daya tahan tubuh dan kebugaran pekerja. Sementara peran
keselamatan adalah menciptakan sistem kerja yang aman atau yang
mempunyai potensi risiko yang rendah terhadap terjadinya kecelakaan dan
menjaga aset perusahaan dari kemungkinan loss.

G. ORGANISASI KESELAMATAN KERJA

1. Tujuan utama dibentuknya organisasi keselamatan kerja ialah untuk


mengurangi tingkat kecelakaan, sakit, cacat, dan kematian akibat kerja, dengan
lingkungan kerja yang sehat, bersih, aman, dan nyaman.
2. Organisasi bisa dibentuk di tingkat pemerintah, perusahaan atau oleh kelompok
atau serikat pekerja.
3. Di Indonesia, organisasi pemerintah yang menangani masalah keselamatan
kerja di tingkat pusat dibentuk di bawah Direktorat Pembinaan Norma
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Di samping itu, organisasi K3 dibentuk di
perusahaan-perusahaan dan ikatan ahli tertentu.

11
H. LAMBANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Lambang K3 beserta arti dan maknanya tertuang dalam Kepmenaker RI


1135/MEN/1987 tentang Bendera Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Berikut ini
penjelasan mengenai arti dari makna lambang K3 tersebut.

Gambar 2. Lambang K3

Bentuk lambang K3 yaitu palang dilingkari roda bergigi sebelas berwarna


hijau di atas warna dasar putih. Arti dan makna lambang K3 yaitu:

1. Palang bermakna bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja (PAK).
2. Roda gigi bermakna bekerja dengan kesegaran jasmani maupun rohani.
3. Warna putih bermakna bersih dan suci.
4. Warna hijau bermakna selamat, sehat, dan sejahtera.
5. Sebelas gerigi roda bermakna sebelas bab dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja.

I. PRODUKTIVITAS KERJA

Produktivitas kerja berasal dari bahasa inggris, product: result, outcome


berkembang menjadi kata productive, yang berarti menghasilkan, dan productivity:
having the ability make or kreate, creative. Perkataan itu dipergunakan di bahasa
Indonesia menjadi produktivitas yang berarti kekuatan atau kemampuan
menhasilkan sesuatu, karena dalam organisasi. Kerja yang akan dihasilkan adalah
perwujudan tujuannya.
Dilihat dari segi Psikologi produktivitas menunjukkan tingkah laku sebagai

12
keluaran (output) dari suatu proses berbagai macam komponen kejiwaan yang
melatarbelakanginya. Produktivitas tidak lain daripada berbicara mengenai tingkah
laku manusia atau individu, yaitu tingkah laku produktivitasnya. Lebih khusus lagi
di bidang kerja atau organisasi kerja (Sedarmayanti, 2004).
Produktivitas pada hakekatnya meliputi sikap yang senantiasa mempunyai
pandangan bahwa metode kerja hari ini harus lebih baik dari metode kerja kemarin
dan hasil yang dapat diraih esok harus lebih banyak atau lebih bermutu daripada
hasil yang diraih hari ini (Komaruddin, 1992).

J. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS


KERJA

1. Beban kerja
Segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab yang harus dilakukan oleh tenaga
kerja berhubungan dengan pekerjaanya.
2. Kapasitas kerja
Kemampuan yang dimiliki tenaga kerja secara individu yang mendukung
dalam pelaksanaan beban kerjanya seperti jenis kelamin, umur status gizi,
pendidikan, keterampilan, psikologis, dan kesehatan.
3. Beban tambahan
Kondisi di luar pekerjaan yang dapat mempererat beban kerja yang telah ada,
disebabkn oleh kondisi lingkungan kerja

13
BAB II
PELAYANAN KESEHATAN KERJA

A. PENGERTIAN PKK
Setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok dan atupun masyarakat ( Depkes RI 2009).

B. TUJUAN PKK

Tujuan dari Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK) adalah Untuk melindungi


tenaga kerja dari kemungkinan mengalami gangguan kesehatan yang disebabkan
oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja.
Dalam Permennakertrans No. 03/Men/1982 tujuan dari PKK adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan bantuan kepada Tenaga Kerja dalam penyesuaian diri dengan
pekerjaannya.
2. Melindungi Tenaga Kerja thd setiap gangguan kesehatan yang timbul dari
pekerjaan atau lingkungan kerja
3. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik
tenaga kerja.
4. Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi Tenaga Kerja
yang sakit.

C. TUGAS POKOK PKK

1. Pemeriksaan kesehatan TK (awal, berkala, khusus)


2. Pembinaan & pengawasan atas penyesuaian pekerjaan thd TK
3. Pembinaan & pengawasan terhadap lingkungan kerja
4. Pembinaan & pengawasan perlengkapan sanitair
5. Pembinaan & pengawasan perlengkapan kesehatan TK
6. Pencegahan dan pengobatan thd. penyakit umum & PAK

14
7. Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
8. Pendidikan kesehatan untuk TK dan latihan untuk petugas P3K
9. Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja,
pemilikan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan
makan di tempat kerja
10. Membantu usaha rehabilitasi akibat kecelakaan atau PAK
11. Pembinaan dan pengawasan thd TK dgn kelainan tertentu dalam kesehatannya
12. Memberikan laporan berkala tentang PKK kepada pengurus
D. CARA PENYELENGGARAAN PKK

Dalam Permennakertrans No. 03/Men/1982 cara penyelenggaraan dari PKK


adalah sebagai berikut:
1. Diselenggarakan sendiri oleh pengurus :
a. Poliklinik perusahaan
b. Rumah sakit perusahaan
2. Diselenggarakan melalui pengadaan ikatan/kerja sama dengan dokter atau
pelayanan kesehatan lain :
a. JPK (Jaminan Pelayanan Kesehatan Kerja) Jamsostek
b. Dokter praktek swasta
c. Puskesmas
d. Poliklinik swasta
e. Rumah sakit
f. Dan lain-lain
3. Diselenggarakan secara bersama antar beberapa perusahaan :
a. Rumah sakit pekerja
b. Poliklinik kawasan industri
c. Dan lain-lain

E. SYARAT PENYELENGGARAN PKK

Dalam Permennakertrans No. 03/Men/1982 syarat penyelenggaraan dari PKK


adalah sebagai berikut:
1. Diselenggarakan oleh lembaga/organisasi K3 bidang kesehatan kerja
a. Pelayanan Kesehatan Kerja (Permennakertrans No. Per. 03/Men/1982)
 Poliklinik / RS perusahaan
 Bekerja sama dengan pelayanan kesehatan lain (pemerintah/swasta)
 Pelayanan keehatan kerja dilakukan bersama-sama oleh beberapa
perusahaan
b. PJK3 Bidang Kesehatan Kerja (Permenaker No. Per. 04/Men/1995)
 Pelayanan kesehatan kerja
 Pengujian/pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
2. Disyahkan oleh instansi ketenagakerjaan sesuai wilayah kewenangannya

15
3. Dipimpin dan dijalankan (dibawah tanggung jawab) dokter yang disetujui oleh
Direktur (Dirjen Binwasnaker) dan Dinas Tenga Kerja setempat….. (memiliki
SKP)
4. Dokter yang ditunjuk dan menjalankan Pelayanan Kesehatan Kerja harus
memenuhi persyaratan :
a. Memahami peraturan perundang-undangan keselamatan dan kesehatan
kerja khususnya dibidang kesehatan kerja,
b. Memenuhi persyaratan profesional yang disyahkan oleh instansi yang
berwenang.
Dokter dan paramedis di pelayanan kesehatan kerja wajib memiliki
sertifikat pelatihan hiperkes (Permennaker No. 01/1976, Permennaker No.
01/1979).

F. PELAPORAN PENYELENGGARAAN PKK

Jenis Pelaporan meliputi :


1. Jumlah kunjungan pasien yang berobat, terdiri dari :
a. Kunjungan baru
b. Kunjungan lama (ulangan)
c. Diagnosa penyakit
d. Penyakit akibat kerja atau penyakit yang diduga disebabkan oleh pekerjaan
2. Data kecelakaan kerja
3. Laporan hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
a. Pemeriksaan kesehatan awal
b. Pemeriksaan kesehatan berkala
c. Pemeriksaan kesehatan khusus
4. Laporan hasil pemantauan/pengukuran lingkungan kerja
5. Hasil kegiatan kesehatan kerja lainnya

G. UPAYA KESEHATAN KOMPREHENSIF

1. Upaya Preventif
a. Pemeriksaan Kesehatan Awal, Berkala, Khusus
b. Penempatan/pemindahan Tenaga Kerja sesesuai kondisi kesehatan Tenaga
Kerja
c. Penerapan higiene dan sanitasi
d. Penerapan prinsip ergonomi kerja
e. Prosedur kerja aman (SOP)
f. APD/PPE
g. Pelaporan PAK
h. Pemantauan & pengendalian Ling kerja & alat2 produksi
i. Pemberian makanan sesuai kebutuhan gizi

16
j. Vaksinasi
2. Upaya Promotif
a. Pendidikan dan pelatihan kesehatan kerja atau K3
b. Safety talk, safety meeting, dll
c. Olah raga dan senam kesegaran jasmani
d. Program bebas rokok, bebas HIV/AIDS atau IMS di tempat kerja
e. Bahan KIE (Komunikasi, Informasi & Edukasi) kesehatan kerja
3. Upaya Kuratif
a. Pemberian P3K
b. Pengobatan, perawatan Tenaga kerja yang sakit
c. Operasi dll.
4. Upaya Rehabilitatif
a. Pemberian prothese dan orthose
b. Fisiotherapi
c. Konsultasi psikologis
d. dll.

H. PELAKSANAAN PKK

Dilaksanakan oleh SDM yang memiliki kompetensi Kesehatan Kerja


1. Dokter kesehatan kerja :
a. Permennakertrans No. Per. 01/Men/1976 ….. Dokter perusahaan wajib
pelatihan hiperkes & KK
b. UU No. 1/ 1970 pasal 8, Permennakertrans No. Per. 02/Men/1980 Dokter
pemeriksa kesehatan TK, dibenarkan oleh direktur
c. Permennakertrans Per. 03/Men/1982 dokter pemeriksa kesehatan Tenaga
Kerja sebagai dipimpin dan dijalankan (penanggung jawab) PKK
2. Paramedis Perusahaan :
a. Permennaker No. 01/1979 Wajib Latihan Hyperkes
3. Petugas P3K:
a. UU No.1/1970 pasal 3 (e)
b. Permenaker No.03/1982
4. Petugas Penyelenggara Makanan di Tempat Kerja:
a. PMP No. 7 Th 1964 pasal 8

I. SARANA PENYELENGGARAAN PKK DI PERUSAHAAN

1. Sarana Dasar
a. Ruangan
1) Ruang tunggu
2) Ruang periksa
3) Ruang/almari obat

17
4) Kamar mandi dan WC
b. Perlengkapan Medis
1) Tensimeter dan stetoskop
2) Termometer
3) Sarung tangan
4) Alat bedah ringan (minor set)
5) Lampu senter
6) Obat-obatan
7) Sarana/ Perlengkapan P3K
8) Tabung oksigen dan isinya
c. Perlengkapan Umum
1) Meja dan kursi
2) Tempat tidur pasien
3) Wastafel
4) Timbangan badan
5) Meteran/pengukur tinggi badan
6) Kartu status
7) Register pasien berobat
2. Sarana Penunjang
a. Alat Pelindung Diri (APD)
b. Alat evakuasi : tandu, ambulance/ kendaraan pengangkut korban, dll.
c. Peralatan penunjang diagnosa : spirometer, audiometer dll.
d. Peralatan pemantau/pengukur lingkungan kerja : sound level meter, lux
meter, gas detector dll.

J. PKK DI PERUSAHAAN

1. Pelayanan Kesehatan Promotif dan Preventif


 Pembinaan kepada tenaga kerja minimal 1 bulan sekali
 Pengawasan dan pembinaan lingkungan kerja minimal 2 bulan sekali
2. Pelayanan Kesehatan Kuratif dan Rehabilitatif
 Memberikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif selama hari kerja dan
selama ada shift kerja dengan 500 orang tenaga kerja atau lebih
 Pelayanan oleh dokter perusahaan setiap hari kerja
 Pelayanan oleh paramedis/ perawat dapat dilakukan untuk shift kerja ke-
2(dua) dan seterusnya.

18
BAB III
REGULASI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

A. Pentingnya Peraturan Perundang-Undangan Tentang Keselamatan Dan


Kesehatan Kerja
Pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik jika kualitas, kompetensi
dan profesionalisme sumber daya manusianya juga baik, termasuk didalamnya
sumber daya manusia keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Data menunjukkan
bahwa di dunia terjadi 270 juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja menderita
penyakit akibat kerja, 2,2 juta pekerja meninggal dunia dan kerugian yang dialami
sebesar 1,25 triliun USD. Sementara itu, data PT. Jamsostek (Persero)
menunjukkan bahwa dalam Periode 2002-2005 telah terjadi lebih dari 300 ribu
kecelakaan kerja, 5.000 kematian, 500 cacat tetap dan kompensasi lebih dari Rp
550 milyar (DK3N, 2007).
Tenaga kerja merupakan asset penting perusahaan. Oleh karena itu tenaga
kerja harus diberikan perlindungan dalam hal K3, karena terdapat ancaman dan
potensi bahaya yang berhubungan dengan kerja. Mengingat hal tersebut,
pemerintah telah membuat kebijakan perlindungan tenaga kerja terhadap aspek K3
melalui peraturan perundang-undangan K3. Peraturan perundang-undangan K3
merupakan salah satu usaha dalam pencegahan kecelakaan kerja, penyakt akibat
kerja, kebakaran, peledakan dan pencemaran lingkungan kerja yang penerapannya
menurut jenis dan sifat pekerjaan serta kondisi lingkungan kerja.

B. Landasan Hukum Peraturan Perundangan-Undangan Keselamatan dan


Kesehatan Kerja
Sumber hukum peraturan perundang-undangan tentang K3 adalah UUD
1945 Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa, ”Tiap warga negara berhak atas
19
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Makna pasal tersebut
sangatlah luas. Disamping menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan pekerjaan yang layak, juga berhak mendapatkan perlindungan
terhadap K3 agar dalam melaksanakan pekerjaan tercipta kondisi kerja yang
kondusif, nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangajan ketrampilan dan
kemampuannya agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat
manusia.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) tersebut, kemudian ditetapkan UU
RI No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Ketenagakerjaan.
Dalam UU Pokok Ketenagakerjaan tersebut diatur tentang perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu:
1. Pasal 9 yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan
perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta
perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat serta moral agama.
2. Pasal 10 yang menyatakan bahwa pemerintah membina perlindungan kerja
yang mencakup:
 norma keselamatan kerja,
 norma kesehatan kerja dan hygiene perusahaan,
 norma kerja, dan
 pemberian ganti kerugian, perawatan, dan rehabilitasi dalam hal
kecelakaan kerja.
Seiring berjalannya waktu, UU RI No. 14 Tahun 1969 tidak lagi sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan zaman sehingga diganti dengan UU RI No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU tersebut mempertegas perlindungan
tenaga kerja terhadap aspek K3 sebagaimana termaktup dalam Pasa 86 dan 87 UU
RI No. 13 Tahun 2003.
1. Pasal 86
 Ayat (1): Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan;
dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama.
 Ayat (2): Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan

20
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
2. Pasal 87 Ayat (1): Setiap perusahaan wajib menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan.

C. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


Aturan keselamatan kerja secara khusus sudah ada sejak masa kolonial
Belanda. Aturan tersebut dikenal dengan Veiligheids Reglement (VR) Tahun 1910
(diundangkan dalam Lembaran Negara No. 406 Tahun 1910). Undang-Undang
tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja (Safety Act) mengingat VR sudah tidak mampu
menghadapi perkembangan industri yang tidak lepas dengan penggunaan mesin,
pealatan, pesawat, instalasi dan bahan baku dalam angka mekanisasi, elektrifikasi,
dan modernisasi untuk meningkatkan intensitas dan produktivitas kerja. Disamping
itu, pengawasan VR bersifat represif yang kurang sesuai dan tidak mendukung
perkembangan ekonomi, penggunaan sumber-sumber produksi, dan
penanggulangan kecelakaan kerja serta alam negara Indonesia yang merdeka.
Penetapan UU No. 1 Tahun 1970 berdasarkan pada UU No. 14 Tahun 1969 Pasal
9 dan 10 dimana pengawasannya yang bersifat preventif dan cakupan materinya
termasuk aspek kesehatan kerja. Dengan demikian UU No. 1 Tahun 1970
merupakan induk dari peraturan perundang-undangan K3.

D. Tujuan dan Ruang Lingkup UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan


Kerja
UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja mempunyai tujuan
memberikan perlindungan atas keselamatan pekerja, orang lain yang memasuki
area kerja, dan sumber-sumber produksi dapat digunakan dengan aman, efektif,
dan efisien. Sedangkan ruang lingkup UU Keselamatan Kerja ini meliputi tempat
kerja di darat, dalam tanah, permukaan air, dalam air, dan di udara dengan terdapat
unsur dilakukan usaha, tenaga kerja yang bekerja, dan sumber bahaya.

21
E. Materi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Materi UU Keselamatan Kerja lebih dominan berisi tentang hak dan atau
kewajiban tenaga kerja dan pengusaha/pengurus (manajemen) dalam
melaksanakan K3. Berikut adalah pokok-pokok materi dari UU Keselamatan
Kerja.
1. Hak Tenaga Kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (d) dan (e)
Huruf d: Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
Huruf e: Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri
yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus
ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang
masih dipertanggungjawabkan.
2. Kewajiban tenaga kerja ditetapkan dalam Pasal 12 Huruf (a), (b), dan (c)
Huruf a: Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan atau ahli keselamatan kerja.
Huruf b: Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
Huruf c: Memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan kerja dan
kesehatan kerja yang diwajibkan.

Gambar 3 . Rambu-Rambu Pemakaian Alat Perlindungan Diri


22
(Sumber: ptciptamanunggal.blogdetik.com)

3. Kewajiban pengusaha/pengurus
a. Pasal 3 Ayat (1): Melaksanakan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
1) mencegah dan mengurangi kecelakaan
2) mencegah, mengurangi, dan memaadmkan kebakaran
3) mencegah dan mengurangi bahaya peledakan
4) memberikan kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu
lebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya
5) memberikan pertolongan pada kecelakaan
6) memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja
7) mencagah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu,
kelebaban, debu, kotoran, asap, gas, dan hembusan
8) mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik
fisik mauun psikis, peracunan, infeksi dan penularan
9) memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai
10) menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang cukup
11) menyelenggarakan penyegaeab udara yang cukup
12) memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban
13) memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan, cara kerja,
dan porses kerjanya
14) mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkat muat, perlakuan,
dan penyimpanan barang.
15) Mengamankan dan memelihara segala jenis bengunan
16) Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya
17) Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamatan pada pekerjaan
yang berbahaya kecelakaan kerja menjadi lebih tinggi
b. Pasal 8
1) Ayat (1): Pengurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi
mental, dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan
diterimanya maupun yang akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat
pekerjaan yang diberikan kepadanya.

23
2) Ayat (2): Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang
berada dibawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang
ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur.
c. Pasal 9
1) Ayat 1: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada
tiap tenaga kerja baru tentang:
- kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam
tempat kerja,
- semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan
dalam tempat kerja,
- alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan,
- cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan
pekerjaannya.
2) Ayat (2): Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang
bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah
memahami syarat-syarat tersebut diatas.
3) Ayat (3): Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi
semua tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya, dalam
pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta
peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian
pertolongan pertama pada kecelakaan.
4) Ayat (4): Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-
syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat
kerja yang dijalankan.
d. Pasal 10 Ayat (1): Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) guna
memperkembangkan kerjasama, saling pengertian, dan partisipasi efektif
dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja
untuk melaksanakan tugas kewajiban bersama di bidang K3, dalam
rangka melancarkan usaha berproduksi.

e. Pasal 11 Ayat (1): Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang


terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk

24
oleh Menteri Tenaga Kerja.
f. Pasal 14: Pengurus diwajibkan
1) secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
semua syarat-syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai
undang-undang ini dan semua peraturan pelaksananya yang berlaku
bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang
mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli keselamatan kerja.
2) memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar
keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan
lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut
petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
3) menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja berada di bawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setipa orang lain yang memasuki tempat kerja
tersebut, disertai denfan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut
petunjuk pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja.

F. Peraturan Pelaksana UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


UU Keselamatan Kerja ini membutuhkan peraturan pelaksana. Beberapa
peraturan pelaksana ini antara lain:
1. Peraturan pelaksana yang bersifat khusus (lex specialist), meliputi:
a. UU Uap (Stoom Ordonnantie) Tahun 1930 (Stbl. No. 225 Tahun 1930)
b. Peraturan Uap (Stoom Verordening) Tahun 1930 (Stbl. No. 339 Tahun
1930)
c. UU Timah Putih Kering (Loodwit Ordonnantie) Tahun 1931 (Stbl. No.
509 Tahun 1931) tentang larangan membuat, memasukkan,
menyimpan atau menjual timah putih kering kecuali untuk keperluan ilmiah
dan pengobatan atau dengan izin dari pemerintah.
d. UU Petasan Tahun 1932 (Stbl. No. 143 Tahun 1932 jo Stbl. No. 10 Tahun
1933) tentang petasan buatan yang diperuntukkan untuk
kegembiraan/keramaian kecuali untuk keperluan pemerintah.
e. UU Rel Industri (Industrie Baan Ordonnantie) Tahun 1938 (Stbl. No. 595

25
Tahun 1938) tentang pemasangan, penggunaan jalan-jalan rel guna
keperluan perusahaan, pertanian, kehutanan, pertambangan, kerajinan dan
perdagangan.
Peraturan perundang-undangan K3 tersebut merupakan produk hukum pada
masa koonial Belanda yang hingga saat ini tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UU RI No- 1 Tahun 1970. Pada Pasal 17 UU RI No. 1
Tahun 1970 dinyatakan bahwa,”Selama peraturan perundangan untuk
melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka
peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu undang-
undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan-
undang ini.
2. Peraturan pelaksana dari ketetuan pasal-pasal UU RI No. 1 Tahun 1970 (Pasal
15 UU RI No. 1 Tahun 1970). UU Keselamatan Kerja masih bersifat umum
(lex generalis), oleh karena itu peraturan pelaksananya dijabarkan secara
teknis dan rinci dalam bentuk PP, Keppres, Permenaker, Kepmenaker, Surat
Edaran (SE) Menaker, dan Kepdirjen Binwasnaker Depnakertrans RI.

26
BAB IV
FAKTOR BIOLOGI DI TEMPAT KERJA

Faktor biologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja yang
bersifat biologi, diakibatkan oleh makhluk hidup meliputi hewan, tumbuhan dan
produknya serta mikroorganisme yang dapat mengakibatkan Penyakit Akibat Kerja
(PAK). Sumbernya bisa dari pertanian, peternakan, pekerjaan lapangan, dan
laboratorium.

A. Jenis Pekerjaan dan Bahaya Faktor Biologi

1. Pertanian, kehutanan
 Terdapat bahaya hewan : cacing, serangga beracun (laba-laba,
kalajengking), ular berbisa
 Bahaya tumbuhan : serbuk sari yang dapat menyebabkan iritasi, infeksi
oleh jamur, maupun duri atau bulu tumbuhan yang sebabkan dermatosis
kulit seperti tanaman fulus yang mengandung asam formiat pada bulu yang
sebabkan bentol/ gatal pada kulit
 Tembakau bisa sebabkan keracunan dan tabacosis
 Resin pada bunga matahari menyebabkan dermatosis eksudatif pada kulit
 Debu dari tumbuhan kapas menyebabkan bisinosis

2. Peternakan
 Banyak penyakit yang terdapat pada hewan bisa menular pada pekerja
seperti : penyakit kuku-mulut pada hewan, vaccinia yang terjadi pekerja
pemerah sapi yang belum di vaksin. Bakteri anthrak pada hewan menular
ke pekerja di penjagalan ternak sapi, domba, burung unta.
 Bakteri pfeiferella pada kuda, penyakit weil pada tikus. Psitaccosis pada
merpati yang disebabkan oleh ricketsia.

27
3. Pekerjaan bangunan, pembukaan lahan,menggali selokan, parit, penambangan
 Bahaya pada pekerjaan ini antara lain infeksi jamur kokodomikosis,
infeksi cacing tambang, histoplasmosis, leptospirosis, bakteri tetanus.

4. Penanganan dan pengepakan daging/ ikan

 Bahaya terinfeksi tuberculosis bovin (TBC pada ternak), brucellosis dan


tularemia, anthrak.

5. Penanganan ayam/ burung


 Terdapat bahaya infeksi jamur, virus new castle, penyakit psitaccosis pada
merpati yang disebabkan oleh ricketsia

6. Pekerjaan kulit, woll : bahaya anthraks


7. Dokter, perawat, laboratorium kesehatan
 Bahaya penularan adalah dari pasien yang dirawat atau dari media yang
diperiksa dilaboratorium seperti dahak, darah dll

8. Pekerjaan dalam kondisi hangat dan lembab


 Pekerjaan didapur yang hangat dan lembab, di sauna merupakan tempat
ideal untuk pertumbuhan jamur. Candida albicans hidup subur ditempat
dengan kadar gula tinggi seperti di toko roti, indutri manisan dll.

B. Penyakit Akibat Faktor Biologi

1. BRUCELLOSIS
 Sumber : bakteri brucella pada kambing, sapi, babi.
 Cara penularan : kontak dengan jaringan hewan terinfeksi, terutama
melalui kulit yang terluka atau lecet
 Resiko : pekerja peternakan, lab hewan, tukang daging, ahli bedah
hewan.

2. LEPTOSPIOSIS
 Sumber : leptospira yang hidup pada hewan pengerat tikus, babi, ternak
sapi, maupun hewan peliharaan anjing
 Cara penularan : kontak dengan urine, kotoran hewan yang terinfeksi
 Resiko : petani, peternak, pekerja lab

3. SALMONELLA
28
 Sumber : hidup pada kulit telur unggas
 Resiko : peternak unggas

4. SCHITOSOMIOSIS
 Sumber : bakteri
 Resiko : orang yang bekerja di air yang terkontaminasi

5. TULAREMIA
 Sumber : francisella tulariensis pada hewan pengerat, kelinci, rusa
 Cara penularan : kontak dengan luka hewan yang terinfeksi, gigitan
 Resiko : tukang daging, pekerja kehutanan, pemburu, petani

6. BAGASOSSIA
 Infeksi jamur yang hidup pada bagase (ampas tebu) di pabrik gula.

C. Pengukuran Dan Pemantauan

Gambar 4. Pengukuran
Pengukuran, pemantauan, dan pengendalian faktor biologi harus dilakukan
pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya faktor biologi.
Tabel 1. Faktor Biologi

29
Jika hasil pengukuran faktor biologi melebihi standar, maka harus dilakukan
pengendalian. Semua potensi bahaya kecuali binatang berbisa dan buas dilakukan
pengendalian dengan:
 Menghilangkan sumber bahaya faktor biologi dari tempat kerja
 Mengganti bahan dan proses kerja yang menimbulkan sumber bahaya faktor
biologi
 Mengisolasi atau membatasi pajanan sumber bahaya faktor biologi
 Menyediakan sistem ventilasi
 Mengatur atau membatasi waktu pajanan terhadap sumber bahaya faktor biologi
 Menggunakan baju kerja yang sesuai
 Menggunakan APD yang sesuai
 Memasang rambu-rambu yang sesuai
 Memberikan vaksinasi apabila memungkinkan
 Meningkatkan higiene perorangan
 Memberikan desinfektan penyediaan fasilitas Sanitasi berupa air mengalir dan
antiseptik
 Pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.

D. Mengontrol Bahaya Dari Faktor Biologi

1. Penggunaan APD (masker yang baik untuk pekerja yang berisiko tertular lewat
debu yang mengandung organisme patogen)
2. Mengkarantina hewan yang terinfeksi dan vaksinasi
3. Imunisasi bagi pekerja yang berisiko tertular penyakit di tempat kerja
4. Membersihkan semua debu yang ada di sistem pendingin ( 1 kali setiap bulan )
5. Membuat sistem pembersihan yang memungkinkan terbunuhnya
mikroorganisme yang patogen pada sistem pendingin.

30
BAB V
FAKTOR KIMIA DI TEMPAT KERJA

Faktor kimia adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas pekerja yang bersifat kimiawi,
diakibatkan oleh penggunaan bahan kimia dan turunannya di tempat kerja yang dapat
mengakibatkan penyakit pada pekerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap, dan
partikulat.

A. Bahaya Faktor Kimia

Risiko kesehatan timbul dari pajanan berbagai bahan kimia. Banyak bahan
kimia yang memiliki sifat beracun dapat memasuki aliran darah dan
menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan organ lainnya. Bahan
kimia berbahaya dapat berbentuk padat, cairan, uap, gas,
debu, asap atau kabut dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara utama
antara lain:

1. Inhalasi (menghirup): Dengan bernapas melalui mulut atau hidung, zat


beracun dapat masuk ke dalam paru-paru. Seorang dewasa saat istirahat
menghirup sekitar lima liter udara per menit yang mengandung debu, asap,
gas atau uap. Beberapa zat, seperti fiber/serat, dapat langsung melukai paru-
paru. Lainnya diserap ke dalam aliran darah dan mengalir ke bagian lain
dari tubuh.

2. Pencernaan (menelan): Bahan kimia dapat memasuki tubuh jika makan


makanan yang terkontaminasi, makan dengan tangan yang terkontaminasi
atau makan di lingkungan yang terkontaminasi. Zat di udara juga dapat
tertelan saat dihirup, karena bercampur dengan lendir dari mulut, hidung
atau tenggorokan. Zat beracun mengikuti rute yang sama sebagai makanan
bergerak melalui usus menuju perut.

3. Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif: Beberapa di antaranya

31
adalah zat melewati kulit dan masuk ke pembuluh darah, biasanya melalui
tangan dan wajah. Kadang-kadang, zat-zat juga masuk melalui luka
dan lecet atau suntikan (misalnya kecelakaan medis).

Guna mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi di lingkungan


kerja akibat bahaya faktor kimia maka perlu dilakukan pengendalian lingkungan
kerja secara teknis sehingga kadar bahan-bahan kimia di udara lingkungan kerja
tidak melampaui nilai ambang batas (NAB).

Efek terhadap kesehatan


 Efek lokal : bila bakim hy mnyebbkn efek pd satu organ sj yg brsifat lokal,
spt nikel dpt mengiritasi kulit dsb.
 Efek sisitemik : bila bakim dpt menyebabkn ggn pd > dr satu organ&sifaty bs
mngenai slrh tbh scr sistemik, spt pestisida organofosfat yg dpt mnyebbkn
klainan pd otak & sistem syraf.
B. Bahan kimia di tempat kerja

Bahan-bahan kimia digunakan untuk berbagai keperluan di tempat kerja.


Bahan- bahan kimia tersebut dapat berupa suatu produk akhir atau bagian bentuk
bahan baku yang digunakan untuk membuat suatu produk. Juga dapat digunakan
sebagai pelumas, untuk pembersih, bahan bakar untuk energi proses atau produk
samping.

Banyak bahan kimia yang digunakan di tempat kerja mempengaruhi


kesehatan kita dengan cara-cara yang tidak diketahui. Dampak kesehatan dari
beberapa bahan kimia bisa secara perlahan atau mungkin membutuhkan waktu
bertahun- tahun untuk berkembang.

C. Jenis-jenis Bahan Kimia

1. Mudah Meledak

Gambar 5. Mudah terbakar

2. Mudah Terbakar

32
Gambar 6. Mudah terbakar

3. Beracun

Gambar 7. Bahan kimia beracun

4. Korosif

Gambar 8. Bahan kimia korosif


5. Oksidator

33
Gambar 9. Oksidator

6. Reaktif

Gambar 10. Reaktif

7. Radioaktif

Gambar 11. Radioaktif

34
D. Pengukuran dan Pengendalian
Pada pasal 20, pengukuran dan pengendalian faktor kimia harus dilakukan
pada tempat kerja yang memiliki potensi bahaya bahan kimia. Pengukuran faktor
kimia dilakukan terhadap pajanannya dan pekerja yang terpajan.
Hasil pengukuran faktor kimia terhadap pajanan harus dibandingkan dengan:
1. Nilai Ambang Batas (NAB) yang harus dilakukan paling singkat selama 6 jam.
2. Pajanan Singkat Diperkenankan (PSD) yang harus dilakukan paling singkat
selama 15 menit sebanyak 4 kali dalam durasi 8 jam kerja.
3. Kadar Tertinggi Diperkenankan (KTD) yang harus dilakukan menggunakan
alat pembacaan langsung untuk memastikan tidak terlampaui.
Sementara pengukuran faktor kimia terhadap pekerja yang terpajan dilakukan
melalui pemeriksaan kesehatan khusus pada spesimen tubuh pekerja dan
dibandingkan dengan Indeks Pajanan Biologi (IPB). IPB adalah kadar konsentrasi
bahan kimia yang didapatkan dalam spesimen tubuh pekerja dan digunakan untuk
menentukan tingkat pajanan terhadap pekerja sehat yang terpajan bahan kimia.
 

Gambar 12. Poster K3 Penanganan Bahan Kimia


Jika hasil pengukuran terhadap pajanan melebihi NAB dan terhadap pekerja
yang mengalami pajanan melebihi IPB harus dilakukan pengendalian, di antaranya:
1. Menghilangkan sumber potensi bahaya kimia di tempat kerja
2. Mengganti bahan kimia dengan bahan kimia lain yang tidak mempunyai potensi
bahaya atau potensi bahaya yang lebih rendah

35
3. Memodifikasi proses kerja yang menimbulkan sumber potensi bahaya kimia
4. Mengisolasi atau membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia
5. Menyediakan sistem ventilasi
6. Membatasi pajanan sumber potensi bahaya kimia melalui pengaturan waktu
kerja
7. Merotasi pekerja ke dalam proses pekerjaan yang tidak terdapat potensi bahaya
bahan kimia;
8. Penyediaan lembar data keselamatan bahan (LDKB) dan label bahan kimia
9. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai
10. Pengendalian lainnya sesuai dengan tingkat risiko.

36
BAB VI
PENCAHAYAAN

A. Pengertian Pencahayaan

Pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang


diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. (Kemenkes 1405
tahun 2002 ).
Pencahayaan atau iluminasi adalah penggunaan cahaya yang disengaja untuk
mencapai efek praktis atau estetika. Pencahayaan mencakup penggunaan kedua
sumber cahaya buatan seperti lampu, serta penerangan alami dengan menangkap
cahaya siang hari. Pencahayaan siang hari (menggunakan jendela, lampu langit-
langit, atau rak cahaya) kadang-kadang digunakan sebagai sumber cahaya utama
pada siang hari di gedung-gedung. Ini dapat menghemat energi daripada
menggunakan pencahayaan buatan, yang mewakili komponen utama konsumsi
energi pada bangunan. Pencahayaan yang tepat dapat meningkatkan kinerja tugas,
meningkatkan tampilan suatu area, atau memiliki efek psikologis positif pada
penghuninya.

B. Ruang Lingkup Pencahayaan

1. Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan tenaga kerja


dapat melihat obyek dengan baik, jelas dan tanpa upaya-upaya yang
dipaksakan (kesesuaian dengan jenis pekerjaan).
2. Penerangan yang cukup dan diatur secara baik akan membantu menciptakan
lingkungan kerja yang nyaman dan menyenangkan (kegairahan kerja).

C. Fungsi Pencahayaan

1. Untuk memberikan kontribusi yg berarti pd seluruh lingkungan kerja, shg setiap


obyek kerja dpt lebih mudah dilihat dan dikerjakan
2. Untuk menerangi tugas-tugas tertentu, shg pekerjaan dpt dikerjakan dgn akurat
dan efisien
3. Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja
4. Untuk memberikan keamanan di dalam dan di skitar tempat kerja

D. Istilah-istilah dalam Pencahayaan

1. Lux : satuan intensitas penerangan per meter persegi yang dijatuhi arus cahaya 1
lumen
2. Luxmeter : alat yang digunakan untuk mengukur intensitas penerangan dalam
satuan lux

37
3. Penerangan setempat : penerangan di tempat obyek kerja,baik berupa meja
kerja maupun peralatan
4. Penerangan umum : penerangan di seluruh area tempat kerja
5. Intensitas penerangan :Banyaknya sinar mengenai suatu permukaan
6. Luminensi :Ukuran tingkat terangnya suatu permukaan
7. Kontras : Derajat perbedaan diantara luminensi 2 objek oleh permukaan
(mampu membedakan suatu warna)
8. Akomodasi : Kemampuan mata untuk memfokus kepada objek pada jarak dari
titik terdekat sampai terjauh
9. Lebar kecinya pupil : Tergantung pada intensitas dan sifat penerangan, Jarak
objek,tenaga kerja, kesehatan dan bahan kimia.
10. Adaptasi retina :Perubahan kepekaan retina atas dasar penerangan, Adaptasi
gelap,terang dan sebagian

E. Sifat Pencahayaan yang Baik

1. Pembagian luminensi dlm lapangan penglihatan


 Lapangan penglihatan yang baik adalah dengan kekuatan terbesar ditengah
pada daerah kerja yang dilakukan.
 Perbandingan terbaik antara luminensi pusat, daerah sekitar pusat dan
lingkungan sekitarnya adalah 10:3:1
 Kondisi penerangan dinyatakan baik atau tidak bila memenuhi syarat jika
perbedaan lumensi melebihi perbandingan 40:1 baik di lapangan
penglihatan pekerjaan maupun terhadap lingkungan luar.
2. Kesilauan
 Terjadi bila perbedaan penyebaran luminensi melebihi perbandingan 40 :1,
namun pada umumnya terjadi karena keterbatasan kemampuan
penglihatan.
 Kepekaan retina seluruhnya menyesuaikan dengan luminensi rata-rata
sehingga pda lapangan penglihatan dengan luminensi berbeda, retina
terlalu peka untuk luminensi yang tinggi, tetapi sangat kurang peka untuk
daerah yang samar-samar.
3. Arah Cahaya
 Sumber cahaya yang cukup jumlahnya sangat berguna dalam mengatur
pencahayaan yang baik. Cahaya dari berbagai arah dapat meniadakan
gangguan oleh bayangan.
4. Warna Cahaya
 Warna dalam linkungan sebagai akibat penerangan menentukan rupa dari
pada lingkungan, tergantung dekorasi dan penerangan

38
F. Standar Intensitas Pencahayaan
Standar intensitas penerangan terhadap jenis pekerjaan diatur dalam Peraturan
Menteri Perburuhan No 7 Tahun 1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan
serta penerangan dalam tempat kerja, telah menetapkan ketentuan penting intensitas
penerangan menurut sifat jenis.
Pasal 14
• Penerangan yang cukup untuk halaman dan jalan-jalan dalam lingkungan
perusahaan, paling sedikit 20 lux.
• Penerangan yang cukup untuk pekerjaan-pekerjaan yang hanya membeda-
membedakan barang kasar, paling sedikit 50 lux
• Penerangan yang cukup untuk menbedakan barang-barang kecil secara sepintas
lalu, paling sedikit 100 lux
• Penerangan yang cukup untuk menbedakan barang-barang kecil agak teliti,
paling sedikit 200 lux
• Penerangan yang cukup untuk membedakan secara teliti barang-barang kecil dan
halus, paling sedikit 300 lux
• Penerangan yang cukup untuk membedakan barang-barang halus dgn kontras
yang sedang dan waktu lama, paling sedikit 500-1000 lux
• Penerangan yang cukup untuk menbedakan barang-barang yang sangat halus
dan kontras yang sangat kurang utk waktu yang lama, paling sedikit 1000 lux

G. Pengukuran
Prinsip :
• Pengukuran intensitas penerangan ini memakai alat luxmeter yg hasilnya dapat
dibaca langsung
• Alat ini mengubah energi cahaya mjd energi listrik, kemudian energi listrik dlm
bentuk arus digunakan menggerakkan jarum skala
• Untuk alat digital, energi listrik diubah mjd angka yg dpt dibaca pd layar
monitor

Syarat :
• Pintu ruangan dlm keadaan sesuai dgn kondisi tempat pekerjaan dilakukan
• Lampu ruangan dalam keadaan dinyalakan sesuai dgn kondisi pekerjaan

H. Akibat Penerangan yang Buruk (Suma’mur 1980)


 Kelelahan mata sebagai akibat dari berkurangnya daya & efisensi kerja
 Keluhan pegal/ sakit di daerah mata
 Kerusakan indera mata

39
 Kelelahan mental
 Pegal daerah mata & sakit kepala disekitar mata
 Meningkatnya kecelakaan kerja
Gejala-gejala kelelahan mental :
 Sakit kepala
 Penurunan kemampuan intelektual
 Penurunan daya konsentrasi
 Penurunan kecepatan berpikir

I. Lux Meter
1. Pengertian Lux meter
Luxmeter merupakan sebuah alat yang mampu mengetahui serta mengukur
seberapa besar intensitas cahaya yang berada di suatu tempat. Tentunya bukan
rahasia umum lagi jika setiap tempat memiliki ukuran penerangan yang
berbeda-beda, hal tersebut ditentukan oleh faktor kebutuhan yang melekat.

2. Jenis Lux meter


Dalam perkembangannya, alat ukur cahaya tersebut dikelompokkan
menjadi 2 jenis yang memiliki fungsi sama melainkan media pengukurannya
berbeda.

a. Lux meter Analog.


Alat ukur cahaya jenis analog dalam mengetahui besarnya intensitas
cahaya menggunakan dua skala, yakni yang terletak di atas dan di bawah.
Terdapat kisaran skala 60 untuk yang terletak di atas, kemudian skala 60
untuk yang terletak di bawah. Skala tersebut merupakan penentu besar
kecilnya intensitas cahaya yang ada, maka semuanya nantinya jumlah
intensitas cahaya yang keluar bergantung pada skala yang digunakan.
b. Lux Meter Digital.
Sebagian besar masyarakat lebih memilih menggunakan alat ukur cahaya
jenis digital, karena dinilai lebih cepat dan praktis. Terdapat tiga range
yang berbeda pada skala pengukurannya, yakni A, B, dan C. Range yang
digunakan nantinya berpengaruh pada pengukuran cahaya yang akan
dihasilkan. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, sebaiknya gunakan
range A karena memiliki jumlah lux hingga 2000.

3. Fungsi Lux Meter


Sesuai dengan namanya, fungsi alat tersebut adalah sebagai pengukur
intensitas cahaya yang tersebar di dalam suatu tempat. Penciptaan alat ukur
cahaya tersebut dilatarbelakangi kesadaran kebutuhan cahaya yang berbeda-
beda di tiap ruangan, misalnya pada ruang kerja. Pencahayaan yang ada di
ruang kerja tentunya harus lebih terang daripada kamar tidur.

40
Hal tersebut karena mata harus dengan jelas menangkap segala hal dengan
baik yang nantinya digunakan untuk menunjang aktivitas kerja. Akan tetapi
berbeda dengan kamar tidur yang tidak bermasalah meskipun menggunakan
pencahayaan tidak terlalu terang, sebab saat tidur akan lebih baik apabila tubuh
tidak menyerap terlalu banyak cahaya.

4. Bagian – Bagian Lux Meter

Gambar 13. Lux meter

Sama seperti media ukur lainnya, alat ini juga memiliki bagian-bagian
yang memiliki fungsi berbeda-beda. Bentuk alat ukur tersebut yang minimalis
dan hampir menyerupai seperti handphone, tidak membuatnya memiliki
bagian-bagian yang rumit. Terdapat lima bagian penting dari alat ini yang perlu
Anda ketahui agar nantinya bisa menggunakan serta membaca hasilnya dengan
mudah.

a. Layar panel
Layar panel yang terdapat di dalam alat ukur ini memiliki ukuran persegi
yang tidak terlalu lebar. Fungsinya adalah untuk menampilkan hasil
pengukuran yang sudah dilakukan menggunakan skala. Semakin besar
angka yang muncul menandakan semakin besar pula cahaya yang ada di
tempat tersebut, begitu juga sebaliknya semakin kecil angka yang muncul
maka semakin kecil pula cahaya yang berada dalam tempat yang diukur.
b. Tombol Off/On.
Setiap alat tentunya memiliki tombol off/on yang berfungsi untuk bisa
menghidupkan dan mematikan, sehingga penggunaannya juga dapat lebih
diatur. Selain itu, dengan adanya tombol dapat berguna untuk menghemat
baterai yang ada pada alat tersebut, dan nantinya sama saja dengan
menghemat listrik.
c. Tombol Range

41
Tombol range adalah salah satu komponen yang sangat penting untuk
digunakan dalam proses pengukuran. Hal itu dikarenakan tombol inilah
yang nantinya akan menentukan jangkauan pengukuran hingga sebesar
apa.
d. Zero Adjust VR.
Pada bagian ini berfungsi untuk mengatasi masalah alat yang berkaitan
dengan pembagian tanda skala. Apabila terjadi error, Zero adjust VR
mampu mengembalikannya seperti semula, namun artinya Anda juga
harus mengulang kembali proses pengukuran dari awal.
e. Sensor Cahaya.
Bagian yang satu ini memiliki peran yang paling penting karena digunakan
untuk menangkap cahaya yang hendak diukur. Oleh karena itu pastikan
untuk merawatnya dengan baik karena biasanya sensor cahaya tersebut
memiliki layar yang sangat sensitif. Selain itu, jangan lupa juga untuk rutin
membersihkannya menggunakan tisu atau kapas, dan pastikan agar tidak
terkena air.
5. Cara Menggunakan Lux meter
Sebelum menggunakan alat ukur cahaya tersebut pastikan terlebih dahulu
baterainya masih terisi penuh. Jika tidak akan sangat mengganggu apabila di
tengah-tengah kegiatan mengukur baterai tiba-tiba habis. Selain itu, ada lagi
hal penting yang harus kamu perhatikan, yakni kondisi sensor cahaya.

Sensor cahaya memiliki layar sentuh yang cukup sensitif, sehingga kamu
harus benar-benar menjaga kebersihan dan juga ketika proses pengukuran
harus ditempatkan pada sudut area yang tepat. Berikut terdapat langkah-
langkah prosedur penggunaan alat ukur cahaya tersebut yang sangat mudah
untuk dilakukan.

 Langkah yang pertama adalah nyalakan alat terlebih dahulu dengan cara
menekan tombol on atau yang memiliki gambar bulat dengan garis di
tengahnya.
 Langkah yang kedua adalah pilih kisaran range untuk dijadikan patokan
saat proses pengukuran. Tekan tombol berwarna merah yang bertuliskan
range, lalu pilih tiga kisaran level yang ditampilkan yakni 2.000 lux,
20.000 lux, dan 50.000 lux. Sebenarnya jika ingin mengukur cahaya alami
lebih disarankan menggunakan range 2.000 lux karena nanti hasilnya akan
lebih jelas dan mudah untuk dibaca.
 Lalu, langkah yang ketiga adalah mengarahkan sensor cahaya pada sudut
area yang ingin diketahui jumlah intensitas cahayanya. Pastikan untuk
mengarahkan pada tempat yang strategis, agar nantinya sensor yang
diperoleh benar-benar akurat.
 Kemudian setelah ketiga proses tersebut dilakukan dengan baik, Anda bisa
menunggu sejenak dan nantinya hasil dari pengukuran akan muncul pada
layar panel. Cara membaca hasilnya bergantung pada kisaran range yang
dipilih, kemudian dikalikan dengan jumlah 1 lux.

42
6. Cara Kerja Luxmeter
Alat pengukur cahaya tersebut sudah dilengkapi dengan berbagai fitur
yang dapat mendukung proses pengukuran dengan baik. Di dalam alat ini juga
dilengkapi dengan sel foto yang nantinya digunakan untuk menangkap cahaya
yang dibutuhkan oleh layar panel sensor cahaya. Jenis sensor yang digunakan
biasanya adalah photo diode, yang merupakan salah satu bagian dari sensor
optik. Yang terpenting adalah meletakkan sensor cahaya pada area pusat yang
ingin diketahui tingkat intensitas cahayanya.

Respons alat ini tentunya akan berbeda apabila terkena cahaya alami dan
cahaya buatan, sebab memang biasanya cahaya alami memiliki warna serta
panjang gelombang yang sangat berbeda dengan cahaya buatan.

Penggunaan luxmeter biasanya sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis maupun


industri, akan tetapi bukan berarti jika dalam kehidupan sehari-hari tidak penting
menggunakan alat ukur tersebut. Setiap orang tentunya ingin mendapatkan
kapasitas cahaya yang cukup agar sensor dalam otak bisa menggunakannya sesuai
dengan porsi yang sudah dibutuhkan. Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk
mengukur terlebih dahulu tingkat cahaya yang ada dalam suatu tempat atau
ruangan, agar nantinya dapat mendapatkan jumlah cahaya yang maksimal.

43
BAB VII
KEBISINGAN

A. Pengertian

Semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang berumber dari alat-alat proses
produksi/ alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran

B. Jenis Kebisingan
 Bising kontinu (terus menerus) seperti suara mesin, kipas angin, dll.
 Bising intermitten (terputus putus) yang terjadi tidak terus menerus seperti suara
lalu lintas, suara pesawat terbang
 Bising Impulsif yang memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam
waktu yang cepat sehingga mengejutkan pendengarnya seperti suara senapan,
mercon, dll
 Bising impulsif berulang yang terjadi secara berulang-ulang pada periode yang
sama seperti suara mesin tempa.

C. Nilai Ambang Batas

Sesuai Kepmenakertrans No : PER-13/MEN/X/2011 adalah 85 dBA, utk waktu


pemajanan 8 jam perhari dan utk kebisingan lebih dari 140 dBA walaupun sesaat
pemajanan tdk diperkenankan.

Intensitas Bunyi
 82 dB
 85 dB
 88 dB
 91 dB
 97 dB
 100 dB

44
Baku mutu lingkungan sesuai Kepmen LH No. 48 tahun 1996

45
D. Alat Pelindung Diri

Gambar 14. APD


1. Ear Plug
 Tergantung pemakaian
 Bila pemakaian baik, daya atenuasi/daya lindung 25-30 dB.
 Bila ada kebocoran dlm pemakaian dpt mengurangi atenuasi sampai 15 dB.
2. Ear Muff
 Daya atenuasi sampai 42 dB (35-45 dBA)
 Utk keadaan khusus dpt dikombinasikan antara ear muff dgn ear plug shg
atenuasi > tinggi, tp tdk lebih dari 50 dB,krn hantaran suara mll tulang msh
ada.

E. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan Alat Pelindung Diri

1. Dapat melindungi pekerja dari kebisingan


2. Nyaman diapakai dan efisien
3. Cocok dengan Alat Pelindung diri yang lainnya misal helm dan kacamata
4. Masih bisa berkomunikasi ketika digunakan, karena jika berlebihan dapat
menimbulkan bahaya lainnya misal tidak dapat mendengar isyarat atau sirene
tanda bahaya.

F. Pengaruh Kebisingan
1. Gangguan fisiologis
Gangguan berupa peningkatan tekanan darah, nadi dan dapat menyebabkan
pucat dan gangguan sensoris
2. Gangguan psikologis
berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, emosi dll.
3. Gangguan komunikasi
dapat menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan bisa berakibat kepada
kecelakaan karena tidak dapat mendengar isyarat a
4. Gangguan pada pendengaran

46
Merupakan gangguan yang paling serius karena pengaruhnya dapat
menyebabkan berkurangnya fungsi pendengaran. ataupun tanda bahaya.

G. Alat Ukur Kebisingan

Sound Level Meter

Gambar 15. Sound Level meter


adalah alat pengukur tingkat kebisingan atau biasa disebut decible meter
portabel yang berfungsi untuk mengukur atau menguji tingkat kebisingan suara
dalam suatu area atau lingkungan tempat kita bekerja. Alat pengukur
kebisingan suara ini biasanya digunakan oleh perusahaan perusahaan yang dalam
proses produksinya berhubungan erat dengan masalah kebisingan seperti industri
kaleng dan industri industri lainya yang yang berpotensi mengganggu ketenangan
lingkungan dalam kegiatan produksinya. Dengan alat pengukur tingkat kebisingan
suara ini, perusahaan dapat mengukur atau menguji untuk kemudian melakukan
antisipasi jika tingkat kebisingan yang dihasilkan dari proses industri mereka
melebihi dari batas minimal yang ditentukan oleh pihak yang berwenang.

H. Mengurangi Kebisingan

1. Identifikasi sumber umum penyebab kebisingan, seperti mesin, system


ventilasi, dan alat-alat listrik. Tanyakan kepada pekerja apakah mereka
memiliki masalah yang terkait dengan kebisingan.

47
2. Melakukan inspeksi tempat kerja untuk pajanan kebisingan. Inspeksi mungkin
harus dilakukan pada waktu yang berbeda untuk memastikan bahwa semua
sumber- sumber kebisingan teridentifikasi.
3. Terapkan 'rule of thumb' sederhana jika sulit untuk melakukan percakapan,
tingkat kebisingan mungkin melebih batas aman.
4. Tentukan sumber kebisingan berdasarkan tata letak dan identifikasi para
pekerja yang mungkin terekspos kebisingan
5. Identifikasi kontrol kebisingan yang ada dan evaluasi efektivitas
pengendaliannya
6. Setelah tingkat kebisingan ditentukan, alat pelindung diri seperti penutup
telinga (earplug dan earmuff) harus disediakan dan dipakai oleh pekerja di
lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan tidak dapat dikurangi.
7. Dalam kebanyakan kasus, merotasi pekerjaan juga dapat membantu
mengurangi tingkat paparan kebisingan.

48
BAB VIII
PENGANTAR EPIDEMIOLOGI K3
A. Pengertian

1. Epidemiologi K3 adalah studi yang mempelajari efek kesehatan yang


disebabkan oleh faktor-faktor pemaparan (bahaya) di lingkungan kerja
2. Epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi dan determinan-determinan dari
kejadian yang berhubungan dengan kesehatan dalam suatu populasi tertentu
(Last, 1988).
3. Sasaran  populasi manusia, penyakit – cidera, mencari sebab - kausa
4. Obyek epidemiologi adalah pada sekelompok individu (masyarakat) dan
mengamati semua kejadian / peristiwa dan semua faktor yang menyertainya
serta menganalisa hasil pengamatan tersebut.

B. Tujuan

1. Untuk menentukan pemapar yang menyebabkan penyakit akibat pekerjaan atau


gangguan kesehatan 
2. Merekomendasi upaya pencegahan
3. Menyediakan data untuk proyeksi yang akan datang.

C. Manfaat

1. Mengidentifikasi faktor sebagai bahan perencanaan, manajemen dan evaluasi.


2. Menyusun standar k3
3. Menggambarkan mekanisme toksisitas dan proporsi kelompok tenaga kerja
yang terpapar hazards ke arah perkembangan atau timbulnya penyakit akibat
pekerjaan atau gangguan kesehatan
4. Melihat banyaknya kesakitan akibat penyakit akibat pekerjaan atau kecelakaan
kerja antara berbagai kelompok tenaga kerja.
5. Menjelaskan sebab terjadinya penyakit akibat pekerjaan atau kecelakaan kerja
6. Mencari hubungan sebab akibat atau pengaruh hazards bagi tenaga kerja dan
menguji hipotesa.

D. Klasifikasi Faktor Penyebab Penyakit

1. Faktor – faktor penyebab penyakit kecelakaan


 Faktor – faktor fisik (temperature, debu, kebisingan, beban kerja,
ergonomic kerja dsb)
 Faktor – faktor kimia (zat – zat yang mempunyai effect carcinogenic
seperti asbes dan pestisida iritatif seperti ammonia racun seperti pastisida
dan atau terbakau seperti natrium oksida)

49
 Faktor – faktor biologi( jamur, serbuk tumbuhan penyebab allergi dan
mikroorganisme)
 Faktor – faktor kecelakaan( biasanya berhubungan dengan alat – alat
keselamatan kerja dan kedisiplinan tenaga kerja )
 Faktor ergonomi ( keserasian alat kerja dengan antropmetri manusia /
pekerja )
 Faktor – faktor psikologis (stress, jenuh, hubungan kerja dengan atasan
bawahan atau teman , kecewa, tidak puas, tidak dihargai dsb)
2. Berbagai penyakit akibat kerja yang utama
 Penyakit – penyakit paru ( asbestosis akibat debu asbes,silicosis akibat
siO2 bebas,berryliosis akibat debu Be,siderosis akibat debu Fe2O3
stannosis akibat bijih timah putih (SnO2) bissinosis akibat debu kapas )
 Gangguan – gungguan kulit pada pekerja yang mneggunakan kaustik soda.
 Kegagalan ginjal pada pekerja yang menggunakan timah hitam.
 Gangguan – gangguan reproduksi pada pekerja yang tereksposur pestisida
tertentu contoh: studi di daerah pertanian di Brebes (Denny,2000 ).
 Gangguan – gangguan kronis di sistem “musculo- skeletal” pada paekerja
yang melakukan gerakan rutin dan berulang atau “repelitive motion “.
Contoh : studi CTS di semiconductor industry di metro manila
(Denny,dkk, 1998)
 Luka –luka dan cacat akibat kecelakaan kerja.
 “hearing loss” atau gangguan dan kehilangan pendengaran.
 Gangguan penglihatan

E. Studi Epidemiologi

 Cross – sectional : observasi suatu grup pada titik waktu tertentu yang biasanya
menggunakan test klinis,interview dan pengukuran eksposur dilingkungan
kerja
 Cohort : melihat ke arah eksposurnya dan di ikuti dlm rentang waktu tertentu utk
melihat seberapa besar resiko relatif dari kelompok tereksposur dan tanpa
eksposur
 Case – control : menganalisa sejauh mana perbandingan kelompok kasus dan
kontrol memiliki riwayat eksposur yang relevan dengan penelitian
 Study etiologis : pendekatan penelitian secara empiris yang melibatkan suatu
kelompok sebagai unit analisis,

F. FITUR KHUSUS EPIDEMIOLOGI LINGKUNGAN DAN PEKERJAAN

Epidemiologi digunakan dalam bidang lingkungan dan pekerjaan untuk


membangun:
·         Etiologi
·         Ilmu pengetahuan alam
·         Status kesehatan populasi

50
·         Nilai intervensi dan pelayanan kesehatan
Salah satu fitur khusus dari epidemiologi lingkungan adalah basis geografis.
Udara, air dan polusi tanah umumnya terkait dengan sumber dengan lokasi
geografis yang ditetapkan. Pemetaan tingkat lingkungan atau paparan karena itu
dapat menjadi alat yang berguna dalam studi epidemiologi.
Studi epidemiologi lingkungan sering membutuhkan perkiraan dan pemodelan
untuk kuantifikasi paparan, karena pengukuran paparan individu sangat sulit untuk
merakit. pemodelan kualitas udara dikombinasikan dengan sistem informasi
geografis (GIS) analisis telah digunakan dalam beberapa penelitian efek kesehatan
polusi udara. Salah satu contoh penilaian paparan adalah jumlah hari ketika
nitrogen konsentrasi dioksida melebihi poin cut-off yang berbeda, dan jumlah orang
yang terkena di bagian yang berbeda dari kota berdasarkan data sensus.

1.      Menetapkan Standar Keselamatan


Hubungan Dosis-efek dan dosis-respons ini sangat penting dalam
epidemiologi lingkungan dan pekerjaan karena mereka memberikan dasar
untuk menetapkan standar keselamatan. Hubungan dosis-efek dapat digunakan
untuk menentukan efek yang paling penting untuk pencegahan.
Setelah keputusan dibuat tentang tingkat respon diterima, hubungan dosis-
respons memberikan dosis maksimum yang akan diterima.  WHO telah
mengembangkan serangkaian pedoman kualitas air, pedoman kualitas udara
dan maksimum batas paparan berbasis kesehatan dengan menggunakan
pendekatan ini. Dalam menanggapi kecelakaan di stasiun tenaga nuklir
Chernobyl, pedoman juga dikembangkan untuk menilai kontaminasi radioaktif
dari makanan. Studi epidemiologi lebih lanjut diperlukan untuk memberikan
informasi lebih lanjut tentang hubungan dosis-respons.
2.      Mengukur Paparan Masa Lalu
Salah satu fitur khusus dari banyak penelitian etiologi dalam epidemiologi
kerja adalah penggunaan catatan perusahaan atau serikat buruh untuk
mengidentifikasi individu dengan paparan masa lalu untuk bahaya tertentu atau
jenis pekerjaan . Dengan bantuan dari catatan tersebut, penelitian kohort
retrospektif dapat dilakukan.
3.      Efek Pekerja Sehat Dalam Studi Kerja
Studi epidemiologi kerja sering dilakukan pada laki-laki yang sehat secara
fisik. Kelompok pekerja ini memiliki tingkat kematian secara keseluruhan lebih
rendah dari kelompok usia yang sesuai pada populasi umum. Kematian yang
lebih rendah disebut juga efek pekerja sehat yang perlu diperhitungkan setiap
kali angka kematian dalam kelompok pekerja dibandingkan dengan tingkat
pada populasi umum. Seringkali persentase antara pekerja yang sehat adalah
70% -90% dari orang-orang di populasi umum. Perbedaannya timbul karena
adanya orang yang tidak sehat dan cacat pada populasi non-kerja, yang
biasanya memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi.

51
BAB IX
ERGONOMI
A. Pengertian
 Ergonomi berasal dari bahasa Yunani ergon yang berarti kerja dan nomos
yang berarti aturan. Ergonomi merupakan suatu aturan yang berhubungan dengan
kerja.
Menurut IEA (2002) menyatakan bahwa ergonomi adalah ilmu yang
meempelajari tentang hubungan antara manusia dengan pekerjaan yang
menggunakan teori, prinsip data dan metode untuk menciptakan sistem yang
optimal.
Pengertian ergonomi menurut Mc Coinick ada tiga hal, yaitu:
 Ergonomi berkaitan dengan memfokuskan diri pada manusia dan bagaimana
interaksi yang terjalin dengan produk, peralatan, asilitas dan di lingkungan
tempat kerja dalam kehidupan sehari – hari.
 Ergonomi menekankan pada peningkatan efektifitas dan efisiensi kerja yang
bertujuan untuk meningkatkan nilai – nilai kemanusiaan. Salah satu contohnya
adalah: mengutamakan keselamatan kerja karyawan K3, mengurangi rasa lelah
dan lain – lain.
 Ergonomi berkaitan dengan aplikasi mengenai beragam informasi yang di
dalamnya mengandung keterbatasan manusia, kemampuan, ciri khas tingkah
laku, motivasi dalam merancang lingkungan tempat bekerja sehari – hari.
Ergonomi merupakan sebuah ilmu yang memberikan berbagai informasi yang
berkaitan dengan perilaku manusia, kemampuan, keterbatasan dan karakteristik dan
karakteristik lainnya yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan
keselamatan kerja (Chapains, 1985).

B. Prinsip

Prinsip ergonomi adalah mencocokan pekerjaan untuk pekerja. Ini berarti


mengatur pekerjaan dan area kerja untuk disesuaikan dengan kebutuhan pekerja,
bukan mengharapkan pekerja untuk menyesuaikan diri. Desain ergonomis yang
efektif menyediakan workstation, peralatan dan perlengkapan yang nyaman dan
efisien bagi pekerja untuk digunakan. Hal ini juga menciptakan lingkungan kerja
yang sehat, karena mengatur proses kerja untuk mengendalikan atau
menghilangkan potensi bahaya. Tenaga kerja akan memperoleh keserasian antara
tenaga kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya. Cara bekerja harus diatur
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan ketegangan otot, kelelahan yang
berlebihan atau gangguan kesehatan yang lain.

52
C. Manfaat

Manfaat yang dapat kita peroleh dari ergonomi adalah sebagai sarana untuk


meningkatkan kinerja yang mengutamakan ketepatan, keselamatan dan
menurunkan energi saat bekerja. Selain itu, manfaat dari ergonomi adalah untuk
mengurangi waktu, biaya, mengoptimalkan sumber daya manusia lewat mengikuti
pelatihan berbagai macam ketrampilan. Mengoptimalkan dan mengefisienkan
waktu serta memberikan kenyamanan bagi karyawa saat bekerja.

D. Risiko Potensi Bahaya Ergonomi

1. Dengan tugas monoton, berulang atau kecepatan tinggi;


2. Dengan postur tidak netral atau canggung;
3. Bila terdapat pendukung yang kurang sesuai;
4. Bila kurang istirahat yang cukup.

E. Mencegah Bahaya Ergonomi

1. Menyediakan posisi kerja atau duduk yang sesuai, meliputi sandaran, kursi /
bangku dan / atau tikar bantalan untuk berdiri.
2. Desain workstation sehingga alat-alat mudah dijangkau dan bahu pada
posisi netral, rileks dan lengan lurus ke depan ketika bekerja.
3. Jika memungkinkan, pertimbangkan rotasi pekerjaan dan memberikan
istirahat yang teratur dari pekerjaan intensif. Hal ini dapat mengurangi
risiko kram berulang dan tingkat kecelakaan dan kesalahan.

F. Penerapan Ilmu Ergonomi

1. Sektor Tradisional
Pekerjaan dilakukan dengan tangan, termasuk peralatan yang digunakan,
perlu diperhatikan perbaikan sikap dan cara kerja
2. Sektor Modern
Pengaturan sikap, tata kerja, perancangan kerja, penyesuaian dengan
peralatan kerja impor dan penyesuain naker dengan kontruksi alat kerja.

G. Tujuan Penerapan Ergonomi

 Meningkatkan kesejateraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera


dan penyakit akibat kerja
 Menurunkan beban kerja fisik dan mental
 Mengupayakan promosi dan kepuasan kerja

53
 Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial
 Mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan
sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif
Antropometri
Ilmu tentang ukuran tubuh, baik keadaan statis maupun dinamis.
Alat : Antropometer, pita roll.

54
Sikap Duduk
KEUNTUNGAN
1. Mengurangi kelelahan pada kaki
2. Terhindarnya sikap yg tidak alamiah
3. Berkurangnya pemakaian energi
KERUGIAN
1. Melembeknya otot perut
2. Melengkungnya punggung
3. Efek buruk bagi organ bagian dalam

55
Sikap Berdiri
KEUNTUNGAN :
Otot perut tidak kendor, sehingga vertebra (ruas tulang belakang) tidak rusak
bila mengalami pembebanan
KERUGIAN :
Otot kaki cepat lelah

56
BAB X
SURVEILANS KESEHATAN KERJA
A. Pengertian
Surveilans kesehatan merupakan penilaian keadaan kesehatan pekerja yang
dilakukan secara teratur dan berkala.
Surveilans Kesehatan Kerja, merupakan:
 Strategi/metode untuk mendeteksi/menilai secara sistematik efek merugikan dari
pekerjaan terhadap kesehatan pekerja secara dini
 Perlu identifikasi faktor bahaya dilingkungan kerja: Kualitatif maupun
kuantitatif
 Tetapkan populasi terpajan (population at risk)
Surveilans kesehatan terdiri atas surveilans medis (termasuk pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan penunjang, serta pemantauan biologis.2 Lebih tepat
lagi bahwa bentuk/ isi dan kekerapan (frequency) pemeriksaan kesehatan ini
ditetapkan oleh dokter yang berkompeten dalam program kesehatan kerja.
B. Tujuan
 Mengetahui seberapa besar masalah kesehatan di kalangan pekerja melalui:
 Identifikasi bahan berbahaya atau fc risiko lingk kerja
 Kelompok pekerja mana yg berisiko (population at risk)
 Deteksi dini penyakit akibat kerja
 Melihat trend (kecenderungan) perkembangan penyakit

C. Manfaat
 Base line data
 Untuk pembanding data di kemudian hari
 Alat ukur keberhasilan program
 Sejauh mana program kesh dilakukan dan keberhasilannya
 Mendesain program promkes di tempat kerja
 Memenuhi syarat perundangan

57
D. Tujuan Pemeriksaan
1. Tujuan pemeriksaan kesehatan pra-kerja
 menetapkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan
penempatan pekerja
 mengidentifikasi kondisi kesehatan yang mungkin diperburuk oleh pajanan
bahaya kesehatan, kerentananan calon pekerja terhadap bahaya kesehatan
tertentu yang memerlukan eksklusi pada individu dengan pajanan tertentu.
 menetapkan data dasar (baseline data) evaluasi sebelum pekerja
ditempatkan atau melaksanakan pekerjaannya. Data dasar ini berguna
sebagai pertimbangan kelak adanya gangguan kesehatan dan adanya kaitan
dengan pajanan bahaya kesehatan di tempat kerja.

2. TujuanPemeriksaan Kesehatan Berkala


 mendeteksi sedini mungkin setiap gangguan kesehatan
 yang mungkin terjadi dan disebabkan oleh pajanan bahaya kesehatan di
tempat kerja, dan kondisi kerja.
 mendeteksi perubahan status kesehatan (penyakit yang tidak berhubungan
dengan pekerjaan) yang bermakna dapat menyebabkan gangguan
kesehatan apabila melanjutkan pekerjaan, atau menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap pajanan bahaya kesehatan di tempat kerja atau kondisi
kerja

4. Tujuan Pemeriksaan Kesehatan Khusus


Pada dasarnya pemeriksaan kesehatan khusus sama dengan pemeriksaan
kesehatan prakerja. Dalam hal ini hasil pemeriksaan kesehatan khusus
ditempatkan sebagai data dasar menggantikan data dasar hasil pemeriksaan
kesehatan prakerja. Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan
kesehatan khusus tergantung pada riwayat penyakit dan status kesehatan saat
terakhir atau saat pemulihan.
E. Sumber Data

1. Data demografi karyawan


2. Data pajanan
3. Data hasil pemeriksaan kesehatan
4. Data klinik out-in patien
5. Data medical absenteeisme
6. Data kecelakaan PAK
7. Rekam medis
8. Sumber data kesehatan lainnya

 Permennakertrans No.Per-02/Men/80

58
Pemeriksaan kesh naker dlm
penyelenggaraan kesh kerja
 Permennakertrans No.Per-01/Men/81
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja
 Permennakertrans No. Per-03/Men/82
Pelayanan Kesh Kerja

F. Komponen
1. Surveilans bahaya lingkungan kerja
 Mengakses pemaparan zat toksik & faktor resikonya pada populasi
tertentu
 Identifikasi bakim yang digunakan, jenis industri, sifat pekerjaan, serta
besar&luas pemaparan ke tenaga kerja
 Identifikasi perubahan pola pemapar dan mencatat bahaya toksik yang
dtimbulkan.
2. Surveilans penyakit akibat kerja
mengakses jumlah & tipe penyakit akibat kerja, trend waktu dan
distribusi menurut geografi, jenis indutri & sft pekerjaan.

G. Kegiatan Surveilans Kesehatan Kerja

Surveilans kesehatan kerja meliputi kegiatan :


 Mengumpulkan data faktor risiko kesehatan di tempat kerja yang bersumber
dari lingkugan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja,
data kesehatan (dari hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan
khusus serta data kunjungan pengobatan/perawatan) dan kemangkiran pekerja.
 Melakukan analisis dan interpretasi data berdasarkan kaidah epidemiologi
untuk melihat frekuensi, distribusi dan trend perkembangan faktor risiko
dan gangguan kesehatan pekerja.
 komunikasi data dan hasil analisis untuk digunakan dalam rencana perbaikan.
Pencatatan dan pelaporan upaya pelayanan kesehatan kerja dan kasus
KAK/PAK (secara agregat), dilaporkan kepada manajemen, serikat pekerja dan
dinas kesehatan, dinas tenaga kerja dan transmigrasi. KAK/PAK secara
individu (by name) hanya dilaporkan dengan cara yang menjunjung tinggi kode
etik untuk kepentingan kompensasi. Dokumentasi termasuk reka medic dijaga
kerahasiaannya dan dipertahankan minimal 30 tahun, bahkan ada yang
menganjurkan dipertahankan seumur hidup.

59
BAB XI
SOSIOSFER
A. Pengertian
Sosiosfer adalah lingkungan sosial ini terbentuk akibat adanya hubungan
rasional antara manusia untuk memenuhi kebutuhan atau mencari solusi terhadap
berbagai tantangan atau kesulitan secara bersama.
B. Perilaku

Perilaku adalah serangkaian tindakan yang dibuat oleh


individu, organisme, sistem, atau entitas buatan dalam hubungannya dengan dirinya
sendiri atau lingkungannya, yang mencakup sistem atau organisme lain di
sekitarnya serta lingkungan fisik (mati). Perilaku adalah respons yang dikomputasi
dari sebuah sistem atau organisme terhadap berbagai rangsangan atau input, baik
internal atau eksternal, sadar atau bawah sadar, terbuka atau rahasia,
dan sukarela atau tidak sukarela.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia

1. Genetika
2. Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang
terhadap perilaku tertentu.
3. Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial.
4. Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit
tidaknya melakukan suatu perilaku.

C. Sosiosfer dan Kesehatan

Penyakit kejiwaan
Budaya dan penyakit:
- Menunjang kesehatan
- Netral : penggunaan ornamen untuk menjaga kesehatan
- Tidak menunjang kesehatan: perilaku tidak higienis

60
D. Parameneter Sosiosfer

1. CDR (Crude Death Rate):


Indonesia: tahun 1980: 7,9/1000 penduduk tahun 1990: 7,5/1000 penduduk
Kondisi pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit, gizi dll
2. CBR (Crude Birth Rate):
Indonesia: tahun 1980: 28,7/1000 penduduk tahun 1990: 25,3/1000 penduduk
3. IMR (Infant Mortality Rate):
Indonesia: tahun 1980: 112/1000 kelahiran hidup
tahun 1990: 74/1000 kelahiran hidup
tahun 2001: 50/1000 kelahiran hidup
Kualitas lingkungan tempat tinggal bayi, sanitasi dan pelayanan air
bersih, pemukim,gizi, kesejahteraan ibu, imunisasi.
4. Usia harapan hidup :
Indonesia: tahun 1980: 50 tahun laki2 54 tahun perempuan
tahun 2001: 65,92 tahun laki2 69,90 tahun perempuan

E. Pengelolaan Sosiosfer

Usaha yang dapat dilakukan:


• Administratif : peraturan dan sanksi
• Pendidikan : untuk merubah perilaku
• Pelayanan

61
BAB XII
PENUTUP

Setelah mahasiswa mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran dan


mempunyai pengetahuan dan kemampuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, maka
mahasiswa berhak mengikuti tes untuk menguji kompetensi yang telah dipelajari.

Untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang Keselamatan dan


Kesehatan Kerja, disarankan untuk mempelajari materi dari buku, jurnal, artikel online
yang relevan serta senantiasa mengikuti perkembangan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja.

62
DAFTAR PUSTAKA

ILO. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja sarana untuk
Produktivitas. Jakarta : International Labour Organization

Redjeki Sri. 2016. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : Kemenkes RI

Adam M. 2010. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Yogyakarta : UNY

Faturahman Y. 2020. Materi K3. Tasikmalaya : Unsil

63

Anda mungkin juga menyukai